BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak
kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang
pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan
pidana. Jadi larangan larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang
harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah (Lamintang, 2013:7)
Pengertian tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) disebut dengan “strafbaar feit”, namun untuk pengertian
itu sendiri tidak diberi penjelasan secara detail. Kata “feit” dalam bahasa
Belanda diartikan sebagai “sebagian dari kenyataan” atau “Een gedeelte
van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berari “dapat dihukum”
(Lamintang, 2013:181).
Secara doctrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan
tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan
dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut
memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud perbuatan / tindak
pidana, dibawa ini akan diuraikan tentang batasan / pengertian tindak
pidana yang diberikan oleh dua pandangan dimaksud :
Pandangan Monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat
dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,
bahwa didalam pengertian perbuatan / tindak pidana sudah tercakup
12
13
didalamnya perbuatan yang dilarang (Criminal act) dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (Criminal responbility) (P.A.F. Lamintang,
1997 :193).
Menurut para ahli yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya
pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility) adalah:
1) Simon
Simons merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Hal itu dikarenakan :
(Abidin A.Z., dan Andi Hamzah, 2010 :224-225)
a) Untuk adanya suatu strafbaar feit disyaratkan bahwa di
dalamnya harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun
yang diwajibkan oleh undang-undang , dimana pelanggaran
terhadap larangan ataupun kewajiban semacam itul telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
b) Agar sesuatu tindakan dapat dihukum, maka tindakan tersebut
harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang
dirumuskan di dalam undang-undang.
c) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan
atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya
merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan
suatu “onrechtmatige handeling”.
2) J. Bauman
“Menurut J. Bauman, perbuatan tindak pidana adalah perbuatan
yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan” (Soedarto,1988 :55).
3) Wirjono Prodjodikoro
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002:75).
14
Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat perbuatan yang
dilarang (Criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana / kesalahan
(Criminal
responbility),
pandangan
dualistis
memisahkan
antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut
pandangan Monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di
dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut
pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan
Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut
pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah
terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan /
pertanggungjawaban pidana (Moeljatno, 1993 :54). Yang termasuk dalam
golongan aliran dualistis tentang syarat- syarat pemidanaan adalah:
1) H.B. Vos
H. B. Vos mengemukakan bahwa strafbaar feit adalah suatu
kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang
undangan (Adami Chazawi, 2002:72).
2) Pompe
Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana
(strafbaat feit) adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang
menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang daat dihukum (Adami Chazawi, 2002:72).
3) Moeljatno
Moeljatno memberi arti bahwa tindak pidana adalah perbuatan
pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut.
Pada dasarnya tindak pidana adalah kelakuan manusia yang
dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan
perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan
pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
15
masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang
dilakukan (Andi Hamzah, 2001:22).
b. Jenis Jenis Tindak Pidana
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai
berikut:
1) Menurut KUHP dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam
Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian
tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya
merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan
Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem
hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa
larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu.
Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana
materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang
dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak
pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja
(culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang
diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP
(pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa
orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain.
Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada
kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya
seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan
Pasal 360 KUHP.
4) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang
yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan
(Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak
pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak
pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada
dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur
dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni
adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,
tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang
mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat,
misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya
sehingga anak tersebut meninggal (Andi Hamzah, 2001:25-27).
16
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak
pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak
pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif
dan pasif.
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana atau perbuatan pidana dapat menjadi kenyataan setelah
ada tindakan dari seorang pelaku, lalu ada akibat yang ditimbulkan dimana
akibat itu dapat timbul dengan tindakan atau perbuatan itu atau timbul pada
waktu dan tempat yang berbeda. Selain itu syarat lain yang harus dipenuhi
adalah perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan (dewasa, atau tidak dibawah pengampuan), dan
tidak dalam keadaan terpaksa (overmacht). Hal penting lain dan yang
utama adalah perbuatan tersebut diancam pidana atau hukuman (asas
legalitas) dan ada unsur melawan hukum (Lamintang, 2013: 23-24).
Menurut Andi Hamzah (2001:30) Unsur-unsur tindak pidana adalah
sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
Kelakuan dan akibat (perbuatan)
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Unsur melawan hukum yang objektif
Unsur melawan hukum yang subyektif.
Dan jika merujuk kepada Buku II KUHP, terdapat delapan unsur
tindak pidana, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Unsur tingkah laku
Unsur melawan hukum
Unsur kesalahan
Unsur akibat konstitutif
Unsur keadaan yang menyertai
Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana
17
Dalam setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana pada umumnya membagi unsur-unsur tindak
pidana menjadi 2 (dua) macam unsur, yaitu unsur subjektif dan objektif.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku,
dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana antara lain :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus aatau culpa);
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam tindak pidana pencurian, pemerasan, pemalsuan dan lainlain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam tindak pidana pembunuhan Pasal
340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP (P.A.F. Lamintang,
2013:193)
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) Kualitas dari si pelaku, misal “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam tindak pidana jabatan menurut pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseorangan
terbatas” di dalam tindak pidana menururt pasal 398;
3) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesautu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (P.A.F. Lamintang,
2013:194).
18
2. Tinjauan mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang
a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Perdagangan orang secara umum merupakan bentuk modern dari
perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu
bentuk perlakuan terburuk dari pelangaran harkat dan martabat manusia.
Definisi perdagangan orang pertama kali dikemukakan pada tahun 2000,
ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB),
menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum
perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak
yang akhirnya terkenal dengan sebutan ”Protocol Palermo”. Protokol ini
merupakan sebuah perjanjian yang merupakan perangkat hukum yang
mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua negara yang
meratifikasinya atau menyetujuinya.
Dalam Pasal 3 (a) protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
especially Women and Children tahun 2000, dijelaskan bahwa
perdagangan orang adalah:
The reccruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of
persons, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power
or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having control
over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation
shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of
others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services,
slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of
organs
Terjemahan bebasnya adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan,
penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau
memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari
seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk prostitusi
(melacurkan) orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual lain,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang
19
serupa dengan perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ
tubuh (Chairul Bairah. 2009:9).
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana
pemberantasan perdagangan orang pengertian perdagangan orang
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1, yang esensinya adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan
orang tereksploitasi.
Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 disebutkan yang di maksud dengan eksploitasi, bahwa
”Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik berupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ/ atau jaringan tubuh atau
memenfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
b. Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dari definisi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tersebut
di atas maka dapat diuraikan beberapa unsur dari tindakan
perdagangan orang yaitu :
1) Perbuatan:
merekrut,
mengangkut,
menampung,
mengirim,
memindahkan, atau menerima.
2) Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: dengan
kekerasan,
penggunaan
kekerasan,
penculikan,
ancaman
penyekapan,
pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
20
rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaaat
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun
antar negara
3) Tujuan: eksploitasi atau mengakibatkan ekploitasi, setidaknya untuk
prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa,
perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
c. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang
Berikut bentuk trafficking yang terjadi pada anak :
1) Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di
wilayah Indonesia;
2) Perbudakan Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia;
3) Perdagangan organ tubuh manusia, di luar negeri ataupun di wilayah
Indonesia;
4) Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri;
5) Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri;
6) Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia;
7) Penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia (Mahrus Ali,
2011:24)
Dari penjabaran diatas dapat di ketahui sasaran yang rentan menjadi
korban perdagangan anak antara lain:
1) Anak-anak jalanan;
2) Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan
dipilih;
3) Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi;
4) Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan;
5) Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara;
6) Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang;
7) Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan (Henny Nuraenny, 2011:27)
3. Tinjauan umum tentang Anak
a. Pengertian Anak
Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak
menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam.
Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan
21
Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on
The Right of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi
Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948
(Marlina, 2009: 31)
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
b. Hak Anak
Terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum terkemuka mengenai
pengertian hak. Van apeldoorn merumuskan hak adalah suatu kekuatan
(match) yang diatur oleh undang-undang. Sedangkan menurut Lamarie
hak adalah sesuatu izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Hak
adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang atau badan
hukum lain (Maulana Hasan Wadong, 2000 : 29).
Dilihat dari pengertian-pengertian tersebut, maka hak anak dapat
dibangun dari pengertian hak secara umum dalam pengertian sebagai
berikut : “Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang
dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem
hukum atau tertib hukum kepada anak yang bersangkutan” (Maulana
Hasan Wadong, 2000 : 29).
Pengertian serta penjelasan secara umum mengenai hak anak dilihat
dari
berbagai
peraturan
perundang-undangan
yang
mengaturnya
mengemukakan bahwa oleh karena anak baik secara ekonomi, jasmani,
dan sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka
selayaknya dilakukan pemeliharaan, jaminan, dan pengamanan oleh pihak
yang mengasuhnya di bawah bimbingan dan pengawasan negara.
22
Beberapa hak dalam proses peradilan pidana perlu diberikan perhatian
khusus,
demi
peningkatan
pengembangan
perlakuan
adil
dan
kesejahteraan yang bersangkutan ( dengan tetap memperhatikan hak-hak
lainnya ), (Shanty Dellyana, 1998 : 50).
Keputusan deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB, belum
dapat dipandang sebagai suatu ketentuan hukum yang positif dalam
tersosialisasinya pergaulan masyarakat dengan anak. Kenyataan dari
ketentuan ketatanegaraan hak-hak asasi anak di Indonesia, belum adanya
peraturan perundang-undangan yang melindungi kehidupan anak secara
yuridis formal.
4. Tinjauan terhadap Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
a. Faktor sosiologis
Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal
rangka kejahatan didalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat
dikelompokan menjadi tiga kategori umum, yaitu:
1) Strain Theory
Menurut Durkheim dalam buku Topo Santoso, kejahatan
disebabkan karena terjadinya anomie, anomie merupakan keadaan
dimana keteraturan sosial hancur sebagai akibat dari hilangnya
patokan/nilai. Keadaan ini terjadi manakala masyarakat sederhana yang
berkembang menuju masyarakat modern, dan terjadi perubahan sosial
yang cepat sehingga kelompok masyarakat menjadi terpisah-pisah dan
dalam keadaan satu set aturan umum, sehingga menyebabkan sistem
yang telah ada menjadi runtuh dan masyarakat kehilangan pedoman
dalam bertingkah laku (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001
:580.
Menurut Robert dalam buku Topo Santoso, kejahatan juga
disebabkan oleh keadaan anomie, akan tetapi anomie yang dimaksud
disini bukanlah diciptakan oleh perubahan sosial yang cepat tetapi
karena struktur sosial yang menawarkan tujuan yang sama kepada
masyarakat, dimana sarana yang disediakan untuk mencapai tujuan
23
tersebut tidak merata. Karena adanya keterbatasan sarana untuk
mencapai tujuan itulah yang memicu runtuhnya norma yang
membimbing tingkah laku, sehingga menyebabkan terjadinya
kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001 : 58-64).
2) Teori Lingkungan (Gabrielle Tarde)
Gabriel Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi.
Menurut pendapatnya kejahatan bukan suatu jejak yang antropologis
tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya
dikuasai oleh faktor peniruan (imitasi). Tarde juga mengemukakan
bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk
menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang
disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang
berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan
peningkatan dalam peniruan perilaku secara timbal balik. Ia juga
memandang peniruan (imitasi) memainkan perana yang sentral dalam
tranmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi
selanjutnya. Dengan pengamatannya tersebut, Tarde sampai pada
pernyataanya yang mengatakan bahwa “society is imitation…”
(http://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor-
penyebab-
kejahatan.html, diakses pada tanggal 27 April 2015 pukul 15.03 WIB)
3) Teori kontrol sosial, berasumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan
merupakan bagian dari umat manusia serta mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturanaturannya efektif (Topo Santoso dan Eva Ajhani Zulfa. 2001 :57-58)
b. Teori-teori penyimpangan budaya (Cultural Deviance Theories)
a) Sosial Disorganization
Memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka
kejahatannya tinggi beraitan dengan disintegrasi nilai-nilai
konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat,
peningkatan imigrasi, dan urbanisasi (Topo Santoso dan Eva Ajhani
Zulfa, 2001 : 67).
b) Differential Association
24
Orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan
nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola tingkah laku
kriminal
(1) Perilaku kejahatan itu dipelajari, tidak diwariskan, sehingga
tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis.
(2) Perilaku kejahatan itu dipelajari dalam interaksi dengan orang
lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut
terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa
tubuh.
(3) Bagian yang terpenting dari perilaku kejahatan yang dipelajari,
diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab.
(4) Apabila tingkah laku itu dipelajari, maka yang dipelajari
termasuk:
(a) Cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun
yang sederhana;
(b) Motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenaran,
dan sikap.
(5) Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisidefinisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat,
kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara
bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum
sebagai sesuatu yang diperhatikan dan dipatuhi, namun
terkadang dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum
sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya
kejahatan.
(6) Seorang menjadi delikuen karena pola-pola pikir yang lebih
melihat peraturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan
kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus
diperhatikan dan dipatuhi.
(7) Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaanperbedaan tersebut dapat bervariasi atau perubahan tergantung
pada frekuensi, jangka waktu, masa lampau, dan intensitas.
(8) Proses mempelajari perilaku jahat melaui pergaulan dengan
pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam
setiap proses belajar secara umum.
(9) Apabila perilaku kejahatan adalah ekspresi dari kebutuhan dan
nilai umum, tidak dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dan
kebutuhan yang umum tersebut. Hal ini disebabkan kelakuan
yang tidak jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai yang sama. Misalnya pencuri dan buruh yang jujur,
meraka bekerja untuk mendapatkan uang (lilik Mulyadi, 2004
:88-90)
c) Culture Conflict
Menegaskan bahwa kelompok-kelompok masing-masing memiliki
aturan yang mengatur tingkah laku (conduct norm) yang berbeda,
dan bahwa conduct norm dari suatu kelompok mungkin berbenturan
25
dengam conduct norm dari kelompok lain. Seorang individu yang
mengikuti norma kelompoknya mungkin saja dipandang melakukan
kejahatan apabila norma kelompoknya bertentangan dengan norma
dari kelompok lain yang dominan (Topo Santoso dan Eva Ajhani
Zulfa, 2001 : 67-86).
c. Teori-Teori Ekologi
Perhatian orang terhadap timbulnya kejahatan dari fakor-faktor ekologis
telah dimulai pada abad 19 dan mencapai puncaknya pada antara perang
dunia pertama dan mulai surut dengan berakhirnya perang duani kedua.
Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab kejahatan dari aspek tertentu
baik dari lingkungan manusia maupun sosial seperti:
1) Kepadatan penduduk
I.S Susanto berpendapat hubungan anatara kejahatan dangan kepadatan
penduduk banyak dipelajari orang dan tampaknya lebih mudah
menganggap bahwa semakin padat penduduknya dengan akibat
semakin meningkat timbulnya perselisihan akan semakin besar
kejahatannya (I.S Sutanto, 2011 :81).
2) Mobilitas penduduk dan Migrasi
Teori migrasi yang dikembangkan oleh Everest S. Lee yang
menjelaskan bahwa:
“Keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah
lainnya adalah merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai
kefaedahan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi
jika ada faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor penarik (
pull ) dari tempat tujuan” (Muhajirin Darwin, 2003 :23).
3) Hubungan desa dan kota dalam Urbanisasi
Perkembangan dan kehidupan kota-kota besar sudah berkembang pesat,
namun orang melemparkan kesalahan atasa meningkatnya kejahatan di
kota kota besar di pengaruhi faktor Urbanisasi hal ini di kemukakan
oleh Adam Smith dan Disraeli (I.S Sutanto, 2011 :83).
d. Teori Faktor Ekonomi
Pandangan
bahwa
kehidupan
ekonomi
merupakan
hal
yang
fundamental bagi seluruh struktur sosial dan cultural, dan karenanya
menentukan semua urusan dalam struktur tersebut, merupakan pandangan
26
yang sejak dulu dan hingga kini masih diterima luas. Pendapat bahwa
kondisi-kondisi dan perubahan-perubhan ekonomi mempunyai pengaruh
besar dalam terjadinya kejahatan anatara lain dipengaruhi faktor ekologis
dan kelas (I.S Sutanto dan Eva Ajhani Zulfa, 2011 :87).
G. Von Mayer menunjukan kolerasi tinggi antara tingkat ekonomi
(harga barang) dengan kejahatan, hal ini disebabkan oleh Objektive
Nahrungserchwerung yaitu karena harga bahan barang yang bertambah
mahal sehigga banyak pendudukyang tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Ditambhakan oleh W. A Bonger faktor ekonomi merupakan
pengaruh kejahatan dengan menabahkan Subyektive Nahrungserchwerung
(Penganguran) sebgai hal yang menentukan (I.S Susanto dan Eva Ajhani
Zulfa, 2011 : 88-89).
e. Etimologi Kriminal
Teori etiologi kriminal dikemukakan oleh seorang kriminolog yaitu
Edwin Hardin Sutherland. Menurut Sutherland pengertian kriminologi
adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai
fenomena sosial, yang termasuk didalamnya terdapat proses pembuatan
Undang-Undang, pelanggaran terhadap Undang-Undang dan reaksi
terhadap pelanggaran Undang-Undang. Sutherland mengungkapkan bahwa
kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu sosiologi hukum, etiologi
kejahatan atau kriminal dan penologi. Etiologi kejahatan merupakan
cabang ilmu kriminologi yang mempelajari tentang sebab musabab
terjadinya kejahatan. Sebab musabab timbulnya kejahatan sangat kompleks
dikarenakan banyak sekali faktor-faktor yang melatar belakanginya,
dimana faktor yang satu dengan faktor lainnya saling mempengaruhi.
Sutherland juga menyatakan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktorfaktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam dan faktor-faktor
itu dewasa ini dan selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu
ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan
perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminil tidak ada teori
ilmiah (Hari Saherodji, 1980: 35).
27
B. Kerangka Berfikir
Tindak Pidana
Perdagangan Anak
Undang-Undang Nomor
21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan
Orang
Putusan Pengadilan
Indramayu Nomor
132/PID.B/SUS/2014/P
N. Im.
Faktor Terjadinya
Perdagangan Anak
Dasar Pertimbangan
Hakim
Keterangan:
Kerangka Pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir
dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas
permasalahan hukum tentang tindak pidana perdagangan anak. Melalui kerangka
pemikiran diatas, penulis mencoba untuk
mengali lebih dalam bagaimana
pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang baik ditinjau dari undangundang berlaku pada saat ini yang sesuai dengan hukum positif yang berlaku di
Indonesia lalu di tinjau dari putusan pengadilan negeri Indramayu Nomor
132/PID.B/SUS/2014/PN.Im. Dari putusan tesebut dapat diketahi bagaimana faktor
penyebab perdagangan anak, lalu penulis meninjau dasar pertimbngan putusan
hakim Nomor 132/PID.B/SUS/2014/PN. Im untuk mengetahu bagaimana
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Sehingga dapat digali suatu
28
fakta hukum apakah hakim dalam memutus apakah sudah sesuai dengan peraturan
yang berlaku pada hukum positif Indonesia.
Download