kemiripan genetik dan pola penyebaran serbuk sari

advertisement
KEMIRIPAN GENETIK DAN POLA PENYEBARAN SERBUK
SARI POPULASI KELAPA KOPYOR PATI BERDASARKAN
ANALISIS MARKA SSR DAN SNAP
RINI ISMAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemiripan Genetik dan
Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis
Marka SSR dan SNAP adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,
Oktober 2013
Rini Ismayanti
NIM A253100031
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
RINI ISMAYANTI. Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari
Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP.
Dibimbing oleh DEWI SUKMA dan SUDARSONO.
Bunga betina buah kelapa kopyor yang diserbuki oleh kelapa berbuah
normal diduga menyebabkan penurunan produksi buah kopyor, sehingga perlu
diketahui pola penyebaran serbuk sari pada populasi campuran antara kelapa
berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal. Selain itu, evaluasi kemiripan
genetik pada populasi tertentu dan progeninya juga perlu dilakukan. Tujuan
penelitian ini adalah (1) mempelajari kemiripan genetik populasi kelapa berbuah
kopyor di Kabupaten Pati, Jawa Tengah dan progeninya, (2) mempelajari pola
penyebaran serbuk sari populasi kelapa campuran antara kelapa berbuah kopyor
dengan kelapa berbuah normal, dan (3) mengevaluasi keterkaitan antara
penyebaran serbuk sari dengan produksi buah kopyor. Populasi tanaman dewasa
yang dievaluasi sebagai kandidat tetua sebanyak 95 individu dan populasi progeni
sebanyak 84 bibit yang dipanen dari 15 pohon induk betina terpilih. Induk betina
dipilih berdasarkan data produksi buah yang tinggi diperoleh dari pengamatan di
lapangan. Semua populasi digunakan untuk menganalisis kemiripan dan struktur
genetik serta penyebaran serbuk sari. Setiap pohon dewasa yang dievaluasi diberi
nomor dengan spidol dan dicatat posisi koordinatnya menggunakan GPS.
Penelitian ini terdiri atas dua tahapan yaitu tahapan analisis kemiripan genetik
antar individu pada populasi tanaman dewasa serta populasi progeninya serta
tahapan analisis pola penyebaran serbuk sari menggunakan marka molekuler SSR
dan SNAP.
Penelitian pertama diawali dengan seleksi primer. Hasil seleksi dari 36
pasang primer terdapat 32 pasang primer yang dapat menghasilkan produk
amplifikasi DNA kelapa dan 4 pasang primer diantaranya yang polimorfik yaitu
CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87 dan CnCir_56. Selain marka SSR, marka SNAP
(SNP#14) yang merupakan marka SNP dari gen SUS1 juga dievaluasi. Kelima
marka molekuler tersebut digunakan untuk identifikasi genotipe (genotyping)
seluruh individu tanaman dewasa kelapa dan individu bibit sebagai progeni.
Penelitian ini memperoleh jumlah alel per lokus adalah 4.5 dan rata-rata nilai PIC
adalah 0.46. Analisis pengelompokan kemiripan genetik dilakukan oleh program
komputer NTSYS menggunakan koefisien DICE berdasarkan data molekuler.
Dendogram hasil analisis menunjukkan populasi tanaman dewasa kelapa yang
dianalisis memiliki tingkat kemiripan 18% dan populasi progeni memiliki
kemiripan 43%. Kemiripan genetik dalam populasi progeni lebih dekat
dibandingkan dengan kemiripan genetik dalam populasi tanaman dewasa. Hasil
analisis STRUCTURE mengelompokkan individu menjadi tiga sesuai dengan
pengelompokannya secara morfologi yaitu Genjah, Dalam dan Hibrida. Sejumlah
individu yang dikelompokkan sebagai kelapa Dalam dan kelapa Genjah,
sebenarnya adalah kelapa Hibrida berdasarkan konstitusi alel dari marka yang
digunakan.
Penelitian kedua bertujuan untuk mengevaluasi pola penyebaran serbuk sari
pada seluruh provenan menggunakan marka SSR dan SNAP. Marka SSR
sebanyak empat dan marka SNAP satu digunakan untuk identifikasi genotipe 95
provenan dan 84 progeni yang dipanen dari 15 induk betina terpilih. Analisis
parental menggunakan Perangkat lunak CERVUS berdasarkan data genotipe.
Jarak antar pohon tetua jantan dan betina dihitung menggunakan data GPS setelah
tetua jantan teridentifikasi. Jarak penyebaran serbuk sari terdekat adalah 0 m atau
terjadi penyerbukan sendiri, sedangkan jarak terjauh adalah 61.8 m. Penyerbukan
paling banyak terjadi pada jarak 0-10 m dengan persentase 33.3%.
Arah yang tidak beraturan antara pohon pendonor serbuk sari dengan
penerima serbuk sari mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh serangga
polinator. Persentase penyerbukan silang induk betina kelapa Dalam kopyor,
kelapa Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor berurutan adalah 100%, 72.73%
dan 82.14%. Penyerbukan sendiri pada induk betina kelapa Dalam kopyor, kelapa
Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor berurutan adalah 0%, 27.27% dan
17.86%. Pohon normal mendonorkan serbuk sari ke kelapa kopyor sebanyak
8.33%. Kehadiran pohon kelapa yang berbuah normal yang berada di sekitar
pohon kelapa berbuah kopyor memiliki peluang untuk mengurangi produksi buah
kopyor.
Kata kunci : kelapa Genjah, kelapa Dalam, kemiripan genetik, penyerbukan,
struktur genetik
SUMMARY
RINI ISMAYANTI. Genetic Similarity and Pollen Dispersal Analysis on Pati
Kopyor Coconut Population Based on SSR and SNAP Marker Analysis.
Supervised by DEWI SUKMA and SUDARSONO.
Pollination of female flower of kopyor coconut by male pollen of normal
coconut could result in reduced kopyor fruit yield. Therefore, investigating
pattern of pollen dispersal in a mix population of kopyor and normal coconut
provenances would be beneficial. Moreover, evaluating genetic similarity among
the studied population and their progenies would also beneficial for predicting
the quality of produced seed nuts. The objectives of this experiment were : (1) to
evaluated genetic similarity of the kopyor coconut parents population and their
progenies, (2) to evaluate pattern of pollen dispersal among mix population of
kopyor and normal fruit producing coconut in Pati, Central Java, (3) evaluated
relevancy of pollen dispersal among mix population with their kopyor fruit yield.
There were 95 adult palms evaluated as male parent candidate and 84 seeds
harvested from 15 selected female parents as progeny population. The female
parents were selected based on their high productivity from field evaluation. All
population was used for genetic structure and similarity analysis and also pollen
dispersal. Every adult palms were numbered using a marker and noted for the
coordinate position using GPS. This research consisted of two stages, the first
analyzed of genetic similarity among individual of adult plants and their
progenies, and the second analyzed the pollen dispersal using molecular markers
SSR and SNAP.
The analyses of the genetic similarities were initiated with primer screening.
Among 36 SSR loci tested, 32 loci resulted in a (+) product when they were used
to amplify coconut DNA and only CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87 and
CnCir_56 resulted in polymorphic SSR markers. Moreover, SNAP locus
corresponding to position 14 of SNP of coconut sucrose synthase gene were also
used. These loci were used to genotype candidate parents and progenies
population. Results of the experiment indicated the average of allele per locus and
average of PIC were 4.5 and 0.46, respectively. Cluster analysis using DICE
coefficient based on molecular data resulted in an estimate of intra population of
adult palms similarity and intra population of progenies were at least 18% and
43%, respectively. Intra population of progenies were more closely related than
intra population of adult palms. Results of STRUCTURE analysis grouped most of
the individuals into either Tall, Dwarf or Hybrid types, as they were suspected
based on the morphology of the palms. However, a number of individuals grouped
as Tall, and some as Dwarf based on their morphology, were actually identified
as Hybrids based on alleles constitutions of the evaluated markers.
The objectives of the second experiment were to evaluate pollen dispersal
among coconut provenances using SSR and SNAP markers and its effects on
kopyor fruit yield. Four SSR markers and one SNAP marker were used to
genotype 95 provenances and 84 progenies harvested from 15 female parents.
Parent-offspring relationships were determined based on genotype data using
CERVUS software. The distances between male and female parents trees were
calculated based on the GPS data after male parents identification. Results of the
experiment indicated self-pollinations occurred in a number o sampled female
parents since the distance of pollen dispersal was 0 m. Meanwhile, the furthest
distance of pollen dispersal was 61.8 m. On the other hand the majority of
pollination occurs at a distance of 0-10 m (33.3%).
In term of pollen dispersal, the position of donor pollen relative to the
recipient one was random. This indicated that the coconut pollen dispersal in the
regions was not transferred by wind but probably was by insect pollinators help.
Outcrossing rate in Tall, Dwarf and Hybrid type of coconuts were calculated as
100%, 72.7% and 82.1%, respectively. Therefore, levels of self-pollination in Tall,
Dwarf and Hybrid coconut were 0%, 27.3% and 17.9%. There was a normal
coconut in the region donating its pollen to kopyor female parents at the level of
8.3%. The existence of normal coconut palms around the kopyor coconut one
might possibly reduce the kopyor fruit yield.
.
Keyword: dwarf coconut, genetic similarity, genetic structure, pollination, tall
coconut
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEMIRIPAN GENETIK DAN POLA PENYEBARAN SERBUK
SARI POPULASI KELAPA KOPYOR BERDASARKAN
ANALISIS MARKA SSR DAN SNAP
RINI ISMAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si
Judul Tesis : Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi
Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP
Nama
: Rini Ismayanti
: A253100031
NIM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
~
Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si
Ketua
Prof. Dr. IT. Sudarsono, M.Sc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman
Tanggal Ujian: 26 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Tanggal Lulus:
2 3 OCT 2013
Judul Tesis : Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi
Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP
Nama
: Rini Ismayanti
NIM
: A253100031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si
Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 26 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia, kekuatan, kemudahan serta rahmat-Nya sehingga penelitian dan
penulisan tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul
Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor
Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP ini merupakan tugas akhir penulis
untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dewi Sukma, SP., M.Si dan Prof.
Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc selaku pembimbing atas bimbingan, motivasi dan
arahannya selama perencanaan, pelaksanaan serta penulisan tesis ini. Terima kasih
kepada proyek penelitian KKP3T 2011 yang berjudul “Peningkatan Persentase
Buah Kopyor (75%) Melalui Pemuliaan Tanaman dan Deteksi Dini Bibit Kelapa
Kopyor dengan Marka Molekuler” di bawah koordinasi Prof. Dr. Ir. Sudarsono,
M.Sc atas pendanaan dan bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.
Terima kasih juga diucapkan kepada Bapak Ir. Ismail Maskromo, M.S atas
bantuan, masukan, dan sharingnya selama penelitian. Terima kasih pada temanteman Pascasarjana program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
angkatan 2010 atas kekompakan, kerjasama serta dukungan dan semangatnya.
Kepada rekan-rekan dan teknisi di Plant Molecular Biology Laboratorium (PMB
Lab) yang banyak membantu dalam kegiatan penelitian ini juga diucapkan terima
kasih. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada kedua
orang tua Bapak Dr. Mappaganggang Sodding Pabbage, MS dan Ibu dr.Isdiana
Kaelan, Sp.Rad adik-adik tercinta Akhmad Setiadi dan Cynthia Balqis, serta
keluarga besar atas semangat dan doanya sehingga pendidikan ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada
umumnya.
Bogor, Oktober 2013
Rini Ismayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK POPULASI KELAPA KOPYOR
KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
11
12
13
17
28
4 ANALISIS PENYEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR PATI
MENGGUNAKAN MARKA SSR DAN SNAP
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
31
32
32
35
44
5 PEMBAHASAN UMUM
47
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
50
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
77
DAFTAR TABEL
2.1
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2
4.3
Perbandingan tampilan fisik dari beberapa sampel kelapa
Contoh skoring data biner dan data genotipe berdasarkan hasil
amplifikasi lokus CnCir_56 pada Gambar 3.1
Profil primer menggunakan marka SSR dan SNAP
Perbedaan data morfologi dan data molekuler terhadap tipe kelapa
Persentase penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang kelapa
berbuah kopyor berdasarkan jenis induk betinanya
Rata-rata produktifitas buah kelapa kopyor yang digunakan sebagai
tetua betina di Pati pada bulan Juni 2011
Kontribusi serbuk sari dan persentase produksi buah kelapa kopyor
6
16
19
27
41
43
43
DAFTAR GAMBAR
1.1
Bagan alir kegiatan penelitian analisis penyebaran serbuk sari kelapa
kopyor Pati
2.1 Perbedaan fenotipik endosperma antara buah kelapa kopyor dan buah
kelapa normal
3.1 Perbedaan pola pita polimorfik pada lokus CnCir_56 dan pita
monomorfik pada lokus CnCir_K8
3.2 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_56 (230–180 bp)
3.3 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_86 (188-163bp)
3.4 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_87 (158-170bp)
3.5 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_B12 (151- 198 bp)
3.6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SNP pada posisi 14 gen
SUS1
3.7 Dendrogram kemiripan genetik pada 95 individu tanaman kelapa
dewasa pada populasi kelapa kopyor Pati
3.8 Dendrogram kemiripan genetik pada 84 bibit pada populasi progeni
dari sejumlah induk betina kelapa berbuah kopyor
3.9 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa menggunakan
STRUCTURE dengan K=2
3.10 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa dan progeninya
menggunakan STRUCTURE dengan K=2
4.1 Peta sebaran pohon induk betina dan pohon kelapa dewasa lainnya
sebagai kandidat tetua jantan
4.2 Visualisasi primer CnCir_56 marka SSR pada induk betina dan
progeninya
4.3 Visualisasi primer situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1 marka SNAP
4.4 Representasi pola penyerbukan pohon induk 67
4.5 Persentase penyerbukan yang terjadi berdasarkan jarak antara pohon
induk jantan dengan pohon induk betina
4.6 Tipe bibit kelapa berdasarkan jenis tetua jantan dan betina yang
terdeteksi
3
5
16
17
17
18
18
18
22
23
25
26
36
37
37
39
40
41
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Pembuatan Larutan Stok untuk analisis molekuler
Daftar 36 primer SSR yang digunakan
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni
yang dianalisis pada pohon induk betina no.37
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk lima
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.39
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni
yang dianalisis pada pohon induk betina no.44
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 51
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni
yang dianalisis pada pohon induk betina no. 53
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni
yang dianalisis pada pohon induk betina no. 58
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 59
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk sembilan
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.68
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.69
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk delapan
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.84
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.85
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.88
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh
progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.89
Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni
yang dianalisis pada pohon induk betina no.92
59
61
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
1
PENDAHULUAN
Kelapa kopyor adalah kelapa mutan yang merupakan salah satu komoditas
perkebunan Indonesia bernilai ekonomi tinggi. Ciri dari kelapa kopyor adalah
memiliki endosperma bertekstur lunak dan tidak melekat pada tempurungnya
(Santoso 1996). Sifat tersebut menyebabkan timbulnya suara khas apabila kelapa
kopyor diguncang.
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, merupakan sentra produksi kelapa kopyor
terbaik di Indonesia karena di daerah tersebut telah tumbuh dan berkembang
kelapa Genjah berbuah kopyor. Kementrian Pertanian Republik Indonesia pada
tahun 2010 telah melepas tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah kopyor Pati.
Varietas tersebut adalah kelapa kopyor Genjah Hijau Pati, kopyor Genjah Kuning
Pati dan kopyor Genjah Cokelat Pati (Maskromo et al. 2011a).
Permasalahan dalam pengembangan kelapa kopyor adalah penyediaan bibit
kelapa kopyor yang berkualitas dan terjamin keasliannya dalam jumlah banyak.
Hal ini terkait dengan belum tersedianya teknologi untuk membedakan bibit
kelapa berbuah kopyor atau yang berbuah normal. Hasil observasi menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan secara morfologi antara pohon kelapa berbuah normal
dan pohon kelapa berbuah kopyor (Maskromo 2005).
Permasalahan lain adalah rendahnya kuantitas hasil buah kopyor yang
dipanen. Akibatnya produksi buah kelapa kopyor masih belum dapat memenuhi
kebutuhan konsumen. Pertanaman kelapa berbuah kopyor di Indonesia umumnya
masih ditanam bersama dengan kelapa normal dari jenis kelapa Dalam, Genjah,
dan Hibrida. Adanya kelapa berbuah normal di antara pertanaman kelapa berbuah
kopyor diduga berpotensi mempengaruhi produktivitas buah kopyor yang dipanen
(Sudarsono et al. 2012). Keberadaan pohon dewasa kelapa Dalam berbuah normal
yang cenderung menyerbuk silang (Pandin 2009), diduga dapat berpengaruh
negatif terhadap produksi buah kopyor. Pohon tersebut dapat menyebarkan serbuk
sari pembawa sifat buah normal ke bunga betina pada pohon kelapa berbuah
kopyor. Akibat dari penyerbukan seperti itu adalah diperolehnya buah kelapa
normal (Sudarsono et al. 2012).
Evaluasi penyebaran serbuk sari (pollen dispersal) pada pertanaman kelapa
kopyor perlu dilakukan berdasarkan berbagai hal tersebut. Arah penyebaran
serbuk sari dapat memberikan informasi vektor apa yang membantu penyerbukan
pada pohon kelapa kopyor. Jarak antara pohon tetua jantan dengan tetua betina
juga dapat mengindikasikan vektor yang berperan dalam penyerbukan.
Penyebaran serbuk sari dapat dipelajari dengan metode pewarnaan serbuk
sari (Blair dan Williamson 2010) atau menggunakan marka molekuler (Austerlitz
et al. 2004). Marka molekuler yang telah digunakan dalam analisis penyebaran
serbuk sari adalah marka RAPD pada Ilex paraguariensis (Cansian et al. 2010)
dan marka SSR (Single Sequence Repeat) pada tanaman Hymenaea courbaril
(Carneiro et al. 2011), tanaman pinus (Feng et al. 2010) dan kelapa (Pandin et al.
2009). Marka SSR sering digunakan karena mempunyai keunggulan yaitu sifatnya
kodominan, polimorfismenya tinggi, lokusnya tersebar di dalam genom dalam
jumlah banyak (Lowe et al. 2004) dan sampel DNA yang dibutuhkannya sedikit
karena dalam melakukan deteksi menggunakan PCR (Polimerase chain reaction)
2
yang dapat menggandakan DNA target (Semagn et al. 2006). SNAP merupakan
marka yang berbasis perbedaan basa nukleotida tunggal dari sekuens DNA pada
umumnya. Marka SNAP memiliki keuggulan dibanding dengan marka SSR yaitu
dapat mendeteksi variasi dalam sekuens DNA yang berkorelasi dengan perbedaan
fenotipe tanaman (Manju dan Arunachalam 2011). Marka SNAP telah digunakan
sebagai penanda genetik pada padi (Lestari 2013), jagung (Mammadov 2010) dan
Beta vulgaris (Mohring et al. 2004).
Tujuan Penelitian
1)
2)
3)
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
Mendapatkan informasi mengenai kemiripan genetik individu-individu
tanaman kelapa dalam satu populasi.
Memperoleh pola penyebaran serbuk sari pada kelapa berbuah kopyor dan
kelapa berbuah normal dalam satu areal pertanaman berdasarkan data marka
SSR dan SNAP.
Mengevaluasi keterkaitan antara penyebaran serbuk sari dengan
produktivitas buah kopyor.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi
kepada petani mengenai efek keberadaan pohon kelapa berbuah normal di dalam
pertanaman pohon kelapa berbuah kopyor sehingga diharapkan dapat dirumuskan
rekomendasi pengelolaan kebun induk penangkaran kelapa kopyor. Rangkaian
kegiatan dalam penelitian ini secara umum digambarkan dalam bagan alir pada
Gambar 1.1.
3
Gambar 1.1 Bagan alir kegiatan penelitian analisis penyebaran serbuk sari kelapa
kopyor Pati
4
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Kelapa
Kelapa anggota familia Palmaceae atau Arecaceae, memiliki banyak arti
penting dalam kehidupan manusia karena semua organ tanaman ini dapat
dimanfaatkan (Novarianto 2008). Ciri-ciri pohon kelapa menurut Chan dan
Elevitch (2006) adalah memiliki batang tunggal dan beruas dengan tinggi
mencapai 30 m dan diameter kanopi 8-9 m. Akar berbentuk serabut, tebal,
berkayu dan adaptif pada lahan berpasir pantai. Daun tersusun secara majemuk
dan menyirip sejajar tunggal, pelepah terletak pada ibu tangkai daun, duduk pada
batang (roset batang). Warna pada tangkai daun (petiole) mengindikasikan warna
buah pada kelapa. Bunga kelapa merupakan bunga majemuk yang dilindungi oleh
spatha. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu tangkai utama yang disebut
spadix, setiap spadix terdiri atas 40-60 cabang (spikelet) dengan ribuan bunga
jantan. Letak bunga bunga betina terletak di pangkal, sedangkan bunga jantan di
bagian atas bunga betina hingga ujung spikelet. Buah kelapa memiliki tiga
lapisan, yaitu eksokarp (kulit tipis terluar yang memiliki lapisan lilin) berwarna
kuning, hijau, jingga atau coklat, mesokarp berupa lapisan serat yang lebih tebal
atau sering disebut sabut (husk), dan endokarp yang keras disebut batok (shell),
yang melindungi biji. Endokarp dan biji hanya dipisahkan oleh membran yang
melekat pada sisi dalam dari endokarp. Biji kelapa memiliki tiga mikrofil
(micropyle) dan hanya satu yang mengindikasikan keberadaan embrio. Embrio
kelapa berukuran kecil dan akan membesar ketika buah siap untuk berkecambah.
Endosperma biji kelapa terdiri atas endosperma cair yang mengandung banyak
enzim dan endosperma fase padat yang mengendap pada dinding endokarp ketika
buah menua (kernel).
Tanaman kelapa menurut Maskromo et al (2007b) dibagi dalam dua tipe
yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Masing-masing tipe memiliki karakteristik
yang berbeda. Kelapa Dalam memiliki ciri khas batang besar, mempunyai bol
(pembengkakan) pada pangkal batang, mulai berbunga pada umur 5-7 tahun, buah
berukuran cukup besar tetapi jumlahnya sedikit. Kelapa Genjah memiliki batang
lebih kecil dibanding kelapa Dalam, tidak memiliki bol, mulai berbunga pada
umur 3-4 tahun, buah berukuran lebih kecil dan banyak. Karakteristik kelapa
Dalam dan kelapa Genjah juga dimiliki oleh kelapa kopyor.
Kelapa Kopyor
Hasil penelitian Maskromo (2005) menyatakan bahwa kelapa berbuah
kopyor dari segi morfologi sama dengan tanaman kelapa lainnya, yang
membedakan adalah bagian endospermanya (Gambar 2.1). Maskromo et al.
(2007) mengatakan buah kelapa kopyor hanya bisa dipastikan setelah buah
dipanen dengan cara mengguncang buah kelapanya. Pada saat diguncang, kelapa
5
kopyor akan menghasilkan bunyi yang kurang nyaring dibanding kelapa normal,
karena sebagian atau seluruh endosperma fase padatnya sudah lepas dari
tempurungnya. Buah kopyor juga dapat diidentifikasi dengan ketukan, tetapi
memerlukan keterampilan khusus untuk dapat melakukannya. Tukang ketuk
kelapa yang sudah ahli dalam identifikasi buah kopyor disebut “tukang totok”.
Tingkat akurasi penentuan buah kopyornya dapat mencapai 99% (Sudarsono et al.
2012). Buah dengan sifat kopyor dihasilkan dari pohon kelapa tertentu yang
sebagian besar buahnya mempunyai endosperma normal dan sebagian kecil
abnormal (kopyor) (Wahyuni 2000). Pohon kelapa kopyor hanya mempunyai
buah kelapa kopyor dengan frekuensi antara 3-4 buah kopyor per tandan.
Abnormalitas endosperma kelapa kopyor bersifat genetik dan dikendalikan
oleh gen mutan resesif (Santos 1999). Sifat kopyor dibawa oleh pasangan alel
resesif, yaitu 50% dari induk betina dan 50% dari induk jantan. Buah kopyor akan
terbentuk jika terjadi penyerbukan antara polen dan stigma yang masing-masing
membawa alel resesif penentu sifat kopyor. Sifat kopyor secara genetik ditentukan
oleh kontribusi genetik endosperma (induk betina) dan serbuk sari (induk jantan)
(Tahardi 1997).
Ea
A
En
B
Gambar 2.1 Perbedaan fenotipik endosperma antara (a) buah kelapa kopyor dan
(b) buah kelapa normal. Ea=endosperma abnormal pada buah kelapa
kopyor. En=endosperma normal pada buah kelapa normal.
6
Tabel 2.1. Perbandingan tampilan fisik dari beberapa sampel kelapa
Air
Daging buah
Volume
Ketebalan Berat
pH
(ml)
(mm)
(g)
3.0 ± 0.2
56.0 ± 0.0
553 ± 23 4.7
1–3
77.2
KM
2.5 ± 0.0
61.8 ± 0.8
385 ± 51 5.2
10.1
359
KT
2.3 ± 0.4
61.0 ± 2.0
416 ± 15 5.9
392
KK
Keterangan : KM=kelapa muda; KT=kelapa tua; KK=kelapa kopyor (Santoso et
al. 1996).
Sampel
Berat (kg)
Diameter
(cm)
Perbandingan berat buah, diameter buah, volume air dan ketebalan
endosperma pada buah kelapa normal dengan buah kelapa kopyor dapat dilihat
pada Tabel 2.1. Perbedaan tidak hanya terjadi pada fenotipe endosperma antara
kelapa kopyor dengan kelapa normal, tetapi juga pada senyawa-senyawa kimia
yang dikandungnya. Air kelapa kopyor memiliki kandungan sukrosa yang tinggi
(60.8%), sedangkan pada air kelapa muda normal hanya memiliki glukosa dan
fruktosa sebagai gula utamanya. Vitamin B dan vitamin C pada endosperma
kelapa kopyor lebih tinggi dibanding pada endosperma kelapa normal yang tua,
tetapi lebih rendah dibanding endosperma kelapa normal yang masih muda. Asam
amino total pada air kelapa kopyor lebih tinggi dibanding dengan kelapa normal
(Santoso et al. 1996).
Sistem Penyerbukan Kelapa
Penyerbukan atau polinasi adalah jatuhnya serbuk sari dari kotak sari
(antera) ke kepala putik (stigma) dalam satu bunga atau bunga yang berbeda.
Penyerbukan tumbuhan dapat terjadi secara biotik dan abiotik. Penyerbukan biotik
terjadi dengan bantuan hewan, sedangkan penyerbukan abiotik terjadi dengan
bantuan angin, air dan gravitasi (Liverdi 2008). Jarak penyebaran serbuk sari pada
tanaman yang menyerbuk sendiri (autogamy) lebih rendah dibandingkan dengan
tanaman menyerbuk silang (Boer 2007).
Tipe penyerbukan kelapa dibedakan menjadi empat berdasarkan letak dan
periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan (Sangare et al. 1978), yaitu
(1) tipe penyerbuk silang (strict allogamy) cirinya adalah tidak ada masa tumpang
tindih antara masa reseptif dan antesis baik dalam tandan yang sama maupun
dalam tandan yang berbeda dalam satu pohon. (2) tipe menyerbuk sendiri tidak
langsung (indirect autogamy) cirinya adalah periode reseptif bunga betina pendek
sehingga tidak ada tumpang tindih periode reseptif dan antesis dalam tandan yang
sama, tetapi terjadi tumpang tindih masa antesis dan reseptif dengan tandan
berikutnya. (3) tipe menyerbuk sendiri (direct autogamy) cirinya adalah periode
reseptif bunga betina dan antesis pada bunga jantan tumpang tindih dalam tandan
yang sama. (4) tipe menyerbuk sendiri semi tidak langsung (semi indirect
autogamy) cirinya adalah teradi tumpang tindih antara masa reseptif dan antesis
pada tandan yang sama maupun pada tandan berikutnya.
7
Kelapa Dalam pada umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang, oleh
karena itu tampilannya sangat beragam (Pandin 2009a). Kelapa Dalam memiliki
bunga jantan yang matang lebih dulu dibanding bunga betina. Bunga betina siap
diserbuki ketika bunga jantan umumnya sudah rontok sehinga terjadi penyerbukan
silang (Heliyanto, 2010). Kelapa Genjah pada umumnya memiliki pola
penyerbukan sendiri meskipun masih memungkinkan terjadinya penyerbukan
silang sehingga menyebabkan tingginya tingkat kemiripan genetik pada kelapa
Genjah (Hannum et al. 2003). Bunga betina dan bunga jantan pada kelapa Genjah
masak secara bersamaan sehingga peluang untuk menyerbuk sendiri sangat besar
(Heliyanto, 2010).
Penelitian Ramirez et al. (2004) menyatakan sebanyak 59% penyerbukan
kelapa dibantu oleh serangga lebah madu. Lebah membantu proses penyerbukan
silang, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman budidaya. Potensi ini
dimanfaatkan dengan cara meletakkan koloni lebah pada areal tanaman budidaya
yang daya serbuknya rendah. Perpindahan lebah dari satu bunga ke bunga yang
lain mempercepat proses polinasi karena serbuk sari banyak menempel pada kaki
dan perut dari lebah (Liferdi 2008).
Penanda Genetik
Penanda (marka) genetik dikenal ada tiga macam, yaitu marka morfologi,
marka biokimia (isozim), dan marka DNA (molekuler) (Liu dan Wu 1998).
Penanda biokimia (isozim) pada kelapa telah digunakan untuk studi keragaman
(Novarianto dan Hartana 1995). Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan
morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan
atau fase perkembangan dari tanaman (Iriani 2011).
Penanda molekuler pertama tanpa aplikasi PCR mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980-an, yaitu RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)
(Schulman 2007). Setelah itu muncul penanda yang menggunakan aplikasi PCR,
yaitu RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Marka RAPD memiliki
kekurangan yaitu tidak dapat membedakan lokus heterozigot dengan homozigot.
Setelah itu berkembang mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) pada
tahun 1990 (Semagn, 2006). Sebuah penanda yang ideal seharusnya memiliki
tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengukur
keragaman genetik dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan; marka tersebar
merata di seluruh genom; marka dapat mendeteksi perbedaan nukleotida dan
dapat diwariskan dari tetua ke progeninya (Lowe et al. 2005).
Semagn (2006) menyatakan bahwa penanda molekuler secara garis besar
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan metode deteksinya, yaitu (i) Marka
berbasis hibridisasi seperti RFLP, (ii) Marka berbasis PCR, seperti RAPD, AFLP,
ISSR, SSR, dan (iii) Marka berbasis sekuens DNA seperti SNP.
Manfaat marka molekuler dalam pemuliaan adalah lebih mengefisienkan
pemuliaan konvensional. Seleksi dapat dilakukan lebih awal serta langsung pada
sifat yang diinginkan jika marka tersebut terpaut dengan sifat tertentu (Azrai
8
2006). Identifikasi perbedaan individu tanaman dapat menggunakan marka
molekuler untuk perlindungan kultivar tanaman (Pabendon 2007).
Simple sequence repeats (Mikrosatelit)
Pengulangan ruas basa DNA diklasifikasikan berdasarkan panjang dan
jumlah ruas berulang di dalam genom yang dapat berupa : (1) DNA Satelit, adalah
DNA yang memiliki pengulangan sangat tinggi biasanya antara 1000–100.000
kopi, sering berada pada bagian heterokromatin; (2) Minisatelit, memiliki
pengulangan yang lebih sedikit yaitu 10–60 pasang basa; (3) Mikrosatelit (SSR),
disebut juga fragmen berulang sederhana atau fragmen berulang sederhana,
memiliki pengulangan lebih pendek pada 1-6 pasang basa, terdistribusi lebih
banyak pada lokus genom; (4) Midisatelit, memiliki ruas berulang yang
merupakan kombinasi dari satelit dan minisatelit (Pandin 2009b).
Simple sequence repeats juga dikenal dengan mikrosatelit terdiri atas
pengulangan beberapa basa nukleotida, berupa dinukleotida, trinukleotida, atau
tetranukleotida, yang tersebar disepanjang genom kebanyakan spesies eukariotik
(Powell 1996). Jumlah pengulangan nukleotida berkisar antara 5-40 kali (Selkoe
dan Toonen 2006) atau kurang dari 100 kali (Karp et al. 1997). Panjang
pengulangan ini bervariasi tergantung individu/varietas dan diwariskan kepada
generasi berikutnya. Motif pengulangan nukleotida yang paling banyak ditemukan
pada manusia adalah AC atau TC, sedangkan pada tanaman adalah AT, AG, dan
TC (Powell 1996).
Kelebihan marka mikrosatelit adalah jumlahnya yang banyak di dalam
genom tanaman, bersifat polimorfik, mudah dideteksi dengan PCR, waktu deteksi
yang dibutuhkan singkat, bersifat co-dominan, dan membutuhkan DNA dalam
jumlah sedikit. Marka mikrosatelit mampu membedakan individu yang
heterozigot maupun dan homozigot (Wright dan Benzen 1994).
Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam melakukan analisis marka
molekuler. Tahap kegiatan berikutnya dilanjutkan dengan amplifikasi PCR.
Amplifikasi PCR pada SSR menggunakan primer forward dan reverse khusus
yang akan menempel pada suhu annealing tertentu pada template DNA. Fragmen
hasil PCR kemudian dapat dipisahkan dengan teknik elektroforesis menggunakan
gel poliakrilamid. Deteksi DNA dilakukan dengan pewarnaan silver atau dengan
menggunakan sistem deteksi fluorescent. Gel poliakrilamid memiliki resolusi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel agarose (Semagn 2006).
Single nucleotide amplified polymorphism (SNAP)
Marka SNAP saat ini merupakan marka DNA yang lebih popular. Marka
SNAP menggantikan marka SSR sebagai pilihan utama dalam beberapa aplikasi
dalam pemuliaan tanaman dan genetik. Marka SNAP jumlahnya melimpah, stabil,
lebih efisien, dan lebih hemat biaya. SNP (Single nucleotide polymorphism)
adalah perubahan posisi spesifik satu atau dua basa nukleotida yang sifatnya
melimpah dalam genom eukariot. Perbedaan basa nukleotida diduga berpengaruh
terhadap sifat fenotipik pada tiap-tiap individu (McCouch et al. 2010). Jumlah
9
SNP yang melimpah membuat marka SNAP lebih menarik dibanding marka
lainnya, termasuk dalam mengembangkan penanda bagi gen target tertentu
(Lestari dan Koh 2013).
Deteksi marka SNAP yang bersifat ko-dominan, berdasarkan pada
amplifikasi PCR dengan primer yang berbasis pada informasi sekuen untuk gen
spesifik. Keunggulan teknik SNAP adalah lebih mudah dan lebih hemat waktu
dibandingkan dengan teknik SSR (Yang et al. 2011). Marka SNAP juga memiliki
tingkat kesalahan yang lebih rendah dibandingkan dengan marka SSR. Marka
SNAP saat ini telah digunakan sebagai penanda genetik untuk berbagai fungsi
pemuliaan tanaman, misalnya analisis keragaman genetik, pembuatan linkage
map, dan Marker Assisted Selection (Chen et al. 2011). Kelemahan dari teknik
SNAP adalah memerlukan informasi keragaman sekuen untuk suatu gen yang
menjadi target analisis (Mammadov et al. 2012).
Makapuno adalah salah satu kelapa unik yang juga memiliki endosperma
yang abnormal. Endosperma makapuno lebih tebal dan lembut serta fase cairnya
sangat kental sepeti oli. Hal tersebut disebabkan oleh terdegradasinya
galaktomanan oleh α-D-galaktosidase (Samonthe 1988). Sintesis sukrosa sejalan
dengan proses degradasi galaktomanan menjadi manosa dan galaktosa, sehinga
enzim sucrose synthase (SUS) diduga mempengaruhi morfologi endosperma pada
kelapa kopyor. Keragaman DNA dari gen SUS dapat digunakan untuk
menghasilkan marka SNAP dan dievaluasi untuk menduga keragaman genetik
pada kelapa kopyor (Sukendah 2007).
Penyebaran Serbuk Sari
Aliran gen atau gene flow adalah proses transfer informasi genetik melalui
penyebaran serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan melalui penyebaran benih
(migrasi) (Mallet 2001). Aliran gen merupakan proses yang alami yang terjadi
pada tanaman yang menyebabkan gen-gen dalam tanaman berpindah. Proses
aliran gen dapat terjadi pada tanaman yang memiliki keserasian secara seksual
antara tanaman domestik maupun kerabat liarnya (Pandin 2009). Analisis aliran
gen melalui serbuk sari dalam suatu populasi dapat digunakan untuk menduga
apakah terjadi perkawinan antara tanaman yang berbeda (outcrossing) atau
dengan tanaman yang sama (selfing) (Boer, 2007).
Hamrick dan Trapnell (2011) mengatakan bahwa pola penyebaran biji dapat
dianalisis menggunakan dua metode, yaitu :
a.
Metode tak langsung meliputi analisis struktur genetik populasi
menggunakan marka genetik yang diwariskan secara maternal misalnya
menggunakan cpDNA (DNA kloroplas) dan mtDNA (DNA mitokondria)
dalam satu populasi.
Metode langsung menggambarkan pola penyebaran biji menggunakan
b.
marka molekuler untuk mengidentifikasi induk dari biji atau analisis
parental. Analisis metode langsung dibagi menjadi dua yaitu analisis induk
jantan dan betina dari biji dan analisis kecocokan antara induk jantan
dengan induk betina terhadap keturunannya.
10
Sistem perkawinan pada tanaman dapat diketahui melalui analisis pola
penyebaran serbuk sari. Penelitian Carneiro et al. (2011) menyatakan bahwa
tanaman Hymenaea coubaril melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut
bertentangan dengan penelitian sebelumnya oleh Dunphy et al. (2004) yang
menyatakan bahwa H. coubaril memiliki ketidaksesuaian secara seksual (self
incompability). Penebangan pohon H. coubaril secara bebas dalam areal
perhutanan dapat mengakibatkan berkurangnya pohon yang reproduktif. Kondisi
tersebut mengakibatkan tanaman terisolasi, sehingga persentase penyerbukan
sendiri dapat meningkat (Carneiro et al. 2011).
Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan
sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu
organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme
mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke
keturunannya melalui pertukaran gamet dan hal ini akan menghasilkan
rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat
diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana
setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet (Pandin 2009).
11
ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK POPULASI KELAPA
KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER
Abstract
Kopyor coconuts is an exotic coconut originated from Indonesia. Pati,
Central Java is one of the kopyor coconut producing areas in Indonesia. This
research was conducted to evaluate genetic similarity among accessions of
kopyor and normal coconut provenances existed in the region. Four SSR loci and
one SNAP locus (SNP #14 of SUS1) were selected to access genetic variability
among provenances after evaluating 36 SSR and 4 SNP loci. The materials
evaluated include 95 accessions of a mixture of normal and kopyor coconut
producing adult palms, consisted of Tall, Dwarf and Hybrid types and their 84
progenies. It harvested from 15 randomly selected female parents from the same
gardens. Results of the experiment indicated the average of allele per locus and
PIC number was 4.5 and 0.46, respectively. Cluster analysis using UPGMA based
on molecular data resulted in an estimate of female similarity intra adult
population and intra progenies population were at least 18% and 43%,
respectively. That intrapopulation of progenies were more closely related than
intrapopulation of adult palms. Results of STRUCTURE analysis were grouped
most of the individuals into either Tall, Dwarf or Hybrid types, as they were
suspected based on the morphology of the palms. However, a number of
individuals grouped as Tall, and some as Dwarf based on their morphology, were
actually identified as Hybrids based on alleles constitutions of the evaluated
markers.
Keyword : genetic distance, genetic structure, mutan coconut, SNAP Marker, SSR
Marker
12
Pendahuluan
Kelapa di Indonesia memiliki beberapa keunikan yang menjadi daya tarik
tersendiri. Kelapa eksotik yang ada di Indonesia antara lain adalah kelapa lilin
yang endospermanya agak kenyal, kelapa kenari yang endospermanya renyah dan
manis, kelapa hijau yang sabutnya berwarna merah muda, serta kelapa kopyor
yang memiliki endosperma yang terlepas dari tempurungnya (Maskromo 2013).
Jumlah tanaman kelapa kopyor sangat terbatas karena merupakan hasil
mutasi alami (Maskromo 2005). Keterbatasan jumlah serta tingginya permintaan
masyarakat meningkatkan harga jual buah kelapa kopyor. Tanaman kelapa kopyor
dilaporkan ditemukan di daerah tertentu seperti Pati, Sumenep, Jember,
Banyuwangi (Sukendah 2009), Tangerang, Ciomas, dan Kecamatan Kalianda
Lampung Selatan (Maskromo 2005).
Buah kelapa mutan dengan fenotipik endosperma abnormal juga dilaporkan
di beberapa negara. Di Filipina dikenal kelapa mutan dengan nama macapuno dan
di Thailand dengan nama dikiri (Maskromo 2005). Kelapa tersebut memiliki
endosperma bertekstur menyerupai kelapa lilin dan rasanya kurang manis
sehingga kurang diminati oleh konsumen. Kelapa kopyor memiliki perbedaan
pada endospermanya yang lembut serta rasa yang manis, sehingga kelapa kopyor
lebih disukai. Kelapa kopyor menjadi buah eksklusif dengan harga jual di
pedagang pengumpul berkisar antara Rp.20.000–Rp.30.000/buah sedangkan di
pasar swalayan bisa mencapai Rp.50.000/buah.
Kelapa dibagi menjadi tiga tipe, yaitu kelapa Dalam, kelapa Genjah dan
kelapa Hibrida. Ciri kelapa Dalam adalah memiliki tinggi di atas 15 m dan bagian
pangkal batang membesar (bole). Kelapa tipe Genjah pada umumnya memiliki
batang pendek berkisar 12 meter dan agak kecil, tidak memiliki bole (Pandin
2009). Kelapa Hibrida merupakan gabungan sifat antara kelapa Genjah dengan
kelapa Dalam.
Jenis kelapa Genjah maupun kelapa Dalam berpeluang untuk menghasilkan
buah kopyor (Maskromo et al. 2007). Populasi kelapa penghasil buah kopyor di
Pati sangat beragam jenisnya mulai dari kelapa Genjah berbuah kopyor, kelapa
Dalam berbuah kopyor, bahkan terdapat kelapa Hibrida alami yang berbuah
kopyor (Sudarsono et al. 2012). Kelapa penghasil buah kopyor yang
dikembangkan di beberapa daerah umumnya berjenis kelapa Dalam yang
memiliki persentase produksi buah kopyor yang rendah 2-10% (Maskromo dan
Novarianto 2007). Kelapa Genjah penghasil buah kopyor telah berkembang sejak
puluhan tahun yang lalu di Kabupaten Pati (Maskromo et al. 2011a).
Marka molekuler adalah suatu penanda berbasis DNA yang bermanfaat
dalam mengidentifikasi perbedaan tanaman secara individu melalui profil unik
secara alelik. Profil dan similaritas genetik setiap genotipe dapat dilakukan
langsung melalui analisis DNA (Azrai 2006). Marka SSR menarik dikembangkan
khususnya pada spesies yang menunjukkan variasi genetik rendah, pada populasi
inbred dan populasi yang diperoleh dari daerah-daerah berdekatan sehingga sulit
dipilah-pilah dengan pendekatan lain (Saptahadi et al. 2011).
Kemiripan genetik antara kelapa Genjah penghasil kopyor dengan kelapa
Dalam dan kelapa Hibrida penghasil buah kopyor dapat diketahui dengan analisis
DNA menggunakan marka molekuler berdasarkan uraian sebelumnya. Tujuan
13
penelitian ini adalah (1) Menganalisis kemiripan genetik pada populasi kelapa
berbuah kopyor di Pati, Jawa Tengah serta populasi progeninya menggunakan
marka SSR dan SNAP. (2) Menganalisis struktur genetik kelapa tipe Dalam,
kelapa tipe Genjah, dan kelapa tipe Hibrida.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 hingga Januari 2013.
Sampel tanaman diambil pada bulan Juli 2011di Desa Sambiroto, Kabupaten Pati,
Jawa Tengah. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler
Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Bahan Tanaman
Materi genetik penelitian ini menggunakan dua populasi, yaitu populasi
kandidat tetua dan populasi progeni. Populasi kandidat tetua sebanyak 95 aksesi
terdiri atas 66 pohon kelapa tipe Genjah, 18 pohon kelapa tipe Dalam dan 11
pohon kelapa tipe Hibrida. Populasi progeni sebanyak 84 individu yang
merupakan hasil panen buah kelapa kopyor dan non kopyor dari 15 pohon induk
betina terpilih di lokasi yang sama.
Anak daun pada setiap pohon diambil sebanyak dua helai kemudian
dipotong-potong kurang lebih sepanjang 10 cm. Potongan daun lalu dibungkus
dengan aluminium foil dan diberi label sesuai dengan nomor pohon asal daun
tersebut. Daun yang telah dibungkus disimpan di dalam kotak plastik pada tempat
yang lembab selama tiga hari. Sampel daun disimpan di dalam freezer pada suhu 20 °C setelah berada di laboratorium dan siap dilakukan isolasi DNA.
Buah kelapa normal yang dipanen dikecambahkan di lapang untuk ekstraksi
DNA. Daun muda diambil dari bibit berumur 3 bulan setelah perkecambahan.
Isolasi DNA pada buah kelapa kopyor diambil dari embrionya.
Isolasi DNA
DNA diisolasi menggunakan CTAB mengikuti metode Rohde et al. (1995)
dengan beberapa modifikasi. Daun kelapa muda dipotong kurang lebih seberat
0.3-0.4 g kemudian digerus dengan buffer lisis sebanyak 2 ml, PVP 0.007 g dan 2mercaptoetanol sebanyak 10 µl. Hasil gerusan daun kemudian diinkubasi dalam
waterbath dengan suhu 65 °C selama 60 menit. Setelah itu dilakukan sentrifugasi
menggunakan Eppendorf Centrifuge 5416 pada kecepatan 11000 rpm selama 10
menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan
kloroform:isoamilalkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi.
14
Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol
dingin sebanyak 0.8 volume dari supernatan dan natrium asetat sebanyak 0.1
volume supernatant kemudian diinkubasi dalam freezer semalaman. Suspensi
kemudian disentrifugasi hingga diperoleh pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan
menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl, lalu disentrifugasi dan dikeringkan.
Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA.
Purifikasi DNA dilakukan untuk menghilangkan kontaminan RNA. RNase
sebanyak 3 μl ditambahkan ke dalam suspensi DNA kemudian diinkubasi selama
1 jam pada suhu 37 0C. Suspensi DNA ditambahkan dengan satu volume fenol.
dan campuran kloroform:isoamilalkohol (24:1). Suspensi DNA dipresipitasi
dengan 0.8 volume isopropanol dan 0.1 volume natrium asetat lalu dibilas dengan
alkohol 70% dingin. Pelet DNA kering diberi 300 µl aquabidest dan disimpan
pada –20 °C.
Uji kuantifikasi dan kemurnian DNA
Kuantifikasi DNA dilihat menggunakan agarose 1% dalam buffer TBE
0.5X pada tegangan 100 V selama 60 menit yang dielektroforesis dengan Cole
Parmer®. Standar DNA (ladder 100 bp) digunakan agar ukuran DNA sampel
dapat diestimasi. Gel agarose diwarnai dengan ethidium bromide selanjutnya
diamati dengan UV transiluminator Vilber Lourmat dan dokumentasi dengan
kamera digital.
Amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction)
Amplifikasi menggunakan mesin PCR Perkin Elmer GeneAmp PCR System
2400 dan PCR kit KAPA 2G FAST dengan total reaksi 25 µl. Mix PCR
merupakan resep campuran untuk satu reaksi yaitu PCR buffer 5X 5 µl, MgCl2 25
mM 0.5 µl, dNTP 10 mM 0.5 µl, satu unit Taq polymerase 0.01 µl, dan
aquabidest 13.5 µl. Primer forward dan reverse untuk satu reaksi sebanyak 1.5 µl
ditambahkan ke dalam mix PCR. DNA working solution sebanyak 4 µl disiapkan.
Tahapan PCR dimulai dengan denaturasi awal 95 ºC selama 3 menit, tahap
denaturasi 95 ºC selama 15 detik, tahap annealing 51-55 ºC selama 15 detik (suhu
yang berbeda untuk tiap primer), tahap elongasi 72 ºC selama 1 detik, dan
dilakukan pengulangan siklus-siklus tersebut sebanyak 35 kali. Tahap elongasi
terakhir pada suhu 72 ºC selama 10 menit. Hasil PCR bisa disimpan pada suhu 4
ºC atau -21 °C untuk pemakaian dalam jangka waktu yang lama. Produk PCR
dikonfirmasi dengan gel agarose 1% dalam buffer TBE 0.5X pada tegangan 80 V
selama 30 menit yang dielektroforesis dengan Cole Parmer®.
PAGE (Polyacrilamid Gel Electroforesis)
Produk PCR marka SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid
6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004). Elektroforesis gel
poliakrilamid disebut juga elektroforesis vertikal. Gel akrilamid digunakan karena
akrilamid mampu menghasilkan resolusi yang lebih tinggi dibandingkan agarose.
15
Elektroforesis vertikal menggunakan alat Cole-Parmer® Dedicated Height
Sequencers.
Setiap produk PCR dicampur dengan loading dye kemudian didenaturasi
selama 10 menit kemudian diletakkan dalam es yang telah dihancurkan. Pre run
dilakukan pada 100 watt selama 30 menit. Elektroforesis dilakukan pada 60 watt
selama 90 menit dan sebagai pembanding digunakan ladder 100 bp.
Deteksi fragmen DNA menggunakan silver staining
Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi.
Proses pewarnaan memiliki lima tahapan. Pertama adalah tahap fiksasi gel selama
10 menit. Plate dibilas dengan aquadest selama 1 menit. Kedua adalah tahap nitrit
acid selama 3 menit, kemudian dibilas dengan aquadest selama 1 menit. Ketiga
adalah tahap pewarnaan perak nitrat selama 20 menit, ketika proses staining akan
berakhir, larutan developing ditambahkan 1.5 ml formaldehid dan 200 µl sodium
thiosulfate. Plate dicuci dengan aquadest secara cepat, sekitar 5-10 detik.
Keempat adalah tahap developer selama 5-7 menit hingga pita pada kaca muncul.
Kelima adalah tahap reaction stop selama 5 menit, kemudian dicuci selama 5
menit di dalam 1 L aquadest. Plate dikeringkan pada suhu ruang dengan posisi
tegak semalaman hingga benar-benar kering. Visualisasi akhir dan pemberian skor
dilakukan di atas light table.
Seleksi primer dan identifikasi genotipe tetua dan progeni
Seleksi primer dilakukan untuk memperoleh primer-primer yang polimorfik
pada kelapa. Contoh perbedaan pola pita monomorfik dan polimorfik dapat dilihat
pada Gambar 3.1. Primer SSR yang polimorfik diseleksi dari 36 primer (Lebrun et
al. 2001) pada DNA dari 6 genotipe yang dipilih acak. Dua genotipe mewakili
kelapa Genjah, dua genotipe mewakili kelapa Dalam dan dua genotipe mewakili
kelapa Hibrida. Primer-primer yang terpilih digunakan untuk mengidentifikasi
genotipe pada populasi kandidat tetua sejumlah 95 genotipe serta populasi progeni
berjumlah 84 genotipe. Marka SNAP untuk situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1
(sucrose synthase).
Analisis data
Hasil visualisasi PAGE setiap lokus SSR yang digunakan diamati dengan
memberi nomor setiap pita yang muncul mulai dari ukuran paling kecil sampai
paling besar.Data genotipe dari hasil skoring dikonversi menjadi data biner.
Skoring data biner berdasarkan muncul atau tidaknya pita, jika muncul diberi skor
1 dan jika tidak muncul diberi skor 0. Data genotipe dibuat berdasarkan data
biner. Contoh skoring data genotipe dan data biner dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Visualisasi marka SNAP menggunakan gel agarose 1%, skoring didasarkan pada
kemunculan pita.
16
Alel 1
Alel 2
Alel 3
Alel 1
Alel 2
Alel 4
A
B
Gambar 3.1 Perbedaan pola pita polimorfik pada lokus CnCir_56 yang memiliki
empat alel (a) dan pita monomorfik pada lokus CnCir_K8 yang
memiliki dua alel (b)
Tabel 3.1 Contoh skoring data biner dan data genotipe berdasarkan hasil
amplifikasi lokus CnCir_56 pada Gambar 3.1
Skoring Data Biner
Nomor Pohon
Alel
1
2
3
1
0
0
1
0
1
0
2
0
1
1
3
1
0
0
4
Skoring Data Genotipe
Nomor Pohon
Alel
1
2
3
1
2
3
1
4
3
3
2
4
0
0
1
1
4
3
4
Data biner digunakan untuk menganalisis kemiripan genetik menggunakan
perangkat lunak komputer Numerical Taxonomy and Multivariate System
NTSYSpc 2.02 (Rohlf 1995). Output yang dihasilkan adalah dendogram
pengelompokan atau clustering kemiripan genetik berdasarkan koefisien DICE
yaitu F
, dimana F adalah nilai kemiripan antara individu a dan b;
Nab adalah jumlah pita yang sama posisinya antara individu a dan b; Na dan Nb
adalah jumlah pita pada masing-masing individu a dan b.
Data genotipe digunakan dalam analisis perangkat lunak komputer CERVUS
2.0, POPGENE versi 1.31, dan STRUCTURE. Nilai PIC (Polymorphic Information
Content), Ho (observed heterozigosity) dan He (expected heterozigosity) diperoleh dari
analisis perangkat lunak komputer CERVUS 2.0 (Marshal et al. 1998). Nilai Na (number
of allele) dan Ne (effective of allele) diperoleh dari analisis perangkat lunak POPGENE
versi 1.31 (Yeh et al 1999). Perangkat lunak STRUCTURE (Pritchard et al. 2000)
digunakan untuk mengamati struktur genetik tiap individu pada kedua populasi.
Running STRUCTURE menggunakan 10 000 Length of burn periode, 100 000
MCMC (Monte Carlo Montev Chain) dan 20 iterations. Penentuan nilai K
(pengelompokan) terbaik mengikuti metode Evano et al. (2005). Penentuan nilai
17
K
terbaik
juga
bisa
dilakukan
taylor0.biology.ucla.edu/structureHarvester/.
secara
online
pada
situs
Hasil dan Pembahasan
Seleksi Primer dan Identifikasi Genotipe
Kegiatan seleksi primer dilakukan untuk memperoleh primer-primer yang
dapat mengamplifikasi DNA dan polimorfik terhadap populasi dan progeni yang
digunakan. Hasil penelitian menunjukkan dari 36 primer SSR yang digunakan
(Lampiran 2) pada tahap seleksi primer menggunakan enam genotipe hanya ada
32 primer yang dapat mengamplifikasi dan 4 primer diantaranya yang polimorfik.
M
Gambar 3.2
Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_56 (230–180 bp).
M=marka Ladder 100 bp (100, 200)
M
Gambar 3.3
Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_86 (188-163bp).
M=marka Ladder 100 bp (100, 200)
18
M
Gambar 3.4
Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_87 (158-170bp).
M=marka Ladder 100 bp (100, 200)
M
Gambar 3.5
Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_B12 (151198bp). M=marka Ladder 100 bp (100, 200)
Gambar 3.6
Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SNP pada posisi 14 gen
SUS1, R=reference A=alternate
19
Tabel 3.2 Profil primer menggunakan marka SSR dan SNAP
Nama
Lokus/
LG
Urutan Basa
(5’ – 3’)
Kisaran
basa
(bp)
CnCir_87 /
13
CnCir_86 /
9
CnCir_56 /
8
CnCir_B12
/3
F-ATAACATCCTCCAACCTGR-GACTGAATCCAACCCTTF-CCACTTGAGACTTGAAACR-ACTCACGCAAATATACTC AF-AACCAGAAC TTAAATGTCGR-TTTGAACTCTTCTAT TGGGF-GCTCTTCAGTCTTTCTCAAR-CTGTATGCCAATTTTTCTA-
Ta
(°C)
Na
PIC
Ho
He
Ne
158-170
54
4
0.34
0.29
0.36
1.57
163-188
53
4
0.50
0.54
0.58
2.36
180-230
53
5
0.45
0.41
0.54
2.15
151-198
51
6
0.56
0.52
0.63
2.67
4.5
0.46
0.44
0.53
2.19
2
0.37
0.82
0.48
1.96
Marka SSR
Rata-rata
Marka SNAP
CNSUS1
Pos14
F-GCTGAAAGTCACTGAA
AAGGTAYR-AAATTATTAAGAATGTCA
TGGTTTC
Keterangan :
300
55
PIC = Polymorphic Information Content , Ta = Temperature annealing
Ho = Observed heterozigosity, He = Expected heterozigosity, Na =
number of alleles, Ne = effective of alleles, Y = G/C
Profil keempat lokus SSR yang polimorfik serta marka SNAP dapat dilihat
pada Tabel 3.2. Penelitian ini menghasilkan empat primer yang polimorfik
meskipun menggunakan primer-primer yang telah digunakan sebelumnya (Lebrun
et al. 2001). Misalnya pada lokus CnCir_H4 yang digunakan pada penelitian Noel
et al. (2011) memperoleh 6 alel, penelitian Martinez et al. (2009) dan Ribeiro et
al. (2010) memperoleh 3 alel, tetapi untuk populasi kelapa kopyor di Pati lokus
tersebut menunjukkan pita monomorfik. Lokus CnCir_B12 dalam kasus ini
memiliki jumlah alel yang lebih sedikit dibanding penelitian Martinez et al.
(2009) yang memperoleh 8 alel, Ribeiro et al. (2010) dan Shalini et al. (2007)
memperoleh 9 alel, Rajesh et al. (2008) memperoleh 13 alel, sedangkan pada
penelitian ini hanya diperoleh 6 alel. Rata-rata jumlah alel per lokus untuk marka
SSR adalah 4.5 dengan kisaran jumlah alel 4-6. Jumlah rata-rata alel per lokus
hampir sama dengan yang diperoleh oleh Konan et al. (2007) yaitu 4.83 alel per
lokus yang menggunakan 21 aksesi kelapa dan 13 lokus SSR.
Hal ini disebabkan karena populasi yang digunakan pada penelitian
sebelumnya menggunakan wild tipe hasil eksplorasi dari berbagai wilayah dan
menggunakan populasi kelapa Dalam. Populasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah populasi yang memiliki hubungan kekerabatan, sehingga sulit untuk
menemukan primer yang polimorfik atau dapat membedakan antar genotipe.
Primer yang polimorfis dibutuhkan untuk dapat menganalisis keragaman genetik
populasi tanaman dengan memperlihatkan keragaman pola pita yang terbentuk
(Chakravarthi dan Naravaneni 2006). Pola pita polimorfis dapat terjadi sebagai
akibat dari perbedaan pengulangan basa dari tiap individu (Hildebrand et al.
1992).
Nilai rata-rata PIC yang diperoleh adalah 0.44, dengan nilai PIC tertinggi
sebesar 0.56 pada lokus CnCir_B12 yang tergolong sedang, dan PIC terendah
adalah CnCir_87 yaitu 0.34. Nilai PIC adalah ukuran dari polimorfisme antar
genotipe dalam suatu lokus penanda yang menggunakan informasi jumlah alel
20
dalam analisisnya (Sajib et al. 2012). Sardou et al. (2011) mengatakan bahwa PIC
yang tinggi mengindikasikan kemampuan membedakan individu juga tinggi.
Primer CnCir_B12 memiliki kemampuan yang tinggi untuk membedakan setiap
genotipe dalam populasi, sedangkan primer CnCir_87 kemampuan membedakan
genotipenya pada populasi ini kurang. Nilai PIC berkisar antara 0 hingga 1. Nilai
0 artinya pada lokus tersebut memiliki hanya satu alel (monomorfik) sedangkan
nilai PIC 1 artinya lokus tersebut memiliki alel yang tidak terbatas (Hildebrand et
al. 1992).
Lokus CnCir_B12 memiliki nilai He tertinggi (0.63) dan CnCir_87 terendah
(0.36). Nilai He yang tinggi mengindikasikan bahwa pada lokus tersebut memiliki
tingkat keragaman yang tinggi (Boer 2007). Rata-rata nilai He adalah 0.52. Nilai
He yang tinggi pada CnCir_B12 disebabkan karena banyak genotipe pada lokus
tersebut yang bersifat heterozigot, sedangkan primer CnCir_87 kebanyakan
menghasilkan satu alel per genotipe (homozigot). Nilai He selalu lebih tinggi
dibandingkan nilai PIC.
Nilai rata-rata PIC dan He tergolong sedang untuk populasi kelapa kopyor
di Pati menggunakan analisis lima lokus menunjukkan bahwa kurangnya
keragaman genetik pada populasi tersebut. Hal tersebut didukung dengan sulitnya
memperoleh primer yang polimorfik. Semakin rendah tingkat polimorfis, maka
tingkat keragamannya juga semakin rendah. Hal ini sejalan dengan informasi dari
petani yang menanam buah (progeni) di lokasi yang berdekatan dengan pohon
induknya, sehingga terbentuk suatu struktur famili dalam populasi. Bibit kelapa
yang ditanam merupakan campuran bibit kelapa berbuah kopyor dan bibit kelapa
berbuah normal, karena masih sulit membedakan bibit kelapa normal dengan
kelapa kopyor.
Kemiripan Genetik
Analisis kemiripan genetik pada populasi tanaman kelapa dewasa
menggunakan koefisien DICE mengelompok menjadi tujuh berdasarkan
kemiripan 55% atau mengelompok menjadi tiga berdasarkan kemiripan 45%
(Gambar 3.7). Kelompok satu dan enam terdiri dari kelapa Genjah, kelapa Dalam
dan kelapa Hibrida, tetapi kelapa Genjah lebih dominan. Kelompok dua terdiri
atas kelapa Genjah dan kelapa Hibrida. Kelompok tiga terdiri dari kelapa Genjah,
kelapa Hibrida dan kelapa Dalam. Kelompok empat terdiri atas kelapa Dalam dan
kelapa Hibrida. Kelompok lima dan tujuh hanya terdiri dari pohon kelapa Dalam.
Seluruh individu tanaman dalam populasi tetua menjadi satu kelompok dengan
kemiripan 18%.
Hasil pengelompokan menggunakan analisis UPGMA menunjukkan bahwa
pada populasi tanaman kelapa dewasa, marka SSR dan marka SNAP dapat
mengelompokkan kelapa berdasarkan tipenya, yaitu kelapa Dalam dan kelapa
Genjah. Genotipe tanaman pada populasi tetua beberapa ada yang memiliki
kemiripan genetik 100%, sebagai contoh pada pohon nomor 70, 71, 74, 75 dan 86.
Kelima pohon tersebut diduga berasal dari tetua yang sama, sehingga memiliki
alel yang sama untuk empat lokus SSR dan satu lokus SNP yang dianalisis.
Informasi yang diperoleh dari petani mengatakan bahwa bibit kelapa kopyor yang
ditanam dalam populasi tersebut berasal dari perkecambahan buah normal
21
heterozigot maupun homozigot yang diperoleh dari pohon yang berbuah kopyor,
sehingga menyebabkan turunannya memiliki kekerabatan yang dekat.
Hasil yang sama juga dilaporkan dalam penelitian Maskromo (2005) yang
mengatakan bahwa pohon kelapa berbuah kopyor dari lokasi yang sama
membentuk kelompok dengan kemiripan antara 61% hingga 100%. Misalnya
kemiripan genetik pada populasi kelapa berbuah kopyor di Lampung memiliki
kisaran 62% hingga 100%, sedangkan di daerah Pati memiliki kisaran 61% hingga
100%, dan di daerah Sumenep memiliki kisaran 55% hingga 100%. Kemiripan
genetik di daerah Pati pada penelitian ini lebih rendah dibanding penelitian
Maskromo (2005). Hal itu disebabkan karena perbedaan jumlah tanaman yang
digunakan, yaitu hanya 30 tanaman kelapa dewasa, sedangkan pada penelitian ini
menggunakan 95 tanaman kelapa dewasa.
Analisis kemiripan genetik pada populasi progeni menggunakan data
molekuler mengelompok menjadi tiga bagian berdasarkan kemiripan 55%
(Gambar 3.8). Kelompok satu terdiri atas bibit kelapa tipe Dalam, Genjah,
Hibrida, testcross dan double hybrid tetapi didominasi oleh bibit kelapa tipe
Genjah. Kelompok dua terdiri dari bibit kelapa tipe Dalam, Hibrida, dan testcross
tetapi didominasi oleh bibit kelapa tipe Dalam dan testcross. Kelompok tiga hanya
terdiri oleh bibit kelapa tipe testcross. Bibit kelapa tipe testcross dibedakan
menjadi dua yaitu testcross Dalam dan testcross Genjah. Bibit kelapa testcross
Dalam adalah bibit kelapa yang terbentuk dari induk kelapa Hibrida dengan induk
kelapa Dalam. Bibit kelapa testcross Genjah adalah bibit kelapa yang terbentuk
dari induk kelapa Hibrida dengan induk kelapa Genjah.
Analisis clustering memperlihatkan bahwa progeni-progeni yang berasal
dari induk betina yang sama sebagian besar memiliki kemiripan genetik 100%.
Beberapa progeni yang berasal dari induk betina yang berbeda pun ada yang
memiliki kemiripan 100%, sebagai contoh dapat dilihat pada genotipe 69.a, 69.b,
69.c, 69.k1 dan 89.g. Hal itu disebabkan karena kelima progeni tersebut berasal
dari induk jantan yang sama, yaitu pohon 80. Kelima progeni tersebut memiliki
induk betina yang berbeda, yaitu 69 dan 89. Pada progeni 89.g kontribusi alel dari
induk jantan lebih dominan untuk analisis empat lokus SSR dan satu lokus SNP.
Induk betina dan induk jantan kelima progeni tersebut terdapat pada kelompok
yang sama yaitu kelompok satu (Gambar 3.7). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Nybom et al. (2004) pada Rosa villosa. Tanaman tersebut merupakan
tanaman tetraploid, sehingga selalu terdapat dua atau tiga alel dari tetua jantan
pada masing-masing progeni. Kontribusi alel dari induk jantan selalu muncul di
beberapa keturunan.
22
Gambar 3.7
Dendrogram kemiripan genetik pada 95 individu tanaman kelapa
dewasa pada populasi kelapa kopyor Pati. Garis berwarna hijau
adalah kelapa Genjah, garis merah adalah kelapa Dalam dan garis
biru adalah kelapa Hibrida.
23
Gambar 3.8
Dendrogram kemiripan genetik pada 84 bibit pada populasi
progeni dari sejumlah induk betina kelapa berbuah kopyor. Garis
berwarna hijau adalah bibit kelapa Genjah, garis merah adalah bibit
kelapa Dalam dan garis biru adalah bibit kelapa Hibrida dan garis
berwarna hitam adalah bibit kelapa testcross.
24
Susunan struktur genetik antar populasi dapat dilihat menggunakan program
komputer STRUCTURE (Pritchard et al. 2000). Variasi genetik dalam populasi
tanaman kelapa dewasa (Gambar 3.10) serta populasi tanaman dewasa dengan
progeninya (Gambar 3.9) memiliki nilai K = 2, artinya bahwa dalam populasi
tersebut mengelompok menjadi dua subgroup yang dilambangkan dengan warna
merah dan hijau. Setiap individu ditampilkan dalam garis vertikal. Warna yang
sama pada individu yang berbeda menunjukkan bahwa mereka adalah satu
kelompok atau memiliki genetik yang mirip. Warna yang berbeda dalam satu
individu mengindikasikan persentase genetik yang diperoleh dari masing-masing
kelompok. Genotipe progeni disusun disamping induk betinanya diberi label (2)
sedangkan populasi kelapa dewasa diberi label (1) pada Gambar 3.10.
Analisis struktur genetik dapat mengelompokkan kelapa berdasarkan
jenisnya, yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Kelapa Dalam dikelompokkan
dengan warna hijau sedangkan kelapa Genjah dikelompokkan dengan warna
merah. Kelapa hibrida adalah perpaduan antara kelapa Genjah dan kelapa Dalam,
sehingga warna pada individu kelapa hibrida adalah merah dan hijau. Jika kelapa
hibrida memiliki warna hijau yang lebih dominan maka sifat kelapa Hibrida
tersebut lebih mirip dengan kelapa Dalam. Jika kelapa Hibrida memiliki warna
merah yang lebih dominan maka sifat kelapa Hibrida tersebut lebih mirip dengan
kelapa Genjah.
Penelitian Ribeiro et al. (2010) juga melakukan analisis menggunakan
program komputer STRUCTURE terhadap populasi kelapa. Pengelompokan yang
terjadi sama dengan hasil dendogram, yaitu mengelompok menjadi dua kelompok.
Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding hasil penelitian Margarita et al.
(2010) yang memperoleh sembilan kelompok. Sembilan kelompok tersebut selain
membedakan kelapa Dalam dengan kelapa Genjah, tetapi juga membedakan asal
kultivar yang digunakan. Margarita et al. (2010) menggunakan 36 marka SSR dan
13 marka SNP dan SSCP untuk genotyping 218 sampel dari 13 kultivar,
sedangkan Ribeiro et al. (2010) menggunakan 13 marka SSR untuk genotyping
195 sampel dari 10 populasi. Jumlah pengelompokan yang berbeda tersebut
disebabkan karena perbedaan jumlah lokus yang dianalisis serta jumlah populasi
yang digunakan.
25
Gambar 3.9 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa menggunakan STRUCTURE dengan K=2. Kelapa Dalam ( ), kelapa
Genjah ( ) kelapa Hibrida ( ). Setiap individu digambarkan dalam satu garis. Warna yang berbeda melambangkan
kelompok yang berbeda.
26
Gambar 3.10 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa dan progeninya menggunakan STRUCTURE dengan K=2. Kelapa Dalam
( ), kelapa Genjah ( ) kelapa Hibrida (
), progeni (
). Setiap individu digambarkan dalam satu garis. Warna yang
berbeda melambangkan kelompok yang berbeda
27
Tabel 3.3 Perbedaan data morfologi dan data molekuler terhadap tipe kelapa
Data morfologi
Data molekuler Jumlah Persentase (%)
Dalam
Genjah
1
1.05
Dalam
Hibrida
8
8.42
Genjah
Dalam
3
3.16
Genjah
Hibrida
32
33.68
Hibrida
Dalam
3
3.16
Hibrida
Genjah
0
0
47
49.47
TOTAL
Dalam
Dalam
9
9.47
Genjah
Genjah
32
33.68
Hibrida
Hibrida
7
7.37
95
100
TOTAL
Penentuan tipe kelapa berdasarkan data morfologi memiliki perbedaan
dengan data molekuler. Penentuan tipe kelapa berdasarkan data molekuler
didasarkan pada analisis perangkat lunak komputer STRUCTURE. Perubahan
identifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3. Perubahan yang paling banyak
terjadi adalah kelapa Genjah berdasarkan data morfologi berubah menjadi kelapa
Hibrida berdasarkan data molekuler. Selain itu, terdapat pula perubahan dari
kelapa Genjah ke kelapa Dalam, maupun sebaliknya. Tipe kelapa yang berubah
secara keseluruhan adalah 47 pohon (49.47%).
Hasil analisis struktur genetik menggunakan perangkat lunak
STRUCTURE
juga
memperlihatkan
adanya
kecenderungan
terjadi
pengelompokan antara kelapa Genjah dengan kelapa Dalam (Gambar 3.9).
Struktur genetik pada progeni sebagian besar mengikuti induk betinanya, tetapi
juga ada yang mengikuti induk jantannya (Gambar 3.10). Jika progeni berwarna
hijau, artinya sebagian besar genetik pada progeni tersebut bersifat kelapa Dalam,
begitupun sebaliknya. Kelapa Hibrida merupakan kombinasi warna merah dan
hijau. artinya kelapa Hibrida memiliki komposisi genetik yang merupakan
kombinasi kelapa Genjah dengan kelapa Hibrida. Alel-alel yang dominan muncul
pada kelapa Dalam ditampilkan dalam warna hijau. Alel-alel yang dominan
muncul pada kelapa Genjah ditampilkan dalam warna merah.
Kelapa Dalam yang berwarna merah diduga diduga disebabkan karena
kesalahan dalam mengidentifikasi jenis kelapa. Morfologi kelapa Dalam bisa
menyerupai kelapa Genjah, misalnya kelapa Dalam yang terdapat di Gorontalo
(Heliyanto dan Tenda 2010). Contoh pada pohon kelapa Dalam nomor 24
berdasarkan dendogram memiliki kemiripan 100% dengan pohon kelapa Genjah
nomor 22. Hasil analisis struktur genetik juga memperlihatkan hal yang sama,
yaitu pohon kelapa Dalam nomor 24 berwarna merah seluruhnya, mendukung
dugaan bahwa pohon nomor 24 sebenarnya adalah kelapa Genjah.
28
Simpulan
Kisaran nilai PIC dan nilai He menunjukkan bahwa kemiripan genetik
pada populasi kelapa kopyor Pati tergolong moderat. Tipe kelapa yang ditentukan
melalui observasi morfologi di lapangan memiliki perbedaan pada tingkat
molekuler dengan tingkat kemiripan genetik tergolong moderat.
Daftar Pustaka
Azrai M. 2006. Sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman
jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 25:81-89.
Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara
Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Brody JR & Kern SE. 2004. Sodium boric acid: a Tris-free, cooler conductive
medium for DNA electrophoresis. Bio Tech. 36:214-6.
Creste S, Neto AT, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat
polymorphisms in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver
staining. Plant Mol Biol Rep. 19:299–306.
Chakravarthi BK and Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting
and diversity study in rice (Oryza sativa L.). African J Biotech. 5:684688.
Evanno G, Regnaut S, Goudet J. 2005. Detecting the number of clusters of
individuals using the software STRUCTURE:a simulation study. Mol
Ecol. 14:2611-2620.
Heliyanto B dan Tenda ET. 2010. Varietas kelapa Dalam unggul spesifik
Gorontalo. Bul Palma. 38:73-89.
Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic
DNA markers. Los Alamos Sci. 20:100-102.
Konan KJN, Koffi KE, Konan JL, Lebrun P, Dery SK, Sangare A. 2007.
Microsatellite gene diversity in coconut (Cocos nucifera L.) accessions
resistants to lethal yellowing disease. African J Biotech. 6:341-347.
Lebrun P, Baudouin L, Bourdeix R, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A,
and Ritter E. 2001. Construction of a linkage map of the Rennel Island
Tall coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield
characters. Genome. 44:962-970.
29
Margarita MH, Alan WM, Lalith P, Joanne R, Raymond JS. 2010. Ambiguous
genetic relationships among coconut (Cocos nucifera L.) cultivars: the
effects of outcrossing, sample source and size, and method of analysis.
Genet Resour Crop Evol. 57:203-217.
Martinez RT, Luc B, Angelique B, and Michael D. 2009. Characterization of the
genetic diversity of the Tall coconut (Cocos nucifera L.) in the
Dominican Republic using microsatellite (SSR) markers. Tree Genets
Genomes. 6:73-81.
Maskromo I. 2005. Kemiripan Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor
Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda DNA SSRs (Simple
Sequence Repeats) [Tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Maskromo I, Mashud N, Hutapea R, Novarianto H. 2007. Keragaman tipe kelapa
kopyor di Indonesia. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH,
Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi
Nasional Kelapa VI Buku II; 2006 Mei 16-18; Gorontalo, Indonesia.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 294299.
Noel KKJ, Edmond KK, Konan KJL, Konan KE. 2011. Microsatellite gene
diversity within Philippines dwarf coconut palm (Cocos nucifera L.)
resources at Port-Bouet, Cote d’lvoire. Sci Res Essay. 6:5986-5992.
Pritchard JK, Stephens M, Donnelly P. 2000. Inference of population structure
using multilocus genotype data. Genetics. 155:945-959.
Rajesh MK, Nakarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008.
Microsatellite variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from
Andaman and Nicobar Island. Curr Sci. 94:1627-1631.
Ribeiro FE, Baudouin L, Lebrun P, Chaves LJ, Brondani C, Zucchi MI,
Vencovsky R. 2010. Population structure of Brazilian tall coconut (Cocos
nucifera L.) by microsatellite markers. Genet Mol Bio. 33:696-702.
Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos
nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a subset
of copies-like EcoR1 repetitive elements. J Genet Breed. 49:170-186.
Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysys
System Version 2.0. New York (US): Exeter Software.
Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali,
SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and
genetic diversity analysis of aromatic landreces of rice (Oryza sativa L.).
J BioSci Biotech. 1:107-116.
30
Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989.
Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and
germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273.
Saptahadi D, Hartati RRS, Setiawan A, Heliyanto B, Sudarsono. 2011.
Pengembangan marka simple sequence repeat untuk Jatropha spp. Jurnal
Litri. 17:140-149.
Sardou MA, Baghizadeh A, Tavasoli A, and Babaei S. 2011. The use of
microsatellite markers for genetic diversity assessment of genus
Hordeum L. in Kerman province (Iran). African J Biotech. 10:1516-1521.
Shalini KV, Manjunatha S, Lebrun P, Berger A, Baudouin L, Pirany N,
Rangananth RM, Prasad DT. 2007. Identification of molecular markers
associated with mite resistance in coconut (Cocos nucifera L.). Genome.
50:35-42.
Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,
Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan
terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah
madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sukendah. 2009. Pembiakan Kopyor In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa
Kopyor [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Yeh FC, Yang RC, Boyle T. 1999. POPGENE version1.31 Microsoft WindowBase Software For Population Genetic Analysis:A Quick User’s Guide.
Canada (CA): Alberta Univ.
31
ANALISIS PENYEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR
PATI MENGGUNAKAN MARKA SSR DAN SNAP
Abstract
Pollen and seed dispersal could be used to estimate gene flow among plants
in a population. In kopyor coconut, pollination of normal pollen (pollen produced
by normal coconut) reduced kopyor coconut yield. Therefore, it was necessary to
evaluate the effect of pollen dispersal on kopyor fruit yield the mix garden
containing normal and kopyor coconut provenances. The objectives of this
experiment were to evaluate pollen dispersal among coconut provenances using
SSR and SNAP markers and its effects on kopyor fruit yield. Fifteen coconut
provenances were selected as female parents among a total of 95 adult palms. The
coordinate positions of the adult palm were determined using GPS. Four SSR
markers and one SNAP marker were used to genotype all provenances and 84
progenies harvested from 15 female parents. Parent-offspring relationships were
determined based on genotype data using CERVUS software. The result of
analysis indicated the farthest distance of pollen dispersal recorded in this
evaluation was 61.8 m. The yield of kopyor fruit harvested was 2-3 fruits per
bunch. Moreover, a number of progenies obtained pollens from normal fruit
producing palms. The existence of normal palms in the garden affected negatively
on kopyor fruit production.
Keyword : gene flow, kopyor fruit production, mix population, pollination
32
Pendahuluan
Kelapa kopyor memiliki potensi dan peluang sebagai komoditi ekspor,
tetapi rendahnya produksi buah kopyor yang diperoleh petani dari pohon kelapa
berbuah kopyor masih menjadi kendala dalam pengembangannya (Maskromo et
al. 2102). Pertanaman kelapa kopyor di Pati umumnya berada dalam pekarangan
penduduk. Pohon kelapa berbuah kopyor ditanam dalam populasi campuran
dengan kelapa normal Dalam, Genjah, maupun Hibrida.
Kelapa Dalam umumnya menyerbuk silang sedangkan kelapa Genjah
umumnya menyerbuk sendiri (Pandin 2009). Kelapa normal yang hadir dalam
areal pertanaman kelapa kopyor, baik itu tipe Dalam maupun tipe Genjah diduga
mempengaruhi jumlah produksi buah kelapa kopyor. Hal ini disebabkan karena
pohon kelapa berbuah normal dengan genotipe KK dapat mengkontribusikan
gamet K ke pohon kelapa lain disekitarnya sehingga mengakibatkan buah kopyor
tidak terbentuk. Syarat terbentuknya buah kopyor adalah induk betina harus
bersifat kopyor heterozigot atau kopyor homozigot dengan genotipe Kk atau kk
dan mendapatkan gamet k dari induk jantan (Maskromo et al. 2011b).
Kelapa normal yang menyerbuki kelapa kopyor dapat dibuktikan melalui
analisis penyebaran serbuk sari atau analisis induk jantan. Serbuk sari pada
populasi kelapa kopyor di Pati dapat dibawa oleh vektor serangga maupun angin.
Salah satu cara untuk mempelajari analisis penyebaran serbuk sari adalah
menggunakan penanda molekuler genetik (Hamrick dan Trapnell 2011).
Marka yang sering digunakan dalam analisis penyebaran serbuk sari adalah
marka SSR. Marka SSR telah digunakan dalam analisis penyebaran serbuk sari
pada tanaman jati (Prabha et al. 2011), Prunus mahaleb (Garcia et al. 2005),
Pinus koraiensis (Feng et al. 2010), Hymenaea courbaril L. (Carneiro et al. 2011)
dan analisis induk jantan pada tanaman kelapa kelapa (Pandin et al. 2008). Marka
SNAP memiliki keuggulan dibanding dengan marka SSR yaitu dapat mendeteksi
variasi dalam sekuens DNA yang menyebabkan perbedaan fenotipe (Manju dan
Arunachalam 2011). Tujuan penelitian ini adalah (1) mempelajari penyebaran
serbuk sari kelapa kopyor di Pati Jawa Tengah. (2) Mengamati produktivitas
pohon kelapa berbuah kopyor dan mempelajari hubungannya dengan pola
penyebaran serbuk sari.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 hingga Januari 2013.
Sampel tanaman diambil pada bulan Juli 2011di Desa Sambiroto, Kabupaten Pati,
Jawa Tengah. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler
Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
33
Studi Tanaman
Populasi yang digunakan merupakan populasi kelapa (Cocos nucifera)
yang terdiri atas kelapa Genjah, kelapa Dalam, dan kelapa Hibrida. Kelapa
Genjah terbagi menjadi kelapa Genjah Kuning, kelapa Genjah Hijau dan kelapa
Genjah Cokelat. Kelapa Genjah umumnya melakukan penyerbukan sendiri
(Hannum et al. 2003). Kelapa Dalam terbagi menjadi kelapa Dalam Hijau dan
kelapa Dalam Cokelat. Kelapa Dalam umumnya melakukan penyerbukan silang
(Pandin 2009). Kelapa Hibrida yang terjadi secara alami adalah kelapa yang
terbentuk dari perkawinanan kelapa Genjah dengan kelapa Dalam. Tipe
penyerbukan kelapa Hibrida secara umum belum diketahui. Kelapa berbuah
normal dan kelapa berbuah kopyor masing-masing terdapat pada kelapa Genjah,
kelapa Dalam dan kelapa Hibrida.
Penentuan Lokasi dan Populasi
Populasi yang dipilih terletak di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah karena di daerah tersebir memiliki keragaman berbagai jenis pohon
kelapa. Populasi terdiri atas 164 pohon kelapa. Populasi yang dipilih adalah area
pertanaman di pekarangan rumah penduduk. Populasi tersebut merupakan
campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal
(KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor.
Populasi yang digunakan dalam analisis pola penyebaran serbuk sari
sebanyak 95 pohon kelapa dewasa, yang terdiri 33 pohon kelapa Genjah (19
pohon kelapa Genjah Hijau, 5 pohon kelapa Genjah cokelat dan 9 pohon kelapa
Genjah kuning), 15 pohon kelapa Dalam, dan 47 pohon kelapa Hibrida. Pohon
kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal
sebanyak 22 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 73 pohon.
Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina
dijadikan sebagai calon induk jantan. Pohon yang dijadikan sebagai induk betina
sejumlah 15 pohon yang terdiri dari 8 pohon kelapa Hibrida, 2 pohon kelapa
Genjah dan 5 pohon kelapa Dalam. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen
dari setiap induk betina yang terpilih.
Setiap pohon kelapa dalam populasi campuran kelapa di lokasi penelitian
diberi nomor menggunakan spidol dan dicatat posisi koordinatnya. Pemetaan
koordinat tiap pohon kelapa menggunakan GPS Garmin 76c5x. Posisi koordinat
diukur dengan menempelkan GPS ke batang pohon kelapa.
Analisis Marka Mikrosatelit dan SNAP
DNA diisolasi dari 95 individu tanaman kelapa dewasa serta 84 progeni.
Progeni buah kelapa normal, benihnya dikecambahkan di lapangan hingga daun
muda muncul dan dapat digunakan untuk isolasi DNA. Progeni buah kelapa
kopyor DNA langsung diisolasi dari embrio zigotiknya.
Prosedur isolasi DNA mengikuti metode Rohde et al. (1995). Daun dari
tanaman dewasa serta daun muda dari bibit kelapa seberat 0.4 g dan embrio
34
zigotik kelapa kopyor digerus menggunakan buffer CTAB. Identifikasi genotipe
(genotyping) dilakukan dengan menggunakan empat lokus marka SSR (CnCir_56,
CnCir_86, CnCir_87 dan CnCir_B12) dan satu lokus marka SNAP (situs SNP #14
dari fragmen gen SUS1). Amplifikasi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer
GeneAmp PCR System 2400. Total volume reaksi PCR adalah 25 µl terdiri atas
PCR buffer 5X 5 µl, MgCl2 25 mM 0.5 µl, dNTP 10 mM 0.5 µl, 1 U Taq
polymerase 0.01 µl, dan aquabidest 13.5 µl, primer forward dan reverse 1.5 µl,
dan DNA (working solution) sebanyak 4µl. Tahapan PCR dimulai dengan
denaturasi awal 95 ºC selama 3 menit, diikuti dengan 35 siklus yang terdiri atas
tahap denaturasi 95 ºC selama 15 detik, tahap annealing 51-55 ºC selama 15 detik
(suhu yang berbeda untuk tiap primer), tahap elongasi 72 ºC selama 1 detik,
diakhiri dengan tahap elongasi terakhir pada suhu 72 ºC selama 10 menit. Produk
PCR untuk marka SSR dipisahkan dengan proses elektroforesis gel poliakrilamid
6% dengan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004), menggunakan Cole-Parmer®
Dedicated Height Sequencers. Pengamatan pita DNA dilakukan dengan
menggunakan sistem pewarnaan perak nitrat mengikuti prosedur Creste et al.
(2001). Produk PCR untuk marka SNAP diamati keberadaannya dengan
menggunakan 1% gel agarose. Pita DNA diamati dengan perendaman dalam
larutan pewarnaan ethidium bromide yang telah dilarutkan dengan konsentrasi 1
mg.ml-1 selama satu menit diikuti perendaman dalam aquadest selama 10 menit.
Analisis Paternal
Data genotipe kandidat tetua dan progeni ditentukan berdasarkan skor dari
masing-masing marka yang digunakan dan data genotipe yang didapat kemudian
dianalisis dengan perangkat lunak komputer CERVUS 2.0 (Marshall et al. 1998).
Data genotipe progeni yang telah diketahui induk betinanya dibandingkan dengan
data pohon dewasa yang berpotensi menjadi tetua jantan (kandidat tetua jantan).
Identitas induk jantan diketahui berdasarkan metode all parent with plus LOD.
Hasil analisis selanjutnya digunakan untuk menentukan identitas induk jantan
berdasarkan nilai LOD tertinggi.
Jarak antara induk betina dengan induk jantan yang teridentifikasi dihitung
menggunakan perangkat lunak GPS. Jarak tersebut dihitung dengan
memanfaatkan data koordinat tiap pohon. Induk betina dan induk jantan kemudian
digambarkan ke dalam peta sesuai dengan lokasi penelitian sehingga membentuk
pola penyebaran serbuk sari.
Induk jantan yang teridentifikasi sama dengan induk betinanya, maka
diasumsikan terjadi penyerbukan sendiri, sedangkan jika induk jantan yang
teridentifikasi berbeda dengan induk jantan maka diasumsikan terjadi
penyerbukan silang (Prabha et al. 2011). Tipe bibit dikelompokkan menjadi enam
berdasarkan jenis induk jantan dan induk betinanya, yaitu :
a.
Jika induk jantan kelapa Dalam dan induk betina juga kelapa Dalam, maka
tipe bibitnya adalah kelapa Dalam.
Jika induk jantan kelapa Genjah dan induk betina juga kelapa Genjah, maka
b.
tipe bibitnya adalah kelapa Genjah.
c.
Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina juga kelapa Hibrida, maka
tipe bibitnya adalah kelapa Double hybrid.
35
d.
e.
f.
Jika induk jantan kelapa Dalam dan induk betina kelapa Genjah atau
sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa Hibrida.
Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina kelapa Dalam atau
sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa testcross Dalam.
Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina kelapa Genjah atau
sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa testcross Genjah.
Pengamatan produksi buah kopyor
Produksi kopyor dihitung berdasarkan jumlah buah kopyor yang diperoleh
dari satu tandan buah kelapa berbuah kopyor. Data morfologi yang juga diamati
adalah tipe pohon (Genjah/Dalam/Hibrida), warna buah, jumlah tandan per pohon,
rata-rata jumlah buah dari tiga tandan, rata-rata jumlah buah kopyor dari tiga
tandan dan rata-rata persentase buah kopyor dari tiga tandan. Persentase buah
kopyor dihitung dengan membagi jumlah buah kopyor dengan jumlah total buah
yang dihasilkan per tandan. Kontribusi serbuk sari dari pohon kelapa berbuah
normal dengan pohon berbuah kopyor juga diamati dan dibandingkan dengan
jumlah buah kopyor dan buah normal yang dihasilkan per tandan dari pohon
induk betina.
Hasil dan Pembahasan
Pemetaan Populasi Tanaman
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Populasi tersebut
menggambarkan bahwa pohon kelapa berbuah normal masih banyak tersebar di
dalam populasi yang dipilih. Pohon kelapa normal diberi label bulat putih untuk
kelapa Genjah, kotak putih untuk kelapa Dalam dan kotak kuning untuk kelapa
Hibrida.
Pohon induk betina yang digunakan sebanyak 15 pohon. Pohon induk betina
diberi label bulat besar berwarna hijau untuk kelapa Genjah hijau, bulat besar
berwarna kuning untuk kelapa Genjah kuning, bulat besar berwarna cokelat untuk
kelapa Genjah cokelat, bulat biru untuk kelapa Dalam dan bulat merah untuk
kelapa Hibrida. Selain itu, pohon kelapa berbuah kopyor yang bukan induk betina
juga tersebar acak di dalam populasi. Kelapa Dalam kopyor diberi label kotak
hitam, kelapa Genjah kopyor diberi label bulat kecil berwarna hijau, dan kelapa
Hibrida kopyor diberi label kotak abu-abu.
36
Gambar 4.1
Peta sebaran pohon induk betina dan pohon kelapa dewasa lainnya
sebagai kandidat tetua jantan
Analisis Molekuler dalam Mempelajari Pola Penyebaran Serbuk Sari
Tingkat polimorfisme marka SSR untuk populasi ini sangat rendah. Empat
lokus yang polimorfik ditemukan dari hasil seleksi 35 primer SSR. Total alel yang
diperoleh dari empat lokus SSR pada populasi tanaman dewasa adalah 18 alel
dengan rata-rata alel 4.5. Total alel pada populasi progeni hanya 15 alel dengan
rata-rata 3.4 alel per lokus. Nilai rata-rata Ho adalah 0.44, nilai rata-rata He adalah
0.53, dan nilai rata-rata PIC adalah 0.46.
Marka SNAP juga memiliki variasi. Variasi yang muncul adalah adanya
genotipe yang memiliki pita pada sisi Alt dan Ref atau salah satunya. Setiap
individu memiliki 1-2 pita yang merupakan ciri khas bagi penanda SSR yang
bersifat kodominan bagi organisme diploid. Semua progeni memiliki alel yang
sama dengan induk betinanya, baik itu untuk kedua alel maupun hanya satu alel
tetua (Gambar 4.4). Perbedaan alel tersebut diperoleh dari alel tetua jantan. Proses
identifikasi genotipe menunjukkan adanya alel spesifik pada populasi tetua, yaitu
alel yang tidak muncul pada 84 progeni. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
rendahnya keragaman genetik pada populasi progeni.
Hasil visualisasi DNA induk betina dan progeninya hasil amplifikasi primer
CnCir_56 untuk marka SSR dapat dilihat pada Gambar 4.2. Induk betina nomor 1
memiliki alel (3,4) sedangkan progeninya 1a dan 1b memiliki variasi alel yaitu
(2,3) dan (3,4). Progeni 1a memperoleh alel 3 dari induk betina sedangkan alel 2
dari induk jantannya. Hal yang sama juga terlihat pada induk betina 2 dan induk
betina 3.
37
Gambar 4.2 Visualisasi primer CnCir_56 marka SSR pada induk betina dan
progeninya. IB=Induk betina; P=progeni; M= ladder 100 bp (100,
200, 300)
Gambar 4.3 Visualisasi primer situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1 marka
SNAP. A=alternate, R=reference, IB=Induk betina; P=progeni
Visualisasi DNA pada marka SNAP dapat terlihat pada Gambar 4.3. Induk
betina nomor 1 memiliki pita untuk posisi R dan A. Variasi alel terlihat pada
empat progeninya yaitu 1b dan 1d yang hanya memiliki pita pada posisi R
sedangkan 1a dan 1c memiliki pola pita yang sama dengan induk betinanya. Hal
yang sama juga terlihat pada induk betina nomor 2. Progeni 1a memiliki pola pita
yang sama dengan induknya, sedangkan 1b hanya memiliki pita pada posisi R.
Pola Penyebaran Serbuk Sari
Hasil penelusuran tetua jantan menggunakan program Cervus menunjukkan
bahwa hanya satu progeni yang memiliki confidence level 95%, enam progeni
memiliki confidence level 80%, selebihnya 77 progeni memiliki confidence level
di bawah 80%. Seluruh progeni memiliki kisaran nilai LOD antara 0.58 hingga
3.8. Nilai peluang kemungkinan atau LOD untuk seluruh progeni menunjukkan
nilai yang lebih besar dari 0 dan positif. Jika nilainya 0 berarti tetua jantan yang
diduga adalah tidak benar. Nilai LOD yang negatif dapat terjadi jika antara
kandidat tetua dengan progeni tidak memiliki alel yang sama. Semakin besar nilai
LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang
sebenarnya (Marshal et al. 1998).
Beberapa progeni yang memiliki confidence level di bawah 80% diduga
disebabkan karena tetua jantan yang sebenarnya berada di luar populasi yang
dianalisis. Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa masih ada beberapa pohon yang
belum dianalisis. Kasus yang sama juga dialami oleh Feng et al. (2010), yaitu
terdapat 25% kontaminasi serbuk sari artinya sebanyak 25% progeni diduga
38
memperoleh serbuk sari dari luar areal populasi yang dijadikan sebagai sampel.
Jumlah lokus yang dianalisis juga mempengaruhi confidence level. Prabha et al.
(2011) mengatakan untuk analisis parental, dibutuhkan jumlah lokus yang banyak
dengan marka yang tingkat polimorfiknya tinggi, sehingga menghasilkan alel
lebih banyak. Jumlah alel yang lebih banyak berfungsi untuk mengurangi
kemungkinan lebih dari satu calon tetua membawa satu set alel yang sesuai
dengan progeni pada setiap lokus. Nilai confidence level yang rendah juga bisa
terjadi sebagai akibat adanya kesalahan dalam pemberian skor untuk data
genotipe. Kesalahan yang terjadi disebabkan karena proses identifikasi genotipe
dengan proses konfirmasi alel per plate digunakan buffer yang berbeda. Proses
identifikasi genotipe awal menggunakan buffer TBE 1X sedangkan proses
konfirmasi alel menggunakan buffer SB 1X. Kesalahan dalam proses identifikasi
genotipe terlihat adanya empat alel progeni yang tidak sesuai dengan alel induk
betinanya. Kasus yang sama juga dialami oleh Slavov et al. (2009) yaitu
kesalahan dalam proses identifikasi genotipe menyebabkan munculnya null
alleles.
Salah satu pola penyerbukan dapat dilihat pada pohon induk kelapa Genjah
kopyor hijau nomor 67 (Gambar 4.4). Jumlah buah yang diperoleh dalam satu
tandan adalah sepuluh buah yang terdiri atas sembilan buah normal dan satu buah
kopyor. Buah normal memperoleh serbuk sari dari pohon 51 dan 21 masingmasing sebanyak satu kali, dari pohon 87 mendonorkan tiga serbuk sari, dan
pohon 94 mendonorkan empat serbuk sari. Buah kopyor memperoleh serbuk sari
dari pohon 72. Hal tersebut menandakan bahwa serbuk sari yang berasal dari
pohon 51, 21, 87 dan 94 membawa sifat K pada gamet jantannya sehingga
menyebabkan buah menjadi normal. Pohon kelapa dewasa nomor 51, 21 dan 87
bersifat kopyor heterozigot (Kk), sedangkan pohon nomor 94 adalah pohon yang
hanya menghasilkan buah kelapa normal (KK).
Serbuk sari yang berasal dari pohon 72 membawa sifat k pada gamet
jantannya dan gamet betinanya juga k sehingga menyebabkan buah menjadi
kopyor. Hal ini membuktikan dugaan bahwa jika pohon kelapa kopyor diserbuki
oleh pohon normal akan menurunkan produktivitas buah kopyor karena kontribusi
gamet K. Pohon kelapa berbuah normal (no.94) yang mendonorkan serbuk sari ke
pohon kelapa kopyor akan menghasilkan buah dengan genotipe normal homozigot
KK, sedangkan pohon kelapa Genjah kopyor no. 21, no.51 dan no.87
menghasilkan buah normal dengan kemungkinan genotipe Kk atau KK.. Buah
kopyor dapat terbentuk apabila gamet betinanya k dan gamet jantannya juga k
(Maskromo et al. 2011a). Pohon lainnya yang juga diserbuki oleh kelapa normal
adalah pohon induk kelapa Dalam no.85 (Lampiran 11). Buah yang dipanen dari
pohon tersebut berjumlah lima butir dan tidak ada satupun yang bersifat kopyor.
39
Gambar 4.4 Representasi pola penyerbukan pohon induk 67. Buah normal dihasilkan dari serbuk sari pohon 94 sebanyak empat kali,
pohon 87 sebanyak tiga kali, pohon 21 dan 51 masing-masing mengkontribusikan serbuk sari sebanyak satu kali. Buah kopyor
dihasilkan dari serbuk sari pohon 72
Jumlah donor serbuk sari (%)
40
35
33.3
30
23.8
25
20.2
20
13.1
15
10
5
4.8
3.6
11-20 21-30 31-40 41-50 51-60
Jarak antar tetua jantan-betina (m)
61-70
1.2
0
0-10
Gambar 4.5 Persentase penyerbukan yang terjadi berdasarkan jarak antara pohon
induk jantan dengan pohon induk betina
Jarak penyebaran serbuk sari di populasi kelapa kopyor Pati yang
teridentifikasi terjauh adalah 61.87 m, sedangkan jarak yang terendah adalah 0 m
atau terjadi penyerbukan sendiri. Penyerbukan paling banyak terjadi dalam
rentang jarak 0-10 m dengan persentase 33.3 % dan rata-rata penyerbukan terjadi
pada jarak 22.27 m. Jarak penyebaran serbuk sari dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Jarak antar pohon jantan dan betina dapat dihitung setelah teridentifikasi
tetua jantan. Penyerbukan dengan jarak yang dekat diduga dibantu oleh angin
sedangkan jarak yang jauh dibantu oleh serangga (Boer 2007). Jarak yang lebih
jauh dari 61.87 m masih memungkinkan terjadi, terkait sifat lebah sebagai vektor
polinator yang dapat terbang hingga ratusan meter.
Jarak antar pohon memberikan pengaruh terhadap frekuensi penyerbukan,
jarak yang paling dekat (0-10 m) memiliki persentase kontribusi serbuk sari yang
paling tinggi, tetapi pada jarak 21-30 dan 31-40 penyerbukan yang terjadi juga
cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena tinggi tanaman. Misalnya penyerbukan
dengan vektor angin, jika pohon pendonor serbuk sari lebih tinggi dibanding
pohon penerima serbuk sari maka jarak penyebaran serbuk sari bisa lebih jauh.
Arah penyebaran serbuk sari yang searah menandakan bahwa penyerbukan
dibantu oleh angin (Hamrick dan Trapnell 2011). Jarak antara pohon induk jantan
dan betina yang jauh mengindikasikan bahwa yang berperan lebih banyak dalam
penyerbukan kelapa kopyor di Pati adalah faktor polinator biologis yaitu lebah.
Hal tersebut sesuai pada penelitian Ramirez et al.(2004), yaitu penyerbukan
kelapa dibantu oleh serangga yaitu dari kelompok Diptera, Coleoptera dan yang
paling banyak adalah Hymenoptera. Lebah merupakan salah satu dari anggota
Hymenoptera.
Sistem Perkawinan
Persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri pada 84 progeni
dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kelapa Dalam memiliki persentase penyerbukan
41
silang tertinggi yaitu 100% berdasarkan analisis pada 17 progeni yang berasal dari
induk betina kelapa Dalam. Jumlah penyerbukan sendiri secara keseluruhan dari
84 progeni adalah 15.5% dan jumlah penyerbukan silang adalah 71 atau 84.5%.
Kelapa Dalam kopyor, kelapa Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor
melakukan penyerbukan silang, sedangkan penyerbukan sendiri hanya terjadi
pada kelapa Hibrida kopyor dan kelapa Genjah kopyor. Tipe-tipe bibit kelapa
yang terbentuk ada enam (Gambar 4.6). Pengelompokan tipe bibit kelapa
didasarkan pada jenis tetua betina dan jantannya yang terdeteksi (kelapa Genjah,
kelapa Dalam maupun kelapa Hibrida).
Tabel 4.1 Persentase penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang kelapa berbuah
kopyor berdasarkan jenis induk betinanya
Pengamatan
Jumlah
Persentase (%)
1. Induk betina kelapa Dalam
0
0
Penyerbukan sendiri
17
100
Penyerbukan silang
Total
17
100
2. Induk betina kelapa Hibrida
10
17.9
Penyerbukan sendiri
46
82.1
Penyerbukan silang
Total
56
100
3. Induk betina kelapa Genjah
3
27.3
Penyerbukan sendiri
8
72.7
Penyerbukan silang
Total
11
100
50
44.0
Jumlah (%)
40
30
16.7
20
9.5
10
6.0
20.2
3.6
0
Dalam Genjah Hibrida
TC
TC Double
Dalam Genjah hybrid
Tipe bibit kelapa
Gambar 4.6 Tipe bibit kelapa berdasarkan jenis tetua jantan dan betina yang
terdeteksi. Sistem perkawinan dapat bersifat selfing maupun
crossing. TC Dalam=testcross Dalam, TC Genjah=testcross Genjah
42
Bibit kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida masing-masing
sebanyak 9.5%, 6% dan 3.6%. Bibit kelapa testcross Dalam (kelapa Hibrida x
kelapa Dalam) 16.7%, bibit kelapa testcross Genjah (kelapa Hibrida x kelapa
Genjah) 20.2%, dan bibit kelapa double hybrid (kelapa Hibrida x kelapa Hibrida)
adalah 44%.
Penyerbukan sendiri dicirikan bahwa tetua jantan sama dengan tetua betina,
sedangkan penyerbukan silang dicirikan bahwa tetua jantan berbeda dengan tetua
betina. Penyerbukan sendiri menghasilkan progeni ful-sib sedangkan penyerbukan
silang menghasilkan progeni half-sib. Kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa
Hibrida saling mendonorkan serbuk sari satu sama lain. Kelapa Dalam tidak selalu
melakukan penyerbukan silang, begitupun dengan kelapa Genjah tidak semuanya
melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut diduga disebabkan karena morfologi
bunga kelapa yang terbuka, sehingga kelapa Genjah juga memiliki peluang untuk
menyerbuk silang (Maskromo et al. 2011a). Jika masa antesis dan reseptif pada
beberapa pohon kelapa terjadi bersamaan maka memungkinkan kelapa untuk
melakukan penyerbukan silang dengan bantuan angin maupun serangga.
Penelitian Rajesh (2008) juga mengatakan penyerbukan silang juga terjadi pada
kelapa Genjah. Hal tersebut didukung oleh tingginya tingkat heterosigositas
kelapa Genjah (0.46) dibanding kelapa Dalam.
Karakterisasi Produksi Kopyor
Data rata-rata produksi 15 pohon induk betina terpilih dapat dilihat pada
Tabel 4.2. Jumlah tandan per pohon bervariasi antara 5 hingga 12 tandan per
pohon. Rata-rata jumlah buah kelapa kopyor per tandan berkisar 2 hingga 3 butir.
Pohon nomor 67 memiliki rata-rata persentase produksi buah kopyor terendah
yaitu 24.1%, sedangkan yang tertinggi adalah pohon nomor 44 yaitu 47.39%.
Rata-rata jumlah buah kopyor per tandan tertinggi pada kelapa Genjah no.88 yaitu
3.33 butir, sedangkan rata-rata jumlah buah kopyor per tandan terendah pada
kelapa Dalam no.37 dan no.39 yaitu 2 butir. Hal tersebut disebabkan pada pohon
no.88 di sekitarnya tidak terdapat pohon kelapa berbuah normal, sedangkan pohon
no.37 disekitarnya ada satu pohon berbuah normal dan pada pohon no.39
disekitarnya ada dua pohon kelapa berbuah normal (Gambar 4.3). Kehadiran
pohon kelapa berbuah normal di dekat pohon kelapa berbuah kopyor
menyebabkan terjadinya penyerbukan alami diantara kedua pohon tersebut.
Persentase pohon berbuah normal yang mendonorkan serbuk sari ke pohon
berbuah kopyor disajikan pada Tabel 4.3.
43
Tabel 4.2 Rata-rata produktifitas buah kelapa kopyor yang digunakan sebagai
tetua betina di Pati pada bulan Juni 2011
No
Pohon
37
39
44
53
58
85
89
51
59
67
68
69
84
88
92
Jenis
Pohon
Data
Data
morfologi molekuler
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Hibrida
Hibrida
Genjah
Genjah
Genjah
Genjah
Genjah
Genjah
Hibrida
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Hibrida
Hibrida
Dalam
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Genjah
Genjah
Warna
Buah
Tandan
per
Pohon
Ratarata
Buah
per
Tandan
Ratarata
Kopyor
per
Tandan
Rata-rata
Persentasi
Kopyor
(%)
Hijau
Cokelat
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Cokelat
Cokelat
Hijau
Hijau
Kuning
Cokelat
Cokelat
Kuning
8
9
10
5
11
10
9
10
9
12
12
11
10
10
10
5.67
5.67
6.33
7.67
9.33
9.33
7.00
7.33
7.67
9.67
7.33
5.00
6.00
8.67
6.00
2.00
2.00
3.00
2.33
3.00
3.00
2.67
2.33
3.00
2.33
2.33
2.33
2.67
3.33
2.33
35.27
35.27
47.39
30.38
32.15
32.15
38.14
31.79
39.11
24.10
31.79
46.60
44.50
38.41
38.83
Tabel 4.3 Kontribusi serbuk sari dan persentase produksi buah kelapa kopyor
No
pohon
37
39
44
51
53
58
59
67
68
69
84
85
88
89
92
Jenis
pohon
Hibrida
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Hibrida
Genjah
Hibrida
Genjah
Sumber serbuk sari
Kelapa
Kelapa
normal
kopyor
2
4
1
-
2
5
2
6
2
2
5
6
9
6
8
5
6
7
5
Buah
Kopyor
%
Normal
%
Total
buah
1
4
1
2
2
1
3
3
2
4
4
50
80
50
33
0
0
28
10
33
50
25
0
67
80
1
1
1
4
2
2
5
9
6
3
6
6
2
7
1
50
20
50
67
100
100
72
90
67
50
75
100
33
100
20
2
5
2
6
2
2
7
10
9
6
8
6
6
7
5
Induk betina kelapa berbuah kopyor yang mendapatkan serbuk sari dari
pohon kelapa berbuah normal adalah induk betina nomor 59, 67 dan 85. Bunga
betina kelapa berbuah kopyor heterozigot atau tanaman kopyor homozigot yang
dibuahi serbuk sari dari pohon kelapa normal akan membentuk buah normal atau
44
tidak kopyor. Hal yang sama dibuktikan dalam penelitian Maskromo et al. (2012)
dengan pengamatan produksi buah kopyor pada populasi kelapa Dalam kopyor
Kalianda. Jumlah buah kelapa kopyor per tandan dipengaruhi oleh keberadaan
pohon kelapa berbuah normal yang ada di sekitarnya. Produksi buah kopyor per
tandan lebih tinggi pada pohon kelapa berbuah kopyor yang di sekelilingnya juga
merupakan pohon kelapa berbuah kopyor. Sebaliknya, pohon kelapa berbuah
kopyor yang dikelilingi oleh kelapa berbuah normal memiliki jumlah produksi
buah kopyor yang lebih rendah.
Simpulan
Penyerbukan paling banyak terjadi dalam rentang jarak 0-10 m dan ratarata penyerbukan terjadi dalam jarak 22.27 m. Produksi pohon kelapa berbuah
kopyor yang berada di sekitar pohon kelapa berbuah normal memiliki produksi
buah kopyor yang lebih rendah dibandingkan pohon berbuah kopyor yang tidak
dikelilingi pohon kelapa berbuah normal.
Daftar Pustaka
Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara
Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO,
Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system
and pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the
Eastern Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest
Ecol Manag. 262:1758-1765.
Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode of pollen spread
in clonal seed orchard of Pinus koraiensis. J Biophys Chem. 1:33-39.
Garcia C, Arroyo JM, Godoy A, Jordano P. 2005. Matting patterns, pollen
dispersal, and the ecological maternal neighbourhood in a Prunus
mahaleb L. population. Mol Ecol. 14:1821-1830.
Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand
seed dispesal patterns. Acta Oecol. 37:641-649.
Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan Genetika Empat Populasi
Kelapa Genjah Berdasarkan Pada Random Amplified Polymorphic DNA.
Hayati. 10:125-129.
45
Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics Design, Analysis and
Application. United Kingdom (GB): Blackwell Pub.
Manju KP, Arunachalam V. 2011. Bioinformatic Prediction of SNP Markers in
WRKY Sequences of Palms. Cord. 27:17-25.
Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB and Pemberton JM. 1998. Statistical confidence
for likelihood-based paternity inference in natural populations. Mol Ecol.
7:639-655.
Maskromo I, Mashud N, Novarianto H. 2007. Potensi pengembangan kelapa
kopyor di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
13:4-6.
Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011a. Fenologi Pembungaan Tiga
Varietas Kelapa Genjah Kopyor Pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S,
Anas D, Nurul K, Dewi S, Ketty S, Sintho WA, editor. Prosiding
Seminar PERHORTI Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi
Pasar Domestik dan Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia.
Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 1002-1010.
Maskromo I, Novarianto H, Sukma D, Sudarsono. 2011b. Potensi Hasil Plasma
Nutfah Kelapa Kopyor Asal Kalianda, Pati, Sumenep dan Jember. Di
dalam Ade I, Agung K, Dedi R, Farida D, Hawan M, Noladhi W, Suseno
A, Windhy C, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pemanfaatan
Sumberdaya Genetik Lokal mendukung Industri Perbenihan dan Kongres
PERIPI; 2011 Des 10; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Prodi
Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Hlm
499-506.
Maskromo I, Sudarsono, Novarianto H. 2012. Potensi Produksi Pohon Induk
Kelapa Dalam Kopyor Asal Kalianda Lampung Selatan. Di dalam : Maya
M, Sandra AA, Darda E, Ni MA, Sudarsono, Nita E, Syahbuddin AT,
editor. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama Peragi-PerhortiPeripi-Higi. 2012 Mei 1-2; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hlm 430-436.
Pabendon MB, Azrai M, Kasim F, Mejaya MJ. 2007. Prospek penggunaan
markah molekuler dalam program pemuliaan jagung. Jagung.
Jakarta(ID):Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Pandin DS, Hartana A, Aswidinnoor H, Setiawan A. 2008. Pelacakan tetua
populasi kelapa dalam mapanget no.32 (DMT-32) menggunakan analisis
aliran gen (gene flow) berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR). Jurnal
Litri. 14:131-140.
46
Pandin DS. 2009. Inbreeding depression analysis based on morphological
characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no. 32
(Cocos nucifera L.). Indonesian J Agr. 2:110-114.
Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and mating system
analysis in natural teak forest using microsatellite markers. Curr Sci.
101:1213-1219.
Rajesh MK, Nagarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008.
Microsatelitte variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from
Andaman and Nicobar Islands. Curr Sci. 94:1627-1632.
Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989.
Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and
germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273.
Slavov GT, Leonardi S, Burczyk J, Adams WT, Strauss SH, Difazio SP. 2009.
Extensive pollen flow in two ecologically contrasting populations of Populus
trichocarpa. Mol Ecol. 18:357–73.
Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,
Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan
terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah
madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
47
PEMBAHASAN UMUM
Embrio kelapa kopyor tidak bisa tumbuh dan berkembang seperti buah
kelapa normal pada umumnya. Endosperma kelapa kopyor bersifat abnormal dan
mengalami pembusukan segera setelah dipetik dari pohonnya. Hal tersebut yang
membuat buah kelapa kopyor menjadi langka, sedangkan dari segi rasa buah
kelapa kopyor disukai oleh masyarakat. Kabupaten Pati merupakan salah satu
penghasil kopyor terbaik di Indonesia karena di Pati berkembang populasi kelapa
Genjah kopyor, sedangkan di daerah lain seperti Lampung, Jember dan Sumenep
kebanyakan adalah kelapa Dalam kopyor. Produksi buah kopyor di Pati rata-rata
3-5 butir pertandan, dianggap masih kurang dari kemampuan berbuah kopyor bagi
kelapa Genjah yaitu 50% (Maskromo dan Novarianto 2007a).
Marka mikrosatelit atau SSR merupakan marka yang telah digunakan dalam
analisis kemiripan genetik pada tanaman kelapa (Dasanayaka et al. 2009), kelapa
sawit (Zulhermana 2009), jagung (Azrai 2006), padi (Moeljopawiro 2007), dan
Rosa sp (Nybom et al. 2004). Setiap individu dalam famili half-sib memiliki
paling sedikit satu alel yang berasal dari pohon induk benih, sehingga dapat
dibedakan mana benih yang merupakan hasil penyerbukan sendiri maupun hasil
penyerbukan silang. Jika penyerbukan sendiri kemiripan genetik progeninya
memiliki kemiripan mendekati 100% dengan induknnya (Carneiro et al. 2011).
Primer-primer yang diseleksi banyak yang menghasilkan pola pita
monomorfik, bahkan ada empat primer yang tidak dapat mengamplifikasi. Primer
yang tidak dapat mengamplifikasi disebabkan karena adanya ketidakcocokan
urutan basa pada primer dengan basa nukleotida. Selain itu bisa disebabkan
karena kondisi PCR yang belum optimal.
Pola pita yang monomorfik berhubungan dengan sampel yang digunakan,
semakin rendah variasi genetik suatu populasi semakin sulit untuk membedakan
genotipe tiap-tiap individu. Populasi yang digunakan terdiri atas kelapa genjah
yaitu 34.7%, sedangkan kelapa Dalam dan kelapa Hibrida masing-masing adalah
15.8% dan 49.5%. Variasi genetik yang rendah juga disebabkan karena petani di
Pati menanam bibit kelapa kopyor dan membentuk populasi pohon kelapa kopyor
yang berasal dari pohon induk yang sama. Jumlah primer polimorfik diharapkan
akan lebih banyak jika populasi yang digunakan dalam analisis mayoritas adalah
kelapa Dalam. hal tersebut disebabkan karena kelapa Genjah memiliki variasi
genetik yang lebih rendah dibanding dengan kelapa Dalam (Maskromo et al.
2007c).
Primer yang polimorfik menunjukkan adanya kecocokan dalam amplifikasi
primer terhadap DNA template yang ditemukan pada lokus yang sama tetapi pada
alel yang berbeda. Alel yang berbeda disebabkan karena perbedaan berat
molekulnya dalam hal ini jumlah pasang basa. Hasil elektroforesis pada gel
poliakrilamid mampu memisahkan DNA lebih sempurna. Penentuan ukuran dan
jumlah alel yang muncul pada gel didasarkan pada asumsi bahwa semua pita
DNA yang memiliki laju migrasi yang sama dalam proses elektroforesis (Leung et
al. dalam Munarti 2005).
Hasil analisis oleh perangkat lunak komputer NTSYS dengan
STRUCTURE memiliki hasil yang sejalan. Kelompok pertama hasil clustering
48
NTSYS didominasi oleh kelapa tipe Genjah, serta beberapa kelapa Dalam dan
Hibrida. Kelompok kedua dan ketiga didominasi oleh kelapa Dalam serta
beberapa kelapa Genjah dan Hibrida. Kelompok pertama hasil clustering
STRUCTURE menunjukkan kelapa Dalam, sedangkan kelompok kedua
menunjukkan kelapa Genjah. Kedua perangkat lunak komputer tersebut dapat
mengelompokkan kelapa berdasarkan jenisnya.
Kelapa Dalam yang terdapat pada kelompok pertama dan kelapa Genjah
pada kelompok kedua dalam analisis NTSYS disebabkan karena kesalahan dalam
mengidentifikasi jenis pohon kelapa di lapangan. Hasil tersebut didukung oleh
hasil analisis STRUCTURE. Pohon yang awalnya diduga adalah kelapa Dalam
(pohon nomor 24), ternyata memiliki struktur genetik yang lebih menyerupai
kelapa Genjah, sehingga pada dendogram (Gambar 3.7) pohon tersebut
mengelompok bersama dengan pohon kelapa Genjah. Hasil analisis
STRUCTURE menunjukkan bahwa pohon nomor 24 memiliki sifat kelapa Dalam
kurang dari 10%. Hal yang sama juga terjadi pada kelapa Genjah yang berada satu
kelompok dengan kelapa Dalam pada dendogram. Jenis pohon kelapa yang telah
diketahui melalui kedua analisis tersebut penting dalam menentukan jenis progeni
atau bibit kelapa yang dipanen dari 15 pohon induk betina terpilih. Bibit kelapa
tersebut terlebih dahulu harus diketahui induk jantannya melalui analisis tetua
jantan.
Aliran informasi genetik melalui serbuk sari lebih efisien dibanding melalui
biji, karena melalui serbuk sari jarak penyebaran informasi genetik bisa lebih jauh.
Jarak penyebaran serbuk sari yang jauh dapat dibantu oleh serangga sebagai
vektor. Finkeldey dalam Boer (2007) mengatakan bahwa distribusi informasi
genetik melalui biji tidak efisien karena akan membentuk struktur famili. Struktur
famili adalah antara satu pohon dengan pohon lain di sekitarnya memiliki
kemiripan genetik yang hampir sama.
Hasil analisis tetua jantan menggunakan empat lokus SSR dan satu posisi
SNP menunjukkan bahwa tingkat penyerbukan silang pada populasi ini sangat
tinggi. Kelapa Genjah tidak selalu melakukan penyerbukan sendiri, karena apabila
terdapat dua pohon yang berdekatan memiliki masa antesis dan reseptif yang sama
kedua pohon dapat saling menyerbuki. Hal tersebut didukung oleh morfologi
bunga kelapa yang terbuka, sehingga angin maupun serangga dapat bertindak
sebagai vektor polinator. Penelitian Maskromo et al. (2011a) menyatakan bahwa
terdapat kesamaan waktu antesis dan reseptif pada kelapa Genjah Hijau Kopyor
Pati, kelapa Genjah Kuning Kopyor Pati dan kelapa Genjah Cokelat Kopyor Pati.
Rendahnya confidence level pada induk jantan yang teridentifikasi diduga terkait
dengan pemilihan populasi. Populasi yang lebih beragam diharapkan dapat
digunakan pada penelitian selanjutnya sehingga confidence level yang diperoleh
bisa ditingkatkan.
Produktivitas kopyor tertinggi pada pohon induk kelapa Dalam no.44
(47.4%) sedangkan produktivitas terendah pada pohon induk kelapa Genjah no.67
(24.1%). Pohon induk no.44 berada di dekat satu pohon kelapa Genjah normal
dan satu pohon kelapa Dalam normal. Pohon induk no.44 tidak memperoleh
serbuk sari dari kedua pohon kelapa berbuah normal tersebut disebabkan karena
tinggi pohon no.44 yaitu 13 m lebih tinggi dibanding pohon kelapa berbuah
normal, yaitu 2 m dan 11 m.
49
Pohon induk no.67 berada di dekat satu pohon kelapa Genjah normal dan
dua pohon kelapa Dalam normal. Satu tandan buah kelapa yang dipanen dari
pohon induk no.67 kemudian dianalisis sumber serbuk sarinya menunjukkan
bahwa progeni pohon induk no.67 diserbuki oleh kelapa Genjah normal sebanyak
empat kali, sehingga dari sepuluh buah kopyor per tandan yang dipanen hanya ada
satu yang kopyor (10%). Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pohon
kelapa normal memberikan pengaruh terhadap produksi buah kopyor.
Pohon lainnya yang juga diserbuki oleh kelapa normal adalah pohon induk
no.85. Pohon tersebut memiliki lima buah dalam satu tandan tetapi tidak satupun
yang berbuah kopyor. Pohon induk no.59 yang mendapatkan dua serbuk sari dari
pohon berbuah normal memiliki tujuh buah per tandan yang dipanen hanya ada
dua buah yang kopyor (28.5%). Analisis penyebaran serbuk sari terhadap 84
progeni menunjukkan bahwa secara keseluruhan kelapa normal mendonorkan
serbuk sari sebanyak 8.33%.
Pengamatan di lapangan pada salah satu pohon kelapa berbuah kopyor di
Pati memperlihatkan adanya lebah liar yang bergerombol di sekitar bunga kelapa.
Hal tersebut dikaitkan dengan pola penyebaran serbuk sari yang diperoleh bahwa
pohon induk betina mendapatkan donor serbuk sari dari berbagai arah. Selain itu,
pohon induk betina juga mendapatkan donor serbuk sari dari pohon yang jauh.
Pola penyebaran serbuk sari yang demikian dapat dijadikan petunjuk bahwa
penyerbukan pohon kelapa berbuah kopyor di Pati juga dibantu oleh serangga.
Implikasi dari penelitian ini adalah petani kelapa kopyor di Pati sebaiknya
melakukan penebangan pohon kelapa berbuah normal dalam areal pertanamannya
untuk meningkatkan produksi kelapa kopyor karena pohon kelapa berbuah normal
dapat mendonorkan serbuk sarinya ke pohon berbuah kopyor. Lebah yang
diintroduksikan pada kebun kelapa kopyor juga diharapkan mampu meningkatkan
produksi kelapa kopyor di Pati. Lebah merupakan polinator terbaik yang dapat
meningkatkan produktivitas tanaman (Liferdi 2008). Lebah sebagai polinator pada
tanaman jarak pagar dapat meningkatkan produksi sebesar 40% (Kasno et al.
2010).
50
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kemiripan genetik pada populasi tanaman kelapa dewasa lebih rendah
dibandingkan dengan populasi progeninya.
2. Pola penyebaran serbuk sari yang menyebar ke segala arah dan memiliki jarak
tempuh yang jauh mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor
lebah.
3. Pohon kelapa berbuah normal yang berada di sekitar pohon kelapa berbuah
kopyor dapat mengurangi jumlah produksi buah kelapa kopyor.
Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menambah jumlah lokus yang
dianalisis untuk meningkatkan akurasi data atau mencari marka lain yang bersifat
kodominan namun lebih spesifik. Penetapan penggunaan sampel populasi
sebaiknya lebih diperluas. Pengamatan pola penyebaran serbuk sari sebaiknya
dilanjutkan dengan menggunakan populasi kelapa Dalam yang lebih bervariasi
atau di lokasi lain.
51
DAFTAR PUSTAKA
Austerlitz F, Dick CW, Dutech C, Klein EK, Muratorio SO, Smouse PE, Sork VL.
2004. Using a genetic markers to estimate the pollen dispersal curve.
Mol. Ecol. 13:937-954.
Azrai M. 2006. Sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman
jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 25:81-89.
Blair AW, Williamson PS. 2009. Pollen dispersal in star cactus (Astrophytum
asterias). J Arid Environ. 74:525-527.
Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara
Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Brody JR, Kern SE. 2004. Sodium boric acid: a Tris-free, cooler conductive
medium for DNA electrophoresis. BioTech. 36:214-6.
Cansian RL, Mossi AJ, Luccio MD, Cechet ML, Mazutti M, Echeverrigaray S.
2010. Molecular identification of pollen donor plants on a progeny of
Cambona-4 female matrix of maté (Ilex paraguariensis St. Hil. –
Aquifoliaceae). Acta Sci Biol Sci. 32:39-42.
Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO,
Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system
and pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the
Eastern Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest
Ecol Manag. 262:1758-1765.
Chan E, Elevitch CR. 2006. Cocos nucifera (coconut). Species Profile for Pasific
Island Agroforestry. www.traditionaltree.org. Diakses 19 April 2013.
Chen H, He H, Zou Y, Chen W, Yu R, Liu X, Yang Y, Gao YM, Xu JL, Fan LM
et al. 2001. Development and application of a set of breeder-friendly
SNP markers for genetic analyses and molecular breeding of rice (Oryza
sativa L.). Theor Appl Genet. 123:869-879.
Creste S, Neto AT, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat
polymorphisms in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver
staining. Plant Mol Biol Rep. 19:299–306.
Chakravarthi BK, Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting
and diversity study in rice (Oryza sativa L.). African J Biotech. 5:684688.
52
Dasanayaka PN, Everard JMDT, Karunanayaka EH, Nandadasa HG. 2009.
Analysis of coconut (Cocos nucifera L.) diversity using microsatellite
markers with emphasis on management and utilisation of genetic
resources. J Natn.Sci Found Sri Lanka. 37:99-109.
Dunphy BK, Hamrick JL, Schwagerl, J. 2004. A comparison of direct and indirect
measures of gene flow in the bat-pollinated tree Hymenaea courbaril in
the dry forest life zone of south-western Puerto Rico. Int J Plant Sci.
165:427–436.
Evanno G, Regnaut S, Goudet J. 2005. Detecting the number of clusters of
individuals using the software STRUCTURE:a simulation study. Mol
Ecol. 14:2611-2620.
Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode of pollen spread
in clonal seed orchard of Pinus koraiensis. J Biophys Chem. 1:33-39.
Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand
seed dispesal patterns. Acta Oecol. 37:641-649.
Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan Genetika Empat Populasi
Kelapa Genjah Berdasarkan Pada Random Amplified Polymorphic DNA.
Hayati J Biosci. 10:125-129.
Heliyanto B. 2010. Program penelitian kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) di
Balitka Manado. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH,
Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi
Nasional Kelapa VII; 2010 Mei 26-27; Manado, Indonesia. Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 138-143.
Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic
DNA markers. Los Alamos Sci. 20: 100-102.
Iriani NR. 2011. Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi
serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis
[disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Karp AS, Kresnovich, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular Tools in
Plant Genetic Resources Conservation : A Guide to The Technologies.
IPGRI Technical Bulletin No.2. Italia (IT):International Plant Genetic
Resources Institute.
Kasno, Hasan HES, Efendi DS, Syaefuddin. 2010. Efektifitas 3 spesies lebah
madu sebagai agen polinasi untuk meningkatkan produktivitas (>40%)
biji jarak pagar (Jatropha curcas) pada ekosistem iklim basah. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia. 15:25-33.
53
Konan KJN, Koffi KE, Konan JL, Lebrun P, Dery SK, Sangare A. 2007.
Microsatellite gene diversity in coconut (Cocos nucifera L.) accessions
resistants to lethal yellowing disease. African J Biotech. 6:341-347.
Lebrun P, Baudouin L, Bourdeix R, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A,
and Ritter E. 2001. Construction of a linkage map of the Rennel Island
Tall coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield
characters. Genome. 44:962-970.
Lestari P, Koh HJ. 2013. Development of new CAPS/Dcaps and SNAP markers
for rice eating quality. Hayati J Biosci. 20:15-23.
Liferdi L. 2008. Lebah Polinator Utama pada Tanaman Hortikultura. Iptek
Hortikultura. 4:1-5.
Liu XC, Wu JL. 1998. SSR heterotic patterns of parents for making and predicting
heterosis. Mol Breed. 4:263-268.
Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics Design, Analysis and
Application. United Kingdom (GB): Blackwell Publishing.
Mallet J. 2001. Gene flow. Woiwod IP, Reynolds DR, Thomas CD , editor. Insect
Movement: Mechanisms and Consequences. Wallingford (GB): CAB
International.
Mammadov JA, Chen W, Ren R, Pai R, Marchione W, Yalcin F, Witsenboer H,
Greene TW, Thompson SA, Kumpatla SP. 2010. Development of highly
polymorphic SNP Markers from the complexity reduced portion of maize
(Zea mays L.) genome for use in marker-assisted breeding. Theor Appl
Genet. 121:577-588.
Mammadov JA, Aggarwal R, Buyyarapu R, Kumpatla SP. 2012. SNP Markers
and their impact on plant breeding. Int J Plant Genom. 2012:1-11.
Manju KP, Arunachalam V. 2011. Bioinformatic Prediction of SNP Markers in
WRKY Sequences of Palms. Cord. 27:17-25.
Margarita MH, Alan WM, Lalith P, Joanne R, Raymond JS. 2010. Ambiguous
genetic relationships among coconut (Cocos nucifera L.) cultivars: the
effects of outcrossing, sample source and size, and method of analysis.
Genet Resour Crop Evol. 57:203-217.
Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB and Pemberton JM. 1998. Statistical confidence
for likelihood-based paternity inference in natural populations. Mol Ecol
7:639-655.
Martinez RT, Luc B, Angelique B, and Michael D. 2009. Characterization of the
genetic diversity of the Tall coconut (Cocos nucifera L.) in the
54
Dominican Republic using microsatellite (SSR) markers. Tree Genet
Genom. 6:73-81.
Maskromo I. 2005. Kemiripan Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor
Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda DNA SSRs (Simple
Sequence Repeats) [tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Maskromo I dan Novarianto H. 2007a. Potensi Genetik Kelapa Kopyor Genjah.
Warta Litbang Pertanian. 29:3-5.
Maskromo I, Mashud N, Hutapea R, Novarianto H. 2007b. Keragaman tipe kelapa
kopyor di Indonesia. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH,
Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi
Nasional Kelapa VI Buku II; 2006 Mei 16-18; Gorontalo, Indonesia.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 294299.
Maskromo I, Mashud N, Novarianto H. 2007c. Potensi pengembangan kelapa
kopyor di Indonesia. Warta Litbang Perkebunan. 13:4-6.
Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011a. Fenologi Pembungaan Tiga
Varietas Kelapa Genjah Kopyor Pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S,
Anas D, Nurul K, Dewi S, Ketty S, Sintho WA, editor. Prosiding
Seminar PERHORTI Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi
Pasar Domestik dan Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia.
Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 1002-1010.
Maskromo I, Novarianto H, Sukma D, Sudarsono. 2011b. Potensi Hasil Plasma
Nutfah Kelapa Kopyor Asal Kalianda, Pati, Sumenep dan Jember. Di
dalam Ade I, Agung K, Dedi R, Farida D, Hawan M, Noladhi W, Suseno
A, Windhy C, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pemanfaatan
Sumberdaya Genetik Lokal mendukung Industri Perbenihan dan Kongres
PERIPI; 2011 Des 10; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Prodi
Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Hlm
499-506.
Maskromo I, Sudarsono, Novarianto H. 2012. Potensi Produksi Pohon Induk
Kelapa Dalam Kopyor Asal Kalianda Lampung Selatan. Di dalam : Maya
M, Sandra AA, Darda E, Ni MA, Sudarsono, Nita E, Syahbuddin AT,
editor. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama Peragi-PerhortiPeripi-Higi. 2012 Mei 1-2; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hlm 430-436.
Maskromo I. 2013. Kerjasama Pengembangan Kelapa Eksotik Di Provinsi
Banten. http://balitka.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
55
McCouch SR, Zhao K, Wright M, Tung CW, Ebana K, Thomson M, Reynolds A,
Wang D, DeClerck G, Ali ML, et al. 2010. Development of genome wide
SNP assays for rice. Breed Sci. 60:524-535.
Moeljopawiro S. 2007. Marka Mikrosatelit sebagai Alternatif Uji BUSS dalam
Perlindungan Varietas Padi. Zuriat. 18:129-138.
Mohring S, Salamini F, Schneider K. 2004. Multiplexed, linkage group-specific
SNP marker sets for rapid genetic mapping and fingerprinting of sugar
beet (Beta vulgaris L.). Mol. Breed. 14:475-488.
Munarti. 2005. Analisis Keragaman Genetik Jati Asal Sulawesi Selatan
Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeat (SSR) [tesis]. Indonesia (ID)
: Institut Pertanian Bogor.
Noel KKJ, Edmond KK, Konan KJL, Konan KE. 2011. Microsatellite gene
diversity within Philippines dwarf coconut palm (Cocos nucifera L.)
resources at Port-Bouet, Cote d’lvoire. Sci Res Essay. 6:5986-5992.
Novarianto H. 2008. Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler dan
implikasinya terhadap peremajaan kelapa di Indonesia. Pengembangan
Inovasi Pertanian. 1:259-273.
Novarianto H, Hartana A. 1995. Analisis kemiripan genetika kelapa koleksi
plasma nutfah di kebun percobaan Mapanget, Sulawesi Utara. Hayati.
2:12-16.
Nybom H, Esselink GD, Werlemark G, Vosman B. 2004. Microsatellite DNA
marker inheritance indicates preferential pairing between two highly
homologous genomes in polyploid and hemisexual dog-roses, Rosa L.
Sect. Caninae DC. Heredity. 92:139-150.
Pabendon MB, Azrai M, Kasim F, Mejaya MJ. 2007. Prospek penggunaan marka
molekuler dalam program pemuliaan jagung. Jagung. Jakarta (ID):Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Pandin DS, Hartana A, Aswidinnoor H, Setiawan A. 2008. Pelacakan tetua
populasi kelapa dalam mapanget no.32 (DMT-32) menggunakan analisis
aliran gen (gene flow) berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR). Jurnal
Litri. 14:131-140.
Pandin DS. 2009a. Inbreeding depression analysis based on morphological
characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no. 32
(Cocos nucifera L.). Indonesian J Agr. 2:110-114.
Pandin DS. 2009b. Depresi Penangkaran Dalam Empat Generasi Penyerbukan
Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32 Berdasarkan Sifat
Morfologi dan Penanda Mikrosatelit. [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
56
Powel W, Gordon CM, Jim P. 1996. Polimorphism revealed by simple sequence
repeat. Trend Plant Sci. 1:215-221.
Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and mating system
analysis in natural teak forest using microsatellite markers. Curr Sci.
101:1213-1219.
Prihatini I, Taryono, Rimbawanto A. 2006. Penggunaan Penanda Mikrosatelit
untuk analisis induk Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 3:139-148.
Rajesh MK, Nagarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008.
Microsatelitte variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from
Andaman and Nicobar Islands. Curr Sci. 94:1627-1632.
Ramirez VM, Tablat VP, Kevan PG, Morillo IR, Harries H, Barrera MF, Villareal
DZ. 2004. Mixed mating strategies and pollination by insects and wind in
coconut palm (Cocos nucifera L. (Arecaceae)): importance in production
and selection. Agr. Forest Entomol. 6:155-163.
Ribeiro FE, Baudouin L, Lebrun P, Chaves LJ, Brondani C, Zucchi MI,
Vencovsky R. 2010. Population structure of Brazilian tall coconut (Cocos
nucifera L.) by microsatellite markers. Genet Mol Biol. 33:696-702.
Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos
nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a subset
of copies-like EcoR1 repetitive elements. J Genet Breed. 49:170-186.
Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysys
System Version 2.0. New York (US): Exeter Software.
Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali,
SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and
genetic diversity analysis of aromatic landraces of rice (Oryza sativa L.).
J BioSci Biotech. 1:107-116.
Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989.
Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and
germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273.
Sangare A, Rognon F, de Nuce de Lemothe. 1978. Male and female phases in the
inflorescenceof the coconut. Oleagineux. 30:609-617.
Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, Labouisse JP. 1999. Manual on
standardized research techniques in coconut breeding (STANTECH).
Singapore (SG): IPGRI-APO.
57
Santoso U, Kubo K, Ota T, Tadokoro T, Maekawa A. 1996. Nutrient composition
of kopyor coconuts (Cocos nucifera L.). Food Chem. 57:299-304.
Saptahadi D, Hartati RRS, Setiawan A, Heliyanto B, Sudarsono. 2011.
Pengembangan marka simple sequence repeat untuk Jatropha spp. Jurnal
Litri. 17:140-149.
Sardou MA, Baghizadeh A, Tavasoli A, and Babaei S. 2011. The use of
microsatellite markers for genetic diversity assessment of genus
Hordeum L. in Kerman province (Iran). African J Biotech. 10:1516-1521.
Schulman AH. 2007. Molecular markers to assess genetic diversity. Euphytica.
158:313–321.
Selkoe KA and Toonen RJ. 2006. Microsatellites for ecologists: a practical guide
to using and evaluating microsatellite markers. Ecol Lett. 9:615-629.
Semagn K, Bjornstad A, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular
marker methods for plants. African J Biotech. 5:2540-2568.
Shalini KV, Manjunatha S, Lebrun P, Berger A, Baudouin L, Pirany N,
Rangananth RM, Prasad DT. 2007. Identification of molecular markers
associated with mite resistance in coconut (Cocos nucifera L.). Genome.
50:35-42.
Slavov GT, Leonardi S, Burczyk J, Adams WT, Strauss SH, Difazio SP. 2009.
Extensive pollen flow in two ecologically contrasting populations of
Populus trichocarpa. Mol Ecol. 18:357–73.
Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,
Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan
terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah
madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sukendah. 2009. Pembiakan Kopyor In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa
Kopyor [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Tahardi JS. 1997. Kelapa Kopyor Sebagai Komoditi Alternatif Agribisnis. Warta
Puslit Biotek Perkebunan. 3:16-21.
Wahyuni M. 2000. Bertanam Kelapa Kopyor. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wright JM dan Benzen P. 1994. Microsatellite : Genetic Markers For The Future.
Rev Fish Biol Fish. 4:384-388.
58
Yang X, Xu Y, Shah T, Li H, Han Z, Li J, Yan J. 2011. Comparison of SSRs and
SNPs in assessment of genetic relatedness in maize. Genetica. 139:1045–
54.
Yeh FC, Yang RC, Boyle T. 1999. POPGENE version1.31 Microsoft WindowBase Software For Population Genetic Analysis:A Quick User’s Guide.
Canada (CA): University of Alberta.
Zulhermana. 2009. Keragaman Genetik Intra dan Interpopulasi Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis jacq.) Pisifera Asal Nigeria Berdasarkan Analisis
Marka Simple Sequence Repeats (SSR) [tesis]. Indonesia (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
59
Lampiran 1 Pembuatan Larutan Stok untuk analisis molekuler
1.
Buffer ekstraksi
Buffer ini merupakan campuran dari beberapa larutan, yaitu Tris, EDTA,
NaCl, CTAB, dan aquadest .
 Tris 1 M dibuat dengan cara Tris base 121,1 gr dilarutkan ke dalam 800 ml
aquadest , kemudian pH diatur menjadi 7,5 menggunakan HCL pekat (± 42
ml) untuk menurunkan pH, kemudian volume larutan dicukupkan hingga
1000 ml.
 EDTA 0.5 M dibuat dengan cara disodium ethylenediaminetetraacetate
dengan 186,1 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur
menjadi 8,0 menggunakan NaOH, setelah itu mencukupkan volume hingga 1
liter.
 NaCl 2.5 M dibuat dengan cara 292,2 gr NaCl dilarutkan dalam 1 liter
aquadest.
 Buffer ekstraksi sebanyak 200 ml, dibuat dari Tris 20 ml, EDTA 8 ml, NaCl
112 ml, CTAB (cetyltrimethylamoniumbromide) 4 gr kemudian bahan-bahan
tersebut dilarutkan dengan aquadest 50 ml kemudian dicukupkan hingga
volume mencapai 200 ml.
Chloroform-isoamylalkohol
Chloroform-isoamylalkohol merupakan campuran chloroform dengan
isoamyl alkohol dengan perbandingan 24:1, yaitu 480 ml chloroform dan 20 ml
isoamyl alkohol.
2.
3.
SB Bufer 20X
Boric acid sebanyak 22.5 gr dan NaOH 4 gr dilarutkan dalam 300 ml
aquadest, kemudian volume dicukupkan hingga 500 ml. Stok 1 liter SB buffer 1x
dibuat dengan melarutkan 50 ml stok SB buffer dengan 950 ml aquadest.
4.
TBE Buffer 5 M
Tris base 54 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , lalu ditambahkan 27,5 gr
boric acid dan 20 ml EDTA, kemudian volume dicukupkan hingga 1 liter.
Buffer TBE 0,5 M dibuat melalui pengenceran TBE buffer 5 M dengan
menggunakan rumus :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 5 M = 1000 x 0,5 M
V1 = 10 ml TBE buffer 5 M + 990 ml aquadest
5.
6.
Etanol 70%
Etanol absolute sebanyak 350 ml dicampurkan dengan 150 ml aquadest .
Ethidium bromide
Ethidium bromide 10 mg.ml-1 sebanyak 100 ml dilarutkan ke dalam 1000
ml aquadest, dan penyimpanannya menggunakan botol gelap atau botol yang
dibungkus dengan aluminium foil.
60
7.
Acrylamide Bis-acrilamide (19:1) 40%
Acrylamide 190 gr dan Bis-acrylamide 10 gr dimasukkan ke dalam beacker
glass 500 ml, kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 400 ml. Setelah larut
sempurna, cukupkan volume menjadi 500 ml. Larutan disaring menggunakan
kertas saring dan menyimpannya ke dalam botol gelap di lemari es.
8.
Acrylamide solution 6% dengan TBE bufer
Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Setelah larut,
kemudian ditambahkan 100 ml TBE buffer 5 M dan 75 ml stock akrilamid 40%.
Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas saring.
Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es.
9.
Acrylamide solution 6% dengan SB bufer
Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Setelah larut,
kemudian ditambahkan 25 ml SB buffer 20X dan 75 ml stock akrilamid 40%.
Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas saring.
Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es.
10.
Ammonium persulfate (APS)
Ammonium persulfate sebanyak 1 gr dilarutkan dalam 10 ml aquadest,
kemudian larutan disimpan pada suhu 4ºC.
11. Sodium thiosulfate
Sodium thiosulfate 100 mg dilarutkan ke dalam 10 ml aquadest, larutan
disimpan pada suhu ruang.
12.
Larutan dalam pewarnaan silver
Pewarnaan silver menggunakan lima larutan, yaitu larutan fiksasi, larutan
nitrit acid, larutan staining, larutan developer, larutan stop.
 Larutan fiksasi dibuat dengan melarutkan 10 ml asam asetat glacial dan
100 ml ethanol 95% ke dalam 890 ml aquadest.
 Larutan nitrit acid dibuat dengan melarutkan 15 ml nitrit acid ke dalam
985 ml aquadest.
 Larutan staining dibuat dengan melarutkan 1.5 gr silver nitrat ke dalam 1
liter aquadest.
 Larutan developer dibuat dengan melarutkan 30 gr sodium carbonat di
dalam 1000 ml aquadest. Larutan ini disimpan dalam freezer -20ºC sampai
pada saat akan digunakan. Pada saat akan digunakan, larutan ditambahkan
1,5 ml formaldehid 37% dan 200 µl sodium thiosulfate.
 Larutan stop dibuat dengan melarutkan 50 ml asam asetat glacial ke
dalam 950 ml aquadest .
61
Lampiran 2 Daftar 36 primer SSR yang digunakan
No
Lokus
Urutan basa (5’ – 3’)
1
CnCir_74
2
CnCir_J2
3
CnCir_87
4
CnCir_G4
5
CnCir_K8
6
CnCir_K1
7
CnCir_241
8
CnCir_123
9
CnCir_J10
10
CnCir_B11
11
CnCir_109
12
CnCir_2
13
CnCir_86
14
CnCir_89
15
CnCir_192
16
CnCir_D8
17
CnCir_121
18
CnCir_56
19
CnCir_H11
20
CnCir_167
21
CnCir_C9
22
CnCir_C5
23
CnCir_48
24
CnCir_B12
25
CnCir_H4
F =GAG ATC CTC ACC TCC AC
R =CGG CAA CAA AGA GAA C
F =CCA TTG TCA TTG TTA TTT TG
R =GTC ACC ATC TTC TCA GTT TC
F =ATA ACA TCC TCC AAC CTG
R =GAC TGA ATC CAA CCC TT
F =AGT ATA GTC ACG CCA GAA AA
R =AAA CCC ATA ACC AGC AAG
F=CCA GAC ATG AAA CAA ACA A
R =CAT GGC ACA TAG GAA GAA
F =TTA CCAGGC CAC AAA GAA
R =AGA GTG AAC AAAGAG GAA GAT T
F =CCA CTC CAA CAA CAC C
R =AAT CAC CAA ACA CAT CTT C
F =AAA GTG AAG TGG ATA ATG TG
R =AGA GAG GAT CTA GGG TTG T
F =GAG GGT ATG GTG CTG CTT G
R =ATC CTT CAT GTG GCT CTG C
F =TCT GCA TCC CTT CTT TAT TA
R =TTGTCT TTC TTT ATT CTA TTG G
F =CCT ACC ACA CCT TCC A
R =ATC ATC TCA GTC CTT CTC A
F =AGTCCT AAA AGT GTT GGC
R =GTA ATC CTA TGG CTG CTT
F =ACT CAC GCA AAT ATA CTC A
R =ACT CACGCA AAT ATA CTC A
F =GAG TTG GAG AAG AAG AGG
R =ACG ACA ATA GAT GGA ACA
F =TTA GTT AGT GCT GTG GAT TG
R =TTG CTA TGA GTC CCT TGT
F =GCT CTT GAT GTG GCT GCT
R =AGG CGTGTT GAG ATT GTG
F =GGA CAC TGG GTT CTG TT
R =CTC TGT AAT CTG CGG G
F =AAC CAG AACTTA AAT GTC G
R =TTTGAA CTC TTC TAT TGG G
F =TCA TTC AGA GGA CAA AAG TT
R =TAA AAA TTC ATA AAG GTA AAA
F =GGT GGG TAA GTG AAC ATC
R =GTG ATA CAA CGA ACC CTC
F = CAG AAA GGA GAA AGG AAA T
R =CTA CGA TAG AGG AAT GAG C
F =ACC AAC AAA GCC AGA GC
R =GCA GCC ACT ACC TAA AAA
F =GTG AGG CTG CAA AGA AC
R =TCG TCA AAC CTG ACC A
F =GCT CTT CAG TCT TTC TCA A
R =CTG TAT GCC AAT TTT TCT A
F =TTA GAT CTC CTC CCA AAG
R =ATC GAAAGA ACA GTC ACG
Suhu
annealing
(°C)
54
Linkage
group
52
15
54
13
55
13
53
13
55
12
53
11
54
11
60
10
53
10
55
10
55
10
53
9
53
9
55
9
58
8
56
8
53
8
46
5
57
5
57
4
57
4
51
4
51
3
55
3
16
62
26
CnCir_1
27
CnCir_206
28
CnCir_151
29
CnCir_147
30
CnCir_51
31
CnCir_E4
32
CnCir_226
33
CnCir_202
34
CNZ_21
35
CNZ_51
36
CNZ_18
F =TTG GTC TAT TGC ATG TTC
R =TGG CAT TGA GAG GGT
F =AAA GAG AAC GCA ACC A
R =CAA GTT CCA AAG AAC CA
F =ACC ATG ATG TGC CTG T
R =GTT CAC AGT AGG TGG CTT
F =TTT CTC ACC AAC AAA TAA AC
R =CTT GTG TGT TAG GGT CAT C
F =TCT CGT GGA TCT CGT C
R =GCT CTT CCA GTT ACG TTT
F =GCA TGG TAT TCG GAT TTG
R =ATG GTT CAG ATT TGG ACA GT
F =CTG AAG ATA TGT GTT TAT GC
R =TGT TCC AGA TTG AGG TT
F =TTT AGA GGA AGA AGG ATG AG
R =GTG GTT GCT TGG TAT TGT
F =ATGTTTTAGCTTCACCATGAA
R =TCAAGTTCAAGAAGACCTTTG
F =CTTTAGGGAAAAAGGACTGAG
R =ATCCATGAGCTGAGCTTGAAC
F =ATGGTTCAGCCCTTAATAAAC
R =GAACTTTGAAGCTCCCATCAT
53
3
51
2
54
2
52
2
55
2
55
1
52
1
55
1
52
-
52
-
52
-
63
Lampiran 3 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.37
Keterangan :
Induk Betina Kelapa
berbuah kopyor
Induk Jantan Kelapa
berbuah kopyor Hijau
Induk Jantan Kelapa
berbuah kopyor Cokelat
Pendonor 1 serbuk sari
(buah normal)
Pendonor 1 serbuk sari
(buah kopyor)
64
Lampiran 4 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk lima progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.39
65
Lampiran 5 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.44
66
Lampiran 6 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 51
67
Lampiran 7 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 53
68
Lampiran 8 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 58
69
Lampiran 9 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 59
70
Lampiran 10 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk sembilan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.68
71
Lampiran 11 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk
jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.69
72
Lampiran 12 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk
jantan sebagai donor serbuk sari untuk delapan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.84
73
Lampiran 13 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk
jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 85
74
Lampiran 14 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk
jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.88
75
Lampiran 15 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk
jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.89
76
Lampiran 16 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan
sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.92
77
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ujung Pandang pada tanggal 14 Agustus 1987 sebagai
anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Dr. Ir. H. Mappaganggang
Sodding Pabbage, MS dan dr. Hj. Isdiana Kaelan, Sp.Rad. Penulis menyelesaikan
pendidikan di SMA ISLAM ATHIRAH Makassar tahun 2004. Penulis
menyelesaikan studi sarjana tahun 2009 di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar, Jurusan Biologi, Program Studi
Biologi Sains.
Penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Tahun
akademik 2010/2011.
Download