Ringkasan Eksekutif: Tangguh berkat reformasi

advertisement
Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia
Ringkasan Eksekutif: Tangguh berkat reformasi
Ketahanan Indonesia
terlihat jelas di
antara ekportir
komoditas dengan
kembali tertundanya
pemulihan global
Serangkaian data global kuartal pertama yang mengecewakan menunjukkan bahwa
pemulihan dunia yang diproyeksikan untuk 2016 belum dimulai. Pada tanggal 7 Juni,
Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan globalnya sebesar setengah poin
persentase, menjadi 2,4 persen. Separuh dari revisi ini diakibatkan oleh perkiraan
perlambatan pertumbuhan negara-negara berkembang yang merupakan eksportir
komoditas menjadi hanya 0,4 persen tahun ini. Ekonomi Indonesia terlihat lebih
baik dibandingkan dengan kinerja negara-negara eksportir komoditas lainnya,
dengan proyeksi pertumbuhan PDB sebesar 5,1 persen untuk tahun 2016.
Dibandingkan dengan negara-negara pembandingnya di wilayah yang sama,
perkiraan pertumbuhan Indonesia lebih tinggi dibanding Malaysia (4,4 persen) dan
Thailand (2,5 persen), namun lebih rendah dibanding Filipina (6,4 persen) dan
Vietnam (6,2 persen).
Kebijakan moneter
yang kuat dan
kenaikan investasi
publik telah
mendukung
ekonomi, sementara
deregulasi telah
mendorong
kepercayaan usaha…
Sejumlah kebijakan yang baik telah berkontribusi kepada daya tahan Indonesia.
Pertama, kebijakan moneter dan kurs tukar valuta yang berhati-hati, bersama dengan
kondisi keuangan internasional yang lebih baik dibanding setahun yang lalu,
berkontribusi terhadap penurunan inflasi dan menstabilkan Rupiah. Faktor-faktor
tersebut, serta lebih rendahnya harga energi, mendorong konsumsi rumah tangga
secara agregat. Kedua, belanja infrastruktur publik menjadi prioritas bagi ruang fiskal
Indonesia yang terbatas. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan pada kuartal
pertama 2016 sebagai bagian dari paket-paket kebijakan ekonomi tampaknya akan
menghasilkan peningkatan jangka menengah yang lebih berarti dalam kebijakan
perdagangan dan iklim investasi, dibanding peraturan-peraturan yang diumumkan
pada kuartal yang lalu. Sementara peraturan-peraturan terbaru merupakan campuran
dari aturan yang membatasi dan melonggarkan, tindakan-tindakan terakhir
diperkirakan akan lebih banyak bersifat melonggarkan. Semua peraturan tersebut,
secara bersama-sama, dapat menandai titik balik dalam pembuatan kebijakan publik,
yang pada gilirannya dapat mendorong -peningkatan sentimen dunia usaha.
…namun risiko
penurunan
Namun prospek Indonesia yang lebih baik dari rata-rata tersebut juga terpengaruh
oleh risiko penurunan yang jelas. Semakin melambatnya pertumbuhan negara-negara
Juni 2016
THE WORLD BANK | BANK DUNIA
i
Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia
pertumbuhan
semakin meningkat
berkembang utama, lemahnya pemulihan pada negara-negara maju, volatilitas pasar
keuangan dunia, dan periode rendahnya harga komoditas yang lebih panjang dari
perkiraan, merupakan risiko-risiko global utama. Risiko-risiko fiskal dalam negeri
juga meningkat, dengan RAPBN-P 2016 yang diserahkan ke DPR pada tanggal 2
Juni mengasumsikan penerimaan yang signifikan dari pengampunan pajak. Jika aliran
masuk dana dari pengampunan pajak itu tidak memenuhi harapan, maka potongan
belanja tambahan harus dilakukan, sehingga meningkatkan risiko terhadap
momentum belanja infrastruktur. Akhirnya, aturan-aturan deregulasi yang terakhir
memfokuskan pada peningkatan prosedural. Pengecualian terhadap hal ini adalah
pelonggaran terhadap sejumlah pembatasan investasi asing, walau banyak sektor
masih tertutup atau setengah tertutup terhadap investasi asing. Dibutuhkan lebih
banyak perubahan fundamental dalam kebijakan perdagangan dan iklim investasi,
dan juga implementasi yang efektif pada tingkat nasional dan daerah, untuk
mendorong kenaikan berkelanjutan dalam investasi swasta.
Pertumbuhan PDB
pada kuartal pertama
2016 sebesar 4,9
persen yoy, dengan
belanja publik yang
lebih rendah dari
perkiraan
Pertumbuhan PDB riil Indonesia mencapai 4,9 persen tahun-ke-tahun (year-on-year,
yoy) pada kuartal pertama tahun 2016, sedikit lebih lambat dari perkiraan terutama
karena belanja publik yang lebih rendah dari perkiraan. Pertumbuhan konsumsi
swasta tetap bertahan pada 5 persen yoy, walau pendapatan riil yang stagnan terus
membebani konsumsi rumah tangga pada desil distribusi pendapatan yang paling
rendah, seperti petani padi. Pertumbuhan investasi tetap melambat ke 5,6 persen yoy
pada kuartal pertama 2016, dibanding 6,9 persen pada kuartal terakhir tahun 2015,
karena lebih rendahnya belanja modal pemerintah pusat. Walau dengan permulaan
tahun yang lambat, investasi pemerintah diperkirakan akan meningkat pada kuartalkuartal berikut, mengikuti tren historis.
Defisit neraca
berjalan menyusut
ke 2,1 persen dari
PDB, dengan impor
yang turun lebih
cepat dibanding
ekspor
Ekspor dan impor terus menurun baik secara volume dan nilai. Penurunan ekspor
secara luas itu didorong oleh rendahnya permintaan global, apresiasi kurs tukar
valuta sebesar 3,1 persen pada kuartal pertama 2016, dan melemahnya harga untuk
semua komoditas utama dibanding kuartal pertama 2015. Impor bahan mentah dan
barang modal menurun, sementara impor barang-barang konsumsi (tidak termasuk
BBM) meningkat secara tahun-ke-tahun untuk pertama kali sejak kuartal empat
2014. Defisit neraca berjalan menyusut ke 2,1 persen dari PDB karena penurunan
impor yang lebih tajam dibanding ekspor secara kuartalan.
Sektor swasta
mencatat aliran
keluar modal bersih
pada kuartal 1 tahun
2016
Walau dengan peningkatan pada saldo neraca berjalan, neraca pembayaran mencatat
defisit tipis pada kuartal pertama 2016. Investasi langsung (Foreign Direct Investment)
sedikit berkontraksi dibanding kuartal yang lalu menjadi 2,2 miliar dolar AS. Aliran
modal portofolio tetap kuat pada 4,4 miliar dolar AS, didorong seluruhnya melalui
hutang pemerintah jangka panjang. Namun investasi lain mencatat defisit kuartalan
akibat aliran keluar simpanan swasta dan penurunan pinjaman asing oleh sektor
swasta.
Risiko-risiko fiskal
masih bertahan,
karena RAPBN-P
2016 secara
signifikan
bergantung kepada
penerimaan
pengampunan pajak
Beralih ke kebijakan fiskal, pada akhir bulan April penerimaan menurun sebesar 9,8
persen dibanding periode yang sama tahun 2015, terutama karena lebih rendahnya
harga komoditas, permintaan dalam negeri dan sejumlah perubahan kebijakan dan
administrasi. Pada saat yang bersamaan, jumlah pengeluaran meningkat sebesar 9,2
persen. Menanggapi prospek penerimaan yang lebih rendah, Pemerintah
menyerahkan RAPBN-P 2016 kepada DPR. Proyeksi penerimaan hanya lebih
rendah sebesar Rp 88,0 triliun dibanding APBN, karena dampak negatif dari kondisi
makroekonomi yang lebih lemah dari perkiraan diimbangi dengan perkiraan
penerimaan dari pengampunan pajak yang signifikan. Sasaran penerimaan dari
Juni 2016
THE WORLD BANK | BANK DUNIA
ii
Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia
pengampunan pajak yang besar ini meningkatkan risiko potensi pemotongan
pengeluaran tambahan yang besar, termasuk kepada proyek-proyek belanja yang
diprioritaskan, di paruh kedua tahun ini.
Prospek dasar
(baseline) PDB
sebesar 5,1 persen
untuk tahun 2016
tidak berubah
Tabel 1: Pada kasus dasar (base case), pertumbuhan PDB
Melihat ke depan,
diproyeksikan pada 5,1 persen untuk tahun 2016
Bank Dunia
2015
2016p
2017p
memproyeksikan
(Persen
pertumbuhan PDB
PDB riil
perubahan
4,8
5,1
5,3
pada 5,1 persen pada
tahunan)
tahun 2016 dan 5,3
(Persen
Indeks harga
perubahan
6,4
3,9
4,4
persen pada tahun
konsumen
tahunan)
2017, tetap sama
(Persen dari
dengan proyeksi pada Saldo neraca
-2,1
-2,3
-2,5
berjalan
PDB)
Triwulanan bulan
dari
Tidak
-2,6
-2,8
Maret 2016 (Tabel 1). Saldo anggaran (Persen
PDB)
ada
Konsumsi swasta
Sumber: BI; BPS; Kementerian Keuangan; perhitungan staf Bank Dunia
diperkirakan akan
sedikit meningkat karena inflasi yang moderat, Rupiah yang relatif stabil, lebih
rendahnya harga energi, perkiraan kenaikan dalam batas pajak penghasilan pribadi,
dan gaji ke-14 untuk pegawai negeri. Pengeluaran pemerintah, terutama pengeluaran
modal, diproyeksikan akan meningkat pada tiga kuartal berikut sejalan dengan tren
historis. Perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa 90 persen dari sasaran
investasi APBN 2016 dapat dicapai dengan proyeksi penerimaan yang bahkan lebih
rendah dibanding APBN-P 2016, kenaikan defisit fiskal hingga 2,8 persen dari PDB,
dan pemotongan pengeluaran yang bukan merupakan prioritas (lihat Bagian 6).
Menuju akhir tahun 2016 dan setelahnya, prospeknya akan bergantung kepada
peningkatan investasi swasta berkat upaya reformasi iklim usaha oleh Pemerintah
dan pemulihan bertahap dalam pertumbuhan dan perdagangan internasional.
Tingginya harga
bahan pangan dalam
negeri adalah salah
satu biaya distrosi
perdagangan pada
ekonomi Indonesia
Selama beberapa bulan terakhir, inflasi IHK juga mengalami moderasi, menjadi 3,3
persen yoy pada bulan Mei. Namun inflasi IHK yang kecil itu sesungguhnya
menutupi inflasi harga bahan pangan yang tetap tinggi (sebesar 7,7 persen yoy pada
bulan Mei). Salah satu alasan mengapa inflasi bahan pangan dalam negeri tetap tinggi
sementara harga bahan pangan dunia mengalami penurunan selama beberapa tahun
terakhir, adalah proteksi perdagangan. Menurut data yang dikumpulkan oleh Bank
Dunia dan Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), jumlah
aturan non-tarif tingkat produk (non-tariff measures, NTM) untuk impor Indonesia
meningkat dua kali lipat antara tahun 2009 dan 2015, memperluas jumlah produk
yang tercakup ke dalam NTM hingga lebih dari 38 persen. Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa pada tahun 2015 harga beras giling dalam negeri ternyata 68
persen lebih tinggi bila dibanding keadaan tanpa peraturan perdagangan. Dengan
memperhitungkan bahwa sejumlah produk tertentudigunakan sebagai barang jadi
dan masukan (input) ke produksi, analisis tersebut menunjukkan bahwa pada tahun
2015, seluruh kebijakan perdagangan telah meningkatkan biaya hidup di Indonesia
sebesar 7,4 persen dibandingkan skenario tanpa pembatasan perdagangan.
Tingginya suku
bunga dan margin
bunga bersih (net
interest margin) di
Indonesia
disebabkan oleh
Inflasi yang moderat juga merupakan salah satu alasan Bank Indonesia (BI)
memotong BI Rate hingga tiga kali sepanjang tahun ini. Namun penurunan BI Rate
belum sepenuhnya mempengaruhi ke suku bunga simpanan dan pinjaman
perbankan. Hal ini mendukung persepsi bahwa bank-bank di Indonesia
menetapkan suku bunga dan margin bunga bersih (net interest margin, NIM) yang
terlalu tinggi. Penelitian oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa berbagai tantangan
Juni 2016
THE WORLD BANK | BANK DUNIA
iii
Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia
struktur pendapatan
dan pengeluaran
bank, dangkalnya
pasar finansialdan
crowding out akibat
pinjaman luar negeri
pemerintah
dalam struktur pendapatan dan pengeluaran perbankan Indonesia, terutama
rendahnya pendapatan biaya, tingginya biaya overhead, tingginya rasio modal, dan
rendahnya cadangan untuk kredit macet, merupakan penjelasan untuk tingginya
tingkat NIM. Analisis empiris lanjutan menunjukkan bahwa pasar ekuitas dan
hutang yang kurang berkembang, pasar bank yang cenderung oligopolistis dan
pengaruh penurunan belanja investasi swasta karena kenaikan suku bunga (crowding
out) pinjaman pemerintah merupakan penentu utama dari NIM di Indonesia.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa solusi berkelanjutan jangka panjang
untuk tantangan seperti itu adalah dengan memperbesar ukuran pasar finansial dan
meningkatkan persaingan.
Beberapa prioritas
kebijakan
Pemerintah yang
berjalan dapat
membantu
menyegarkan daya
saing manufaktur,
namun masih
banyak yang perlu
dilakukan
Tajamnya penurunan pendapatan ekspor komoditas menyebabkan peningkatan
ekspor bukan komoditas menjadi prioritas utama. Komposisi ekspor Indonesia saat
ini sangat didominasi oleh produk-produk “berteknologi rendah” (sepertiga dari
ekspor manufaktur pada tahun 2014), diikuti oleh ekspor industri teknologi
menengah sebesar 28 persen. Ekspor teknologi tinggi (terutama elektronik)
menurun pasca krisis tahun 1997. Jadi bagaimana Indonesia dapat membuat
manufaktur kembali menjadi mesin pertumbuhan? Pemerintah dapat
mempertimbangkan memfokuskan upayanya dalam mendukung industri-industri
(ekspor) yang bertumbuh sangat cepat walau menghadapi banyak rintangan dan
memberdayakan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Kemitraan yang
transparan dan strategis dengan sektor swasta merupakan hal yang penting. Menjaga
inflasi tetap rendah melalui investasi dalam produktivitas pertanian dan melalui
penurunan hambatan perdagangan akan mendukung pertumbuhan ekspor melalui
pembatasan apresiasi kurs tukar valuta riil. Akhirnya, kenaikan belanja infrastruktur
dan reformasi peraturan, yang telah menjadi prioritas kebijakan, akan membantu
meningkatkan daya saing.
Kebijakan fiskal di
Indonesia belum
efektif dalam
menurunkan
ketimpangan, walau
telah dibantu oleh
reformasi subsidi
BBM
Baru-baru ini perhatian dialihkan kepada pengembangan fiskal jangka pendek dan
dampaknya terhadap pertumbuhan. Namun, kebijakan fiskal juga merupakan alat
utama yang tersedia bagi pemerintah untuk menurunkan ketimpangan. Ketimpangan
di Indonesiayang telah meningkat sejak awal tahun 2000an dan sebagian besar
penduduk Indonesia berpendapat bahwa hal ini perlu segera diatasi dengan tindakan
yang tepat.1 Pilihan kebijakan pajak dan belanja disusun dengan pertimbangan untuk
menurunkan ketidaksetaraan pada sejumlah negara. Di Brasil, misalnya, koefisien
Gini (suatu ukuran ketidaksetaraan) lebih rendah sebesar 14 poin setelah
memperhitungkan dampak kebijakan fiskal pada tahun 2009. Menurut suatu
penelitian Bank Dunia, kebijakan fiskal di Indonesia pada tahun 2012 menurunkan
koefisien Gini hanya sebesar 2,5 poin. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa
Pemerintah mengalokasikan belanja dana terkecil untuk program-program yang
paling efektif dan sebaliknya. Namun reformasi subsidi BBM tahun 2015, dan
kompensasi bagi penduduk miskin, telah membantu menurunkan ketidaksetaraan,
karena penghematan belanja diarahkan kembali kepada bidang infrastruktur,
kesehatan dan bantuan sosial.
1
Juni 2016
Bagian B.2 dari Triwulanan edisi bulan Maret membahas perhatian publik tentang kenaikan
ketidaksetaraan di Indonesia.
THE WORLD BANK | BANK DUNIA
iv
Download