bab ii landasan teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Teori
2.1.1. Jasa
2.1.1.1. Pengertian Jasa
Menurut Kotler dan Armstrong (2008, p204) pengertian jasa adalah “Any
activity or benefit that one party can offer to another that is essentially intangible and
does not result in the ownership of anything”. Artinya jasa merupakan setiap
tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain,
yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan
kepemilikan sesuatu.
Menurut Rangkuti (2002, p26), jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau
tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa
diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, di mana interaksi antara pemberi jasa
dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.
Menurut Yoeti (2001, p1) yang dimaksud dengan jasa (service) adalah suatu
produk yang tidak nyata (intangible) dari hasil kegiatan timbal balik antara pemberi
jasa (producer) dan penerima jasa (customer) melalui suatu atau beberapa aktivitas
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
9
10
Kesimpulan dari definisi di atas bahwa jasa adalah suatu aktivitas yang tidak
berwujud yang terjadi antara pelanggan dan penyedia jasa dalam upaya memenuhi
kebutuhan pelanggan akan jasa tersebut.
2.1.1.2. Karakteristik Jasa
Menurut Kotler dan Armstrong (2001), perusahaan harus mempertimbangkan
empat karakteristik jasa tertentu yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.:
1. Tidak berwujudnya jasa (service intangibility)
Berarti bahwa jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar, atau dibaui
sebelum dibeli.
2. Tidak terpisahnya jasa (service inseparability)
Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, apakah
penyedia tadi adalah orang atau mesin.
3. Keragaman jasa (service variability)
Berarti bahwa kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakan jasa, dan
waktu, tempat, dan bagaimana cara mereka disediakan.
4. Tidak tahan lamanya jasa (service perishability)
Berarti jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan
datang.
11
Ketidakberwujudan
Jasa tidak dapat dilihat, dirasa,
diraba, didengar, atau dibaui
sebelum dibeli.
Ketidakterpisahan
Jasa tidak dapat dipisahkan
dari penyedianya.
Jasa /
Pelayanan
Keragaman
Kualitas jasa tergantung pada
siapa yang menyediakannya dan
kapan, dimana serta bagaimana.
Tidak Tahan Lama
Jasa tidak dapat disimpan
untuk penjualan atau
pemakaian yang akan datang.
Sumber : Kotler dan Armstrong, 2001, p378
Gambar 2.1. Empat Karakteristik Jasa
2.1.1.3. Kualitas Pelayanan Jasa
Menurut Tjiptono (2006, p51), kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi
atau melebihi harapan. Terdapat 5 macam perspektif kualitas yaitu:
1. Transcendental approach
Kualitas dipandang sebagai innate execellence, di mana kualitas dapat dirasakan
atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan, biasanya
diterapkan dalam dunia seni.
2. Product-based approach
Kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan
dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah
beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk.
12
3. User-based approach
Kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang
paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan
produk yang berkualitas tinggi.
4. Manufacturing-based approach
Kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan. Dalam sektor jasa bahwa
kualitas seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan
biaya.
5. Value-based approach
Kualitas dipandang dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam pengertian ini
bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu
produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau
jasa yang paling tepat dibeli.
Menurut Usmara (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan
suatu pernyataan tentang sikap, hubungan yang dihasilkan dari perbandingan antara
ekspektasi (harapan) dengan kinerja (hasil).
Menurut Tjiptono (2006, p59), kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan
yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada “dua faktor utama mempengaruhi kualitas
jasa, yaitu expected service dan perceived service atau kualitas jasa yang diharapkan
dan kualitas jasa yang diterima atau dirasakan”.
Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan,
maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima atau
13
dirasakan melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang buruk.
Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi
pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukan berdasarkan sudut
pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang
atau persepsi pelanggan. Pelangganlah yang menentukan berkualitas atau tidaknya
suatu pelayanan jasa. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada
kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
2.1.1.4. Dimensi Kualitas Jasa
Untuk menilai akan kepuasan pelanggan dapat menggunakan variabelvariabel atau dimensi kualitas jasa antara lain mengenai Reliability, Responsiveness,
Assurance, Empathy, dan Tangible. Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yang
dikutip dari Tjiptono dan Chandra (2007, p132) terdapat lima dimensi jasa yang
disusun sesuai urutan tingkat kepentingan relatifnya sebagai berikut:
1. Reliabilitas (Reliability)
Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang
akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan
jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.
14
2. Daya Tanggap (Responsiveness)
Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu
para pelanggan dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan
jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.
3. Jaminan (Assurance)
Yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan
terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para
pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan
dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani
setiap pertanyaan atau masalah pelanggan.
4. Empati (Empathy)
Berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi
kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personel kepada para
pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
5. Bukti Fisik (Tangibles)
Berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang
digunakan perusahaan serta penampilan karyawan.
2.1.2. Kepuasan Pelanggan
2.1.2.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler (1995, p52) menyebutkan bahwa secara sederhana kepuasan
pelanggan adalah tingkat perasaan setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang
15
dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Pelanggan dapat mengalami salah satu
dari tiga tingkat kepuasan yang umum yaitu kalau kinerja di bawah harapan,
pelanggan kecewa. Kalau kinerja sesuai harapan, pelanggan puas. Kalau kinerja
melebihi harapan, pelanggan sangat puas, senang, gembira.
Menurut Tse dan Wilton (1988) yang dikutip dari Tjiptono (2000), kepuasan
atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi
ketidaksesuian/diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma
kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.
Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah
terpenuhi atau terlampaui (Gerson, 2004, p3).
Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara
tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Menurut Engel (1990) dan
Pawitra (1993) yang dikutip dari Rangkuti (2002) mengatakan bahwa pengertian
tersebut dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan atau ketidakpuasan terhadap satu
perusahaan tertentu karena keduanya berkaitan erat dengan konsep kepuasan
pelanggan, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut ini:
Tujuan Perusahaan
Kebutuhan dan
Keinginan Pelanggan
Produk
Nilai Produk Bagi Pelanggan
Harapan Pelanggan
Terhadap Produk
Tingkat Kepuasan Pelanggan
Sumber : Rangkuti, 2002, p24
Gambar 2.2. Diagram Konsep Kepuasan Pelanggan
16
Secara umum dapat dikatakan bahwa kepuasan pelanggan dan ketidakpuasan
pelanggan merupakan hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja yang
dirasakan oleh pelanggan.
2.1.2.2. Metode untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler dalam yang dikutip dari Tjiptono (2000) mengemukakan 4
metode untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu:
1. Sistem Keluhan dan Saran
Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan perlu memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran,
pendapat, dan keluhan mereka. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat
memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan,
sehingga memungkinkannya untuk memberikan respon secara cepat dan tanggap
terhadap setiap masalah yang timbul.
2. Survai Kepuasan Pelanggan
Melalui survai, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara
langsung dari pelanggan dan sekaligus memberikan tanda (signal) positif bahwa
perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan
pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:
a. Directly reported satisfaction
Pengukuran
dilakukan
secara
langsung
melalui
pertanyaan
seperti
“Ungkapkan seberapa puas Saudara terhadap pelayanan Hotel Sewu Mas
17
pada skala berikut: sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat tidak
puas”.
b. Derived dissatisfaction
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni besarnya harapan
pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.
c. Problem analysis
Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal
pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan
penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.
d. Importance-performance analysis
Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen
(atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen
tersebut. Selain itu responden juga diminta merangking seberapa baik kinerja
perusahaan dalam masing-masing elemen/atribut tersebut.
3. Ghost Shopping
Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang (ghost
shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensial
produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan
temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan
pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk
tersebut. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara
perusahaan dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani
setiap keluhan.
18
4. Lost customer analysis
Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi para pelanggannya
yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok. Yang diharapkan
adalah akan diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi
ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya
dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.
2.1.2.3. Harapan dan Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler dan Armstrong yang dikutip dari Tjiptono (2000) menyatakan
bahwa harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, di antaranya
pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan
janji-janji perusahaan dan para pesaing. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan
harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks.
Ada beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan (lihat
Gambar 2.3.). Di antara beberapa faktor penyebab tersebut ada yang bisa
dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian penyedia jasa bertanggung jawab
untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterprestasi yang mungkin terjadi dan
menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas.
Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar ia dapat memahami
dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.
19
Pelanggan Keliru
Mengkomunikasikan
Jasa Yang Diinginkan
Pelanggan Keliru
Menafsirkan
Signal (Harga,
Positioning, dll)
Harapan Tidak
Terpenuhi
Miskomunikasi
Rekomendasi
Mulut Ke Mulut
Kinerja
Karyawan
Perusahaan Jasa
Yang Buruk
Miskomunikasi
Penyediaan Jasa
Oleh Pesaing
Sumber : Tjiptono, 2000, p151
Gambar 2.3. Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan
Sebelum menggunakan suatu jasa, pelanggan sering memiliki empat skenario
jasa yang berbeda (dalam benaknya) mengenai apa yang bakal dialaminya, yaitu:
1. Jasa ideal
2. Jasa yang diantisipasi/diharapkan
3. Jasa yang selayaknya diterima (deserved)
4. Jasa minimum yang dapat ditoleransi (minimum tolerable)
Pelanggan bisa berharap dari keempat skenario tersebut (Gambar 2.4.).
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal, harapan membentuk kepuasan. Karena
itu apabila “jasa minimum yang dapat ditoleransi” yang diharapkan, lalu yang terjadi
sama dengan atau bahkan melampaui harapan tersebut, maka akan timbul kepuasan.
Sebaliknya bila yang diharapkan “jasa ideal”, maka bila yang terjadi kurang dari
harapan tersebut, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan.
20
Yang Diharapkan
Minimal Yang
Dapat Diterima
Ideal
Yang Selayaknya
Sumber : Tjiptono, 2000, p152.
Gambar 2.4. Pengaruh Harapan Terhadap Kepuasan
1. Semakin dekat harapan ‘jasa yang diharapkan’ dengan ‘jasa minimum yang dapat
diterima’, semakin besar pula kemungkinan tercapainya kepuasan.
2. Pelanggan yang puas bisa berada di mana saja dalam spectrum ini. Yang
menentukan posisinya adalah posisi hasil (outcome) ‘yang diharapkan’.
2.1.3. Hubungan
antara
Kualitas
Pelayanan
dengan
Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono (2000) menyatakan bahwa kualitas pelayanan mempunyai
hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu
dorongan kepada pelanggan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan perusahaan.
Pada jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami
harapan
serta
kebutuhan
pelanggan.
Dengan
demikian
perusahaan
dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan dimana perusahaan memaksimalkan pengalaman
21
pelanggan yang menyenangkan dan meminimalkan pengalaman pelanggan yang
kurang menyenangkan.
2.1.4. Hotel
2.1.4.1. Pengertian Hotel
Secara harfiah, kata Hotel dulunya berasal dari kata Hospitium (bahasa Latin),
artinya ruang tamu. Dalam jangka waktu lama kata hospitium mengalami proses
perubahan pengertian dan untuk membedakan antara Guest House dengan Mansion
House (rumah besar) yang berkembang pada saat itu, maka rumah-rumah besar
disebut dengan Hostel. Rumah-rumah besar atau hostel ini disewakan kepada
masyarakat umum untuk menginap dan beristirahat sementara waktu, yang selama
menginap para penginap dikoordinir oleh seorang host, dan semua tamu-tamu yang
(selama) menginap harus tunduk kepada peraturan yang dibuat atau ditentukan oleh
host (Host Hotel). Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan orang-orang yang ingin
mendapatkan kepuasan, tidak suka dengan aturan atau peraturan yang terlalu banyak
sebagaimana dalam hostel, dan kata hostel lambat laun mengalami perubahan. Huruf
“s” pada kata hostel tersebut menghilang atau dihilangkan orang, sehingga kemudian
kata hostel berubah menjadi Hotel seperti apa yang kita kenal sekarang.
Menurut Sihite (2000, p44) pengertian hotel adalah sejenis akomodasi yang
menyediakan fasilitas penginapan, makan, minum, dan jasa-jasa lainnya untuk umum
yang tinggal sementara waktu dan dikelola secara komersil.
22
2.1.4.2. Klasifikasi Hotel
Kriteria klasifikasi hotel di Indonesia secara resmi dikeluarkan oleh peraturan
pemerintah dan menurut Dirjen Pariwisata dengan SK: Kep-22/U/VI/78. Untuk
mengklasifikasikan sebuah hotel, dapat ditinjau dari beberapa faktor yang satu sama
lainnya ada kaitannya. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Klasifikasi hotel berdasarkan letak lokasinya:
a. City Hotel
Adalah hotel yang terletak didalam kota, dimana sebagian besar tamunya
yang menginap melakukan kegiatan bisnis.
b. Resort Hotel
Adalah hotel yang terletak di kawasan wisata, dimana sebagian besar tamu
yang menginap tidak melakukan kegiatan usaha. Macam-macam hotel resort,
antara lain:
1. Mountain hotel (hotel yang berada di pegunungan).
2. Beach hotel (berada di pinggir pantai).
3. Lake hotel (berada di pinggir danau).
4. Hill hotel (berada di puncak bukit).
5. Forest hotel (berada di kawasan hutan lindung).
c. Suburb Hotel
Adalah hotel yang lokasinya di pinggiran kota, yang merupakan kota satelit
yakni pertemuan antara dua kotamadya.
23
d. Urban Hotel
Adalah hotel yang berlokasi di pedesaan dan jauh dari kota besar.
e. Airport Hotel
Adalah hotel yang berada dalam satu kompleks bangunan atau area pelabuhan
udara atau disekitar bandara udara.
2. Klasifikasi hotel berdasarkan pada kriteria jenis tamu
Jenis-jenis tamu yang menginap maksudnya adalah darimana asal-usul tamu
menginap dengan latar belakangnya. Dapat diklasifikasika sebagai berikut:
a. Family Hotel
Adalah tamu yang menginap bersama keluarganya.
b. Business Hotel
Adalah tamu yang menginap para usahawan.
c. Tourist Hotel
Adalah tamu yang menginap kebanyakan para wisatawan, baik domestic
maupun luar negeri.
d. Cure Hotel
Adalah tamu yang menginap dalam proses pengobatan atau penyembuhan
dari suatu penyakit.
2.1.5. Model GAP (Kesenjangan)
Menurut Rangkuti (2002, p40) di dalam bukunya yang berjudul “Measuring
Customer Satisfaction” menyatakan bahwa kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa
24
ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa
dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah
pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut (Gambar 2.5.).
Pelanggan sangat puas
Desired service
Persepsi Pelanggan
Harapan Pelanggan
Adequate service
Perceived service
(service yang diterima pelanggan)
Pelanggan sangat tidak puas
Sumber : Rangkuti, 2002, p41
Gambar 2.5. Diagram Proses Kepuasan Pelanggan
Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas
pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi pelayanan. Kesenjangan merupakan
ketidaksesuaian antara pelayanan yang dipersepsikan (perceived service) dan
pelayanan yang diharapkan (expected service), dapat dilihat pada Gambar 2.6. berikut
ini:
Expected Service
GAP
Perceived
Sumber : Rangkuti, 2002, p41
Gambar 2.6. Diagram Kesenjangan yang Dirasakan oleh Pelanggan
25
Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mempersepsikan pelayanan yang
diterimanya lebih tinggi daripada desired service atau lebih rendah daripada adequate
service kepentingan pelanggan tersebut. Dengan demikian, pelanggan dapat
merasakan sangat puas atau, sebaliknya, sangat kecewa.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) yang dikutip dari Tjiptono
(2000) mengidentifikasi 5 GAP yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa
(Gambar 2.7.). Kelima GAP tersebut adalah:
Komunikasi Dari
Mulut Ke Mulut
Kebutuhan
Pribadi
Pengalaman
Yang Lalu
Jasa Yang
Diharapkan
GAP 5
Konsumen
Jasa Yang Dialami
Penyampaian Jasa
(Termasuk Sebelum dan
Sesudah Kontak)
Pemasar
GAP 4
GAP 3
Translasi Persepsi Menjadi
Spesifikasi Kualitas Jasa
GAP 2
GAP 1
Persepsi Manajemen
Mengenai Ekspektasi
Konsumen
Sumber : Tjiptono, 2000, p82
Gambar 2.7. Model Kualitas Jasa (GAP Model)
Komunikasi
Eksternal ke
Pelanggan
26
1. GAP antara harapan konsumen dan persepsi manajemen
Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat
merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat.
Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya
didesain, dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan konsumen.
Contohnya karyawan restaurant mungkin mengira para pelanggannya lebih
mengutamakan ketepatan waktu penyajiaan breakfast pada pagi hari, padahal para
pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan
setiap harinya.
2. GAP antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa
Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh
pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang
jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total
manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena adanya
kelebihan permintaan. Sebagai contoh, manajemen suatu hotel meminta para
stafnya agar memberikan pelayanan secara ‘cepat’ tanpa menentukan standar atau
ukuran waktu pelayanan yang dapat dikategorikan cepat.
3. GAP antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa
Ada beberapa penyebab terjadinya GAP ini, misalnya karyawan kurang terlatih
(belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat
memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja yang
ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standar-standar
27
yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, misalnya para cleaning
service hotel diharuskan meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan
atau masalah tamu hotel, tetapi di sisi lain mereka juga harus melayani para tamu
hotel dengan cepat.
4. GAP antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal
Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji
yang dibuat oleh perusahaan. Risiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila
janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu hotel
menyatakan bahwa hotelnya merupakan yang terbaik, memiliki fasilitas parkir
yang luas, breakfast, AC, hot water, dan wifi. Akan tetapi saat pelanggan datang
dan merasakan bahwa fasilitas hotelnya biasa-biasa saja (parkir yang sempit,
menu breakfast yang monoton, AC yang tidak dingin, air panas yang cepat
dingin, dan wifi yang lambat), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang
dilakukan hotel tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan
terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa hotel tersebut.
5. GAP antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan
GAP ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan
cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
2.1.6. Pengukuran GAP dengan Diagram Kartesius
Metode Diagram Kartesius pertama kali diperkenalkan oleh Martilla dan
James (1977) dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen
28
dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant
analysis (Brandt, 2000) dan (Latu dan Everett, 2000). Untuk membuat Diagram
Kartesius, diperoleh nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan kinerja dan tingkat
kepentingan. Dari data hasil kuesioner dihitung nilai rata-rata (mean) dari masingmasing atribut, dengan rumus:
Keterangan :
= Skor rata-rata tingkat kinerja
= Skor rata-rata tingkat kepentingan
= Skor penilaian kinerja
= Skor penilaian kepentingan
= Jumlah responden
Diagram Kartesius merupakan suatu bangun yang terbagi atas empat bagian
yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X,Y).
Dimana
dan
merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja dari seluruh atribut
merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan dari seluruh atribut.
Rumus yang digunakan:
29
Keterangan :
= Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja seluruh atribut
= Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh atribut
= Skor rata-rata tingkat kinerja seluruh atribut
= Skor rata-rata tingkat kepentingan seluruh atribut
= Banyaknya atribut yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap
kualitas pelayanan
Sumbu X merupakan sumbu yang terdiri dari nilai-nilai kinerja sedangkan
sumbu Y merupakan sumbu yang terdiri dari nilai-nilai tingkat kepentingan. Nilai
kinerja merupakan perbedaan skor antara persepsi dan harapan konsumen terhadap
pelayanan. Kemudian dibuat suatu diagram yang terbagi menjadi empat bagian.
Faktor-faktor/atribut-atribut
yang
mempengaruhi
pelayanan
kemudian
dikelompokkan kedalam empat bagian dari Diagram Kartesius (dapat dilihat pada
Gambar 2.8.). Diagram ini akan menentukan urutan prioritas perbaikan, yaitu atributatribut yang harus dipertahankan dan atribut-atribut yang perlu ditingkatkan untuk
memperbaiki kualitas pelayanan perusahaan.
Empat kuadran Diagram Kartesius yaitu sebagai berikut:
1. Kuadran A (Prioritas Utama)
Atribut-atribut yang termasuk dalam kuadran ini adalah atribut-atribut pelayanan
yang dinilai sangat penting oleh pelanggan, akan tetapi pihak perusahaan belum
melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan. Atribut-atribut dalam kuadran ini
30
harus menjadi prioritas utama perusahaan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan.
2. Kuadran B (Pertahankan Prestasi)
Atribut-atribut yang terdapat dalam kuadran ini, merupakan unsur-unsur
pelayanan pokok yang dianggap penting oleh pelanggan yang telah dilaksanakan
dengan baik oleh perusahaan. Langkah-langkah selanjutnya yang menjadi
kewajiban perusahaan adalah mempertahankan prestasinya.
3. Kuadran C (Prioritas Rendah)
Atribut-atribut dalam kuadran ini adalah unsur-unsur yang dianggap kurang
penting oleh pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja/sedang.
4. Kuadran D (Berlebihan)
Atribut-atribut yang berada dalam kuadran ini menurut pelanggan dianggap
kurang penting, akan tetapi kinerjanya/pelaksanaannya sangat baik. Atributatribut dalam kuadran ini dianggap berlebihan.
Kepentingan
Kuadran
A
Kuadran
C
Kuadran
B
Kuadran
D
Kinerja
0
Sumber : Umar, 2005
Gambar 2.8. Diagram Kartesius
31
2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Analisa Kepuasan Pelanggan dan Customer Retention
pada Hotel Bumi Karsa oleh Mendean et al. (2006)
Peranan hotel sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya baik
dari sisi wisata maupun sisi penunjang bisnis menjadi semakin penting. Tujuan
penelitian adalah untuk menganalisis tingkat kepuasan pelanggan terhadap kualitas
pelayanan pada Hotel Bumi Karsa dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepuasan pelanggan atas pelayanan jasa agar menarik dan dapat
mempertahankan pelanggannya sehingga tetap menggunakan jasa pada hotel tersebut
dengan pemenuhan harapan pelanggan yang dilakukan. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah membantu Hotel Bumi Karsa untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dengan melakukan tindakan perbaikan terhadap faktor-faktor penentu yang
berdasarkan hasil penelitian dirasakan performance-nya masih kurang sehingga
pelanggan merasa puas sehingga dapat mempertahankan pelanggannya dan juga
dapat menekan terjadinya kehilangan pelanggan yang telah ada dengan cara lebih
mengenali pelanggan melalui customer retention.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatis (membandingkan
kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan dengan menggunakan diagram
kartesius dan analisis korelasi) dan metode deskriptif kualitatif (mengolah data-data
hasil penyebaran kuesioner tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan
dengan metode service quality atau SERVQUAL).
32
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
•
Faktor-faktor
yang
menjadi
prioritas
utama
yang
harus
ditingkatkan
pelaksanaannya oleh Hotel Bumi Karsa agar sesuai dengan harapan guest adalah
faktor Tangible yang meliputi fasilitas-fasilitas fisik dan visual (terlihat kasat
mata) yang disediakan oleh Hotel Bumi Karsa seperti penataan kamar, kebersihan
ruangan kamar, dan keberadaan fasilitas pendukung.
•
Faktor-faktor yang harus dipertahankan pelaksanaannya karena sudah sesuai
dengan harapan guest yaitu faktor yang bersifat Assurance yaitu pengetahuan dan
kemampuan karyawan Hotel Bumi Karsa dalam memberikan pelayanan, seperti
kesigapan karyawan dalam melayani setiap pertanyaan dan kebutuhan guest, dan
juga pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam memberikan suatu pelayanan
kepada guest.
•
Faktor-faktor yang dinilai cukup penting oleh pelanggan, dan pelaksanaannya
dirasa cukup menjawab oleh guest adalah faktor yang bersifat Reliability yaitu
kemampuan Hotel Bumi Karsa dalam memberikan pelayanan yang dapat
diandalkan secara akurat dan konsisten, serta faktor Responsiveness yaitu
pelayanan yang diberikan Hotel Bumi Karsa kepada guestnya seperti pelayanan
karyawan, tanggapan dalam menghadapi masalah yang timbul, dan juga mutu
pelayanan oleh karyawannya.
•
Sedangkan faktor-faktor yang pelaksanaannya dilakukan sangat baik oleh
perusahaan, namun dinilai kurang penting oleh guest sehingga terkesan
berlebihan yaitu faktor Empathy yaitu pemberian perhatian yang bersifat
33
individual oleh hotel kepada guest, seperti tata karma dalam memberikan
pelayanan, dan juga kepedulian karyawan terhadap kebutuhan anda.
2.3. Journal
2.3.1. Mengukur Kepuasan Pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5
di DKI Jakarta melalui Pelayanan Petugas, Prasarana
Fisik, dan Proses oleh Sembiring (2009)
Salah satu unsur kegiatan di bidang kepariwisataan adalah industri jasa
perhotelan. Hotel menjual jasa berupa penyediaan kamar tempat menginap/istirahat,
menyediakan makanan dan minuman serta memberikan pelayanan. Rata-rata tingkat
hunian kamar hotel di sekitar daerah pariwisata DKI Jakarta mengalami penurunan
yang cukup berarti dari tahun 2004 sekitar 40,56% menjadi 35,24% pada tahun 2008.
Berdasarkan sumber lain, yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa Hotel di
daerah wisata DKI Jakarta, bahwa selama 3 tahun terakhir ini rata-rata tingkat hunian
hotel (occupancy rate) berada di bawah 50%, terutama satu-satunya hotel yang
berbintang di sekitar objek wisata DKI Jakarta, yaitu hotel bintang 4 dan 5 padahal
target minimal yang ditentukan adalah 70%. Rendahnya tingkat hunian kamar
(occupancy rate) di duga merupakan indikator ketidakpuasan konsumen atas
pelayanan yang diberikan kepada mereka.
Penelitian ini bersifat verifikatif dan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang ciri-ciri variabel
(bauran pemasaran jasa hotel). Sifat penelitian verifikatif pada dasarnya ingin
34
menguji kebenaran dari suatu hipotesis yang dilaksanakan melalui pengumpulan data
di lapangan. Dimana dalam penelitian ini akan diuji apakah bauran pemasaran jasa
hotel berpengaruh terhadap kepuasan konsumen yang menginap. Mengingat sifat
penelitian ini adalah deskriptif dan verifikatif yang dilaksanakan melalui
pengumpulan data di lapangan, maka metode penelitian yang digunakan adalah
metode descriptive survey dan metode explanatory survey.
Hasil dari penelitian ini adalah:
•
Pelaksanaan bauran pemasaran non convensional di Hotel Bintang 4 dan 5
umumnya dinilai pelanggan cukup baik, tetapi unsur SDM/petugas pelayanan
kurang baik dalam melayani mereka, ini dilihat dari kurang ramahnya petugas dan
kurang cepatnya tanggapan petugas dalam melayani pelanggan. Sedangkan
prasarana fisik dan proses pelayanan dilaksanakan dengan cukup baik, sehingga
pihak hotel harus mempertahankan pelayanan mereka terutama pada unsur
prasarana fisik dan proses pelayanan serta meningkatkan kinerja petugas
pelayanan hotel.
•
Bauran pemasaran non convensional berpengaruh positif dan berarti terhadap
kepuasan pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5, artinya semakin tepat implementasi
bauran pemasaran non convensional, maka semakin tinggi tingkat kepuasan
pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5, artinya pihak hotel harus benar-benar
memperhatikan bauran pemasaran non convensional secara umum untuk
meningkatkan kepuasan pelanggannya.
Download