Analisa Kehebohan Obor Rakyat

advertisement
Analisa Kehebohan Obor Rakyat
Semoga ini bukan tulisan yang terlambat, karena sudah terlepas masa Pemilihan Presiden. Pak
Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah secara sah sebagai Presiden Republik Indonesia, setelah
keputusan akhir Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan permohonan Prabowo Subianto
dan Hatta Rajasa. Hanya tinggal menunggu pelantikan saja, tetapi saya masih merasa beban
mengapa harus menulis dan sedikit menganalisa sekenanya.
Heboh
Publikasi
Obor
Rakyat
di
Media
Berdasarkan ingatan saya , heboh publikasi mengenai Black Campaign sebuah tabloid Obor
Rakyat itu sekitar bulan Juni-Juli. Stasiun Televisi, media cetak, dan portal berita online pada
masa itu sedang hebohnya memberitakan Tabloid itu. Tetapi secara data ataupun grafik saya
tidak meriset lebih lanjut seberapa intens media memberitakan.
Tetapi yang saya tangkap dari viral yang terbentuk di media social mengenai tabloid obor rakyat
ini, sebuah media abal-abal yang menyebarkan fitnah, berita-berita profokatif, tidak memiliki
dasar yang kuat, menyebar kebencian, dan mempengaruhi swing voters tentunya. Seberapa
heboh publikasi tersebut mungkin bisa jadi bahan riset penelitian bagi teman-teman media.
Media sosial berisikan pernyataan-pernyataan pribadi yang subyektif, dan berlandaskan dari
berita yang mereka baca dan bagikan melalui laman pribadi pengguna media sosial. Tanpa ada
rasa ingin tahu wujudnya si tabloid obor rakyat, ketika viral media sosial heboh dengan
pemberitaan media abal-abal ini. Sangat dikit sekali yang tertarik ingin membaca seperti apa
wujudnya? Mungkin termasuk dosen saya di Komunikasi UGM.
Mengomentari berita terkait tabloid abal-abal, tanpa mengetahui konten, dan melalukan cross
check bagi seorang mahasiswa ataupun dosen Ilmu Komunikasi rasanya agak aneh bagi saya.
Minimal mereka ada rasa skeptis atau penasaran “Eh gue belum baca nih, bisa cariin nggak? Gue
pengen baca”. Oke kemudian harus ada pergerakan yang mencari media abal-abal tersebut,
kemudian membagikan secara online.
Setelah heboh berita publikasi tabloid obor rakyat, kemudian penanggung jawabnya ketemu,
pemberitaan dilaporkannya penanggung jawab. Sudah selesai? Iya beritanya sudah hilang.
Semoga saja kepolisian ataupun Dewan Pers menyelidiki lebih lanjut soal obor rakyat. Butuh
tidak dipublikasi besar-besaran soal kelanjutan Obor Rakyat? Secara hukum media tidak perlu.
Karena berita ini sudah usang, dan katanya sudah tidak ber-news value lagi.
Mungkin jika mau menganalisa dan mengkritisi mengenai obor rakyat, ada baiknya memang kita
membaca wujud media tersebut. Jangan hanya melalui pemberitaan media, yang kita sadari kepartisan-nya media tersebut pada masa pemilihan presiden.
Ketika
Kebebasan
Berpendapat
Adalah
Salah
Mungkin bagi saya tabloid obor rakyat adalah berisi opini, opini dari media sosial mengenai
tokoh calon presiden 2014, opini pengamat politik, dan meramu pemberitaan sebelumnya.
Menggabungkan dan menghubungkan saja. Tetapi bagi kebanyakan pendukung yang saya
anggap keblinger, logika nggak jalan, akan menganggap tabloid obor rakyat adalah fitnah semua.
Bagiku jika kalian menyerang orang atas pendapat pribadi orang lain, dimana letak demokrasi?
mana katanya UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat? Buat para buzzer yang „menyerang‟ seseorang yang mendukung seseorang atas opini
yang mereka sampaikan. Mungkin tidak salah, ya suka-suka mereka mau saling serang opini.
Kan kebebasan berpendapat? Ya nggak?
Tetapi tidak bagi tabloid Obor Rakyat, tabloid ini sudah dianggap black campaign. Walaupun
sejauh yang saya baca, berita-beritanya memberikan kutipan dari media lain. Hanya
mengumpulkan pernyataan dari media lain yang terkait. Kemudian diberi opini oleh penulisnya,
ya mungkin obor rakyat salah. Karena kebebasan berpendapat secara tidak langsung terikat pada
ketentuan dan peraturan media massa yang ada.
Menurut saya penulis ataupun penanggung jawab tabloid obor rakyat juga memiliki kompetensi
dalam menulis berita, bukan sekadar anak magang media, ataupun sekedar menulis yang penting
berapi-api dan prokatif. Bisa dicek latar belakang pendidikan ataupun karir penanggung jawab
tabloid ini.
Jadilah
Media
Yang
Baik
Bagi saya media yang baik ataupun benar, adalah media yang mampu memberikan pemberitaan
seimbang coverboth-side. Soal pemberitaan berimbang anak komunikasi juga sadar, tetapi entah
mengapa akhir-akhir ini terutama pada masa pemilihan presiden 2014 kok kayaknya prinsip
media yang baik adalah media dengan pemberitaan berimbang?
Tetapi ketika masuk masa „panas‟ pemberitaan pemilihan presiden, apalagi ketika sudah ada
nama calon presiden termasuk urusan koalisi-koalisi partai. Pandangan media yang baik bukan
lagi hal diatas, tetapi media yang baik adalah media yang memberitakan yang baik-baik.
Contohnya, saya pendukung Prabowo maka saya menonton TVone, ataupun media partisan yang
lain. Dan menganggap media partisan dari kubu Jokowi itu media kurang baik ataupun tidak
baik.
Contoh lagi nih, ingat ketika tempo.co dan kompas.com memberitakan soal demo karyawan PT.
Kertas Nusantara menuntut pembayaran gaji yang sudah 6 bulan belum dibayarkan. Bagi kalian
yang merasa ganjil silahkan dicek berita-berita kelanjuta dari media tersebut, adakah cover both
side-nya? Hehehe. Nggak ada tetapi ketika dicari dari portal berita lain ada semacam counter
atas berita di Tempo.co dan kompas.com. Media (seperti rmol.com) yang memberitakan counter
sebagai penyeimbang dua media tadi bisa saja dianggap media pembela, beritanya ngaco. Ya
karepmu lah, logika jalan?
Media yang baik adalah media yang memenuhi hasrat pembacanya, dalam hal ini pembaca
pendukung salah satu calon presiden. Dan tidak butuh untuk memberikan informasi berimbang
atas pemberitaan sebelumnya yang terkait. Salah?
Mungkin benar demokrasi kita belum dewasa, dan juga media kita belum dewasa mengenai
keberpihakan mereka. Tapi bagi Goenawan Muhammad sebagai senior dimedia tempo, secara
halus mengiyakan secara tidak langsung media berhak untuk memihak.
Download