perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan

advertisement
PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI
DAN PREMARITAL SEKS BERDASARKAN LAYANAN PIK-KRR
PADA SISWA SMK SWASTA
Sigit Ambar Widyawati, Ita Puji Lestari1 Najib2)
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo, 2BKKBN Provinsi Jawa Tengah
email: [email protected]
email: [email protected]
email: [email protected]
1
Abstract
Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa
depan mereka selanjutnya. Perilaku berhubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) yang
semakin permisif di kalangan remaja mendorong peningkatan kejadian kehamilan tidak diinginkan
(KTD). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi
terwujudnya tegar remaja. Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah
PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). Penelitian ini
bertujuan mengukur perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan premarital seks
berdasarkan layanan PIK-KRR pada siswa SMK Swasta di Kabupaten Semarang. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan pendekatan cross sectional.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan layanan PIK-KRR, meliputi : Ada
perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki
layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,00001)<  (0,05),
Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang premarital seks pada siswa SMK yang memiliki
layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value (0,419) >  (0,05),
Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks pada siswa SMK yang
memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (1,000) > 
(0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK
yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value
(0,005) <  (0,05). Disarankan hendaknya memfasilitasi layanan PIK-KRR pada semua sekolah,
dikarenakan masih banyak remaja yang belum paham mengenai pengetahuan premarital seks,
dampak premarital seks dan pencegahan premarital seks.
Keywords: Kesehatan Reproduksi, Premarital Seks, SMK Swasta, PIK-KRR
1. PENDAHULUAN
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan
dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja
merupakan kehidupan yang sangat menentukan
bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya.
Pada tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun
sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari
jumlah Penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta
jiwa (Sensus Penduduk, 2010). Melihat jumlahnya
yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi
penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi
manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental
dan spiritual.Faktanya, berbagai penelitian
menunjukkan
bahwa
remaja
mempunyai
permasalahan yang sangat kompleks seiring
dengan masa transisi yang dialami remaja.
Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu
permasalahan
seputar
TRIAD
Kesehatan
Reproduksi Remaja (KRR) (kususnya dalam aspek
Seksualitas, HIV dan AIDS serta Napza),
rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi remaja dan median usia kawin pertama
perempuan relatif masih rendah yaitu 19,8 tahun
(SDKI 2007).
Prosiding | 171
PILAR PKBI Jawa Tengah, sebagai pusat
studi, rujukan, dan training center kesehatan
reproduksi remaja, pernah melakukan studi
tentang perilaku seksual remaja di tahun 2002 dan
2006. Pada tahun 2002, sebanyak 1000 responden
remaja ada 97 orang (9,7%) yang telah melakukan
hubungan seksual dengan pacarnya. Kemudian
pada tahun 2006, dari 500 responden, sebanyak 51
orang (10,2%) telah berhubungan seksual sebelum
menikah. Sedangkan menurut data info kasus
PILAR PKBI Jawa Tengah terhadap remaja usia
10-24 tahun dari Januari 2002-Desember 2007,
permintaan konseling terbanyak di klinik
kesehatan reproduksi remaja adalah mengenai
kasus hubungan seksual pra nikah, yaitu sebanyak
651 kasus (Suharyo, 2008).
Perilaku berhubungan seksual sebelum
menikah (premarital sex) yang semakin permisif
di kalangan remaja mendorong peningkatan
kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD). Hal
ini menunjukkan satu ironi bahwa ditengah
kemudahan akses informasi, ditengah membaiknya
tingkat
pendidikan
generasi
muda
dan
meningkatnya kesejahteraan penduduk, jumlah
remaja yang memilih menikah dini dan
memutuskan melahirkan anak pada usia muda
justru meningkat (BKKBN, 2012).
Untuk merespon permasalahan tersebut,
Badan Kependudukan Keluarga Berencana
(BKKBN)
telah
melaksanakan
dan
mengembangkan program Kesehatan Reproduksi
Remaja melalui program perencanaan kehidupan
berkeluarga bagi remaja (PKBR). Perencanaan
kehidupan berkeluarga adalah suatu program
untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja.
Salah satu program KRR yang mengembangkan
strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi
dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja).
2. METODE PENELITIAN
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini, yakni mengetahui perbedaan
tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan
premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR
Pada siswa SMK Swasta Di Kabupaten Semarang,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan
metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian
172 | Prosiding
kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan
penelitian komparatif. Menurut Silalahi Ulber
(2005) penelitian komparatif adalah penelitian
yang membandingkan dua gejala atau lebih.
Penelitian komparatif dapat berupa komparatif
deskriptif (descriptive comparatif) maupun
komparatif korelasional (correlation comparatif).
Komparatif deskriptif membandingkan variabel
yang sama untuk sampel yang berbeda.
Selanjutnya menurut Hasan (2002: 126-127)
analisis komparasi atau perbandingan adalah
prosedur statistik guna menguji perbedaan diantara
dua kelompok data (variabel) atau lebih.
Komparasi antara dua sampel yang saling lepas
(independen) yaitu sampel-sampel tersebut satu
sama lain terpisah secara tegas dimana anggota
sampel yang satu tidak menjadi anggota sampel
lainnya.
Arikunto
Suharsini
(1998:236)
mengatakan bahwa dalam penelitian komparasi
dapat menemukan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan
tentang
benda-benda,
tentang orang, prosedur kerja, ide-ide, kritik
terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau
prosedur kerja.
Penelitian ini
melakukan pengambilan
sampel terpilih dari suatu populasi dengan
pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor
resiko dengan efek, dengan cara pendekatan
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
suatu saat (point time approach).
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan
cara purposive sampling pada 5 sekolah SMK
Swasta di Kabupaten Semarang yaitu 1) SMK
yang sudah memiliki pusat informasi dan
konseling kesehatan reproduksi remaja (PIKKRR) dan sudah memiliki komitmen untuk
melaksanakan program pendidikan kesehatan
reproduksi dimana program tersebut sampai saat
ini berjalan dengan baik yaitu SMK Tarunatama
Getasan, 2) SMK yang belum memiliki pusat
informasi dan konseling kesehatan reproduksi
remaja (PIK-KRR) terdiri dari SMK Teresiana
Bandungan, SMK Islam Sudirman 1 Ambarawa,
SMK SPP Kanisius Ambarawa, SMK Widya Praja
Ungaran.
Penentuan
tersebut
dengan
dasar
pertimbangan jika dilihat dari karakteristiknya,
status sekolah tersebut memiliki akreditasi B dan
kondisi latar belakang siswanya hampir sama
dimana sebagian besar berasal dari keluarga
ekonomi menengah. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Swasta
di Kabupaten Semarang sebanyak 5 sekolah
dengan jumlah siswa sebanyak 286 siswa..
Karakteristik responden penelitian, layanan
PIK-KRR dan tingkat pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi seperti berikut:
1.
Distribusi
responden
frekuensi
Karakteristik
Kelompok usia (th)
14–16 (remaja awal)
17–20 (remaja akhir)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan Ortu
Tidak Sekolah
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Akademi/PT
karakteristik
Frekuensi
(n=286)
%
172
114
60,1
39,9
99
187
34,6
65,4
19
163
56
44
4
6,6
57,0
19,6
15,4
1,4
Tabel 2. Distribusi frekuensi layanan PIK-KRR
Variabel
Layanan PIK-KRR
Ya
Tidak
Partner diskusi tentang
kesehatan reproduksi
Teman
Ayah
Ibu
Guru
Pacar
Akses sumber infor-masi
kesehatan repro-duksi
Mata pelajaran
Guru
Orang tua
Teman
Organisasi
Media elektronik
Media cetak
Sumber
informasi
yang
diinginkan
Mata pelajaran
79
115
25
18
89
19
27,6
40,2
8,7
6,3
31,1
6,6
Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel
Guru
Orang tua
Teman
Organisasi
Media elektronik
Media cetak
Frekuensi
(n=286)
%
94
192
32,9
67,1
162
28
155
33
20
56,6
9,8
54,2
11,5
7,0
166
128
119
86
30
165
52
58,0
44,8
41,6
30,1
10,5
57,7
18,2
76
26,6
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi
%
(n=286)
Tingkat Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
Rendah
50
17,5
Sedang
157
54,9
Tinggi
79
27,6
Tingkat Pengetahuan tentang Premarital Seks
Rendah
45
Sedang
74
Tinggi
167
15,7
25,9
58,4
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi
%
(n=286)
Tingkat Pengetahuan tentang Dampak Premarital
Seks
Rendah
238
83,2
Sedang
41
14,4
Tinggi
7
2,4
Tingkat Pengetahuan tentang Tencegahan
Premarital Seks
Rendah
9
Sedang
65
Tinggi
212
3,1
22,8
74,1
Menurut
Notoatmojo
(2007),
umur
merupakan lama hidup yang dihitung sejak
dilahirkan. Semakin bertambah umur seseorang,
semakin bertambah pula daya tangkapnya.
Seseorang dengan umur semakin bertambah, akan
semakin baik dalam menentukan pilihan karena
sudah banyak menerima informasi dari lingkungan
sekitar, teman, tetangga dan orang tua. Adapun
mayoritas pendidikan orang tua yang tamat SD
sebanyak 163 responden (57,0%).
Peran PIK-KRR di lingkungan remaja
sangatlah penting dalam membantu remaja untuk
mendapatkan informasi dan pelayanan konseling
yang benar tentang KRR. (Muadz, 2009). Program
Kesehatan Reproduksi Remaja difokuskan pada
empat sasaran utama yaitu: Peningkatan komitmen
terhadap program KRR, Komunikasi perubahan
perilaku remaja, Peningkatan kemitraan dan
Prosiding | 173
kerjasama dalam program KRR dan Peningkatan memberikan nasihat yang tepat mengenai
mencari
pelayanan
kesehatan
akses dan kualitas pengelolaan dan pelayanan bagaimana
reproduksi yang tepat bagi remaja. Oleh karena
Pusat Informasi dan Konseling KRR (PIK-KRR).
Menurut
SKRRI
(Survey
Kesehatan itu, keluarga harus menjadi sumber informasi
membimbing
remaja
mendapatkan
Reproduksi Remaja Indonesia), 2002-2003 51% untuk
remaja perempuan dan 47% remaja laki-laki pelayanan kesehatan yang aman (Anusornteerakul,
mengaku mendapat pelajaran kesehatan reproduksi 2008).
Mayoritas tingkat pengetahuan tentang
pada saat sekolah di SLTP. Ini berarti peran
sekolah dalam menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi pada kategori sedang
kesehatan reproduksi belum optimal, akibatnya sebanyak 157 responden (54,9%), sedangkan
kebutuhan remaja terhadap informasi kesehatan responden yang berpengetahuan rendah hanya 50
reproduksi remaja masih sangat kurang. Hal ini responden (27,6 %).
Pengetahuan seseorang dikelompokkan secara
karena informasi yang diterima dari teman sebaya
yang masih sama-sama belum mengetahui secara bertahap mulai dari tahap yang paling sederhana
benar dan banyak disalah artikan dan ke tahap yang paling lengkap. Dalam penelitian
ini, pengetahuan responden masuk dalam tahap
diselewengkan (Saroha Pinem, 2009).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa “tahu” yang diartikan bahwa responden memiliki
responden lebih banyak memilih teman sebagai kemampuan untuk mengingat kembali suatu
partner diskusi tentang kesehatan reproduksi. materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Teman sebaya merupakan kelompok yang Termasuk menginat kembali sesuatu yang spesifik
anggota-anggotanya terikat oleh kesamaan minat, dari informasi yang diterima.
Mayoritas tingkat pengetahuan tentang
kepentingan dan tujuan tanpa mempersoalkan
etnik, agama dan latar belakang sosial lainnya. premarital seks pada kategori tinggi sebanyak 167
Teman sebaya juga merupakan kelompok yang responden (58,4%), sedangkan responden yang
para anggotanya memiliki kesadaran dan berpengetahuan rendah hanya 45 responden (15,7
kepercayaan yang satu sama lain dan kepercayaan %).
Mayoritas tingkat pengetahuan tentang
tersebut mengikat satu sama lain untuk
dampak premarital seks pada kategori rendah
bertanggung jawab (Nargis, 2004).
Untuk akses sumber informasi kesehatan sebanyak 238 responden (83,2%), sedangkan
reproduksi mayoritas berasal dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan tinggi hanya 7
sebanyak 166 responden (58,0%) kemudian dari responden (2,4 %).
Mayoritas tingkat pengetahuan tentang
guru sebanyak 128 responden (44,8%).
Pengetahuan
remaja
mengenai
kesehatan pencegahan premarital seks pada kategori tinggi
reproduksi
merupakan
perpaduan
antara sebanyak 212 responden (74,1%), sedangkan
pengetahuan yang diperoleh dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan rendah hanya 9
biologi disekolah dan pengetahuan local yang responden (3,1 %).
bersumber dari interaksi sehari-hari dalam
Tabel 4. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan
kehidupan sosial (Saefuddin, 1999).
tentang
kesehatan
reproduksi
Sedangkan sumber informasi yang diinginkan
berdasarkan layanan PIK-KRR
mayoritas dari orangtua sebanyak 115 responden
(40,2%). Hal ini sesuai dengan apa yang
Tingkat Pengetahuan
diungkapkan oleh PATH (2000) bahwa
tentang Kesehatan
pendidikan kesehatan reproduksi remaja idealnya Layanan
Total
p
Reproduki
diberikan oleh orang tua di rumah, namun banyak PIK-KRR
Rendah Sedang Tinggi
orang tua yang mengalami kesulitan dalam cara
%
%
%
menyampaikan kepada anak remajanya. Orang tua Tidak
22,9
54,7
22,4 67,1 0,00001
Ada
6,4
51,6
38,3 32,9
harus berusaha berkomunikasi yang terbuka
17,5
54,9
27,6 100,0
Total
dengan anak-anak remaja untuk memahami
masalah-masalah yang mereka hadapi dan
174 | Prosiding
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
dalam penelitian ini adalah kemampuan
pemahaman yang telah dimiliki responden
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi yang meliputi pengertian seks dan
seksual pranikah pada remaja, macam-macam
perilaku seks pranikah, dampak dari perilaku seks
pranikah dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku seks pranikah.
Beberapa hal yang dapat menggambarkan
pengetahuan responden tentang kesehatan
reproduksi yang masih salah antara lain sebanyak
89,2% tentang hormon yang dihasilkan oleh
perempuan, sebanyak 83,2% tentang hormon yang
dihasilkan oleh laki-laki, sebanyak 81,5% tentang
tanda utama kehamilan dan sebanyak 64,3%
tentang penyebab HIV/AIDS. Hasil temuan
tersebut
sangat
mengkhawatirkan,
karena
pengetahuan yang salah tentang hormon, tanda
utama kehamilan dan penyebab HIV/AIDS dapat
mengakibatkan responden melakukan tindakantindakan yang beresiko. Hal ini dapat terjadi
kemungkinan disebabkan karena informasi yang
diterima responden belum benar terutama tentang
perubahan hormon yang berperan terhadap
munculnya dorongan seksual.
Seiring dengan berkembangnya sistem
reproduksi pada diri remaja menuju kematangan,
hormon-hormon yang mulai berfungsi juga
mempengaruhi dorongan seks pada remaja. Para
remaja mulai merasakan adanya peningkatan
dorongan seks dalam dirinya, misalnya munculnya
ketertarikan kepada orang lain dan keinginan
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Karena
remaja sudah mulai mengalami proses kematangan
sistem reproduksi, maka seorang remajapun telah
mampu menjalankan fungsi prokreasinya, atau
dengan kata lain, seorang remaja telah memiliki
kemampuan untuk menghasilkan keturunan.
Meskipun begitu, bukan berarti remaja sudah
mampu bereproduksi dengan aman secara fisik
sebab usia reproduksi sehat dan aman bagi
seorang wanita adalah 20-30 tahun. Kebanyakan
wanita berumur kurang dari 20 tahun
perkembangan fisik organ reproduksinya belum
siap untuk memelihara hasil pembuahan dan
perkembangan janin (Anas, 2010).
Banyak remaja di Indonesia yang kurang
memiliki
pengetahuan
tentang
kesehatan
reproduksi. Contoh sederhananya adalah remaja
tidak
mendapatkan
pengetahuan
yang
mempersiapkan mereka memasuki masa pubertas
sehingga mereka tidak siap memasuki periode
menstruasi pertama bagi remaja putri dan periode
mimpi basah bagi remaja putra.
Bagi sebagian besar remaja, seksualitas tidak
hanya tentang hubungan seksual, tapi juga tentang
ketertarikan, status sosial atau reputasi,
menemukan cinta dan intimasi, dan tentang
hubungan itu sendiri. Sementara itu, tidak tersedia
informasi yang cukup tentang seksualitas dan
kesehatan reproduksi bagi remaja membuat
pengetahuan remaja akan seksualitas dan
kesehatan reproduksi menjadi sangat rendah.
Rendahnya pengetahuan remaja tentang
struktur dan fungsi alat reproduksinya membuat
remaja menjadi sangat mudah terpengaruh oleh
informasi-informasi yang tidak benar dan justru
membahayakan kesehatan reproduksi remaja itu
sendiri. Rendahnya pengetahuan remaja tersebut
juga berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam
memperlakukan organ reproduksinya. Akibatnya,
remaja tidak mampu mengatasi masalah-masalah
kesehatan reproduksi yang sering mereka alami
seperti menstruasi yang tidak teratur dan terasa
sakit, mimpi basah, dorongan seksual yang tinggi
dan hubungan seks pra nikah untuk memenuhi
dorongan seksual tersebut, dan cara-cara
menghindari penyakit menular seksual (IPPF,
2006).
Dari uji statistik Chi Square diperoleh p value
(0,00001) <  (0,05) maka ada perbedaan tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada
siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan
SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR.
Tabel 5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan
tentang premarital seks berdasarkan
layanan PIK-KRR
Layanan
PIK-KRR
Tidak
Ada
Total
Tingkat Pengetahuan
tentang Premarital Seks
Total p
Rendah Sedang Tinggi
%
%
%
17,7
25,5
56,8 67,1 0,419
11,7
26,6
61,7 32,9
15,7
25,9
58,4 100,0
Pengetahuan tentang premarital seks dalam
penelitian ini adalah kemampuan pemahaman
Prosiding | 175
yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan premarital seks yang
meliputi pengertian keperawanan, pengertian
premarital seks, penyebab remaja melakukan
hubungan seksual dan faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual beresiko pada remaja.
Dalam benak orang, perilaku seks sering
disamakan dengan hubungan seks. Padahal kedua
hal tersebut memiliki cakupan yang berbeda.
Menurut Sarwono, bentuk perilaku seksual bisa
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan
bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang
lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Penyaluran dengan orang lain terkadang dilakukan
karena banyak dari remaja yang tidak dapat
menahan dorongan seksualnya sehingga mereka
melakukan hubungan seks pranikah (Sarwono,
2004).
Beberapa hal yang dapat menggambarkan
pengetahuan responden tentang premarital seks
yang masih salah antara lain sebanyak 58,0%
tentang pengetahuan seks pranikah, sebanyak
43,7% tentang faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual beresiko pada remaja, sebanyak 39,9%
penyebab remaja melakukan hubungan seksual
sebelum menikah dan sebanyak 31,5% faktor
penyebab remaja jatuh kedalam berbagai persoalan
seks. Walaupun persentase dari hasil temuan
tersebut jumlahnya kecil, akan tetapi temuan ini
sangat mengkhawatirkan. Menurut Hurlock
(1999), faktor pengetahuan dapat mempengaruhi
perilaku seksual remaja. Pengetahuan remaja yang
rendah cenderung melakukan hubungan seks lebih
dini.
Data yang ditemukan dari 176survei Komnas
Perlindungan Anak di 33 Provinsi Januari s/d Juni
2008 menyimpulkan sebesar 97% remaja SMP dan
SMA pernah menonton film porno; sebesar 93,7%
remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital
stimulation (meraba alat kelamin) dan oral sex
(sex melalui mulut); sebesar 62,7% remaja SMP
tidak perawan serta sebesar 21,2% remaja
mengaku pernah aborsi. Dalam kesehariannya,
siswa berinteraksi langsung dengan orang tua,
teman sebaya dan guru. Oleh karena itu peran dan
tanggung jawab orang tua, teman sebaya dan guru
sangat besar untuk mencegah ternyadinya perilaku
seksual pranikah yang tidak sesuai toleransi. Hal
176 | Prosiding
yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah
diantaranya menyediakan sarana PIK-KRR.
Sekolah merupakan sebuah organisasi dimana
sekumpulan orang bekerja bersama untuk sebuah
tujuan. Sekolah terdiri dari guru, kepala sekolah,
dan pekerja yang lain yang salah satu tujuannya
adalah untuk menyediakan pendidikan bagi siswa.
Jika sekolah memiliki kesempatan yang
sangat besar di dalam melaksanakan pendidikan
kesehatan reproduksi remaja, maka sekolah perlu
melakukan
pengembangan-pengembangan
sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa
mengenai informasi kesehatan reproduksi. Tidak
hanya mengembangkan materi, misalnya seperti
materi yang dimasukkan dalam pelajaran biologi
atau pelajaran integrasi lainnya, tetapi juga perlu
dilakukan pengembangan guru yang memberikan
materi kesehatan reproduksi (Saito MI, 1998).
Hal ini sesuai dengan beberapa teori yang
menyebutkan bahwa dari pengetahuan yang
dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang baik
(positif) maupun tidak baik (negatif) kemudian
diinternalisasikan kedalam dirinya. Kalau apa
yang dipersepsikan tersebut positif, maka
seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan
persepsinya. Namun
sebaliknya, kalau
mempersepsikannya secara social, maka seseorang
cenderung menghindari atau tidak melakukan hal
itu dalam pemikirannya. Sehingga apa yang
diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa
yang muncul dalam perilakunya. Meskipun
seseorang mempunyai pengetahuan bahwa seksual
pranikah itu tidak baik, namun karena situasi dan
kesempatan memungkinkan maka individu
tersebut tetap melakukan hubungan seks praikah,
akibatnya perilaku tidak konsisten dengan
pengetahuannya (Dariyo, 2004).
Menurut Reiss bahwa skala Premarital
Seksual Permisivves (PSP) membuktikan bahwa
mempercayai perilaku-perilaku premarital seksual
adalah suatu hal yang dapat diterima pada tingkat
emosional dari suatu hubungan.
Hal ini kemungkinan karena terjadinya
pergeseran nilai pada remaja yang sudah mulai
berubah bahwa sikap serba membolehkan dalam
berpacaran, responden juga menganggap bahwa
perilaku berpacaran yang serba membolehkan
adalah merupakan gaya hidup remaja sekarang dan
masih adanya pemahaman yang salah tentang
pendidikan seks, pendidikan seks dianggap tabu
untuk dibicarakan didepan umum karena mereka
beranggapan bahwa masalah seks adalah bersifat
pribadi.
Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan
tentang premarital seks antara siswa SMK yang
memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK yang
tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan tetapi
perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya
sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR
siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak
jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan
PIK-KRR. Hal ini dikarenakan semua SMK
memiliki aturan-aturan, nilai dan norma yang
sangat kuat untuk diterapkan pada siswa yaitu
tuntutan dalam kehidupan sehari-hari senantiasa
berperilaku sesuai dengan penanaman nilai akhlaq
dan moral. Dengan aturan-aturan inilah
kemungkinan para siswa sudah mendapatkan
informasi tentang batasan-batasan premarital seks.
Tabel 6.
Distribusi
frekuensi
tingkat
pengetahuan
tentang
dampak
premarital seks berdasarkan layanan
PIK-KRR
Tingkat Pengetahuan
Layanan tentang Premarital Seks Total
PIK-KRR Rendah Sedang Tinggi
%
%
%
Tidak
17,7
25,5
56,8 67,1
Ada
11,7
26,6
61,7 32,9
15,7
25,9
58,4 100,0
Total
p
0,419
Pengetahuan tentang dampak premarital seks
dalam penelitian ini adalah kemampuan
pemahaman yang telah dimiliki responden
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dampak
premarital seks yang meliputi dampak fisik,
dampak psikologis dan dampak sosial.
Beberapa hal yang dapat menggambarkan
pengetahuan responden tentang dampak premarital
seks yang masih salah antara lain: 1) dampak fisik
remaja yang melakukan premarital seks sebanyak
93,0% dada terasa sesak dan sebanyak 90,6%
merasakan
refresing/relaksasi,
2)
dampak
psikologis remaja yang melakukan premarital seks
sebanyak 88,5% prihatin akan keadaan pasangan
dan sebanyak 79,4% tidak bebas dalam
mengungkapkan perasaan kesal dan marah , 3)
dampak sosial remaja yang melakukan premarital
seks sebanyak 85,0% mempererat hubungan dan
sebanyak 76,2% muncul keyakinan akan
keseriusan dari pasangan. Hal ini menunjukkan
bahwa responden masih belum mengetahui
dampak premarital seks dari aspek fisik, psikologis
dan
soaial.
Kurangnya
pengetahun
ini
kemungkinan disebabkan karena kurangnya
informasi yang lengkap tentang dampak-dampak
premarital seks. Selain itu, keterpaparan remaja
saat ini terhadap pornografi dalam bentuk bacaan
berupa buku porno dan film porno semakin
meningkat. Di sisi lain bacaan tentang seksualitas
dan penerangan melalui media yang bersifat audio
visual sangat terbatas dan kalaupun ada bentuknya
kurang menarik bagi remaja.
Sebenarnya, pemahaman aspek-aspek tentang
dampak premarital seks dapat diberikan oleh
sekolah, karena pada dasarnya tujuan pendidikan
seksualitas atau pendidikan kesehatan reproduksi
remaja (PKRR), adalah untuk membekali para
remaja dalam menghadapi gejolak biologisnya
agar: 1) Mereka tidak melakukan hubungan seks
sebelum menikah karena mengetahui risiko yang
dapat mereka hadapi, 2) Seandainya mereka tetap
melakukannya juga (tidak semua orang dapat
dicegah agar tidak melakukannya), mereka dapat
mencegah risiko buruk yang dapat terjadi, 3) Jika
risiko tetap terjadi juga, mereka akan
menghadapinya secara bertanggung jawab.
Melihat besarnya keberadaan remaja di
sekolah, maka salah satu cara yang efektif dan
efisien adalah membekali pengetahuan dan
menanamkan perilaku yang sehat dan bertanggung
jawab melalui pendidikan di sekolah dalam bentuk
pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi
yang relevan dalam pelayanan kesehatan berbasis
sekolah. Program- program berbasis sekolah
adalah pendekatan yang esensial untuk
memberikan pendidikan kesehatan reproduksi
kepada anak muda (Kay, 2004).
Pelayanan kesehatan dibutuhkan remaja untuk
membantu remaja dalam masa pencegahan, awal
intervensi,
dan
untuk
pendidikan.
Jadi
177sosial177 remaja memanfaatkan pelayanan
kesehatan karena ada kebutuhan tertentu dari
remaja (Brindis, 2003). Penyebab utama remaja
memanfaatkan pelayanan kesehatan baik karena
keluhan fisik maupun psikologis adalah karena
kebutuhan (Vingilis, 2007). Salah satu tujuan
Prosiding | 177
remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan pendidikan formal menghadapi masalah dalam
penyampaian,
penyerapan,
dan
reproduksi adalah untuk mencari informasi tentang konteks
aktualisasinya dalam tindakan. Secara khusus,
pendidikan reproduksi dan seksualitas.
Faktor lain yang juga mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang
penerimaan
akseptabilitas
remaja
untuk diakibatkan oleh derasnya arus informasi melalui
menggunakan pelayanan kesehatan reproduksi media massa, dan aneka ragam informasi lain,
adalah petugas pemberi pelayanan. Remaja seringkali tidak mampu disaring sepenuhnya oleh
cenderung untuk mengungkapkan permasalahan perangkat institusi lokal maupun nasional kita, dan
yang mereka hadapi jika merasa dekat dengan memberi dampak langsung terhadap kehidupan
konselor. Melalui model konselor sebaya jarak remaja.
antara guru pembimbing (konselor) dapat
frekuensi
tingkat
didekatkan, sehingga hambatan psikologis yang Tabel 7. Distribusi
pengetahuan
tentang
pencegahan
menyebabkan
siswa
tertekan
dapat
premarital seks berdasarkan layanan
dikurangi/dihilangkan. Siswa yang berperan
PIK-KRR
sebagai pendidik dan konselor sebaya diperlukan
karena remaja lebih terbuka kepada sebayanya
Tingkat Pengetahuan
sehingga informasi lebih mudah didapatkan dan
tentang Kesehatan
Layanan
lebih mudah dipahami sebab menggunakan gaya
Total
p
Reproduki
PIKbahasa yang sama (Hasmi, 2002)
KRR Rendah Sedang Tinggi
Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan
%
%
%
tentang dampak premarital seks antara siswa SMK Tidak
4,7
26,6
68,8 67,1 0,005
0,0
14,9
85,1 32,9
yang memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK Ada
3,1
22,7
74,1 100,0
Total
yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan
tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya
Pengetahuan tentang pencegahan premarital
sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR
seks adalah kemampuan pemahaman yang telah
siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak
dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan
jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan
dengan pencegahan premarital seks yang meliputi
PIK-KRR. Hal ini dikarenakan pendidikan
cara mengurangi munculnya dorongan biologis,
kesehatan reproduksi di semua sekolah diajarkan
cara meningkatkan kemampuan mengendalikan
berdasarkan kurikulum yang disusun dan
dorongan biologis, dukungan orang tua dan
dikembangkan secara sistematis, dan pengajaran
dukungan pemerintah.
disampaikan secara teratur dan berjenjang.
Beberapa hal yang dapat menggambarkan
Individu diharapkan menyerap seperangkat
pengetahuan responden tentang dampak premarital
pengetahuan berdasarkan usia dan jenjang
seks yang masih salah antara lain : sebanyak
pendidikannya. Sebagian lagi proses belajar
88,8% membiasakan mengenakan pakaian yang
tersebut berlangsung dalam kehidupan sehari-hari
sopan dapat mengurangi munculnya dorongan
melalui interaksi individu dengan keluarga,
biologis, sebanyak 75,5% menghindari membaca
kelompok-kelompok sosial, peer group, dan
buku porno dapat mengurangi munculnya
sebagainya. Sehingga secara keseluruhan kedua
dorongan biologis dan sebanyak 48,3% orang tua
proses tadi membentuk manusia sebagai mahluk
tidak memberikan fasilitas (termasuk uang saku)
sosial yang memiliki pengetahuan, kemampuan,
yang berlebihan merupakan tindakan pencegahan
persepsi, nilai-nilai yang digunakannya untuk
terjadinya seksual pranikah. Jika dilihat dari hasil
beradaptasi dalam kehidupannya.
temuan ini, kemungkinan disebabkan karena
Secara ideal, pendidikan formal dalam sistem
remaja yang masih labil. Walaupun kondisi
kemasyarakatan kita diharapkan berjalan dan
psikologis
remaja
masih
labil,
tetapi
berkembang seimbang dengan proses belajar di
perkembangan kognitif remaja sudah berfungsi
luar sekolah. Sehingga kedua-duanya membentuk
dengan baik, sehingga memungkinkan mereka
dan
mengembangkan
manusia
Indonesia
seutuhnya.
Dalam
kenyataannya,
proses
178 | Prosiding
berfikir secara abstrak, kritik dan teoritik (Dister,
1991).
Dukungan keluarga dan lingkungan sosial
juga memiliki peran penting untuk pencegahan
premarital seks. Selain itu, sekolah juga
diharapkan menyediakan layanan kesehatan
reproduksi karena remaja memiliki kebutuhan
informasi seksual dan kesehatan reproduksi yang
unik sehingga dibutuhkan pelayanan kesehatan
reproduksi yang efektif dan khusus untuk remaja.
Oleh sebab itu, pelayanan yang diberikan
diharapkan bersifat secara sosial, murah, mudah,
rahasia, tidak menghakimi, dan ramah remaja
(Kamau, 2006).
BKKBN Kota Semarang pada tahun 2008,
juga telah melaksanakan program-program yang
berkaitan dengan KRR, salah satunya yaitu:
Pemberian informasi tentang KRR kepada remaja
pada organisasi sosial, pondok pesantren,
karangtaruna dan pada sekolah-sekolah SMP
maupun SMA. Pusat Informasi dan Konsultasi
Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR)
sebagai wadah bagi remaja untuk memperoleh
informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi
(BKKBN, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan adanya
perbedaan
tingkat
pengetahuan
tentang
pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang
memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak
memiliki layanan PIK-KRR. Hal ini disebabkan
karena keberadaan dan peranan PIK-KRR pada
tingkat sekolah, memudahkan remaja untuk
mendapatkan informasi serta pelayanan konseling
yang benar dan secara kontinyu tentang kesehatan
reproduksi remaja dan pencegahan premarital seks
yang diberikan berdasarkan buku panduan PIKKRR seperti yang disusun oleh BKKBN.
Disamping itu, dukungan sekolah juga dapat
diketahui dari dukungan yang diberikan kepala
sekolah sebagai pemimpin dalam pelaksanaan
seluruh kegiatan di sekolah. Karena, peran kepala
sekolah juga menentukan jalannya seluruh
kegiatan di sekolah. Dari hasil wawancara
diketahui bahwa Kepala Sekolah di SMK Getasan
sangat mendukung kegiatan di PIK-KRR.
4. KESIMPULAN
Gambaran kondisi dan tingkat pengetahuan
remaja tentang masalah kesehatan reproduksi
remaja mayoritas pada kategori sedang sebanyak
157 responden (54,9%), sedangkan gambaran
kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang
premarital seks mayoritas pada kategori tinggi
sebanyak 167 responden (58,4%).
Kondisi dan tingkat pengetahuan remaja
tentang dampak premarital seks mayoritas pada
kategori rendah sebanyak 238 responden (83,2%),
sedangkan kondisi dan tingkat pengetahuan remaja
tentang pencegahan premarital seks mayoritas
pada kategori tinggi sebanyak 212 responden
(74,1%).
Perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan
layanan PIK-KRR, meliputi:
1) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang
memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang
tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value
(0,00001) <  (0,05)
2) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang
premarital seks pada siswa SMK yang
memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang
tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value
(0,419) >  (0,05).
3) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang
dampak premarital seks pada siswa SMK
yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK
yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p
value (1,000) >  (0,05).
4) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang
pencegahan premarital seks pada siswa SMK
yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK
yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p
value (0,005) <  (0,05).
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Pelaksanaan kegiatan ini tidak terlapas dari
keterlibatan beberapa pihak. Oleh karena itu, kami
menghaturkan terima kasih kepada BKKBN
Provinsi Jawa Tengah melalui dan LPPM Ngudi
Waluyo yang telah
memberikan bantuan
pendanaan sehingga kegiatan ini dapat berjalan
dengan baik.
Prosiding | 179
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Kepala Sekolah SMK Swasta di Kabupaten
Semarang, serta seluruh sasaran kegiatan yang
telah banyak membantu sehingga kegiatan ini
dapat berjalan dengan baik.
6. REFERENSI
Anas SH. 2010. Sketsa Kesehatan Reproduksi
Remaja. Jurnal Studi Gender &
Anak.;5(1):199-214.
Anusornteerakul
S,
Khamanarong
K,
Thinkhamrop S. The influence factors that
affect Thailand’s management of youth
reproductive health service. Journal of
Diversity Management,2008;3(4).
Arikunto, Suharsimi (1998), Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT.
Rineka Cipta,
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi
Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara.
Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana
Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan
Bina Keluarga Remaja (BKR). Jakarta:
Direktorat Bina Ketahanan Remaja.
Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana
Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan
Pusat Informasi Dan Konseling Remaja
Dan Mahasiswa (Pik Remaja/Mahasiswa).
Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan
Remaja.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). 2005. Laporan Perkembangan
Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia,
Jakarta.
Basri.H. 2000. Remaja Berkualitas Problematika
Remaja dan Solusinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
BKKBN. 2001. Pedoman Kebijaksanaan Teknis
Upaya
Kesehatan
Reproduksi
Remaja.http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/
ceria/pengelolaceria/pkkebijakanteknisprog
ramkrr.html.diakses 7 Februari 2014
BKKBN. 2002. Panduan Pembinaan dan
Pengembangan Pusat Informasi dan
Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja
(PIK-KRR). Jakarta,
180 | Prosiding
Brindis CD, Morreale MC, English A. 2003. The
unique health care needs of adolescent.
The future of Children,;13(1):117-35.
Dariyo, Agoes, 2004. Psikologi Perkembangan
Remaja
Dister W.N. 1991. Psycology of Religion: Classic
and Contemporary View, New York; Willy
Glanz K, Rimer BK, Viswanath K, 2008. editors
Health Behavior and Health Education:
Theory, Research, and Practice. United
States of America: Jossey-Bass.
Grogger, J and Stephen B. 1993. The
Socioeconomics Consequences of Teenage
Childbearing: Findings from a Natural
Experiment. Family Planning Perspective,
25(4):
156-61
&
174
http://eprints.undip.ac.id/32662/
Hasan, M. Iqbal, 2002. Pokok-pokok Materi
Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Ghalia Indonesia, Bogor.
Hasmi E. 2002. Pedoman pemberdayaan pendidik
dan konselor sebaya dalam program
kesehatan reproduksi remaja. BKKBN,
Jakarta.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta, Erlangga
IPPF. 2008. Hak-Hak Seksual. Deklarasi IPPF.
Kamau AW. 2006. Factors influencing access and
utilization of preventive reproduction
health services by adolescent in Kenya.
Dissertation. Faculty of Health Sciences,
School of Public Health. University of
Bielefeld, Germany
Kirby D.1995. Sex and HIV/AIDS education in
Schools. BMJ.
Lawrence RS, Gootman JA, Sim LJ., 2009.
Adolescent Health Services. Washington D.
C.: National Academy of Sciences.
Manuaba, I. A. C., Manuaba, I. B. G. F., dan
Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan, dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Edisi
2. Jakarta: ECG.
Mardiya, 2013. Artikel dalam rangka HARI
KEPENDUDUKAN SEDUNIA TAHUN
2013 : Saatnya Tahu dan Peduli Terhadap
Masalah Remaja, diakses 1 April 2014.
www.kulonprogokab.go.id/.../getfile.php?...
Artikel%2
Mc.Kay A. 2004. Sexual health education in the
school: questions and answers. The
Canadian J Hum Sex, 13(3-4):129-41.
Muadz, M. Masri. 2009. Beberapa Faktor yang
Mendorong Anak Remaja Usia SMP dan
SMU melakukkan Hubungan Seks di Luar
Nikah. Error! Hyperlink reference not
valid. Diakses pada tanggal 5 Desember
2014
Nargis. 2004. Hubungan Struktur dan Fungsi
Keluarga dengan Perilaku Seksual
Pranikah Remaja SMU di Wilayah Ujung
Berung Bandung (Tesis)
Notoatmodjo,S. 1983. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan, Jakarta: FKM UI
PATH. 1998. Kesehatan Reproduksi : Membangun
Perubahan
yang
Bermakna,
,
http://www.path.org/files/Indonesian
163.pdf. diakses 10 Desember 2008
PATH.2000. Kesehatan reproduksi remaja:
membangun perubahan yang bermakna.
Outlook, 16:1-8.
Pinem,Saroha. 2009. Kesehatan reproduksi dan
kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media
Profil Program KBN Jawa Tengah, 2008
Rafidah, dkk, 2009. Berita Kedokteran
Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009
Rahma F J., 2012. Resiko Pada Remaja Akibat
Pernikahan Dini, diakses 29 Mei, 2012
http://modalyakin.blogspot.com.
Roleff TL, 2002. editor. Teen Sex. United States of
America: Greenhaven.
Saefuddin A.F dan Hidayana. 1999. Seksualitas
Remaja . Pustaka Sinar Harapan,
Lab.Antropologi FISIP UI & Ford
Foundation, Jakarta
Saito MI, 1998. Sex Education in School:
Preventing Unwanted Pregnancy in
Adolescents. International Journal of
Gynecology and Obstetrics. 63(1):157-60.
Santrock,
John
W.
2003.
Adolescence.
Perkembangan Remaja. Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga
Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, diakses Agustus 2009
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-211.pdf
Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. PT. Grafindo
Raja Persada, 2004
SDKI Tahun 2007
SDKI Tahun 2012
Sensus Penduduk Tahun 2010
Sibagariang, E., dkk., 2010. Kesehatan Reproduksi
Wanita. Jakarta: Trans Info Menika.
Silalahi Ulber, 2005. Metode Penelitian Sosial,
Bandung, Unpar Press.
Silva M. 2002. The Effectiveness of School-Based
Sex Education Programs in The Promotion
of Abstinent Behavior: A Meta-Analysis.
Oxford Journal. 17(4):471-81
Situmorang A. 2003. Adolescent Reproductive
Health in Indonesia. Jakarta: Johns
Hopkins University, Program CfC
Suharyo. 2008. Masalah Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD) di Kalangan Remaja
dan Dampak Ketidakadilan Gender.
KEMAS. 4(1):90-8.
Suparmi, 2006. Hubungan antara Remaja Aktif
Seksual dengan Kurangnya Pengawasan
Orang
Tua.UNDIP.Skripsi
tidak
dipublikasikan.
Suryoputro.et.all,. 2006. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di
Jawa Tengah : Implikasinya terhadap
Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual
Tatang
AM.
2003.
Pokok-Pokok
Teori
Penggunakan Sistem.
UNPFA. . 2005. Child marriage fact sheet. didapat
dari: www.unpfa.org diakses 11 April 2014
USAID. 2006. Preventing child marriage:
protecting girls health. didapat dari:
www.usaid.gov. diakses 11 April 2014
Vingilis E, Wadeb T, Seeleya J. 2007. Predictors
of adolescent health care utilization.
Journal of adolescent, 30:773-800.
Zulkifli,
.1999.
Psikologi
Perkembangan.
Bandung: Remaja Rosdakary
Prosiding | 181
Download