MAKALAH KAJIAN RANCANGAN UNDANG2.docx

advertisement
1
KAJIAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME∗
Oleh : Dr. Ramelan, SH. MH∗∗
I. PENDAHULUAN
Rancangan
Undang
-
Undang
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini sesungguhnya
merupakan implementasi dan tindak lanjut dari Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, tahun 1999, yang telah diratifikasi
atau disyahkan menjadi undang-undang Nomor 6 tahun 2006 tentang
Pengesahan International Convention for The Suppression of The
Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme, 1999).
Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999
(International Convention for The Suppression of The Financing of
Terrorism, 1999) yang telah diratifikasi menjadi Undang - Undang Nomor
6 tahun 2006 tersebut dengan sendirinya sudah menjadi bagian dari dan
berlaku sebagai hukum (positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal
sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional lainnya, dalam hal
ini undang-undang pidana nasional Indonesia. Undang - Undang Nomor 6
tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for The
Suppression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) substansinya berasal dari
hukum internasional, tidak dibuat oleh institusi pembuat undang-undang
(DPR dan Presiden) membawa konsekuensi kepada Pemerintah Republik
Indonesia bersama-sama dengan DPR membuat suatu undang-undang
khusus mengenai obyek yang menjadi pembahasan dalam konvensi
tersebut. Sekalipun demikian, politik
hukum Pemerintah Republik
∗
Disampaikan sebagai narasumber pada sosialisasi Rancangan Undang - Undang tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang diselenggarakan oleh
Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, pada tanggal 9 Februari
2011 di Jakarta.
∗∗
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
www.djpp.depkumham.go.id
2
Indonesia menentukan untuk tidak mengadopsi seluruh substansi
konvensi.
Berdasarkan Lampiran Undang - Undang Nomor 6 tahun 2006
tentang Pengesahan International Convention for The Suppression of The
Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme, 1999) yang memuat Deklarasi terhadap Pasal 2
ayat (2) huruf (a) dan Pasal 7 serta persyaratan Pasal 24 ayat (1)
Pengesahan International Convention for The Suppression of The
Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan
Terorisme,
1999),
Pemerintah
Republik
Indonesia
menentukan kebijakan sebagai berikut :
A. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) huruf (a) Konvensi Pemberantasan
Pendanaan Terorime, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan
bahwa traktat-traktat di bawah ini dianggap tidak termasuk dalam
Lampiran merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf (a) Konvensi :
1. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap
orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk Agen
Diplomatik, ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa, 14 Desember 1973.
2. Kovensi Internasional Menentang Penyanderaan, ditetapkan oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 17 Desember 1979.
3. Protokol
Pemberantasan
Tindakan-tindakan
Kekerasan
yang
Melawan Hukum di Bandar Udara yang Melayani Penerbangan Sipil
Internasional, pelengkap dari Konvensi Pemberantasan Tindakan
Melawan
Hukum
terhadap
Keselamatan
Penerbangan
Tindakan-tindakan
Melawan
Sipil,
Montreal, 24 Februari 1988.
4. Konvensi
Pemberatasan
Hukum
terhadap Keselamatan Navigasi Pelayaran, Roma, 10 Maret 1988.
5. Protokol
Pemberantasan
Tindakan-tindakan
Melawan
Hukum
terhadap Keselamatan Anjungan Lepas Pantai yang terletak di
Landas Kontinen, Roma, 10 Maret 1988.
www.djpp.depkumham.go.id
3
B. Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7
Konvensi Pemberantasan Pendanaan Terorisme tahun 1999, akan
dilaksanakan
dengan
memenuhi
prinsip-prinsip
kedaulatan
dan
keutuhan wilayah suatu negara.
Persyaratan :
Pemerintah
Republik
Indonesia,
walaupun
melakukan
penandatanganan terhadap Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme tahun 1999, tidak berarti terikat pada Pasal 24,
dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan
tafsiran dan penerapan isi konvensi, yang tidak, terselesaikan melalui
jalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat
menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan
Para Pihak yang bersengketa.
Dengan demikian, substansi yang dimuat dalam konvensi saja, yang
diadopsi dan ditransformasikan sebagai hukum positif, dan perlu
ditindaklanjuti
dalam
perundang-undangan
khusus
sebagaimana
dimaksud dalam RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme yang sekarang dibahas. Secara teoritis,
langkah ini merupakan konsekuensi daripada dianutnya paham monisme
dengan primat hukum internasional yaitu suatu aliran hukum internasional
yang memandang hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan
pada
hakekatnya,
berkekuatan
mengikatnya
berdasarkan
suatu
pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Sekalipun demikian,
paham tersebut tidak dianut secara mutlak dalam pengesahan konvensi
ini, karena masih dibatasi dengan prinsip kedaulatan dan keutuhan
wilayah negara Republik Indonesia. Pengadopsian dan pentransformasian
konvensi tersebut kedalam perundang-undangan nasional dapat dilakukan
dengan meneliti substansi sebagai berikut :
1. Ketentuan konvensi yang sama sekali belum ada pengaturannya di
dalam hukum nasional. Dalam hal yang demikian, ketentuan konvensi
akan menjadi rumusan baru dalam undang-undang.
www.djpp.depkumham.go.id
4
2. Ketentuan konvensi sudah ada padanan dan pengaturannya dalam
undang-undang Indonesia. Jika demikian, maka ada kemungkinan
ketentuan konvensi lebih lengkap atau lebih sempurna perumusannya,
sehingga RUU harus menyesuaikan atau mensinkronkan antara
ketentuan konvensi dengan perundang-undangan yang sudah ada.
3. Ketentuan dalam perundang-undangan nasional mengatur substansi
yang sudah lebih lengkap, sementara konvensi tidak mengaturnya.
Dalam hal demikian, RUU cukup mensinkronkan dengan perundangundangan nasional yang sudah ada.
Bertitik tolak pada pandangan tersebut diatas maka kajian terhadap
RUU ini akan ditinjau dari aspek permasalahan, pertama : apakah
substansi konvensi sudah masuk dalam perumusan RUU, kedua :
bagaimana hubungan dan keterkaitannya substansi RUU dengan
perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang - Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang - Undang Nomor 15
tahun 2003, Undang - Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan ketiga :
bagaimana perumusan hukum pidana materiil dan hukum pidana formal
apakah bersifat konkrit dan implementatif, bukan mengundang pelbagai
penafsiran.
II. ASAS – ASAS KRIMINALISASI PENDANAAN TERORISME
Fenomena pendanaan teroris dapat dikatakan sebagai upaya
mendapatkan dana untuk meningkatkan lebih lanjut kegiatan teroris.
Pendanaan teroris adalah merupakan bagian dari persoalan kejahatan
global yang sudah ada sejak lama terkait dengan dana – dana ilegal yang
bergerak menyeberang lintas batas antar negara. Sumber pendanaan
teroris di Asia Tenggara, sebagaimana dikemukakan oleh Arabinda
Acharya 1, berasal dari sumbangan (donations), pemanfaatan uang dari
1
Arabinda Acharya, Terorist Financing in Southest Asia dalam Terrorism in South and Southest
Asia in The Coming Accade, Editor Daljit Singh, Institute of Southest Asian Studios, Singapore,
2009, hal. 96 - 104
www.djpp.depkumham.go.id
5
yayasan amal agama Islam, keuntungan dari pendapatan bisnis yang sah
dan berasal dari kejahatan.
Sumbangan (donasi) untuk terorisme diberikan dalam bentuk yang
berbeda-beda dan yang diberikan secara sukarela atau diperoleh melalui
unsur paksaan. Pada umumnya uang tersebut dikumpulkan anggotaanggota kelompok sebagai suatu kewajiban dari anggota. Seperti halnya
yang diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al – Jamaah Al –
Islamiyah) sebagai Piagam Anggaran Dasar Jemaah Islamiyah yang
menuntut anggota-anggotanya berpartisipasi pada organisasi.2 PUPJI
2
Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyah (PUPJI) yang isinya antara lain :
a. Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien atau pokok-pokok pedoman gerakan
menegakkan agama yang berisi prinsip-prinsip dalam memahami Ad-Dien sebagai landasan
langkah-langkah sistematis yang wajib ditempuh dalam rangka menegakkan Ad-Dien.
Menegakkan Ad-Dien yang dimaksud adalah menegakkan Daulah Islamiyyah atau Negara
Islam dan selanjutnya menegakkan Khilafah Islamiyyah atau pemerintahan Islam. Ushulul–
Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien ini berfungsi sebagai pedoman pokok yang menjadi
dasar dalam penyusunan Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien.
b. Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien atau pedoman gerakan menegakkan agama
mengandung pengertian sebagai pedoman mengenai langkah-langkah sistematis yang wajib
ditempuh dalam rangka menegakkan Dien. Fungsi Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien
adalah sebagai penjabaran dari Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien dan sebagai
pedoman dasar dalam penyusunan Al-Manhaj Al-Amaliy.
c. Al-Manhaj Al-Amaliy atau pedoman operasional mengandung pengertian sebagai pedoman
umum operasi.
d. Nidhom Asasi atau aturan dasar atau anggaran dasar, yang antara lain mengatur Jama’ah,
bahwa jama’ah bernama Al-Jama’ah Al-Islamiyah yang merupakan Jama’atun minalMuslimin yaitu sebuah Jama’ah yang anggotanya terdiri dari sebagian kaum muslimin,
bukan seluruh kaum muslimin di dunia, dengan sasaran perjuangan mewujudkan tegaknya
Daulah Islamiyah sebagai basis menuju wujudnya kembali Khilafah Alaa Minhajin
Nubuwwah atau pemerintahan berdasarkan ajaran Nabi dengan menempuh jalan antara lain
jihad fii sabilillah. Jama’ah dipimpin oleh seorang Amir atau pemimpin, yang dalam
melaksanakan tugasnya Amir dibantu oleh majelis – majelis Qiyadah atau Dewan
Kepemimpinan, Majelis Syuro atau Dewan Pertimbangan, Majelis Fatwa atau Dewan
Penasehat dan Majelis Hisbah atau Dewan Pengawas. Majelis Qiyadah terdiri dari Majelis
Qiyadah Markaziah atau Dewan Pimpinan Pusat, Majelis Qiyadah Manthiqih atau Dewan
Pimpinan Wilayah dan Majelis Qiyadah Wakalah atau Dewan Pimpinan Tingkat
Perwakilan. Tugas dan wewenang Amir antara lain menerima mubaya’ah atau pembai’atan
anggota, Amir mengangkat dan memberhentikan anggota majelis syuro, anggota majelis
qiyadah markaziyah, anggota majelis fatwa dan anggota majelis hisbah, Amir
menyelenggarakan musyawarah majelis-majelis tingkat markas, mengutip infaq dari
anggota jama’ah yang baik yang bersifat rutin maupun incidental, memberi sanksi anggota
jama’ah yang melanggar peraturan jama’ah. Amir membela dan melindungi anggota,
mengadakan hubungan dengan pihak lain yang dipandang membawa kemashlahatan
jama’ah dan menunjuk pejabat sementara apabila berhalangan dalam menjalankan tugasnya.
Amir juga mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengesahkan keputusan
musyawarah.
Untuk melaksanakan Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien, Al-Manhaj Al Hirakiy Li
Iqomatid-Dien, Al-Manhaj Al-Amaliy dan Nidhom Asasi antara lain dengan Tandzim Siri atau
organisasi rahasia, Pembinaan At-To’ah atau ketaatan / loyalitas, Tajnid atau rekrut kemiliteran,
Pendidikan dan Pelatihan, Tamwil atau pendanaan dan Jihad Musallah atau jihad dengan senjata.
www.djpp.depkumham.go.id
6
memperkenalkan
sumber-sumber
keuangan
Jemaah
seperti
infaq,
shadaqah, zakat dan sumber-sumber lain yang didasarkan pada ijtihad.
Sumber dana terorisme juga dilakukan dengan penyalahgunaan
yayasan amal yaitu menyelewengkan uang yang dikumpulkan melalui
zakat dengan dalih untuk ijtihad. Dalam hal ini penyumbang zakat
menganggap bahwa uang itu dizakatkan sebagai kewajiban keagamaan
yang digunakan untuk tujuan utama beribadah. Pengelola dana zakat
menginvestasikan dalam bentuk bermacam-macam sumbangan atau
subsidi pada organisasi-organisasi amal. Uang zakat tersebut dapat
disalahgunakan tanpa sepengetahuan penyumbang, pemberi zakat atau
bahkan tidak diketahui oleh anggota pengelola/pengurus dan staf
organisasi itu sendiri. Uang tersebut diselewengkan oleh pegawai atau
pengurus lainnya. Dengan cara ini sumbangan amal dapat dilibatkan
untuk mendukung kegiatan kelompok-kelompok teroris.
Sumber dana juga dapat diperoleh kelompok teroris dengan
membangun usaha mereka sendiri melalui perdagangan dan perputaran
uang. Bisnis wirausaha tingkat menengah adalah sesuatu yang ideal,
bukan hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga menjadi kedok
transaksi keuangan untuk menghindari pelacakan. Bisnis ini meliputi
perusahaan
konstruksi,
agen
perjalanan
(travel
agencies),
jasa
pengiriman (courier service), lembaga-lembaga keuangan terutama bank
bernuansa Islam, jasa pengiriman uang dan bahkan sekolah-sekolah.
Seringkali kelompok teroris itu sendiri yang akan mengambil tindakan
menyebarkan uang untuk memulai suatu bisnis yang sah. Salah satu
tujuannya disini adalah untuk menghasilkan pendapatan atau untuk
mencampurkan hasil pencucian uang seolah-olah berasal dari usaha yang
sah.
Jihad Musallah diartikan sebagai Qital yakni berperang untuk melawan musuh Allah dan RasulNya antara penguasa kafir, musyrik, murtad, zindiq, mustabdil dan pembantunya tanpa
menjelaskan alasan dibolehkannya jihad Qital (berperang).
(Disalin dari Surat Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 12
Oktober 2004 dalam perkara terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias Abu Bakar
Ba’asyirbin Abud Ba’asyir)
www.djpp.depkumham.go.id
7
Kelompok teroris juga menggunakan sekolah-sekolah swasta untuk
mendukung pendanaan dalam aktifitas mereka. Beberapa sekolah yang
sudah mapan juga membayar orang-orang upahan untuk operasi teroris.
Arabinda Acharya menyebut nama Zubair seorang warga negara
Malaysia, menjadi anggota Al Qaeda, membangun aktifitas kelompok
melalui jaringan sekolah perawat, taman kanak-kanak dan yatim piatu.
Zubair bertanggung jawab untuk operasi dari Om-Al-Qura Foundation,
suatu sekolah Islam di Cambodia.3
Modus operandi pendanaan terorisme sebagaimana digambarkan
diatas adalah merupakan salah satu bentuk perbuatan yang akan
dikriminalisasikan4
dalam
Undang
-
Undang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Menurut Mardjono Reksodiputro5,
untuk menguji suatu kriminalisasi primair (rumusan tindak pidana) perlu
diperhatikan sejumlah asas, yaitu :
(1) Asas bahwa kerugian yang digambarkan oleh perbuatan tersebut
harus masuk akal, adapun kerugian ini dapat mempunyai aspek moral
(moralitas individu – kelompok – kolektifitas), tetapi selalu harus
merupakan “public issue”.
(2) Asas adanya toleransi (tenggang-rasa) terhadap perbuatan tersebut
(penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau
tidak adanya toleransi ; toleransi didasarkan pada penghormatan atas
kebebasan dan tanggung jawab individu) ;
(3) Asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak
pidana,
perlu
diperhatikan
apakah
kepentingan
hukum
yang
terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dengan
cara lain ; hukum pidana hanyalah ultimum remedium) ;
3
Arabinda Acharya, loc.cit, hal. 101
Kriminalisasi menurut Mardjono Reksodiputro mengandung pengertian : primair untuk
menyatakan sebagai tindak pidana perbuatan dalam abstracto dan secundair untuk memberi label
pelanggar hukum pidana pada orang dalam concreto (sekedar catatan sementara tentang
Kriminalisasi, Politik Kriminal dan Asas-Asasnya (Makalah disampaikan pada FGD-PPATK,
Senin, 5 Januari 2008)
5
Ibid
4
www.djpp.depkumham.go.id
8
(4) Asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang
digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi,
dan dengan reaksi atau pidana yang diberikan) ;
(5) Asas legalitas, apabila a sampai dengan d telah dipertimbangkan,
masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan
dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi,
tercakup dan pula jelas hubungannya dengan asas kesalahan, yang
merupakan sendi utama hukum pidana ;
(6) Asas penggunaannya secara praktis, dan efektifitasnya berkaitan
dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi
umum (practical use and effectivity).
Perumusan tindak pidana pendanaan terorisme dapat dipandang
telah memenuhi asas-asas kebijakan kriminal tersebut diatas, yaitu :
(1) Sifat kerugian yang ditimbulkan perbuatan pendanaan terorisme dapat
menimbulkan kerugian baik dari aspek moral maupun public issue.
Aspek moral dapat digambarkan dari kerugian mereka yang secara
ikhlas menyumbang atas dasar kewajiban agama yang disalurkan
melalui badan-badan keagamaan seperti badan zakat, yayasan
keagamaan ternyata telah disalahgunakan orang lain untuk membantu
pendanaan terorisme. Upaya menghentikan pendanaan terorisme
bukan saja menjadi issu domestik tetapi juga sudah menjadi issu
global. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Nomor 1373 (2001) tertanggal 28 September 2001 telah memutuskan
agar semua negara mencegah dan menindas pendanaan tindakan –
tindakan teroris. Resolusi juga meminta kepada semua negara untuk
menjadikannya suatu kejahatan untuk setiap perbuatan yang dengan
sengaja memberi atau mengumpulkan dengan cara apapun baik
langsung atau tidak langsung dengan maksud bahwa dana tersebut
akan digunakan untuk melaksanakan tindakan-tindakan teroris.
(2) Memenuhi asas toleransi (tenggang-rasa) dalam arti bahwa akibat
perbuatan pendanaan dapat mengakibatkan tindakan terorisme yang
menimbulkan kerugian sangat besar bagi masyarakat berupa korban
www.djpp.depkumham.go.id
9
harta benda maupun korban manusia. Masyarakat tidak dapat lagi
mentolerir
perbuatan
pendanaan
terorisme
yang
menimbulkan
kerugian luar biasa bagi masyarakat.
(3) Asas subsidiaritas telah terpenuhi mengingat tidak ada cara lain untuk
melindungi
kepentingan
hukum
masyarakat,
selain
dengan
menggunakan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Alternatif
usaha lain memberantas pendanaan terorisme dipandang tidak akan
memadai, berhubung analisa biaya dan hasil, dukungan publik yang
kuat baik nasional maupun internasional terhadap pemberantasan
terorisme melalui penghentian pendanaan.
(4) Asas proporsionalitas sebagai persyaratan kebijakan kriminal dapat
digambarkan dengan adanya keseimbangan antara kerugian menurut
batas – batas asas toleransi dengan reaksi atau pidana yang akan
diberikan. Ancaman sanksi pidana merupakan sarana yang efektif
untuk menekan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pendanaan
teroris.
(5) Asas legalitas akan terpenuhi melalui perumusan undang-undang
yang jelas, konkrit sejalan dengan asas lex sricpta (dirumuskan
sebagai aturan hukum pidana tertulis), asas lex certa (perumusan
jelas dan tidak multi tafsir), dan asas lex stricta (aturan itu harus
ditafsirkan secara sempit dan tidak digunakan analogi).
(6) Asas penggunaannya secara praktis dan efektif dalam penerapannya
akan dapat dipenuhi manakala waktu merumuskan tindak pidana
sudah memiliki prediksi dalam praktik penegakan hukumnya.
Tindak pidana pendanaan terorisme merupakan tindak pidana yang
mendahului terjadinya tindak pidana terorisme. Terorisme tidak akan
dilakukan tanpa dana. Oleh karena sifat tindak pidana ini adalah tindak
pidana yang kemungkinan menimbulkan ancaman bahaya, terjadinya
pelanggaran atas kepentingan hukum tidak ditunggu, tetapi hukum pidana
dapat dikatakan melakukan upaya preventif. Hukum pidana tidak
menunggu munculnya akibat perbuatan (kerugian), namun langsung
bekerja begitu “ancaman” terhadap kepentingan hukum yang hendak
www.djpp.depkumham.go.id
10
dilindungi muncul6. Tentang ancaman bahaya dalam perumusan tindak
pidana, Jan Remmelink menunjuk adanya dua cara yaitu delik yang
menimbulkan bahaya abstrak, suatu cara merumuskan suatu perbuatan
tertentu sebagai tindak pidana berdasarkan pengalaman, perbuatan
tertentu
sangat
mudah
berujung
pada
pelanggaran
kepentingan-
kepentingan hukum, tanpa merumuskan lebih terperinci kepentingan –
kepentingan hukum seperti apa yang rentan terhadap resiko tersebut.
Sebaliknya yang kedua, delik yang menimbulkan bahaya konret, yaitu ia
juga dapat merumuskan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, apabila
tindakan tersebut “in concreto” telah menimbulkan bahaya yang
dirumuskan dalam undang-undang. Katagori tindak pidana tersebut
berkembang menjadi pemilahan antara delik formal dan delik materiil.
Delik yang menimbulkan bahaya abstrak hanya melarang suatu perilaku,
sedangkan delik yang menimbulkan bahaya konkret melarang suatu
tindakan dan munculnya akibat yang menimbulkan bahaya bagi
kepentingan – kepentingan hukum tertentu.7 Mencermati cara perumusan
tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, maka tindak pidana
pendanaan terorisme pada dasarnya adalah merupakan suatu perbuatan
yang merujuk pada kelakuan yaitu melakukan suatu perbuatan dengan
segala cara, langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum dan
sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud akan
digunakan melakukan terorisme. Tentang akibat perbuatan, berupa
terorisme sebagai kepentingan hukum yang dilanggar, masih belum tentu
terjadi
akan
timbul.
Dengan
demikian perumusan
tindak
pidana
pendanaan terorisme, lebih tepat dirumuskan sebagai “delik formal”.
6
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, diterjemahkan oleh Pascal Moeljono, SH. LLM, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003, hal.
62
7
Ibid, hal 63.
www.djpp.depkumham.go.id
11
III. IMPLIKASI
KONVENSI
DALAM
PERUMUSAN
PERUNDANG-
UNDANGAN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PENDANAAN TERORISME
Konvensi internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999
sampai saat perumusan RUU sekarang ini, selama lebih 11 (sebelas)
tahun, permasalahan terorisme dan khususnya pendanaan terorisme telah
berkembang semakin kompleks seiring dengn trend terorisme yang terjadi
dalam
tingkat
nasional,
regional
maupun
internasional.
Upaya
pemberantasan terorisme oleh negara-negara di dunia, ternyata juga
memunculkan kegiatan terorisme dengan strategi dan taktik yang baru.
Kebijakan
kriminalisasi
melalui
pembentukan
undang-undang,
memerlukan sinkronisasi dan harmonisasi diantara berbagai perundangundangan yang terkait.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, dalam rangka menyusun
undang-undang pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme,
mau tidak mau dan tidak dapat dilepaskan untuk menggunakan rujukan
Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 yang
sudah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi oleh Undang - Undang
Nomor 6 tahun 2006. Disamping, undang-undang yang terkait seperti
Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo Undang - Undang Nomor 15 tahun 2003
dan Undang - Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang - Undang
Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana perlu diperhatikan sebagai rujukan, agar perumusan undangundang yang akan disusun ini tidak saling tumpang tindih atau saling
bertentangan satu dengan yang lain.
Beberapa permasalahan dalam perumusan RUU ini akan dibahas
sebagai berikut :
1. Dasar hukum
Dasar hukum yang melandasi undang-undang tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme yang disebut dalam
“mengingat” masih perlu ditambah dengan undang-undang terkait
www.djpp.depkumham.go.id
12
yaitu Undang - Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana.
2. Ketentuan umum
Ketentuan
umum
perundang-undangan
memuat
definisi
atau
pengertian dari istilah – istilah yang digunakan dalam substansi
undang-undang.
Pengertian
akan
definisi yang
dimuat
dalam
ketentuan umum menyangkut istilah-istilah yang ternyata juga
dipergunakan
dalam
perundang-undangan
lainnya.
Dalam
hal
demikian ini, diperlukan sikap hati-hati, jeli dan cermat jangan sampai
rumusan yang dimuat dalam ketentuan umum tidak sama atau bahkan
bertentang dengan perumusan undang-undang yang lain.
Tanggapan atas perumusan Pasal 1 RUU tentang Ketentuan Umum,
akan disampaikan sebagai berikut :
(a) Pasal 1 angka (1) RUU memuat perumusan tentang pengertian
“pendanaan terorisme”. Jika diperhatikan perumusannya sudah
menunjukkan
perumusan
tindak
pidana
sebagai
upaya
mengkriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme menjadi tindak
pidana.
Dikatakan
sebagai
perumusan
tindak
pidana,
karena
merupakan uraian perbuatan yang dilarang (tetapi tidak memuat
ancaman pidana) terdiri dari unsur-unsur :
- Setiap perbuatan ;
- Dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau
meminjamkan dana;
- Yang berasal dari sumber yang sah maupun tidak sah, baik secara
langsung maupun tidak langsung ;
- Yang diketahuinya atau patut diduga bahwa dana tersebut akan
digunakan,
baik
keseluruhannya
maupun
sebagian,
untuk
melakukan tindak pidana terorisme.
Rumusan dari pengertian istilah pendanaan terorisme ini,
ternyata tidak diberikan ancaman sanksi pidana. Rumusan Pasal 2,
www.djpp.depkumham.go.id
13
Pasal 3 dan Pasal 4 yang merupakan rumusan inti dari tindak pidana
pendanaan terorisme ternyata memuat perumusan yang berbeda
dengan rumusan Pasal 1 angka 1.
Oleh karena itu, tidak tepat jika istilah pendanaan terorisme
dirumuskan tersendiri dalam Pasal 1 angka (1). Apalagi, istilah
pendanaan terorisme tidak dijumpai dalam perumusan pasal-pasal
perundang-undangan melainkan hanya bagian istilah yang digunakan
dalam bab saja, yaitu bab II dan bab III.
Istilah pendanaan terorisme terdiri dari 2 (dua) suku kata :
“pendanaan” dan “terorisme” sehingga bila ingin memberikan definisi
maka yang utama adalah definisi “dana” dan definisi “terorisme”.
(b) Istilah tindak pidana terorisme yang digunakan dalam Pasal 1 angka
(2) seyogyanya diganti dengan istilah “terorisme” saja yang diberikan
pengertian atau definisi, dengan alasan :
-
Istilah terorisme memiliki makna yang lebih luas dari tindak pidana
terorisme, yaitu mencakup perbuatan-perbuatan yang mungkin
saja
belum
dirumuskan
sebagai
tindak
pidana
tetapi
sesungguhnya termasuk dalam pengertian terorisme dalam arti
non yuridis, sepert politis, sosiologis, kriminologis dan sebagainya.
-
Istilah terorisme mempunyai makna lebih luas dan bersifat
transnasional, sehingga tindak pidana yang dirumuskan oleh satu
negara bisa berbeda dengan negara lain, sehingga demikian
perbuatan yang dilarang bukan saja pendanaan terhadap tindak
pidana terorisme menurut hukum nasional, juga bisa meliputi
pendanaan terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan di
luar negeri dan karenanya sangat mungkin menjadi locus delictie
pendanaan dan locus delictie terorisme yang dilakukan dengan
pendanaan tersebut terjadi di negara lain. Dalam hal demikian
akan terkait masalah perluasan yurisdiksi criminal, mengingat
locus delictie- nya dapat saja terjadi di beberapa negara.
www.djpp.depkumham.go.id
14
-
Sekalipun dalam rumusan pasal-pasal konvensi Pasal 2 ayat (1)
huruf (b) konvensi tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa
yang dimaksud adalah tindak pidana terorisme.
-
Sekalipun dalam rumusan normatif perundang-undangan antara
berbagai negara berbeda satu dengan lain, demikian pula definisi
yang diberikan oleh kalangan ahli hukum pidana belum mencapai
kesepakatan, maka definisi atau pengertian terorisme dalam RUU
ini dapat saja mengambil rumusan dari undang-undang negara
lain atau mengambil pendapat salah satu ahli hukum pidana
ataupun merumuskan sendiri dengan merujuk pada konvensi
ataupun pakar-pakar ahli hukum pidana.
(c) Istilah tindak pidana pendanaan terorisme yang dirumuskan dalam
Pasal 1 angka (3) disarankan untuk dihapuskan, karena secara
normatif sudah dirumuskan dalam pasal-pasal yang khusus seperti itu,
misalnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 RUU.
(d) Pengertian istilah “setiap orang” yang dirumuskan dalam Pasal 1
angka (4) dan “korporasi” yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (5)
RUU perlu disinkronkan dengan undang-undang yang lain terutama
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengertian “setiap
orang” maupun “korporasi” harus menggambarkan perkembangan
hukum pidana untuk dapat menuntut pertanggungjawaban korporasi,
yang mengatur : pertama tentang perbuatan pengurus atau orang lain
yang harus dikonstruksi sebagai perbuatan korporasi, dan kedua
tentang kesalahan pada korporasi.8
(e) Istilah transaksi, dirumuskan Pasal 1 angka (6), transaksi keuangan
terkait pendanaan terorisme Pasal 1 angka (7), dan istilah – istilah
yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (10) sampai dengan angka
(15) dihapuskan dari perumusan karena istilah – istilah itu sudah
dijelaskan dalam undang-undang lain yang terkait yaitu Undang8
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Ed. 1 cet. 2, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
1997, hal. 106)
www.djpp.depkumham.go.id
15
Undang
Nomor
8
tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
(f) Istilah dokumen yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (9) masih
tetap dipertahankan terkait dengan hukum acara pidana, khususnya
dalam hukum pembuktian. Hanya saja perlu disinkronkan dengan
undang-undang lain, terutama Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
(g) Istilah dana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (8) perlu
dipertahankan tetapi disinkronkan dengan Pasal 1 angka (1) konvensi.
(h) Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka (2) dan (3) konvensi, perlu
ditambahkan dalam RUU. Pengertian dari istilah “fasilitas negara” atau
“fasilitas pemerintah” dan istilah “hasil kekayaan”.
Pengertian “fasilitas negara atau fasilitas pemerintah” penting
dirumuskan terkait dengan penerapan asas perluasan territorial yang
obyektif dalam tindak pidana transnasional. Asas perluasan territorial
yang obyektif adalah suatu asas yang membenarkan kewenangan
suatu negara untuk melakukan penuntutan dan peradilan serta
penjatuhan pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan diluar
territorial negara yang bersangkutan, akan tetapi diselesaikan di
negara yang memiliki yurisdiksi kriminal tersebut atau mengakibatkan
dampak
yang
sangat
merugikan
kepentingan
ekonomi
dan
kesejahteraan sosial warga negara atau negara yang bersangkutan.
Asas perluasan territorial yang obyektif didasarkan atas pandangan
bahwa locus delictie di luar batas territorial negara yang bersangkutan
dipandang / diakui adalah sama dengan locus delictie di dalam batas
territorial negara yang bersangkutan atau karena tindak pidana
tersebut
berdampak
(affect)
di
dalam
wilayah
negara
yang
bersangkutan.9 Tegasnya pengertian fasilitas negara atau fasilitas
pemerintah diperlukan untuk memperjelas perumusan locus delictie
tindak pidana pendanaan terorisme yang terjadi di luar wilayah
9
Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional. Dalam Kerangka Perdamaian dan Keamanan
Internasional, PT. Fikahati Anesha, Jakarta 2010, hal. 124.
www.djpp.depkumham.go.id
16
negara, ditujukan terhadap fasilitas negara atau fasilitas pemerintah
Republik Indonesia.
Pengertian “fasilitas negara atau fasilitas pemerintah” menurut
konvensi adalah berarti fasilitas atau kendaraan baik permanen atau
sementara yang digunakan atau ditempati oleh perwakilan-perwakilan
negara, anggota-anggota pemerintahan, para anggota legislatif dan
yudikatif atau oleh pejabat-pejabat atau pegawai-pegawai suatu
organisasi internasional dalam hubungan dengan tugas-tugas resmi
mereka.
Sedangkan pengertian “hasil kekayaan” penting dirumuskan
terkait dengan perumusan tentang tindakan hukum yang ditentukan
terhadap dana-dana yang berasal dari atau didapatkan melalui tindak
pidana pendanaan terorisme.
Konvensi memberikan pengertian “hasil kekayaan” sebagai setiap
dana yang berasal dari atau didapatkan langsung atau tidak langsung,
melalui perbuatan-perbuatan kejahatan seperti yang ditetapkan dalam
Pasal 2 konvensi.
Dengan demikian, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sebagai implementasi dari
konvensi perlu menggunakan ketentuan konvensi sebagai rujukan,
kecuali dipandang merugikan kepentingan nasional.
3. Perumusan ketentuan hukum pidana materiil
3.1.Perumusan Pasal 2 RUU merupakan perumusan inti dari tindak
pidana pendanaan terorisme. Seyogyanya perumusan ini merujuk
pada Pasal 2 ayat (1) konvensi dengan penyesuaian undangundang terkait, terutama Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 15 tahun 2003. Unsur –unsur tindak pidana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) konvensi adalah meliputi :
(a) Dengan segala cara, langsung atau tidak langsung, dan
dengan melawan hukum ;
(b) Sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana ;
www.djpp.depkumham.go.id
17
(c) Dengan maksud bahwa dana tersebut akan digunakan atau
dalam sepengetahuan bahwa dana tersebut akan digunakan,
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan terorisme.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) terhadap Pasal 2
RUU perlu diberikan penjelasan sebagai berikut : tindak pidana
menurut pasal ini, dipandang selesai dilakukan, sekalipun dana
tersebut tidak benar-benar digunakan untuk melakukan terorisme
terorisme yang dimaksudkan tidak terjadi.
Perumusan Pasal 2 ini diperlukan kecermatan dan ketelitian,
dengan memperhatikan Pasal 11 dan Perpu Nomor 1 tahun 2002
jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 jangan sampai terjadi
“satu perbuatan” dikriminalisasikan dalam beberapa tindak pidana,
satu perbuatan pendanaan terorisme jangan dirumuskan sebagai
tindak pidana dalam undang-undang yang berbeda, yaitu dalam
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan dan juga
dalam Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu Nomor 1 tahun
2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003). Hal yang
demikian akan menimbulkan permasalahan dalam penerapan di
praktek peradilan. Ketentuan Pasal 11 Perpu Nomor 1 tahun 2002
jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 berbunyi : “dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (limabelas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya
untuk
melakukan
tindak
pidana
terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9
dan Pasal 10.”
Perbedaan ketentuan Pasal 11 Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 dengan Pasal 2 ayat (1)
Konvensi adalah pada Pasal 2 ayat (1) konvensi disebutkan cara
menyediakan atau mengumpulkan dana yaitu dengan segala cara,
www.djpp.depkumham.go.id
18
langsung atau tidak langsung, dan dengan melawan hukum,
sementara ketentuan tersebut tidak dirumuskan dalam Pasal 11
Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003.
3.2. Ketentuan Pasal 3 RUU pada dasarnya merupakan ketentuan
khusus yang menyimpang dari ketentuan umum tentang ancaman
pidana percobaan dan pembantuan dalam KUHP. Ancaman
pidana yang dijatuhkan bukan ancaman pidana dikurangkan
sepertiganya sebagaimana dimaksud Pasal 53 dan Pasal 56
KUHP, tetapi menurut RUU, ancaman pidana percobaan dan
pembantuan disamakan dengan pelaku / pembuat. Hanya saja
dalam RUU rumusan ditulis secara lengkap, tidak merujuk pada
Pasal 2, sehingga ditinjau dari sistematika penyusunan undangundang seolah-olah tidak ada hubungan antara Pasal 2 dan Pasal
3. Oleh karena itu seyogyanya perumusannya dirubah dan
disesuaikan dengan teknis perumusan dalam undang-undang
yang lain untuk masalah yang sama. Perumusan Pasal 3 cukup
menyatakan : “Setiap orang yang melakukan percobaan atau
pembantuan
untuk
melakukan
tindak pidana
sebagaimana
dimaksud dalam pasal, dipidana dengan pidana yang sama
dengan pelaku tindak pidananya”.
3.3. Perumusan Pasal 4 RUU perlu disesuaikan dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (5) konvensi yang memiliki pengertian yang luas
dibanding dengan isi Pasal 4 RUU yang memuat unsur
merencanakan, menggerakkan atau menyuruh orang lain untuk
melakukan tindak pidana Pasal 2. Dengan merujuk pada Pasal 2
ayat (5) konvensi maka disarankan perumusan Pasal 4 RUU
dirubah menjadi :
mengorganisir
atau
“ Setiap orang yang turut berpartisipasi,
menggerakkan,
memberikan
kontribusi
terhadap tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal, diancam
dengan pidana yang sama untuk pelakunya”.
www.djpp.depkumham.go.id
19
Perbuatan berpartisipasi, mengorganisir atau menggerakkan
orang lain atau memberikan kontribusi terjadinya satu atau lebih
tindak
pidana
sekelompok
pendanaan
orang
yang
terorisme
mempunyai
yang
dilakukan
tujuan
yang
oleh
sama,
sesungguhnya merupakan bentuk ajaran turut serta (medeplegen)
Pasal 55 ayat (1) ke-11 KUHP yang diperluas dalam hukum
pidana, memiliki pengertian yang lebih luas dibanding dengan
istilah merencanakan, menggerakkan atau menyuruh orang lain
yang dimaksud dalam Pasal 4 RUU. Sekalipun seseorang itu tidak
ikut merencanakan, menggerakkan atau menyuruh orang lain,
tetapi dia menjadi anggota perkumpulan atau korporasi yang
diketahui olehnya memiliki tujuan pendanaan terorisme, maka ia
dapat dikualifikasi sebagai orang yang berpartisipasi. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) konvensi, bilamana istilah
kontribusi dimasukkan dalam rumusan Pasal 4, maka perlu diberi
penjelasan atas Pasal 4 RUU yaitu :
“Pengertian konstribusi dalam pasal ini haruslah merupakan
kesengajaan, dan juga harus :
a. Dilakukan
dengan
tujuan
untuk
memperluas
kegiatan,
kejahatan atau tujuan kejahatan kelompok itu, dimana kegiatan
atau tujuan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak pidana
pendanaan terorisme ;
b. Dilakukan
dengan
sepengetahuan
adanya
maksud
dari
kelompok itu untuk melakukan tindak pidana pendanaan
terorisme.
3.4. Ketentuan tentang yurisdiksi kriminal
Mengingat sifat dan bentuk tindak pidana pendanaan
terorisme ini merupakan tindak pidana transnasional maka perlu
diatur pula ketentuan tentang ruang lingkup berlakunya undangundang yang meliputi locus delictie diluar wilayah negara. Untuk
maksud tersebut, ketentuan Pasal 7 konvensi perlu diakomodir
dalam RUU, yaitu :
www.djpp.depkumham.go.id
20
a. Memberlakukan
undang-undang
ini
atas
tindak
pidana
pendanaan terorisme apabila tindak pidana tersebut dilakukan
didalam wilayah negara, diatas pesawat terbang berbendera
negara atau pesawat terbang tersebut terdaftar berdasarkan
peraturan perundang-undangan negara tersebut, atau tindak
pidana tersebut dilakukan oleh warga negara.
b. Memberlakukan undang-undang ini terhadap tindak pidana
pendanaan terorisme diluar wilayah negara dan tindak pidana
itu ditujukan atau memiliki akibat di dalam wilayah negara RI,
tindak pidana ditujukan kepada atau berakibat terhadap fasilitas
negara atau fasilitas pemerintah negara RI diluar negeri,
termasuk perwakilan diplomatik atau konsuler negara RI.
c. Ketentuan – ketentuan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7 ayat (2) konvensi.
d. Sesuai dengan resiprositas, undang-undang ini juga mengatur
yurisdiksi negara lain atas tindak pidana pendanaan terorisme
yang dilakukan dalam wilayah RI sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 ayat (2) konvensi.
3.5. Ketentuan
tentang
kerjasama
dengan
negara
lain
dalam
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan serta masalah ekstradisi.
RUU
perlu
mengakomodir
ketentuan
konvensi
yang
mengatur tentang hal-hal tersebut, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 konvensi, meliputi antara lain :
a. Pengidentifikasian,
pendeteksian
dan
pembekuan
atau
penyitaan dana yang digunakan atau dialokasikan untuk tujuan
melakukan
tindak
pidana
pendanaan
terorisme,
serta
perjanjian pembagian dengan negara lain atau dana-dana
yang diperoleh dari penyalahgunaan, untuk nantinya dipakai
mengganti kerugian para korban.
www.djpp.depkumham.go.id
21
b. Masalah ekstradisi
c. Permintaan keterangan atau memperoleh bukti dari seseorang
yang sedang dalam tahanan atau sedang menjalani hukuman
di negara lain.
Dalam merumuskan ketentuan ini, perlu kiranya dipertimbangkan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal
Balik Dalam Masalah Pidana.
4. Ketentuan tentang upaya pencegahan
Pasal 18 konvensi mengatur tentang upaya “pencegahan” tindak
pidana pendanaan terorisme yang isinya pada pokoknya meminta negara
pihak menetapkan peraturan perundang-undangan nasional sebagai
upaya mencegah dan menangkal persiapan-persiapan dalam wilayah
negara masing-masing didalam atau diluar wilayah negara.
RUU mengatur upaya pencegahan tersebut dalam Bab IV, Bab V
dan Bab VI yang dirumuskan ke dalam 20 pasal. Memperhatikan rumusan
pasal-pasal tersebut, isinya kelihatan “hampir sama” dengan UndangUndang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang pada Pasal 17 sampai dengan Pasal 36.
Demi efisiensi dan mencegah pengulangan rumusan yang sudah
ditentukan dalam suatu undang-undang (dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010), maka masalah yang terkait dengan pencegahan
pendanaan tindak pidana terorisme di rumuskan secara singkat dalam
RUU misalnya sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan pendanaan terorisme dilaksanakan oleh Pusat
Pelaporan
Analisis
Transaksi
Keuangan
(PPATK)
dengan
berkoordinasi dengan badan-badan yang terkait.
b. Ketentuan tentang upaya pencegahan pendanaan terorisme
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
c. Ketentuan yang ditentukan dalam undang-undang ini, sebagai
pengecualian dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 adalah
merujuk pada Pasal 18 konvensi.
www.djpp.depkumham.go.id
22
IV. PENUTUP
Undang-undang
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan
Pendanaan Terorisme banyak bersinggungan dengan Perpu Nomor 1
tahun
2002
jo
Undang-Undang
Nomor
15
tahun
2003
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maupun Undang-Undang
Nomor
6
tahun
2006
tentang
International Convention
for The
Suppression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme).
Kajian singkat ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan guna
penyempurnaan RUU.
www.djpp.depkumham.go.id
Download