Majalah Ilmiah Desember 2012

advertisement
68 Media Bina Ilmiah
ISSN No. 1978-3787
REVITALISASI PARTAI POLITIK
Oleh:
H. M. Yusuf A.R
Dosen PNS dpk pada Universitas 45 Mataram
Abstrak : Fungsi-fungsi partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Parpol seolah berjalan sendiri
terpisah dari masyarakat. Partai politik lebih disibuhkan dengan kegiatan mengurus diri sendiri demi elit
pengurus partai politik. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya parpol mengambil
peran dan tanggung jawab dalam proses demokratisasi. Agar partai mengakar atau melembaga dengan kuat
di masyarakat, maka perlu revitalisasi dengan cara menjalankan seluruh fungsi partai politik yaitu fungsi
komunikasi politik, fungsi sosialisasi, fungsi rekrutmen, dan fungsi pengelolaan konflik.
Kata kunci : Revitalisasi, Partai Politik
PENDAHULUAN
Selama ini, partai-patai politik pada umumnya
sangat kurang memiliki kemampuan dalam
menjalankan fungsi-fungsinya sebagai partai politik.
Kekurang mampuan ini dibuktikan dengan tidak
tersalurkannya aspirasi masyarakat karena partaipartai politik hanya berfungsi menyalurkan
kepentingan elit partai politik. Idealnya, partai
politik berperan dalam memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negaranya. Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 pasal 1, mendefinisikan partai politik
adalah “…organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa
dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945“.
Guna menjalankan peran tersebut, partai politik
memiliki sejumlah fungsi seperti fungsi komunikasi
politik, fungsi sosialisasi politik, fungsi rekruitmen
politik, dan fungsi mengelola konflik (Budiardjo,
2003). Munculnya politik uang, munculnya kandidat
bukan dari kader partai, munculnya konflik-konflik
di masyarakat adalah bukti tidak berjalannya fungsi
partai politik.
Fungsi komunikasi politik selama ini hanya
berlangsung menjelang atau selama pemilihan
umum ataupun pemilukada. Pengurus partai rajin
mendekati masyarakat dengan harapan mendapatkan
dukungan suara dengan cara mengarahkan dukungan
ke kandidat pilihan partai, bukan dalam rangka
menjaring aspirasi warga masyarakat. Idealnya,
partai politik berperan menyalurkan aspirasi
masyarakat dan menekan kesimpangsiuran pendapat
di masyarakat agar tidak timbul kesalahpahaman.
Keberadaan partai politik menjadi wadah
penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang
sependapat (interest aggregation) agar dapat
diartikulasikan secara terstruktur atau teratur.
Selanjutnya, partai politik merumuskan aspirasi
tersebut menjadi suatu usulan kebijakan kepada
pemerintah agar menjadi suatu kebijakan publik.
Fungsi sosialisasi politik idealnya mampu
mendidik dan membangun orientasi pemikiran
anggota-anggota partainya serta masyarakat luas
agar sadar akan peran dan tanggungjawabnya
sebagai warga negara. Partai politik seharusnya
memberikan
pendidikan
politik
kepada
konstituennya agar mampu menjadi warga negara
yang baik. Fungsi ini tidak berjalan dengan baik
karena sosialisasi pun hanya berlangsung menjelang
pemilihan umum, yaitu partai-partai sibuk
menyosialisasikan visi dan misinya, menyampaikan
program-programnya apabila memenangi pemilu.
Jadi jelas, sosialisasi hanya dimaksudkan untuk
mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat.
Tetapi, partai politik melupakan atau bahkan tidak
mau tahu tentang aspirasi masyarakatnya sendiri.
Fungsi rekrutmen politik juga tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Partai politik memiliki
fungsi untuk merekrut orang-orang agar bersedia
menjadi anggota atau kader partai politik dengan
harapan kader bersangkutan dapat memperluas
partisipasinya dalam kegiatan politik, termasuk
menyiapkan kader menjadi pemimpin dalam struktur
politik, baik dalam struktur partai politik atau
pemimpin dalam struktur negara.
Fungsi mengelola konflik dilakukan oleh partai
politik agar konflik yang muncul di masyarakat
sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi
tidak berdampak buruk. Konflik dapat dikelola
dengan baik sehingga tidak memboroskan energi di
masyarakat. Fakta menunjukkan masyarakat kita
____________________________________
Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
Media Bina Ilmiah 69
………...…………………………………………….…………………………………………………
begitu mudah terpancing untuk berkonflik, tanpa ada
partai politik yang dapat meredamnya.
Berbagai fakta di atas memperlihatkan adanya
disfungsi partai politik. Disfungsi berarti tidak
berjalannya fungsi-fungsi yang sudah dirumuskan.
Salah satu sumber mendasar penyebab disfungsi
adalah
kuatnya
budaya
oligarki,
yaitu
kecenderungan suatu partai politik untuk
memperjuangkan kepentingan pengurusnya di atas
kepentingan masyarakat secara umum. Dalam hal
ini, aspirasi masyarakat tidak didengar. Jangankan
aspirasi masyarakat, aspirasi anggotanya saja tidak
diperhatikan. Anggota-anggota tidak memiliki
kemampuan untuk menjadi warga partai yang bebas
menyuarakan aspirasi politiknya.
Apabila kondisi tersebut terus berkelanjutan
dan dipandang sebagai suatu kewajaran maka sulit
bagi Indonesia untuk tumbuh menjadi bangsa besar.
Modal utama untuk menjadi bangsa besar bukan
hanya dari jumlah penduduk yang besar, kekayaan
alam yang melimpah dan iklim demokratis yang
sudah ada di Indonesia saat ini. Jepang, Korea
Selatan, Jerman, Belanda dan negara-negara maju di
Eropa bukan mengandalkan jumlah penduduk yang
besar, tetapi karena warga negaranya yang terdidik
dan berkarakter.
Selama ini partai politik sangat kurang
memperhatikan pentingnya memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat. Pendidikan politik
memang telah dilaksanakan di sekolah-sekolah,
khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan,
namun tidak cukup hanya diajarkan di sekolah.
Pendidikan karakter memang sudah diajarkan di
sekolah, di madrasah, pesantren, gereja atau di
dalam
keluarga,
tetapi
masyarakat
lebih
memperhatikan apa yang dialami, didengar, dilihat
atau dirasakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui media massa, masyarakat dengan mudah
melihat dan mendengar bagaimana rusaknya moral
bangsa. Korupsi tidak menunjukkan tanda
berkurang, melibatkan leblih banyak pihak, tidak
hanya di eksekutif tetapi juga di parlemen, partai
politik dan para pengusaha. Dalam kasus Hambalang
misalnya, banyak publik figur yang terlibat seperti
Menpora, ketua umum Demokrat, beberapa anggota
parlemen, bahkan diduga sejumlah ketua badan
ataupun komisi di parlemen. Meskipun disangkal
oleh yang bersangkutan tampak jelas ada yang
disembunyikan dari publik. Tidak kalah ramainya
adalah korupsi di daerah-daerah yang melibatkan
bupati/gubernur. Dan masih banyak lagi kasus
seperti narkoba, peradilan yang tidak adil dan
sebagainya.
Ketika ada pelanggaran hukum yang begitu
terbuka dan para elit politik bersikap pura-pura
tidak tahu karena teman separtai yang menjadi
pelakunya, maka menunjukkan sikap yang tidak
konsisten. Perilaku politikus yang teekespos di
media massa dengan mudah dilihat atau didengar
oleh masyarakat. Apabila perilakunya positif tidak
masalah, tetapi perilaku yang negatif dapat
berbahaya karena akan dijadikan sebagai pembenar
bahwa perilaku tersebut sebagai hal yang wajar.
Masyarakat melakukan apa yang disebut dengan
peniruan atau imitasi. Dalam kasus Hambalang,
misalnya, banyak pihak yang terlibat menjawab
tidak tahu. Jawaban “tidak tahu” seolah menjadi
senjata ampuh untuk menghindari tuduhan yang
disangkakan. Anas Urbaningrum, Ketua Umum
Demokrat mengaku tidak tahu kasus Hambalang.
Saan Mustofa, wakil Sekjen Partai Demokrat juga
memberikan jawaban sama tentang Hambalang
yaitu, tidak tahu. Jawaban “tidak tahu” juga
ditunjukkan oleh para anggota banggar DPR ketika
dimintai kesaksiannya dalam kasus Hambalang.
Misalnya, Mirwan Amir kerap mengaku lupa atau
tidak tahu ketika dimintai kesaksiannya.
Jawaban tidak tahu mengandung banyak
penafsiran. Secara tekstual berarti tidak mengetahui
sama sekali. Tetapi secara kontekstual, jawaban
tidak tahu dapat berarti tidak mau tahu, pura-pura
tidak tahu, menyembunyikan sesuatu, tidak mau
mengakui, atau pengingkaran terhadap apa yang
sesungguhnya terjadi. Ketika jawaban tersebut
diucapkan, sejatinya masyarakat dapat menilai
kapasitas moral politikus bersangkutan. Entah benar
atau salah tuduhan tersebut, yang jelas jawaban tidak
tahu mencerminkan ketidakjujuran, ketiadaan
tanggungjawab, atau paling tidak adalah ketakutan
untuk bersaksi. Masalahnya, sikap tidak baik
tersebut justru menjadi referensi warga masyarakat
untuk meniru perilaku sang tokoh politikus. Artinya,
virus ketidakjujuran, virus kebohongan dari para elit
menyebar kepada masyarakat luas.
Perilaku
berbohong
tampaknya
sudah
dipandang jamak atau wajar oleh dilakukan oleh
para politikus, baik yang kemudian duduk di
legislatif ataupun menjadi kepala daerah. Berbohong
berarti menyembunyikan sesuatu yang dipandang
kurang atau tidak baik. Apabila sesuatu yang tidak
baik itu tindakan kejahatan, maka dua kesalahan
yang telah dilakukan, yaitu kejahatan dan
kebohongan untuk menutupi kejahatannya.
Partai politik jelas dirugikan atas perilaku
negatif para kadernya. Minimal nama baik partai
tercoreng, lebih parahnya adalah ditinggalkan oleh
para pendukungnya. Bukan hanya partai politik yang
dirugikan, tetapi juga masyarakat luas. Korupsi telah
merusak sistem yang seharusnya berpihak pada
masyarakat. Anggaran bocor sejak awal di badan
anggaran, bocor di anggota parlemen yang notabene
adalah juga kader partai. Kebocoran juga terjadi di
tingkat daerah. Dalam hal ini, jelas masyarakat
sangat dirugikan.
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012
70 Media Bina Ilmiah
Hal ini menunjukkan bahwa output kader
pilihan partai politik tidak cukup berkualitas secara
moral. Pertanyaannya, apakah partai politik benarbenar menjalankan proses kepartaian dengan benar?
Dengan kata lain, apakah partai politik memang
menjalankan fungsinya dengan baik sehingga
menghasilkan kader-kader partai yang sesuai dengan
harapan masyarakat? Jawabannya cenderung tidak.
Pada proses rekrutmen, partai politik tidak
melakukan seleksi dengan baik. Siapapun yang
bersedia membayar sejumlah uang yang ditetapkan
partai politik dapat direkrut untuk menjadi pengurus
partai, calon anggota legislatif, atau calon kepala
daerah. Materi menjadi ukuran utama seseorang
pantas atau tidak pantas direkrut oleh partai politik.
Kader partai yang pilih bukan didasarkan pada
kualitas atau kinerja kader selama aktif di partai.
Keberadaan pengurus partai bukan mengurusi
anggota, tetapi lebih pada melayani kepentingan elit
partai. Akibatnya, anggota atau kader partai yang
sesungguhnya tidak diperhatikan.
Sebagai wadah dan instrumen sosialisasi
politik, termasuk memberikan pendidikan politik
kepada warga partai yang juga warga negara,
pengurus partai telah lalai. Pendidikan politik lebih
bersifat informal karena mekanisme formal tidak
berjalan atau bahkan tidak tersedia secara memadai.
Dari banyak partai yang ada, mungkin hanya PKS
yang secara terbuka menyatakan sebagai perkaderan.
PKS juga memiliki jalur kaderisasi yang kuat.
Sistem perkaderan dimulai dari proses
rekrutmen peserta tarbiyah. Rekrutmen dijalankan
secara personal dan informal ataupun secara formal
dan berjamaah melalui sarana kepartaian. Secara
berjamaah,
rekrutmen
dilakukan
dengan
memanfaatkan komunitas yang sudah ada seperti
lembaga dakwah sekolah dan lembaga dakwah
kampus. Mereka yang direkrut mengikuti kegiatan
tarbiyah akan diangkat menjadi anggota yang
memiliki tujuh tingkatan pengaderan. Penjenjangan
kader mulai dari anggota pemula, anggota muda,
anggota madya, anggota dewasa, anggota ahli,
anggota purna, dan anggota kehormatan. Hubungan
fungsional dari masing-masing jenjang tampak dari
materi pendidikan politik yang diberikan di masingmasing tingkatan sebagai pentahapan pendidikan
politik. Setelah anggota muda mengikuti berbagai
kegiatan kepartaian yang sudah disusun PKS,
seorang anggota muda dapat menjadi pengurus
partai di tingkat ranting atau menjadi staf di DPC,
kegiatan kepanitiaan di DPC ataupun DPD, menjadi
jurkam di tingkat DPD atau badan-badan lain
setingkat kecamatan. Kegiatan selama menjadi
anggota muda harus diikuti selama minimal 2 tahun.
Anggota madya dapat dipilih menjadi pengurus atau
ketua DPC, anggota pengurus DPD, kegiatan
ISSN No. 1978-3787
kepanitiaan DPD, dan menjadi jurkam tingkat DPD
ataupun DPW. Kader yang telah lulus mengikuti
kegiatan-kegiatan kepartaian tingkat tinggi dan lulus
Training Lanjtan-II akan ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Pusat sebagai anggota ahli. Anggota ahli
dapat dipilih sebagai pengurus pusat (Abdullah,
2007).
Mekanisme pendidikan bagi kader pada internal
PKS cukup baik sehingga tidak ada mekanisme
rekrutmen berdasarkan ikatan dinasti sebagaimana
banyak dilakukan partai-partai politik yang lainnya.
Mekanisme rekrutmen menurut jalur dinasti
membuktikan
tidak
berjalannya
mekanisme
kepartaian. Ketua partai ataupun pengurus partai
yang lain hanya memperhatikan, menyosialisasikan,
dan merekrut anggota keluarga atau kerabatnya.
Artinya sumber daya partai dan akses kekuasaan
berputar di lingkungan keluarga dan kerabat elit
partai, baik di pusat ataupun di daerah-daerah. SBY
menurun kepada anaknya, Edi Baskoro, Megawati
menurun kepada Puan Maharani, adik ipar dan ibu
tiri Gubernur Banten menjadi Wali Kota Tangerang
Selatan dan Wakil Bupati Pandeglang, dan masih
banyak lagi contoh di Indonesia.
Apakah Edi Baskoro dan Puan Maharani sudah
teruji sebelumnya? Punya pengalaman memimpin
suatu organisasi? Apabila rekrutmen hanya
didasarkan pada keturunan, bukan seleksi kualitas,
maka partai politik hanya memunculkan pemimpin
yang tidak berkualitas. Akibatnya, rakyatlah yang
menjadi korban karena kedaulatan dirinya
dieksploitasi dan dimanipulasi oleh partai politik
dalam rangka mendapatkan kekuasaan bagi para elit
partai. Elit partai memobilitasi dukungan dari massa
dan mengatasnamakan rakyat untuk mendapatkan
kekuasaan bagi dirinya.
PEMBAHASAN
Orde reformasi politik sejak tahun 1998 hingga
tahun 2012 saat ini telah melahirkan sistem politik
multipartai sebagai bukti tumbuhnya demokratisasi
di Indonesia. Jika dilihat
demokrasi sebagai
kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
maka demokratisasi masih jauh dari harapan
dibandingkan dengan fakta maraknya politik dinasti
dan tidak berjalannya mekanisme kepartaian.
Demokrasi yang dibangun partai-partai hanyalah
demokrasi semu. Menurut Subono (2007), eksistensi
parpol lebih banyak ditopang oleh elit-elit lama (dan
baru) yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan
kelompok mereka sendiri dengan mengabaikan
aspirasi warga negara, kecuali pada masa kampanye
dan pemungutan suara dalam pemilihan umum.
Karena itu, parpol justru dinilai menyebabkan
terjadinya defisit demokrasi.
____________________________________
Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
Media Bina Ilmiah 71
………...…………………………………………….…………………………………………………
Kondisi kepartaian tersebut perlu diperbaiki
guna meningkatkan vitalitas partai politik dalam
menumbuhkembangkan
demokrasi
yang
sesungguhnya di Indonesia. Dengan kata lain, partai
politik-partai politik perlu direvitalisasi. Revitalisasi
berasal dari kata dasar vital. Kata vital menunjuk
pada alat, organ atau bagian-bagian yang vital atau
penting.
Revitalisasi
berarti membangkitkan
kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini
secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan
sesuatu itu menjadi penting kembali. Kata
revitalisasi dapat ditujukan bagi semua hal yang
sudah mengalami penurunan arti pentingnya karena
sebab-sebab tertentu. Kata revitalisasi dalam tulisan
ini layak ditujukan bagi partai-partai politik di
Indonesia. Maksud dari revitalisasi ini adalah
memastikan partai politik berfungsi sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini patut disimak pemikiran
memperbaiki kondisi kepartaian agar terlepas dari
oligarki dari Jimly Asshiddiqie (2006) berikut.
Pertama, memperbaiki mekanisme internal
yang dapat mendorong meningkatnya partisipasi
anggota dalam pengambilan keputusan partai.
Mekanisme ini perlu dirumuskan secara formal
dalam AD/ART, mekanisme ini juga perlu
ditradisikan sebagai kebiasaan sehari-hari partai
politik. Bersama dengan AD dan ART diperlukan
suatu panduan kode etik internal organisasi yang
ketiganya menjadi panduan bagi seluruh anggota
dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan di
internal partai secara demokratis.
Kedua, perlu menyediakan suatu mekanisme
yang memungkinkan warga masyarakat di luar
partai dapat berpartisipasi dalam penentuan
kebijakan
yang
sedang
dirumuskan
atau
diperjuangkan partai politik. Keberadaan pengurus
harus berfungsi sebagai fasilitator bagi masyarakat
yang akan menyampaikan aspirasi dan kepentingan
konstituennya.
Ketiga, perlu adanya penyelenggaraan negara
yang baik dengan kualitas pelayanan publik yang
baik sebagai penunjang bagi terciptanya suatu iklim
politik yang sehat. Pelayanan publik yang
berkualitas dan terbentuknya tata pemerintahan yang
baik akan memperkecil peluang elite partai politik
dalam
memanfaatkan
kekuasaannya
untuk
kepentingan pribadi.
Keempat, adanya kebebasan pers yang disertai
praktik jurnalistik yang profesional dengan semangat
mendidik masyarakat luas. Pers berperan
memberikan kontrol atau umpan balik bagi partai
politik dalam menjalankan fungsi-fungsi partai
politik.
Terkait dengan pemikiran di atas, penulis
mengusulkan pentingnya partai-partai politik untuk
kembali kepada masyarakat dengan menumbuhkan
keberdayaan dalam diri masyarakat. Tujuannya satu
yaitu membantu setiap warga masyarakat agar sadar
tentang peran dan tanggung jawabnya sebagai warga
negara. Kesadaran sebagai warga negara sangat
penting dalam berbangsa dan bernegara. Dalam
konteks pluralitas bangsa Indonesia saat ini,
masyarakat begitu mudah terpancing masalahmasalah dan perbedaan yang sangat sepele.
Terjadinya konflik fisik antar umat beragama, antar
suku, bahkan antar desa atau kampung
mencerminkan lemahkan kesadaran bernegara, di
sisi lain menunjukkan kuatnya ikatan kampung/desa.
Kesadaran warga pada umumnya baru terbatas pada
kampung atau desanya, sehingga dengan mudah
terprovokasi untuk perang antar kampung. Jika
kesadaran tidak beranjak dari kampung maka akan
semakin banyak energi yang dibuang percuma
dalam setiap konflik, seperti korban jiwa, luka-luka,
pembakaran rumah, anak-anak takut sekolah dan
sebagainya.
Kesadaran tentang peran dan tanggung jawab
sebagai warga negara perlu ditumbuhkan oleh
partai-partai politik. Pendidikan politik kepada
warga masyarakat harus dilakukan. Novel Ali (2003)
menyatakan bahwa hakikat pendidikan politik
adalah sebuah penanaman nilai dan character
building berkesinambungan serta berjangka panjang
dengan tujuan utama mewujudkan kepentingan
mayoritas (negara dan bangsa), bukan kepentingan
minoritas (pendukung partai politik semata).
Pendidikan politik dimaksudkan untuk membentuk
kader bangsa yang mempunyai kepribadian politik
yang baik dan menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Ketika warga sadar dengan peran dan
tanggung jawabnya, maka warga merasa dirinya
berdaya
sehingga
merasa
mampu
untuk
berpartisipasi.
Partai politik juga harus datang ke masyarakat
guna
menjaring
aspirasi
masyarakat
dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Parpol
melalui pengurus dan para kadernya hendaknya
lebih banyak terjun ke masyarakat guna mencari
tahu persoalan yang dirasakan atau dipikirkan oleh
masyarakat. Kehadiran parpol di tengah-tengah
masyarakat untuk mendengarkan keluhan, kritikan
atau masyarakat. Dengan selalu berada di tengah
masyarakat, maka komunikasi dengan masyarakat
senantiasa terjalin. Persoalan, gejolak, atau potensik
konflik di masyarakat dapat dikelola dengan baik
oleh partai politik sehingga konflik-konflik
horisontal dapat diminimalisir. Demikian pula
demo-demo anarkis dapat dicegah karena parpol
melalui kader-kadernya yang duduk di parlemen
benar-benar
merepresentasikan
dan
sedang
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sedang
berkembang.
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012
72 Media Bina Ilmiah
Ketika parpol dan masyarakat berada dalam
satu nafas perjuangan yang sama, maka parpol akan
mengakar sangat kuat di masyarakat, dengan kata
lain melembaga dalam masyarakat. Pelembagaan
atau institusionalisasi partai politik di Indonesia
belum
mengalami
kemajuan
berarti
jika
dibandingkan dengan negara-negara yang sudah
memiliki tradisi demokrasi partai politik yang stabil
dan terinstitusionalisasi dengan. Dengan kata lain,
partai politik belum mengalami pengakaran yang
solid di masyarakat dan kurang stabil sehingga
dukungan masyarakat terhadap partai politik
berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
komitmen partai politik dalam memenuhi aspirasi
konstituen. Dalam membangun sistem demokrasi
yang baik, partai politik sebenarnya berada pada
posisi yang strategis. Hampir seluruh pengambilan
keputusan politik menempatkan posisi partai politik
dominan. Jika dikaitkan dengan fungsi-fungsi partai
politik, kualitas demokrasi juga dipengaruhi oleh
kualitas partai politik.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi partai
politik merupakan upaya institusionalisasi partai
politik sebenarnya sebagai sebuah cara memenuhi
substansi berdemokrasi. Jika fungsi-fungsi partai
politik tidak berjalan dengan baik maka akan sangat
berpengaruh pada nasib partai politik yang
bersangkutan. Misalnya, kualitas demokrasi
berkaitan erat dengan fungsi-fungsi partai politik
antara lain representasi, pembentukan dan rekrutmen
elit, merumuskan tujuan, artikulasi dan agregasi
kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi, organisasi
pemerintah. Pada posisi ini, optimalisasi fungsi
partai politik berkaitan pada sejauhmana proses
institusionalisasi
berlangsung.
Misalnya,
representasi atau komunikasi politik yang berkaitan
erat
dengan
kapasitas
partai
dalam
mengartikulasikan kepentingan anggota partai
maupun konstituen partai yang diperluas dapat
dicapai parpol mengakar di masyarakat.
ISSN No. 1978-3787
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2007, Pemilu 2004:Studi Dukungan
Terhadap DPW Partai Keadilan Sejahtera
Propinsi Sumatera Selatan
Asshiddiqie, Jimly, (2006). Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara – Jilid II, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Budiardjo, Miriam, (2003). Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Novel Ali. (2003). Politikus Sebagai Pemimpin
Bangsa. Suara Merdeka, 8 Desember
2003.
Subono, Nur Iman (2007), Menjadikan Partai Politik
Sebagai Solusi bagi Defisit Demokrasi,
Majalah Tempo, Edisi 5 November 2007
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa revitalisasi partai politik harus dilakukan
dengan menjalankan fungsi-fungsi parpol, yaitu
fungsi sosialisasi politik,
komunikasi politik,
rekrutmen politik, dan fungsi pengelolaan konflik.
Revitalisasi harus pula didukung oleh pelaksanaan
pemerintahan yang baik agar tidak terjadi
kongkalingkong antara parpol dan pemerintah.
Ketika berbagai fungsi ini berjalan dengan baik,
maka parpol akan mengakar kuat di masyarakat
sehingga demokrasi tumbuh dengan sangat baik.
____________________________________
Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
Download