BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi

advertisement
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma
merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut.
Pasal tersebut mengatur terhadap kejahatan-kejahatan yang menjadi
yurisdiksi materi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court, disingkat ICC)—yang merupakan pengadilan pidana internasional
yang didirkan berdasarkan Statuta Roma (the Rome Statute of the
International Criminal Court) dan bersifat permanen, yaitu kejahatan
genosida (crimes of genoside), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi
(crimes of aggression), hal ini tidaklah bertentangan dengan prinsip
kedaulatan negara, karena negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap
kejahatan-kejahatan tersebut di atas, baik didasarkan tempat kejadian
maupun didasarkan pada tempat timbulnya akibat, diberikan kesempatan
pertama untuk mengadili (para) pelaku kejahatan.
Apabila negara yang bersangkutan tidak bersedia (unwilling) atau
tidak mampu (unable) mengadili pelaku kejahatan tersebut di atas, maka
berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional
83 berwenang untuk mengambil alih investigasi, penuntutan dan peradilan
terhadap pelakunya.
Tidak bersedia (unwilling) dapat diartikan sebagai:
a.
Tidak mengadakan investigasi, penuntutan, dan peradilan terhadap
pelaku kejahatan, dengan maksud melindungi pelaku; atau
b.
Adanya penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dengan maksud
melindungi pelaku kejahatan dari pertanggungjawaban pidana
c.
Mengadakan investigasi, penuntutan, dan peradilan terhadap pelaku
kejahatan, tetapi tidak diselenggarakan dengan maksud melindungi
pelaku kejahatan dari pertanggungjawaban pidana;
Sedangkan tidak mampu (unable) dapat diartikan sebagai:
a.
Tidak mampu mengadakan investigasi, penuntutan, dan peradilan
terhadap pelaku, baik disebabkan oleh tekanan politik dari negara
bersangkutan ataupun sesuatu hal yang mengakibatkan sistem
peradilan peradilan pidana tidak efektif seperti karena adanya
bencana alam, kekacauan dalam negeri, atau bahkan tidak
tersedianya sistem peradilan yang memadai; atau
Mengadakan investigasi, penuntutan, dan peradilan terhadap
pelaku, tetapi berlangsung dibawah tekanan politik negara bersangkutan,
atau karena keadaan seperti terjadinya bencana alam, kekacauan dalam
negeri ataupun karena tidak tersedianya sistem peradilan yang memadai,
yang mengakibatkan proses peradilan berjalan secara tidak independen,
84 tidak fair dan memihak, ataupun mengakibatkan sistem peradilan pidana
tidak efektif, baik dengan maksud melindungi pelaku maupun dengan
maksud
memidana
pelaku
yang
sesungguhnya
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang telah terjadi, ataupun tidak
bermaksud tersebut di atas melainkan karena ketidakmampuan sistem
peradilan pidana.
Dengan demikian, meskipun suatu negara yang memiliki yurisdiksi
atas suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional telah mengadili pelaku kejahatan tersebut, tetapi dalam hal
terdapat unsur unwilling dan/atau unable dalam mengadili pelakunya,
maka Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili pelaku terhadap
kejahatan tersebut.
Sebaliknya, Apabila negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap
kejahatan dibawah yurisdiksi material Mahkamah Pidana Internasional
sudah mengadili pelaku kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia
atau pelanggaran berat hak asasi manusia, secara sungguh-sungguh sesuai
dengan standar internasional yang berlaku secara universal, maka
kejahatan tersebut tidak dapat diadili ulang oleh Mahkamah Pidana
Internasional berdasarkan Pasal 17 juncto Pasal Pasal 20 Statuta Roma.
2. Asas ne bis in idem pada hakikatnya didefinisikan sebagai bahwa tidak
seorang pun dapat dituntut untuk kedua kali dihadapan pengadilan atas
85 kejahatan yang sama. Pada dasarnya asas ini mencakup orang yang sama
dan peristiwa yang sama.
Asas ne bis in idem atau asas double jeopardy merupakan suatu
asas yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hak asasi manusia. Asas ne bis in idem dalam hukum pidana internasional
telah dikenal dan diterapkan oleh (hampir) semua negara di dunia, dalam
menghadapi kejahatan internasional (dalam pengertian yang luas).
Dalam konteks kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia
atau pelanggaran berat hak asasi manusia, asas ne bis in idem bersifat
relatif sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Statuta Roma. Berlakunya
relatif, jika suatu proses pengadilan dilakukan untuk tujuan melindungi
pelaku dari tanggung jawab pidananya dan adanya penangguhan terhadap
proses hukum untuk niat yang sama juga. Hal ini berkaitan dengan Pasal
17 Statuta Roma dimana mahkamah Pidana Internasional memiliki
wewenang terhadap perkara jika negara tersebut unwilling dan unable.
Penjabaran unwilling dan unable di atas berlaku juga dalam pasal
20 Statuta Roma, bahkan termasuk unwilling dan unable adalah berupa
penghentian penuntutan atas dasar ketidaksediaan (unwillingness) untuk
mengadili atau ketidakmampuan (inability) mengadili, atau dapat berupa
pemberian amnesti terhadap para pelaku, ataupun melalui lembaga
rekonsiliasi, sehingga pada akhirnya mereka yang bertanggung jawab atas
kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia atau pelanggaran berat
hak asasi manusia, lolos dari hukuman.
86 B.
Saran
Kepada Majelis Negara Pihak Statuta Roma, Perlunya secara eksplisit
mengatur mengenai pemberian amnesti dan pembentukan komisi kebenaran dan
rekonsiliasi oleh suatu negara sehingga dapat membantu Jaksa dalam memakai
aturan lebih konkret bukan saja penafsiran ketentuan yang ada, hal ini dilakukan
agar dapat tercipta tujuan ICC dalam memerangi impunitas.
Kepada Negara yang belum meratifikasi Statuta Roma, agar dapat
meratifikasi Statuta roma sehingga tujuan dari pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional dapat lebih maksimal dalam mengakhir impunitas, mencegah
terjadinya
pelanggaran
berat
HAM
dan
menciptakan
perdamaian
dan
kesejahteraan masyarakat (internasional).
87 BB
Download