pemetaan potensi energi angin indonesia

advertisement
Topik Utama
PEMETAAN POTENSI ENERGI ANGIN INDONESIA
Nurry W. Hesty, Dian G. Cendrawati, Errie Kusriadie
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalstrikan, Energi Batu,
Terbarukan, dan Konservasi Energi
[email protected]
SARI
Pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh untuk bidang meteorologi dan klimatologi memiliki acuan
yang sangat luas.Integrasi penginderaan jauh dan SIG melalui analisis dan pemodelan data dapat
menghasilkan potensi angin Indonesia yang cukup komprehensif sebagai panduan awal studi
kelayakan potensi angin. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit
yang dapat memberikan informasi kecepatan angin. Data tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan software GIS, sehingga dapat menghasilkan peta tematik dan nilai parameter
kecepatan angin rata-rata selama 10 tahun. Data citra satelit untuk kecepatan angin diambil dari
dataset National Centers for Environmental Prediction (NCEP) dengan resolusi 2,5o x 2,5o, atau
277 km x 277 km. Data ini kemudian dibandingkan dengan data pengukuran langsung di beberapa
lokasi yang telah dilakukan P3TKEBTKE.
Kata kunci : angin, penginderaan jauh, peta, SIG
1. PENDAHULUAN
Penginderaan jauh (remote sensing)
merupakan suatu ilmu yang digunakanuntuk
mendapatkan informasi mengenai permukaan
bumi seperti lahan dan air dari citra yang
diperoleh dari jarak jauh dengan menggunakan
sensor yang dipasang pada wahana satelit.
Data yang diperoleh dari penginderaan jauh
dapat berbentuk hasil dari variasi daya,
gelombang bunyi atau energi elektromagnetik.
Sebagai contoh grafimeter memperoleh data
dari variasi daya tarik bumi (gravitasi),sonar
pada sistem navigasi memperoleh data dari
gelombang bunyi dan mata kita memperoleh
data dari energi elektromagnetik. Penggunaan
penginderaan jauh semakin meningkat disegala
bidang dikarenakan:
1) Citra menggambarkan obyek, daerah dan
gejala dipermukaan bumi secara wujud dan
letak obyek yang mirip dengan wujud dan
letaknya dipermukaan bumi, relatif lengkap,
cakupan daerah luas, dan permanen.
2) Dari jenis citra dapat ditimbulkan gambaran
tiga dimensi apabila pengamatannya
dilakukan dengan alat yang disebut
stereoskop, sehingga dapat mengkaji model
medan yang berbeda, relief lebih jelas karena
adanya pembesaran vertikal, memungkinkan
pengukuran beda tinggi yang dapat
dimanfaatkan untuk peta kontur, perencanaan
lintas jalan, dan saluran irigasi, dan
memungkinkan pengukuran lereng untuk
menentukan kelas lahan, konservasi, dan
keperluan lainnya.
3) Karakteristik objek yang tampak dapat
diwujudkan dalam bentuk citra sehingga
dimungkinkan pengenalan objeknya. Objek
dapat dikenali berdasarkan beda suhunya.
Daerah yang direkam dengan citra
inframerah termal tampak gelap pada malam
hari, ini dapat diwujudkan dalam bentuk sensor yang cukup jelas. Selain itu, kebocoran
pipa gas bawah tanah atau kebakaran
tambang
batubara
bawah
tanah
55
Topik Utama
juga mudah dikenali pada citra inframerah
termal. Objek tersebut tidak tampak oleh
mata karena terletak di bawah tanah.
Meskipun terlihat langsung oleh mata, air
panas yang keluar dari industri dapat
dibedakan terhadap air lainnya dalam wujud
yang sama. Air panas dapat dikenali dengan
baik pada citra inframerah termal.
4) Citra dapat dibuat secara cepat meskipun
untuk daerah yang sulit dijelajahi secara
langsung (terestrial). Hal ini dapat dibuktikan
pada pemetaan daerah rawa, hutan, dan
pegunungan. Jika cuacanya baik, daerah
tersebut dapat dipotret dengan citra secara
cepat. Sebagai contoh, perekaman satu
lembar foto udara dengan menggunakan
perekaman citra LANDSAT untuk daerah
seluas 34.000 km2 dapat dilakukan dalam
waktu 25 detik.
5) Merupakan satu-satunya cara untuk
pemetaan daerah bencana karena tidak ada
cara lain yang mampu memetakan daerah
bencana secara cepat saat terjadi bencana,
misalnya banjir, gempa bumi, gunung
meletus, seperti letusan Gunung Galunggung
tahun 1982 yang terekam antara lain pada
citra satelit Cuaca GMS dan NOAA.
6) Citra satelit dibuat dengan periode ulang yang
pendek, misalnya citra LANDSAT IV periode
16 hari dan citra NOAA setiap dua kali per
hari bagi. Dengan demikian, citra merupakan
alat yang tepat untuk memantau perubahan
yang cepat, seperti pembukaan hutan,
pemekaran kota, atau perubahan kualitas
lingkungan.
1.1. Manfaat Penginderaan Jauh di Bidang
Pembuatan Peta
Peta citra merupakan citra yang telah
bereferensi geografis sehingga dapat dianggap
sebagai peta. Informasi spasial yang disajikan
dalam peta citra merupakan data raster yang
bersumber dari hasil perekaman citra satelit
sumber alam secara kontinyu. Peta citra
memberikan semua informasi yang terekam
pada bumi tanpa adanya generalisasi. Peranan
peta citra ( space map) dimasa mendatang akan
menjadi penting sebagai upaya untuk
56
mempercepat ketersediaan dan penentuan
kebutuhan peta dasar yang memang belum
dapat meliputi seluruh wilayah nasional pada
skala global dengan informasi terbaru (up to
date). Peta citra mempunyai keunggulan
informasi dibandingkan peta biasa. Hal ini
disebabkan karena citra merupakan gambaran
nyata di permukaan bumi, sedangkan peta biasa
dibuat berdasarkan generalisasi dan seleksi
bentang alam ataupun buatan manusia.
Contohnya: peta topografi dan peta tata guna
tanah.
Beberapa keunggulan pemetaan menggunakan
teknologi inderaja antara lain :
– Hasil inderaja dapat digunakan untuk
memetakan daerah yang sangat luas
dengan cepat, pemetaan manual biasanya
hanya digunakan untuk memetakan daerah
yang sangat sempit.
– Berbiaya lebih murah.
– Dapat memetakan bermacam-macam peta
tematik sekaligus
– Proses pembuatan lebih cepat.
1.2. Manfaat Penginderaan Jauh di Bidang
Meteorologi
Pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh untuk
bidang meteorologi dan klimatologi memiliki
acuan yang sangat luas. Data yang dihasilkan
oleh inderaja penting untuk diterapkan guna
mengetahui keadaan lingkungan atmosfer. Guna
memperoleh data lingkungan tentang atmosfer
melalui inderaja, wahana yang diperlukan adalah
satelit. Di antara satelit-satelit yang digunakan
untuk informasi lingkungan atmosfer misalnya
Synchronous Meteoroligical Satellite (SMS)
yang diluncurkan pada tanggal 17 Mei 1974.
Generasi ke-tiga dari satelit tersebut
digantinamanya menjadi Geosyncronous
Operational Environment Satellite (GOES) yang
diluncurkan pada 16 Oktober 1975.
Manfaat penginderaan jauh di bidang meteorologi
adalah sebagai berikut:
– Mengamati iklim suatu daerah melalui
pengamatan tingkat perawanan dan
kandungan air dalam udara
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama
–
–
–
Membantu analisis cuaca dan peramalan/
prediksi dengan cara menentukan daerah
tekanan tinggi dan tekanan rendah serta
daerah hujan badai dan siklon
Mengamati sistem/pola angin permukaan
Melakukan pemodelan meteorologi dan set
data klimatologi
2. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau
Georaphic Information System (GIS) adalah alat
dengan sistem komputer yang digunakan untuk
memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi
dimuka bumi. Teknologi SIG ini dapat
mengintegrasikan sistem operasi database
seperti query dan analisis statistik dengan
berbagai keuntungan analisis geografis yang
ditawarkan dalam bentuk peta. Dengan
kemampuan pada sistem informasi pemetaan
(informasi spasial) yang membedakan dengan
sistem informasi lain seperti database, maka
SIG banyak digunakan oleh masyarakat,
pengusaha dan instansi untuk menjelaskan
berbagai peristiwa, memprediksi hasil dan
perencanaan strategis (Environmental Systems
Research Institute, ESRI). SIG memiliki
kapabilitas menghubungkan berbagai lapisan
data di suatu titik yang sama pada tempat
tertentu, mengkombinasikan, menganalisis data
tersebut dan memetakan hasilnya. Teknologi ini
juga dapat mendeskripsikan karakteristik objek
pada peta dan menentukan posisi koordinatnya,
melakukan query dan analisis spasial serta
mampu menyimpan, mengelola, memperbaharui data secara terorganisir dan efisien
(Zainuddin, 2006).
Sistem Informasi Geografis merupakan suatu
kesatuan formal yang terdiri dari berbagai
sumberdaya fisik dan logika yang berkenaan
dengan objek-objek yang terdapat di permukaan
bumi (Yuliastuti, 2010). Selain itu, SIG
merupakan suatu sistem informasi yang
berbasis komputer, dirancang untuk bekerja
dengan menggunakan data yang memiliki
informasi spasial (bereferensi keruangan).
Sistem
ini
menangkap,
mengecek,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa,
dan menampilkan data yang secara spasial
mereferensikan kondisi permukaan bumi.
Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi
umum database, seperti query dan analisa
statistik, dengan kemampuan visualisasi dan
analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan.
Kemampuan inilah yang membedakan SIG
dengan Sistem Informasi lainnya yang
membuatnya menjadi berguna berbagai
kalangan untuk menjelaskan kejadian,
merencanakan strategi, dan memprediksi apa
yang terjadi.
Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan
untuk mempermudah dalam mendapatkan data
yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut
suatu lokasi atau obyek. Data yang diolah dalam
SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan
data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini
merelasikan data spasial (lokasi geografis)
dengan data non spasial, sehingga para
penggunanya dapat membuat peta dan
menganalisa informasi di dalamnya untuk
dengan berbagai keperluan. SIG merupakan alat
yang handal untuk menangani data spasial,
dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk
digital sehingga data ini lebih padat
(komprehensif) dibanding dalam bentuk peta
cetak, tabel, atau dalam bentuk konvensional
lainya yang akhirnya akan mempercepat
pekerjaan dan meringankan biaya yang
diperlukan (Aini, 2007).
Menurut Paryono (1994), sistem informasi
geografi memerlukan data masukan agar dapat
berfungsi dan memberikan informasi hasil
analisisnya. Data masukan tersebut dapat
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain yaitu:
data lapangan, GPS, peta analog dan citra
penginderaan jauh.
2.1. Peta Analog
Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan.
Pada umumnya peta analog dibuat dengan teknik
kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi
spasial seperti koordinat, skala, arah mata
Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K
57
Topik Utama
angin dsb. Peta analog dikonversi menjadi peta
digital dengan berbagai cara yang akan dibahas
pada bab selanjutnya. Referensi spasial dari peta
analog memberikan koordinat sebenarnya di
permukaan bumi pada peta digital yang
dihasilkan.Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor.
2.3. Data Hasil Pengukuran Lapangan
2.2. Data Penginderaan Jauh
Contoh data hasil pengukuran lapang adalah
batas administrasi, batas kepemilikan lahan,
batas persil, batas hak pengusahaan hutan,
kecepatan dan arah angin rata-rata, yang
dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan
tersendiri.Pada umumnya data ini merupakan
sumber data atribut.
Data Pengindraan Jauh dapat dikatakan sebagai
sumber data yang terpenting bagi SIG karena
ketersediaannya secara berkala. Dengan
adanya bermacam-macam satelit di ruang
angkasa dengan spesifikasinya masing-masing,
kita bisa memanfaatkan berbagai jenis citra
satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data
ini biasanya direpresentasikan dalam format raster, antara lain citra satelit, foto udara, dsb.
Citra penginderaan jauh, atau foto udara dapat
diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi
kedalam bentuk digital. Sedangkan citra yang
diperoleh dari satelit sudah dalam bentuk digital
dapat langsung digunakan setelah diadakan
koreksi seperlunya. Lebih lanjut dinyatakan
ketiga sumber tersebut saling mendukung satu
terhadap yang lain. Data lapangan dapat
digunakan untuk membuat peta fisik, sedangkan
data penginderaan jauh juga memerlukan data
lapangan untuk lebih memastikan kebenaran
data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling
berkaitan, melengkapi dan mendukung,
sehingga tidak ada yang terabaikan.
Data yang belum dalam bentuk digital dapat
diubah menjadi bentuk digital dengan cara
manual, yaitu mengubah informasi geografis
menjadi data digital dengan sistem kisi - kisi (grid
atau raster system). Cara manual lain namun
lebih maju adalah dengan menggunakan
digitizer, sedangkan yang otomatis
menggunakan scanner. Untuk cara manual
diperlukan ketelitian operator yang mengkonversi
data, sehingga data yang diperoleh masih sesuai
atau mendekati aslinya. Untuk penggunaan
scanner, perlu diperhatikan resolusi scanner
yang digunakan agar data yang tersimpan tidak
banyak mengalami kehilangan detilnya atau
mengalami degradasi resolusi.
58
Data ini diperoleh langsung dari pengukuran
lapangan secara langsung, seperti pH tanah,
salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan
sebagainya.Data dapat diperoleh melalui cara
sensus ataupun survei (sampel).
2.4. Data GPS
Teknologi GPS memberikan terobosan penting
dalam menyediakan data bagi SIG. Keakuratan
pengukuran GPS semakin tinggi dengan
berkembangnya teknologi. Data ini biasanya
direpresentasikan dalam format vektor.
3. INTEGRASI PENGINDERAAN JAUH DAN
SIG DALAM PEMETAAN POTENSI ANGIN
INDONESIA
Pemanfaatan dan optimalisasi dari potensipotensi sumber energi baru terbarukan,
khususnya energi angin masih jauh dari harapan.
Salah satu penghambat dalam mengoptimalkan
potensi tersebut karena kurangnya informasi
yang komprehensif mengenai potensi sumber
energi baru terbarukan.
Sistem informasi yang dapat dikatakan
memenuhi kebutuhan untuk menyajikan
informasi mengenai potensi sumber EBT ini
adalah sistem informasi geografis dimana
informasi yang disajikan tidak hanya sekedar
data tekstual akan tetapi menyajikan informasi
yang bersifat geografis yaitu letak, kontur, dan
luasan. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah
suatu sistem yang mengambil, mengecek,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa,
dan menampilkan data yang secara spatial
(keruangan) mereferensikan kepada kondisi
bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama
operasi umum database, seperti query dan
analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi
dan analisa yang unik yang dimiliki oleh
pemetaan. Citra yang diperoleh melalui
pengindraan jauh merupakan data dasar atau
input yang selanjutnya diolah dan disajikan oleh
sistem informasi geografi. Posisi data dalam
citra pengindraan jauh dapat dikoreksi kembali
dalam sistem informasi geografi. Dengan
demikian, integrasi antara data pengindraan jauh
dengan sistem informasi geografi akan
memperoleh informasi yang optimal sebagai
data wilayah
Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG melalui
analisis dan pemodelan data dapat
menghasilkan pemetaan potensi angin Indonesia yang cukup komprehensif sebagai panduan
awal studi kelayakan potensi angin.
4. METODOLOGI
Langkah awal dimulai dengan mengumpulkan
dan mempersiapkan semua data yang akan
digunakan. Data citra kecepatan angin 10 meter
merupakan data per 6 jam selama 10 tahun
(2000-2009). Sedangkan data pengukuran
digunakan untuk validasi data citra (Gambar 1).
Sedangkan data lapangan yang digunakan
adalah data yang dapat membantu
penyempurnaan hasil data yang diambil dari
citra satelit tersebut (Gambar 1).
4.1. Metode Analisis Data
Jenis data dilihat dari format atau isinya terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu : data grafis terdiri
atas peta (lokasi, topografi, tata guna tanah,
penggunaan sarana prasarana, dan
sebagainya), citra satelit, foto dan data tekstual
meliputi tabel data (data lapangan). Pada
penelitian ini, analisis data yang dilakukan:
a. Analis spasial dilakukan dengan
menggunakan teknologi piranti lunak Sistim
Informasi Geografis (GIS) meliputi
pengolahan data vektor dan raster terutama
dengan menggunakan aplikasi ArcView versi
3.3 dan ArcGIS 9.0 yang dipadukan untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
1). Analisis citra satelit.
Data citra diambil dari dataset National
Centers for Environmental Prediction
(NCEP), waktu perekaman (akuisisi data)
diambil antara bulan Januari 2000 hingga
bulan Desember 2009. Citra ini kemudian
diregistrasi sesuai dengan posisi
geometrik yang tepat, sesuai dengan
sistim proyeksi tertentu dalam hal ini
sistim proyeksi UTM, ketepatan posisi
diuji dengan pengambilan data ground
control point menggunakan alat Global
Positioning System (GPS).
2). Vektorisasi data citra
Vektorisasi adalah proses konversi data
raster menjadi data vektor yang lebih
umum disebut dengan istilah digitalisasi
yang aktifitasnya disebut digitasi. Wujud
digitalisasi ini diklasifikasikan secara
spesifik dalam tema-tema tertentu yang
direpresentasikan oleh bentuk garis,
poligon dan titik. Proses vektorisasi ini
menghasilkan suatu wujud peta topografi
yang menggambarkan keadaan
permukaan bumi atau bentang alam. Sifat
data secara geometris menunjukkan
ukuran dimensi yang sesungguhnya.
2). Integrasi basisdata spasial
Peta digital yang telah terbangun tidak
menjelaskan objek secara komprehensif.
Diperlukan dukungan penjelasan data
berupa atribut dan data tabular pada setiap
objek yang dapat diidentifikasi, oleh
karena itu integrasi data ini menjadi
tahapan proses yang tak terpisahkan
dalam pembangunan GIS. Basisdata
disusun secara tematik, yaitu nama
kabupaten dan kecepatan angin rata-rata.
b. Analisis deskriptif data, dilakukan dengan
membuat tabulasi data terutama untuk
mengolah data-data hasil pengukuran
lapangan sebagai bahan validasi data citra.
Teknik statistika yang digunakan dalam
analisis data tabulasi ini ditunjukkan dalam
Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K
59
Topik Utama
DATABASE
Data Lapangan
Data Pengukuran
Lapangan
Data Citra Satelit
• Download Data NCEP-FNL :
Uncompress, cropping
http://dss.ucar.edu/dataset
s/ds083.2
Preprocessing
• ASCII (Bujur, lintang,
kecepatan arus/angin.
• Excel ke dbf
• Interpretasi
• Plotting data
• Penentuan arah
• Overlay dengan peta
administratif dan peta landcrop
Processing
Pemetaan
Software GIS
Peta Potensi Energi Angin
Gambar 1. Metode penelitian
tabel distribusi data baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, dengan melakukan
analisis mean.
5. PETA KECEPATAN ANGIN INDONESIA
Pemetaan terhadap potensi angin yang telah
dilakukan, disajikan dalam bentuk peta kecepatan
angin Indonesia dengan tiap gradien warna yang
.
60
mewakili nilai kecepatan angin rata-rata. Peta ini
rencananya akan ditampilkan secara online di
situs Puslitbangtek KEBTKE (www.p3tkebt.
esdm.go.id) apabila sudah memenuhi standar
resolusi sebagai peta dasar yang dapat
digunakan untuk acuan/ rujukan nasional.
Sebagai acuan awal, data yang digunakan
adalah dari dataset National Centers for
Environmental Prediction (NCEP) yang
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama
mempunyai resolusi 2,5ox2,5o, atau 277km x
277km, citra hasil satelit ini mempunyai resolusi
yang tergolong kasar sehingga variasi
kecepatan angin tiap daerah tidak begitu tampak.
Verifikasi baru bisa dilakukan terhadap daerah
yang sudah dilakukan pengukuran kecepatan
angin dengan membangun menara ukur untuk
jangka waktu 12 hingga 24 bulan oleh
P3TKEBTKE. Lokasi pengukuran ditampilkan
dalam bentuk titik menara di peta kecepatan
angin tersebut (Gambar 2).
Hingga saat ini telah dilakukan pengukuran
kecepatan angin berikut analisanya sehingga
dapat diketahui karakteristik dan potensinya di
sejumlah 6 (enam) lokasi. Pengukuran yang
saat ini masih berlangsung adalah berada di 5
(lima) lokasi baru.
Gambar 2 memperlihatkan gambar tampilan
Peta Kecepatan Angin yang bisa di akses oleh
pengguna internet ketika mengakses peta
potensi energi baru terbarukan yang akan
dipasang di situs resmi P3TKEBTKE. Lokasilokasi menara yang pernah dan sedang
terpasang disajikan pada dengan Tabel 1.
Ketika pengguna mengakses situs peta
kecepatan angin secara online, maka selain
dapat mengetahui kecepatan angin rata-rata
seluruh Indonesia, pengguna juga dapat
mengetahui informasi detail (data atribut) untuk
tiap sembarang titik yang dipilih pada level
kabupaten: kecepatan angin dan nama
kabupaten pada titik tersebut sebagaimana
terlihat pada Gambar 3.
Verifikasi yang dilakukan adalah dengan
membandingkan data hasil pengukuran dalam
jangka waktu tertentu dengan polanya data
NCEP untuk periode waktu yang sama. Sebagai
contoh verifikasi dilakukan dengan melakukan
interpolasi data primer hasil pengukuran di
ketinggian yang sama dengan data NCEP. Salah
satu dari lokasi menara ukur (Tabel 1) yang
pernah terpasang untuk dijadikan contoh
sebaran data angin adalah di desa Taman Jaya,
Sukabumi, Jawa Barat. Perbandingan hasil
pengukuran dengan data NCEP seperti terlihat
pada Gambar 4.
Dari grafik pada Gambar 4 terlihat bahwa data
hasil pengukuran mempunyai kecenderungan
pola yang sama dengan data hasil ekstrapolasi
NCEP. Data ekstrapolasi mempunyai nilai
bervariasi (terkadang lebih rendah) bila
dibandingkan dengan data hasil pengukuran. Hal
ini wajar mengingat data ekstrapolasi diambil dari
data citra yang mempunyai resolusi cukup kasar
dengan tingkat akurasi yang rendah.
(m/dtk)
Gambar 2. Tampilan online Peta Kecepatan Angin Indonesia dengan menara
ukur yang sudah pernah terpasang
Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K
61
Topik Utama
Tabel 1. Lokasi penelitian potensi angin P3TKEBTKE
No
Lokasi
Koordinat
1
Uncen, Jayapura, Papua
S 02034'57"
E 140039'27"
2
Bantaeng, Sulawesi Selatan
S 05034'67"
E 120002.85'
3
Taman Jaya, Sukabumi, Jawa Barat
S 07013.188'
E 106031'44"
4
Tahuna, Sulawesi Utara
N 03036.47'
E 125030.396'
5
Lembeh, Sulawesi Utara
N 01026'10"
E 125014'58"
6
Probolinggo, Jawa Timur
S 07045.188'
E 113012'566"
7
Serdang Bedagai, Sumatera Utara
S 05055.275'
E 106008.407
8
Pulo Panjang, Banten
S 05056.13'
E 106008.47'
9
Pandeglang, Jawa Barat
S 06054.001'
E 106009.138'
10
11
Lampung Barat, Lampung
Tanah Laut, Kalimantan Selatan
S 05015.43'
S 04005.136'
E 103059.292'
E 114037.729'
Gambar 3. Tampilan online Peta Kecepatan Angin Indonesia dan data atribut
pada titik tertentu yang dipilih (Kabupaten Lebak)
62
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Topik Utama
Gambar 4. `Grafik time series perbandingan kecepatan angin NCEP dengan
kecepatan angin hasil observasi pada ketinggian 10 meter.
Pada grafik ditunjukkan bahwa data NCEP
kurang baik dalam merepresentasikan data
observasi angin pada ketinggian 10 meter.
Namun setelah dilakukan koreksi dengan
menggunakan metode regresi linear, secara
umum hasilnya tidak signifikan mengalami
perubahan. Nilai korelasi dari hasil koreksi data
masih kecil yaitu 0,3, sedangkan nilai Root Mean
Square Error (RMSE) juga masih cukup besar,
yaitu 3,5. Hal ini dikarenakan data NCEP-FNL
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
resolusi yang kasar untuk menyajikan data
kecepatan angin 10 meter di satu titik
pengamatan yang membutuhkan data dengan
resolusi yang tinggi dan juga karena metode ini
cukup sederhana dengan mengabaikan banyak
hal, seperti nilai ekstrim dan nilai lainnya.
Berdasarkan grafik (Gambar 5) bahwa pada
musim kering (JJA) arah angin didominasi oleh
angin yang bertiup dari barat laut. Hal ini
kemungkinan besar dipengaruhi oleh sistem
angin monsoonal, dimana sirkulasi angin global
yang bertiup di atas ekuator adalah hasil dari
angin yang bertiup dari belahan bumi selatan
menuju ke belahan bumi utara. Karena angin
berasal dari benua Australia, maka angin yang
bertiup di atas ekuator membawa uap kering,
dalam artian sedikit hujan atau bahkan tidak
menghasilkan hujan sama sekali. Pada
penerapan pemanfaatan energi angin, informasi
ini sangat diperlukan untuk menentukan letak
turbin agar dapat menangkap angin dominan
yang bertiup di daerah tersebut.
Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K
63
Topik Utama
menjadi energi listrik sebagai salah satu bentuk
implementasi pemenuhan kebutuhan energi
nasional dan sumber energi terbarukan.
Untuk mendapatkan peta yang lebih tinggi tingkat
akurasinya, perlu dilakukan downscalling
terhadap dataset National Centers for
Environmental Prediction (NCEP) yang resolusi
yang tergolong kasar agar mendapatkan resolusi
lebih tinggi. Dengan demikian diharapkan
mampu mereduksi kesalahan pada data dan
menghasilkan performa yang lebih baik.
Gambar 6. Sebaran arah angin selama bulan
Juni, Juli dan Agustus
DAFTAR PUSTAKA
6. PENUTUP
Aini, A., 2007, Sistem Informasi Geografis
Pengertian dan Aplikasinya. Sekolah Tinggi
Manaemen Informasi Komputer AMIKOM,
Yogyakarta.
Pemetaan terhadap kecepatan rata-rata angin
di Indonesia ini merupakan salah satu bentuk
penyediaan database terhadap potensi angin
nasional. Informasi berupa visualisasi ini
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
informasi global untuk mendukung upaya
pengembangan kebijakan pemerintah yang
berpihak kepada kemajuan pengembangan
energi terbarukan di Indonesia. Selain dapat
mengidentifikasikan daerah-daerah yang mampu
menjadi ladang angin, peta ini juga menjadi data
dasar perhitungan untuk melakukan studi
kelayakan potensi energi angin suatu daerah
termasuk menghemat waktu karena tidak perlu
melakukan pengambilan data primer berupa
kecepatan angin dimana memerlukan waktu
pengukuran minimal 12 bulan secara kontinyu.
Peta ini juga bisa menjadi pemicu bagi penelitian
lebih lanjut khususnya berkenaan dengan
pengembangan kemajuan teknologi pembangkit
listrik tenaga angin di Indonesia yang umumnya
terkendala dengan karakteristik angin Indonesia
yang memiliki kecepatan rata-rata tidak tinggi dan
intermittent dikarenakan letak geografis negara
kita. Akhirnya diharapkan peta ini bisa menjadi
acuan bagi berbagai pihak yang berkeinginan
untuk mengembangkan potensi energi angin
64
Tjasjono, Bayong, 2004, Klimatologi Umum.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Robert Atlas, Ross N. Hoffman, Joseph
Ardizzone, S. Mark Leidner, Juan Carlos
Jusem, Deborah K. Smith, Daniel Gombos,
2011, A Cross-calibrated, Multiplatform
Ocean Surface Wind Velocity Product for
Meteorological and Oceanographic
Applications, AMS Journals Online, Online
ISSN: 1520-0477, American Meteorological
Society. Washington DC, United States.
Joseph, George, 2005, Fundamental of Remote
Sensing, Universitis Press, Hyderabad,
India.
Denny charter, Irma Agtrisari, 2002, Desain dan
Aplikasi GIS, Elexmedia Komputindo,
Bandung.
Aniati Murni, Dr, GIS : Sejarah & Perkembangan,
Fakultas Ilmu Komputer Universitas
Indonesia, Jakarta.
Aniati Murni, Dr, Sistem Inderaja dan GIS,
Fakultas Ilmu Komputer Universitas
Indonesia, Jakarta.
M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012
Download