ÿþM icrosoft W ord - O ptimalisasi M anajemen A set

advertisement
MENINGKATKAN AKUNTABILITAS PUBLIK MELALUI OPTIMALISASI
MANAJEMEN ASET NEGARA/DAERAH
Oleh: Maslani 1)
A. Latar Belakang
Sampai saat ini nilai aset dan kekayaan yang dimiliki oleh negara kita
belum bisa ditentukan secara tepat. Dalam akuntansi, modal adalah aset dikurangi
hutang (kewajiban). Kalau aset tidak diketahui nilainya, bagaimana bisa diketahui,
berapa modal negara kita. Ini adalah permasalahan manajemen aset, terutama aset
publik/ negara.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005, dan 2006
oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer. Padahal, LKPP merupakan
rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan
rakyat, terutama terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada
stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dan lain-lain). Begitu pula laporan
keuangan pemerintah daerah, masih sangat sedikit yang memperoleh pendapat
Unqualified Opinion dari BPK. Hal ini menunjukkan salah satu indikasi bahwa
manajemen atau pengelolaan aset Negara/daerah masih lemah.
Pengelolaan barang milik Negara/daerah secara umum memiliki fungsi
yang sangat strategis dan vital. Hampir kurang lebih 80% dari komposisi
aset/kekayaan negara kita adalah berbentuk aset tetap (tanah dan atau bangunan).
Aset tetap (tanah dan bangunan) memiliki nilai yang paling besar dibandingkan
dengan jenis aset lainnya dan pada LKPP beberapa tahun terakhir ini masih menjadi
persoalan dan sorotan auditor eksternal pemerintah (BPK) dalam memberikan opini.
Departemen Keuangan (2007) menyatakan bahwa aset negara yang tercatat
dalam neraca pemerintah per tanggal 31 Desember 2006 sebesar Rp1.253,72 triliun,
sedangkan nilai kewajiban pemerintah per tanggal tersebut sebesar Rp1.318,16
triliun. Jadi kekayaan bersih/ekuitas dana pemerintah per tanggal 31 Desember 2006
sebesar minus Rp64,45 triliun, mengalami penurunan jika dibandingkan kekayaan
bersih pemerintah per tangggal 31 Desember 2005 yang juga sebesar minus Rp168,
92 triliun. Kekayaan bersih/ekuitas pemerintah yang masih minus tersebut
dikarenakan
pemerintah
belum
menginventarisasi
aset
dengan
benar dan
memperbarui nilai aset tersebut.
Untuk itu, inventarisasi (sebagai bagian dari manajemen aset) seluruh
barang milik negara yang tersebar di pelosok Indonesia mutlak harus dilakukan agar
terpotret secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan
1
Penulis adalah Widyaiswara Muda di Pusdiklatwas BPKP
Meningkatkan Akuntabilitas Publik melalui Optimalisasi Manajemen Aset Negara/Daerah — Maslani
masing-masing kementerian/lembaga negara. Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap
penilaian ulang (revaluasi) aset / kekayaan negara, khususnya yang berupa tanah
dan/atau bangunan oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas aset
tetap tersebut.
Permasalahannya adalah apakah persoalannya sehingga pengelolaan
(manajemen) aset negara/daerah selama ini belum optimal? Kemudian, bagaimana
cara mengurangi atau menghilangkannya, serta pihak mana saja yang diharapkan
berperan? Tentu saja, bila manajemen aset negara/daerah bisa kita optimalkan
diharapkan akuntabilitas publik pemerintah kepada para stakeholder-nya semakin
meningkat pula.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
untuk mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan yang diduga terkait
dengan kurang optimalnya pengelolaan (manajemen) aset Negara/daerah.
2.
untuk mengetahui dan mengidentifikasi cara-cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan pengelolaan (manajemen) aset Negara/daerah.
C. Landasan Teori/ Tinjauan Pustaka
Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas dapat berarti sebagai perwujudan pertanggung-jawaban
seseorang atau unit organisasi, dalam mengelola sumber daya yang telah
diberikan dan dikuasai, dalam rangka pencapaian tujuan, melalui suatu media
berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik. Sumber daya dalam hal ini
merupakan sarana pendukung yang diberikan kepada seseorang atau unit
organisasi dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas yang telah dibebankan
kepadanya. Umumnya, wujud dari sumber daya tersebut adalah berupa sumber
daya manusia, dana, sarana-prasarana dan metode kerja. Sedangkan sumber daya
dalam konteks negara dapat berupa aparat pemerintah, sumber daya alam,
peralatan, uang dan kekuasaan hukum dan politik (Pusdiklatwas BPKP, 2003).
Akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit
organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam
rangka
pencapaian
tujuan
yang
telah
ditetapkan
melalui
media
pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Manajemen dan Manajemen Aset
Menurut G.R. Terry dalam Hasibuan (1996), manajemen didefinisikan
2
sebagai: “... a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and
controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use
of human being and other resources.”
Dalam mengelola suatu organisasi yang baik diperlukan manajemen.
Organisasi yang paling kecil sekalipun sampai organisasi berskala besar seperti
negara
membutuhkan manajemen. Menurut Stoner dalam T. Hani Handoko
(2003), fungsi manajemen terdiri dari empat komponen, yaitu perencanaan
(planning),
pengorganisasian
(organizing),
pelaksanaan
(actuating),
dan
pengendalian (controlling).
Handoko (2003) membedakan tingkatan manajemen dalam organisasi
menjadi tiga golongan yang berbeda, yaitu:
1. First line (lower) management, memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga
operasional. Tingkatan manajemen ini lebih banyak berurusan dengan aspek
teknis.
2. Manajer menengah (middle management), membawahi dan mengarahkan
kegiatan-kegiatan para manajer lainnya dan kadang-kadang juga karyawan
operasional.
3. Manajer puncak (top management), bertanggung jawab atas keseluruhan
manajemen organisasi. Tingkatan manajemen ini lebih terkait dengan aspek
strategik.
Proses manajemen aset (Siti Resmi: 2003) terbagi menjadi dalam beberapa
tahap, yaitu:
1) inventarisasi, yang berfungsi untuk mengetahui dengan jelas kondisi dan nilai
aset/properti/harta kekayaan;
2) pengelolaan, yang berfungsi untuk memberikan hasil pengelolaan yang
optimal; dan
3) pengawasan, yang bertujuan untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas
pemanfaatan atau pengelolaan nilai aset tersebut.
Siregar (2004) menyebutkan bahwa manajemen aset terbagi atas lima
tahapan kerja yang saling berhubungan, yaitu:
a. Inventarisasi aset,
b. Legal audit.,
c. Penilaian aset,
d. Optimalisasi aset, serta
e. Pengawasan dan pengendalian.
Aset Negara/ Daerah dan Manajemen Aset Negara/Daerah
Dalam arti luas, aset negara berarti harta kekayaan negara sebagaimana
3
disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu “bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Siregar (2002) mengungkapkan pengertian umum harta kekayaan negara
dalam kerangka hukum perdata Indonesia, yaitu:
a. Benda tidak bergerak (real property): berupa tanah dan bangunan yang
melekat di atasnya serta hak-hak yang terkait dan juga potensi kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
b. Benda bergerak (personal property): berupa benda berwujud (misalnya
mesin, kendaraan, dan perhiasan) dan benda tidak berwujud (hak cipta,
merek, goodwill).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan, yang dimaksud dengan aset atau properti adalah
sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai
akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di
masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya
nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan
sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Secara lebih spesifik Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor
6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah menegaskan
bahwa barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, sedangkan barang
milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aset negara/daerah adalah
harta kekayaan yang dikuasai oleh negara/daerah (baik benda bergerak maupun
tidak bergerak), dibeli atas beban APBN/APBD maupun dari perolehan lainnya
yang sah, dapat diukur dalam satuan uang, serta diharapkan memberikan manfaat
ekonomi maupun sosial di masa depan bagi pemerintah maupun masyarakat
(untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat).
Manajemen aset negara/daerah sering disebut pula sebagai pengelolaan
barang milik negara/daerah. Pengelolaan tersebut dilaksanakan berdasarkan asas
fungsional,
kepastian
hukum,
transparansi
dan
keterbukaan,
efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai. Untuk itu, pengelolaan aset negara/daerah
tersebut meliputi tahapan menyeluruh sebagaimana diatur dalam PP No. 6 tahun
2006, yaitu:
4
a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
b. Pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. Pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Penghapusan;
h. Pemindahtanganan;
i. Penatausahaan;
j. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
D. Pembahasan Masalah
Manajemen aset negara/daerah mengikuti alur proses manajemen pada
umumnya. Berdasarkan tingkatan manajemen yang terkait, kita akan mencoba
melihat di manakah letak permasalahan manajemen aset negara/daerah kita, dan
upaya apa yang mungkin dapat dilakukan untuk membenahinya.
Permasalahan Kurang Optimalnya Manajemen Aset Negara/Daerah
Beberapa permasalahan utama yang menjadikan belum optimalnya
manajemen aset negara/daerah dapat dibagi dalam tiga aspek sesuai dengan level
manajemen, yaitu level teknis, menengah, dan strategik. Antara level teknis,
menengah, dan strategik tersebut saling terkait.
A. Level Lower Management (Aspek Teknis)
1. Tidak dilaksanakan inventarisasi aset secara berkala
Kepala BPKP mengatakan bahwa aset Negara pada sekitar 90 persen
lembaga negara belum terinventarisasi dengan baik. Akibatnya, laporan
keuangan lembaga bersangkutan berkualitas buruk. Hal ini mengindikasikan
masih rendahnya komitmen pejabat Negara dalam tata kelola pemerintahan
yang baik. (www.bpkp.go.id/arsip berita:13 Juni 2007)
Mengapa inventarisasi tersebut sulit dilaksanakan? Paling tidak ada
dua hal penyebab sulitnya dilakukan inventarisasi:
a. Masalah kelembagaan (organizing)
Sejak masa reformasi, organisasi pemerintahan banyak mengalami
perubahan, baik peleburan antardepartemen/lembaga ataupun pengalihan
ke pemerintah daerah. Hal ini cukup menyulitkan inventarisasi aset.
b. Masalah dana
5
Untuk melakukan inventarisasi diperlukan dana yang tidak kecil,
mengingat jumlah aset yang besar (banyak), jenis bervariasi, dan letaknya
bisa tersebar secara geografis. Hal ini tentu memerlukan dana yang cukup
besar.
c. Masalah personalia/ Sumber Daya Manusia (SDM)
Untuk
melakukan
inventarisasi
aset
negara/daerah
diperlukan
tenaga/SDM yang memadai, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
SDM tersebut harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan keahlian
dalam hal aset negara/daerah. Jumlah tenaga yang dibutuhkan juga besar,
mengingat banyaknya jumlah aset, bervariasi, dan letaknya tersebar
secara geografis.
d. Masalah political will pimpinan organisasi
Kemauan pimpinan organisasi sangat melaksanakan inventarisasi aset
negara/daerah. Bila pimpinan tidak berkomitmen untuk mengelola aset
negara/daerah secara lebih baik, inventarisasi sebagai langkah awal
manajemen aset pun tidak akan dilakukan.
Inventarisasi pada dasarnya sangat vital karena tanpa inventarisasi
tidak dapat diketahui secara pasti apa saja aset yang dimiliki negara/daerah,
status kepemilikannya, di mana saja aset tersebut berada, sehingga bisa
dikelola dengan baik. Yang tidak kalah pentingnya, terhadap aset-aset
tersebut tidak dapat dilakukan penilaian sebagai dasar penyusunan neraca
awal
dan
kegunaan-kegunaan
lainnya
seperti
pemanfaatan
atau
pemindahtanganan.
2. Tidak dilaksanakan penilaian aset negara/daerah secara berkala
Adalah mustahil kita dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu
aset apabila tidak diketahui nilainya.
Sampai saat ini masih banyak aset/kekayaan negara yang tercatat
dengan nilai Rp1,00. Secara fisik aset tersebut ada, dan bila dinilai dengan
wajar akan keluar nilai yang signifikan dan lebih mencerminkan kondisi yang
sesungguhnya. Penilaian aset yang diawali dengan inventarisasi diharapkan
akan dapat menatausahakan aset negara yang telah ada secara tertib dan
merevaluasi aset-aset yang masih dinilai Rp1,00.
Mengapa penilaian tersebut sulit dilaksanakan? Beberapa alasan
sebagai berikut:
a. Masalah administrasi aset negara/daerah
Ditinjau dari administrasi data aset/properti publik, properti publik
dapat dibedakan menjadi tiga macam. Klasifikasi pertama, terdapat nilai
6
aset yang valid. Aset ini terutama diperoleh setelah krisis moneter 1998.
Pada umumnya, administrasi data aset ini lengkap dan nilainya masih
sesuai dengan kondisi terkini. Klasifikasi kedua, terdapat data nilai aset,
tetapi tidak valid. Umumnya diperoleh atau dikuasai negara sebelum
terjadinya krisis moneter. Data mengenai aset ini teradministrasikan,
tetapi nilainya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini sehingga
nilainya kurang relevan lagi guna pengambilan keputusan. Klasifikasi
ketiga, tidak terdapat data nilai aset. Aset-aset ini dimiliki negara sejak
kemerdekaan, atau bahkan pelimpahan dari pemerintah kolonial.
Sebagian besar properti publik yang ada di negara ini termasuk
dalam ketegori kedua dan ketiga. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang
memerlukan penilaian dari pihak yang independen dan diakui oleh
masyarakat Indonesia—termasuk BPK—maupun pihak luar (asing).
b. Masalah anggaran/dana
Penilaian
aset
negara/daerah
juga
sering
terkendala
anggaran/dana. Penggunaan penilai independen sangat mahal. Namun
demiikian, untuk mengurangi biaya penilaian tersebut dapat digunakan
penilai dari Diektorat Jenderal Kekayaan.
B. Level Middle Management
1. Kebijakan terhadap SDM
Pengelolaan aset pemerintah pusat saat ini umumnya ditangani oleh
subbagian umum di bawah bagian tata usaha, sedangkan pada pemerintah
daerah ditangani oleh bagian/biro perlengkapan, Badan Pengelola Kekayaan
Daerah, dan sejenisnya. SDM yang ditempatkan pada posisi ini sebagian
besar bukan yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan di bidang
akuntansi, keuangan, aset, dan komputer. Akibatnya, pengelolaan aset tidak
optimal.
Mengapa SDM yang ditempatkan atau mau ditempatkan dalam
bidang pengelolaan aset ini pada umumnya bukan yang terbaik (profesional)
di lingkungan unit organisasi tersebut? Penyebabnya antara lain:
a. Masalah kebijakan pimpinan unit organisasi
Pimpinan unit organisasi belum melihat bahwa pengelolaan aset
negara/daerah itu penting. Hal ini bisa disebabkan belum ada aturan lebih
tinggi (level strategik) yang memberikan penilaian terhadap pengelolaan
aset serta sistem reward and punishment yang jelas. Orang-orang yang
7
ditempatkan pada Bagian Umum biasanya karena mereka tidak masuk
dalam jajaran fungsional.
b. Masalah insentif
Pengelolaan aset negara/daerah belum mendapat porsi yang
penting, termasuk dalam hal pemberian insentif bila pengelolaannya
memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara/daerah.
SDM yang dibutuhkan dalam mengelola aset ini harus memiliki latar
belakang yang sesuai, paling tidak akuntansi dan komputer. Hal ini
disebabkan pengelolaan aset tersebut sangat terkait dengan penerapan
Manajemen properti dan Sistem Akuntansi Pemerintahan yang menggunakan
aplikasi komputer. Bila pengelolaan aset ditangani oleh SDM yang bukan
ahlinya, tentu akan salah urus, baik secara administrasi, perencanaan, maupun
pemanfaatannya.
SDM bidang akuntansi dan komputer yang dibutuhkan dalam
pengelolaan aset negara/daerah paling tidak sebanyak 118.789 orang.
2. Masalah program kerja dan penganggaran pengelolaan aset
Program kerja dan penganggaran untuk kegiatan inventarisasi dan
penilaian aset negara/daerah masih kurang mendapat perhatian, baik oleh
Departemen/LPND maupun Pemda beserta DPRD.
C. Level Top Management
Peraturan pengelolaan aset negara/daerah belum secara komprehensif
Salah satu syarat pengelolaan aset harus dilakukan oleh SDM yang
profesional. Masalahnya adalah dalam perundangan kita, SDM profesional
belum menjadi prasyarat untuk dapat mengelola aset negara/daerah, misalnya
harus telah mengikuti diklat pengelolaan aset negara, atau bahkan telah
memiliki sertifikat keahlian pengelolaan
aset. Kita baru memiliki
perundangan yang mengatur keharusan bersertifikat dalam pengadaan
barang/jasa sesuai Keppres Nomor 80 tahun 2003, padahal pengadaan hanya
merupakan sebagian kecil dari proses manajemen aset.
Selain itu, kebijakan dalam perundangan tidak mengatur kewajiban
setiap Departemen/LPND/Pemda untuk memiliki sertifikat bagi pengelola
aset. Untuk bisa melakukan manajemen aset yang optimal (terbaik), tentu
sudah saatnya aset tersebut dikelola oleh SDM yang profesional.
Disamping itu, mengingat jumlah personil penilai DJKN Departemen
Keuangan yang belum sebanding dengan cakupan luas aset negara/daerah
yang harus dinilai, penilai sektor publik pun tentu diperlukan. Untuk itu,
8
perlu dilaksanakan sertifikasi penilai sektor publik yang diatur dalam
perundangan.
Upaya Peningkatan Pengelolaan (Manajemen) Aset Negara/Daerah
A. Level Lower Management (Teknis)
1. Dilakukan inventarisasi aset negara/daerah
Untuk melakukan manajemen aset, inventarisasi mutlak dilakukan,
terutama atas aset-aset yang ada sebelum krisis moneter. Aset-aset
tersebut kebanyakan datanya tidak valid, bahkan ada yang tidak ada
nilainya.
Dalam hal inventarisasi, dapat dilakukan kerjasama antara BPKP dan
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan,
karena BPKP memilliki SDM akuntansi dan hampir bisa dipastikan
memiliki kemampuan komputer yang memadai dan tersebar di seluruh
Indonesia yang mampu menjangkau seluruh aset Departemen/ LPND/
Pemda yang ada di seluruh Indonesia.
2. Dilakukan penilaian aset negara/daerah
Yang memiliki keahlian profesional dan kewenangan dalam bidang
penilaian adalah DJKN. Untuk itu, aset hasil inventarisasi pemerintah
pusat harus dinilai oleh DJKN sehingga dapat diandalkan oleh berbagai
pihak. Sementara Pemda, dapat meminta DJKN atau Penilai independen
dalam menilai aset yang dimilikinya.
3. Dilakukan penatausahaan secara lebih tertib secara berkelanjutan
Penatausahaan aset negara/daerah harus dilakukan sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
B. Level Middle Management
1. Departemen/LPND/Pemda menyiapkan SDM akuntansi dan komputer
dalam rangka pelaksanaan pengelolaan aset
Departemen/LPND/Pemda berkewajiban untuk merekrut SDM
yang dibutuhkan karena SDM itulah yang akan diberi tugas melakukan
pengelolaan aset, termasuk di dalamnya tugas pembukuan.
2. Departemen/LPND/Pemda membuat program kerja dan penganggaran
untuk program pengelolaan aset negara/daerah yang dimulai dengan
inventarisasi, penilaian aset.
3. Perlu langkah-langkah komprehensif dan koordinasi dari semua pihak
(Departemen Keuangan, BPKP, dan BPK) untuk menangani dan
9
mencermati persoalan hukum dalam kaitannya dengan hasil kegiatan
penilaian aset/kekayaan negara
C. Level Top Management
Perlu penyempurnaan/tindak lanjut perundangan tentang manajemen aset
yang sudah ada
Beberapa hal yang perlu disempurnakan antara lain: pengelola aset
negara/daerah harus bersertifikat, sistem remunerasi pengelola aset, dan
penetapan kewajiban setiap unit organisasi untuk memiliki pengeloola aset.
Bila upaya-upaya di atas telah dilaksanakan, diharapkan pengelolaan
(manajemen) aset di negeri ini akan menjadi lebih baik. Mengingat bahwa
akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi
untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban, maka bila
manajemen aset negara/daerah makin membaik, maka dengan sendirinya
akuntabilitas kepada publik (para stakeholder) juga akan meningkat.
E. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Salah satu indikasi bahwa manajemen aset negara/daerah masih belum baik
adalah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005, dan
2006 oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer. Padahal, LKPP
merupakan rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang
dipercayakan
rakyat
(dalam berakuntabilitas), terutama terkait dengan
penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga
donor, dunia usaha, dan lain-lain). Begitu pula laporan keuangan pemerintah
daerah, masih sangat sedikit yang memperoleh pendapat Unqualified Opinion
dari BPK.
2.
Permasalahan
tidak
optimalnya
manajemen
aset
negara/daerah
dapat
digolongkan dalam tiga klasifikasi menurut tingkatan manajemen, yaitu
tingkatan lower management, tingkatan middle management, dan tingkatan top
management.
3.
Permasalahan pada tingkatan lower management (aspek teknis) meliputi (a)
tidak dilaksanakan inventarisasi aset secara berkala—yang disebabkan oleh
masalah kelembagaan, masalah dana, masalah SDM, dan masalah political will
pimpinan organisasi—serta (b) tidak dilaksanakan penilaian aset negara/daerah
10
secara berkala—yang diakibatkan oleh (a) masalah administrasi aset
negara/daerah dan (b) masalah anggaran/dana.
4.
Permasalahan pada tingkatan middle management meliputi (a) Kebijakan
terhadap SDM dan (b) Program kerja dan penganggaran pengelolaan aset.
5.
Permasalahan pada tingkatan top management adalah Peraturan pengelolaan aset
negara/daerah belum secara komprehensif .
6.
Bila upaya-upaya perbaikan manajemen aset telah dilaksanakan, diharapkan
pengelolaan (manajemen) aset di negeri ini akan menjadi lebih baik. Dengan
meningkatnya manajemen aset tersebut, fungsi dan peran manajemen aset publik
akan tercapai.
7.
Mengingat bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang
atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban, maka bila manajemen aset negara/daerah makin membaik,
dengan sendirinya akuntabilitas kepada publik (para stakeholder) juga akan
meningkat, disamping melengkapi bentuk-bentuk akuntabilitas yang lain.
F. Saran
Atas permasalahan yang ada, saran yang dapat diberikan adalah:
1.
Pemerintah dan DPR perlu memiliki kesamaan bahasa dalam hal pengelolaan
aset negara. Mereka dapat melakukan penyempurnaan/tindak lanjut perundangan
tentang manajemen aset yang sudah ada. Beberapa hal yang perlu
disempurnakan antara lain: pengelola aset negara/daerah harus bersertifikat,
sistem remunerasi pengelola aset, dan penetapan kewajiban setiap unit
organisasi untuk memiliki pengelola aset.
2.
Departemen/LPND/Pemda menyiapkan SDM akuntansi dan komputer serta
mendiklatkan mereka dalam rangka pelaksanaan pengelolaan aset.
3.
Departemen/LPND/Pemda membuat program kerja dan penganggaran untuk
program pengelolaan aset negara/daerah yang dimulai dengan inventarisasi dan
penilaian aset.
4.
Perlu langkah-langkah komprehensif dan koordinasi dari semua pihak
(Departemen Keuangan, BPKP, dan BPK) untuk menangani dan mencermati
persoalan hukum dalam kaitannya dengan hasil kegiatan penilaian aset/kekayaan
negara.
5.
Departemen/LPND/Pemda perlu melakukan kerjasama dengan BPKP
dan
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan, terutama
dalam hal inventarisasi aset negara/daerah, mengingat SDM BPKP berlatar
11
belakang akuntansi dan memiliki kemampuan komputer yang memadai, tersebar
di seluruh Indonesia yang mampu menjangkau seluruh aset Departemen/LPND/
Pemda yang ada di seluruh Indonesia.
6.
DJKN Depkeu perlu melakukan penilaian aset-aset negara yang telah
diinventarisasi oleh BPKP, sebab dialah yang memiliki keahlian profesional dan
kewenangan dalam bidang penilaian.
7.
Pusdiklatwas BPKP perlu melakukan pelatihan manajemen aset dengan
mengembangkan materi diklat khususnya terkait dengan penerapan PP No. 6
tahun 2006 kepada para calon pengelola (bendahara) barang, baik di pusat
maupun daerah. SDM yang menjadi target peserta diklat ini adalah SDM
akuntansi dan komputer yang direkrut oleh Departemen/LPND/Pemda di atas.
12
DAFTAR PUSTAKA
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, H. Malayu S.P.. 1996. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah.
Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
Pusdiklatwas BPKP. 2003. Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Edisi Keempat.
Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/ Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2005 tentang Sistem
Akuntansi Pemerintahan.
Resmi, Siti S., Urgensi Penilaian Properti dalam Tatanan Ekonomi Masyarakat,
Usahawan No. 03 TH XXXII, Maret 2003.
Siregar, Doli D.. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Siregar, Doli D.. 2004. Manajemen Aset. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
13
Download