ciliwung larung - Ciliwung Merdeka

advertisement
CILIWUNG LARUNG:
MODEL ALTERNATIF PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN ANAK DAN REMAJA
PINGGIRAN KOMUNITAS “RUANG-SISA” BANTARAN SUNGAI CILIWUNG
MELALUI TEATER KOMUNITAS
I.Sandyawan Sumardi
Aduhai kau
Anak-anak pelangi
Pinggir kali
Lucu sekali
Penuh nyali
Aduhai kau
Aduhai kau
Anak-anak derita
Jiwa merdeka
Siap berlaga
Tak pernah jera
Aduhai kau
Aduhai kau
Anak-anak sungai
Hidup berderai
Begitu pandai
Selalu bisa santai
Aduhai kau
Aduhai kau
Anak-anak jelata
Pinggir kota
Jiwa pujangga
Selalu penuh warna
Aduhai kau
Lepas aurat
Telanjang bulat
Berjoget merapat
Melompat-lompat
Terjun di air cokelat
Tak juga tobat-tobat
Aduhai kau!
Menari-nari
Gerak alami
Nyemplung di kali
Berenang ke sana ke mari
Riuh rendah bernyanyi
Pecah tawa setanggi
Aduhai kau!
Hiya, hiyaa ha ha ha ha ha
Hore, horee he he he he he
Yaho, yahoo ho ho ho ho ho
Cihu, cihuu hu hu hu hu hu
Hiya, hiyaa ha ha ha ha ha
Hore, horee he he he he he
Yaho, yahoo ho ho ho ho ho
Cihu, cihuu hu hu hu hu hu
Jakarta, 5 April 2010
Lagu berjudul “ADUHAI” ini merupakan lagu rakyat, dengan gaya musik akustik Rumba,
Amerika Latin, yang diciptakan penulis bersama anak-anak Ciliwung Merdeka.
1
1. Prolog
Syair, itu yang aku pilih. Aku ingin mengekspresikan perikehidupan kaum yang komunitasnya
selama ini tengah aku peluk, aku libati, dalam bentuk syair. Melalui syair, aku yakin,
kompleksitas kehidupan “komunitas ruang sisa” ini akan dapat terungkap secara lebih jujur dan
sederhana. Bahkan problematika kehidupan mereka yang serba subtil sekalipun, akan terasa,
terungkap getarannya.
Sejak tahun 2000, khususnya setelah pemerintahan Soeharto berakhir atau di awal masa
reformasi, aku memutuskan untuk tinggal dan hidup bersama di tengah komunitas warga
pinggiran di bantaran sungai Ciliwung di Bukit Duri (Kec. Tebet, Jakarta Selatan) yang
berseberangan dengan Kampung Pulo (Kec. Jatinegara, Jakarta Timur). Tepatnya di RT 06/RW
012, Kel. Bukit Duri, bersama komunitas warga kami mendirikan dan menyelenggarakan rumah
terbuka “Sanggar Ciliwung”. Terutama bersama anak-anak dan remaja, anak-anak muda
setempat yang juga dibantu beberapa relawan dari luar, kami melakukan proses belajar bersama
dan pendampingan terhadap komunitas warga di RT 05, 06, 07 08 RW 12 Kelurahan Bukit Duri,
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan warga di RT 09, 10, 11 RW 03 Kelurahan Kampung Pulo,
Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur yang berjumlah sekitar 2800 jiwa, khususnya kaum muda
sekitar 600 orang dan perempuan sekitar 1000 orang.
Tujuan kami adalah agar para warga secara bersama, dengan kesadaran kritis, sikap solidaritas
dan swadaya nyata, semakin mampu mengembangkan tata-bangkit (survival system) martabat
dan hak-hak azasinya, khususnya dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam banjir,
ancaman
Narkoba
HIV-AIDS,
ancaman
penggusuran-paksa,
dan
kepungan
kemiskinan/ketidakadilan struktural di bidang sosial-ekonomi-politik-hukum dan budaya
melalui ikhtiar-ikhtiar solusi alternatif-transformatif nyata, antara lain melalui program gerakan
swadaya pendidikan alternatif di bidang lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, tata-ruang,
gerakan seni-budaya, sistem manajemen organisasi untuk menata dan mengembangkan kualitas
kehidupan kampung kami, agar menjadi lebih sehat, mandiri, terbuka-komunikatif, manusiawi,
solider dan selalu mau belajar dan kreatif. Gerakan perjuangan kebangkitan.
Dan sejak aku berikhtiar untuk lebih intens bersentuhan dengan gerakan jiwa komunitaskomunitas warga pinggiran ini, entah itu anak-anak, remaja, para ibu dan sebagian besar warga
lelaki dewasa, aku pun masuk dalam proses percakapan menyeluruh itu, “total conversation”
dengan situasi ketidakpastian, keterasingan, situasi batas daya kemampuan hidup mereka, tapi
juga dengan kerinduan, semangat perjuangan bersama, kegembiraan dan harapan-harapan
mereka.
Ketika aku berusaha semakin membuka telinga hatiku, ternyata aku dapat mendengar senandung
malam para warga bantaran sungai yang tengah khusyuk bersujud pada Sang Maha Gaib. Aku
dapat mendengar konser musik suara kercik air sungai yang bernyanyi bersama suara desau
angin yang menerpa daun-daun rumpun bambu, ditingkahi suara celotehan riuh-rendah anak2
anak jiwa merdeka yang sedang menari-nari telanjang, mandi di sungai yang kecoklat-coklatan
bau sampah.
Dengan sedikit lebih berani membuka mata hatiku, aku dapat melihat titik air mata derita tapi
juga senyum keikhlasan pada mata sayu dan raut wajah tabah para ibu penuh sahaja di Bukit
Duri dan Kampung Pulo. Bahkan aku dapat menyaksikan gerilya perasaan tertekan dan amarah
jiwa terpendam pada air muka sebagian kaum muda atas segala ketidakadilan yang melindas
hidup mereka, terutama akibat korupsi yang bermagma di puncak kepundan kekuasaan dan
birokrasi negara, dalam berbagai bentuk simbol pernyataan dan protes pada lukisan mural dan
graffiti di rumah-rumah padat sepanjang gang sempit bantaran kali, termasuk lukisan tattoo pada
lengan dan tubuh penuh keringat beberapa pemuda kampung urban ini. Aku dapat melihat
bayang-bayang kerinduan yang mendalam tapi juga harapan manusiawi yang tulus pada kisah
perjuangan warga dalam komunitas ruang sisa ini.
Aku dapat merasakan kecintaan dan penerimaan mereka yang tulus pada keanekaragaman
komunitas-komunitas suku bangsa di tanah tumpah darah Nusantara ini. Aku bahkan mengalami
bersama mereka, kerinduan, keyakinan dan penyerahan hidup pada Sang Maha Pencipta.
2. Ciliwung Larung
Di penghujung 2009, setelah mengalami jatuh-bangun, akhirnya bersama-sama kami menyadari
bahwa “Ciliwung”, pada hakekatnya bukan sekedar nama sungai, tapi juga mengandung
pengertian keseluruhan lingkungan tata ruang hidup, termasuk/terutama yang mengartikulasikan
harkat dan martabat hidup komunitas-komunitas warga pinggiran penduduk di sepanjang
bantaran sungai Ciliwung.
“Larung”. Bahasa Jawa “dilarung” difahami sebagai “dihanyutkan di sungai atau di laut”. Tapi
bukan dalam arti “dibuang” atau “dienyahkan”, melainkan dalam arti “disucikan”,
“disempurnakan”, yang dalam bahasa Jawa juga kadang pengertiannya sama dengan istilah
“diruwat”, yaitu seseorang/sekelompok orang, atau benda, atau peristiwa, dimasukkan dalam
alam ritus/upacara penuh doa permohonan agar diberkahi Tuhan, supaya sungguh bisa lebih
lebih bebas-merdeka, lebih hidup, tumbuh dan berkembang, bangkit. Perjuangan kebangkitan
yang disucikan!
Maka “Ciliwung Larung” merupakan ekspresi kesadaran dan kerinduan kolektif seluruh realitas
hidup, baik manusia maupun alam raya lingkungan serba heterogen yang saling membutuhkan
dan melingkupinya, agar sungguh dapat dibebaskan, dijauhkan dari segala bencana alam dan
tragedi belenggu pemiskinan serta ketidakadilan, sehingga komunitas-komunitas basis
kemanusiaan di sepanjang bantaran sungai Ciliwung dapat lebih dibebaskan dan diberdayakan
3
melalui berbagai bentuk proses pendidikan alternatif-kreatif yang diselenggarakan secara
bersama, penuh kesadaran kritis, solidaritas-partisipatif, mandiri-otentik, bebas-otonom dan
berkelanjutan.
“Ciliwung Larung” pada hakekatnya adalah kisah perjuangan komunitas-komunitas warga
pinggiran bantara Kali Ciliwung, dari pengalaman keterpurukan karena diasingkan dari akses
sosial, ekonomi, politik dan budaya, dari ketidakpastian dan ketakutan akan ancaman
“penggusuran paksa” karena adanya Rencana Program Normalisasi Kali Ciliwung 2009-2012,
menjadi terjaga sadar dan bangkit untuk mewujudkan program-program nyata swadaya
kebangkitan jiwa anak-anak, remaja dan warga komunitas Bukit Duri dan Kampung Pulo.
Pengalaman dan proses transformasi kehidupan warga pinggir kali Ciliwung, dari keterasingan,
keterpurukan, menuju perubahan, pembebasan dan kebangkitan bersama.
“Ciliwung Larung” adalah seluruh proses pendidikan dan perjuangan hak asasi manusia, hidup
bersama anak-anak, remaja dan seluruh komunitas warga di bantaran kali Ciliwung Bukit Duri
dan Kampung Pulo ini terutama di tahun 2010-2012, melalui: (1). Pendidikan Alternatif, (2).
Pasar Rakyat, (3). Tata-Ruang Kampung Seni, (4). Gerakan Penghijauan, (5). Pementasan
Budaya: Musik, Teater, Tari, Audio-Visual, Tulisan Sastra, Festival/Lomba Musik Anak-anak
Muda Bantaran Ciliwung, (6). Pembuatan Film Dukumenter dan Penulisan Buku: “Gerakan
Budaya Ciliwung larung”: Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia Anak-anak dan
Remaja Bantaran Sungai Ciliwung di Bukit Duri – Kampung Pulo.
Syukurlah proses belajar bersama ini kemudian dapat terwujud dalam wujudnya yang lebih
ekspresif berupa Pementasan Budaya Teater Musikal Ciliwung Merdeka di Graha Bhakti Budaya
Taman Ismail Marzuki pada tanggal 3-6 Juli 2011, dengan tema: “Perjuangan Komunitas Ruang
Sisa”. Pementasan pementasan perdana di TIM ini melibatkan 75 pemain dan pemusik terutama
para remaja, anak-anak, dan ibu-ibu, serta didukung oleh sekitar 50 orang tim produksi yang
hamper semuanya juga berasal dari anak-anak muda warga kampung Bukit Duri dan Kampung
Pulo.
Demikianlah melalui syair-syair balada, musik kerakyatan, seni ekspresi, seni peran, seni gerak
tubuh, seni teater kontekstual, aku mencoba mendengar, melihat, menyaksikan, merasakan,
mencerna dan mengungkapkan suara jiwa para warga, bersama para warga. Ya, bersama para
warga, kami mulai mencipta. kami mencipta karena kami rindu. Kami rindu karena kami
percaya.
“Aku percaya pada matahari, meski ia tidak bersinar. Aku percaya pada cinta, meski aku tidak
merasakannya. Aku percaya pada Allah, meski Ia tengah diam saja.”
(Kata-kata ini ditulis oleh seseorang pada dinding sebuah gudang persembunyian di Cologne, di
mana orang-orang Yahudi bersembunyi dari kejaran kaum Nazi pada Perang Dunia II).
4
3. Komunitas “Ruang Sisa”
“Ruang sisa” (terrain vague) adalah ruang yang serba tidak jelas dari segi geometri ruang,
penggunaan, kepemilikan dan pencapaian ini sering dipandang secara negatif. Bagaimanapun
juga, ruang-ruang yang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan sebuah
metropolis. Sebuah metropolitan yang telah mengalami pertumbuhan yang panjang merupakan
tumpukan berbagai lapisan sejarah (palimpsest). Ruang-ruang sisa tadi walaupun bukan
dihasilkan dari produk yang direncanakan atau bagian yang terabaikan dari perencanaan, akan
tetap memiliki makna tertentu bagi masyarakat metropolis itu.
Ketika kita memasuki Jakarta sebagai metropolitan, kita saksikan pemandangan, betapa masih
begitu banyaknya “lahan-lahan tidur” milik negara atau pemilik modal yang sama sekali tak
dimanfaatkan. Kita saksikan kawasan pelabuhan yang sudah mengalami degradasi akibat
perubahan teknologi, ruang-ruang sisa di antara persilangan jalan bebas hambatan, ruang-ruang
di antara bangunan industri yang tidak jelas pemanfaatannya, perumahan kumuh dibantaran kali
dan ruang-ruang terlantar lainnya sering menjadi pemandangan umum. Apabila kita mulai
mengelilingi Jakarta di atas jalan tol, maka kita dengan mudah melihat ruang-ruang residual di
atas tersebar di sepanjang jalan itu. Ruang sisa adalah ruang-ruang kosong yang de facto tidak
dimanfaatkan di wilayah perkotaan seperti Jakarta ini, setelah para pengembang dan pemilik
modal atau pemerintah berlomba “mengambil”, “merebut” dan “menguasai” sebagian besar
ruang-ruang publik yang seharusnya diselenggarakan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat banyak.
Komunitas-komunitas warga pinggiran di Bukit Duri dan Kampung Pulo adalah komunitaskomunitas warga masyarakat yang tinggal di “ruang sisa”, pinggiran sungai dan pinggiran rel
kereta api, berpenduduk padat, dengan rumah hunian yang sekaligus tempat kerja saling
berdesakan. Mereka adalah warga “survivors” sektor informal yang tinggal di tanah labil, yang
sudah begitu lama mendapatkan stigma negatif sebagai kambing hitam ketidakberesan bahkan
“dimusuhi” dalam sistem pengelolaan tata kota Jakarta. Mereka adalah para warga yang
perikehidupannya senantiasa tidak pasti (sewaktu-waktu bakal digusur-paksa) dan pada
kenyataanya cenderung selalu mendapat perlakuan tidak adil dengan diisolasi/diasingkan dari
akses sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, terutama oleh pihak jaringan kekuasaan bisnis
ekonomi, birokrasi negara dan kekuasaan politik partai.
Pada kenyataannya, modal sosial warga miskin urban untuk menjadi aset bangsa cukup besar.
Berdasarkan pengalaman perjumpaan dan pengenalan dengan mereka selama 9 tahun di Bukit
Duri dan Kampung Pulo, inilah beberapa potensi dan modal sosial yang mereka miliki:
1. Sebagai kaum miskin ternyata, mereka tak kalah rasional dalam hal mengingat, menimbang,
dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut harkat hidup dan mati mereka.
5
2. Sebagai warga pinggiran, mereka sering kali merupakan aktor sekaligus interpretator
sejarahnya sendiri. Mereka cenderung mengembangkan caranya sendiri dalam mencoba
memahami segala peristiwa hidup, benda-benda dan alam sekitarnya.
3. Sebagai kelompok warga yang sering kali menjadi “obyek penderita” dalam sistem tata
kelola kota, mereka senantiasa cenderung akan menolak tawaran inovasi yang tak mungkin
diintegrasikan ke dalam tata nilai serta tata kebutuhan yang ada.
4. Kestabilan mantap dalam cara hidup mereka sebagai kaum miskin ternyata sering merupakan
hasil penalaran dan mekanisme mempertahankan diri yang telah teruji demikian lama.
5. Meskin hidupnya serba tergusur, namun mereka sebagai kaum miskin tak akan pernah
berhenti berjuang untuk mewujudkan eksistensi hidupnya menuju ke suatu kepenuhan. Dan
kepenuhan ini tak dapat diartikan secara tepat, kecuali oleh mereka sendiri. (Maka sikap kita
selayaknya adalah: mau memahami dan menghargai cara perjuangan mereka yang khas, dan
menjauhkan diri dari segala kecenderungan untuk bergatal tangan, mendikte mereka dengan
segala macam inovasi yang sebenarnya berasal dari luar kehidupan mereka. Segala macam
upaya konsientisasi hanya dapat dibenarkan, sebagai ajakan untuk bangkit bersama dan
membangun bersama).
6. Pengalaman keterlibatan kita di lapangan senantiasa mengatakan bahwa akhirnya kaum
miskin sendirilah yang paling punya hati dan daya untuk membantu perjuangan kabangkitan
sesama kaum miskin. Maka kami menyadari, kalau kita ingin membantu mereka, yang
pertama-tama harus dibangun adalah jaringan solidaritas di antara kita dan di antara mereka
sendiri untuk menggalang kekuatan yang sejati.
Dan kini kami bangga, bahwa komunitas-komunitas warga pinggiran, dengan saling menggalang
kesadaran kritis, solidaritas dan swadaya hidupnya, dapat membuktikan pada bangsa dan negara
bahwa komunitas-komunitas warga pinggiran ternyata mampu untuk berjuang bangkit dari
keterpurukan melalui gerakan kebangkitan lingkungan hidupnya.
Inilah gerakan lingkungan hidup yang sejati: menghargai ikhtiar kebangkitan komunitaskomunitas warga pinggiran dalam memenuhi hak untuk memperoleh tempat tinggal, hak atas
pekerjaan dan hak untuk memperoleh pendidikan.
Untuk menghadapi semua ini, CM sebagai fasilitator gerakan kebangkitan komunitas-komunitas
miskin dalam masyarakat, perlu lebih memfokuskan diri pada dinamika pendidikan komunitas
masyarakat warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, melalui praktek solidaritas kerja
pengorganisasian, upaya-upaya kerja pemberdayaan masyarakat, dengan bantuan jaringan NGO
dan dukungan Pemprov DKI Jakarta serta dukungan pendanaan dari lembaga donor melakukan
advokasi untuk kebijakan publik sehubungan dengan perjuangan kaum miskin urban untuk
mendapatkan tempat tinggal dan tempat kerja serta tempat pendidikan dalam tata ruang di ibu
kota Jakarta.
Kami sadar, berbagai ikhtiar program-program kerja CM 2012-2014 untuk menyatukan agenda
dan gerak bersama masyarakat warga untuk meraih dan mendesakkan keadilan, de facto masih
menghadapi banyak kelemahan, kendala dan tantangan, terutama rasa kurang percaya diri dari
sebagian besar komunitas warga BD-KP untuk mampu bangkit dari keterpurukan dan
6
keterasingan dari berbagai akses sosial-ekonomi-politik-budaya; kesadaran semu yang masih
kuat melekat pada begitu banyak warga yang cenderung percaya pada “budaya asal jalan”, dan
membiarkan diri tergantung dari sistem kekuasaan feudal-birokratis yang masih sangat
menghambat keterbukaan untuk perubahan dan kemajuan. Ya kesadaran, solidaritas dan sikap
swadaya bagi sebagian besar komunitas BD-KP ternyata mesti terus harus diperjuangkan,
dievaluasi dan diperbarui. Melihat daftar tugas yang begitu panjang, sudah barang tentu
diperlukan prioritas pendidikan yang mampu menyentuh dan membongkar sampai ke akar
persoalan yang sebenarnya.
4. Anak dan Remaja Pinggiran
Anak-anak dan remaja bantaran sungai Ciliwung di bilangan Bukit Duri dan Kampung Pulo
dapat dikategorikan sebagai anak-anak pinggiran. Dan mengapa justru “anak pinggiran” menjadi
spektrum gerakan pendidikan pemberdayaan? Ya, karena “keterpinggiran” senantiasa
mengandung situasi negatif ekstrem. Dan situasi negatif apalagi yang ekstrem -melampaui segala
teori dan penalaran kita- senantiasa menyerukan kemendesakan untuk segera diubah, dibebaskan,
dimerdekakan!
“Anak Pinggiran” adalah anak-anak yang oleh suatu sebab tidak mendapatkan tempat yang
layak di dalam derasnya arus kehidupan masyarakat. Mereka adalah anak-anak yang peri
kehidupannya nyaris tidak diperhitungkan, tidak mendapatkan prioritas dalam APBN dan APBD
oleh para penyelenggara negara. Mereka adalah semua anak, yang entah oleh kekuasaan
ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, telah direnggut atau diasingkan hak-hak dasarnya
sebagai anak.
Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang sering disebut sebagai anak jalanan, sebagian dari
mereka adalah buruh anak di pabrik-pabrik atau di perkebunan, atau pengrajin cilik. Juga
sebagian dari mereka adalah pengamen, joki “three-in-one”, penyemir sepatu, pengasong,
pengais sampah, dalam usia antara 5 sampai 17 tahun. Banyak di antara mereka tidak lagi
mempunyai tempat tinggal sama sekali, bernaung di langit terbuka. Sebagian dari mereka masih
tinggal dan bergabung dengan keluarga mereka, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
mungkin tinggal di rumah kardus di antara onggokan sampah, di gerobak dagang, di emperemper toko, di rumah-rumah bambu di pinggir kali.
Banyak di antara mereka adalah anak-anak korban gusuran yang peri kehidupannya senantiasa
digeser-geser, senantiasa mengalami ketidakpastian, entah karena masalah ketiadaan tempat
tinggal, pekerjaan orangtua, pranata sosial yang tercerai-berai dan tercerabut atau karena masalah
tempat dan lingkungan pendidikan yang tidak pasti atau bahkan tidak ada. Memang sebagian dari
7
mereka masih bisa bersekolah dengan uang hasil jerih-payah mereka sendiri atau orangtuanya
yang miskin, namun banyak juga di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi bersentuhan
dengan bangku sekolah, bahkan sejak di usianya yang sangat dini. Bukan merupakan rahasia di
negeri ini bahwa sebagian dari anak-anak ini karena kemiskinan orangtua dan lingkungannya,
menjadi penderita “kelaparan tersembunyi” (hidden hunger) atau bahkan busung lapar.
Di antara semua kemungkinan itu, yang pasti, sebagian besar dari mereka adalah korban
kekerasan, baik kekerasan yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
tempat mereka berada (kekerasan oleh orangtua dalam “domestic violence” atau kekerasan
rumahtangga, menjadi korban pelampiasan agresi orang dewasa di jalan-jalan, termasuk
kekerasan seksual termasuk perkosaan dan sodomi, menjadi korban human trafficking atau
perdagangan manusia, dll.), maupun kekerasan sistematik yang berasal dari negara yang pada
umumnya cukup terselubung dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah (pemda) yang jelasjelas tidak melindungi dan tidak berpihak pada mereka.
5. Pendidikan Alternatif Pemberdayaan
Kami sebut pendidikan alternatif karena, melalui studi kasus praktik mendidik di sanggar kami,
memang kami sedang mencari alternatif jalan keluar dari belenggu ketidakadilan dalam masalah
pendidikan di kalangan anak, remaja dan warga masyarakat pinggiran yang amat problematis.
Kami sebut pendidikan alternatif karena kami juga sedang mencari solusi dari ketidakmampuan
sistem pendidikan nasional terutama yang menyangkut sistem pendidikan dasar dan menengah
pada sekolah-sekolah formal, yang de facto sejak zaman Orde Baru belum atau tidak mampu
menyentuh kebutuhan harkat hidup dan hak-hak asasi sebagian besar anak-anak dan remaja
pinggiran (miskin) di tanah air, yang secara nyata tampak pada kurikulum 1994 yang sampai kini
masih menjadi acuan pemerintah.
Alternatif sistem pendidikan untuk anak dan remaja di kampung-kampung miskin kota harus kita
cari terus, karena kita sadar sepenuhnya akan dominasi realitas sistem pendidikan formal kita di
Indonesia warisan Orde Baru yang ternyata masih berlaku terus hingga saat ini. Sistem
pendidikan formal ini dapat dikatakan telah didesain lebih sebagai sistem pendidikan
kolonialisme baru sebagaimana tampak pada kurikulum, biaya, jadual, lokasi, fungsi dan status
sekolah-sekolah formal, yang cenderung lebih menguntungkan anak-anak dan remaja yang
berasal dari kelas menengah ke atas yang de facto sudah berkecukupan, dan lebih mengabdi pada
kepentingan politik negara (elit politik, birokrasi dan militer) serta rejim pasar bebas kapitalisme
moderen (logika internal ekonomi global). Lihatlah sistem pendidikan teknologi moderen jangka
pendek untuk kebutuhan vertikal mendesak demi terpenuhinya lowongan-lowongan kerja
kompetitif perusahaan multinasional atau pun kantor-kantor birokrasi negara, ketimbang
kebutuhan jangka panjang berkelanjutan secara horisontal-menyeluruh di bidang konsientisasi,
8
solidaritas dan swadaya masyarakat. Sistem pendidikan kita sama sekali belum memberikan
prioritas utama pada masyarakat korban, baik di sektor formal maupun informal. Meskipun
menurut hasil-hasil penelitian di Indonesia maupun negara-negara Asia-Pasifik lainnya, justru
masyarakat yang telah menjadi korban, seperti kaum miskin urban, buruh pabrik, petani dan
nelayan itulah yang sebenarnya telah memberikan andil paling besar dalam proses pertumbuhan
ekonomi dan politik bangsa dan negaranya.
Apalagi kita juga menyaksikan kecenderungan umum yang berlaku dewasa ini, bahwa prioritas
dan penekanan pendidikan bukan lagi pada pengajaran ilmu-ilmu dasar seperti sejarah, ilmu
alam, ekonomi rakyat, matematika, homaniora, lingkungan hidup dan lain sebagainya, melainkan
lebih pada teknologi dan ekonomi perusahaan, serta hukum dan politik negara. Kondisi yang
tidak adil ini semakin tampak pada kenyataan bahwa pada umumnya anak-anak dan remaja
pinggiran dari masyarakat bawah seperti di lingkungan masyarakat pinggiran di bantaranbantaran kali di perkotaan senantiasa mengalami hambatan-hambatan struktural sosial-politiskultural yang masih terus mengepung dan mewarnai proses pendidikan mereka.
Pendidikan pada dasarnya merupakan sarana substansial untuk membebaskan komunitaskomunitas basis masyarakat dari cengkeraman sistem pemiskinan, kekerasan politik negara dan
rejim pasar bebas. Maka pendidikan semestinya senantiasa menyentuh dimensi-dimensi
pengembangan konsientisasi, pembangunan solidaritas dan gerakan swadaya dan swabela
masyarakat. Untuk itu dengan sadar, upaya pendidikan yang kami lakukan lebih memilih
prioritas pengorganisasian dalam pengembangan sistem pendidikan alternatif anak-anak dan
remaja di lingkungan masyarakat miskin kota. Pendidikan yang melampaui prioritas pada upayaupaya pengembangan konseptual alternatif pendidikan melalui manajemen kampanye-kampanye
publik. Maka kata kuncinya adalah bagaimana masyarakat (baca: anak-anak, remaja dan warga
miskin kota) mengorganisir komunitas basis kehidupan mereka sendiri demi kepentingan
pendidikan pemberdayaan mereka.
Meski hidupnya serba tergusur, namun kaum miskin tak akan pernah berhenti berjuang untuk
mewujudkan eksistensi hidupnya menuju ke suatu kepenuhan. Dan kepenuhan ini tak dapat
diartikan secara tepat, kecuali oleh mereka sendiri. Maka sikap kita selayaknya adalah: mau
memahami dan menghargai cara perjuangan mereka yang khas, dan menjauhkan diri dari segala
kecenderungan untuk bergatal tangan, mendikte mereka dengan segala macam inovasi yang
sebenarnya berasal dari luar kehidupan mereka. Segala macam upaya konsientisasi hanya dapat
dibenarkan, sebagai ajakan untuk bangkit bersama dan membangun bersama.
Pengalaman keterlibatan di lapangan senantiasa mengatakan bahwa akhirnya kaum miskin
sendirilah yang paling punya hati dan daya untuk membantu perjuangan kebangkitan sesama
kaum miskin. Maka kalau kita ingin membantu mereka, yang pertama-tama harus dibangun
adalah kekuatan solidaritas di antara mereka sendiri untuk menggalang kekuatan mereka sendiri,
swadaya.
Dengan prioritas pelayanan pada kekuatan solidaritas kaum miskin itu sendiri, kita dapat
menghindari munculnya ekses berupa sikap ketergantungan mereka pada pribadi atau lembaga
9
kita (yang sering tampak pada sarana finansial dan inovasi spektakuler), sebaliknya kita
memberikan pendampingan dan kesempatan seleluasa mungkin demi semakin bertumbuhnya
sikap mandiri dan serta sikap swadaya yang sehat dan alamiah pada mereka. Dengan
menomorduakan bantuan karitatif, kita justru mempunyai kesempatan untuk lebih hadir sebagai
saksi penuh simpati atas pengalaman perjuangan hidup mereka untuk semakin menjadi aktor dan
interpretator dari proses dan sejarah kebangkitan hidup mereka sendiri. Kemandirian, sikap
swadaya dan swakarsa mereka, itulah tujuan pokok dari segala macam partisipasi pelayanan kita
dalam proses pendidikan mereka.
Pendidikan adalah sarana untuk membebaskan komunitaskomunitas masyarakat pinggiran dari berbagai macam bentuk kesadaran semu yang
membelenggu, serta membangkitkan kesadaran dan semangat baru untuk melawan, membongkar
segala bentuk kecenderungan pengasingan sosial, ekonomi, politik dan budaya, guna
memerdekakan diri dari cengkeraman rejim pasar bebas kapialisme/neo-liberalisme, melalui
gerakan pemberdayaan masyarakat kontekstual, yang memberikan prioritas pada pendampingan
anak dan remaja di bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya, ikhtiar-ikhtiar terobosan
alternatif-kreatif dalam praktek kerja partisipatif nyata bersama di bidang swadaya lingkungan
hidup, swadaya kesehatan dan swadaya ekonomi komunitas warga secara kontekstual dan
otonom.
Maka visi dan tujuan Pementasan Ciliwung Larung 2010-2014 adalah “Membuka,
membangkitkan dan memberdayakan kesadaran kritis warga, terutama anak-anak dan remaja,
melalui gerakan sosial-kebudayaan, yang secara spesifik dalam wajud ekspresi pementasan
sinergis antara teater, tari, musik, audio-visual, serta tata-ruang kampong seni kreatif, sehingga
anak-anak, remaja dan suluruh warga, mampu mendayagunakan seluruh energi-energi potensial
yang ada pada dirinya, seluruh prasana dan sarana yang ada tersedia dalam lingkungan hidupnya,
secara maksimal, efektif dan berkelanjutan berbasiskan komunitas, penghargaan lingkungan
hidup serta pemberdayaan ekonomi warga Bukit Duri dan Kampung Pulo”.
Maka Ciliwung Merdeka yang kami coba kembangkan berdasarkan visi dasarnya adalah sebuah
wahana kerja kemanusiaan yang bertujuan memfasilitasi proses pendidikan anak dan remaja
pinggiran sebagai gerakan kebudayaan masyarakat yang menghormati martabat dan hak anak
dan remaja sebagai manusia yang otonom dan merdeka, dengan cara:


Membuka kesempatan seluas mungkin bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari (kelompok)
masyarakat yang terlibat dalam segala proses pemerdekaan.
Membangunkan kesadaran akan konteks yang sedang terjadi pada lingkungan hidup mereka,
sebagai upaya untuk membebaskan diri dari proses pembodohan, pemiskinan dan
ketidakadilan sistematik yang tengah mereka alami sebagai bagian dari warga masyarakat
pinggiran.
10
Oleh karenanya kelompok-kelompok kerja pendidikan selayaknya dalam misinya berkeyakinan
bahwa visi pendidikan alternatif hanya dapat terwujud melalui dua pilihan pilar proses
pendidikan budaya dalam konteks masyarakat pinggiran:
 Membangun komunitas basis pendidikan alternatif yang kokoh dan berkesinambungan,
dengan melibatkan anak-anak, remaja dan masyarakat basis sepenuhnya sedini mungkin,
sehingga anak-anak dan remaja itu dapat mengembangkan kemampuannya dalam
berimajinasi, mengembangkan keterampilannya baca tulis, hitung dan bicara. Pembangunan
komunitas basis pendidikan alternatif ini sekaligus juga untuk memperkenalkan anak-anak
dan remaja sedini mungkin pada kondisi dan potensi lingkungan hidupnya sendiri, sehingga
anak-anak dan remaja itu dapat tumbuh kembang semaksimal mungkin menjadi pribadi yang
kritis, kreatif, mandiri (otonom), dan solider.
 Mengembangkan jaringan solidaritas pendidikan anak-anak dan remaja pinggiran dengan
kelompok profesional dan masyarakat pada umumnya, dalam bentuk jaringan pendidikan
alternatif, sebagai upaya untuk menggalang kekuatan masyarakat luas dalam
memperjuangkan model pendidikan alternatif anak-anak dan remaja pinggiran sebagai
gerakan kebudayaan masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, bersikap swadaya dan
solider, dan selalu menghormati hak serta martabat anak dan remaja pinggiran sebagai
manusia merdeka.
Secara umum pendidikan budaya dalam model alternatif ini bertujuan untuk mendampingi dan
menghantar anak-anak dan remaja pinggiran menemukan jati diri mereka, menjadi manusia yang
merdeka, menjadi manusia yang percaya penuh pada Allah Sang Pencipta Kehidupan dan
semakin yakin pada kekuatan diri sendiri, serta selalu dapat menghargai dirinya sendiri serta
orang lain sesamanya, mempunyai kepekaan terhadap sesama dan alam kehidupan di
lingkungannya, bersikap terbuka, toleran dan solider, menghargai perbedaan, cinta tanah air dan
sesama manusia.
Dengan kata lain, pendidikan budaya dalam pendidikan alternatif diselenggarakan sebagai
wahana untuk mengubah mental anak-anak dan remaja pinggiran agar menjadi anak bangsa yang
dinamis, aktif, kreatif, terbuka dan produktif; menjadi anak dan remaja yang punya kesadaran
kritis, punya sikap solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama manusia, tidak mudah
tergantung pada orang lain atau bersikap swadaya, berbudaya, cinta pada bangsa dan tanah air.
Juga merupakan tujuan dari pendidikan alternatif ini: melakukan pendampingan artikulatif dan
pembelaan hak-hak asasi anak dan remaja pinggiran dari berbagai macam ancaman sistem
pemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan politik negara serta rezim pasar bebas.
6. Teater Komunitas
Bentuk ekspresi seni budaya “Ciliwung Merdeka” dapat melalui 2 model: (1) Pementasan
Kolosal Ciliwung Merdeka 2010 dalam penggabungan sinergis antara ekspresi teater, musik, tari,
11
tulisan/sastra, film dokumenter dan pendidikan alternatif; (2) Pementasan “Ciliwung Larung”
dalam wujud ekspresi spesifik hanya melalui teater, atau hanya melalui musik, hanya melalui
tari, hanya melalui tulisan/sastra, hanya melalui film dokumenter atau hanya melalui pendidikan
alternatif.
Pementasan Teater Musikal “Ciliwung Larung” merupakan pementasan reality show, ekspresi
dari pengalaman pergulatan survival system kontekstual komunitas warga Bukit Duri dan
Kampung Pulo, dengan menggunakan panggung yang dapat mewakili panggung “seluas
kampung”. Tujuannya untuk meningkatkan apresiasi warga masyarakat Jakarta terhadap hasil
kreasi seni warga pinggiran yang digali dari kekayaan seni budaya lokal-tradisional. Kolaborasi
menitikberatkan upaya menelusuri akar seni budaya lokal kita, misalnya. Dalam kesempatan itu
para seniman senior yang ingin bergabung menjadi fasilitaror dan menggugah juga dapat
melakukan eksplorasi dan riset tentang seni budaya pinggiran. Bagaimana teater ”Ciliwung
Larung” karya cipta yang digelar di sana merupakan aktualisasi dari kerinduan kolektif
masyarakat lokal Bukit Duri dan kampung Pulo yang berjuang dan mencari "bayangan"
(refleksi) dari belas kasih Sang Maha Rahim. Yang diinginkan dalam proses belajar ini adalah
terjadinya suatu dialog interaktif intensif antar para hadirin dalam peristiwa budaya itu.
Pendidikan pemberdayaan adalah suatu wahana yang mampu mewadahi ikhtiar, gagasan,
ekspresi, aspirasi, imajinasi, perasaan, mimpi, gerak eksplorasi seniman dan budayawan
pinggiran. Di situlah berlangsung proses belajar, saling belajar-mengajar yang sebenarnya.
Dalam teater komunitas, tidak dibutuhkan pemain atau kru profesional. Ide dasarnya adalah
menggunakan teater atau seni untuk mengartikulasi realitas atau permasalahan sosial di sekitar
komunitas itu. Pergulatan serta diskusi tentang permasalahan sosial nyata yang dialami anakanak, remaja dan warga itulah yang dituangkan dalam cerita. Jadi ada proses penciptaan ulang
(re-creation) realitas. Dengan demikian, seluruh anggota komunitas teater itu menjadi lebih peka
dan paham akan permasalahan social di sekitar mereka. Maka yang diutamakan adalah
bagaimana dalam pementasan teater musikal Ciliwung Larung, sekitar 75-125 anak-anak, remaja
dan warga dari komunitas pinggiran ini mendiskusikan, mengartikulasikan dan menggeluti
permasalahan sosial di sekitar mereka, dan secara interaktif-kritis secara bersama-sama berusaha
melihatnya dengan akal-sehat, perasaan dan intuisi mereka, dari perspektif sosial, ekonomi,
budaya, serta berusaha mencari solusi alternatif jalan keluarnya, langkah-langkah perubahan
nyatanya. Kemudian secara bersama-sama berusaha mencipta ulang realitas itu dalam sebuah
pementasan teater. Tentu saja yang kami harapkan 75-125 anak-anak, remaja dan warga
(kebanyakan ibu-ibu) yang sudah “tercerahkan” melalui proses pendidikan pemberdayaan
melalui teater komunitas ini, akan “menularkan”, akan membawa pokok-pokok kesadaran itu ke
keluarga dan komunitas RT mereka masing-masing. Bayangkan kalau satu orang akan membawa
hasil “pencewrahan” itu ke sepuluh orang di sekitar mereka, maka tanpa terasa sudah ada 7501250 orang yang mendapatkan “pencerahan untuk perubahan” tanpa mereka sadari sendiri dan
menyebarluaskan penyadaran sosial itu ke masyarakat lainnya.
Teater untuk pendidikan Ciliwung Merdeka dapat disebut sebagai Teater Rakyat, Teater
Komunitas atau Teater Tradisional. Sebaliknya, Teater Rakyat, Teater Komunitas atau Teater
Tradisional tidak identik dengan teater untuk pendidikan. Mengapa? Sebab, Teater Rakyat,
12
Teater Komunitas atau Teater Tradisional tidak selalu berorientasi kepada pendidikan. Teater
tradisional seperti ludruk, ketoprak, wayang, jaipong, dan opera Batak yang bersifat tontonanhiburan, misalnya, adalah juga teater rakyat. Pada masa Orde Baru, wayang dan ketoprak kerap
dimanfaatkan untuk tujuan propaganda atau kampanye, misalnya Keluarga Berencana,
pemberian ASI (Air Susu Ibu), dan seterusnya.
Pada dasarnya, setiap bentuk teater yang berorientasi kepada suatu proses pemberdayaan
(empowerment) baik yang bersifat penyadaran, mengembangkan sikap kritis, sosialisasi
pengetahuan dan nilai-nilai tertentu maupun pengembangan komunitas atau persekutuan, adalah
teater untuk pendidikan. Dalam konsep teater ini, penciptaan teater adalah proses saling belajar
yang partisipatif. Seluruh tahapan teater, seperti penciptaan cerita atau skenario (yang tidak
selalu tertulis), seleksi pemain, latihan peran, ilustrasi musik, dan sutradara dilakukan oleh
komunitas. Tentu saja, tahapan-tahapan ini bukanlah proses yang lancar untuk dilalui. Terutama
bagi komunitas pelajar dengan intensitas pertemuan yang rendah dan tingkat pengetahuan
tentang teater yang masih nol atau sebagai pemula, untuk menemukan dan menggali gagasan
yang akan ditungakan dalam cerita bukanlah peroses yang mudah karena proses ini melibatkan
aspek spiritual, moral, emosional, maupun sosial karena itu memerlukan siasat tersendiri untuk
sampai pada tujuan yang diharapkan. Teater memiliki pendekatan multi-dimensi sebagai suatu
metode dalam pendidikan yakni pendekatan konseptual-tekstual dan figural/pelukisan.
Pendekatan konseptual-tekstual mencakup pengolahan pesan yang bertolak dari teks-teks kitab
suci, cerita–cerita rakyat, mitos-mitos serta penggalian dan analisis atas realitas sosial dan
pengalaman hidup yang dijalani. Sedangkan pendekatan figural mencakup aktualisasi pesan
dalam cerita, seni peran maupun dekorasi. Karena pendekatan multi-dimensi ini, teater jauh lebih
mampu untuk proses penyadaran, pembebasan dan mengembangkan komunitas/persekutuan.
Apresiasi terhadap kehidupan, kepekaan terhadap diri dan komunitas serta daya imajinasi
semakin dilebarkan dan dihidupkan.
7. Pilihan Metode
Segala ikhtiar multi-dimensional untuk membantu, melindungi dan membela anak-anak dan remaja
Bukit Duri dan Kampung Pulo dari tantangan ketidakadilan dan kemiskinan di bidang pendidikan ini,
kami memilih “problem posing education” (“pendidikan hadap masalah”) atau juga “learning by doing”
(belajar justru dengan bekerja) sebagai model pendekatan alternatif. Ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan hidup bagi anak, remaja dan warga Bukit Duri, justru digali dan diperoleh dari
perjumpaan praksis dialektis dalam persentuhannya dengan berbagai macam masalah kenyataan hidup
yang mereka alami sehari-hari dalam lingkungan hidup mereka. Pendidikan aksi partisipatoris ini
dimaksudkan lebih untuk mendinamisir keterlibatan aktif komunitas basis warga masyarakat Bukit Duri
dalam mengembangan kesadaran kritis, membangun sikap solidaritas dan sikap swadaya.
Sebelum kita mengurai metode dan kurikulum pendidikan alternatif yang ditawarkan Ciliwung
Merdeka, baiklah kita sadari dulu, bahwa bagaimanapun juga, kita tidak bisa terlepas sama sekali dari
kenyataan adanya kurikulum sistem pendidikan nasional kita selama ini. Karena de facto, sebagian besar
13
dari jumlah anak-anak dan remaja Bukit Duri yang kita dampingi pernah dan sedang bersekolah di
sekolah-sekolah formal itu. Kurikulum di sekolah-sekolah formal pada umumnya dikuasai oleh
kepentingan negara dan rezim pasar bebas. Hal ini misalnya nampak pada pendidikan teknologi modern
jangka pendek untuk kebutuhan vertikal mendesak lowongan-lowongan kerja kompetitif perusahaan
multinasional ataupun kantor-kantor birokrasi negara, ketimbang pendidikan yang berorientasi pada
kebutuhan jangka panjang berkelanjutan secara horisontal masyarakat di bidang konsientisasi,
solidaritas dan swadaya.
Kami yakin, guna menjadi manusia yang merdeka, mandiri, dinamis, aktif, kreatif serta produktif, ada
tiga komponen utama dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara seimbang. Komponen utama
itu terdiri dari otak, jiwa dan tangan. Setiap jenis metode dan kurikulum pendidikan pada dasarnya
merupakan alat latihan untuk meningkatkan mutu masing-masing komponen. Kurikulum didaktik
seperti ilmu eksata, atau ilmu sosial, bukanlah bertujuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan agar
manusia manjadi ensiklopedis. Ilmu pengetahuan apa pun yang diajarkan pada seluruh tingkat sekolah,
praktis tidak banyak berfaedah pada kehidupan selanjutnya. Apalagi teori dan ilmu itu senantiasa
menjadi usang dari waktu ke waktu. Fungsi kurikulum didaktik tidak lain adalah sebagai alat latihan
untuk meningkatkan daya nalar, daya pikir yang logis, sistematik, dan matematis, punya daya serap otak
yang bagus.
Kurikulum kesenian dan olahraga diselenggarakan untuk meningkatkan mental yang diperlukan bagi
hidup dan pergaulan manusia. Padanya terdapat prinsip-prinsip keharmonisan dan prilaku, sehingga
manusia dapat menjadi lebih terbuka, toleran terhadap perbedaan dalam masyarakat, serta punya
kesadaran tinggi akan peran kerja sama, tanpa memandang peran orang atau golongan, serta bersikap
sportif. Terutama pendidikan musik, teater, tari, dan olahraga menjadi sangat penting untuk tujuan
tersebut. Pendidikan seni rupa itu berbeda dengan pendidikan menggambar. Kurikulum menggambar
lebih mengutamakan ketelitian, ketekunan dan ketekunan meniru obyek. Pada seni rupa lebih
diutamakan kreativitas. Pendidikan kreativitas sangat penting untuk melatih kemampuan mencari
alternatif dari suatu yang tidak ada menjadi ada. Jika pada ilmu eksata lebih bersifat memikirkan
alternatif, maka pada pendidikan kreativitas lebih bersifat aksi, tindakan.
Kesamaan tujuan pendidikan seni rupa dan musik adalah pada latihan untuk membentuk sikap mental
yang kritis. Pada dasarnya, sikap kritis adalah produk otak. Mata dan telinga menjadi alat penyerap.
Melalui pendidikan seni rupa, mata dilatih untuk mampu secara kritis membedakan dan membandingkan
garis, warna dan bentuk yang satu dengan yang lain, serta yang benar dan yang salah. Melalui
pendidikan musik dan nyanyi, telinga dilatih agar mampu membedakan secara kritis suara yang
harmonis dan disharmonis. Dari daya kritis mata memandang dan telinga mendengar, kemudian
menyalur pada pemikiran otak. Bangsa yang merdeka, yang lepas dari tradisi penghambaan, tak bisa lain
mesti bermental kritis.
14
DIAGRAM SPIRAL PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN
HAM, Undang2,
Perda,
Kesepakatan
Bersama..
Analisis
Kesepakatan
Kesadaran
(2)
Rumusan
Keprihatinan
(3)
Ekspresi,
Presentasi,
Perwujudan,
Pamentasan
PENDIDIKAN
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Total Quality
Analysis
Perencanaan
(4)
Rencana
Kegiatan
CILIWUNG
MERDEKA
Analisis
Sosial
Ilmu Sosial,
Pendataan/ Riset,
Ilmu sosial,
ekonomi, budaya
politik, hukum,
arsitektur,
manajemen..
Pelaksanaan
Kegiatan
(1)
Pengalaman/
pengamatan situasi yang
dialami
sendiri/bersama
Manajemen
Organisasi
Komunitas Basis
Keterangan:
Langkah-langkah ini merupakan suatu kesatuan utuh, berbentuk lingkaran spiral, sehinga arah
jalannya selalu akan berulang dan terus semakin mendalam. Suatu langkah yang tak pernah
selesai.
a. Pengalaman/Pengamatan
Inilah situasi yang dialami sendiri/bersama. Suatu langkah awal yang menjadi titik tolak
seluruh proses analisis, yang akan menentukan mutu pendidikan kita yang sesunguhnya.
Pengalaman ini bisa dilaksanakan dalam bentuk keterlibatan kerja praktek nyata “live-in”,
KKN atau praktik kerja selama beberapa waktu tertentu. Keterlibatan dalam konteks. Dengan
sengaja di sini kenyataan sosial masyarakat bawah, kaum pinggiran, menjadi prioritas pilihan
utama medan keterlibatan nyata.
15
Situasi kaum miskin adalah keadaan di mana manusia tak dapat memenuhi segala kebutuhan
dasar (kebutuhan jasmani, rasa aman, kebersamaan, harga diri dan aktualisasi diri). Untuk
sebagian besar ketidakmampuan itu bukan semata berdasarkan kekurangan persediaan
(meski persediaan barangkali memang amat terbatas), melainkan lebih berdasarkan pada
pembagian yang tidak merata, berdasarkan ketidakadilan. Ketidakadilan sebagai akibat dari
struktur kekuasaan yang hanya didominasi oleh sekelompok kecil kaum elite dalam
masyarakat, sehingga komunitas-komunitas kaum miskin tidak/kurang memiliki/memperoleh
akses di bidang social, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang sebenarnya banyak yang
merupakan porsi tanggungjawab pemerintahan pusat maupun daerah, sebagai pengatur
manajemen penyelenggaraan negara. Di Indonesia mereka yang tergolong kaum miskin
adalah kaum miskin kota, buruh, petani, pengrajin dan nelayan.
b. Rumusan Keprihatinan
Pengalaman keterlibatan itu kemudian kita rumuskan. Di sinilah dapat kita gunakan “analisis
sosial”, yaitu suatu usaha untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai situasi sosial
dengan menelaah kaitan-kaitan historis dan struktural. Analisis sosial merupakan alat yang
memungkinkan kita dapat menangkap realitas sosial yang kita gumuli secara relatif lebih
tepat. Demikian realitas sosial itu dapat kita tangkap, maka keprihatinan yang dirasakan lalu
dapat kita rumuskan secara jelas. Dalam rangka analisis sosial kita kenal adanya 3 model
pengembangan masyarakat yang paling umum, yaitu:
Model Karitatif
b.
Model kelembagaan dan masukan
c.
Model organisasi dan partisipasi masyarakat.
Model C, yaitu model organisasi dan partisipasi masyarakat adalah model yang kita pilih.
Demikian pula dalam melihat permasalahan kaum miskin sebagai realitas sosial, kita kenal
adanya berbagai macam pendekatan, antara lain “pendekatan dari atas” dan “pendekatan dari
bawah”, “ individual blame” dan “system blame”. Dengan bantuan analisis sosial, kita dapat
menemukan keprihatinan sosial kita, yaitu bagaimana kita dapat menghayati hidup kita yang
otentik, justru dalam situasi kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang menyangkut masalahmasalah mental, struktural dan sosial-kultural.
c. Ekspresi, Perwujudan, Presentasi
Pengalaman keterlibatan proses belajar baik sendiri maupun bersama dalam konteks
pendidikan lingkungan hidup dalam realitas kemiskinan, situasi batas daya manusia di mana
manusia ditantang untuk bangkit berjuang mengatasi hidupnya sendiri itu, sesudah kita
analisis dan kita rumuskan bersama, selanjutnya kita refleksikan bersama dengan
menggunakan bantuan kacamata ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya
(termasuk teknologi, arsitektur dan manajemen), semuanya berlandaskan hak-hak asasi
manusia.
Terutama kita merefleksikan ke-5 bidang dan materi Pendidikan Iptek dan Kebudayaan CM
2010, yaitu (1) Pendidikan Akademik, (2) Pendidikan Kesenian, (3) Pendidikan Jurnalistik,
(4) Pendidikan Audio Visual, (5) Pendidikan Membaca/Perpustakaan, (6) Wicara/Public
Speaking. Dan seluruh pengalaman atau pengamatan yang sudah direfleksikan bersama ini
harus kita artikulasikan, kita ekspresikan, kita presentasikan ke publik.
16
d. Rencana Kegiatan
Kita
tidak
akan
berhenti
dan
tinggal
diam
sampai
di
tingkat
ekspresi/presentasi/pameran saja, melainkan, setelah belajar dari kaidah-kaidah ilmu
manajemen organisasi yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan,
kita harus
membagikan pengalaman belajar tentang lingkungan hidup melalui keterlibatan sosial itu dan
mewujudkannya dalam tindakan nyata berupa keterlibatan sosial nyata selanjutnya yang lebih
bermutu. Maka kita masuk lagi dalam situasi baru yang dialami bersama, yang tentu
mengundang analisis/refleksi baru. Demikian proses pendidikan ini meliputi aksi dan refleksi
yang terus berkembang secara dinamis sebagai lingkaran spiral.
8. Nyanyian Harapan
Demikian pengalaman terbatas kami dalam mendampingi proses pendidikan pemberdayaan anak
dan remaja pinggiran komunitas basis “ruang sisa” bantaran sungai Ciliwung melalui teater
komunitas. Melalui rangkaian pementasan Teater Musikal Ciliwung Larung anak-anak dan
remaja pinggiran Ciliwung Merdeka berikhtiar mengekpresikan perjuangannya, upaya-upaya
orisinal mereka dalam melawan stigma dan mendobrak keterbatasan yang mereka alami. Anakanak pinggiran adalah masa depan bangsa Indonesia. Sudah saatnya kita mendengarkan mereka
dengan hati nurani lebih jernih. Melalui rangkaian kreativitas seni budaya dalam proses
pendidikan ini, anak dan remaja pinggiran Ciliwung Merdeka ingin menyatakan solidaritasnya
pada teman-teman anak-anak pinggiran senasib-seperjuangan di seluruh tanah air, dan
mendeklarasikan pembentukan “Jaringan Perjuangan Anak Pinggiran Merdeka”
JABODETABEK yang suatu saat kelak akan bersekutu dengan kawan-kawan jaringan anak
pinggiran diberbagai kepulauan dan penjuru tanah air, guna membentuk “Jaringan Perjuangan
Anak Pinggiran Merdeka Indonesia”. Jaringan Anak Pinggiran tingkat regional dan nasional
inilah yang selanjutnya akan memperjuangkan pembentukan/perubahan undang-undang yang
nyata-nyata secara sistemik harus menjamin perlindungan hak anak pinggiran Indonesia atas
pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan untuk mencari nafkah,
termasuk juga jaminan perlindungan dari segala macam bentuk ancaman kekerasan, baik dari
kaum dewasa berkuasa dalam masyarakat sipil, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan
kekerasan di jalan-jalan serta tempat kerja, maupun kekerasan sistemik dari aparat Negara,
misalnya: penggusuran-paksa, penangkapan joki three-in-one secara sewenang-wenang, politik
pembiaran dalam perdagangan anak-anak korban konflik kekuasaan politik-ekonomi di
pengungsian-pengungsian, seperti di Aceh, Ambon, Poso, Papua dan Sidoarjo.
Anak-anak pinggiran, dari setiap komunitas perkampungan miskin di lingkungan perkotaan,
pertanian pedesaan, pantai kaum nelayan, dan daerah perdagangan di seluruh penjuru tanah air,
justru dalam
segala ragam perbedaan dan keterbatasannya, senantiasa rindu untuk
bergandengan-tangan, menyatukan langkah, bersekutu. Sebuah kerinduan purba anak manusia
17
untuk menyatukan kata, hati, dan gerak, serta melantunkan nyanyian jiwa bersama: “Nyanyian
Tanah Merdeka”
Jakarta, 28 Februari 2012
18
Download