Aparatur Pemerintah

advertisement
APARATUR PEMERINTAH
BAB XXII
APARATUR PEMERINTAH
A.
PENDAHULUAN
Sukses pembangunan nasional tidak lepas dari kualitas dan
kemampuan aparatur pemerintah, baik dalam menyelenggarakan tugas-tugas
umum maupun pembangunan. Sebab itu dalam Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun Pertama (PJPT I), pendayagunaan aparatur pemerintah
ditempatkan sebagai bagian tak terpisah dari keseluruhan strategi
pembangunan nasional serta dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan. Pendayagunaan aparatur pemerintah dalam lima tahun
terakhir ini dari 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V,
ditujukan untuk menciptakan aparatur yang berdaya guna, berhasil guna,
bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
umum dan pembangunan, dilandasi semangat dan sikap pengabdian bagi
bangsa, negara dan tanah air, bersifat meneladani, mengayomi dan melayani
masyarakat, serta sanggup menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif
masyarakat dalam pembangunan. Keseluruhannya itu didasarkan pada dan
merupakan realisasi dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan
UUD 1945.
Sesuai ketetapan Garis-garis Bestir Haitian Negara (GBHN) 1988,
XXII/3
langkah-langkah kebijaksanaan pendayagunaan aparatur pemerintah dalam
Repelita V, diarahkan pada upaya-upaya sebagai berikut: (1) Meningkatkan
pengabdian dan kesetiaan aparatur pemerintah selaku abdi negara dan abdi
masyarakat kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) Meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan
dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan
pelaksanaan pembangunan; (3) Melakukan pembinaan, penyempurnaan, dan
penyesuaian baik terhadap aparatur pemerintah di pusat dan di daerah,
maupun Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan, pengabdian, disiplin dan
keteladanannya. Di samping itu makin mampu melayani, mengayomi dan
menumbuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam pemb angunan
serta tanggap terhadap pandangan-pandangan dan aspirasi yang hidup dalam
masyarakat; (4) Melanjutkan dan meningkatkan penertiban aparatur
pemerintah untuk mengurangi korupsi, penyalahgunaan wewenang,
kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pungutan liar
dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya; (5) Meningkatkan dan
memantapkan
hubungan
fungsional
antara
pemerintah
dengan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat di pusat dan di daerah; (6)
Mengembangkan hubungan kerja yang serasi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan yang
diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan
bertanggung jawab; (7) Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara
aparatur pemerintah pusat yang ada di daerah dengan aparatur pemerintah
daerah untuk memperlancar tugas umum pemerintahan dan tugas
pembangunan di daerah; dan (8) Meningkatkan kemampuan aparatur
pemerintahan desa dalam melayani dan mengayomi masyarakat, dan
mendorong prakarsa dan peran serta rakyat dalam pembangunan.
Dengan berbagai upaya pendayagunaan yang telah dilakukan secara
berkelanjutan selama sekitar seperempat abad dan lebih ditingkatkan dalam
lima tahun terakhir ini, menjelang akhir PJPT I Indonesia telah memiliki
aparatur pemerintah dengan struktur organisasi yang lebih mantap dari pusat
sampai dengan daerah-daerah, disertai sistem manajemen yang lebih efisien
dilengkapi piranti teknologi informasi dan komunikasi yang maju; serta
didukung oleh pegawai negeri yang lebih bersemangat pengabdian, memiliki
kecakap an teknis d an manaj er ial yang me mad ai, siap menghadap i
XXII/4
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam PJPT II. Meningkatnya
kemampuan dan efisiensi pelayanan aparatur antara lain tercermin dengan
terus meningkatnya tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan
(Rp 27,2 miliar tahun 1969/70, Rp 3.321,8 miliar tahun 1987/88 dan
Rp 13.311,8 miliar tahun 1992/93), anggaran pembangunan yang dapat
dikelola dan direalisasikan (Rp 118,2' miliar tahun 1969/70, Rp 9.447,4
miliar tahun 1987/88 dan Rp 22.912,0 miliar tahun 1992/93); investasi
swasta baik dalam maupun luar negeri (PMA: 127,5 juta USD tahun 1969,
1.520,3 juta USD tahun 1987 dan 10.178,1 juta USD tahun 1992; PMDN:
Rp 33,5 miliar tahun 1969, Rp 10.449,6 miliar tahun 1987 dan Rp 27.017,7
miliar tahun 1992), demikian pula perkembangan ekspor baik migas maupun
non migas. Semua itu dapat meningkat karena ketepatan langkah
kebijaksanaan yang diambil, dan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah.
Selain itu, sarana dan prasarana pelayanan kebutuhan dasar seperti diuraikan
dalam bab-bab terdahulu, antara lain untuk pendidikan, pelayan kesehatan,
industri, pertanian, keluarga berencana dan lain sebagainya terus meningkat,
berkat meningkatnya kemampuan dan pengabdian aparatur negara. Dalam
dasawarsa terakhir ini pembangunan Indonesia berhasil mencapai dan
mempertahankan swasembada pangan disertai pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi dan perubahan struktur ekonomi yang ditandai oleh
meningkatnya peranan sektor industri dan jasa, serta sektor pertanian yang
lebih maju. Dalam hubungan ini dapat dicatat pula bantuan pembangunan
daerah (Program Inpres), yang terus ditingkatkan dalam lima tahun terakhir
ini. Apabila pada akhir Repelita I (1973/74) biaya Program Inpres mencapai
Rp 61,9 miliar, pada akhir Repelita IV (1988/89) dan pada tahun keempat
Repelita V (1992/93) meningkat masing-masing menjadi Rp 1.142,1 miliar
dan Rp 4.148,8 miliar. Secara kumulatif dana pembangunan untuk Program
Inpres dalam lima tahun terakhir ini mencapai Rp 12.118,5 miliar,
dibandingkan dengan 4 kali Repelita sebelumnya yang masing-masing secara
kumulatif adalah Rp 201,8 miliar (Repelita I), Rp 1.474,8 miliar (Repelita II), Rp 5.028,4 miliar (Repelita III) dan Rp 6.230,0 miliar (Repelita
IV), maka jumlah pembiayaan dalam lima tahun terakhir besarnya 60 kali
Repelita I. Peningkatan dana yang terus membesar ini juga menggambarkan
meningkatnya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan
program-program tersebut.
Kemampuan teknis dan manajerial kepegawaian selama PJPT I terus
meningkat berkat diselenggarakan dan terus ditingkatkannya berbagai
XXII/5
kegiatan pendidikan dan pelatihan, dengan peningkatan yang lebih besar
lagi. Sekalipun demikian, disadari berbagai kelemahan masih melekat da lam
sistem aparatur negara kita, baik dalam aspek-aspek organisasi dan
manajemennya, maupun dalam kualitas sumber daya manusianya.
Sistem manajemen, meskipun telah menunjukkan kemajuan tetapi
masih perlu ditingkatkan khususnya dalam pengambilan keputusan dalam
kegiatan perencanaan dan penentuan berbagai langkah kebijaksanaan.
Sedangkan kasus-kasus penyimpangan yang diketahui sebagai hasil
pemeriksaan dalam rangka pengawasan masih cukup besar. Semuanya ini
merupakan tantangan dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di masa yang akan datang.
Berbagai keberhasilan pembangunan dalam PJPT I sebentar lagi
sudah akan merupakan catatan sejarah, berbagai kelemahan dan kekurangan
yang masih dihadapi merupakan acuan untuk penentuan langkah-langkah
pendayagunaan selanjutnya dalam PJPT II.
B.
PERKEMBANGAN
PELAKSANAAN
APARATUR PEMERINTAH
PENDAYAGUNAAN
Sebagai kelanjutan langkah-langkah pendayagunaan sejak Repelita I,
berpedoman pada GBHN 1988 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
Buku Repelita V (Keppres No. 13 Tahun 1989), upaya yang dilakukan
dalam lima tahun terakhir ini, pada pokoknya tetap diarahkan pada
perbaikan struktur kelembagaan; penyempurnaan ketatalaksanaan; perbaikan
administrasi kepegawaian termasuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas
sumber daya manusianya; perbaikan sistem perencanaan dan pengendalian
pelaksanaan, serta penyempurnaan sistem dan peningkatan pelaksanaan
pengawasan keuangan dan pembangunan; baik pada aparatur pemerintahan
pusat dan daerah maupun badan-badan usaha milik negara. Selain itu
dilakukan pula peningkatan tertib hukum dan disiplin aparatur.
Langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang sudah
dimulai menjelang Repelita IV, untuk meningkatkan kelancaran dan efisie nsi
kegiatan aparatur dan pelayanannya kepada masyarakat dan dunia usaha,
juga diteruskan dan lebih dimantapkan dalam lima tahun terakhir ini. Untuk
mendukung langkah-langkah kebijaksanaan pendayagunaan aparatur pemerintah tersebut dilakukan pula kegiatan-kegiatan penelitian.
XXII/6
Selain itu, dengan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 90 Tahun 1989 tanggal 7 Juni 1989 tentang Program Pemacu
sebagai Prioritas Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), langkah-langkah
pendayagunaan aparatur pemerintah juga ditekankan pada program-program
sebagai berikut: Pelaksanaan Pengawasan Melekat; Penerapan Analisis
Jabatan; Penyusunan Jabatan Fungsional; Penyederhanaan Tatalaksana
Pelayanan Umum; Penitikberatan Otonomi di Daerah Tingkat II;
Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian; Sistem Informasi Administrasi
Pemerintahan; dan Peningkatan Mutu Kepemimpinan Aparatur.
1. Pendayagunaan Bidang Kelembagaan
Pendayagunaan kelembagaan berisikan usaha penataan kembali
susunan organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan desa serta
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Di samping itu dilakukan
pemantapan hubungan pemerintah pusat dan daerah, pengembangan
satuan-satuan pelayanan dasar dibidang kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya. Tujuan pendayagunaan kelembagaan tersebut adalah agar
wewenang, tugas, tanggung jawab, dan fungsi dari setiap unsur lembaga
pemerintahan semakin jelas dan tidak tumpang tindih, sehingga dapat
dilaksanakan secara semakin berdaya guna dan berhasil guna.
a. Aparatur Pemerintah Pusat
Dalam lima tahun terakhir ini, sebagai kelanjutan dari upaya yang
telah dilakukan sejak Repelita I, penataan yang telah dilakukan pada
aparatur pusat meliputi pembentukan baru, penghapusan dan penyempurnaan
susunan organisasi departemen dan lembaga pemerintah non departemen
serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, sejalan dengan kebutuhan
pembangunan. Upaya tersebut dimaksudkan agar aparatur pemerintah pusat
mampu secara efisien dan efektif menanggapi perkembangan, tuntutan dan
tantangan yang dihadapi sebagai akibat peningkatan dan keberhasilan
pembangunan serta perubahan-perubahan lingkungan internasional. Dalam
Repelita I, Keputusan Presidium Kabinet Nomor 15 dan Nomor 75 Tahun
1966 dijadikan dasar penataan organisasi. Kemudian, pada tahun per tama
Repelita II diganti dengan Keppres No. 44 Tahun 1974 Tentang
Pokok-Pokok Organisasi Departemen dan Keppres No. 45 Tahun 1974
Tentang Susunan Organisasi Departemen. Menghadapi Repelita IV
XXII/7
diterbitkan Keppres No. 15 Tahun 1984 tanggal 6 Maret 1984 tentang
Susunan Organisasi Departemen yang merupakan penyempurnaan dari
Keppres No. 45 Tahun 1974.
Upaya penataan organisasi aparatur Pemerintah Pusat yang dilakukan
selama Repelita I hingga Repelita IV antara lain: pembentukan Badan
Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal, Keppres No. 83
Tahun 1969), penyempurnaan Organisasi Sekretariat Negara (Keppres
No. 30 Tahun 1972), dan pembentukan susunan organisasi Departemen
Tenaga Kerja dan Koperasi (Keppres No. 25 Tahun 1973), penyempurnaan
kedudukan, tugas pokok, fungsi dan organisasi Arsip Nasional Republik
Indonesia (Keppres No. 26 Tahun 1974); penyempurnaan Sekretariat
Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Keppres No. 31 Tahun
1975).
Selama lima tahun terakhir ini hingga tahun keempat Repelita V,
telah dilakukan antara lain: pembentukan Badan Pertanahan Nasional
(Keppres No. 26 Tahun 1988), Perpustakaan Nasional (Keppres No. 11
Tahun 1989), Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (Keppres No. 30
Tahun 1989), Badan Pengelola Industri Strategis (Keppres No. 44 Tahun
1989), Dewan Pembina Industri Strategis (Keppres No. 56 Tahun 1989),
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Keppres No. 23 Tahun 1990) dan
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (Keppres No. 21 Tahun 1991);
Perubahan Susunan Organisasi Departemen Keuangan (Keppres 27 Tahun
1992 terakhir dengan Keppres No. 35 Tahun 1992); penyempurnaan
Organisasi Departemen Perhubungan (Keppres No. 16 Tahun 1989) dan
Bappenas (Keppres No. 7 Tahun 1988); penghapusan Keppres No. 5 Tahun
1971 dan menetapkan kedudukan, tugas pokok dan fungsi organisasi, serta
tata kerja dan anggaran belanja Lembaga Administrasi Negara (LAN);
penyempurnaan Organisasi Departemen Perdagangan (Keppres No. 4 Tahun
1990); pembentukan Unit Swadana dan Tata Cara Pengelolaan Keuangannya
(Keppres No. 38 Tahun 1991); dan pembukaan Konsulat RI di Ho Chi
Minh, Vietnam (Keppres No. 45 Tahun 1992).
Berbagai upaya penataan organisasi departemen dan lembaga pemerintah non departemen dalam jangka waktu 1969/70 - 1992/93 serta dasar
hukumnya, disajikan dalam Tabel XXII-1.
XXII/8
TABEL XXII – 1
PENATAAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
APARATUR PEMERINTAH
1969/70 – 1992/93
XXII/9
XXII/10
XXII/11
XXII/12
XXII/13
XXII/14
XXII/15
XXII/16
XXII/17
XXII/18
b. Aparatur Pemerintah Daerah dan Desa
Untuk
meningkatkan
dan
memantapkan
penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah guna memenuhi berbagai
kebutuhan dan melayani berbagai kepentingan masyarakat baik di kota-kota
maupun di pedesaan, dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan Repe lita V dilakukan pula pendayagunaan aparatur pemerintah daerah dan desa.
Langkah-langkah tersebut ditingkatkan dalam lima tahun terakhir ini dan
ditujukan untuk, pertama, mewujudkan aparatur daerah yang mampu, efektif
dan efisien, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugas pemerintahan
umum dan pembangunan di daerah. Kedua, mewujudkan keserasian pelaksa naan tugas pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Dalam Repelita I, upaya pendayagunaan aparatur pemerintah daerah
diarahkan pada perubahan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah, yang kemudian menghasilkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan pembangunan. Dengan diterbitkannya UU
No. 5 Tahun 1974, maka telah diletakkan landasan bagi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dan Saling hubungan antar aparatur pusat dan daerah
menurut asas-asas pendelegasian tugas pelaksanaan (dekonsentrasi),
pendelegasian kewenangan (desentralisasi), dan fungsi pembantuan
(medebewind).
Sesuai dengan perkembangan pembangunan daerah yang semakin
meningkat, dalam awal Repelita II diterbitkan Keppres No. 15 Tahun 1974
yang mengatur pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Tingkat I di setiap propinsi di seluruh Indonesia sebagai
pengganti Bakopda. Selanjutnya, dengan Keppres No. 27 Tahun 1980
dibentuk pula Bappeda Tingkat II. Tugas dan fungsi Bappeda Tingkat I
dan II tersebut antara lain membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan
koordinasi atas kegiatan perencanaan pembangunan di daerah, serta
melakukan penilaian atas pelaksanaannya. Selain itu dilakukan pula
langkah-langkah pendayagunaan meliputi antara lain, penyempurnaan
susunan organisasi Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I dan Sekretariat
DPRD Tingkat I (SK Mendagri No. 240 Tahun 1980), Sekretariat Wilayah
Daerah Tingkat II dan Sekretariat DPRD Tingkat II (SK Mendagri No. 130
Tahun 1978), Badan Penanaman Modal Daerah (SK Mendagri No. 167
XXII/19
Tahun 1980), Dinas-dinas Daerah (SK Mendagri No. 363 Tahun 1977) serta
Inspektorat Wilayah Propinsi (SK Mendagri No. 219 Tahun 1979), dan
Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya (SK Mendagri No. 220 Tahun
1979). Dalam hubungan ini, telah ditetapkan pula organisasi kecamatan
beserta organisasi sekretariat wilayah pemerintah kecamatan, dalam arti
menetapkan tipe-tipe kecamatan sesuai dengan kondisi kecamatan yang
bersangkutan.
Mengingat pembangunan pedesaan akan menentukan tingkat
kesejahteraan masyarakat luas, maka di samping pendayagunaan aparatur
Pemerintahan Desa, pembangunan pedesaan itu sendiri juga mendapat
perhatian sungguh-sungguh. Sehubungan dengan itu, dalam Repelita I telah
diterbitkan Inpres No. 4 Tahun 1973 untuk menunjang aparatur desa dalam
melaksanakan tugas-tugas pembangunan. Selanjutnya, untuk lebih
memantapkan upaya pendayagunaan aparatur desa, dalam Repelita III telah
diterbitkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam lima
tahun terakhir, sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut, telah diambil
langkah-langkah yang ditujukan untuk semakin meningkatkan kemampuan
aparatur desa dalam pelaksanaan pembangunan desa, termasuk dalam
menggali dan mengelola sumber keuangan asli desa serta dalam penyusunan
Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD). Hal
tersebut dilakukan antara lain dengan meningkatkan kegiatan pelatihan
pengurus Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), pelatihan Kader
Pembangunan Desa dan Pelatihan Kepala Desa. Tidak diabaikan pula
pembinaan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) dalam rangka
pendayagunaan aparatur kecamatan. Dalam rangka peningkatan
pembangunan desa, Inpres Bantuan Pembangunan Desa sangat ditingkatkan
dalam lima tahun terakhir ini, apabila anggaran Inpres Desa pada tahun
1988/89 berjumlah Rp 112 miliar, pada tahun keempat Repelita V
meningkat menjadi Rp 326,5 miliar, sehingga secara kumulatif dalam lima
tahun terakhir ini mencapai jumlah Rp 981 miliar.
Hasil-hasil lain yang telah dicapai dalam bidang pembangunan daerah
dan Desa sampai dengan tahun keempat Repelita V disajikan dalam Bab XIV
tentang Pembangunan Daerah, Desa dan Kota dalam Lampiran Pidato ini.
c. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sistem hubungan dan kerja sama aparatur Pemerintah Pusat dan
XXII/20
Pemerintah Daerah akan menentukan daya guna dan hasil guna pelaksanaan
pembangunan nasional dan daerah. Untuk itu, sejak Repelita I dan lebih
ditingkatkan lagi dalam lima tahun terakhir ini, penataan hubungan aparatur
Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan
terus menerus diserasikan dan dimantapkan. Dalam Repelita I, penataan
hubungan kerja tersebut antara lain berupa upaya pengaturan kembali bentuk
kerja sama dan tata kerja aparatur pemerintah daerah dan dinas-dinas
vertikal yang ada di daerah serta didasarkan pada Inpres No. 7 Tahun 1967.
Penyempurnaan di bidang keuangan daerah telah pula diupayakan. Upaya
tersebut didasarkan pada PP No. 36 Tahun 1972, PP No. 48 Tahun 1973
dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 1974 yang pada
pokoknya mengadakan pemisahan anggaran belanja rutin dengan anggaran
pembangunan daerah, agar penyusunan dan penatausahaan anggaran
pembangunan daerah dapat dilakukan dengan lebih baik.
Dalam kurun waktu Repelita II, hubungan dan kerja sama aparatur
pusat dan daerah tersebut lebih dipertegas dengan diterbitkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah yang antara lain memuat dasar pengaturan hubungan pemerintah
pusat dan daerah berlandaskan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan
asas perbantuan. Di samping itu, untuk memantapkan upaya pengembangan
otonomi daerah, dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1975 telah
dibentuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Dalam Repelita III
berlanjut sampai dengan tahun ketiga Repelita V sebagai pelaksanaan dari
UU No. 5 Tahun 1974, telah dilakukan penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada Pemerintah Daerah sehingga menjadi urusan rumah
tangganya, antara lain mengenai: (1) Urusan Perkebunan Besar (PP. No.
22/1979); (2) Urusan Pariwisata (PP. No. 24/1979); (3) Urusan Pekerjaan
Umum (PP. No. 14/1987); (4) Urusan Pertambangan Bahan Galian
Golongan C (PP. No. 57/1986) dan (5) Urusan Kesehatan (PP. No.
7/1987).
Dalam lima tahun terakhir ini, langkah pendayagunaan mengenai
hubungan pusat dan daerah ditingkatkan, antara lain berupa penyerahan
Urusan Lalu Lintas Angkutan Jalan (PP. No. 22/1990). Kemudian, untuk
lebih memantapkan penyelenggaraan dan mewujudkan otonomi daerah yang
nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan titik berat otonomi Daerah
Tingkat II telah ditetapkan PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
XXII/21
Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Tingkat II. Menurut PP tersebut
urusan-urusan yang dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah
semua urusan pemerintahan; kecuali bidang pertahanan keamanan, bidang
peradilan, bidang luar negeri, bidang moneter, sebagian urusan
pemerintahan umum yang menjadi wewenang, tugas dan kewajiban Kepala
Wilayah, serta urusan pemerintahan lainnya yang secara nasional lebih
berdaya guna dan berhasil guna jika diurus oleh Pemerintah Pusat.
Dalam rangka pembinaan keuangan daerah telah pula diambil
langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali
dan mengelola sumber dana untuk membiayai urusan pemerintahan daerah,
termasuk sumber pendapatan yang berdasarkan hubungan pusat dan daerah.
Untuk itu, telah ditetapkan antara lain beberapa ketentuan tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (UU No. 12 Tahun 1985) dan Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (PP No. 47 Tahun 1985), Pedoman Pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor (Permendagri No. 3/1991), Pedoman Pemungutan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (Permendagri No. 4/1991), Sumbangan
Sebagian Hasil Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor kepada Dati II
(Kepmendagri No. 30/1991), Tarip Pajak Kendaraan Bermotor
(Kepmendagri No. 97/1991), serta Pedoman Usaha Pertambangan Bahan
Galian Golongan C (Kepmendagri No. 32/1991), pembagian hasil iuran
kepada daerah berupa iuran hasil hutan/IHH (Kepmendagri No. 90/1991)
dan iuran pertambangan (Kepmendagri No. 73-161 dan Imendagri
No. 2/1992). Selain itu, telah diupayakan pula peningkatan retribusi daerah,
antara lain retribusi sumber air (Keputusan Bersama Dirjen PUOD, Dirjen
Minyak dan Gas Bumi, dan Dirjen Pengairan No. KEP-4802/M/1991;
974-718,107.K/101/DDJM/91; 137/KPTS/A/1991) dan retribusi terminal
angkutan penumpang (Kepmendagri No. 82/1992).
Akibat langkah-langkah pendayagunaan tersebut, pendapatan asli
daerah (PAD) telah berkembang positif baik dalam jumlah maupun
komposisinya. Hal ini ditunjukkan dengan terus meningkatnya PAD
seluruh Daerah Tingkat I dalam kurun waktu lima tahun yaitu tahun
1987/88 Rp 717,070 miliar, tahun 1988/89 Rp 814,156 miliar, tahun
1989/90 Rp 1.041,487 miliar, tahun 1990/91 Rp 1.438,308 miliar, dan
tahun 1991/92 Rp 1.604,037 miliar.
XXII/22
Selain itu, untuk memantapkan administrasi pendapatan daerah, telah
dikembangkan Manual Pendapatan Daerah (MAPATDA) di 26 Propinsi,
meliputi 293 Dati II dan 34 Kota Administratip (Kotip), sebagai realisasi
Kepmendagri No. 23/1989 dan No. 102/1990. Pelaksanaan MAPATDA
tersebut ditindaklanjuti dengan penggunaan komputer untuk Tahap I di 22
Dati I, meliputi 42 Dati II dan 2 Kotip. Sejalan dengan itu, dalam rangka
pembinaan kekayaan daerah, telah ditetapkan berbagai Keputusan Mendagri
mengenai barang daerah, dan penyusunan Buku Induk Inventarisasi B -I dan
B-II berdasarkan inventarisasi barang-barang Daerah I, II, Kelurahan/Desa,
Depdagri dan barang-barang Departemen lainnya yang digunakan oleh
Pemerintah Daerah. Untuk menunjang langkah-langkah tersebut, pembinaan
terhadap bendaharawan umum dan barang di Dati I dan II terus ditingkatkan
antara lain dengan penataran sensus barang daerah di 21 Propinsi dan
penyediaan tenaga pengajar/penatar yang bermutu.
Selanjutnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini juga telah
dilakukan peninjauan kembali peraturan perundangan mengenai penyerahan
sebagian urusan pemerintah pusat kepada daerah dan diupayakan untuk
menambah penyerahan urusan pemerintah kepada Daerah Tingkat II.
Kemudian, dalam rangka meningkatkan ketertiban dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, dan untuk lebih mewujudkan keserasian
pelaksanaan serta keberhasilan pembangunan telah ditetapkan PP No. 6
Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah. PP ini
antara lain memberikan wewenang kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II untuk melakukan koordinasi
kegiatan semua instansi vertikal dan antara instansi vertikal dengan
dinas-dinas daerah.
2.
Pendayagunaan Bidang Kepegawaian
Dalam lima tahun terakhir ini, pendayagunaan di bidang
kepegawaian ditujukan untuk mewujudkan pegawai negeri sipil yang
memiliki tingkat kemampuan profesional dan kesejahteraan yang memadai,
semangat pengabdian dan disiplin yang tinggi dalam mengemban tugas, serta
didukung sistem administrasi dan informasi kepegawaian yang mantap.
Pendayagunaan di bidang kepegawaian yang telah ditempuh sejak Repelita I,
didasarkan pada UU No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok-pokok Kepegawaian, selanjutnya sejak awal Repelita II didasarkan
XXII/23
pada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang
dalam lima tahun terakhir ini sampai dengan tahun keempat Repelita V lebih
dimantapkan lagi antara lain dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Penetapan Formasi dan Pengadaan Pegawai
Agar satuan-satuan organisasi pemerintah dapat mempunyai jumlah
dan mutu pegawai yang cukup dan sesuai dengan beban kerjanya maka
dilakukan penetapan formasi untuk masing-masing. Formasi diputuskan oleh
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara setelah mendengar
pertimbangan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Pada
Repelita I, II, III, dan IV penyusunan formasi lebih didasarkan pada analisis
kebutuhan (lowongan pekerjaan), kurang memperhatikan analisis jabatan
(lowongan jabatan). Sejak tahun pertama Repelita V penyusunan forma si di
departemen, lembaga pemerintah non departemen, dan pemerintah daerah
tidak hanya didasarkan pada analisis kebutuhan (lowongan pekerjaan), tetapi
juga berdasarkan analisis jabatan (lowongan jabatan). Adapun keuntungan
menetapkan formasi berdasarkan analisis jabatan dan analisis kebutuhan
antara lain: (1) penambahan pegawai dapat benar-benar direncanakan sesuai
dengan kebutuhan dan tersedianya jabatan, sehingga mencegah kelebihan
jumlah pegawai dan menghemat keuangan negara; (2) pegawai yang
bersangkutan dapat mengetahui secara jelas tugas, kewajiban dan tanggung
jawabnya; dan (3) lebih mempermudah upaya pembinaan pegawai, seperti
kenaikan pangkat/jabatan serta pendidikan dan pelatihan.
Jumlah formasi yang tersedia selama Repelita I sebanyak 167.688
orang, Repelita II 522.035 orang, Repelita III 783.888 orang, dan Repe lita IV berjumlah 762.537 orang. Sedangkan jumlah formasi dari tahun
pertama sampai dengan tahun keempat (per Desember 1992) Repelita V
adalah 325.553 orang, terdiri dari 75.553 orang pada tahun 1989/90,
80.000 orang pada tahun 1990/91, 90.000 orang pada tahun 1991/92 dan
80.000 orang pada tahun 1992/93. Dengan demikian jumlah formasi
pegawai negeri sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V
adalah sebanyak 2.561.701 pegawai.
Penetapan formasi pegawai tersebut, selanjutnya ditindaklanjuti
dengan pengadaan pegawai negeri untuk mengisi formasi yang lowong pada
masing-masing satuan organisasi Pemerintah. Walaupun demikian pada
XXII/24
kenyataannya jumlah pengadaan pegawai tidak selalu sesuai dengan jumlah
formasi yang telah ditetapkan. Sejak Repelita I sampai dengan tahun
keempat Repelita V, jumlah pengadaan atau tambahan pegawai negeri
mencapai 2.591.005 orang. Jumlah tersebut merupakan akumulasi tambahan
selama Repelita I sebanyak 167.688 pegawai, Repelita II 302.588 pegawai,
Repelita III 956.249 pegawai, Repelita IV 841.969 pegawai, dan Repelita V
(sampai dengan tahun keempat) sebanyak 322.511 pegawai yang terdiri dari
124.391 pegawai (1989/90), 72.109 pegawai (1990/91), 63.451 pegawai
(1991/92) dan 62.560 pegawai (1992/93). Dengan adanya penambahan
pegawai negeri sebanyak 2.591.005 tersebut, maka jumlah pegawai negeri
sipil yang pada tahun keempat Repelita V 3.950.126 pegawai. Sedangkan
tambahan pegawai dalam lima tahun terakhir mencapai 446.896 orang.
Kualitas dan komposisi pegawai dari Repelita I sampai dengan tahun
keempat Repelita V juga mengalami kemajuan. Hal ini ditunjukkan dalam
perubahan persentase pegawai menurut tingkat pendidikan dalam kurun
waktu sejak tahun terakhir Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Komposisi pegawai menurut pendidikan menunjukkan perubahan
sebagai berikut. Pada akhir Repelita I (1973/74) yang berpendidikan sampai
dengan SD, SLTP, SLTA, Sarjana Muda/DII-DIII, Sarjana (S1, S2, S3),
dan yang tidak jelas masing-masing adalah 564.359 (36,9%), 336.453
(22,0%), 511.017 (33,5%), 75.159 (4,9%), 39.667 (2,6%), dan 154
(0,01 %), dalam tahun keempat Repelita V persentase tersebut berubah
masing-masing menjadi 547.074 (13,9%), 402.902 (10,2%), 2.319.700
(58,7%), 390.993 (9,9%), dan 289.457 (7,3%). Apabila dalam tahun
1973/74 masih tercatat pegawai yang tidak jelas latar belakang
pendidikannya, dalam tahun 1992/93 dengan perbaikan informasi
kepegawaian hal tersebut teratasi sehingga seluruh pegawai menjadi jelas
latar belakang pendidikannya. Data-data tersebut menunjukkan perubahan
jumlah yang besar dalam komposisi kepegawaian menurut latar belakang
pendidikan, misalnya jumlah tenaga yang berpendidikan sarj ana muda ke
atas pada akhir Repelita I hanya 114.826 (7,5%), pada tahun keempat
Repelita V menjadi 680.450 (17,2%). Perubahan ini merupakan hasil dari
upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas kepegawaian. Dilihat dari
komposisi jenis kelamin, peranan wanita dalam persentase terhadap jumlah
seluruh pegawai pada tahun 1992/93 adalah 1.307.871 (33,1%), sedangkan
dalam tahun 1973/74 hanya 291.538 (19,1%). Hal ini menunjukkan bahwa
perhatian pemerintah terhadap peranan wanita telah dimulai sejak awal
XXII/25
Repelita dan terus meningkat hingga dewasa ini. Perhatian yang besar dari
pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
ditunjukkan pula dengan besarnya jumlah tenaga profesional antara lain di
bidang pendidikan yang masing-masing dalam tahun 1973/74 adalah
sebanyak 543.505 (35,6%), sedangkan dalam tahun 1992/93 adalah
sebanyak 1.729.229 (43,8%). Perbaikan-perbaikan di bidang kepegawaian
ini, telah meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial aparatur kita,
baik dalam penentuan berbagai rencana dan kebijaksanaan maupun dalam
pelaksanaannya, termasuk dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar
seperti pendidikan dan kesehatan, juga dalam mendorong prakarsa, kegiatan
dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi dan sosial.
Adapun perkembangan jumlah dan komposisi pegawai negeri sipil untuk
setiap Repelita disajikan pada Tabel XXII-2.
b.
Pembinaan Karier Pegawai Negeri Sipil
Tujuan pembinaan karier pegawai negeri sipil adalah untuk
mengembangkan dan menempatkan pegawai pada jenis pekerjaan ataupun
jabatan yang tepat berdasarkan kemampuan, sistem karier dan prestasi kerja,
sehingga dapat dicapai produktivitas yang optimal. Pelaksanaan pembinaan
karier ini dilakukan melalui: (1) pendidikan dan pelatihan; (2) penerapan
disiplin pegawai; (3) penilaian pelaksanaan pekerjaan; (4) kenaikan pangkat;
dan (5) pengembangan jabatan fungsional.
(1)
Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil
Pembinaan karier dicerminkan antara lain oleh adanya jenjang
kepangkatan atau kedudukan yang menunjukkan posisi seorang pegawai
negeri sipil dalam susunan kepegawaian, yang juga digunakan sebagai dasar
penggajian. Kenaikan pangkat tersebut dimaksudkan sebagai: (1)
penghargaan yang diberikan atas pengabdian pegawai negeri sipil yang
bersangkutan terhadap Negara; dan (2) dorongan kepada pegawai negeri
sipil untuk lebih meningkatkan pengabdiannya.
Kenaikan pangkat dapat berupa kenaikan pangkat reguler, pilihan,
istimewa, pengabdian dan kenaikan pangkat sebagai penyesuaian ijaz ah.
Kenaikan pangkat tersebut dilakukan atas dasar usulan dari Departemen/
Lembaga kepada BAKN (kenaikan pangkat biasa/KPB). Sejak Repelita I
XXII/26
TABEL XXII – 2
KOMPOSISI PEGAWAI NEGERI PUSAT DAN DAERAH
1968 – 1992/93 1)
1)
2)
Angka kumulatif sejak Repelita I
Angka sementara
XXII/27
sampai dengan tahun keempat Repelita V (per Desember 1992), pegawai
negeri sipil yang mengalami kenaikan pangkat reguler adalah sebanyak
1.715.731 pegawai. Jumlah ini terdiri dari kenaikan pangkat selama kurun
waktu Repelita I sebanyak 54.061 pegawai, Repelita II 143.094 pegawai,
Repelita III 253.164 pegawai, dan Repelita IV 433.189 pegawai. Sedangkan
pada tahun terakhir Repelita IV adalah sebanyak 206.712 orang. Dengan
adanya kenaikan pangkat pada tahun pertama, kedua, ketiga sampai dengan
tahun keempat Repelita V masing-masing sebanyak 239.129 pegawai,
254.688 pegawai, 278.632 pegawai dan 59.774 pegawai, maka dalam lima
tahun terakhir ini jumlah pegawai negeri yang telah mengalami kenaikan
pangkat reguler adalah sebanyak 1.038.935 orang.
Sementara itu, sejak I April 1984 diberlakukan Kenaikan Pangkat
Otomatis (KPO) untuk pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Guru SD dan Penjaga SD, Guru TK, SMTP,
SMTA, Penilik dan Pengawas) dan Departemen Agama (Guru Agama,
Penjaga Madrasah Ibtidaiyah, Penilik dan Pengawas) serta tenaga kesehatan
di lingkungan Departemen Kesehatan (tenaga medis dan paramedis). Tujuan
KPO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai melalui jalur non
gaji serta mengurangi hambatan waktu dan administrasi kenaikan pangkat
pegawai yang bersangkutan yang telah memenuhi persyaratan untuk naik
pangkat. Jumlah pegawai yang memperoleh KPO pada Repelita IV adalah
sebanyak 1.717.010. Pada tahun pertama, kedua, ketiga dan keempat
Repelita V pegawai yang mengalami KPO masing-masing sebanyak 480.932
pegawai, 401.996 pegawai, 290.803 pegawai dan 246.095 pegawai,
ditambah dengan yang pada tahun terakhir Repelita IV sebanyak 424.828
orang, maka jumlah pegawai negeri sipil yang mengalami KPO dalam lima
tahun terakhir ini adalah sebanyak 1.844.645 pegawai.
(2) Pengembangan Jabatan Fungsional
Pengembangan jabatan fungsional dimaksudkan agar para pegawai
negeri sipil yang mengemban tugas dalam kegiatan-kegiatan pekerjaan
tertentu dapat memperoleh kepastian dalam kariernya, tidak terhambat
karena terbatasnya jabatan struktural, sehingga diharapkan mereka akan
terdorong untuk terus meningkatkan prestasi dan kemampuan profesional nya. Perkembangan jabatan fungsional didasarkan pada PP No. 3 Tahun
1980.
XXII/28
Kenaikan pangkat dalam jabatan fungsional, sesuai dengan Pasal 12
PP No. 3 Tahun 1980, selain harus memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan seperti sekurang-kurangnya telah 2 (dua) tahun dalam pangkat
yang dimilikinya dan setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan bernilai
baik, juga harus memenuhi angka kredit yang telah ditetapkan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan memperhatikan usulan
Pimpinan instansi yang bersangkutan setelah mendengar pertimbangan
Kepala BAKN.
Sejak jabatan fungsional mulai diterapkan sampai dengan tahun
keempat Repelita V (per Desember 1992) telah dikembangkan sebanyak 50
jabatan fungsional terdiri dari akhir Repelita III sebanyak 1 jabatan
fungsional, Repelita IV 19 jabatan fungsional, dan Repelita V sampai
dengan tahun keempat sebanyak 30 jabatan fungsional. Dalam lima tahun
terakhir ini telah dikembangkan 31 jabatan fungsional, antara lain terdiri
dari jabatan fungsional Peneliti, Tenaga Dokter, Tenaga Perawatan, Tenaga
Pengajar Perguruan Tinggi, Pengamat Meteorologi dan Geofisika,
Pustakawan, Pekerja Sosial, Penyuluh KB, Penguji Mutu Barang, Jaksa,
Pemeriksa Bea dan Cukai, Guru (di lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan Departemen
Perindustrian), Pengawas Radiasi, Pranata Komputer, Statistisi, Arsiparis,
dan Sandiman. Besarnya jumlah jabatan fungsional yang telah
dikembangkan dalam lima tahun terakhir ini menunjukkan perhatian yang
besar terhadap peningkatan mutu dan kemampuan profesional di bidang
kepegawaian.
(3) Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan (diklat) juga merupakan bagian penting
dalam pembinaan pegawai negeri sipil agar dapat lebih meningkatkan mutu
dan produktivitas kerjanya. Berbagai jenis diklat pegawai negeri sipil yang
dikembangkan selama ini meliputi diklat prajabatan (pre-service training)
dan diklat dalam jabatan (in-service training).
Diklat prajabatan diselenggarakan dengan tujuan memberikan
orientasi kepada calon pegawai negeri sipil berkenaan dengan kedudukannya
sebagai pegawai negeri sipil agar mengerti dan menghayati norma, etika,
kewajiban dan hak-haknya serta mengetahui peraturan-peraturan yang harus
XXII/29
dipatuhinya. Sedangkan diklat dalam jabatan dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan
tugas-tugas yang menjadi atau akan menjadi tanggung jawabnya.
Pada Repelita I diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1972 yang mengatur ruang lingkup tugas dan tanggung jawab pelaksanaan
pembinaan pendidikan dan pelatihan antara Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Tenaga Kerja, dan Lembaga Administrasi Negara.
Dengan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974, yang disempurnakan
dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1989, Lembaga Administrasi
Negara diberi tugas dan tanggung jawab pembinaan pendidikan dan
pelatihan khusus untuk pegawai negeri sipil.
Diklat prajabatan dimulai secara teratur sejak tahun 1981 dengan
Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1981. Sedangkan diklat dalam jabatan
dikembangkan sejak Repelita I dan terdiri dari diklat penjenjangan dan
diklat non penjenjangan atau diklat khusus dan teknis fungsional. Diklat non
penjenjangan meliputi antara lain kursus-kursus organisasi dan metode,
teknik-teknik manajemen, perencanaan pembangunan, manajemen proyek,
manajemen perusahaan negara, pengawasan, analisa jabatan dan diklat
khusus lain. Diklat penjenjangan terdiri dari beberapa tingkatan, yang pada
umumnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial
pegawai sesuai bidang tugas, jenjang kepangkatan serta kebutuhan
administrasi dan pembangunan, baik untuk tenaga Staf maupun Pimpinan
administrasi. Di samping diklat penjenjangan dan diklat non penjenjangan
untuk lebih meningkatkan kualitas kepegawaian, bagi pegawai negeri
dimungkinkan pula untuk mengikuti program pendidikan S-2 dan S-3 secara
selektif di dalam dan di Luar negeri. Sesuai dengan Surat Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara No. B-97/1/1992 tanggal 29 Januari 1992
kepada para Sekjen Departemen, para Pimpinan SETLEMTERTINA dan para
Deputi Administrasi LPND, pelaksanaan diklat Luar negeri dikoordinasikan
oleh "Overseas Training Office" (OTO)/Bappenas.
(a)
Diklat Prajabatan
Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1981 tentang
Latihan Prajabatan, setiap Pegawai Negeri Sipil diwajibkan mengikuti
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Prajabatan. Diklat ini terdiri dari 3 (tiga)
XXII/30
tingkat yaitu Tingkat I, II dan III yang disesuaikan dengan golongan
pegawai yaitu Golongan I, II dan III.
Selama Repelita III Diklat Prajabatan diikuti oleh 47.115 peserta
terdiri dari Prajabatan Tingkat I sebanyak 15.794 peserta, Tingkat II
sebanyak 29.542 peserta dan Tingkat III sebanyak 1.779 peserta. Dalam
Repelita IV jumlah peserta diklat tersebut meningkat menjadi 271.356
peserta meliputi Diklat Prajabatan Tingkat I, II dan III masing-masing
48.514 peserta, 213.632 peserta dan 9.210 peserta. Dalam tahun terakhir
Repelita IV, Diklat Prajabatan diikuti oleh 57.087 orang, masing-masing
15.264 Tingkat I, 40.898 Tingkat II, dan 925 Tingkat III, sedangkan selama
Repelita V, sampai dengan Desember 1992, Diklat Prajabatan diikuti
sebanyak 82.028 peserta meliputi Diklat Prajabatan Tingkat I, II dan III
masing-masing 15.019 peserta, 41.563 peserta dan 25.446 peserta. Dengan
demikian dalam lima tahun terakhir ini, telah diselenggarakan Diklat
Prajabatan untuk sebanyak 139.115 orang, terdiri dari Tingkat I sebanyak
30.283 peserta, Tingkat II sebanyak 82.461 peserta, dan Tingkat III
sebanyak 26.371 peserta.
(b)
Diklat Dalam Jabatan
Diklat dalam jabatan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
dan keterampilan pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya.
Perkembangan pelaksanaan diklat dalam jabatan baik yang bersifat
penjenjangan maupun yang non penjenjangan dalam lima tahun terakhir ini
hingga tahun keempat Repelita V, antara lain adalah sebagai berikut:
(i)
Diklat Penjenjangan
Diklat Penjenjangan terdiri dari 4 tingkatan, yaitu (1) Sekolah Staf
dan Pimpinan Administrasi (SESPA) dan Sekolah Staf dan Pimpinan
Administrasi Nasional (SESPANAS), (2) Sekolah Pimpinan Administrasi
Tingkat Madya (SEPADYA), (3) Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat
Lanjutan (SEPALA), dan (4) Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Dasar
(SEPADA).
SESPA dilaksanakan oleh masing-masing departemen SESPANAS
diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan peserta
XXII/31
dari departemen, LPND, BUMN/D, pemerintah daerah. Penyelenggaraan
SESPA, termasuk SESPANAS, sejak Repelita I sampai dengan tahun
keempat Repelita V dapat dilihat pada Tabel XXII-3. Dari Tabel tersebut
dapat dilihat adanya kenaikan yang berarti dalam jumlah peserta Diklat
Tingkat SESPA. Pada Repelita I sampai dengan akhir Repelita IV
masing-masing adalah 692 orang, 2.082 orang, 2.313 orang dan 2.486
orang, dan dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita V
adalah 2.132 orang; jumlah peserta SESPA dan SESPANAS dalam lima
tahun terakhir sebanyak 2.501 orang.
Jumlah lulusan SEPADYA selama Repelita III sebanyak 2.481
orang, Repelita IV sebanyak 4.478 orang, dari tahun pertama sampai dengan
tahun keempat Repelita V sebanyak 6.909 orang. Dalam lima tahun terakhir
sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah pegawai negeri yang telah
mengikuti SEPADYA adalah sebanyak 8.128 orang. Jumlah lulusan
SEPALA selama Repelita III sebanyak 7.199 orang dan 10.452 orang pada
Repelita IV. Sedangkan dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat
Repelita V sebanyak 13.580 orang. Jumlah lulusan SEPALA dalam lima
tahun terakhir Repelita V adalah 15.641 orang. Jumlah lulusan SEPADA
selama Repelita III adalah sebanyak 3.926 orang, pada Repelita IV
berjumlah 6.277 orang. Dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat
Repelita V sebanyak 5.105 orang, dan dalam lima tahun terakhir jumlah
pegawai yang mengikuti SEPADA adalah 5.947 orang.
(ii) Diklat Non Penjenjangan
Pelaksanaan diklat non penjenjangan umumnya dilakukan oleh
departemen atau instansi bersangkutan di samping oleh LAN. Di antara
diklat non penjenjangan terdapat diklat teknis fungsional, yang para
pesertanya terus meningkat sejak Repelita I hingga tahun pertama Repelita V. Dalam tahun terakhir Repelita III jumlah peserta adalah 2.830 orang,
selama Repelita IV adalah 11.717 peserta, sedangkan perkembangan dalam
lima tahun terakhir hingga tahun keempat Repelita V masing-masing adalah
sebanyak 1.720 peserta pada tahun 1988/89, 5.792 peserta pada tahun
1989/90, 1.256 peserta pada tahun 1990/91, 21.646 peserta pada tahun
1991/92, dan 55.020 peserta pada tahun 1992/93.
Dalam hubungannya dengan diklat non penjenjangan, sejak Rape
XXII/32
TABEL XXII – 3
1)
JUMLAH LULUSAN SESPA
1968 – 1992/93
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
*)
Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan
Angka tahunan sementara per Desember 1992
Repelita III mencakup Ditjen Pariwisata dan Ditjen Postel (Repelita IV: Deparpostel)
Repelita III mencakup Ditjen Kehutanan (Repelita IV: Departemen Kehutanan)
Repelita III mencakup Ditjen Transmigrasi (Repelita IV: Departemen Transmigrasi)
Repelita III mencakup Ditjen Koperasi (Repelita IV: Departemen Koperasi)
Mulai Repelita IV termasuk Program SESPANAS
Termasuk Astek sebanyak 30 orang
XXII/33
lita I dikembangkan pula kursus Program Perencanaan Nasional (PPN)
khusus bagi para perencana baik instansi pusat maupun daerah yang terdiri
dari jenis-jenis kursus sebagai berikut: Perencanaan Jangka Panjang,
Perencanaan Proyek-proyek Pembangunan, Perencanaan Proyek-proyek
Pertanian dan Agro Industri, dan Perencanaan Proyek-proyek Transportasi.
Jumlah peserta PPN secara kumulatif lima tahunan dalam Repelita I
sebanyak 86 orang, Repelita II 483 orang, Repelita III 651 orang, dan
Repelita IV 651 orang. Data tahunan sejak 1987/88 menunjukkan
perkembangan sebagai berikut: 1987/88 sebanyak 133 orang, 1988/89 132
orang; 1989/90 132 orang, 1990/91 131 orang, 1991/92 129 orang, dan
1992/93 sebanyak 123 orang. Sehingga jumlah seluruh peserta PPN sejak
Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah sebanyak 2.386
orang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini jumlah peserta Diklat
PPN mencapai sekitar 647 orang yang pada umumnya dari daerah-daerah.
Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan kemampuan Bappeda, sejak
Januari tahun 1991 telah diselenggarakan kursus Teknik dan Manajemen
Perencanaan Pembangunan Daerah (TMPP) Tingkat Dasar. Program TMPP
ini akan melatih sekitar 1.200 Staf Perencana seluruh Bappeda Tingkat II
dari seluruh Indonesia dan akan berlangsung selama 3,5 tahun.
Penyelenggaraannya dilakukan atas kerja sama OTO Bappenas dengan
Departemen dalam Negeri dan 4 Universitas di Indonesia (Unsyiah, UI,
UGM dan UNHAS). Dalam dua tahun terakhir ini, sejak tahun 1991 sampai
dengan 1992 program TMPP telah dilaksanakan sebanyak 6 angkatan
dengan jumlah peserta sebanyak 734 orang, terdiri dari 374 peserta tahun
1991 dan 360 peserta tahun 1992, setiap tahun diselesaikan sebanyak
3 angkatan.
Angka-angka di atas memperlihatkan perhatian yang besar dari
pemerintah untuk meningkatkan kemampuan aparatur daerah dan
pembangunan daerah, serta untuk lebih memantapkan pelaksanaan otonomi
daerah yang bertitik berat pada Dati II. Hal ini dibuktikan juga dengan
besarnya program Diklat Perencanaan Pembangunan Daerah yang telah
dilakukan dalam 5 tahun terakhir ini, yaitu hampir menyamai upaya yang
dilakukan dalam 20 tahun sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir ini, diklat
perencanaan pembangunan untuk Staf Bappeda mencapai 1.381 orang,
peserta diklat serupa dari Repelita I sampai dengan Repelita IV adalah 1.871
orang. Mengingat proses pembangunan sudah dan akan semakin kompleks,
XXII/34
maka bukan saja jumlah program dan peserta diklat teknik dan manajemen
perencanaan yang ditingkatkan, tetapi juga mutu kurikulum dan proses
belajar dan mengajarnya.
Dengan berbagai peningkatan dan pendayagunaan dalam
program-program diklat di bidang perencanaan pembangunan tersebut,
kemampuan aparatur perencanaan pusat maupun daerah dapat ditingkatkan,
termasuk dalam identifikasi masalah, potensi serta kebutuhan daerah, dalam
penyediaan informasi yang diperlukan, dalam pelaksanaan kegiatan
perencanaan dan penganggaran, serta dalam pemantauan dan pelaporan
pelaksanaannya. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan kemampuan
Bappeda dan unsur Pemda lainnya dalam menyusun Repelitada serta dalam
menyusun rencana, program dan proyek-proyek tahunannya, yang kemudian
dituangkan dalam RAPBD. Lancarnya pelaksanaan Program Inpres dan
berbagai program dan proyek-proyek pembangunan lainnya di daerah,
demikian pula dalam pemantauan dan pelaporan pelaksanaannya,
memperlihatkan adanya peningkatan kemampuan dari aparatur daerah dan
Bappeda.
Selain mengenai bidang perencanaan pembangunan telah juga
diadakan beberapa uji coba dan persiapan perencanaan program diklat di
bidang kebijaksanaan dan manajemen pembangunan. Langkah-langkah ini
akan lebih memantapkan aparatur dalam menghadapi tantangan-tantangan
pembangunan dalam era PJPT II. Rincian jenis kursus dan jumlah peserta
dalam program diklat di bidang perencanaan pembangunan disajikan dalam
Tabel XXII-4.
c.
Penghasilan Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah menyadari pentingnya unsur gaji dan penghasilan dalam
peningkatan kesejahteraan dan produktivitas pegawai. Karena itu sejak
Repelita I telah diadakan perbaikan penghasilan pegawai negeri. Dan tahun
1970 sampai tahun 1976 perbaikan penghasilan didasarkan PP No. 12 Tahun
1967 tentang PGPS 1968. Dalam PP No. 12 Tahun 1967 perbandingan gaji
pokok yang terendah dengan yang tertinggi adalah 1 banding 25. Dalam
tahun 1977 penghasilan pegawai negeri kembali mengalami perbaikan
mendasar yaitu dengan diterbitkannya PP No. 7 Tahun 1977, yang merubah
perbandingan gaji pokok yang terendah dengan yang tertinggi menjadi
1 banding 10.
XXII/35
TABEL XXII – 4
1)
JUMLAH PESERTA KURSUS-KURSUS PROGRAM PERENCANAAN NASIONAL
1968 – 1992/93
1) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan; sedangkan angka kumulatif 5 tahunan pada Repelita IV adalah 651 peserta
meliputi kursus Perencanaan Jangka Panjang 193 orang, Proyek-proyek Pembangunan 150 orang, proyek-proyek Pertanian dan Agro Industri 156 dan Proyek-proyek Transportasi
152 orang.
2) Angka tahunan sementara per Desember 1992.
XXII/36
Pada tahun 1977, PP No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji
Pegawai Negeri Sipil diganti dengan PP No. 15 Tahun 1985 yang mulai
berlaku sejak 1 April 1985. Dengan langkah kebijaksanaan ini terjadi
perubahan mendasar berupa perubahan sistem dan peningkatan gaji pokok
pegawai negeri, sehingga perbandingan gaji pokok yang terendah dan
tertinggi meningkat secara lebih progresif menjadi 1 banding 8. Gaji pokok
terendah menurut PP No. 7 Tahun 1977 adalah sebesar Rp 12.000,-, dan
menurut PP No. 15 Tahun 1985 adalah sebesar Rp 33.200,- yang berarti
peningkatan sebesar 176%. Sementara itu gaji pokok tertinggi meningkat
dari Rp 120.000,- menurut PP No. 7 Tahun 1977 menjadi Rp 265.000,berdasarkan PP No. 15 Tahun 1985, berarti adanya kenaikan sebesar 121%.
Hal ini mencerminkan peningkatan pemerataan secara substansial.
Sejalan dengan meningkatkan kemampuan keuangan negara dan
semakin beratnya tugas dan tanggung jawab yang harus dipikulnya,
menjelang Repelita V Pemerintah kembali meningkatkan gaji pegawai negeri
sipil dan anggota ABRI. Gaji pegawai negeri sipil dan anggota ABRI, mulai
bulan Januari 1989 dinaikkan sebesar 10% dan sejak April 1989 dinaikkan
sebesar 15% masing-masing dari penghasilan yang diterimanya pada bulan
Desember 1988. Selanjutnya pada bulan Januari 1990 dilakukan pula
peningkatan gaji pegawai negeri dan anggota ABRI sebesar 10% dari
penghasilan yang diterima pada bulan Desember 1989. Dengan demikian,
dalam tahun pertama Repelita V Pemerintah telah dua kali menaikan gaji
pegawai negeri , sipil dan anggota ABRI dengan jumlah kenaikan seluruhnya
sebanyak 25% (PP No. 50 Tahun 1990). Sejalan dengan langkah-langkah
perbaikan penghasilan pegawai negeri tersebut, untuk meningkatkan kesejahteraan para pensiunan, dengan PP No. 51 Tahun 1990 Pemerintah juga
melakukan perbaikan penghasilan bagi para pensiun/tunjangan yang bersifat
pensiun.
Kemudian, berdasarkan PP No. 51 Tahun 1992 tentang Perubahan
PP No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan PP No. 15 Tahun 1985, sejak
1 April 1992 Pemerintah kembali menaikan gaji pokok dan tunjangan
istri/suami pegawai negeri sipil. Menurut PP No. 51 Tahun 1992 ini gaji
terendah berubah dari Rp 33.000,-/menjadi Rp 51.000,- atau naik 54,5%,
dan gaji tertinggi berubah dari Rp 265.600,- menjadi Rp 399.200,- atau
naik 50,3%. Perbandingan antara gaji terendah dengan gaji tertinggi tetap
XXII/37
sama yaitu 1 banding 8. Perubahan lainnya adalah mengenai tunjangan
istri/suami yaitu dari 5% menurut PP No. 15 Tahun 1985 menjadi 10%
menurut PP No. 51 Tahun 1992.
Di samping peningkatan gaji pokok, dilakukan pula perbaikan
pemberian tunjangan khusus jabatan fungsional tertentu seperti peneliti,
hakim, panitera pengadilan, penyuluh pertanian, penyuluh keluarga
berencana dan Widyaiswara. Perbaikan penghasilan juga telah beberapa kali
bagi pemegang jabatan struktural, yang terakhir dilakukan dengan
diterbitkannya PP No. 16 Tahun 1987. Selain itu, untuk meningkatkan
efisiensi pelayanan dalam pembayaran gaji pegawai, telah pula dilakukan
pula pembakuan prosedural, yaitu melaksanakan sistem pembayaran gaji
PNS khususnya Gol. III dan IV melalui Bank di 12 Propinsi.
Sementara itu, dalam tahun kedua Repelita V, Pemerintah juga telah
memberikan tunjangan kompensasi bagi pegawai negeri yang bertugas di
bidang persandian. Dalam tahun ketiga Repelita V telah dilakukan perbaikan
Tabungan Hari Tua (THT) dari PT Taspen sebesar 17% yang dibayarkan
terhitung mulai tanggal 1 Juli 1991 serta ditetapkan tunjangan jabatan bagi
Hakim dan Panitera pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Agama. Kemudian, dalam tahun keempat Repelita V, tunjangan Istri/Suami
telah ditingkatkan dari 5% menurut PP 15 Tahun 1985 menjad i 10% sesuai
dengan PP No. 51 Tahun 1992 dan berlaku sejak 1 April 1992. Selain itu,
telah ditetapkan pula tunjangan bahaya nuklir bagi PNS di lingkungan
BATAN, dan tunjangan pengabdian PNS yang bekerja dan bertempat tinggal
di wilayah terpencil.
Menjelang tahun terakhir Repelita V, kembali Pemerintah secara
progresif melakukan perbaikan struktur penghasilan pegawai negeri dan
ABRI serta tunjangan jabatan struktural pegawai negeri sipil. Ketentuan
ini berlaku sejak Januari 1992 (SE Direktur Jenderal Anggaran No.
SE-2/A/522/0193, tanggal 7 Januari 1993), dengan perbaikan struktur
sebagai berikut: gaji pokok pegawai negeri sipil yang terendah meningkat
dari Rp 51.000,- menjadi Rp 78.000,-, dan gaji tertinggi meningkat dari
Rp 399.200,- menjadi Rp 537.600,-. Sedangkan perbaikan tunjangan
struktural antara lain Eselon terendah (Vb) meningkat dari Rp 14.000, menjadi 50.000,- dan Eselon tertinggi (Ia) dari Rp 166.000,- menjadi
Rp 500.000,-. Selain untuk jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional
XXII/38
juga mengalami perbaikan struktur; antara lain untuk dosen Perguruan
Tinggi, peneliti, widyaiswara, tenaga kesehatan, tenaga persandian,
penyuluh Keluarga Berencana, dan lain-lain.
d. Manajemen Informasi Kepegawaian
Pendayagunaan sistem informasi kepegawaian ditujukan agar tersedia
data kepegawaian yang lengkap, dapat dipercaya dan mudah ditemukan,
sehingga berbagai keputusan yang diperlukan dalam rangka pembinaan
kepegawaian dapat dilakukan secara tepat dan lebih cepat. Dalam hubungan
ini perbaikan informasi kepegawaian telah dilakukan secara sistematis sejak
Repelita I, dalam lima tahun terakhir ini telah dilaksanakan secara lebih
intensif langkah-langkah antara lain sebagai berikut: (1) Penetapan Nomor
Induk Pegawai Negeri Sipil (NIP); (2) Pemberian Kartu Pegawai Negeri
Sipil (Karpeg); (3) Perekaman data Pegawai Negeri Sipil berikut
perkembangan ke dalam pita magnetik; (4) Penyusunan berkas Pegawai
Negeri Sipil ke dalam almari khusus; (5) Penyusunan nama-nama Pegawai
Negeri Sipil menurut abjad; (6) Pemberian Kartu Isteri/Suami Pegawai
Negeri Sipil (KARIS/KARSU); (7) Penyajian jumlah Pegawai Negeri Sipil
menurut umur, kepangkatan, golongan ruang, kedudukan, dan wilayah kerja
sebagai bahan informasi dan bahan perencanaan Anggaran Belanja Pegawai.
Mengingat jumlah pegawai negeri sipil sekarang telah mencapai
3.950.126 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, untuk mening katkan efisiensi administrasi kepegawaian, pada tahun ketiga Repelita V
telah dibangun Kantor Perwakilan BAKN di Ujung Pandang. Dengan
demikian, sampai dengan tahun keempat Repelita V, BAKN telah memiliki
4 Kantor Perwakilan yaitu di Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Ujung
Pandang. Diharapkan dengan pembangunan Kanwil-kanwil baru tersebut,
pengelolaan administrasi dan pembinaan pegawai negeri dapat lebih
didesentralisasikan sehingga dapat meningkatkan efisiensi pelayanan
kepegawaian antara lain untuk mempercepat proses kenaikan pangkat,
pensiun dan mutasi pegawai.
Di samping itu, untuk mendukung proses pengolahan data dan
informasi kepegawaian untuk berbagai kebutuhan dalam pengambilan
keputusan sejak tahun 1983 BAKN telah dilengkapi dengan perangkat
komputer. Untuk lebih mendayagunakan komputer dan terminal tersebut,
XXII/39
telah dirancang suatu Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian Republik
Indonesia (SIMKRI) yang dapat menghubungkan BAKN Pusat di Jakarta
dengan seluruh Kanwil tersebut di atas serta dengan berbagai Instansi terkait
antara lain Kantor Menpan, LAN, Departemen Keuangan, PT. Taspen,
Sekretariat Kabinet, Bappenas, dan Perum Husada Bakti.
e.
Penyempurnaan
gawaian
Peraturan
Perundang-undangan
Kepe-
Upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian pada hakekatnya dilandasi semangat dan diarahkan pada tujuan
untuk menunjang upaya mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih,
berwibawa, efisien dan efektif dalam pelaksanaan tugas-tugasnya yang
dilandasi dengan Pancasila dan UUD 1945. Upaya penyempurnaan
peraturan perundang-undangan tersebut antara lain meliputi ketentuanketentuan tentang administrasi kepegawaian, disiplin pegawai, pendidikan
dan pelatihan pegawai, pembinaan karier pegawai, dan lain-lain.
Selama Repelita I, pendayagunaan kepegawaian didasarkan pada
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kepegawaian. Karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan kebutuhan
pembangunan, maka disiapkan rancangan undang-undang tentang
pokok-pokok kepegawaian sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 1961
tersebut, hasilnya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok kepegawaian.
Sejak diberlakukannya UU tersebut sampai dengan tahun keempat
Repelita V telah ditetapkan sebanyak 216 peraturan terdiri dari 114
Peraturan Pemerintah (PP) dan 102 Keputusan Presiden (Keppres). Dari 216
peraturan tersebut, sebanyak 32 PP dan 21 Keppres diterbitkan pada
Repelita III, 44 PP dan 33 Keppres pada Repelita IV, 17 PP dan 35 Keppres
pada Repelita IV, 4 PP dan 4 Keppres pada TA 1989/90, 6 PP pada TA
1990/91, 1 PP dan 6 Keppres pada TA 1991/92 serta 10 PP dan 3 Keppres
pada TA 1992/93 (sampai dengan Nopember 1992). Dengan penyempurnaan
peraturan-peraturan tersebut, maka pendayagunaan bidang kepegawaian
dapat ditingkatkan dan diselenggarakan secara tertib dan teratur, antara lain
dalam penetapan formasi dan pengadaan pegawai; pembinaan karier pegawai
yang terdiri dari kenaikan pangkat pegawai, pengembangan jabatan
XXII/40
fungsional; pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai; dan lain-lain.
Sebagian dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tersebut disajikan
dalam Tabel XXII-5.
f. Pembinaan di Luar Kedinasan (KORPRI)
Berbagai upaya pendayagunaan kepegawaian seperti diuraikan di
atas, telah dapat meningkatkan kwalitas aparatur, baik sumber daya manusia
maupun sistem administrasinya, sehingga lebih meningkatkan kemampuan
dan kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan
pembangunan, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
dan dunia usaha. Hal tersebut telah memberikan dampak yang besar
terhadap keberhasilan pembangunan. Meningkatnya kelancaran dan efisiensi
pelayanan kepada dunia usaha misalnya, bukan saja telah dapat meningkatkan investasi dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan swasta
tetapi juga penerimaan pajak dan dana pembangunan pemerintah;
meningkatnya sarana dan prasarana pelayanan dasar di bidang kesehatan dan
pendidikan telah berhasil meningkatkan angka harapan hidup menjadi 61,5
tahun pada tahun 1990, demikian juga angka partisipasi pendidikan di tiap
jenjang pendidikan. Kinerja-kinerja pembangunan lainnya seperti tingkat
pertumbuhan ekonomi, menurunnya jumlah penduduk yang hidup di bawah
garis kemiskinan, tercapai dan dapat dipertahankannya swasembada pangan
serta berhasilnya penyelenggaraan Keluarga Berencana dan lain-lain,
sebagaimana diuraikan pada Bab-bab terdahulu, tidak lepas dari keberhasilan
dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas aparatur.
Selain langkah-langkah yang ditujukan kepada "inner system" dari
aparatur, ditempuh pula langkah-langkah yang sifatnya diluar kedinasan.
Dalam hubungan ini untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai
Republik Indonesia guna lebih meningkatkan perjuangan, pengabdian, serta
kesetiaannya kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
diupayakan pembentukan wadah pembinaan pegawai di luar kedinasan. Hal
tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Korps Pegawai Republik
Indonesia (KORPRI) berdasarkan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1971
tanggal 29 Nopember 1971.
Adapun yang merupakan tujuan KORPRI antara lain adalah: (1) ikut
XXII/41
TABEL XXII – 5
1)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TELAH DITETAPKAN
SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974
1974/75 – 1992/93
XXII/42
XXII/43
XXII/44
XXII/45
XXII/46
XXII/47
XXII/48
XXII/49
memelihara dan memantapkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) ikut menciptakan aparatur
pemerintah yang lebih berdaya guna dan berhasil guna, bersih, dan
berwibawa serta mampu melaksanakan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan; (3) membina watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan
secara kekeluargaan, mewujudkan kerja sama yang bulat dan jiwa
pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan kemampuan, disiplin, dan
keteladanan para anggota, sehingga makin mampu melayani, menumbuhkan
prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta peka dan
tanggap terhadap pandangan-pandangan dan aspirasi yang hidup dalam
masyarakat, dan mengembangkan rasa kesetiaan kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, KORPRI mempunyai tugas
pokok, sebagai berikut: (1) mensukseskan pelaksanaan program-program
Pemerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 dan
GBHN; (2) membina korps baik terhadap anggotanya masing-masing
maupun terhadap keseluruhan korps, dengan memanfaatkan hubungan
fungsional yang telah ada, sehingga terwujud kesatuan landasan berfikir,
ucapan, dan tindakan; (3) membina dan memelihara mutu serta kesejahteraan
rohani dan jasmani para anggota sehingga menjadi pegawai Republik
Indonesia yang bermoral tinggi, berwibawa, berkemampuan baik, berdaya
guna, dan berhasil guna.
Dalam lima tahun terakhir ini, guna menunjang suksesnya
pelaksanaan panca krida kabinet pembangunan telah dilakukan berbagai
kegiatan disemua tingkat secara berencana dan terarah, dengan antara lain
memberikan penjelasan kepada para anggota, agar setiap anggota KORPRI
memahami dan melaksanakan secara konsisten sesuai dengan tugasnya
masing-masing.
3. Pendayagunaan Bidang Ketatalaksanaan
Ketatalaksanaan akan menentukan efisiensi dan kelancaran
pelaksanaan pekerjaan, saling hubungan dalam dan antar lembaga, serta pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat dan dunia usaha. Sebab itu
sejak sekitar seperempat abad lebih terakhir ini, pendayagunaan
ketatalaksanaan telah dilakukan secara berkesinambungan, baik yang
XXII/50
menyangkut administrasi umum maupun administrasi kebijaksanaan
pembangunan. Upaya tersebut lebih dimantapkan lagi dalam lima tahun
terakhir ini, sejak 1988/89 hingga tahun keempat Repelita V, antara lain
dengan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang lebih maju,
sehingga semakin meningkatkan kemampuan, kelancaran dan efisiensi, baik
dalam aparatur pemerintah sendiri maupun dalam pelayanan aparatur kepada
masyarakat. Hal tersebut telah meningkatkan dinamika, prakarsa dan peran
serta masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial.
a. Administrasi Umum
Untuk meningkatkan kelancaran dan efisiensi pelaksanaan pekerjaan
dan saling hubungan di dalam dan antar lembaga pemerintah, dalam lima
tahun terakhir ini semakin ditingkatkan langkah-langkah penyempurnaan
peraturan, ketentuan dan prosedur di bidang administrasi umum, antara lain
mengenai surat menyurat, pengelolaan keuangan; pengadaan, pemeliharaan
dan inventarisasi barang milik pemerintah; serta sistem pembukuan dan
akuntansi pemerintah. Di samping itu ditingkatkan pula kelancaran dan
efisiensi pelayanan umum kepada masyarakat antara lain mengenai
pencatatan sipil, pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin
Mengemudi (SIM).
Kegiatan pendayagunaan yang dilakukan dalam Repelita I, meliputi
penyempurnaan bidang administrasi keuangan dan administrasi pengadaan
barang pemerintah, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk pelaksanaan
proyek pembangunan, termasuk pelaksanaan inventarisasi kekayaan milik
negara. Dalam Repelita II dan III langkah-langkah tersebut terus
ditingkatkan. Dalam hubungan dengan administrasi keuangan, dalam
Repelita II dilakukan berbagai perbaikan administrasi, perpajakan, demikian
juga di bidang penerimaan bukan pajak.
Sejak Repelita IV pendayagunaan administrasi umum khususnya
dalam rangka pelayanan kepada masyarakat mulai dilakukan penggunaan
teknologi komputer, seperti untuk pembuatan KTP, SIM, STNK, pelaksanaan sistem Catatan Sipil dan sebagainya. Dalam lima tahun terakhir ini,
upaya tersebut semakin ditingkatkan dan diperluas sampai ke daerah-daerah,
yang dipergunakan pula untuk menunjang penyempurnaan peraturan, surat
menyurat, pengelolaan keuangan, pengadaan pemeliharaan serta
XXII/51
inventarisasi barang milik pemerintah, sistem perbukuan dan akuntansi
pemerintah, inventarisasi kekayaan milik negara, dan sebagainya. Selain itu,
telah disempurnakan pula sistem pengelolaan keuangan dengan lebih
memberikan otonomi kepada unit-unit pelayanan masyarakat seperti rumah
sakit, perguruan tinggi, puskesmas dan lembaga-lembaga penelitian.
Selanjutnya dalam rangka pemberian otonomi kepada Unit Pelayanan
Teknis (UPT) maupun Non UPT dalam mengelola manajemen keuangan dan
administrasi telah dikeluarkan Keppres No. 38 Tahun 1991 tentang
Pemantapan Unit Swadana dan Tata Pengelolaannya, yang merupakan
pemberian otonomi kepada UPT maupun non UPT dalam mengelola
manajemen keuangan dan administrasi yang lebih luas. Sejak ditetapkannya
sampai dengan tahun keempat Repelita V telah ditetapkan beberapa unit
swadana antara lain 1 Puslitbang dan 1 Pusat Pengembangan Tenaga Migas
di Departemen Pertambangan dan Energi, 4 rumah sakit di Departemen
Kesehatan, 1 Pusdiklat, 1 Puslahta dan Pemetaan serta 3 Puslitbang di
Departemen Pekerjaan Umum. Selain kelancaran pelayanan kepada
masyarakat semakin meningkat, dengan langkah ini, mobilisasi dana telah
pula dapat ditingkatkan dengan cara yang lebih efisien.
b.
Administrasi Kebijaksanaan Pembangunan
Pendayagunaan administrasi kebijaksanaan pembangunan pada
pokoknya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan memperlancar
pelayanan kepada masyarakat, khususnya dunia usaha. Upaya-upaya tersebut
telah dilakukan secara berkesinambungan sejak Repelita I sampai dengan
tahun keempat Repelita V. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini,
upaya-upaya tersebut lebih ditingkatkan, dan lebih dikenal dengan
langkah-langkah "deregulasi dan debirokratisasi", ditujukan untuk
menghilangkan ekonomi biaya tinggi, meningkatkan daya saing komoditi
ekspor non migas, dan menciptakan iklim yang mendorong masyarakat
untuk meningkatkan prakarsa dan peran sertanya dalam kegiatan
pembangunan baik dalam bidang ekonomi maupun sosial, terutama dalam
kegiatan yang menunjang peningkatan ekspor non migas, seperti penanaman
modal, perdagangan, perhubungan khususnya pelayaran dan telekomunikasi,
serta industri pengolahan. Dalam rangka itu dilakukan pula langkah-langkah
penyempurnaan di bidang perpajakan dan perbankan.
XXII/52
Di bidang penanaman modal, upaya meningkatkan efisiensi dan
memperlancar pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha, sebagaimana
diuraikan pada bab dunia usaha, dalam lima tahun terakhir hingga tahun
keempat Repelita V lebih ditingkatkan dengan penyempurnaan berbagai
peraturan pelaksanaan Undang-undang PMA dan PMDN (UU No. 1 Tahun
1967 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo No. 12 Tahun 1970). Untuk
meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian
penanaman modal, telah dibentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal
berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 1973 sebagai satu pusat pelayanan
kegiatan penanaman modal menggantikan Panitia Teknis Penanaman Modal
yang dibentuk dengan Keppres No. 286 Tahun 1968. Kedudukan, tugas,
fungsi dan susunan organisasi BKPM ini terus disempurnakan, terakhir
dengan Keppres No. 25 Tahun 1991. Dengan Inpres No. 5 Tahun 1984
telah dilakukan penyederhanaan prosedur perizinan penanaman modal yang
harus dipenuhi para calon investor sebelumnya berjumlah 36 buah,
disederhanakan menjadi 15 buah, dan pada bulan April 1985 disederhanakan
lagi menjadi 14 buah. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Paket 6 Mei 1986
kesempatan untuk memperluas penanaman modal dan perpanjangan izin
PMA makin terbuka, dan jangka waktu izin perusahaan PMA yang semula
dibatasi hanya sampai 30 tahun sejak berproduksi, dapat diperpanjang
30 tahun lagi sejak tambahan investasinya disetujui pemerintah.
Selain penyederhanaan prosedur perizinan, dalam rangka upaya
meningkatkan penanaman modal tersebut juga telah ditempuh langkah
penetapan Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan Keppres No. 21 Tahun
1989 dan diperbaharui dengan Keppres No. 23 Tahun 1991 dan terakhir
disempurnakan dengan Keppres No. 32 Tahun 1992, sebagai pengganti DSP
yang telah berlaku pada tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu telah
diterbitkan Paket 3 Juni 1991 sebagai penyempurnaan Paket 28 Mei 1990
yang berisi antara lain peninjauan kembali daftar bidang usaha yang tertutup
bagi penanaman modal, dan penyederhanaan terhadap bea masuk dan bea
masuk tambahan. Dengan penyederhanaan ini maka proses perizinan
penanaman modal lebih cepat sehingga dapat mendorong dan meningkatkan
jumlah investasi, baik melalui PMA maupun PMDN.
Usaha peningkatan ekspor non migas, juga dilakukan melalui
penyederhanaan berbagai prosedur pelaksanaan ekspor dan impor, antara
lain melalui p enetapan Inp res No . 4 Tahun 19 85, yang antara lain
XXII/53
menetapkan: (a) pengurangan dan penghapusan biaya kepelabuhanan,
(b) penyederhanaan prosedur kepabeanan, dan (c) perubahan peranan bea
cukai. Langkah-langkah tersebut secara operasional meliputi antara lain,
pemeriksaan barang yang semula dilakukan oleh Bea Cukai di pelabuhan
ekspor diganti oleh Surveyor swasta (SGS) maupun Sucofindo yang ditunjuk
Pemerintah di negara tujuan ekspor; pengurusan dokumen ditempatkan
dalam satu atap dan dapat diselesaikan dalam beberapa jam; barang dapat
segera naik ke kapal untuk dikirim tanpa harus digudangkan lebih dulu.
Sedangkan dalam hal impor, pemeriksaan barang dilakukan di tempat muat
barang. Selain itu ketentuan AVI (Pemberitahuan Muat Barang Antar Pulau)
ditiadakan di seluruh Indonesia. Langkah tersebut telah dapat memper lancar
dan meningkatkan kegiatan perdagangan luar negeri maupun perdagangan
antar pulau.
Dalam kegiatan produksi dan perdagangan hasil industri telah
dikeluarkan Paket 15 Januari 1987 (Pakjan) yang mencakup industri tekstil,
besi, baja, dan mesin listrik serta kendaraan bermotor. Pelaksanaan Pakjan
ini dituangkan dalam SK Menteri Keuangan No. 20/KMK.05/ 1987 berisikan
pembebasan atau keringanan bea masuk, dan No. 23/KMK.05/1987
memuat penyempurnaan klasifikasi barang dalam pos tarif tertentu, dan
SK Menteri Perdagangan No. 09/KP/I/ 1987 mengenai penyempurnaan
ketentuan tata niaga di bidang impor. Sementara itu dalam hubungannya
dengan tata niaga ekspor-impor berbagai komoditi pertanian dan industri,
serta tarif bea masuk dan bea masuk tambahan komoditi-komoditi pertanian,
obat-obatan dan sejumlah komoditi industri manufaktur telah diterbitkan
Paket 28 Mei 1990 meliputi langkah-langkah penghapusan tata niaga
komoditi ekspor, sehingga barang-barang dapat langsung diekspor oleh
eksportir umum yang telah mempunyai SIUP. Di samping itu juga diadakan
penyempurnaan mengenai mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan,
serta tata niaga impor atas sejumlah bahan baku/penolong yang sudah dapat
diproduksi di dalam negeri.
Langkah kebijaksanaan deregulasi terakhir dalam lima tahun ini
adalah Paket 7 Juli 1992 (Pakjul), mencakup: (1) tata niaga impor, (2) bea
masuk dan bea masuk tambahan, (3) barang modal bekas, (4) tenaga kerja
asing, (5) daftar negatif investasi, (6) Hak Guna Usaha untuk penanaman
modal asing dan patungan, (7) tata cara penanaman modal, (8) site
plan, IMB, Izin Undang-undang Gangguan (UUG) di kawasan industri,
XXII/54
(9) Pelayanan site plan, IMB, dan izin UUG di luar kawasan industri ,
(10) Pengurusan izin lokasi dan perolehan tanah.
Dengan berbagai langkah deregulasi dan debirokratisasi di berbagai
bidang tersebut, arus penanaman modal terus meningkat dalam lima tahun
terakhir ini, sedangkan perkembangan ekspor non migas, sebagaimana telah
diuraikan dalam Bab Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri,
menunjukkan hasil-hasil yang lebih cepat dan lebih besar lagi. Dalam dasa
warsa terakhir ini ekspor Indonesia tidak lagi didominasi komoditi migas,
sejak 1987/88 peranan ekspor non migas telah berada di atas ekspor migas.
Selain itu, mulai Agustus tahun keempat Repelita V ekspor non migas
Indonesia telah berhasil untuk pertama kalinya dalam sejarah perdagangan
luar negeri kita mencapai nilai di atas 2 miliar USD per bulan.
Dalam pada itu, untuk mendorong bank-bank mengoptimalkan
pengerahan dana masyarakat dan mengurangi ketergantungannya pada kredit
likuiditas Bank Indonesia, maka telah dikeluarkan Paket 1 Juni 1983 yang
antara lain berisi penghapusan sistem penetapan pagu kredit perbankan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, Bank Indonesia mengatur j umlah uang
beredar melalui penetapan target uang primer, melalui penetapan pagu
likuiditas minimum, penyediaan fasilitas diskonto dan kebijaksanaan pasar
terbuka yang dilakukan dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU); serta kebebasan untuk
menetapkan suku bunga deposito berjangka, kecuali untuk deposito 24 bulan
yang suku bunganya ditetapkan 12% setahun, sebelumnya suku bunga
deposito berjangka bank-bank pemerintah tidak mengalami perubahan yaitu
sekitar 5%-6% setahun. Selain itu, kepada penabung diberikan fasilitas
perpanjangan secara otomatis terhadap deposito yang telah jatuh tempo serta
fasilitas berupa deposito atas nama dan atas unjuk.
Dalam rangka lebih menggalakkan pengerahan dana masyarakat,
meningkatkan efisiensi perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya,
serta meningkatkan kemampuan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan
moneter dan mendorong iklim pengembangan pasar modal, diterbitkan Paket
24 Desember 1987 (Pakdes) dan Paket 27 Oktober 1988 (Pakto) yang pada
dasarnya berisi langkah-langkah penyederhanaan prosedur pembukaan
kantor bank, pemberian izin pembukaan kantor cabang lembaga keuangan
bukan bank di luar Jakarta, kemudahan dalam pendirian bank swasta baru
XXII/55
dan bank perkreditan rakyat, penurunan likuiditas wajib minimum serta
penyempurnaan sistem operasi pasar terbuka.
Kemudian, ditetapkan pula Paket 21 Nopember 1988 (Paknop) dan
Paket 20 Desember 1988 (Pakdes). yang bertujuan antara lain, meningkatkan
peran serta dan kemampuan pelayaran nasional serta meningkatkan pelayanannya kepada produsen dan masyarakat umum, dan meningkatkan
pengerahan dana masyarakat melalui penyempurnaan iklim pengembangan
pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Selanjutnya dikeluarkan
Paket 25 Maret 1989 yang berisi perubahan peraturan tentang peleburan
usaha dan penggabungan usaha bank, penyempurnaan ketentuan pendirian
dan usaha BPR, pemilikan modal bank campuran, penjelasan mengenai
kredit ekspor dan modal sendiri serta penjelasan tentang batas maksimum
pemberian kredit. Beberapa paket lain dibidang perbankan adalah Paket 29
April 1989, Paket 5 Oktober 1989 mengenai ketentuan jual beli valuta
asing; Paket 29 Januari 1990 pengurangan ketergantungan bank dan lembaga
keuangan secara bertahap pada peranan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) yang dimaksudkan untuk mengendalikan salah satu sumber inflasi;
dan Paket 28 Pebruari 1991 mengatur mengenai penyempurnaan atas
ketentuan pengawasan dan pembinaan bank, termasuk penyempurnaan atas
ketentuan di bidang perkreditan.
Hasil-hasil positif yang telah dicapai dengan langkah-langkah
tersebut di atas, antara lain adalah (1) dana perbankan, terutama deposito
berjangka telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Dengan
terjadinya perubahan suku bunga dan kemudahan yang ditawarkan tersebut,
maka bank-bank dapat menjaring lebih banyak dana dari masyarakat
sehingga ketergantungan bank-bank kepada kredit likuiditas Bank Indonesia
menjadi berkurang, (2) mekanisme pasar uang mulai berkembang ke arah
yang lebih baik sehingga suku bunga lebih mencerminkan perkembangan
dan keadaan pasar, serta fragmentasi pasar menjadi berkurang, (3) dengan
adanya persaingan dalam investasi perbankan terdapat indikasi bahwa bank bank lebih berusaha untuk meningkatkan efisiensi kerjanya.
Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak, sistem dan
administrasi perpajakan yang telah disempurnakan melalui UU No. 6, 7
dan 8 Tahun 1983, antara lain berisikan penyesuaian tarif pajak,
penyederhanaan formulir dan kebebasan penghitungan kepada wajib pajak,
XXII/56
bukan saja dalam rangka pajak pertambahan nilai (PPN) tetapi juga pajak
penghasilan (PPh), terus didayagunakan pelaksanaannya. Langkah-langkah
pendayagunaan aparatur perpajakan tersebut telah berhasil meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam lima terakhir ini penerimaan pajak
meningkat berturut-turut dari 1988189 sampai dengan 1992/93
masing-masing sebesar Rp 8.454,7 miliar, Rp 11.324,4 miliar, Rp 14.218,0
miliar, Rp 18.506,5 miliar dan Rp 21.962,2 miliar.
Sistem perpajakan yang penting dan langsung dipungut serta
selanjutnya dapat dipergunakan oleh Pemerintah Daerah telah diterbitkan
dalam tahun 1985 berupa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan berikut peraturan pelaksanaannya berupa PP No. 6 Tahun 1985
dan PP No. 47 Tahun 1985. Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
sebagian besar (81 %) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Perubahan
ini telah membuahkan hasil positif berupa kenaikan yang sangat berarti
dalam penerimaan PBB, apabila dalam tahun 1987/88 baru mencapai Rp
275,1 miliar, dalam tahun 1991/92 telah mencapai Rp 874,6 miliar dan
dalam tahun 1992/93 direncanakan sebesar Rp 990,6 miliar.
4.
Sistem Perencanaan, Pelaksanaan,
Pengendalian Proyek Pembangunan
Pemantauan
dan
Sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian mempunyai peran
penting dalam manajemen pembangunan nasional, dan akan menentukan
keberhasilan pembangunan nasional secara keseluruhan. Sebab itu, sejak
tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V,
pendayagunaan sistem perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
pengendalian
proyek
pembangunan
telah
dilaksanakan
secara
berkesinambungan, dan dalam lima tahun terakhir ini makin ditingkatkan.
Langkah-langkah perbaikan meliputi bidang administrasi perencanaan dan
penganggaran, administrasi pelaksanaan dan pembiayaan, dan administrasi
pemantauan serta pengendalian pelaksanaan. Bidang-bidang tersebut di atas,
diatur dalam suatu Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN. Hingga tahun keempat Repelita V telah ditetapkan
13 buah Keppres, yaitu Keppres No. 33/1969, Keppres No. 24/1970,
Keppres No. 14/1971, Keppres No. 28/1972, , Keppres No. 11/1973,
Keppres No. 17/1974, Keppres No. 7/1975, Keppres No. 14/1976, Keppres
No. 12/1977, Keppres No. 14/1979, Keppres No . 14A/1980, dan Keppres
XXII/57
No. 18/1981. Pelaksanaan APBN dalam lima tahun terakhir ini dilakukan
dengan Keppres 29/1984.
Dengan langkah-langkah pendayagunaan tersebut, maka kemampuan
sistem perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semakin
meningkat. Hal ini ditunjukan dengan terselesaikannya secara efektif penyu sunan rencana dan pelaksanaan pembangunan, sekalipun jumlah dan jenis
proyek serta volume anggaran terus meningkat. Apabila dalam Repelita I
jumlah anggaran pembangunan rupiah murni dan bantuan proyek hanya
Rp 1.163,9 miliar dalam Repelita II, Repelita III, Repelita IV, dan Repe lita V hingga tahun keempat masing-masing mencapai Rp 8.339 miliar,
Rp 32.811 miliar, Rp 46.056,5 miliar, Rp 72,264,6 miliar. Sedangkan
jumlah DIP yang dalam Repelita I hanya 11.806, dalam Repelita II, Repe lita III, Repelita IV, dan Repelita V hingga tahun keempat mencapai jumlah
masing-masing 15.986 DIP, 25.286 DIP, 21.306 DIP, dan 15.507 DIP.
Menurunnya jumlah DIP dalam kurun waktu sekitar lima tahun terakhir,
padahal anggarannya meningkat, menunjukkan meningkatnya kemampuan
dan efisiensi perencanaan dan pengelolaan anggaran.
a.
Administrasi Perencanaan dan Penganggaran
Dalam sistem perencanaan pembangunan kita, setiap Repelita
dijabarkan lebih jauh dalam rencana operasional tahunan yang terdiri dari
sektor, sub sektor, program-program dan dituangkan dalam RAPBN.
Selanjutnya program-program pembangunan tersebut dijabarkan dalam
berbagai proyek-proyek pembangunan yang dituangkan dalam Daftar Usulan
Proyek (DUP) ataupun Daftar Isian Proyek (DIP) yang pada pokoknya
memuat sasaran, pokok-pokok kegiatan, volume pekerjaan dan pembiayaan
proyek yang diperlukan dalam satu tahun anggaran, serta lokasi proyek.
Usulan proyek tersebut dibuat dan diajukan oleh Departemen/Lembaga
kepada Bappenas dan Departemen Keuangan sesuai sektor/sub sektor yang
menjadi tanggung jawab masing-masing, dengan memperhatikan permasalahan dan kebutuhan daerah melalui instansi vertikalnya
masing-masing. Dalam upaya untuk lebih menampung aspirasi daerah dalam
proses perencanaan dan penganggaran, sejak tahun pertama Repelita I telah
diselenggarakan Forum Konsultasi Nasional yang dikoordinasikan oleh
Bappenas dan Departemen Dalam negeri. Forum konsultasi tersebut
didahului oleh musyawarah-musyawarah pembangunan daerah pada tingkat
XXII/58
Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Konsultasi Regional antar
Propinsi dengan mengikutsertakan bukan saja unsur aparatur daerah, tetapi
juga unsur aparatur pusat di daerah. Dengan demikian sistem perencanaan
pembangunan kita telah memadukan sistem dan proses perencanaan dari
bawah dan dari atas, sehingga diperoleh informasi yang lebih tepat mengenai
aspirasi daerah dan dicapai keputusan-keputusan yang lebih optimum.
Untuk lebih memperlancar proses perencanaan dan pengendalian
format DIP terus disempurnakan sehingga lebih ringkas dan jelas. Sejak
Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita III, DIP terdiri dari
6 halaman/bagian. Kemudian, sejak tahun kedua Repelita III format DIP
lebih disederhanakan yaitu menjadi 3 halaman/bagian; dan terakhir pada
tahun keempat Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V DIP
hanya terdiri 2 halaman/bagian.
Sejak tahun kedua Repelita III hingga kurun waktu lima tahun
terakhir ini, untuk memperjelas sasaran dan kegiatan yang harus dilakukan
DIP dilampiri dengan Petunjuk Operasional (PO) dan Lembaran Kerja (LK).
PO merupakan bagian tidak terpisahkan dari DIP dan diterbitkan oleh
Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departemen/Lembaga. Isinya
berupa petunjuk pelaksanaan yang harus ditaati oleh Pemimpin Proyek.
Sedangkan LK merupakan dokumen pembantu dari DIP yang berisikan
uraian rinci mengenai pembiayaan proyek. Selain itu PO dan LK tersebut
dipergunakan pula sebagai dasar penilaian dan pemberian persetujuan oleh
Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran atas DUP/DIP yang diajukan
oleh Departemen/Lembaga. Untuk dapat melakukan penilaian tersebut, sejak
Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V disusun pula satuan
harga oleh Bappenas dan Departemen Keuangan berdasarkan perkembangan
keadaan ekonomi dan masukan-masukan dari berbagai lembaga pemerintah
maupun swasta. Untuk satuan harga konstruksi bangunan, digunakan pula
pedoman dari Departemen Pekerjaan Umum.
Di samping DUP/DIP, PO dan LK terdapat pula ketentuan tentang
Surat Keputusan Otorisasi (SKO) sebagai dasar untuk dapat mengeluarkan
dana atas beban APBN dan ketentuan penggunaan Sisa Anggaran
Pembangunan (SIAP). Sejak Repelita I sampai dengan akhir Repelita II,
SKO diterbitkan oleh Departemen/Lembaga berdasarkan DIP yang telah
disahkan oleh Departemen Keuangan dan Bappenas. Pada awal Repelita III,
XXII/59
DIP diberlakukan pula sebagai SKO tetapi hanya untuk proyek-proyek yang
tidak mendapat bantuan luar negeri. Kemudian, sejak tahun kedua Repelita III
sampai dengan tahun keempat Repelita V seluruh DIP termasuk untuk proyekproyek yang mendapat bantuan luar negeri berlaku sebagai SKO.
Penggunaan SIAP dimaksudkan agar dana yang belum terpakai pada
tahun anggaran sebelumnya dapat , digunakan untuk menyelesaikan proyek
yang bersangkutan pada tahun anggaran berikutnya. Ketentuan mengenai
SIAP ini mulai diberlakukan pada tahun kedua Repelita I. Sejak tahun ini
sampai dengan tahun ketiga Repelita III, SIAP dapat digunakan tetapi tanpa
penjelasan mengenai pembatasan waktu (tahun anggaran) penggunaannya.
Sejak tahun keempat Repelita I ketentuan-ketentuan tentang SIAP diperjelas
dengan adanya SIAP " mati" yaitu SIAP yang memang tidak akan digunakan
lagi untuk maksud yang direncanakan. Perkembangan yang penting
mengenai SIAP ini antara lain sisa uang untuk dipertanggungjawabkan
(UUDP) tidak lagi diperhitungkan.
Sejak tahun keempat Repelita III sampai dengan tahun kelima
Repelita IV, ketentuan mengenai SIAP yang dapat digunakan kembali untuk
tahun anggaran berikutnya dibatasi selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun
anggaran berturut-turut. Sejak tahun pertama sampai dengan tahun kedua
Repelita IV, ketentuan tersebut diubah lagi menjadi 2 (dua) tahun.
Selanjutnya, akibat timbulnya SIAP yang terus meningkat, maka sejak tahun
ketiga Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V, penggunaan
SIAP Rupiah Murni tidak diperkenankan lagi.
Untuk proyek-proyek yang memerlukan dana luar negeri baik berupa
hibah maupun pinjaman, Departemen/lembaga menyampaikan usulan proyek
tersebut yang disertai studi kelayakan kepada Bappenas, kemudian dievaluasi
dan hasilnya dikumpulkan dalam suatu dokumen yang disebut "Buku Biru"
(Blue Book). Buku Biru ini terdiri atas daftar usulan bantuan teknik (List of
Technical Assistance Proposal) dan daftar usulan bantuan proyek (List of
Project Proposal). Buku Biru merupakan salah satu dokumen yang
disampaikan Pemerintah Indonesia kepada negara/Lembaga keuangan badan
internasional pada pertemuan IGGI (Inter Governmental Group on
Indonesia) untuk memperoleh dana hibah dan pinjaman lunak yang
diperlukan bagi pembiayaan pembangunan. Pertemuan IGGI diseleng -
XXII/60
garakan sejak tahun 1967 sampai dengan 1991 diketuai oleh Pemerintah
Belanda, kemudian pada tahun 1992 IGGI dibubarkan dan diganti dengan
Consultative Group for Indonesia (CGI) diketuai oleh Bank Dunia.
b. Administrasi Pelaksanaan dan Pembiayaan
Pendayagunaan administrasi pelaksanaan dan pembiayaan bertujuan
antara lain untuk meningkatkan mutu, ketertiban dan kelancaran pengadaan
barang dan jasa pemerintah termasuk pengambilan keputusan pemenang
lelang; penentuan lokasi lelang; perubahan dan pergeseran (revisi ) anggaran
proyek; dan penatausahaan dana luar negeri. Kesemuanya itu diarahkan
untuk meningkatkan kelancaran dan efisiensi pelaksanaan pembangunan
dengan pengendalian anggaran serta pertanggungjawaban keuangan yang
mantap.
(1)
Pengadaan Barang dan Jasa
Untuk lebih meningkatkan efisiensi dan kelancaran pengadaan barang
dan jasa yang diperlukan pemerintah, telah dilakukan beberapa kali
penyempurnaan mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan
mekanisme pengadaan barang dan jasa. Penyempurnaan sistem dan
mekanisme tersebut meliputi antara lain penyesuaian tata cara dan nilai
pekerjaan pembelian/pemborongan dan pembayarannya, serta penetapan
pemenang lelang dan lokasi atau tempat pelelangan dilakukan.
Pada dasarnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat dilakukan melalui
pengadaan langsung, lelang umum atau lelang terbatas. Sejak Repelita I
sampai dengan tahun keempat Repelita V, sejalan dengan tingkat
perkembangan pembangunan telah dilakukan penyesuaian besarnya nilai
minimum pelaksanaan pembelian barang/pemborongan pekerjaan yang
memerlukan Surat Perjanjian/Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK).
Dalam hubungan ini telah dilakukan penyesuaian nilai minimum pelaksanaan
pemborongan pekerjaan yaitu dari Rp 500.000,- pada tahun pertama
Repelita I menjadi Rp 5 juta pada akhir Repelita II. Dalam periode tersebut
ketentuan untuk menggunakan SPK dalam pelaksanaan pekerjaan
pembangunan belum ditetapkan; yang ditetapkan adalah penggunaan Surat
Perjanjian/Kontrak. Selanjutnya, dalam Repelita III ketentuan -ketentuan
XXII/61
mengenai pengadaan barang dan jasa kembali disempurnakan. Dalam hal
ini, perjanjian pelaksanaan pemborongan pekerjaan tidak saja dilakukan
dengan Surat Perjanjian/Kontrak tetapi juga dengan SPK. Pada tahun
pertama Repelita III semula SPK atau Surat Perjanjian/Kontrak dapat
digunakan untuk pengadaan yang bernilai Rp 1 juta sampai dengan Rp 10
juta, kemudian sejak tahun kedua Repelita III diubah menjadi Rp 3 juta
sampai dengan Rp 20 juta. Sedangkan Surat Perjanjian/Kontrak digunakan
hanya untuk pekerjaan pemborongan yang pada tahun pertama Repelita III
semula bernilai di atas Rp 10 juta kemudian diubah menjadi di atas Rp 20
juta dan berlaku sejak akhir Repelita III hingga sekarang. Di samping itu,
sejak awal Repelita III ditetapkan pula ketentuan pelaksanaan lelang
berdasarkan lokasi dan mengutamakan rekanan golongan ekonomi lemah
setempat, di samping mengutamakan hasil produksi/rekanan dalam negeri
yang sudah ditekankan Pemerintah sejak tahun kedua Repelita II.
Dalam Repelita IV ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah lebih disempurnakan lagi dengan ditetapkannya Keppres 29/1984
yang meliputi antara lain: (1) kejelasan dan ketertiban pengaturan terutama
mengenai sistem dan persyaratan pelelangan; (2) menekankan pemerataan
khususnya kepada perusahaan golongan ekonomi lemah; (3) menekankan
hasil produksi dalam negeri ataupun barang impor yang memuat komponen
lokal paling besar; (4) meningkatkan pengendalian pengadaan secara lebih
efisien dan efektif; dan (5) lebih meningkatkan usaha pembauran dengan
meniadakan istilah pribumi dan non pribumi di bidang kegiatan ekonomi.
Adapun penyempurnaan tata Cara dan penyesuaian nilai yang
dituangkan dalam Keppres No. 29 Tahun 1984 tersebut meliputi pelaksanaan
pemborongan/pembelian yang berjumlah: (1) sampai dengan Rp 1 juta
dilakukan secara pengadaan langsung oleh Kantor, Satuan Kerja, atau
proyek di antara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah; (2) di atas
Rp 1 juta sampai dengan Rp 5 juta dilakukan secara pengadaan langsung
dengan SPK dari satu penawar atau lebih di antara pemborong/rekanan
golongan ekonomi lemah; (3) di atas Rp 5 juta sampai dengan Rp 20 juta
dilakukan berdasarkan penunjukan langsung dengan SPK atau Surat
Perjanjian/Kontrak, di antara sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar golongan
ekonomi lemah yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM); (4)
pelaksanaan pemborongan/pembelian yang berjumlah di atas Rp 20 juta
dilaksanakan dengan Surat Perjanjian/Kontrak berdasarkan pelelangan umum
atau pelelangan terbatas.
XXII/62
Menurut lokasi, tempat pelaksanaan pelelangan dapat dipilih menurut
lokasi kantor, satuan kerja, Ibu kota Kabupaten/Kotamadya, atau Ibu kota
Propinsi bersangkutan dengan mempertimbangkan tingkat efisiensi
pengambilan keputusan dan besarnya nilai pengadaan barang dan jasa yang
diperlukan sesuai Keppres No. 10/1980. Sementara itu, usaha untuk
memecah pemborongan/pembelian menjadi beberapa bagian yang
masing-masing di bawah Rp 500 juta tidak diperkenankan.
Adapun pejabat yang berwenang mengambil keputusan mengenai
penetapan pemenang pelelangan adalah: (1) Kepala Kantor, Satuan Kerja,
atau Pemimpin Proyek untuk pelelangan yang bernilai sampai dengan
Rp 100 juta sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Tim Pengendali
Departemen/Lembaga ditetapkan oleh Kepala Kantor; (2) Tim Pengendali
Pengadaan Departemen/Lembaga untuk pelelangan yang bernilai di atas
Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta; (3) Tim Pengendali Pengadaan
Barang/Peralatan Pemerintah (TPPBPP) untuk pelelangan yang bernilai di
atas Rp 500 juta.
Sedangkan untuk pemborongan/pembelian barang dan jasa yang
dilakukan melalui cara penunjukan langsung dengan nilai di atas Rp 20 juta
sampai dengan Rp 200 juta, dan pelelangan dengan nilai di atas Rp 100 juta
sampai dengan Rp 500 juta, penyelenggaraannya dikendalikan dan
dikoordinasikan oleh Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Peme rintah di Departemen/Lembaga, sesuai dengan Keppres No. 30/1984 tanggal
21 April 1984.
Dalam lima tahun terakhir ini, sejak tahun 1988/89 hingga tahun
keempat Repelita V, sekalipun pengaturan pengadaan barang dan jasa
pemerintah pada prinsipnya masih menggunakan Keppres 29/1984, tetapi
mekanismenya secara teknis lebih disempurnakan melalui Keppres No.
6/1988 yang menghapus tentang TPPBPP dan Inpres No. 1/1988, sehingga
terjadi desentralisasi wewenang pengambilan keputusan mengenai penetapan
pemenang lelang lebih ditingkatkan lagi yaitu: (1) Kepala Kantor, Satu an
Kerja, atau Pimpro untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp 500
juta; (2) Dirjen atau Pejabat setingkat, untuk pengadaan yang bernilai
Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 miliar; (3) Menteri/Pimpinan LPND atau
setingkat, untuk pengadaan yang bernilai di atas Rp 1 miliar sampai dengan
Rp 3 miliar; dan (4) Menteri/Pimpinan LPND setelah
XXII/63
mendapat persetujuan dari Menko Ekuin dan Wasbang untuk yang bernilai
di atas Rp 3 miliar. Pada tahun keempat Repelita V (1992/93), berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan No. 647/KMK.03/1992, pemberian uang
muka untuk pekerjaan borongan khususnya yang dilakukan oleh
kontraktor/rekanan golongan ekonomi lemah yang semula 20% ditingkatkan
10% sehingga menjadi setinggi-tingginya 30%.
(2)
Administrasi Pembayaran dan Penerimaan
Seiring dengan penyempurnaan sistem pengadaan barang dan jasa
tersebut di atas, dilakukan pula penyempurnaan administrasi
pembayarannya. Untuk administrasi pembayaran beban tetap baik untuk
anggaran rutin maupun pembangunan, sejak Repelita I, telah dilakukan
penyempurnaan yaitu Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk
pembayaran beban tetap semula tidak ditentukan waktunya, kemudian
disempurnakan dengan harus diajukan selambat-lambatnya 6 (enam) hari
kerja setelah diterima tagihan dari pihak penagih. Ketentuan ini tidak
mengalami perubahan sampai dengan tahun keempat Repelita V. Di samping
itu, untuk pembayaran beban tetap dalam pelaksanaan pekerjaan
pemborongan oleh pihak ketiga dan pembelian barang serta bahan-bahan
untuk pekerjaan swakelola (eigeen beheer) yang semula nilainya di atas Rp 1
juta pada Repelita I ditingkatkan menjadi di atas Rp 3 juta pada Repelita II;
selanjutnya ditingkatkan menjadi Rp 5 juta sejak Repelita III sampai dengan
tahun keempat Repelita V. Sedangkan tata cara pengajuan SPPR/SPPP untuk
pembayaran beban sementara selama Repelita I belum ada ketentuannya.
Tata cara tersebut baru ditentukan dalam Repelita II yaitu sebesar Rp 2 juta
untuk setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan, kemudian sejak Repelita III sampai
dengan tahun keempat Repelita V naik menjadi Rp 5 juta untuk keperluan
setinggi-tingginya 3 bulan.
Berkaitan dengan pengajuan SPPR/SPPP baik untuk pembayaran
beban tetap maupun sementara, KPN dapat mengajukan penolakan secara
tertulis. Dalam Repelita I, ketentuan penolakan tersebut tidak diatur,
sedangkan dalam Repelita II diatur sebagai berikut; untuk anggaran rutin
ditentukan waktunya yaitu 6 (enam) hari setelah diterimanya SPPR, dan
3 (tiga) hari untuk anggaran pembangunan. Kemudian, sejak Repelita III
sampai dengan tahun keempat Repelita V disempurnakan menjadi 3 (tiga)
hari untuk anggaran rutin dan 2 (dua) hari untuk anggaran pembangunan.
XXII/64
Dalam hal KPN menyetujui SPPR/SPPP tersebut, maka KPN dapat
menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Selama Repelita I sampai
dengan Repelita II, ketentuan mengenai waktu penerbitan SPM tersebut
dipersingkat dari 8 (delapan) hari pada awal Repelita I menjadi 3 (tiga) hari.
Kemudian, sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V
dipersingkat menjadi 2 (dua) hari.
Selanjutnya, sejak Repelita I telah dilakukan upaya peningkatan
penerimaan negara melalui mekanisme pemungutan pajak dengan cara
Memungut Pajak Orang lain (MPO) yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Bendaharawan Departemen, Lembaga, Satuan Kerja dan BUMN. Hasil
penerimaan MPO dan pajak lainnya tersebut wajib disetorkan sebulan sekali
oleh Bendaharawan. Dalam hubungan ini, tidak diperkenankan melakukan
pemecahan pembelian barang/jasa yang merupakan satu kesatuan ke dalam
beberapa bagian dengan maksud untuk menghindari batas pengenaan MPO
dan pajak lainnya. Kemudian, sejak Repelita IV sampai dengan tahun
keempat Repelita V ketentuan waktu penyetoran diubah menjadi
sekurang-kurangnya sekali seminggu. Penyetoran penerimaan pajak tersebut
dapat dilakukan melalui KPN atau Bank Indonesia.
(3) Perubahan dan Pergeseran (Revisi) Anggaran Proyek
Untuk
lebih
mendayagunakan
pelaksanaan
proyek-proyek
pembangunan, Pemerintah terus melakukan penyempurnaan tata cara atau
prosedur perubahan/pergeseran anggaran (revisi) dalam Daftar Isian Proyek
(DIP). Sejak tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita I, revisi
kegiatan anggaran antar subproyek maupun antar proyek dalam satu sektor
tidak diperkenankan, kecuali atas persetujuan Ketua Bappenas dan Menteri
Keuangan. Untuk itu perlu diajukan DIP baru. Kemudian, pada akhir
Repelita I, usulan revisi DIP tidak lagi dengan mengajukan DIP baru, tetapi
cukup dengan mengajukan revisi anggaran DIP melalui surat yang berisi
perubahan DIP yang sudah ada. Sedangkan wewenang untuk menyetujui
revisi tersebut tetap berada pada Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas.
Dalam Repelita II, pengajuan revisi DIP melalui surat dan tanpa
mengajukan DIP baru tetap berlaku. Sedangkan sejak awal Repelita II,
Pejabat yang berwenang menilai dan mengambil keputusan atas usulan revisi
yang semula menjadi wewenang Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas
XXII/65
kemudian didelegasikan kepada Kepala Kantor KBN dan Menteri/Ketua
Lembaga yang bersangkutan sesuai dengan lingkup permasalahannya yaitu,
pertama, Kepala Kantor Bendahara Negara (KBN) untuk: (a) revisi antar
bagian proyek dengan ketentuan bahwa revisi tersebut tidak boleh
melampaui batas biaya dalam kolom pengeluaran; dan (b) revisi yang dise babkan kesalahan administratif, kecuali kesalahan angka misalnya kesalahan
penjumlahan atau perkalian. Mengenai butir (b) ini, terjadi perubahan lagi
sejak tahun kedua Repelita II yaitu kesalahan angka dianggap juga sebagai
kesalahan administratif, sehingga wewenang untuk mengambil keputusan
atas usulan revisi yang disebabkan kesalahan ini menjadi wewenang Kepala
KBN dan bukan lagi wewenang Menteri/Ketua Lembaga. Kedua,
Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan untuk revisi antar jenis
pengeluaran dengan ketentuan tidak boleh mengakibatkan: (a) penamb ahan
jumlah biaya untuk gaji dan honorarium, luas gedung yang akan dibangun,
jumlah dan type kendaraan yang akan dibeli; (b) pengurangan dana
yang disediakan untuk keperluan biaya Bea Masuk dan Pajak-pajak,
kecuali apabila biaya-biaya tersebut telah nyata-nyata dilunasi; maupun (c)
perubahan akibat kesalahan angka misalnya penjumlahan atau perkalian.
Wewenang untuk memberikan persetujuan revisi tersebut di atas,
tidak termasuk: (1) revisi anggaran yang mengakibatkan perubahan target
tahunan yang tercantum dalam DIP dan atau batas biaya yang
dilampaui; (2) dalam hal target tahunan tidak jelas diuraikan dalam DIP
karena antara lain tidak dapat diukur/dihitung; (3) pengunaan dana menurut
catatan dalam DIP penggunaannya memerlukan izin tersendiri dari Menkeu
dan Meneg Ekuin/Ketua Bappenas; (4) revisi anggaran yang menimbulkan
bagian proyek/kegiatan baru yang semula tidak tercantum dalam DIP.
Pada awal Repelita III dengan Keppres 14/1979, prosedur revisi DIP
disempurnakan kembali yaitu dengan lebih memperjelas bates anggaran yang
direvisi serta pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan atas
usulan revisi DIP kepada Pejabat yang terkait. Dalam hubungan ini, Pejabat
yang berwenang untuk menyetujui revisi lebih diperluas dengan mel ibatkan
Pimpro yang bersangkutan, Sekjen Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta
Panitera Mahkamah Agung di samping Kepala Kantor KBN dan
Menteri/Ketua Lembaga.
Selama Repelita IV, tata cara dan mekanisme revisi anggaran DIP
XXII/66
tetap sama dengan yang ditetapkan dalam Repelita III kecuali untuk
perubahan/pergeseran anggaran dalam DIP yang mempunyai pagu sampai
dengan Rp 100.000.000,- untuk proyek-proyek fisik yang berdiri sendiri
dan dengan target yang dapat diukur. Sebagaimana diatur dalam Keppres
29/1984 usulan revisi diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen Anggaran,
Kepala Kanwil Departemen/Lembaga yang bersangkutan dan Ketua Bappeda
sepanjang tidak menyangkut DIP yang mendapat bantuan proyek atau tidak
akan berakibat pada: perubahan/pergantian target, penambahan anggaran
DIP, penambahan anggaran untuk gaji/upah, honorarium dan perjalanan
dinas, pencairan dana yang menurut catatan DIP harus mendapat persetujuan
dari Menteri Keuangan atau Pejabat yang ditetapkan dalam DIP tersebut,
serta kenaikan standar/norma/tarif menurut peraturan yang berlaku. Sejak
tahun keempat Repelita V, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
No.840JKMK.03/1992 tanggal 29 Juli 1992, ketentuan mengenai pagu
tersebut diubah dari Rp 100.000.000,- menjadi Rp 200.000.000,-.
(4)
Pencairan dan Penatausahaan Dana Luar Negeri
Sejak tahun keempat Repelita IV, Tata Cara Pelaksanaan dan
Penatausahaan Pinjaman dan atau Hibah Luar Negeri Dalam Rangka
Pelaksanaan APBN diatur berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Keuangan dan Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas No. 48/KMK.012/1987 dan No. Kep.004/KET/1/1987. SKB
tersebut pada pokoknya bertujuan (1) menyederhanakan prosedur, (2)
mengurangi birokrasi, dan (3) mempercepat pelaksanaan pembangunan.
Dalam hubungan ini, penarikan pinjaman luar negeri untuk proyek yang
dibiayai melalui DIP dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara yaitu: (1)
pembukaan L/C oleh Bank Indonesia dengan cara Pemimpin Proyek
mengajukan Surat Permintaan Persetujuan Kontrak (SPPK) menurut Form I
disertai salinan Kontrak kepada Meneg PPN/Ketua Bappenas. Kemudian,
berdasarkan SPPK Bappenas menerbitkan Surat Persetujuan Kontrak Jual
Beli (SPKJB) menurut Form II disertai Kontrak Jual Beli (KJB) kepada Bank
Indonesia yang kemudian memberitahukan rekanan/importir; (2)
pembayaran langsung (direct payment) oleh Pemberi Pinjaman/Hibah Luar
Negeri (PPHLN) kepada rekanan atau pihak yang bersangkutan dengan cara
Pemimpin Proyek mengajukan SPPK menurut Form 1 disertai KJB kepada
Meneg PPN/Ketua Bappenas. Selanjutnya, berdasarkan SPPK Bappenas
menerbitkan SPPKJB menurut Form 2 dan menyampaikannya kepada Bank
XXII/67
Indonesia; (3) penggantian pembiayaan pendahuluan (reimbursement) yaitu
penggantian oleh PPHLN atas pembiayaan pendahuluan yang telah
dilakukan oleh pemerintah atau Pemimpin Proyek/Penerima pinjaman
dengan cara Bendaharawan mengajukan Surat Permintaan Pembiayaan
Pendahuluan (SP3) menurut Form 3 disertai KJB dan DIP kepada Dirjen
Anggaran. Berdasarkan SP3 tersebut Menteri Keuangan melalui Dirjen
Anggaran menerbitkan SPM Giro dan dikirimkan kepada Bank Indonesia
guna pembayaran pembiayaan pendahuluan dari dana pemerintah sebagai
perhitungan pihak ketiga untuk pinjaman luar negeri yang dapat
dirupiahkan; (4) rekening khusus di Bank Indonesia dengan cara Ditjen
Anggaran mengajukan permintaan kepada PPHLN untuk kebutuhan
pembiayaan proyek selama periode tertentu berdasarkan DIP untuk
disetorkan ke dalam rekening khusus. Kemudian, Pemimpin Proyek
mengajukan Surat Permohonan Pembayaran (SPP) dengan dilampir i DIP
serta bukti-bukti pengeluaran kepada Ditjen Anggaran. Berdasarkan SPP
tersebut, Menteri Keuangan melalui Ditjen Anggaran menerbitkan SPM
rekening khusus dan dikirimkan kepada Bank Indonesia guna pembayaran
pembiayaan dari rekening khusus sebagai perhitungan pihak ketiga untuk
pinjaman luar negeri yang dapat dirupiahkan.
c. Administrasi Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan
Agar sasaran pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan, dilakukan langkah-langkah pendayagunaan sistem dan
administrasi pemantauan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan.
Pendayagunaan sistem pemantauan proyek-proyek ditujukan untuk
memperoleh informasi mengenai perkembangan pelaksanaan proyek secara
cepat, lengkap dan cermat melalui laporan perkembangan proyek yang
disampaikan oleh Pemimpin Proyek. Hasil pemantauan ini digunakan untuk
mengetahui tingkat pelaksanaan suatu proyek dan langkah korektif yang
diperlukan serta merupakan umpan balik untuk perbaikan rumusan dan
pelaksanaan rencana, kebijaksanaan, program dan proyek pembangunan.
Pemantauan dan pengendalian pelaksanaan proyek yang dilakukan
sejak awal Repelita I (1969/70) sampai dengan tahun ketiga Repelita II
(1976/77) didasarkan pada SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara
EKUIN/Ketua Bappenas No. B-370/MK/V/9/1969 - No. 1133/KET/1969
tentang Laporan Kemajuan Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun
XXII/68
1969-1973 yang merupakan tindak lanjut dari Keppres No. 33 Tahun 1969.
Dalam hal ini, digunakan Sistem Laporan Proyek dengan menggunakan
Formulir Laporan Triwulanan Proyek yang terdiri dari 6 halaman dengan
3 lembar Lampiran yang lebih menitikberatkan pada realisasi keuangan.
Kemudian, Sistem Laporan Proyek tersebut dikembangkan menjadi Sistem
Pengendalian Proyek yang lebih dikenal sebagai sistem pemantauan
(monitoring) dalam bentuk penyeragaman dan penyederhanaan bentuk
laporan yang semula terdiri dari 6 (enam) halaman menjadi 2 (dua) halaman.
Dibandingkan dengan Sistem Laporan Proyek, Sistem Pengendalian Proyek
ini lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan menitikberatkan pada
pelaksanaan fisik dan fungsional sehingga terdapat kepastian untuk
melaksanakan tindak lanjut penyelesaian masalahnya.
Sistem Pengendalian Proyek ini digunakan dalam lima tahun terakhir
ini, sejak tahun keempat Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah dengan menggunakan Formulir B-1 yang terdiri dari 4 halaman
dan memuat pencapaian proyek per tolok ukur, realisasi fisik dan
pembiayaan, serta masalah-masalah yang menghambat kelancaran
pelaksanaan proyek. Selain itu, untuk lebih meningkatkan peran Pemerintah
Daerah Tingkat I dalam pemantauan dan pengendalian proyek, Bappeda
Tingkat I diminta pula untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan Proyek
yang ada di wilayahnya dengan menggunakan Formulir B-1 yang dipakai
sebagai pengecekan silang atas laporan Pemimpin Proyek. Keterlibatan
Bappeda ini sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 27 Tahun 1980
bahwa Bappeda Tingkat I mempunyai fungsi pemantauan dan pengendalian
pelaksanaan pembangunan di daerah.
Selain laporan dalam bentuk Formulir B-1, sejak awal Repelita V
upaya pemantauan dan pengendalian juga dilakukan dengan menggunakan
laporan realisasi keuangan berdasarkan SPM yang diterima dari Pusat
Pengolahan Data dan Informasi Anggaran, Direktorat Jendera l Anggaran,
Bandung. Proyek-proyek yang penyerapan dananya masih rendah,
diinformasikan kepada Pimpinan Departemen/Lembaga yang membawahi
proyek yang bersangkutan, untuk mendapatkan penjelasan mengenai
keterlambatan realisasi dan langkah-langkah apa yang akan atau telah
diambil untuk mengatasi keterlambatan tersebut.
Adapun manfaat pemantauan dan pengendalian pelaksanaan proyek
XXII/69
baik melalui Formulir B-1 maupun realisasi SPM antara lain meningkatkan
koordinasi antara Bappenas, Ditjen Anggaran, Departemen Keuangan dan
Departemen/Lembaga terkait sehingga dapat mempercepat penyelesaian
permasalahan guna membantu kelancaran pelaksanaan proyek.
Dengan semakin mantapnya sistem pemantauan, maka identifikasi
masalah dapat ditelusuri selama lima tahun terakhir secara lebih cepat dan
cermat. Dalam Repelita V hingga tahun keempat dari pemantauan atas
14.284 proyek telah ditemukan 18.790 masalah. Permasalahan tersebut
meliputi: (1) administrasi proyek 2.063 masalah; (2) kwalifikasi rekanan
968 masalah; (3) pelaksanaan lelang 1.200 masalah; (4) gangguan cuaca 566
masalah; (5) revisi DIP 512 masalah; (6) koordinasi dalam dan antar instansi
737 masalah; (7) kelembagaan 111 masalah; (8) tanah 208 masalah; (9)
personalia 44 masalah; (10) peralatan dan mesin 82 masalah; (11) lain-lain
12.299 masalah. Dengan diketahuinya faktor penyebab permasalahan, upaya
mengatasinya dapat lebih efektif. Ini dibuktikan dengan perkembangan
pencairan dana atau daya serap anggaran rupiah murni berdasarkan SPM
yang telah dikeluarkan terus meningkat pula.
Selain itu, untuk lebih mendayagunakan pelaksanaan proyek dengan
dana luar negeri dengan Keppres Nomor 2 Tahun 1986 telah dibentuk Tim
P4DLN (Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek dengan Dana
Luar Negeri), yang kemudian disempurnakan dengan Keppres Nomor 10
Tahun 1988. Tugas pokok Tim P4DLN adalah meningkatkan kelancaran
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dengan dana luar negeri. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan administrasi dan penatausahaan
dana luar negeri yang diatur oleh Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dengan Surat
Keputusan Bersama No. 48/KMK.012/1987 dan No. Kep. 004/Ket/1/1987
tanggal 27 Januari 1987 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Penatausahaan
Pinjaman dan atau Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan langkah-langkah pendayagunaan
yang dilakukan Tim P4DLN tersebut, pencairan dari pemanfaatan dana luar
negeri untuk proyek-proyek pembangunan dapat ditingkatkan secara sangat
berarti.
Pendayagunaan sistem dan peningkatan pelaksanaan pemantauan
yang dilakukan Tim P4DLN telah berhasil meningkatkan "absorptive
XXII/70
capacity" atau "disbursement" dana luar negeri. Hal ini ditunjukkan dengan
besarnya nilai dana yang dicairkan untuk pembiayaan proyek-proyek
pembangunan dalam lima tahun terakhir dari tiga pemberi pinjaman
terbesar, yaitu ADB, OECF, dan IBRD.
Sejalan dengan langkah-langkah tersebut di atas, dalam tahun ketiga
Repelita V telah dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial
Luar Negeri (Keppres No. 39/1991) yang bertugas mengkoordinasikan
pengelolaan semua pinjaman komersial luar negeri agar tidak terlalu
membebani neraca pembayaran dan agar beban pembayaran kembali
pinjaman luar negeri tetap dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia.
Pinjaman yang dikoordinasikan tersebut adalah pinjaman komersial luar
negeri yang diperlukan oleh Pemerintah, BUMN (termasuk Bank
Pemerintah dan Pertamina) dan badan usaha milik swasta (termasuk Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank).
5. Aparatur Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Upaya Pemerintah dalam pendayagunaan BUMN telah dilakukan
sejak Repelita I sampai dengan Repelita V meliputi langkah-langkah
kebijaksanaan Pemerintah dalam pendayagunaan baik mengenai kedudukan,
organisasi maupun manajemennya. Upaya pendayagunaan tersebut
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pelayanan BUMN kepada
masyarakat dengan menyelenggarakan kemanfaatan umum yang lebih baik
dan lebih merata, meningkatkan penerimaan negara, turut aktif
mengamankan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program
Pemerintah termasuk dalam pengembangan pengusaha golongan ekonomi
lemah dan stabilitas ekonomi.
Dalam periode Repelita I dan II upaya penyederhanaan badan-badan
usaha milik negara pada dasarnya dilakukan dengan berpedoman pada
Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 yaitu dengan mengatur bentuk
usaha-usaha negara menjadi tiga bentuk pokok yaitu: Perusahaan Jawatan,
Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Kemudian, melalui Perpu
No. 1 Tahun 1969 jo Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dilakukan
pembagian
BUMN
berdasarkan
status
hukum,
organisasi,
pertanggungjawaban, dan kedudukan karyawan BUMN. Dalam hal ini,
BUMN dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan)
XXII/71
yang tunduk kepada IBW (Undang-undang Perusahaan jaman Belanda),
Perusahaan Umum (Perum) yang tunduk kepada Undang-undang No. 19 Prp
Tahun 1960 dan Perusahaan Perseroan (Persero) yang tunduk kepada
KUHP.
Selanjutnya pada Repelita III, untuk lebih meningkatkan pembinaan
dan pengawasan terhadap BUMN dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 3 Tahun 1983 yang menetapkan tata cara pembinaan dan pengawasan
BUMN sebagai pedoman bagi BUMN dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian, agar BUMN yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya secara berdaya guna dan berhasil guna serta mampu berkembang
dengan baik.
Dalam lima tahun terakhir ini, untuk lebih mendorong
pengembangan serta kemajuan BUMN dalam rangka meningkatkan
pembangunan dan efisiensi perekonomian secara nasional, melalui Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 1988 ditetapkan kriteria tingkat kesehatan dan
langkah-langkah penyempurnaan pengelolaan BUMN yang dilengkapi
dengan petunjuk teknis sebagaimana dituangkan dalam SK Menteri
Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang
Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN. Sejalan dengan itu,
dikeluarkan pula SK Menteri Keuangan Nomor 741/KMK.00/1989 tentang
Rencana Jangka Panjang, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan serta
Pelimpahan Kewenangan Pengambilan Keputusan.
Dengan ditetapkannya kriteria penilaian tingkat kesehatan BUMN
yang dimulai sejak tahun terakhir Repelita IV, jumlah BUMN yang sehat
sekali dan sehat berjumlah 60 dari 189 BUMN pada tahun terakhir Repe lita IV, jumlah tersebut hingga tahun keempat Repelita V makin meningkat
masing-masing menjadi 96 dari 184 BUMN, 100 dari 186 BUMN, 105 dari
186 BUMN, dan 106 BUMN dari 181 BUMN. Sedangkan BUMN yang
kurang sehat dan tidak sehat berjumlah 129 dari 189 BUMN pada akhir
Repelita IV, jumlah tersebut sejak akhir Repelita IV hingga tahun keempat
Repelita V cenderung menurun, masing-masing menjadi 88 dari 184
BUMN, 86 dari 186 BUMN, 81 dari 186 BUMN, dan 75 BUMN dari 181
BUMN.
Sejak tahun kedua Repelita V (1990/91), peranan BUMN dalam
XXII/72
memajukan dunia usaha khususnya usaha golongan ekonomi lemah dan
koperasi lebih ditingkatkan. Upaya tersebut dituangkan dalam SK Menteri
Keuangan No. 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan
Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik
Negara. Atas dasar Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut, BUMN
diwajibkan melakukan pembinaan terhadap pengusaha golongan ekonomi
lemah dan koperasi. Pembinaan yang dilakukan meliputi: (a) peningkatan
kemampuan manajerial; (b) peningkatan kemampuan dalam keterampilan
teknik produksi; (c) peningkatan kemampuan modal kerja, antara lain
melalui penyisihan dana sebesar 1% sampai dengan 5% dari laba setelah
pajak, bantuan pengadaan bahan baku; (d) peningkatan kemampuan
pemasaran atau bantuan pemasaran, dan (e) pemberian jaminan untuk
mendapatkan kredit perbankan.
Berbagai kebijaksanaan tersebut di atas, telah meningkatkan hasil
usaha BUMN dari Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V atau
sepanjang PJPT I. Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam lima
tahun terakhir ini ditunjukkan dengan perkembangan antara lain sebagai
berikut: (1) Nilai total aktiva BUMN menunjukkan peningkatan sebesar
125% dari Rp 102.233 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 230.255
miliar pada akhir tahun keempat Repelita V. Hasil penjualan BUMN pada
akhir tahun keempat Repelita V mencapai nilai Rp 69.729 miliar, jumlah
tersebut meningkat 100% dibandingkan dengan tahun 1987/88 sebesar
Rp 34.870 miliar. Sedangkan besarnya laba sebelum pajak mengalami
peningkatan sebesar 61,7% dari Rp 4.233 miliar pada tahun 1987/88
menjadi Rp 6.884 miliar pada akhir tahun keempat Repelita V. (2)
Kontribusi BUMN dalam bentuk pajak penghasilan menunjukkan kenaikan
sebesar 136% dari Rp 678,6 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp l.600
miliar dalam tahun keempat Repelita V. Sedangkan hasil penerimaan bukan
pajak dalam bentuk deviden/DPS/bagian labs pemerintah dari BUMN dalam
tahun keempat Repelita V mencapai nilai Rp 979 miliar, jumlah tersebut
menunjukkan peningkatan sebesar 5% dibanding dengan tahun 1987/88
sebesar Rp 932,8 miliar. Kemajuan tersebut menunjukkan adanya
peningkatan kemampuan dan efisiensi dalam pengelolaan BUMN.
Dalam kaitannya dengan usaha pembinaan pengusaha ekonomi lemah
dan koperasi, yang dimulai sejak tahun kedua sampai dengan tahun keempat
Repelita V, telah dikeluarkan bantuan BUMN sebesar Rp 47.958 juta
XXII/73
kepada 5.898 unit usaha perorangan dan 1.249 koperasi. Rincian
perkembangan bantuan tersebut dapat dilihat dalam Tabel III-12 dan 13 Bab
Dunia Usaha.
Langkah lainnya yang ditempuh BUMN juga mencakup perubahan
status hukumnya yang dicerminkan dalam bentuk Persero, Perum, Perjan,
Perusahaan Negara (PN), Status Khusus, dan PT Lama. Dalam tahun
1987/88 jumlah BUMN secara keseluruhan adalah 214 buah terdiri Persero
Tunggal 122 buah, Persero Patungan berjumlah 33 buah, berbentuk Perum
33 buah, berbentuk Perjan 2 buah, PN 8 buah, PT Lama 7 buah, dan Status
Khusus 9 buah. Dalam lima tahun terakhir ini, diadakan perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian lebih lanjut sehingga dalam tahun keempat
Repelita V jumlah BUMN secara keseluruhan tinggal 181 buah. Dari 181
buah BUMN tersebut yang berbentuk Persero Tunggal dan Persero Patungan
berjumlah 158 buah, berbentuk Perum 20 buah, dan yang berstatus khusus
adalah 1 buah (PT Pertamina), sedangkan Badan Usaha Milik Negara yang
belum diubah ke dalam bentuk yang ditetapkan dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1969 terdiri atas 1 buah PN dan 1 buah PT Lama, serta 1
buah dengan Status Khusus. Di antara yang mengalami perubahan adalah 2
buah Perjan (Pegadaian dan Kereta Api) masing-masing menjadi Perum.
Rincian perkembangan status BUMN sejak Repelita I sampai dengan
Repelita V disajikan dalam Tabel XXII-6.
6. Pengawasan dan Penertiban Operasional
Untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa,
serta berdaya guna dan berhasil guna dikembangkan sistem pengawasan dan
penertiban operasional. Pendayagunaan pengawasan dan penertiban
operasional tersebut telah dilaksanakan sejak Repelita I dan terus berlanjut
hingga tahun keempat Repelita V. Langkah-langkah pendayagunaan BUMN
dalam lima tahun terakhir ini antara lain meliputi pengembangan sistem,
penyempurnaan kelembagaan, dan peningkatan kemampuan profesional
tenaga pengawas, diikuti dengan langkah-langkah penertiban sebagai tindak
lanjut kegiatan pengawasan. Sistem pengawasan yang dikembangkan
meliputi Pengawasan Fungsional (Wasnal), Pengawasan Melekat (Waskat),
Pengawasan Legislatif (Wasleg), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas)
yang pada umumnya terarah pada pengawasan keuangan dan pembangunan.
Selain itu, mulai tahun 1989/90 pada Kantor Wakil Presiden dibuka pula
Tromol Pos 5000 sebagai sarana pengawasan masyarakat.
XXII/74
TABEL XXII – 6
STATUS BADAN USAHA MILIK NEGARA,
1968 – 1992/93 1)
1)
2)
Angka tahunan
Angka tahunan sementara per Desember 1992
XXII/75
a. Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Kegiatan pengawasan sejak Repelita I sampai dengan Tahun keempat
Repelita V disajikan dalam Tabel XXII-7 khususnya mengenai
perkembangan pelaksanaan pemeriksaan tahunan oleh aparatur pengawas
fungsional. Dari hasil pelaksanaan pengawasan fungsional dalam Repelita V
sejak tahun 1989/90 sampai dengan Desember 1992/93 ditemukan adanya
11.066 kasus peristiwa/perbuatan yang digolongkan sebagai tindakan
penyimpangan. Kasus penyimpangan tersebut terdiri dari 9.325 kasus
(84,26%) pelanggaran disiplin; 906 (8,20%) penggelapan dan pemborosan
keuangan negara; 509 (4,6%) penyalahgunaan wewenang, dan 326 (2,94%)
berupa pungutan liar. Sebagai tindak lanjut pengawasan, BPKP melaporka n
antara lain hasil pemeriksaan yang diperkirakan mengandung unsur tindak
pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1983/84 hingga tahun
1992/93 telah diserahkan oleh BPKP kepada Kejaksaan Agung kasus -kasus
yang merugikan negara dan diduga ada unsur-unsur tindak pidana korupsi
sebanyak 162 kasus dengan nilai sebesar Rp 151,055 miliar. Selain itu sejak
tahun 1988/89 hingga tahun 1992/93 BPKP telah melakukan pemeriksaan
yang menghasilkan penghematan pengeluaran Negara dan penambahan
penerimaan Negara, berjumlah Rp 394,558 miliar, termasuk penambahan
penerimaan negara sebanyak Rp 297,023 miliar. Kegiatan dan hasil-hasil
pengawasan yang terus meningkat tersebut di atas adalah berkat upaya
pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan yang terus menerus
dilakukan sejak Repelita I hingga Repelita V.
Pada Repelita I, langkah-langkah pengembangan sistem dan tata cara
pengawasan
berdasarkan
Keputusan
Presidium
Kabinet
No. 15/U/Kep/8/1966 dan No. 75/U/Kep/1966 tentang pembentukan aparat
inspektorat pengawasan di tiap departemen. Langkah tersebut diperkuat
dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1971 yang menginstruksikan kepada
para Menteri dan Pimpinan Lembaga Non Departemen untuk mengambil
langkah-langkah penertiban terhadap pegawai-pegawai yang melakukan
tindakan penyelewengan di lingkungannya masing-masing. Kemudian
dengan Keppres No. 70 Tahun 1971 ditetapkan tata kerja pengawasan
keuangan negara dan pedoman pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan
keuangan negara.
XXII/76
TABEL XXII – 7
KEGIATAN PEMERIKSAAN
OLEH APARATUR PENGAWASAN FUNGSIONAL 1)
1968 – 1992/93
1) Angka tahunan
2) Angka tahunan sementara per Desember 1992
XXII/77
Dalam Repelita II, diterbitkan Keppres No. 25 Tahun 1974 tentang
pengangkatan beberapa Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang) yang
bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan yang meliputi proyek-proyek pelaksanaan program sektoral,
proyek-proyek Inpres bantuan desa, maupun daerah. Selama periode ini
telah dilakukan pula pemeriksaan atas proyek-proyek pembangunan oleh
Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara sebanyak 13.513 proyek
dengan hasil temuan penyimpangan sebanyak 1.046 kejadian.
Dalam Repelita III, dengan Keputusan Mendagri No. 220 Tahun
1979 pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di desa-desa
diserahkan kepada Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya dengan
pertimbangan tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat II dalam
pembangunan di daerah, semakin luas. Dalam Repelita IV dengan Keppres
No. 31 Tahun 1983 telah dibentuk Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); selain itu dengan Keppres No. 32 Tahun 1983 telah
ditetapkan Kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja Menko Ekuin dan
Wasbang, dimana pedoman pelaksanaannya ditetapkan dengan Inpres No. 15
Tahun 1983 tentang pedoman pelaksanaan pengawasan. Inpres tersebut
merupakan pedoman pengawasan yang memungkinkan seluruh pengawasan
dapat dilaksanakan secara lebih terpadu dan terarah, baik dalam perumusan
langkah-langkah kebijaksanaan dan penyusunan rencana, maupun dalam
pembidangan kewenangan pelaksanaan pengawasan. Dalam hal ini BPKP
merupakan aparat pengawasan fungsional yang ditujukan terhadap
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan baik secara intern
maupun ekstern agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk menunjang fungsi tersebut telah ditetapkan
Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) yang penyusunan tiap
tahunnya dikoordinasikan oleh BPKP dan disahkan oleh Menko Ekuin dan
Wasbang. Dengan adanya pengawasan fungsional ini maka tumpang tindih
pemeriksaan antara aparat pengawasan pusat dan daerah, aparat pengawasan
fungsional lainnya, dan frekuensi pemeriksaan yang tidak merata dapat
dihindarkan. Di samping itu, sebagai tindak lanjut Inpres No. 15 Tahun
1983 telah ditetapkan Inpres No. 2 Tahun 1988 tentang Penataran Para
Pejabat dan dibukanya Tromol Pos 5000 sebagai sarana pengawasan dari
luar.
Dalam tahun terakhir Repelita IV pendayagunaan pengawasan
XXII/78
ditingkatkan lagi dengan lebih dikembangkannya pengawasan melekat
melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1988 tentang pengawasan melekat
dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang pedoman pelaksanaan
pengawasan melekat. Memasuki Repelita V, sebagai implementasi
pelaksanaan waskat telah dikeluarkan Kep. Menpan No. 92/Menpan/1989
tentang Susunan Organisasi, Tugas, Tata Kerja dan Susunan Anggota Tim
Asistensi
dan
Evaluasi
pelaksanaan
Waskat;
Kep.
Menpan
No. 93/Menpan/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Waskat; Kep.Menpan
No. 94/Menpan/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Lembaga
Administrasi Negara dalam Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Waskat;
dan Kep. Menpan No. 120/Menpan/1989 tentang Pembentukan Tim
Penelitian dan Evaluasi Pelaksanaan Waskat. Salah satu keputusan itu
mensyaratkan perlunya setiap departemen/instansi pemerintah baik di Pusat
maupun Daerah termasuk BUMN dan perguruan tinggi negeri untuk
melaporkan P3 waskat dan tindak lanjut pelaksanaan waskat secara berkala
setiap tahun. Sampai dengan bulan Desember 1992 hasil tindak lanjut
pelaksanaan Waskat sebanyak 331 Instansi berjumlah 164 (49,55%). Di
samping pelaksanaan pengawasan melekat tersebut di atas, dimantapkan pula
pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Pengawasan legislatif
dilakukan oleh DPR dan DPRD melalui pelaksanaan hak-budget dan
pelaksanaan kunjungan kerja komisi-komisi DPR ke daerah-daerah. Hasil
kunjungan kerja tersebut dilaporkan kepada Sidang Pleno DPR dan
disampaikan kepada Pemerintah untuk mendapatkan perhatian dan
tanggapan. Pengawasan Masyarakat (Wasmas) merupakan pengawasan dari
luar yang bertujuan untuk menampung segala informasi dari masyarakat luas
mengenai tindakan/perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah. Pelaksanaan Wasmas tersebut dilakukan melalui media massa
dan Tromol Pos 5000.
b. Penertiban Operasional
Pendayagunaan aparatur Pemerintah di samping diarahkan pada
penyempurnaan langkah-langkah kebijaksanaan, juga pada berbagai langkah
penertiban operasional yang dimaksudkan untuk mencegah dan menanggulangi berbagai bentuk korupsi, penyalahgunaan jabatan, komersialisasi
jabatan, pemborosan, pungutan liar dan perbuatan tercela lainnya baik
terhadap lingkungan aparatur Pemerintah Pusat dan Daerah, maupun BUMN
dan BUMD. Dalam hubungan ini, dalam 10 tahun terakhir ini antara lain
XXII/79
telah dilakukan penertiban terhadap pemilikan dan penggunaan ijazah palsu
serta ijazah asli tetapi palsu untuk kepentingan karier kepegawaian, operasi
tertib, serta penertiban yang dilakukan secara fungsional dan operasional
oleh atasan langsung terhadap bawahan, dan lain-lain.
Di samping itu, telah dilakukan pula pengamatan dan penanganan
keluhan atau pengaduan yang diajukan oleh masyarakat maupun yang
diketahui melalui media massa dan Tromol Pos 5000 pada kantor Wakil
Presiden pada tanggal 4 April 1988. Sejak dibukanya Tromol Pos 5000
sampai dengan 30 September 1992 jumlah surat yang diterima mencapai
70.846 surat.
Hasil pengawasan dan penertiban yang telah dicapai disajikan pada
Tabel XXII-8. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa sejak dimulainya operasi
tertib pada tahun 1978/79 hingga tahun keempat Repelita V oknum aparatur
Pemerintah yang ditindak meliputi 34.387 orang yang tersangkut dalam
26.553 kasus. Dari jumlah tersebut, 32.822 orang dikenakan tindakan
administratif, 1.325 orang dikenakan tindakan hukum dan 240 orang
dikenakan tindakan lain-lain. Dalam lima tahun terakhir ini jumlah personil
yang ditindak adalah sebanyak 17.460 orang, yang tersangkut dalam 14.150
kasus. Dari jumlah tersebut, 17.215 orang dikenakan tindakan administratif,
lainnya sebanyak 245 orang dikenakan tindakan hukum. Pelaksanaan
pengawasan dan penertiban tersebut menciptakan iklim yang mencegah
penyimpangan dan penyelewengan serta telah memberikan dampak positif
terhadap pendayagunaan aparatur pemerintah.
7. Disiplin Aparatur dan Tertib Hukum
Peningkatan disiplin aparatur dan tertib hukum. bertujuan agar setiap
aparatur pemerintah dalam berperilaku, berpikir dan bertindak tetap
berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pendekatan
realistis rasional berdasar ilmu pengetahuan yang mengacu pada kepentingan
nasional,
serta
mentaati
berbagai
kebijaksanaan
dan
aturan
perundang-undangan. Peningkatan disiplin aparatur merupakan unsur
penting dalam upaya peningkatan disiplin nasional. Dalam hubungan
penegakan disiplin aparatur ini, di samping langkah-langkah penertiban
operasional sebagaimana diuraikan di atas, ditempuh pula langkah-langkah
pendayagunaan disiplin kepegawaian berupa pengembangan dan penegakan
XXII/80
TABEL XXII – 8
LANGKAH-LANGKAH PENERTIBAN DI LINGKUNGAN APARATUR NEGARA
1968 – 1992/93 1)
1) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan
2) Angka tahunan sementara per Desember 1992
XXII/81
hukum serta aturan perundangan lainnya, serta melalui kegiatan-kegiatan
pendidikan dan pelatihan.
Untuk menunjang usaha peningkatan disiplin aparatur tersebut, sejak
Repelita I telah diberlakukan berbagai ketentuan antara lain larangan judi
bagi pegawai negeri/anggota ABRI (Inpres Nomor 13 Tahun 1973), pola
hidup sederhana (Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974), dan
pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta (Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974). Dalam tahun pertama Repelita II
diterbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang antara lain
menetapkan bahwa setiap pegawai negeri wajib setia dan taat sepenuhnya
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.
Sejak Repelita II, dalam rangka pelaksanaan Pasal 4 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974, dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1978
segenap pegawai negeri diwajibkan mengikuti penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Dengan demikian peningkatan
disiplin pegawai negeri sipil juga dilakukan melalui penataran P -4 yang
diikuti oleh para pejabat dari berbagai instansi, yang dalam rangka
peningkatan disiplin nasional juga diikuti oleh berbagai kelompok dalam
masyarakat seperti pemuda, pelajar, dan pemuka agama. Penataran P -4 dari
tahun 1979/80 sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diikuti oleh
14.140.616 orang dengan rincian sebagai berikut; (1) Tipe A sebesar
2.462.256 orang; (2) Tipe B sebesar 6.046.067 orang; dan (3) tipe C
sebesar 5.632.293 orang.
Kemudian, sejak tahun pertama Repelita IV (1979/80),
langkah-langkah penegakan disiplin aparatur ditingkatkan lagi dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, dimana ditetapkan 26 kewajiban dan 18 larangan bagi
Pegawai Negeri serta 3 tingkatan sanksi berupa hukuman disiplin ringan,
hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. Selain itu, dengan
Keppres No. 67 Tahun 1980 telah dibentuk Badan Pertimbangan
Kepegawaian (Bapek) yang bertugas memeriksa dan mengambil keputusan
mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS golongan/ruang IV/a ke
bawah, memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul
penjatuhan hukuman disiplin, pemberhentian dengan hormat sebagai PNS
golongan/ruang IV/b ke atas, dan mengenai usul pembebasan dari jabatan
bagi pejabat eselon I.
XXII/82
Sejak dibentuk sampai dengan tahun keempat Repelita V, Badan
Pertimbangan Kepegawaian telah memberhentikan tidak dengan hormat
sebanyak 1954 orang pegawai; terdiri dari 1909 orang dari golongan IV/a ke
bawah dan 16 orang golongan IV/b ke atas. Dari jumlah ini seluruhnya
mengajukan keberatan berjumlah 45 orang, yang sebagian besar telah
diselesaikan. Langkah-langkah lain yang ditempuh dalam upaya peningkatan
disiplin aparatur meliputi pembudayaan demokrasi Pancasila, Upacara
Bendera, kegiatan KORPRI, pertemuan sosial, penyempurnaan peraturan
perundang-undangan, pemantapan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan
yang berlaku, pembudayaan pengawasan melekat dan pengawasan lainnya,
termasuk hal-hal yang diatur oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk atas dasar Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, dan mulai efektif dilaksanakan pada tanggal 29
Desember 1991. Sejak diterbitkannya PP No. 7 Tahun 1991 tentang
pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1986 hingga bulan Desember 1992, jumlah
perkara yang masuk pada Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN
masing-masing 774 dan 195 perkara, jumlah perkara yang telah diputus
masing-masing sejumlah 502 perkara dan 112 perkara. Dari sekian jumlah
tersebut, perkara yang paling menonjol adalah kasus-kasus pertanahan 236,
kepegawaian 226, perumahan 154, dan perizinan 103 perkara.
8. Pendayagunaan Administrasi Kearsipan
Langkah-langkah pendayagunaan kearsipan mencakup pembinaan
kearsipan dinamis dan kearsipan statis pada keseluruhan aparatur
pemerintahan di pusat dan di daerah. Hal ini dimaksudkan agar
dokumen-dokumen pemerintah sebagai hasil penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dapat terpelihara secara baik dan tertib. Pembinaan
kearsipan dinamis meliputi kegiatan penataran, bimbingan teknis, dan
konsultasi dalam menata dan menyusutkan arsip inaktif dan menyiapkan
jadwal retensi arsip. Pembinaan kearsipan statis antara lain berupa pelatihan
di bidang konservasi dan preservasi, serta membuat dan merawat mikrofilm.
Dengan disempurnakannya fungsi dan kedudukan Arsip Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1974, sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok
Kearsipan, maka terus menerus diambil berbagai langkah pendayagunaan
XXII/83
kearsipan, antara lain, pengembangan sistem kearsipan kartu kendali dan
peningkatan penyimpanan, penataan dan pengawetan arsip statis.
Hingga tahun keempat Repelita V telah ditempuh langkah-langkah
peningkatan pembinaan kearsipan melalui upaya meningkatkan
keterampilan, memantapkan sistem dan tata kerja kearsipan di
lembaga-lembaga pemerintah, badan usaha milik negara/daerah, dan
lembaga perbankan yang telah dan akan menerapkan sistem kearsipan
dinamis sehingga informasi tersusun lebih baik. Di bidang pengembangan
tenaga kearsipan, telah dilakukan kerja sama dalam pelatihan dan
bantuan tenaga ahli dengan Lembaga Arsip Kerajaan Belanda untuk
periode 1990 - 1993.
9. Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan
Peran serta masyarakat merupakan prinsip yang melandasi
kebijaksanaan dan manajemen pembangunan nasional kita. Dengan semakin
meluas dan meningkatnya kegiatan pembangunan, aparatur pemerintah juga
dituntut untuk mampu melayani dan mengayomi serta menumbuhkan
prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan. Sebab itu,
sejak Repelita I hingga tahun keempat Repelita V ditempuh langkah-langkah
pendayagunaan untuk terus meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan. Upaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui proyek padat
karya, PKK, program bantuan pembangunan kepada daerah (antara lain
melalui Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres Desa), dan sebagainya.
Dalam Repelita II ditempuh pula langkah-langkah pengembangan
unit usaha kecil melalui kebijaksanaan perkreditan seperti Kredit Investasi
Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Mini, Kredit
Candak Kulak, dan Kredit Pembangunan dan Pemugaran Pasar. Dalam
Repelita III upaya meningkatkan peran serta masyarakat di perluas dengan
pengembangan proyek-proyek pembangunan yang dapat menumbuhkan
peran serta masyarakat, seperti pemugaran perumahan dan lingkungan desa,
serta Inpres Penghijauan dan Reboisasi. Selanjutnya dikembangkan pula
proses perencanaan pembangunan dari bawah melalui Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), dan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).
Dalam Repelita IV upaya tersebut lebih diperluas lagi melalui
XXII/84
langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi secara lebih menyeluruh; dan
melalui upaya peningkatan pengawasan masyarakat; serta kerja sama antara
usaha besar, menengah, dan kecil khususnya dengan koperasi; dan
peningkatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat khususnya dalam
usaha-usaha lokal dalam pelaksanaan berbagai proyek pembangunan.
Dalam lima tahun terakhir ini hingga tahun keempat Repelita V
peran serta masyarakat dalam pembangunan makin ditingkatkan dengan
menciptakan iklim yang mendorong prakarsa dan peran serta dunia usaha
dan masyarakat pada umumnya dalam berbagai kegiatan pembangunan di
bidang ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi; peningkatan
program-program Inpres khususnya Inpres Desa, Dati II dan Dati I;
peningkatan kualitas dan kemampuan masyarakat dalam berbagai bidang
kegiatan sehingga dapat bekerja secara lebih berdaya guna dan berhasil guna
dengan daya saing serta nilai tambah yang meningkat; peningkatan hubungan antara kelompok usaha kecil, menengah dan besar; meningkatkan dan
memantapkan jaringan antara berbagai hirarki pusat-pusat produksi dan
pemasaran; pemantapan perilaku birokrasi sehingga lebih menunjang
prakarsa dan peran serta masyarakat tersebut.
10. Penelitian Aparatur Pemerintah
Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah,
dan memantapkan sistem administrasi pembangunan diperlukan dukungan
yang tepat dalam kebijaksanaan dan langkah-langkah penelitian di bidang
aparatur pemerintah. Oleh karena itu sejak Repelita I, penelitian aparatur
pemerintah diarahkan pada pengembangan ilmu administrasi pembangunan,
sistem administrasi pembangunan dan pada upaya untuk menghasilkan saran
kebijaksanaan dalam rangka pendayagunaan aparatur pemerintah. Hasil
penelitian dapat dijadikan masukan dalam merumuskan strategi dan
kebijaksanaan pendayagunaan aparatur secara tepat, memberikan informasi
yang diperlukan bagi kebutuhan analisa dan penilaian pelaksanaan
pembangunan, serta mengidentifikasikan perkembangan-perkembangan baru
di bidang administrasi pembangunan. Sampai dengan tahun keempat
Repelita V kegiatan penelitian aparatur pemerintah dilaksanakan oleh
berbagai pusat penelitian di lingkungan Departemen/Lembaga Pemerintah
non Departemen seperti Departemen Dalam Negeri, Lembaga Administrasi
Negara, Arsip Nasional dan Perguruan Tinggi.
XXII/85
Penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
tersebut sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Dalam
lima tahun terakhir ini, dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat
Repelita V, penelitian-penelitian yang telah dilakukan antara lain meliputi:
(a) Penelitian tentang Mutasi Pegawai dalam rangka Pembinaan Aparatur
Daerah Tingkat II, (b) Penyempurnaan Rancangan Isi Bab tentang Aparatur
Pemerintah pada Repelita VI, (c) Penelitian tentang Pelaksanaan
Kebijaksanaan Pusat di Daerah, (d) Pengkajian dan Pemantauan Sistem
Kearsipan Dinamis, dan (e) Evaluasi Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang
BUMN.
Sedangkan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan dalam
Repelita-repelita sebelumnya dapat dirinci sebagai berikut: (1) Dalam
Repelita I antara lain meliputi: (a) Penelitian Administrasi Pemerintah
Tingkat Pusat, (b) Penelitian Administrasi Pemerintah Tingkat Daerah,
(c) Penelitian Administrasi Keuangan, (d) Penelitian tentang Koordinasi
Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (e) Penelitian tentang Struktur
Organisasi Pemerintahan Kota. (2) Dalam Repelita II antara lain meliputi:
(a) Penelitian tentang Sistem Penilaian Prestasi Kerja, (b) Penelitian tentang
Informasi Administrasi Pemerintahan, (c) Penelitian tentang Sistem
Perizinan, (d) Penelitian tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, (e) Penelitian tentang Hubungan Struktural dan
Fungsional antara LMD, LKMD dan Lembaga-lembaga Pedesaan lainnya.
(3) Dalam repelita III antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang Pembagian
Tugas dan Kewenangan Perangkat Pelaksana Wilayah dan Perangkat Daerah
di Propinsi Daerah Tingkat I, (b) Penelitian tentang Peningkatan Proses
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan di Daerah Tingkat II, (c)
Penelitian tentang Administrasi untuk Meningkatkan Pelaksanaan
Transmigrasi Spontan, (d) Penyusunan Pedoman tentang Tata Persuratan
Dinas. (4) Dalam Repelita IV antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 Tahun 1974, (b)
Penelitian tentang Kemampuan Pembiayaan Pembangunan oleh Pemerintah
Daerah, (c) Penelitian tentang Koordinasi Pembinaan Koperasi, (d)
Pemantauan dan Evaluasi Waskat, dan (e) Penelitian tentang Efisiensi
Pelaksanaan Tugas Pemerintah Desa/Kelurahan.
XXII/86
Download