BABI UMUM - Direktorat Jenderal Anggaran

advertisement
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
NOTA KEUANGAN
DAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 1995/1996
REPUBLIK INDONESIA
Departemen Keuangan RI
1
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
BAB I
UMUM
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia tahun anggaran 1995/96 mempunyai arti yang sangat strategis,
karena dalam tahun tersebut Indonesia telah berusia genap 50 tahun menikmati kemerdekaan,
setelah lebih dari tiga setengah abad dalam penjajahan. Usia setengah abad bagi suatu bangsa
tidaklah dapat dikatakan muda, akan tetapi lebih menunjukkan kematangan dan kedewasaan.
Dalam memasuki babak sejarah yang sangat menentukan ini, kiranya perlu dikaji kembali
pengalaman bangsa Indonesia sejak proklamasi. Dari pengalaman tersebut selanjutnya dapat
ditimba pelajaran yang tidak temilai harganya dibandingkan dengan pengalaman bangsa-bangsa
lain untuk memperluas wawasan nasional dalam menghadapi masa depan yang penuh perubahan,
ancaman, tantangan dan hambatan, namun sekaligus terbuka adanya peluang. Hal-hal yang
positif dari pengalaman masa lampau perlu dijadikan kekuatan di dalam melanjutkan perjalanan
pembangunan, sedangkan hal-hal yang negatif perlu dihindari agar kesalahan yang sama tidak
akan terulang kembali. Di dalam kaitan ini, kiranya perlu terus dimantapkan jiwa kebangsaan,
semangat persatuan, dan rasa kebersamaan sebagai unsur-unsur utama untuk menjadikan bangsa
yang kuat, dewasa, matang, dan mandiri. Segala daya upaya serta pengorbanan yang dilakukan
oleh para pejuang bangsa dalam merebut kemerdekaan telah memberikan ilham dan semangat
bagi rakyat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan Indonesia menuju masyarakat adil dan
makmur.
Perkembangan ekonomi dalam negeri hingga saat ini
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1965, sebagai akibat dari rentetan
pergolakan yang terus menerus, bangsa Indonesia praktis belum dapat menangani masalah
ekonominya dengan baik, sehingga periode tersebut ditandai dengan kemerosotan ekonomi yang
sangat memprihatinkan. Baru mulai tahun 1969, dengan dilandasi kestabilan nasional yang lebih
baik, bangsa Indonesia dapat melaksanakan pembangunan bertahap secara berkesinambungan,
terarah, dan terpadu melalui pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama (PJP I). Melalui PJP
Departemen Keuangan RI
2
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
I telah berhasil diatasi berbagai masalah mendasar yang menghauang bangsa Indonesia dalam
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dan memberikan landasan yang kuat bagi
pembangunan berikutnya. Keberhasilan itu terutama didukung oleh kebijaksanaan anggaran
berimbang dan dinamis, dipertahankannya sistem devisa bebas, serta kebijaksanaan makro
ekonomi yang berhati-hati, yang telah memungkinkan lndonesia mencapai stabilitas ekonomi
yang makin mantap yang disertai pula dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan,
dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik. Dalam PJP I laju inflasi telah dapat
dikendalikan, yaitu dari sekitar 650 persen dalam tahun 1966 menjadi rata-rata 17 persen per
tahun dalam tahun 1970-an, yang selanjutnya menurun menjadi rata-rata 9 persen per tahun
dalam tahun 1980-an. Demikian pula dalam tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 laju inflasi
tetap dapat dikendalikan pada satu angka. Sementara itu pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
PJP I mencapai rata-rata 6,8 persen per tahun, sehingga pendapatan per kapita pada akhir PJP I
mencapai sekitar US$ 770 dari sekitar US$ 70 dalam tahun 1969. Dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut, jumlah penduduk Indonesia yang
tergolong miskin yang dalam tahun 1970 berjumlah 70 juta orang atau 60 persen dari jumlah
penduduk, dalam tahun 1993 telah menurun menjadi 25,9 juta orang atau sekitar 13,7 persen dari
jumlah penduduk. Demikian pula pembangunan telah menyebar di seluruh tanah air dengan
partisipasi rakyat yang semakin aktif.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cutup tinggi serta stabilitas dan pemerataan
yang lebih baik, kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh selama PJP I telah membawa perubahan
yang mendasar dalam struktur perekonomian nasional ke arah yang lebih kukuh dan seimbang,
baik struktur investasi, struktur penerimaan negara maupun struktur penerimaan ekspor, yang
kesemuanya memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan di masa mendatang. Dalam hal
investasi, peranan sektor swasta sebagai sumber utama investasi telah semakin berkembang.
Sejalan dengan itu peranan sektor industri dalam produksi nasional sejak tahun 1991 telah
melampaui sektor pertanian. Di bidang penerirnaan negara, ketergantungan penerimaan dalam
negeri dari sektor migas telah semakin jauh berkurang, khususnya digantikan oleh penerimaan
dari sektor perpajakan. Demikian pula struktur perolehan devisa telah berubah, dimana lebih dari
70 persen berasal dari ekspor bukan migas. Kebutuhan dana pembangunan yang semakin besar di
satu pihak dan di pihak lain dihadapkan dengan ketidakpastian dari penerimaan minyak,
menjadikan peranan sumber-sumber nonmigas dalam menunjang penerimaan negara maupun
Departemen Keuangan RI
3
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pertumbuhan ekonomi nasional menjadi semakin penting.
Keberhasilan Indonesia dalam merubah struktur ekonominya dan mengurangi
ketergantungan dari penerimaan minyak bukanlah suatu perjuangan yang mudah, tetapi
merupakan hasil dari kerja teras yang terus menerus yang disertai dengan kebijaksanaan ekonomi
yang tepat dan konsisten selama bertahun-tahun. Demikian pula usaha mempertahankan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam waktu yang lama memerlukan investasi yang
cukup besar yang harus diupayakan pemenuhannya melalui pengerahan seluruh potensi sumber
daya dan dana, baik dari sumber dalam negeri maupun dari sumber luar negeri. Usaha mobilisasi
dana tersebut harus berjalan seiring dengan upaya mempertahankan stabilitas ekonomi, sehingga
diperlukan strategi kebijaksanaan yang tepat di berbagai bidang.
Dalam rangka stabilisasi ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat, deregulasi di
bidang moneter telah berhasil meletakkan landasan sistem keuangan modern untuk mendukung
pembangunan ekonomi Indonesia, sejak paket deregulasi bulan Juni 1983 dimana diberikan
kebebasan kepada bank untuk menentukan tingkat suku bunga deposito dan pinjaman, paket
deregulasi bulan Oktober 1988 yang memberikan kemudahan pendirian bank dan kantor-kantor
cabangnya, dan paket deregulasi Januari 1990 untuk menyempumakan sistem perkreditan.
Selanjutnya dalam paket kebijaksanaan Februari 1991, ditetapkan pedoman pembinaan dan
pengawasan perbankan agar mampu bekerja berdasarkan manajemen perbankan yang sehat dan
berhati-hati, yang kemudian disusul dengan perubahan landasan hukum operasional perbankan,
yakni dengan dikeluarkannya Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992. Melalui paketpaket deregulasi tersebut, Pemerintah mendorong bank dan lembaga keuangan lainnya agar lebih
mandiri dan mampu mengerahkan dana masyarakat serta menyalurkannya ke sektor produktif
dan secara bertahap mengurangi ketergantungan pada kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Paket-paket deregulasi tersebut telah mengakibatkan perubahan struktur moneter secara
mendasar. Jumlah bank umum meningkat dari 111 bank dalam tahun 1988 menjadi 239 bank
dalam bulan September 1994 dan dalam periode yang sama jumlah kantor bank meningkat dari
sebanyak 1.728 buah menjadi sebanyak 6.022 buah. Perkembangan jumlah bank dan kantor bank
tersebut juga diikuti dengan perubahan struktur kelembagaan perbankan yang lebih sehat,
terutama karena peningkatan jumlah bank swasta yang sangat pesat. Dalam periode tersebut
jumlah bank umum swasta meningkat lebih dari dua kali lipat, dan jumlah kantornya meningkat
Departemen Keuangan RI
4
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
hampir enam kali lipat. Bank perkreditan rakyat (BPR) jumlahnya meningkat dari 5.770 buah
dalam tahun 1988 menjadi 7.193 buah dalam bulan September 1994. Hal tersebut menyebabkan
pergeseran dalam peranan perbankan nasional, dimana peranan bank-bank pemerintah, baik
dalam memobilisasi dana maupun dalam penyaluran kredit, semakin menurun dan sebaliknya
peranan bank swasta semakin besar. Kalau dalam tahun 1988 peranan bank pemerintah dalam
memobilisasi dana masyarakat melalui deposito berjangka, giro dan tabungan masih sangat
dominan, yaitu mencapai 60 persen dan dalam penyaluran kredit mencapai 65 persen, maka
dalam tahun 1994 masing-masing hanya sebesar 39 persen dan 44 persen.
Sementara itu paket kebijaksanaan Desember 1988 di bidang lembaga pembiayaan, usaha
perasuransian, dana pensiun, dan lain-lain, yang kemudian diikuti dengan disahkannya Undangundang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun telah pula dapat meningkatkan pengerahan dana masyarakat dengan
cukup pesat. Hal ini tercermin dari kegiatan usaha asuransi yang cukup menggembirakan, yang
dapat dilihat dari bertambahnya jumlah premi bruto dari sebesar Rp 1,4 triliun dalam tahun 1987
menjadi sebesar Rp 4,6 triliun dalam tahun 1993. Demikian juga jumlah perusahaan asuransi dan
reasuransi sampai dengan bulan Agustus 1994 mencapai 151 buah, dari 102 buah dalam tahun
1987. Selanjutnya berbagai jenis yayasan dana pensiun yang semula belum tertata dengan baik
telah mendapatkan aturan main yang lebih jelas, sehingga lebih menjamin kesejahteraan para
karyawan di masa mendatang. Jumlah perusahaan yang telah mengajukan permohonan dan
penyesuaian menjadi Dana Pensiun mencapai 521, terdiri dari 508 perusahaan Dana Pensiun
Pemberi Kerja dan 13 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Dari jumlah tersebut
sampai dengan bulan Desember 1994 yang telah disahkan menjadi Dana Pensiun sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun adalah 100 perusahaan,
terdiri dari 90 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 10 perusahaan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan. Sedangkan jumlah kekayaan Dana Pensiun sampai dengan akhir tahun 1992
mencapai Rp 7,5 triliun, diantaranya sekitar Rp 5,4 triliun atau 71 persen telah diinvestasikan.
Perkembangan lembaga pembiayaan juga tidak kalah pesatnya, yang jumlahnya meningkat dari
sebanyak 83 buah dalam tahun 1988 menjadi sebanyak 178 buah dalam tahun 1993. Sedangkan
keseluruhan investasi lembaga pembiayaan mencapai sekitar Rp 10,0 triliun dalam tahun 1993,
yang berarti meningkat sekitar empat kali lipat dibandingkan dengan nilainya dalam tahun 1988.
Dalam pada itu pasar modal yang telah dirintis sejak tahun 1952 namun sampai dengan
Departemen Keuangan RI
5
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun 1976 tidak menunjukkan kegiatan yang berarti, mulai diaktitkan kembali pada tahun 1977.
Untuk lebih menunjang perkembangan pasar modal, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
paket deregulasi sejak tahun 1987 yang disusul dengan perubahan fungsi Bapepam dari pelaksana
menjadi pengawas pasar modal dalam tahun 1990. Kegiatan pasar modal mengalami peningkatan
pesat setelah diizinkan berdirinya bursa paralel dan lembaga penunjang pasar modal serta
dikenakannya pajak atas bunga deposito. Keberhasilan ini ditunjukkan oleh meningkatnya
perusahaan yang go public, yakni sampai dengan bulan November 1994 telah mencapai 272
perusahaan, dengan jumlah dana yang terhimpun sebesar Rp 32,2 triliun.
Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan, investasi, dan
keuangan yang disertai dengan kebijaksanaan makro yang berhati-hati telah dapat meningkatkan
efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia di pasar internasional, meningkatkan peranan sektor
swasta, menciptakan struktur ekonomi yang makin tangguh serta meningkatkan tarat hidup
masyarakat. Kebijaksanaan makro yang berhati-hati dan konsisten dilakukan melalui anggaran
berimbang dan dinamis, pengendalian moneter yang konsisten, pemantapan kurs rupiah yang
realistis, serta pengelolaan hutang luar negeri secara baik. Semuanya ini, yang disertai dengan
reformasi menuju ekonomi pasar telah dapat mengendalikan neraca pembayaran dalam batasbatas yang wajar.
Berbagai kebijaksanaan di atas telah meningkatkan investasi dalam jumlah yang cukup
besar dalam tahun 1989 dan 1990. Akan tetapi peningkatan dalam investasi tersebut telah
meningkatkan permintaan dalam negeri, yang selanjutnya menimbulkan tekanan inflasi yang
cukup tinggi. Selain itu peningkatan investasi yang terutama digunakan di sektor industri barang
ekspor nonmigas telah mengakibatkan meningkatnya impor, yang pada gilirannya meningkatkan
defisit transaksi berjalan menjadi sebesar US$ 4.352 juta dalam tahun 1991/92. Untuk
mengendalikan tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan tersebut, Pemerintah telah melakukan
pengendalian moneter yang lebih ketat dan pengawasan pinjaman komersial luarnegeri melalui
pembentukan tim PKLN sekaligus dengan penundaan beberapa proyek BUMN yang
membutuhkan bantuan luar negeri yang besar. Berbagai tindakan ini telah membawa perbaikan
dalam defisit transaksi berjalan dalam tahun 1992/93 menjadi sebesar US$ 2.561 juta, akan tetapi
bersamaan dengan itu juga telah meningkatkan tingkat bunga simpanan dan pinjaman di sektor
perbankan, yang selanjutnya menimbulkan kesulitan pada sejumlah nasabah bank.
Departemen Keuangan RI
6
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dengan mulai terkendalinya tingkat inflasi, dalam tahun 1991 pemerintah berusaha
melonggarkan kebijaksanaan moneter untuk merangsang perekonomian dalam negeri dan
meningkatkan ekspor nonmigas dengan menurunkan tingkat bunga dan mendorong ekspansi
kredit ke tingkat yang wajar. Walaupun demikian, peningkatan ekspor nonmigas dalam tahun
1993/94 masih belum seperti diharapkan, yang terutama disebabkan persaingan yang semakin
kehal, dan meningkatnya permintaan konsumen terhadap barang ekspor di dalam negeri.
Sebaliknya nilai impor dan jasa-jasa tetap meningkat sehingga defisit transaksi berjalan dalam
tahun 1993/94 masih cukup besar, yaitu sebesar US$ 2.940 juta.
Keadaan seperti ini masih terus berlangsung dalam tahun 1994/95. Sedikit membaiknya
harga minyak di pasar internasional telah menyebabkan ekspor migas meningkat bila
dibandingkan dengan tahun 1993/94, dimana nilainya diperkirakan sebesar US$ 9.653 juta, atau
suatu peningkatan sebesar 3,4 persen bila dibandingkan dengan nilainya sebesar US$ 9.334 juta
dalam tahun 1993/94. Keadaan yang sedikit menggembirakan tersebut diikuti pula oleh
peningkatan ekspor nonmigas, dimana nilainya meningkat menjadi US$ 31.110 juta, yang berarti
14,5 persen lebih tinggi dari nilainya dalam tahun 1993/94. Dengan demikian nilai total ekspor
menjadi sebesar US$ 40.763 juta, atau meningkat sebesar 11,7 persen bila dibandingkan dengan
nilainya dalam tahun 1993/94. Akan tetapi kenaikan nilai ekspor dalam tahun 1994/95 tersebut
juga diikuti oleh peningkatan impor, terutama impor bahan baku dan barang modal, sehingga
defisit pada transaksi berjalan mengalami peningkatan. Walaupun demikian, usaha-usaha untuk
meningkatkan arus modal ke dalam negeri telah memungkinkan pemupukan cadangan devisa
yang semakin besar, sehingga jumlah cadangan devisa Indonesia pada akhir tahun anggaran
1994/95 cukup untuk membiayai sekitar 5 bulan impor nonmigas.
Perkembangan ekonomi luar negeri hingga saat ini
Di tengah-tengah situasi semakin menguatnya dukungan terhadap perdagangan bebas,
perekonomian dunia dalam tahun 1994 ditandai pula oleh pulih dan bangkitnya perekonomian
negara- negara industri. Hal ini tampak dari tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang
diperkirakan sebesar 3,7 persen, Inggris sebesar 3,3 persen dan Kanada sebesar 4,1 persen.
Sementara itu Jepang, Jerman, Perancis, dan Ihalia juga mengalami pemulihan ekonomi
walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah, yaitu masing-masing diperkirakan
Departemen Keuangan RI
7
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar 0,9 persen, 2,3 persen, 1,9 persen dan 1,5 persen. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
terutama danorong oleh keberhasilan negara tersebut di dalam mengurangi defisit anggaran
belanjanya, yang selanjutnya berdampak pada penurunan tingkat bunga dalam tahun 1993. Akan
tetapi dalam tahun 1994 defisit dalam neraca pembayaran yang cukup besar telah mengakibatkan
turunnya nilai Dolar Amerika Serikat yang selanjutnya memaksa pemerintah Amerika Serikat
untuk mengambil kebijaksanaan peningkatan suku bunga. Di Kanada, rendahnya inflasi, tingkat
bunga, dan meningkatnya ekspor merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonominya,
sedangkan di Inggris faktor utama pendorong pemulihan ekonominya adalah meningkatnya
permintaan konsumsi masyarakat. Sementara itu rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh apresiasi Yen terhadap Dolar Amerika Serikat, walaupun di pihak
lain kebijaksanaan fiskal yang disertai dengan penurunan tingkat bunga telah meningkatkan
permintaan dalam negeri yang selanjutnya mendorong pulihnya ekonomi Jepang. Dengan
berbagai perkembangan tersebut di atas, maka laju pertumbuhan ekonomi negara industri secara
keseluruhan telah meningkat dari 1,3 persen dalam tahun 1993 dan diperkirakan menjadi 2,7
persen dalam tahun 1994. Pemulihan ekonomi di negara-negara industri tersebut diperkirakan
masih akan terus berlangsung dalam tahun 1995, sehingga memberikan pengaruh positif bagi
perkembangan perekonomian dunia. Hal ini berarti bahwa kelesuan ekonomi dunia yang mulai
terasa sejak awal tahun 1990-an secara berangsur-angsur telah mulai berakhir.
Pulihnya ekonomi negara-negara industri telah mempengaruhi perdagangan internasional,
sehingga volumenya meningkat dari 4,0 persen dalam tahun 1993 dan diperkirakan menjadi 7,2
persen dalam tahun 1994 yang selanjutnya diperkirakan agak menurun menjadi 5,9 persen dalam
tahun 1995. Sebaliknya, membaiknya ekonomi negara-negara industri nampaknya kurang
membawa perubahan yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang,
dimana secara keseluruhan pertumbuhannya dalam tahun 1994 diperkirakan hanya sebesar 5,6
persen, yang berarti menurun bila dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam tahun 1993
sebesar 6,1 persen. Keadaan ini diperkirakan masih akan berlanjut dalam tahun 1995, dimana
pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang diperkirakan hanya sebesar 5,6 persen.
Penurunan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang ini terutama disebabkan oleh
rendahnya pertumbuhan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah, sebagai dampak
melemahnya harga minyak di pasar internasional. Demikian pula negara-negara berkembang di
Asia yang dalam tahun 1994 diperkirakan mencapai pertumbuhan sebesar 8,0 persen, menurun
Departemen Keuangan RI
8
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
menjadi sebesar 7,3 persen dalam tahun 1995. Sementara itu pertumbuhan ekonomi negaranegara anggota ASEAN dalam tahun 1994 walaupun diperkirakan masih tergolong cukup tinggi
tetapi tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan tahun 1993, kecuali
Philipina yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sebesar 1,7 persen dalam
tahun 1993 diperkirakan menjadi 4,5 persen dalam tahun 1994. Demikian pula negara-negara
berkembang di Afrika mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup berarti, yaitu dari
sebesar 1,0 persen dalam tahun 1993 diperkirakan menjadi sekitar 3,3 persen dalam tahun 1994,
bahkan dalam tahun 1995 diperkirakan menjadi 4,5 persen. Negara-negara yang mengalami
transisi ekonomi dari sosialis ke ekonomi pasar di Eropa Timur dan Eropa Tengah mencapai
perbaikan ekonomi karena berhasil mempertahankan reformasi dan kestabilan ekonomi mikro,
walaupun pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1994 diperkirakan masih negatif 8,3 persen.
Demikian pula negara-negara bekas Uni Soviet, karena mengalami defisit anggaran belanja dan
tingkat inflasi yang tinggi, serta masih menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
reformasi ekonomi, maka terjadi kemerosotan dalam pertumbuhan ekonominya dalam tahun
1994, yaitu diperkirakan sebesar negatif 12 persen. Sementara itu beberapa negara berkembang
masih bergelut dengan masalah kerniskinan dan kelaparan, dan gagal mencapai pertumbuhan
yang direncanakan. Kegagakan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari anggaran
belanja defisit, inflasi yang tinggi, distorsi alokasi sumber produksi, kelangkaan dana, campur
tangan pemerintah yang berlebihan dalam ekonomi, proteksi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, serta kegagakan dalam melakukan reformasi ekonomi negaranya.
Tantangan dalam tahun-tahun mendatang
Berpijak pada keadaan ekonomi dalam dan luar negeri dalam tahun 1994, dan menjelang
diakhirinya tahun anggaran 1994/95, maka perlu dikaji dengan seksama perkembangan
perekonomian dalam dan luar negeri yang mungkin terjadi, serta tantangan dan hambatan yang
akan dihadapi dalam tahun anggaran 1995/96. Pengkajian tersebut sangat penting terutama di
dalam menetapkan langkah-langkah kebijaksanaan pembangunan pada umumnya dan
kebijaksanaan APBN pada khususnya dalam tahun 1995/96. Evaluasi keadaan perekonomian
dalam dan luar negeri tersebut mencakup (1) awal daripada proses globalisasi, (2) pemenuhan
kebutuhan dana investasi bagi pembangunan, dan (3) masalah-masalah pokok dalam negeri yang
Departemen Keuangan RI
9
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
harus segera ditangani, seperti masalah pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, peningkatan kemandirian,
penyediaan infrastruktur yang memadai, serta pemeliharaan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan hidup.
Awal dari proses globalisasi
Sebagai suatu negara dengan perekonomian terbuka, keterkaitan ekonomi Indonesia
dengan pasar global semakin dirasakan ke segenap kehidupan ekonomi dalam negeri.
Disepakatinya putaran Uruguay GATT pada tanggal 15 Desember 1993 dan ditandatanganinya
prinsip dan ketentuan GATT di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994, telah
menjadikan faktor daya saing hasil produksi dalam negeri semakin menentukan untuk dapat
merebut pasar internasional. Suatu negara yang mampu berkompetisi dalam skala global
mempunyai potensi untuk meraih keuntungan yang maksimal, dan sebaliknya negara yang
mengalami ekonomi biaya tinggi bukan saja tidak mampu memasuki pasar internasional tetapi
juga tidak akan berdaya menahan masuknya barang-barang impor ke pasar dalam negerinya. Bagi
Indonesia, kesepakatan dalam GATT memberikan peluang sekaligus tantangan, karena terbuka
kesempatan yang lebih luas bagi produkproduk Indonesia memasuki pasar internasional akan
tetapi di pihak lain Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin tajam.
Walaupun dalam mengantisipasi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia
Indonesia telah mulai mempersiapkan diri, akan tetapi sebagai negara berkembang bukanlah
suatu hal yang mudah untuk dapat bersaing dengan negara-negara industri maju yang telah lama
menguasai pasar dunia. Untuk itu diperlukan pengerahan segala daya dan potensi ekonomi
nasional agar barang-barang produksi Indonesia dapat dihasilkan dengan semakin efisien.
Kemajuan teknologi yang sangat pesat perlu dimasukkan sebagai salah satu variabel pokok dalam
kebijaksanaan pembangunan, oleh karena daya saing suatu negara tidak dapat berlandaskan
hanya pada keunggulan komparatif dengan mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja
yang berlimpah. Oleh karena itu Indonesia harus lebih memantapkan struktur industri yang telah
tercipta selama ini agar tetap dapat memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimilikinya di
samping terus lebih memperdalam dan memperkukuh pijalannya, dengan menerapkan teknologi
maju yang berorientasi kepada pasar internasional. Strategi untuk meningkatkan daya saing
Departemen Keuangan RI
10
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
komoditi Indonesia di pasar internasional yang dilakukan dalam PJP I melalui serangkaian
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi telah menunjukkan hasil nyata berupa meningkatnya
ekspor nonmigas dengan cukup menggembirakan, sehingga peranan ekspor nonmigas terhadap
ekspor total dalam tahun 1994/95 meningkat menjadi sekitar 76,3 persen dari sebesar 29,7 persen
dalam tahun 1984/85. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi merupakan langkah yang tepat di dalam menjawab tantangan dari perubahan
ekonomi dunia.
Namun demikian tidaklah berarti Indonesia dapat puas dan terlena dengan hasil-hasil
yang telah dicapai. Ketidakpastian ekonomi dunia masih terus menghauang dan menuntut
kewaspadaan
yang
tinggi.
Perkembangan
dalam
perekonomian
dunia
yang
kurang
menguntungkan pada awal tahun 1990-an, seperti melemahnya harga komoditi primer, gejolak
nilai tukar mata uang kuat dunia, serta meningkatnya perdagangan intra-kawasan melalui
terbentuknya blok-blok perdagangan dan menguatnya gerakan regionalisme, seperti pembentukan
masyarakat Eropa (European Community) menuju pasar tunggal dan kawasan perdagangan bebas
Amerika Utara (North America Free Trade Area/NAFTA), merupakan salah satu wujud dari
ketidakpastian perdagangan dunia dan hal ini tetap akan mewamai perkembangan ekonomi dunia
di masa depan. Jika tidak diwaspadai blok-blok perdagangan maupun blok-blok ekonomi tersebut
dapat menimbulkan hambatan terhadap prinsip perdagangan dunia yang bersifat multilateral dan
nondiskriminasi. Kesepakatan dalam perjanjian umum perdagangan dan tarif (General
Agreement on Tariff and Trade/GATT) dan pembentukan organisasi perdagangan dunia (World
Trade Organisation/WTO) memberikan harapan dapat terwujudnya kepastian dalam perdagangan
dunia.
Menghadapi keadaan ini, pilihan bagi Indonesia tiada lain adalah terus memperkuat daya
tahan perekonomian nasional agar dapat mengatasi ketidakpastian dan keadaan yang kurang
menguntungkan tersebut, sehingga momentum pembangunan dapat tetap terpelihara dan sasaran
pembangunan dapat dicapai. Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk dapat memanfaatkan secara
optimal forum-forum internasional seperti ASEAN, AFTA, Gerakan Non Blok maupun forum
kerja sama ekonomi Asia Pasifik (Asia-Pasific Economic Cooperation/APEC). Penunjukan
Indonesia menjadi ketua Gerakan Non Blok untuk periode 1992-1995 dan memimpin pertemuan
informal tingkat tinggi APEC dalam bulan November 1994 di Bogor, memberikan indikasi
adanya kepercayaan dan pengakuan dunia internasional akan peranan Indonesia dalam kerja sama
Departemen Keuangan RI
11
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
internasional yang semakin tiriggi. Khusus mengenai APEC, yang mewakili 40 persen
perdagangan dunia, 2 miliar penduduk dunia dan mencakup 52 persen produk domestik bruto
(PDB) dunia, mempunyai kekuatan besar dalam mewujudkan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik.
Dalam pertemuan informal para pemimpin ekonomi negara APEC di Bogor pada tanggal 15
November 1994 telah disepakati liberalisasi perdagangan dan investasi bagi negara-negara maju
paling lambat tahun 2010 dan bagi negara-negara berkembang paling lambat tahun 2020.
Langkah-langkah ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi tersebut dilakukan segera setelah
kesepakatan dikeluarkan. Negara-negara anggota APEC sepakat akan memperluas dan
mempercepat program liberalisasi perdagangan dan investasi, sehingga arus barang, jasa dan
modal akan lebih leluasa bergerak di antara mereka. Dalam hubungan ini, negara-negara anggota
APEC menentang keras pembentukan blok-blok perdagangan yang berorientasi ke dalam karena
bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. APEC menyetujui sepenuhnya komitmen
terhadap pelaksanaan Putaran Uruguay tanpa penundaan, dan mengharapkan seluruh peserta
Putaran Uruguay dapat melaksanakan hal yang sama. Dengan demikian kehadiran APEC sebagai
sumber kekuatan ekonomi di kawasan Asia- Pasifik dan sebagai pendukung prinsip GATT
diharapkan
mampu
menangkal
hambatan-hambatan
yang
diakibatkan
oleh
blok-blok
perdagangan, dan sebaliknya memperkuat sistem perdagangan multilateral. Perdagangan
internasional dan investasi yang makin terbuka, transparan, dan mempunyai aturan yang efektif
akan mendorong peningkatan mobilitas arus barang, jasa dan investasi antar negara.
Kebutuhan dana investasi yang meningkat
Di samping globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia, tantangan mendasar lainnya
yang dihadapi oleh Indonesia dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional adalah pemenuhan kebutuhan investasi yang makin meningkat, baik dalam jangka
pendek maupun jangka menengah. Dalam Repelita VI, untuk mencapai sasaran pertumbuhan
ekonomi sebesar rata-rata 6,2 persen per tahun diperlukan dana investasi yang tidak sedikit, yaitu
secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp 660,1 triliun, atau sebesar 30,7 persen dari
produksi nasional (PDB) selama periode tersebut yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 2.150
triliun. Jumlah tersebut berarti meningkat sekitar 78 persen dari rencana investasi dalam Repelita
V, akan rata-rata sebesar 12,5 persen per tahun selama periode Repelita VI. Peningkatan
Departemen Keuangan RI
12
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembiayaan investasi tersebut diperlukan bukan saja sebagai sumber penggerak utama
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga sangat penting sebagai faktor pendorong dinamis bagi
terselenggaranya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada tercapainya
kemakmuran yang berkeadilan sosial. Tanpa peningkatan investasi yang cukup memadai, maka
pertumbuhan kapasitas produksi dalam negeri akan menjadi terhambat, sehingga sasaran laju
pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekspor nonmigas dan penciptaan lapangan kerja dalam
Repelita VI akan sulit dicapai. Upaya pemenuhan rencana kebutuhan investasi tersebut bukanlah
tanpa masalah, oleh karena terdapat berbagai faktor internal dan eksternal yang perlu
dipertimbangkan secara seksama, diantaranya penyediaan prasarana dan sarana ekonomi serta
kemampuan mobilisasi sumber-sumber dana.
Pembiayaan bagi rencana investasi nasional tersebut harus diupayakan dari berbagai
sumber, baik sumber dana dalam negeri maupun sumber dana luar negeri. Sumber dana dalam
negeri masih mempunyai peluang untuk dikembangkan oleh karena diperkirakan masih terdapat
dana masyarakat yang belum digali secara optimal, sedangkan sumber dana luar negeri makin
terbatas dan persaingan untuk mendapatkannya makin ketat. Sesuai dengan amanat GBHN 1993,
pembiayaan pembangunan terutama diupayakan dari sumber kemampuan sendiri, sedangkan
sumber dana luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap bagi sumber dana dalam
negeri. Dalam Repelita VI, dari keseluruhan rencana investasi yang diperlukan bagi pembiayaan
pembangunan, sebesar Rp 623,5 triliun atau sekitar 94,5 persen akan diupayakan pemenuhannya
dari sumber dana dalam negeri, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,6 triliun akan sekitar 5,5 persen
akan diusahakan pembiayaannya dari sumber dana luar negeri neto. Selanjutnya karena
pembangunan nasional pada dasamya diselenggarakan oleh masyarakat bersama Pemerintah,
maka pemenuhan terhadap rencana kebutuhan investasi dari sumber pembiayaan pembangunan
dalam negeri akan diupayakan dengan meningkatkan peranan tabungan nasional, baik tabungan
pemerintah maupun tabungan masyarakat.
Pengerahan investasi sektor masyarakat
Pembangunan harus berakar pada kemandirian nasional dan kemampuan masyarakat, oleh
karena
itu
peranan
masyarakat
dalam
pembiayaan
pembangunan
perlu
terus
ditumbuhkembangkan atas dasar pernahaman bahwa pembangunan adalah hak, kewajiban, dan
Departemen Keuangan RI
13
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tanggung jawab seluruh rakyat. Sebagai kekuatan ekonomi nasional, dunia usaha swasta
diharapkan makin mampu mengembangkan keterlibatan dan partisipasinya secara aktif dan
kreatif di dalam kegiatan-kegiatan investasi produktif yang berwawasan jangka panjang di
berbagai sektor. Sumber utarna pembiayaan investasi sektor masyarakat berasal dari tabungan
swasta, baik perusahaan, perorangan maupun rumah tangga, tabungan perusahaan negara, dan
tabungan pemerintah daerah. Dalam Repelita VI, dana investasi masyarakat dari sumber dalam
negeri diperkirakan mencapai Rp 454,1 triliun atau sekitar 69 persen dari keseluruhan rencana
investasi dalam Repelita VI. Dalam upaya pemenuhan rencana pembiayaan investasi masyarakat
tersebut, masih terdapat sejumlah permasalahan di dalam negeri, baik yang bersifat siklikal
maupun struktural, yang perlu memperoleh pemecahan yang sungguh-sungguh, diantaranya
masih relatif tingginya suku bunga di dalam negeri, serta perlu ditingkatkannya manajemen
perbankan ke arah manajemen yang berhati-hati, khususnya karena masih dihadapinya
permasalahan kredit macet, serta masih diperlukannya proses konsolidasi untuk memenuhi
persyaratan kesehatan dan prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak diberlakukan Paket
Kebijaksanaan Februari 1991 dan kemudian disempurnakan dengan Paket Kebijaksanaan Mei
1993. Dalam hubungan ini kebijaksanaan untuk meningkatkan tabungan masyarakat melalui
kebijaksanaan moneter yang didukung dengan kebijaksanaan makro ekonomi lainnya, serta
pengembangan lembaga keuangan dan perbankan yang efisien, akan terus ditingkatkan. Akan
tetapi, sejalan dengan keterbukaan ekonomi yang telah meningkatkan keterkaitan antara
perekonomian dalam negeri dengan perkembangan perekonomian internasional, maka upaya
untuk menciptakan iklim yang mendukung peningkatan tabungan masyarakat, seperti
pengendalian tingkat inflasi, kebijaksanaan suku bunga, dan kurs valuta asing, akan semakin
tidak mudah diwujudkan. Lebih-lebih dengan adanya kesepakatan GATS, dimana arus jasa
antarnegara semakin bebas, seperti jasa bank, usaha perasuransian, dan berbagai bentuk lembaga
pembiayaan, maka menjadi tantangan tersendiri bagi sistem keuangan nasional untuk dapat
mengerahkan tabungan masyarakat. Di pihak lain, kehadiran modal asing dalam industri jasa
tersebut di Indonesia diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi dan profesionalisme
lembaga-lembaga keuangan melalui persaingan yang makin ketat dan alih teknologi, sehingga
dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri yang lebih sehat.
Departemen Keuangan RI
14
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Pengerahan pembiayaan investasi sektor pemerintah
Di sektor pemerintah, sumber pembiayaan investasi yang berasal dari dalam negeri
terutama dipenuhi melalui tabungan pemerintah. Peningkatan tabungan pemerintah diusahakan
melalui kenaikan penerimaan dalam negeri di luar migas, terutama dari sektor perpajakan, serta
pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin. Dalam Repelita VI penerimaan dalam negeri
akan diupayakan untuk dapat ditingkatkan rata-rata sebesar 13 persen per tahun sehingga
jumlahnya mencapai Rp 382 triliun. Sementara itu pengeluaran rutin di luar pembayaran pokok
pinjaman luar negeri pemerintah dalam periode yang sama diperkirakan sebesar Rp 212,6 triliun,
sehingga tabungan pemerintah bruto dalam Repelita VI diperkirakan mencapai Rp 169,4 triliun.
Sekalipun demikian, upaya peningkatan tabungan pemerintah juga tidak dapat dilepaskan dari
adanya berbagai kendala, baik yang berkaitan dengan usaha peningkatan penerimaan dalam
negeri maupun dalam pengendalian pengeluaran rutin. Kendala yang dihadapi dalam upaya
peningkatan penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan perpajakan, diantaranya bermuara
dari belum tergalinya secara optimal seluruh objek dan subjek pajak, belum meratanya tingkat
kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, serta kurang tersedianya basis data yang akurat
untuk menunjang tertib administrasi perpajakan. Demikian pula efisiensi dan kinerja BUMN
pada umumnya masih perlu ditingkatkan, sehingga upaya peningkatan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) masih memerlukan waktu. Sedangkan upaya pengendalian pengeluaran rutin tidak
mudah untuk dilakukan karena dihadapkan kepada masalah tingginya beban pembayaran utang
luar negeri, perlunya penyesuaian kesejahteraan pegawai negeri ke tingkat yang lebih memadai,
serta makin meningkatnya kebutuhan biaya operasi dan pemeliharaan bagi barang-barang milik
negara dan proyek-proyek yang telah selesai pembangunannya.
Ekspor nonmigas, pinjaman luar negeri dan investasi asing
Rencana pembiayaan investasi nasional selain memerlukan sumber dana domestik
(rupiah) juga membutuhkan dana devisa, yang pemenuhannya diusahakan, baik melalui ekspor,
terutama ekspor nonmigas, pengembangan sektor jasa nasional dan kepariwisataan, maupun
pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Melalui penciptaan iklim berusaha yang sehat
dan efisien serta pemanfaatan peluang-peluang di pasar dunia, ekspor nonmigas telah mengalami
peningkatan
yang
Departemen Keuangan RI
cukup
pesat
sehingga
mendorong
keberhasilan
Indonesia
dalam
15
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mempertahankan pertumbuhan ekonominya dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian,
melemahnya perkembangan ekspor nonmigas dalam dua tahun terakhir perlu lebih diwaspadai,
oleh karena untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam Repelita VI sebesar 6,2
persen per tahun diperlukan peningkatan ekspor nonmigas rata-rata sekitar 16,8 persen per tahun.
Dengan kecenderungan di atas, dan mengingat jumlah tabungan nasional masih lebih
rendah dari kebutuhan dana investasi yang direncanakan, maka perlu terus diusahakan
pemenuhan kesenjangan dana investasi dengan bantuan luar negeri. Dengan demikian menjadi
tantangan pembangunan untuk mengupayakan pinjaman luar negeri sesuai kebutuhan, dengan
tetap menjaga kemampuan untuk mengembalikannya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penggunaannya untuk mendukung program pembangunan. Namun demikian, di masa mendatang
pengusahaan pinjaman luar negeri, terutama yang bersyarat lunak, diperkirakan akan semakin
sukar diperoleh, mengingat kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia dalam pembangunan
dan banyaknya negara yang juga membutuhkan pinjaman luar negeri. Selain daripada bantuan
luar negeri perlu terus diupayakan peningkatan penanaman modal asing (PMA), oleh karena
investasi langsung luar negeri adalah merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang umumnya
tidak menimbulkan beban utang. Tantangan untuk mendorong investasi langsung (penanaman
modal asing) tersebut terasa semakin bertambah berat oleh karena meningkatnya kebutuhan dana
di pasar internasional telah menyebabkan persaingan dalam memperolehnya juga menjadi
semakin tajam, terutama karena adanya kecenderungan mengalirnya arus dana ke negara-negara
Eropa Timur sejak negara-negara tersebut merubah sistem ekonominya dari sistem sosialiskomunis ke sistem ekonomi pasar. Hal yang sama juga terjadi di Asia, dimana beberapa negara
yang baru membuka ekonominya, seperti Cina dan Vietnam memberikan berbagai kemudahan
bagi masuknya investasi asing ke negaranya.
Kondisi seperti ini tidak dapat diabaikan oleh Indonesia, sehingga diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh untuk meningkatkan daya tarik Indonesia bagi penanarnan modal asing, baik
melalui penyediaan infrastruktur yang lebih memadai maupun melalui penyederhanaan
perizinannya. Dalam hubungan ini, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994
merupakan jawaban terhadap tantangan peningkatan daya tarik investasi di Indonesia. Peraturan
pemerintah ini memberi peluang kepada investor asing untuk memiliki saham perusahaan sampai
dengan 100 persen, di samping memberi kebebasan kepada warga negara asing untuk menjual
saham perusahaannya melalui pasar modal. Demikian pula beberapa sektor yang tadinya tertutup
Departemen Keuangan RI
16
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
untuk investasi asing, seperti pelabuhan, tenaga listrik, dan telekomunikasi, sekarang terbuka
untuk investasi asing dengan sistem patungan. Dalam hubungan ini, penyempurnaan undangundang perpajakan yang akan diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1995, dimana antara lain
dilakukan penurunan tarif pajak penghasilan, diharapkan mampu lebih mendorong investasi asing
di Indonesia.
Berbagai perkembangan tersebut menunjukkan perbaikan yang pesat dalam iklim
investasi di Indonesia, terutama dalam satu dekade terakhir. Deregulasi di berbagai bidang,
khususnya di bidang investasi, perbankan, dan perdagangan, yang didukung dengan stabilitas
ekonomi yang mantap serta penyediaan prasarana yang memadai seperti jalan, listrik dan
telekomunikasi merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya peningkatan investasi.
Tantangan penyediaan infrastruktur
Ketersediaan prasarana dan sarana ekonomi yang tidak seimbang dengan peningkatan
produksi barang dan jasa merupakan kendala dan menimbulkan inefisiensi ekonomi secara
nasional. Oleh karena itu untuk mendukung kegiatan ekonomi yang diperkirakan akan meningkat
dengan pesat selama Repelita VI dan PJP II, prasarana dan sarana ekonomi, seperti jalan,
jembatan, pengairan, pelabuhan laut dan udara, sarana pengangkutan, tenaga listrik, dan
telekomunikasi, perlu semakin dipercepat penyediaannya. Di masa awal PJP I, pada saat
kemampuan keuangan negara cukup besar seiring dengan meningkatnya penerimaan dari sektor
migas, penyediaan berbagai prasarana ekonomi tersebut pada umumnya dilakukan oleh
Pemerintah. Akan tetapi dengan semakin terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka
masyarakat dan dunia usaha perlu lebih danorong untuk turut berpartisipasi dalam penyediaan
prasarana dan sarana ekonomi tersebut. Berkenaan dengan itu, perlu diciptakan suasana dan iklim
investasi yang sehat serta dikembangkan pola usaha dan pola kerja sama di bidang
pengembangan prasarana dan sarana ekonomi yang dinamis. Pola tersebut diupayakan menarik
minat dan memungkinkan dunia usaha untuk dapat memperoleh keuntungan yang wajar dari
kegiatan investasi di bidang prasarana dan sarana ekonomi, sekaligus menjamin bahwa
kepentingan masyarakat umum tetap dapat terlindungi.
Sumber pertumbuhan ekonomi lainnya di luar investasi
Departemen Keuangan RI
17
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selain berasal dari peningkatan investasi, sumber utama pertumbuhan juga berasal dari
peningkatan produktivitas seluruh perekonomian. Di tengah kesulitan pengerahan sumber-sumber
dana investasi, maka produktivitas masyarakat dan efisiensi perekonomian perlu terus
diupayakan peningkatannya guna mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan.
Selama Repelita VI, sekitar 22 persen dari pertumbuhan ekonomi diharapkan berasal dari
peningkatan produktivitas masyarakat. Sejalan dengan itu, produktivitas tenaga kerja, yang
diukur dengan nisbah nilai tambah per pekerja, diharapkan akan meningkat rata-rata sebesar 3,3
persen per tahun.
Sehubungan dengan hal itu, perlu dipahami bahwa usaha peningkatan produktivitas
nasional pada dasarnya berkaitan dengan tiga hat pokok. Yang pertama adalah bahwa proyek-proyek pembangunan, baik di sektor negara maupun di sektor swasta, perlu dipilih secara tepat
sehingga seluruh dana yang terkumpul dapat dialokasikan kepada proyek-proyek yang paling
produktif, menunjang ekspor nonmigas, serta memperluas lapangan kerja. Kedua, produktivitas
nasional berkaitan secara langsung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga
program nasional di bidang pendidikan dan latihan harus mendapatkan perhatian yang cukup
besar. Ketiga, pemakaian teknologi tepat guna harus diterapkan di semua tingkat produksi, agar
tidak saja diperoleh produktivitas yang optimal tetapi juga memberikan landasan bagi penerapan
teknologi tinggi di masa mendatang.
Berbagai permasalahan yang perlu dipecahkan dalam pembangunan
Selama PJP I pembangunan telah berhasil mencapai tujuannya, yaitu selain dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus juga mampu meletakkan landasan yang kuat bagi
tetap pembangunan selanjutnya. Namun, perlu disadari pula bahwa keberhasilan pembangunan
yang telah dicapai dalam PJP I masih terdapat berbagai masalah yang sifatnya mendasar yang
belum dapat diatasi sampai dengan akhir PJP I, sehingga perlu segera diselesaikan dalam masa
pembangunan berikutnya. Selain itu keberhasilan pembangunan juga membawa masalah dan
tantangan baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Masih adanya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial, tetap menuntut ushaa yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya agar tidak
berlanjut dan berkembang ke arah keangkuhan dan kecemburuan sosial yang dapat menghambat
pembangunan. Sementara itu jumlah penduduk miskin yang telah berkurang secara dramatis,
Departemen Keuangan RI
18
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
yaitu mencapai sekitar lebih dari 44 juta orang selama PJP I, memang merupakan prestasi yang
sangat membesarkan hati. Namun demikian, disadari bahwa jumlah penduduk yang berada di
bawah kemiskinan yang mencapai sekitar 13,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia secara
absolut masih cukup besar. Pengalaman menunjukkan bahwa usaha untuk mengurangi
kemiskinan dari sekitar 60 persen menjadi sekitar 13,7 persen memerIukan waktu tidak kurang
dari dua dasawarsa, yaitu dari tahun 1970 hingga akhir PJP I. Oleh katena itu, seperti
diamanatkan dalam GBHN 1993, masalah kemiskinan tersebut harus segera diatasi dan ditangani
secara sungguh-sungguh dalam PJP II. Kebijaksanaan pembangunan sektoral dan regional akan
dilanjutkan dan ditingkatkan dengan melaksanakan program khusus untuk menanggulangi
kemiskinan, sehingga diharapkan dalam dua Repelita mendatang masalah kemiskinan tersebut
dapat diatasi.
Selanjutnya pertambuhan jumlah penduduk dan persebaran penduduk yang masih belum
merata telah menimbulkan masalah pengembangan sumber daya manusia, khususnya masalah
peningkatan kualitas, penyediaan lapangan kerja, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan akan terus
ditingkatkan, sedangkan peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi
masyarakat akan mendapatkan perhatian lebih besar lagi.
Upaya pemerataan pembangunan antardaerah juga perlu menjadi perhatian, terutama
karena masih adanya perbedaan yang cukup menonjol antara satu daerah dengan daerah lainnya,
yang tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Pembangunan daerah dalam PJP II
akan makin ditingkatkan untuk dapat lebih menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antar
dan antara kota dan desa, antarsektor, serta membuka dan mempercepat pembangunan kawasan
timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah
terbelakang lainnya, dengan senantiasa menyesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah yang
bersangkutan. Dalam hubungan ini, perhatian khusus yang lebih besar akan diberikan kepada
daerah terbelakang, daerah yang padat, daerah yang sangat kurang penduduknya, daerah
transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah perbatasan, serta daerah yang merniliki kekhususan,
seperti daerah tertentu di kawasan timur Indonesia.
Sementara itu pemanfaatan dari pengolahan sumber daya lahan, air, dan hutan, serta pola
tata ruang masih belum sepenuhnya dilaksanakan secara menyeluruh dari terpadu, sehingga akan
Departemen Keuangan RI
19
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
terus diperhatikan bersamaan dengan pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk mengatasi dan memecahkan berbagai perrnasalahan tersebut, berbagai langkah
kebijaksanaan dan program pembangunan dalam Repelita VI akan lebih diarahkan pada
pendayagunaan dan pengembangan secara maksimal seluruh potensi pembangunan yang ada,
serta pemanfaatan setiap peluang yang terbuka, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar
negeri, dengan tetap memperhatikan kendala yang harus dihadapi.
Kebijaksanaan ekonomi makro 1995/96
Dengan semakin beratnya tantangan yang akan dihadapi di dalam Repelita VI, maka
kebijaksanaan dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia dalam tahun 1995/96 perlu
senantiasa diusahakan agar merupakan suatu jalinan kebijaksanaan yang saling melengkapi,
konsisten, dan mendasar untuk menciptakan iklim yang mampu menggerakkan segenap potensi
nasional dalam usaha memobilisasi semua sumber ekonomi untuk meningkatkan penerimaan
dalam negeri dan menggalakkan ekspor nonmigas, sehingga dapat dicapai keseimbangan
ekonomi, baik internal maupun eksternal.
Untuk mengatasi berbagai perrnasalahan seperti yang diutarakan, kebijaksanaan ekonomi
makro dan kebijaksanaan sektoral perlu lebih dipadukan. Kebijaksanaan ekonomi makro secara
umum diarahkan untuk mengendalikan sisi perrnintaan melalui perangkat fiskal dan moneter agar
tumbuh dan berkembang secara dinamis dalam batas-batas daya pikul sektor produksi dan neraca
pembayaran. Dalam kaitan ini, penekanan diberikan kepada upaya untuk mendorong ekspor
nonmigas, mobilisasi dana masyarakat, serta meningkatkan kegairahan melakukan investasi
untuk menjamin proses pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkeseimbangan.
Di bidang perdagangan luar negeri, kebijaksanaan tarif yang tepat akan disempurnakan
untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia dan menjaga kemantapan
neraca pembayaran. Di samping itu di bidang moneter, kebijaksanaan devisa akan lebih
diarahkan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah yang realistis dan lebih stabil guna menjaga
daya saing, sekaligus mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah,
sehingga tetap dapat mendorong ekspor nonmigas. Kebijaksanaan tersebut akan dilakukan
dengan menyesuaikan nilai tukar rupiah dengan memperhatikan laju inflasi di dalam negeri,
perkembangan nilai tukar antarvaluta asing, perkembangan suku bunga di dalam dan di luar
Departemen Keuangan RI
20
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
negeri, serta kecenderungan arus modal dari dan ke Indonesia. Selanjutnya untuk tetap menjaga
kestabilan moneter, perlu ditempuh langkah-langkah yang ditujukan untuk menjaga likuiditas
perekonomian, memantapkan suku bunga pada tingkat yang cukup rendah dan memperlancar
penyaluran kredit perbankan kepada dunia usaha. Di sektor perbankan, kebijaksanaan akan
diarahkan untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan, mengurangi hambatan yang
dihadapi bank-bank dalam kegiatan usahanya, terutama dalam pemberian kredit, serta lebih
memantapkan pembinaan dan pengawasan perbankan dalam rangka mengembangkan sistem
perbankan yang sehat.
Kebijaksanaan fiskal akan terus diarahkan pada pemantapan peranannya sebagai unsur
stabilisator tetapi sekaligus dinamisator kegiatan ekonomi melalui prinsip anggaran berimbang
yang dinamis. Selain karena prinsip anggaran yang berimbang mampu menjadi alat pengendali
keadaan moneter di dalam negeri, juga mempunyai dampak multiplikasi yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi, di samping tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan
yang penting. Di samping itu kebijaksanaan keuangan negara juga diarahkan untuk semakin
memperbaiki struktur sumber pembiayaan negara dan menunjang upaya peningkatan
kemandirian pembiayaan pembangunan melalui pengembangan sumber penerimaan dalam
negeri, baik migas maupun nonmigas.
Sumber-sumber migas
Walaupun peranannya dalam penerimaan negara terus menurun dan prospeknya tidak
begitu cerah, penerimaan migas tetap merupakan sumber penerimaan yang penting bagi
Pemerintah. Hal ini terutama karena sumber dana migas memiliki sifat strategis, baik sebagai
sumber devisa maupun sebagai sumber penerimaan negara bagi anggaran belanja negara. Oleh
karena itu, penerimaan migas juga perlu terus diupayakan peningkatannya dengan memanfaatkan
peluang yang tersedia, antara lain melalui peningkatan eksplorasi lahan baru, peningkatan
efisiensi produksi dan pengolahannya, serta penghematan konsumsi BBM dalam negeri. Sejalan
dengan itu, perlu terus diupayakan peningkatan kerja sama dengan negara-negara anggota OPEC
dan non-OPEC agar harga minyak dapat dipertahankan pada tingkat yang stabil dan wajar
sehingga saling menguntungkan, baik bagi produsen maupun konsumen. Usaha untuk
meningkatkan penerimaan migas jauh lebih sulit dibandingkan dengan upaya peningkatan
Departemen Keuangan RI
21
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sumber-sumber penerimaan negara di luar migas, oleh karena adanya berbagai faktor eksternal,
terutama yang berkaitan dengan perkembangan harga dan pasar minyak mentah internasional
yang berada di luar jangkauan pengendalian pemerintah. Pengalaman membuktikan bahwa
sekalipun sejak tahun 1990 OPEC telah menetapkan harga referensi sebesar US$ 21 per barel,
akan tetapi di dalam kenyataannya harga minyak mentah di pasar dunia lebih rendah dari harga
referensi tersebut, kecuali pada saar terjadinya perang Teluk pada akhir tahun 1990. Oleh karena
itu, walaupun organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dalam siuangnya di
Denpasar, Indonesia dalam bulan November 1994 telah berhasil menyatukan persepsi dan
mencapai kesepakatan untuk memperpanjang kuota produksi sebesar 24,52 juta barrel per hari
sampai akhir tahun 1995, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan harga minyak di pasar
dunia, namun penentuan harga patokan minyak mentah pada RAPBN 1995/96 harus tetap
dilakukan secara berhati-hati dan realistis. Hal ini danasari oleh pertimbangan bahwa penetapan
harga yang terlalu optimis dan ketergantungan yang terlalu berlebihan pada sektor migas di masa
lampau telah menimbulkan pelbagai kesulitan pada perekonomian nasional. Penurunan harga
minyak secara drastis dalam tahun 1986 telah menyebabkan APBN 1986/87 untuk pertama
kalinya dalam sejarah pembangunan Orde Baru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya,
sementara defisit transaksi berjalan mengalami peningkatan yang cukup tajam sehingga
mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan cadangan devisa nasional. Peristiwa tersebut
memberikan hikmah yang sangat berharga bagi pengelolaan ekonomi Indonesia di masa-masa
selanjutnya, dengan memperkuat upaya dan tekad untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri
terutama dari sektor pajak dan menggali sumber-sumber penerimaan devisa di luar migas, baik
melalui pengembangan ekspor nonmigas maupun pengembangan sektor pariwisata.
Penyempurnaan undang-undang perpajakan
Di bidang perpajakan, guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan
dalam jangka menengah dan panjang, serta memperkuat ketahanan dan kemandirian ekonomi
Indonesia dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia yang semakin pesat pada era
globalisasi, maka dalam tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan atas ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan penyempurnaan undang-undang perpajakan tersebut
landasan hukum di bidang perpajakan menjadi semakin kukuh dan cukup luwes, sehingga
Departemen Keuangan RI
22
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
diharapkan lebih mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan perekonomian
global di masa-masa yang akan datang.
Penyempurnaan terhadap ketentuan perpajakan tersebut meliputi Undang-undang Nomor
9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Untuk meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia, khususnya dalam menarik
investasi dan meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri, dalam undang-undang perpajakan
baru tersebut, tarif pajak penghasilan yang selama ini berlaku 3 (tiga) lapisan tarif, yaitu 15
persen untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 10 juta, 25 persen untuk penghasilan
kena pajak di atas Rp 10 juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 35 persen untuk penghasilan kena
pajak di atas Rp 50 juta dirubah menjadi 10 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak sampai
dengan Rp 25 juta, 15 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp 25 juta sampai
dengan Rp 50 juta, dan 30 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta.
Sedangkan untuk lebih meningkatkan rasa keadilan dalam pengenaan pajak, mengendalikan pola
konsumsi yang tidak wajar, serta mendorong pola hidup sederhana, maka dalam Undang-undang
Perubahan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) tarif maksimal PPnBM telah dinaikkan dari sebesar 35 persen menjadi sebesar
50 persen, dengan tarif minimal tetap sebesar 10 persen. Sementara itu guna meringankan beban
pajak dari wajib pajak perseorangan yang berpenghasilan tidak tetap dan golongan masyarakat
yang kurang mampu, maka dalam Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 1994
diperkenalkan nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOP- TKP) yang ditetapkan sebesar Rp 8
juta.
Undang-undang Perpajakan yang telah disempurnakan tersebut tetap memegang teguh
salah satu asas yang sangat hakiki, yaitu bahwa ketentuan perpajakan berlaku sama bagi setiap
wajib pajak. Demikian pula prinsip self assessment yang sejak diberlakukan dalam tahun 1984
telah terbukti mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dalam undang-undang
Departemen Keuangan RI
23
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perpajakan yang baru tetap dipertahankan. Selain dari pada itu, dalam rangka memperluas objek
pajak, maka berbagai bentuk aktivitas usaha yang selama ini aspek perpajakannya belum diatur
atau belum cukup diatur dalam undang-undang yang berlaku sekarang, telah diatur dalam
undang-undang yang baru. Dalam undang-undang perpajakan yang baru tersebut, cakupan objek
pajak lebih diperluas sehingga menjangkau pula pemungutan pajak atas premi asuransi yang
dibayarkan ke luar negeri, penghasilan dari penjualan harta di Indonesia dari wajib pajak luar
negeri, perolehan hadiah dan penghargaan, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean, seperti pemanfaatan merek yang dimiliki oleh
pengusaha luar negeri oleh pengusaha dalam negeri, serta kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain. Dengan berbagai upaya penyempurnaan tersebut
diharapkan peranan penerimaan negara dari sektor pajak sebagaimana diamanatkan dalam GBHN
1993 dapat lebih ditingkatan di masa-masa yang akan datang, tanpa harus mengurangi rasa
keadilan masyarakat, bahkan dapat lebih menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum,
serta kesederhanaan.
Disadari bahwa penurunan tarif pajak penghasilan tersebut dalam jangka waktu satu
sampai dengan dua tahun sejak diberlakukannya undang-undang baru mungkin akan
menyebabkan peningkatan penerimaan pajak penghasilan tidak setinggi peningkatannya dalam
lima tahun terakhir. Namun demikian, dalam jangka menengah dan panjang penerimaan negara
dari sektor pajak diperkirakan dapat ditingkatkan lebih besar sehingga keseluruhan rata-rata
peningkatan penerimaan pajak sebagaimana yang direncanakan dalam Repelita VI diperkirakan
masih akan tercapai. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan penerapan sanksi hukum
secara tegas, yang dalam undang-undang baru telah diberikan landasan hukum yang lebih kukuh,
perluasan objek pajak yang bersifat withholding, ekstensifikasi subjek pajak, serta perluasan
objek pajak dari pajak pertambahan nilai. Selain daripada itu penurunan tarif pajak penghasilan
tetap akan disertai ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak serta
peningkatan pelayanan oleh aparatur perpajakan.
Danasarkan kepada perkembangan ekonomi baik di dalam negeri maupun luar negeri
serta tantangan-tantangan yang diperkirakan akan dihadapi dalam tahun-tahun mendatang,
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran
1995/96 dilakukan secara realistis, cermat dan akurat dengan penuh hati-hati dan kewaspadaan,
Departemen Keuangan RI
24
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tanpa harus meninggalkan rasa optimisme. Dengan memperhatikan kemampuan pengerahan
sumber-sumber penerimaan negara dan kebutuhan riil pembiayaan operasional dan investasi
pemerintah dalam tahun kedua Repelita VI, maka sesuai dengan prinsip anggaran berimbang
yang dinamis, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 1995/96
direncanakan berimbang pada tingkat Rp 78.024,2 miliar, yang berarti mengalami peningkatan
sebesar Rp 8.275,1 miliar atau 11,9 persen dari APBN 1994/95. Di sisi anggaran pendapatan
negara, penerimaan dalam negeri diperkirakan sebesar Rp 66.265,2 miliar atau sekitar 11 persen
lebih tinggi dari sasaran penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN 1994/95. Dari
jumlah tersebut, sebesar Rp 52.989,6 miliar atau sekitar 80 persen merupakan penerimaan di luar
migas, sedangkan sisanya sebesar Rp 13.275,6 miliar atau sekitar 20 persen berasal dari
penerimaan migas. Penerimaan dalam negeri di luar migas dalam RAPBN 1995/96 tersebut
berarti meningkat sebesar Rp 6.103,7 miliar atau 13 persen bila dibandingkan dengan sasaran
penerimaan nonmigas yang direncanakan dalam APBN tahun 1994/95. Sementara itu penerimaan
dari sektor migas diperkirakan mengalami peningkatan sebesar Rp 424,4 miliar atau 3,3 persen
dari sasaran penerimaan migas dalam APBN 1994/95.
Di sisi anggaran belanja negara, dalam RAPBN 1995/96 pengeluaran rutin direncanakan
meningkat sebesar 11,5 persen bila dibandingkan dengan rencananya dalam APBN 1994/95,
sehingga mencapai Rp 47.240,7 miliar. Pengeluaran rutin tersebut akan dipusatkan untuk
memperlancar roda pemerintahan dan meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Peningkatan pengeluaran rutin tersebut antara lain disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan kenaikan gaji pegawai negeri sipil, anggota ABRI, dan pensiunan, baik di pusat
maupun di daerah sebesar 10 persen. Selain daripada itu pengeluaran rutin juga masih
dipengaruhi oleh kenaikan dalam pembayaran hutang luar negeri, yang dalam RAPBN 1995/96
diperkirakan mencapai sebesar Rp 17.896,1 miliar. Kenaikan dalam pembayaran hutang luar
negeri tersebut antara lain disebabkan oleh menguatnya nilai tukar beberapa mata uang negaranegara industri maju khususnya Yen terhadap Dolar Amerika Serikat dan rupiah. Sekalipun
secara absolut pembayaran hutang luar negeri mengalami peningkatan sebesar Rp 243,8 miliar
bila dibandingkan dengan perkiraannya dalam APBN 1994/95, namun peranannya terhadap
pengeluaran rutin menunjukkan penurunan dari sekitar 42 persen dalam APBN 1994/95 menjadi
sekitar 38 persen dalam RAPBN 1995/96. Penurunan peranan pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri dalam pengeluaran rutin RAPBN 1995/96 tersebut berkaitan erat dengan
Departemen Keuangan RI
25
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian pinjaman luar negeri pemerintah yang
memiliki tingkat suku bunga tinggi dalam tahun 1994/95, sebagai upaya untuk memperingan
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa mendatang agar tetap dalam
batas kemampuan perekonomian nasional, tidak menimbulkan beban yang lebih berat terhadap
APBN, dan sekaligus mampu memelihara kondisi neraca pembayaran yang sehat.
Dalam tahun anggaran 1995/96 dan tahun-tahun mendatang, prinsip efisiensi dan
efektivitas yang senantiasa mendasari setiap penerimaan dan pengeluaran negara akan lebih
ditingkatkan intensitas pelaksanaannya, guna menghasilkan tabungan pemerintah yang memadai.
Dengan perkembangan penerimaan dalam negeri yang melampaui pengeluaran rutin sebagaimana
diuraikan di atas, maka jumlah tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam RAPBN
1995/96 diperkirakan mencapai sebesar Rp 19.024,5 miliar, atau mendekati sasarannya dalam
tahun kedua Repelita VI sebesar Rp 19.070,8 miliar. Jumlah tersebut berarti sekitar 9,4 persen
lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah tabungan pemerintah yang direncanakan dalam
APBN 1994/95 sebesar Rp 17.386,3 miliar. Bersama-sama dengan penerimaan pembangunan
yang berjumlah sebesar Rp 11.759,0 miliar, berarti dana yang tersedia untuk anggaran belanja
pembangunan dalam RAPBN 1995/96 direncanakan mencapai sebesar Rp 30.783,5 miliar. Ini
berarti bahwa dalam RAPBN 1995/96, anggaran belanja pembangunan diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar Rp 3.385,2 miliar atau 12,4 persen bila dibandingkan dengan anggaran
pembangunan dalam APBN 1994/95 sebesar Rp 27.398,3 miliar. Jumlah tersebut akan digunakan
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor dan subsektor untuk mencapai
sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan skala prioritas seperti yang direncanakan dalam
tahun kedua Repelita VI, dan sekaligus mengatasi berbagai permasalahan yang belum
terpecahkan dalam PJP I.
Prioritas pembangunan sesuai dengan arahan GBHN 1993
Mengacu kepada arah kebijaksanaan yang ditetapkan dalam GBHN 1993 dan Repelita
VI, maka prioritas pembangunan dalam tahun anggaran 1995/96 diletakkan pada pembangunan
sektorsektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang
pembangunan lainnya, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam hubungan ini,
Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya
Departemen Keuangan RI
26
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masyarakat makmur yang berkeadilan sosial, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis tetap menjadi pedoman dasar dan acuan utama yang
harus dipertimbangkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan
kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan masalah-masalah mendasar di seluruh bidang
pembangunan.
Dalam memasuki tahapan yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa, dimensi
pemerataan memperoleh aksentuasi di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, dengan
mempertegas implementasi peningkatan kemakmuran dalam nuansa pemerataan yang
berkeadilan sosial, sehingga dapat dihindarkan pemerataan yang hanya berbagi kemiskinan.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi diperlukan sebagai penggerak dan pemacu pembangunan di
bidang-bidang lain, dan sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan, dan didukung oleh stabilitas nasional yang
mantap dan dinamis. Sementara itu stabilitas nasional yang memberi ruang gerak bagi dinamika,
dan dinamika yang menggerakkan stabilitas nasional tetap diperlukan sebagai prasyarat dalam
menunjang kelancaran pembangunan, sehingga memungkinkan peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi bagi terselenggaranya pemerataan kemakmuran yang berkeadilan
sosial.
Dengan kerangka acuan di atas, maka pembangunan nasional tidak hanya ditujukan untuk
mencapai tujuan ekonomi semata, tetapi juga diarahkan pada pembangunan bidang-bidang
lainnya, yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan pembangunan bidang ekonomi.
Pembangunan yang hanya mengutamakan pembangunan ekonomi hanya akan menimbulkan
ketidakseimbangan, baik di dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keterkaitannya dengan
sumber alam serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, pemanfaatan modal, pendayagunaan
sumber daya alam, dan pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan Indonesia
untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, akan diupayakan seimbang dan
dilaksanakan secara terencana, rasional, efisien, optimal dan bertanggung jawab, dengan
senantiasa menyesuaikannya terhadap kemampuan daya dukungnya serta memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu
langkah strategis di dalam penanggulangan kemiskinan, akan lebih ditingkatkan di masa-masa
Departemen Keuangan RI
27
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mendatang seirama dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, oleh karena pengalaman di
negara lain menunjukkan bahwa faktor sumber daya manusia sangat menentukan bagi
keberhasilan pembangunannya.
Kualitas sumber daya manusia
Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tuntutan yang sangat mendesak, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, oleh karena perkembangan ekonomi,
industrialisasi, arus informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan (iptek) yang pesat makin
menuntut sumber daya manusia yang makin tinggi kualitasnya. Oleh karena itu, dalam
menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan seiring dengan globalisasi ekonomi dan
liberalisasi perdagangan dunia, maka sebagai rangkaian usaha pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia akan semakin dikembangkan dan
ditingkatkan antara lain melalui peningkatan kualitas hidup, baik kualitas fisik dan spiritual
manusia maupun kualitas kehidupannya, peningkatan produktivitas dan upaya pemerataan
penyebarannya sesuai dengan kebutuhan, serta peningkatan kemampuan pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan.
Kebijaksanaan peningkatan kualitas hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari usaha
untuk menekan tingkat kematian bayi, meningkatkan usia rata-rata penduduk Indonesia,
meningkatkan kesehatan dan pendidikan masyarakat, serta memperluas kesempatan kerja dan
penyebaran penduduk. Di bidang pendidikan, dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dalam tahun anggaran 1995/96 akan diupayakan perluasan pemerataan kesempatan
pendidikan, dan peningkatan mutu pendidikan di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan.
Perluasan jangkauan akses pelayanan pendidikan akan diusahakan melalui penyelenggaraan
program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, serta penyediaan berbagai prasarana dan
sarana pendidikan untuk meningkatkan daya tampung lembaga-lembaga pendidikan di berbagai
tingkatan.
Sedangkan
peningkatan
mutu
pendidikan diupayakan antara lain dengan
menyempurnakan kurikulum pendidikan, meningkatkan mutu guru, dosen dan tenaga
kependidikan lainnya, meningkatkan budaya minat baca sebagian besar masyarakat, serta
mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan yang tepat agar mampu memenuhi tuntutan
pembangunan dan pasar tenaga kerja.
Departemen Keuangan RI
28
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Di bidang kesehatan, upaya peningkatan mutu dan derajat kesehatan masyarakat akan
lebih diarahkan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan agar menjangkau seluruh
penduduk, terutama penduduk di daerah terpenci1, desa tertinggal, dan penduduk yang tidak
mampu. Peningkatan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat
tersebut antara lain dilakukan melalui pembangunan Puskesmas, penyuluhan kesehatan,
pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit, serta peningkatan kelas terhadap semua rumah
sakit. Demikian pula dalam rangka menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan secaralebih
merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, akan diupayakan peningkatan produksi dan
pendistribusian obat generik berlogo secara lebih luas, pendayagunaan obat dan cara pengobatan
tradional, serta pembentukan sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional.
Seiring dengan itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan antara kualitas penduduk dengan
daya dukung dan daya tampung lingkungan, pertumbuhan penduduk akan lebih dikendalikan
antara lain melalui upaya pendewasaan usia kawin, pembudayaan norma keluarga kecil bahagia
dan sejahtera (NKKBS), peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA),
pengadaan alat-alat kontrasepsi, serta usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA).
Selanjutnya untuk mendukung kesehatan dan proses pembentukan manusia dengan
kecerdasan yang diharapkan, akan diupayakan peningkatan kualitas pangan dan keadaan gizi
sebagian besar masyarakat antara lain melalui gerakan sadar pangan dan gizi (GSPG), usaha
perbaikan gizi keluarga (UPGK) dengan pemberian makanan tambahan (PMT), serta
penanggulangan kurang energi protein (KEP) dan kelainan gizi. Demikian pula pelayanan
penyediaan dan akses air bersih, khususnya bagi kehidupan masyarakat di lingkungan kumuh
akan lebih diperluas, sehingga dapat menunjang terciptanya budaya dan perilaku hidup bersih dan
sehat. Di bidang agama, akan diupayakan pembangunan dan pembinaan berbagai aspek yang
menyentuh sendi-sendi kehidupan keagamaan, antara lain melalui upaya pengembangan sarana
kehidupan beragama, peningkatan penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup beragama, serta
pembinaan pendidikan agama di semua jenjang pendidikan.
Sementara itu peningkatan produktivitas tenaga kerja dan upaya pemerataan
penyebarannya sesuai dengan kebutuhan akan diupayakan antara lain melalui pelatihan dan
peningkatan keterampilan tenaga kerja, penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja, pembinaan
dan pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja, serta pembinaan hubungan industrial dan
perlindungan tenaga kerja. Sejalan dengan itu, juga akan diupayakan peningkatan kemampuan
Departemen Keuangan RI
29
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan
lingkungan guna mendukung upaya percepatan proses transformasi teknologi, pengembangan
rancang bangun dan rekayasa, pengembangan sistem kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), serta pengembangan wahana yang memadai bagi penerapan iptek.
Peningkatan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan.
Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, usaha-usaha untuk
menanggulangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan, baik antargolongan ekonomi,
antarkelompok pendapatan masyarakat, antarsektor, maupun antardaerah akan semakin
diintensifkan dengan lebih memadukan berbagai kebijaksanaan makro ekonomi dan
kebijaksanaan sektoral dengan kebijaksanaan regional. Menyadari perlunya perbaikan akses
terhadap sumber daya, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap sumber
pembiayaan dalam upaya peningkatan kemampuan penduduk miskin, maka dalam tahun
anggaran 1995/96 program bantuan pembangunan desa tertinggal dalam bentuk Inpres desa
tertinggal (IDT) akan semakin ditingkatkan intensitas pelaksanaannya dengan lebih
menyempurnakan kriteria penilaian, dan mengarahkan alokasi pemanfaatannya bagi usaha-usaha
produktif yang dikembangkan di kakangan dan oleh penduduk miskin sendiri, atas dasar
semangat keswadayaan, kooperatif dan kemandirian, sehingga secara bersama-sama mereka
mampu melepaskan diri dari kemiskinan, khususnya di desa-desa tertinggal. Melalui program
IDT, penduduk desa tertinggal diharapkan dapat secara kreatif menciptakan kegiatan
perekonomian di pedesaan, yang pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan
dan kesejahteraan penduduk.
Peningkatan kemampuan usaha kecil, menengah dan koperasi juga di dorong melalui
pemberian kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam pelaksanaan proyekproyek pembangunan pemerintah, dan pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri dalam
setiap pengadaan barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara. Sedangkan upaya
peningkatan pemerataan pendapatan akan dilakukan antara lain melalui penciptaan dan perluasan
lapangan kerja, serta kebijaksanaan penetapan upah minimum regional, sektoral dan subsektor
yang diupayakan agar berada di atas kebutuhan fisik minimum. Pemerataan pembangunan
antarsektor diupayakan dengan menyeimbangkan secara bertahap peranan dan sumbangan ketiga
Departemen Keuangan RI
30
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sektor ekonomi, yaitu pertanian, industri, dan jasa dalam rangka penciptaan nilai tambah dan
produktivitas ekonomi nasional yang tinggi, yang pada akhirnya dapat mengurangi ketimpangan
pendapatan. Sedangkan upaya pemerataan pembangunan antardaerah diwujudkan dengan
mendorong investasi dan penyebaran sumber daya manusia terutama ke wilayah yang belum
berkembang, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah-daerah terpencil lainnya. Hal ini
diupayakan melalui alokasi anggaran sektoral bagi penyediaan prasarana fisik, peningkatan
keterampilan, pelatihan dan pengembangan kewiraswastaan, promosi investasi, serta pemberian
berbagai kemudahan lainnya. Sejalan dengan itu, kebijaksanaan pemberian desentralisasi dan
otonomi daerah akan makin diperluas dengan antara lain meningkatkan alokasi program bantuan
pembangunan daerah, baik Inpres Dati I maupun Inpres Dati II dengan lebih memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam perencanaan pemanfaatannya sesuai dengan prioritas dan
potensi ekonomis masing-masing daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung upaya
peningkatan keserasian laju pertumbuhan antardaerah, peningkatan keterpaduan pembangunan
sektoral dan pembangunan daerah, serta pemantapan penataan tata ruang dalam pembangunan
daerah.
Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Selanjutnya untuk mencegah terjadinya kerusakan sumber daya alam dan menurunnya
kualitas lingkungan hidup sebagai akibat dari meningkatnya intensitas kegiatan pembangunan,
maka dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan, akan dilaksanakan pembinaan
daerah pantai, pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, penyelamatan hutan, tanah dan air,
rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, serta inventarisasi dan
evaluasi sumber daya darat. Berbagai program pelestarian lingkungan hidup tersebut akan
diupayakan berjalan seiring dengan rencana penyusunan strategi dan pengelolaan teknis penataan
ruang, serta pengembangan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan
efisien guna mengantisipasi aspek-aspek yang makin kompleks dan kegiatan pembangunan yang
makin intensif.
Pembenahan dan pembaruan hukum nasional
Dengan makin meningkatnya perkembangan dan dinamika masyarakat sebagai akibat dari
Departemen Keuangan RI
31
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembangunan, serta kemajuan ekonomi dan iptek, menimbulkan tuntutan peningkatan kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan jasa hukum, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab
itu, guna mengharmoniskan hukum nasional dengan aspek-aspek hukum transnasional tanpa
harus meninggalkan ciri-ciri falsafah hukum nasional yang mementingkan sifat kekeluargaan dan
keseimbangan yang bersumber pada idedogi Pancasila, maka dalam rangka rencana legislasi
nasional, akan diajukan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) di berbagai bidang sesuai
dengan urutan prioritas kebutuhan pembangunan. Beberapa diantaranya adalah RUU tentang
Pasar Modal untuk menjamin dipenuhinya persyaratan disclosure dan sekaligus memberikan
perlindungan terhadap kepentingan konsumen, RUU Pabean dan Cukai untuk memperkukuh
landasan hukum di bidang keuangan dari perdagangan luar negeri, serta RUU tentang Perairan
Nasional dan Landas Kontinen dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pemanfaatan
dan pengelolaan potensi kelautan, serta penegakan kedaulatan hukum wilayah perairan Indonesia.
Di samping itu juga direncanakan pengajuan RUU tentang Perubahan UU Hak Cipta, Paten dan
Merek, serta RUU tentang Desain Produk Industri, Rangkaian Elektronik Terpadu (Integrated
Circuits), Rahasia Dagang dan Arbitrase sebagai tindak lanjut daripada pengesahan hasil-hasil
perundingan Putaran Uruguay. Dalam rangka mewujudkan amanat vasal 33 DUD 1945, dewasa
ini juga sedang dipersiapkan penyusunan RUU Perlindungan Usaha Kecil dan Koperasi, RUU
Perlindungan Konsumen, serta RUU yang mengatur tentang penghindaran persaingan usaha yang
tidak sehat (unfair competition). Pengesahan berbagai Rancangan U nuang -undang tersebut
diharapkan mampu memperkukuh landasan pengaturan dan memberikan transparansi bagi
berbagai bidang kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat.
Penutup
Pada akhirnya keberhasilan pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks
akan sangat tergantung pada kemampuan perencanaan. pelaksanaan. pengendalian dan
pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang terpadu serta berpijak pada potensi,
kekuatan efektif dan kemampuan dalam negeri dengan dilandasi tanggungjawab, semangat
pengabdian dan semangat pembangunan serta kemampuan profesional yang tinggi. Oleh karena
itu, peran aktif masyarakat serta disiplin para penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia
perlu lebih ditingkatkan, sedangkan peranan lembaga yang melaksanakan fungsi pemeriksaan,
Departemen Keuangan RI
32
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengawasan dan pengendalian perlu makin dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi
pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan berbagai upaya dan ikhtiar pembangunan, maka
cita-cita masyarakat adil dan makrnur sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 niscaya
akan dapat terwujud.
Departemen Keuangan RI
33
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
2.1. Pendahuluan
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di dalam dimensi kehidupan bangsa
dan negara Indonesia senantiasa diarahkan untuk memperkuat sendi-sendi dasar demokrasi dan
sistem konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Bertolak dari
ketentuan Pasal 23 Undang Undang Dasar 1945, APBN disusun sebagai rencana operasional
tahunan dari Repelita, yang merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Sebagai ujung tombak kebijaksanaan pembangunan sektor pemerintah, penyusunan
APBN tidak dapat lain daripada mengacu kepada arah kebijaksanaan pembangunan yang telah
ditetapkan dalam GBHN, guna mewujudkan secara bertahap amanat yang terkandung di dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di dalam hubungan ini, APBN diletakkan sebagai
perangkat utama kebijaksanaan fiskal, yang bersama-sama dengan kebijaksanaan moneter dan
kebijaksanaan perdagangan luar negeri senantiasa menjadi pilar-pilar kebijaksanaan ekonomi
makro yang saling mendukung dalam menopang pengelolaan ekonomi nasional. Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis, sebagai satu rangkaian tak terpisahkan dari Trilogi
Pembangunan, tetap menjadi landasan kebijaksanaan pengelolaan keuangan negara. Dengan
demikian, pengerahan sumber-sumber penerimaan negara dan alokasi pemanfaatannya kepada
seluruh sektor pembangunan tetap diarahkan kepada tercapainya ketiga sasaran Trilogi
Pembangunan tersebut.
Dalam rangka mencapai keseimbangan antar sasaran tersebut, penyusunan dan
pelaksanaan APBN senantiasa danasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis,
dengan senantiasa menjaga keserasian antara pengeluaran negara dengan penerimaan negara
dalam jumlah yang dapat memantapkan stabilitas ekonomi dan sekaligus menjamin terus
berlangsungnya pembangunan nasional. Pengalaman membuktikan bahwa penerapan prinsip
anggaran berimbang yang dinamis selama ini di samping mampu menjadi alat pengendali
keadaan moneter di dalam negeri, juga mempunyai dampak multiplikasi yang besar terhadap
Departemen Keuangan RI
34
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pertumbuhan ekonomi.
Perencanaan dan pelaksanaan APBN di samping danasarkan pada prinsip anggaran
belanja berimbang yang dinamis, juga diarahkan untuk mewujudkan prinsip kemandirian dalam
pembiayaan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kemampuan sumber pembiayaan yang berasal
dari dalam negeri harus makin diperbesar melalui peningkatan penerimaan negara, baik dari
sektor minyak bumi dan gas alam (migas) maupun sektor di luar migas. Sungguhpun penerimaan
dalam negeri terus menunjukkan peningkatan, yaitu dari sekitar 9 persen produk domestik bruto
(PDB) pada awal Repelita I menjadi sekitar 20 persen dari PDB dalam tahun kedua Repelita IV,
namun perkembangan tersebut lebih banyak ditopang oleh penerimaan migas. Menyadari bahwa
ketergantungan pada penerimaan migas dapat menimbulkan berbagai kerawanan terhadap
perekonomian nasional terutama pada sektor APBN, maka usaha penggalian dan pengembangan
lainnya di luar pajak lebih ditingkatkan dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan
pembiayaan pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Langkah-langkah untuk
menegakkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan tersebut, khususnya melalui usaha
peningkatan penerimaan dalam negeri diluar migas, telah meletakkan dasar pijak dan landasan
hukumnya sejak tahun pertama Repelita IV ketika pemerintah melakukan pembaharuan terhadap
peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan berbagai usaha yang sungguh-sungguh di
dalam menggali sumber-sumber penerimaan di luar migas, terutama dari sektor perpajakan, maka
peranan dari sektor perpajakan secara berangsur-angsur dapat menggantikan dominasi
penerimaan dari sektor migas dalam penerimaan negara. Demikian pula rasio penerimaan
perpajakan terhadap PDB di luar migas yang dalam tahun pertama lama Repelita VI baru sebesar
6,4 persen. Peningkatan penerimaan perpajakan tersebut selain memperkukuh struktur
penerimaan negara juga membuktikan bahwa swadaya dan kemandirian dalam melaksanakan
pembangunan yang bersumber dari penggalian dana-dana dalam negeri telah menunjukkan hasil
yang mantap dan nyata. Apabila dalam tahun pertama Repelita I sumber -sumber penerimaan
dalam negeri baru menopang sekitar 23 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan, maka
dalam tahun pertama Repelita VI sebagian besar, yaitu sekitar 63,5 persen, dari seluruh
kebutuhan dana pembangunan dapat dipenuhi dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri.
Sekalipun demikian, dibandingkan dengan luasnya kegiatan pembangunan, sumber penerimaan
dalam negeri belum sepenuhnya mampu memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan investasi
sektor pemerintah. Oleh karena itu, penerimaan pembangunan yang bersumber dari luar negeri
Departemen Keuangan RI
35
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masih diperlukan sebagai pelengkap, dengan tetap menghindarkan keterikatan dan campur tangan
asing, dan senantiasa mengupayakan agar peranannya secara bertahap relatif semakin menurun.
Selain daripada sebagai unsure stabilisator perkembangan ekonomi dalam negeri, peranan
APBN yang tidak kurang penting adalah sebagai sumber utama pembiayaan investasi di sektor
pemerintah. Selama periode pembangunan jangka panjang pertama (PJP I), terutama sejak awal
Repelita I hingga Repelita III, peranan investasi pemerintah dalam pembentukan investasi
nasional menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat. Apabila pada awal-awal periode
Repelita I, peranan investasi pemerintah baru sekitar 37 persen dari total investasi nasional, maka
sejalan dengan meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas, peranan investasi pemerintah
dalam Repelita III meningkat menjadi lebih dari 50 persen dari total investasi nasional setiap
tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, walau peranannya sebagai sumber utama dana investasi
nasional relatif semakin menurun dan digantikan oleh dana investasi swasta, akan tetapi melalui
alokasi dana anggaran belanja negara, APBN diperkirakan masih akan tetap penting sebagai
pendorong berkembangnya kegiatan perekonomian nasional. Hali ni terutama karena anggaran
belanja pemerintah pada dasarnya merupakan salah satu sumber permintaan yang sangat
potensial terhadap produksi barang dan jasa masyarakat, termasuk dunia usaha. Apabila pada
awal PJP I jumlah pengeluaran negara yang dibelanjakan di dalam negeri baru mencakup sekitar
10 persen dari PDB, maka seiring dengan peningkatan volume APBN, dalam Repelita III
mencapai sekitar 20 persen dari PDB. Pengeluaran pemerintah yang semakin besar, melalui
proses multiplikasi, telah mampu memberikan pengaruh positif terhadap jumlah output yang
dihasilkan oleh perekonomian.
Keberhasilan pengelolaan anggaran berimbang yang dinamis, selain ditentukan oleh
keberhasilan dalam penggalian dan pengerahan secara optimal berbagai potensi penerimaan
negara, juga harus didukung dengan alokasi anggaran belanja negara yang makin efisien, terarah
dan terkendali. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan APBN senantiasa danasarkan
kepada prinsip efisiensi, efektivitas dan optimalisasi pemanfaatan dana negara, dengan antara lain
mempertajam prioritas alokasi pemanfaatannya, baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintah terhadap masyarakat, maupun guna menunjang kegiatan-kegiatan yang tidak
dilaksanakan oleh masyarakat dan dunia usaha. Pengeluaran rutin dikendalikan dalam batas-batas
yang tidak mengganggu kelancaran penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan kegiatan
pembangunan, antara lain melalui penghapusan berbagai macam subsidi untuk mendorong
Departemen Keuangan RI
36
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tercapainya alokasi sumber-sumber ekonomi yang sehat, tanpa harus mengorbankan
kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat. Sementara itu anggaran belanja pembangunan
diarahkan alokasi pemanfaatannya untuk menciptakan dan memperkuat unsur-unsur dasar yang
mendukung pembangunan, seperti pembangunan prasarana dan sarana ekonomi, perluasan
jaringan pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan sumber daya
manusia. Pembangunan proyek-proyek tersebut selain merupakan unsur yang positif untuk
mendukung kegiatan ekonomi dalam negeri, juga sekaligus akan mengatasi kendala-kendala
prasarana yang dapat menghambat kegiatan produksi dan penanaman modal oleh dunia usaha.
Belajar dari pengalaman keberhasilan masa lampau dalam pengelolaan APBN, serta
melihat semakin beratnya tugas dan tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi di masa
mendatang, maka prinsip anggaran berimbang yang dinamis, kemandirian dalam pembiayaan
pembangunan, dan efisiensi alokasi pengeluaran negara akan senantiasa menjadi acuan yang
melandasi kebijaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Perkembangan APBN sejak
Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI .
Tabel II.1
-1
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
Repelita
1974/75
Realisasi
Repelita
1975/76
Realisasi
Repelita
1976/77
Realisasi
Repelita
-2
1.363,40
961,6
401,8
213,9
(-)
(-)
615,7
615,7
(-)
(-)
-3
1.753,70
1.016,10
737,6
232
-36,1
-195,9
969.6
961,8
(765.9)
-195,9
-4
2.073,70
1.293,90
779,8
191,8
(-)
(-)
971,6
971,6
(-)
(-)
-5
2.241,90
1.332,60
909,3
491,6
-20,2
-471,4
1.400,90
1.397,70
(926.3)
-471,4
-6
2.277,40
1.427,90
849,5
208
(-)
(-)
1.057,50
1.057,50
(-)
(-)
-7
2.906,00
1.629,80
1.276,20
783,8
-10,2
-773,6
2.060,00
2.054,50
-1.280,90
-773,6
2.607,70
1.629,90
977,8
218,4
(-)
(-)
1.196,20
1.196,20
(-)
(-)
1989/90
Repelita
Realisasi
-2
-3
-1
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
25.249,80
23.445,00
1.804,80
11.325,10
(-)
(-)
13.129,90
13.129,90
(-)
(-)
28.739,80
24.331,10
4.408,70
9.429,30
-1.007,20
-8.422,10
13.838,00
13.834,30
-5.412,20
-8.422,10
Departemen Keuangan RI
1990/91
Repelita
Realisasi
-4
-5
29.432,50
24,829,6
4.602,90
11.566,00
(-)
(-)
16.168,90
16.168,90
(-)
(-)
39.546,40
29.997,70
9.548,70
9.904,60
-1.396,80
-8.507,80
19.453,30
19.452,00
-10.944,20
-8.507,80
1991/92
Repelita
Realisasi
-6
-7
34.856,50
26.591,60
8.264,90
12.644,80
(-)
(-)
20.909,70
20.909,70
(-)
(-)
41.584,80
30.227,60
11.357,20
10.409,10
-1.563,40
-8.845,70
21.766,30
21.764,20
-12.918,50
-8.845,70
-8
1977/78
Realisasi
Repelita
-9
3.535,40
2.148,90
1.386,50
773,4
-35,8
-737,6
2.159,90
2.156,80
-1.419,20
-737,6
(10)
3.088,70
1.905,10
1.183,60
224,6
(-)
(-)
1.408,20
1.408,20
(-)
(-)
1992/93
Repelita
Realisasi
-8
-9
41.466,40
27.974,40
13.492,00
12.195,00
(-)
(-)
25.687,00
25.687,00
(-)
(-)
47.452,50
34.031,20
13.421,30
10.715,70
(51l,7)
-10.204,00
24.137,00
24.134,80
-13.930,80
-10.204,00
1978/79
Realisasi
(11)
4.266,10
2.743,70
1.522,40
1.035,50
-48,2
-987,3
2.557,90
2.555,60
-1.568,30
-987,3
1993/94
Repelita
Realisasi
-10
-11
48.909,40
29.959,80
18.949,60
12.687,00
(-)
(-)
31.636,60
31.636,60
(-)
(-)
52.279,80
38.799,30
13.480,50
10.371,90
-440,8
-9.931,10
23.852,40
25.661,10
-15.730,00
-9.931,10
JUMLAH
Repelita
Realisasi
-11
11.410,90
7.218,40
4.192,50
1.056,70
(-)
(-)
5.249,20
15.249,20
(-)
(-)
-12
14.703,10
8.871,10
5.832,00
3.316,30
-150,5
-3.165,80
9.148,30
9.126,40
-5.960,60
-3.165,80
JUMLAH
Repelita
Realisasi
-12
-13
179.914,60
132.800,40
47.114,20
60.417,90
(-)
(-)
107.532,10
107.532,10
(-)
(-)
209.603,30
157.386,90
52.216,40
50.830,60
-4.919,90
-45.910,70
103.047,00
104.846,40
-58.935,70
-45.910,70
37
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan pmyek
1994/95
Repelita
59.737,10
42.350,80
17.386,30
10.012,00
(-)
-10.012,00
27.398,30
27.398,30
(-)
(-)
APBN
59.737,10
42.350,80
17.386,30
10.012,00
(-)
(10.012,0
27.398,30
27.398,30
-17.386,30
-10.012,00
2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1994/95
2.2.1. Kebijaksanaan pokok dibidang APBN
Kebijaksanaan keuangan negara yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) setiap tahunnya danasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis.
Berimbang dalam arti jumlah keseluruhan pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, selalu
sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan negara. Dinamis berarti bahwa dalam hal
penerimaan lebih rendah dari yang direncanakan semula, Pemerintah akan menyesuaikan
pengeluaran agar tetap terjaga keseimbangannya, demikian pula dalam hal penerimaan dapat
melampaui rencana semula, Pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran agar keseimbangan
tetap dapat dipertahankan. Dengan prinsip anggaran berimbang yang dinamis, diupayakan agar
tabungan pemerintah semakin besar sehingga peranannya semakin berarti dalam membiayai
proyek-proyek pembangunan. Peningkatan tabungan pemerintah tersebut diupayakan dengan
meningkatkan penerimaan dalam negeri disertai dengan peningkatan efisiensi pengeluaran rutin
tanpa mengabaikan peningkatan multi pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat.
Di bidang penerimaan, khususnya penerimaan dalam negeri, kebijaksanaan yang
ditempuh adalah mengupayakan peningkatan penerimaan dalam negeri di luar migas, mengingat
penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi di luar negeri dan
perkembangan politik internasional dengan gejolak yang tidak menentu. Sementara itu
kebijaksanaan di bidang pengeluaran rutin tetap dilandasi prinsip peningkatan multi dan daya
guna pelayanan aparatur pemerintah. Selain itu, kebijaksanaan pengeluaran rutin juga
dimaksudkan untuk dapat memberikan dukungan yang memadai bagi kesejahteraan aparatur,
Departemen Keuangan RI
38
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
serta cukup tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Dalam rangka
mencapai efisiensi perekonomian, maka pengendalian pengeluaran rutin diupayakan melalui
penyempurnaan pola pengeluaran rutin yang terarah dan dapat mencapai sasaran. Selain itu
pemberian subsidi secara bertahap dikurangi terutama
bagi subsidi yang tidak diprioritaskan, agar tidak menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumbersumber ekonomi.
Sementara itu di bidang pengeluaran pembangunan kebijaksanaan yang ditempuh
diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan dan dibiayai sendiri oleh
masyarakat dan dunia usaha. Kegiatan-kegiatan dimaksud meliputi penyediaan sarana dan
prasarana dasar yang memiliki peran strategis dalam proses pembangunan, pengembangan
sumber daya manusia, dan penanggulangan kemiskinan serta pemerataan pembangunan. Di
samping itu pengeluaran pembangunan juga dimaksudkan untuk mendukung kegiatan
pembangunan di sektor-sektor yang paling produktif, mendorong pemerataan, serta dapat
menciptakan lapangan kerja di sektor industri, pertanian, dan berbagai sektor jasa sebagaimana
ditetapkan dalam Repelita VI.
Dengan prinsip-prinsip kebijaksanaan pokok tersebut, pelaksanaan APBN 1994/95 yang
merupakan pelaksanaan operasional tahunan pertama Repelita VI tetap diselaraskan dengan
prioritas sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu lima tahun yang berlandaskan kepada
Trilogi Pembangunan. Seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan, serta
dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, diperlukan dana
pembangunan yang jumlahnya kian membesar. Sejalan dengan amanat GBHN, dana
pembangunan diupayakan dihimpun terutama dari sumber dalam negeri, baik berupa tabungan
pemerintah maupun tabungan masyarakat, sementara bantuan luar negeri dimanfaatkan sebagai
pelengkap bagi pembiayaan pembangunan.
Tabungan pemerintah, yang merupakan selisih positif antara penerimaan dalam negeri
dan pengeluaran rutin, senantiasa diusahakan agar dapat terus meningkat. Semakin tinggi
tabungan
pemerintah
yang
disertai
dengan
semakin
besarnya
tabungan
masyarakat
mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam membiayai pembangunan. Dalam
hubungan ini upaya peningkatan tabungan pemerintah ditempuh melalui peningkatan penerimaan
dalam negeri yang diikuti arch pengendalian pengeluaran rutin pada tingkat yang wajar.
Departemen Keuangan RI
39
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Langkah-langkah peningkatan penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan perpajakan,
diawali sejak tahun anggaran 1983/84, yaitu dengan diundangkannya serangkaian undang-undang
pajak baru. Pembaharuan perpajakan tersebut dilakukan, baik terhadap peraturan perundangundangan, sistem dan prosedur, peraturan pelaksanaan, pelayanan kepada masyarakat, serta
organisasi aparat perpajakan.
Di dalam upaya peningkatan penerimaan perpajakan, pelaksanaan undang-undang
perpajakan yang baru tersebut senantiasa diupayakan berdasarkan asas keadilan, asas pemerataan,
serta asas manfaat dan kepastian hukum, dengan meningkatkan peranan pajak langsung agar
mampu berfungsi sebagai alat penunjang pembangunan, serta meningkatkan dan memeratakan
kesejahteraan rakyat. Di samping itu pengembangan perpajakan juga diarahkan pada upaya
memperkuat struktur dunia usaha dengan mendukung berkembangnya kelompok pengusaha
kecil, menengah, dan koperasi, mendorong pengembangan sumber daya manusia, serta
mengembangkan kegiatan ekonomi secara makin merata.
Upaya-upaya peningkatan penerimaan di luar migas selama satu dasawarsa pelaksanaan
undang-undang perpajakan yang baru telah memberikan hasil yang menggembirakan, antara lain
tercermin dari semakin meningkatnya peran penerimaan perpajakan terhadap total penerimaan
dalam negeri. Apabila dalam tahun anggaran 1983/84 peran penerimaan perpajakan baru
mencapai 30,4 persen, maka dalam tahun terakhir Repelita V penerimaan perpajakan telah
meningkat peranannya menjadi 66,6 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri. Selanjutnya
dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama Repelita VI, peranan penerimaan
perpajakan direncanakan meningkat lagi menjadi 67,1 persen dari total penerimaan dalam negeri.
Meningkatnya peran penerimaan perpajakan terhadap penerimaan dalam negeri tersebut berarti
pula semakin besarnya peran penerimaan perpajakan dalam pembentukan tabungan pemerintah.
Seiring dengan itu, dalam menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin pesat dan
untuk mengantisipasi era globalisasi serta mempertimbangkan perubahan-perubahan ketentuan
perpajakan di negara-negara lain, dirasa perlu adanya penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan
perpajakan yang berlaku agar lebih mencerminkan keadilan, memberikan kepastian hukum, baik
bagi wajib pajak maupun aparatur pajak, dan lebih meningkatkan efisiensi. Berkaitan dengan hal
ini, dalam pelaksanaan tahun anggaran 1994/95 telah disahkan empat rancangan undang-undang
(RUU) di bidang perpajakan menjadi Undang-undang (UU), yaitu UU tentang Perubahan Atas
Departemen Keuangan RI
40
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, UU
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, UU tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan UU tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Keempat undang-undang
baru tersebut berlaku mulai tanggal l Januari 1995.
Penyempurnaan di bidang pajak penghasi1an (PPh) antara lain berupa penurunan tarif
PPh dan perubahan lapis an penghasilan kena pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Dalam undangundang yang baru tersebut tarif PPh diubah menjadi 10 persen atas penghasilan kena pajak
sampai dengan Rp 25 juta, 15 persen atas penghasilan kena pajak di atas Rp 25 juta sampai
dengan Rp 50 juta, dan 30 persen atas penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta. Penurunan tarif
PPh dimaksudkan untuk menunjang perekonomian dalam negeri, khususnya untuk mendorong
investasi. Di samping itu undang-undang tersebut juga mengatur pengenaan PPh atas tambahan
kekayaan neto, pengenaan PPh yang bersifat final atas keuntungan pengalihan tanah dan saham,
serta perluasan pengenaan pajak melalui cara "withholding".
Sementara itu di bidang pajak pertambahan nilai (PPN), upaya intensifikasi pemungutan
pajak dan ekstensifikasi jumlah wajib pajak terus ditingkatkan, di samping peningkatan kegiatan
verifikasi lapangan. Sementara perluasan objek pajak PPN ditempuh dengan memperluas
cakupan pengenaan PPN atas jasa-jasa, yang meliputi jasa penebangan hutan, jasa pengamanan,
jasa pemindahan barang, jasa pengurusan dan konsultasi pesta, jasa pelabuhan sungai, jasa
ekspedisi muatan sungai, dan jasa pembawa acara, sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor 05 Tahun 1994, yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Januari 1994.
Kebijaksanaan penyesuaian yang ditempuh Pemerintah melalui undang-undang yang baru antara
lain adalah dilakukan perubahan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan
perluasan objek pajak PPN. Tarif PPnBM yang berlaku sebelumnya sebesar 10 persen, 20 persen,
25 persen, dan 35 persen berdasarkan tingkat kemewahannya, dalam Undang-undang yang baru
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, diubah menjadi serendah-rendahnya
Departemen Keuangan RI
41
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen.
Dalam hal pajak bumi dan bangunan (PBB), upaya yang ditempuh dalam rangka
meningkatkan penerimaan antara lain meliputi penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP),
pengembangan sistem tempat pembayaran (Sistep), perluasan objek PBB, dan sistem informasi
manajemen objek pajak (Sismiop), serta terus dilanjutkannya pemutakhiran data. Dalam pada itu
upaya yang ditempuh dalam meningkatkan penerimaan pajak lainnya dilaksanakan melalui
peningkatan pengawasan pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai melalui kerja sama dengan instansi terkait, seperti Perum Pos dan Giro, Perum
Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), dan Polri. Di samping itu juga terus ditingkatkan
upaya pencegahan beredarnya meterai palsu, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat
dalam pelaksanaan lelang.
Sementara itu arab kebijaksanaan di bidang bea masuk di samping untuk menghimpun
penerimaan negara juga ditujukan untuk melindungi dan mendorong industri dalam negeri.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perdagangan dunia pasca GATT Putaran Uruguay,
maka secara bertahap dilakukan penyesuaian tarif dengan tetap memperhatikan kepentingan
pengembangan industri dan pertanian dalam negeri. Selanjutnya untuk menunjang kebijaksanaan
pemerintah di bidang perdagangan internasional, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan
daya saing hasil produksi dalam negeri, telah dikeluarkan berbagai paket deregulasi di bidang
investasi, perdagangan dan keuangan, seperti paket deregulasi sektor riil dalam bulan Juni 1993
(Pakjun). Bersamaan dengan itu terus dilakukan usaha-usaha pemberantasan penyelundupan,
yang antara lain dilakukan melalui pendidikan intelijen, meningkatkan kerjasama dengan luar
negeri, serta berbagai pendidikan bagi aparat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kebijaksanaan dalam bidang cukai, khususnya dalam hal cukai tembakau, diselaraskan
dengan program pembangunan industri dalam rangka memperluas lapangan kerja dan berusaha
serta melindungi pabrikan berskala kecil. Sedangkan dalam hal cukai lainnya kebijaksanaan yang
ditempuh dilakukan dalamrarigka pemerataan pemberlakuan peraturan perundang-undangan
untuk seluruh wilayah negara RI, serta mengendalikan konsumsi beberapa jenis barang tertentu.
Kebijaksanaan di bidang pajak ekspor dimaksudkan untuk mendorong ekspor barang jadi
dan memperluas lapangan kerja, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Rangkaian kebijaksanaan yang telah ditempuh di bidang pajak ekspor
Departemen Keuangan RI
42
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mencakup pengembangan komoditi ekspor barang jadi yang kompetitif, penetapan kembali tarif
pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, serta penyempurnaan tata cara penyetoran. Selain itu
dalam rangka mencegah kenaikan harga minyak goreng dalam negeri, melalui Surat Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 telah dikenakan pajak ekspor atas ekspor crude palm
oil (CPO) dan refined bleached deodorized palm oil (RBD-PO) yang berlaku efektif sejak tanggal
1 September 1994. Berdasarkan surat keputusan tersebut, tarif pajak ekspornya danasarkan
kepada harga FOB dengan tarif efektif antara 40 persen sampai dengan sekitar 75 persen.
Selain penerimaan dari sektor perpajakan, sumber penerimaan negara di luar migas yang
mempunyai peranan semakin penting dalam menopang pembiayaan pembangunan adalah
penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak antara lain terdiri dari
penerimaan negara yang bersumber dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen dan penerimaan yang berupa bagian pemerintah atas laba badan usaha milik
negara (BUMN), termasuk bank-bank pemerintah. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya,
salah satu sumbangan yang cukup besar dalam keseluruhan penerimaan negara bukan pajak
berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN. Oleh sebab itu berbagai upaya telah dilakukan
untuk meningkatkan laba BUMN, antara lain melalui efisiensi kegiatan operasional dan
penyempurnaan manajemen BUMN. Di samping itu juga dilakukan penyempurnaan administrasi
pengelolaan penerimaan bukan pajak sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 215 Tahun 1993 tentang Intensifikasi Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP), sehingga penerimaan yang bersumber dari departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen,
khususnya
penerimaan
fungsional
departemen/
lembaga
pemerintah
nondepartemen, dapat terus ditingkatkan.
Dalam pada itu pengalokasian anggaran belanja rutin diupayakan semakin efektif dan
efisien, dengan tetap memperhatikan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan,
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta diupayakan tetap memberikan
dukungan pembiayaan yang memadai bagi pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai. Di samping itu pengeluaran rutin juga dialokasikan sebagai bantuan kepada daerah, serta
pemenuhan kewajiban pemerintah kepada luar negeri dalam bentuk pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri sesuai dengan jumlah dan jadual pembayarannya.
Salah satu pengeluaran rutin yang mengalami peningkatan cukup besar adalah
Departemen Keuangan RI
43
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembiayaan aparatur pemerintah. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah aparatur
pemerintah, serta kebijaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas aparatur
pemerintah. Sesuai dengan prinsip pengelolaan anggaran belanja rutin, pengendalian dalam
pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa dilaksanakan dengan selalu menjaga keserasian
antara laju pertambahan pegawai negeri dengan kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat. Di dalam pengeluaran rutin dicakup juga pengeluaran berupa subsidi kepada daerah
otonom, untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai belanja pegawai dan berbagai
kegiatan operasional pemerintahan, serta pelaksanaan program-program pemerintah yang
dilaksanakan di daerah.
Selanjutnya kebijaksanaan anggaran belanja pembangunan, yang meliputi pembiayaan
rupiah dan bantuan proyek, diarahkan untuk menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin adil dan meluas, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, serta menjaga stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran belanja
negara, melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan dan
penetapan kembali berbagai ketentuan tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984. Perubahan dan
penyempurnaan tersebut antara lain menyangkut ketentuan mengenai usulan proyek, peranserta
golongan ekonomi lemah dan penggunaan hasil produksi dalam negeri, penyederhanaan revisi
daftar isian proyek (DIP), serta pengendalian pelaksanaan dan prosedur pengadaan barang
danjasa pemerintah. Dalam pada itu anggaran belanja pembangunan dialokasikan ke berbagai
sektor dan subsektor sesuai dengan urutan prioritas dan kebijaksanaan pembangunan
sebagaimana ditetapkan di dalam GBHN dan Repelita. Titik berat pembangunan jangka panjang
kedua diletakkan pada pembangunan di bidang ekonomi, dengan sasaran utama untuk mencapai
keseimbangan dalam struktur ekonomi dimana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang
didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh. Pelaksanaan strategi dasar dan
kebijaksanaan pembangunan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan
pembangunan. Salah satu program pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah dalam bentuk
program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sebagai pelaksanaan program tersebut telah disalurkan
bantuan dana sebesar Rp 20 juta untuk setiap desa tertinggal, yang diharapkan dapat merangsang
kegiatan ekonomi yang pada akhirnya dapat melepaskan penduduk desa tertinggal dari belenggu
Departemen Keuangan RI
44
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kemiskinan.
Meningkatnya kegiatan pembangunan mengakibatkan pula semakin meningkatnya dana
pembangunan yang diperlukan. Dari pengalaman masa lalu terlihat bahwa tabungan pemerintah
yang berhasil dibentuk belum sepenuhnya mencukupi untuk membiayai seluruh proyek-proyek
pembangunan. Oleh sebab itu, walaupun hanya sebagai pelengkap, dana yang bersumber dari luar
negeri masih tetap diperlukan, dengan tetap memegang prinsip bahwa bantuan tersebut dapat
diterima sepanjang tidak mempunyai ikatan politik, dan sesuai dengan kemampuan untuk
membayar kembali. Bantuan luar negeri tersebut senantiasa diarahkan kepada pembiayaan
proyek-proyek yang produktif, membantu penyediaan lapangan kerja, serta mendorong
peningkatan ekspor nonmigas.
2.2.2. Penerimaan dalam negeri
Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas),
penerimaan perpajakan, dan penerimaan negara bukan pajak. Sejak reformasi perpajakan tahun
1984, telah terjadi perubahan struktur penerimaan dalam negeri yang menuju ke arah sumber
penerimaan yang mandiri dan kukuh, serta tidak mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan
perekonomian internasional. Dalam rangka mendukung kemandirian pembiayaan pembangunan
tersebut, berbagai langkah telah diambil untuk lebih menyempurnakan pengelolaan penerimaan
dalam negeri.
Melihat
pada
kenyataan
dimana
perkembangan
penerimaan
migas
kurang
menggembirakan, penerimaan perpajakan dalam struktur penerimaan dalam negeri sejak tahun
anggaran 1986/87 terus diupayakan untuk lebih berperan. Di bidang perpajakan, telah dilakukan
intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi jumlah wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak
dilakukan melalui pengelolaan potensi pajak yang telah dapat dibina dengan tertib dan
berkesinambungan, serta upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui verifikasi lapangan
dan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang belum melakukan kewajibannya sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Sementara itu ekstensifikasi jumlah wajib pajak dilakukan dengan upaya
meningkatkan jumlah wajib pajak dari sektor-sektor tertentu yang belum dapat dijangkau.
Sementara itu penerimaan negara bukan pajak, yang terdiri dari bagian pemerintah atas
laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen,
Departemen Keuangan RI
45
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
terus diupayakan untuk memberikan sumbangan yang lebih berarti bagi penerimaan dalam
negeri. Hal ini diupayakan melalui peningkatan efisiensi dan penyempurnaan manajemen BUMN
dan pengelolaan usahanya, serta penyempurnaan administrasi dan tata cara penyetoran berbagai
jenis penerimaan negara bukan pajak, termasuk peningkatan pengawasan dalam pelaksanaannya.
Melalui berbagai upaya peningkatan penerimaan, baik penerimaan migas maupun
penerimaan nonmigas, maka laju pertumbuhan penerimaan dalam negeri dalam satu dasawarsa
terakhir rata-rata mencapai 14,1 persen per tahun.
2.2.2.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam
Selama PJP I pengembangan di sektor pertambangan terutama minyak bumi dan gas alam
(migas), telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan nasional. Melalui
langkah terpadu yang meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, pengolahan, transportasi, pemasaran
dan kegiatan pendukung lainnya, potensi minyak bumi dan gas alam telah dimanfaatkan, baik
sebagai sumber penerimaan dan devisa negara, maupun sebagai sumber energi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Di samping itu kegiatan di sektor migas secara tidak langsung juga
mempunyai peranan dalam meningkatkan usaha swasta, menyerap tenaga kerja, meningkatkan
pengetahuan dan mempercepat alih teknologi, serta mendorong pembangunan regional secara
keseluruhan.
Hasil industri perminyakan dan gas alam di Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang
selama lebih dari 100 tahun, yaitu sejak pertama kali minyak bumi dihasilkan di Indonesia dalam
tahun 1885, telah menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi di
dunia. Pada awal Repelita I, produksi minyak bumi termasuk kondensat mencapai sebesar 284,3
juta barel, dimana sekitar 85 persen dari produksinya diekspor, dan sisanya diolah di dalam
negeri. Produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncaknya dalam tahun keempat Repelita II
yang mencapai sebesar 616,5 juta barel, atau sekitar 1.689 ribu barel per hari. Sementara itu pada
akhir Repelita V produksinya diperkirakan mencapai sekitar 560 juta barel, dimana sekitar 50
persen dari produksinya diekspor, dan sisanya dimanfaatkan di dalam negeri. Walaupun volume
produksi minyak Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun semakin
meningkatnya kebutuhan minyak di dalam negeri telah menyebabkan persentase bagian minyak
yang diekspor cenderung menurun. Produksi minyak selain ditentukan oleh kemampuan
Departemen Keuangan RI
46
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
eksplorasi dan eksploitasi di dalam negeri serta pemasarannya, juga ditentukan oleh kuota
produksi OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries). Dari seluruh volume ekspor
minyak bumi Indonesia pada akhir PJP I, sekitar 50 persen diekspor ke Jepang, sekitar 8 persen
ke Amerika Serikat, dan sisanya ke negara-negara lain, termasuk negara-negara anggota ASEAN.
Pada awal PJP I, pemanfaatan gas alam, baik untuk kebutuhan energi di dalam negeri
maupun untuk ekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) dan LPG (liquefied petroleum
gas), belum dilakukan secara maksimal. Dalam rangka diversifikasi penerimaan dari sektor
migas, sejak tahun 1977 Pemerintah telah mulai mengupayakan peningkatan pemanfaatan gas
alam, yaitu dengan dimulainya produksi LNG di kilang gas Bontang dalam tahun 1977 dan
kilang gas Arun dalam tahun 1978. Produksi LNG yang dalam tahun 1984/85 mencapai sekitar
782,8 juta mmbtu, telah meningkat menjadi sekitar 1.301 juta mmbtu dalam tahun 1993/94.
Produksi LPG dalam periode yang sama juga menunjukkan kenaikan, yaitu dari sekitar 904 ribu
ton menjadi sekitar 2. 805 ribu ton. Produksi LNG dan LPG tersebut terutama diekspor ke
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Usaha Pemerintah untuk menjadikan gas alam sebagai
sumber penerimaan negara tidak terbatas pada upaya rnendorong ekspor atau mencari lauang gas
baru, tetapi juga melalui upaya mendorong penggunaan gas di dalam negeri yang selama ini
dimanfaatkan oleh beberapa jenis industri, seperti pabrik semen, pabrik baja, pabrik pupuk,
pabrik kertas, pembangkit listrik, dan lain-lain. Selain itu, untuk mendukung kebijaksanaan
konservasi dan diversifikasi energi, Pemerintah terus mendorong penggunaan gas alam untuk
sumber energi primer sebagai alternatif penggunaan minyak.
Salah satu hasil pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang berasal dari
minyak bumi dan gas alam selama 25 tahun pembangunan pertama dapat dilihat dari
sumbangannya dalam penerimaan negara. Penerimaan migas pada awal PJP I masih sebesar Rp
65,8 miliar, dan pada akhir PJP I telah mencapai sebesar Rp 12.507,7 miliar, yang berarti dalam
periode tersebut mengalami peningkatan hampir 200 kali lipat. Sebagai salah satu sumber
penerimaan negara selama PJP I, penerimaan migas telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti bagi pembangunan nasional. Selama pembangunan 25 tahun pertama, peranan penerimaan
migas dalam penerimaan dalam negeri dan dalam penerimaan negara secara keseluruhan masingmasing mencapai sekitar 44 persen dan sekitar 35 persen.
Dalam Repelita I, penerimaan migas mengalami kenaikan rata-rata sebesar 55,2 persen
Departemen Keuangan RI
47
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
per tahun, dan telah menyumbang sekitar 28 persen dari keseluruhan penerimaan negara sebesar
Rp 3.280,1 miliar. Situasi perminyakan dunia pada awal tahun 1970-an menunjukkan bahwa
produksi OPEC mempunyai peranan yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
minyak dunia. Timbulnya perang di Timur Tengah dalam bulan Oktober 1973 telah
menimbulkan krisis energi, sehingga mendorong terjadinya peningkatan harga minyak di pasar
dunia. Pada saat itu, harga minyak Migas dalam bulan April 1974 mencapai sebesar US$ 11,7 per
barel, sehingga penerimaan migas dalam tahun 1974/75 mencapai sebesar Rp 957,2 miliar, yaitu
menjadi 2,5 kali lipat dari penerimaan migas dalam tahun sebelumnya sebesar Rp 382,2 miliar.
Setelah gejolak di pasar minyak tersebut berlalu, pertumbuhan ekonomi dunia cenderung
menurun, bahkan dalam tahun 1975 negara-negara yang tergabung dalam organisasi kerja sama
ekonomi dan pembangunan (OECD) mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Walaupun
perekonomian dunia mengalami kelesuan, relatif tingginya tingkat harga minyak telah
mendorong meningkatnya pencarian dan penemuan sumber minyak baru, termasuk oleh negaranegara non-OPEC yang melihat semakin menariknya prospek pertambangan minyak.
Pesatnya peningkatan penerimaan migas dalam Repelita II telah ikut membantu dalam
meningkatkan dana pembangunan, dan hal tersebut terus berlangsung sampai dengan Repelita III.
Peranan penerimaan migas yang semakin besar mencapai puncaknya dalam tahun 1981/82,
dimana sumbangannya terhadap penerimaan dalam negeri dan terhadap keseluruhan penerimaan
negara mencapai sekitar 70 persen dan sekitar 62 persen. Keadaan tersebut disebabkan oleh
tingginya harga minyak pada waktu itu yang mencapai US$ 35 per barel. Memasuki pertengahan
periode tahun 1980-an, perkembangan perekonomian dunia mulai membaik, meskipun perbaikan
perekonomian tersebut ternyata tidak cukup membantu mengatasi turunnya harga minyak.
Meningkatnya permintaan minyak dunia dalam periode tersebut temyata tidak dapat menyerap
persediaan di pasar dunia yang suplainya semakin bertambah, terutama dari negara-negara nonOPEC. Usaha OPEC untuk terus menekan kelebihan suplai di pasar dengan mengurangi tingkat
produksinya dari sekitar 22,6 juta barel per hari dalam tahun 1981 menjadi sekitar 18,5 juta barel
per hari dalam tahun 1986 ternyata tidak diimbangi oleh negara-negara non-OPEC yang terus
meningkatkan produksinya dari sekitar 33,1 juta barel per hari dalam tahun 1981 menjadi sekitar
37,1 juta barel per hari dalam tahun 1986. Adanya penyesuaian pasar menghadapi kondisi
tersebut telah menyebabkan jatuhnya harga minyak ke tingkat yang paling rendah sejak tahun
1974, sehingga mencapai di bawah US$ 10 per barel dalam bulan Agustus 1986. Hal ini
Departemen Keuangan RI
48
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mengakibatkan penerimaan migas dalam tahun 1986/87 mengalami penurunan menjadi sebesar
Rp 6.337,6 miliar, dari tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp 11.144,4 miliar.
Dalam perkembangannya, perubahan harga minyak di pasar dunia tidak hanya disebabkan
oleh faktor ekonomi, seperti keseimbangan permintaan dengan penawaran minyak mentah di
pasar dunia, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonekonomi, antara lain gejolak politik di
negaranegara produsen minyak dan spekulasi pasar. Hal ini dapat dilihat dari dampak krisis teluk
pada akhir tahun 1990, yang selain menyebabkan berkurangnya pasokan minyak dari Irak dan
Kuwait, juga menimbulkan dampak psikologis terhadap konsumen minyak dalam menghadapi
kemungkinan sulitnya memperoleh minyak mentah dan produk minyak lainnya di tahun-tahun
berikutnya. Pengaruh keadaan tersebut menyebabkan harga minyak yang telah relatif stabil dalam
beberapa tahun sebelumnya kembali melonjak tajam, sehingga dalam bulan Oktober 1990 harga
rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) berada pada tingkat US$ 34,88 per barel. Dalam tahun
1990/91 penerimaan migas dalam APBN mencapai titik tertinggi selama PJP I, yaitu mencapai
sebesar Rp 17.711,9 miliar, yang berasal dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp 14.577,5
miliar dan penerimaan gas alam sebesar Rp 3.134,4 miliar.
Di penghujung Repelita V, relatif tingginya suplai minyak, lemahnya permintaan,
besarnya cadangan minyak negara-negara industri, dan spekulasi pasar telah menyebabkan harga
minyak kembali menurun, sehingga realisasi harga minyak dalam tahun 1993/94 hanya sekitar
US$ 16,5 per barel, lebih rendah dari sasarannya dalam APBN 1993/94 sebesar US$ 18 per barel.
Keadaan tersebut menyebabkan realisasi penerimaan migas dalam tahun 1993/94 hanya
mencapai sebesar Rp 12.507,7 miliar, yang berarti 17,3 persen lebih rendah dari rencananya
dalam APBN. Perkembangan harga minyak mentah Indonesia sejak Repelita I dapat dilihat pada
Tabel II.2.
Dalam rangka mempertahankan tingkat produksi minyak Indonesia dan meningkatkan
jumlah cadangannya, serta menarik investor asing untuk menanarnkan modalnya di sektor migas,
selama PJP I Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijaksanaan dalam bentuk paket
insentif di bidang migas, yaitu dalam tahun 1988, 1989, 1992, dan 1994. Paket-paket insentif
tersebut memberikan kemudahan dan perangsang, antara lain dalam bentuk perlakuan khusus di
bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi hasil, penyesuaian harga prorata, dari kemudahan
dalam pengadaan barang keperluan eksplorasi. Melalui paket insentif tahun 1994, pola bagi hasil
Departemen Keuangan RI
49
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
antara Pemerintah dengan KPS (kontrak production sharing) kembali diperbaharui. Dalam paket
insentif tersebut, pembagian hasil minyak bumi antara Pemerintah dengan kontraktor ditetapkan
sebesar 65 persen berbanding 35 persen, dan untuk gas alam sebesar 60 persen berbanding 40
persen, baik untuk lahan frontier maupun di daerah kedalaman laut lebih dari 1.500 meter.
Kebijaksanaan di sektor migas tersebut. selain ditujukan untuk pengembangan eksplorasi dan
eksploitasi di kawasan timur Indonesia, juga dimaksudkan untuk merangsang kegiatan di
kawasan barat Indonesia, khususnya di daerah yang masih sulit dan belum pernah ditemukan
sumber migas.
Di samping itu untuk menuju kemandirian dalam mengelola sumber migas secara
maksimal, Pemerintah menerapkan strategi dasar yang meliputi peningkatan kualitas dan
kuantitas tenaga ahli dan peneliti yang profesional, serta pemberian kesempatan dan kepercayaan
yang lebih besar kepada swasta nasional untuk mengelola pertambangan migas. Selain itu,
Pemerintah juga memantapkan kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pencarian dari
pengelolaan migas, serta peningkatan upaya penggantian peranan migas sebagai bahan baku
industri dan sumber energi.
Namun demikian, dalam rangka menghadapi ketidakstabilan harga minyak, sifat migas
sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, cadangannya yang semakin berkurang,
dan kebutuhan energi di dalam negeri yang terus meningkat, maka secara bertahap sumber
penerimaan di luar migas yang terutama ditopang dari penerimaan perpajakan semakin
diupayakan menjadi andalan utama penerimaan negara menggantikan penerimaan migas. Dengan
demikian di waktu mendatang penerimaan negara diharapkan lebih terjamin dan tidak terlalu
terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal, karena dananya berasal dari sumber-sumber penerimaan
yang lebih stabil dan terus berkembang.
Departemen Keuangan RI
50
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel 11.2
1)
HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA, 1969 - 1994
(dalam US$ per barel)
Harga
Harga
Tahun
Tahun
1969
1970
1971
April
April
April
1,67
1,67
2,21
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
April
April
April
April
April
April
April
April
April
April
April
2,96
3,73
11,7
12,6
12,8
13,55
13,55
15,65
29,5
35
35
1983
1984
1985
1986
1991
1992
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
25,1
21,45
17,41
17,05
17,67
17,96
18,21
18,64
19,1
20,04
20,67
20,06
18,1
17,64
17,13
17,23
17,96
19,29
20,59
20,18
19,62
19,7
19,44
April
29,53
April
29,53
April
28,53
Januari
25,13
Februari
21
Maret
14,45
April
10,66
Mei
10,38
Juni
12,11
18,71
Juli
10,25
1993
Januari
17,88
Agustus
9,83
Februari
17,46
September
12,2
Maret
18,36
Oktober
12,27
April
18,8
November
12,31
Mei
18,61
Desember
13,07
Juni
18,26
1987
Januari
15,39
Juli
17,19
April
17,57
Agustus
17,23
Agustus
18,76
September
16,64
Desember
16,93
Oktober
16,75
15,69
1988
Januari
17,22
November
Maret
15,45
Desember
14,14
April
17,56
Oktober
13,2
1994
Januari
14,7
Desember
12,5
Februari
14,91
1989
Januari
15
Maret
14,18
April
17,93
April
14,75
Mei
18,36
Mei
15,52
September
16,7
Juni
16,39
Desember
17,8
Juli
17,48
1990
Januari
18,96
Agustus
17,61
April
17,23
September
16,31
Juli
14,47
Oktober
16,18
Oktober
34,88
November
16,27
Desember
28,64
Desember
16,05 2)
1)
Sebelum April 1989adalah harga minyak jenis Minas (SLC), dan sejak April 1989
adalah harga rata-rata minyak Indonesia (ICP).
2)
Angka sementara.
Departemen Keuangan RI
51
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
2.2.2.2. Penerimaan perpajakan
Sebagaimana diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara, dana yang diperlukan untuk
pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber dalam negeri, sementara sumber dana luar
negeri masih diperlukan sebagai pelengkap. Berbagai upaya peningkatan penerimaan dalam
negeri yang diawali dengan diberlakukannya undang-undang perpajakan yang baru dalam tahun
1984, telah membuahkan hasil yang menggembirakan, yang antara lain tercermin dari struktur
penerimaan dalam negeri. Sejak tahun anggaran 1986/87 komposisi penerimaan telah bergeser
dari sektor migas yang sebelumnya menjadi sumber utama penerimaan dalam negeri ke sektor
penerimaan di luar migas, utamanya dari penerimaan perpajakan.
Sejak tahun terakhir Repelita III, harga minyak mentah di pasaran dunia menurun, yang
membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi penerimaan dalam negeri ketika memasuki
Repelita IV. Di satu sisi, penerimaan dalam negeri yang berupa penerimaan migas mengalami
penurunan, di sisi lain perolehan sumber dana dari luar negeri dirasakan semakin sulit. Untuk itu
Pemerintah segera mengambil langkah-langkah antisipasi dalam rangka melepaskan diri dari
ketergantungan pada penerimaan migas. Kebijaksanaan yang ditempuh antara lain berupa
pembaharuan sistem perpajakan yang ditandai dengan diundangkannya serangkaian perundangundangan di bidang perpajakan, yang salah satunya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Perubahan mendasar yang terdapat pada undang-undang pajak yang baru antara lain
adalah beralihnya sistem pemungutan pajak dari "official assessment" ke "self assessment".
Dalam sistem self assessment, Pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, melaporkan, serta membayar sendiri jumlah pajak yang
terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan tugas
aparatur perpajakan adalah melaksanakan tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dari
penerapan sanksi. Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi juga
masyarakat dan dunia usaha.
Dengan perubahan sistem perpajakan yang mendasar tersebut, pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan perlu didukung pula oleh sarana dan
prasarana yang memadai, iklim lingkungan yang menunjang, kualitas aparat yang semakin baik,
Departemen Keuangan RI
52
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
serta yang tidak kalah penting adalah semakin meningkatnya kesadaran dan kepatuhan wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Mengingat kondisi dan dukungan yang diperlukan
belum sepenuhnya dapat diciptakan, maka penerapan Undang-undang Pajak Penghasilan dalam
Repelita IV masih menghadapi banyak permasalahan. Walaupun demikian, penerimaan PPh
selama Repelita IV mampu tumbuh dengan rata-rata sekitar 17 persen per tahun.
Dalam Repelita V, kebijaksanaan di bidang pajak penghasilan merupakan pemantapan
dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam tahun-tahun sebelumnya, sekaligus
merupakan periode penyempurnaan di bidang administrasi, organisasi, dan peraturan pelaksanaan
pemungutan PPh. Di bidang administrasi dilakukan pembakuan dan penyederhanaan administrasi
perpajakan, yang antara lain mencakup prosedur kerja, bentuk formulir yang digunakan, dan terus
dikembangkannya penggunaan sarana kerja seperti komputer agar dapat menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas dalam bidang perpajakan. Di bidang organisasi antara lain dilakukan
penyempurnaan unit-unit dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta
penyusunan analisis jabatan, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
662 Tahun 1990 tentang Penetapan Uraian Jabatan Struktural Dan Pelaksana Dalam Lingkungan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, dan Nomor 663 Tahun 1990 tentang Penetapan Uraian
Jabatan Struktural Dan Pelaksana Dalam Lingkungan Kantor-kantor Vertikal Direktorat Jenderal
Pajak Di Daerah. Sementara itu peningkatan mutu pelayanan antara lain dilakukan dengan
meningkatkan keterampilan aparat perpajakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam
maupun di luar negeri. Pendidikan tersebut meliputi pendidikan yang bersifat jangka pendek
dalam bentuk pelatihan, maupun yang bersifat jangka panjang dalam bentuk program gelar. Dari
hasil pendidikan itu telah dihasilkan sejumlah tenaga terampil dalam berbagai bidang perpajakan,
seperti administrasi perpajakan, penyidikan pajak, pemeriksa pajak, dan keuangan negara.
Dalam pada itu untuk memperluas cakupan objek pajak penghasilan serta dalam rangka
memberikan perlakuan yang sama terhadap objek pajak penghasilan, dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1989 tentang Pajak Perighasilan Atas Bunga Deposito
Berjangka, Sertifikat Deposito, Dan Tabungan, maka bunga deposito berjangka, sertifikat
deposito, dan tabungan yang diperoleh oleh Gerakan Pramuka Indonesia dan Pakang Merah
Indonesia (PMI), serta tabungan dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri
yang melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, termasuk objek pajak yang
dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen dan bersifat final. Namun dalam
Departemen Keuangan RI
53
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perkembangannya, pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau
tabungan yang diterima oleh Pramuka dan PMI, serta tabungan dalam rangka pemilikan rumah
sederhana untuk dihuni sendiri tersebut, dipanuang kurang menunjang lapisan masyarakat
berpenghasilan rendah. Untuk itu sejak tanggal 13 Oktober 1990, bunga atas deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau tabungan yang diperoleh Pramuka, PMI, dan bunga atas tabungan
dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri, dikecualikan dari pengenaan
pajak penghasilan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1989 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito
Berjangka, Sertifikat Deposito, Dan Tabungan. Selain itu dalam upaya perluasan jumlah wajib
pajak juga ditempuh kerja sama dengan instansi-instansi terkait, antara lain dengan Bank
Indonesia, yaitu berupa persyaratan memiliki Nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi pemegang
rekening giro di atas Rp 10 juta, demikian pula bagi pemohon kredit dalam jumlah yang sama.
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan yang telah berjalan sejak Repelita I telah
menghasilkan
kemajuan-kemajuan
di
berbagai
bidang,
termasuk
peningkatan
dan
penganekaragaman aktivitas ataupun transaksi perekonomian di dalam negeri. Cepatnya
perkembangan perekonomian disertai dengan derasnya arus infonnasi dan komunikasi, menuntut
kerja cepat dan cermat dari seluruh aparatur pajak/fiskus di dalam memantau segala kegiatan
wajib pajak atas transaksi/kegiatan usaha yang telah dilakukan. Dalam rangka mengantisipasi
perkembangan perekonomian dalam negeri tersebut, telah dilakukan penyempurnaan atas
undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku agar dapat menampung perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya. Penyempurnaan
perundang-undangan tersebut dilakukan melalui perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991, yang antara lain mengatur mengenai perlakuan PPh terhadap dividen atau bagian
keuntungan yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas dalam negeri, koperasi, atau badanbadan usaha milik negara atau daerah dari penyertaan modal pada badan usaha lainnya yang
danirikan di Indonesia, dan terhadap perusahaan reksa dana dan perusahaan modal ventura.
Dalam pada itu juga telah ditegaskan kembali perlakuan PPh atas pemindahan harta atau akuisisi
dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan, dan penyertaan dalam bentuk
barta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Penegasan ini
Departemen Keuangan RI
54
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan negara serta memberikan kepastian hukum dalam
perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta, baik yang dilakukan antarperorangan, antara
perorangan dengan badan usaha, maupun antar badan usaha.
Di samping itu peningkatan penerimaan PPh juga disebabkan oleh meningkatnya
pendapatan masyarakat, sejalan dengan kondisi perekonomian nasional yang semakin membaik.
Salah satu indikasi membaiknya perekonomian masyarakat adalah semakin bergairahnya
kegiatan di pasar modal. Dalam rangka mengimbangi kegiatan di pasar modal tersebut, serta
dalam rangka mengamankan penerimaan PPh, semua dividen saham (stock dividend) dan klaim
saham (stock right) diperlakukan sebagai objek pajak, kecuali yang diterima oleh badan usaha
tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Demikian pula telah
dikenakan PPh atas keuntungan yang diperoleh dari perdagangan saham (capital gain), yang
mulai diberlakukan sejak tahun anggaran 1993/94.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 pada prinsipnya memberikan kemungkinan untuk
mendorong kegiatan dunia usaha, dengan penciptaan iklim perpajakan yang menjamin keadilan,
pemerataan, dan kepastian hukum. Prinsip keadilan dan pemerataan dapat dilihat pada beban
pajak yang ditanggung oleh wajib pajak (WP). WP yang berpenghasilan tinggi harus membayar
pajak yang besar sesuai dengan penghasilannya, demikian pula dengan WP yang berpendapatan
rendah akan membayar pajak yang rendah pula. Di samping itu prinsip keadilan dan pemerataan
juga terlihat dari semakin ringannya beban pajak penghasilan bagi golongan yang berpendapatan
rendah. Upaya meringankan beban pajak pendapatan bagi golongan yang berpendapatan rendah
ditempuh melalui dinaikkannya penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sejak 1 April 1984, PTKP
telah mengalami perubahan, terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 928 Tahun
1993, PTKP dinaikkan lagi menjadi sebesar Rp 5.184.000 bagi wajib pajak yang kawin dengan 3
orang anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1994.
Sementara itu dalam rangka merangsang pengusaha untuk melakukan investasi di
kawasan timur Indonesia, telah diberikan fasilitas perpajakan, sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 747 Tahun 1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi
Investasi Di Wilayah Tertentu. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa sejak tahun 1990
dapat dilakukan kompensasi kerugian selama delapan tahun bagi perusahaan yang melakukan
investasi baru atau perluasan usaha di kawasan timur Indonesia pada bidang pertanian,
Departemen Keuangan RI
55
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, kehutanan, perindustrian, real estate/industrial
estate, perhotelan/kepariwisataan, prasarana dan sarana ekonomi, serta jasa angkutan darat, laut
dan udara.
Selanjutnya untuk merangsang dan meningkatkan penanaman modal yang berasal dari
luar negeri, utamanya pada sektor-sektor yang membuka banyak kesempatan kerja, diberikan
kemudahan dalam penyelenggaraan pembukuan, dengan tetap berpegang pada ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemberian kemudahan tersebut ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1171 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata uang Asing Bagi Perusahaan Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, dan Kontrak Bagi Hasil.
Seiring dengan upaya-upaya ekstensifikasi pajak yang dilakukan melalui perluasan objek
pajak penghasilan, upaya intensifikasi pemungutan pajak terus dilakukan melalui penelitian surat
pemberitahuan tahunan (SPT) dan pemeriksaan, dan dalam hal-hal tertentu dilakukan
pemeriksaan lengkap atas buku-buku wajib pajak oleh unit pemeriksa dan penyidik pajak. Di
samping itu untuk mendukung peningkatan penerimaan PPh dan meningkatkan kesadaran wajib
pajak, baik perseorangan maupun badan, diberikan bimbingan, penyuluhan dan penghargaan
kepada wajib pajak potensial yang telah melaksanakan kewajiban pajaknya dengan baik.
Sementara itu untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, upaya-upaya yang dilakukan
dititikberatkan pada pembinaan wajib pajak agar dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan
sistem self assessment, pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban wajib pajak, serta penerapan
sanksi, baik administratif maupun pidana, terhadap wajib pajak yang lalai atau dengan sengaja
tidak memenuhi kewajiban pajaknya. Di samping itu terus dilakukan tindakan penagihan
terhadap tunggakan pajak dengan menggunakan segala ketentuan hukum yang ada untuk dapat
menyelesaikan tunggakan tersebut. Untuk mendukung peningkatan kepatuhan tersebut,
pelayanan kepada wajib pajak terus ditingkatkan, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan
kewajibannya dengan mudah dan lancar dalam waktu sesingkat mungkin. Sehubungan dengan
hal tersebut, untuk lebih mempercepat pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak, telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1121 Tahun 1991 tentang Tata Cara
Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Melalui Bank, yang mengatur tata cara
pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak melalui bank sebagai tempat dimana surat
Departemen Keuangan RI
56
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perintah membayar kembali pajak (SPMKP) dapat diuangkan.
Berbagai kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam Repelita V tersebut di atas
menyebabkan perkembangan penerimaan pajak penghasilan mengalami peningkatan yang cukup
mengesankan. Kalau dalam tahun pertama Repelita V realisasi penerimaan pajak penghasilan
mencapai sebesar Rp 5.487,7 miliar, maka dalam tahun terakhir Repelita V realisasi tersebut
telah meningkat menjadi sebesar Rp 15.273,1 miliar, yang berarti penerimaan PPh rata-rata
tumbuh sebesar 29,2 persen per tahun. Dengan memperhatikan perkembangan penerimaan PPh
dari Repelita ke Repelita, maka selama PJP I penerimaan PPh mengalami pertumbuhan rata-rata
sebesar 27,7 persen per tahun.
Selanjutnya dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, Pemerintah melanjutkan upaya-upaya ekstensifikasi jumlah wajib pajak dan
intensifikasi pemungutannya. Upaya ekstensifikasi, yang sekaligus merupakan upaya untuk
meningkatkan penerimaan PPh, antara lain ditempuh melalui pengenaan PPh tahun berjalan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara,
kebijaksanaan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi tindakan spekulasi atas tanah.
Di samping itu dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dan kepatuhan
para wajib pajak stasiun pompa bensin umum (SPBU)/agen/dealer yang ditunjuk Pertamina untuk
menyalurkan produknya, telah dilakukan pengaturan baru, dimana ditentukan bahwa PPh Pasal
25 yang terhutang atas penghasilan dari penyaluran produk Pertamina jenis premium, solar,
pelumas, gas LPG, dan minyak tanah, dikenakan pada saat penebusan kepada Pertamina dan
bersifat final, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1994.
Selanjutnya te1ah diambil kebijaksanaan sehubungan dengan Pasal 4 ayat (3) huruf m
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1992 tentang Sektorsektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha Dari Perusahaan Modal Ventura. Dalam undangundang dan peraturan pemerintah tersebut ditentukan bahwa penghasilan perusahaan modal
ventura berupa bagian keuntungan yang diperoleh dari perusahaan pasangan usaha yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek pada sektor-sektor usaha tertentu, serta keuntungan
dari pengalihan atau penjualan penyertaannya, tidak termasuk objek PPh. Dalam kaitan ini,
Departemen Keuangan RI
57
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Pemerintah memanuang bahwa perusahaan modal ventura perlu diberi fasilitas dengan maksud
agar mereka terdorong untuk melakukan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha di
sektor-sektor usaha tertentu yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan. Untuk itu, agar
lebih memberikan kepastian hukum, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227 Tahun
1994, diatur lebih lanjut mengenai kriteria sektor-sektor usaha perusahaan pasangan usaha
dimaksud.
Adapun intensifikasi pemungutan pajak dilakukan melalui peningkatan kepatuhan wajib
pajak dengan melakukan penelitian formal dan material, yaitu verifikasi administrasi dan
veriftkasi lapangan, dengan sasaran antara lain surat pemberitahuan tahunan (SPT) yang
menyatakan lebih bayar, pengisian SPT yang tidak lengkap, wajib pajak yang tidak
menyampaikan SPT, serta wajib pajak yang tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban
pembayaran PPh. Berdasarkan upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh, realisasi penerimaan
pajak penghasilan dalam paruh pertama tahun anggaran 1994/95 mencapai sebesar Rp 7.119,9
miliar atau sekitar 38 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1994/95.
Sebagai pajak tidak langsung, kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN)
mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak diberlakukannya secara efektif Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, pada tahun 1985. Selama periode Repelita I sampai dengan Repelita III,
sewaktu PPN masih dipungut sebagai pajak penjualan dan pajak penjualan impor, pertumbuhan
penerimaan PPN mencapai sebesar 26,5 persen per tahun, yakni dari sebesar Rp 31,0 miliar pada
tahun pertama Repelita I, menjadi sebesar Rp 830,6 miliar pada akhir Repelita III. Sedangkan
dalam periode sepuluh tahun sejak diberlakukannya Undang-undang PPN 1983, yaitu dalam
periode Repelita IV dan Repelita V, pertumbuhan penerimaan PPN mencapai 34,1 persen per
tahun, yakni dari sebesar Rp 878,0 miliar pada awal Repelita IV menjadi sebesar Rp 12.282,3
miliar pada akhir Repelita V. Bahkan dalam tahun pertama pelaksanaan undang-undang pajak
pertambahan nilai telah terjadi lonjalan penerimaan PPN yang sangat besar. Dalam tahun
anggaran 1984/85, yang merupakan tahun terakhir pemberlakuan pajak penjualan dan pajak
penjualan impor, penerimaan PPN baru mencapai Rp 878,0 miliar, yang melonjak hampir tiga
kali lipat menjadi Rp 2.326,7 miliar dalam tahun anggaran 1985/86. Lonjalan penerimaan yang
sangat besar ini merupakan indikasi nyata dari kemampuan diberlakukannya undang-undang PPN
untuk menjaring wajib pajak dan objek pajak yang semakin luas, walaupun hanya menggunakan
Departemen Keuangan RI
58
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tarif tunggal sebesar 10 persen.
Kinerja pertumbuhan penerimaan PPN dari Repelita ke Repelita tidak terlepas dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang telah diambil selama periode tersebut. Selama
pelaksanaan Repelita I sampai dengan Repelita III, kebijaksanaan PPN merupakan pelaksanaan
Undang-undang Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor 1951. Undang-undang Pajak
Penjualan 1951 tersebut sangat rumit dalam pelaksanaannya karena mempunyai tarif yang
bervariasi sebanyak 8 lapis tarif. Jumlah tarif tersebut diperbanyak lagi dengan diberikannya
berbagai pembebasan atas produk-produk tertentu. Kerumitan ini yang merupakan salah satu
faktor penyebab pertumbuhan penerimaan PPN dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan
Repelita III kurang menggembirakan.
Memasuki Repelita IV, melalui serangkaian pembaharuan perpajakan, Pemerintah
mengupayakan mengganti undang-undang pajak penjualan dengan undang-undang PPN yang
mampu untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang lebih luas objek pajaknya, lebih
sederhana pelaksanaannya, dan lebih tegas dalam kepastian hukumnya, di samping
memperhatikan juga kegiatan ekonomi nasional, khususnya pengembangan dunia usaha. Untuk
itu Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang berlaku efektif sejak tanggal
1 April 1985. Undang-undang PPN memberlakukan tarif yang sederhana, yaitu hanya dua tarif, 0
persen untuk barang yang di ekspor dan 10 persen bagi barang dan jasa yang dikonsumsi di
dalam negeri, sedangkan untuk barang mewah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah
(PPnBM) sebesar 10 persen dan 20 persen tergantung tingkat kemewahannya. Tarif yang
sederhana ini sangat membantu pelaksanaan pemungutan PPN karena mudah dipahami, baik oleh
aparat perpajakan maupun wajib pajak.
Dalam
hubungannya
dengan
perdagangan
luar
negeri,
undang-undang
PPN
mengintegrasikan bea masuk yang dikenakan atas barang-barang impor dengan PPN yang
dikcnakan atas barang-barang perdagangan dalam negeri. Sedangkan bagi PPN yang dikenakan
atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor, secara periodik
dapat diajukan pengembaliannya. Kebijaksanaan ini bersama-sama dengan kebijaksanaan
lainnya, terutama kebijaksanaan PPN sebesar 0 persen atas barang-barang ekspor, telah mampu
ikut mendorong ekspor, khususnya ekspor komoditi nonmigas, baik dalam hal kualitas, volume,
Departemen Keuangan RI
59
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
maupun pengembangan diversifikasinya.
Sementara itu untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dengan jalan memberi rasa aman
bagi para wajib pajak, terutama bagi mereka yang merasa telah membayar pajak lebih dari
seharusnya, maka dalam undang-undang PPN diatur dengan jelas ketentuan pembayaran kembali
kelebihan pembayaran pajak. Sedangkan sebagai upaya untuk menghilangkan pengaruh pajak
berganda yang terdapat pada undang-undang pajak penjualan, dalam Undang-undang PPN 1984
ditentukan adanya sistem kredit. Sistem kredit ini menetapkan bahwa beban pajak yang telah ada
pada bahan baku yang dipakai perusahaan dapat diperhitungkan/dikurangkan dari PPN yang
terhutang atas hasil produksi perusahaan itu. Di samping itu dapat dihilangkan pula kemungkinan
adanya usaha-usaha untuk melakukan penggabungan vertikal antara dua perusahaan atau lebih,
yang semata-mata untuk menghindari pajak dengan mengorbankan efisiensi. Di samping itu
dalam Undang-undang PPN 1984 juga dieiptakan iklim usaha yang lebih menarik bagi golongan
ekonomi lemah. Hal ini sehubungan dengan adanya harapan yang jelas mengenai jenis
perusahaan yang dapat digolongkan sebagai perusahaan kecil, sehingga meneiptakan kepastian
bagi upaya penyeragaman beban pajaknya.
Dilihat dari potensi penerimaan PPN, selama Repelita IV potensi PPN masih cukup besar.
Dalam hal pengenaan PPN barang misalnya, PPN dipungut masih terbatas pada
pabrikan/produsen yang terdaftar, sedangkan PPN jasa baru mencakup beberapa jenis jasa.
Dengan potensi PPN yang masih cukup besar tersebut, maka penerimaan PPN yang dapat
dipungut meneapai jumlah yang besar pula. Selama Repelita IV penerimaan PPN telah meningkat
dari Rp 878,0 miliar dalam tahun pertama Repelita IV menjadi Rp 4.505,3 miliar dalam tahun
terakhir Repelita IV, akan tumbuh sebesar 50,5 persen per tahun.
Memasuki Repelita V, dalam rangka turut berperan aktif mendukung pembiayaan
pembangunan melalui peningkatan sumber dana dari dalam negeri, kebijaksanaan yang diambil
Pemerintah di bidang PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dalam mengamankan
rencana penerimaan dalam Repelita V. Dalam kaitan ini, telah dilakukan ekstensifikasi objek
PPN melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan PPN Atas
Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar Dan Penyerahan Jasa
Kena Pajak Di Samping Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemborong, yang berlaku efektif sejak
tanggal 1 April 1989. Dalam peraturan tersebut, cakupan pengenaan PPN yang semula hanya
Departemen Keuangan RI
60
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sampai pada tingkat penyerahan barang kena pajak yang dilakukan oleh penyalur utama/agen
utama, telah diperluas mehputi penyerahan barang kena pajak yang dilakukan oleh pedagang
besar. Di samping itu penyerahan jasa dikenakan PPN, kecuali 13 macam jasa tertentu, meliputi
jasa pelayanan dan perawatan kesehatan, jasa pelayanan social, jasa pelayanan pas dan giro, jasa
perbankan asuransi, lembaga keuangan bukan bank dan financial leasing, jasa di bidang
keagamaan, jasa di bidang pendidikan, jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, jasa
penyiaran radio dan televisi, jasa angkutan laut dan darat, jasa angkutan udara luar negeri, jasa
tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja, jasa perhotelan dan rumah penginapan, serta jasa
telepon umum coin box telegram dan jasa penyewaan transponder luar negeri.
Sementara itu dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian di dalam negeri
sejak tanggal 15 Januari 1989 terhadap jasa telekomunikasi dan penerbangan dalam negeri telah
dikenakan PPN. Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional yang semakin membaik,
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1988 mengadakan perubahan tarif
pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk jenis barang mewah tertentu. Dalam
peraturan tersebut tarif PPnBM dirubah menjadi sebesar 10 persen, 20 persen, dan 30 persen,
yang tergantung kepada tingkat kemewahannya. Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk
mengurangi pola konsumsi yang berlebihan atas barang mewah bagi golongan masyarakat
tertentu, dan meningkatkan peranserta masyarakat yang lebih mampu untuk ikut serta dalam
memikul pembiayaan negara dan pembangunan nasional, tarif PPnBM selanjutnya diubah lagi
menjadi sebesar 10 persen, 20 persen, dan 35 persen. Sebagai pelaksanaan dari peraturan
pemerintah tersebut telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1183 Tahun 1991
tentang Macam Dan Jenis Barang Kena Pajak Yang Dikenakan PPnBM Selain Kendaraan
Bermotor, serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1184 Tahun 1991 tentang Macam Dan
Jenis Serta Batasan Harga Jual Kendaraan Bermotor, yang berlaku sejak tanggal 1 Desember
1991. Struktur tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil serta
mendukung pola hidup sederhana. Dalam pada itu guna lebih memperlancar dan mengefektifkan
badan-badan tertentu dan bendaharawan sebagai pemungut/penyetor PPN/PPnBM untuk
penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak.
Selanjutnya mengingat usaha pencarian sumber minyak bumi dan pertambangan lainnya
merupakan kegiatan yang mengandung resiko yang cukup tinggi, maka untuk lebih
meningkatkan kegiatan eksplorasi serta merangsang para investor di bidang perminyakan di
Departemen Keuangan RI
61
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dalam negeri, telah dikeluarkan raker kebijaksanaan di bidang pertambangan minyak, yang antara
lain memberi kemudahan berupa penundaan dan penangguhan PPN atas penyerahan jasa pencari
sumber-sumber dan pemboran minyak bumi, gas bumi dan panas bumi kepada para kontraktor
yang belum berproduksi, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572 Tahun
1989 yang berlaku sejak tanggal 1 April 1989. Selanjutnya dalam rangka lebih menunjang iklim
penanaman modal di Indonesia dan membantu likuiditas perusahaan, maka untuk perusahaan
dalam rangka PMA dan PMDN diberikan kemudahan berupa penangguhan pembayaran PPN dan
bea masuk atas impor dan pembelian barang modal tertentu.
Kebijaksanaan lain dalam Repelita V yang ditujukan dalam rangka meningkatkan
penerimaan PPN adalah melalui perluasan cakupan PPN, yang diarahkan pada peningkatan
efisiensi aparat perpajakan dan kerja sama dengan instansi lain. Dalam hal ini setiap kantor
pelayanan pajak (KPP) memberikan penyuluhan kepada para bendaharawan dan/atau yang
bersangkutan agar melakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di
samping itu KPP juga lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan sekaligus melakukan
pendataan para pedagang besar di wilayahnya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP), serta melaksanakan penerapan hukum.
Sementara itu peningkatan pengawasan administrasi dan penegakan hukum yang lebih
efektif, khususnya terhadap pengusaha kena pajak besar, telah mengurangi kemungkinan wajib
pajak untuk melakukan penyelundupan pajak serta menghindar dari pengenaan pajak. Selain itu
upaya aparat perpajakan dalam melakukan penyuluhan kepada para pedagang besar dan para
bendaharawan, telah mendorong peningkatan penerimaan PPN. Hal ini berkaitan dengan masih
adanya pedagang besar, khususnya yang berlokasi di tempat-tempat yang dikenal sebagai pusat
grosir/pedagang besar, yang belum dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Demikian
juga penelitian formal dan material serta pemeriksaan terhadap wajib pajak semakin ditingkatkan,
dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak akan kewajiban
pajaknya. Selanjutnya berbagai kebijaksanaan lain yang juga dimaksudkan untuk mendorong
peningkatan PPN adalah upaya ekstensifikasi, yang dilakukan melalui pengenaan PPN atas
penyerahan barang kena pajak, yang diberlakukan sejak tanggal 1 April 1992 bagi pedagang
eceran besar (PEB) dengan omset paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1991 tentang Pengenaan Pajak
Pertarnbahan Nilai Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Eceran
Departemen Keuangan RI
62
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Besar. Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, berarti ruang lingkup pengenaan PPN
telah meliputi seluruh mata rantai produksi, mulai dari tingkat pabrikan, grosir, sampai dengan
pengecer, walaupun masih terbatas pada pedagang eceran besar.
Sementara itu sejalan dengan perkembangan perekonomian pada umumnyadan dunia
usaha khususnya, telah dilakukan penyesuaian atas batasan dan ukuran pengusaha kecil. Dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1288 Tahun 1991 ditetapkan bahwa pengusaha kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 adalah
orang atau badan yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan
barang kena pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120 juta dan jasa kena pajak
dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 60 juta. Sedangkan dalam hal pengusaha kena pajak
melakukan penyerahan barang kena pajak danjasa kena pajak sekaligus, batasan peredaran bruto
yang tergolong sebagai pengusaha kecil ditentukan oleh jumlah peredaran yang paling besar.
Dalam hal peredaran barang kena pajak lebih besar, maka batas peredaran brutonya adalah Rp
120 juta setahun, sedangkan jika peredaran jasa kena pajak yang lebih besar, maka batas
peredaran brutonya adalah Rp 60 juta setahun. Dalam hal penyerahan barang kena pajak dan/atau
jasa kena pajak sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan oleh pengusaha kecil, maka terhadap
penyerahan tersebut tidak terhutang PPN. Walaupun demikian, dalam hal pengusaha kecil
melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak berdasarkan suatu kontrak
kepada pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun
1988, maka atas penyerahan tersebut terhutang PPN. Tidak dikenakannya PPN terhadap
penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan pengusaha kecil tersebut diharapkan
dapat mendorong pengembangan pengusaha kecil.
Dalam rangka mendorong ekspor nonmigas, telah dikeluarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 485 Tahun 1986 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
Atas Barang Dan Bahan Asal Impor, yang telah disempurnakan melalui Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 554 Tahun 1992 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Barang Dan Bahan Asal Impor
Yang Dipergunakan Dalam Pembuatan Komoditi Ekspor. Dengan disempurnakannya
kebijaksanaan tersebut, produsen eksportir mendapat keleluasaan lebih besar untuk berproduksi.
Selanjutnya untuk mendorongi pertumbuhan dan pengembangan usaha jasa angkutan udara
dalam negeri, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 818 Tahun 1992 tentang
Departemen Keuangan RI
63
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Usaha Jasa Angkutan Dalam Negeri. Dengan
kebijaksanaan ini, pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri sebagai pengusaha kena pajak
dapat mengkreditkan pajak masukan secara umum, sebagaimana dilakukan oleh pengusaha kena
pajak.
Berbagai kebijaksanaan di bidang PPN tersebut mempunyai peranan yang sangat besar
bagi peningkatan penerimaan PPN dalam mendukung kemandirian pembiayaan pembangunan,
khususnya selama Repelita V. Kalau dalam tahun pertama pelaksanaan Undang-undang PPN
1983, yang sekaligus merupakan tahun pertama Repelita IV, penerimaan PPN baru mencapai Rp
878,0 miliar, dalam tahun terakhir Repelita V telah mencapai sebesar Rp 12.282,3 miliar, atau
rata-rata meningkat sebesar 34,1 persen per tahun.
Sesuai dengan amanat GBHN 1993, maka dalam memasuki Repelita VI sektor
perpajakan diharapkan akan dapat menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan nasional.
Khusus dalam hal PPN, pengenaan PPN telah mencakup seluruh mata rantai perdagangan, baik
perdagangan besar maupun eceran besar, dan telah dikenakannya tarif maksimal daripada pajak
penjualan atas barang mewah (PPnBM). Namun demikian, upaya-upaya peningkatan penerimaan
PPN tetap dilakukan, antara lain melalui ekstensifikasi wajib pajak, dengan memperbanyak
pengusaha kena pajak, dan intensifikasi pemungutan pajak terutama dari sumber-sumber
potensial yang belum optimal tergali. Kebijaksanaan PPN senantiasa diupayakan untuk dapat
memperkecil dampak regresif dalam pembebanannya, baik melalui penetapan klasifikasi barangbarang mewah yang terkena pajak penjualan barang mewah maupun mekanisme pembebasan
atau pengecualian terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat. Sementara itu
peningkatan kegiatan penyuluhan dan pengenaan sanksi hukum yang lebih efektif terhadap
pedagang besar dan pedagang eceran besar juga mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Sementara itu dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
pemanfaatan potensi industri kendaraan bermotor dalam negeri, sejak tanggal 10 Juni 1993 telah
diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1993 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai Tahun Tahun 1984 Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 1991. Melalui kebijaksanaan tersebut telah dilakukan reklasifikasi
terhadap tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang sebelumnya terdiri dari tiga
lapis tarif, yaitu 10 persen, 20 persen, dan 35 persen, menjadi empat lapis tariff yaitu 10 persen,
Departemen Keuangan RI
64
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
20 persen, 25 persen, dan 35 persen.
Kebijaksanaan di bidang perpajakan ditetapkan secara serasi dengan kebijaksanaan
ekonomi lainnya, oleh karena kebijaksanaan perpajakan selalu berkaitan dengan kebijaksanan
lainnya. Dalam hubungan ini, kebijaksanaan di bidang perpajakan yang menyangkut kemudahan
dan perlakuan perpajakan atas kegiatan ekonomi dan dunia usaha di daerah tertentu adalah
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas Dan
Kemudahan Pabean, Perpajakan, Dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE), dan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 tetntang Perlakuan PPN Dan
PPnBM Atas Penyerahan Barang Kena Kena Pajak (BKP) Ke, Dari Dan Antar Kawasan Berikat
Dan EPTE. Dalam Keputusan Presiden tersebut ditegaskan bahwa atas penyerahan BKP dari
daerah paben Indonesia lainnya ke dalam kawasan berikat dan EPTE, penyerahan BKP antar
PKP di dalam kawasan berikat, serta penyerahan BKP oleh PKP EPTE kepada PKP di kawasan
berikat atau sebaliknya untuk diolah lebih lanjut, PPN dan PPnBM yang terhutang tidak
dipungut. Kebijaksanan tersebut mencerminkan kesungguhan Pemerintah untuk terus
memperbaiki dan memantapkan iklim usaha, yang pada gilirannya memberikan penerimaan pajak
yang lebih besar bagi pembiayaan pembangunan di sektor negara.
Dengan memperhatikan berbagai kondisi perkembangan perekonomian dan kinerja
penerimaan PPN selama Repelita V, dalam APBN 1994/95, yang merupakan tahun pertama
pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN diperkirakan mencapai sebesar Rp 13.238,6 miliar,
yang berarti Rp 956,3 miliar atau 7,8 persen lebih tinggi dari penerimaan PPN tahun anggaran
1993/94 sebesar Rp 12.282,3 miliar. Peningkatan penerimaan PPN tersebut diharapkan dapat
dicapai melalui upaya penerapan peraturan perundangan yang lebih efektif terhadap pedagang
besar/pedagang eceran besar, dan komputerisasi yang lebih lengkap daripada data yang berkaitan
dengan PPN, serta intensifikasi yang dititikberatkan pada peningkatan kepatuhan wajib pajak
dengan melakukan penelitian formal dan material, dan verifikasi lapangan dan pemeriksaan.
Dalam pada itu peningkatan penerimaan PPN juga dilakukan melalui ekstensifikasi
jumlah wajib pajak, khususnya bagi sektor usaha tertentu yang belum terjangkau. Dalam rangka
ekstensifikasi tersebut, dalam tahun anggaran 1994/95 telah dilakukan perluasan jasa yang
dikenakan PPN. Sebagaimana diketahui pengenaan PPN atas j asa dilakukan agar terdapat
kesamaan pengenaan pajak, baik terhadap konsumsi barang maupun konsumsi jasa di dalam
Departemen Keuangan RI
65
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
negeri. Dengan memperluas cakupan pengenaan jasa diharapkan tidak ada lagi perbedaan dalam
perlakuan perpajakan terhadap jasa-jasa yang terkena pajak, sehingga dirasakan lebih adil.
Perluasan tersebut meliputi 7 (tujuh) kelompok jasa yang dikenakan PPN, yang berlaku sejak
tanggal 26 Januari 1994, yaitu meliputi:
(1) Jasa penebangan hutan, meliputi jasa pemotongan, jasa penyerahan, jasa pengulitan dan jasa
sejenisnya;
(2) Jasa pengamanan, meliputi jasa pengamanan pabrik, jasa pengamanan kantor, jasa
pengamanan pengiriman barang, jasa pengamanan orang, dan jasa sejenis lainnya;
(3) Jasa pemindahan barang, yaitu jasa pemindahan barang dari satu tempat ke tempat lain
termasuk jasa penderekan mobil, jasa pindah rumah, dan jasa sejenis lainnya;
(4) Jasa pengurusan dan konsultasi pesta, termasuk jasa pengurusan dan konsultasi pesta
perkawinan dengan segala rata cara dan tata upacara adat, jasa pengurusan dan konsultasi
pesta ulang tahun, jasa pengurusan dan konsultasi pesta upacara tradisional, dan jasa sejenis
lainnya;
(5) Jasa pelabuhan sungai;
(6) Jasa ekspedisi muatan sungai;
(7) Jasa pembawa acara (master of ceremonies), yaitu jasa pembawa acara hiburan, jasa pembawa
acara perlombaan/pertandingan, dan jasa sejenis lainnya, kecuali untuk program penyiaran
radio dan televisi.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan program pembangunan di bidang
kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam upaya lebih meningkatkan kesehatan dan
produktivitas kerja masyarakat melalui pemanfaatan garam beryodium, dengan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1994 telah diambil kebijaksanaan berupa pemberian fasilitas PPN
yang ditanggung Pemerintah atas impor atau penyerahan garam beryodium. Selanjutnya juga
telah disempurnakan ketentuan-ketentuan di bidang PPN, khususnya yang berkaitan dengan
pengkreditan pajak masukan, dalam rangka memberikan kepastian dalam pelaksanaan
penghitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan.
Pajak bumi dan bangunan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986, berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, menggantikan pajak
Departemen Keuangan RI
66
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kekayaan (PKk) dan iuran pembangunan daerah (Ipeda). Dalam Repelita I, peran penerimaan
PKk dan Ipeda masih belurn berarti. Sebagai gambaran, dalam tiga tahun pertama Repelita I
realisasi penerimaan kedua jenis pajak tersebut setiap tahunnya tidak lebih dari Rp 0,2 miliar.
Selanjutnya dalam tahun keempat dan kelima Repelita I berturut-turut mencapai Rp 15,4 miliar
dan Rp 20,0 miliar.
Sementara itu pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai bidang dalam
Repelita II telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, yang menyebabkan
potensi sumber-sumber penerimaan dalam negeri pada umumnya meningkat, sehingga
penerimaan PKk dan Ipeda dalam Repelita II mengalami peningkatan secara mengesankan.
Kalau dalam tahun pertama Repelita II realisasi kedua jenis pajak tersebut baru sebesar Rp 28,5
miliar, maka dalam tahun terakhir Repelita II telah mencapai Rp 68,0 miliar, atau rata-rata
tumbuh sekitar 24 persen per tahun .
Selanjutnya dalam tahun anggaran 1979/80 yang merupakan tahun pertama Repelita III
realisasi penerimaan PKk dan Ipeda adalah sebesar Rp 74,6 miliar, yang terus meningkat dengan
tajam, sehingga dalam tahun terakhir Repelita III realisasi penerimaan PKk dan Ipeda dapat
mencapai Rp 144,9 miliar. Dengan demikian selama Repelita III realisasi penerimaan PKk dan
Ipeda rata-rata tumbuh sebesar 18,1 persen per tahun. Dilihat dari perkembangannya sejak awal
Repelita I sampai dengan tahun terakhir Repelita III, maka realisasi penerimaan PKk dan Ipeda
rata-rata tumbuh sebesar 68,2 persen per tahun.
Sebagai kelanjutan daripada reformasi perpajakan, sejak tanggal 1 Januari 1986
diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, yang
menggantikan pajak kekayaan dan Ipeda. Struktur PBB tersebut cukup sederhana, yaitu hanya
mengenal tarif tunggal sebesar 0,5 persen dari nilai jual kena pajak (NJKP). Sedangkan NJKPnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 ditetapkan sebesar 20 persen dari
nilai jual objek pajak (NJOP), dan menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, NJKP
tersebut dapat ditingkatkan dari 20 persen sampai 100 persen dari NJOP. Sementara itu
Pemerintah secara periodik melakukan peninjauan kembali besarnya NJOP, yang disesuaikan
dengan perkembangan harga pada khususnya dan perekonomian pada umumnya.
Seperti diketahui bahwa 90 persen dari penerimaan PBB diberikan kepada daerah,
sedangkan sisanya 10 persen untuk pemerintah pusat. Dalam rangka lebih mengintensifkan
Departemen Keuangan RI
67
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pemungutan PBB di daerah, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1009 Tahun
1985 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986, sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa terhadap bagian penerimaan daerah
yang sebesar 90 persen dari penerimaan keseluruhan, lebih dahulu dikurangi 10 persen sebagai
biaya pemungutannya. Kemudian sisanya dibagikan kepada pemerintah Dati I sebesar 16,2
persen dan pemerintah Dati II sebesar 64,8 persen.
Dari upaya-upaya tersebut, dalam tahun anggaran 1984/85, yang merupakan tahun
pertama Repelita IV, realisasi penerimaan PBB mencapai Rp 180,6 miliar. Selama pelaksanaan
Repelita IV, penerimaan PBB terus mengalami peningkatan dan dalam tahun terakhir Repelita IV
penerimaan tersebut mencapai sebesar Rp 424,2 miliar. Dengan demikian selama Repelita IV
realisasi penerimaan PBB rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 23,8 persen per tahun.
Memasuki Repelita V, yang diwarnai oleh pesatnya perkembangan ekonomi sebagai hasil
pembangunan dan globalisasi di berbagai bidang, Pemerintah terus melakukan upaya
penyempurnaan, baik yang menyangkut perundang-undangan, aturan pelaksanaan, mutu
pelayanan, maupun upaya-upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dalam kaitan ini,
kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB meliputi upaya
ekstensifikasi jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutannya, yang disertai dengan
pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak PBB. Sejak tahun 1989 telah dilakukan suatu pilot
proyek yang dikenal sebagai sistem "payment point", atau sistem tempat pembayaran (Sistep),
dan telah diujicobakan di Tangerang. Sistem ini memungkinkan wajib pajak PBB untuk
membayar pajaknya di tempat-tempat pembayaran yang dekat dengan lokasi tempat tinggal wajib
pajak. Hasil uji coba tersebut sangat menggembirakan, sehingga dalam tahun anggaran 1989/90
Sistep telah diterapkan di 12 Dati II. Selanjutnya Sistep terus dikembangkan, sehingga dalam
tahun 1992 Sistep telah dilaksanakan di 181 Dati II. Pelaksanaan Sistep yang didukung oleh
sistem komputerisasi data piutang dan pembayaran PBB, menyebabkan proses pengolahan data
dan penyempurnaan administrasi PBB dapat dipercepat.
Upaya peningkatan multi pelayanan, di samping penerapan Sistep, juga dilakukan melalui
pembentukan kantor-kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan (KP-PBB) serta pembentukan
tim intensifikasi PBB, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tim intensifikasi PBB di pusat antara
Departemen Keuangan RI
68
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
lain bertugas mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan PBB di daerah, menampung
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PBB di daerah, serta memberikan bimbingan,
pembinaan, dan pemantapan pelaksanaan PBB di daerah. Sedangkan tim intensifikasi PBB di
daerah menitikberatkan tugasnya pada pelaksanaan operasional PBB di masing-masing daerah
yang bersangkutan.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB dari sektor perhutanan,
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1989 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
Nomor 77 Tahun 1985 tentang Pembayaran PBB Atas Areal Blok Tebangan, telah ditetapkan
bahwa pembayaran pajak bumi dan bangunan atas areal blok tebangan adalah sebesar 20 persen
dari iuran hasil hutan (IHH). Di samping PBB di sektor perhutanan, di sektor pertambangan juga
terus dilakukan upaya peningkatannya. Untuk itu sejak tahun 1990 telah diberlakukan suatu
formula pembagian penerimaan pajak bumi dan bangunan sektor pertambangan minyak bumi dan
gas alam Dati II. Dalam formula tersebut, 50 persen dari penerimaan PBB diperuntukkan bagi
Dati II tempat sumber minyak bumi dan gas alam berada, 30 persen untuk Dati II yang
berbatasan langsung dengan Dati II tempat sumber minyak bumi dan gas alam berada, dan
sisanya 20 persen diperuntukkan bagi Dati II sekitarnya.
Sedangkan untuk lebih mendorong investasi di kawasan timur Indonesia, Pemerintah
telah mengeluarkan kebijaksanaan pengurangan pajak bumi dan bangunan, yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 748 Tahun 1990 tentang Pengenaan Pajak Bumi Dan
Bangunan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa
terhadap investasi baru di kawasan timur Indonesia dan perluasan usaha minimal sebesar 30
persen, diberikan pengurangan sebesar 50 persen dari pajak bumi dan bangunan yang terhutang
selama 8 tahun sejak izin peruntukan tanah diberikan.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB, ditempuh berbagai upaya yang
menyangkut prosedur pembayaran pajak, seperti Sistep dan penggunaan jasa pas dan giro, serta
peningkatan sarana dan prasarana pemungutan pajak. Di bidang sarana dan prasarana
pemungutan pajak ditempuh kebijaksanaan pengembangan sistem pengolahan data objek PBB
dari administrasi manual ke dalam pengolahan komputer di setiap KP-PBB. Sementara itu
pemutakhiran data dilakukan melalui kerja sama dengan instansi terkait, antara lain Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan para pejabat pembuat akte tanah (PPAT).
Departemen Keuangan RI
69
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya dalam rangka mengurangi beban pajak bumi dan bangunan bagi golongan
masyarakat berpenghasilan rendah, telah dilakukan penyesuaian terhadap batas nilai jual
bangunan tidak kena pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1291 Tahun 1991 tentang Besarnya Faktor Penyesuaian Batas Nilai Jual
Bangunan Tidak Kena Pajak Untuk Penetapan Pajak Bumi Dan Bangunan, yang berlaku sejak
tangga1 1 Januari 1992. Dalam keputusan tersebut ditetapkan batas nilai jual bangunan tidak
kena pajak adalah sebesar Rp 7 juta untuk setiap satuan bangunan, dengan ketentuan bahwa
dalam hal bangunan semata-mata digunakan untuk rumah hunian, maka satuan bangunan adalah
unit hunian, sedangkan dalam hal bangunan digunakan selain untuk rumah hunian, satuan
bangunan adalah satu kesatuan bangunan.
Berbagai upaya dan kebijaksanaan yang te1ah ditempuh dalam Repelita V tersebut
temyata membuahkan hasi1 yang cukup menggembirakan, tercermin dari rea1isasi penerimaan
PBB yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun pertama Repelita V, realisasi
penerimaan PBB mencapai sebesar Rp 590,4 miliar, yang kemudian meningkat dengan sangat
tajam dalam tahun-tahun berikutnya, terutama dalam tahun terakhir Repe1ita V menjadi sebesar
Rp 1.534,3 miliar. Sehingga selama Repelita V realisasi penerimaan PBB mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 27,0 persen per tahun.
Me1ihat perkembangan penerimaan PBB dari Repelita ke Repelita, dengan berbagai
upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah, maka secara keseluruhan dalam PJP I
penerimaan PBB meningkat rata-rata sebesar 49,4 persen per tahun. Perkembangan penerimaan
PBB yang selalu meningkat dari tahun ke tahun tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain berupa penyesuaian secara periodik nilai jual objek pajak (NJOP), pengembangan sistem
tempat pembayaran (Sistep), serta penerapan sistem informasi manajemen objek pajak (Sismiop)
di beberapa daerah. Dalam tahun anggaran 1994/95 sebagai tahun pertama Repe1ita VI, PBB
yang merupakan salah sarti komponen penerimaan dalam negeri, secara bertahap peranannya
semakin dimantapkan, mengingat PBB mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di
masa yang akan datang.
Selaras dengan perkembangan perekonomian, penyesuaian NJOP telah beberapa kali
dilakukan, terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 Tahun 1993 tentang
Departemen Keuangan RI
70
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Penentuan Klasifikasi Dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Bumi Dan Bangunan. Dalam keputusan tersebut ditetapkan 50 kelas bumi dengan penggolongan
nilai jual tertinggi sebesar Rp 3,1 juta dan terendah sebesar Rp 140 per meter persegi. Sedangkan
untuk nilai transaksi objek pajak yang nyata-nyata di atas Rp 3,1 juta per meter persegi,
digunakan nilai transaksinya. Di samping itu unsur keadilan dalam penerapan PBB juga
tercermin dari adanya pemberian fasilitas pengurangan bagi wajib pajak yang kurang mampu,
dan pengajuan keberatan bagi wajib pajak yang merasa membuat kesalahan dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)-nya. Besarnya pengurangan dapat ditetapkan paling
tinggi 75 persen, sedangkan untuk keberatan tidak tertutup kemungkinan bisa sampai 100 persen.
Sementara itu terhadap rumah sakitrumah sakit swasta yang dalam perkembangannya dinilai
telah mengarah kepada upaya memperoleh keuntungan di samping fungsinya sebagai lembaga
sosial, kini telah dikenakan PBB, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 796 Tahun 1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Atas Rumah Sakit
Swasta.
Di samping itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi Dan Bangunan, telah
ditetapkan kembali besarya tarif nilai jual kena pajak (NJKP) atas objek pajak perumahan. Dalam
peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa atas objek pajak perumahan yang wajib pajaknya
perseorangan dengan nilai jual objek pajak (NJOP)-nya sebesar Rp 1 miliar ke atas, tarif NJKPnya ditetapkan sebesar 40 persen dari NJOP. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak
pegawai negeri sipil, ABRI, pensiunan termasuk janda/dudanya yang menguasai atau
memanfaatkan objek pajak perumahan yang NJOP-nya senilai Rp 1 miliar ke atas, dimana tarif
NJKP-nya tetap sebesar 20 persen dari NJOP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 1985. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pemerataan dan menunjang
otonomi Dati II serta peningkatan pelayanan masyarakat daerah, maka penerimaan PBB yang
merupakan bagian pemerintah pusat, yang besarya 10 persen, diserahkan kembali secara merata
kepada seluruh Dati II, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83
Tahun 1994 tentang Penggunaan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Bagian Pemerintah
Pusat. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk lebih membantu keuangan pemerintah Dati II
agar peranannya semakin besar di dalam mendorong investasi dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Di samping itu, kebijaksanaan di bidang PBB juga memperhatikan upayaDepartemen Keuangan RI
71
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
upaya penciptaan iklim usaha yang lebih menarik bagi investor, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, untuk menanarnkan modalnya. Untuk itu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 196 Tahun 1994, mesin-mesin yang diperlukan dalam rangka investasi tidak termasuk
objek yang dikenakan PBB.
Dalam pada itu penerimaan pajak lainnya yang meliputi bea meterai dan bea lelang sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah kegiatan perekonomian, penyempurnaan
pelaksanaan lelang, dan upaya preventif dan represif terhadap peredaran meterai palsu. Dengan
semakin berkembangnya kegiatan perekonomian dan semakin efektifnya pelaksanaan Undangundang Nomor 13 Tahun 1985 yang mengatur bea meterai, serta semakin tertibnya pengelolaan
kegiatan lelang, penerimaan pajak lainnya dari Repelita ke Repelita menunjukkan peningkatan
dalam jumlah yang cukup berarti. Bila dalam tahun pertama Repelita I penerimaan pajak lainnya
baru sebesar Rp 3,5 miliar rupiah, maka pada akhir Repelita V telah mencapai sebesar Rp 285,3
miliar, yang berarti selama PJP I pajak lainnya telah tumbuh rata-rata sebesar 20,1 persen per
tahun.
Kinerja pajak lainnya yang cukup menggembirakan ini akan terus dipertahankan dalam
Repelita VI. Dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, pajak lainnya direncanakan sebesar Rp 281,7 miliar. Bila dibandingkan dengan
penerimaan pajak lainnya dalam tahun pertama Repelita V, yaitu tahun anggaran 1989/90,
sebesar Rp 275,5 miliar, berarti terdapat peningkatan sebesar Rp 6,2 miliar atau 2,3 persen.
Peningkatan ini diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan pengawasan dan kepatuhan
masyarakat dalam menggunakan meterai yang dilakukan melalui kerja sama yang terpadu
antarinstansi terkait. Sementara itu penertiban dan penyempurnaan pelaksanaan lelang akan terus
diupayakan sehingga bea lelang dapat dipungut secara lebih efektif, di samping tetap
dipertahankannya kesederhanaan tarif bea meterai dengan dua lapis tarif, yaitu Rp 1.000 dan Rp
500.
Di samping berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, bea masuk juga berfungsi
sebagai alat kebijaksanaan ekonomi, khususnya di bidang perdagangan luar negeri. Sebagai
sumber penerimaan negara, selama PJP I penerimaan bea masuk mengalami pertumbuhan ratarata sebesar 17,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 57,7 miliar dalam tahun anggaran
1969/70 yang merupakan tahun pertama Repelita I, menjadi sebesar Rp 2.888,1 miliar dalam
Departemen Keuangan RI
72
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun anggaran 1993/94 yang merupakan tahun terakhir Repelita V.
Dalam Repelita I, penerimaan bea masuk, yang sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan
pembangunan ekonomi khususnya kebijaksanaan tarif, mengalami peningkatan rata-rata sebesar
22,1 persen per tahun. Dalam periode tersebut, pola impor mengalami pergeseran ke arah impor
bahan baku dan barang modal yang sangat diperlukan untuk mendorong perkembangan industri
dalam negeri. Periode berikutnya, selama Repelita II, penerimaan bea masuk terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata sebesar 16,4 persen per tahun. Di samping
ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan bea masuk juga dimaksudkan
untuk mendorong pertumbuhan usaha dan industri dalam negeri, menciptakan kesempatan kerja,
serta mengendalikan penggunaan devisa. Sementara itu dalam rangka memperlancar arus
perdagangan internasional telah diterapkan klasifikasi barang-barang impor atas dasar Brussels
Tariff Nomendature (BTN), yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973,
yang dimaksudkan untuk lebih mengintensitkan pengenaan pajaknya.
Dalam Repelita III kebijaksanaan bea masuk lebih dimantapkan melalui penyesuaian dan
penurunan tarif bea masuk terhadap impor bahan baku atau bahan baku penolong dan barang
modal. Sedangkan tarif yang tinggi dikenakan hanya terhadap barang-barang tertentu dan bersifat
sementara, serta terhadap impor barang-barang konsumsi yang tergolong mewah. Selain itu,
Pemerintah juga memberikan keringanan berupa pembebasan sebagian bea masuk dan pajak
penjualan impor atas pemasukan bahan baku, subkomponen setengah jadi dan subkomponen jadi
untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor di dalam negeri. Selanjutnya kepada industri
pariwisata telah diberikan fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor dalam rangka
mendorong penerimaan devisa dari sektor pariwisata.
Sehubungan dengan semakin pesatnya perkembangan di bidang ekspor dan impor, maka
Pemerintah telah mengganti sistem tarif dari sistem Brussels Tariff Nomendature (BTN) dengan
sistem Customs Cooperation Council Nomendature (CCCN), yaitu suatu sistem pentarifan
barang, baik ekspor maupun impor, secara lebih terperinci, sehingga lebih menjamin ketepatan
dan kemudahan dalam pelaksanaannya, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 253 Tahun 1985.
Dalam perkembangannya, penerimaan bea masuk dapat dibagi dalam dua periode, yaitu
era sebelum deregulasi, yaitu periode sampai dengan tahun anggaran 1985/86, dan era pasca
Departemen Keuangan RI
73
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
deregulasi. Sebelum era deregulasi, penerimaan bea masuk yang dalam tahun pertama Repelita I
baru mencapai sebesar Rp 57,7 miliar telah mengalami pertumbuhan rata-rata 15,8 persen
pertahun sehingga mencapai sebesar Rp 607,3 miliar dalam tahun anggaran 1985/86. Sedangkan
dalam era pasca deregulasi, rata-rata pertumbuhan penerimaan bea masuk per tahun dapat
mencapai sebesar 17,0 persen, yaitu dari sebesar Rp 960,1 miliar dalam tahun anggaran 1986/87
menjadi sebesar Rp 2.888,1 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan tersebut
berhubungan erat dengan pelaksanaan berbagai paket deregulasi untuk mendorong ekspor
nonmigas selama ini.
Dalam Repelita IV, dengan adanya kebijaksanaan deregulasi penerimaan bea masuk
meningkat rata-rata sebesar 22,5 persen per tahun. Peningkatan yang cukup besar tersebut
terutama dikarenakan meningkatnya volume impor yang sejalan dengan meningkatnya ekspor
hasil industri. Sesuai dengan tekad Pemerintah untuk mendorong ekspor nonmigas melalui
deregulasi perdagangan internasional, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
1988, sejak tanggal 1 Januari 1989 tarif bea masuk telah menggunakan sistem klasifikasi barang
berdasarkan Harmonized System (HS), sebagai pengganti sistem klasifikasi barang berdasarkan
Customs Cooperation Council Nomendature (CCCN), serta dilaksanakannya penyederhanaan
penyelesaian dokumen impor, yang dikenal dengan "custom fast release system" (CFRS).
Selanjutnya dalam tahun anggaran 1989/90 yang merupakan tahun pertama Repelita V,
penerimaan bea masuk mencapai sebesar Rp 1.587,0 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran
1993/94 telah mencapai sebesar Rp 2.888,1 miliar, atau tumbuh rata-rata sebesar 16,1 persen per
tahun.
Khusus dalam tahun anggaran 1990/91, penerimaan bea masuk yang mencapai sebesar
Rp 2.485,7 miliar mengalami peningkatan yang cukup besar dibanding tahun sebelumnya sebesar
Rp 1.587,0 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar 56,6 persen. Peningkatan penerimaan
tersebut selain berkenaan dengan telah diberlakukannya sistem klasifikasi barang berdasarkan
Harmonized System (HS), juga disebabkan adanya raker kebijaksanaan 28 Mei 1990 yang
merupakan kelanjutan dari rangkaian kebijaksanaan deregulasi di bidang tarif bea masuk, yang
memperluas cakupan penggantian perlindungan nontarif renjadi perlindungan tarif. Pola
pengaturan tarif selain untuk mengatur arus barang impor yang terkena bea masuk juga
dimaksudkan untuk mencegah inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi, tanpa mengabaikan perlunya
memberikan perlindungan yang lebih adil bagi industri dalam negeri. Kebijaksanaan tersebut
Departemen Keuangan RI
74
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mencerminkan upaya pemerintah untuk mendorong dan meningkatkan daya saing, serta
mengembangkan industri di dalam negeri yang berorientasi kepada industri barang-barang ekspor
yang memberi nilai tambah lebih tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja. Langkah-langkah
deregulasi dan debirokratisasi tersebut telah mendorong pengembangan sistem tarif yang
rasional, dan sekaligus mengurangi hambatan-hambatan arus impor yang bersifat nontarif.
Dalam tahun anggaran 1991/92, penerimaan bea masuk yang sebesar Rp 2.133,1 miliar
berarti menurun sebesar 14,2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
sebesar Rp 2.485,7 miliar. Hal tersebut terjadi karena adanya berbagai raker kebijaksanaan
deregulasi yang dikeluarkan Pemerintah, seperti deregulasi di sektor riil pada tanggal 28 Mei
1991 dan raker kebijaksanaan di bidang investasi, perdagangan, dan keuangan yang dikeluarkan
dalam bulan Juni 1991 (Pakjun), yang mengarah kepada tarif bea masuk yang lebih rendah.
Selanjutnya telah diadakan penyempurnaan tata laksana pabean di bidang impor sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 737 Tahun 1991 tentang Tata Laksana Pabean Di
Bidang Impor, yang memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk
dapat memeriksa barang impor yang dilindungi laporan pemeriksaan surveyor (LPS), dimana
pemeriksaan surveyor belum sepenuhnya merupakan pemeriksaan yang bersifat final. Dalam
kaitan tersebut, terhadap impor barang dengan nilai di atas US$ 5.000, wajib dilakukan
pemeriksaan prapengapakan di pelabuhan muat oleh surveyor yang ditunjuk Pemerintah.
Sementara itu dalam bulan Juli 1992 telah ditempuh kebijaksanaan deregulasi di sektor
riil yang mencakup kemudahan bagi sektor swasta untuk mengimpor baja dan mesin bekas bagi
industrinya, penyederhanaan prosedur izin penanaman modal dan penggunaan tenaga kerja asing,
pengurangan jumlah usaha dalam daftar negatif investasi (DNI), serta pemberian hak guna usaha
(HGU) kepada PMA patungan, yang ditujukan untuk mendorong terciptanya kesempatan kerja
baru dan dapat menghasilkan produksi komoditi ekspor dengan daya saing yang makin tinggi.
Dalam rangka merangsang ekspor nonmigas, secara bertahap telah diluncurkan paket deregulasi
dalam bulan Juni 1993, antara lain berupa penurunan tarif yang meliputi 221 pas tarif bea masuk
dan 76 pas tarif bea masuk tambahan, serta penghapusan tata niaga impor terhadap 140 pas tarif.
Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi dalam bulan Oktober 1993 yang
mencakup penurunan bea masuk sebesar 5 sampai dengan 15 persen terhadap 198 pas tarif, dan
dihapuskannya 92 pas tarif bea masuk tambahan, serta 27 pas tarif diturunkan bea masuknya.
Departemen Keuangan RI
75
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dalam rangka meningkatkan pengawasan dan pencegahan serta pemberantasan penyelundupan,
telah dibentuk dua pangkalan sarana perhubungan bea dan cukai, masing-masing di Tanjung
Priok dan Pantoloan.
Dalam bulan Juni 1994, Pemerintah kembali meluncurkan kebijaksanaan deregulasi di
bidang bea masuk, bea masuk tambahan, penghapusan tata niaga impor, penyempurnaan
peraturan yang menyangkut Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Tujuan Ekspor,
pengkreditan pajak masukan, dan kemudahan bagi perluasan penanaman modal. Deregulasi ini
merupakan kelanjutan dari serangkaian deregulasi yang telah dijalankan, sejalan dengan
perkembangan perdagangan internasional sehubungan dengan kesepakatan yang dicapai dalam
GATT - Putaran Uruguay. Deregulasi kali ini tidak hanya dimaksudkan untuk lebih
meningkatkan investasi, efisiensi dan produktivitas guna mendorong pertumbuhan ekonomi,
peningkatan dan perluasan ekspor nonmigas, serta peningkatan aktivitas dan perluasan
kesempatan usaha dan kerja, tetapi juga untuk meningkatkan kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan di bidang-bidang lainnya. Dengan berbagai kebijaksanaan yang telah dilaksanakan,
penerimaan bea masuk dalam APBN 1994/95 diperkirakan mencapai sebesar Rp 3.443,3 miliar,
atau meningkat sekitar 19,2 persen dari realisasi tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan yang ditempuh berkenaan dengan penerimaan cukai adalah mengendalikan
konsumsi beberapa jenis barang tertentu melalui pengenaan cukai, dan sekaligus diarahkan untuk
memberikan
sumbangan
yang
makin
besar
terhadap
penerimaan
negara.
Dalam
perkembangannya, penerimaan cukai yang dikenakan atas empat jenis komoditi hasil industri,
yaitu produk tembakau, gula, bir, dan alkohol sulingan, secara keseluruhan dalam PJP I tumbuh
rata-rata sebesar 20,0 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1969/70, yang merupakan tahun
pertama pelaksanaan Repelita I, penerimaan cukai baru mencapai sebesar Rp 32,1 miliar,
sedangkan dalam tahun terakhir Repelita V telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.559,5 miliar.
Sebagian besar penerimaan cukai tersebut diperoleh dari cukai hasil tembakau, yang rata-rata
mampu memberikan sumbangan sekitar 93 persen dari keseluruhan penerimaan cukai.
Penerimaan cukai hasil tembakau, yang diperoleh dari cukai rokok jenis sigaret, baik yang dibuat
dengan mesin (SKM) maupun yang dibuat dengan tangan (SKT), dalam Repelita V tersebut
memberikan sumbangan rata-rata sekitar 89 persen dari jumlah keseluruhan penerimaan cukai
tembakau setiap tahunnya, sedangkan cukai yang berasal dari sigaret putih mesin (SPM) dan
cukai tembakau lainnya memberikan sumbangan rata-rata sekitar 11 persen setiap tahunnya.
Departemen Keuangan RI
76
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Produksi hasil tembakau secara keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3,4
persen setiap tahunnya. Dari produksi sigaret kretek, jenis sigaret kretek mesin (SKM)
memegang peranan yang semakin besar dalam keseluruhan produksi dibandingkan dengan jenis
sigaret lainnya. Jumlah produksi hasil tembakau tersebut dikelompokkan berdasarkan produksi
total dalam satu tahun takwim yang dihasilkan oleh pabrikan, baik pabrikan yang berskala besar,
menengah besar, menengah, kecil, maupun industri rumah tangga (K-1000). Dalam periode
Repelita V, peranan produksi jenis SKM dalam produksi sigaret kretek mencapai sebesar 57,3
persen, dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 2,8 persen per tahun. Sedangkan peranan
produksi jenis sigaret kretek tangan (SKT) mencapai sebesar 27,0 persen dengan peningkatan
produksi rata-rata sebesar 5,1 persen per tahun. Selanjutnya peranan produksi jenis SPM hanya
sebesar 11,3 persen, dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 6,4 persen setiap tahun.
Kebijaksanaan di bidang cukai hasil tembakau juga telah meningkatkan status beberapa
pengusaha hasil tembakau yang tergolong sebagai K-1000, yaitu pabrikan dengan jumlah
produksi per harinya untuk cerutu mencapai 40.000 batang, jenis sigaret mencapai 50.000 batang,
jenis rokok daun mencapai 50.000 batang, dan untuk jenis tembakau iris 10.000 bungkus,
meningkat statusnya menjadi pabrikan non K-1000. Demikian juga telah dilakukan penyesuaian
harga eceran beberapa produksi rokok yang harga jualnya di pasaran lebih tinggi dari harga
pitanya, sehingga pada gilirannya turut mendorong peningkatan penerimaan cukai hasil
tembakau.
Dalam rangka membina dan memberikan perlindungan kepada pabrikan kecil/K-1000
dalam persaingannya dengan pabrikan berskala besar, untuk mendorong perkembangan dan
peningkatan produksi perusahaan hasil tembakau, serta untuk menciptakan iklim berusaha yang
sehat, kebijaksanaan berupa pembebasan sebagian cukai hasil tembakau buatan dalam negeri
masih tetap diberikan sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
54 Tahun 1994, dimana klasiftkasi tarif maupun produksi daripada jenis-jenis cukai hasil
tembakau yang berlaku dalam tahun anggaran 1994/95 masih sama dengan tahun anggaran
sebelumnya. Guna menjamin pita cukai hasil temabaku, dimana desain pita cukai selama ini
berlaku tidak lagi terjamin keamanannya, maka dipandang perlu untuk menggantikan desain pita
cukai yang baru, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 1994.
Sementara itu penerimaan aneka cukai, yang terdiri dari cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol
Departemen Keuangan RI
77
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sulingan, dipengaruhi oleh perkembangan dan peningkatan produksi serta penyesuaian harga
dasar atas produk-produknya. Untuk jenis cukai gula, upaya peningkatan penerimaan cukainya
tetap diselaraskan dengan penetapan harga dasar gula dan usaha untuk tetap menjaga kestabilan
harga pada tingkat yang wajar. Sedangkan tarif yang berlaku untuk memungut cukainya masih
tetap 4 persen. Berdasarkan pertimbangan bahwa produk bir banyak dikonsumsi oleh golongan
masyarakat menengah ke atas dan berhubungan erat dengan perkembangan kegiatan di sektor
pariwisata, yang dalam perkembangannya telah menyebabkan kenaikan harga jual bir di
peredaran bebas sehingga terdapat selisih yang cukup besar antara harga dasar dan harga jualnya,
maka telah dilakukan penetapan harga dasar baru dari sebesar Rp 1.000 menjadi sebesar Rp
1.300 per liter, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544 Tahun 1994, sedangkan tarif
cukainya masih tetap sebesar 50 persen terhadap harga dasarnya.
Dalam pada itu terhadap alkohol sulingan yang banyak dipergunakan sebagai bahan
pembantu atau bahan baku bagi pembuatan obat-obatan dan produk minuman keras untuk
kebutuhan dalam negeri, tarif cukainya masih tetap 70 persen dari harga dasarnya yang sebesar
Rp 800 per liter. Dalam rangka pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang sama dan
merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan dalam rangka memperluas sumber
penerimaan negara, maka melalui Keputusan Presiden Nomor III Tahun 1993, sejak tanggal 13
November 1993 Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan Stbl. 1989 Nomor 90 Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965, beserta
seluruh peraturan pelaksanaannya, telah diperluas wilayah berlakunya hingga meliputi daerah di
luar pulau Jawa dan Madura. Peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan dari Keppres tersebut
tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 950 Tahun 1993. Perkembangan
penerimaan cukai hasil tembakau maupun aneka cukai dapat diarnati dalam Tabel 11.3.
Departemen Keuangan RI
78
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel 11.3
PENERIMAAN CUKAI, 1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Cukai
Cukai
tembakau
lainnya
Tahun
Jumlah
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
*)
1994/95
*)
APBN
28,1
33,6
35,1
40,6
53,5
4
4,5
5,3
6,7
8,2
32,1
38,1
40,4
47,3
61,7
65,7
83
112,9
159,9
227,7
293,8
390,1
491,7
565,4
697,7
8,7
14,3
17,8
22
25,2
32,6
47,8
52,5
54,7
75,5
74,4
97,3
130,7
181,9
252,9
326,4
437,9
544,2
620,1
773,2
785,9
886,9
993
1.035,20
1.302,30
86,7
56,8
62,8
70,5
87,6
872,6
943,7
1.055,80
1.105,70
1.389,90
1.391,60
1.781,50
2.102,80
2.238,00
2.399,40
85,2
135,8
120
142,8
160,1
1.476,80
1.917,30
2.222,80
2.380,80
2.559,50
2.463,70
159,1
2.622,80
Penerimaan pajak ekspor yang pada awal Repelita I baru mencapai Rp 7,4 miliar, terus
mengalami peningkatan sampai dengan tahun anggaran 1974/75, kemudian mengalami
penurunan dalam tahun anggaran 1975/76, dan selanjutnya meningkat kembali mencapai
puncaknya dalam tahun anggaran 1979/80 yang juga merupakan tahun pertama Repelita III, yang
mencapai Rp 389,1 miliar. Secara keseluruhan dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan
Repelita III penerimaan pajak ekspor mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,8 persen per
tahun. Hal tersebut terjadi, selain disebabkan karena adanya kenaikan nilai ekspor dari beberapa
komoditi tertentu seperti kayu, kopi dan timah, serta adanya penyesuaian nilai tukar rupiah, juga
Departemen Keuangan RI
79
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
karena adanya penyesuaian kembali besarnya tarif pajak ekspor. Penerimaan pajak ekspor dan
pajak ekspor tarnbahan sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari kegiatan
ekspor tidak terlepas dari perkembangan ekspor nonmigas serta kebijaksanaan pemerintah di
bidang ekspor. Oleh karena itu kebijaksanaan pajak ekspor dan pajak ekspor tarnbahan tidak
hanya dilaksanakan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan segi
peningkatan ekspor dan perluasan kesempatan kerja di sektor produksi barang ekspor.
Dalam tahun anggaran 1982/83, yang merupakan tahun keempat Repelita III, penerimaan
pajak ekspor mengalami penurunan dibandingkan dengan penerimaan pajak ekspor tahun
sebelumnya. Hal itu di samping berkaitan dengan lesunya perekonomian dunia yang
mengakibatkan merosotnya harga beberapa komoditi ekspor terpenting di pasaran dunia, juga
dikarenakan adanya kebijaksanaan pembatasan ekspor kayu gelondongan dalam rangka
penyediaan bahan baku untuk industri pengolahan kayu di dalam negeri. Demikian juga dalam
rangka mendorong ekspor serta mempertahankan pasaran minyak kelapa sawit dan hasil-hasilnya
di luar negeri, Pemerintah telah menurunkan tarif pajak ekspor minyak kelapa sawit dan hasilhasilnya menjadi 0 persen.
Lesunya perekonomian dunia dan berbagai hambatan yang dilakukan oleh negara maju
terhadap barang-barang ekspor negara berkembang termasuk Indonesia, menyebabkan
perkembangan harga maupun jumlah barang-barang ekspor nonmigas menjadi terpengaruh.
Karena itu, sejak awal Repelita IV penerimaan pajak ekspor terus mengalami penurunan, dan
baru dalam tahun anggaran 1987/88 penerimaan pajak ekspor kembali meningkat menjadi
sebesar Rp 183,5 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar 132,9 persen dari tahun
sebelumnya. Meningkatnya penerimaan pajak ekspor tersebut di samping disebabkan semakin
membaiknya perekonomian dunia juga disebabkan adanya kebijaksanaan Pemerintah dalam
rangka mendorong ekspor barang jadi dengan mengenakan atau menaikkan tarif pajak ekspor
terhadap beberapa komoditi ekspor, seperti rotan mentah dan kayu gergajian.
Dalam tahun pertama Repelita V penerimaan pajak ekspor masih cutup tinggi, yaitu
sebesar Rp 171,5 miliar. Namun perkembangan dalam tahun-tahun berikutnya penerimaan pajak
ekspor terus menurun dan mencapai titik terendah hanya sebesar Rp 8,5 miliar dalam tahun
anggaran 1992/93. Penurunan penerimaan pajak ekspor tersebut terutama disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan pengenaan tarif pajak ekspor terhadap kayu gergajian dan kayu olahan (KGKO),
Departemen Keuangan RI
80
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1134 Tahun 1989.
Kebijaksanaan tersebut adalah sebagai upaya agar pemanfaatan sumber daya hutan tropis dapat
lebih efisien dan sejalan dengan usaha untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan, di
samping untuk mendorong ekspor barang jadi yang bahan bakunya dari KGKO dan memperluas
kesempatan kerja. Dengan demikian, selain ditentukan oleh volume dan jenis barang ekspor,
tariff pajak ekspor, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, penerimaan pajak ekspor sangat
ditentukan oleh program pengembangan industri yang bertujuan ekspor. Dengan adanya
penetapan besarnya tarif dan tata cara pembayaran serta penyetoran pajak ekspor dan pajak
ekspor tambahan serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait maka penerimaan pajak
ekspor diharapkan dapat kembali mengalami peningkatan.
Dalam rangka mencegah kenaikan harga jual minyak goreng di dalam negeri, melalui
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 telah dikenakan pajak ekspor atas
eksporcrude palm oil (CPO), refined bleached deodorized palm oil (RBD PO), dan refined
bleached deodorized olein (RBD Olein) yang berlaku efektif sejak tanggal 1 September 1994.
Sehubungan dengan kebijaksanaan tersebut, penerimaan pajak ekspor dalam tahun yang sedang
berjalan, yaitu tahun anggaran 1994/95, diharapkan dapat menunjukkan peningkatan yang cutup
berarti. Adapun perkembangan penerimaan perpajakan secara rinci dapat dilihat dalam Tabel II.4.
2.2.2.3. Penerimaan negara bukan pajak
Dengan makin tidak menentunya penerimaan migas, yang sangat tergantung pada
berbagai faktor eksternal, seperti harga minyak mentah di pasar internasional, Pemerintah
berusaha untuk makin mendorong penerimaan di luar migas. Sejalan dengan upaya tersebut,
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga telah berhasil memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap penerimaan dalam negeri.
Penerimaan negara bukan pajak terdiri dari penerimaan negara yang bersumber dari
penerimaan
departemen/lembaga
pemerintah
nondepartemen,
dan
penerimaan
khusus
sehubungan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam berbagai aktivitas dunia usaha. Penerimaan
departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dapat bersifat umum dan fungsional.
Penerimaan yang bersifat umum terdapat pada semua departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen, sedangkan penerimaan yang bersifat fungsional adalah imbalan yang diperoleh
Departemen Keuangan RI
81
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan/atau instansi pemerintah lainnya,
serta penerimaan lain yang bersifat insidentil. Penerimaan negara bukan pajak tersebut, baik yang
bersifat umum maupun fungsional, terdiri dari penerimaan rutin di luar negeri, penerimaan
pendidikan, penerimaan penjualan, penerimaan sewa dan jasa, penerimaan kejaksaan dan
peradilan, penerimaan kembali pinjaman dan lain-lain. Sementara itu penerimaan khusus yang
berkaitan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam berbagai aktivitas dunia usaha adalah berupa
dividen/dana pembangunan semesta/bagian laba pemerintah dan penerimaan bukan pajak
lainnya.
Pajak
1)
Penghasilan
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 5)
Tabel II.4
PENERIMAAN PERPAJAKAN, 1969/70 -1994/95
(dalam miliar rupiah)
Pajak
Bea
Pajak
Pertambahan
Masuk
Ekspor
Nilai 2)
Cukai
Pajak Bumi
3)
Bangunan
Pajak
4)
Lainnya
Jumlah
43
51,3
68
87,9
140,3
31
40,8
46,4
62,3
105,3
57,7
71
69,4
73,2
128,2
32,1
38,1
40,4
47,3
61,7
7,4
25,7
28,1
32,7
68,6
0,1
0,1
0,2
15,4
20
3,5
4,6
7,3
6,7
11,6
174,8
231,6
259,8
325,5
535,7
225,8
305,9
381,9
503,8
617,2
153,8
191,7
264,5
318
346,6
160,6
174
257,4
286,9
295,3
74,4
97,3
130,7
181,9
252,9
70,3
61,6
61,7
81,2
166,2
28,5
35,9
44,3
55,6
68
16,5
17,1
11,7
15,7
19,8
729,9
883,5
1.152,20
1.443,10
1.766,00
792,5
1.112,20
1.367,10
1.706,50
1.932,30
329,4
460,7
533,9
707,6
830,6
316,7
448
536,2
521,9
557
326,4
437,9
544,2
620,1
773,2
389,1
305
128,5
82,5
104
74,6
91,9
100,3
112,5
144,9
21,2
36
38,2
61,2
51,5
2.249,90
2.891,70
3.248,40
3.812,30
4.393,50
2.121,00
2.313,00
2.270,50
2.663,40
3.949,40
878
2.326,70
2.900,10
3.390,40
4.505,30
530,1
607,3
960,1
938,4
1.192,00
872,6
943,7
1.055,80
1.105,70
1.389,90
91
50,5
78,8
183,5
155,6
180,6
224,5
190
275,1
424,2
115
151,2
190,4
222,9
292,1
4.788,30
6.616,90
7.645,70
8.779,40
11.908,50
5.487,70
6.755,30
9.580,40
11.912,60
15.273,10
5.836,70
7.462,70
8.926,10
10.714,40
12.282,30
1.587,00
2.485,70
2.133,10
2.652,20
2.888,10
1.476,80
1.917,30
2.222,80
2.380,80
2.559,50
171,5
44,2
18,8
8,5
13,5
590,4
811
874,6
1.100,60
1.534,30
275,5
243,5
302,6
359,9
285,3
15.425,60
19.719,70
24.058,40
29.129,00
34.836,10
18.842,90
13.238,60
3.443,30
2.622,80
16,4
1.628,70
281,7
40.074,40
1)
Sampai dengan tahun 1983/84, terdiri dari pajak pendapatan, pajak perseroan, MPO dan PBDR.
2)
Sampai dengan tahun 1984/85, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impor.
3)
Sampai dengan tahun 1984/85, terdiri dari Ipeda dan pajak kekayaan.
4)
Terdiri dari penerimaan bea meterai, bea lelang.
5)
APBN
Departemen Keuangan RI
82
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada penerimaan dalam negeri, telah
dilaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak yang
bersumber
dari
departemen/lembaga
pemerintah
nondepartemen,
antara
lain
berupa
penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tara cara penyetoran, dan intensifikasi
pemungutan, serta pengawasan dalam pelaksanaan berbagai penerimaan yang diterima oleh
departemen/lembaga pemerintah nondepartemen tersebut. Di samping itu sejalan dengan
perkembangan perekonomian juga dilakukan penyempurnaan tarif pungutan, dan peningkatan
koordinasi dengan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen terkait.
Selain upaya untuk meningkatkan penerimaan departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari BUMN,
antara lain melalui pembinaan, pengawasan dan pengelolaan terhadap BUMN. Upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN ini dilakukan melalui langkahlangkah restrukturisasi BUMN, antara lain berupa pemantapan status hukum, kerjasama
operasi/kontrak manajemen, konsolidasi/penggabungan dan pemantapan struktur permodalan
melalui penjualan saham kepada pihak ketiga/masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
pasar modal. Sementara itu penilaian efisiensi dan produktivitas perusahaan senantiasa dilakukan
secara berkala melalui penilaian kinerja BUMN, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 826 tanggal 24 Juli 1992, yang merupakan penyempurnaan dari Surat
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi
Dan Produktivitas BUMN. Dalam upaya penyederhanaan proses pengambilan keputusan,
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 741 tanggal 28 Juni 1989
tentang Rencana Jangka Panjang, Rencana Kerja Dan Anggaran Perusahaan Serta Pelimpahan
Kewenangan Pengambilan Keputusan, dijelaskan bahwa wewenang pengambilan keputusan
terhadap hal-hal tertentu dilimpahkan kepada rapat umum pemegang saham (RUPS)/rapat
tahunan dan Dewan Kornisaris/ Dewan Pengawas. Dengan berbagai upaya tersebut di atas,
kontribusi BUMN dalam keseluruhan penerimaan negara bukan pajak berupa dividen/dana
pembangunan semesta/bagian laba pemerintah dan penerimaan bukan pajak lainnya dari laba
BUMN dapat meningkat. Sementara itu dengan meningkatnya efisiensi dan produktivitas,
diharapkan BUMN dapat membina para pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi.
Pembinaan ini antara lain dilakukan melalui pemberian bantuan berupa peningkatan kemampuan
manajemen, keterarnpilan produksi, modal kerja, pemasaran danjarninan kredit perbankan,
Departemen Keuangan RI
83
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan menyisihkan 1-5 persen dari laba BUMN setelah dikurangi pajak. Pemberian bantuan ini
diharapkan dapat meningkatkan peranserta para pengusaha golongan ekonomi lemah dan
koperasi dalam kegiatan perekonomian nasional, dan juga diharapkan dapat memperluas
lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Melalui berbagai upaya tersebut, perkembangan penerimaan negara bukan pajak selama
Repelita V telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, yaitu meningkat rata-rata 17,2
persen per tahun. Penerimaan bukan pajak yang pada awal Repelita V (1989/90) adalah sebesar
Rp 2.062,1 miliar, pada akhir Repelita V (1993/94) telah menjadi hampir 2 kali lipat, sehingga
mencapai sebesar Rp 3.895,3 miliar. Sementara itu pada awal Repelita VI (1994/95) penerimaan
negara bukan pajak direncanakan sebesar Rp 4.292,5 miliar akan 10,2 persen lebih tinggi
daripada realisasinya dalam tahun terakhir Repelita V. Penerimaan ini direncanakan terdiri dari
penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen sebesar Rp 2.742,5 miliar dan
sisanya sebesar Rp 1.550,0 miliar merupakan penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN.
Penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen pada awal Repelita V baru
mencapai Rp 1.331,1 miliar, sedangkan pada akhir Repelita V menjadi lebih dari 1,5 kali lipat,
sehingga mencapai sebesar Rp 2.378,7 miliar. Dengan demikian, dalam Repelita V penerimaan
departemen/lembaga pemerintah nondepartemen telah meningkat rata-rata sebesar 15,6 persen
per tahun. Sedangkan penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN dalam periode yang sama
telah menjadi lebih dari 2 kali lipat, yaitu dari sebesar Rp 731,0 miliar pada awal Repelita V
(1989/90) menjadi sebesar Rp 1.516,6 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94), akan
meningkat rata-rata sebesar 20,0 persen per tahun.
2.2.2.4. Laba bersih minyak (LBM)
Selama ini perkembangan harga minyak mentah di pasar internasional dapat dikatakan
tidak menentu, dan akhir-akhir ini cenderung menurun. Gejolak harga minyak mentah ini
terutama dipengaruhi oleh dua hal pokok, yaitu permintaan dan penawaran minyak di pasar
internasional. Permintaan minyak dunia antara lain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi
dunia, terutama negara-negara maju, dan adanya perubahan musim. Sementara itu penawaran
minyak dunia antara lain dipengarnhi oleh tingkat produksi OPEC dan non-OPEC, serta faktorfaktor nonekonomi, seperti perang, pemogokan buruh minyak, perbaikan fasilitas kilang minyak,
Departemen Keuangan RI
84
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
serta spekulasi pasar. Bagi Indonesia, menurunnya harga minyak, di satu sisi akan menurunkan
penerimaan migas, namun di sisi lain menyebabkan diterimanya laba bersih minyak (LBM),
karena lebih rendahnya biaya pokok pengadaan BBM di dalam negeri dibandingkan dengan hasil
penjualannya.
Dalam APBN 1994/95, dengan perkiraan harga minyak mentah sebesar US$ 16,00 per
barel dan tingkat produksi sebesar 1.530 ribu barel per hari, laba bersih minyak (LBM) yang
diperkirakan akan diterima adalah sebesar Rp 2.519,0 miliar atau menjadi hampir 2,5 kali lipat
dari realisasinya dalam tahun anggaran sebelumnya. Dalam Tabel II.5 dan Grafik II.1 dapat
diikuti perkembangan penerimaan dalam negeri, yang meliputi penerimaan migas, penerimaan
pajak, dan penerimaan bukan pajak selama 26 tahun, sejak tahun pertama Repelita I sampai
dengan tahun pertama Repelita VI.
2.2.3. Penerimaan pembangunan
Pembangunan yang dilaksanakan selama ini secara berencana, menyeluruh, terpadu,
terarah, bertahap dan berlanjut adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan suatu masyarakat
adil makmur yang merata material dan spiritual. Guna melaksanakan pembangunan tersebut,
dibutuhkan dana yang cukup besar yang dipenuhi baik dari sumber dalam negeri maupun sumber
luar negeri. Sumber dana dalam negeri antara lain dapat diperoleh dengan menghimpun dana
masyarakat dan tabungan pemerintah. Sedangkan sumber dana luar negeri diperoleh dari bantuan
luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman. Bantuan luar negeri yang diterima selama ini
berkaitan erat dengan adanya keterbatasan dana dalam negeri yang dapat dihimpun untuk
membiayai pembangunan yang telah direncanakan. Pada hakekatnya bantuan luar negeri
mempunyai peranan sebagai alternatif sumber pembiayaan, sebagai sumber pembiayaan
tambahan, dan sebagai arus modal masuk yang sangat diperlukan untuk mencapai tingkat
pembangunan yang cukup tinggi. Dalam memanfaatkan bantuan luar negeri tersebut, Pemerintah
senantiasa berhati-hati dan penggunaannya hanya untuk membiayai proyek-proyek yang
produktif dan bermanfaat. Dengan demikian, bantuan luar negeri diharapkan dapat memberikan
manfaat yang optimal dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pembayarannya kembali. Hal ini
sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN), yaitu bantuan luar negeri hanya berfungsi sebagai pelengkap dana pembangunan, yang
Departemen Keuangan RI
85
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
diperoleh dengan syarat lunak, tanpa ikatan politik, tidak memberatkan keuangan negara, dan
digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan
memberikan manfaat sebesar-besarya bagi kesejahteraan rakyat, serta peranannya secara bertahap
harus dikurangi.
Tahun
Tabel II.5
PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Penerimaan
Penerimaan
Penerimaan
Penerimaan
minyak bumi
perpajakan
bukan
dalam negeri
1)
pajak
dan gas alam
REPELITA I
1969/70
65,8
174,8
3,1
1970/71
99
231,6
11,5
1971/72
140,7
259,8
27,5
1972/73
230,5
325,5
34,6
1973/74
382,2
535,7
49,8
REPELITA II
1974/75
957,2
729,9
66,6
1975/76
1.248,00
883,5
110,4
1976/77
1.635,30
1.152,20
118,5
1977/78
1.948,70
1.443,10
143,6
1978/79
2.308,70
1.766,00
191,4
REPELITA III
1979/80
4.259,60
2.249,90
187,3
1980/81
7.019,60
2.891,70
315,7
1981/82
8.627,80
3.248,40
336,4
1982/83
8.170,40
3.812,30
435,6
1983/84
9.520,20
4.393,50
519
REPELITA IV
1984/85
10.429,90
4.788,30
687,3
1985/86
11.144,40
6.616,90
1.491,50
2)
1986/87
6.337,60
7.645,70
2.157,3
1987/88
10.047,20
8.779,40
1.916.7
1988/89
9.527,00
11.908,50
1.568,80
REPELITA V
1989/90
11 .252,1
15.425,60
2.062,10
1990/91
17.711,90
19.719,70
2.114,80
1991/92
15.039,10
24.058,40
2.487,30
1992/93
15.330,40
29.129,00
2.993,10
1993/94
12.507,70
34.836,10
4.936,0 2)
REPELITA VI
1994/95 3)
12.851,20
40.074,40
6.811,5 2)
1)
Sampai dengan 1976/77 termasuk penerimaan minyak lainnya
2)
Termasuk LBM
3)
APBN
16.140,60
20.803,30
Dalam kurun waktu pembangunan 25 tahun pertama (PJP I), peranan bantuan luar negeri
sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dalam keseluruhan dana pembangunan diupayakan
Departemen Keuangan RI
86
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
semakin lama semakin mengecil. Menjelang awal Repelita I, kondisi perekonomian Indonesia
menghadapi masa-masa sulit, dengan tingkat inflasi tinggi, defisit anggaran yang tidak terkendali,
dan cadangan devisa rendah. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dalam Repelita I Pemerintah
mengkonsentrasikan pembangunan pada rehabilitasi dan stabilisasi perekonomian. Pada saat itu
sebagian besar bantuan luar negeri yang diterima berupa bantuan program, yang antara lain
digunakan untuk mengimpor bahan pangan dan barang modal yang dibutuhkan dalam rangka
stabilisasi harga dalam negeri. Dalam Repelita I tersebut, peranan bantuan program mencapai
59,3 persen dari keseluruhan bantuan luar negeri yang berjumlah sebesar Rp 708,0 miliar. Namun
demikian, dalam perkembangannya kenaikan bantuan proyek lebih cepat dibandingkan dengan
kenaikan bantuan program, yaitu rata-rata meningkat sebesar 45,7 persen per tahun dibandingkan
bantuan program yang hanya meningkat rata-rata sebesar 8,1 persen per tahun. Hal ini
disebabkan secara bertahap Pemerintah mulai menerima bantuan proyek dengan persyaratan
lunak, yang digunakan untuk perbaikan dan peinbangunan berbagai prasarana dan sarana yang
menunjang produksi dan investasi.
Sejalan dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia dalam Repelita II,
peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri juga semakin menurun. Peranan
bantuan program menurun menjadi hanya sebesar 4,5 persen dari keseluruhan bantuan luar
negeri, sedangkan bantuan proyek meningkat menjadi 95,5 persen dengan nilai sebesar Rp
3.165,8 miliar. Hal ini disebabkan karena dengan semakin majunya perekonomian semakin
banyak pula dana yang dibutuhkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Dalam
perkembangan selanjutnya, sebagian besar bantuan luar negeri yang diterima adalah berupa
bantuan proyek yang berjangka waktu relatif panjang, bantuan dalam bentuk fasilitas kredit
ekspor, dan bantuan komersial untuk berbagai keperluan. Peranan bantuan luar negeri dalam
keseluruhan dana pembangunan menurun dari 55,5 persen dalam Repelita I menjadi 36,3 persen
dalam Repelita II.
Perkembangan perekonomian yang meningkat dalam Repelita II terus berlanjut sampai
dengan Repelita III, terutama pada saat meningkatnya harga minyak mentah di pasar
internasional. Kenaikan harga minyak mengakibatkan meningkatnya penerimaan dalam negeri
dan tabungan pemerintah. Sejalan dengan itu, ketergantungan pembiayaan pembangunan pada
sumber dana luar negeri pun menurun, sehingga peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan
dana pembangunan menjadi hanya sebesar 30,5 persen. Namun secara absolut jumlah
Departemen Keuangan RI
87
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
keseluruhan bantuan luar negeri meningkat dari Rp 3.316,3 miliar dalam Repelita II menjadi
sebesar Rp 10.406,3 miliar dalam Repelita III.
Pada tahun terakhir Repelita III harga minyak di pasar dunia mulai menurun dan terus
berlanjut sampai dengan Repelita IV. Mengingat peranan penerimaan migas dalam keseluruhan
penerimaan dalam Negeri dalam periode tersebut masih dominan, penurunan harga minyak yang
cukup tajam tersebut telah mengakibatkan menurunnya kondisi perekonomian Indonesia,
terganggunya neraca pembayaran dan menurunnya cadangan devisa. Penerimaan di luar migas,
khususnya pajak pada saat itu belum berkembang, sehingga sumber dana pengganti yang dapat
segera diperoleh adalah bantuan luar negeri. Oleh karena itu peranan bantuan luar negeri dalam
keseluruhan dana pembangunan dalam Repelita IV meningkat kembali menjadi 56,9 persen
dengan nilai sebesar Rp 28.951,5 miliar, dengan peningkatan tertinggi tetjadi dalam tahun
terakhir Repelita IV, dimana peranannya dalam keseluruhan dana pembangunan mencapai
sebesar 81,5 persen. Di lain pihak meningkatnya peranan bantuan luar negeri tersebut diikuti
dengan meningkatnya bantuan program, terutama bantuan program yang berbentuk dana yang
mudah atau dapat cepat dicairkan, yang diperlukan untuk memperbaiki neraca pembayaran. Oleh
karena itu peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri yang dalam Repelita
III hanya sebesar 2,0 persen, dalam Repelita IV meningkat menjadi sebesar 16,8 persen.
Untuk
mengatasi
kesulitan
yang
terjadi,
Pemerintah
melakukan
serangkaian
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang saling terkait, yang dimulai sejak akhir
Repelita III sampai sekarang. Kebijaksanaan ini mulai menunjukkan hasilnya dalam Repelita V,
yaitu dengan meningkatnya kembali kegiatan perekonomian dan penerimaan dalam negeri di luar
migas. Hal ini mengakibatkan penerimaan dalam negeri meningkat dengan tajam dan peranan
penerimaan migas mulai menurun. Sejalan dengan itu, peranan bantuan luar negeri dalam
keseluruhan dana pembangunan juga menurun kembali menjadi sebesar 49,3 persen, sedangkan
peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri menurun menjadi sebesar 9,7
persen.
Pada saat ini bangsa Indonesia telah memasuki masa pembangunan 25 tahun kedua (PJP
II) dengan berbagai permasalahan, seperti melemahnya nilai tukar Dolar Amerika Serikat
terhadap mata uang kuat dunia lainnya, semakin terbatasnya dana bantuan luar negeri, dan
semakin berkurangnya pinjaman-pinjaman bersyarat lunak. Untuk mengatasi kondisi tersebut,
Departemen Keuangan RI
88
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan pembangunan,
khususnya melalui peningkatan penerimaan perpajakan. Dalam APBN 1994/95 bantuan luar
negeri hanya terdiri dari bantuan proyek, dan peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan
dana pembangunan diharapkan menurun menjadi sebesar 36,5 persen dengan nilai sebesar Rp
10.012,0 miliar. Rincian perkembangan penerimaan pembangunan, yang terdiri dari bantuan
program dan bantuan proyek, dapat dilihat pada Tabel II.6.
Tabel II.6
PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Bantuan
Bantuan
Tahun
program
1)
proyek
Jumlah
REPELITA I
1969/70
65,7
25,3
91
1970/71
78,2
41,6
119,8
1971/72
90,5
45
135,5
1972/73
95,5
62,3
157,8
1973/74
89,8
114,1
203,9
REPELITA II
1974/75
36,1
195,9
232
1975/76
20,2
471,4
491,6
1976/77
10,2
773,6
783,8
1977/78
35,8
737,6
773,4
1978/79
48,2
987,3
1.035,50
REPELITA III
1979/80
64,8
1.316,30
1.381,10
1980/81
64,1
1.429,70
1.493,80
1981/82
45,1
1.663,90
1.709,00
1982/83
15,1
1.924,90
1.940,00
1983/84
14,9
3.867,50
3.882,40
REPELITA IV
1984/85
69,3
3.408,70
3.478,00
1985/86
69,2
3.503,40
3.572,60
1986/87
1.957,50
3.794,70
5.752,20
1987/88
727,8
5.430,20
6.158,00
1988/89
2.040,70
7.950,00
9.990,70
REPELITA V
1989/90
1.007,20
8.422,10
9.429,30
1990/91
1.396,80
8.507,80
9.904,60
1991/92
1.563,40
8.845,70
10.409,10
1992/93
511,7
10.204,00
10.715,70
1993/94
440,8
9.931,10
10.371,90
REPELITA VI
10.012,00
10.012,00
1994/95 2)
1)
Sejak 1986/87, bantuan program termasuk bantuan luar negeri dalam bentuk rupiah
2)
APBN
Departemen Keuangan RI
89
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
2.2.4. Pengeluaran rutin
Sebagai bagian dari piranti kebijaksanaan fiskal, pengeluaran rutin mempunyai peranan
dan fungsi yang cukup penting di dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan
sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dan Repelita. Sekalipun pengeluaran tersebut tidak
secara langsung berkaitan dengan kegiatan pembentukan modal untuk tujuan peningkatan
produksi, namun strategi dan arah kebijaksanaan pengeluaran rutin berpengaruh luas di dalam
menunjang tercapainya sasaran pembangunan melalui peranannya mendukung kelancaran
kegiatan operasional pemerintahan, terpeliharanya berbagai kekayaan negara dan hasil-hasil
pembangunan, peningkatan jangkauan dan motu pelayanan kepada masyarakat, serta
pembentukan tabungan pemerintah yang semakin meningkat sebagai sumber utama dana
pembangunan. Selain dari itu, pengeluaran rutin juga memegang peranan yang sangat penting,
baik dalam rangka mendukung program pemerataan melalui bantuan kepada daerah, maupun
dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu
dan jumlah sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati.
Selama pelaksanaan PJP I sampai dengan tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, jumlah
dan peranan pengeluaran rutin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara senantiasa
mengalami peningkatan sejalan dengan perkembangan organisasi, tugas dan fungsi pemerintah
dalam rangka melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang semakin
meningkat dan meluas. Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan
pembiayaan yang diperlukan bagi pendayagunaan aparatur pemerintah pusat dan daerah,
pembiayaan operasional dan pemeliharaan, meningkatnya pembiayaan untuk pembayaran bunga
dan deilan hutang luar negeri, serta pembiayaan untuk mendukung dan menunjang berbagai
program pemerintah lainnya. Sekalipun demikian, pelaksanaan pengeluaran rutin terus
diupayakan secara lebih terarah dan terkendali agar pengalokasiannya pada setiap jenis
pengeluaran dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif sehingga dana yang tersedia dapat
dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan yang optimal dari dana ini sangat penting mengingat
keterbatasan kemampuan keuangan negara, sedangkan kebutuhan pembiayaan nyata yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan terus
meningkat. Dengan demikian, dana dalam negeri yang telah berhasil dihimpun harus dapat
dimanfaatkan secara maksimal, bukan saja bagi kelangsungan dan kelanearan jalannya roda
pemerintahan, tetapi lebih dari itu dapat menjadi inti penggerak roda pembangunan nasional.
Departemen Keuangan RI
90
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah pengendalian dan penghematan
pengeluaran rutin yang dilaksanakan selama ini tetap dipertahankan dan semakin ditingkatkan
pelaksanaannya tanpa mengganggu kelancaran jalannya administrasi dan roda pemerintahan.
Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui berbagai upaya penyempurnaan pengelolaan
pengeluaran rutin, yang antara lain meliputi peningkatan dayagunadan hasil guna aparatur
pemerintah, pengendalian dan pemanfaatan secara maksimal pengeluaran belanja operasional dan
pemeliharaan, serta pengurangan secara bertahap berbagai maeam subsidi yang dipandang dari
segi prioritas pembangunan tidak terlalu mendesak.
Peningkatan dayaguna dan hasilguna aparatur pemerintah berkaitan erat dengan
kebijaksanaan pemerintah yang memberikan prioritas yang lebih besar terhadap alokasi anggaran
bagi program pendayagunaan aparatur pemerintah, program pengembangan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia, serta program pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemberian
prioritas tersebut didasarkan pada kenyataan, bahwa program-program tersebut merupakan faktor
utama penunjang keberhasilan kegiatan pembangunan. Peningkatan dayaguna dan hasilguna
aparatur pemerintah senantiasa mendapat perhatian yang cukup besar dari Pemerintah, oleh
karena peningkatan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan keberhasilan pelaksanaan
tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan yang semakin berat di masa-masa mendatang
adalah sangat tergantung pada kualitas aparatur pelaksananya. Dengan demikian diharapkan,
bahwa peningkatan kualitas aparatur pemerintah akan mampu memberikan peranan dan makna
yang lebih besar terhadap upaya peningkatan kegiatan ekonomi nasional dan pelaksanaan
berbagai program pembangunan.
Selain dialokasikan untuk pembiayaan aparatur pemerintah, pengeluaran rutin juga
dialokasikan untuk pembiayaan operasional dan pemeliharaan. Pembiayaan ini meliputi belanja
barang dalam negeri, belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, serta lain-lain
pengeluaran rutin di luar subsidi bahan bakar minyak (BBM). Disadari bahwa dana yang
disediakan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kegiatan operasional
dan pemeliharaan sangat terbatas, terutama apabila dikaitkan dengan kebutuhan pembiayaan
operasional dan pemeliharaan yang sangat besar pada berbagai instansi dan lembaga pemerintah.
Namun demikian, Pemerintah senantiasa berupaya agar keterbatasan dana tersebut tidaklah
menjadi hambatan bagi kelancaran kegiatan operasional pemerintahan, dan diupayakan agar dana
tersebut dapat dialokasikan secara lebih efisien dan efektif melalui pengendalian dan
Departemen Keuangan RI
91
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengkoordinasian secara berkesinambungan, baik dalam pengadaan barang dan jasa maupun
dalam pemeliharaan kekayaan negara dan hasil-hasil pembangunan. Dalam hal pengadaan barang
dan jasa, diupayakan sedapat mungkin memanfaatkan produksi dalam negeri dan memberikan
peran yang lebih besar kepada pengusaha setempat dan pengusaha golongan ekonomi lemah
dalam pengadaannya. Dengan demikian, diharapkan hal tersebut bukan saja mampu mendukung
kelancaran jalannya roda pemerintahan dan berkembangnya kegiatan ekonomi dan dunia usaha
dalam negeri, tetapi juga dapat menciptakan pemerataan usaha yang lebih sehat, peningkatan
lapangan kerja dan kesempatan kerja, serta mendukung pengusaha golongan ekonomi lemah agar
lebih berperan dalam pembangunan.
Jenis pengeluaran lain yang merupakan bagian yang cukup besar dalam pengeluaran rutin
adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Jenis pengeluaran ini sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga kebutuhan dana yang diperlukan untuk
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut berfluktuasi sejafan dengan perubahan
faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
dipengaruhi dua factor utama, yaitu besarnya hutang luar negeri yang telah jatuh tempo dan
perkembangan nilai tukar, baik antar valuta asing maupun antara valuta asing dengan rupiah,
yang perkembangannya sangat tergantung pada keadaan perekonomian internasional.
Dalam hal pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, sejak awal pelaksanaan
Repelita I, Pemerintah senantiasa berupaya untuk terus memenuhi setiap kewajiban pembayaran
bunga dan cicilan hutang luar negeri yang telah jatuh tempo. Dengan adanya kebijaksanaan
tersebut, walaupun dalam tahun-tahun tertentu dirasakan cukup memberatkan bagi anggaran
pendapatan dan belanja negara dan neraca pembayaran, namun dalam jangka panjang
kebijaksanaan tersebut dirasakan memberikan manfaat yang lebih besar, terutama dalam menjaga
kepercayaan dari negaranegara dan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi pinjarnan.
Kebijaksanaan tersebut pada gilirannya bukan saja mempertebal keyakinan negara-negara
tersebut terhadap kemampuan perekonomian nasional dalam menanggung beban pembayaran
bunga dan cicilan hutang luar negeri yang telah digunakan dalam membiayai pembangunan,
namun lebih dari itu sekaligus lebih mendorong terwujudnya hubungan kerja sama ekonomi yang
saling menguntungkan di masa-masa mendatang.
Selain pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, jenis pengeluaran rutin yang
Departemen Keuangan RI
92
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dipengaruhi oleh faktor eksternal adalah subsidi BBM. Besarya subsidi BBM berfluktuasi sesuai
dengan perkembangan harga minyak mentah di pasar dunia dan nilai tukar antar valuta asing dan
antara valuta asing dengan rupiah. Selain itu juga tergantung kepada tingkat konsumsi bahan
bakar minyak di dalam negeri dan kebijaksanaan pemerintah dalam menyesuaian harga BBM
dalam negeri.
Berbagai strategi dan arah kebijaksanaan di atas secara keseluruhan telah mendorong
peningkatan pengeluaran rutin setiap tahunnya. Selama Repelita I, Repelita II, Repelita III,
Repelita IV, dan Repelita V, pengeluaran rutin mengalami peningkatan rata-rata per tahun
masing-masing sebesar 34,7 persen, 28,2 persen, 20,0 persen, 21,8 persen, dan 12,4 persen.
Sedangkan dalam tahun pertama Repelita VI, pengeluaran rutin secara keseluruhan direncanakan
mencapai Rp 42.350,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 3.551,5 miliar atau
9,2 persen bila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita V. Dengan demikian sejak tahun
pertama Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, pengeluaran rutin secara
keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,5 persen per tahun. Perkembangan
pengeluaran rutin secara rinci sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran
1994/95 dapat diikuti dalam Tabel II.7
Departemen Keuangan RI
93
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.7
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 *)
*)
APBN
PENGELUARAN RUTIN, 1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Belanja
Belanja
Subsidi Bunga dan
pegawai
barang
daerah
cicilan
otonom
hutang
Lainlain
Jumlah
103,8
131,4
163,4
200,4
268,9
50,3
62,6
67,1
95,4
110,1
44,1
56,2
66,8
83,9
108,6
14,4
25,6
46,6
53,4
70,7
3,9
12,4
5,2
5
155
216,5
288,2
349,1
438,1
713,3
420,1
593,9
636,6
893,2
1.001,60
175,2
304,9
339,8
376,8
419,5
201,9
284,5
313
478,4
522,3
73,7
78,5
189,5
228,3
534,5
145,2
70,8
150,9
172,2
265,8
1.016,10
1.332,60
1.629,80
2.148,90
2.743,70
1.419,90
2.023,30
2.277,10
2.418,10
2.757,00
569
670,6
922,7
1.041,20
1.057,10
669,9
976,1
1.209,10
1.315,40
1.547,00
684,1
784,8
931,1
1.224,50
2.102,60
718,9
1.345,20
1.637,60
997,1
948,1
4.061,80
5.800,00
6.977,60
6.996,30
8.411,80
3.046,80
4.018,30
4.310,60
4.616,90
4.998,20
1.182,80
1.367,10
1.366,50
1.329,30
1.491,60
1.883,30
2.489,00
2.649,70
2.815,60
3.037,70
2.776,50
3.323,10
5.058,10
8.204,60
10.940,20
539,6
754
174,4
515,1
271,3
9.429,00
11.951,50
13.559,30
17.481,50
20.739,00
6.201,50
7.053,50
8.102,50
9.465,70
11.213,70
1.701,60
1.830,3'
2.372,70
2.870,10
3.042,40
3.566,40
4.236,60
4.834,20
5.283,20
6.796,10
11.938,70
13.394,60
13.433,80
15.217,10
17.287,80
922,9
3.482,70
1.484,40
1.195,J
459,3
24.331,10
29.997,70
30.227,60
34.031,20
38.799,30
13.010,50
3.750,50
7.094,90
17.969,70
525,2
42.350,80
2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah
Semakin pesat dan beragamnya kegiatan pembangunan membawa konsekuensi akan
kebutuhan aparatur yang berkualitas dan mampu mengimbangi perkembangan dan meluasnya
cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan
kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu, pembiayaan aparatur pemerintah, yang merupakan
salah satu unsur penunjang dalam usaha peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan
Departemen Keuangan RI
94
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
aparatur pemerintah, senantiasa diarahkan untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai
terhadap upaya peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan
seluruh unsur aparatur pemerintahan. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud administrasi
pemerintahan yang tertib, bersih, dan berwibawa, dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme aparatur
pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu melayani,
mengayomi, dan peka terhadap berbagai panuangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat,
tetapi lebih dari itu juga mampu menumbuhkan prakarsa dan reran aktif masyarakat dan dunia
usaha dalam pembangunan, serta mampu memanfaatkan potensi dan peluang dari perkembangan
ekonomi nasional dan internasional bagi kepentingan pembangunan nasional.
Berbagai upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah
menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang
ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang
kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan
organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah
dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan di
bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan peraturan,
ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu upaya peningkatan dan
penyempurnaan di bidang kepegawaian antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem
formasi dan pengadaan pegawai, pembinaan karier pegawai, perbaikan penghasilan pegawai dan
pensiun, serta pengembangan sistem informasi pegawai.
Penyempurnaan formasi dan pengadaan pegawai diarahkan tidak hanya kepada
kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya efisiensi, yaitu didasarkan pada
kebutuhan nyata satuan kerja berdasarkan analisis jabatan. Sedangkan pembinaan karier
diarahkan untuk mencapai produktivitas aparatur yang optimal, yang antara lain dilakukan
melalui penempatan pegawai pada tugas dan jabatan yang tepat, penyempurnaan pelayanan
kenaikan pangkat, pengembangan jabatan fungsional, penyempurnaan sistem pendidikan dan
pelatihan, serta penerapan disiplin pegawai. Melalui penyempurnaan pelayanan kenaikan pangkat
selain dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang semakin baik dalam bidang kepegawaian,
juga dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada pegawai sesuai dengan prestasi dan
pengabdian pegawai, sehingga pada gilirannya dapat menjadi pendorong bagi aparatur
Departemen Keuangan RI
95
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pemerintah untuk terus berusaha meningkatkan kualitas dan kemampuannya dalam memberikan
dharma baktinya bagi negara dan masyarakat. Sementara itu melalui pengembangan jabatan
fungsional diharapkan dapat ditingkatkan profesionalisme pegawai, sehingga memungkinkan
pegawai mengembangkan potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki
serta tidak terhambat oleh terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil,
diharapkan mutu profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier
yang berorientasi pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan.
Selain melalui penyempurnaan dalam pengurusan kenaikan pangkat dan pengembangan
tunjangan fungsional, pembinaan karier juga dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, baik
melalui pendidikan dan pelatihan bidang administrasi maupun Diktat penyesuaian tugas dan
teknis fungsional. Melalui pendidikan dan pelatihan, kepada pegawai negeri diberi kesempatan
untuk mengikuti pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu.
Di samping itu diberikan Diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam
jenis pekerjaan tertentu, penataan untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai
kebijaksanaan pemerintah, serta pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut, sebagian besar dari pembiayaan aparatur
pemerintah dialokasikan untuk peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur
pemerintah di bidang kepegawaian, termasuk perbaikan kesejahteraan pegawai. Kebijaksanaan
yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut
aspek finansial, tetapi juga aspek nonfinansial. Kebijaksanaan yang bersifat finansial
dikembangkan di dalam kerangka kebijaksanaan keuangan negara secara keseluruhan dengan
mempertimbangkan sumber-sumber penerimaan negara dan sasaran-sasaran pembangunan yang
akan dicapai. Oleh schab itu, kebijaksanaan finansial selalu diimbangi oleh kebijaksanaan
nonfinansial, seperti pemberian kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, peningkatan
pelayanan pemberian pensiun otomatis, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui
bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan perumahan.
Departemen Keuangan RI
96
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sebagai aparat pelaksana program-program pemerintah, aparatur pemerintah memiliki
hak untuk memperoleh penghasilan yang layak, yang merupakan batas jasa atau penghargaan atas
hasil kerja, pengorbanan dan pengabdian dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan.
Selama PJP I telah beberapa kali diambil kebijaksanaan untuk menaikkan gaji pegawai negeri
sipil, anggota ABRI dan pensiunan. Kebijaksanaan tersebut diambil dalam rangka perbaikan
penghasilan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian,
perbaikan struktur gaji pokok, pemberian gaji bulan ke tiga belas, pemberian tunjangan perbaikan
penghasilan (TPP), penyesuaian tunjangan struktural dan tunjangan isteri/suami, maupun
perluasan pemberian tunjangan fungsional. Dengan demikian, melalui kebijaksanaan peningkatan
penghasilan tersebut diharapkan pendapatan yang diterima pegawai akan mampu mengimbangi
perkembangan tugas-tugas yang dihadapinya.
Perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 Januari 1993. Kenaikan gaji
pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat
besarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari gaji pokok.
Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula untuk memperkecil
perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dari tertinggi. Apabila
berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 perbandingan
antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25 dari 1
berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun 1993
perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7.
Selain dari itu, dalam Keppres Nomor 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang
merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, antara lain terdapat perubahan yang
berkaitan dengan jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan beras. Apabila
dalam peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh
tunjangan penghasilan dan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak,
maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang
anak. Maksud utama dari diberlakukannya ketentuan tersebut sebenarnya tidak terkait langsung
dengan aspek anggaran, tetapi lebih ditujukan dalam rangka mendukung program pemerintah di
bidang kependudukan dan program peningkatan kesejahteraan keluarga.
Departemen Keuangan RI
97
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai,
realisasi anggaran untuk gaji dari pensiun, yang merupakan bagian terbesar dari belanja pegawai
pusat, mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun 1969/70,
realisasi pembayaran gaji dari pensiun baru mencapai Rp 56,4 miliar, maka dalam APBN
1994/95 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 10.456,2 miliar, yang berarti
mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,2 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan
tersebut, proporsi pembayaran gaji dari pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga
mengalami peningkatan dari sebesar 54,3 persen dalam tahun 1969/70 menjadi sebesar 80,4
persen dalam tahun 1994/95.
Selanjutnya perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan
pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk-pauk, lain-lain belanja pegawai dalam
negeri, dari belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena
adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan
harga pasar, sedangkan peningkatan uang makan/lauk-pauk selain disebabkan oleh adanya
penyesuaian satuan biaya makan/lauk-pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang
makan bagi anggota ABRI, pelaut, petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah,
anak asuh dan orang jompo pada panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana.
Penyesuaian satuan biaya makan/lauk-pauk terakhir kalinya diberikan melalui peningkatan satuan
biaya makan/lauk-pauk untuk anggota ABRI dari Rp 1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari
yang berlaku sejak 1 April 1994.
Sementara itu peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain
disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban
tugasnya harus bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. Sedangkan peningkatan belanja
pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah pegawai pada kantor perwakilan di
luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang didasarkan pada angka dasar
tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN), serta
perubahan nilai tukar matauang dari negara bersangkutan terhadap rupiah. Perkembangan belanja
pegawai sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat diikuti
dalam Tabel II.8.
Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang
Departemen Keuangan RI
98
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan
aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta
mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan
dan pembangunan daerah. Belanja pegawai daerah merupakan subsidi dari pusat yang selain
digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk menampung pengeluaran bagi
aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti guru SD Inpres, serta tenaga medis
dan paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dengan demikian, belanja
pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang terselenggaranya pemerataan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai.
Tabel II.8
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 *)
*)
APBN
BELANJA PEGAWAI, 1969/70 -1994/95
(dalam miliar rupiah)
Tunjangan Gaji dan
Uang
Lain-lain
beras
pensiun
makan
belanja
peg. d.n.
Belanja
pegawai
l.n.
Jumlah
28,8
33,5
31,9
31,3
50,6
56,4
70,6
99,7
131,6
173,9
10,7
11,7
12,1
14,6
16,8
3,8
10,8
14,5
17,3
20,2
4,1
4,8
5,2
5,6
7,4
103,8
131,4
163,4
200,4
268,9
59,5
111,9
114,9
126,2
132,8
301,7
400
424.8
672,9
760,3
24,4
43,5
45,7
47,8
51,2
24,7
25,8
36,9
31,5
33,6
9,8
12,7
14,3
14,8
23,7
420,1
593,9
636,6
893,2
1.001,60
179,9
252
253,3
289,9
346,1
1.053,90
1.482,90
1.660,40
1.749,00
1.996,00
109,9
193,2
240,5
254,9
261,3
47,1
61,2
79,5
78,6
87,6
29,1
34
43,4
45,7
66
1.419,90
2.023,30
2.277,10
2.418,10
2.757,00
407
402
406,1
450,6
518,3
2.206,60
3.072,60
3.330,00
3.561,00
3.832,70
271,4
300,4
288,3
299,1
326,9
89,7
161,1
176,6
176,3
185,1
72,1
82,2
109,6
129,9
135,2
3.046,80
4.018,30
4.310,60
4.616,90
4.998,20
588,4
639,8
922,4
887,9
905,2
4.826,00
5.570,50
6.299,30
7.532,80
9.166,50
373,1
381,7
393,2
473,4
497,8
242,6
263,6
278,5
313,1
342,2
171,4
197,9
209,1
258,5
302
6.201,50
7.053,50
8.102,50
9.465,70
11.213,70
1.039,30
10.456,20
783
391,5
340,5
13.010,50
Departemen Keuangan RI
99
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya
perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selama dua Repelita terakhir, peningkatan yang cukup
berarti terjadi dalam Repelita V. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi belanja
pegawai daerah baru mencapai Rp 1.680,1 miliar, maka dalam tahun 1988/89 telah meningkat
menjadi Rp 2.778,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 13,4 persen per tahun.
Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja pegawai daerah telah meningkat dari
Rp 3.338,1 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi Rp 6.418,5 miliar dalam tahun 1993/94, yang
berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,8 persen setiap tahunnya. Lebih
tingginya peningkatan rata-rata selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun 1989/90 dan tahun
1991/92, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun 1993/94, yang secara langsung
berpengaruh pula pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah. Sementara itu pada
awal PJP II (1994/95), disediakan anggaran sebesar Rp 6.665,3 miliar untuk belanja pegawai
daerah, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 3,8 persen apabila dibandingkan pada tahun
1993/94. Dengan berbagai keadaan tersebut, maka secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi
aparatur pemerintah juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja
pegawai pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan
aparatur pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9.
Tabel II.9
PEMBIAYAAN APARATUR PEMERINTAH, 1984/85 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Belanja
Belanja
Pengeluaran
pegawai
pegawai
rutin
pusat
daerah
%
Jumlah
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 *)
*)
3.046,80
4.018,30
4.310,60
4.616,90
4.998,20
1.680,10
2.247,60
2.410,20
2.592,30
2.778,60
4.726,90
6.265,90
6.720,80
7.209,20
7.776,80
9.429,00
11.951,50
13.559,30
17.481,50
20.739,00
50,1
52,4
49,6
41,2
37,5
6.201,50
7.053,50
8.102,50
9.465,70
11.213,70
3.338,10
3.961,40
4.519,80
4.906,30
6.418,50
9.539,60
11.041,90
12.622,30
14.372,00
17.632,20
24.331,10
29.997,70
30.227,60
34.031,20
38.799,30
39,2
36,7
41,8
42,2
45,4
13.010,50
6.665,30
19.675,80
42.350,80
46,5
APBN
Departemen Keuangan RI
100
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan
Pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang tidak
hanya membutuhkan dana investasi yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai
sektor saja, tetapi juga membutuhkan dana yang semakin meningkat pula bagi pembiayaan
operasional dan pemeliharaannya, sehingga berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan
yang telah dicapai dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kelancaraan
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, serta untuk peningkatan jumlah
dan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Peningkatan pembiayaan operasional dan
pemeliharaan tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan pembiayaan operasional
sehubungan dengan adanya perubahan struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan
dibukanya beberapa kantor cabang instansi pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan
pemerintah di luar negeri, sehingga memerlukan tambahan prasarana dan sarana kerja yang
dibutuhkan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan
operasionalnya.
Selain daripada itu peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga
disebabkan oleh semakin meningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan sarana
kerja serta proyek-proyek yang telahselesai dibangun. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset
negara tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara
pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan sarli kesatuan yang terpadu, yang tidak
dapat dipisahkan atau ditunda. Dengan pemeliharaan yang baik, selain dapat dicegah kerusakan
dini dari prasarana dan sarana kerja, juga diharapkan dapat meningkatkan dayaguna, hasilguna
dan manfaat yang optimal, serta memperpanjang umur ekonomis dari investasi yang telah
ditanamkan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan efisiensi
dan produktivitas sehingga mampu menunjang kelangsungan pembangunan nasional.
Sekalipun pembiayaan operasional dan pemeliharaan cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya, namun pengalokasian dana tersebut senantiasa diupayakan tetap mengarah
kepada tercapainya dayaguna dan hasilguna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan
keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran
Departemen Keuangan RI
101
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja
barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, dan lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM.
Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun pertama Repelita VI
(1994/1995), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan
perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan
operasional juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai
pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur
pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9.
2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan
Pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang tidak
hanya membutuhkan dana investasi yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai
sektor saja, tetapi juga membutuhkan dana yang semakin meningkat pula bagi pembiayaan
operasional dan pemeliharaannya, sehingga berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan
yang telah dicapai dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kelancaraan
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, serta untuk peningkatan jumlah
dan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Peningkatan pembiayaan operasional dan
pemeliharaan tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan pembiayaan operasional
sehubungan dengan adanya perubahan struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan
dibukanya beberapa kantor cabang instansi pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan
pemerintah di luar negeri, sehingga memerlukan tambahan prasarana dan sarana kerja yang
dibutuhkan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan
operasionalnya.
Selain daripada itu peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga
disebabkan oleh semakin meningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan sarana
kerja serta proyek-proyek yang telah selesai dibangun. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset
negara tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara
pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang tidak
Departemen Keuangan RI
102
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dapat dipisahkan atau ditunda. Dengan pemeliharaan yang baik, selain dapat dicegah kerusakan
dini dari prasarana dan sarana kerja, juga diharapkan dapat meningkatkan dayaguna, hasilguna
dan manfaat yang optimal, serta memperpanjang umur ekonomis dari investasi yang telah
ditanamkan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan efisiensi
dan produktivitas sehingga mampu menunjang kelangsungan pembangunan nasional.
Sekalipun pembiayaan operasional dan pemeliharaan cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya, namun pengalokasian dana tersebut senantiasa diupayakan tetap mengarah
kepada tercapainya dayaguna dan hasilguna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan
keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran
rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja
barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, dan lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM.
Tabel II.10
PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/85 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Belanja
Belanja
Pengeluaran
barang
ai
rutin
SDO
lainnya
Tahun
Jumlah
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 2)
1)
2)
1.182,80
1.367,10
1.366,50
1.329,30
1.491,60
203,2
241,4
239,5
223,3
259,1
32,9
379,8
174,4
113,3
138,2
1.418,90
1.988,30
1.780,40
1.665,70
1.888,90
1.701,60
1.830,30
2.372,70
2.870,10
3.042,40
228,3
275,2
314,4
376,9
377,6
217
181,7
454,7
503,3
459,3
2.146,90
2.287,20
3.141,80
3.750,30
3.879,30
3.750,50
429,6
525,2
4.705,30
Tidak termasuk subsidi BBM
APBN
Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun pertama Repelita VI
(1994/1995), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan
perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan
Departemen Keuangan RI
103
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
operasional dan pemeliharaan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi belanja barang baru
mencapai sebesar Rp 50,3 miliar, maka dalam APBN 1994/95 dianggarkan sebesar Rp 3.750,5
miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 18,8 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebut
diperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, yang mengalami peningkatan untuk mendukung
ketersediaan sarana dan prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta
pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di
berbagai instansi. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan belanja barang juga
diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan sehubungan dengan
penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, dan perkembangan nilai tukar
matauang dunia.
Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, baik belanja barang dalam negeri
maupun belanja barang luar negeri, peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga
disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja nonpegawai daerah otonom. Peningkatan
anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kebutuhan anggaran untuk
membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan operasionalnya maupun bagi
pelayanan yang semakin meningkat kepada masyarakat umum, pengembangan perekonomian
daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang merupakan wewenang dan
tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana tersebut antara lain dipergunakan untuk
subsidi belanja penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, untuk ganjaran daerah
tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan,
tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah desa, subsidi belanja pengembangan institusi,
serta lain-lain belanja nonpegawai daerah. Di samping itu peningkatan subsidi belanja
nonpegawai daerah otonom juga diperlukan untuk menampung subsidi belanja penyelenggaraan
urusan desentralisasi, terutama bagi subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri,
bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian
untuk menunjang usaha pertambangan daerah.
Subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri merupakan kelanjutan dari
kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan penghapusan sumbangan pembinaan
pendidikan sekolah dasar (SPP-SD). Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah
sakit umum daerah (SBBO-RSUD) digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam
Departemen Keuangan RI
104
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan kepada masyarakat dan meningkatkan peranan
RSUD sebagai tempat memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan
yang bersih, sehat, tertib, dan terpelihara.
Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja nonpegawai daerah, anggaran
pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lain-lain
pengeluaran rutin, di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya diarahkan untuk
menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, yaitu antara lain untuk biaya jasa
pos dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan Pemilu, serta bantuan lainlain, seperti bantuan rutin kepada KONI Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam.
Gambaran lebih rinci mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam
Tabel II.10.
2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang
2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri
Pembayaran hutang dalam negeri pada dasamya merupakan kewajiban pemerintah yang
timbul dari adanya hubungan kerja atau keterkaitan antara pemerintah dengan pihak-pihak lain di
dalam negeri, yang dalam beberapa hal mengakibatkan timbulnya hutang pemerintah.
Sejakawal Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, perkembangan
pembayaran hutang dalam negeri cenderung mengalami peningkatan, sejalan dengan peningkatan
kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi
pembayaran hutang dalam negeri baru mencapai sebesar Rp 1,7 miliar, maka dalam APBN
1994/95 telah meningkat menjadi sebesar Rp 317,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu
tersebut pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,3 persen
per tahun. Meskipun sejak awal PJP I sampai dengan tahun pertama PJP II, pembayaran hutang
dalam negeri mempunyai kecenderungan meningkat setiap tahunnya, namun peranan jenis
pengeluaran ini terhadap pengeluaran rutin relatif sangat kecil, yaitu rata-rata sekitar 0,6 persen.
2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri
Selain menampung kewajiban pembayaran kembali atas hutang pemerintah kepada pihak
Departemen Keuangan RI
105
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ketiga di dalam negeri, pembayaran bunga dan cicilan hutang juga menampung kewajiban
pembayaran kembali bunga dan cicilan hutang pemerintah kepada pihak lain di luar negeri, yakni
negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan internasional yang telah memberikan
bantuan/pinjaman dana bagi pembiayaan pembangunan. Kewajiban tersebut timbul sebagai
akibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di
masa lalu, yang harus dibayar berhubung dengan berakhirnya masa tenggang waktu, dan telah
jatuh temponya masa pembayaran.
Pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan merupakan
salah satu alternatif pembiayaan yang potensial bagi setiap negara. Indonesia yang telah
melaksanakan pembangunan nasionalnya secara terarah dan bertahap sejak awal Repelita I, juga
telah memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai pelengkap bagi dana pembangunan yang
bersumber dari dalam negeri, yang pemanfaatannya diutamakan untuk pembangunan proyekproyek vital dan menyentuh kepentingan masyarakat luas, seperti prasarana dan sarana ekonomi.
Hasil dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri yang diterima selama ini tidak saja
menciptakan landasan yang lebih kuat dan memberikan manfaat yang luas bagi kesejahteraan
masyarakat, tetapi juga mampu memperkukuh struktur dan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian Indonesia pada tingkat yang cukup tinggi.
Menyadari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian berbagai sasaran
pembangunan, Pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga
keuangan internasional pemberi pinjaman tetap memiliki kepercayaan yang besar kepada
Indonesia. Upayaupaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara
baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang
berprioritas tinggi, produktif, dan berorientasi ekspor. Pemanfaatan hutang luar negeri yang
dilakukan secara bijaksana tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas dan martabat
Indonesia di mata dunia internasional, juga dimaksudkan agar beban pembayaran kembali bunga
dan cicilan hutang luar negeri di masamasa mendatang tetap dalam batas kemampuan ekonomi
dan tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Selain daripada itu
upaya mempertahankan kepercayaan pemberi pinjaman juga dilakukan dengan cara memenuhi
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah,
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kebijaksanaan tersebut ditempuh mengingat
penundaan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri akan menimbulkan berbagai
Departemen Keuangan RI
106
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masalah, antara lain menurunnya kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia yang
selanjutnya akan mempersulit untuk mendapatkan pinjaman dan pemasukan modal lainnya.
Untuk itu, Pemerintah senantiasa memegang teguh landasan kebijaksanaan pengelolaan hutang
luar negeri secara berhati-hati dan konsekuen, agar kredibilitas Indonesia dalam mengelola
hutang luar negerinya dapat dipertahankan, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat yang
lebih besar bagi pembangunan nasional di masa-masa mendatang.
Kebijaksanaan dalam pengelolaan dan pembayaran kembali hutang luar negeri serta arah
perkembangan nilai tukar antar matauang yang terjadi sejak tahun pertama Repelita I sampai
dengan tahun pertama Repelita VI telah meningkatkan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri setiap tahunnya. Dalam periode tersebut, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,6 persen per tahun. Peningkatan tersebut
mencerminkan semakin besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, baik dalam
jumlah maupun peranannya terhadap pengeluaran rutin secara keseluruhan. Besarya pembayaran
bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut selain dipengruhi oleh besarnya cicilan pokok dan
jumlah bunga atas pinjaman yang telah jatuh tempo pembayarannya, juga dipengamhi oleh
perkembangan nilai tukar, baik antar valuta asing, maupun antara valuta asing dengan rupiah.
Dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri masih merupakan bagian kecil dari keseluruhan pengeluaran rutin, yaitu masing-masing
baru mencapai 9,3 persen, 11,8 persen, dan 17,3 persen. Memasuki tahun pertama Repelita IV,
beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut mengalami peningkatan yang
cukup pesat, sehingga selama Repelita IV dan Repelita V peranannya terhadap keseluruhan
pengeluaran rutin masing-masing telah mencapai 41,2 persen dan 44,6 persen. Peningkatan yang
cukup pesat tersebut selain disebabkan oleh membesarnya jumlah pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, juga disebabkan penyesuaian nilai tukar rupiah
terhadap Dolar Amerika Serikat dalam tahun 1983 dan 1986 masing-masing sekitar 38 persen
dan 45 persen. Selain daripada itu meningkatnya pembayaran hutang luar negeri tersebut juga
erat kaitannya dengan depresiasi Dolar Amerika Serikat terhadap matauang kuat dunia,
khususnya Yen dan Deutsche Mark. Berbagai perkembangan tersebut telah meningkatkan
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dari sebesar Rp 2.072,8 miliar dalam tahun
terakhir Repelita III menjadi sebesar Rp 10.862,6 miliar dalam tahun terakhir Repelita IV, dan
peranannya dalam keseluruhan pengeluaran rutin meningkat dari sebesar 24,6 persen dalam tahun
Departemen Keuangan RI
107
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
anggaran 1983/84 menjadi sebesar 52,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89.
Sementara itu selama Repelita V realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri juga mengalami peningkatan dari Rp 11.789,9 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi
sebesar Rp 17.167,1 miliar dalam tahun 1993/94. Dengan demikian selama periode tersebut
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri telah mengalami peningkatan rata-rata sekitar
10 persen setiap tahunnya. Sebagaimana dalam Repelita IV, peningkatan pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri selama Repelita V tersebut, di samping disebabkan oleh semakin
banyaknya hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, juga diakibatkan oleh apresiasi Yen
terhadap Dolar Amerika Serikat dan Dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, sehingga jumlah
rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran hutang tersebut juga semakin meningkat.
Sekalipun demikian, dalam rentang waktu Repelita V, peranan pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin mengalami penurunan dari sebesar 48,5
persen dalam tahun anggaran 1989/90 menjadi sebesar 44,2 persen dalam tahun anggaran
1993/94. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh lebih cepatnya peningkatan pengeluaran
rutin keseluruhan dibandingkan dengan peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri. Sementara itu dalam APBN 1994/95, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
mencapai sebesar Rp 17.652,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 2,8 persen
bila dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun mengalami peningkatan dalam jumlah, namun
peranannya terhadap pengeluaran rutin secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya, yaitu menjadi sebesar 41,7 persen. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri serta peranannya terhadap pengeluaran rutin dan anggaran belanja
negara secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11.
Departemen Keuangan RI
108
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.11
PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI
TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA
1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Bunga dan Pengeluaran
Anggaran
hutang
rutin
belanja
luar negeri
negara
Tahun
%
%
-1
-2
-3
-5
-6
-4
REPELITA I
1969/70
12,7
216,5
334,7
3,8
5,9
1970/71
23,6
288,2
457,9
5,2
8,2
1971/72
41
349,1
545
7,5
11,7
1972/73
46
438,1
736,3
6,2
10,5
1973/74
62,5
713,3
1.164,20
5,4
8,8
REPELITA II
1974/75
67,3
1.016,10
1.977,90
3,4
6,6
1975/76
71,7
1.332,60
2.730,30
2,6
5,4
1976/77
165,1
1.629,80
3.684,30
4,5
10,1
1977/78
221
2.148,90
4.305,70
5,1
10,3
1978/79
525,7
2.743,70
5.299,30
9,9
19,2
REPELITA III
1979/80
647,6
4.061,80
8.076,00
8
15,9
1980/81
754
5.800,00
11.716,10
6,4
13
1981/82
915,3
6.977,60
13.917,70
6,6
13,1
1982/83
1.204,70
6.996,30
8,4
17,2 14.355,90
24,6 18.311,00
1983/84
2.072,80
8.411,80
11,3
REPELITA IV
29 19.380,90
1984/85
2.737,20
9.429,00
14,1
27,6 22.824,60
1985/86
3.303,10
11.951,50
14,5
37,3 21.891,30
1986/87
5.058,10
13.559,30
23,1
46,7 26.958,90
1987/88
8.165,50
17.481,50
30,3
52,4 32.989,70
1988/89
10.862,60
20.739,00
32,9
REPELITA V
48,5 38.165,40
1989/90
11.789,90
24.331,10
30,9
43,8 49.449,70
1990/91
13.145,10
29.997,70
26,2
1991/92
13.182,50
30.227,60
25,4
43,6 51.991,80
1992/93
14.942,00
34.031,20
25,7
43,9 58.166,00
1993/94
17.167,10
38.799,30
26,6
44,2 64.460,40
REPELITA VI
17.652,30
42.350,80
25,3
1994/95 *)
41,7 69.749,10
*)
APBN
2.2.4.4. Subsidi
Pada dasarnya pemberian subsidi ditujukan untuk memantapkan stabilitas perekonomian,
khususnya stabilitas harga. Salah satu program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi
adalah dengan memberikan subsidi terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan
Departemen Keuangan RI
109
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kebutuhan pokok masyarakat, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi.
Pemberian subsidi tersebut diharapkan dapat menjamin tersedianya bahan-bahan kebutuhan
pokok masyarakat dalam jumlah yang mencukupi dan harga yang stabil dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Namun demikian, mengingat setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya
dana bagi peningkatan kegiatan pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam
batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta
disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Selama PJP I, Pemerintah pernah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi teras
dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras
nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya dapat
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena produksi beras nasional belum
mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan teras dalam negeri masih diperlukan impor.
Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan pada tingkat yang
dapat terjangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah.
Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang
dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan
dimaksudkan untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi
ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum juga ditujukan
untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian besar bahan
bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan dalam tahun
1973/74 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun 1980/81, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar.
Tingginya subsidi pangan dalam tahun 1980/81 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan
harga beras di luar negeri dan lebih tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya
produksi di dalam negeri. Dengan tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya
daya beli masyarakat, maka sejak tahun terakhir Repelita III (1983/84), alokasi pengeluaran rutin
untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi.
Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang
cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM merupakan
Departemen Keuangan RI
110
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya pengadaan BBM yang
harus dikeluarkan. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil
penjualan BBM dalam negeri, yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah
konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya
pengadaan BBM, yang besarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya
pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan
komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan seringkali
berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar
internasional yang sulit diduga arahnya.
Subsidi BBM diberikan sejak tahun 1977/78, namun kebutuhan subsidi BBM yang cukup
besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga minyak mentah yang
terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu dalam Repelita IV, subsidi BBM cenderung
mengalami penurunan, sebagai akibat dari penurunan harga minyak mentah dunia dan kenaikan
harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun 1986/87, dimana harga minyak mentah
jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM)
sebesar Rp 1.010,0 miliar. Subsidi BBM terbesar diperoleh dalam tahun 1990/91 yang mencapai
Rp 3.301,0 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga
minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan
meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi.
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan
pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung
kebijaksanaan diversifikasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi
BBM melalui penyesuaian harga jual BBM dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian
harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990,
1991, dari 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan
harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V, maka realisasi subsidi BBM
dalam tahun 1991/92 dari 1992/93 cenderung mengalami penurunan pula, bahkan dalam tahun
1993/94 diperoleh LBM sebesar Rp 2.519,0 miliar. Sementara itu dalam APBN 1994/95 alokasi
pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan. Perkembangan subsidi pangan dari
subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat dilihat
pada Tabel II.12.
Departemen Keuangan RI
111
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.12
SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK,
1969/70 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Subsidi
Subsidi
Pangan
bahan bakar
minyak
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 *)
*)
153,4
-
141
50
39,1
43,5
65,1
197
124,9
281,7
223,5
1,1
-
534,9
1.021,70
1.316,40
961,5
928,1
-
506,7
374,2
401,8
133,1
-
705,9
3.301,00
1.029,70
691,8
-
-
-
APBN
2.2.5. Tabungan pemerintah
Selama 25 tahun pertama, pembangunan nasional telah berhasil meletakkan landasan
yang kukuh bagi kelanjutan pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya. Keberhasilan
pembangunan tersebut tidaklah terlepas dari dana pembangunan yang dapat dihimpun melalui
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam jumlah yang cukup besar selama
Departemen Keuangan RI
112
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama. Hasil-hasil yang telah dicapai ini merupakan
modal dasar dalam memasuki era tinggal landas dalam Repelita VI, yang juga merupakan
kerangka landasan bagi pembangunan jangka panjang kedua. Dana pembangunan yang dapat
dihimpun tersebut, dalam setiap tahunnya selalu berpedoman pada GBHN, yaitu diutamakan
bersumber dari dalam negeri, dengan sumber dari luar negeri hanya sebagai pelengkap dan
digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu sumber
dana dari dalam negeri, besarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun, yang merupakan
selisih antara penerimaan dalam negeri dari pengeluaran rutin, sangat berkaitan erat dengan
upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari efisiensi pengeluaran rutin.
Peningkatan tabungan pemerintah setiap tahunnya menunjukkan peningkatan kemampuan
sektor pemerintah dalam meningkatkan pembiayaan pembangunan melalui pengerahan dana yang
bersumber dari dalam negeri, dan dalam upaya peningkatan efisiensi dari efektivitas pengeluaran
rutin. Peningkatan tabungan pemerintah hanya dapat terjadi apabila tingkat kenaikan penerimaan
dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Selama PJP I, selisih yang
paling tinggi antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan
pengeluaran rutin terjadi dalam Repelita I, yaitu sebesar 6,5 persen. Sedangkan dalam Repelita II
dari Repelita III selisih angka tersebut menurun, masing-masing menjadi sebesar negatif 3,3
persen dari 1,2 persen. Penurunan tersebut disebabkan tingkat perkembangan penerimaan dalam
negeri yang lebih rendat dibandingkan dengan tingkat perkembangan pengeluaran rutin.
Menurunnya harga minyak mentah di pasar internasional yang mulai terjadi sejak akhir Repelita
III dari terus memburuk hingga mencapai tingkat terendahnya dalam tahun 1986, telah
menyebabkan penerimaan dalam negeri yang pada saat itu masih bertumpu pada penerimaan
migas menurun dengan tajam. Dengan keadaan ini, selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan
dalam negeri dengan rata-rata kenaikan pengeluaran rutin dalam Repelita IV menjadi sebesar
negatif 12,1 persen, dimana selisih negatif terbesar terjadi dalam tahun 1986/87 yaitu sebesar
negatif 29,7 persen. Dengan semakin stabilnya penerimaan dalam negeri yang didukung oleh
penerimaan pajak dalam Repelita V, selisih rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dan ratarata kenaikan pengeluaran rutin kembali meningkat menjadi sebesar 3,7 persen. Secara
keseluruhan selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan
penge1uaran rutin selama pembangunan jangka panjang pertama adalah sebesar 1,0 persen.
Departemen Keuangan RI
113
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Kenaikan tabungan pemerintah yang cepat pada awal pembangunan jangka panjang
pertama berkaitan erat dengan peningkatan penerimaan dalam negeri yang didukung oleh
peningkatan harga minyak mentah. Sedangkan makin rendahnya peningkatan tabungan
pemerintah dalam Repelita III dan Repelita IV terutama disebabkan oleh merosotnya harga
minyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerirnaan sektor nonmigas, terutama yang
berasal dari sektor perpajakan. Tabungan pemerintah dalam Repelita I mengalami kenaikan ratarata sebesar 74,9 persen per tahun, sedangkan dalam RepeIita II, Repelita III, dan Repe1ita IV
peningkatan tabungan pemerintah rnenurun menjadi masing-masing sebesar 19,9 persen, 22,9
persen, dan negatif 23,1 persen per tahun. Menghadapi situasi demikian, untuk memperkuat
struktur perekonomian nasional, sejak tahun 1983 Pemerintah mengambil berbagai langkah
kebijalan ekonomi. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penerimaan dalam negeri, dalam
tahun 1983 Pemerintah melakukan reformasi di bidang perpajakan. Di masa mendatang, berbagai
kebijaksanaan tersebut diharapkan akan meningkatkan penerimaan nonmigas, terutama yang
berasal dari sektor perpajakan. Harapan tersebut tidak sia-sia, bahkan dalam Repelita V berbagai
upaya tersebut telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Peningkatan tabungan
pemerintah yang dalam Repelita IV sempat berkembang negatif, dalam Repelita V telah
membaik kembali menjadi sebesar 32,2 persen. Dalam perkernbangannya, tabungan pemerintah
yang berhasil dihimpun dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, masing-masing mencapai
sebesarRp 566,9 miliar, Rp 5.832,0 miliar, dan Rp 23.739,9 miliar. Sedangkan dalam Repelita
IV, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mengalami sedikit penurunan, yaitu hanya
mencapai Rp 21.946,2 miliar atau sekitar 92 persen dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya.
Namun demikian, dalam Repelita V tabungan pemerintah telah rnenjadi lebih 2 kali lipat dari
realisasinya dalam Repelita sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 52.216,4 miliar. Peningkatan
yang cukup pesat ini merupakan hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan, penyempurnaan dan
pemantapan kelembagaan, serta langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi
selama pembangunan jangka panjang pertama.
Khusus dalam Repelita V, berbagai penyempurnaan kebijaksanaan dalam upaya untuk
mendorong peningkatan kemandirian pembiayaan pembangunan telah menunjukkan hasilnya.
Dalam mendukung peningkatan penerimaan dalam negeri, peranan penerimaan di luar migas
telah dapat menggantikan peranan penerimaan migas. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh
meningkatnya kemampuan sektor perpajakan dalam memobilisir berbagai potensi objek dan
Departemen Keuangan RI
114
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
subjek pajak, di samping relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar internasional. Selain itu,
peningkatan efisiensi dalam alokasi penge1uaran rutin juga telah mendorong tingkat kenaikan
penerimaan dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Keberhasilan ini
menyebabkan tabungan pemerintah dalam tahun pertama Repelita V telah menjadi hampir 2 kali
lipat dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 4.408,7
miliar atau meningkat sebesar 94,6 persen. Dalam tahun 1990/91, yang merupakan tahun kedua
Repelita V, tabungan pemerintah bahkan telah menjadi lebih dari 2 kali lipat dibandingkan
dengan realisasinya pada awal Repelita V, yaitu menjadi sebesar Rp 9.548,7 miliar atau
meningkat sebesar 116,6 persen.
Meningkatnya tabungan pemerintah dalam tahun 1990/91 bahkan telah memungkinkan
dihimpunnya cadangan anggaran pembangunan (CAP) sebesar Rp 2.000,0 miliar. Peningkatan
tabungan pemerintah ini terus berlanjut, dan dalam tahun ketiga Repelita V tabungan pemerintah
meningkat sebesar 18,9 persen menjadi sebesar Rp 11.357,2 miliar, sehingga berhasil pula
dihimpun CAP sebesar Rp 1.500,0 miliar. Dengan keberhasilan menghimpun CAP dalam tahun
1990/91 dan 1991/92 menjadi berjumlah sebesar Rp 3.500,0 miliar, berarti Pemerintah memiliki
cadangan anggaran pembangunan guna berjaga-jaga, dan dipergunakan apabila diperlukan
tambahan anggaran akibat tidak tercapainya rencana penerimaan migas, dan/atau tidak dapat
direalisasikannya rencana penerimaan negara yang bersumber dari bantuan luar negeri.
Selanjutnyadalam tahun keempat Repelita V tabungan pemerintah yang berhasil
dihimpun meningkat sebesar 18,2 persen menjadi sebesar Rp 13.421,3 miliar. Sedangkan dalam
tahun terakhir Repelita V tabungan pemerintah meningkat menjadi sebesar Rp 13.480,5 miliar,
atau meningkat hanya sebesar 0,4 persen dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya.
Rendahnya peningkatan tabungan pemerintah tersebut disebabkan oleh tidak tercapainya rencana
penerimaan migas. Dalam kaitan ini, penggunaan sebagian CAP yang berhasil dihimpun dalam
tahun 1990/91 dan 1991/92 telah memungkinkan program pembagunan dalam tahun tersebut
tetap berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Sejalan dengan meningkatnya tabungan pemerintah, kemampuan keuangan negara dalam
membiayai pembangunan juga cendernng meningkat pula. Hal ini tercermin dari peningkatan
peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan, dan komposisi pembiayaan
pembangunan yang lebih bertumpu pada pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri. Peranan
Departemen Keuangan RI
115
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tabungan pemerintah dalam dana pembangunan dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III,
masing-masing adalah sebesar 44,5 persen, 63,7 persen, dan 69,5 persen. Sedangkan dalam
Repelita IV peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan sedikit mengalami
penurunan menjadi sebesar 43,1 persen. Hal ini disebabkan oleh turunnya laju kenaikan
penerimaan dalam negeri, khususnya dari sektor migas sebagai akibat turunnya harga minyak
mentah yang cukup tajam. Sementara itu dengan membaiknya harga migas dan makin mantapnya
penerimaan dalam negeri dari sektor pajak dan penerimaan nonmigas lainnya, peranan tabungan
pemerintah dalam dana pembangunan selama pelaksanaan Repelita V telah meningkat kembali
menjadi sebesar 50,7 persen, sehingga dana pembangunan yang berhasil dihimpun dalam
Repelita V mencapai sebesar Rp 103.047,0 miliar, atau meningkat sebesar 102,5 persen dari
realisasi Repelita sebelumnya.
Tabungan pemerintah sebesar Rp 52.216,4 miliar yang berhasil dihimpun dalam Repelita
V berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri sebesar Rp 209.603,3 miliar dan
pengeluaran rutin sebesar Rp 157.386,9 miliar, dimana bila dibandingkan dengan Repelita
sebelumnya tabungan pemerintah tersebut mengalami peningkatan sebesar 137,9 persen, atau
mencapai lebih dua kali lipat dari realisasi Repelita sebelumnya. Sementara itu dalam tahun
1994/95, yang merupakan tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah yang dapat dihimpun
direncanakan mencapai sebesar Rp 17.386,3 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 29,0
persen bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun sebelumnya. Dalam Tabel 11.13 dapat
diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I sampai dengan Repelita V dan tahun
pertama Repelita VI (APBN 1994/95).
2.2.6. Pengeluaran pembangunan
Anggaran belanja pembangunan, di dalam kerangka manajemen pembangunan nasional,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai sasaran-sasaran pokok pembangunan
sebagaimana yang direncanakan di dalam setiap tahapan pembangunan lima tahun (Repelita). Hal
ini terutama karena melalui anggaran belanja pembangunan, berbagai program pembangunan dan
sasaran-sasaran indikatif yang tercantum di dalam Repelita dijabarkan secara operasional di
dalam bentuk proyek-proyek pembangunan dan rencana pembiayaan yang lebih konkrit dan
realistis sesuai dengan kemampuan pengerahan sumber-sumber keuangan negara. Sebagai piranti,
Departemen Keuangan RI
116
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
utama kebijaksanaan fiskal, anggaran belanja pembangunan di dalam APBN mempunyai
pengaruh yang cukup kuat di dalam menentukan, baik arah dan pola alokasi sumber daya
ekonomi antar bidang, antar sektor, dan antar kegiatan dalam masyarakat, maupun distribusi hasil
pembangunan. Demikian pula dari segi jumlah maupun dari strategi alokasinya, pengeluaran
pembangunan mempunyai pengaruh terhadap arah perkembangan ekonomi di berbagai bidang,
baik produksi dan kesempatan kerja, maupun distribusi pendapatan dan pemerataan
pembangunan, serta kestabilan nasional.
Sejalan dengan bertambah besarnya kemampuan keuangan negara dan semakin
meluasnya program pembangunan yang dilaksanakan dalam sektor pemerintah, jumlah anggaran
pembangunan senantiasa menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dalam Repelita
I realisasi anggaran pembangunan baru mencapai sebesar Rp 1.232,9 miliar, maka dalam Repelita
V jumlah anggaran pembangunan telah mencapai sebesar Rp 101.346,4 miliar. Ini berarti bahwa
dalam kurun waktu dua puluh lima tahun pembangunan jangka panjang tahap pertama, yaitu dari
periode Repelita I sampai dengan Repelita V, realisasi anggaran pembangunan telah meningkat
lebih dari 82 kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, maka secara keseluruhan realisasi
anggaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp 196.720,0 miliar, atau mengalami
kenaikan rata-rata 25,1 persen pertahun. Sementara itu dalam tahun pertama PJP II, anggaran
belanja pembangunan diperkirakan mencapai sebesar Rp 27.398,3 millar, yang berarti naik
sebesar Rp 1.737,2 miliar atau sekitar 7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam
tahun terakhir PJP I (1993/94).
Departemen Keuangan RI
117
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.13
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/70 -1994/95
(dalam miliar rupiah)
Kenaikan (+) /
Penurunan (-)
Jumlah
Tahun
-1
-2
-3
REPELITA I
1969/70
27,2
1970/71
53,9
26,7
1971/72
78,9
25
1972/73
152,5
73,6
1973/74
254,4
101,9
REPELITA II
1974/75
737,6
483,2
1975/76
909,3
171,7
1976/77
1.276,20
366,9
1977/78
1.386,50
110,3
1978/79
1.522,40
135,9
REPELITA III
1.112,60
1979/80
2.635,10
1.792,00
1980/81
4.427,00
1981/82
5.235,00
808
1982/83
5.422,00
187
1983/84
6.020,90
598,9
REPELITA IV
1984/85
6.476,50
455,6
1985/86
7.301,30
824,8
-4.720,00
1986/87
2.581,30
1987/88
3.321,80
740,5
1988/89
2.265,30
-1.056,50
REPELITA V
2.143,40
1989/90
4.408,70
5.140,00
1990/91
9.548,70
1.808,50
1991/92
11.357,20
2.064,10
1992/93
13.421,30
1993/94
13.480,50
59,2
REPELITA VI
17.386,30
1994/95 *)
3.905,80
*)
APBN
Dengan terbatasnya dana pembangunan bila dibandingkan dengan kebutuhan investasi,
maka anggaran pembangunan diarahkan pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif,
dalam arti menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam
pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, penentuan skala prioritas senantiasa didasarkan kepada
strategi pembangunan seperti yang tertuang dalam GBHN dan Repelita, dimana prioritas
pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan
Departemen Keuangan RI
118
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya. Dengan kerangka
acuan tersebut, prioritas pengeluaran pembangunan diberikan kepada penyediaan prasaraha dasar,
yang berguna untuk mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti pembangunan prasarana perhubungan, pengairan,
kelistrikan, telekomunikasi, serta pendidikan. Dengan tersedianya prasarana dasar tersebut
diharapkan kegiatan perekonomian masyarakat, seperti perdagangan, penanaman modal, dan
kegiatan ekonomi lainnya dapat lebih didorong, sehingga mampu pula menunjang penciptaan
kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu dalam usaha mendayagunakan sumber-sumber ekonomi yang tersedia
seoptimal mungkin dan untuk mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), berbagai ketentuan tentang pelaksanaan
anggaran dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1984 telah disesuaikan
dan disempurnakan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Berdasarkan kepada ketentuan
baru tersebut, pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip (a) hemat,
tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang dipersyaratkan, (b) terarah dan
terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga,
serta (c) semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan
kemampuan/potensi nasional.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan fungsi distribusi, alokasi anggaran pembangunan
diarahkan antara lain kepada berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup
dalam program Inpres serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana PBB. Di samping
secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, proyek-pfoyek
pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut sejauh mungkin diusahakan agar
sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh mungkin
melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah.
Melalui anggaran belanja pembangunan juga selalu diusahakan terpeliharanya kestabilan
ekonomi, antara lain dengan membentuk cadangan anggaran pembangunan (CAP), dalam hal
terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan dalam jumlah yang cukup besar,
dan memanfaatkan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan negara tidak mencapai
Departemen Keuangan RI
119
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya. Selama PJP I, dana CAP yang berhasil dihimpun
berjumlah Rp 3,5 triliun, yang berasal dari dana CAP tahun anggaran 1990/91 sebesar Rp 2,0
triliun dan dana CAP tahun anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAP tersebut sebagian
telah digunakan untuk menutup defisit anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAP
tersebut sebagiantelah digunakan untuk menutup defisit anggaran yang timbul dalam pclaksanaan
APBN 1993/94 sebesar Rp 1,8 triliun, sehingga posisi dana CAP pada awal tahun Repelita VI
menunjukkan jumlah sebesar Rp 1,7 triliun. Keseluruhan alokasi anggaran pembangunan tersebut
secara lebih rinci dapat dilihat pada alokasi anggaran pembangunan berdasarkan sektor dan
subsektor, berdasarkan jenis pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan atas dasar sumber
pembiayaan.
2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor
Sebagai rencana operasional tahunan Repelita di sektor pemerintah, anggaran belanja
pembangunan dalam APBN secara sektoral dialokasikan ke berbagai sektor dan subsektor sesuai
dengan urutan prioritas kebijaksanaan pembangunan sebagaimana yang ditetapkan di dalam
GBHN dan Repelita. Dalam Repelita I, sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang
menitikberatkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, peningkatan kesejahteraan
masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana dasar guna menunjang pertumbuhan ekonomi,
dengan penekanan pada program rehabilitasi produksi dan program stabilisasi ekonomi, prioritas
alokasi anggaran pembangunan terutama diarahkan pada upaya peningkatan produksi hasil-hasil
pertanian, khususnya beras, melalui pembukaan dan perluasan areal persawahan, pembangunan
jaringan irigasi dan bendungan, serta penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar
yang dibutuhkan masyarakat secara luas.
Dalam Repelita kedua, dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha, mendorong pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan penyediaan
sarana dan prasarana dasar, serta memperluas penyediaan fasilitas pelayanan umum bagi
masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, prioritas alokasi anggaran pembangunan dalam
periode tersebut diberikan pada sektor pertanian, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor
pembangunan daerah, desa dan kota, sektor pertambangan dan energi, sektor pengembangan
dunia usaha, serta sektor pendidikan dan kebudayaan.
Departemen Keuangan RI
120
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya guna mewujudkan tercapainya swasembada pangan, dalam Repelita III
anggaran belanja pembangunan tetap diprioritaskan pada sektor pertanian dan sektor industri
yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Di samping itu dalam upaya pemerataan hasilhasil pembangunan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak, prioritas alokasi belanja pembangunan juga diarahkan untuk
mendukung berbagai program-program pemerataan sebagai penjabarandan wujud nyata dari
program 8 jalur pemerataan.
Dengan berbekal keberhasilan dalam pencapaian swasembada pangan di sektor pertanian
pada akhir Repelita III, maka sebagai kelanjutan dan peningkatan dari Repelita-repelita
sebelumnya, anggaran belanja pembangunan dalam Repelita IV tetap diletakkan pada sektor
pertanian untuk memantapkan swasembada pangan di samping untuk meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan,
yang terus dikembangkan dalam Repelita-repelita selanjutnya. Kemudian, sebagai tahap terakhir
dari pelaksanaan PJP I, dalam rangka mewujudkan terciptanya struktur ekonomi yang seimbang
antara industri dan pertanian, dalam Repelita V alokasi anggaran belanja pembangunan
diprioritaskan pada pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk
melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya, di samping pembangunan sektor industri, khususnya industri yang banyak
menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri.
Berdasarkan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diuraikan di atas, selama
PJP I bagian terbesar alokasi anggaran belanja pembangunan diarahkan kepada lima sektor
prioritas, yaitu sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor
pertambangan dan energi, sektor pembangunan daerah, desa dan kota, serta sektor pendidikan,
generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan,
pengembangan dan penyediaan prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi senantiasa
ditingkatkan dan diperluas agar mampu memperlancar mobilitas barang, jasa, manusia, dan
informasi yang mampu menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Untuk menunjang tercapainya
sasaran tersebut, alokasi pengeluaran pembangunan di sektor perhubungan dan pariwisata dari
Departemen Keuangan RI
121
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun ke tahun diupayakan untuk terus ditingkatkan. Apabila dalam Repelita I jumlah
pengeluaran pembangunan bagi sektor perhubungan dan pariwisata baru mencapai sebesar Rp
261,6 miliar, maka dalam Repelita V jumlah tersebut telah mencapai sebesar Rp 20.388,4 miliar,
atau mengalami kenaikan lebih dari 77 kali lipat. Dengan demikian secara keseluruhan dalam PJP
I jumlah pengeluaran pembangunan di sektor perhubungan dan pariwisata mencapai sebesar Rp
34.390,9 miliar. Dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan mempercepat
pemerataan
pembangunan
dan
hasil-hasilnya,
alokasi
anggaran
pembangunan
sektor
perhubungan dan pariwisata diarahkan penggunaannya terutama untuk peningkatan kemampuan
dan kapasitas prasarana dan sarana perhubungan, baik prasarana jalan, maupun prasarana dan
sarana perhubungan darat, laut, dan udara, serta pengembangan sarana pos dan telekomunikasi
secara terpadu, sehingga mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan terhadap jasa
transportasi dan telekomunikasi yang semakin meningkat. Di samping itu anggaran tersebut juga
diarahkan pemanfaatannya untuk membiayai program-program pembangunan dan pengembangan
kepariwisataan.
Di bidang prasarana jalan, anggaran pembangunan dalam Repelita I dan II selain
digunakan untuk penyediaan dan pembangunan sarana dan prasaranajalan dan jembatan baru,
juga diarahkan untuk menunjang upaya pemantapan dan rehabilitasi prasarana dan sarana
perhubungan yang ada agar dapat berfungsi kembali, baik sebagai pendorong kegiatan
pembangunan maupun dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan berbekal
keberhasilan yang telah dicapai, maka dalam Repelita-repelita selanjutnya, pembangunan di
bidang prasarana jalan lebih dipusatkan pada peningkatan mutu dan kelas jalan sei1a pemantapan
kondisi jalan. Dengan dukungan alokasi dana yang cukup memadai, sampai dengan akhir
Repelita V telah berhasil dibangun jalan sepanjang 244,2 ribu kilometer, terdiri dari jalan
nasional sepanjang 17,8 ribu kilometer, jalan propinsi sepanjang 32,3 ribu kilometer, jalan
kabupaten sepanjang 168,6 ribu kilometer, dan jalan perkotaan sepanjang 25,5 ribu kilometer. Di
samping itu dalam periode yang sama telah berhasil pula dibangun jaringan jalan arteri dan
kolektor sepanjang 50,1 ribu kilometer, diantaranya sepanjang 46,8 ribu kilometer, atau sekitar
93,4 persen, berada dalam kondisi mantap. Sementara itu di subsektor transportasi darat,
anggaran pembangunan diarahkan penggunaannya terutama bagi pembinaan dan pengembangan
jasa angkutan jalan raya, peningkatan pelayanan dan pengelolaan angkutan kereta api, angkutan
penyeberangan, serta angkutan sungai dan danau.
Departemen Keuangan RI
122
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sebagai salah satu sasaran utama dalam
pembangunan
sektor
perhubungan,
pengembangan perhubungan laut juga semakin ditingkatkan guna menunjang distribusi barang
dan jasa, serta mobilisasi manusia, baik antar pulau maupun antar negara. Sejak awal Repelita I,
anggaran pembangunan di subsektor tersebut diprioritaskan terutama untuk menunjang
peningkatan fasilitas pelabuhan melalui upaya rehabilitasi, penggantian, perluasan dari
pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan, seperti pelabuhan, guuang, lapangan penumpukan,
serta peralatan bongkar muat pelabuhan. Melalui berbagai program peningkatan dan
pembangunan di subsektor perhubungan laut yang dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan tersebut, transportasi laut semakin lancar berkat tersedianya prasarana dari
sarana yang makin meningkat dan meluas jaringannya. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94
telah berhasil dibangun dermaga sepanjang 47.992 meter, gudang seluas 260.301 meter persegi,
lapangan penumpukan seluas 712.572 meter persegi, serta lapangan peti kemas seluas 723.400
meter persegi.
Di subsektor perhubungan udara, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk
menambah sarana angkutan, membangun landasan pendaratan baru, serta meningkatkan
pelayanan angkutan perlutis ke daerah-daerah terpencil yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara. Apabila dalam Repelita I jaringan penerbangan masih terbatas pada 38 pelabuhan
udara, maka dalam Repelita V jumlah bandar udara telah meningkat menjadi 146 buah, 88 buah
diantaranya melayani daerah-daerah terpencil. Dalam periode yang sama, jaringan pelayanan
penerbangan telah mencakup 240 rule yang menjangkau seluruh propinsi dan beberapa kawasan
dunia diantaranya sebanyak 19 bandar udara yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi
penerbangan internasional.
Selanjutnya untuk memperlancar penyampaian informasi, baik antar daerah, antar kota,
maupun antar negara, anggaran pembangunan di subsektor pos dari telekomunikasi dipergunakan
untuk peningkatan dan perluasan jaringan pos dan telekomunikasi, baik dalam jumlah maupun
mutu pelayanan yang diberikan. Melalui berbagai program pengembangan jasa pos dan giro yang
didukung dengan alokasi anggaran yang memadai, hingga akhir Repelita V jaringan jasa pos dan
giro telah menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94,
pelayanan pas dan giro telah dapat menjangkau 3.774 ibukota kecamatan dari 970 daerah lokasi
transmigrasi. Sedangkan di bidang telekomunikasi, dalam periode tersebut telah dibangun
jaringan sentral telepon otomat sebanyak 3.012,9 ribu satuan sambungan yang tersebar di seluruh
Departemen Keuangan RI
123
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tanah air, penambahan telepon-telepon umum, dari pendirian warung-warung telekomunikasi.
Pembangunan dari pengembangan sarana dan prasarana perhubungan tersebut selain telah
memperluas kesempatan kerja karena kegiatannya yang bersifat padat karya, juga telah
memperlancar mobilitas arus barang dari jasa antar daerah, sehingga mempermudah distribusi
kebutuhan hidup masyarakat. Demikian pula dengan semakin tersebarnya sarana dari luasnya
jangkauan komunikasi, kebutuhan informasi bagi masyarakat makin terpenuhi, sehingga
menunjang berkembangnya perekonomian dan membuka kesempatan kerja lebih luas.
Sementara itu dalam rangka pembangunan dan pengembangan sumber dan potensi
kepariwisataan nasional sebagai salah satu sumber penerimaan devisa negara, anggaran
pembangunan di subsektor pariwisata digunakan antara lain untuk membiayai program
pembinaan lingkungan wisata dan promosi wisata, baik di dalam negeri maupun di beberapa
negara lainnya. Dengan dilaksanakannya berbagai program kepariwisataan tersebut, jumlah
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan
yang cukup menggembirakan. ApabiIa pada awal Repelita I jumlah wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar 86 ribu orang, maka dalam tahun anggaran 1993/94
jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia telah mencapai 3,4 juta orang,
yang berarti melampaui sasaran Repelita V sebesar 2,5 juta orang. Sedangkan penerimaan devisa
yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dalam tahun anggaran 1993/94 mencapai hampir US$ 4
miliar.
Pembangunan di sektor pertanian dan pengairan sebagai salah satu sektor andalan, baik
sebagai penggerak utama perekonomian maupun sebagai sumber kehidupan terbesar dari
penduduk Indonesia, juga senantiasa ditingkatkan, baik dalam penanganannya maupun alokasi
anggaran yang diberikan. Apabila dalam Repelita I jumlah anggaran pembangunan sektor
pertanian dan pengairan baru mencapai sebesar Rp 267,8 miliar, maka dalam Repelita V jumlah
anggaran pembangunan tersebut telah mencapai sebesar Rp 13.287,5 miliar, yang berarti
mengalami kenaikan sekitar 49kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, selama PJP I jumlah
pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan pengairan secara keseluruhan mencapai
sebesar Rp 26.813,4 miliar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, khususnya
pangan, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan pendapatan masyarakat, anggaran
pembangunan sektor pertanian dan pengairan diarahkan pemanfaatannya bagi upaya peningkatan
hasil-hasil produksi pertanian, melalui upaya intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan
Departemen Keuangan RI
124
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
rehabilitasi pertanian. Di samping itu kebijaksanaan tersebut didukung pula dengan rehabilitasi
dan pembangunan sarana dan prasarana irigasi, pemanfaatan teknologi dan penyuluhan,
penyediaan sarana kredit yang tepat waktu dan mudah terjangkau oleh petani, serta rekayasa
sosial melalui pembentukan kelompok tani dalam program intensifikasi khusus (Insus), operasi
khusus (Opsus), dan Supra Insus. Dalam kaitannya dengan program intensifikasi pertanian, pada
akhir Repelita I telah berhasil dibuka areal sawah baru seluas 7.376 ribu hektar, dan areal
bimbingan massal (Bimas) baru seluas 2.472 ribu hektar. Dalam periode yang sama, sarana dan
prasarana irigasi yang mempakan unsur vital dalam usaha peningkatan produksi pangan juga
ditingkatkan, antara lain melalui perbaikan jaringan irigasi seluas lebih dari 936.000 hektar,
pengamanan banjir seluas lebih dari 289.000 hektar, dan pembangunan irigasi baru seluas
191.200 hektar.
Dengan dilaksanakannya berbagai program tersebut dan didukung pula dengan penerapan
program Panca Usaha Lengkap, maka produksi teras telah meningkat dari 11,67 juta dalam tahun
1968 menjadi 14,61 juta ton pada tahun 1973, atau mengalami kenaikan sebesar 10,8 persen.
Sedangkan perkembangan produksi teras dalam periode tersebut meneapai rata-rata sebesar 4,8
persen per tahun. Selanjutnya dalam upaya mencapai swasembada pangan, khususnya teras,
anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan selain digunakan untuk membiayai
program intensifikasi khusus dan operasi khusus, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana
pertanian yang menunjang, seperti bibit, pupuk, dan pestisida, serta pemeliharaan dan
pembangunan jaringan irigasi, juga dimanfaatkan untuk perluasan areal dengan pembukaan lahan
pertanian baru, baik di lahan beririgasi dan lahan kering, maupun lahan rawa dan lahan pasang
surut. Melalui pelaksanaan berbagai program tersebut, produksi teras telah mengalami kenaikan
yang cukup pesat. Dalam Repelita III produksi beras mengalami peningkatan sebesar 6,5 persen
setiap tahunnya, sedangkan hasil rata-rata per hektar dalam periode tersebut meneapai 2,62 ton
beras atau 3,85 ton padi giling. Dengan peningkatan produksi beras tersebut, maka cita-cita yang
sejak awal kemerdekaan selalu didambakan, yaitu untuk meneapai swasembada pangan,
khususnya beras telah dapat tercapai, dan hingga akhir PJP I prestasi tersebut masih dapat
dipertahankan.
Di samping itu melalui berbagai program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, serta
diversifikasi hasil-hasil pertanian secara konsisten dan terpadu, beberapa hasil produksi
pertanian, baik produksi tanaman pangan, produksi perkebunan, produksi petemakan maupun
Departemen Keuangan RI
125
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
produksi perikanan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, telah semakin mencukupi.
Pada akhir Repelita V produksi beras per jiwa telah meneapai 216,6 kilogram, produksi dasing
per jiwa mencapai sekitar 7 kilogram, produksi telor meneapai 3,1 kilogram per jiwa, serta
produksi ikan mencapai 19,8 kilogram per jiwa. Dalam pada itu jaringan irigasi sebagai prasarana
yang sangat penting danalam mendukung upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras,
dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dengan pesat, yaitu meneapai 1,7 juta hektar
pada akhir Repelita V atau 26 kali bila dibandingkan dengan prasarana irigasi yang ada pada awal
pelaksanaan Repelita I.
Dalam rangka mendayagunakan dan mengoptimalkan sumber daya mineral, baik untuk
keperluan bahan baku industri, maupun konsumsi rumah tangga, sektor pertambangan dan energi
jugadiberikan prioritas pembiayaan yangcukup besar. Dalam PJPI, jumlah anggaran
pembangunan sektor pertambangan dan energi diperkirakan meneapai sebesar Rp 26.064,1
miliar. Anggaran tersebut dimanfaatkan untuk menunjang upaya peningkatan produksi
pertambangan, penganekaragaman hasil produksi pertambangan dan energi, serta pemetaan
geologi bagi penyelidikan sumber daya mineral dan sumber daya energi. Dengan dukungan
alokasi anggaran pembangunan yang memadai, produksi berbagai hasil pertambangan, baik dari
segi jenis maupun jumlahnya telah meningkat, sehingga kemampuan dalam menyediakan bahan
baku bagi industri dalam negeri dan ekspor juga semakin meningkat. Di samping itu dengan
dikembangkannya sumber energi alternatif seperti batu bara, gas bumi, dan gas alam cair,
ketergantungan terhadap sumber daya minyak juga semakin berkurang. Demikian pula jaringan
prasarana listrik telah meningkat dan meluas serta merata ke seluruh tanah air. Hingga akhir
Repelita V produksi listrik telah mencapai 46,8 juta megawatt hour, dengan daya tersambung
sebesar 21,2 juta kilovolt ampere. Sementara itu jumlah desa yang telah mendapat aliran listrik
meneapai 30,4 ribu desa, atau sekitar 49 persen dari jumlah seluruh desa yang ada.
Sejalan dengan itu, pembangunan daerah, desa dan kota juga semakin ditingkatkan, baik
dalam alokasi pembiayaannya maupun strategi penanganannya. Dalam Repelita terakhir dari
tahap pembangunan duapuluh lima tahun yang pertama jumlah anggaran pembangunan sektor
pembangunan daerah, desa, dan kota meneapai sebesar Rp 12.337,8 miliar atau mengalami
peningkatan sekitar 58 kali lipat bila dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp 210,0 miliar
dalam periode Repelita I. Sedangkan selama pelaksanaan PJP I, jumlah anggaran pembangunan
sektor pembangunan daerah, desa, dan kota secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 21.113,6
Departemen Keuangan RI
126
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar.
Dalam rangka mewujudkan asas pemerataan pembangunan antar wilayah, memperluas
otonomi daerah, dan mendorong peningkatan kemampuan keuangan daerah, bagian terbesar
daripada anggaran pembangunan sektor tersebut dialokasikan dalam bentuk berbagai program
bantuan pembangunan daerah, baik dalam bentuk berbagai proyek Inpres maupun dalam bentuk
dana bagi hasil penerimaan PBB.
Program bantuan bagi pembangunan daerah yang dilaksanakan melalui Instruksi Presiden
(Inpres) tersebut, dalam Repelita I baru terdiri dari program bantuan pembangunan desa, program
bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah tingkat I, serta
program bantuan pembangunan daerah Irian Jaya. Selanjutnya dalam Repelita II program
bantuan pembangunan bagi daerah tersebut telah semakin berkembang dengan ditambahkan pula
program pengembangan wilayah yang ditujukan bagi daerah-daerah tertinggal atau miskin, dan
program khusus bagi propinsi Irian Jaya dan Timor Timur. Kemudian, sejalan dengan semakin
luas dan beragamnya ruang lingkup dan cakupan kegiatan pembangunan, maka bantuan
pembangunan kepada daerah juga semakin meningkat, baik jenis maupun jumlah alokasi
anggaran yang diberikan.
Berbagai program tersebut di samping dimaksudkan untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi antar daerah yang lebih merata, juga diarahkan untuk mendorong prakarsa
dan partisipasi masyarakat di daerah, memperluas kesempatan kerja, serta mengentaskan
kemiskinan di pedesaan, daerah terpencil di pedalaman, dan daerah terbelakang/terisolir. Bantuan
tersebut ditujukan terutama bagi daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan dipergunakan antara lain untuk membiayai berbagai
proyek daerah, baik ekonomi maupun sosial-budaya yang dianggap penting oleh daerah. Dengan
semakin bertambah baiknya infrastruktur dan fasilitas komunikasi serta angkutan antar daerah,
maka daerah yang terisolasi semakin berkurang dan lalu-lintas barang dan orang semakin lancar.
Selanjutnya dalam rangka mempercepat penanggulangan dan pengentasan kemiskinan,
melalui anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah, desa dan kota sejak awal Repelita V
telah dilaksanakan program pengembangan kawasan terpadu (PKT), program pembangunan
prasarana kota terpadu (P3KT), serta program perbaikan kampung. Dengan dilaksanakannya
berbagai program tersebut, maka kesejahteraan masyarakat pedesaan telah mengalami
Departemen Keuangan RI
127
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
peningkatan, yang tercermin antara lain dari semakin menurunnya jumlah penduduk dan desa
miskin, sejalan dengan semakin baiknya tingkat pendapatan dan pemerataan pendapatan
masyarakat. Dalam pada itu kemampuan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan juga semakin meningkat, sehingga semakin mendorong gairah dan partisipasi
masyarakat dalam upaya meningkatkan kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.
Dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi akhlak dan budi
pekerti, serta memperkuat kepribadian bangsa, maka pembangunan dan pengembangan sumber
daya manusia senantiasa ditingkatkan kuantitas dan kualitas penanganannya. Apabila dalam
Repelita I jumlah pengeluaran pembangunan sektor tersebut baru mencapai sebesar Rp 83,8
miliar, maka dalam Repelita V jumlah tersebut telah mencapai sebesar Rp 12.385,7 miliar, atau
mengalami peningkatan sekitar 147 kali lipat. Sementara itu selama PJP I jumlah anggaran
pembangunan sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 23.239,8 miliar. Anggaran
tersebut diprioritaskan untuk membiayai pembinaan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
pembinaan masyarakat dan kedinasan, serta pembinaan generasi muda dan olah raga. Di samping
itu anggaran tersebut juga dialokasikan untuk membiayai penelitian dan pengembangan
kepurbakalaan, kesejarahan dan permuseuman, pengembangan seni budaya, serta pembinaan bagi
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Di subsektor pendidikan umum dan generasi muda, dalam rangka perluasan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang/tingkat
pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas pendidikan, anggaran pembangunan dipergunakan antara
lain untuk penyediaan sarana dan prasarana belajar mengajar, seperti pembangunan gedung baru,
ruang kelas, dan rehabilitasi gedung, baik di tingkat SD dan madrasah ibtidaiyah, maupun di
tingkat SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Di samping itu anggaran pembangunan tersebut
selain dimanfaatkan untuk pengadaan buku-buku pelajaran pokok dan buku dasar perpustakaan,
alat-alat laboratorium, olah raga, dan alat kesenian, juga dipergunakan untuk penataran tenaga
pengajar dan pengiriman dosen ke luar negeri. Selanjutnya untuk memantapkan landasan
perundang-undangan di bidang pendidikan, dalam tahun pertama Repelita V telah ditetapkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain
mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun, mencakup SD 6 tahun dan SLTP 3 tahun. Untuk
mempersiapkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun tersebut, melalui anggaran pembangunan telah
Departemen Keuangan RI
128
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
diusahakan pengembangan kurikulum serta penelitian mengenai kemampuan berbagai daerah
dalam mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, dikembangkan
pula model penuntasan anak usia pendidikan dasar dalam rangka program wajib belajar dan
pemetaan sekolah tingkat lanjutan pertama.
Sementara itu di subsektor pendidikan kedinasan, anggaran pembangunan antara lain
dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur pemerintah sesuai
dengan prioritas bidang-bidang pembangunan. Sedangkan di subsektor kebudayaan nasional dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anggaran pembangunan dipergunakan untuk
menunjang inventarisasi dan pembinaan nilai-nilai budaya, dengan pemberian bimbingan teknis
perekaman dan analisis naskah, pembakuan kebahasaan, penyusunan naskah dan nilai sastra
nusantara, serta pengembangan minat kebahasaan melalui TVRI dan RRI.
Melalui berbagai program pembinaan pendidikan yang telah dilaksanakan sejak Repelita
I, termasuk pelaksanaan wajib belajar enam tahun dalam Repelita IV dan program wajib belajar
sembilan tahun dalam Repelita V, maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan semakin luas,
sehingga kualitas rakyat Indonesia, baik taraf kecerdasan maupun tingkat pendidikannya juga
semakin tinggi. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya angka partisipasi
kasar di berbagai jenjang pendidikan, meningkatnya mutu tenaga pengajar, serta menurunnya
jumlah penduduk berusia di atas 10 tahun yang buta aksara, yakni dari 39,1 persen pada awal PJP
I menjadi 15,8 persen dalam tahun 1990. Di tingkat pendidikan dasar, angka partisipasi murni
(APM), yaitu rasio jumlah murid SD termasuk madrasah ibtidaiyah (SD-MI) usia 7-12 tahun
dengan jumlah penduduk kelompok usia tersebut, dalam tahun anggaran 1993/94 telah mencapai
93,5 persen. Dalam periode yang sama, angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio murid SD-MI
terhadap penduduk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 110,4 persen. Sejalan dengan itu, angka
partisipasi kasar SLTP termasuk madrasah tsanawiyah (MTs) telah mencapai sebesar 52,7 persen,
dan angka partisipasi kasar tingkat SLTA termasuk madrasah aliyah (MAN) telah mencapai 33,6
persen. Sedangkan angka partisipasi kasar di tingkat pendidikan tinggi termasuk pendidikan
tinggi agama mencapai 10,8 persen pada akhir Repelita V.
Memasuki Repelita VI sebagai awal periode pembangunan jangka panjang kedua (PJP
II), prioritas pembangunan diletakkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi
dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya, seiring
Departemen Keuangan RI
129
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan peningkatan sumberdaya manusia. Sesuai dengan arah dan strategi dasar kebijaksanaan
pembangunan yang ditetapkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan anggaran
belanja pembangunan dalam tahun pertama Repelita VI (1994/95) diarahkan terutama untuk
menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin adil dan meluas,
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta menjaga stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis, sejalan dengan upaya peningkatan kualitas manusiadan kualitas
kehidupan masyarakat. Sedangkan alokasi anggaran sektoral dalam tahun pertama Repelita VI
telah diperluas menjadi 20 sektor, dibandingkan dengan 18 sektor dalam Repelita sebelumnya.
Sejalan dengan prioritas dalam tahun anggaran 1994/95, penyediaan anggaran belanja
pembangunan yang cukup besar diberikan kepada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi,
sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, sektor pertambangan dan energi, sektor
pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan
olah raga, serta sektor pengairan.
Di sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, dalam rangka mengembangkan dan
menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, membuka daerah terisolasi dan mempercepat
pembangunan kawasan timur Indonesia, serta menyelaraskan pembangunan sektoral dan
regional, anggaran pembangunan dimanfaatkan untuk menunjang program bantuan pembangunan
desa, program bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah
tingkat I, dan program pengembangan kawasan khusus. Di samping itu guna mempercepat upaya
pengentasan kemiskinan terutama di daerah perdesaan, melalui anggaran pembangunan yang
sama juga dilaksanakan program pembangunan desa tertinggal yang menjangkau 18.321 desa
tertinggal dengan alokasi bantuan sebesar Rp 20 juta per desa. Sementara itu di subsektor
transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, melalui program pemukiman dan lingkungan
transmigrasi serta program pengerahan dan pembinaan transmigran antara lain diupayakan
persiapan pemukiman bagi sekitar 50 ribu kepala keluarga (KK) dari Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara, termasuk pemukiman bagi perambah hutan sebanyak 35 persen dari jumlah
keseluruhan, serta direncanakan penyiapan sekitar 46.200 hektar lahan pemukiman transmigran
dan 52 ribu unit rumah transmigran lengkap dengan fasilitas umum yang menunjang.
Di sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, anggaran pembangunan diarahkan
terutama untuk menunjang berbagai program di subsektor prasarana jalan, subsektor transportasi
darat, subsektor transportasi laut, subsektor transportasi udara, serta subsektor meteorologi,
Departemen Keuangan RI
130
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR). Di subsektor prasarana jalan, sebagian besar
anggaran belanja pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk pemeliharaan rutin jalan dan jalan
paras desa, masing-masing sepanjimg 23.200 kilometer dan 8.510 kilometer, pemeliharaan
berkala jalan, jembatan, dan jembatan poros desa, masing-masing sepanjang 4.800 kilometer,
5.100 meter, dan 18.900 meter, pembangunan jalan arteri sepanjang 411 kilometer, jalan kolektor
sepanjang 1.040 kilometer, jalan lokal sepanjang 360 kilometer, jalan paras desa sepanjang 652
kilometer, jembatan sepanjang 1.100 meter, dan jembatan poros desa sepanjang 2.000 meter.
Dalam pada itu anggaran pembangunan di subsektor transportasi darat selain dimanfaatkan untuk
peningkatan dan rehabilitasi jalur kereta api sepanjang 63 kilometer, pembangunan jalur kereta
api ganda parsial sepanjang 38 kilometer, juga dipergunakan untuk pengembangan fasilitas lalulintas jalan dan peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan.
Di subsektor transportasi laut, anggaran pembangunan diarahkan untuk menunjang
pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan, antara lain berupa pembangunan dermaga baru
sepanjang 1.632 meter, guuang seluas 5.600 meter persegi, lapangan penumpukan seluas 22.525
meter persegi, terminal penumpang seluas 5.350 meter persegi, pembangunan menara suar
sebanyak 2 unit, dan rambu suar sebanyak 95 unit. Sedangkan melalui berbagai program di
subsektor transportasi udara, dalam periode yang sama diupayakan penambahan peralatan
pendukung
keselamatan
penerbangan
dan
penyediaan
prasarana
kalibrasi
peralatan
telekomunikasi dan navigasi udara, serta penyediaan jasa angkutan udara perintis yang melayani
42 rute penerbangan. Selanjutnya anggaran pembangunan di subsektor\meteorologi dan
geofisika, pencarian, dan penyelamatan (SAR) antara lain dimanfaatkan untuk pembangunan
stasiun klimatologi di beberapa daerah, serta pengadaan peralatan meteorologi penerbangan di
beberapa bandar udara.
Di sektor pertarnbangan dan energi, dalam rangka pemanfaatan kekayaan tambang bagi
kesejahteraan masyarakat, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pemetaan dan penyelidikan
geologi dan sumber daya mineral, pengembangan pusat-pusat informasi mineral, pengembangan
teknologi pengolahan bahan galian, pengembangan mineral industri, serta pengembangan dan
pemanfaatan baru bara untuk bahan bakar industri dan rumah tangga. Selanjutnya dalam upaya
peningkatan dan penyediaan bahan baku energi, baik bagi industri dalam negeri dan ekspor
maupun untuk keperluan masyarakat, melalui berbagai program di subsektor energi, pada awal
Repelita VI diupayakan pembangunan jaringan transmisi sepanjang 1.468 kilometer sirkuit
Departemen Keuangan RI
131
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
(kms), pembangunan gardu induk dengan kapasitas 2.520 megavolt ampere (MVA), serta
perluasan jaringan distribusi tegangan menengah dan tegangan rendah, masing-masing sepanjang
3.346,5 kms dan sepanjang 6.159 kms untuk daerah perkotaan. Di samping itu dalam rangka
program listrik perdesaan telah dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)
dengan kapasitas 9,52 megawatt (MW), serta penyambungan aliran listrik bagi sebanyak 3.419
desa.
Selanjutnya di sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, dalam rangka mempercepat pembangunan dan
peningkatan kualitas manusia Indonesia, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk
menunjang upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dasar melalui pelaksanaan
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, perluasan daya tampung pendidikan dan
peningkatan pendidikan kejuruan, serta peningkatan kualitas pendidikan semua jenis. jalur dan
jenjang pendidikan. Sehubungan dengan itu untuk meningkatkan daya tampung dan memperluas
pemerataan kesempatan belajar tingkat sekotab dasar (SD), dalam tahun anggaran 1994/95
diupayakan pembangunan 700 gcdung SD di daerah pemukiman baru dan daerah transmigrasi,
rehabilitasi sejumlah ruang kelas SD, dan penambahan 2.650 ruang kelas SD beserta
perlengkapannya. Sedangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dalam
periode yang sama diupayakan pencetakan dan pendistribusian sekitar 36 juta eksemplar buku
pelajaran dan buku bacaan, pengadaan 20 ribu alat peraga pendidikan, serta peningkatan kualitas
kemampuan tenaga edukasi bagi sekitar 140 ribu guru melalui penyetaraan guru setara D- 2, serta
penataran bagi kepala sekolah, penilik, dan pembina SD. Sementara itu untuk mendukung
pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, khususnya dalam memperluas daya tampung sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP), dalam periode yang sama diupayakan pembangunan sejumlah
gedung SL TP baru, penambahan 5.400 ruang kelas, rehabilitasi sejumlah ruang kelas, dan
penggantian perabot pendidikan. Di samping itu khusus bagi daerah-daerah tertentu yang tidak
memungkinkan pelaksanaan sekolah biasa, diupayakan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
melalui SLTP Terbuka dan SLTP Kecil. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan
dasar serta memperluas kesempatan belajar dan berusaha bagi anggota masyarakat, anggaran
pembangunan di subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan antara lain dimanfaatkan untuk
menunjang upaya pemberantasan tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia,
dan buta pengetahuan dasar, yang dilaksanakan antara lain melalui pengembangan kelompok
Departemen Keuangan RI
132
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
belajar (Kejar) Paket A tidak setara SD, Kejar Paket A setara SD dalam rangka wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun, Kejar Paket B setara SLTP, serta penyelenggaraan pendidikan
berkelanjutan melalui kejar usaha, pemagangan, serta pembinaan lembaga kursus.
Sementara itu melalui berbagai program di subsektor kebudayaan nasional dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam tahun anggaran 1994/95 antara lain
diupayakan penyusunan kamus besar bahasa Indonesia Edisi I, penyusunan buku sastra Indonesia
dan daerah, pengiriman misi kesenian ke luar negeri, serta konservasi candi Borobudur.
Selanjutnya di subsektor pemuda dan olah raga, anggaran pembangunan dimanfaatkan terutama
untuk pengembangan kepemimpinan dan aktivitas generasi muda, peningkatan rintisan sarjana
penggerak pembangunan di perdesaan di seluruh Indonesia, serta pembinaan keolahragaan,
kesegaran jasmani, dan rekreasi di seluruh Indonesia.
Di sektor pengairan, guna melanjutkan upaya pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
melalu berbagai program di subsektor pengembangan sumber daya air, dalam tahun anggaran
1994/95 diupayakan pembangunan prasarana pengairan, antara lain berupa pembangunan 10
buah waduk (Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Barat, pembangunan sejumlah waduk muara dan bendungan karet di Jawa Barat, Jawa
Timur, Bali dan Sumatera Barat, serta pembangunan 30 embung besar dan kecil di Nusa
Tenggara Barat (NTB) Nusa Tenggara Timur (NTT), Timor Timur dan Maluku. Selain daripada
itu juga diupayakan pengadaan operasi dan pemeliharaan bagi 33 sungai, 34 waduk dan sekitar
12.500 bendungan, yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara
Barat. Sementara itu untuk memelihara tetap berfungsinya sumber air dan jaringan irigasi agar
dapat memenuhi berbagai penggunaan, terutama bagi pertanian dalam usaha mempertahankan
swasembada pangan, melalui anggaran pembangunan di subsektor irigasi, dalam tahun anggaran
1994/95 diupayakan pembangunan jaringan irigasi seluas 100 ribu hektar, rehabilitasi dan
peningkatan jaringan irigasi seluas 140 ribu hektar, yang tersebar di pulau Jawa dan daerah sentra
produksi beras di Sumatera Utara, Aeeh, Lampung, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Selatan, serta penyiapan lahan usaha tani bagi kegiatan sawah dan nonsawah seluas 30
ribu hektar. Di samping itu dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekspor
hasil tambak, dalam periode yang sama diusahakan pula peningkatan reklamasi daerah rawa
seluas 134 ribu hektar, pembuatan saluran multiguna sepanjang 20 kilometer, yang tersebar di
Departemen Keuangan RI
133
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya, serta pembangunan dan peningkatan tambak seluas 6 ribu
hektar, yang tersebar di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Di samping kelima sektor prioritas tersebut, dalam tahun anggaran 1994/95 berbagai
sektor lainnya juga memperoleh perhatian yang cukup memadai. Di sektor pertanian dan
kehutanan, dalam rangka mengoptimalkan sarana dan prasarana pertanian yang telah dibangun
serta melengkapi sarana dan prasarana pertanian yang diperlukan, dalam tahun anggaran 1994/95
diupayakan pengembangan sumber daya lahan tadah hujan/pasang surut seluas 13.000 hektar,
usaha konservasi terhadap sekitar 12.000 hektar lahan kering dan sekitar 3.500 hektar padang
penggembalaan,
serta
pengembangan
pelabuhan
perikanan.
Sementara
itu
anggaran
pembangunan untuk subsektor kehutanan telah dialokasikan bagi program pembinaan kehutanan
serta program pengembangan usaha perhutanan rakyat.
Di sektor industri, guna menunjang upaya penataan dan pemantapan industri nasional
yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke
seluruh wilayah Indonesia, alokasi anggaran pembangunan dalam tahun anggaran 1994/95
diarahkan penggunaannya bagi program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan
menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, serta program penataan struktur
industri. Melalui program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah,
dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan peningkatan pelatihan teknologi dan manajemen,
serta perluasan penerapan standar industri, termasuk pemasyarakatan dan penerapan ISO-9000.
Sedangkan melalui program peningkatan kemampuan teknologi industri, antara lain diupayakan
pengembangan teknologi produk dan teknologi manufaktur, pengembangan rancang bangun dan
perekayasaan industri, serta pengembangan teknologi akrab lingkungan, alih teknologi, dan
diseminasi teknologi. Di samping itu dalam rangka program penataan struktur industri
diupayakan perluasan dan penguatan basis produksi, antara lain melalui pengembangan
agroindustri, pengembangan industri pengolahan hasil tambang dan penganekaragaman produk
industri yang berorientasi ekspor, pengembangan sumber daya manusia industri, penataan
organisasi industri, serta penataan struktur penyebaran industri. Perkembangan realisasi
pengeluaran pembangunan atas dasar sektor dari Repelita I hingga Repelita VI secara terinci
dapat diikuti dalam Tabel II.14 dan Tabel II.15.
Departemen Keuangan RI
134
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sektor
-1
Tabel II.14
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR,
1)
REPELITA I - REPELITA V
(dalam miliar rupiah)
Repelita II
Repelita III
Repelita I
-2
Repelita IV
Repelita V
267,8
85,7
108
261,6
2,5
210
3,7
-3
1.745,30
686,1
967,5
1.631,80
37,5
198,9
1.024,50
26
-4
4.235,20
2.320,10
5.175,00
4.457,00
521,9
1.797,50
2.894,10
195,9
-5
7.277,60
2.692,10
7.276,00
7.652,10
1.194,20
1.844,60
4.647,20
211,3
-6
13.287,50
2.417,00
12.537,60
20.388,40
2.250,40
3.313,30
12.337,80
265,3
83,8
758,1
3.397,10
6.615,10
12.385,70
27,3
23,7
27,3
60,2 9)
71,3
-
262
195,3
35,9
333,7
87,9
133,1
212,8
790
-
1.184,00
845,9
259,8
2.377,10
178,5
671,6
1.019,20
1.758,50
840,8
1.608,20
1.808,30
241,2
2.915,40
204,6
1.544,90
901,2
1.180,70
1.070,40
4.186,50
3.887,10
267,3
5.090,20
433
2.425,20
1.343,20
2.142,90
2.388,00
9.126,40
34.129,20
1.232,90
Pembagian sektor dalam Repelita I : 13 sektor, Repelita II : 17 sektor, sejak Repelita III sampai dengan Repelita V: 18 sektor.
Nama sektor dalam Repelita I tidak seluruhnya sama dengan Repelita berikutnya.
1)
Termasuk bantuan proyek;
2)
Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Industri dan Pembangunan;
3)
Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Tenaga Listrik;
4)
Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Pembangunan Regional dan Daerah;
5)
Dalam Repelita I nama sektor adalah Agama dan KepercayaanTerhadap Tuhan Yang Maha Esa;
6)
Dalam Repelita I nama sektor adalah Pendidikan dan Kebudayaan;
7)
Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Kesejahteraan Sosial;
8)
Dalam Repelita I nama sektor adalah Penyertaan Modal Pemerintah;
9)
Merupakan jumlah realisasi sektor-sektor 5,12, 14, 15 dan 16;
10)
Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 3.500,0 miliar.
50.885,10
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Pertanian dan Pengairan
Industri 2)
Pertambangan dan Energi 3)
Perhubungan dan Pariwisata
Perdagangan dan Koperasi
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pembangunan Daerah, Desa don Kota 4)
5)
Agama
Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional dan
Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa 6)
Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita,
Kependudukan dan
Keluarga Berencana
Perumahan Rakyat dan Pemukiman 7)
Hukum
Pertahanan dan Keamanan Nasional
Penerangan, POTS, dan Komunikasi Sosial
IImu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian
Aparatur Pemerintah
8)
Pengembangan Dunia Usaha
Sumber Alam dan Lingkungan Hidup
Jumlah
Departemen Keuangan RI
101.346,4
135
10)
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Tabel II.15
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR, REPELITA VI
(dalam miliar rupiah)
Repelita VI
Sektor
APBN
-3
-1
-2
450,5
Industri
3.032,50
989,6
Pertanian dan Kehutanan
6.404,00
1.687,00
Pengairan
10.473,40
146,5
Tenaga Kerja
1.073,20
Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan
736,3
dan Koperasi
5.036,10
5.225,50
Transportasi, Meteorologi, dan Geofisika
33.054,20
3.581,90
Pertambangan dan Energi
21.779,50
721,9
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi
4.778,60
5.504,30
Pembangunan Daerah dan Transmigrasi
34.227,50
452,3
Lingkungan Hidup dan Tata Ruang
3.254,70
Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
3.061,30
Pemuda dan Olah Raga
20.382,00
290,2
Kependudukan dan Keluarga Sejahtera
1.743,10
Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, Anak
1.031,00
dan Remaja
6.892,40
887,9
Perumahan dan Permukiman
5.740,60
121,9
Agama
1.055,50
529,8
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3.627,00
111,4
Hukum
814,4
557
Aparatur Negara dan Pengawasan
3.613,30
Politik, Hubungan Luar Negeri,
Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
1.036,30
15,2
1.154,60
Pertahanan dan Keamanan
7.914,60
Jumlah
175.932,90
27.398,30
%
-4
14,9
15,5
16,1
13,7
14,6
15,8
16,4
15,1
16,1
13,9
15
16,6
15
15,5
11,5
14,6
13,7
15,4
15,2
14,6
15,6
2.2.6.2. Pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaannya
Selama pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) hingga tahun pertama
Repelita VI, pengeluaran pembangunan, baik pembiayaan rupiah maupun bantuan proyek, secara
umum menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam Repelita I, dengan masih
terbatasnya sumber-sumber penerimaan negara, jumlah pembiayaan rupiah baru mencapai
sebesar Rp 944,6 miliar, atau sekitar 77 persen dari jumlah seluruh anggaran pembangunan.
Selanjutnya seiring dengan meningkatnya tabungan pemerintah, dalam Repelita II dan Repelita
III jumlah pembiayaan rupiah dapat ditingkatkan, masing-masing menjadi sebesar Rp 5.960,6
miliar dan sebesar Rp 23.926,8 miliar. Dalam Repelita IV, meskipun keadaan perekonomian
nasional mengalami tantangan yang cukup berat, sebagai akibat menurunnya harga minyak
mentah di pasaran internasional, namun jumlah pembiayaan rupiah tetap dapat ditingkatkan,
Departemen Keuangan RI
136
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sehingga menjadi sebesar Rp 26.798,1 miliar, atau naik sekitar 12 persen dari realisasi
pembiayaan rupiah dalam Repelita III. Peningkatan tersebut, yang sejalan dengan meningkatnya
penerimaan negara, masih terus berlanjut dalam Repelita V, sehingga jumlah pembiayaan rupiah
dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 55.435,7 miliar, atau naik sekitar 107 persen jika
dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita IV. Dengan berbagai perkembangan tersebut,
selama PJP I jumlah keseluruhan pembiayaan rupiah mencapai sebesar Rp 113.065,8 miliar, atau
naik rata-rata sekitar 24 persen per tahun. Memasuki tahun pertama Repelita VI, pembiayaan
rupiah dianggarkan sebesar Rp 17.386,3 miliar, atau naik sebesar Rp 1.656,3 miliar (10,5 persen)
dari realisasinya sebesar Rp 15.730,0 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94).
Pembiayaan rupiah tersebut, di samping dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek sektoral
melalui DIP-DIP departemen/lembaga negara,juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan daerah serta proyek-proyek pembangunan lainnya. Perkembangan pembiayaan
rupiah berdasarkan jenis pembiayaannya selama periode PJP I dan tahun pertama Repelita VI
dapat diikuti dalam Tabel II.16.
2.2.6.2.1. Pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara
Pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan sektoral ditampung melalui pengeluaran
pembangunan departemen/lembaga negara, dan diarahkan agar sejauh mungkin dapat
mendukung pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai sektor dan subsektor sesuai
dengan skala prioritas pembangunan dalam setiap tahapan pembangunan lima tahunan.
Pelaksanaan daripada berbagai program pembangunan sektoral tersebut dilakukan oleh masingmasing departemen/lembaga negara sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya, sedangkan
alokasi anggarannya disediakan melalui DIP departemen/lembaga negara yang bersangkutan.
Sesuai dengan arab kebijaksanaan pembangunan yang digariskan dalam GBHN dan Repelita,
alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode PJP I diarahkan
terutama untuk membiayai program-program pembangunan di bidang ekonomi, dengan
senantiasa mengusahakan terdapatnya keseimbangan dan keserasian antara upaya pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dari stabilitas nasional yang schar
dan dinamis.
Departemen Keuangan RI
137
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.16
1)
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIAYAAN
2)
1969/70 - 1994/95
( dalam miliar rupiah)
Departemen/
Daerah/
3)
4)
Inpres
Lembaga
Jumlah
Tahun
Lainnya
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 7)
79,8
83
102,6
150
167,3
5,5
32,7
37,3
57,8
85,7
7,6
12,4
11
28,1
83,8
92,9
128,1
150,9
235,9
336,8
221,6
384,9
590,9
744,5
851
158,3
234,2
285
366,2
431,1
386
307,2
405
308,5
286,2
765,9
926,3
1.280,90
1.419,20
1.568,30
1.480,30
2.533,20
2.724,60
3.260,90
3.219,50
548,9
807,6
1.134,00
1.090,40
1.447,50
668,7
1.145,60
1.417,60
1.083,40
1.364,60
2.697,90
4.486,40
5.276,20
5.434,70
6.031,60
3.474,40
4.466,50
2.003,50
1.384,60
1.861,30
1.526,20
1.502,60
1.466,50
1.334,30
1.485,70
1.542,60
1.400,60
1.067,30
1.328,30
953,7
6.543,20
7.369,70
4.537,30
4.047,20
4.300,70
2.508,80
4.853,70
5.971,40
7.858,00
8.560,40
1.720,10
2.997,70
3.953,30
5.040,30
5.975,60
1.183,30
1.092,80
1.493,80
1.032,50
1.194,00
5.412,20
8.944,2 5)
11.418,5 6)
13.930,80
15.730,00
9.945,60
6.822,40
618,3
17.386,30
1)
Di luar bantuan proyek;
Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P
tahun yang bersangkutan;
3)
Termasuk Hankam;
4)
Terdiri dari PMP, LPP dan Subsidi Pupuk;
5)
Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 2.000,0 miliar;
6)
Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 1.500,0 miliar;
7)
APBN.
2)
Departemen Keuangan RI
138
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Seirama dengan makin meningkatnya jangkauan dari cakupan kegiatan pembangunan,
jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara selama pelaksanaan PJP I
senantiasa menunjukkan peningkatan, sejalan dengan bertambahnya volume anggaran belanja
pembangunan rupiah. Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan
departemen/lembaga negara baru mencapai sebesar Rp 582,7 miliar, atau sekitar 62 persen dari
seluruh pembiayaan pembangunan rupiah. Guna mendukung program stabilisasi ekonomi dan
rehabilitasi produksi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam
periode tersebut diprioritaskan bagi pembiayaan program-program pembangunan di bidang
ekonomi, dengan titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat di bidang pangan, khususnya beras, dalam periode tersebut
diupayakan melalui pembangunan prasarana dari sarana pertanian, seperti pembukaan areal
persawahan, pembangunan jaringan irigasi dan bendungan, serta prasarana yang menunjang
usaha peningkatan produksi pangan Sedangkan guna memperlancar distribusi barang dari jasa,
alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan
untuk pembangunan prasarana dan sarana perhubungan dan telekomunikasi, seperti
pembangunan jalan raya, rehabilitasi, penggantian dan perluasan transportasi darat, serta
pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan. Selain itu guna memenuhi kebutuhan energi, alokasi
pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan
untuk pembangunan saranadan prasarana kelistrikan, seperti pembangkit tenaga listrik, berikut
jaringan transmisi dari distribusinya.
Dalam Repelita II, pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai
jumlah sebesar Rp 2.792,9 miliar, atau naik sekitar 379 persen jika dibandingkan dengan
realisasinya dalam Repelita I. Dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, alokasi
pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan
terutama untuk menunjang program peningkatan produksi pertanian, program perluasan
kesempatan kerja, dan program pembangunan daerah. Sedangkan untuk mendukung upaya
penyediaan fasilitas pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, anggaran belanja
pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan untuk
membiayai program perluasan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Departemen Keuangan RI
139
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dalam Repelita III, jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara
mencapai sebesar Rp 13.218,5 miliar, atau naik sekitar 373 persen jika dibandingkan dengan
realisasinya dalam Repelita II. Guna mendukung program pemerataan pembangunan, alokasi
pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan
terutama untuk pembiayaan pembangunan daerah, desa dari kota, berupa pembangunan sarana
dari prasarana sosial ekonomi desa, program pembangunan Dati II, serta program pembangunan
Dati I. Sementara itu dalam rangka penyediaan energi nasional dari pemanfaatan kekayaan
tambang bagi kesejahteraan masyarakat, alokasi anggaran pembangunan departemen/lembaga
negara dalam periode tersebut juga dimanfaatkan untuk membiayai berbagai proyek di sektor
pertambangan dan energi, seperti pembangunan dan perluasan sarana pusat pembangkit listrik
dan pembangunan listrik perdesaan. Sedangkan untuk mewujudkan swasembada pangan,
khususnya beras, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut
juga diprioritaskan untuk membiayai pembangunan berbagai proyek di sektor pertanian, seperti
pembiayaan program intensifikasi khusus dan operasi khusus, pengadaan bibit, serta
pembangunan jaringan irigasi. Selanjutnya guna lebih memperlancar arus barang, penumpang
dan jasa, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga
dialokasikan untuk membiayai pembangunan prasarana dan sarana perhubungan, seperti
peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan serta peningkatan jaringan pelayanan
penerbangan. Demikian pula dalam rangka pengembangan sumber daya manusia, prioritas
anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan untuk
membiayai berbagai proyek di sektor pendidikan, seperti peningkatan sarana pendidikan,
pembangunan gedung sekolah di berbagai jenjang pendidikan, serta pengadaan buku bacaan dan
alat-alat laboratorium.
Dalam Repelita IV, jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara
mencapai sebesar Rp 13.190,3 miliar, atau sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasinya dalam Repelita III. Guna mempertahankan swasembada pangan yang dicapai sejak
akhir Repelita III, prioritas pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan
penggunaannya untuk membiayai program penganekaragaman produksi pertanian, serta
perbaikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah dibangun di bidang pengairan.
Sedangkan untuk mendukung program pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air,
alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain digunakan untuk
Departemen Keuangan RI
140
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
membiayai program pembangunan desa, program pembangunan daerah tingkat II, dan program
pembangunan daerah tingkat I. Dalam rangka meningkatkan produksi, menganekaragamkan hasil
tambang, serta memenuhi sumber energi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga
negara dalam periode tersebut diarahkan antara lain untuk membiayai program pengembangan
pertambangan serta program diversifikasi sumber-sumber energi. Sementara itu dalam rangka
peningkatan
kualitas
sumber
daya
manusia,
alokasi
pengeluaran
pembangunan
departemen/lembaga negara antara lain dimanfaatkan untuk menunjang upaya perluasan dan
pemerataan kesempatan belajar bagi anak usia sekolah dasar, guna mendukung pelaksanaan
program wajib belajar enam tahun, serta pembangunan prasarana dan sarana pendidikan di semua
jenis danj enjang pendidikan. Demikian pula guna memperlancar arus barang, angkutan, dan jasajasa, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan antara lain untuk
perbaikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana jalan yang kondisi kerusakannya cukup parah,
peningkatan dan rehabilitasi jalur rel kereta api, serta pembangunan prasarana dan sarana
pelabuhan.
Dalam Repelita V, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan departemen/lembaga
negara mencapai sebesar Rp 29.752,3 miliar, atau sekitar 126 persen lebih tinggi jika
dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita IV. Dalam periode tersebut prioritas alokasi
pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan untuk penyediaan dana operasi
dan pemeliharaan bagi sarana dan prasarana yang ada di berbagai sektor pembangunan,
pembangunan sarana dan prasarana dasar yang memang tidak dapat disediakan sendiri oleh
masyarakat, dan pengembangan sumber daya manusia melalui perbaikan gizi dan kesehatan, serta
pendidikan dan pelatihan.
Memasuki tahun pertama Repelita VI, sejalan dengan semakin meningkatnya
pembangunan dan pelayanan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, pengeluaran
pembangunan departemen/lembaga negara dianggarkan sebesar Rp 9.945,6 miliar, yang berarti
naik sebesar Rp 1.385,2 miliar atau sekitar 16 persen dari realisasinya sebesar Rp 8.560,4 miliar
dalam tahun anggaran 1993/94. Dalam periode tersebut, prioritas pengeluaran pembangunan
departemen/lembaga negara diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah
kepada masyarakat, memaksimalkan dan mempertahankan selama mungkin manfaat dan nilai
ekonomis daripada prasarana dan sarana dasar yang sedang dan telah dibangun di berbagai sektor
pembangunan, menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan
Departemen Keuangan RI
141
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengembangan sumber daya manusia antara lain melalui program wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun, serta mempertahankan mutu lingkungan hidup terhadap dampak negatif aktivitas
pembangunan.
2.2.6.2.2. Pengeluaran pembangunan daerah
Pembiayaan pembangunan bagi daerah pada dasarnya terdiri dari dua unsur utama, yaitu
program bantuan pembangunan daerah dan pengeluaran pembangunan daerah yang memperoleh
sumber pembiayaan dari dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan. Program bantuan
pembangunan daerah, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres bantuan pembangunan
daerah, selain dimaksudkan untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih mampu
melaksanakan pembangunan daerah dalam bidang-bidang yang menjadi urusan rumah tangganya
sendiri, juga bertujuan untuk mewujudkan program pemerataan pembangunan antar wilayah,
memperluas otonomi daerah, serta mendorong peningkatan kemampuan keuangan daerah. Guna
mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara lebih nyata dan bertanggung
jawab dalam pembangunan, serta mengentaskan kemiskinan yang masih banyak terdapat di
daerah perdesaan, daerah terpencil di pedalaman, serta daerah terbelakang dan terisolir, jumlah
anggaran, cakupan, dan jangkauan kegiatan daripada program-program bantuan pembangunan
daerah selama pelaksanaan PJP I, ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
keuangan negara.
Dalam Repelita I, jumlah bantuan pembangunan daerah baru mencapai sebesar Rp 219
miliar, atau sekitar 23 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan rupiah yang tersedia
dalam periode tersebut. Dana tersebut dialokasikan untuk program Inpres desa, program Inpres
Dati II, program Inpres Dati I, serta program Inpres SD. Sejak Repelita II, cakupan program
bantuan pembangunan daerah diperluas dengan pemberian bantuan khusus berupa program
Inpres sarana kesehatan, Inpres pasar, Inpres penghijauan dan reboisasi, serta Inpres penunjang
jalan. Dengan penambahan program-program bantuan pembangunan daerah tersebut, maka dalam
Repelita II dan III jumlah pengeluaran pembangunan bagi daerah mengalami peningkatan
masing-masing menjadi sebesar Rp 1.474,8 miliar dan sebesar Rp 5.028,4 miliar. Selanjutnya
dalam Repelita IV seiring dengan upaya untuk makin mempercepat pemerataan laju
pembangunan antar daerah, jumlah bantuan pembangunan daerah ditingkatkan lagi menjadi
Departemen Keuangan RI
142
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar Rp 7.315,3 miliar, atau sekitar 46 persen lebih tinggi dari realisasinya dalam periode
Repelita III. Kemudian, sejalan dengan makin besarya kemampuan pembiayaan pembangunan,
dalam Repelita V, alokasi pengeluaran pembangunan bagi program bantuan pembangunan daerah
bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, sehingga jumlah keseluruhannya mencapai
sebesar Rp 19.687,0 miliar, atau naik sekitar 169 persen dari jumlah realisasinya dalam Repelita
IV. Dengan berbagai perkembangan tersebut, selama pelaksanaan PJP I jumlah keseluruhan
bantuan pembangunan daerah mencapai sebesar Rp 33.724,5 miliar, atau naik rata-rata sekitar 34
persen per tahun. Jumlah bantuan pembangunan daerah tersebut mencakup program bantuan
pembangunan desa (Inpres desa), program bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati
II), program bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I), program bantuan
pembangunan sekolah dasar (Inpres SD), program bantuan pembangunan kesehatan (Inpres
kesehatan), program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar(Inpres pasar), program bantuan
pembangunan penghijauan dan reboisasi (Inpres penghijauan dari reboisasi), serta program
bantuan pembangunan peningkatan jalan (Inpres jalan).
Memasuki tahun pertama Repelita VI, jenis program bantuan pembangunan daerah
ditambah lagi dengan program baru, yaitu program Inpres desa tertinggal (IDT) sebagai program
bantuan umum. Namun demikian, guna meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata, maka
sejak tahun anggaran 1994195 alokasi program bantuan pembangunan daerah telah
disempurnakan dan disederhanakan dengan mengintegrasikan sebagian dana program bantuan
khusus, yaitu program Inpres penghijauan dan reboisasi, Inpres pasar, serta Inpres penunjang
jalan, ke dalam program Inpres Dati II dan Dati I sebagai program bantuan umum. Dengan
adanya penambahan program baru dan penyempurnaan sistem alokasi program bantuan
pembangunan daerah tersebut, maka dalam APBN 1994/95 anggaran yang disediakan bagi
program Inpres daerah diperkirakan mencapai sebesar Rp 6.822,4 miliar, yang berarti naik
sebesar Rp 846,8 miliar atau sekitar 14 persen dari realisasinya sebesar Rp 5.975,6 miliar dalam
tahun anggaran 1993/94.
Program bantuan pembangunan desa, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres
desa, dikembangkan sejak awal Repelita I dengan maksud untuk mendorong, menggerakkan dan
meningkatkan swadaya gotong-royong, menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat
desa, serta meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Dana bantuan
tersebut di samping dipergunakan untuk menunjang pembiayaan bagi berbagai proyek prasarana
Departemen Keuangan RI
143
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ekonomi dan sosial di daerah perdesaan, juga dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan
pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Agar pengembangan prasarana dan sarana dasar
tersebut langsung menyentuh kepentingan golongan masyarakat yang berpendapatan rendah,
serta dapat menunjang prasarana produksi pertanian di daerah perdesaan, maka alokasi dana
bantuan pembangunan desa dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan jalan dan jembatan
desa, transportasi perintis, dan pengairan desa. Sementara itu untuk meningkatkan peran aktif dan
partisipasi wanita dalam mendorong dan menggerakkan pembangunan desanya, sejak tahun
anggaran 1985/86 dalam program bantuan pembangunan desa tersebut juga dimasukkan bantuan
pembiayaan untuk program pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Di samping itu dalam
rangka mendukung peningkatan prakarsa dan swadaya masyarakat, melalui program bantuan
pembangunan desa juga dilaksanakan proyek peningkatan peranan dan fungsi LKMD, proyek
pelatihan kader pembangunan desa, dan proyek pelatihan usaha ekonomi desa. Selanjutnya guna
menyediakan perumahan yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan, melalui dana
bantuan pembangunan desa diupayakan pemugaran perumahan dan lingkungan desa, terutama
bagi penduduk yang kurang mampu.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan program bantuan pembangunan desa tersebut
terus mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan daya dukung keuangan negara. Apabila
dalam periode Rcpelita I anggaran bagi program bantuan pembangunan desa baru mencapai
sebesar Rp 24,9 miliar, maka dalam periode Repelita V jumlah dana bantuan pembangunan desa
telah mencapai sebesar Rp 1.258,7 miliar, atau mengalami peningkatan lebih dari 50 kali lipat
dari realisasinya dalam Repelita I. Peningkatan tersebut di samping disebabkan oleh semakin
banyaknya jumlah desa yang mcmperoleh bantuan, juga karena ditingkatkannya jumlah bantuan
bagi setiap desa. Dalam APBN 1994/95, jumlah bantuan pembangunan desa mencapai sebesar
Rp 423,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sekitar 9 persen dari realisasinya sebesar
Rp 389,7 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94). Peningkatan tersebut selain
disebabkan oleh adanya pemekaran desa dan penambahan jumlah desa transmigrasi, juga karena
adanya peningkatan bantuan bagi setiap desa. Dalam tahun tersebut jumlah desa yang
mendapatkan bantuan pembangunan desa adalah sebanyak 63.920 desa, sedangkan besarnya
bantuan bagi setiap desa adalah sebesar Rp 6 juta, yang terdiri dari sebesar Rp 5 juta untuk
pembangunan desa dan sebesar Rp 1 juta untuk menunjang kegiatan PKK. Jumlah bantuan bagi
setiap desa tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp 500 ribu atau sekitar 9 persen dari
Departemen Keuangan RI
144
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
jumlah bantuan bagi tiap desa dalam tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan bantuan
pembangunan desa sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam
Tabel II.17.
Departemen Keuangan RI
145
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 9)
Tabel II.17
INPRES PEMBANGUNAN DESA,
1)
1969/70 - 1994/95
Bantuan tiap Desa Jumlah bantuan
(ribu rupiah)
(miliar rupiah)
Jumlah Desa
44.478
44.622
44.630
45.575
45.587
100
100
100
100
100
2,6
5,6
5,3
5,7
5,7
45.303
45.303
58.675
59.071
60.645
200
300
300
350
350
11,4
15,9
19,8
23,2
24
61.158
63.058
64.650
65.127
66.437
450
750
1.000
1.250
1.250
31
50,7
70,5
88,4
91,6
67.448
66.173
66.391
66.594
66.744
1.250
1.350 2)
1.350 2)
1.350 2)
1.500 3)
92,8
98,6
86,4
102,2
112
66.979
66.979
67.033
68.762
63.721
1.500 3)
2.500 4)
3.500 5)
4.500 6)
5.500 7)
112
180,6
249,9
326,5
389,7
63.920
6.000 8)
423,3
1)
Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan
UU APBN T/P tahun yang bersangkutan;
2)
Rp 250.000 untuk PKK, Rp 1.100.000 untuk desa;
3)
Rp 300.000 untuk PKK, Rp 1.200.000 untuk desa;
4)
Rp 500.000 untuk PKK. Rp 2.000.000 untuk desa;
5)
Rp 700.000 untuk PKK, Rp 2.800.000 untuk desa;
6)
Rp 900.000 untuk PKK, Rp 3.600.000 untuk desa;
7)
Rp 1.000.000 untuk PKK, Rp 4.500.000 untuk desa;
8)
Rp 1.000.000 untuk PKK, Rp 5.000.000 untuk desa;
9)
APBN.
Departemen Keuangan RI
146
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Di samping program bantuan pembangunan desa, Pemerintah juga memberikan bantuan
pembangunan kepada kabupaten/kotamadya, yang dikenal dengan Inpres Dati II. Bantuan
tersebut telah dilaksanakan sejak tahun anggaran 1970/71, dan dimaksudkan untuk memperluas
jangkauan penyediaan berbagai prasarana, baik sosial maupun ekonomi, untuk mendukung
kegiatan dan kebutuhan masyarakat pada tingkat kabupaten/kotamadya. Di samping itu bantuan
pembangunan Dati II juga dimanfaatkan untuk menunjang pembiayaan bagi program penataan
ruang di kawasan tertentu yang dianggap mendesak dan strategis, serta pembiayaan proyekproyek yang memanfaatkan potensi alam dan tenaga kerja yang ada di masing-masing daerah
tingkat II. Besarnya bantuan pembangunan Dati II yang diterima oleh masing-masing
kabupaten/kotamadya didasarkan pada jumlah penduduk, dengan ketentuan bahwa bagi daerah
yang penduduknya kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan minimum dalam jumlah
yang ditetapkan. Di samping bantuan yang diterima atas dasar jumlah penduduk sebagai jumlah
bantuan minimum, daerah tingkat II juga memperoleh sejumlah dana sebagai perangsang dalam
pengumpulan hasil pajak bumi dan bangunan (PBB). Pemberian insentif tersebut dimaksudkan
terutama untuk merangsang peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di daerah dan mendorong
pemerintah daerah dalam meningkatkan upaya penggalian sumber-sumber pendapatan daerahnya.
Selama periode PJP I besarnyajumlah bantuan yang dialokasikan bagi program bantuan
pembangunan Dati II telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila dalam periode
Repelita I, realisasi bantuan pembangunan Dati II hanya mencapai sebesar Rp 46,4 miliar, maka
dalam periode Repelita V jumlah bantuan tersebut telah mencapai sebesar Rp 3.095,6 miliar, atau
meningkat sekitar 66 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Ini berarti bahwa selama PJP I
jumlah keseluruhan bantuan pembangunan Dati II mencapai sebesar Rp 5.304,7 miliar, atau naik
rata-rata 25,4 persen pertahun. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI, bantuan
pembangunan Dati II dianggarkan sebesar Rp 2.417,8 miliar, atau lebih tinggi sekitar 136 persen
dari realisasinya sebesar Rp 1.025,4 miliar dalam tahun terakhir Repelita V. Peningkatan jumlah
pembangunan Dari II yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh adanya
pengintegrasian bantuan pembangunan dan pemugaran perumahan perdesaan, bantuan
pemugaran pasar kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi sekolah dasar (SD) dan
madrasah ibtidaiyah (MI), dan Inpres peningkatan jalan Dati II, ke dalam Inpres Dati II.
Perkembangan bantuan pembangunan Dati II sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama
Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.18.
Departemen Keuangan RI
147
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 3)
Tabel II.18
INPRES PEMBANGUNAN DATI II,
1)
1969/70 - 1994/95
Bantuan minimum
tiap Dati II
Bantuan tiap
(juta rupiah)
jiwa (rupiah)
Jumlah
penduduk
(juta)
Jumlah
bantuan
(miliar rupiah)
-
50
75
100
150
112,3
114,8
117,5
120,1
5,6
8,8
12,8
19,2
16
20
30
40
50
300
400
400
450
450
126,1
129,1
132,1
135,2
136,6
42,5
59,1
62,4
69,1
70,9
65
100
150
160
160
550
750
1.000
1.150
1.150
139,4
142,3
147,5
150,9
154,4
87,1
119,4
162,7
193,9
194,1
160
170
170
170
170
1.150
1.250
1.250
1.250
1.450
158,1
161,6
165,3
168,8
172,2
194,6
188,6
188,1
263
267,2
200
500
630
750
1.000
1.450
2.000
3.000
4.000
5.000
175,6
179,1
182,6
183
189,1
270
391,8
583,3
825,1
1.025,40
1.000
5.000
192,2
2.417,8 2)
1)
Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun
yang bersangkutan;
2)
Termasuk bantuan pembangunan/pemugaran perumahan perdesaan sebesar Rp 18.6 miliar, bantuan
pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 5.0 miliar, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah sebesar Rp
250,0 miliar, Inpres penghijauan sebesar Rp 82,5 miliar, dan Inpres peningkatan jalan Dati II sebesar Rp 967,6
miliar;
3)
A P B N.
Departemen Keuangan RI
148
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.19
INPRES PEMBANGUNAN DATI I,
1)
1969/70 - 1994/95
Tahun
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 6)
Bantuan minimum
tiap Dati I
(juta rupiah)
Bantuan maksimum
tiap Dati I
(juta rupiah)
Jumlah
bantuan
(miliar rupiah)
-
-
- 2)
20,7 3)
20,8 3)
20,8 3)
20,8 3)
500
750
1.000
1.500
2.000
5.600
6.400
7.100
7.800
8.200
47,4
54
61,5
75,4
86,8
2.500
5.000
7.500
9.000
9.000
8.800
9.900
10.000
11.000
11.000
100,8
166,7
215
253
253
9.000
10.000
10.000
10.000
12.000
11.000
12.000
12.000
12.000
12.000
253
287,3
293,1
290,4
334,3
12.000
14.000
18.000
22.500
25.000
12.000
14.000
18.000
22.500
25.000
324
486,0 4)
573,9 4)
701,2 4)
782,8 4)
25.000
25.000
1.218,7 5)
1)
Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P
tahun yang bersangkutan;
2)
Diterima langsung oleh Dati I berupa alokasi devisa otomatis (ADO);
3)
Sumbangan Pemerintah sebagai pengganti ADO;
4)
Termasuk bantuan tambahan sebesar Rp 108,0 miliar dibagi per Dati I secara proporsional menurut
luas wilayah daerah daratan masing-masing;
5)
Termasuk Keuangan
Inpres reboisasi
Departemen
RI Rp 21.8 miliar dan Inpres peningkatan Dati I sebesar Rp 405.6 miliar;
6)
A P B N.
149
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya dalam upaya meningkatkan keselarasan antara pembangunan sektoral dan
regional, meningkatkan keserasian pertumbuhan antar daerah, serta meningkatkan partisipasi
daerah dalam pembangunan nasional, melalui anggaran pcmbangunan sejak tahun anggaran
1969/70 telah disediakan bantuan pembangunan Dati I (Inpres Dati I). Pada dasarnya bantuan
tersebut merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari kebijaksanaan alokasi devisa otomatis
atau sumbangan pemerintah pengganti alokasi devisa otomatis (SPP-ADO) yang alokasinya
didasarkan atas nilai ekspor tiap propinsi. Penyempurnaan tersebut dilaksanakan terutama karena
sistem SPP-ADO dirasakan telah mengakibatkan meningkatnya perbedaan penerimaan antara
propinsi pengekspor dan propinsi bukan pengekspor. Sejak awal Repelita II, sistem SPP-ADO
tersebut dihapuskan dan diganti dengan bantuan pembangunan Dati I, yang pengalokasiannya
untuk setiap propinsi tidak lagi didasarkan pada nilai ekspor. Bantuan pembangunan Dati I
tersebut dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan daerah di setiap propinsi,
antara lain berupa proyek-proyek pemeliharaan jalan dan jembatan, perbaikan irigasi, serta
eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sampai dengan tahun anggaran 1989/90, bantuan
pembangunan daerah tingkat I dapat dikelompokkan atas dua bagian, yaitu pertama, bagian yang
ditetapkan digunakan untuk membiayai kegiatan pemeliharaan jalan dan jembatan propinsi,
perbaikan dan peningkatan irigasi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jaringan pengairan.
Kedua, bagian yang diarahkan, yaitu dana yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan lainnya
sesuai dengan prioritas pembangunan masing-masing daerah tingkat I, sebagaimana yang
tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun daerah (Repelitada) masing-masing propinsi.
Dari Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, program bantuan pembangunan
daerah tingkat I senantiasa menunjukkan peningkatan, baik dilihat dari nilai nominalnya maupun
persentasenya. Apabila dalam periode Repelita I dan Repelita II, realisasi bantuan pembangunan
Dati I masing-masing baru mencapai sebesar Rp 83,1 miliar dan sebesar Rp 325,1 miliar, maka
dalam Repelita selanjutnya reaIisasi bantuan pembangunan Dati I mengalami peningkatan
masing m asing menjadi sebesar Rp 988,5 miliar dalam Repelita III, sebesar Rp 1.458,1 miliar
dalam Repelita IV, dan sebesar Rp 2.867,9 miliar dalam Repelita V. Ini berarti bahwa selama PJP
I jumlah bantuan pembangunan Dati I mencapai sebesar Rp 5.722,7 miliar atau naik rata-rata
17,1 persen per tahun. Sedangkan dalam tahun pertama Repelita VI, jumlah bantuan
pembangunan Dati I dianggarkan sebesar Rp 1.218,7 miliar, yang berarti Rp 435,9 miliar atau
sekitar 56 persen lebih tinggi dari realisasinya sebesar Rp 782,8 miliar dalam tahun anggaran
Departemen Keuangan RI
150
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1993/94. Kenaikan realisasi dana Inpres Dati I yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan
oleh adanya pengintegrasian program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan
Dati I ke dalam Inpres Dati I. Perkembangan bantuan pembangunan Dati I sejak Repelita I
sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.19.
Program bantuan pembangunan sekolah dasar (Inpres SD) diberikan sejak tahun anggaran
1973/74, dengan maksud untuk memperluas dan menunjang pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan mutu sumber daya manusia
sebagai modal dasar untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Dalam hubungan
ini, perhatian khusus diberikan kepada daerah perdesaan, daerah perkotaan yang berpenghasilan
rendah, dan daerah permukiman baru, seperti daerah transmigrasi. Program bantuan
pembangunan SD (lnpres SD) tersebut antara lain dipergunakan untuk pembangunan gedung,
penambahan ruang kelas, rehabilitasi gedung, pengadaan peralatan penunjang pendidikan, buku
perpustakaan, rumah dinas guru dan kepala sekolah, serta pengadaan dan penempatan guru.
Dalam tahun anggaran 1973/74, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres
SD baru mencapai sebesar Rp 17,2 miliar, yang dipergunakan bagi pembangunan sebanyak 6.000
unit gedung baru SD, dan pengadaan sebanyak 6,6 juta unit buku bacaan. Dalam Repelita II,
alokasi pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan SD semakin ditingkatkan,
sehingga realisasinya mencapai sebesar Rp 323,7 miliar. Melalui program bantuan pembangunan
SD dalam periode tersebut, telah berhasil dilakukan pembangunan sekitar 56.000 gedung-gedung
SD baru, penambahan sekitar 15.000 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 56.000 gedung SD, serta
pengadaan sekitar 39 juta unit buku bacaan. Berbagai upaya tersebut telah berhasil memperluas
daya tampung SD yang mampu menjangkau sekitar 85 persen dari seluruh anak usia sekolah
dasar (umur 7-12 tahun). Dalam Repelita III, jumlah pengeluaran pembangunan bagi bantuan
pembangunan SD mencapai sebesar Rp 1.596,8 miliar, atau naik sekitar 393 persen dari
realisasinya dalam Repelita II. Dalam periode tersebut, telah berhasil dilaksanakan pembangunan
sekitar 74.740 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 110.700 ruang kelas, rehabilitasi sekitar
106.000 gedung SD, pembangunan sekitar 92.000 rumah kepala sekolah dan guru SD, serta
pengadaan sekitar 104 juta unit buku bacaan dan sekitar 146.000 paket peralatan olah raga.
Dalam Repelita IV, jumlah pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan SD mencapai
sebesar Rp 1.917,8 miliar, atau naik sekitar 20 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Dalam
rangka perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh anak-anak usia sekolah dasar
Departemen Keuangan RI
151
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
guna mendukung pelaksanaan program wajib belajar enam tahun, melalui program bantuan
pembangunan SD dalam periode tersebut telah dilakukan pembangunan sekitar 9.874 gedung
sekolah dasar, penambahan sekitar 35.048 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 94.448 gedung SD,
pembangunan kembali sekitar 1.590 gedung SD yang telah rusak berat, pembangunan sekitar
132.490 rumah kepala sekolah dan guru SD, pengadaan sekitar 131 juta unit buku bacaan
termasuk sekitar 15 juta buku paket A untuk pemberantasan buta huruf, serta pengadaan sekitar
1.000 paket peralatan olah raga.
Selanjutnya dalam Repelita V, anggaran belanja pembangunan bagi bantuan
pembangunan SD mencapai sebesar Rp 2.347,2 miIiar, atau mengalami peningkatan sekitar 22
persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Melalui program bantuan pembangunan SD dalam
periode tersebut, telah berhasil dilakukan pembangunan sekitar 2.686 gedung sekolah dasar,
penambahan sekitar 5.450 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 117.775 gedung SD, pembangunan
kembali sekitar 4.555 gedung SD yang telah rusak berat, pembangunan sekitar 9.717 rumah
kepala sekolah dan guru SD, pengadaan sekitar 89 juta unit buku bacaan termasuk sekitar 4 juta
buku paket A untuk pendidikan masyarakat dan sekitar 1 juta eksemplar buku modul untuk SD
kecil, serta pengadaan sekitar 1.000 paket peralatan olah raga. Dengan dukungan bantuan
pembangunan sekolah dasar yang dilakukan secara terus menerus, dan melalui pelaksanaan
program wajib belajar pendidikan dasar tingkat SD, dalam tahun terakhir Repelita V, hampir
semua (99,6 persen) anak usia 7-12 tahun telah berkesempatan mengikuti pendidikan di tingkat
SD. Dengan keberhasilan tersebut, maka secara potensial tersedia sumber daya manusia yang
berkemampuan dan berketerampilan dasar sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan selanjutnya
atau berusaha dalam masyarakat.
Memasuki tahun pertama Repelita VI, sebagian dari dana Inpres SD, yaitu yang berupa
dana rehabilitasi SD dan madrasah ibtidaiyah, telah dialihkan ke dalam Inpres Dati II, sehingga
anggaran pembangunan yang disediakan bagi program Inpres SD menjadi sebesar Rp 497,9
miliar, atau sekitar 29 persen lebih rendah dari realisasinya sebesar Rp 698,7 miliar dalam tahun
terakhir Repelita V. Anggaran pembangunan tersebut antara lain digunakan untuk pembangunan
sekitar 700 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 2.650 ruang kelas, pembangunan sekitar
1.050 rumah kepala sekolah dan guru SD, serta pengadaan sekitar 36 juta unit buku bacaan.
Perkembangan bantuan pembangunan sekolah dasar sejak Repelita I sampai dengan tahun
pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.20.
Departemen Keuangan RI
152
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tahun
REPELITA I
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
1994/95 7)
Pembangunan
2)
gedung
(unit)
Tabel II.20
INPRES SEKOLAH DASAR,
1)
1973/74 - 1994/95
Rehabilitasi Pembangunan Rumah kepala
gedung
kembali
guru
(unit)
(unit)
(unit)
Penambahan
Ruang kelas
(ruang)
Buku
3)
bacaan
(juta)
Peralatan
olah raga
(paket)
Jumlah
bantuan
(miliar Rp)
6.000
-
-
-
-
6,6
-
17,2
6.000
10.000
10.000
15.000
15.000
15.000
10.000
16.000
15.000
15.000
-
-
6,9
7,3
8,6
7,3
8,5
-
19,7
49,9
57,3
85
111,8
10.000
14.000
15.000
22.600
13.140
15.000
20.000
25.000
35.000
15.700
15.000
20.000
25.000
25.000
21.000
-
5.000
7.500
9.500
20.000
50.000
12,5
14
15
30
32
50.000
96.000
155,8
249,8
374,5
267,4
549,3
2.200
3.200
3.243
831
400
12.500
12.500
7.748
1.300
1.000
28.500
31.000
24.615
10.333
940
250
400
60.000
60.000
9.890
2.400
200
32,6
32,6
32,6
22,9 4)
10
96.000
157.799
157.500
-
572
526,1
495,9
193,3
130,5
170
400
692
725
699
250
1.000
1.200
1.400
1.600
6.000
20.000
32.028
36.000
23.747
45
1.228
724
1.050
1.508
270
1.000
2.888
4.000
1.559
8,5 5)
12
12
20,6
36
1.000
-
100
373,5
520,5
654,5
698,7
700
2.650
- 6)
-
1.050
36
-
497,9
1)
Untuk tahun anggaran 1973/74 s.d 1993/94 adalah angka sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan;
2)
Di daerah terpencil, termasuk pembangunan 10 buah mess murid;
3)
Termasuk buku bacaan Paket A;
4)
Termasuk 14,9 juta buku paket A (20 jilid) untuk pemberantasan buta huruf;
5)
Termasuk 4,0 juta paket A untuk pendidikan masyarakat dan 0,5 juta eksemplar buku modul untuk SD kecil;
6)
Sejak tahun anggaran 1994/95 dialihkan kepada Inpres Dati II sebesar Rp 250,0 miliar;
7)
APBN.
Selanjutnya dalam rangka pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat, sejak tahun anggaran 1974/75 (awal Repelita II) kepada daerah diberikan
bantuan pembangunan sarana kesehatan. Program Inpres sarana kesehatan tersebut dimaksudkan
untuk memperluas cakupan dan meningkatkan multi pelayanan kesehatan, serta menyediakan
sarana kesehatan secara lebih merata dan sedekat mungkin kepada masyarakat, terutama bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah di daerah kumuh perkotaan, daerah perdesaan, daerah
terpencil atau terisolir, daerah transmigrasi, serta daerah permukiman baru. Dalam rangka
memperluas pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan, jumlah bantuan
pembangunan sarana kesehatan senantiasa ditingkatkan setiap tahunnya. Apabila dalam periode
Repelita II realisasi bantuan pembangunan sarana kesehatan baru mencapai sebesar Rp 94,5
miliar, maka dalam periode Repelita V realisasi bantuan tersebut telah mencapai sebesar Rp
Departemen Keuangan RI
153
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1.281,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan lebih dari 13 kali lipat. Dengan adanya
peningkatan yang relatif cukup pesat tersebut, jumlah anggaran yang dialokasikan bagi program
bantuan pembangunan sarana kesehatan selama PJP I mencapai jumlah sebesar Rp 2.157,9
miliar. Melalui program bantuan pembangunan sarana kesehatan tersebut, selama PJP I telah
berhasil dilaksanakan pembangunan 3.747 Puskesmas dan rehabilitasi 53.039 Puskesmas,
pembangunan 18.342 Puskesmas pembantu, 6.699 Puskesmas keliling, serta 10.628 rumah dokter
dan paramedis, terutama yang berada di kabupaten/kotamadya. Selain daripada itu melalui
program bantuan tersebut juga diupayakan penyediaan obat-obatan dan bantuan vaksin,
penyediaan air bersih, serta penyehatan lingkungan permukiman. Selanjutnya dalam tahun
pertama Repelita VI, program bantuan pembangunan sarana kesehatan dianggarkan sebesar Rp
393,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 16,7 miliar atau sekitar 4 persen
bila dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp 376,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/94.
Peningkatan tersebut disebabkan terutama oleh semakin bertambahnya bantuan yang diperlukan
untuk memenuhi keperluan tenaga medis melalui penyediaan biaya penempatan dan
pengangkatan
dokter
umum,
dokter
gigi,
tenaga
paramedis
dan
tenaga
kesehatan
nonmedis/pekarya kesehatan, serta pembangunan rumah dokter dan paramedis. Perkembangan
bantuan pembangunan sarana kesehatan sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun pertama
Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.21.
Program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar (Inpres pasar) dilaksanakan sejak
tahun anggaran 1976/77 dalam rangka pembinaan dan peningkatan kemampuan berusaha
pedagang kecil dan pengusaha golongan ekonomi lemah. Bantuan tersebut diberikan dalam
bentuk subsidi bunga atas kredit yang diberikan oleh perbankan bagi pembangunan dan
pemugaran pasar di masing-masing daerah tingkat II. Dalam Repelita II, jumlah pengeluaran
pembangunan bagi bantuan pembangunan dan pemugaran pasar mencapai sebesar Rp 2,42 miliar,
yang terutama digunakan untuk pembayaran biaya administrasi dan bunga kredit pemugaran dan
pembangunan pasar. Dalam Repelita III, alokasi anggaran pembangunan bagi program Inpres
pasar mengalami peningkatan yang cukup berarti, sehingga jumlahnya mencapai sebesar Rp 36
miliar, yang berarti melebihi realisasinya dalam Repelita sebelumnya. Selanjutnya dalam
Repelita IV, jumlah bantuan pembangunan dan pemugaran pasar mencapai sebesar Rp 47,4
miliar, atau naik sekitar 32 persen dari jumlah realisasinya dalam Repelita III. Di samping
digunakan untuk pembayaran bunga, anggaran pembangunan bagi program Inpres pasar dalam
Departemen Keuangan RI
154
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
periode tersebutjuga dimanfaatkan untuk pembayaran di muka atas angsuran pokok kredit
pembangunan pasar. Dalam Repelita V, realisasi bantuan pembangunan dan pemugaran pasar
mengalami penurunan yang cukup berarti, sehingga jumlahnya hanya mencapai sebesar Rp 13,7
miliar, atau turun sekitar 71 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata, dalam tahun pertama Repelita VI program
Inpres pasar tersebut telah diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan daerah Dati
II. Perkembangan bantuan pembangunan dan pemugaran pasar sejak Repelita II sampai dengan
Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.22.
Tabel II.21
INPRES KESEHATAN, 1973/74 – 1994/95 1)
Puskesmas Puskesmas Puskesmas
Doktor/
Rehabilitasi
(unit)
pembantu
keliling
paramedis Puskesmas 2)
(unit)
(unit)
(unit)
(unit)
Obat
per jiwa
(Rp)
Tahun
REPELITA I
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI
6)
1994/95
Air bersih
pedesaan
(unit)
Jumlah
bantuan
(miliar Rp)
1 3)
-
-
-
-
-
-
-
50
65
65
70
500
500
350
24
300
-
363
241
750
600
338
1.500
823
750
213
10.500
15.500
15.000
20.061
27.900
5,3
15,2
20,8
26,3
26,9
90
150
200
250
250
200
200
200
200
200
750
1.000
2.000
2.000
1.250
125
250
500
500
500
250
250
500
660
660
2.300
2.900
2.500
25.900
28.400
75.700
83.825
94.350
30
50,4
78,8
.80,3
87,3
250
275
325
400
450
100
100
100
3
5
1.500
1.500
1.000
80
80
500
500
200
-
700
500
450
20
150
2.500
2.600
1.600
455
1.200
85.000
90.000
59.325
5.092
8.500
64,6
110,6
107,7
4)
74,0
98,6
450
475
530
600
625
100
200
175
165
125
1.000
1.800
1.500
1.532
1.350
500
600
600
600
720
500
1.000
1.000
1.100
1.200
1.800
3.000
8.493
9.856
10.549
80.000
6.238
8.772
10.200
16.750
122,2
193,4
268,9
320.0
376,6 5)
725
30
500
358
690
3.515
-
393,3
1)
Untuk tahun anggaran 1973/74 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan;
2) Termasuk Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling;
3)
Rp 2 juta per Puskesmas;
4)
Termasuk untuk pelatihan 7.500 orang medis dan paramedis, serta penempatan 8.300 orang medis dan paramedis;
5)
Termasuk untuk pendidikan 12.900 orang bidan dan tenaga kesehatan, serta penempatan 17.400 orang bidan dan tenaga kesehatan desa;
6)
A P B N.
Di samping program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar, dalam rangka menjaga
kelestarian alam agar dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia, sejak tahun anggaran
Departemen Keuangan RI
155
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1976/77 kepada daerah juga disediakan bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi (Inpres
penghijauan dan reboisasi). Pemberian bantuan ini selain dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerah-daerah, juga diarahkan ootuk
meningkatkan usaha pelestarian sumber-sumber alam, hutan, tanah dan air, terutama di daerahdaerah yang ditinjau dari segi tata air dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam
suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Dalam perkembangannya, program bantuan
pembangunan penghijauan dan reboisasi tersebut disempurnakan sistem pelaksanaannya, masingmasing untuk program bantuan pembangunan reboisasi dialokasikan kepada Dati I, sedangkan
bantuan pembangunan penghijauan dialokasikan kepada Dati II. Melalui program bantuan
penghijauan dan reboisasi tersebut diharapkan lahan kritis yang ada dapat dipulihkan kembali,
dan di samping itu erosi dan banjir dapat dikendalikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sejak pertama kali dilaksanakannya Inpres ini dalam tahun anggaran 1976/77 hingga
akhir Repelita V, jumlahnya senantiasa menunjukkan peningkatan, sejalan dengan kemampuan
keuangan negara. Dalam Repelita II, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres
penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp 76,5 miliar, yang digunakan untuk kegiatan
reboisasi di areal seluas 529.484 hektar dan penghijauan di areal seluas 437.194 hektar.
Sedangkan dalam Repelita III, jumlah bantuan penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp
268,8 miliar, atau naik sekitar 251 persen dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya. Melalui
dukungan bantuan pembangunan penghijauan danreboisasi dalam periode tersebut telah berhasil
dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 529.484 hektar dan penghijauan di areal seluas
168.729.hektar. Selanjutnya dalam Repelita IV, sejalan dengan agak terbatasnya kemampuan
keuangan negara, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penghijauan dan
reboisasi hanya mencapai sebesar Rp 167 miliar, yang berarti mengalami penurunan sebesar Rp
101,8 miliar atau sekitar 38 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Dengan dukungan
anggaran bantuan pembangunan reboisasi dan penghijauan dalam periode Repelita IV tersebut
telah berhasil dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 249.226 hektar dan penghijauan di
areal seluas 916.194 hektar. Sementara itu sejalan dengan semakin besarnya perhatian terhadap
kelestarian lingkungan bagi pembangunan yang berkelanjutan, dalam Repelita V, jumlah
pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp
322,4 miliar, atau naik sekitar 93 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Dengan dukungan
anggaran bantuan pembangunan reboisasi dan penghijauan tersebut, dalam Repelita V telah
Departemen Keuangan RI
156
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
berhasil dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 228.150 hektar dan penghijauan di areal
seluas 1.835.000 hektar. Memasuki tahun pertama Repelita VI, dalam rangka meningkatkan
otonomi daerah secara nyata, maka program Inpres penghijauan telah diintegrasikan ke dalam
program bantuan pembangunan Dati II, sedangkan program Inpres reboisasi diintegrasikan ke
dalam program bantuan pembangunan Dati I. Perkembangan bantuan pembangunan penghijauan
dan reboisasi sejak Repelita II sampai dengan Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.22.
Tabel II.22
INPRES PEMBANGUNAN DAN PEMUGARAN PASAR, INPRES PENGHIJAUAN DAN
REBOISASI, DAN BANTUAN PEMBANGUNAN TIMOR TIMUR
Tahun
REPELITA II
1976/77
1977/78
1978/89
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA VI 1994/95
1976/77 - 1994/95 1)
(dalam miliar rupiah)
Pembangunan dan
Penghijauan dan
pemugaran pasar
reboisasi
Bantuan
pembangunan Timor
0,02
1,2
1,2
16
24,5
36
-3,5
4,5
12,4
2,5
6
4,5
10,6
40,8
48,6
70,4
49,6
59,4
6,6
6,4
6,8
5,7
5,2
25,5
4,4
11,5
3
3
61,2
42,5
30,6
16,2
16,5
4,2
6,9
7,3
5,2
-
3
3
2
1,5
4,2
16,2
33,1
74,6
95
103,5
-
-- 3)
- 2)
- Untuk tahun anggaran 1976/77 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P
tahun yang bersangkutan;
2)
Dalam APBN 1994/95 bantuan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 5,0 miliar ditampung
dalam Inpres Pembanguan Dati II;
3)
Dalam APBN 1994/95 untuk Inpres Penghijauan sebesar Rp 82,5 miliar ditampung dalam
Inpres Pembangunan Dati II, dan untuk Inpres Reboisasi sebesar Rp 21,8 miliar ditampung dalam
Inpres Pembangunan Dati I.
-
1)
Departemen Keuangan RI
157
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Program bantuan penunjang jalan kabupaten diberikan sejak tahun anggaran 1979/80,
dengan maksud untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan menggairahkan kegiatan
ekonomi daerah, memperluas lapangan kerja di daerah, memperlancar arus pengangkutan dan
distribusi barang dan jasa, menunjang proyek-proyek di daerah, serta membuka isolasi suatu
daerah terhadap daerah yang lain. Bantuan pembangunan penunjang jalan kabupaten tersebut
sejak tahun pertama Repelita V diperluas dengan penyediaan bantuan peningkatan jalan Dati I,
sehingga dikenal dengan nama bantuan peningkatan jalan Dati II dan Dati I (Inpres peningkatan
jalan Dati II dan Dati I). Program bantuan peningkatan jalan Dati II dilaksanakan dengan maksud
untuk memperbaiki kondisi dan kemampuan teknis jalan dan jembatan kabupaten dan kotamadya
yang disesuaikan dengan pertumbuhan lalu-lintas. Sedangkan program bantuan peningkatan jalan
Dati I dimaksudkan untuk menunjang dan memperlancar kegiatan sosial dan ekonomi daerah
yang semakin meningkat, meningkatkan kondisi jalan propinsi, termasuk perbaikan dan
penggantian jembatan, serta mendukung pembangunan jalan baru atau penunjangan jalan yang
ada di daerah potensial di masing-masing propinsi. Melalui penyediaan prasarana jalan dan
jembatan yang memperoleh pembiayaan dari dana bantuan tersebut, diharapkan kegiatan
ekonomi masyarakat dapat lebih didorong perkembangannya, sehingga pada gilirannya
pendapatan masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan. Jumlah anggaran yang diberikan didasarkan
atas jenis dan volume rencana fisik yang akan dilaksanakan, serta biaya satuan yang ditetapkan
untuk suatu kegiatan. Dalam Repelita III, jumlah bantuan pembangunan jalan dan jembatan baru
mencapai sebesar Rp 200,7 miliar, yang digunakan untuk membiayai pembangunan jalan dan
jembatan masing-masing sepanjang 33.021 kilometer dan sepanjang 62.383 meter. Kemudian
dalam Repelita IV ,jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penunjang jalan dan
jembatan mencapai sebesar Rp 590,4 miliar, atau naik sekitar 194 persen dari realisasinya dalam
Repelita III. Melalui bantuan pembangunan penunjang jalan kabupaten tersebut, dalam periode
Repelita IV telah berhasil dilakukan pembangunan jalan sepanjang 39.602 kilometer dan
jembatan sepanjang 39.008 meter. Dalam Repelita V, jumlah pengeluaran pembangunan bagi
program Inpres peningkatan jalan Dati II dan Dati I mencapai sebesar Rp 4.522,5 miliar, atau
naik sekitar 666 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Peningkatan realisasi anggaran
Inpres peningkatan jalan yang cukup besar tersebut terutama karena bantuan peningkatan jalan
dan jembatan yang semula hanya diberikan kepada Dati II, sejak tahun anggaran 1989/90 (awal
Repelita V) juga diberikan kepada Dati I untuk memperbaiki jalan propinsi yang kondisi
Departemen Keuangan RI
158
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kerusakannya cukup parah. Melalui bantuan peningkatan jalan Dati II dan Dati I, dalam periode
tersebut telah berhasil dilakukan peningkatan jalan di kabupaten/kotamadya dan propinsi
sepanjang 67.554 kilometer. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara
nyata, maka dalam tahun pertama Repelita VI, program Inpres peningkatan jalan Dati I tersebut
telah diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan daerah Dati I (Inpres Dati I),
sedangkan program Inpres peningkatan jalan Dati II diintegrasikan ke dalam program bantuan
pembangunan Dati II (Inpres Dati II). Perkembangan bantuan peningkatan jalan dan jembatan
sejak Repelita III sampai dengan Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.23.
Tabel II.23
INPRES PENINGKATAN JALAN,
1)
1979/80 - 1994/95
Tahun
-1
REPELITA III
1979/80
2)
Jalan
( km )
Jembatan
(m)
Jumlah
( miliar Rp )
-2
-3
-4
2.088
3.692
13
1980/81
4.360
4.246
25,9
1981/82
11.466
15.385
54,8
1982/83
7.607
19.660
42,4
1983/84
REPELITA IV
7.500
19.400
64,6
1984/85
7.500
19.050
101,2
1985/86
6.085
2.521
70,1
1986/87
3.905
5.717
74,9
1987/88
5.871
7.320
164,2
16.241
4.400
180
1989/90
6.350
-
294,5
1990/91
12.841
-
679,4
1991/92
17.337
-
971,7
1992/93
15.028
-
1.225,00
1993/94
REPELITA VI
1994/95 3)
15.998
-
1.351,90
-
-
-
1988/89
REPELITA V
1)
Sejak REPELITA V Inpres Penunjang Jalan dan Jembatan disebut sebagai Inpres
Peningkatan Jalan;
2)
Untuk tahun anggaran 1979/80 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan
UU APBN T/P tahun yang bersangkutan;
3)
Untuk APBN 1994/95 Inpres Peningkalan Jalan Dati II sebesar Rp 967,6 miliar
ditampung dalam Inpres Pembangunan Dati II dan Inpres Peningkatan Jalan Dati I
Departemen Keuangan RI
159
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Melalui berbagai program pembangunan, baik sektoral maupun regional yang telah
dilaksanakan selama periode PJP I, jumlah penduduk miskin telah dapat diturunkan secara
dramatik, yaitu dari 70 juta orang dalam tahun 1970 menjadi 25,9 juta orang dalam tahun 1993.
Penurunan angka kemiskinan yang sangat dramatik selama periode tersebut, merupakan prestasi
yang patut disyukuri. Namun demikian, jumlah penduduk miskin yang masih tersisa dalam tahun
1993 tersebut merupakan tantangan yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam Repelita VI dan
Repelita-repelita selanjutnya, upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan
masih tetap menjadi salah satu prioritas utama dalam program pembangunan nasional, yang
dilaksanakan melalui kebijaksanaan di seluruh bidang pembangunan termasuk kebijaksanaan
sektoral dan kebijaksanaan regional, secara serasi dan terpadu. Sehubungan dengan hal itu, mulai
tahun pertama Repelita VI melalui APBN telah disediakan alokasi bantuan pembangunan bagi
desa tertinggal (Inpres desa tertinggal/IDT). Program IDT tersebut pada dasarnya merupakan
bagian dari gerakan nasional dan strategi penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan
terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal
menuju kondisi ketangguhan, ketahanan, dan kemandirian. Dalam APBN 1994/95, anggaran
pembangunan yang disediakan bagi program Inpres desa tertinggal mencapai sebesar Rp 389,3
miliar, yang diberikan kepada 18.321 desa tertinggal, dengan jumlah bantuan untuk masingmasing desa sebesar Rp 20 juta. Dana tersebut diberikan sebagai modal usaha bagi penduduk
miskin yang penggunaannya ditentukan oleh penduduk miskin itu sendiri. Di samping itu di
dalam program IDT tersebut juga termasuk dana untuk pembinaan, pemantauan dan
pendampingan, baik di desa, kecamatan maupun propinsi, serta pemantauan tim pusat. Dengan
diterapkannya kebijaksanaan tersebut diharapkan sasaran penurunan jumlah penduduk miskin
menjadi sekitar 12 juta orang, atau 6 persen dari seluruh penduduk Indonesia, pada akhir Repelita
VI dapat dicapai.
Di samping bantuan pembangunan daerah dalam berbagai bentuk program Inpres,
terdapat anggaran pembangunan bagi daerah yang sifatnya bukan bantuan (subsidi), yaitu
pembiayaan pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari bagi hasil pemungutan pajak
bumi dan bangunan (PBB). Pembiayaan ini pada dasarnya merupakan sumber dana potensial bagi
pembiayaan pembangunan daerah, oleh karena adanya karakteristik dasar yang melekat pada
bentuk pembiayaan tersebut, yaitu sumber dananya yang berasal dari daerah itu sendiri. Hal ini
berarti pemerintah daerah lebih dipacu untuk menggali sumber pendapatan daerah sendiri agar
Departemen Keuangan RI
160
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dapat lebih mampu menunjang proyek-proyek potensial di daerah. Dalam rangka desentralisasi
dan pemberian otonomi daerah yang lebih luas, maka perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan
pembiayaan pembangunan tersebut seluruhnya diserahkan kepada daerah, dan digunakan untuk
membiayai pengadaan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh daerah. Jumlah pembiayaan
pembangunan daerah yang berasal dari dana bagi hasil pemungutan PBB tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan masing-masing daerah di dalam menggali potensi penerimaan
PBB di daerahnya. Ini berarti bahwa semakin besar kemampuan daerah di dalam menggali
penerimaan PBB, maka semakin besar pula dana yang diperoleh bagi pembiayaan pembangunan
daerah yang bersangkutan. Selama PJP I, jumlah anggaran pembiayaan pembangunan daerah
yang memakai dana bagi hasil pemungutan PBB senantiasa menunjukkan peningkatan, baik
dilihat secara absolut maupun secara relatif. Apabila dalam periode Repelita I dan Repelita II
realisasi pembiayaan pembangunan yang dibiayai dari dana iuran pembangunan daerah (Ipeda)
masing-masing baru mencapai sebesar Rp 34,7 miliar dan sebesar Rp 220,4 miliar, maka dalam
periode Repelita III jumlah pembiayaan pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari
dana Ipeda mencapai sebesar Rp 490,7 miliar, atau meningkat sekitar 123 persen dari realisasinya
dalam Repelita II. Dalam periode Repelita IV dan periode Repelita V, jumlah pembiayaan
pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari dana bagi hasil penerimaan PBB masingmasing mencapai sebesar Rp 1.062,1 miliar dan Rp 3.977,8 miliar, atau mengalami peningkatan
masing-masing sekitar 116 persen dan 275 persen dari Repelita sebelumnya. Peningkatan
tersebut
terutama
disebabkan
semakin
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
dan
meningkatnya objek pajak. Sementara itu dalam APBN 1994/95 pembiayaan pembangunan
daerah yang berasal dari dana bagi hasil penerimaan PBB dianggarkan sebesar Rp 1.482,1 miliar,
yang berarti sebesar Rp 239,3 miliar atau sekitar 19 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan
realisasinya dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan bantuan pembangunan daerah dengan
dana Ipeda/pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama
Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.24.
Departemen Keuangan RI
161
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.24
BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH
IPEDA/PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,
1972/73 - 1994/95 1)
Jumlah Bantuan
Persentase
(miliar rupiah)
kenaikan
Tahun
REPELITA I
1972/73
1973/74
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
REPELITA V
1994/95 2)
15,2
19,5
28,3
28
34,6
42,2
52,5
63,1
43,6
23,6
22
24,4
20,2
71,4
87,2
94,5
105,2
132,4
13,2
22,1
8,4
11,3
25,9
157,2
167,5
171
222,8
343,6
18,7
6,6
2,1
30,3
54,2
478,2
656,9
708,4
891,5
1.242,80
39,2
37,4
7,8
25,8
39,4
1.482,10
19,3
1)
Untuk tahun anggaran 1972/73 s.d 1993/94 adalah
angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P
tahun yang bersangkutan;
2)
APBN.
2.2.6.2.3. Pengeluaran pembangunan lainnya
Anggaran belanja pembangunan rupiah mencakup pula pembiayaan pembangunan
lainnya, yang jumlahnya sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI sangat
ditentukan oleh kemampuan keuangan negara dan kebutuhan pembangunan yang mendesak.
Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pembiayaan pembangunan lainnya mencapai sebesar Rp
142,9 miliar, yang kemudian seiring dengan meningkatnya kemampuan keuangan negara dan
banyaknya program pembiayaan pembangunan yang mendesak dan perlu memperoleh
penanganan dalam masa itu, mengakibatkan alokasi anggaran pembangunan bagi pembiayaan
berbagai program pembangunan lainnya menunjukkan peningkatan, yaitu masing-masing
menjadi sebesar Rp 1.692,9 miliar dalam Repelita II, sebesar Rp 5.679,9 miliar dalam Repelita
III, dan sebesar Rp 6.292,5 miliar dalam Repelita IV. Selanjutnya dalam Repelita V, seiring
Departemen Keuangan RI
162
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan terbatasnya dana pembangunan, maka guna meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran
negara, jumlah pengeluaran pembangunan lainnya hanya mencapai sebesar Rp 5.996,4 miliar,
yang berarti sebesar Rp 296,1 miliar atau sekitar 5 persen lebih rendah dari jumlahnya dalam
Repelita IV. Dalam APBN 1994/95, pembiayaan pembangunan lainnya dianggarkan sebesar Rp
618,3 miliar, yang berarti Rp 575,7 miliar atau sekitar 48 persen lebih rendah dari realisasinya
sebesar Rp 1.194 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Alokasi anggaran pembangunan lainnya
tersebut disediakan untuk subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan pembiayaan
lain-lain pembangunan (LLP).
Kebijaksanaan pemberian subsidi pupuk terutama dimaksudkan untuk mempertahankan
kestabilan harga pupuk dan pestisida agar tetap dalam jangkauan daya beli petani, sehingga dapat
menunjang atau merangsang petani untuk meningkatkan produksi pertaniannya, khususnya beras.
Besarnya subsidi pupuk tersebut dipengaruhi oleh jenis dan kuantitas pupuk yang dibutuhkan,
harga eceran yang berlaku di pasaran, harga pembelian pemerintah, dan biaya distribusinya.
Seiring dengan upaya untuk mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras, sejak Repelita I
hingga Repelita IV jumlah keseluruhan subsidi pupuk senantiasa mengalami peningkatan. Dalam
Repelita I, guna menunjang upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras, serta menjaga
kestabilan harga pangan, jumlah anggaran pembangunan yang harus disediakan bagi subsidi
pupuk mencapai sebesar Rp 43,6 miliar. Selanjutnya sejalan dengan makin meningkatnya harga
pupuk impor di pasaran internasional, serta didorong oleh makin meningkatnya jumlah pupuk
yang harus diimpor/ untuk memenuhi penyediaan pupuk dalam musim-musim berikutnya, maka
dalam Repelita II jumlah realisasi subsidi pupuk mencapai sebesar Rp 583,4 miliar, atau
mengalami peningkatan sekitar 13 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Dalam periode
Repelita III dan Repelita IV, jumlah subsidi pupuk tersebut mengalami peningkatan lagi,
sehingga masing-masing menjadi sebesar Rp 1.524,3 miliar dan sebesar Rp 2.632,4 miliar.
Dalam Repelita V, dalam rangka meningkatkan efisiensi beban anggaran negara, dan sejalan
dengan penerapan kebijaksanaan kenaikan harga dasar gabah, harga pupuk, dan harga pestisida,
jumlah realisasi subsidi pupuk menjadi sebesar Rp 1.284,1 miliar, atau mengalami penurunan
sekitar 51 persen dari jumlahnya dalam Repelita IV. Selain daripada itu penerapan kebijaksanaan
kenaikan harga pupuk bersamaan dengan kenaikan harga dasar gabah dan harga pestisida tersebut
mengakibatkan sejak akhir PJP I pemberian subsidi pupuk bagi jenis pupuk KCL, KS, ZK, dan
KNO3 telah dapat dihapuskan. Kebijaksanaan kenaikan harga pupuk tersebut dilandasi oleh
Departemen Keuangan RI
163
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pertimbangan bahwa penghasilan petani sebagai akibat dari kebijaksanaan kenaikan harga gabah
semakin membaik, dana negara semakin terbatas sehingga bebannya perlu diturunkan, serta
efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani perlu ditingkatkan. Selanjutnya dalam
rangka mengurangi secara bertahap besarnya subsidi pupuk, dalam bulan Oktober 1994 kembali
ditempuh kebijaksanaan kenaikan harga pupuk bersamaan dengan kebijaksanaan kenaikan harga
dasar gabah yang mulai diberlakukan dalam bulan Januari 1995. Kebijaksanaan kenaikan harga
pupuk tersebut mencakup kenaikan harga pupuk jenis ZA sebesar 13,5 persen, yaitu dari Rp 260
per kilogram menjadi Rp 295 per kilogram, dan pupuk jenis TSP sebesar 41,2 persen, yaitu dari
Rp 340 per kilogram menjadi Rp 480 per kilogram. Dengan kebijaksanaan kenaikan harga pupuk
tersebut, maka pemberian subsidi pupuk bagi pupuk jenis ZA dan TSP sejak tahun anggaran
1994/95 telah dihapuskan. Sementara itu untuk jenis pupuk urea masih tetap diberikan subsidi,
sehingga harganya tidak mengalami perubahan, yaitu tetap seharga Rp 260 per kilogram. Namun
demikian, sampai saat ini penyediaan anggaran subsidi pupuk masih dipandang perlu, sehingga
walaupun dalam jumlah yang terbatas, dalam APBN 1994/95 alokasi pembiayaan bagi subsidi
pupuk dianggarkan mencapai sebesar Rp 175 miliar, yang berarti tidak mengalami perubahan
dari tahun anggaran sebelumnya.
Selain daripada subsidi pupuk, dalam pembiayaan pembangunan lainnya termasuk pula
pembiayaan bagi program penyertaan modal pemerintah (PMP), yang diberikan secara selektif
kepada berbagai institusi dan badan usaha milik negara (BUMN), terutama yang menyangkut
hajat hidup orang banyak, berprioritas tinggi dan bersifat strategis dalam pembangunan, untuk
menunjang pengembangan dunia usaha nasional agar dapat mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi. Penyertaan modal oleh pemerintah dalam berbagai badan usaha milik negara tersebut
dilakukan sejak Repelita I. Dalam Repelita I, jumlah anggaran pembangunan program PMP
mencapai sebesar Rp 78,9 miliar, yang dialokasikan antara lain untuk menunjang pelaksanaan
proyek-proyek yang dilakukan oleh Pemerintah di berbagai sektor prioritas. Kemudian, sejalan
dengan upaya untuk mempercepat laju pembangunan ekonomi, maka dalam Repelita II alokasi
anggaran pembangunan bagi program PMP tersebut ditingkatkan menjadi sebesar Rp 713,1
miliar. Dana PMP tersebut dialokasikan antara lain untuk pemberian bantuan permodalan kepada
beberapa badan usaha milik negara, pembiayaan cadangan nasional dalam pengadaan bahanbahan kebutuhan pokok, serta penambahan fasilitas penyimpanannya. Dalam Repelita III, untuk
mempercepat pengembangan dunia usaha, khususnya usaha negara, dengan meningkatkan
Departemen Keuangan RI
164
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
permodalan badan usaha milik negara dan proyek strategis lainnya, alokasi anggaran
pembangunan bagi program PMP mencapai sebesar Rp 2.138,5 miliar, atau naik sekitar 200
persen dari realisasinya dalam Repelita II. Peningkatan dana PMP yang cukup besar tersebut
antara lain dialokasikan bagi pembiayaan pembangunan kilang minyak Cilacap, Balikpapan dan
Dumai, pabrik pupuk Asean, PT Inalum, dan Perum Perumnas. Selanjutnya untuk mendorong
pengelolaan BUMN secara lebih profesional, efisien, dan mandiri dalam pembiayaan
investasinya, alokasi anggaran bagi PMP hanya diberikan sebagai sumber dana terakhir, baik
sebagai tambahan modal kerja ataupun sebagai pembiayaan investasinya. Ini berarti bahwa setiap
BUMN yang akan mengajukan permintaan dana PMP diharuskan untuk mengusahakan terlebih
dahulu kebutuhan pembiayaannya dari dana yang terkumpul dari usaha perusahaannya sendiri,
kredit sektor perbankan, atau pinjaman luar negeri yang diteruskan oleh pemerintah melalui
lembaga perbankan (two-step-loan). Oleh karena itu, mengingat kemampuan keuangan negara
yang makin terbatas, maka dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara
yang makin terbatas, jumlah alokasi anggaran pembangunan bagi program PMP dalam Repelita
IV hanya mencapai sebesar Rp 1.016,7 miliar, atau mengalami penurunan sekitar 53 persen dari
jumlahnya dalam Repelita III. Jumlah anggaran pembangunan bagi program PMP dalam periode
tersebut dialokasikan antara lain untuk proyek otorita pengembangan industri pulau Batam,
BTN/KPR Perumnas, PT PAL Indonesia, serta PT INKA. Dalam Repelita V, sejalan dengan
dukungan keuangan negara, jumlah anggaran pembangunan bagi program PMP mencapai sebesar
Rp 1.210 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 19 persen jika dibandingkan dengan
jumlahnya dalam Repelita IV. Anggaran pembangunan bagi program PMP dalam periode
tersebut antara lain dialokasikan bagi pembinaan dan pengembangan perbankan, serta pembinaan
dan pengembangan industri strategis. Demikian pula dalam tahun pertama Repelita VI, dana
pembiayaan bagi program PMP dianggarkan sebesar Rp 50 miliar, atau sekitar 60 persen lebih
rendah dari realisasinya sebesar Rp 126,1 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Anggaran yang
disediakan bagi program PMP tetsebut digunakan untuk pembiayaan penyediaan perumahan
rakyat (KPR-BTN), pembinaan dan pengembangan industri strategis, serta untuk iuran
pemerintah kepada organisasi internasional.
Di samping untuk subsidi pupuk dan PMP, pengeluaran pembangunan lainnya juga
mencakup pembiayaan lain-lainnya, yaitu untuk menampung berbagai program pemerintah yang
tidak tercakup dalam pembiayaan departemen dan pembiayaan daerah. Program pembiayaan lainDepartemen Keuangan RI
165
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
lain pembangunan (LLP) tersebut sejak Repelita I penyediaan dananya disesuaikan dengan
kebutuhan yang paling mendesak dan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai
sebesar Rp 20,4 miliar, yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, antara
lain proyek sensus penduduk, proyek keluarga berencana, serta proyek peningkatan data-data
statistik. Kemudian, sejalan dengan upaya untuk mendorong laju pertumbuhan dan pelaksanaan
berbagai program pemerintah, dalam Repelita II jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi
program LLP mencapai sebesar Rp 396,4 miliar, atau naik sekitar 19 kali lipat dari realisasinya
dalam Repelita I. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut digunakan
untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, antara lain proyek peningkatan tenaga listrik,
proyek keluarga berencana, proyek perumahan rakyat, proyek sensus industri dan pertanian, serta
proyek lembaga jaminan kredit dan koperasi. Sedangkan dalam Repelita III, jumlah realisasi
pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai sebesar Rp 2.017,1 miliar, atau naik
sekitar 409 persen dari realisasinya dalam Repelita II. Anggaran pembangunan bagi program LLP
dalam periode tersebut antara lain disediakan antara lain untuk mendukung pembiayaan proyek
keluarga berencana, proyek pengembangan statistik, dan proyek penyediaan air bersih.
Selanjutnya dalam periode Repelita IV, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program
LLP mencapai sebesar Rp 2.643,4 miliar, atau naik sekitar 31 persen dari realisasinya dalam
Repelita III. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut dimanfaatkan
antara lain untuk membiayai berbagai proyek, antara lain proyek keluarga berencana, proyek
pengembangan statistik dan sensus, proyek perumahan rakyat, serta proyek air minum. Dalam
Repelita V, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program LLP tersebut mencapai
sebesar Rp 3.502,3 miliar, yang berarti Rp 858,9 miliar atau sekitar 32 persen lebih tinggi dari
jumlahnya dalam Repelita IV. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut
dialokasikan antara lain untuk membiayai proyek air rninum, proyek pengembangan statistik dan
sensus, proyek pengadaan prasarana bis kota, serta proyek keluarga berencana. Memasuki tahun
pertama Repelita VI, pengeluaran pembangunan bagi program LLP dianggarkan sebesar Rp
393,3 miliar, yang berarti Rp 409,4 miliar atau sekitar 51 persen lebih rendah dari realisasinya
sebesar Rp 802,7 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Anggaran pembangunan bagi program
LLP dalam tahun anggaran tersebut disediakan untuk membiayai berbagai proyek, antara lain
proyek penyediaan subsidi benih, proyek pengadaan air bersih perkotaan, serta proyek
Departemen Keuangan RI
166
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
penyehatan lingkungan permukiman. Perkembangan pengeluaran pembangunan laiIinya sejak
tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat diikuti dalam Tabel II.25
Departemen Keuangan RI
167
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.25
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN LAINNYA
1)
1969/70 -1994/95
(dalam miliar rupiah)
Tahun
Subsidi pupuk
Penyertaan modal
Pemerintah
Lain-lain
pembangunan
REPELITA I
1969/70
-
7,6
-
1970/71
9,6
1
1,8
1971/72
1
7
3
1972/73
-
22,5
5,6
33
40,8
10
1974/75
227,2
91,1
67,7
1975/76
134,5
108,7
64
1973/74
REPELITA II
1976/77
107,3
217,9
79,8
1977/78
31,8
166,9
109,8
1978/79
REPELITA III
82,6
128,5
75,1
1979/80
125
252,8
290,9
1980/81
283,6
476,5
385,5
1981/82
371,4
480,9
565,3
1982/83
420,1
336,6
326,7
1983/84
REPELITA IV
324,2
591,7
448,7
1984/85
731,6
336,1
474,9
1985/86
477,1
412,3
511,2
1986/87
467,3
85,9
514,1
1987/88
756,4
57,4
514,5
200
125
628,7
1989/90
277,8
140,8
764,7
1990/91
264,7
322,8
505,3
1991/92
301,4
470,3
722,1
1992/93
175
150
707,5
265,2
126,1
802,7
1988/89
REPELITA V
1993/94
REPELITA VI
1994/95 2)
393,3
50
1) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan
UU APBN T/P tahun yang bersangkutan;
2) APBN.
Departemen Keuangan RI
175
168
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
2.2.6.2.4. Pembiayaan pembangunan bantuan proyek
Anggaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek hanya dimanfaatkan sebagai sumber
pelengkap bagi pembiayaan pembangunan rupiah dan disediakan untuk membiayai proyekproyek produktif, yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi upaya peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat di berbagai sektor dan subsektor.
Sesuai dengan prioritas pembangunan, anggaran pembangunan bantuan proyek digunakan
terutama untuk penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, pengembangan dan penerapan
teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan bagi
pembangunan. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penarikan pinjaman luar
negeri serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Apabila dalam Repelita I jumlah keseluruhan
nilai bantuan proyek mencapai sebesar Rp 288,3 miliar, maka seiring dengan meningkatnya
cakupan sektor pembangunan, dalam Repelita II nilai pengeluaran pembangunan dalam bentuk
bantuan proyek meningkat menjadi sebesar Rp 3.165,8 miliar, atau naik sekitar 11 kali lipat dari
realisasinya dalam Repelita I. Selanjutnya dalam Repelita III, jumlah realisasi pengeluaran
pembangunan
dalam
bentuk
bantuan
Tabel 11.30 (lanjutan)
Nomor
Kode
-1
15
15.1
15.2
16
16.2
16.3
16.5
16.6
17
17.1
17.2
18
18.1
18.2
19
19.1
19.2
19.3
20
20.2
20.3
Sektor/Subsektor
-2
SEKTOR AGAMA
Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama
Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama
SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Subsektor IImu Pengetahuan Terapan dan Dasar
Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Iimu Pengetahuan dan Teknologi
Subsektor Kedirgantaraan
Subsektor Sistem Informasi dan Statistik
SEKTOR HUKUM
Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN
Subsektor Aparatur Negara
Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan
SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN,
KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA
Subsektor Politik
Subsektor Hubungan Luar Negeri
Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Subsektor ABRI
Subsektor Pendukung
Jumlah Keseluruhan
Departemen Keuangan RI
APBN
RAPBN ∆ % thd.
1994/95
1995/96
APBN
-3
-4
-5
720,7
834,2
15,7
105,7
117,4
11,1
615
716,8
16,6
201
241,3
20
133,6
160
19,8
18,4
22,1
20,1
0,9
1,1
22,2
48,1
58,1
20,8
428
502,1
17,3
380
437,9
15,2
48
64,2
33,8
2.213,00
2.582,80
16,7
2,064,9
2.404,70
16,5
148,1
178,1
20,3
797,3
46,8
551
199,5
3.853,50
3.853,40
0,1
42.350,80
1.005,60
57,9
709,9
237,8
4.586,90
4.586,70
0,2
47.240,70
26,1
23,7
28,8
19,2
19
19
100
11,5
169
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembangunan dalam tahun kedua Repelita VI diperkirakan akan meningkat. Dalam upaya
menumbuhkan sikap kemandirian masyarakat Indonesia, sebagaimana yang telah digariskan
dalam GBHN 1993, tersedianya dana pembangunan yang cukup memadai guna menampung
seluruh kegiatan pembangunan tersebut perlu ditunjang dengan meningkatnya peranserta
masyarakat. Sejalan dengan itu, penyediaan dana pembangunan senantiasa diupayakan agar lebih
bertumpu pada sumber yang berasal dari dalam negeri.
Melalui peningkatan penerimaan dalam negeri, terutama yang bersumber dari penerimaan
di luar migas yang diiringi dengan upaya pengendalian pemanfaatan dana pada jumlah yang
tersedia, tabungan pemerintah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan senantiasa
diupayakan meningkat. Mengingat pertumbuhan penerimaan pajak lebih stabil dan dapat
diandalkan, serta tidak mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, upaya peningkatan
penerimaan di luar migas terutama diupayakan melalui peningkatan penerimaan pajak. Sementara
itu pengendalian penggunaan dana untuk keperluan rutin diupayakan dengan tidak mengganggu
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintahan dan pemeliharaan terhadap hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai.
Berdasarkan upaya-upaya yang akan dilakukan tersebut, dalam RAPBN 1995/96
penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai sebesar Rp 66.265,2 miliar, sedangkan
pengeluaran rutin diperkirakan mencapai sebesar Rp 47.240,7 miliar, akan masing-masing
menunjukkan peningkatan sebesar 10,9 persen dan 11,5 persen dari perkiraannya dalam APBN
tahun sebelumnya. Dengan demikian, tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam RAPBN
1995/96 diperkirakan mencapai sebesar Rp 19.024,5 miliar, akan 9,4 persen lebih tinggi dari
perkiraan tabungan pemerintah dalam APBN 1994/95. Dengan rencana tabungan pemerintah
tersebut, berarti dari kebutuhan dana pembangunan dalam tahun anggaran 1995/96 sebesar Rp
30.783,5 miliar, sebesar 61,8 persen dari kebutuhan dana pembangunan tersebut akan dapat
dipenuhi dari sumber dana dalam negeri, sedangkan sisanya sebesar 38,2 persen masih akan
dibiayai dengan sumber dana yang diperoleh dari luar negeri.
2.3.6. Pengeluaran Pembangunan
Sebagai rencana pembiayaan investasi sektor pemerintah tahun kedua Repelita VI,
anggaran belanja pembangunan tahun anggaran 1995/96 disusun berdasarkan kerangka acuan dan
Departemen Keuangan RI
170
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
skala prioritas yang ditetapkan dalam Repelita VI, dengan mempertimbangkan kemampuan
penyediaan dana pembangunan, baik yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, yaitu
tabungan pemerintah, maupun yang berasal dari sumber-sumber luar negeri berupa penerimaan
pembangunan. Penyusunan rencana anggaran belanja pembangunan tersebut sejauh mungkin
diupayakan untuk mengakomodasikan aspirasi rakyat sebagaimana tercermin dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, dan diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran
pembangunan tahun kedua rencana pembangunan lima tahun keenam (Repelita VI).
Sejalan dengan amanat GBHN dan Repelita VI yang menempatkan manusia sebagai titik
pusat dari segenap upaya pembangunan, maka dalam RAPBN 1995/96 kebijaksanaan anggaran
belanja pembangunan akan lebih diarahkan untuk menunjang upaya pengembangan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan pemerataan pembangunan dan
penanggulangan kemiskinan, mendorong berkembangnya potensi masyarakat dan dunia usaha
agar dapat meningkatkan peranannya dalam kegiatan pembangunan, serta mendukung upaya
pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sasaran-sasaran pokok kebijaksanaan pengeluaran
pembangunan tersebut akan diupayakan pencapaiannya dengan tetap bertumpu pada Trilogi
Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya
kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluroh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang schar dan dinamis.
Pemerataan pembangunan, sebagai wujud pelaksanaan demokrasi ekonomi, memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap warga masyarakat di seluruh tanah air untuk
menyumbangkan karyanya dengan sekaligus memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, serta
mengembangkan kegiatan di semua aspek kehidupan. Upaya untuk meningkatkan pemerataan
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan juga bertujuan menunjang upaya mewujudkan
perekonomian nasional yang mandiri dan andal, serta mampu mengatasi ketimpangan ekonomi
dan kesenjangan sosial, pengan pembangunan yang makin merata, maka kesenjangan antar
daerah, antar sektor, dan antar golongan ekonomi akan makin mengecil, sehingga semua anggota
masyarakat diharapkan akan dapat makin berperanserta dalam pembangunan. Keberhasilan
dalam pemerataan pembangunan merupakan modal utama dalam upaya bangsa meningkatkan
perkembangan dan pertumbuhan petekonomian rakyat, memperkukuh kesetiakawanan sosial,
serta menanggulangi kemiskinan. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
Departemen Keuangan RI
171
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan di berbagai bidang pembangunan,
dan sekaligus sebagai kekuatan utama untuk dapaf memberi kesempatan yang lebih besar kepada
rakyat untuk berperanserta secara aktif dalam pembangunan dengan tetap dijiwai oleh semangat
kekeluargaan. Sedangkan stabilitas nasional yang schat dan dinamis diperlukan sebagai prasyarat
bagi kelancaran pelaksanaan pembangunan, yang akan membuka kesempatan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi terselenggaranya pemerataan yang berkeadilan sosial.
Dalam rangka menunjang upaya pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia, melalui anggaran belanja pembangunan akan diupayakan antara lain peningkatan mutu
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, penyediaan sarana peribadatan dan
pembinaan keagamaan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, peningkatan derajat dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat,
peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, serta perluasan pemerataan memperoleh
pelayanan sosial, terutama bagi golongan masyarakat yang berkemampuan ekonomi lemah.
Sementara itu guna mendorong berkembangnya potensi masyarakat dan dunia usaha, maka dalam
rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan peranserta masyarakat dalam kegiatan
pembangunan, melalui anggaran belanja pembangunan akan diupayakan peningkatan
kemampuan usaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan antara lain memberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berperanserta dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Sejalan dengan itu, diupayakan pula untuk lebih mengutamakan penggunaan produksi dalam
negeri dalam setiap pengadaan barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara.
Selanjutnya guna mempercepat upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit kesenjangan
pendapatan antar golongan masyarakat, serta menumbuhkan kemampuan perekonomian rakyat,
program bantuan pembangunan desa tertinggal (IDT) sebagai bagian integral dari gerakan
nasional penanggulangan kemiskinan akan terus dilanjutkan, lebih disempurnakan, dan semakin
ditingkatkan keterpaduan dan intensitas pelaksanaannya. Melalui kebijaksanaan pemberian modal
kerja untuk membangun dan mengembangkan kemampuannya, penduduk miskin yang tersebar di
desa-desa tertinggal diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya secara
mandiri. Demikian pula pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
akan diupayakan semakin dipacu dan ditingkatkan secara lebih merata, dengan memberikan
perhatian khusus pada kawasan timur Indonesia, daerah transmigrasi, daerah terpencil, daerah
minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan
Departemen Keuangan RI
172
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan, dengan senantiasa memperhatikan pertimbangan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, melalui anggaran pembangunan akan diupayakan
antara lain penyuluhan dan penerangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti
pentingnya peranan lingkungan hidup bagi kelangsungan kehidupan, pendayagunaan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara optimal dan lestari, serta pengembangan pola tata ruang
yang sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan. Selanjutnya dalam rangka menunjang peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi, melalui anggaran pembangunan akan diupayakan penyediaan
infrastruktur yang makin luas dan efisien, yang disertai dengan peningkatan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek), termasuk peningkatan kemampuan inovasi, rancang bangun,
dan rekayasa.
Untuk menunjang tercapainya sasaran-sasaran program pembangunan sektor pemerintah
tahun kedua Repelita VI tersebut di atas, dan sekaligus memelihara serta mempertahankan
kesinambungan momentum pembangunan yang telah dicapai selama ini, maka dalam RAPBN
1995/96 anggaran belanja pembangunan direncanakan sebesar Rp 30.783,5 miliar, yang berarti
sebesar Rp 3.385,2 miliar atau 12,4 persen lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anggaran
belanja pembangunan dalam APBN 1994/95. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembiayaan investasi sektor pemerintah, anggaran belanja pembangunan tersebut akan
diupayakan alokasi pemanfaatannya secara optimal untuk menunjang/kegiatan-kegiatan yang
memang tidak dibiayai oleh masyarakat dan dunia usaha. Sedangkan prioritas alokasinya akan
semakin dipertajam dan diarahkan terutama untuk penyelesaian proyek-proyek yang sedang
berjalan, penyediaan dana rupiah pendamping bagi proyek-proyek yang berbantuan luar negeri,
serta penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan bagi proyek-proyek yang telah diselesaikan
pembangunannya. Sementara itu pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan baru,
diprioritaskan pada proyek-proyek produktif yang berdampak luas bagi usaha peningkatan
kesejahteraan dan kecerdasan rakyat, peningkatan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berorientasi
pada pemerataan, penciptaan lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha, serta kegiatankegiatan yang dapat membantu upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup.
Keseluruhan rencana alokasi pengeluaran pembangunan, baik menurut sektor dan subsektor,
maupun berdasarkan jenis pembiayaan, secara lebih terinci dapat diikuti dalam uraian berikut.
Departemen Keuangan RI
173
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
2.3.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor
Mengacu kepada arah kebijaksanaan keuangan negara yang ditetapkan dalam Repelita VI,
rencana alokasi anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1995/96 diarahkan terutama
untuk menunjang pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi, dengan memberikan aksentuasi
kepada pembangunan daerah dalam rangka pemerataan pembangunan dan penanggulangan
kemiskinan, serta pembangunan prasarana dan sarana dasar untuk mendukung pembangunan
ekonomi. Pemberian prioritas alokasi anggaran pada pembangunan daerah selain dimaksudkan
untuk memperluas peningkatan otonomi daerah yang semakin nyata, dinamis dan bertanggung
jawab, sekaligus juga piarahkan untuk mempersempit kesenjangan laju pertumbuhan antar
daerah, antara perkotaan dan perdesaan, serta antar kawasan, terutama antara kawasan timur
Indonesia (KTI) dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dan mempercepat pengentasan
kemiskinan, khususnya di desa-desa tertinggal, daerah terpencil, serta daerah perbatasan.
Sedangkan pengutamaan alokasi anggaran pembangunan pada pengembangan prasarana dan
sarana ekonomi, seperti perhubungan dan transportasi, pos dan, telekomunikasi, penyediaan
energi, serta pengairan, yang mendukung pembangunan sektor-sektor prioritas di bidang
ekonomi, selain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga mendukung upaya pemerataan
pembangunan.
Selanjutnya sesuai dengan arahan GBHN 1993 dan Repelita VI, di samping pembangunan
sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian, prioritas
pembangunan juga diletakkan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka peningkatan kualitas, harkat dan martabat manusia, dalam
RAPBN 1995/96 prioritas alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan untuk menunjang
upaya pengembangan sumber daya manusia, dengan memberi penekanan pada sektor tenaga
kerja, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepereayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
pemuda dan olah raga, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja,
sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, Berta sektor agama. Dalam kaitannya dengan
peningkatan pemerataan pembangunan, upaya pengembangan sumber daya manusia tersebut
diletakkan dalam kerangka penyediaan fasilitas pelayanan dasar kepada masyarakat, dengan
memberikan perhatian yang lebih besar kepada segi-segi yang langsung menyentuh kehidupan
rakyat banyak, seperti pengembangan keahlian, keterampilan, kemampuan dan produktivitas
masyarakat yang kurang beruntung. Sedangkan dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan
Departemen Keuangan RI
174
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
berwawasan lingkungan, alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan untuk menunjang
terpeliharanya kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, sehingga memberi
manfaat, baik bagi generasi masa kini maupun generasi masa depan, dalam membangun
perekonomian yang makin mandiri dan andal.
Dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah dan
transmigrasi direncanakan sebesar Rp 6.139,2 miliar, yang berarti sebesar Rp 634,9 miliar atau
11,5 persen lebih tinggi dan anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Dalam rangka
lebih mengembangkan dan memacu pembangunan daerah, memperluas peranserta. masyarakat
dalam pengembangan dem pemanfaatan potensi daerah, meningkatkan pemerataan hasil-hasil
pembangunan, serta memperluas penyebaran penduduk dan tenaga kerja ke berbagai wilayah
tanah air, anggaran pembangunan sektor tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor
pembangunan daerah sebesar Rp 5.113,5 miliar serta subsektor transmigrasi dan pemukiman
perambah hutan sebesar Rp 1.025,7 miliar.
Di subsektor pembangunan daerah, guna menunjang upaya peningkatan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah,
meningkatkan keterpaduan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah, meningkatkan
pelayanan masyarakat, serta memantapkan penataan ruang dalam pembangunan daerah, anggaran
pembangunan akan dialokasikan untuk program pembangunan desa sebesar Rp 466,5 miliar,
program pembangunan daerah tingkat II sebesar Rp 2.614,3 miliar, program pembangunan
daerah tingkat I sebesar Rp 1.126,2 miliar, program pembangunan desa tertinggal sebesar Rp
817,2 miliar, serta program pengembangan kawasan khusus sebesar Rp 89,3 miliar.
Melalui program pembangunan desa, anggaran pembangunan direncanakan antara lain
untuk pemberian bantuan bagi pengembangan potensi masyarakat desa sebesar Rp 386,2 miliar,
serta berbagai bantuan penunjang, yang meliputi bantuan pengembangan usaha ekonomi desa
sebesar Rp 12.669 juta, bantuan pemantauan unit daerah kerja pembangunan (UDKP) sebesar Rp
6.175 juta, dan bantuan peningkatan peranserta masyarakat sebesar Rp 9.655 juta. Bantuan
pembangunan desa tersebut akan dialokasikan kepada 64.367 desa, dengan jumlah bantuan setiap
desa sebesar Rp 6,0 juta. Dalam rangka memperluas jangkauan pelayanan dasar dan
mengembangkan kegiatan perekonomian desa, bantuan pembangunan desa akan diarahkan
pemanfaatannya untuk meningkatkan penyediaan prasarana dan sarana sosial ekonomi desa,
Departemen Keuangan RI
175
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
seperti prasarana perhubungan, prasarana dan sarana kesehatan, air bersih, dan sanitasi
permukiman. Selain daripada itu guna mengembangkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat
desa, bantuan yang sama juga diarahkan untuk menunjang upaya peningkatan kegiatan usaha,
keterampilan dan kemampuan masyarakat desa, baik melalui pelatihan dan pembimbingan
maupun melalui penyuluhan kepada masyarakat, untuk mendorong proses modernisasi kehidupan
masyarakat di pedesaan. Sementara itu guna mempercepat proses transformasi ekonomi di daerah
perdesaan, dalam bantuan yang sama akan diupayakan penyiapan masyarakat dalam penguasaan
dan penerapan teknologi melalui proyek pemasyarakatan dan pemanfaatan teknologi tepat guna
di perdesaan. Selanjutnya guna mengembangkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa menjaga
kelestarian lingkungan hidup, dalam program yang sama direncanakan antara lain proyek
pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan permukiman. Dalam rangka
meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan desa, melalui program serupa akan diupayakan
pelatihan manajemen pembangunan, sedangkan untuk memperkuat kelembagaan masyarakat
desa akan diupayakan pemantapan fungsi dan peran lembaga masyarakat desa, seperti lembaga
ketahanan masyarakat desa (LKMD), kader pembangunan desa (KPD), kader konservasi, dan
kelompok pelestarian sumber daya alam (KPSA). Demikian pula bagi pengembangan
perekonomian di daerah tingkat II, dalam program yang sama direncanakan alokasi bantuan
pembangunan dan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 6,0 miliar bagi penyediaan pasar dan
fasilitas perdagangan di kota-kota kecamatan terpilih di luar pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya
untuk menunjang peningkatan prasarana dan sarana perhubungan multimoda di daerah tingkat II,
juga disediakan bantuan pembangunan peningkatan jalan Dati II yang seluruhnya berjumlah
sebesar Rp 997,6 miliar, antara lain untuk perluasan dan peningkatan jaringan jalan serta
rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan jalan di daerah tingkat II.
Sementara itu anggaran pembangunan bagi daerah tingkat I direncanakan alokasinya
antara lain untuk pemberian bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I) sebesar Rp
790,2 miliar, bantuan peningkatan jalan propinsi sebesar Rp 430,6 miliar, bantuan reboisasi
sebesar Rp 22,8 miliar, bantuan biaya operasi dan pemeliharaan pengairan/irigasi sebesar Rp 29,7
miliar, dan bantuan perencanaan, pemantauan dan pengawasan sebesar Rp 3,8 miliar sehingga
seluruhnya berjumlah Rp 1.277,1 miliar. Di samping itu terdapat alokasi bagian PBB untuk Dati I
sebesar Rp 311,5 miliar.
Dalam bentuk Inpres Dati I, masing-masing propinsi akan memperoleh bantuan dasar
Departemen Keuangan RI
176
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar Rp 25,0 miliar serta bantuan atas dasar luas wilayah daratan sebesar Rp 60,0 ribu per
kilometer persegi. Untuk mendayagunakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan daerah, dengan bantuan pembangunan Dati I direncanakan antara lain
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keterarnpilan bagi aparatur pemerintah daerah tingkat
I untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan, pendayagunaan fungsi kelembagaan
pemerintah daerah tingkat I, pengembangan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian manajemen pemerintah daerah tingkat I, serta pengembangan sistem informasi bagi
pengelolaan pembangunan. Di samping itu dalam program serupa, anggaran pembangunan juga
direncanakan untuk peningkatan jaringan telekomunikasi, peningkatan jaringan irigasi yang
terpadu dengan pencetakan sawah, serta peningkatan dan perluasan penyediaan air bersih, baik
untuk masyarakat maupun bagi kebutuhan industri. Sedangkan untuk memelihara, merawat dan
memperbaiki kerusakan prasarana dan sarana yang ada serta menjaga agar kondisi prasarana dan
sarana yang sudah mantap tetap dapat dipertahankan, dalam program yang sama juga
direncanakan peningkatan kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah
dibangun dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah tingkat I. Sementara itu untuk
menjamin kelangsungan pembangunan yang serasi dan berkelanjutan, melalui bantuan reboisasi
akan diupayakan antara lain peningkatan kegiatan reboisasi hutan lindung, suaka alam, dan
kawasan lindung lainnya, peningkatan kemampuan penyuluh kehutanan lapangan, serta
peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan multi
lingkungan hidup. Demikian pula untuk menunjang upaya pemanfaatan ruang dalam mengisi
pembangunan di daerah secara optimal dan berkelanjutan, dengan bantuan serupa juga
direncanakan pengembangan rencana tata ruang daerah, diantaranya meliputi peningkatan kerja
sama antar daerah tingkat I dan antar daerah tingkat II, penuntasan kelengkapan peralatan tata
ruang, serta pemantapan penggunaan perangkat tata ruang tersebut dalam pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya alam bagi pembangunan daerah. Selanjutnya untuk mendukung
pembangunan dan pengembangan investasi, dalam program pembangunan daerah tingkat I
tersebut juga direncanakan antara lain peningkatan prasarana dan sarana perhubungan multimoda,
khususnya yang bersifat perintis, terutama ke daerah terisolasi dan daerah terpencil. Oleh karena
itu, melalui bantuan pembangunan peningkatan jalan dan jembatan propinsi direncanakan
pembangunan jalan dan jembatan, peningkatan jalan dan penggantian jembatan, serta rehabilitasi
dan pemeliharaan jalan dan jembatan di daerah tingkat I.
Departemen Keuangan RI
177
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dalam rangka mempercepat upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan di desadesa tertinggal serta meningkatkan taraf hidup penduduk prasejahtera, melalui program
pembangunan desa tertinggal akan dialokasikan bantuan langsung bagi sebanyak 22.097 desa
tertinggal dalam bentuk bantuan lnpres desa tertinggal (IDT) dengan jumlah bantuan sebesar Rp
20 juta bagi setiap desa tertinggal. Bantuan tersebut akan disalurkan kepada kelompok swadaya
masyarakat (KSM) dan diberikan dalam bentuk modal kerja, yang selain digunakan untuk
peningkatan kemampuan permodalan dari pengembangan usaha, sekaligus juga diarahkan untuk
pemantapan kelembagaan usaha bersama dan peningkatan sumber daya manusia di desa
tertinggal. Berkaitan dengan itu, untuk merangsang kegiatan berusaha yang cepat memberikan
pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat miskin, akan diupayakan pelayanan
sosial dasar yang dapat langsung meningkatkan kesejahteraan, keterampilan dan penguasaan
teknologi tepat guna, pengembangan kelompok usaha bersama untuk meningkatkan produktivitas
dan kelangsungannya dalam berusaha, serta pembinaan yang intensif dan berkelanjutan untuk
memantapkan usaha ekonominya. Sementara itu untuk membantu efektivitas pencapaian program
IDT, melalui program yang sama disediakan pula bantuan operasional pemantauan, pembinaan
dan pendampingan bagi aparat propinsi, kabupaten atau kotamadya, kecamatan, serta tingkat desa
atau kelurahan. Dalam program yang sama akan diupayakan pengembangan beberapa model,
diantaranya model pembangunan desa tertinggal dalam pembangunan desa terpadu, model
pembangunan desa tertinggal melalui pendekatan pelayanan sosial dasar, model pembangunan
desa tertinggal berdasarkan tipologi desa, serta model pembangunan desa tertinggal dalam
konteks wilayah.
Dalam program pengembangan kawasan khusus, anggaran pembangunan direncanakan
pemanfaatannya untuk menunjang pembangunan kawasan-kawasan tertentu yang sangat penting
secara geografis, seperti kawasan pertumbuhan yang menyangkut kerja sama dengan negara
tetangga, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, serta kawasarkawasan andalan yang bersifat regional, diantaranya kawasan yang cepat berkembang dan
kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah. Melalui program tersebut, dalam tahun
anggaran 1995/96 akan diupayakan peningkatan pelayanan prasarana dan sarana penunjang,
seperti penyediaan air bersih, penanganan persampahan, pengolahan air limbah, serta
pembangunan jaringan jalan, sarana permukiman dan perumahan lainnya pada beberapa kawasan
yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cepat, diantaranya kawasan Tanjung UbanDepartemen Keuangan RI
178
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tanjung Pinang, kawasan Mesuji-Tulang Bawang, kawasan Cileungsi-Cariu-Cianjur, kawasan
Surabaya-Bangkalan, kawasan MataramLombok Tengah, serta kawasan Merauke-Tanah Merah.
Pengembangan berbagai kawasan khusus tersebut diserasikan dengan kondisi, potensi dan
aspirasi daerah di sekitar kawasan tersebut. Selain daripada itu dalam program yang sama juga
direncanakan untuk melanjutkan pengembangan fasilitas pelabuhan laut dan alur pelayaran,
pengembangan fasilitas pelabuhan udara dan keselamatan penerbangan, serta pembangunan
sarana dan prasarana sosial untuk mendukung pengembangan pulau Batam, pulau Rempang dan
pulau Galang sebagai kawasan berikat atau pusat kegiatan jasa perdagangan dari industri.
Sementara itu anggaran pembangunan di subsektor transmigrasi dari pemukiman
perambah hutan direncanakan bagi pembiayaan program permukiman dan lingkungan
transmigrasi sebesar Rp 624,2 miliar serta program pengerahan dan pembinaan transmigrasi
sebesar Rp 401,5 miliar. Dalam program permukiman dan lingkungan transmigrasi, anggaran
pembangunan
direncanakan
antara
lain
untuk
menunjang
pengendalian
operasional
penyelenggaraan transmigrasi, dukungan teknis penyiapan lahan dan bangunan permukiman
transmigrasi, penyediaan areal permukiman transmigrasi, serta penyiapan permukiman dan
lingkungan transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dari Irian
Jaya. Dalam program yang sama, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk
pembangunan sekitar 168 unit permukiman transmigrasi (OPT) yang dapat menampung sekitar
50.000 kepala keluarga (KK), peningkatan prasarana jalan di wilayah transmigrasi, penyiapan
lahan dengan penggaruan, pemberian pupuk dan tanaman penutup pada lahan usaha transmigrasi,
serta penyelesaian pengukuran batas kapling sebanyak 211.000 bidang dan pembuatan sertifikat
tanah sejumlah 182.000 buah. Selanjutnya dalam program pengerahan dan pembinaan
transmigrasi, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembiayaan
bagi proyek pengelolaan unit permukiman transmigrasi, proyek pengerahan dan pemindahan
transmigrasi, proyek pelatihan transmigrasi, proyek pemindahan transmgrasi dari Jawa dari Bali,
serta proyek penempatan dan pembinaan transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Melalui berbagai proyek tersebut, dalam tahun anggaran
1995/96 akan diupayakan antara lain kegiatan penerangan, penyuluhan, pendaftaran dan seleksi
calon transmigran, pemindahan penduduk sekitar 50.000 KK, serta pembinaan sosial budaya dan
ekonomi terhadap sekitar 235.000 KK transmigran di beberapa propinsi tersebut di atas.
Di samping pembangunan daerah, dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan
Departemen Keuangan RI
179
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ekonomi yang diperlukan untuk mendukung upaya pemerataan pembangunan dan pengentasan
kemiskinan, maka sesuai dengan amanat GBHN 1993 dari Repelita VI, sektor jasa, termasuk
pelayanan infrastruktur dari jasa keuangan, terus dikembangkan menuju terciptanya jaringan
informasi, perhubungan, perdagangan, dan pelayanan yang andal, efisien, dari mampu
mendukung industrialisasi serta pemerataan pembangunan dari hasil-hasilnya. Sehubungan
dengan itu, untuk pengembangan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan
tinggi di dalam mendukung gerak dinamika pembangunan, mobilitas manusia, barang, dan jasa,
pola distribusi nasional, serta pengembangan wilayah dari peningkatan hubungan internasional,
dalam RAPBN 1995/96 sektor transportasi, meteorologi, dari geofisika diberikan alokasi
anggaran pembangunan sebesar Rp 5.897,9 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar
Rp 672,4 miliar atau 12,9 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95.
Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor prasarana jalan sebesar Rp 3.917,2 miliar,
subsektor transportasi darat sebesar Rp 643,1 miliar, subsektor transportasi laut sebesar Rp 554,4
miliar, subsektor transportasi udara sebesar Rp 749,1 miliar, serta subsektor meteorologi,
geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR) sebesar Rp 34,1 miliar.
Di subsektor prasarana jalan, dalam rangka memantapkan kondisi jalan dan memperluas
jaringan jalan yang menghubungkan daerah pusat produksi dengan daerah pemasaran, daerah
perkotaan, dan daerah perdesaan yang mampu menjangkau daerah tertinggal, alokasi anggaran
pembangunan direncanakan bagi program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan
sebesar Rp 365,7 miliar, program peningkatan jalan dan penggantian jembatan sebesar Rp
2.780,8 miliar, serta program pembangunan jalan dan jembatan sebesar Rp 770,7 miliar. Program
rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan terutama diarahkan untuk memelihara,
merawat, dan memperbaiki kerusakan pada seluruh ruas jalan yang ada, serta menjaga agar
kondisi jalan yang sudah mantap tetap dapat dipertahankan.
Dalam program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan tersebut, dalam tahun
anggaran 1995/96 direncanakan pemeliharaan jalan sepanjang 36.600 kilometer, yang meliputi
11.140 kilometer jalan arteri, 18.260 kilometer jalan kolektor, dan 7.200 kilometer jalan poros
desa. Sedangkan untuk menunjang daya guna dan efektivitas pemanfaatan jaringan jalan, dalam
program serupa juga direncanakan pemeliharaan jembatan sepanjang 12.390 meter, masingmasing pada jalan arteri sepanjang 3.620 meter, jalan kolektor sepanjang 8.770 meter. Sementara
itu untuk menumbuhkembangkan jaringan dan kualitas jalan agar tetap mampu mempertahankan
Departemen Keuangan RI
180
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tingkat pelayanannya sesuai dengan tuntutan transportasi yang terus berkembang, melalui
program peningkatan jalan dan penggantian jembatan direncanakan peningkatan jalan sepanjang
18.738 kilometer, yang meliputi 1.430 kilometer jalan arteri, 3.808 kilometer jalan kolektor,
12.300 kilometer jalan lokal, dan 1.200 kilometer jalan poros desa. Selain daripada itu dalam
program yang sama juga direncanakan untuk penggantian jembatan sepanjang 14.448 meter,
yang mencakup 2.200 meter jembatan arteri, 4.694 meter jembatan kolektor, 6.964 meter
jembatan lokal, dan 590 meter jembatan poros desa.
Selanjutnya untuk membuka isolasi serta menambah panjang jalan sesuai dengan
perkembangan kawasan dan menghubungkan antar wilayah, dalam program pembangunan jalan
dan jembatan direncanakan antara lain pembangunan jalan sepanjang 1.860 kilometer, yang
meliputi 360 kilometer jalan arteri, 785 kilometer jalan kolektor, dan 715 kilometer jalan poros
desa. Di samping itu dalam program yang sama, anggaran pembangunan juga direncanakan untuk
pembangunan jembatan sepanjang 1.210 meter, yang terdiri dari 460 meter jembatan arteri, dan
750 meter jembatan kolektor. Demikian pula guna mengurangi kepadatan arus lalu-lintas, melalui
program serupa direncanakan pembebasan tanah jalan tol seluas 400 hektar.
Pada subsektor transportasi darat, untuk menciptakan kelancaran, ketertiban, keamanan
dan keselamatan, serta kenyamanan transportasi darat, anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya bagi pembiayaan program pengembangan fasilitas lalu-lintas jalan sebesar Rp 43,9
miliar, program pengembangan perkeretaapian sebesar Rp 459,9 miliar, serta program
peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan sebesar Rp 139,3 miliar. Dalam rangka
menciptakan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan transportasi
jalan raya, melalui program pengembangan fasilitas lalu-lintas jalan direncanakan antara lain
pengadaan dan pemasangan fasilitas angkutan jalan raya, diantaranya berupa 14.213 rambu jalan,
6 unit peralatan pengujian kendaraan bermotor, daft 37 unit lampu pengatur lalu-lintas.
Sedangkan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan dalam kota yang aman, tertib dan murah,
dan berpolusi rendah, melalui program yang sama direncanakan pengadaan 40 bus kota yang
berbahan bakar gas. Sementara itu dalam rangka meningkatkan kemampuan pelayanan jasa
transportasi manusia dan barang secara massal daft efisien serta mengurangi kerusakan badan
jalan, dalam program pengembangan perkeretaapian direncanakan antara lain peningkatan daft
rehabilitasi jalan kereta api sepanjang 155 kilometer, pembangunan baru jalan kereta api
sepanjang 20 kilometer, pembangunan jembatan kereta api sebanyak 2 buah dan rehabilitasi
Departemen Keuangan RI
181
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebanyak 2 buah. Sedangkan untuk menjadikan kereta api sebagai angkutan umum yang murah,
tertib, dan aman, baik sebagai angkutan antar kota maupun sebagai angkutan dalam kota bagi
penumpang dan barang, dalam program yang sama direncanakan antara lain penambahan 27 buah
sarana lokomotif, 10 buah kereta penumpang kelas III dan 12 buah kereta rel listrik, serta
diupayakan rehabilitasi 32 buah lokomotif diesel, 4 buah kereta rel listrik, dan 64 buah kereta rel
diesel. Selanjutnya guna menciptakan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan yang dapat
diandalkan untuk melayani transportasi antar daerah, dalam program peningkatan angkutan
sungai, danau, dan penyeberangan, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain
penambahan sarana dan pengoperasian kapal perintis, serta truk air di daerah terpencil dan
terisolir, daerah pedalaman, dan kawasan perbatasan, khususnya di kawasan timur Indonesia
(KTI). Sedangkan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, dalam program yang sama
direncanakan antara lain pemasangan sebanyak 601 buah rambu sungai dan laut yang tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya, serta pemetaan sungai dan danau bagi
pengembangan
pelayaran.
Demikian
pula
untuk
meningkatkan
kemampuan
dermaga
penyeberangan, sungai, dan danau, dalam program serupa juga direncanakan pembangunan dan
rehabilitasi dermaga penyeberangan serta dermaga sungai dan danau.
Di subsektor transportasi laut, dalam rangka menunjang upaya peningkatan pembangunan
pelayaran nasional dan peningkatan pelayanan jasa transportasi laut yang layak, aman, dan
mampu menunjang distribusi barang dan penumpang antar pulau yang terintegrasi dengan moda
transportasi
lainnya,
anggaran
pembangunan
direncanakan
alokasinya
bagi
program
pengembangan fasilitas pelabuhan laut sebesar Rp 257,5 miliar, program keselamatan pelayaran
sebesar Rp 136,2 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran sebesar
Rp 160,7 miliar. Untuk mendukung kelancaran ekspor nonmigas dan pertumbuhan perdagangan,
melalui program pengembangan fasilitas pelabuhan laut dalam tahun anggaran 1995/96
direncanakan pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan, diantaranya pembangunan dermaga
baru sepanjang 2.690 meter, pembangunan guuang seluas 1.850 meter persegi, pembangunan
lapangan penumpukan seluas 56.842 meter persegi, dan pembangunan terminal penumpang
seluas 2.600 meter persegi. Sedangkan untuk meningkatkan kelancaran arus lalu-lintas kapal,
menghindari kecelakaan lalu-lintas kapal keluar dan masuk pelabuhan, serta mengurangi tingkat
pencemaran laut, dalam program keselamatan pelayaran direncanakan antara lain pembangunan 3
unit menara suar, pengadaan dan pemasangan 75 unit rambu suar, peningkatan fasilitas
Departemen Keuangan RI
182
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kesyahbandaran, serta pemeliharaan kedalaman alur pelayaran utama dengan sasaran volume
keruk sekitar 12 juta meter kubik, diantaranya di Belawan, Banjarmasin, dan Samarinda.
Sementara itu untuk menunjang upaya penyediaan jasa angkutan laut antar pulau,jasa pelayaran
niaga nusantara, serta jasa angkutan antar benua, dalam program pembinaan dan pengembangan
armada pelayaran direncanakan antara lain pembangunan dan pengembangan armada nasional,
baik armada pelayaran nusantara, armada pelayaran rakyat dan perintis, maupun armada
pelayaran samudera.
Sementara itu di subsektor transportasi udara, dalam rangka memenuhi kebutuhan jasa
transportasi udara dalam negeri yang mampu beroperasi secara optimal dan menjangkau seluruh
wilayah nasional serta memenuhi kebutuhan jasa penerbangan internasional yang makin
kompetitif, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pengembangan
fasilitas bandar udara sebesar Rp 254,1 miliar, program keselamatan penerbangan sebesar Rp
61,0 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan armada udara sebesar Rp 434,0 miliar.
Dalam program pengembangan fasilitas bandar udara (Bandara) direncanakan antara lain
pembangunan dan perluasan terminal baru seluas 9.758 meter persegi, diantaranya Bandara Adi
Sumarmo di Solo, Abdurahman Saleh di Malang, Syamsudin Noor di Banjarmasin, Mendiptana
di Irian Jaya, dan Pattimura di Ambon. Selain daripada itu untuk meningkatkan kemampuan
Bandara dalam melayani pesawat sejenis CN-235, melalui program yang sama diupayakan
peningkatan kapasitas Bandara berupa pembangunan landasan dan perluasan apron seluas
218.936 meter persegi, antara lain di Bandara Achmad Yani Semarang, Simpang Tiga Pekanbaru,
Sarong daratan dan Tanah Merah Irian Jaya. Sedangkan dalam rangka memenuhi persyaratan
penerbangan internasional serta meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu-lintas udara di
seluruh wilayah Indonesia, dalam program keselamatan penerbangan direncanakan antara lain
pemasangan dan rehabilitasi peralatan telekomunikasi, navigasi udara, dan listrik, diantaranya di
Bandara Husain Sastranegara Bandung, El Tari-Kupang, Soekarno Hatta-Jakarta, Sarong,
Sentani-Jayapura, dan di beberapa bandar udara yang melayani penerbangan perintis. Sementara
itu untuk meningkatkan pelayanan, keselamatan dan keamanan, serta efisiensi pengoperasian
armada udara, dalam program pembinaan dan pengembangan armada udara dalam tahun
anggaran 1995/96 direncanakan antara lain pengembangan dan pengoperasian armada udara
perintis, diantaranya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Selanjutnya dalam rangka menunjang upaya penyediaan jasa informasi secara cepat dan
Departemen Keuangan RI
183
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tepat oleh masyarakat, mendukung kelancaran dan keselamatan penyelenggaraan jasa transportasi
laut dan udara, serta menunjang upaya penanggulangan bencana alam, anggaran pembangunan
subsektor meteorologi dan geofisika direncanakan alokasinya bagi program pembangunan
meteorologi dan geofisika sebesar Rp 33,0 miliar serta program pembangunan pencarian dan
penyelamatan sebesar Rp 1,1 miliar. Dalam program pembangunan meteorologi dan geofisika
direncanakan antara lain pengembangan peralatan telekomunikasi sebanyak 85 unit,
pembangunan dan rehabilitasi gedung operasional untuk pengamatan cuaca, serta pengadaan dan
pemasangan 584 unit peralatan pengamatan dan pelayanan jasa meteorologi, klimatologi, dan
geofisika di 26 propinsi. Demikian pula dalam program yang sama, anggaran pembangunan juga
direncanakan untuk pembangunan pusat prakiraan nasional dan wilayah, serta pusat kalibrasi
nasional dan wilayah. Sementara itu untuk lebih meningkatkan kecepatan pencarian dan
pertolongan sebagai akibat terjadinya musibah, dalam program pembangunan pencarian dan
penyelamatan direncanakan antara lain pengadaan beberapa paket peralatan SAR dan peralatan
komunikasi SAR.
Dalam RAPBN 1995/96, untuk sektor pertambangan dan energi disediakan anggaran
pembangunan sebesar Rp 3.894,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 312,9
miliar atau 8,7 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Jumlah tersebut
diperlukan untuk menunjang upaya pemenuhan kebutuhan energi serta bahan baku bagi industri
dalam negeri dan keperluan masyarakat, peningkatan ekspor, peningkatan penerimaan negara dan
pendapatan daerah, serta perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Anggaran tersebut
akan dialokasikan untuk subsektor pertambangan sebesar Rp 94,8 miliar dan subsektor energi
sebesar Rp 3.800,0 miliar.
Di subsektor pertambangan, dalam rangka meningkatkan produksi, meningkatkan
pengelolaan sumber daya alam mineral secara hemat dan optimal, dan menganekaragamkan hasil
tambang, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pengembangan geologi
dan sumber daya mineral sebesar Rp 12,7 miliar, program pembangunan pertambangan sebesar
Rp 80,7 miliar, dan program pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu sebesar Rp 1,4
miliar. Dalam program pengembangan geologi dan sumber daya mineral direncanakan antara lain
pemetaan geologi dan geofisika bersistem dengan skala 1 : 100.000 di pulau Jawa, dan skala 1 :
250.000 di luar pulau Jawa, inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral bahan galian
industri dan mineral logam, serta inventarisasi sumber daya energi batubara dan gambut. Untuk
Departemen Keuangan RI
184
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
menyediakan informasi dasar mengenai potensi geologi dan energi dasar laut, dalam program
yang sama direncanakan antara lain pemetaan geologi dasar laut, kompilasi dan digitasi peta
geologi bawah laut, serta penyelidikan geologi wilayah pantai. Di samping itu direncanakan
penyediaan data informasi geologi tata lingkungan dan mitigasi untuk beberapa kota dan wilayah,
penyelidikan potensi air tanah untuk daerah rawan air, penyelidikan dan pengamatan gunung
berapi, serta pemeriksaan kegempaan dan tanah longsor. Sementara itu untuk menunjang upaya
peningkatan produksi dan penganekaragaman hasil tambang, dalam program pembangunan
pertambangan direncanakan antara lain peningkatan pembinaan pengusahaan pertambangan,
penyediaan informasi mineral, pengembangan pertambangan batubara dan gambut, serta
pembinaan keselamatan kerja dan pengamanan teknis pertambangan. Selanjutnya guna
meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara lebih luas dan
produktif, anggaran pembangunan dalam program pengembangan usaha pertambangan rakyat
terpadu direncanakan untuk membina dan mengembangkan usaha pertambangan skala kecil dan
usaha pertambangan rakyat, baik melalui koperasi unit desa (KUD) pertambangan maupun pola
kemitraan dengan pihak swasta dan BUMN.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi masyarakat, dan sekaligus mendorong
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan,
anggaran pembangunan subsektor energi direncanakan alokasinya untuk program pengembangan
tenaga listrik sebesar Rp 3.379,4 miliar, program pengembangan listrik perdesaan sebesar Rp
370,5 miliar, serta program pengembangan tenaga migas, batubara dan energi lainnya sebesar Rp
50,1 miliar. Guna memenuhi permintaan masyarakat akan tenaga listrik dalam jumlah yang
cukup dan merata serta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas, dalam program
pengembangan tenaga listrik direncanakan antara lain penyelesaian pembangunan pembangkit
tenaga listrik dengan kapasitas 2.021,7 megawatt (MW), pembangunan jaringan transmisi
sepanjang 2.338 kilometer sirkuit (KMS), serta pembangunan gardu induk dengan kapasitas
7.440 megavolt ampere (MVA). Di samping itu dalam program yang sama juga direncanakan
perluasan jaringan distribusi tegangan menengah sepanjang 32.980 KMS dan jaringan distribusi
tegangan rendah sepanjang 49.125 KMS, serta perluasan gardu distribusi dengan kapasitas 5.515
MVA. Demikian pula dalam rangka optimalisasi dan peningkatan efisiensi prasarana dan sarana
kelistrikan, dalam program yang sama juga direncanakan untuk menyelesaikan renovasi
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) antara lain pada PLTA Kracak, PLTA Pelengan, dan PLTA
Departemen Keuangan RI
185
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Ketenger, serta melanjutkan konversi penggunaan bahan bakar minyak ke bahan bakar gas antara
lain pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Gresik, PLTU Muara Karang, pembangkit listrik
tenaga diesel (PLTD) Balikpapan, PLTD Samarinda, serta PLTD Bontang. Sedangkan untuk
menunjang upaya pemerataan penyediaan energi listrik di daerah perdesaan, dalam program
pengembangan listrik perdesaan direncanakan antara lain pembangunan ketenagalistrikan yang
tersebar di 3.406 desa, serta diupayakan pemanfaatan energi setempat dengan mengikutsertakan
peran aktif swadaya masyarakat dan pemerintah daerah. Selanjutnya untuk meningkatkan
pemakaian gas alam serta menekan tingkat kebocoran gas, dalam program pengembangan tenaga
migas, batubara dan energi lainnya, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk
melanjutkan rehabilitasi dan perluasan pipa transmisi, pipa distribusi, dan pipa dinas, antara lain
di daerah Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, serta diupayakan pengadaan
dan pemasangan meter gas yang tersebar di beberapa kota. Demikian pula guna melanjutkan
usaha intensifikasi dan diversifikasi sumber energi, dalam program yang sama direncanakan
antara lain peningkatan strategi pengembangan bahan bakar minyak, pemasyarakatan briket batu
bara oleh rumah tangga dan industri kecil, serta peningkatan pengusahaan panas bumi.
Dalam rangka mengembangkan dan mengelola sumber daya air bagi kepentingan
masyarakat dan menunjang pembangunan seluruh sektor yang memerlukan dengan jumlah yang
mencukupi, multi yang memadai, serta secara adil dan merata, dalam RAPBN 1995/96 sektor
pengairan memperoleh alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 2.042,0 miliar, yang berarti
mengalami peningkatan sebesar Rp 355,0 miliar atau sekitar 21 persen dari anggaran yang
direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan bagi subsektor
pengembangan sumber daya air sebesar Rp 796,2 miliar dan subsektor irigasi sebesar Rp 1.245,8
miliar.
Di subsektor pengembangan sumber daya air, anggaran pembangunan direncanakan
alokasi pemanfaatannya untuk program pengembangan dan konservasi sumber daya air sebesar
Rp 391,0 miliar, program penyediaan dan pengelolaan air baku sebesar Rp 82,0 miliar, serta
program pengelolaan sungai, danau, dan sumber air lainnya sebesar Rp 323,2 miliar. Dalam
program pengembangan dan konservasi dan sumber daya air, anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk penyusunan rencana induk pada 10 wilayah sungai, diantaranya
sungai-sungai Ciujung-Ciliman, Cimanuk-Cisanggarung, Progo-Opak-Oyo, Jratunseluna, dan
Pekalen-Sampean. Upaya tersebut ditunjang pula dengan pemasyarakatan sikap hemat air,
Departemen Keuangan RI
186
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebagaimana telah dicanangkan secara nasional beberapa waktu yang lalu. Demikian pula dalam
program yang sama akan dilakukan antara lain rehabilitasi sejumlah waduk serta melanjutkan
pembangunan 6 unit waduk dan 55 unit embung yang berfungsi multiguna di Sumatera, Jawa,
Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Untuk menunjang penyediaan air baku di beberapa kota,
dalam program penyediaan dan pengelolaan air baku anggaran pembangunan akan dimanfaatkan
an tara lain untuk penyediaan air baku bagi kota-kota Jakarta, Surabaya, Semarang, Cilegon,
Demak, dan Rembang. Sedangkan dalam program pengelolaan sungai, danau, dan sumber air
lainnya anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk perbaikan sepanjang 370
kilometer alur sungai yang sudah kritis, pengelolaan sekitar 2.750 kilometer alur sungai,
pengelolaan 6 danau kritis, serta pengamanan sungai dan pengendalian banjir, termasuk banjir
lahar akibat letusan gunung berapi. Berbagai upaya tersebut selain dimaksudkan dalam rangka
menanggulangi bencana banjir yang ditimbulkan oleh sungai-sungai Ciliwung, Garang,
Jeneberang, Bengawan Solo, Deli, dan Percut, juga bertujuan untuk menanggulangi bencana
banjir lahar di sekitar gunung-gunung Merapi, Kelud, Semeru, dan Rinjani.
Sementara itu di subsektor irigasi, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk
program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi sebesar Rp 1.139,9 miliar serta program
pengembangan dan pengelolaan daerah rawa sebesar Rp 105,9 miliar. Dalam program
pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, anggaran pembangunan direncanakan antara lain
untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi seluas sekitar 5.943 ribu hektar, serta rehabilitasi
dan peningkatan jaringan irigasi yang telah dibangun seluas sekitar 139,5 ribu hektar, termasuk
untuk penanganan irigasi kecil yang telah dibangun oleh petani dalam upaya menjaga kelestarian
fungsinya. Dalam program yang sama juga akan dilakukan pembangunan jaringan irigasi baru
yang mencakup areal seluas sekitar 80 ribu hektar, dan pencetakan sawah baru seluas sekitar 90
ribu hektar. Pembangunan ini diarahkan di luar Jawa, antara lain di Sumatera, Sulawesi, dan
Nusa Tenggara. Sedangkan dalam program pengembangan dan pengelolaan daerah rawa,
anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk melanjutkan pengembangan daerah rawa
guna menunjang pengembangan perkebunan, baik yang dikelola oleh rakyat maupun yang
dikembangkan dengan pola perusahaan inti rakyat perkebunan (PIR-Bun). Dalam tahun anggaran
1995/96, daerah rawa yang akan dikembangkan meliputi areal seluas sekitar 134 ribu hektar,
pembangunan saluran multiguna sepanjang 20 kilometer, serta peningkatan tata saluran tambak
yang meliputi saluran primer sepanjang 94 kilometer. Pengembangan tersebut antara lain akan
Departemen Keuangan RI
187
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dilaksanakan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Pada beberapa alokasi
pengembangan ini juga dikaitkan untuk mendukung program transmigrasi.
Pengadaan berbagai sarana dan prasarana dasar sebagaimana diuraikan di atas, di samping
dimaksudkan untuk mempercepat upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menujuterciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sekaligus juga
diarahkan untuk mendukung pembangunan berbagai sektor ekonomi, terutama guna merangsang
tumbuhnya kegiatan produksi, investasi, dan pemasaran di sektor-sektor lainnya, sehingga
diharapkan mampu menunjang upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam tahun anggaran 1995/96, pembangunan sektor pertanian dan kehutanan juga akan
lebih ditingkatkan untuk mendukung proses industrialisasi, meningkatkan produksi komoditi
pertanian yang bernilai tinggi, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha,
meningkatkan pendapatan negara dan devisa, serta memacu pembangunan daerah. Oleh karena
itu, dalam RAPBN 1995/96 sektor pertanian dan kehutanan memperoleh alokasi anggaran
pembangunan sebesar Rp 1.103,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 114,2
miliar atau 11,5 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran
tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pertanian sebesar Rp 1.061,3 miliar dan subsektor
kehutanan sebesar Rp 42,5 miliar.
Dalam rangka meningkatkan produksi hasil pertanian untuk memantapkan swasembada
pangan, anggaran pembangunan subsektor pertanian direncanakan alokasinya bagi program
pembangunan pertanian rakyat terpadu sebesar Rp 322,9 miliar, program pembangunan usaha
pertanian sebesar Rp 289,7 miliar, program diversifikasi pangan dan gizi sebesar Rp 22,5 miliar,
serta program pengembangan sumber daya, sarana, dan prasarana pertanian sebesar Rp 426,2
miliar. Dalam program pembangunan pertanian rakyat terpadu, anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk menunjang kegiatan intensifikasi padi, jagung, kedelai dan tebu
rakyat, inseminasi buatan untuk ternak potong dan ternak perah, pengembangan penangkapan
ikan, serta pengembangan ternak unggas, kambing, dan domba. Sedangkan dalam program
pembangunan usaha pertanian direncanakan antara lain peningkatan efisiensi produksi dan
pemasaran hasil pertanian serta peningkatan kualitas dan daya saing hasil pertanian, baik bagi
pasaran dalam negeri maupun ekspor. Selanjutnya dalam program diversifikasi pangan dan gizi
direncanakan antara lain penyediaan bibit hortikultura, ternak, dan ikan, serta pelatihan penyuluh
Departemen Keuangan RI
188
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dan pelatih diversifikasi pangan dan gizi. Demikian pula untuk mengoptimalkan sarana dan
prasarana pertanian yang ada serta melengkapi sarana dan prasarana pertanian yang diperlukan,
dalam program pengembangan sumber daya, sarana, dan prasarana pertanian direncanakan antara
lain pengembangan sumber daya lahan tadah hujan dan pasang surut, pengembangan konservasi
lahan kering, pengembangan padang penggembalaan, serta pengembangan perbenihan, baik
benih padi, palawija, dan hortikultura maupun bibit perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Di subsektor kehutanan, anggaran belanja pembangunan diarahkan pemanfaatannya
untuk lebih memantapkan pengembangan serta pengelolaan hutan secara lestari guna menjamin
kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri.
Selain daripada itu juga akan dilakukan peningkatan peranan hutan, baik sebagai
komponen penyangga sistem kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati, maupun scbagai
sumber pendapatan negara, pemacu pembangunan daerah serta sebagai sumber bahan baku bagi
industri dalam negeri. Sehubungan dengan itu, anggaran pembangunan subsektor kehutanan
direncanakan alokasinya bagi program pembangunan dan pembinaan kehutanan sebesar Rp 37,2
miliar serta program pengembangan usaha perhutanan rakyat sebesar Rp 5,3 miliar. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan secara lestari, dalam program
pembangunan dan pembinaan kehutanan, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk
menunjang usaha pemeliharaan dan peningkatan multi hutan alam, pengembangan produksi
hutan nonkayu, serta pengembangan sistem manajemen hutan lestari. Selain daripada itu guna
meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi, dalam
program yang sama direncanakan pembangunan pusat perbenihan dan pembibitan, serta
penyiapan prakondisi pembangunan hutan tanaman baru, hutan tanaman industri (HTI), dan
pelaksanaannya.
Sedangkan
untuk
meningkatkan
peranserta
aktif
masyarakat
dalam
pembangunan kehutanan, dalam program pengembangan usaha perhutanan rakyat direncanakan
antara lain pemantapan dan perencanaan pembangunan hutan rakyat, pengembangan
kelembagaan, serta pembinaan, pengelolaan, rehabilitasi, dan perluasan hutan rakyat.
Sejalan dengan peran sektor industri sebagai penggerak utama dalam pembangunan
ekonomi nasional, pembangunan sektor industri dalam tahun anggaran 1995/96 juga akan lebih
ditingkatkan sehingga sektor industri tidak saja dapat tumbuh dan berkembang sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pemerataan, tetapi juga makin berperan penting
Departemen Keuangan RI
189
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebagai penggerak pembangunan sektor-sektor lainnya. Sesuai dengan arahan GBHN 1993,
pembangunan sektor industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian nasional,
meningkatkan kemampuan bersaing daripada produksi dalam negeri, serta menaikkan pangsa
pasar dalam negeri dan luar negeri, dengan selalu memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Sehubungan dengan itu, dalam rangka menunjang upaya perluasan basis produksi hasil
industri, terutama pengembangan agro industri, pengembangan industri kecil dan menengah,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha, penataan struktur dunia usaha, serta pengembangan
industri penunjang bagi tumbuhnya industri-industri padat teknologi yang strategis, dalam
RAPBN 1995/96 sektor industri mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 497,3
miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 46,8 miliar atau 10,4 persen dari
anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya
bagi program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil, dan menengah sebesar Rp
28,7 miliar, program peningkatan kemampuan teknologi industri sebesar Rp 436,8 miliar, serta
program penataan struktur industri sebesar Rp 31,8 miliar.
Guna menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan usaha ekonomi skala kecil dan
menengah yang produktif serta mendukung perluasan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha, serta meningkatkan pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan, dalam
program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk pembinaan kelompok usaha bersama, pembinaan
sentra-sentra industri, dan pengembangan koperasi industri. Sedangkan guna mewujudkan
sumber daya manusia industrial yang berkualitas, tangguh, kreatif dan dinamis, serta
menumbuhkan wirausaha yang tangguh agar mampu berkompetisi dan berinovasi, dalam
program yang sama juga direncanakan pelatihan untuk meningkatkan motivasi para wirausaha
untuk berprestasi, penyelenggaraan praktek kerja atau magang, serta pelatihan dan bimbingan
teknologi dan pengembangan usaha. Selain daripada itu guna mengembangkan kegiatan ekonomi
di daerah perdesaan, termasuk daerah terpencil, daerah terbelakang dan daerah perbatasan, serta
mendukung restrukturisasi ekonomi perdesaan, dalam program yang sama juga direncanakan
pengembangan agroindustri kecil dan perdesaan, serta pengembangan industri kecil kerajinan dan
rumah tangga. Selanjutnya guna lebih memperkukuh struktur industri, dalam program yang sama
direncanakan antara lain pengembangan industri menengah mesin, logam dasar dan elektronika,
pengembangan industri menengah kimia dasar, pengembangan industri kecil dan menengah
Departemen Keuangan RI
190
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
aneka industri, pengembangan industri kecil, baik sebagai industri subkontrak dan penunjang
maupun sebagai industri yang berorientasi ekspor, serta penumbuhan wirausaha baru industri
kecil dengan tenaga kerja tetap. Demikian pula guna menunjang pengembangan sistem
pendukung industri kecil dan menengah, dalam program yang sama direncanakan antara lain
pemantapan sistem prasarana kelembagaan dan prasarana fisik, diantaranya berupa peningkatan
fasilitas pendidikan dan pelatihan, pengembangan lembaga penelitian, serta pengembangan pusat
desain. Sementara itu dalam program peningkatan kemampuan teknologi industri direncanakan
antara lain penyusunan standar industri, termasuk penerapannya di perusahaan industri, serta
peningkatan kemampuan sarana balai-balai industri. Di samping itu guna menunjang upaya
pengembangan teknologi industri, dalam program yang sama anggaran pembangunan selain
direncanakan untuk pengembangan dan penerapan teknologi bersih dan teknologi daur ulang,
pemanfaatan limbah sebagai bahan baku, serta peningkatan pelaksanaan alih teknologi, juga
diupayakan untuk menunjang peningkatan penguasaan teknologi produk, teknologi pengolahan,
serta rancang bangun dan perekayasaan industri. Selanjutnya untuk memperluas basis industri
dan memperkuat pola keterkaitannya, dalam program penataan struktur industri direncanakan
antara lain pengembangan produk-produk industri prioritas yang mempunyai nilai tambah tinggi
dan berdaya jangkau strategis, serta pengembangan produk-produk agroindustri yang potensial.
Selain itu, guna menghadapi pasaran global dan regional, seperti pasar tunggal Eropa, Asean Free
Trade Area (AFTA), serta meningkatkan kerja sama ekonomi regional dalam kerangka Asia
Pasific Economic Cooperation (APEC), dalam program yang sama direncanakan antara lain
pengembangan dan penganekaragaman produk-produk industri berorientasi ekspor yang
mempunyai daya saing kuat. Sedangkan guna mendukung upaya pemerataan pembangunan
daerah, peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta
pemanfaatan posisi geografis Indonesia bagi akses ke pasar global, dalam program serupa
direncanakan antara lain promosi investasi industri, serta perluasan dan penataan struktur
persebaran industri, khususnya ke kawasan timur Indonesia.
Selanjutnya guna menunjang upaya penyempurnaan pola perdagangan dan sistem
distribusi nasional, peningkatan ekspor nonmigas, perluasan dan penataan dunia usaha,
peningkatan pelayanan jasa keuangan, serta pemantapan sistem dari kelembagaan koperasi,
dalam RAPBN 1995/96 sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan, dari
koperasi memperoleh alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 533,7 miliar. Jumlah tersebut
Departemen Keuangan RI
191
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
berarti mengalami penurunan sebesar Rp 202,6 miliar atau 27,5 persen dari anggaran yang
direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor
perdagangan dalam negeri sebesar Rp 18,9 miliar, subsektor perdagangan luar negeri sebesar Rp
141,5 miliar, subsektor pengembangan usaha nasional sebesar Rp 100,2 miliar, subsektor
keuangan sebesar Rp 128,6 miliar, serta subsektor koperasi dari pengusaha kecil sebesar Rp
144,5 miliar.
Di subsektor perdagangan dalam negeri, dalam rangka menyempurnakan pola
perdagangan dan sistem distribusi nasional untuk mewujudkan struktur pasar yang semakin sehat
dari mantap, memperluas pemasaran dan penggunaan hasil produksi dalam negeri,
mengembangkan dari mengintegrasikan pasar lokal, pasar antar daerah dari pasar antar pulau
dengan pasar nasional, serta menunjang berkembangnya usaha pedagang/pengusaha skala
menengah dan kecil termasuk koperasi di bidang perdagangan untuk mendukung ekonomi rakyat,
alokasi anggaran pembangunan direncanakan untuk program pengembangan perdagangan dan
sistem distribusi sebesar Rp 10,9 miliar serta program pengembangan usaha dari lembaga
perdagangan sebesar Rp 8,0 miliar. Guna menunjang upaya pengembangan sistem pemasaran
dari distribusi nasional serta pemantapan pengadaan dari penyaluran barang-barang strategis dari
bahan kebutuhan pokok masyarakat di dalam negeri, dalam program pengembangan perdagangan
dari sistem distribusi direncanakan antara lain penyelenggaraan pelayanan informasi,
perdagangan, penyelenggaraan pelayanan kemetrologian, penyelenggaraan pameran dagang di
dalam negeri, pengembangan distribusi barang penting dan strategis, pengembangan pasar lelang,
serta pembangunan pasar desa untuk pasar percontohan. Selanjutnya guna mengembangkan
sistem kelembagaan dari informasi perdagangan yang efektif dari efisien, dalam program
pengembangan usaha dari lembaga perdagangan direncanakan antara lain pengembangan sistem
informasi dari promosi perdagangan, pembinaan lembaga dan prasarana perdagangan, serta
pengembangan sistem kemitraan antara pengusaha kecil dari menengah termasuk koperasi
dengan pengusaha besar.
Sementara itu dalam rangka memperkuat kedudukan Indonesia dalam perdagangan
internasional serta mendorong peningkatan ekspor nonmigas, anggaran pembangunan subsektor
perdagangan luar negeri direncanakan alokasinya untuk program pengembangan kerja sama
perdagangan internasional sebesar Rp 4,2 miliar dari program pengembangan ekspor sebesar Rp
137,3 miliar. Dalam program pengembangan kerjasama perdagangan internasional, direncanakan
Departemen Keuangan RI
192
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
antara lain peningkatan akses pasar luar negeri dengan partisipasi aktif dalam berbagai forum
internasional, seperti perjanjian bilateral, multilateral, regional serta pemanfaatan lembaga
perdagangan internasional, penyebarluasan hasil keputusan kerja sama perdagangan internasional
kepada dunia usaha, serta peningkatan kemampuan penyelesaian sengketa dalam kerangka kerja
sama perdagangan internasional, termasuk peningkatan peranan atase perdagangan. Dalam
program pengembangan ekspor direncanakan antara lain penyusunan analisa pasar luar negeri,
penyusunan identifikasi potensi pasar komoditas ekspor, pelayanan pengujian dari sertifikasi
mutu komoditi ekspor, penyempurnaan sistem pengujian oleh balai pengujian mutu dalam upaya
memperoleh akreditasi internasional, pengembangan pusat promosi perdagangan Indonesia
(Indonesian Trade Promotion Centre, ITPC) sebagai wahana promosi produk ekspor Indonesia di
luar negeri, penyempurnaan peraturan perdagangan luar negeri dan kebijaksanaan ekspor, serta
pengembangan pilot proyek pusat klinik bisnis untuk komoditas ekspor. Di samping itu untuk
menunjang pengembangan industri dalam negeri guna penghematan devisa, dalam program
serupa direncanakan antara lain usaha pengendalian impor, diantaranya berupa penyempurnaan
klasifikasi barang-barang impor serta pengembangan kebijaksanaan impor yang dapat melindungi
hak milik intelektual.
Dalam rangka mempercepat pengembangan usaha nasional, baik usaha koperasi, usaha
negara, maupun usaha swasta agar dapat tumbuh menjadi penggerak perekonomian nasional,
anggaran pembangunan subsektor pengembangan usaha nasional direncanakan alokasinya bagi
program pengembangan dan pembinaan usaha nasional sebesar Rp 80,2 miliar dan program
penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 20,0 miliar. Dalam program pengembangan dan
pembinaan usaha nasional, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk
menunjang upaya pengembangan iklim usaha nasional yang sehat, dan promosi investasi.
Sedangkan dalam program penyertaan modal pemerintah, anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan antara lain untuk menunjang upaya peningkatan efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas badan-badan usaha milik negara (BUMN) agar mampu melaksanakan peranannya
dalam perekonomian nasional.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan negara, meneiptakan
suasana yang mendorong tumbuhnya inisiatif, kreativitas dan peranserta masyarakat dalam
pembangunan, serta meningkatkan tabungan pemerintah sebagai sumber utama pembiayaan
pembangunan, anggaran pembangunan subsektor keuangan direncanakan alokasinya untuk
Departemen Keuangan RI
193
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
program penerimaan keuangan negara sebesar Rp 1,3 miliar serta program pengembangan
lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara sebesar Rp 127,3 miliar. Guna menunjang
upaya peningkatan penerimaan pajak, termasuk penerimaan PBB, melalui program penerimaan
keuangan negara direncanakan penyempurnaan sistem informasi manajemen perpajakan serta
reklasifikasi tanah pertanian di beberapa wilayah irigasi. Sementara itu melalui program
pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara, anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan dan pengembangan lembaga keuangan,
baik asuransi, usaha jasa pembiayaan, maupun dana pensiun, pembinaan dan pengembangan
perbankan, serta penyempurnaan penyusunan perhitungan anggaran negara dan penatausahaan
inventaris kekayaan negara.
Selanjutnya guna memacu dan meningkatkan prakarsa, kemampuan, dan peranan
koperasi dan pengusaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya perekonomian rakyat,
anggaran pembangunan subsektor koperasi dan pengusaha kecil direncanakan alokasinya bagi
program pengembangan koperasi sebesar Rp 67,7 miliar dan program pembinaan usaha kecil
sebesar Rp 76,8 miliar. Untuk menunjang upaya pengembangan dan pemantapan koperasi, baik
di perdesaan maupun di perkotaan, anggaran pembangunan dalam program pengembangan
koperasi direncanakan antara lain untuk perluasan informasi pasar, peluang usaha dan promosi
usaha koperasi, penyelenggaraan temu usaha dan pameran koperasi, pengembangan usaha
koperasi terutama di bidang agribisnis dari agroindustri, pemberian bimbingan, konsultansi dan
penyuluhan, serta pengembangan usaha simpan pinjam. Di samping itu dalam rangka
pengembangan kemitraan usaha dari kerjasama antar koperasi, dalam program yang sama akan
diupayakan antara lain pengembangan jaringan usaha koperasi dari informasi pasar, serta
peningkatan koordinasi antar koperasi di tingkat primer dari sekunder. Selanjutnya untuk
menunjang pembangunan koperasi di daerah tertinggal, dalam program tersebut direncanakan
antara lain pembangunan dari pengembangan warung serba ada (Waserda) dari tempat pelayanan
koperasi (TPK), pengadaan sarana koperasi di perdesaan tertinggal, pengembangan dana sehat,
serta penyediaan informasi pasar dari peluang usaha. Sementara itu untuk memantapkan dari
meningkatkan peran pengusaha kecil sebagai unsur kekuatan ekonomi yang sehat, tangguh dan
mandiri, dalam program pembinaan usaha kecil direncanakan peningkatan manajemen dari
kewirausahaan melalui pelatihan, praktek kerja/magang dari studi banding, pemberian
bimbingan, konsultansi dan penyuluhan manajemen dari kelembagaan kepada berbagai kelompok
Departemen Keuangan RI
194
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengusaha kecil, serta perluasan informasi, pameran dari promosi usaha. Selain daripada itu juga
akan diupayakan pembinaan dalam rangka pengembangan incubator usaha, pengembangan pusat
konsultansi usaha kecil bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di daerah, pendataan
kontribusi pengusaha kecil terhadap ekspor, serta pemantapan data dan statistik usaha kecil
dengan antara lain mengupayakan penyusunan direktori pengusaha kecil dan menengah. Untuk
menunjang pengembangan usaha kecil, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga
direncanakan untuk pengembangan jaringan usaha, peningkatan dari pemanfaatan permodalan,
peningkatan dan pemanfaatan teknologi industri, peningkatan organisasi dari manajemen, serta
peningkatan kemitraan usaha, antara lain melalui penyelenggaraan temu usaha.
Pembangunan sektor pariwisata, pos, dan telekomunikasi, sebagai salah satu industri jasa,
akan lebih ditingkatkan untuk menunjang upaya memperbesar penerimaan devisa, memperluas
lapangan kerja dari pemerataan kesempatan usaha, mendorong pembangunan daerah,
meningkatkan kesejahteraan dari kemakmuran rakyat, serta memperkaya kebudayaan nasional.
Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mendayagunakan potensi kepariwisataan
nasional agar dapat menjadi salah satu komoditas andalan yang mampu menggerakkan berbagai
kegiatan ekonomi lainnya, dalam RAPBN 1995/96 sektor pariwisata, pos, dari telekomunikasi
diberikan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.005,8 miliar, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 283,9 miliar atau 39,3 persen dari yang dianggarkan dalam APBN
1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor pariwisata sebesar Rp 41,0
miliar serta subsektor pos dan telekomunikasi sebesar Rp 964,8 miliar.
Dalam rangka meningkatkan arus wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia,
meningkatkan daya saing kepariwisataan nasional, serta mengembangkan pariwisata nusantara,
anggaran pembangunan subsektor pariwisata direncanakan alokasinya untuk program pemasaran
pariwisata sebesar Rp 16,0 miliar dan program pengembangan produk wisata sebesar Rp 25,0
miliar. Guna meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan bagi wisatawan
mancanegara, dalam program pemasaran pariwisata anggaran pembangunan direncanakan antara
lain untuk pengadaan dari pencetakan bahan promosi, pengumpulan data pasar, serta
penyelenggaraan promosi pariwisata, terutama melalui pusat promosi pariwisata Indonesia di
beberapa negara mancanegara. Sedangkan guna meningkatkan arus wisatawan dalam negeri,
dalam program yang sama direncanakan antara lain penyelenggaraan pameran pariwisata untuk
memasyarakatkan dekade kunjungan Indonesia 1995/96, penyusunan pola sistem pendataan
Departemen Keuangan RI
195
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
wisata nusantara, serta lomba nasional kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Di samping itu untuk
menunjang upaya penggalakkan wisata remaja, dalam program yang sama direncanakan antara
lain peningkatan keterampilan, baik bagi tenaga pembina pariwisata remaja, Pramuka, maupun
organisasi remaja, serta penyelenggaraan safari remaja nusantara. Guna meningkatkan upaya
pengembangan usaha sarana pariwisata, dalam program pengembangan produk wisata anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan penanaman modal di bidang
usaha pariwisata, penyelenggaraan pameran kerajinan cenderamata, serta penyusunan dan
pencetakan buku peluang investasi usaha pariwisata di kawasan timur Indonesia. Sementara itu
guna mendorong pengembangan usaha jasa, objek, dan daya tarik wisata, dalam program yang
sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengembangan usaha agrowisata,
penerbitan usaha sarana wisata tirta, penyelenggaraan uji coba jalur wisata baru, serta
pengembangan wisata budaya. Selanjutnya untuk menunjang upaya pembinaan kepariwisataan,
dalam program yang sama direncanakan pembinaan usaha kecil dan masyarakat di sekitar objek
dan kawasan pariwisata, serta penyusunan program operasional pengembangan pariwisata
nusantara.
Sementara itu dalam rangka lebih memperluas jangkauan serta meningkatkan kelancaran
arus surat, barang, uang dan informasi, baik ke seluruh pelosok tanah air termasuk daerah
terpencil dan transrnigrasi maupun ke luar negeri, anggaran pembangunan subsektor pos dan
telekomunikasi direncanakan alokasinya bagi program pengembangan jasa pos dan giro sebesar
Rp 35,4 miliar dan program pengembangan jasa telekomunikasi sebesar Rp 929,4miliar. Guna
mengantisipasi pesatnya perkembangan volume lalu-lintas surat serta meningkatkan mutu
pelayanan jasa pos dan giro, dalam program pengembangan jasa pos dan giro anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan kantor pas pembantu dan kantor pos
tambahan sebanyak 41 buah yang tersebar di berbagai kecamatan yang belum mempunyai
fasilitas tersebut, pembangunan kantor pos besar sebanyak dua buah, mekanisasi dah otomatisasi
kantor pos besar di satu lokasi, serta diversifikasi produk pos dan giro. Sedangkan untuk
menunjang perluasan jangkauan pelayanan jasa pos, dalam program yang sama direncanakan
antara lain pengadaan kendaraan roda dua untuk pos keliling desa, pengadaan kendaraan roda
empat dan roda enam untuk pos keliling kota, dan pengadaan sepeda. Demikian pula guna
menunjang upaya mempercepat pelayanan jasa pos kepada masyarakat, dalam program yang
sama juga direncanakan pengadaan sejumlah timbangan paket elektronik, timbangan surat
Departemen Keuangan RI
196
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
elektronik, mesin hitung uang, mesin cap, mesin pengikat, mesin perangko, serta perangkat
komputer. Sementara itu untuk meningkatkan jangkauan, mutu dan efisiensi pelayanan jasa
telekomunikasi, dalam program pengembangan jasa telekomunikasi direncanakan antara lain
pembangunan telepon baru sebanyak 898.800 satuan sambungan yang tersebar di 27 propinsi,
pengembangan standarisasi peralatan telekomunikasi, peningkatan sistem monitoring dan
manajemen frekuensi radio nasional, serta penyusunan master plan pembagian wilayah digital
sellular.
Sebagaimana digariskan dalam GBHN 1993 dari Repelita VI, prioritas pembangunan di
samping dititikberatkan pada sektor-sektor di bidang ekonomi juga diletakkan pada upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, selain pembangunan infrastruktur
yang memadai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dalam tahun anggaran
1995/96, sejalan dengan percepatan, perluasan, dari pendalaman pembangunan, upaya
pengembangan sumber daya manusia juga akan semakin ditingkatkan guna menjamin
kesinambungan jalannya pembangunan. Pengembangan dari peningkatan kualitas sumber daya
manusia tersebut antara lain diupayakan melalui peningkatan mutu dari pemerataan pelayanan
pendidikan, peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kualitas
pelayanan dari derajat kesehatan yang makin luas jangkauannya bagi seluruh lapisan masyarakat,
pengembangan dari pembinaan kehidupan beragama, serta peningkatan produktivitas sumber
daya manusia dari pendayagunaan tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi secara optimal.
Dalam rangka menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan dari memperluas
jangkauan pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan, dalam RAPBN 1995/96
sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda
dan olah raga mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 3.359,2 miliar, atau naik
sekitar 9,7 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan
dialokasikan untuk subsektor pendidikan sebesar Rp 3.061,8 miliar, subsektor pendidikan luar
sekolah dan kedinasan sebesar Rp 204,9 miliar, subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebesar Rp 55,1 miliar, serta subsektor pemuda dan olah raga
sebesar Rp 37,4 miliar.
Di subsektor pendidikan, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program
pembinaan pendidikan dasar sebesar Rp 1.455,4 miliar, program pembinaan pendidikan
Departemen Keuangan RI
197
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
menengah sebesar Rp 517,9 miliar, program pembinaan pendidikan tinggi sebesar Rp 785,2
miliar, program pembinaan tenaga kependidikan dan kebudayaan sebesar Rp 157,3 miliar, serta
program operasi dari perawatan fasilitas pendidikan dari kebudayaan sebesar Rp 146,0 miliar.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dari memperluas pelayanan pendidikan prasekolah,
anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pembinaan pendidikan dasar direncanakan
penggunaannya antara lain untuk pembangunan sekitar 32 unit taman kanak-kanak (TK)
percontohan, pengadaan 1.300 set alat peraga/alat bermain, pengadaan 530 ribu eksemplar buku
pelajaran dan buku perpustakaan, serta penyelenggaraan penataran bagi 5.300 orang kepala
sekolah, penilik, dan guru TK. Sementara itu dalam rangka memperluas pemerataan kesempatan
belajar pada tingkat sekolah dasar (SD), dalam program yang sama anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk pembangunan 425 unit gedung SD baru, terutama di daerah
pemukiman baru dan daerah transmigrasi, penambahan 2.650 ruang kelas, rehabilitasi sejumlah
gedung SD, serta pengadaan sekitar 60 juta eksemplar buku pelajaran pokok dari buku
perpustakaan. Pengadaan buku terutama buku pelajaran akan diutamakan bagi murid SD dari
madrasah ibtidaiyah (MI) di desa tertinggal. Untuk meningkatkan kegiatan olah raga dari
Pramuka akan disediakan bantuan sebesar Rp 100 ribu per sekolah. Seperti halnya bantuan
operasional dari pemeliharaan sekolah, bantuan ini akan diberikan langsung ke sekolah untuk
dikelola pemanfaatannya secara langsung oleh sekolah yang bersangkutan. Sementara itu untuk
meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah terpencil, akan dilanjutkan pembangunan SD kecil
lengkap dengan sarana belajar-mengajar yang memadai, dan peningkatan kualitas proses belajar
mengajar. Selain itu juga akan dilakukan pelatihan dan penataran termasuk pelatihan pra jabatan
bagi guru baru yang akan bertugas di daerah terpencil. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sekolah luar biasa (SLB), dalam program yang sama
anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan dan pengembangan SLB
pembina tingkat propinsi, penambahan 8 SLB, rehabilitasi sekitar 3 gedung SLB, pengadaan 900
buah peralatan pendidikan khusus, serta penataran dan peningkatan pembinaan bagi 1.800 kepala
SLB di sejumlah lembaga pendidikan luar biasa.
Sementara itu untuk meningkatkan daya tampung SLTP dalam rangka pelaksanaan wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun, anggaran pembangunan dalam program yang sama
direncanakan antara lain untuk pembangunan gedung SLTP dan penambahan kelas baru yang
setara dengan 5.300 ruang. Untuk mendorong peranserta masyarakat, akan diberikan bantuan
Departemen Keuangan RI
198
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kepada pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan SLTP. Sedangkan untuk
menunjang pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun di daerah-daerah tertentu yang
tidak mungkin diselenggarakan sekolah biasa, akan diupayakan pengembangan dan
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui SLTP terbuka dan SLTP kecil secara lebih
intensif. Selain daripada itu untuk meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan, khususnya bagi anak-anak yang berprestasi namun kemampuan ekonominya lemah,
dalam program yang sama direncanakan pemberian beasiswa bagi sekitar 90.000 siswa SD,
SLTP, dan SLTA. Selanjutnya guna meningkatkan kemampuan profesional guru dan tenaga
kependidikan, baik guru SLTP negeri maupun swasta, direncanakan antara lain pemantapan kerja
guru (PKG) melalui penyelenggaraan penataran bagi sekitar 31.000 orang guru bidang studi dan
kepala sekolah.
Guna memperluas daya tampung pendidikan menengah umum, anggaran yang disediakan
bagi program pembinaan pendidikan menengah direncanakan penggunaannya antara lain untuk
pembangunan sekitar 60 gedung sekolah menengah umum (SMU) negeri, penambahan 650 ruang
kelas pada SMU negeri dan swasta, serta pembangunan 20 unit mess guru dan 20 unit asrama
murid. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan multi pendidikan pada sekolah
menengah umum, dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain
untuk pengadaan dan pendistribusian sebanyak 11 juta eksemplar buku pelajaran dan buku
perpustakaan, serta pengadaan 17 ribu ,unit peralatan pendidikan. Sejalan dengan itu, untuk
meningkatkan pembinaan dan pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK), dengan
anggaran yang sama akan dilakukan pembangunan sekitar 20 unit gedung SMK, penambahan
sekitar 1.500 ruang teori, ruang praktek dan ruang penunjang, serta peningkatan kemampuan
manajemen bagi guru dan kepala sekolah. Sedangkan dalam rangka peningkatan relevansi
pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, akan ditingkatkan kerja sama antara sekolah
kejuruan dengan lembaga industri, dunia usaha, dan lembaga terkait lainnya, serta diupayakan
penerapan program pengembangan sekolah seutuhnya (PSS) dan konsolidasi manajemen
pendidikan menengah kejuruan.
Selanjutnya guna mcningkatkan daya tampung dan memperluas kesempatan belajar pada
tingkat perguruan tinggi, dalam program pembinaan pendidikan tinggi direncanakan antara lain
pengadaan sekitar 2.500 pakct perabot pendidikan dan sekitar 2.000 paket peralatan laboratorium.
Sedangkan dalam rangka memperluas kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, dalam
Departemen Keuangan RI
199
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
program yang sama anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk pcmberian bea
siswa kepada 20 ribu mahasiswa yang bcrprcstasi namun kcmampuan ckonominya lemah.
Scmentara itu guna mengembangkan kualitas pcndanikan dan mcningkatkan multi dosen dan
tcnaga kcpcndidikan lainnya, dalam program tersebut dircncanakan antara lain pcndidikan pasca
sarjana bagi 9.200 orang, pelatihan dosen sebanyak 4.000 orang, serta pcngadaan buku, majalah
dan jurnal sebanyak 50 ribu eksemplar. Di samping itu kegiatan penelitian, termasuk penelitian
hibah bersaing yang diikuti dengan perintisan penerbitan jurnal bertaraf intcrnasional akan
ditingkatkan dalam rangka pengembangan Iptek. Pengembangan program studi yang sangat
diperlukan untuk menunjang industrialisasi akan mendapat pcrhatian yang lebih tinggi, antara
lain melalui pengembangan politeknik dan jurusan-jurusan sains dan keteknikan.
Dalam rangka meningkatkan cfisicnsi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, dalam
program pembinaan tcnaga kependidikan dan kebudayaan direncanakan antara lain pemantapan
rencana kebutuhan guru dan tenaga pengajar di bcrbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
dalam rangka mcnunjang program wajib bclajar pcndanikan dasar sembilan tahun, pcngangkatan
dan pcnycbaran sekitar 11.000 orang guru dan tcnaga kcpcndidikan lainnya, pcncmpatan dan
pcmcrataan guru dan kcpala sekolah, scrta pcmberian pcnghargaan bagi guru, dosen, dan tcnaga
kcpendidikan yang berprestasi. Sedangkan untuk meningkatkan multi guru, dosen, dan tenaga
kependidikan lainnya, dalam program yang sama direncanakan antara lain peningkatan
kualifikasi guru SD setara D2 bagi 90 ribu orang, guru SLTP setara D3 sebanyak 50 ribu orang,
pendidikan guru SD (PGSD) sebanyak 22 ribu orang, pendidikan lanjutan pasca sarjana (S2) dan
doktor (S3) bagi sekitar 1.200 dosen, serta pcngembangan sistem karicr. Selain daripada itu
dalam program yang sama juga akan diupayakan antara lain pcningkatan multi tenaga teknis bagi
sckitar 2.000 pcnilik keolahragaan, 160 tcnaga tcknis pusat, dan 580 kepala balai pelatihan
kegiatan belajar (BPKB), kepala sanggar kcgiatan belajar (SKB), serta pamong belajar BPKB
dan SKB. Kegiatan penataran guru akan lebih disempurnakan, baik mekanismc pelaksanaan
maupun substansinya, antara lain melalui peningkatan peran balai penataran guru (BPG) dan
pusat pengembangan penataran guru (PPPG).
Sementara itu untuk mcningkatkan daya guna dan hasil guna kemanfaatan sarana dan
prasarana pendidikan yang ada agar proses belajar-mengajar dapat berjalan secara optimal,
anggaran yang disediakan bagi program operasi dan pcrawatan fasilitas pendidikan dan
kebudayaan akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk penyediaan biaya operasi
Departemen Keuangan RI
200
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pelaksanaan proses belajar-mengajar bagi siswa TK, SD, SLB, SLTP, dan SLTA, pemberian
bantuan untuk SLTP swasta termasuk madrasah tsanawiyah (MTs) swasta, dan rchabilitasi bagi
sekitar 925 SLTP dan sekolah menengah (SM). Sedangkan untuk meningkatkan cfisiensi dan
efektivitas fasilitas kependidikan lainnya, direncanakan antara lain pcningkatan asset kebudayaan
di pusat dan di daerah, perawatan museum nasional, inventarisasi asset fasilitas kcbudayaan, serta
perawatan peralatan fasilitas kebudayaan bagi 53 unit pelaksana tcknis (UPT).
Di subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan, anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan untuk program pendidikan luar sekolah sebesar Rp 92,3 miliar dan program
pendidikan kedinasan sebesar Rp 112,6 miliar. Dalam rangka meningkatkan penguasaan
masyarakat terhadap tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, hitung, dan sekaligus memberantas
tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar, dalam
program pendidikan luar sekolah direncanakan antara lain peningkatan penyelenggaraan
kelompok belajar (Kejar) paket A tidak setara SD bagi 1.540.000 orang, Kejar paket A setara SD
dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi 200.000 orang, Kejar paket B
setara SLTP bagi sekitar 247.000 orang, Kejar usaha bagi 4.000 kejar, permagangan bagi 14.000
orang, serta pengembangan taman bacaan masyarakat. Sementara itu dalam rangka meningkatkan
kualitas aparatur negara dan aparatur pemerintah agar sepadan dengan tuntutan perkembangan
jaman dan kebutuhan pembangunan, dalam program pendidikan kedinasan akan diupayakan
antara lain perbaikan sistem penerimaan peserta pendidikan kedinasan, pemberian kesempatan
bagi pegawai untuk melanjutkan studi, serta peningkatan kualitas dan kemampuan tenaga ahli
yang diperlukan di semua sektor, seperti tenaga ahli dalam bidang pangan dan gizi, kesehatan,
pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesejahteraan sosial, perindustrian,
keuangan, perhubungan, administrasi pemerintah, dan pembangunan daerah.
Di subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan dan pengembangan
nilai-nilai budaya sebesar Rp 7,0 miliar, program pembinaan kebahasaan, kesastraan dan
kepustakaan sebesar Rp 14,0 miliar, program pembinaan kesenian sebesar Rp 8,6 miliar, program
pembinaan tradisi, peningga1an sejarah dan permuseuman sebesar Rp 25,0 miliar, serta program
pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebesar Rp 0,5 miliar. Dalam
rangka membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa, serta memperkaya informasi
dan pengetahuan kebudayaan, dalam program pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya
Departemen Keuangan RI
201
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
akan dilakukan antara lain pengkajian dan perekaman aspek kebudayaan daerah, penelitian dan
pengkajian aspek kebudayaan nusantara, penelitian dan pengkajian aspek kebudayaan masa kini,
perekaman upacara kesejarahan dan nilai tradisional, serta penerbitan dan penyebarluasan
kebijaksanaan kebudayaan. Sementara itu dalam kaitannya dengan program pembinaan
kebahasaan, kesastraan, dan kepustakaan, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain
untuk penyusunan buku sastra Indonesia dan sastra daerah, penyusunan naskah "Nilai-nilai
Budaya Nusantara", pembabakan kebahasaan melalui revisi kamus besar bahasa Indonesia, serta
pencetakan dan penyebarluasan naskah dan buku hasil penelitian. Selain daripada itu dalam
program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengembangan minat
dan kebiasaan membaca, pengembangan buku nasional, pengadaan sarana dan prasarana
perpustakaan, bail pusat maupun daerah, pengembangan perpustakaan keliling, dan pengadaan
sekitar 660 ribu eksemplar buku pustaka. Sedangkan dalam rangka pembinaan perpustakaan,
dalam program serupa juga direncanakan antara lain pengadaan bahan pustaka, baik tercetak
maupun terekam, penyebarluasan aspek-aspek perpustakaan, pembinaan perpustakaan, dan
pembangunan automasi perpustakaan. Dalam ada itu untuk menumbuhkan daya cipta kreatif
yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional, dalam program pembinaan kesenian
akan dilakukan antara lain pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer,
pergelaran apresiasi seni, baik di dalam maupun luar negeri, serta penyelesaian pembangunan
gedung taman budaya. Dalam hubungannya dengan program pembinaan tradisi, peninggakan
sejarah dan permuseuman., direncanakan antara lain inventarisasi dan dokumentasi sejarah
nasional, pengamanan dan penyelamatan benda cagar budaya, penyebarluasan informasi benda
cagar budaya, pembinaan tenaga teknis pengamanan permuseuman, serta peningkatan apresiasi
masyarakat melalui ceramah, pergelaran, dan pameran koleksi museum. Selanjutnya dalam
rangka program pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, antara lain
akan diselenggarakan penelitian dan inventarisasi terhadap organisasi kepercayaan dan ajarannya,
serta diupayakan pemeliharaan kerukunan antar penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Di subsektor pemuda dan olah raga, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya
untuk program pembinaan dan pengembangan pemuda sebesar Rp 24,9 miliar serta program
pembinaan keolahragaan sebesar Rp 12,5 miliar. Dalam rangka mempersiapkan kader penerus
bangsa dalam melanjutkan dan mengisi pembangunan nasional, dalam program pembinaan dan
Departemen Keuangan RI
202
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengembangan pemuda anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengerahan
tenaga sarjana penggerak pembangunan di daerah perdesaan sebanyak 1.400 orang, latihan
kepemimpinan dan keterampilan pemuda, serta penyelenggaraan pertukaran pemuda, baik antar
propinsi maupun antar negara. Sementara itu guna mendukung usaha pemasyarakatan olahraga
dan pengolahragaan masyarakat, dalam program pembinaan keolahragaan direncanakan antara
lain pengembangan olahraga massal bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat, pembibitan dan
pembinaan olahragawan pelajar, serta pengadaan sarana dan prasarana olahraga.
Pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari peningkatan kualitas dan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk
menunjang upaya peningkatan kemampuan dan memperluas jangkauan pemerataan pelayanan
kesehatan serta perbaikan kesejahteraan rakyat dan taraf hidup masyarakat, dalam RAPBN
1995/96 kepada sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja
disediakan anggaran pembangunan sebesar Rp 1.051,9 miliar. Jumlah tersebut berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 20,9 miliar atau 2,0 persen bila dibandingkan dengan anggaran sektor
yang sama dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk
subsektor kesejahteraan sosial sebesar Rp 89,5 miliar, subsektor kesehatan sebesar Rp 948,2
miliar, serta subsektor peranan wanita, anak, dan remaja sebesar Rp 14,2 miliar.
Di subsektor kesejahteraan sosial, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
perbaikan taraf hidup rakyat secara lebih merata, anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya masing-masing untuk program pembinaan kesejahteraan sosial sebesar Rp 39,5 miliar,
program pelayanan dan rehabilitasi sosial sebesar Rp 30,7 miliar, program pembinaan partisipasi
sosial masyarakat sebesar Rp 12,3 miliar, serta program penanggulangan bencana alam sebesar
Rp 7,0 miliar. Dalam rangka membina dan mengembangkan swadaya masyarakat serta
menggerakkan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan sosial yang dimiliki masyarakat, dalam
program pcmbinaan kesejahteraan sosial anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk
mcnunjang pcmbinaan kesejahteraan sosial bagi sekitar 9.700 KK masyarakat terasing,
pcmbinaan tcrhadap sckitar 23.100 orang lanjut usia, baik di dalam maupun di luar panti, serta
pembinaan bagi sckitar 28.330 anak terlantar. Selain itu dalam program yang sama juga
dircncanakan pcmbcrian bantuan modal kerja bagi sekitar 2.090 kelompok usaha bersama (KUB)
yang didahului dengan bimbingan motivasi sosial bagi mereka. Sedangkan untuk mengembalikan
dan meningkatkan kemampuan para penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat
Departemen Keuangan RI
203
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya,
dalam program pelayanan dan rehabilitasi sosial direncanakan antara lain pelayanan dan
rehabilitasi sosial terhadap sekitar 45.000 penyandang cacat, 4.620 orang tuna sosial, dan 2.710
orang anak nakal dan korban narkotika, serta ditingkatkan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan
penyebaran penyakit AIDS. Sementara itu guna meningkatkan dan mengembangkan peran serta
masyarakat dalam kegiatan pembangunan, anggaran yang disediakan bagi program pembinaan
partisipasi sosial masyarakat diprioritaskan pemanfaatannya terutama untuk meningkatkan
kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap upaya untuk menangani permasalahan
kesejahteraan sosial beserta lingkungannya, serta peningkatan mutu pelayanan sosial secara
profesional. Selanjutnya guna meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan masyarakat dalam
menghadapi dan menanggulangi bencana alam, akan dilakukan pelatihan penanggulangan
bencana melalui pelatihan instruktur dan pengembangan satuan tugas sosial penanggulangan
bencana (Satgasos PH), pemberian bantuan bahan material rumah dan bantuan sarana sosial, serta
pemulihan fungsi sosial bagi para korban bencana alam.
Di subsektor kesehatan, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya masing-masing
untuk program penyuluhan kesehatan sebesar Rp 25,5 miliar, program pelayanan kesehatan
rujukan dan rumah sakit sebesar Rp 238,5 miliar, program pelayanan kesehatan masyarakat
sebesar Rp 506,6 miliar, program pencegahan dan pemberantasan penyakit sebesar Rp 144,6
miliar, program perbaikan gizi sebesar Rp 17,9 miliar, program pengawasan obat dan makanan
sebesar Rp 14,0 miliar, serta program pembinaan pengobatan tradisional sebesar Rp 1,1 miliar.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk hidup
bersih dan sehat, anggaran pembangunan pada program penyuluhan kesehatan direncanakan
antara lain untuk penyebarluasan informasi kesehatan yang dikembangkan secara sistematis, baik
melalui penyuluhan individu dan kelompok maupun melalui media massa, dengan memanfaatkan
lembaga swadaya masyarakat yang ada. Sementara itu untuk meningkatkan pemanfaatan
prasarana dan sarana kesehatan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih luas, bermutu dan
efisien, dalam program pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk peningkatan fungsi 22 rumah sakit kelas D menjadi rumah sakit
kelas C, peningkatan secara bertahap rumah sakit kelas C menjadi rumah sakit kelas B, penetapan
sentra-sentra pelayanan rumah sakit, serta pembinaan rujukan antar rumah sakit, terutama rumah
sakit kelas C dan rumah sakit swadana. Dalam pada itu untuk memperluas cakupan dan sekaligus
Departemen Keuangan RI
204
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat, dalam program pelayanan
kesehatan masyarakat anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan
pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) dan keluarga berencana, pelayanan kesehatan bagi anak
pra sekolah di 4.500 taman kanakkanak (TK), peningkatan usaha kesehatan sekolah (UKS), serta
pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia di 816 Puskesmas. Selain daripada itu melalui
program yang sama direncanakan pula pelayanan kesehatan mata di 41 Puskesmas, pelayanan
penanggulangan penyakit tuberkulosa paru oleh balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4), serta
pengembangan pola pelayanan kesehatan matra, yaitu pelayanan kesehatan terpadu bagi para
jemaah haji, transmigran, korban bencana alam, masyarakat desa tertinggal, masyarakat terasing,
dan masyarakat daerah kumuh. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas dan memperluas
jangkauan pelayanan kesehatan, dalam program yang sama akan dilakukan pembangunan 30 unit
Puskesmas, 500 unit Puskesmas pembantu, 480 rumah dinas bagi dokter umum, dokter gigi dan
tenaga paramedis lainnya, pengadaan 360 Puskesmas keliling, serta pemeliharaan dan
operasional bagi 32.955 Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas
keliling. Sedangkan untuk mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kematian dan
angka kesakitan, serta mengurangi akibat buruk penyakit, baik menular maupun tidak menular,
anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pencegahan dan pemberantasan penyakit
akan dipergunakan antara lain untuk peningkatan kegiatan pencegahan dan penanggulangan
penyakit AIDS dan penyakit kelamin lainnya, pengobatan terhadap penderita malaria sebanyak
4,2 juta orang, serta pemberian imunisasi lengkap, yang mencakup vaksinasi campak, BCG,
polio, dan DPT terhadap 4,6 juta bayi, imunisasi anti tetanus bagi sekitar 4,9 juta ibu hamil dan
wanita usia subur, serta vaksinasi diptheri terhadap sekitar 6,3 juta anak. Seiring dengan itu, guna
menunjang perbaikan mutu dan status gizi masyarakat, dalam rangka program perbaikan gizi
akan diupayakan antara lain penyuluhan gizi masyarakat melalui kegiatan gerakan sadar pangan
dan gizi (GSPG), usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) dengan pemberian makanan tambahan
(PMT), dan penggunaan bahan makanan kaya gizi untuk penanggulangan kurang energi protein
(KEP) di 27 propinsi di Indonesia, serta direncanakan usaha penanggulangan kelainan gizi
melalui pemberian kapsul iodium, kapsul vitamin A, dan tablet/sirup ferum (zat besi). Sedangkan
untuk menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan secara lebih merata dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat, serta melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan obat dan
makanan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pengawasan obat dan makanan
Departemen Keuangan RI
205
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan produksi dan pendistribusian obat generik
berlogo secara lebih luas, teratur, dan merata. Selanjutnya dalam rangka menggali dan
meningkatkan pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, dalam program pembinaan
pengobatan tradisional anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembentukan
sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional yang tersebar di Daerah Istimewa
Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Propinsi Sulawesi Utara, serta diupayakan penggalian pengobatan
tradisional warisan pusaka nusantara, diantaranya di propinsi-propinsi Maluku dan Bali.
Sementara itu dalam rangka menunjang usaha pembinaan anak dan remaja sebagai
generasi penerus perjuangan bangsa dan meningkatkan pembinaan peranan wanita sebagai mitra
sejajar pria dalam pembangunan, anggaran pembangunan subsektor peranan wanita, anak, dan
remaja direncanakan alokasinya untuk program peranan wanita sebesar Rp 13,2 miliar serta
program anak dan remaja sebesar Rp 1,0 miliar. Dalam upaya meningkatkan kedudukan,
peranan, kemampuan, kemandirian, serta ketahanan menhal dan spiritual wanita, melalui
program peranan wanita akan diupayakan antara lain pelatihan kepemimpinan bagi lebih dari
7.000 wanita, penyelenggaraan bimbingan usaha bagi sekitar 14.000 wanita, serta pengembangan
iklim sosial budaya yang mendukung kemajuan dan peranan wanita. Sedangkan untuk
mempersiapkan manusia Indonesia yang terdanik, berkualitas tinggi, tangguh, patriotik, kreatif
dan produktif, melalui program anak dan remaja akan diupayakan pembentukan motivator
pemuda dalam penanggulangan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, serta direncanakan
peningkatan peran lembaga swadaya masyarakat di kakangan generasi muda, seperti Karang
Taruna, pondok pesantren, dan organisasi remaja lainnya.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan nasional dalam pemanfaatan,
pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), dalam RAPBN 1995/96
sektor ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp
711,2 miliar. Jumlah tersebut berarti sebesar Rp 181,4 miliar atau 34,2 persen lebih tinggi dari
anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Guna mendukung upaya percepatan proses
transformasi teknologi, penguasaan teknologi dan rancang bangun, pengembangan ilmu
pengetahuan terapan dan dasar, penataan dan pengembangan sistem kelembagaan Iptek,
penyediaan sarana dan prasarana penelitian, serta pengembangan wahana yang memadai bagi
penerapan Iptek, anggaran pembangunan sektor tersebut akan dialokasikan bagi subsektor teknik
produksi dan teknologi sebesar Rp 183,5 miliar, subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar
Departemen Keuangan RI
206
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar Rp 80,7 miliar, subsektor kelembagaan, prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan
teknologi sebesar Rp 145,7 miliar, subsektor kelautan sebesar Rp 140,5 miliar, subsektor
kedirgantaraan sebesar Rp 38,1 miliar, serta subsektor sistem informasi dan statistik sebesar Rp
122,7 miliar.
Di subsektor teknik produksi dan teknologi, anggaran pembangunan direncanakan untuk
pembiayaan program teknik produksi sebesar Rp 30,5 miliar dan program penguasaan teknologi
sebesar Rp 153,0 miliar. Dalam kaitannya dengan program teknik produksi, akan diupayakan
antara lain pengembangan teknik produksi radioisotop dan radiofarmaka, peningkatan
kemampuan fasilitas uji terbang, pengadaan peralatan riset mikroelektronika dan standardisasi,
pengembangan basis data informasi keanekaragaman hayati, dan penguasaan teknik produksi
energi listrik dengan memanfaatkan potensi gelombang laut. Sedangkan dalam hubungannya
dengan program penguasaan teknologi antara lain direncanakan penelitian dan pengembangan
swasembada pangan dan teknologi tepat guna, penelitian dan pengembangan proses industri
kimia, material dan mineral, serta pengembangan kapasitas reaktor riset, riset unggulan terpadu
(RUT), dan riset unggulan kemitraan (RUK).
Di subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar, anggaran pembangunan direncanakan
penggunaannya masing-masing untuk program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan
terapan sebesar Rp 59,8 miliar serta program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan dasar
sebesar Rp 20,9 miliar. Guna mengimbangi percepatan dan pendalaman pembangunan, dalam
program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan terapan akan diupayakan antara lain
pengembangan kemampuan stasiun kedirgantaraan, penelitian untuk mendayagunakan potensi
biota darat, penelitian aplikasi isotop dan radiasi untuk meningkatkan produksi pangan, dan
pengkajian sistem energi nuklir. Sedangkan dalam usaha untuk mendayagunakan kemajuan ilmu
pengetahuan dasar, dalam program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan dasar anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk penelitian penggunaan teknik berkas netron dalam
perekayasaan, penelitian dinamika persaingan ekonomi internasional, pengembangan teknologi
bio proses, dan penelitian bioteknologi.
Sementara itu alokasi anggaran pembangunan di subsektor kelembagaan prasarana dan
sarana ilmu pengetahuan dan teknologi direncanakan untuk menunjang program pembinaan
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 22,7 miliar serta program
Departemen Keuangan RI
207
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengembangan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 123,0 miliar.
Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas pada seluruh bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain direncanakan pemantapan sistem informasi antar
lembaga, pemasyarakatan hasil-hasil penelitian, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi
kegiatan penelitian. Sedangkan dalam kaitannya dengan program pengembangan prasarana dan
sarana ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain akan dilakukan pengembangan fasilitas
laboratorium ilmu pengetahuan teknik di Bandung, pengembangan laboratorium limnologi di
Bogor, pengembangan sistem keamanan kawasan di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Puspiptek), pembangunan gedung laboratorium pengecoran logam di Lampung,
pembangunan lanjutan saluran penyaluran bahan radio aktif, pengembangan fasilitas
laboratorium thermodinamika, motor dan propulsi di Serpong, serta pengembangan fasilitas
laboratorium biologi molekuler Eijkman.
Selanjutnya guna menunjang upaya pendayagunaan dan pemanfaatan potensi ekonomis
kelautan nusantara sebagai salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional, anggaran
pembangunan subsektor kelautan akan dialokasikan untuk program inventarisasi dan evaluasi
potensi kelautan sebesar Rp 41,0 miliar dan program pemanfaatan sumber daya kelautan sebesar
Rp 99,5 miliar. Untuk mengembangkan potensi berbagai industri kelautan nasional dan
penyebarannya di seluruh wilayah tanah air, anggaran yang disediakan bagi program
inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan akan dipergunakan antara lain untuk pengembangan
dan pemanfaatan potensi kelautan kawasan timur Indonesia, peningkatan kemampuan peneliti di
bidang kelautan, pengkajian status ekosistem wilayah pesisir, serta renovasi laboratorium
kelautan di kawasan timur Indonesia. Di samping itu juga direncanakan pengadaan sarana dan
prasarana laboratorium kelautan di Jakarta, peralatan komputer sistem informasi geografis dan
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan perencanaan wilayah pantai dan pesisir di daerah,
survei hidrografi dan pembuatan peta lingkungan pantai, serta operasionalisasi beberapa karat
riset. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan dalam pendayagunaan dan pemanfaatan
potensi kekayaan laut, anggaran yang disediakan bagi program pemanfaatan sumber daya
kelautan antara lain akan dimanfaatkan untuk mengembangkan stasiun penelitian kelautan di
Lombok, pengadaan karat fiset, serta pengembangan pusat data kelautan.
Di subsektor kedirgantaraan, dalam rangka mendukung upaya pengembangan informasi
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan, anggaran pembangunan
Departemen Keuangan RI
208
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
direncanakan pemanfaatannya untuk program pembinaan kemampuan kedirgantaraan sebesar Rp
24,5 miliar dan program pemanfaatan wahana dirgantara sebesar Rp 13,6 miliar. Dalam program
pembinaan kemampuan kedirgantaraan, penggunaan dana tersebut antara lain ditujukan untuk
peningkatan mutu data penginderaan jauh dengan memanfaatkan stasiun bumi yang tersedia,
pengembangan peralatan pengolahan data satelit, pengumpulan data dan informasi teknis wahana
peluncur, pemotretan udara dengan global positioning system (GPS) kinematik, pemetaan
dirgantara digital skala 1:50.000, dan pembuatan peta navigasi udara. Selain itu anggaran tersebut
juga akan dimanfaatkan untuk melanjutkan upaya penyusunan konsepsi kedirgantaraan nasional.
Sedangkan alokasi anggaran pembangunan dalam program pemanfaatan wahana dirgantara akan
dimanfaatkan untuk penelitian dinamika atmosfer, peningkatan penguasaan teknologi
inventarisasi sumber daya alam, peningkatan mutu pelayanan jasa penyediaan data penginderaan
jauh, pelaksanaan survei multi tingkat untuk pemantauan hutan, liputan lahan dan sagu, serta
pelayanan jasa pemantauan kondisi atmosfer untuk menghindari gangguan telekomunikasi.
Di subsektor sistem informasi dan statistik, guna mengembangkan sistem informasi yang
mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta mengembangkan jaringan informasi di
berbagai bidang pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas, anggaran
pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pengembangan sistem informasi sebesar
Rp 19,6 miliar, serta program penyempurnaan dan pengembangan statistik sebesar Rp 103,1
miliar. Dalam rangka penyebarluasan dan pendayagunaan informasi bagi masyarakat, dalam
program pengembangan sistem informasi anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk
pengembangan sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi nasional guna menunjang
pembangunan, pengembangan sistem informasi kearsipan, pengembangan sistem informasi
kebijaksanaan Iptek dan teknologi industri, termasuk penerbitan buku-buku ilmiah dan promosi
hasil-hasil penelitian, pengembangan sistem informasi kesehatan, serta pengembangan sistem
informasi pendidikan. Dalam rangka menunjang perencanaan pembangunan wilayah secara
terpadu, akan dikembangkan sistem informasi geografi, sistem informasi mengenai sumber daya
alam, serta data pokok dan informasi pembangunan daerah. Guna menunjang manajemen
lembaga pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya, akan dikembangkan
sistem informasi mengenai kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan peraturan perundangundangan. Selain itu, guna menunjang pengembangan dunia usaha, termasuk kemudahan akses
informasi bagi usaha kecil dan menengah, akan dikembangkan sistem dan pelayanan informasi
Departemen Keuangan RI
209
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
industri serta penyebaran informasi perdagangan. Berbagai jaringan sistem informasi, baik antar
instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan masyarakat maupun dengan jaringan
sistem informasi internasional juga akan dikembangkan. Sedangkan dalam rangka program
penyempurnaan dan pengembangan statistik akan diupayakan penyediaan data dan informasi
sebagai basis yang penting dalam menunjang penyusunan perencanaan pembangunan nasional,
antara lain melalui penyempurnaan dan pengembangan statistik pertanian dan industri,
penyempurnaan dan pengembangan statistik pendapatan nasional, regional, dan tabel inputoutput, survei sosial ekonomi nasional, serta penyempurnaan dan pengembangan statistik di
seluruh propinsi di Indonesia.
Dalam upaya peningkatan kualitas dan efektivitas sumber daya manusia sebagai kekuatan
utama pembangunan nasional, dalam RAPBN 1995/96 kepada sektor kependudukan dan keluarga
sejahtera direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 300,3 miliar, yang berarti
sebesar Rp 10,1 miliar atau 3,5 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan anggaran yang
disediakan dalam APBN 1994/95. Guna menunjang upaya pengendalian pertumbuhan penduduk,
penyebaran penduduk antar daerah yang lebih seimbang, peningkatan kualitas penduduk, serta
perwujudan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, anggaran sektor tersebut akan
dialokasikan untuk program kependudukan sebesar Rp 2,5 miliar dan program keluarga
berencana sebesar Rp 297,8 miliar.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan antara kuantitas penduduk dengan daya
dukung dan daya tampung lingkungan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program
kependudukan direncanakan antara lain untuk pengembangan dan penyempurnaan sistem
informasi kependudukan, pengendalian kelahiran melalui upaya pendewasaan usia kawin, serta
pembudayaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Sedangkan untuk
meningkatkan kepedulian dan peranserta masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil bahagia
dan sejahtera, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program keluarga berencana (KB)
akan dipergunakan antara lain untuk pengadaan obat-obatan dan alat-alat kontrasepsi, operasional
tim KB, serta penyediaan prasarana dan sarana penunjang KB lainnya. Selain daripada itu untuk
memperkuat ketahanan keluarga dan meningkatkan kualitas kesejahteraan rakyat, dalam program
yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk penyelenggaraan bina
keluarga Balita (BKB), bina keluarga remaja (BKR), serta bina keluarga Lansia (BKL).
Sedangkan untuk menunjang upaya pengentasan kemiskinan, dengan anggaran dalam program
Departemen Keuangan RI
210
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
yang sama akan dilaksanakan usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA), serta
pendataan dan pemetaan keluarga sejahtera secara menyeluruh di Indonesia.
Selanjutnya guna menunjang pembentukan tenaga profesional yang mandiri, berkualitas,
dan produktif yang dibutuhkan oleh berbagai sektor dan bidang pembangunan, pembinaan
ketenagakerjaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas dan
pengembangan sumber daya manusia juga akan diupayakan untuk ditingkatkan. Sehubungan
dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 untuk sektor tenaga kerja direncanakan alokasi anggaran
pembangunan sebesar Rp 170,6 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 24,1
miliar atau 16,5 persen apabila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN
1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya masing-masing untuk program pelatihan
dan peningkatan keterampilan tenaga kerja sebesar Rp 79,1 miliar, program penyebaran dan
pendayagunaan tenaga kerja sebesar Rp 58,6 miliar, program pembinaan dan pengembangan
produktivitas dan kesempatan kerja sebesar Rp 10,2 miliar, serta program pembinaan hubungan
industrial dan perlindungan tenaga kerja sebesar Rp 22,7 miliar.
Untuk meningkatkan keterampilan, keahlian, dan profesionalisme tenaga kerja sesuai
dengan kebutuhan pembangunan di berbagai sektor dan daerah, anggaran yang disediakan bagi
program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja direncanakan antara lain untuk
memberikan pelatihan bagi tenaga kerja usia muda terdidik melalui pelatihan institusional yang
diarahkan pada peningkatan multi produk yang dihasilkan, pelatihan dan pemagangan
berdasarkan analisis kebutuhan pasar kerja, serta pelatihan noninstitusional (mobile training unit)
secara terpadu dengan program-program pada berbagai sektor lainnya, terutama di desa-desa
tertinggal, guna menunjang pengembangan dan pembangunan atas dasar potensi wilayah
setempat. Sementara itu anggaran yang disediakan bagi program penyebaran dan pendayagunaan
tenaga kerja direncanakan penggunaannya antara lain untuk penempatan tenaga kerja sarjana dan
tenaga kerja terdidik lainnya di desa-desa tertinggal dan unit-unit ekonomi produktif lainnya,
seperti koperasi unit desa (KUD), menunjang penyaluran tenaga kerja melalui mekanisme antar
kerja lokal (AKL) dan antar kerja antar daerah (AKAD), penyaluran tenaga kerja Indonesia ke
sektor formal di luar negeri melalui mekanisme antar kerja antar negara (AKAN) dalam rangka
percepatan alih teknologi, penyebarluasan teknologi padat karya bagi desa-desa tertinggal, serta
penyaluran tenaga kerja penyandang cacat.
Departemen Keuangan RI
211
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya guna menunjang peningkatan efisiensi dan produktivitas di semua sektor,
dalam program pembinaan dan pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja akan
diupayakan antara lain pemasyarakatan produktivitas dan pengembangan sumber daya manusia
dengan membentuk unit/lembaga produktivitas di perusahaan. Upaya tersebut akan dilakukan,
baik melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat maupun melalui penyebarluasan informasi
di media massa, dunia pendidikan, dan forum masyarakat produktivitas Indonesia. Di samping itu
dalam program yang sama juga akan diupayakan pengembangan percontohan desa produktif di
27 propinsi, serta penyusunan dan penetapan standar mutu produktivitas dan efisiensi, baik di
lingkup perusahaan maupun secara sektoral. Selanjutnya guna menciptakan kondisi kerja yang
saling menguntungkan antara pekerja dan pemakai jasa tenaga kerja serta meningkatkan
kesejahteraan dan tarat hidup para pekerja, dalam program pembinaan hubungan industrial dan
perlindungan tenaga kerja anggaran pembangunan direncanakan pemanfaatannya antara lain
untuk pembinaan dan penyuluhan di perusahaan mengenai aspek hubungan industrial Pancasila,
kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja, mendorong terbentuknya beberapa serikat pekerja
sektoral, lembaga bipartit di perusahaan dan lembaga tripartit sektoral, menyempurnakan sistem
pengupahan yang didasarkan pada kebutuhan hidup dan penilaian prestasi kerja, memperluas
jangkauan perlindungan tenaga kerja wanita dalam sektor informal dan tenaga kerja anak-anak di
27 propinsi, serta penerapan dan pembudayaan keselamatan dan kesehatan kerja.
Selanjutnya menyadari bahwa pengembangan sumber daya manusia pada dasarnya tidak
hanya bersifat material semata, maka pembangunan dan pembinaan berbagai aspek yang
menyentuh sendi-sendi kehidupan keagamaan juga senantiasa diupayakan peningkatannya.
Sehubungan dengan itu, guna memperkukuh landasan moral dan spiritual masyarakat,
menciptakan suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan, ketaqwaan, dan kerukunan
yang mantap, serta makin meningkatkan peranserta umat beragama dalam pembangunan, dalam
RAPBN 1995/96 sektor agama disediakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 183,3
miliar. Jumlah tersebut berarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp 61,4 miliar atau 50,3 persen
bila dibandingkan dengan anggaran yang sama dalam APBN 1994/95. Anggaran pembangunan
sektor tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pelayanan kehidupan beragama sebesar Rp
23,2 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama sebesar Rp 160,1 miliar.
Di subsektor pelayanan kehidupan beragama, anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya untuk program peningkatan sarana kehidupan beragama sebesar Rp 15,0 miliar,
Departemen Keuangan RI
212
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
program penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup umat beragama sebesar Rp 6,5 miliar,
serta program peningkatan pelayanan ibadah haji sebesar Rp 1,7 miliar. Dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan memperluas penyediaan sarana kehidupan beragama, serta
meningkatkan pemanfaatan pranata keagamaan, dalam program peningkatan sarana kehidupan
beragama direncanakan antara lain pengadaan sekitar 800 ribu buah kitab suci berbagai agama,
bantuan pembangunan dan rehabilitasi sekitar 2.500 unit tempat-tempat peribadatan berbagai
agama, pembangunan dan rehabilitasi sekitar 110 unit balai nikah dan penasihat perkawinan
(BNPP), serta pemberian bantuan bagi pensertifikatan sekitar 17 .000 petak tanah wakaf.
Sementara itu untuk meningkatkan pemerataan pendidikan keagamaan, mendorong peranserta
dan kepedulian masyarakat dalam kehidupan beragama, serta meningkatkan kerukunan dan
kesatuan antar umat beragama, melalui program penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup
umat beragama, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pemberian bimbingan
dan penyuluhan agama bagi sekitar 750 kelompok sasaran dari berbagai agama, peningkatan
mutu dan jumlah tenaga penyuluh, dai, dan pemuka agama, yang disertai dengan pengadaan
seperangkat paket dakwah, buku dakwah, pedoman dan brosur dakwah, serta penyelenggaraan
temu ilmiah dan temu cendekiawan antar agama. Selanjutnya guna meningkatkan pelayanan dan
kelancaran penunaian ibadah haji dan umroh bagi umat Islam serta mendukung terbinanya
jemaah haji yang mabrur, dalam program peningkatan pelayanan ibadah haji akan diupayakan
antara lain perluasan, rehabilitasi, dan pembangunan sekitar 270 unit asrama haji, termasuk
perluasan dan rehabilitasi asrama haji di pelabuhan embarkasi dan transit, peningkatan mutu
petugas haji dan pengelola asrama haji, serta peningkatan tata cara pelayanan jemaah haji yang
lebih profesional. Selain daripada itu dalam program yang sama juga akan diupayakan
pemeliharaan kemabruran haji secara berkelanjutan melalui kegiatan amal sosial pembangunan
dan pembinaan organisasi persaudaraan haji.
Di subsektor pembinaan pendidikan agama, anggaran pembangunan direncanakan
penggunaannya untuk pembiayaan program pembinaan pendidikan agama tingkat dasar sebesar
Rp 92,2 miliar, program pembinaan pendidikan agama tingkat menengah sebesar Rp 21,3 miliar,
program pembinaan pendidikan agama tingkat tinggi sebesar Rp 41,6 miliar, serta program
pembinaan kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan sebesar Rp 5,0 miliar. Dalam rangka
menunjang program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, dalam program p6mbinaan
pendidikan agama tingkat dasar anggaran pembangunan akan digunakan antara lain untuk
Departemen Keuangan RI
213
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
penambahan sekitar 320 ruang kelas bagi madrasah ibtidaiyah negeri (MIN), pembangunan 400
ruang kelas madrasah tsanawiyah negeri (MTsN), serta penyediaan biaya operasi dan
pemeliharaan bagi MIN dan MTsN. Sedangkan untuk menunjang upaya peningkatan mutu
pendidikan agama pada sekolah umum, dalam program yang sama direncanakan antara lain
penyelenggaraan penataran bagi sekitar 6.200 guru agama dan tenaga kependidikan lainnya,
pengadaan 1,3 juta buku pelajaran agama dan buku pedoman bagi guru, serta pemberian bantuan
tempat peribadatan. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan
keagamaan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pembinaan pendidikan agama
tingkat menengah akan diarahkan pemanfaatannya terutama untuk peningkatan mutu madrasah
aliyah negeri (MAN) yang bersifat umum, madrasah aliyah keagamaan (MAK), dan pendidikan
agama di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), baik negeri maupun swasta. Sementara itu dalam
program pembinaan pendidikan agama tingkat tinggi anggaran pembangunan akan dipergunakan
antara lain untuk peningkatan mutu perguruan tinggi agama (PTA), diantaranya Institut Agama
Islam Negeri (IAIN). Dalam pada itu untuk meningkatkan peran lembaga keagamaan dalam
pembangunan dan meningkatkan mutu tenaga keagamaan, dalam program pembinaan
kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan direncanakan antara lain peningkatan pendidikan
keagamaan pra sekolah. Berkaitan dengan itu, anggaran pembangunan dalam program tersebut
akan dimanfaatkan antara lain untuk pengadaan sekitar 57 ribu buku pedoman, penataran bagi
sekitar 60 ribu guru raudhatul atfal (RA), pengembangan TK Islam dan madrasah diniyah, serta
pelatihan tenaga keagamaan bagi sekitar 120 majelis taklim, 165 remaja masjid, dan 200 taman
pengajian Al Qur'an (TPA). Selain daripada itu anggaran pembangunan tersebut juga
direncanakan untuk pemberian bantuan kepada pondok pesantren serta pemberian bantuan, baik
prasarana dan sarana maupun pelatihan, bagi lembaga keagamaan, lembaga dakwah, dan
organisasi keagamaan lainnya.
Guna mewujudkan perumahan rakyat dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi,
teratur, dan dengan harga yang terjangkau masyarakat golongan berpenghasilan rendah, dalam
tahun anggaran 1995/96 untuk sektor perumahan dan permukiman direncanakan alokasi anggaran
pembangunan sebesar Rp 1.102,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 214,2
miliar atau 24, 1 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran
tersebut akan dialokasikan untuk subsektor perumahan dan permukiman sebesar Rp 1.034,1
miliar serta subsektor penataan kota dan bangunan sebesar Rp 68,0 miliar.
Departemen Keuangan RI
214
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Di subsektor perumahan dan permukiman anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya bagi, pembiayaan program penyediaan perumahan dan permukiman sebesar Rp 134,9
miliar, program perbaikan perumahan dan permukiman sebesar Rp 119,2 miliar, program
penyehatan lingkungan permukiman sebesar Rp 307,7 miliar, serta program penyediaan dan
pengelolaan air bersih sebesar Rp 472,3 miliar. Dalam rangka penyediaan fasilitas pelayanan
dasar di kawasan perumahan dan permukiman dalam skala besar, melalui program penyediaan
perumahan dan permukiman anggaran pembangunan antara lain direncanakan untuk menunjang
pembangunan prasarana dan sarana lingkungan bagi sekitar 90 ribu unit rumah sangat sederhana,
rumah sederhana, dan rumah susun sederhana bagi masyarakat berpendapatan rendah, yang
dilaksanakan bersama-sama dunia usaha dan masyarakat. Sedangkan anggaran pembangunan
pada program perbaikan perumahan dan permukiman direncanakan antara lain untuk
perencanaan, pembinaan, dan pengendalian perumahan dan pemukiman, penanggulangan darurat
perumahan dan pemukiman, perbaikan perumahan dan pemukiman di beberapa kota di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Bali, Irian Jaya, dan Timor Timur, peremajaan sekitar 100 hektar
lingkungan pemukiman kota di 5 kawasan, perbaikan lingkungan kota metropolitan, kota besar,
dan kota sedang melalui perbaikan kampung di 60 kota, serta pembangunan desa pusat
pengembangan (DPP) di 300 desa. Sementara itu melalui program penyehatan lingkungan
pemukiman anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan dan perbaikan
sistem drainase, penanganan persampahan dan air limbah di berbagai kawasan kumuh,
perencanaan, pembinaan dan pengendalian penyehatan lingkungan pemukiman (PLP), serta
penanggulangan darurat PLP di beberapa kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Bali, Timor Timur, dan Irian Jaya. Sedangkan dalam rangka program penyediaan dan
pengelolaan air bersih anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang
perencanaan, pembinaan dan pengendalian air bersih, penanggulangan darurat air bersih,
penyediaan dan pengelolaan air bersih di beberapa kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Bali, Timor Timur dan Irian Jaya, serta peningkatan pendayagunaan kapasitas
terpasang dan perluasan jangkauan pelayanan air bersih untuk sekitar 20 kota metropolitan dan
kota besar, 100 kota sedang, dan 200 kota kecil. Untuk wilayah perdesaan, penyediaan air bersih
dan prasarana penyehatan lingkungan pemukiman diarahkan terutama untuk desa-desa tertinggal.
Selanjutnya di subsektor penataan kota dan bangunan anggaran pembangunan akan
diarahkan penggunaannya untuk program penataan kota sebesar Rp 53,6 miliar dan program
Departemen Keuangan RI
215
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
penataan bangunan sebesar Rp 14,4 miliar. Dalam kaitannya dengan program penataan kota,
anggaran pembangunan direncanakan antaralain untuk menunjang penyusunan strategi penataan
kota dan kawasan, pembinaan teknis tata ruang, penjabaran rencana tata ruang, serta penyusunan
rencana, program, dan pengendalian penataan, baik kota dan kawasan maupun bangunan dan
lingkungan. Sementara itu melalui program penataan bangunan anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan teknis rencana tata bangunan dan
lingkungan bagi 34 Dati II, penataan pembangunan gedung sekolah menengah dan rumah sakit,
serta penyelenggaraan berbagai penyuluhan untuk meningkatkan pemasyarakatan peraturan
perundangan tentang tertib pembangunan dan keselamatan pembangunan.
Dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, perlu
diupayakan penyerasian tata guna lahan, air, dan sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan
tata lingkungan yang harmonis dan dinamis, serta didukung oleh pengelolaan perkembangan
kependudukan yang serasi. Untuk menunjang hal tersebut, dalam RAPBN 1995/96 sektor
lingkungan hidup dan tata ruang dialokasikan anggaran pembangunan sebesar Rp 517,3 miliar.
Jumlah tersebut berarti sebesar Rp 65,0 miliar atau sekitar 14,4 persen lebih tinggi dari anggaran
yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor
lingkungan hidup sebesar Rp 385,3 miliar dan subsektor tata ruang sebesar Rp 132,0 miliar.
Di subsektor lingkungan hidup, dalam rangka mencegah terjadinya kerusakan sumber
alam dan menurunnya kualitas lingkungan serta meningkatkan daya dukung lingkungan sehingga
pembangunan nasional yang berkelanjutan dapat terlaksana, anggaran pembangunan akan
dialokasikan untuk program pembinaan daerah pantai sebesar Rp 32,7 miliar, program
pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup sebesar Rp 21,9 miliar, program penyelamatan
hutan, tanah dan air sebesar Rp 22,6 miliar, program rehabilitasi lahan kritis sebesar Rp 188,1
miliar, program pengendalian pencemaran lingkungan hidup Rp 72,2 miliar, serta program
inventarisasi dan evaluasi sumber daya darat sebesar Rp 47,8 miliar. Dalam program pembinaan
daerah pantai anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk menunjang
pengamanan daerah pantai Sulawesi Utara dan Bali, pengembangan taman nasional laut Pulau
Seribu, pengembangan taman nasional laut Karimunjawa, pengembangan taman nasional laut
Cendrawasih, serta pengembangan hutan bakau di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Bali. Sedangkan dalam rangka program pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk mendukung pengembangan analisa mengenai
Departemen Keuangan RI
216
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dampak lingkungan (Amdal) kehutanan, penyusunan rencana pengelolaan dampak penting dan
sistem Amdal bidang kehutanan, serta peningkatan kemampuan institusi dan personil dalam
penilaian Amdal di berbagai bidang pembangunan. Demikian pula melalui program
penyelamatan hutan, tanah dan air, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk menunjang
pengembangan taman nasional dan hutan wisata, yang meliputi pengembangan taman nasional di
15 lokasi prioritas, termasuk antara lain Gunung Gede, Pangrango, Ujung Kulon, Gunung
Bromo-Tengger, Gunung Lauser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, dan Kutai,
pengembangan hutan lindung, pengembangan kawasan konservasi alam di 7 propinsi, serta
pengamanan kawasan hutan terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu
melalui program rehabilitasi lahan kritis anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk
menunjang perencanaan dan evaluasi pengelolaan 39 daerah aliran sungai (DAS) prioritas, antara
lain DAS sungai Citarum, Cimanuk, Citanduy, Brantas, dan Batang Hari, rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah melalui penghijauan sedikitnya 450 ribu hektar, reboisasi sekitar 36.500 hektar
di daerah aliran sungai, pengelolaan DAS terpadu, serta pengendalian pelauang berpindah.
Selanjutnya dalam program inventarisasi dan evaluasi sumber daya darat anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk menunjang inventarisasi dan evaluasi sumber daya hutan di
wilayah kerja balai Medan, Palembang, Pontianak dan Balikpapan, serta penataan batas dan
pengukuhan hutan di wilayah kerja Balai Inventarisasi dan Pengukuhan Hutan Banjarbaru,
Manado, Denpasar dan Ambon. Untuk itu akan dilaksanakan pembuatan kelompok petak ukur
dan inventarisasi hutan nasional, penafsiran citra satelit, pembuatan peta tematik kehutanan, serta
pembuatan batas luar hutan tetap sepanjang 6.976 kilometer.
Di subsektor tata ruang, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program
penataan ruang sebesar Rp 39,8 miliar dan program penataan pertanahan sebesar Rp 92,2 miliar.
Untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam,
lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, dan tahapan pengelolaan
pembangunan, dalam program penataan ruang anggaran pembangunan diarahkan untuk
operasionalisasi strategi nasional pengembangan pola tata ruang (SNPPTR), penyelesaian
penyusunan rencana tata ruang pulau, perumusan pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan
kawasan pantai/kawasan pesisir, serta penyelesaian permasalahan dalam penataan ruang.
Operasionalisasi SNPPTR tersebut mencakup antara lain penjabaran strategi pemanfaatan ruang
ke dalam program-program sektoral, perumusan program pengembangan, pemanfaatan dan
Departemen Keuangan RI
217
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengelolaan kawasan khusus, serta perencanaan tata ruang kelautan. Sedangkan penyusunan
rencana tata ruang pulau dimaksudkan untuk menjembatani arahan strategi dan pola struktur tata
ruang pada tingkat nasional dengan rencana tata ruang wilayah pada tingkat propinsi. Sementara
itu berbagai permasalahan dalam penataan ruang, seperti tumpang tindih pemanfaatan lahan,
pengaman kawasan lindung, dan pemaduserasian antara tara guna hutan kesepakatan (TGHK)
dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi daerah tingkat I akan diupayakan dapat
diselesaikan melalui pemantapan kemampuan aparatur kelembagaan yang terkait dalam penataan
ruang.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pemberian
hak atas tanah dan meningkatkan efisiensi administrasi pertanahan, dalam program penataan
pertanahan akan diupayakan antara lain penataan penggunaan tanah yang diarahkan terutama
pada penyediaan informasi penggunaan tanah berupa pemetaan dan pemutakhiran data
penggunaan
tanah,
penyempurnaan
kelembagaan
penataan
pertanahan,
pengembangan
administrasi pertanahan yang ditunjang oleh pengembangan data dasar pertanahan dan kegiatan
pengelolaan dokumen pertanahan, serta pengkajian dan pengembangan peraturan perundangundangan di bidang pertanahan. Selain dari pada itu dalam rangka penataan penguasaan tanah
akan dilaksanakan sertifikasi tanah secara sistematis dan sporadis, percepatan proyek operasi
nasional pertanahan (Prona), penyelesaian sertifikasi pertanahan di daerah transmigrasi yang
mengalami penunggakan, penyempurnaan proses dan prosedur pengurusan hak atas tanah, serta
penertiban dan penyelesaian berbagai masalah pertanahan.
Sementara itu pembangunan sector pertahanan keamanan perlu terus ditingkatkan melalui
pembangunan kemampuan dan kekuatan agar senantiasa mampu menghadapi ancaman, baik
dalam
maupun
luar
negeri,
sehingga
pembangunan
nasional
tetap
dapat
dijaga
kesinambungannya dalam suasana yang stabil dan dinamis. Sejalan dengan pembangunan
komponen dasar dan komponen pendukung, pembangunan ABRI sebagai inti kekuatan
pertahanan keamanan negara diarahkan pada perwujudan postur ABRI yang profesional, efektif,
efisien, dan modern.
Untuk menunjang pembangunan sektor pertahanan keamanan, dalam RAPBN 1995/96
direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.317,3 miliar, atau mengalami
peningkatan sekitar 14 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran
Departemen Keuangan RI
218
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tersebut mencakup subsektor rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat sebesar Rp 2,4 miliar,
subsektor ABRI sebesar Rp 1.250,3 miliar, dan subsektor pendukung sebesar Rp 64,6 miliar.
Pembangunan sector rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat akan mencakup
program kesadaran bela negara dan program penyiapan kekuatan rakyat. Program kesadaran bela
negara direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 0,3 miliar yang diarahkan terutama
untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran bela negara, baik di lingkungan pendidikan,
pekerjaan, maupun permukiman. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan
pengembangan pendidikan kesadaran bela negara (PKBN) di lingkungan pendidikan, dalam
program kesadaran bela negara direncanakan antara lain penyiapan mekanisme penyelenggaraan
penataran pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) bagi pelajar dan mahasiswa luar negeri,
penyusunan buku pedoman PPBN bagi Pramuka, penyempurnaan pola pemahaman PPBN,
penyempurnaan konsep pola penyelenggaraan gerakan nasional tentang disiplin nasional,
penyelenggaraan kegiatan PKBN untuk mengisi masa liburan sekolah tingkat SD dan SLTP, serta
penyusunan pola penataran terpadu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Sedangkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan PKBN di
lingkungan kerja, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga direncanakan untuk
melanjutkan penyempurnaan penerapan materi PKBN di lingkungan pekerjaan, peningkatan
peranan wanita (P2W) di bidang pertahanan keamanan negara (Hankamneg), serta penyiapan
materi simulasi bela negara. Di samping itu dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan
pengembangan PKBN di lingkungan permukiman, dalam program yang sama juga akan
diupayakan penyusunan dan penyempurnaan piranti lunak PKBN di lingkungan permukiman,
penyempurnaan penerapan materi PKBN di lingkungan permukiman, penyempurnaan buku
pedoman ABRI masuk desa (AMD) di bidang bela negara, penyebarluasan PPBN melalui TVRI
dan media massa lainnya, serta penyiapan bahan penyuluhan PPBN. Sementara itu dalam rangka
pembinaan kemampuan rakyat terlatih (Ratih), melalui program penyiapan kekuatan negara akan
diupayakan antara lain penyempurnaan naskah akademik tentang Ratih, penyusunan RUU Ratih,
penganalisaan data tentang calon Ratih untuk bahan perencanaan pembentukan satuan Ratih,
serta penyempurnaan kurikulum pendidikan dan pelatihan Ratih. Selain daripada itu guna
menunjang upaya pembinaan kekuatan perlindungan masyarakat (Linmas), dalam program yang
sama juga direncanakan untuk melanjutkan inventarisasi, komputerisasi data dan pembinaan
administrasi para veteran sebagai sumber cadangan TNI, penyandang cacat ABRI dan komponen
Departemen Keuangan RI
219
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tenaga manusia Hankamneg lainnya, melanjutkan penyempurnaan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang veteran, serta melanjutkan pemberian keterampilan kepada para
penyandang cacat ABRI dan komponen tenaga manusia lainnya agar tetap dapat bekerja sesuai
dengan kemampuannya masing-masing.
Selanjutnya
guna
menunjang
upaya
peningkatan
kualitas
kepejuangan
dan
profesionalisme prajurit ABRI dalam mengemban fungsinya, baik sebagai kekuatan pertahanan
kemananan (Hankam) maupun sebagai kekuatan sosial politik (Sospol) yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), anggaran pembangunan
subsektor ABRI direncanakan alokasinya untuk program kewilayahan sebesar Rp 0,9 miliar,
program kekuatan sebesar Rp 246,7 miliar, dan program dukungan umum sebesar Rp 1.002,7
miliar. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan fungsi Sospol ABRI, dalam program
kewilayahan anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang penyusunan
pedoman strategi kaderisasi calon sosial politik ABRI, penyusunan buku referensi dwifungsi
ABRI, penyusunan kriteria penugasan Sospol ABRI di lingkungan eksekutif dan legislatif, baik
di tingkat pusat, pemerintah daerah tingkat I, maupun pemerintah daerah tingkat II, serta
penyusunan kriteria kemampuan Sospol ABRI. Demikian pula dalam rangka menunjang upaya
pembinaan kemampuan teritorial, dalam program yang sama juga akan diupayakan pengkajian
dan pemantapan konsepsi dan piranti lunak tata ruang wilayah pertahanan nasional pada strata
Dati II, penyusunan buku petunjuk (Bujuk) tentang pemantapan piranti lunak. serta pembinaan
dan pengembangan kekuatan nasional matra darat, laut, dan udara, sebagai upaya optimalisasi
kemampuan Hankamneg di darat, laut, dan udara.
Sedangkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan bala
pertahanan
keamanan
wilayah
(Balahankamwil),
dalam program
kekuatan,
anggaran
pembangunan direncanakan antara lain untuk pengujian pola operasi keamanan di kawasan barat
Indonesia, pengadaan material dan bekal bagi kelengkapan satuan kewilayahan di 10 Kodam,
pengadaan kapal TNI-AL berikut kelengkapan dan peralatan lainnya, pengembangan pangkalan
TNI-AU, serta pengadaan peralatan khusus kepolisian. Sedangkan dalam rangka menunjang
upaya peningkatan dan pengembangan bala pertahanan keamanan terpusat (Balahankampus),
anggaran pembangunan dalam program yang sama direncanakan antara lain untuk menunjang
pengujian pola operasi keamanan dan petunjuk operasi keamanan di kawasan barat dan timur
Indonesia, pembangunan lapangan tembak TNI-AD, pembangunan dan rehabilitasi prasarana dan
Departemen Keuangan RI
220
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sarana pelatihan armada laut TNI-AL, pengadaan peralatan pertahanan udara TNI-AU, serta
rehabilitasi beberapa helikopter dan kapal patroli Polri. Selanjutnya melalui program dukungan
umum anggaran pembangunan juga direncanakan antara lain untuk peningkatan kemampuan
pendukung kekuatan ABRI, informasi, survei dan pemetaan, serta penegakan hukum dan
peraturan perundangan dalam rangka meningkatkan disiplin.
Sementara itu di subsektor pendukung, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya
untuk program pembinaan sumber daya alam, buatan dan wilayah negara sebesar Rp 2,4 miliar
serta program pembinaan sarana dan prasarana pendukung pertahanan keamanan negara sebesar
Rp 62,2 miliar. Dalam rangka mendukung kepentingan Hankamneg, dalam program pembinaan
sumber daya alam, buatan dan wilayah negara selain akan dilaksanakan inventarisasi, evaluasi,
dan peningkatan pembinaan sumber daya alam, juga direncanakan penyusunan konsep sistem
pembinaan terpadu sumber daya alam. Selain daripada itu dalam rangka pembinaan sumber daya
buatan, anggaran pembangunan dalam program yang sama direncanakan antara lain untuk
penyempurnaan naskah pokok-pokok pembinaan sistem logistik wilayah, serta pemutakhiran dan
pembinaan sistem pelaporan data peta geomedik. Sedangkan dalam rangka pengembangan
wilayah negara, dalam program yang sama juga direncanakan untuk melanjutkan penentuan
batas-batas wilayah kedaulatan negara, penyempurnaan konsep tataruang masing-masing matra
wilayah pertahanan, penyempurnaan konsep hala ruang wilayah pertahanan daHal tingkat Kodam
dan Korem, serta penyempurnaan konsep tata ruang kelautan dan kedirgantaraan. Selanjutnya
dalam program pembinaan sarana dan prasarana pendukung pertahanan dan keamanan negara
akan diupayakan penyiapan industri strategis guna mendukung kepentingan Hankamneg,
pemanfaatan Iptek guna peningkatan kemampuan penelitian dan pengembangan Hankamneg,
serta peningkatan kerja sama internasional di bidang Hankam.
Di samping pembangunan Hankamneg, pembangunan sektor aparatur negara dan
pengawasan sebagai salah satu unsur penting di dalam menjamin kelancaran jalannya roda
pemerintahan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan juga perlu terus ditingkatkan. Dalam
RAPBN 1995/96 untuk sektor aparatur negara dan pengawasan direncanakan alokasi anggaran
pembangunan sebesar Rp 664,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 107,4
miliar atau 19,3 persen bila dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan dalam APBN
1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor aparatur negara sebesar Rp 618,8
miliar serta subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan sebesar Rp 45,6
Departemen Keuangan RI
221
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar.
Di subsektor aparatur negara, guna mewujudkan sistem administrasi negara yang makin
andal, profesional, efisien dan efektif, serta tanggap, baik terhadap aspirasi rakyat maupun
terhadap dinamika perubahan lingkungan strategis, anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya untuk program peningkatan prasarana dan sarana aparatur negara sebesar Rp 318,8
miliar, program peningkatan efisiensi aparatur negara sebesar Rp 76,4 miliar, program
pendidikan dan pelatihan aparatur negara sebesar Rp 182,1 miliar, serta program penelitian dan
pengkajian kebijaksanaan sebesar Rp 41,5 miliar. Dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas
umum pemerintahan dan pembangunan dengan lebih efisien, efektif dan terpadu, baik pada
aparatur kenegaraan maupun pada aparatur pemerintahan, dalam program peningkatan prasarana
dan sarana aparatur negara tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain peningkatan
prasarana dan sarana fisik, termasuk kegiatan renovasi dan pemeliharaan gedung-gedung kantor
pemerintahan serta balai pendidikan dan pelatihan di berbagai departemen/lembaga negara.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan pendayagunaan organisasi, ketatalaksanaan, serta
disiplin dan tertib hukum aparatur negara, anggaran pembangunan dalam program peningkatan
efisiensi aparatur negara direncanakan antara lain untuk menunjang pengembangan sistem
pemantauan dan pengendalian, serta pengembangan dan pendayagunaan sistem manajemen
informasi. Sementara itu untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan keterampilan pegawai
agar dapat melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif, dalam program pendidikan dan
pelatihan aparatur negara anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (Diktat) pegawai, peningkatan pengetahuan tenaga
widyaiswara, pengembangan koordinasi penyelenggaraan dan kerja sama Diklat luar negeri, serta
pengembangan sistem informasi Diklat pegawai negeri sipil. Selanjutnya untuk menunjang upaya
pengembangan kebijaksanaan dan penyempurnaan kelembagaan, dalam program penelitian dan
pengkajian kebijaksanaan direncanakan antara lain peningkatan penelitian dan pengembangan
kebijaksanaan pembangunan di sektor-sektor yang strategis, pengkajian permasalahan
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, serta peningkatan kualitas badan/pusat
penelitian dan pengembangan di seluruh instansi pemerintah.
Dalam pada itu guna menunjang terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan
berwibawa serta untuk mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintahan
dan pembangunan, anggaran pembangunan subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan
Departemen Keuangan RI
222
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengawasan direncanakan alokasinya untuk program pendayagunaan sistem dan pelaksanaan
pengawasan dan diarahkan penggunaannya antara lain bagi penyempurnaan sistem dan prosedur
pemeriksaan, penyelenggaraan pengawasan terhadap seluruh proyek-proyek pembangunan, serta
peningkatan kemampuan para pengelola proyek dalam melakukan evaluasi dan pengelolaan
anggaran proyek.
Pembangunan politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa
merupakan salah satu unsur penting dalam menjamin kemantapan stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis, yang sangat diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan nasional.
Sehubungan dengan itu, guna mendukung terciptanya suasana yang memungkinkan
berkembangnya budaya politik yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan, kekeluargaan
dan keterbukaan yang bertanggungjawab berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945,
meningkatkan hubungan kerja sama internasional yang saling menguntungkan terutama bagi
kepentingan nasional, serta meningkatkan kemampuan dan kegiatan penerangan, komunikasi dan
media massa, maka dalam RAPBN 1995/96 sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan,
komunikasi, dan media massa mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 152,7 miliar.
Dalam rangka menunjang pembangunan politik, peningkatan hubungan persahabatan dan kerja
sama multilateral dan bilateral sesuai dengan kepentingan nasional, serta peningkatan kualitas
dan jangkauan pembangunan penerangan, komunikasi, dan media massa, anggaran sektor
tersebut akan dialokasikan bagi subsektor politik sebesar Rp 5,6 miliar, subsektor hubungan luar
negeri sebesar Rp 3,9 miliar, serta subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa sebesar
Rp 143,2 miliar.
Di subsektor politik, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program
pembinaan politik dalam negeri sebesar Rp 4,7 miliar dan program penyelenggaraan otonomi
daerah sebesar Rp 0,9 miliar. Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti
pentingnya Demokrasi Pancasila, keterbukaan, tegaknya hukum, serta kukuhnya persatuan dan
kesatuan bangsa bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, dalam program
pembinaan politik dalam negeri anggaran pembangunan akan diarahkan pemanfaatannya antara
lain untuk perencanaan umum dan pembinaan politik, pembinaan kesatuan bangsa, pemantapan
pengendalian dan stabilitas politik, pemantapan infrastruktur politik, pembinaan ketenteraman
dan perlindungan masyarakat, pemantapan suprastruktur politik, dan pembinaan sosial politik
daerah. Dalam rangka pembinaan umum, antara lain akan dilakukan bimbingan politik bagi
Departemen Keuangan RI
223
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
aparat pemerintah termasuk peningkatan penataran dan pendalaman pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila (P4), administrasi dukungan operasional, serta pemantauan dan evaluasi
terhadap manfaat kegiatan santiaji orientasi pengenalan tugas bagi anggota DPRD tingkat
I/DPRD tingkat II. Sedangkan dalam rangka menjamin stabilitas nasional yang mantap dan
dinamis akan diupayakan pembinaan kesatuan bangsa, antara lain melalui penyelenggaraan
forum komunikasi dan konsultansi bagi aparat, pemasyarakatan dan pembudayaan P-4 untuk
bekas tahanan dan bekas narapidana G 30 S/PKI, serta peningkatan pembinaan pembauran
bangsa melalui santiaji pembauran bagi tenaga pelatih pembauran daerah (TPPD) untuk 10
(sepuluh) Dati I. Sejalan dengan itu, dalam program yang sama juga akan diupayakan pembinaan
ketenteraman dan perlindungan masyarakat yang diperluas untuk mempersiapkan, mendorong,
dan meningkatkan organisasi kekuatan sosial politik serta organisasi dan lembaga
kemasyarakatan, agar dapat menjadi komponen infrakstruktur politik yang tangguh, mandiri, dan
berkualitas dalam era keterbukaan komunikasi politik. Demikian pula dalam rangka
meningkatkan pembinaan sosial politik daerah selain akan dilakukan penyusunan informasi
pengamanan, pengendalian, serta penyelenggaraan koordinasi dan konsultansi, juga direncanakan
penyelenggaraan santiaji peningkatan kemampuan dasar masalah penanggulangan sosial politik.
Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan peran, fungsi, kualitas dan kemandirian organisasi
kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat, baik di pusat maupun di daerah, dapat benarbenar menjadi wadah yang semakin mampu menampung, mewakili, mencerminkan dan
menyalurkan aspirasi rakyat, khususnya bagi generasi muda.
Selanjutnya program penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan terutama untuk
mempercepat terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab,
dengan titik pusat pada Dati II, agar makin memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam
lingkup keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pengembangan otonomi
daerah, dalam program penyelenggaraan otonomi daerah direncanakan antara lain pengembangan
kelembagaan pemerintah daerah, pemantapan persiapan pelaksanaan otonomi di bidang
pertanian, perindustrian dan pertambangan, serta penataan wilayah administrasi daerah
perbatasan dengan mengupayakan peningkatan peranan pemerintah daerah. Di samping itu guna
menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam program yarig sama
anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk meningkatkan kemampuan administrasi
pemerintahan desa dan kelurahan, diantaranya melalui penyelenggaraan pelatihan teknis
Departemen Keuangan RI
224
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
manajemen keuangan desa, pengembangan lembaga adat, serta penyelenggaraan sistem dan
prosedur pemilihan kepala desa. Demikian pula untuk menunjang upaya pendayagunaan sumbersumber pendapatan asli daerah, baik berupa pajak maupun retribusi daerah, dalam program yang
sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk peningkatan dan pengembangan
pendapatan daerah, serta pembinaan dan pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya dalam rangka
desentralisasi pembangunan perkotaan, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga
akan dipergunakan antara lain untuk peningkatan dan pengembangan pengelolaan kota.
Di
subsektor
hubungan
luar
negeri,
anggaran
pembangunan
direncanakan
pemanfaatannya untuk menunjang program hubungan luar negeri sebagai upaya meningkatkan
hubungan dan kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
serta teknologi, melalui berbagai forum, yang seluruh kegiatannya ditujukan untuk
memperjuangkan dan menunjang kepentingan pembangunan nasional. Dalam program tersebut
akan diupayakan antara lain penanganan masalah Timor Timur, penegasan alur laut kepulauan,
peningkatan kerja sama teknik antar negara berkembang, peningkatan hubungan dan kerja sama
ekonomi internasional, serta pengembangan hubungan regional, termasuk peningkatan kerja sama
antar anggota ASEAN. Sejalan dengan itu, akan dilakukan peningkatan hubungan luar negeri
melalui kerja sama perdagangan serta investasi luar negeri, antara lain dengan penyelenggaraan
temu usaha, seminar, lokakarya, serta kunjungan misi perdagangan dan investasi dari dan ke
Indonesia. Di samping itu dalam program yang sama juga akan diupayakan penyelesaian masalah
pokok dalam hubungan ekonomi internasional, yang diharapkan dapat meningkatkan
pembangunan berkelanjutan, memperjuangkan kepentingan nasional dalam kerangka perjanjian
perdagangan internasional, baik dalam forum bilateral, regional, maupun miltilateral, serta
penghapusan hambatan dan pembatasan perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara industri
terhadap negara berkembang melalui kerja sama teknik, baik antar negara berkembang maupun
dengan negara maju.
Di subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa, dalam rangka mewujudkan
wawasan nusantara, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan
nasional yang mantap dan dinamis, serta meningkatkan upaya pemasyarakatan dan pembudayaan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, anggaran
pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pengembangan operasi penerangan
sebesar Rp 22,0 miliar, program pembinaan dan pengembangan radio, televisi dan film sebesar
Departemen Keuangan RI
225
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Rp 117,1 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan pers sebesar Rp 4,1 miliar. Untuk
meningkatkan pemerataan informasi pembangunan serta mengembangkan komunikasi timbal
balik secara terbuka dan bertanggung jawab agar makin meningkatkan peranserta dan tanggung
jawab masyarakat dalam pembangunan, dalam program pengembangan operasi penerangan
anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk peningkatan kegiatan operasional
penerangan, seperti penyediaan TV umum dan film penerangan, pembangunan pusat penerangan
masyarakat di 6 lokasi, yaitu di Vequeque dan Manufahi-Timor Timur, Kabupaten KendariSulawesi Utara, Lubuk Basang-Sumatera Barat, Manado-Sulawesi Utara dan Wonosobo-Jawa
Tengah, rehabilitasi sejumlah Puspenmas, serta pembangunan dua balai penerangan kecamatan di
Morotai Utara dan Arso. Sementara itu anggaran pembangunan pada program pembinaan dan
pengembangan radio, televisi dan film akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk
menunjang upaya peningkatan jangkauan, kuantitas, dan kualitas penyajian siaran Radio
Republik Indonesia (RRI), Televisi Republik Indonesia (TVRI), produksi film, dan rekaman
video. Anggaran pembangunan tersebut direncanakan antara lain untuk rehabilitasi sejumlah
pemancar dan pembangunan 8 pemancar baru, rehabilitasi peralatan studio, serta pengadaan suku
cadang, baik bagi RRI maupun TVRI di seluruh Indonesia. Selain daripada itu dalam program
serupa anggaran pembangunan juga direncanakan untuk pembangunan tahap pertama gedung
stasiun penyiaran TVRI di Padang, pembangunan gedung stasiun RRI di Natuna, pengadaan
peralatan sensor di lembaga sensor film, pembinaan perfilman dan rekaman video, serta
pemberian bantuan bagi "post production" untuk mendukung peningkatan produksi film nasional.
Selanjutnya untuk lebih memantapkan sistem pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers,
Pemerintah, dan masyarakat agar dapat diwujudkan suatu tata informasi yang terbuka dan
demokratis, maka di bidang pengembangan pers anggaran pembangunan dalam program
pembinaan dan pengembangan pers direncanakan antara lain untuk perluasan dan peningkatan
jumlah penerbitan koran membangun desa (KMD) dan surat kabar masuk desa (SKMD), serta
peningkatan manajemen koran membangun desa untuk meningkatkan kualitas pengelolaannya.
Di samping itu di bidang kewartawanan dalam program yang sama direncanakan antara lain
pengembangan profesi kewartawanan dan karya jurnalistik pembangunan, serta kunjungan
jurnalistik. Sedangkan di bidang grafika, dalam program serupa direncanakan antara lain
rehabilitasi beberapa gedung Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), penyelenggaraan
Departemen Keuangan RI
226
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
lokakarya tentang teknologi grafika, serta peningkatan sumber daya manusia di bidang usaha
percetakan. Dalam pada itu di bidang penerbitan pemerintah, dalam program yang sama
direncanakan antara lain penerbitan buku seri Pidato Presiden, buku seri undang-undang dan
peraturan pemerintah, serta penerbitan buku mengenai hasil pembangunan.
Departemen Keuangan RI
227
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya guna mengantisipasi perubahan dan pergeseran nilai yang menimbulkan
kerawanan di dalam masyarakat sebagai akibat dari semakin luasnya pengaruh globalisasi
ekonomi dan kebudayaan masyarakat, seiring dengan perkembangan ekonomi dunia yang makin
terbuka dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkat pesat, pembangunan
sektor hukum akan terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan sosial, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kreativitas dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta mendukung stabilitas nasional yang schat dan
dinamis. Sehubungan dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 kepada sektor hukum diberikan alokasi
anggaran pembangunan sebesar Rp 138,7 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp
27,3 miliar atau 24,5persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Dalam
rangka menunjang upaya pembangunan materi hukum, menciptakan aparatur hukum yang bersih,
berwibawa, penuh pengabdian, profesional, efisien, efektif, sadar dan taat hukum, serta
mendukung usaha peningkatan jumlah dan kualitas sarana dan prasarana hukum, anggaran
pembangunan sektor hukum tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor pembinaan hukum
nasional sebesar Rp 17,2 miliar, subsektor pembinaan aparatur hukum sebesar Rp 37,6 miliar,
dan subsektor sarana dan prasarana hukum sebesar Rp 83,9 miliar.
Di subsektor pembinaan hukum nasional, dalam rangka mewujudkan perangkat hukum
nasional
yang
mampu
mengakomodasikan
kebutuhan
hukum
masyarakat,
anggaran
pembangunan direncanakan alokasinya bagi program perencanaan dan pembentukan hukum
sebesar Rp 3,4 miliar serta program pengembangan sistem hukum nasional sebesar Rp 13,8
miliar. Program perencanaan dan pembentukan hukum diarahkan terutama untuk meningkatkan
kegiatan pembaharuan dan pembentukan perangkat hukum nasional yang mampu mengayomi
masyarakat, menjamin kelestarian dan integritas bangsa, serta memberi patokan, pengarahan, dan
dorongan dalam perubahan sosial ke arah terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam program perencanaan dan
pembentukan hukum, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain upaya perencanaan
materi hukum, diantaranya penyusunan program legislasi nasional yang terarah dan terpadu,
perumusan harmonisasi hukum, serta penyusunan perundang-undangan dari berbagai aspek
kehidupan nasional. Selain itu, untuk menunjang upaya pembaharuan hukum nasional, dalam
program yang sama diupayakan penyesuaian lebih kurang 75 buah produk hukum kolonial dan
nasional dalam berbagai bidang hukum, pengembangan teknis perpustakaan dan dokumentasi
Departemen Keuangan RI
228
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
hukum, penyusunan kompilasi hukum, serta peningkatan dan pengembangan sistem jaringan
informasi dan dokumentasi hukum.
Di subsektor pembinaan aparatur hukum, anggaran pembangunan direncanakan
alokasinya bagi program pembinaan peradilan sebesar Rp 5,7 miliar, program penerapan dan
penegakan hukum sebesar Rp 15,2 miliar, program penyuluhan hukum sebesar Rp 12,8 millar,
serta program pelayanan dan bantuan hukum sebesar Rp 3,9 miliar. Anggaran pembangunan
dalam program pembinaan peradilan direncanakan penggunaannya terutama untuk pengawasan
penyelenggaraan jalannya peradilan pada semua lingkungan peradilan, pelaksanaan pelatihan
teknis justisial bagi hakim dari semua lingkungan peradilan, baik peradilan umum, peradilan tata
usaha negara, peradilan agama maupun peradilan militer, serta penataran panitera dan panitera
pengganti.
Anggaran pembangunan dalam program penerapan dan penegakan hukum dipergunakan
untuk penegakan hukum dalam rangka sistem peradilan pidana terpadu, menunjang upaya
penertiban dan pengawasan lalu-lintas orang asing masuk dan keluar negara Indonesia,
meningkatkan pemantauan, penyidikan dan penindakan bagi imigran gelap dan orang asing yang
menyalahgunakan izin keimigrasian, serta penyempurnaan dan penataan sistem pemasyarakatan
termasuk bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak. Sedangkan untuk meningkatkan
kadar kesadaran hukum masyarakat agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, dalam program penyuluhan hukum akan diupayakan antara
lain pembentukan kelompok keluarga sadar hukum (Kadarkum), serta penyelenggaraan lomba
Kadarkum, baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi. Selain itu pelaksanaan kegiatan
penyuluhan hukum akan lebih ditingkatkan, baik cakupan, sasaran maupun maten penyuluhannya
secara lebih terpadu. Dalam program pelayanan hukum akan diupayakan percepatan pemberian
izin pengesahan badan hukum, kewarganegaraan, dan permohonan pendaftaran hak cipta, hak
paten dan hak merek, serta pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu,
baik melalui pengadilan negeri maupun melalui lembaga bantuan hukum dalam bentuk proyek
rintisan yang diberikan langsung kepada masyarakat pencari keadilan.
Dalam rangka menunjang upaya penegakan hukum, pembentukan hukum, pengkajian dan
penelitian hukum, serta pelayanan dan informasi hukum, anggaran pembangunan subsektor
sarana dan prasarana hukum direncanakan alokasinya untuk program pembinaan sarana dan
Departemen Keuangan RI
229
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
prasarana hukum sebesar Rp 83,9 miliar. Melalui program pembinaan sarana dan prasarana
tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain penyempurnaan, rehabilitasi
dan perluasan berbagai prasarana pelayanan hukum, seperti gedung kejaksaan, pengadilan,
lembaga
pemasyarakatan
(Lapas),
rumah
tahanan
negara
(Rutan),
balai
bimbingan
kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa), kantor imigrasi, pos imigrasi, serta karantina
imigrasi, baik di pusat maupun di daerah. Selain daripada itu dalam program yang sama juga
akan diupayakan peningkatan sarana dan prasarana badan peradilan yang mendukung kekuasaan
kehakiman dalam penyelenggaraan peradilan yang berkualitas, adil, dan bertanggung jawab.
Rincian pengeluaran pembangunan atas dasar sektor/subsektor dalam APBN 1994/95 dan
RAPBN 1995/96 dapat diikuti dalam Tabel II.31.
2.3.6.2. Pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaan
Pembiayaan investasi sektor pemerintah yang direncanakan melalui pengeluaran
pembangunan terdiri dari pembiayaan rupiah dan bantuan proyek. Dalam RAPBN 1995/96
pembiayaan rupiah direncanakan sebesar Rp 19.024,5 miliar, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 1.638,2 miliar atau 9,4 persen dari anggaran yang direncanakan dalam
APBN
1994/95.
Peningkatan
tersebut,
sekalipun
terbatas,
diharapkan
tetap
dapat
mempertahankan kesinambungan usaha dan kegiatan pembangunan di berbagai bidang dan
sektor pembangunan secara konsisten, serta mampu mengakomodasikan berbagai sasaran yang
direncanakan dalam tahun kedua Repelita VI. Pembiayaan rupiah tersebut dialokasikan masingmasing untuk pembiayaan pembangunan melalui berbagai departemen/lembaga negara, bantuan
pembangunan daerah, dan pengeluaran pembangunan lainnya.
Dalam
RAPBN
1995/96,
anggaran
belanja
pembangunan
melalui
berbagai
departemen/lembaga negara direncanakan sebesar Rp 10.910,0 miliar, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 964,4 miliar atau sekitar 9,7 persen dari yang direncanakan dalam APBN
1994/95. Anggaran tersebut diarahkan pemanfaatannya terutama untuk proyek-proyek
pembangunan di berbagai sektor dan subsektor guna menunjang tercapainya sasaran-sasaran
pembangunan tahun kedua Repelita VI. Rencana pembiayaan bagi berbagai proyek pembangunan
tersebut dituangkan ke dalam daftar isian proyek (DIP) masing-masing departemen/lembaga,
yang berfungsi baik sebagai acuan di dalam pelaksanaan proyek pembangunan maupun sebagai
Departemen Keuangan RI
230
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
alat pengendalian, pengawasan, dan evaluasi kegiatan proyek pembangunan yang bersangkutan.
Nomor
Kode
-1
1
01.1
2
02.1
02.2
3
03.1
03.2
4
04.1
5
05.1
05.2
05.3
05.4
05.5
6
06.1
06.2
06.3
06.4
06.5
7
07.1
07.2
Nomor
Kode
-1
8
08.1
08.2
9
09.1
09.2
10
10.1
10.2
11
11.1
11.2
11.3
11.4
12
12.1
13
13.1
13.2
13.3
14
14.1
14.2
Tabel II.31
PENGELUARANPEMBANGUNANBERDASARKAN
SEKTOR/SUBSEKTOR, APBN 1994/95 DAN RAPBN 1995/96
(dalam miliar rupiah)
APBN
RAPBN ∆ % thd.
1994/95
1995/96
APBN
Sektor/Subsektor
-2
-3
-4
-5
SEKTOR INDUSTRl
450,5
497,3
10,4
Subsektor Industri
450,5
497,3
10,4
SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN
989,6 1.103,80
11,5
Subsektor Pertanian
956,3 1.061,30
11
Subsektor Kehutanan
33,3
42,5
27,6
SEKTOR PENGAIRAN
1.687,00 2.042,00
21
Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
780,1
796,2
2,1
Subsektor Irigasi
906,9 1.245,80
37,4
SEKTOR TENAGA KERJA
146,5
170,6
16,5
Subsektor Tenaga Kerja
146,5
170,6
16,5
SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL,
KOPERASl
736,3
533,7
-27,5
Subsektor Perdagangan Dalam Negeri
16,8
18,9
12,5
Subsektor Perdagangan Luar Negeri
279,6
141,5
-49,4
Subsektor Pengembangan Usaha Nasional
184,2
100,2
-45,6
Subsektor Keuangan
120,8
128,6
6,5
Subsektor Koperasi dari Pengusaha Keci1
134,9
144,5
7,1
SEKTOR TRANSPORTASl, METEOROLOGl DAN GEOFlSlKA
5.225,50 5.897,90
12,9
Subsektor Prasarana Jalan
3.530,60 3.917,20
10,9
Subsektor Transportasi Darat
589
643,1
9,2
Subsektor Transportasi Laut
466,8
554,4
18,8
Subsektor Transportasi Udara
605,4
749,1
23,7
Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR)
33,7
34,1
1,2
SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGl
3.581,90 3.894,80
8,7
Subsektor Pertambangan
67,8
94,8
39,8
Subsektor Energi
3.514,10 3.800,00
8,1
Sektor/Subsektor
-2
SEKTOR PARIWISATA, POS, DAN
TELEKOMUNIKASI
Subsektor Pariwisata
Subsektor Pos dan Telekomunikasi
SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH
DAN TRANSMIGRASI
Subsektor Pembangunan Daerah
Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan
SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG
Subsektor Lingkungan Hidup
Subsektor Tata Ruang
SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL,
KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA
Subsektor Pendidikan
Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan
Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa
Subsektor Pemuda dan Olah Raga
SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA
Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana
SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN
WANITA, ANAK DAN REMAJA
Subsektor Kesejahteraan Sosial
Subsektor Kesehatan
Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja
SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Subsektor Perumahan dan Permukiman
Subsektor Penataan Kota dan Bangunan
Departemen Keuangan RI
APBN
1994/95
-3
RAPBN
1995/96
-4
∆ % thd
APBN
-5
721,9
48,8
673,1
1.005,80
41
964,8
39,3
-16
43,3
5.504,30
4.547,90
956,4
452,3
356,9
95,4
6.139,20
5.113,50
1.025,70
517,3
385,3
132
11,5
12,4
7,2
14,4
8
38,4
3.061,30
2.783,40
194,8
3.359,20
3.061,80
204,9
9,7
10
5,2
52,7
30,4
290,2
290,2
55,1
37,4
300,3
300,3
4,6
23
3,5
3,5
1.031,00
76,2
946,3
8,5
887,9
840,3
47,6
1.051,90
89,5
948,2
14,2
1.102,10
1.034,10
68
2
17,5
0,2
67,1
24,1
23,1
42,9
231
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Nomor
Kode
Sektor/Subsektor
-2
-1
15
15.1
15.2
16
16.1
16.2
16.3
16.4
16.5
16.6
17
17.1
17.2
17.3
18
18.1
18.2
19
19.1
19.2
19.3
20
20.1
20.2
20.3
SEKTOR AGAMA
Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama
Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama
SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi
Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar
Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Subsektor Kelautan
Subsektor Kedirgantaraan
Subsektor Sistem Informasi dan Statistik
SEKTOR HUKUM
Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum
SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN
Subsektor Aparatur Negara
Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan
Pengawasan
SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI,
PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA
Subsektor Politik
Subsektor Hubungan Luar Negeri
Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat
Subsektor ABRI
Subsektor Pendukung
Jumlah Keseluruhan
APBN
1994/95
RAPBN
1995/96
∆ % thd.
APBN
-3
121,9
22,5
99,4
529,8
147,6
71,3
-4
183,3
23,2
160,1
711,2
183,5
80,7
-5
107,2
86,5
28,8
88,4
111,4
14,2
30,2
67
557
520
145,7
140,5
38,1
122,7
138,7
17,2
37,6
83,9
664,4
618,8
35,9
62,4
32,3
38,8
24,5
21,1
24,5
25,2
19,3
19
37
45,6
23,2
157,4
2,9
3,9
150,6
1.154,60
2,3
1.100,30
52
27.398,30
152,7
5,6
3,9
143,2
1.317,30
2,4
1.250,30
64,6
30.783,50
-3
93,1
0
-4,9
14,1
4,3
13,6
24,2
12,4
50,4
3,1
61,1
34,2
24,3
13,2
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memperluas
lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha, serta menunjang pembangunan daerah,
anggaran belanja pembangunan departemen/lembaga negara tersebut diarahkan pemanfaatannya
terutama untuk pembangunan prasarana dan sarana ekonomi, penyediaan fasilitas pelayanan
dasar bagi masyarakat, serta penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi sarana dan
prasarana yang selesai dibangun. Sehubungan dengan itu, guna meningkatkan kemampuan dan
Departemen Keuangan RI
232
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
memperluas jangkauan pelayanan jasa transportasi bagi masyarakat, anggaran pembangunan
departemen/lembaga negara direncanakan penggunaannya antara lain untuk pemeliharaan,
rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan prasarana jalan dan jembatan di berbagai daerah,
pembangunan dan pengembangan prasarana kereta api, angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan, serta pengembangan fasilitas pelabuhan laut dan bandar udara. Demikian pula
untuk memperlancar arus informasi dan mengembangkan potensi kekayaan alam sebagai salah
satu sumber penerimaan devisa negara, pembiayaan pembangunan departemen/lembaga negara
direncanakan alokasinya antara lain untuk proyek pemasaran pariwisata, baik di dalam maupun di
luar negeri, pengembangan usaha jasa, obyek, dan daya tarik pariwisata, pengembangan jasa pos
dan giro, pengendalian frekuensi radio nasional, serta pengembangan standardisasi dan Sarana
telekomunikasi. Sementara itu guna mengimbangi kebutuhan masyarakat akan sumber daya
mineral
dan
energi
yang
semakin
meningkat,
melalui
anggaran
pembangunan
departemen/lembaga negara antara lain direncanakan penyempurnaan sarana dan peralatan
geologi dan sumber daya mineral, pengembangan energi, pengembangan pertambangan batu bara
dan gambut, pengembangan listrik perdesaan, serta pengembangan konservasi energi. Sedangkan
untuk menunjang upaya pemantapan swasembada pangan di sekter pertanian, antara lain
direncanakan pembangunan proyek-proyek pengairan, pengelolaan sumber air dan pengendalian
banjir, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, pembangunan pertanian rakyat terpadu,
pembangunan dan pembinaan tanaman pangan dan hortikultura rakyat terpadu, pengembangan
budidaya perkebunan rakyat, diversifikasi pangan dan gizi, serta pengembangan sumber daya,
sarana dan prasarana pertanian. Sejalan dengan itu, untuk menunjang pertumbuhan ekonomi,
memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha, khususnya bagi pengusaha
golongan ekonomi lemah, antara lain direncanakan proyek pengembangan industri rumah tangga,
industri kecil dan menengah, pengembangan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi industri,
pengembangan dan pelayanan teknologi industri, serta pengembangan sumber daya manusia
industrial.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan
taraf hidup masyarakat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan pula
untuk mendukung upaya peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, serta peningkatan produktivitas sumber daya manusia di berbagai bidang
Departemen Keuangan RI
233
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembangunan. Berkaitan dengan itu, guna menunjang program wajib belajar sembilan tahun serta
meningkatkan mutu dan memperluas jangkauan pelayanan pendidikan, melalui anggaran
pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan peningkatan kualitas dan pembinaan
berbagai jenjang pendidikan, pembinaan dan peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan,
serta pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana pendidikan. Sedangkan dalam rangka
meningkatkan kemampuan dan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal,
direncanakan antara lain pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan terapan, serta
pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dasar. Sementara itu dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dan perbaikan kesejahteraan rakyat, anggaran pembangunan
departemen/lembaga negara direncanakan antaralain untuk pembiayaan proyek-proyek
penyuluhan kesehatan masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, pemberantasan
penyakit menular, perbaikan gizi, pengawasan obat dan makanan, penyediaan dan pengawasan
air bersih, serta pendayagunaan tenaga kesehatan. Seiring dengan itu, di bidang kesejahteraan
sosial direncanakan antara lain pelayanan dan rehabilitasi sosial, penyuluhan dan bimbingan
tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, penanggulangan bencana alam, serta penyelenggaraan
bimbingan dan rehabilitasi sosial daerah kumuh. Sedangkan untuk memperkukuh landasan
mental dan spiritual masyarakat, pembiayaan pembangunan departemen/lembaga negara antara
lain direncanakan untuk pengadaan sarana kehidupan beragama, penyelenggaraan bimbingan dan
dakwah agama, peningkatan kerukunan hidup antar umat beragama, serta peningkatan
pendidikan keagamaan. Dalam pada itu guna meningkatkan produktivitas dan kualitas sumber
daya manusia dalam kegiatan pembangunan, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara
antara lain direncanakan untuk peningkatan keterampilan tenaga kerja, perluasan lapangan kerja
produktif dan pengurangan pengangguran, penyebarluasan informasi dan perencanaan tenaga
kerja, pengembangan kesempatan kerja dan produktivitas, serta pengembangan hubungan
industrial dan perlindungan tenaga kerja.
Untuk menunjang upaya peningkatan mutu dan perluasan jangkauan pelayanan dasar bagi
masyarakat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan antara lain untuk
menunjang pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan rumah sederhana (RS), rumah sangat
sederhana (RSS), dan rumah susun sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang
dilaksanakan bersama dengan swasta, perbaikan dan pemugaran perumahan dan permukiman,
penyehatan lingkungan permukiman, serta penyediaan dan pengelolaan air bersih. Sedangkan
Departemen Keuangan RI
234
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
untuk memelihara kelestarian sumber daya alam dan ekosistem, dalam rangka pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara
direncanakan antara lain untuk pembiayaan proyek-proyek pengelolaan sampat dan limbah
industri, pengembangan keanekaragaman hayati dan pelestarian ekosistem hutan tropika,
pengembangan metode analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari pengendalian
pencemaran, serta peningkatan kemampuan badan pengendali dampak lingkungan (Bapedal) dan
pengembangan kelembagaan dampak lingkungan di daerah.
Menyadari bahwa salah satu prasyarat keberhasilan pembangunan adalah terciptanya
tertib
administrasi
dan
sistem
hukum
yang
baik,
maka
anggaran
pembangunan
departemen/lembaga negara selain direncanakan untuk penyusunan peraturan perundangundangan, pengembangan hukum nasional, dan penyuluhan hukum, juga akan dimanfaatkan
untuk proyek pengkajian dan pengembangan fasilitas pelayanan hukum serta pembinaan
pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Sementara itu dalam rangka menunjang upaya
penyebarluasan informasi pembangunan kepada masyarakat, melalui anggaran pembangunan
departemen/lembaga negara antara lain direncanakan pengembangan prasarana dari sarana
penerangan, pendidikan dan pelatihan penerangan, pembinaan pers, serta pengembangan grafika.
Sedangkan dalam usaha memelihara suasana kehidupan masyarakat yang aman dari tertib serta
mempertahankan kondisi stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, melalui anggaran belanja
pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan peningkatan kesadaran bela negara,
pendayagunaan fungsi ketertiban umum (Tibum), perlindungan rakyat (Linra), keamanan rakyat
(Kamra) dari perlawanan rakyat (Wanra), serta pembangunan dan pembinaan sarana dari prasana
pendukung pertahanan dan keamanan negara.
Selanjutnya guna menunjang upaya memperluas pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya ke seluruh wilayah tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendorong prakarsa
dan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan, serta mempercepat pengentasan
penduduk miskin terutama di kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dari daerah perbatasan,
dalam RAPBN 1995/96 pengeluaran pembangunan bagi daerah direncanakan sebesar Rp 7.320,4
miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 498,0 miliar atau 7,3 persen dari
anggaran tahun sebelumnya. Anggaran pembangunan daerah tersebut diberikan dalam bentuk
program bantuan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan dengan dana bagi hasil
pajak bumi dan bangunan (PBB). Program bantuan pembangunan daerah tersebut meliputi
Departemen Keuangan RI
235
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
program bantuan pembangunan desa tertinggal (Inpres desa tertinggal/IDT), program bantuan
pembangunan desa (Inpres Desa), program bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati
II), program bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I), program bantuan
pembangunan sekolah dasar (Inpres SD), serta program bantuan pembangunan sarana kesehatan
(Inpres kesehatan).
Dalam rangka mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa
atau kelurahan tertinggal, serta meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk miskin,
dalam RAPBN 1995/96 anggaran bagi program bantuan pembangunan desa tertinggal
direncanakan sebesar Rp 473,7 miliar. Jumlah tersebut selain akan dialokasikan kepada 22.097
desa yang memenuhi kriteria sebagai desa tertinggal, juga direncanakan untuk pembinaan,
pemantauan dan pendampingan di 24.417 desa. Penentuan kategori desa tertinggal didasarkan
atas survei potensi desa (Podes) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain prasarana dan
sarana sosial ekonomi desa, fasilitas perumahan dan lingkungan, serta keadaan sosial demografi
penduduk.
Dalam rangka mendukung pembangunan desa tertinggal, khususnya meningkatkan akses
pemasaran, mengurangi isolasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, direncanakan
bantuan pembangunan prasarana sebesar Rp 293,5 miliar bagi 1.879 desa. Melalui program
tersebut masing-masing desa tertinggal akan memperoleh alokasi bantuan dalam bentuk modal
kerja sebesar Rp 20,0 juta, yang selain diperuntukkan bagi peningkatan kemampuan permodalan
dan pengembangan usaha juga diarahkan guna menunjang upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia dari pemantapan kelembagaan usaha, disertai dengan pembimbingan dari
pendampingan khusus. Bantuan tersebut akan disalurkan kepada kelompok masyarakat secara
bertahap sesuai dengan rencana kerja yang telah diketahui oleh kepala desa dan camat. Bantuan
tersebut diarahkan penggunaannya antara lain untuk menunjang usaha-usaha yang cepat
menghasilkan, mendayagunakan potensi yang ada, tidak merusak lingkungan, menghasilkan
produk yang dapat dipasarkan, dari dapat digulirkan kepada seluruh anggota kelompok sejalan
dengan program pembangunan sektoral dari regional, serta dapat diterima oleh masyarakat. Pada
dasarnya dana program IDT tersebut merupakan hibah bergulir yang dikelola oleh dari disalurkan
kepada anggota kelompok sebagai pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok dengan
persyaratan yang sesuai dengan kondisi setempat dari kesepakatan anggota melalui musyawarah
LKMD. Dana yang tumbuh dari kegiatan kelompok selanjutnya dipergunakan untuk membantu
Departemen Keuangan RI
236
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kelompok lain di desa yang sama yang belum memperoleh kesempatan mendapat bantuan.
Selanjutnya untuk mendorong peningkatan swadaya gotong royong serta menumbuhkan
kreativitas masyarakat dalam pembangunan desa, dalam tahun anggaran 1995/96 alokasi
anggaran bagi program bantuan pembangunan desa direncanakan sebesar Rp 426,0 miliar, yang
berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 2,7 miliar atau 0,6 persen dari anggaran yang
disediakan dalam APBN 1994/95. Dari jumlah anggaran tersebut, sebesar Rp 386,2 miliar atau
90,7 persen direncanakan alokasinya kepada 64.367 desa sebagai bantuan langsung, sehingga
masing-masing desa akan memperoleh dana bantuan sebesar Rp 6,0 juta, yang meliputi bantuan
pembangunan desa sebesar Rp 4,5 juta, bantuan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK)
sebesar Rp 1,0 juta, serta bantuan pembinaan anak-anak dan remaja sebesar Rp 0,5 juta yang
pelaksanaannya dipadukan dengan kegiatan PKK. Guna mengembangkan kemampuan dari
memperluas jangkauan pelayanan sosial ekonomi masyarakat desa, bantuan pembangunan desa
akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk pembangunan prasarana dari sarana dasar
pedesaan, baik prasarana produksi, prasarana perhubungan dan pemasaran, maupun prasarana
dari sarana sosial bagi peningkatan kegiatan usaha ekonomi rakyat, serta menunjang kegiatan
PKK. Di samping dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung, dalam rangka mendorong
peningkatan ekonomi masyarakat desa, serta meningkatkan fungsi kelembagaan desa, seperti
LKMD dari LMD, dari kelembagaan tingkat kecamatan, yaitu unit daerah kerja pembangunan
(UDKP), anggaran bagi program bantuan pembangunan desa tersebut juga direncanakan untuk
bantuan pengembangan usaha ekonomi desa (UED) sebesar Rp 12,7 miliar, bantuan penguatan
LKMD sebesar Rp 9,6 miliar, bantuan pemantapan UDKP sebesar Rp 6,2 miliar, serta bantuan
hadiah juara lomba desa sebesar Rp 1,7 miliar. Guna menunjang pembinaan pembangunan desa,
dalam program yang sama juga disediakan bantuan pembinaan operasional pembangunan tingkat
kecamatan sebesar Rp 2,9 miliar, bantuan pengelolaan tingkat propinsi, kabupaten dan
kotamadya sebesar Rp 4,3 miliar, serta bantuan pembinaan tingkat pusat sebesar Rp 2,4 miliar.
Sementara itu guna mendukung upaya memperluas pemberian otonomi yang semakin
nyata, serasi, dinamis, dan bertanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan daerah tingkat II,
baik dalam membiayai kegiatan pembangunan maupun dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran bagi program bantuan
pembangunan daerah tingkat II direncanakan sebesar Rp 2.525,3 miliar, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 107,5 miliar atau 4,4 persen dari jumlah bantuan pembangunan daerah
Departemen Keuangan RI
237
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tingkat II yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut disebabkan antara lain
oleh adanya kenaikan jumlah bantuan setiap Dati II, serta menampung bantuan pembangunan dan
pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 6,0 miliar, bantuan penghijauan sebesar Rp 88:9 miliar,
bantuan peningkatan jalan Dati II sebesar Rp 997,6 miliar, serta bantuan rehabilitasi SD dan
madrasah ibtidaiyah sebesar Rp 250,0 miliar. Selain itu terdapat pula tambahan akibat pengalihan
bantuan rehabilitasi Puskesmas dan Inpres Kesehatan sebesar Rp 51,5 miliar. Melalui program
bantuan pembangunan daerah tingkat II tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 setiap kabupaten
dan kotamadya akan memperoleh alokasi bantuan yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah
penduduk dengan bantuan per kapita sebesar Rp 5 ribu, dan bantuan atas dasar luas wilayah
sebesar Rp 20 ribu.
Sementara itu bagi Dati II yang jumlah penduduknya dibawah 200 ribu jiwa juga
disediakan bantuan tambahan agar mencapai jumlah minimum sebesar Rp 1,0 miliar. Selain
daripada itu melalui program bantuan pembangunan Dati II tersebut juga disediakan bantuan
tambahan sebesar Rp 9,9 miliar yang akan dialokasikan bagi 116 kabupaten berkepulauan,
bantuan bagi pemugaran perumahan perdesaan sebesar Rp 18,6 miliar, serta bantuan untuk
penyusunan rencana umum tata ruang (RUTR) Dati II sebesar Rp 6,0 miliar. Jumlah seluruh
bantuan pembangunan Dati II tersebut merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan
dalam APBD tingkat II yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang
urusannya telah diserahkan kepada daerah tingkat II sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
tingkat II yang bersangkutan. Dana bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati II)
tersebut di samping direncanakan untuk menunjang upaya peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah daerah tingkat II, peningkatan kelembagaan dan keuangan pemerintah daerah tingkat
II, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat, juga akan diarahkan untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, meningkatkan pemerataan dan ketersediaan fasilitas pelayanan dasar,
serta memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha. Sehubungan dengan itu
anggaran tersebut direncanakan pemanfaatannya untuk pembangunan berbagai jenis prasarana
dan sarana dasar, seperti prasarana jalan dan jembatan, pengairan, terminal bus, pelabuhan
sungai, pasar desa, serta berbagai prasarana lingkungan permukiman, seperti saluran air limbah,
bangunan pengendali banjir, dan persampahan.
Selanjutnya program bantuan pembangunan daerah tingkat I dimaksudkan antara lain
untuk menunjang pemerataan pembangunan antar daerah, peningkatan desentralisasi dan
Departemen Keuangan RI
238
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengembangan otonomi daerah tingkat I, serta pendayagunaan potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia secara optimal. Dalam RAPBN 1995/96, alokasi anggaran bagi program
bantuan pembangunan Dati I direncanakan sebesar Rp 1.277,1 miliar, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp 58,4 miliar atau 4,8 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN
1994/95. Peningkatan tersebut selain berkaitan dengan tambahan alokasi bantuan pembangunan
reboisasi sebesar Rp 22,8 miliar, bantuan peningkatan jalan Dati I sebesar Rp 430,6 miliar, serta
biaya untuk peningkatan kemampuan perencanaan, pemantauan dan pengawasan sebesar Rp 3,8
miliar ke dalam program Inpres Dati I, juga disebabkan oleh adanya bantuan tambahan untuk
membantu pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan/irigasi sebesar Rp 29,7
miliar. Dalam tahun anggaran 1995/96 besarnya bantuan dasar bagi setiap Dati I adalah sebesar
Rp 25,0 miliar, yang berarti tidak mengalami peningkatan dari bantuan yang dialokasikan dalam
tahun anggaran sebelumnya. Selain daripada bantuan dasar yang jumlahnya ditetapkan sama
besar untuk setiap propinsi, terdapat kriteria tambahan bantuan yang diberikan atas dasar luas
wilayah daratan masing-masing propinsi. Dalam RAPBN 1995/96 besarnya bantuan yang
diberikan atas dasar luas wilayah tersebut direncanakan sebesar Rp 115,2 miliar, yang berarti
sama dengan jumlah yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Bantuan pembangunan daerah
tingkat I tersebut bersamasama dengan pendapatan asli daerah (PAD) dan penerimaan dari bagi
hasil pemungutan PBB dimasukkan ke dalam APBD tingkat I untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan yang diprioritaskan oleh daerah tingkat I sesuai dengan Repelita daerah tingkat I
yang bersangkutan, yaitu antara lain untuk eksploitasi dan pemeliharaan irigasi, pemeliharaan dan
peningkatan jalan dan jembatan propinsi, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah
tingkat I, peningkatan keserasian pertumbuhan antar daerah, pengembangan investasi daerah,
peningkatan upaya penanggulangan kemiskinan, pemantapan kelengkapan dan penggunaan
perangkat penataan ruang, serta pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran pembangunan bagi program Inpres kesehatan
direncanakan sebesar Rp 369,5 miliar, yang berarti mengalami penurunan sebesar Rp 23,8 miliar
atau 6,1 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Penurunan tersebut terjadi karena
adanya pengalihan bantuan rehabilitasi Puskesmas ke dalam Inpres Dati II. Jika tidak dialihkan,
anggaran Inpres kesehatan meningkat sebesar Rp 27,7 miliar atau 7,0 persen dari anggaran tahun
sebelumnya. Guna meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup schat, melakukan
pencegahan penyakit, dan memberikan pelayanan kesehatan dasar, agar tercapai tingkat
Departemen Keuangan RI
239
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kesehatan yang optimal, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya antara lain untuk
menunjang peningkatan lembaga pelayanan kesehatan, peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), pemeliharaan kesehatan usia sekolah, pelayanan kesehatan gigi dan mulut, serta
pelayanan laboratorium kesehatan. Melalui program inpres kesehatan tersebut dalam tahun
anggaran 1995/96 direncanakan antara lain pembangunan 30 Puskemas, 500 Puskesmas
pembantu dan 480 rumah dokter dan paramedis, pengadaan 360 Puskesmas keliling, pendidikan
dan pelatihan bagi sekitar 14.620 bidan dan tenaga paramedis, serta penempatan sekitar 21.500
tenaga kesehatan. Selain itu, alokasi anggaran bagi program Inpres kesehatan juga akan
dimanfaatkan untuk penyediaan obat-obatan sebesar Rp 151,3 miliar, serta penyediaan air bersih
dan penyehatan lingkungan sebesar Rp 78,0 miliar. Melalui Inpres Dati II akan dibiayai
rehabilitasi berat dan sedang sekitar 2.940 Puskesmas dan pemeliharaan 32.955 unit Puskesmas.
Dalam rangka memperluas kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan dasar
terutama untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, di perdesaan, daerah
perbatasan, daerah terpencil, serta daerah transmigrasi, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran
pembangunan bagi program Inpres sekolah dasar (Inpres SD) direncanakan sebesar Rp 498,5
miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 0,6 miliar dari anggaran yang disediakan
dalam APBN 1994/95. Peningkatan yang tidak terlalu besar tersebut adalah karena dalam jumlah
tersebut tidak termasuk dana untuk rehabilitasi SD dari madrasah ibtidaiyah sebesar Rp 250
miliar, yang sejak tahun anggaran 1994/95 telah dialihkan pengelolaannya ke dalam program
Inpres Dati II. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia,
anggaran pembangunan tersebut akan diarahkan pemanfaatannya untuk pembangunan 425
gedung SD, penambanan sekitar 2.650 ruang kelas, penyediaan biaya operasional dari
pemeliharaan bagi 170.069 gedung SD, pembangunan 1.150 rumah kepala sekolah dari guru,
pengadaan 60 juta eksemplar buku, baik buku pelajaran maupun perpustakaan, pengadaan alat
transportasi untuk penilik termasuk penilik pendidikan agama, peningkatan kualitas guru, serta
pemberian bantuan untuk kegiatan olah raga dan Pramuka sebesar Rp 100.000 per sekolah.
Dalam pada itu guna meningkatkan desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih luas
kepada daerah, mendorong peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di daerah, dan
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya penggalian sumber-sumber
pendapatan asli daerah, dalam RAPBN 1995/96 pembiayaan pembangunan daerah yang berasal
dari pembagian dana hasil pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) direncanakan sebesar
Departemen Keuangan RI
240
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Rp 1.750,3 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 268,2 miliar (18,1 persen) dari
anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut di samping berkaitan
dengan adanya penyempurnaan sistem pembagian hasil pemungutan PBB yang mulai
dilaksanakan sejak tahun pertama Repelita VI, juga dipengaruhi oleh rencana penerimaan PBB
dalam tahun anggaran 1995/96, sehubungan dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari
Bangunan yangmulai diberlakukan sejak 1 lanuari 1995.
Selanjutnya sejalan dengan kebijaksanaan peningkatan efisiensi dari efektivitas anggaran
belanja pembangunan, alokasi anggaran bagi pembiayaan pembangunan lainnya diupayakan
semakin dipertajam prioritas pemanfaatannya untuk memberi peluang kepada program-program
pembangunan lain, baik sektoral maupun regional, yang dipandang cukup penting memperoleh
kesempatan pembiayaan bagi pencapaian sasaran pembangunan seperti yang direncanakan dalam
Repelita VI. Berkaitan dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran bagi program
pembiayaan pembangunan lainnya direncanakan sebesar Rp 794,1 miliar, yang berarti
mengalami peningkatan sebesar Rp 175,8 miliar atau 28,4 persen dari anggaran yang disediakan
dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya masing-masing untuk subsidi
pupuk sebesar Rp 143,0 miliar, penyertaan modal pemerintah (PMP) sebesar Rp 50,0 miliar, dan
pembiayaan lainlain pembangunan (LLP) sebesar Rp 601,1 miliar.
Penyediaan anggaran bagi subsidi pupuk sebesar Rp 143,0 miliar dalam RAPBN 1995/96
tersebut berarti mengalami penurunan sebesar Rp 32,0 miliar atau 18,3 persen dari anggaran
subsidi pupuk yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Penurunan tersebut terutama karena
adanya penghapusan subsidi bagi pupuk jenis ZA dan TSP, sejalan dengan kenaikan harga kedua
jenis pupuk tersebut sejak bulan Oktober 1994 masing-masing untuk pupuk jenis ZA sebesar 13,5
persen, yaitu dari Rp 260 per kilogram menjadi Rp 295 per kilogram, dan untuk pupuk jenis TSP
sebesar 41,2 persen, yaitu dari Rp 340 per kilogram menjadi Rp 480 per kilogram. Selain
dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran negara, pembatasan subsidi tersebut juga
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani.
Sedangkan alokasi anggaran bagi pembiayaan penyertaan modal pemerintah (PMP)
sebesar Rp 50,0 miliar dalam RAPBN 1995/96, berarti sama dengan alokasi anggaran PMP yang
disediakan dalam APBN tahun sebelumnya. Alokasi anggaran tersebut akan diupayakan secara
Departemen Keuangan RI
241
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
lebih selektif serta diarahkan terutama untuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi
yang berprioritas tinggi bagi pengembangan dan kelangsungan kegiatan-kegiatan usaha BUMN
di berbagai sector ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau perusahaanperusahaan strategis lainnya, seperti penyediaan perumahan rakyat (KPR-BTN) serta pembinaan
dan pengembangan industri strategis.
Sementara itu alokasi anggaran bagi program pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP)
sebesar Rp 601,1 miliar dalam RAPBN 1995/96 berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 207,8
miliar atau sekitar 52,8 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran
tersebut direncanakan pemanfaatannya antara lain untuk menunjang pembiayaan bagi berbagai
program pembangunan yang penting, sangat mendesak untuk segera memperoleh penanganan,
dan menyangkut kepentingan masyarakat umum, yang karena bersifat khusus dan atau lintas
sektoral tidak dapat tercakup dalam pembiayaan departemen atau pembiayaan bagi daerah.
Program-program pembangunan tersebut diantaranya adalah penyediaan air bersih, penyehatan
lingkungan permukiman, serta operasi dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS). Di samping itu
anggaran tersebut juga akan dialokasikan untuk program pembinaan daerah pantai, program
pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, program pengendalian pencemaran lingkungan
hidup, serta program pengelolaan tata ruang nasional dan pembangunan prasarana kota terpadu.
Selanjutnya anggaran tersebut juga akan dialokasikan untuk pengembangan usaha pertanian,
pengendalian hama terpadu, pengembangan industri strategis, pembinaan usaha kecil,
pengembangan usaha dan lembaga perdagangan, pengembangan perdagangan luar negeri (ekspor
nonmigas), serta pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara. Selain
daripada itu anggaran tersebut juga akan dimanfaatkan untuk penyempurnaan dan pengembangan
statistik, pembinaan dan pengembangan pers, serta peningkatan sarana kehidupan beragama.
Menyadari bahwa dana bagi pembiayaan pembangunan yang dapat dihimpun dari dalam
negeri belum seluruhnya mampu memenuhi rencana kebutuhan investasi di sektor negara tahun
kedua Repelita VI, maka untuk membiayai proyek-proyek produktif yang dapat memberikan
dampak sebesar-besarnya bagi upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat di berbagai sektor dan subsektor, dana pembiayaan pembangunan yang
berasal dari luar negeri dalam bentuk bantuan proyek tetap dimanfaatkan sebagai sumber
pelengkap bagi pernbiayaan pembangunan rupiah. Dalam RAPBN 1995/96, anggaran
pembangunan yang bersumber dan dana luar negeri dalam bentuk bantuan proyek tersebut
Departemen Keuangan RI
242
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
direncanakan berjumlah sebesar Rp 11.759,0 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 17,4
persen dari anggaran bantuan proyek yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran
tersebut direncanakan alokasinya terutama untuk penyediaan berbagai sarana dan prasarana
ekonomi serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan bagi
pembangunan. Rincian pengeluaran pembangunan menurut jenis pembiayaannya dapat diikuti
dalam Tabel II.32. Sedangkan gambaran keseluruhan rancangan anggaran pendapatan dan
belanja negara (RAPBN) tahun anggaran 1995/96 dapat dilihat pada Tabel II.33.
Tabel II.32
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIAYAAN,
APBN 1994/95 DAN RAPBN 1995/96
(dalam miliar rupiah)
APBN
RAPBN
% thd.
1994/95
1995/96
APBN
Jenis Pembiayaan
-1
-2
-3
-4
I. PEMBIAYAAN RUPIAH
17.386,30
19.024,50
9,4
9.945,60
10.910,00
9,7
A. Pembiayaan Departemen/Lembaga
1. Departemen/Lembaga
9.356,30
10.284,80
9,9
2. Hankam
589,3
625,2
6,1
6.822,40
7.320,40
7,3
B. Pembiayaan Bagi Daerah
1. Inpres pembangunan desa tertinggal
389,3
413,7
21,7
2. Inpres pembangunan desa
423,3
426
0,6
1)
3. Inpres pembangunan Dari II
2.417,80
2.525,30
4,4
4. Inpres pembimgunan Dari I 2)
1.218,70
1.277,10
4,8
3)
5. Inpres sekolah dasar
497,9
498,5
0,1
6. Inpres kesehatan
393,3
369,5 4)
-6,1
7. Pembangunan daerah dengan dana PBB
1.482,10
1.750,30
18,1
618,3
794,1
28,4
C. Pembiayaan Lain-Lain
1. Subsidi pupuk
175
143
-18,3
2. Penyertaan modal pemerintah
50
50
0
3. Lain-lain pembangunan
393,3
601,1
52,8
10.012,00
11.759,00
17,4
II. BANTUAN PROYEK
27.398,30
30.783,50
12,4
Jumlah
1)
Termasuk bantuan pembangunan/pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar
kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dan Inpres peningkatan jalan Dati II;
2)
Termasuk Inpres reboisasi don Inpres peningkatan jalan Dati I;
3)
Tidak termasuk bantuan rehabililasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah (dialihkan ke Inpres Dati II);
4)
Tidak termasuk dana rehabilitasi dan pemeliharaan Puskesmas (dialihkan ke Inpres Dati II).
Departemen Keuangan RI
243
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel II.33
RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1995/96
(dalam miliar rupiah)
Penerimaan
Jumlah
Pengeluaran
A. Penerimaan Dalam Negeri
I. Penerimaan minyak bumi dan gas
alam (migas)
1. Minyak bumi
2. Gas alam
66.265,20
13.275,60
9.812,20
3.463,40
II. Penerimaan di luar migas
1. Pajak penghasilan
2. Pajak pertambahan nilai
3. Bea masuk
4. C u k a i
5. Pajak ekspor
6. Pajak bumi dan bangunan
7. Pajak lainnya
8. Penerimaan bukan pajak
9. Laba bersih minyak
52.989,60
19.238,60
16.655,20
3.543,10
3.299,20
44,4
1.923,40
319,3
6.491,10
1.475,30
B. Penerimaan Pembangunan
I. Bantuan program
II. Bantuan proyek
Jumlah
11.759,00
11.759,00
78.024,20
Departemen Keuangan RI
A. Pengeluaran Rutin
I. Belanja pegawai
1. Gaji/pensiun
2. Tunjangan beras
3. Uang makan/lauk pauk
4. Lain2 belanja peg. DN
5. Belanja pegawai LN
II. Belanja barang
1. Belanja barang DN
2. Belanja barang LN
III. Subsidi daerah otonom
1. Belanja pegawai
2. Belanja nonpegawai
IV. Bunga dan cicilan hutang
1. Hutang dalam Negeri
2. Hutang luar Negeri
V. Pengeluaran rutin lainnya
1. Subsidi BBM
2. Lain – lain
B. Pengeluaran Pembangunan
I. Pembiayaan rupiah
II. Bantuan proyek
Jumlah
Jumlah
47.240,70
15.347,30
12.416,30
1.139,60
835
511,2
445,2
4.745,30
4.457,10
288,2
8.409,40
7.932,10
477,3
18.214,90
318,8
17.896,10
523,8
523,8
30.783,50
19.024,50
11.759,00
78.024,20
244
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
BAB III
MONETER DAN PERKREDITAN
3.1. Pendahuluan
Setelah pemerintah berhasil mengendalikan permintaan domestik dalam beberapa tahun
terakhir di dalam rangka menjaga kestabilan harga, kegiatan perekonomian Indonesia dalam
tahun anggaran 1993/94 mulai meningkat kembali. Kegiatan investasi yang merupakan faktor
dinamis pendorong pertumbuhan ekonomi mulai bergairah kembali terutama setelah terjadinya
penurunan suku bunga kredit di dalam negeri, yaitu dari sekitar 22 persen pada awal 1993
menjadi sekitar 18 persen pada akhir 1993. Selanjutnya di bidang penanaman modal asing,
Indonesia mulai dihadapkan kepada saingan-saingan baru yang lebih agresif dalam menarik
modal dari luar negeri, seperti Cina dan Vietnam. Di sisi lain, bank-bank sebagai lembaga
penyedia dana pembiayaan menjadi lebih berhati-hati dalam pemberian kredit kepada dunia
usaha dalam rangka memenuhi ketentuan-ketentuan baru di bidang perbankan yang bertujuan
untuk mewujudkan manajemen perbankan yang lebih sehat. Sehubungan dengan hal itu, usaha
untuk memperbaiki iklim berusaha dan mendorong gairah investasi terus ditingkatkan, baik
melalui kebijaksanaan makro maupun melalui langkah-langkah deregulasi di sektor riil sehingga
laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat dipertahankan.
Perkembangan di sektor moneter juga diwarnai oleh meningkatnya pemasukan dana
jangka pendek dari luar negeri ke dalam negeri, sebagai akibat suku bunga yang masih relatif
tinggi di dalam negeri dan stabilnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, pengendalian inflasi dalam
tahun anggaran 1994/95 terus ditingkatkan, sehubungan dengan kenaikan laju inflasi sebesar 5,53
persen dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1994/95. Walaupun kenaikan laju inflasi
dalam periode tersebut tidak terlalu tinggi, masalah pengendalian laju inflasi tetap mendapat
perhatian dari pemerintah. Hal tersebut berkaitan dengan kecenderungan meningkatnya kegiatan
perekonomian serta meningkatnya lalu lintas modal dari luar negeri, yang dikhawatirkan akan
menimbulkan tekanan lebih lanjut kepada laju inflasi. Oleh karena itu kebijaksanaan ekonomi
makro yang berhati-hati masih tetap diperlukan agar ekspansi moneter tetap dapat diarahkan
untuk mendorong pemulihan kegiatan perekonomian, tanpa menimbulkan gangguan terhadap
keseimbangan ekonomi makro secara keseluruhan.
Departemen Keuangan RI
245
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.2. Perkembangan harga dan upah
Menghadapi era globalisasi serta persaingan yang semakin ketat antara negara-negara di
dunia, ketahanan nasional merupakan hal yang penting, khususnya stabilitas di bidang ekonomi,
karena stabilitas ekonomi merupakan kondisi pokok bagi kelancaran dan keberhasilan usaha
pembangunan nasional. Stabilitas ekomomi seperti tercermin pada terpeliharanya stabilitas hargaharga umum akan mampu mempertahankan dan meningkatkan daya saing barang-barang ekspor
Indonesia di pasaran internasional, sehingga dapat mendorong peningkatan ekspor nonmigas.
Dalam upaya mewujudkan stabilitas ekonomi tersebut, Pemerintah senantiasa berusaha untuk
mengendalikan harga-harga barang dan jasa kebutuhan pokok pada tingkat yang wajar dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat upaya tersebut ditempuh melalui berbagai kebijaksanaan,
baik kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, maupun kebijaksanaan di sektor riil
dalam rangka untuk terus menjamin tersedianya barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
khususnya beras dan kelancaran distribusinya ke seluruh pelosok tanah air.
Upaya-upaya tersebut di atas telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan,
sebagaimana tercermin dari perkembangan laju inflasi dari tahun ke tahun, yang dapat
dikendalikan pada tingkat yang wajar. Dibandingkan dengan Repelita I, Repelita II, dan Repelita
III, tingkat inflasi rata-rata selama Repelita IV, Repelita V, maupun tahun pertama Repelita VI
adalah jauh lebih rendah. Demikian pula dengan perkembangan indeks harga perdagangan besar
maupun indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, persentase kenaikannya
dari tahun ke tahun cenderung menurun.
Dalam pada itu perkembangan harga beberapa barang ekspor primer, khususnya komoditi
hasil pertanian, selama periode April-Oktober 1994 memperlihatkan kecenderungan meningkat
dibandingkan dengan perkembangannya dalam beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini
terutama didukung oleh beberapa faktor, antara lain meningkatnya permintaan pasar sebagai
akibat membaiknya pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju.
Di bidang pengupahan, sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para
pekerja, Pemerintah mencanangkan program terpadu, yang antara lain meliputi pengaturan syarat
dan kondisi kerja, pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja, peningkatan penyelesaian
perselisihan perburuhan, dan peraturan yang berkaitan dengan upah minimum. Di samping itu
Departemen Keuangan RI
246
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dalam rangka penyesuaian secara bertahap upah minimum regional (UMR) dengan tingkat
kebutuhan fisik minimum, Pemerintah secara serentak mulai bulan April 1995 akan
menyeragamkan waktu pelaksanaan ketentuan upah minimum regional dan penyesuaiannya
setiap tahun. Sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut, tingkat upah di beberapa sektor
mengalami peningkatan yang cukup berarti.
3.2.1. Indeks harga konsumen (IRK)
Indeks harga konsumen, yang merupakan dasar penghitungan laju inflasi di Indonesia,
dalam tahun anggaran 1994/95 (April-Desember 1994) telah mencapai 5,53 persen. Jika
dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya yaitu
sebesar 3,33 persen, angka inflasi kumulatif dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1994/
95 tersebut lebih tinggi sebesar 2,20 persen. Tingginya laju inflasi selama sembilan bulan
pertama tahun anggaran 1994/95 tersebut lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga-harga
yang terjadi dalam bulan Juli, Agustus, dan Oktober 1994, dengan andil inflasi masing-masing
sebesar 1,31 persen, 0,89 persen, dan 0,89 persen sehingga secara bersama-sama ketiga bulan
tersebut memberikan andil inflasi sebesar 3,15 persen dari kumulatif inflasi dalam periode AprilDesember 1994. Dilihat dari kenaikan harga per kelompok barang, laju inflasi sebesar 5,53
persen yang terjadi dalam periode April-Desember 1994 tersebut sebagian besar disebabkan oleh
kenaikan indeks harga kelompok perumahan dan kelompok makanan, masing-masing sebesar
7,92 persen dan 5,24 persen, sedangkan kelompok sanuang dan kelompok aneka barang dan jasa
meningkat relatif kecil dibandingkan dengan kedua kelompok sebelumnya, masing-masing hanya
sebesar 2,76 persen dan 3,74 persen. Sementara itu, laju inflasi sepanjang tahun 1994 (JanuariDesember 1994) mencapai 9,24 persen, atau 0,53 persen lebih rendah jika dibandingkan dengan
laju inflasi dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sebesar 9,77 persen.
Andil inflasi yang cukup menonjol dalam tahun 1994 adalah inflasi yang terjadi dalam bulan
Januari dan Februari, masing-masing sebesar 1,25 persen dan 1,76 persen.
Faktor utarna penyebab tingginya tingkat inflasi dalam bulan Januari 1994 adalah naiknya
harga beberapa komoditi yang termasuk ke dalam kelompok makanan, seperti beras, daging
ayam, daging sapi, ikan segar, dan telur ayam. Di samping itu kenaikan indeks harga kelompok
sanuang juga memberikan andil yang cukup besar terhadap laju inflasi dalam bulan tersebut.
Departemen Keuangan RI
247
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sedangkan inflasi dalam bulan Februari sebesar 1,76 persen adalah sebagai akibat dari
meningkatnya permintaan masyarakat dalam kaitannya dengan bulan puasa dan Idul Fitri.
Kemudian penyebab inflasi dalam bulan Juli 1994 adalah pengaruh musim kemarau panjang
yang menimbulkan kekeringan di beberapa daerah penghasil beras. Kondisi tersebut telah
mendorong indeks harga subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan hasil-hasilnya meningkat
sebesar 6,05 persen. Di samping itu, terjadinya kenaikan harga semen, biaya kesehatan, dan biaya
pendidikan, juga telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap kenaikan inflasi dalam
bulan Juli 1994. Inflasi dalam bulan Agustus 1994 terutama disebabkan oleh peningkatan harga
kelompok makanan sebesar 1,46 persen dan aneka barang dan jasa sebesar 0,82 persen,
sedangkan inflasi dalam bulan Oktober 1994 terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga
kelompok perumahan sebesar 1,40 persen dan kelompok makanan sebesar 0,84 persen. Beberapa
jenis pengeluaran yang menunjukkan peningkatan harga cukup menonjol dalam kedua bulan
tersebut antara lain padi-padian, buah-buahan, bumbu-bumbuan lemak dan minyak, daging dan
hasil-hasilnya, ikan diawetkan, biaya tempat tinggal, perlengkapan rumah tangga, kesehatan,
serta rekreasi dan olah raga. Namun demikian, bila dilihat per kelompok barang dan jasa, laju
inflasi dalam bulan Januari, Februari, Juli dan Agustus 1994 masih danominasi oleh kenaikan
indeks harga kelompok makanan, masing-masing sebesar 2,58 persen, 4,51 persen, 1,57 persen
dan 1,46 persen, sedangkan dalam bulan Oktober 1994 persentase kenaikan indeks harga
kelompok makanan telah menurun menjadi 0,84 persen.
Dalam pada itu, perkembangan indeks harga konsumen di 27 ibukota propinsi dalam
periode April-Desember 1994, mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan berkisar
antara 2,83 persen sampai dengan 8,61 persen. Kota yang mengalami inflasi tertinggi adalah
Bengkulu, sedangkan inflasi terendah terjadi di kota Palangkaraya. Perkembangan laju inflasi
secara nasional maupun terinci menurut ibukota propinsi, dapat dilihat dalam Tabel III.1, Tabel
III.2,
Departemen Keuangan RI
248
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.1
PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1984/85 - 1994/95
( dalam persentase )
Akhir periode/
barang
kumulatif
dan jasa
Makanan
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
1)
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
1)
Kumulatif
2,47
0,21
0,89
-1,19
0,33
-2,04
0,58
-0,04
0,35
0,35
-0,28
-1,03
0,28
-0,22
0,25
1,41
1,24
2,58
0,91
1,6
-0,71
1,05
-0,03
1,57
1,46
0,24
0,84
0,88
-0,06
5,24
Perumahan
0,2
0,21
0,06
0,02
0,02
0,64
0,37
0,17
0,13
0,11
0,05
0,08
-0,21
0,14
0,04
0,22
0,23
1,15
0,49
0,07
0,9
0,42
0,33
1,42
0,6
1,27
1,4
0,22
1,36
7,92
Sandang
0,05
0,08
0,15
0,09
0,13
0,66
0,14
0,22
0,09
0,19
0,3
0,19
0,18
0,22
0,4
0,82
1,7
2,37
0,28
1,41
0,29
0,06
0,22
0,42
0,02
0,39
0,47
0,55
0,34
2,76
0,08
0,28
0,08
0,01
0,76
1,4
0,05
0,09
0,07
0,12
0,03
0,02
0,04
0,11
0,15
0,13
0,07
0,18
0,23
0,04
0,6
0,11
0,03
1,23
0,82
0,04
0,44
0,11
0,36
3,74
Umum
Tahun
anggaran
3,64
5,66
8,83
8,29
6,55
5,48
9,11
9,78
10,03
7,04
-5,53
Tahun
takwim
8,76
4,31
8,83
8,9
5,47
5,97
9,53
9,52
4,94
9,77
9,24
Sampai dengan bulan Desember
Departemen Keuangan RI
249
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.2
1)
PERUBAHAN INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 27 KOTA DI INDONESIA , 1984/85 - 1994/95
( dalam persentase )
Banda
Bandar
Akhir
Aceh
periode/kumulatif
Medan
Padang Pekanbaru
Jambi
Palembang Bengkulu Lampung Jakarta
-6
-1
-2
-3
-4
-5
-7
-8
-9
-10
1984/85 Kumulatif
-2,65
0,92
--1,26
--4,17
1985/86 Kumulatif
-7,02
3,94
--5,73
--4,24
1986/87 Kumulatif
-9,8
7,51
--6,24
--8,6
1987/88 Kumulatif
-7,12
6,66
--7,88
--8,08
1988/89 Kumulatif
-12,5
7,12
--4,19
--5,99
1989/90 Kumulatif
-5,74
2,75
--1,71
--4,97
1990/91 Kumulatif
10,5
5,9
7,15
8,21
9,84
4,76
7,26
10,29
5,24
1991/92 Kumulatif
6,7
9,52
9,26
9,03
9,1
8,98
8,09
10,75
8,65
1992/93 Kumulatif
7,05
11,27
9,24
7,72
9,08
8,63
8,8
11,5
9,3
1993/94 Kumulatif
7,72
4,43
6,52
9,12
7
5,8
5,14
7,29
6,85
1994/95 April
-0,24
-0,48
-0,45
-0,06
0,13
1,71
0,03
0,81
-0,08
Mei
0,49
1,03
1,74
0,19
0,39
0,47
0,83
0,22
0,36
Juni
1,33
0,21
0,02
-0,47
0,19
0,02
0,22
0,11
2,05
Juli
0,93
1,36
2,25
1,82
1,18
1,22
3,22
1,51
0,85
Agustus
0,45
0,83
0,25
1,29
0,99
2,12
0,89
1,01
0,26
September
0,36
0,97
0,3
0,32
0,27
1,16
-0,23
0,78
0,92
Oktober
1,49
0,15
1,2
0,28
2,18
1,57
1,23
0,23
0,71
0,05
November
1,59
0,54
0,68
0,5
0,01
-0,72
0,41
0,26
-1,38
Desember
0,72
0,96
-0,6
-0,67
0,28
1,4
0,06
0,72
Kumulatif 2)
-5,78
-6,62
-4,47
-5,1
-5,01
-8,61
-6,2
-6,13
-4,52
1)
Sampat dengan Maret 1990, mencakup 17 kota
2)
Sampai dengan bulan Desember
Akhir periode/kumulatif
-1
1984/85 Kumulatif
1985/86 Kumulatif
1986/87 Kumulatif
1987/88 Kumulatif
1988/89 Kumulatif
1989/90 Kumulatif
1990/91 Kumulatif
1991/92 Kumulatif
1992/93 Kumulatif
1993/94 Kumulatif
1994/95 April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Kumulatif 1)
1)
Bandung Semarang
-3
-2
3,48
2,97
6,81
5,11
8,76
9,16
9,47
9,89
5,33
6,07
5,45
4,65
9,62
9,76
9,19
10,32
8,41
9,14
8,05
4,61
0,33
-0,5
1,05
0,39
-0,09
0,88
1,39
1,55
1,03
0,25
0,5
0,4
0,28
0,26
-0,19
1,14
1,02
-0,15
-5,32
-4,22
Yogyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang
-4
-5
-6
-7
-8
3,26
4,39
5,98
1,76
0,96
5,95
5,13
11,35
8,24
8,55
8,28
9,87
9,76
9,92
11,47
9,48
7,54
11,88
10,16
5,62
6,17
6,95
7,66
6,95
4,35
4,99
6,21
7,67
10,4
8,61
10,43
9,85
11,17
10,14
5,62
9,62
10,14
8,87
7,33
6,59
8,4
9,54
11,04
9,6
10,11
7,24
8,39
7,2
7,89
7,34
-0,72
-0,35
-1,55
-0,87
-0,06
0,53
0,65
-0,57
0,67
0,29
-0,31
0,3
-0,81
0,04
0,01
1,46
0,77
0,99
2,39
1,42
1,29
0,55
0,55
1,08
0,62
0,49
-0,05
0,35
-0,07
0,25
0,87
2,05
1,4
-0,03
0,08
1,38
0,48
1,66
1,23
-0,2
0,24
0,24
-0,66
0,38
1,27
-5,23
-4,64
-4,46
-4,82
-3,68
Dili
-9
------5,73
5,77
10,7
3,06
-0,06
1,14
0,92
1,24
1,02
0,44
0,7
0,05
0,57
-6,02
Pontianak
-10
2,9
8,05
8,94
9,28
6,81
7,1
9,11
9,58
8,25
7,41
-1,48
0,87
0,27
1,38
0,35
0,51
0,81
2,97
-0,82
-4,86
Sampai dcngan bulan Dcscmbcr
Departemen Keuangan RI
250
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Akhir
Palangka
Raya
periode/kumulatif
Banjarmasin Samarinda Manado
-1
-2
-3
-4
-5
1984/85 Kumulatif
-3,31
-1,5
1985/86 Kumulatif
-4,72
-8,29
1986/87 Kumulatif
-8,38
-12,47
1987/88 Kumulatif
-10,45
-7,12
1988/89 Kumulatif
-4,22
-7,45
1989/90 Kumulatif
-8,01
-3,73
1990/91 Kumulatif
9,81
9,26
7,97
7,85
1991/92 Kumulatif
9,79
8,28
11,6
8,25
1992/93 Kumulatif
7,21
9,46
6,46
6,54
1993/94 Kumulatif
8,99
4,42
6,45
10,55
1994/95 April
0,21
-0,36
0,58
-0,37
Mei
-0,44
0,82
0,44
1,61
Juni
-0,34
-0,42
0,55
-0,44
Juli
0,57
0,81
0,81
0,96
Agustus
0,32
0,94
1,09
2,04
0,15
-0,24
0,75
0,12
September
1,51
0,75
-0,22
1,91
Oktober
0,9
-0,19
1,98
0,71
November
0,37
0,9
0,11
0,1
Desember
Kumulatif 1)
-2,83
-3,01
-6,09
-6,64
1)
Sampai dengan bulan Desember
Palu
-6
-----6,99
6,89
8,66
5,84
-0,48
-0,53
-0,22
1
0,5
0,92
0,2
2,8
1,3
-5,49
Ujung
Pandang Kendari
-7
-8
5,33
-4,67
-6,47
-7,24
-4,6
-6,17
-6,04
9,69
7,71
12,25
8,79
9,83
5,94
8,09
0,45
1,55
0,71
-0,01
-0,15
0,37
1,28
0,21
1,46
1,39
0,87
-0,42
0,68
0,05
0,29
0,56
0,56
2,69
-6,15
-6,39
Ambon Jayapura
-9
-10
0,05
2,31
2,87
2,02
8,03
13,09
17,25
6,67
21,34
6,31
25,37
5,99
6,55
5,69
5,24
6,79
8,53
7,99
6,11
9,34
0,45
-1,26
1,33
1,24
-0,26
0,23
0,22
0,38
0,66
0,54
0,07
1,43
0,67
1,16
0,09
0,89
0,76
1,63
-3,99
-6,24
3.2.2. Harga beberapa barang konsumsi utama
Kemarau panjang yang terjadi dalam tahun 1994 telah menyebabkan terganggunya
produksi padi di beberapa daerah sentra penghasil padi, yang mengakibatkan harga beras di
beberapa kota mengalami kenaikan yang cukup menonjol. Harga komoditi ini mulai meningkat
sejak bulan Juni 1994, dengan kenaikan tertinggi terjadi dalam bulan Juli dan Agustus 1994,
sehingga dalam bulan-bulan tersebut kenaikan harga beras telah memberikan andil inflasi
masing-masing sebesar 0,41 persen dan 0,38 persen. Dari pemantauan yang dilakukan di delapan
ibukota propinsi, kenaikan harga beras selama periode April-Oktober 1994 terjadi di tujuh
ibukota propinsi, yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Ujung Panuang, dan
Denpasar, dengan persentase berkisar antara 9,67 persen sampai dengan 40,25 persen. Kenaikan
harga beras tertinggi terjadi di kota Denpasar, sedangkan di kota Banjarmasin terjadi penurunan
sebesar 3,85 persen. Sementara itu harga beberapa barang konsumsi utama lainnya, seperti
tepung terigu dan gula pasir, dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan mengikuti
perkembangan harga beras.
3.2.3. Harga emas dan mata uang asing
Belum tuntasnya persetujuan dagang antara Amerika Serikat dengan Jepang serta masih
tingginya defisit dalam neraca perdagangan Amerika Serikat, menyebabkan nilai tukar dolar
Departemen Keuangan RI
251
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Amerika Serikat mengalami fluktuasi terhadap beberapa mata uang kuat dunia lainnya. Keadaan
tersebut telah memberikan pengaruh kepada para investor untuk tetap menginvestasikan sebagian
modalnya ke pasar emas, yang mengakibatkan perkembangan harga emas di beberapa pasar
utama dunia, terutama di pasar London, juga mengalami fluktuasi. Setelah meningkat dalam
bulan Agustus dan September 1994, dalam bulan Oktober dan November 1994 harga emas di
pasar London kembali menurun dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan September
1994. Perkembangan harga emas yang fluktuatif tersebut juga berpengaruh terhadap harga emas
di dalam negeri. Di pasar Jakarta, harga emas 24 karat dalam bulan November 1994 mengalami
penurunan dibandingkan dengan tingkat harga dalam bulan sebelumnya, yaitu sebesar 1,27
persen. Namun jika dibandingkan dengan tingkat harga yang dicapai dalam bulan Maret 1994,
harga tersebut dalam bulan November 1994 masih mencalat kenaikan sebesar 0,76 persen.
Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat dalam Tabel III.3.
Dalam pada itu, perkembangan harga beberapa mata uang asing terhadap rupiah di pasar
Jakarta selama periode April-November 1994 mengalami peningkatan. Dolar Amerika dalam
periode tersebut meningkat sebesar 1,14 persen, sementara mata uang Eropa, seperti
poundsterling Inggris, franc Swiss, mark Jerman, dan guilder Belanda, masing-masing
mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar 8,99 persen, 12,46 persen, 11,99 persen, dan 12,44
persen. Mata uang Asia yang mengalami kenaikan harga tertinggi dalam periode tersebut adalah
yen Jepang dan dolar Singapura, masing-masing sebesar 8,72 persen dan 8,87 persen, sedangkan
dolar Hongkong hanya meningkat sebesar 0,71 persen. Perkembangan harga mata uang asing di
Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.4
Departemen Keuangan RI
252
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.3
HARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA
DI PASAR LONDON, 1984/85 - 1994/95
Jakarta
London
Rp/gram)
ounce)
Periode
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Departemen Keuangan RI
11.557
11.762
17.080
24.230
23.392
22.408
22.912
22.582
22.345
22.545
22.380
22.135
24.000
24.170
25.125
25.605
25.819
25.500
25.945
26.038
25.665
25.990
26.131
25.800
339.22
331.40
382.35
458.53
417.44
381.95
373.45
356.70
343.35
348.50
333.50
337.85
379.85
355.20
390.70
386.35
376.15
387.50
387.95
383.10
386.15
394.25
384.45
382.95
253
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.4
DARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MATA UANG ASING DI JAKARTA, 1984/85 -1994/95
( harga jual dalam rupiah per satuan )
US $
¥
£
HK $
Sin $
DM
CHF
NLG
Periode
-1
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
-2
1.053,74
1.124,33
1.410,81
1.653,98
1.712,32
1.792,93
1.875,57
1.978,87
2.037,60
2.046,20
2.064,60
2.079,75
2.094,60
2.112,50
2.117,-2.161,40
2.170,-2.173,-2.169,-2.181,-2.178,-2.186,-2.186,-2.186,--
-3
4,37
5,21
8,96
12,04
13,37
12,56
13,39
14,87
16,07
16,69
16,66
17,77
19,53
20,06
19,29
20,53
20,93
20,67
21,18
22,11
21,8
22,07
22,19
22,32
-4
1.341.92
1.572,31
2.125,98
2.828,42
3.027,75
2.899,01
3.469,37
3.443,08
3.785,-3.792,20
3.197,80
3.052,-3.171,80
3.232,50
3.169,-3.213,-3.215,-3.266,-3.325,-3.388,-3.377,-3.424,-3.509,-3.502,--
-5
137,72
147,8
185,66
215,83
222,05
232,03
243,64
256,85
265,6
266,4
269,-270,75
272,2
274,8
275,4
283,-283,-284,-285,-285,-284,-285,-286,-285,--
-6
488,35
519,5
653,05
800,69
862,58
928,72
1.059,17
1.163,95
1.255,-1.279,60
1.265,40
1.265,25
1.296,60
1.321,20
1.325,-1.366,80
1.388,-1.403,-1.423,-1.441,-1.448,-1.466,-1.479,-1.488,--
-7
356,09
422,03
707,53
946,41
953,88
976,62
1.192,44
1.181,45
1.297,20
1.412,20
1.306,80
1.261,50
1.270,40
1.299,30
1.238,-1.270,70
1.310,75
1.306,-1.334,-1.391,-1.389,-1.405,-1.435,-1.423,--
-8
426,08
504,43
852,49
1.148,21
1.135,49
1.112,75
1.405,18
1.352,33
1.433,80
1.605,60
1.460,80
1.364,-1.427,40
1.487,60
1.445,-1.507,20
1.504,50
1.532,-1.581,-1.647,-1.650,-1.686,-1.727,-1.695,--
-9
315,18
372,25
623,39
839,21
845,04
865,37
1.058,08
1.054,82
1.151,80
1.254,40
1.161,20
1.121,75
1.134,40
1.157,-1.104,-1.130,40
1.136,-1.166,-1.190,-1.240,-1.238,-1.253,-1.282,-1.271,--
3.2.4. Harga barang-barang ekspor nonmigas
Memasuki tahun pertama Repelita VI, perkembangan harga komoditi ekspor primer hasil
pertanian mulai membaik dibandingkan dengan perkembangannya dalam dua tahun sebelumnya.
Di samping karena menguatnya permintaan pasar sebagai akibat meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dunia, hal tersebut juga disebabkan oleh terjadinya penurunan pasok di pasar sebagai
akibat adanya perbaikan pengaturan tata niaga tingkat dunia melalui perjanjian komoditi, adanya
rasionalisasi jumlah produksi oleh negara-negara pemasok, serta terjadinya bencana alam yang
mengganggu produksi.
Selama tahun anggaran 1994/95 (April-Oktober 1994) harga beberapa komoditi primer,
Departemen Keuangan RI
254
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
khususnya komoditi hasil pertanian seperti kopi robusta, karet, kopra, dan minyak sawit
mengalami peningkatan di pasar dunia. Kopi robusta di pasar New York dalam periode tersebut
meningkat cukup tinggi, yaitu sebesar 180,69 persen, yaitu dari US$ ct 61,46/lb dalam bulan
Maret 1994 menjadi US$ ct 172,51/lb dalam bulan Oktober 1994. Kenaikan harga kopi tersebut
disebabkan oleh menurunnya pasok kopi dunia sebagai akibat penurunan produksi di beberapa
negara penghasil utarna kopi, seperti Brazil dan Meksiko. Di samping itu diberlakukannya skema
retensi kopi sejak Oktober 1993 juga mempunyai pengaruh dalam peningkatan harga kopi di
pasaran. Komoditi lain yang juga mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi dalam periode
April-Oktober 1994 adalah minyak sawit. Komoditi ini mencatat kenaikan harga sekitar 60,05
persen di pasar London, yaitu dari £ 396,76/lt dalam bulan Maret 1994 menjadi £ 635/lt dalam
bulan Oktober 1994. Sementara itu, harga karet jenis RSS III di pasar New Yark, London, dan
Singapura, dalam 7 bulan terakhir memperlihatkan perkembangan yang meningkat. Dalam
periode April-Oktober 1994, komoditi tersebut mengalami kenaikan harga di masing-masing
pasar sebesar 52,14 persen, 33,38 persen, dan 39,85 persen. Sementara itu harga rata-rata
komoditi kopra di pasar London, walaupun menunjukkan kecenderungan fluktuatif dalam 2 bulan
terakhir ini, selama April-Oktober 1994 relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan harga
rata-rata tahun sebelumnya. Kecenderungan harga yang berfluktuasi juga terjadi pada komoditi
timah putih di pasar London. Setelah mencatat harga tertinggi dalam bulan Juni 1994, dalam
bulan-bulan berikutnya harga timah putih sedikit melemah. Baru dalam bulan September dan
Oktober 1994 komoditi ini kembali mengalami kenaikan harga rata-rata 2,96 persen per bulan.
Sejalan dengan perkembangan harga di pasar internasional, harga komoditi sejenis di
pasar dalam negeri juga memperlihatkan perkembangan yang meningkat. Kenaikan harga yang
cukup menonjol terjadi pada komoditi kopi robusta, yang dalam periode April-Oktober 1994
mencatat kenaikan harga sebesar 87,34 persen. Komediti lain yang juga mengalami kenaikan
harga cukup besar adalah karet jenis RSS I. Dalam periode yang sama harga komoditi ini telah
meningkat sebesar 59,93 persen, disusul kemudian oleh komoditi kopra, yang mencatat kenaikan
harga sebesar 14,64 persen. Sementara itu harga lada putih dalam lima bulan terakhir
memperlihatkan peningkatan, dengan persentase kenaikan rata-rata 3,25 persen per bulan.
Sedangkan dalam periode April-Oktober 1994 harga komoditi ini mengalami kenaikan sebesar
12,35 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer di pasar internasional maupun
di pasar dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.5, Tabel III.6,
Departemen Keuangan RI
255
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.5
HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI PASAR JAKARTA
1984/85 - 1994/95
( dalam ribu rupiah per ton)
Periode
-1
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Departemen Keuangan RI
Karet
RSS I
Kopra
(Sulawesi)
-2
-3
807,7
762,8
1.115,20
1.562,00
1.784,30
1.419,60
1.445,00
1.406,00
1.556,00
1.642,00
1.752,00
1.669,50
1.518,50
1.655,00
1.694,00
1.822,00
1.910,00
1.953,00
2.078,00
2.461,00
2.784,00
2.799,00
2.914,00
471,9
308,9
364,7
452
570,8
486,4
339
753
700
588
578
562
505
473
583
560
568
595
600
599
600
638
642
Lada
putih
-4
2.779,20
4.710,80
6.673,20
7.742,40
5.673,30
3.588,00
2.580,00
2.307,00
1.925,00
2.325,00
2.400,00
3.250,00
3378
3.900,00
4.006,00
5.400,00
5.200,00
5.175,00
5.300,00
5.400,00
5.750,00
5.800,00
6.067,00
Kopi
Robusta
-5
1.320,80
2160,4
2.619,50
2.500,00
2.100,00
1.387,50
1386
1.474,00
1.336,00
1.397,00
1.488,00
1.738,00
1.769,00
2.206,00
2.515,00
2.741,00
2.949,00
4.293,00
5.184,00
4.982,00
5.060,00
5.135,00
5.135,00
256
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.6
HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1984/85 - 1994/95
US $ ct/lb
RSS III
Brp/kg
Str $ ct/kg
US $/lt
Kopra
US $/lt
(New York)
(London)
(Singapura)
(Manila)
(London)
-2
-3
-4
Periode
-1
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
44,46
40,8
42,92
50,12
54,09
46,82
46,-43,06
43,48
41,6
40,77
44,49
45,28
48,-48,58
52,36
61,94
66,43
66,33
68,89
70,21
59,31
58,16
63,43
68,74
58,17
49,9
52,02
62,44
57,19
56,63
57,63
67,71
68,79
70,52
75,75
87,18
87,8
87,77
90,31
174,99
158,01
172,49
206,68
227,58
165,62
144,5
134,99
134,42
127,75
129,12
127,69
145,86
146,85
152,68
157,1
198,81
200,71
193,55
203,99
-5
502,86
296,61
220,64
341,41
396,27
321,96
222,3
--278,-288,75
410,-354,-357,-381,75
405,-399,75
397,75
409,-406,--
-6
658,76
330,23
203,3
322,49
378,85
168,-- 1)
158,33
142,24
140,1
126,19
114,11
142,73
--118,-130,33
130,33
125,7
129,41
130,85
Kopi robusta
US$ct/lb
Lada putih
US $/kg
Lada hitam
US $/kg
eks Palembang
(New York)
(New York)
(New York)
-7
123,94
123,41
120,53
92,25
95,32
61,66
45,94
41,48
37,79
38,02
56,83
55,03
61,46
62,54
95,84
129,89
168,83
163,34
196,78
172,51
-8
253,37
-277,50 2)
264,42
311,96
524,27
1,68
1,5
1,59
1.59
-----------
-9
104,98
182,-240,75 2)
250,12
250,45
455,84
1,82
1,21
1,3
1,3
-----------
Timah putih Minyak sawit
Br £/mt
Br £/lt
(London)
-10
9.525,78
7.487,86
7.395,-4.031,73
4.220,55
7.658,56
5.880,63
5,618,44
5.653,63
5.076,06
4,269,21
4.763,07
5.423,75
5.401,25
5.480,-5.561,67
5.378,75
5.167,50
5.314,23
5.477,65
Plywood
Y/Sheet
Eks Malaysia
(London)
(Tokyo)
-11
-12
641,-445,07
269,5
361,14
428,9
320,38
303,32
404,9
414,69
535,13
351,58
402,47
396,76
421,88
486,25
525,-596,25
545,-630,-635,--
-1.032,-1.096,39
1.300,55
912,22
1.037,50
1.224,38
1.065,-1.160,-1.445,-1.260,-1.250,-1.210,-1.225,-1.225,-1.165,-1.165,-1.165,-1.165,---
1) Sejak bulan Desember 1989 dengan jenis "copra expeller pellets"
2) 1986/87 sampai dengan 1989/90 dalam US$ ct/lb
3.2.5. Indeks umum harga perdagangan besar
Kenaikan indeks umum harga perdagangan besar Indonesia dalam 4 tahun terakhir
cenderung menurun. Setelah sedikit mcningkat dalam tahun 1992, persentase kenaikan indeks
umum harga perdagangan besar dalam tahun 1993 menurun menjadi 3,55 persen, dan dalam
tahun 1994 (sampai dengan bulan September 1994) meningkat sebesar 3,92 persen. Andil
terbesar dalam kenaikan indeks umum harga perdagangan besar dalam tahun 1994 adalah
kenaikan indeks pada sektor pertanian sebesar 15,54 persen serta sektor pertambangan dan
penggalian sebesar 7,34 persen. Sementara itu sektor ekspor mengalami penurunan indeks
sebesar 1,27 persen. Perkembangan indeks umum harga perdagangan besar Indonesia dapat
dilihat dalam Tabel III.7.
3.2.6. Indeks umum harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi
Seperti halnya indeks umum harga perdagangan besar (IHPB), indeks umum harga
perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dalam tahun 1994 (sampai dengan bulan
September 1994) mengalami peningkatan sebesar 4,23 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan
Departemen Keuangan RI
257
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan peningkatannya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Kelima jenis bahan
bangunan/konstruksi yang tercakup dalam perhitungan indeks harga perdagangan besar bahan
bangunan/konstruksi, yaitu bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal,
pekerjaan umum untuk pertanian, pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan,
bangunan dan instatasi listrik, serta bangunan lainnya mengalami peningkatan indeks harga
antara 2,80 persen sampai dengan 4,04 persen. Perkembangan indeks harga perdagangan besar
bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel III.8.
Tahun
-1
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1)
1994
1)
Tabel III.7
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR, 1984 - 1994
( 1983 = 100)
Pertambangan
Indeks
dan Penggalian
umum
Ekspor
Pertanian
Industri
Impor
-2
-3
-4
-5
-6
-7
113
109
108
113
112
111
118
117
115
119
113
116
128
125
124
129
85
116
145
132
143
158
118
142
163
143
156
164
118
149
177
156
166
178
131
162
191
169
176
191
159
178
206
188
194
201
153
187
225
201
206
208
159
197
251
218
218
212
157
204
290
234
228
214
155
212
Perubahan
indeks umum
(%)
-8
+ 11,46
+
4,5
+
0
+ 22,41
+ 4,93
+ 8,72
+ 9,88
+ 5,06
+ 5,35
+ 3,55
+ 3,92
Sampai dengan bulan September
Tabel III.8
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNAN/KONSTRUKSI MENURUT JENIS BANGUNAN, 1984 - 1994
(1983 = 100)
Tahun
-1
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994 1)
1)
Bangunan tem-pat
Pekerjaan umum Bangunan dan instalasi
untuk jalan,
listrik, jembatan dan
tinggal dan
gas, air minum, dan Bangunan
bangunan bukan Pekerjaan umum jembatan dan
komunikasi
lainnya
tempat tinggal untuk pertanian
pelabuhan
-2
-3
-4
-5
-6
113
109
108
113
112
118
117
115
119
113
128
125
124
129
85
145
132
143
158
118
163
143
156
164
118
177
156
166
178
131
191
169
176
191
159
206
188
194
201
153
225
201
206
208
159
251
218
218
212
157
290
234
228
214
155
Indeks
umum
Perubahan
indeks umum
(%)
-7
III
116
116
142
149
162
178
187
197
204
212
-8
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
11,46
4,5
0
22,41
4,93
8,72
9,88
5,06
5,35
3,55
3,92
Sampai dengan bulan September
Departemen Keuangan RI
258
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja,
perkembangan gaji dan upah maksimum dan minimum di beberapa sektor dalam tahun 1994
(sampai dengan bulan Juni 1994) mengalami kenaikan dibandingkan dengan tingkat gaji dan
upah dalam tahun 1993. Dari pengamatan secara sektoral, gaji dan upah maksimum di sektor
perhubungan dan sektor perdagangan mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan sektor
lainnya, masing-masing sebesar 47,08 persen dan 20,72 persen. Sementara itu kenaikan gaji dan
upah minimum terjadi di sektor perkebunan, sektor listrik, sektor perdagangan, dan sektor
perhubungan dengan persentase kenaikan berkisar antara 3,36 persen sampai dengan 102,53
persen. Sektor yang mencatat kenaikan upah minimum tertinggi adalah sektor perhubungan
sedangkan kenaikan terendah terjadi di sektor perdagangan. Perkembangan gaji dan upah
maksimum dan minimum di berbagai sektor dapat dilihat dalam Tabel III.9.
Tabel III.9
Sektor
-1
(Rata-rata upah minimum)
1. Perkebunan
2. Pertambangan
3. Industri
4. Bangunan
5. Listrik
6. Perdagangan
7. Perhubungan
8. Jasa-jasa
9. Lain-lain/pegawai negeri
(Rata-rata upah maksimum)
1. Perkebunan
2. Pcrtambangan
3. Industri
4. Bangunan
5. Listrik
6. Pcrdagangan
7. Pcrhubungan
8. Jasa-jasa
9. Lain-lain/pegawai negeri
1)
UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1986 - 1994
( rupiah per bulan )
1986
1987
1988
1989
1996
1991
1992
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
1993
1994 1)
-9
-10
43.816
102.999
92.072
18.837
80.608
136.121
110.756
71.597
55.500
46.362
145.973
98.627
96.356
80.608
159.142
115.509
71.597
55.500
50.266
146.081
115.701
96.236
80.608
209.313
115.509
102.146
55.500
67.538
185.187
130.263
119.892
94.998
212.896
117.678
112.000
55.500
100.590
218.241
171.957
221.240
105.751
227.611
133.671
157.585
69.200
134.740
321.750
186.069
176.338
130.990
250.343
168.800
223.252
69.200
149.699
368.870
187.800
254.366
150.182
305.080
223.145
234.683
69.200
169.812
413.807
195.527
289.882
155.240
315.535
230.460
234.683
79.700
240.439
413.807
195.527
289.882
172.865
326.146
466.757
234.683
79.700
489.919
988.727
1.181.116
703.621
551.809
999.892
732.898
576.436
368.880
513.054
1.084.653
1.359.182
1.144.860
551.809
1.193.838
923.062
576.436
368.880
590.384
1.593.079
1.856.189
1.188.131
551.809
1.193.838
923.062
680.100
369.800
758.043
1.979.561
1.856.189
1.188.131
683.794
1.442.426
1.047.077
1.121.810
369.880
1.050.965
2.269.215
1.997.947
1.879.124
821.069
1.967.498
1.172.333
1.775.659
461.900
1.563.064
3.869.560
2.244.380
2.147.802
1.054.296
2.509.900
2.179.183
2.188.040
461.900
1.814.862
3.950.119
2.704.974
2.263.366
1.308.292
3.313.904
2.804.609
2.270.505
461.900
1.835.324
4.495.389
2.920.324
2.656.364
2.643.471
3.732.806
2.930.816
2.509.258
559.700
1.835.324
4.495.389
2.920.324
2.656.364
2.744.415
4.506.183
4.310.603
2.509.258
559.700
Sampai dengan bulan Juni
3.4. Perkembangan uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Memasuki tahun anggaran 1994/95, situasi moneter menunjukkan perkembangan yang
cukup stabil. Hal ini tercapai sebagai hasil pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang
berhati-hati dalam beberapa tahun terakhir. Pengendalian moneter yang lebih berhati-hati dimulai
Departemen Keuangan RI
259
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sejak tahun 1990/91 sehingga dapat lebih terkendalinya pertumbuhan uang beredar (M1) maupun
likuiditas perekonomian (M2). Uang beredar dan likuiditas perekonomian dalam tahun anggaran
1990/91 meningkat masing-masing sebesar 6,4 persen dan 26 persen, lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana uang beredar meningkat sebesar 47,6 persen
dan likuiditas perekonomian meningkat sebesar 45,7 persen. Dalam tahun 1991/92 pertumbuhan
uang beredar dan likuiditas perekonomian kembali mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 15,9 persen dan 24,2 persen. Selanjutnya dalam tahun 1992/93, laju pertumbuhan uang
beredar meningkat sebesar 12 persen dan likuiditas perekonomian meningkat sebesar 22,2 persen.
Dalam tahun anggaran 1993/94 aktivitas ekonomi kembali meningkat dan bersamaan dengan itu
laju pertumbuhan uang beredar meningkat pula menjadi sebesar 25,7 persen dan likuiditas
perekonomian meningkat dengan 21,2 persen.
Sampai dengan akhir Oktober tahun anggaran 1994/95 likuiditas perekonomian mencapai
sebesar Rp 165.275 miliar, yang meliputi uang beredar (Ml) sebesar Rp 43.985 miliar (27 persen)
dan uang kuasi sebesar Rp 121.290 miliar (73 persen). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tahun
anggaran 1994/95 sampai dengan akhir Oktober 1994 likuiditas perekonomian mengalami
peningkatan sebesar Rp 15.964 miliar (10,7 persen), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
kenaikan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang meningkat sebesar Rp 15.522 miliar
(12,6 persen).
Uang beredar sampai dengan akhir Oktober 1994 mencapai sebesar Rp 43.985 miliar,
yang meliputi uang kartal sebesar Rp 17.419 miliar (40 persen) dan uang giral sebesar Rp 26.566
miliar (60 persen). Bila dibandingkan dengan jumlah uang beredar pada akhir Maret 1994 sebesar
Rp 38.452 miliar, maka dalam periode April-Oktober 1994 kenaikan jumlah uang beredar
mencapai sejumlah Rp 5.533 miliar (14,4 persen). Kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan
uang giral sebesar 16,5 persen dan uang kartal sebesar 11,3 persen. Dalam periode yang sama
tahun sebelumnya uang beredar menunjukkan kenaikan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar Rp
5.022 miliar (16,4 persen). Dalam tahun anggaran 1994/95 sampai dengan bulan Oktober,
kenaikan jumlah uang beredar terutama berasal dari pengaruh ekspansi moneter khususnya dari
tagihan pada perusahaan dan perorangan sebesar Rp 24.651 miliar, sedangkan pengaruh kontraksi
datang dari sektor aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 2.079 miliar, sektor pemerintah sebesar Rp
1.882 miliar, sektor simpanan berjangka dan tabungan sebesar Rp 10.431 miliar, dan sektor
lainnya sebesar Rp 4.726 miliar. Kenaikan jumlah uang beredar dari sektor tagihan kepada
Departemen Keuangan RI
260
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perusahaan swasta berkaitan dengan peningkatan kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan
kepada perusahaan-perusahaan swasta. Perkembangan jumlah uang beredar, likuiditas
perekonomian, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat dalam Tabel III.10, Tabel
III.11, Tabel III.12
Pada akhir
tahun/bulan
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
1)
-1
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober 1)
Okt.)
Tabel III.10
JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/85 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Uang kartal
Uang giral
Jumlah uang beredar
Perubahan
tahunan
Posisi
%
Posisi
%
Posisi
-2
-3
-4
-5
-6
-7
3.785
42,1
5.203
57,9
8.988
11,6
5.044
48,2
5.431
51,8
10.475
16,5
5.673
49,3
5.827
50,7
11.500
9,8
5.873
46,5
6.753
53,5
12.626
9,8
6.559
43,7
8.450
56,3
15.009
18,9
7.780
35,1
14.375
64,9
22.155
47,6
9.026
38,3
14.544
61,7
23.570
6,4
11.025
40,4
16.293
59,6
27.318
15,9
9.944
37
16.900
63
26.844
10.440
37,8
17.186
62,2
27.626
11.478
39,9
17.301
60,1
28.779
12.325
40,3
18.268
59,7
30.593
12
12.386
39,2
19.177
60,8
31.563
13.106
37,4
21.935
62,6
35.041
14.431
39
22.605
61
37.036
15.652
40,7
22.800
59,3
38.452
25,7
15.195
9,4
23.352
60,6
38.547
15.252
39,2
23.681
60,8
38.933
15.825
39,5
24.281
60,5
40.106
16.435
40,8
23.830
59,2
40.265
16.833
40,5
24.762
59,5
41.595
17.555
41,4
24.853
58,6
42.408
17.419
39,6
26.566
60,4
43.985
-14,4
-
Angka sementara
Departemen Keuangan RI
261
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.11
LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1984/85 - 1994/95
( dalam miliar rupiah )
Uang kuasi 2)
Uang beredar 1)
Likuiditas perekonomian 3)
Perubahan
% tahunan
Posisi
%
Posisi
%
Posisi
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
1984/85
Maret
8.988
46,2
10.459
53,8
19.447
23,4
1985/86
Maret
10.475
43,3
13.693
56,7
24.168
24,3
1986/87
Maret
11.500
40,4
16.991
59,6
28.491
17,9
1987/88
Maret
12.626
35,4
23.034
64,6
35.660
25,2
1988/89
Maret
15.009
34
29.158
66
44.167
23,9
1989/90
Maret
22.155
34,4
42.212
65,6
64.367
45,7
1990/91
Maret
23.570
29,1
57.554
70,9
81.124
26
1991/92
Maret
27.318
27,1
73.478
72,9
100.796
24,2
1992/93
Juni
26.844
25,1
80.077
74,9
106.921
September
27.626
24,3
85.861
75,7
113.487
Desember
28.779
24,2
90.274
75,8
119.053
Maret
30.593
24,8
92.569
75,2
123.162
22,2
1993/94
Juni
31.563
25,2
93.467
74,8
125.030
September
35.041
25,6
101.674
74,4
136.715
Desember
37.036
25,4
108.563
74,6
145.599
Maret
38.452
25,8
110.859
74,2
149.311
21,2
1994/95
April
38.547
25,7
111.538
74,3
150.085
Mei
38.933
25,8
111.927
74,2
150.860
Juni
40.106
26,2
112.705
73,8
152.811
Juli
40.265
26
114.588
74
154.853
Agustus
41.595
26,2
117.206
73,8
158.801
September
42.048
26,1
120.366
73,9
162.774
43.985
26,6
121.290
73,4
165.275
Oktober 4)
(Apr. - Okt.)
-10,7
1)
Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol M1.
2)
Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik.
3)
Merupakan uang beredar dalam arti luas, yang biasa dinyatakan dengan simbol M2, terdiri atas uang beredar dalam arti
sempit dan uang kuasi.
4)
Angka sementara
Pada akhir
Tahun/bulan
Tabel III.12
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/85 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)
Sektor
-1
I. Aktiva luar negeri bersih
II. Pemerintah
1. Tagihan kepada lembaga/perusahaan pemerintah
2. Tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan
IV. Uang kuasi 1)
V. Lainnya
Jumlah uang beredar
(Uang kartal)
(Uang giral)
Departemen Keuangan RI
1984/85
-2
2.809
-2.878
3.465
138
3.327
-2.755
292
933
-231
-702
1985/86
-3
1.014
1.199
3.835
178
3.657
-3.234
-1.327
1.487
-1.259
-228
1986/87
-4
2.372
-1.502
5.568
641
4.927
-3.298
-2.115
1.025
-629
-396
1987/88
-5
2.355
1.824
8.200
533
7.667
-6.043
-5.210
1.126
-200
-926
1988/89
-6
-197
-102
11.932
1.215
10.717
-6.124
-3.126
2.383
-686
-1.697
1989190
-7
-736
-62
29.665
1.108
28.557
-13.053
-8.668
7.146
-1.221
-5.925
1990/91
-8
2.277
-4.819
29.745
-1.504
31.249
-15.342
-10.446
1.415
-1.246
-169
1991/92
-9
3.462
-2.407
21.159
1.512
19.647
-15.924
-2.542
3.748
-1.999
-1.749
1992/93
-10
9.715
-62
13.261
53
13.208
-19.091
-548
3.275
-1.300
-1.975
1993/94
-11
-2.177
-1.568
35.489
613
34.876
-18.290
-5.595
7.859
-3.327
-4.532
1994/95
-12
2)
-2.079
-1.882
24.651
1.173
23.478
-10.431
-4.726
5.533
-1.767
-3.766
262
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.5. Perkiraan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2) dan kredit
perbankan pada akhir tahun anggaran 1995/96.
Untuk mendorong kegiatan perekonomian dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan,
Pemerintah masih akan melanjutkan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, untuk
tetap menjaga kestabilan harga, nilai tukar rupiah, serta keseimbangan neraca pembayaran.
Kebijaksanaan tersebut perlu didukung oleh piranti-piranti moneter, terutama dalam mengatur
jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), suku bunga, dan kredit perbankan.
Dengan melihat hasil dari berbagai paket kebijaksanaan moneter yang telah diambil Pemerintah,
serta memperhatikan pula perkiraan laju inflasi dalam tahun anggaran 1995/96, perkembangan
neraca pembayaran, dan pelaksanaan APBN dalam tahun anggaran 1994/95, maka jumlah uang
beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan dalam tahun anggaran
1995/96 diperkirakan akan meningkat masing-masing sebesar Rp 8.862 miliar (19 persen), Rp
36.079 miliar (20 persen), dan Rp 35.792 miliar (19 persen). Dengan demikian pada akhir Maret
1996 jumlah uang beredar (M1) diperkirakan mencapai Rp 55.504 miliar, likuiditas
perekonomian (M2) mencapai Rp 216.473 miliar, dan kredit perbankan mencapai sebesar Rp
224.170 miliar.
3.6. Pasar Uang dan suku bunga
Sejalan
dengan
perkembangan
dunia
usaha,
Pemerintah
terus
mengupayakan
pengembangan pasar uang, salah satu dari padanya adalah melalui penyempurnaan sistem
pelelangan SBI dan kelembagaan di pasar uang dalam rangka mengembangkan aktivitas pasar
uang dalam pemberian jasa atas transaksi rupiah dan valuta asing di masa mendatang.
Pada sistem pelelangan SRI, sejak Juni 1993 Bank Indonesia telah mengubah sistem
pelelangan SBI dalam operasi pasar terbuka dari yang semula menganut sistem cut of rate (COR)
menjadi sistem stop out rate (SOR). Melalui sistem SOR tersebut otoritas moneter menetapkan
besarnya sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditawarkan pada setiap lelang, sedangkan
tingginya suku bunga SBI ditentukan oleh mekanisme transaksi di pasar uang. Melalui sistem
tersebut, otoritas moneter diharapkan lebih mampu mengendalikan dana cadangan (reserves)
bank-bank untuk memonitor bank-bank dalam penyaluran kredit dan penetapan suku bunga.
Selanjutnya, di bidang kelembagaan telah danirikan PT Pemeringkat Efek Indonesia
Departemen Keuangan RI
263
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
(Pefindo) sebagai lembaga rating yang independen. Lembaga tersebut memiliki wewenang untuk
memberikan peringkat bagi sertifikat/surat hutang yang diperdagangkan di pasar modal. Dengan
diberikannya peringkat kepada sertifikat/surat hutang yang diterbitkan, kualitas sertifikat/surat
hutang tersebut akan dapat diketahui sehingga pilihan yang tersedia di pasar sekunder akan
menjadi lebih beragam, tidak terbatas pada SBI saja. Di samping itu, lembaga rating tersebut
merupakan sarana yang efektif bagi otoritas moneter dalam memantau perdagangan SBPU di
antara bank-bank. Dengan lebih beragam dan meningkatnya kualitas sertifikat/surat hutang akan
lebih memperkokoh struktur keuangan.
Selanjutnya dalam upaya mendorong perkembangan pasar valuta asing antar bank serta
mengurangi ketergantungan kebutuhan devisa perbankan pada Bank Indonesia, dalam tahun 1993
Bank Indonesia melakukan penyempurnaan penentuan nilai tukar rupiah dengan melebarkan
perbedaan kurs beli dan kurs jual rupiah terhadap dolar untuk transaksi spot dengan Bank
Indonesia, dari sekitar 0,5 persen menjadi sekitar 1 persen. Selain itu, spread kurs beli dan kurs
jual uang kertas asing (UKA) rupiah terhadap dolar diperlebar, dari Rp 2,00 menjadi Rp 3,00
masing-masing di atas kurs jual dan di bawah kurs beli devisa Bank Indonesia. Sementara itu,
penyempurnaan mekanisme transaksi valuta asing dilakukan dengan memperpendek waktu
transaksi bank-bank dengan Bank Indonesia.
3.6.1. Pinjaman antar bank
Nilai transaksi di pasar Uang antar bank di Jakarta selama tahun 1994 mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Dalam periode Januari-November 1994, nilai transaksi di pasar
uang antar bank di Jakarta mencapai Rp 100.949 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai transaksi dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp
80.774 miliar, akan terjadi kenaikan sebesar Rp 20.175 miliar (24,98 persen). Peningkatan
volume transaksi dana antar bank tersebut antara lain berkaitan dengan berkurangnya likuiditas
bank-bank sehubungan dengan terjadinya arus balik dana jangka pendek ke luar negeri. Dalam
pada itu, suku bunga rata-rata tertimbang pinjaman antar bank dalam periode yang sama telah
menunjukkan kenaikan dari 7,01 persen menjadi 11,48 persen. Perkembangan nilai transaksi dan
tingkat bunga di pasar uang antar bank dapat dilihat dalam Tabel III.13.
Departemen Keuangan RI
264
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel 111.13
NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG
ANTARBANK DI JAKARTA, 1984 -1994
Nilai transaksi
Suku
(miliar rupiah )
rata-rata
Mas a
( persen
(I)
-2
-3
1984
8.055
9,95
1985
8.055
9,95
1986
8.022
13,79
1987
9.323
14,5
1988
12.491
14,93
1989
22.906
12,4
1990
38.905
14,93
1991
48.420
15,32
1992
57.806
12,32
1993
90.105
8,72
1994
Januari - Maret
25.615
7,39
April- Juni
27.535
9,31
Juli - September
27.579
10,75
Oktober
10.300
11,5
November
9.920
11,48
3.6.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Dalam periode Januari-November 1994 penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
mencapai jumlah sebesar Rp 80.098 miliar, atau menurun sebesar 37,02 persen bila dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 1993 yang mencapai Rp 127.184 miliar. Rendahnya penerbitan
SBI dalam tahun 1994 dibandingkan tahun sebelumnya, disebabkan tingginya penerbitan SBI
dalam triwulan ke III dan ke IV tahun 1993, sebagai upaya untuk mengurangi tekanan inflatoir
dari arus masuk dana luar negeri. Dengan memperhitungkan pelunasan SBI yang telah jatuh
tempo, maka posisi SBI pada akhir November 1994 berjumlah sebesar Rp 14.251 miliar, akan
menurun sebesar 36,23 persen dibandingkan dengan posisinya pada akhir November 1993
sebesar Rp 22.349 miliar.
3.6.3. Surat berharga pasar uang (SBPU)
Sebagai salah satu piranti moneter, Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) berfungsi menjaga
likuiditas perbankan agar sesuai dengan perkembangan moneter. Di samping itu SBPU berfungsi
pula sebagai sarana dalam mengatur jumlah uang beredar. Dalam periode Januari-November
1994, Bank Sentral telah melakukan pembelian SBPU sejumlah Rp 61.061 miliar, yang berarti
Departemen Keuangan RI
265
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mengalami peningkatan sebesar Rp 37.027 miliar akan 154,06 persen dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 1993 sebesar Rp 24.034 miliar. Dengan memperhitungkan besarnya
penebusan SBPU sebesar Rp 60.260 miliar, maka posisi SBPU sampai dengan akhir November
1994 diperkirakan berjumlah sebesar Rp 2.196 miliar.
3.6.4. Sertifikat deposito
Perkembangan dana sertifikat deposito yang berhasil dihimpun oleh bank pemerintah,
bank asing maupun bank swasta nasional dalam periode April-September 1994 mengalami
penurunan sebesar 6,6 persen yaitu dari Rp 784 miliar menjadi Rp 732 miliar. Dalam periode
yang sama tahun anggaran sebelumnya dana sertifikat deposito mengalami kenaikan sebesar 13,6
persen. Menurunnya dana sertifikat deposito dalam tahun anggaran 1994/95 tersebut disebabkan
oleh menurunnya dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank pemerintah, yaitu sebesar
47,3 persen. Sedangkan dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank swasta maupun bank
asing mengalami kenaikan masing-masing sebesar 32,6 persen dan 500 persen. Perkembangan
sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel III.14
Tabel III.14
SERTIFIKA T DEPOSITO, 1984/85 -1994/95
( dalam miliar rupiah)
Bank
Bank Bank-bank
pemerintah
nasional
Akhir periode
asing
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
.
(I)
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
-2
Departemen Keuangan RI
-3
418,4
184,3
86
63,8
61,1
76,8
103,1
243
154
371
456
438
374
500
528
414
408
326
259
225
157
218,0 .
-4
26
57
32,1
39
21,5
18,8
11
11
12
7
5
4
7
8
6
5
5
4
4
9
9
30
Jumlah
-5
0,4
1,4
1,6
118,9
69,3
76,8
320,1
974
747
644
549
401
456
450
463
365
359
377
442
472
440
484
444,8
242,7
119,7
221,7
151,9
172,4
434,2
1.228,00
913
1.022,00
1.010,00
843
837
958,0997
784
772
707
705
706
606
732
266
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.6.5. Suku bunga
Upaya untuk menurunkan suku bunga perbankan dilakukan Pemerintah secara bertahap
melalui pelonggaran kebijalan moneter, sambil tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian.
Hasilnya tercermin dari mulai menurunnya suku bunga deposito dan bunga pinjaman dari sekitar
17,20 persen pada akhir tahun 1992 hingga menjadi sekitar 12,20 persen pada awal tahun 1994.
Namun demikian, sejak awal tahun anggaran 1994/95 terlihat kecenderungan mulai
meningkatnya suku bunga deposito, yang kemudian juga diikuti oleh suku bunga pinjaman. Hal
ini berhubungan erat dengan usaha Pemerintah untuk mengendalikan tingkat inflasi melalui
instrumen moneter serta pengaruh meningkatnya tingkat bunga internasional.
Searah dengan perkembangan tersebut, suku bunga pasar uang antar bank atas dasar ratarata tertimbang telah mengalami kenaikan dari sebesar 7,60 persen dalam bulan Maret 1994
menjadi sebesar 11,48 persen dalam bulan November 1994.
Dalam pada itu, tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga pasar
uang (SBPU), dan suku bunga deposito cenderung meningkat. Namun deposito berjangka 12
bulan maupun kredit modal kerja dan kredit investasi mengalami penurunan. Suku bunga ratarata tertimbang deposito rupiah berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan, dan 24 bulan mengalami
kenaikan, masing-masing dari 11,53 persen, 11,94 persen, dan 15,24 persen pada akhir bulan
Maret 1994, menjadi 13,35 persen, 12,57 persen, dan 15,82 persen pada akhir bulan September
1994. Namun dalam periode yang sama, suku bunga deposito berjangka 12 bulan telah menurun
dari sebesar 13,40 persen menjadi 11,43 persen. Dalam pada itu, suku bunga pinjaman untuk
modal kerja maupun untuk investasi dalam tahun anggaran 1994/95 menurun, masing-masing
dari 17,53 persen dan 15,28 persen dalam bulan Maret 1994 menjadi 16,84 persen dan 14,95
persen pada akhir bulan Oktober 1994. Perkembangan suku bunga di dalam negeri dapat dilihat
dalam Tabel III.15.
Departemen Keuangan RI
267
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.15
SUKU BUNGA, 1988 - 1994
(dalam perseo per tabuo)
Kredit
SBI')
SBPU')
3 bln
1988
Desember
15,3
KMK
Deposito 2)
6 bln
12 bln
-
-
24 bln
Investasi
-
-
-
22,3
19,7
1989
Desember
11,64
-
17,06
17,7
18,58
18,82
21
19,3
1990
Desember
17,87
-
21
19,63
18,53
18,52
23,4
20,18
1991
Desember
18,03
20,19
21,88
22,65
22,76
20,58
25,1
19,28
1992
Desember
13,79
13,98
16,72
17,78
18,93
19,91
22,1
18,44
1993
Maret
12,71
13,33
15,71
16,27
17,73
19,25
21,68
18,19
JuDi
1994
9,6
11,53
15,19
15,48
16,61
18,56
20,62
17,62
September
9,18
11,13
13,76
14,52
15,3
17,32
19,3
16,58
Desember
9,08
12
11,79
13,08
14,2
16,08
17,95
15,95
Januari
9,07
12,36
11,65
12,68
13,87
15,61
17,72
15,65
Februari
8,06
11,77
11,66
12,31
13,61
15,75
17,6
15,4
Maret
8,78
11,76
11,53
11,94
13,4
15,24
17,53
15,28
April
8,32
11,87
11,93
11,82
13,16
15,22
16,94
15,25
Mei
9,43
12,58
11,58
11,79
12,93
14,96
16,79
14,86
JuDi
9,33
13,16
12,07
11,89
12,72
14,46
16,8
14,82
Juti
10,12
12,74
12,51
12,04
12,61
14,83
16,84
14,88
Agustus
10,17
13,28
12,94
12,27
12,51
14,54
16,85
14,79
September
10,36
13,59
13,35
12,57
11,43
15,82
16,86
14,79
Oktober
11,09
14,08
-
-
-
-
16,84
14,95
1) Suku bunga SB! dan SBPU atas dasar rata-rata hitung 2) Deposito dari bank pencipta Uang giral.
3.7. Lembaga keuangan perbankan
3.7.1. Struktur kelembagaan
Sebagai salah satu lembaga keuangan yang melaksanakan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat, industri perbankan memiliki peranan yang strategis untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional serta dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Mengingat begitu pentingnya kedudukan perbankan
dalam struktur perekonomian nasional, maka pembinaan terhadap industri perbankan dilakukan
secara menyeluruh, baik dalam aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sesuai dengan ketentuan
yang tertuang dalam berbagai kebijaksanaan deregulasi yang telah dimulai sejak lebih dari satu
dekade yang lalu, pembinaan perbankan diarahkan pada upaya untuk memperluas jaringan
pelayanan perbankan agar lebih menjangkau ke segenap lapisan masyarakat di seluruh tanah air.
Departemen Keuangan RI
268
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selain itu pembinaan juga diarahkan agar industri perbankan dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dengan tingkat profesionalisme yang tinggi, baik dalam mengemban fungsinya
sebagai lembaga keuangan yang mengelola likuiditas masyarakat maupun dalam melaksanakan
misinya sebagai agen pembangunan.
Reformasi hukum perbankan yang dilakukan melalui disahkannya Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberikan landasan hukum yang kuat bagi industri
perbankan untuk berakomodasi dan berintegrasi dengan berbagai kemajuan pesat yang terjadi
dalam perekonomian nasional dan internasional. Di dalam undang-undang yang baru tersebut
diatur beberapa ketentuan pokok perbankan, antara lain ketentuan tentang jenis dan usaha bank,
ketentuan perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan bank, serta ketentuan pembinaan dan
pengawasan bank. Menurut jenis usahanya, bank dibedakan dalam dua jenis, yakni bank umum
dan bank perkreditan rakyat (BPR). Namun demikian, kepada bank-bank umum juga tetap diberi
kesempatan untuk mengkhususkan diri dalam melaksanakan kegiatan di bidang tertentu atau
memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan bidang tertentu. Demikian juga BPR
diberikan kesempatan untuk meningkatkan diri menjadi bank umum, sejauh BPR tersebut
memenuhi persyaratan untuk itu.
Sejalan dengan makin meluasnya kegiatan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat,
persaingan usaha antar bank dalam merebut akses pasar juga berkembang dengan pesat. Untuk
menghadapi persaingan usaha yang makin ketat tersebut, setiap industri perbankan dituntut
memiliki kinerja usaha yang sehat. Namun demikian Pemerintah juga menyadari bahwa untuk
meningkatkan kinerja perbankan secara keseluruhan, banyak aspek usaha bank yang harus
dibenahi, diantaranya meliputi struktur keuangan, kualitas aktiva produktif, kualitas manajemen,
sumber daya manusia, strategi operasional, dan bahkan menyangkut pula pola pikir masyarakat
yang berkepentingan dengan industri perbankan. Untuk itu secara konsisten Pemerintah terus
berusaha menciptakan iklim yang memungkinkan dunia perbankan untuk meningkatkan
usahanya tetapi sekaligus tetap menjaga kesehatannya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Dikeluarkannya paket kebijaksanaan Mei (Pakmei) 1993, selain dimaksudkan untuk
memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam melakukan ekspansi kredit, juga dimaksudkan
untuk mendorong dunia perbankan agar lebih memperhatikan pelaksanaan prinsip kehati-hatian
dengan cara meningkatkan pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM),
cadangan penghapusan aktiva produktif (CPAP), batas maksimum pemberian kredit (BMPK),
Departemen Keuangan RI
269
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS).
Dalam rangka mendorong industri perbankan untuk mempercepat proses konsolidasi,
Pemerintah telah pula melakukan kebijaksanaan yang bersifat persuasif dan integratif.
Kebijaksanaan itu diantaranya adalah dengan menganjurkan bank-bank yang mempunyai
kelemahan dalam bidang manajemen, sumber daya manusia, permodalan, dan struktur keuangan,
untuk melakukan merger guna membentuk satu bank yang sehat dan tangguh. Disamping itu
untuk menangani adanya kredit bermasalah yang dihadapi oleh beberapa bank, telah dilakukan
pula upaya penyelesaian secara mendasar, antara lain melalui pembentukan tim kredit bermasalah
pada bank-bank, penyempurnaan sarana hukum dan kerjasama yang lebih erat dengan berbagai
instansi terkait, serta dengan lebih menyempurnakan dan mengintensitkan sistem pembinaan dan
pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Melalui kebijaksanaan tersebut
diharapkan dalam waktu-waktu mendatang industri perbankan dapat tumbuh, berkembang, dan
berkompetisi secara sehat berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam meningkatkan pelayanannya
kepada perekonomian nasional.
Berbagai upaya pembinaan perbankan yang dilakukan secara berkesinambungan, telah
membuahkan banyak kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat dari
makin membaiknya tingkat pemenuhan bank-bank terhadap persyaratan bank yang sehat, baik
pemenuhan terhadap KPMM, BMPK, NPTS, maupun terhadap cadangan penghapusan aktiva
produktif. Di samping itu jaringan perbankan yang bertarnbah banyak dan operasi pelayanannya
yang makin meluas juga merupakan indikator-indikator kuantitatif yang menunjukkan bahwa dari
tahun ke tahun industri perbankan terus mengalami perkembangan yang pesat. Secara
keseluruhan, jumlah bank sampai dengan akhir September 1994 telah mencapai 239 buah, yang
terdiri dari 173 buah bank umum, 27 buah bank pembangunan daerah, dan 39 buah bank
asing/campuran. Dengan demikian bila dibandingkan dengan jumlah bank yang ada pada akhir
Maret 1989 sebanyak 111 buah, maka selama periode April 1989 - September 1994 telah terjadi
pertarnbahan bank baru sebanyak 128 buah. Perkembangan jumlah bank tersebut telah diikuti
pula dengan perluasan jaringan kantor cabang, yang meningkat dari 1.864 buah pada akhir Maret
1989 menjadi 6.022 buah pada akhir September 1994. Sementara itu jumlah bank perkreditan
rakyat (BPR), yang terdiri dari BPR gaya lama dan BPR gaya baru, di luar lembaga dana dan
kredit pedesaan (LDKP), dalam periode yang sama telah meningkat dari 5.770 buah menjadi
7.193 buah. Perkembangan jumlah bank dan kantor bank dapat dilihat pada Tabel III.16.
Departemen Keuangan RI
270
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tab e I 111.16
JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DlINDONESIA, 1988/89 - 1994/95
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
BANK-BANK UMUM
Bank umum pemerintah
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Bank umum swasta nasional
- Jumlah bank
- Jumlah'kantor
Bank pembangunan daerah
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Bank asing/campuran
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Jumlah bank umum
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
BANK PERKREDITAN RAKYAT
Jumlah bank seluruhnya
Jumlah kantor seluruhnya
19?3/94
1994/95 I)
7
860
7
940
7
1.030
7
1.045
7
1.066
7
1.088
7
1.478
66
714
94
1.536
114
2.256
133
2.775
147
2.881
163
3.093
166
3.750
27
269
27
326
27
376
27
412
27
426
27
429
27
645
11
21
23
40
28
48
29
54
39
75
39
78
39
149
111
1.864
5.770
5.881
7.634
151
2.842
5.884
6.035
8.726
176
3.710
6.193
6.369
9.903
196
4.286
6.703
6.899
10.989
220
4.448
6.889
7.109
11.337
236
4.688
7.095
7.331
11.783
239
6.022
7.193
7.432
13.215
I) Sampai dengan bulan September 1994.
2) Tidak termasuk LDKP yang shalusnya belum berubah menjadi BPR.
3.7.2. Pengerahan dana
Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara diamanatkan bahwa untuk memantapkan
kemandirian bangsa, dalam Repelita VI bangsa Indonesia harus bisa tumbuh dan berkembang
dengan sebesar-besarnya memanfaatkan kekuatan sendiri. Ini berarti pembiayaan pembangunan
harus lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber dana yang berasal dari dalam negeri. Sejalan
dengan arahan GBHN tersebut, kegiatan memobilisasi dana dari masyarakat bagi pembiayaan
pembangunan terus dilakukan, baik melalui lembaga perbankan maupun lembaga keuangan
bukan bank. Untuk meningkatkan peranan dunia perbankan dalam memobilisasi sumber dana
dalam masyarakat, Pemerintah telah melakukan berbagai kebijaksanaan, baik yang bersifat mikro
maupun makro. Implementasi kebijaksanaan mikro yang dilakukan melalui beberapa paket
deregulasi, dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang baik bagi dunia perbankan agar dapat
memperluas jaringan operasional, menjalankan manajemen secara baik, serta meningkatkan
sistem pelayanan termasuk meningkatkan kreativitas dalam menciptakan berbagai produk jasa
pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan kebijaksanaan makro yang dilakukan melalui
pengendalian stabilitas ekonomi dimaksudkan agar besaran-besaran moneter, seperti jumlah uang
beredar, laju inflasi, dan suku bunga, tetap berada pada tingkat yang wajar, sehingga
memungkinkan bagi dunia perbankan untuk menghimpun dana yang sebesar-besarnya dengan
Departemen Keuangan RI
271
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tetap memberikan keuntungan menarik bagi masyarakat pemilik dana.
Tabe III.17
DANA PERBANKAN MENURUT JENISNY A, 1984/85 - 1994/95
( dalam miliar rupiah)
Akhir periode
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember'
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Giro
7.187,70
7.040,70
7.561,80
8.480,60
10.543,10
15.978,10
17.949,00
21.428,10
22.874,60
23.692,70
23.762,10
25.076,80
27.983,50
32.405,80
32.321,80
31.774,60
32.698,00
33.733,70
34.392,60
34.252,90
35.695,40
36.101,70
38.334,80
Deposito I) Tabungan Jumlah
8.726,00
774,1 16.687,80
12.590,40
1.211,80 20.842,90
14.911,80
1.586,40 24.060,00
20.654,30
1.835,00 30.969,90
26.474,40
2.485,30 39.502,80
36.350,40
6.863,60 59.192,10
49.839,60
9.722,20 77.510,80
56.812,30 17.471,00 95.711,40
60.232,50 19.684,30 102.791,40
63.626,80 22.104,60 109.424,10
65.619,20 25.468,50 114.849,80
64.216,00 28.343,20 117.636,00
66.071,30 29.174,50 123.229,30
71.297,80 32.124,80 135.828,40
74.018,60 35.605,50 141.945,90
74.385,60 37.609,90 143.770,10
74.940,80 37.177,20 144.816,00
75.167,70 37.217,30 146.118,70
75.892,90 37.240,70 147.526,20
78.231,60 37.402,00 149.886,50
79.085,40 37.814,40 153.595,20
82.686,10 38.298,40 157.086,20
83.043,80 38.796,10 160./74,7
1) Termasuk settifikat deposito.
Departemen Keuangan RI
272
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.18
DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANK, 1984/85 - 1994/95
( dalam miliar rupiah)
Bank
Bank
Bank
Bank
nan
Jumlah
swasta
Akhir periode
daerah
nasional 1)
pemerintah
asing
(I)
-2
-4
-5
-6
-3
1984/85
Maret
10.854,00
668,5
1.932,70
16.687,80
3.232,60
1985/86
Maret
13.303,20
760,4
2.033,50
20.842,90
4.745,80
1986/87
Maret
15.225,40
748,3
2.187,70
24.060,00
5.89&,6
1987/88
Maret
18.815,30
938,3
2.390,20
30.969,90
8.826,10
1988/89
Maret
23.858,50
1.184,30
2.628,40
39.502,80
11.831,60
1989/90
Maret
30.372,70
1.740,80
3.935,50
59.192,10
23.143,10
1990/91
Maret
34.058,80
2.522,40
6.094,40
77.510,80
34.835,20
1991/92
Maret
42.448,40
2.899,10
7.160,60
95.711,40
43.203,30
1992/93
Juni
46.029,60
3.170,40
7.768,00
102.791,40
45.823,40
September
49.598,50
3.380,20
7.644,90
109.424,10
48.800,50
Desember
52.600,10
3.697,00
7.474,10
114.849,80
51.078,60
Maret
54.259,50
3.544,20
7.727,80
117.636,00
52.104,50
55.098,90
4.013,00
7.249,80
123.229,30
1993/94 Juni
56.867,60
September
62.852,70
4.370,40
7.398,30
135.828,40
61.207,00
Desember
61.682,90
4.773,50
8.094,50
141.945,90
67.395,00
Maret
59.355,70
4.613,60
8.213,2.
143.770,10
71.587,60
1994/95
April
60.237,80
71.622,30
4.597,10
8.358,80
144.816,00
Mei
60.903,30
71.825,60
4.879,70
8.509,50
14,6.118,1
Juni
60.604,40
73.466,80
4.979,70
8.475,30
147.526,20
75.215,50
Juli
60.767,60
5.156,00
8.747,40
149.886,50
78.032,20
Agustus
61.324,40
5.282,30
8.956,30
153.595,20
80.386,50
September
62.106,60
5.389,40
9.203,70
157.086,20
Oktober
62.415,40
5.655,40
9.436,80
160.174,70
82.667,10
I) Terdiri dari bank swasta nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank
Melalui upaya-upaya tersebut, penghimpunan dana yang dilakukan oleh dunia perbankan
dari waktu ke waktu terus menunjukkan peningkatan. Secara keseluruhan dana masyarakat yang
berhasil dihimpun oleh perbankan dalam bentuk giro, deposito berjangka, dan tabungan, hingga
akhir Oktober 1994 telah mencapai Rp 160.174,7 miliar. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan posisinya sebesar Rp 59.192,1 miliar pada awal tahun anggaran 1990/91, berarti dalam
lima tahun anggaran terakhir (sampai akhir Oktober 1994), rata-rata setiap tahun terjadi kenaikan
dana perbankan sebesar Rp 22.440,5 miliar (24,8 persen). Sedangkan bila dibandingkan dengan
posisinya sebesar Rp 143.770,1 miliar pada akhir tahun anggaran 1993/94, maka selama 7 bulan
pertama tahun anggaran 1994/95 dana perbankan telah meningkat sebesar Rp 16.404,6 miliar
(11,4 persen) atau lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan dalam periode yang sama tahun
anggaran sebelumnya yang mencapai Rp 20.106 (17,1 persen). Komposisi dana perbankan
Departemen Keuangan RI
273
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar Rp 160.174,7 miliar tersebut terdiri dari dana giro sebesar Rp 38.334,8 miliar (23,9
persen), deposito berjangka sebesar Rp 83.043,8 miliar (51,9 persen), dan sebesar Rp 38.796,1
miliar (24,2 persen) lainnya berupa dana tabungan. Dilihat menurut kelompok bank
penghimpunnya, dari dana perbankan sebesar Rp 160.174,7 miliar tersebut, sebagian besar
dihimpun oleh kelompok bank milik negara dan bank umum swasta nasional, yakni masingmasing sebesar Rp 62.415,4 miliar (39 persen) dan Rp 82.667,1 miliar (51,6 persen). Sedangkan
yang dihimpun oleh kelompok bank pembangunan daerah adalah sebesar Rp 5.655,4 miliar (3,5
persen), dan oleh kelompok bank asing/campuran adalah sebesar Rp 9.436,8 miliar (5,9 persen).
Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel III.17, Tabel III.18,
3.7.2.1. Giro
Sejalan dengan makin berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi dalam masyarakat,
maka kebutuhan masyarakat akan likuiditas dalam jangka pendek untuk membiayai kegiatan
transaksi ekonomi juga semakin meningkat. Hal ini terutama tercermin dari makin bertambah
besarnya volume lalu lintas pembayaran giral yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga
perbankan. Selama 7 bulan pertama tahun anggaran 1994/95, jumlah pembayaran giral
masyarakat yang dikonversi dalam bentuk dana giro di bank, telah meningkat sebesar Rp 6.560,2
miliar (20,6 persen), dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 31.774,6 miliar pada akhir Maret
1994. Dengan demikian sampai akhir Oktober 1994 jumlah dana giro secara keseluruhan telah
mencapai Rp 38.334,8 miliar. Sementara itu dalam periode yang sama tahun anggaran
sebelumnya dana giro mengalami peningkatan sebesar Rp 6.853,8 miliar atau 27,3 persen.
3.7.2.2. Deposito berjangka
Perkembangan tingkat suku bunga dan tingkat kesehatan bank merupakan beberapa faktor
yang dipertimbangkan masyarakat dalam menanamkan kelebihan pendapatannya pada lembaga
perbankan, khususnya dalam bentuk deposito berjangka. Dengan perkembangan tingkat suku
bunga yang cukup kompetitif dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah dana masyarakat yang
ditanamkan dalam bentuk deposito berjangka terus mengalami peningkatan yang cukup mantap.
Keadaan itu selain menempatkan deposito berjangka sebagai komponen terbesar dalam struktur
dana perbankan, juga telah menyebabkan sumbangan dana deposito berjangka terhadap tingkat
Departemen Keuangan RI
274
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
likuiditas perekonomian nasional menjadi sangat dominan. Hal ini tercermin dari pangsa dana
deposito berjangka yang mencapai 50,2 persen dari volume likuiditas perekonomian sebesar Rp
165.275 miliar.
Perkembangan sampai akhir Oktober 1994 menunjukkan jumlah dana deposito berjangka
pada dunia perbankan mencapai sebesar Rp 83.043,8 miliar. Apabila dibandingkan dengan
posisinya sebesar Rp 74.385,6 miliar pada akhir Maret 1994, maka selama periode April-Oktober
1994 dana deposito berjangka telah meningkat sebesar Rp 8.658,2 miliar atau 11,6 persen. Dana
deposito sejumlah Rp 83.043,8 miliar tersebut sebagian besar merupakan deposito berjangka
pendek, yakni berjangka 1 bulan sebesar Rp 23.335,8 miliar (28,1 persen), berjangka 3 bulan
sebesar Rp 19.919,9 miliar (24 persen), dan yang berjangka 6 bulan sebesar Rp 19.932,9 miliar
(24 persen). Sementara itu deposito berjangka 12 bulan dan 24 bulan, jumlahnya masing-masing
mencapai Rp 13.330,3 miliar (16,1 persen) dan Rp 615,2 miliar (0,7 persen). Sedangkan deposito
berjangka lainnya yang diantaranya termasuk deposito berjangka 9 bulan dan 18 bulan secara
keseluruhan mencapai Rp 5.909,7 miliar (7,1 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat
dilihat pada Tabel III.19
Tabel III.19
Akhir periode
DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK, 1984/85- 1994/95
( dalam miliar rupiah)
1 bulan I) 3 bulan
6 bulan
12 bulan 24 bulan
Lainnya" Jumlah
1984/85
Maret
2.122,70
1.416,50
1.730,90
2.915,80
379,2
160,9
8.726,00
1985/86
1986/87
1987/88
Maret
Maret
Maret
3.213,60
3.307,90
5.915,30
2.029,20
2.549,30
4.093,20
1.987,70
2.007,60
2.579,70
4.604,00
6.193,20
6.592,20
631
640
1.239,40
124,9
213,8
234,5
12.590,40
14.911,80
20.654,30
1988/89
Maret
5.958,80
6.151,90
4.011,90
7.913,90
2.071,70
366,2
26.474,40
1989/90
1990/91
Maret
Maret
9.587,20
20.278,10
6.846,10
10.393,10
6.080,60
7.041,20
11.149,10
8.985,30
2.177,40
816,4
510
2.325,50
36.350,40
49.839,60
1991/92
Maret
17.412,90
12.896,90
10.865,70
10.320,30
911,8
4.404,70
56.812,30
1992/93
Juni
September
Desember
Maret
16.800,20
17.245,00
18.502,90
18.104,00
13.737,90
15.179,30
15.050,50
14.679,80
12.820,10
14.905,50
15.378,30
14.560,10
12.848,50
12.156,90
12.563,40
13.045,90
936,6
865,4
611,5
500,6
4.089,00
3.274,70
3.512,60
3.325,60
60.232,30
63.626,80
65.619,20
64.216,00
1993/94
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Joli
Agostus
September
Oktober
17.640,10
15.712,00
18.721,30
18.294,70
18.448,60
19.441,90
20.210,30
20.274,10
21.629,40
22.808,60
23.335,80
15.843,40
15.605,90
15.641,00
17.175,00
17.284,00
17.553,90
17.020,00
18.695,60
19.571,80
19.965,10
19.919,90
15'.177,1
18.720,00
19.473,60
19.051,10
18.794,50
18.216,70
18.540,60
18.807,10
19.466,90
20.033,50
19.932,90
13.280,00
15.094,90
15.309,40
15.586,90
15.696,70
15.027,30
14.939,60
14.417,30
13.844,80
13.454,40
13.330,30
515,7
569
585,2
617,2
610,1
656,4
647,6
649,1
642,5
608,1
615,2
3.615,00
5.596,00
4.288,10
3.660,70
4.106,90
4.271,50
4.534,80
5.388,40
4.930,00
5.816,40
5.909,70
66.071,30
71.297,80
74.018,60
74.385,60
74.940,80
75.167,70
75.892,90
78.231,60
80.085,40
82.686,10
83.043,80
1994/95
1) Termasuk deposito yang sudab jatub waletu don deposito on call. 2) Termasuk deposito beljangka waletu 9 bulan don 18 bulan.
Departemen Keuangan RI
275
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.7.2.3. Tabungan
Dengan semakin pesatnya perkembangan jaringan perbankan, persaingan antar bank
dalam merebut akses pasar juga berlangsung dengan ketat. Kondisi ini pada akhirnya telah
mendorong dunia perbankan untuk mengembangkan kreativitasnya dalam menciptakan berbagai
produk simpanan yang dapat diunggulkan sebagai sarana penghimpun dana masyarakat. Melalui
berbagai macam jenis tabungan yang menawarkan bermacarn-macarn hadiah yang menarik,
industri perbankan telah berhasil meningkatkan penyerapan dana masyarakat, khususnya dari
masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah. Secara keseluruhan dana masyarakat yang
terhimpun dalam bentuk tabungan sampai akhir Oktober 1994 telah mencapai Rp 38.796,1 miliar.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 37.609 miliar pada akhir Maret
1994, maka selama periode April-Oktober 1994 dana tabungan telah mengalami kenaikan sebesar
Rp 1.187,1 miliar (3,2 persen). Sementara itu dalam periode yang sama tahun anggaran
sebelumnya peningkatan dana tabungan mencapai Rp 4.873 miliar atau 17,2 persen.
Dalam pada itu, sejalan dengan makin meningkatnya taraf hidup masyarakat pedesaan,
maka kegiatan memobilisasi dana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan di pedesaan
juga telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Indikasi ini terutama terlihat dari
makin bertambah besarnya jumlah dana tabungan masyarakat pedesaan yang dihimpun oleh Bank
Rakyat Indonesia. Melalui jaringan unit BRI yang tersebar di berbagai kecamatan, jumlah dana
masyarakat pedesaan yang dapat dihimpun dalam bentuk simpanan pedesaan (Simpedes), sampai
akhir September 1994 telah meneapai sebesar Rp 3.160,7 miliar. Ini berarti selama 6 bulan
pertama tahun anggaran 1994/95 jumlah Simpedes telah mengalami peningkatan sebesar Rp 465
miliar atau 17,3 persen. Sementara itu dalam periode yang sama jumlah penabung telah
bertambah dari 6,7 juta orang menjadi 7,6 juta orang. Perkembangan dana tabungan dan
Simpedes dapat dilihat pada Tabel III.20 dan Tabel III.21.
Departemen Keuangan RI
276
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.20
TABUNGAN PERBANKAN, 1984/85 -1994/95
( dalam miliar rupiah )
Perubahan
Posisi
Akhir periode
Jumlah
%
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
JoDi
September
Desember
Maret
JoDi
September
Desember
Maret
April
Mei
JoDi.
Joli
Agostus
September
Oktober
Departemen Keuangan RI
774,1
1.211,80
1.586,40
1.835,00
2.485,30
6.863,60
9.722,20
17.471,00
19.684,30
22.104,60
25.468,50
28.343,20
29.174,50
32.124,80
35.605,50
37.609,00
31.177,20
37.217,30
37.240,70
37.402,00
37.814,40
38.298,40
38.796,10
437,7
374,6
248,6
650,3
4.378,30
2.858,60
1.918,10
2.213,30
2.420,30
3.363,90
2.874,70
831,3
2.950,30
3.480,70
2.003,50
-431,8
40,1
23,4
161,3
412,4
484
497,7
56,5
30,9
15,7
35,4
176,2
41,6
12,3
12,7
12,3
15,2
11,3
2,9
10,1
10,8
5,6
-1,1
0,1
0,1
0,4
1,1
1,3
1,3
277
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.21
SIMPANAN PEDESAAN, 1984/85 -1994/95
Posisi simpanan
Penyimpan
(dalam miliar
Akhir periode
1984/85
Maret
4.550
0,3
1985/86
Maret
46.046
6,8
1986/87
Maret
592.319
107,3
1987/88
Maret
1.086.156
206,2
1988/89
Maret
1.863.745
398,2
1989/90
Maret
2.866.050
747,4
1990/91
Maret
3.708.325
908,4
1991/92
Maret
4.506.478
1.270,20
1992/93
Juni
4.831.246
1.454,40
September
5.170.678
1.618,40
Desember
5.439.402
1.905,00
Maret
5.616.866
1.935,90
1993/94
Juni
5.995.496
2.161,20
September
6.355.824
2.438,00
Desember
6.327.030
2.697,20
Maret
6.665.021
2.695,70
1994/95 April
6.201.630
2.796,70
Mei
6.225.864
2.849,90
Juni
6.468.401
2.900,00
luli
7.310.109
3.001,60
7.399.292
3.074,50
Agustus
7.560.154
3.160,70
September
3.7.3. Pemanfaatan dana
3.7.3.1. Kebijaksanaan dan perkembangan kredit perbankan
Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang terjadi di berbagai bidang, peranan sektor
perkreditan dalam menyediakan dana bagi kegiatan ekonomi masyarakat juga terus menunjukkan
peningkatan. Sesuai dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), kebijaksanaan
perkreditan nasional yang dilaksanakan secara terpadu ditujukan untuk mendorong dan
memperluas kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan dengan berbagai instrnmen moneter
ekspansi kredit tetap dijaga supaya tetap dalam batas-batas yang tidak membahayakan kestabilan
ekonomi makro. Dengan berpedoman pada kebijaksanaan terpadu tersebut, sistem perkreditan
nasional yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keuangan, utamanya lembaga keuangan
perbankan, terus diperluas dan didorong peningkatannya dengan tetap mengacu pada azas-azas
perkreditan yang sehat. Dengan demikian pengalokasian kredit yang dananya bersumber dari
masyarakat dapat diarahkan secara efisien, dan dalam rangka memeratakan kesempatan berusaha
dan kesempatan kerja terus diusahakan akses dan penyediaan dana yang lebih besar bagi
Departemen Keuangan RI
278
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengusha kecil, menengah, dan koperasi.
Untuk meningkatkan dan memperluas basis pertumbuhan ekonomi nasional, orientasi
kebijaksanaan kredit perbankan tetap diarahkan pada sektor-sektor produktif yang mampu
menghasilkan nilai tambah yang tinggi, terutama untuk proyek-proyek yang dapat mendorong
meningkatnya ekspor nonmigas, menyerap tenaga kelja, serta memberikan darnpak positip
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mendukung perkembangan usaha
kecil dan mendorong sasaran pemerataan, industri perbankan tetap diwajibkan untuk memenuhi
sekurang-kurangnya 20 persen dari dana kreditnya untuk membiayai sektor usaha kecil (kredit
usaha kecil).
Berbagai kebijaksanaan di bidang perbankan terus diperbaiki dan disempurnakan untuk
lebih memantapkan industri perbankan sebagai pengelola dana, khususnya sebagai pelaksana
sistem perkreditan. Melalui paket kebijaksanaan Mei 1993 Pemerintah telah menyempurnakan
peraturan di bidang perbankan, yang antara lain memuat penyempurnaan ketentuan tentang batas
maksimum pemberian kredit (BMPK) oleh bank umum maupun bank perkreditan rakyat (BPR).
Melalui kebijaksanaan tersebut industri perbankan dapat meningkatkan diversifikasi resiko dan
sekaligus meningkatkan pemerataan kreditnya. Ketentuan BMPK yang berlaku saat ini selain
dibedakan antara individu dan grup juga dibedakan antara kredit lama dan kredit baru. Pemberian
kredit yang diberikan kepada individu, baik untuk kredit lama dan maupun kredit baru,
maksimum sebesar 20 persen dari modal. Sementara itu, penyediaan dana kepada sekelompok
(grup) peminjam lama dilakukan secara bertahap, yaitu dari maksimum 50 persen dari modal
menjadi 35 persen pada akhir Desember 1995 dan 20 persen pada akhir Desember 1997,
sedangkan untuk kredit baru maksimum 20 persen dari modal.
Guna lebih mendorong perbankan dalam membiayai usaha kecil dan meningkatkan
kemampuan usaha kecil dalam memperoleh kredit perbankan, Pemerintah antara lain telah
melakukan pengembangan pola kerjasama antar bank dan pemberian bantuan teknis. Dalam
kaitannya dengan penyaluran kredit usaha kecil (KUK), pola kerjasama antara bank umum
dengan bank perkreditan rakyat (BPR) terus ditingkatkan, dan diharapkan melalui kerjasama
tersebut bank umum dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyalurkan KUK dan
sekaligus dapat membantu pendanaan BPR. Selanjutnya dalam rangka lebih meningkatkan
pemberian KUK oleh bank umum, pola kerjasama tersebut diperluas melalui penerbitan surat
Departemen Keuangan RI
279
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
berharga pasar uang-kredit usaha kecil (SBPU-KUK). Dalam kaitannya dengan bantuan teknis,
proyek pengembangan usaha kecil (PPUK) juga terus ditingkatkan, dan terutama bertujuan untuk
membantu bank dalam mencari nasabah/proyek yang dapat dibiayai dengan KUK. Dalam
perkembangannya, sampai dengan bulan Oktober 1994 posisi kredit perbankan dalam rupiah dan
valuta asing mencapai jumlah sebesar Rp 179.169 miliar. Dengan demikian selama periode
April-Oktober 1994 terjadi peningkatan sebesar Rp 24.290 miliar (15,7 persen), sedangkan dalam
periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan sebesar Rp 18.777 miliar (15
persen).
3.7.3.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi
Dilihat dari penyaluran menurut sektor, kredit perbankan dapat dikelompokkan ke dalam
6 (enam) sektor, yaitu meliputi sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor
pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain. Dari posisi kredit perbankan sebesar Rp
179.169 miliar yang disalurkan per Oktober 1994, sektor perindustrian menyerap bagian terbesar
dari kredit tersebut, yaitu sebesar Rp 55.847 miliar (31,2 persen), yang terutama ditujukan untuk
kegiatan produksi pada industri tekstil, sandang, dan kulit serta industri pengolahan bahan kimia,
batubara, hasil minyak bumi, karet, dan plastik. Sedangkan kegiatan di sektor perdagangan,
khususnya perdagangan eceran, distribusi, dan pengumpulan barang dagangan dalam negeri,
menyerap kredit sebesar Rp 42.500 miliar (23,7 persen), diikuti kredit kepada sektor jasa-jasa
sebesar Rp 46.068 miliar (25,7 persen), sektor pertanian sebesar Rp 13.675 miliar (7,6 persen),
sektor pertambangan sebesar Rp 668 miliar (0,4 persen), dan sektor lain-lain sebesar Rp 20.411
miliar (11,4 persen). Penyaluran kredit untuk sektor jasa-jasa antara lain digunakan untuk
pembiayaan jasa konstruksi, jasa dunia usaha, dan jasa-jasa angkutan, pergudangan, serta
komunikasi. Sementara itu, kredit untuk sektor lain-lain sebagian besar disalurkan untuk
perumahan dan kendaraan. Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat
diikuti dalam Tabel III.22
Departemen Keuangan RI
280
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III..22
Sektor
-1
Bank-bank pemerintah I)
Pertanian
Pertambangan
Perludustian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Bank-bank swasta nasional 2)
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Cabang-cahang hank asjng
dan campuran
Pertanian
Pertambangan
perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Jumlah kred1t perbankan J)
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1985/86 - 1994/95
( dalam miliar rupiah)
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
-1
-3
-4
-5
-6
-7
-8
16.238
20.075
24.357
31.853
43.280
55.423
62.571
1.728
2.083
2.732
4.017
5.318
6.450
7.744
253
385
279
361
451
580
568
5.810
7.402
9.483
12.259
16.198
21.544
22.420
4.837
5.540
6.618
8.991
11.759
14.086
15.319
2.437
2.657
3.597
4.409
5.947
7.805
9.187
1.173
2.008
1.648
1.816
3.607
4.958
7.333
5.119
6.558
9.204
12.679
24.498
38.153
44.928
95
110
158
286
639
1.074
1.022
5
9
15
27
31
52
67
1.354
1.619
1.911
2.602
4.385
6.706
8.473
2.006
2.649
4.004
5.201
10.388
14.098
14.795
1.316
1.562
2.088
2.905
5.254
8.673
12.336
343
609
1.028
1.658
3.801
7.550
8.235
1.072
2
0
473
316
160
121
22.429
1.825
258
7.637
7.159
3.913
1.637
1.219
4
0
487
315
184
229
27.852
2.197
394
9.508
8.504
4.403
2.846
1.520
1
0
534
375
293
317
35.081
2.891
294
11.928
10.997
5.978
2.993
1.994
8
0
822
495
276
393
46.526
4.311
388
15.683
14.687
7.590
3.867
3.786
25
37
1.866
667
661
530
71.564
5.982.
519
22.449
22.814
11.862
7.938
6.837
105
13
3.063
1.406
1.331
919
100.413
7.629
645
31.313
29.590
"17.809
13.427
9.060
133
95
4.518
1.793
1.009
1.512
116.559
8.899
730
35.411
31.907
22.532
17.080
1992/93
Maret
-9
69.821
8.559
498
23.615
15.759
11.979
9.411
45.406
1.389
101
10.325
14.871
13.874
4.846
1993/94
Maret
-10
74.615
10.089
214
28.617
15.799
11.880
8.016
68.140
2.086
193
15.443
20.207
23.849
6.362
1994/95
Okt.
-11
79.543
10.808
319
28.962
17.336
14.195
7.923
85.562
2.607
199
18.152
22.755
30.360
11.489
9.695
179
125
5.533
1.904
751
1.203
124.922
10.127
724
39.473
32.534
26.604
15.460
12.124
277
216
7.491
2.012
1.296
832
154.879
12.452
623
51.551
38.018
37.025
15.210
14.064
260
150
8.733
2.409
1.513
999
179.169
13.675
668
55.847
42.500
46.068
20.411
1) Termasuk Bank Indonesia
2) Termasuk Bank Pembangunan Daerah
3) Kredit dalam rupiah dan valuta asing. termasuk kredit investasi. KlK. don KMKP
3.7.3.3. Kredit investasi
Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,
pertumbuhan dana investasi dan pembiayaan jangka panjang lainnya yang disalurkan ke berbagai
sektor, yang penyediaan kreditnya diberikan melalui lembaga perbankan, selalu diusahakan untuk
terus meningkat. Dalam perkembangannya, kredit investasi yang disetujui perbankan sampai
dengan bulan Oktober 1994 mencapai jumlah Rp 53.910 miliar, meningkat sebesar Rp 2.230
miliar (4,3 persen) dibandingkan dengan posisi akhir bulan Maret 1994 sebesar Rp 51.680 miliar.
Kredit investasi sebesar Rp 53.910 miliar tersebut disalurkan untuk sektor perindustrian, sektor
perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor pertanian dan sektor lain-lain. Sementara itu, posisi kredit
investasi pada akhir bulan Oktober 1994 menunjukkan jumlah sebesar Rp 45.485 miliar, atau
meningkat sebesar Rp 2.692 miliar (6,3 persen) bila dibandingkan dengan posisi pada bulan
Maret 1994. Mengingat bahwa sumber dana untuk pembiayaan investasi jangka panjang masih
kurang memadai, maka kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam jumlah yang terbatas
Departemen Keuangan RI
281
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masih disediakan dan mempunyai peranan yang cukup penting dalam proyek-proyek investasi di
berbagai sektor. Kredit likuiditas untuk investasi ini disalurkan antara lain untuk pembiayaan
investasi di sektor perkebunan, seperti perkebunan inti rakyat (PIR), serta peremajaan,
rehabilitasi, dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE). Selain daripada itu, penyaluran kredit
investasi juga diprioritaskan untuk pengembangan wilayah Indonesia bagian timur melalui
kelonggaran jangka waktu kredit, dan kepada bank-bank yang membiayai proyek-proyek di
wilayah Indonesia bagian timur diberikan bantuan pembiayaan dari Bank Indonesia. Dalam
perkembangannya, mengingat bahwa KLBI bukan merupakan dana yang dipupuk dari
masyarakat, maka secara bertahap penyediaan KLBI dialihkan menjadi kredit biasa.
Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel III.23.
Tabel III.23
KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1985/86 . 1994/95
( dalam Millar rupiah)
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Sektor
(I)
Yang disetujui perbankan
Pertanian
Perindustrian
Pertambangan
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Posisi pinjaman
Pertanian
Perindustrian
Pertambangan
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
-2
-3
7.614
1.526
3.041
227
301
1.594
925
6.119
984
2.539
222
277
1.281
896
-4
9.935
2.147
3.243
382
350
2.733
1.080
7.614
1.300
3.213
368
314
1.415
1.004
-5
11.911
2.629
3.712
263
385
3.812
1.110
9.210
1.744
3.765
230
355
2.033
1.083
-6
-7
15.784
19.454
4.162 0,4847222
5.309
8.372
447
443
608
1.301
4.102
3.734
1.156
206
12.115
15.673
2.637
3.629
4.917
6.639
322
321
548
1.117
2.620
3.767
1.071
200
-8
27.899
7.057
10.987
484
2.151
6.017
1.203
21.586
4.597
9.151
389
I. 904
5.055
490
-9
37.063
11.206
13.260
515
3.234
7.580
1.268
28.210
5.864
11.784
443
2.911
6.197
1.011
44.929
11.508
17.695
507
4.990
8.847
1.382
37.438
7.169
16.489
436
4.185
7.946
1.213
1993/94
Maret
1994/95
Okt.
-10
(II)
51.680
12.953
18.716
171
9.144
10.683
13
42.793
8.942
17.208
169
6.767
9.694
13
53.910
13.430
20.397
189
6.648
13.237
9
45.485
9.891
18.069
165
5.804
11.547
9
3.7.3.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah
Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi golongan pengusaha kecil dan menengah,
termasuk usaha yang berkaitan dengan industri kerajinan dan industri rumah tangga, Pemerintah
berusaha mengadakan pembinaan sehingga keberadaannya akan semakin efisien dan mampu
berkembang mandiri, dapat meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan kerja, dan makin
mampu meningkatkan peranannya dalam penyediaan barang dan jasa, baik untuk keperluan pasar
dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai pola pembinaan antara lain keterkaitan usaha kecil,
menengah dan besar, pola kemitraan anak-bapak angkat, dan lain-lain terus diusahakan
pengembangannya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah
adalah dengan membantu permodalannya, yaitu dengan mewajibkan bank-bank untuk
Departemen Keuangan RI
282
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
menyisihkan sebagian kreditnya dalam bentuk kredit usaha kecil (KUK). Kebijaksanaan yang
berkaitan dengan kredit usaha kecil (KUK) tersebut secara terus menerus juga disempurnakan
dan yang terakhir melalui paket kebijaksanaan Mei 1993, antara lain mengenai plafon kredit yang
telah ditingkatkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 250 juta. Demikian pula cakupan mengenai kredit
kecil yang meliputi semua kredit dengan jumlah maksimum Rp 25 juta tanpa melihat
penggunaannya, dan kredit likuiditas Bank Indonesia yang digunakan untuk pembiayaan usaha
kecil dapat diperhitungkan dalam KUK. Sementara itu dalam rangka membantu bank umum
mencapai kewajibannya dalam menyalurkan KUK, maka bagi bank umum yang belum mencapai
KUK sebesar 20 persen dapat membeli SBPU-KUK yang diterbitkan oleh bank umum lain yang
telah memiliki rasio KUK di atas 20 persen, dan SBPU-KUK tersebut diakui sebagai pelaksanaan
KUK.
Posisi KUK sampai dengan akhir bulan Oktober 1994 telah mencapai Rp 33.002,4 miliar.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar disalurkan oleh bank-bank milik Pemerintah (Persero) yaitu
sebesar Rp 16.475 miliar (49,9 persen), bank-bank swasta nasional devisa sebesar Rp 10.951,7
miliar (33,2 persen), dan bank-bank swasta nasional nondevisa sebesar Rp 2.958,3 miliar (9
persen) serta bank pembangunan daerah sebesar Rp 2.617,5 miliar (7,9 persen). Dilihat dari
penyaluran KUK menurut setter ekonomi, sektor perdagangan, restoran, dan hotel merupakan
penyerap terbesar, yaitu sebesar Rp 12.415,8 miliar (37,6 persen). Selanjutnya setter jasa-jasa
menyerap sebesar Rp 6.118,7 miliar (18,5 persen), setter industri menyerap sebesar Rp 3.090,3
miliar (9,4 persen), setter pertanian menyerap sebesar Rp 2.034,6 miliar (6,2 persen), dan sektor
lain-lain menyerap sebesar Rp 9.343 miliar (28,3 persen). Apabila dilihat dari jenis
penggunaannya, maka kredit modal kerja merupakan jenis penggunaan terbesar, yaitu sebesar Rp
19.200,6 miliar (58,2 persen), sedangkan kredit konsumsi untuk pemilikan rumah (KPR) sampai
dengan T-70 nilainya mencapai Rp 5.246,3 miliar (15,9 persen), kredit investasi mencapai
sebesar Rp 4.699,2 miliar (14,2 persen), dan kredit konsumsi sampai dengan Rp 25 juta
jumlahnya mencapai sebesar Rp 3.856,3 miliar (11,7 persen). Sementara itu apabila dilihat
menurut besaran plafonnya, kredit sampai dengan Rp 25 juta merupakan penyerap terbesar yaitu
sebesar Rp 14.256,9 miliar (43,2 persen), di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta mencapai
Rp 3.520 miliar (10,7 persen), di atas 50 juta sampai dengan Rp 100 juta mencapai Rp 5.022,9
miliar (15,2 persen), di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 150 juta mencapai Rp 3.310,3 miliar
(10 persen), di atas Rp 150 juta sampai dengan Rp 200 juta mencapai Rp 4.403,4 miliar (13,3
Departemen Keuangan RI
283
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
persen), dan di atas Rp 200 juta sampai dengan Rp 250 juta mencapai Rp 2.489 miliar (7,6
persen).
Selain daripada itu, untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di pedesaan, program
kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) terus
dilanjutkan. Dengan jumlah minimum Kupedes yang diberikan sebesar Rp 25 ribu dan
maksimum sebesar Rp 25 juta, dan dengan suku bunga 1,5 persen per bulan, yang berlaku baik
untuk kegiatan investasi maupun eksploitasi, dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat
pedesaan, terutama untuk menumbuhkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Hal tersebut terbukti dari semakin besarnya
Kupedes yang disalurkan, yang sampai dengan akhir bulan September 1994 posisinya telah
mencapai jumlah Rp 2.307,4 miliar dengan jumlah nasabah sebanyak 2.011.073 orang. Dari
jumlah tersebut, digunakan untuk kegiatan investasi sebesar Rp 452,3 miliar dan untuk kegiatan
eksploitasi sebesar Rp 1.855,1 miliar. Perkembangan Kupedes dapat diikuti dalam Tabel III.24.
TabelllI.24
KREDIT UMUM PEDESAAN, 1985/86 - 1994/95
( nasabah dalam ribuan, DUal yang dipinjamkan daft posisi dalam miliar rupiah)
Eksploitasi
Jumlah
Investasi
Posisi
Akhir Periode
Nasabah
(kumulatif)
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992193
1993/94
1994/95
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Junl
September
Desember
Maret
April
Mel
Juni
Juli
Agustus
September
55,6
81,7
107
136,6
209,2
286,3
338,7
355,3
37(1,8
389,4
410,9
429,9
456,4
486,8
521,6
535,3
55(1,8
567,7
583,4
599,2
616,2
Departemen Keuangan RI
Posisi
Nilsi yang
dipinjamkan
(kumulatif)
20,4
33,8
50,4
78,1
174,6
322,6
501
533,6
566,6
608,4
655
701
764,2
841,9
924,9
958,9
997
],(138,8
]'(175
1.115,10
1.158,20
Nasabah
Nilsi yang
(Kumulatif) dipinjamkan
(kumulatif)
111,4
13,2
16,5
28,3
95,5
182,1
165,4
168,8
169,8
183,6
165,4
164,5
237,7
276,6
325,2
342,2
365,2
391,6
420
432,1
452,3
1.871,10
3.008,60
4.109,40
5.217,30
6.614,00
7.834,10
9.105,90
9.393,40
9.676,10
9.988,70
10.294,50
10.573,70
10.881,90
11.229,10
11.564,10
11.674.1
11.785,50
11.899,60
120.417,20
121.311,90
12.263,60
548,6
1.050,10
1.6:12,4
2.342,50
3.469,40
4.835,00
6.3INI,3
6.682,30
7.056,70
7.482,70
79.119,20
8.306,70
8.758,20
9.299,20
9.826,90
10.04NI,3
10.174,80
10.362,80
10.539,10
10.737,50
10.951,60
Posisi
Nasabah
(kumulatif)
249,7
360,6
446,3
478,2
896,9
13.410,30
1.398,50
1.331,30
1.326,80
1.352,90
1.398,50
1.394,70
1.592,80
1.679,70
1.750,80
1.757,70
1.774,20
1.81NI,4
1.806,00
1.836,20
1.855,10
1.926,70
3.090,30
4.216,40
5.353,90
6.823,20
8.120,40
9.444,60
9.748,70
101.146,90
10.378,10
10.705,40
11.IN13,6
11.338,30
11.715,90
12.085,70
12.209,60
12.336,20
12.467,30
125.911,60
12.730,10
12.879,80
Nilai yang
dipinjamkan
( kumulatif)
569
1.083,90
1.682,80
2.420,60
3.644,00
5.157,60
6.801,30
7.215,90
7.623,30
8.091,10
8.564,20
9.INI7,7
9.522,40
10.141,10
10.751,80
10.959,20
11.171,60
11.401,60
11.614,60
11.852,60
121.119,80
260,1
373,8
462,8
506,5
992,4
1.482,40
1.563,90
1.5(NI,1
1.496,60
1.536,50
1.563,90
1.559,20
1.830,50
16:56,3
2.076,00
2.(199,9
2.139,40
2.192,00
2.226,00
2.268,30
2.307,40
284
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dalam rangka pengembangan pembangunan perumahan, terutama untuk membantu
masyarakat berpenghasilan menengah kebawah untuk dapat memiliki rumah, Pemerintah masih
menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh
Bank Tabungan Negara. Kredit pernilikan rumah terdiri dari KPR raker A, yaitu meliputi kredit
pemilikan kapling siap bangun (KP-KSB), dan kredit perumahan sangat sederhana (KP-RSS)
dengan suku bunga 8,5 persen per tahun, rumah type 12 sampai dengan rumah type 21 dengan
suku bunga 11 persen per tahun, KPR raker B/Griya Madya (type 27 sampai dengan type 70)
dengan suku bunga 16 persen per tahun, serta kredit pemilikan untuk kios/rumah toko yang
meliputi kredit pemilikan kios (KP-Kios)/Ruko inti, KP-Ruko Madya, dan KP-Ruko Tama,
masing-masing dengan suku bunga sebesar 16,5 persen, 17 persen, dan 17,5 persen per tahun.
Sampai dengan bulan November 1994 nilai KPR telah mencapai sebesar Rp 5.218,2 miliar,
dengan jumlah rumah yang dibangun sebanyak 948.871 unit. Dari jumlah tersebut, telah
dibangun oleh perum Perumnas sebanyak 247.621 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 792 miliar,
yang dipergunakan untuk membangun rumah raker A dan raker B sebanyak 245.157 unit rumah
dengan nilai kredit sebesar Rp 736 miliar, dan rumah raker C sebanyak 2.464 unit dengan nilai
lcredit sebesar Rp 56 miliar. Sedang pembangun swasta telah membangun rumah sebanyak
699.438 unit dengan nilai mencapai Rp 4.419,5 miliar. Jumlah sebesar Rp 4.419,5 miliar tersebut
dipergunakan untuk membangun rumah raker A dan B sebanyak 666.760 unit dengan nilai kredit
sebesar Rp 3.683,2 miliar, rumah raker C sebanyak 30.391 unit dengan nilai kredit sebesar Rp
725,8 miliar, serta rumah toko (ruko) sederhana sebanyak 2.287 unit dengan nilai kredit sebesar
Rp 10,5 miliar. Dalam hal pembangunan perumahan, selain dibangun oleh perum Perumnas dan
pembangun swasta, BTN telah pula bekerja sama dengan beberapa bank dalam hal pengadaan
perumahan. Sampai saat ini jumlah rumah yang dibangun dari hasil kerjasama tersebut mencapai
1.812 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 6,7 miliar.
Selain itu, untuk lebih meningkatkan usaha dan kesejahteraan golongan ekonomi lemah,
dalam jumlah yang terbatas Pemerintah masih menyediakan kredit likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). Jenis kredit yang mendapat dukungan KLBI antara lain adalah kredit usaha tani (KUT)
padi/palawija, kredit kepada koperasi untuk membiayai pengadaan barang berprioritas tinggi,
seperti pupuk, cengkeh, dan pangan, serta kredit kepada koperasi primer/KUD untuk diteruskan
kepada anggota guna membiayai kegiatan yang produktif di luar sektor perdagangan dan jasa.
Posisi kredit koperasi sampai dengan bulan September 1994 mencapai jumlah sebesar Rp 460,5
Departemen Keuangan RI
285
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar, yang disalurkan untuk membiayai KUT padi/palawija sebesar Rp 138,6 miliar (30,1
persen), untuk pengadaan pangan/palawija KUD sebesar Rp 63,2 miliar (13,7 persen) untuk
kredit tebu rakyat intensifikasi (TRI) sebesar Rp 201,5 miliar (43,7 persen), untuk kredit pupuk
sebesar Rp 7,7 miliar (1,7 persen), untuk kredit cengkeh sebesar Rp 25,2 miliar (5,5 persen),
untuk kredit sapi perah sebesar Rp 21 miliar (4,6 persen), serta kredit untuk pola III individual
sebesar Rp 3,3 miliar ( 0,7 persen).
Untuk meningkatkan usaha koperasi melalui pengembangan keuangan koperasi sehingga
dapat berswadaya dan mandiri, perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK)
mempunyai peranan yang besar dalam menunjang koperasi dengan memberikan jaminan atas
kredit yang diberikan oleh bank kepada koperasi, dan memberikan pinjaman serta bantuan
manajemen dan konsultasi. Jaminan yang diberikan oleh perum PKK sampai saat ini meliputi
kegiatan koperasi di sektor-sektor pertanian (KUT padi/palawija, pupuk, alat-alat pertanian),
perikanan (tambak, darat, cold storage), peternakan (sapi perah, sapi potong, unggas), perkebunan
(kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT-TRI), kerajinan/industri (bahan bangunan, tas/kulit, air
bersih), jasa, serta konsumsi/distribusi (angkutan darat/laut, simpan pinjam, pedagang pasar, dan
lain-lain). Sampai dengan pertengahan bulan Desember 1994, secara kumulatif kredit yang
diberikan kepada koperasi berjumlah Rp 2.939,9 miliar dan jaminan kredit yang diberikan
mencapai jumlah sebesar Rp 2.512,8 miliar.
3.7.4. Lembaga perkreditan lainnya
Di samping bank-bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), berbagai lembaga
perkreditan lainnya juga tumbuh di masyarakat, khususnya lembaga yang dibutuhkan oleh
masyarakat golongan ekonomi lemah dalam memperoleh dana pinjaman untuk kelangsungan
usaha dan aktivitas lainnya. Lembaga perkreditan lainnya tersebut antara lain terdiri dari bank
desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, lumbung pitih nagari (LPN), lembaga perkreditan
desa (LPD), badan kredit desa (BKD), badan kredit kecamatan (BKK), kredit usaha rakyat kecil
(KURK), dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan. Dalam perkembangannya lembagalembaga tersebut mencerminkan keikutsertaan masyarakat pedesaan dalam pembangunan, yang
berakar dari adat atau tradisi yang tumbuh di masing-masing daerah. Diharapkan melalui
lembaga perkreditan tersebut, usaha kecil di pedesaan seperti industri rumah tangga, industri
Departemen Keuangan RI
286
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kerajinan, perdagangan, dan pengolahan hasil pertanian dapat berkembang dan pada gilirannya
ikut meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, status lembaga perkreditan tersebut disamakan dengan bank perkreditan
rakyat (BPR), setelah memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dalam UU tersebut.
Masih mengacu pada UU tentang perbankan, lembaga-lembaga perkreditan rakyat atau BPR
bukanlah merupakan bank pencipta uang giral. Dengan demikian didalam aktivitasnya tidak
diperkenankan memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk giro dan ikut serta melakukan lalu
lintas pembayaran, di samping tidak diperkenankan pula memperdagangkan valuta asing atau
melakukan penyertaan modal. Dalam aktivitasnya lembaga-lembaga perkreditan lainnya ini
memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan, dan
memanfaatkan dana tersebut melalui pemberian kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil sesuai perundangan yang berlaku, serta menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat
Bank Indonesia, deposito berjangka, atau tabungan pada bank lain.
3.8. Lembaga keuangan di luar perbankan
3.8.1. Asuransi
Peranan industri asuransi di Indonesia terus diusahakan peningkatannya dalam
pembangunan nasional, karena melalui usaha perasuransian selain dapat diberikan santunan atau
ganti rugi dari berbagai jenis risiko seperti risiko kecelakaan atau kematian, kerugian atas harta
benda, dan risiko lainnya, juga diharapkan makin meningkatnya dana yang dapat dimobilisasi
dari masyarakat untuk keperluan pembiayaan pembangunan nasional. Dalam rangka untuk
mendorong
perkembangan
usaha
perasuransian
tersebut,
Pemerintah
terus
berusaha
meningkatkan kemampuan teknis maupun manajemen usaha asuransi agar mampu beroperasi
secara efektif dan efisien, baik melalui berbagai deregulasi maupun kebijaksanaan lainnya.
Dalam pada itu, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, dalam bulan Februari 1993 Pemerintah telah mengeluarkan
ketentuan tentang penyelenggaraan usaha perasuransian yang meliputi penutupan obyek asuransi,
perizinan serta kesehatan keuangan perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan
kegiatan usaha perasuransian dilaksanakan secara sehat, bertanggung jawab dan tidak
mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia
Departemen Keuangan RI
287
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
(SDM), perusahaan asuransi dan reasuransi diwajibkan menyediakan dana untuk pendidikan dan
pelatihan bagi pegawai-pegawainya sekurang-kurangnya 5 persen dari anggaran belanja pegawai
yang ditetapkan. Selain itu, perusahaan asuransi dan reasuransi juga diperbolehkan menggunakan
tenaga kerja asing dengan batas waktu selama-lamanya lima tahun, dengan ketentuan bahwa
tenaga kerja asing tersebut diwajibkan untuk melakukan pelatihan dan alih teknologi bagi
pegawai-pegawai lokal. Ketentuan-ketentuan tersebut juga diberlakukan bagi perusahaan
penunjang usaha asuransi, seperti perusahaan pialang asuransi dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
Selanjutnya, dalam rangka untuk menjaga agar perusahaan asuransi dan reasuransi
mampu memenuhi kewajibannya kepada masyarakat (pemegang polis), Pemerintah juga
menyempurnakan ketentuan mengenai kesehatan keuangan bagi kegiatan usaha asuransi dan
reasuransi. Dalam hubungan ini, perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi
diwajibkan untuk menjaga tingkat solvabilitasnya dengan jumlah sekurang-kurangnya 10 persen
dari premi neto. Sementara itu, bagi perusahaan asuransi jiwa ketentuan tingkat solvabilitas
tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya 1 persen dari cadangan premi, sedangkan untuk bidang
asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan selain ketentuan 1 persen tersebut masih harus
ditambah 10 persen dari premi neto.
Di samping itu, perusahaan asuransi dan reasuransi diperbolehkan menggunakan
aktivanya untuk ditanamkan dalam berbagai jenis investasi, seperti deposito berjangka, saham,
obligasi, sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga pasar uang (SBPU). Bagi perusahaan
asuransi kerugian dan reasuransi, jumlah dana investasi tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya
sebesar cadangan teknisnya, yang terdiri dari cadangan premi, cadangan tuntutan ganti rugi,
ditambah 25 persen dari modal sendiri. Di lain pihak, bagi perusahaan asuransi jiwa, jumlah dana
investasi tersebut ditetapkan maksimum sebesar cadangan teknisnya. Sementara itu, untuk
menunjang kegiatan perasuransian, Pemerintah juga mengeluarkan peraturan lanjutan mengenai
penyelenggaraan perusahaan penunjang usaha asuransi dan reasuransi, yang antara lain mengatur
persyaratan, tata cara perizinan, serta penyelenggaraan bagi perusahaan pialang asuransi, pialang
reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi.
Sebagai hasil dari berbagai kebijaksanaan Pemerintah tersebut di atas, dalam memasuki
tahun pertama pelaksanaan Repelita VI ini, kegiatan usaha perasuransian mengalami
Departemen Keuangan RI
288
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
perkembangan yang cukup menggembirakan terutama setelah kepastian hukumnya diatur dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan meningkatnya jumlah perusahaan, pendapatan premi, kekayaan (aget), serta dana
investasi dari usaha perasuransian tersebut. Dalam tahun 1993, pendapatan prerni bruto usaha
perasuransian mencapai jumlah Rp 4.603,8 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 39,51 persen
apabila dibandingkan dengan pendapatan jumlah premi bruto dalam tahun 1992 yang berjumlah
sebesar Rp 3.299,8 miliar. Persentase kenaikan yang dicapai dalam tahun 1993 tersebut lebih
besar bila dibandingkan dengan persentase kenaikan yang dicapai dalam tahun sebelumnya
sebesar 24,3 persen. Demikian pula kalau dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik
bruto (PDB), rasionya mengalami peningkatan dari 1,27 persen dalam tahun 1992 menjadi 1,56
persen dalam tahun 1993. Peningkatan peranan usaha asuransi juga terlihat dari rasio pendapatan
premi bruto terhadap PDB dari sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, yaitu dari 26,5 persen
dalam tahun 1992 menjadi 30,5 persen dalam tahun 1993. Dari jumlah premi bruto yang berhasil
dihimpun perusahaan-perusahaan asuransi pada tahun 1993, sebesar 36,4 persen berasal dari
industri asuransi jiwa, sebesar 48,1 persen dari asuransi kerugian dan reasuransi, sedangkan
sisanya sebesar 15,5 persen berasal dari asuransi sosial. Di lain pihak, neraca pembayaran usaha
asuransi Indonesia yang dapat menggambarkan kegiatan asuransi ke dan dari luar negeri, seperti
halnya tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1993 masih mengalami defisit. Dalam tahun 1993
defisit tersebut melebihi defisit tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar Rp 354,1 miliar menjadi
sebesar Rp 398,7 miliar. Angka defisit yang semakin membesar itu terjadi selain karena semakin
tidak seimbangnya penerimaan premi yang diterima dari luar negeri dengan premi yang
dibayarkan ke luar negeri, juga disebabkan oleh klaim rasio dari premi asuransi yang diterima
dari luar negeri masih melebihi 100 persen, sedangkan klaim rasio dari premi asuransi yang
dikeluarkan ke luar negeri hanya sekitar 42 persen. Secara umum hal ini erat hubungannya
dengan masih sangat terbatasnya kapasitas pertanggungan perusahaan asuransi nasional untuk
menanggung obyek-obyek asuransi dalam jumlah yang besar.
Jumlah kekayaan (total aset) perusahaan asuransi dalam tahun 1993 mencapai jumlah Rp
11.267,2 miliar, atau meningkat sebesar 24,95 persen dari kekayaan tahun sebelumnya yang
berjumlah sebesar Rp 9.017,3 miliar. Dari jumlah kekayaan tersebut, sebesar 50,1 persen dimiliki
oleh perusahaan asuransi jiwa, 29,4 persen dimiliki perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi,
dan sisanya sebesar 20,5 persen dimiliki perusahaan asuransi sosial.
Departemen Keuangan RI
289
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sementara itu, dana investasi yang ditanamkan oleh industri asuransi juga mengalami
peningkatan. Dalam tahun 1993 besarnya dana investasi telah mencapai Rp 8.816,8 miliar, yang
merupakan 78 persen dari seluruh kekayaan yang dimiliki seluruh perusahaan asuransi. Dari
jumlah tersebut sebesar 54,7 persen berasal dari perusahaan asuransi jiwa, 22,7 persen dari
perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi, serta sisanya sebesar 22,6 persen berasal dari
perusahaan asuransi sosial. Peningkatan dana investasi tersebut cukup berarti bila dibandingkan
dengan dana investasi tahun sebelumnya sebesar Rp 7.145,2 miliar.
Dilihat dari rincian alokasi dana investasi yang ditanamkan oleh perusahaan asuransi,
terlihat bahwa deposito berjangka masih merupakan pilihan utama. Dalam tahun 1993, dana
investasi dalam bentuk deposito berjangka mencapai jumlah Rp 4.465,8 miliar atau sebesar 50,6
persen, sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp 2.168,6 miliar atau 24,6 persen, obligasi dan
saham sebesar Rp 989,2 miliar atau 11,2 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 1.193,2 miliar
atau 13,6 persen ditanam dalam bentuk tanah dan bangunan serta lainnya. Jumlah tuntutan ganti
rugi (klaim) yang diajukan oleh nasabah dalam tahun 1993 juga mengalami peningkatan yang
cukup besar, yaitu meningkat dengan Rp 764,5 miliar (46,8 persen) apabila dibandingkan dengan
tuntutan ganti rugi dalam tahun 1992 yang jumlahnya Rp 1.630,7 miliar.
Sementara itu, jumlah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan reasuransi serta
usaha penunjangnya juga terus meningkat. Sampai dengan Agustus 1994, jumlah perusahaan
asuransi dan reasuransi mencapai sebanyak 151 perusahaan, yang terdiri dari 49 perusahaan
asuransi jiwa, 93 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, dan 5 perusahaan
asuransi sosial. Di samping itu, terdapat 110 perusahaan penunjang asuransi, yang terdiri dari 71
pialang asuransi, 21 adjuster, dan 18 perusahaan konsultan aktuaria.
Dalam menghadapi perkembangan ekonomi dunia yang cenderung semakin bersifat
terbuka dan global pada tahun-tahun terakhir ini, tampak adanya perkembangan arah kegiatan
yang dilakukan oleh beberapa perusahaan asuransi menuju bentuk joint venture dalam upaya
menyesuaikan dengan kecenderungan tersebut. Melalui joint venture ini diharapkan industri
asuransi Indonesia selain semakin mampu bersaing dengan perusahaan asuransi asing dalam
kancah internasional, juga dapat memacu profesionalisme masing-masing perusahaan asuransi.
Dari seluruh jumlah perusahaan asuransi di Indonesia, sampai dengan Agustus 1994 perusahaan
yang berbentuk joint venture berjumlah 23 perusahaan, yang terdiri dari 16 perusahaan asuransi
Departemen Keuangan RI
290
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kerugian dan 7 perusahaan asuransi jiwa. Perkembangan kegiatan perusahaan asuransi dapat
dilihat pada Tabel III.25
TabeI III. 25
TOTAL ASET, DANA INVESTASI, PREMI BRUTO, DAN TUNTUTAN GANTI RUGI
PERUSAHAAN.PERUSAHAAN ASURANSI DAN REASURANSI, 1986 - 1993
( dalam miliar rupiah)
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
(I)
Total Aset
Asuransi jiwa
Asuransi sasial
Asuransi kerugian don reasuransi
lumlah
Premi Bruto
Asuransi jiwa
Asuransi sasial
Asuransi kerugian don reasuransi
lumlah
Tuntutan Ganti Rugi
Asuransi jiwa
Asuransi sasial
Asuransi kerugian don reasuranSl
lumlah
Dana Investasi
Asuransi jiwa
Asuransi sasial
Asuransi kerugian don reasuranSl
lumlah
-2
-3
.(4)
-5
-6
-7
-8
1993 I)
-9
556,4
1.334,80
748,1
2.649,30
677,1
1.611,20
1.012,70
3.301,00
799,1
1.930,10
1.1 77,0
3.906,20
985,6
2.424,10
1.580,60
4.990,30
1.212,90
2.891,50
2.137,60
6.242,00
1.628,80
3.639,80
2.603,30
7.871,90
1.911,50
4.297,00
2.808,80
9.017,30
5.647,30
2.302,80
3.317,10
11.267,20
176,6
274,2
605,6
1.056,40
243,8
316,4
840,2
1.400,40
298,7
350,2
888,6
1.537,50
346,7
391,9
1.093,80
1.832,40
455,4
458,1
1.341,20
2.254,70
562,1
588,8
1.504,70
2.655,60
770,1
756,4
1.773,30
3.299,80
1.676,40
711,1
2.216,30
4.603,80
241,1
90,9
348
680
417,7
137,3
310,9
865,9
469,9
171,9
344,9
986,7
532,5
175,3
483,6
1.191,40
277,7
214,4
524,1
1.016,20
523
285,8
721
1.529,80
564
360,1
706,6
1.630,70
1.314,80
157
923
2.395,20
413
1.208,00
391,8
2.012,80
490,7
1.455,60
584,2
2.530,50
595,9
1.781,40
710,2
3.087,50
730
2.248,00
1.010,90
3.988,90
914,1
2.680,80
1.402,00
4.996,90
1.291,20
3.274,10
1.705,00
6.276,60
1.529,70
3.869,80
1.746,20
7.145,20
4.830,20
1.996,90
2.005,50
8.816,80
1) Sesuai UU Nomor. 2 Th. 1992, Asuransi Sosial terdin dari PT. Asuransi Jasa Rahardja dan PT. Asuransi Tenaga Kerja.
3.8.2. Lembaga pembiayaan
Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan kegiatan dunia usaha, permintaan
terhadap jasa lembaga pembiayaan di luar sektor perbankan juga mengalami peningkatan.
Peningkatan peranserta lembaga pembiayaan di dalam membiayai pengembangan dunia usaha di
Indonesia sangat penting dalam upaya mengembangkan alternatif sumber dana investasi di
tengah-tengah persaingan ekonomi yang semakin kompetitif, terutama bagi pengembangan dunia
usaha yang masih baru, dimana faktor modal dan kemampuan manajemen masih terbatas.
Menyadari akan pentingnya peranan lembaga pembiayaan tersebut dan dalam rangka
mempercepat perkembangan dunia usaha di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijaksanaan yang ditujukan untuk terus meningkatkan peranserta lembaga pembiayaan di
samping lembaga perbankan, pasar modal, dan lain-lainnya.
Kebijaksanaan yang telah ditempuh Pemerintah guna mendukung tercapainya tujuan
tersebut dilandasi oleh paket kebijaksanaan yang dikeluarkan Pemerintah tanggal 20 Desember
Departemen Keuangan RI
291
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1988 (Pakdes 1988), yang memberikan kemungkinan bagi lembaga pembiayaan untuk
meningkatkan mobilisasi dan diversifikasi kegiatan pembiayaan bagi dunia usaha, yaitu melalui
sewa guna usaha (leasing), modal ventura, anjak piutang (factoring), kartu kredit, serta
pembiayaan konsumen. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa
kebijaksanaan, antara lain berupa penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan, serta
peningkatan partisipasi modal dari pihak asing (85 persen dari modal disetor) dalam pendirian
perusahaan pembiayaan patungan. Sementara itu, untuk pengembangan kegiatan sewa guna
usaha (leasing), Pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan atau
pungutan-pungutan impor lainnya kepada perusahaan sewa guna usaha untuk pengadaan barang
modal bagi perusahaan PMA/PMDN, sesuai dengan fasilitas yang sama yang dirniliki oleh
PMA/PMDN dan atau lessee yang bersangkutan. Dengan ditetapkannya kebijaksanaan tersebut,
selain akan memperluas ruang gerak perusahaan sewa guna usaha, juga diharapkan dapat
memperlancar proses pengadaan barang-barang modal sehingga dapat menunjang kegiatan
produktif dunia usaha. Di samping itu, dengan fasilitas tersebut perlakuan perpajakan atas
transaksi sewa guna usaha menjadi lebih rasional dan wajar, sehingga dalam jangka panjang
diharapkan akan lebih mampu meningkatkan kegiatan sewa guna usaha. Selanjutnya dalam
rangka pengembangan perusahaan modal ventura, sedang diupayakan pembentukan perusahaan
modal ventura di seluruh ibukota daerah tingkat I.
Berbeda dengan sektor perbankan yang menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat, baik berupa giro, deposito, maupun tabungan, lembaga-lembaga pembiayaan yang
kegiatannya melakukan pembiayaan dalam bentuk persediaan dana atau barang, tidak
diperkenankan menarik dana langsung dari masyarakat. Dalam tata cara pendiriannya lembaga
pembiayaan dapat dilakukan oleh bank atau perusahaan pembiayaan baru, baik yang berbentuk
perseroan terbatas (PT) maupun koperasi setelah memenuhi prosedur perizinan yang berlaku.
Dengan demikian diharapkan sebagian kebutuhan pembiayaan investasi bagi dunia usaha dapat
dipenuhi melalui kegiatan lembaga pembiayaan.
Sejak beberapa tahun terakhir, terutama dalam masa Repelita V, perkembangan lembaga
pembiayaan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila pada akhir tahun
1988 hanya terdapat 83 perusahaan, maka pada akhir tahun 1993 jumlah tersebut telah
berkembang menjadi 178 perusahaan. Sejalan dengan itu, jumlah kekayaan (total aset) seluruh
perusahaan pembiayaan menunjukkan perkembangan yang cukup mengesankan. Apabila pada
Departemen Keuangan RI
292
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
akhir tahun 1988 nilai kekayaan (aset) perusahaan pembiayaan hanya berjumlah Rp 2.138,5
miliar, maka pada akhir tahun 1993 nilai tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 9.971,4
miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 7.832,9 miliar atau hampir empat kali
lipat. Kenaikan total aset tersebut tidak saja disebabkan adanya peningkatan jumlah perusahaan
yang terus meningkat dari tahun ke tahun, namun juga disebabkan adanya kenaikan kegiatan
usaha yang tercermin dari nilai kontrak perusahaan pembiayaan tersebut, terutama dari
perusahaan sewa guna usaha (leasing). Nilai kontrak sewa guna usaha telah mengalami
peningkatan dari sebesar Rp 1.873,0 miliar dalam tahun 1988 menjadi sejumlah Rp 4.529,0
miliar dalam tahun 1993, atau mengalami peningkatan sebesar 142 persen.
Di samping itu, lembaga pembiayaan jasa anjak piutang (factoring company), yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian/pengambilan serta pengurusan piutang,
juga mengalami peningkatan usaha yang cukup besar, yang tercermin dari nilai kontraknya.
Apabila dalam tahun 1990 nilai kontrak anjak piutang hanya berjumlah Rp 55,3 miliar, maka
pada tahun 1993 telah meningkat menjadi Rp 2.162,0 miliar, atau meningkat sebesar 39 kali lipat
dalam periode tersebut.
Sementara itu, nilai kontrak pembiayaan konsumen telah meningkat dari sebesar Rp
1.571,0 miliar dalam tahun 1991 menjadi Rp 1.926,9 miliar dalam tahun 1993, atau meningkat
sebesar 23 persen pada periode tersebut. Sedangkan nilai penyertaan modal ventura dalam
periode tersebut juga mengalami peningkatan dari hanya sebesar Rp 4,8 miliar menjadi Rp 67,0
miliar, atau meningkat sebesar 13 kali lipat. Demikian pula nilai pembiayaan kartu kredit, yang
baru mulai berkembang sejak tahun 1992, telah mencapai jumlah sebesar Rp 547,5 miliar pada
akhir Desember 1993.
Perkembangan tersebut di atas menunjukkan bahwa pembiayaan investasi bagi dunia
usaha yang berasal dari lembaga pembiayaan di luar perbankan telah, dapat diterima dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai suatu alternatif pembiayaan yang cukup menguntungkan.
Perkembangan kegiatan lembaga pembiayaan dapat dilihat pada Tabel III.26.
Departemen Keuangan RI
293
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
TabeI III. 26
PERKEMBANGAN KEGIATAN LEMBAGA PEMBIAYAAN, 1985 -1993
( dalam miliar rupiah)
1985
1986
1987
19881)
1989
1990
1991
Jumlah Perusahaan
Kegiatan Usaha
- Nitai kontrak sews guns usaha
- Nitai pembiayaan anjak piutang
- Nitai kontrak pembiayaan konsumen
- Nitai penyertaan modal ventura
- Nitai pembiayaan kartu kredit
Keadaan Keuangan
- Total aset
- Total equity
- 1nvestasi bersih
Posis; Pinjaman
- Dalam Negeri
- Luar negeri
1992
19932)
70
80
83
83
101
121
132
144
178
484,0
-
645,4
-
1.247,2
-
1.873,0
-
2.885,1
-
4.746,4
55.3
1.009,4
-
3.944,7
306,5
1.571,0
4,8
-
3.798,4
784,6
1.530,1
3,1
212,9
4.529,0
2.162,0
1.926,9
67,0
547,5
851,0
153,1
620,7
1.213,3
206,8
958,9
1.656.8
230,3
1.380,80
2.138,5
262.3
1.761,20
3.090,4
433,0
2.754,10
6.589.5
936,7
5.311,40
8.191,8
1.195,8
6.743,00
9.998,4
1.560,3
7.762,00
9.971,4
1.520,2
7.967,00
237,8
321,1
250,4
394,5
413,9
612,5
531,4
1.155,7
907,0
1.274,5
1.293,4
1.476,6
1.936.6
3.403,2
2.793,6
3.296,2
3.794,5
3.452,9
I) S.d. Paledes 1988 2) S.d. Desember 1993
3.8.3. Dana Pensiun
Dana pensiun, sebagai suatu lembaga keuangan di luar perbankan, mempunyai dua
peranan yang tidak dapat diabaikan dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Di
samping sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan yang diperoleh dari penghimpunan
dana masyarakat yang bersifat jangka panjang, juga merupakan suatu lembaga keuangan yang
mampu memberikan manfaat pensiun kepada para anggotanya melalui jaminan hari tua yang
sekaligus dapat meningkatkan motivasi dan gairah kerja sehingga dapat meningkatkan
produktivitas perusahaan.
Mengingat sangat strategisnya peranan Dana Pensiun tersebut, maka Pemerintah terus
mendorong dan menumbuhkembangkan Dana Pensiun melalui serangkaian kebijaksanaan
deregulasi, baik yang menyangkut penyempurnaan kelembagaan maupun yang berkaitan dengan
pengelolaan, serta perlindungan terhadap para peserta program Dana Pensiun. Salah satu dasar
hukum bagi Dana Pensiun yang sangat mendasar adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tanggal 20 April tentang Dana Pensiun. Dengan undang-undang tersebut dimungkinkan
terbentuknya dua jenis badan hukum yang mengelola dan menjalankan dana pensiun, yaitu Dana
Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Dana Pensiun
Pemberi Kerja merupakan Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang
mempekerjakan karyawan selaku pendiri, yang menyelenggarakan program pensiun manfaat
pasti (PPMP) bagi kepentingan karyawannya. Sedangkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Departemen Keuangan RI
294
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh lembaga keuangan perbankan atau perusahaan asuransi
jiwa yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti (PPJP) bagi perorangan, baik
karyawan maupun pekerja mandiri, yang terpisah dari Dana Pensiun Pemberi Kerja dari
karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
Adapun
besarnya
iuran
yang
disetorkan,
baik
oleh
pemberi
kerja
maupun
karyawan/peserta ke Dana Pensiun, berkaitan dengan program yang dilaksanakan oleh Dana
Pensiun yang bersangkutan, apakah dalam bentuk PPMP atau PPJP. Besarnya iuran pemberi
kerja dalam PPJP merupakan persentase tertentu dari pendapatan tiap peserta, di mana persentase
iuran pemberi kerja diharuskan lebih besar dari iuran peserta. Sementara itu, besarnya iuran
pemberi kerja dalam PPMP didasarkan atas perhitungan aktuaria, di mana pemberi kerja
menanggung selisih antara besarnya pendanaan yang dibutuhkan untuk membayarkan manfaat
pensiun dan jumlah iuran peserta. Sedangkan besarnya iuran peserta dalam kedua program
tersebut (PPMP dan PPJP) merupakan persentase tetap tertentu dari gaji tiap peserta. Dalam
usahanya, Dana Pensiun Pemberi Kerja diperbolehkan menyelenggarakan salah satu dari program
tersebut (PPMP atau PPJP), sedangkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat
menjalankan PPJP.
Dalam pada itu, dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun tersebut, Dana Pensiun di Indonesia berarti telah memiliki landasan hukum yang
kuat dan jelas, baik dalam hal pembentukan maupun teknis penyelenggaraannya. Hal ini karena
dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang azas-azas yang dianut dalam usaha Dana
Pensiun, seperti azas keterpisahan kekayaan Dana Pensiun dari kekayaan badan hukum
pendirinya, sistem pendanaan, pembinaan, serta atas pengawasan. Melalui atas-atas tersebut
dimungkinkan bagi para pekerja yang tergabung dalam perusahaan maupun pekerja mandiri
untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam menikmati program pensiun. Di samping
itu, dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai perlindungan terhadap kekayaan Dana
Pensiun, serta pengembangan dan pengawasan atas investasi kekayaan Dana Pensiun agar Dana
Pensiun dapat berkembang dengan lebih baik, yang sekaligus mendorong perkembangan dana
pensiun di Indonesia yang lebih cepat.
Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tersebut, pada bulan
Februari 1993 Pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan lebih lanjut mengenai investasi
Departemen Keuangan RI
295
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Dana Pensiun. Berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja maupun
Dana Pensiun Lembaga Keuangan diperbolehkan melakukan investasi dalam bentuk saham,
obligasi, dan surat berharga lainnya dengan maksimum sebesar 10 persen untuk setiap penerbitan
masing-masing surat berharga tersebut. Sementara itu, investasi dalam bentuk SBPU ditetapkan
tidak boleh melebihi 10 persen dari jumlah aktiva dana pensiun. Investasi dalam bentuk deposito
berjangka dan sertifikat deposito hanya diperbolehkan dilakukan pada bank yang tidak
mempunyai hubungan afiliasi dengan pendiri atau mitra pendiri Dana Pensiun tersebut.
Selanjutnya, dalam melakukan investasi, lembaga Dana Pensiun diharuskan mengutamakan
aspek keamanan, hasil investasi, serta tingkat likuiditas dari bentuk-bentuk investasi tersebut.
Dari jumlah perusahaan yang telah mengajukan permohonan dan penyesuaian menjadi
Dana Pensiun, terdapat 508 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 13 perusahaan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan. Apabila dikelompokkan berdasarkan kepemilikannya, jumlah
lembaga Dana Pensiun di Indonesia tersebut terdiri dari 104 Dana Pensiun milik badan usaha
milik negara (BUMN) dan 417 Dana Pensiun milik perusahaan swasta. Sampai dengan Desember
1994, dari jumlah tersebut yang telah disahkan menjadi Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Dana Pensiun Tahun 1992 adalah sebanyak 90 perusahaan Dana Pensiun
Pemberi Kerja dan 10 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Sementara itu, sampai dengan akhir tahun 1992, jumlah kekayaan Dana Pensiun tercatat
sebesar Rp 7.528,7 miliar. Dari jumlah tersebut telah diinvestasikan sebesar Rp 5.370,8 miliar
atau sebesar 71,3 persen. Dari jumlah investasi dana pensiun tersebut dialokasikan dalam bentuk
sertifikat deposito sebesar Rp 3.329,8 miliar, atau sebesar 62 persen dari seluruh dana yang
diinvestasikan.
Selanjutnya, dalam rangka mengembangkan sistem pembayaran pensiun, tugas dan
kewajiban penyelenggaraan pembayaran pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh
Indonesia telah dilimpahkan kepada PT Taspen. Posisi iuran dana pensiun PNS yang berhasil
dihimpun oleh PT Taspen sampai dengan akhir September 1994 meningkat sebesar 14 persen,
sehingga mencapai jumlah sebesar Rp 6.679,4 miliar.
3.8.4. Pegadaian
Di samping lembaga pembiayaan, perkreditan, dan perbankan, Perusahaan Umum
Departemen Keuangan RI
296
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
(Perum) Pegadaian juga merupakan lembaga perkreditan yang cukup penting dalam ikut
melaksanakan program pembangunan, terutama dalam mendukung golongan ekonomi lemah. Di
samping itu, keberadaan Perum Pegadaian juga ikut membantu menghilangkan berbagai lembaga
perkreditan gelap dan sejenisnya yang tidak bermanfaat, seperti praktek ijon, pegadaian gelap,
riba, dan pinjaman tidak wajar. Dalam rangka meningkatkan pelayanannya, Perum Pegadaian
telah memberikan kemudahan dalam hal memperoleh pinjaman, sesuai dengan jaminan memadai
yang dimiliki atau dijaminkan oleh peminjam (pegadai).
Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional serta untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan dana yang dapat diperoleh dengan relatif cepat dan murah, Perum Pegadaian
sejak tahun 1994 telah menaikkan batas maksimum pagu pinjaman, dari Rp 1,5 juta menjadi Rp
2,5 juta, dan menurunkan suku bunga pinjamannya. Selanjutnya sesuai dengan kenaikan pagu
pinjaman tersebut, tingkat bunga yang dikenakan pada nasabah/peminjam pada Perum Pegadaian
telah diturunkan yang dibagi dalam empat kategori. Untuk nasabah dengan pinjaman sebesar Rp
5 ribu sampai dengan Rp 40 ribu, suku bunganya diturunkan dari 3 persen menjadi 2,5 persen per
bulan. Sedangkan tiga kategori lainnya, yaitu nasabah dengan pinjaman sebesar Rp 40,5 ribu
sampai dengan Rp 250 ribu, Rp 251 ribu sampai dengan Rp 500 ribu, dan Rp 501 ribu sampai
dengan Rp 2,5 juta, suku bunganya juga diturunkan masing-masing dari 4 persen menjadi 3,5
persen perbulan. Dapat ditambahkan bahwa untuk semua kategori pinjaman pada Perum
Pegadaian tersebut ditetapkan bahwa jangka waktu pelunasannya maksimum empat bulan.
Selain itu, dalam tahun 1994 Perum Pegadaian juga memperkenalkan jenis produk baru,
yaitu jasa penitipan surat berharga, perhiasan, dari barang berharga lainnya. Jangka waktu
penitipan ditetapkan antara dua minggu sampai satu tahun, dengan tarif Rp 1.500 sampai dengan
Rp 30.000. Dalam perkembangannya, pinjaman yang diberikan Perum Pegadaian kepada
masyarakat mengalami perkembangan yang cukup pesat. Apabila dalam tahun 1990 jumlah
pinjaman yang diberikan baru mencapai jumlah sebesar Rp 433 miliar, maka dalam tahun 1993
jumlah pinjaman tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 779 miliar. Sejalan dengan
perkembangan jumlah pinjaman tersebut, jumlah kantor pegadaian di seluruh Indonesia telah
mengalami peningkatan dari 505 kantor cabang pada akhir tahun 1990 menjadi 561 kantor
cabang pada akhir tahun 1993. Sedangkan pada akhir September 1994 jumlah tersebut meningkat
lagi menjadi 574 kantor cabang, termasuk kantor-kantor cabang baru di wilayah Indonesia bagian
timur dan Propinsi Irian Jaya. Kegiatan usaha Perum Pegadaian tersebut diharapkan akan
Departemen Keuangan RI
297
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
semakin meningkat lagi dimasa yang akan datang, terutama dengan telah dicanangkannya
serangkaian kebijaksanaan pemerintah dalam Repelita VI antara lain berupa program
pengentasan kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT), prioritas pengembangan usaha
kecil dan menengah, serta diciptakannya iklim keterbukaan yang memungkinkan peranserta
pihak swasta dalam usaha pegadaian.
3.9. Pasar modal
Pasar modal pada dasarnya merupakan suatu lembaga di luar perbankan yang dapat
berfungsi sebagai alternatif investasi portepel (portfolio) bagi pemodal, dari sekaligus sebagai
alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tambahan modal.
Bagi pemodal, "capihal gain", deviden saham, ataupun pendapatan dari kupon obligasi adalah
merupakan beberapa pendorong untuk melakukan investasi di pasar modal, sedangkan bagi
perusahaan-perusahaan, tambahan modal, baik yang bersifat permanen (equity) maupun jangka
panjang (obligasi), merupakan alternatif sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh melalui
pasar modal.
Perkembangan pasar modal Indonesia telah menunjukkan kinerja yang semakin membaik
dalam beberapa tahun terakhir, yang erat hubungannya dengan usaha-usaha memobilisasi dana
masyarakat bagi pembangunan melalui pasar modal. Usaha-usaha tersebut antara lain meliputi
arahan investasi bagi dana pensiun dalam berbagai jenis investasi (termasuk saham dari obligasi),
kebijaksanaan terhadap industri perbankan dimana saham dapat digunakan sebagai agunan,
kebijaksanaan deregulasi di sektor riil yang berdampak positip bagi perkembangan dunia usaha,
peraturan-peraturan untuk memperbaiki aturan main di pasar modal, serta penegakan peraturan
secara konsisten terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Selain usaha/kebijaksanaan
pemerintah tersebut, faktor lain yang juga turut mendukung adalah usaha-usaha yang telah
dilakukan oleh bursa efek itu sendiri, baik melalui berbagai aturan mainnya maupun melalui para
pelaku pasar modal dalam menunjukkan identitas dirinya sebagai pelaku yang baik dan
profesional. Keberhasilan memobilisasi dana melalui pasar modal ini diharapkan akan lebih
meringankan beban pemerintah dalam penyediaan daha di masa-masa yang akan datang.
Dalam rangka untuk lebih menumbuhkembangkan pasar modal Indonesia, pasar modal
terus dikembangkan melalui kebijaksanaan sekuritisasi sebagai alternatif sumber pembiayaan
Departemen Keuangan RI
298
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pembangunan. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah mengeluarkan raker deregulasi pasar
modal melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1990, yang dijabarkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1548 Tahun 1990, yang selanjutnya telah diubah dan ditambah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199 Tahun 1991. Dalam raker kebijaksanaan tersebut
antara lain ditetapkan untuk mengubah fungsi Bapepam yang semula sebagai pelaksana bursa
menjadi pengawas bursa. Dalam pelaksanaan lebih lanjut, Bapepam telah mengeluarkan berbagai
ketentuan, antara lain mengenai keterbukaan bagi perusahaan "go public" dan perusahaan publik,
baik dalam rangka penawaran umum perdana maupun setelah pernyataan menjadi efektif, serta
ketentuan di bidang peningkatkan kualitas dan transparansi pelaporan keuangan dengan tujuan
mewujudkan suatu pasar modal yang efisien, efektif, dan terbuka.
Selanjutnya, untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha menengah dan kecil yang
membutuhkan dana melalui pasar modal, Pemerintah telah memberikan izin usaha kepada Bursa
Paralel Indonesia (PT BPI) dalam bulan Januari 1994 sebagai penyelenggara perdagangan efek di
luar lantai bursa. Bursa Paralel Indonesia tersebut diharapkan dapat menjalankan bursa efek
secara efisien, baik yang menyangkut jaminan keamanan yang menyeluruh, pasar yang likuid,
maupun sistem penyebaran informasi yang sempurna.
Selain itu, untuk lebih mengefisienkan perdagangan di lantai bursa, sejak bulan Juni 1994
PT Kliring dan Deposit Efek Indonesia (PT KDEI) telah melaksanakan sistem netting dalam
proses kliring dan penyelesaian untuk semua efek yang ditransaksikan di pasar reguler. Dalam
sistem ini transaksi pembelian dan penjualan suatu efek tertentu yang dilaksanakan oleh anggota
bursa dipertemukan pada hari bursa pada satu hari bursa. Dengan telah dimulainya sistem
penyelesaian perdagangan efek tersebut diharapkan dapat mendorong aktivitas perdagangan
dalam volume yang lebih besar dalam waktu-waktu yang akan datang. Selanjutnya dalam rangka
pengembangan pasar sekunder obligasi dan membantu para pemodal untuk menilai efek yang
diterbitkan perusahaan, Pemerintah telah mendorong berdirinya suatu lembaga Pemeringkat Efek
Indonesia yang dikelola swasta dengan nama PT Pefindo. Lembaga ini mempunyai fungsi
memberikan perangkat secara independen atas efek yang bersifat hutang, yang diterbitkan
berdasarkan kesehatan dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban membayar bunga
dan pokok pinjamannya kepada pemodal pada saat jatuh tempo. Upaya-upaya lain untuk
mengembangkan pasar sekunder obligasi ini dilakukan melalui penelitian dan studi banding
terhadap kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin dapat dikembangkan.
Departemen Keuangan RI
299
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sementara itu, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia,
Pemerintah terus berupaya memperluas/mendorong pasar modal Indonesia agar lebih bertumpu
pada kekuatan pemodal dalam negeri. Berkaitan dengan itu, Pemerintah terus berusaha
menciptakan iklim yang dapat menunjang bagi kemungkinan beroperasinya kegiatan reksa dana.
Reksa dana dalam kegiatannya melaksanakan diversifikasi investasi dari sekumpulan dana para
pemodal. Dengan menanamkan dananya melalui reksa dana diharapkan dapat mengurangi risiko
bagi para pemodal kecil, sehingga investasi mereka tetap menguntungkan. Dengan usaha-usaha
ini diharapkan pasar modal akan semakin aman dan bertambah likuid seiring dengan semakin
banyaknya pemodal domestik yang ikut ambil bagian dalam transaksi perdagangan.
Untuk mengantisipasi perkembangan di sektor keuangan pada umumnya, terutama dalam
kaitannya untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan nasional
sebagaimana dituangkan dalam Repelita VI, serta dalam rangka menempatkan pasar modal
Indonesia sejajar dengan pasar modal di negara-negara maju, maka diperlukan penyempurnaan
Undang-undang Pasar Modal agar lebih sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam dunia
pasar modal. Dalam kaitannya dengan ini, Pemerintah telah mulai melakukan penyusunan
rancangan undang-undang pasar modal yang baru, yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat setelah penyusunannya selesai.
Selanjutnya, perkembangan pasar modal Indonesia antara lain dapat dilihat melalui
jumlah perusahaan yang "go public", jumlah saham yang dicatatkan di bursa efek, serta aktivitas
perdagangan surat berharga di pasar modal. Adapun aktivitas perdagangan saham antara lain
tercermin dalam perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terjadi di bursa efek.
Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), setelah mengalami peningkatan
sehingga mencapai angka tertinggi 612,88 dalam bulan Januari 1994, telah mengalami penurunan
sehingga menjadi 449,72 dalam bulan Juli 1994 (terendah dalam periode Januari-November
tahun 1994). Penurunan IHSG tersebut antara lain diakibatkan adanya penurunan harga sebagian
besar saham dan banyaknya saham-saham baru yang masuk ke bursa, serta kelesuan perdagangan
di lantai bursa. Melemahnya perdagangan saham ini juga erat hubungannya dengan banyaknya
dana yang diserap ke "right issue" (penawaran terbatas) dari saham emiten yang telah tercatat di
bursa. Memasuki bulan Agustus 1994, kondisi pasar modal mulai bergairah kembali, dimana
IHSG mencapai angka 510,25 pada akhir bulan Agustus 1994. Walaupun angka IHSG sempat
turun lagi pada akhir September 1994, namun saham-saham yang baru, antara lain saham PT
Departemen Keuangan RI
300
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Indosat, telah mendorong pemodal-pemodal untuk melakukan transaksi yang lebih besar dengan
harapan mendapatkan "capital gain" di pasar sekunder, sehingga angka IHSG meningkat kembali
menjadi 523,49 pada akhir Oktober 1994. Kemudian menurun kembali mencapai angka 482,63
pada akhir bulan November 1994.
Jumlah perusahaan yang telah memperoleh persetujuan Bapepam untuk "go public" di
bursa efek sampai dengan akhir November 1994 telah meningkat menjadi 272 perusahaan,
dengan jumlah dana yang terhimpun sebesar Rp 32,2 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari 226
emiten yang mengemisikan saham sebanyak 6.211,2 juta lembar dengan nilai Rp 26 triliun, serta
46 emiten yang mengemisikan obligasi dan sekuritas kredit sebanyak 748.588 lembar dengan
nilai Rp 6,2 triliun. Jumlah perusahaan yang memperoleh persetujuan tersebut dalam periode
Januari-November 1994 adalah bertarnbah sebanyak 48 emiten, yang berarti lebih besar bila
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1993 yang hanya bertarnbah dengan 28 emiten.
Perkembangan jumlah saham yang tercatat di BEJ sampai dengan bulan November 1994
mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu meningkat menjadi 23.292,8 juta lembar saham
dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 105,2 triliun, dari sebanyak 9.787,4 juta lembar saham
dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 69,3 triliun pada akhir tahun 1993. Sementara itu trartsaksi
perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta dalam periode Januari-November 1994 mencapai
volume 4.687,2 juta lembar saham dengan nilai sebesar Rp 23,2 triliun atau nilai perdagangan
rata-rata per harinya sebesar Rp 102,3 miliar. Sedangkan volume saham yang diperdagangkan
dalam periode yang sama tahun 1993 berjumlah 3.359,9 juta lembar saham dengan nilai sebesar
Rp 16,5 triliun, atau nilai perdagangan rata-rata per harinya sebesar Rp 73,7 miliar.
Di samping itu, jumlah saham yang tercatat di Bursa Efek Surabaya (BES) sampai dengan
akhir November 1994 berjumlah 19.610 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp
107,5 triliun, sedangkan yang tercatat di Bursa Paralel berjumlah 76,2 juta lembar saham dengan
nilai kapitalisasi sebesar Rp 1.241,4 miliar. Hal ini berarti terdapat peningkatan yang cukup
berarti apabila dibandingkan dengan jumlah saham yang tercatat pada akhir tahun 1993 di BES
sebanyak 8.160,9 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 54,1 triliun, dan di
Bursa Paralel sebanyak 75,9 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 951,6 miliar.
Sementara itu, sertifikat saham yang telah diterbitkan oleh PT Danareksa sampai dengan
akhir November 1994 tetap belum berubah, yaitu 12 jenis sertifikat saham dengan nilai sebesar
Departemen Keuangan RI
301
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Rp 222,8 miliar, yang terdiri dari dua jenis sertifikat saham perusahaan dengan nilai sebesar Rp
7,8 miliar, lima jenis sertifikat dana unit umum dengan nilai saham sebesar Rp 75 miliar, dua
jenis sertifikat dana unit saham pendapatan abadi dengan nilai sebesar Rp 60 miliar, dan tiga jenis
sertifikat dana unit saham dengan nilai sebesar Rp 80 miliar. Perkembangan jumlah emiten yang
telah mendapat persetujuan efektif Bapepam untuk melakukan emisi saham, obligasi, dan
sekuritas kredit, serta sertifikat saham yang telah diterbitkan oleh PT Danareksa dapat diikuti
dalam Tabel III.27, Tabel III.28, dan Tabel III.29.
Tabel III.27
PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI SAHAM
PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL,
1984 - 1994
Jumlah
Nilai kumulatiC
Akbir
Jumlah
perdana
periode
perusahaan kumulatiC saham
(Iembar)
(milyar Rp)
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Departemen Keuangan RI
24
24
24
24
25
67
132
145
145
151
53
162
164
168
174
181
183
187
192
192
194
207
207
207
216
218
226
57.008.842
57.008.842
57.226.562
57.226.562
68.452.387
308.666.206
965.394.566
1.178.465.725
1.178.466.756
1.400.251.236
1.439.599.686
1.761.393.686
1.825.256.186
1.969.502.186
2.206.612.186
3.338.513.735
3.614.230.919
3.860.160.319
4.023.545.991
4.172.495.549
4.367.260.199
5.391.717.624
5.396.717.624
5.396.717.624
5.783.381.047
5.850.631.047
6.211.183.047
128.993
128.993
129.400
129.400
173,7
2.260,50
8.009,40
8.976,10
8.976,10
9.555,90
9.751,10
11.161,80
11.333,30
11.837,40
13.149,60
16.065,00
16.995,90
18.336,70
18.909,00
19.132,50
19.679,90
23.157,20
23.166,20
23.166,20
24.751,20
24.954,20
26.034,10
302
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III. 28
PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS KREDIT
PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL,
1984 - 1994
Akhir
periode
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
([)
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Departemen Keuangan RI
Jumlah
perusahaan
12)
3
3
3
3
9
22
23
24
25
26
30
34
36
41
42
43
43
43
43
44
45
46
46
46
46
46
46
Jumlah
kumulatif emisi
( lembar )
13)
269.730
282.170
285.915
296.145
322.475
358.664
380.244
384.032
392.513
415.480
630.616
653.788
658.808
675.210
675.980
725.074
725.074
741.534
741.534
743.164
743.903
748.588
748.588
748.588
748.588
748.588
748.588
Nilai kumulatif
perdana
(juta Rp )
-4
154.718
354.718
404.718
535.718
935,7
1.555,20
2.090,20
2.215,20
2.515,20
2.649,20
3.230,70
3.856,80
4.226,80
4.911,80
5.561,80
5.761,80
5.761,80
6.011,80
6.011,80
6.111,80
6.136,80
6.261,80
6.261,80
6.261,80
6.261,80
6.261,80
6.261,80
303
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel III.29
PERKEMBANGAN JUMLAH SERTIFIKA T YANG DITERBITKAN
OLEH PT DANAREKSA,
1984 - 1994
Akhir
periode
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Departemen Keuangan RI
Jumlah
perusahaan
7
8
10
11
11
12
15
13
13
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
Jumlah
kumulatif emisi
( lembar)
7.420.300
10.920.300
15.420.300
16.920.300
16.920.300
20.680.000
30.680,90
26.180.900
26.180.900
25.780.900
25.780.900
25.780.900
25.780.900
25.812.400
25.812.400
25.780.900
25.780.900
25.780.900
25.780.900
25.780.900
25.812.400
25.812.400
25.812.400
25.812.400
25.812.400
25.812.400
25.812.400
Nilai kumulatif
perdana
(juta Rp)
72.793,30
107.793,30
152.793,30
167.793,30
167.793,30
172.793,30
272.793,30
227.793,30
227.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
222.793,30
304
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
BAB IV
PERDAGANGAN LUAR NEGERI
DAN NERACA PEMBAYARAN
4.1. Pendahuluan
Proses pemulihan perekonomian dunia yang telah berlangsung sejak tahun 1991 masih
terus berlanjut, walaupun pemulihan tersebut masih terasa lamban. Selama tiga tahun terakhir ini,
pertumbuhan ekonomi dunia mengalami peningkatan antara 0,6 persen sampai dengan 0,8 persen
setiap tahunnya. Dalam tahun 1994, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai sebesar
3,1 persen, yang berarti meningkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
hanya mencapai sebesar 2,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi dan
pulihnya perekonomian di sebagian besar negara-negara industri, termasuk Jerman, Perancis, dan
Italia, yang dalam tahun sebelumnya pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi.
Membaiknya perekonomian negara-negara industri ini merupakan hasil dari meningkatnya
permintaan dalam negeri dan sebagai akibat dari meningkatnya tingkat kepercayaan dunia usaha,
yang tercermin dari meningkatnya investasi, baik swasta maupun pemerintah. Demikian pula
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dalam tahun 1994 masih tetap mantap,
meskipun mengalami sedikit penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya. Hal ini terutama
didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi oleh negara-negara di Asia, terutama Cina,
Thailand, dan Korea Selatan, serta negara-negara di Afrika, sebagai hasil dari dilakukannya
perbaikan berbagai kebijaksanaan struktural, serta pengendalian stabilitas makro ekonomi secara
tepat.
Membaiknya perekonomian dunia juga ditandai dengan menurunnya tingkat inflasi di
hampir semua negara-negara industri, sebagai hasil dari upaya konsolidasi di bidang fiskal dan
meredanya tekanan terhadap kenaikan upah buruh. Demikian pula di negara-negara berkembang,
laju inflasi dalam tahun ini diperkirakan dapat ditekan, sehingga tidak meningkat jauh dari tahun
sebelumnya melalui upaya program stabilisasi harga serta penerapan kebijaksanaan moneter yang
Departemen Keuangan RI
305
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ketat. Di samping itu, transaksi berjalan diperkirakan tidak jauh berbeda dari tahun yang lalu,
dimana transaksi berjalan negara-negara industri secara keseluruhan mengalami surplus, sebagai
hasil dari meningkatnya ekspor di sebagian besar negara-negara tersebut. Di lain pihak, negaranegara berkembang pada umumnya mengalami defisit transaksi berjalan, sebagai akibat dari
besarnya beban pembayaran hutang luar negeri.
Sementara itu, menguatnya nilai tukar Yen terhadap Dollar Amerika telah menimbulkan
dampak negatif terhadap neraca pembayaran Indonesia, karena beban pembayaran cicilan pokok
hutang yang sudah jatuh tempo beserta bunganya terhadap pinjaman dari Jepang semakin
meningkat, serta biaya impor barang-barang modal dan bahan baku menjadi semakin besar.
Selain itu, kenaikan suku bunga Dollar di pasar internasional sebagai akibat kebijaksanaan
moneter ketat yang diterapkan oleh Amerika Serikat juga turut memberi tekanan terhadap
perkembangan neraca pembayaran Indonesia. Dalam menghadapi tekanan terhadap neraca
pembayaran tersebut dan untuk menjaga agar keseimbangan neraca pembayaran dapat
dipertahankan, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan, di antaranya adalah
kebijaksanaan yang memberi peluang lebih besar bagi masuknya arus modal dari luar negeri,
menciptakan iklim investasi yang merangsang penanaman modal asing, di samping tetap
mempertahankan kebijaksanaan devisa bebas. Dengan demikian, diharapkan tercipta peluang
untuk meningkatkan ekspar nonmigas sebagai penghasil devisa, yang dapat digunakan untuk
membiayai pembangunan dan mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia.
Perekonomian dunia juga diwarnai dengan semakin terbukanya perdagangan dunia. Suatu
tatanan ekonomi dunia baru telah muncul dengan ditandatanganinya Pakta Maroko atau Deklarasi
Marakesh yang dinamai "The Final Act", dimana pengaturan sistem perdagangan Dunia
dilaksanakan di bawah prinsip-prinsip perdagangan multilateral, terbuka, dan bebas hambatan,
baik hambatan tarif maupun nontarif. Melalui liberalisasi perdagangan, mekanisme pasar
diletakkan pada persaingan bebas, sehingga keadaan ini mengakibatkan semakin ketatnya
persaingan perdagangan internasional di pasar global, dan bahkan juga di dalam negeri. Dalam
mengantisipasi perubahan tatanan perekonomian Dunia tersebut, Pemerintah terus melakukan
pembenahan di dalam negeri. melalui penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan yang
sudah ada, dan menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru melalui serangkaian paket-paket
deregulasi dan debirokratisasi. Di samping itu terus diupayakan peningkatan kualitas sumber
daya yang ada, termasuk sumber daya manusia, dan bersama-sama dengan pihak swasta
Departemen Keuangan RI
306
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
membangun proyek-proyek infrastruktur. Sementara itu kebijaksanaan perdagangan luar negeri
dan hubungan kerjasama ekonomi dengan negara-negara ASEAN melalui AFTA terus
ditingkatkan, begitu juga dengan sesama negara-negara anggota APEC.
Deklarasi Bogor yang merupakan hasil pertemuan para pemimpin APEC (APEC
Economic Leaders Meeting, AELM) di Bogar pada tanggal 15. Nopember 1994 yang dihadiri
pemimpin ekonomi dari 8 negara, telah menghasilkan kesepakatan untuk mewujudkan
perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Pasifik selambat-lambatnya tahun
2010 bagi negara-negara maju, dan tahun 2020 untuk negara sedang berkembang. Dalam
pertemuan tersebut APEC telah menentukan arah dan rancangan masa depan dalam kerjasama
ekonomi kawasan, serta memanfaatkan momentum keberhasilan perundingan Putaran Uruguay
(GATT) yang bertujuan untuk memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
merata, tidak hanya bagi kawasan Pasifik tetapi juga bagi seluruh dunia.
Sementara itu untuk menunjang liberalisasi perdagangan dan investasi, telah disepakati
pula peningkatan kerjasama ekonomi di bidang sumber daya manusia, infrastruktur ekonomi,
ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, usaha menengah dan kecil, serta
mengikutsertakan pihak swasta. Di samping itu, telah disepakati pula untuk meletakkan landasan
idiil, konstitusional, serta landasan operasional dengan tujuan untuk menjamin kerjasama
ekonomi kawasan yang berkelanjutan. Deklarasi Bogor juga menyatakan secara tegas menentang
keras pembentukan blok perdagangan APEC secara tertutup, serta bertekad mewujudkan sistem
perdagangan bebas dan kebebasan untuk berinvestasi di dunia secara keseluruhan.
4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter internasional dalam tahun 1994
Ekspansi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini di Amerika Serikat dan Kanada, serta
adanya tanda-tanda kepulihan ekonomi yang lebih jelas di negara-negara industri Eropa dari
Jepang telah membawa perekonomian dunia diperkirakan tumbuh sebesar 3,1 persen dalam tahun
1994 dan 3,6 persen dalam tahun 1995. Meluas dari menguatnya pemulihan ekonomi di negaranegara industri tampaknya menjadi tanda segera berakhirnya kemunduran yang berlarut-larut
yang telah mempengaruhi perekonomian seluruh negara di dunia.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju (G-7) dalam tahun 1994
diperkirakan mencapai 2,8 persen, jauh lebih baik dari laju yang dicapai dalam tahun sebelumnya
Departemen Keuangan RI
307
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebesar 1,4 persen. Bila dalam tahun 1993 beberapa negara industri maju seperti Jerman,
Perancis, dari Italia mengalami laju pertumbuhan negatif, dalam tahun 1994 ini seluruh negara
dalam kelompok tersebut diperkirakan akan mencatat laju pertumbuhan positif. Perekonomian
Amerika Serikat diperkirakan tumbuh dari sebesar 3,1 persen dalam tahun sebelumnya menjadi
3,7 persen dalam tahun 1994. Investasi dalam bisnis yang menguat dalam tahun 1993, sebagai
reaksi terhadap meningkatnya laba perusahaan-perusahaan dari rendahnya tingkat bunga, masih
terus berlanjut sampai tahun 1994 untuk memenuhi meningkatnya permintaan dalam negeri saat
ini dan masa mendatang. Naiknya tingkat bunga pinjaman jangka panjang dari titik terendahnya
pada kuartal ketiga tahun 1993, diperkirakan agak menurunkan kegiatan investasi dari konsumsi.
Namun hal ini diimbangi oleh adanya sumbangan yang lebih kuat dalam pertumbuhan
kesempatan kerja dari permintaan luar negeri terhadap barang-barang ekspor Amerika Serikat.
Ekspansi ekonomi Kanada terus berlanjut dengan langkah yang makin kuat dalam tahun
1994, dimana para eksportir Kanada memperoleh manfaat dari kuatnya permintaan di Amerika
Serikat serta terangkatnya industri dalam negeri, khususnya industri-industri yang berbasis
sumber daya, sebagai akibat naiknya harga-harga komoditi. Permintaan dalam negeri yang
semakin membaik juga memberikan sumbangan terhadap menguatnya pertumbuhan ekonomi,
yang dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 4,1 persen, dibandingkan dengan sebesar 2,2
persen yang dicapai dalam tahun 1993.
Kegiatan ekonomi yang lebih kuat dari yang diperkirakan selama enam bulan pertama
tahun 1994, konsumsi swasta yang terbukti tetap mantap sekalipun terjadi kenaikan pajak dalam
bulan Januari 1994, dan meningkatnya permintaan dalam negeri dengan laju kenaikan tahunan
sebesar 1 persen, telah menyumbang terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Jerman dalam
tahun 1994, yang diperkirakan sebesar 2,3 persen, setelah dalam tahun sebelumnya mengalami
pertumbuhan yang negatif sebesar 1,1 persen. Namun sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan
ekonomi Jerman ini sesungguhnya berasal dari sektor luar negeri. Meningkatnya daya saing
sebagai dampak restrukturisasi industri di dalam negeri dari menurunnya ongkos buruh, serta
meluasnya permintaan di pasar Amerika Utara disamping pasar di Eropa sendiri, pada akhirnya
telah meningkatkan pertumbuhan ekspor.
Perubahan di Perancis terlihat hampir merata antara sumber-sumber dalam negeri dari luar
negeri. Pertumbuhan permintaan dalam negeri secara keseluruhan dari pertumbuhan produksi
Departemen Keuangan RI
308
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
nasional diperkirakan sama-sama sebesar 1,9 persen dalam tahun 1994, beranjak dari
pertumbuhan yang dialami dalam tahun 1993 sebesar minus 1 persen. Menguatnya pengeluaran
konsumen di awal tahun 1994 sebagian disebabkan oleh insentif khusus yang diberikan oleh
pemerintah bagi pembelian mobil, meskipun pengeluaran bagi barang-barang tahan larna juga
telah meningkat.
Sementara itu, aktivitas ekonomi Italia sejak awal tahun 1994 juga telah semakin
bertambah baik, terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan luar negeri. Volume ekspor
selama kuartal pertama tahun 1994 tumbuh sebesar 11 persen dari periode yang sama tahun
sebelumnya. Meskipun keyakinan konsumen mulai membaik, namun pengeluaran dalam negeri
secara keseluruhan diperkirakan tetap lemah karena rendahnya pertumbuhan pendapatan rill dan
investasi dalam bisnis yang bersikap hati-hati. Proyeksi pertumbuhan Italia dalam tahun 1994
adalah sebesar 1,5 persen, berbeda jauh dari sebesar minus 0,7 persen dalam tahun 1993.
Pemulihan ekonomi yang memberikan daya dorong lebih jauh bagi peningkatan aktivitas
ekonomi di negara-negara Eropa, terjadi juga di Inggris. Produksi nasional selama kuartal kedua
1994 diperkirakan meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan sebesar 4 persen, yang
mencerminkan membaiknya pertumbuhan di sektor penjualan eceran, dan juga berlanjutnya
perkembangan di sektor industri dan manufaktur. Atas dasar perkembangan ini, pertumbuhan
ekonomi Inggris dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 3,3 persen, dibandingkan sebesar 2
persen dalam tahun 1993.
Kondisi bagi suatu pemulihan ekonomi secara bertahap telah mulai terlihat di Jepang.
Beberapa indikator paling akhir yang mendukung ke arah itu antara lain ialah pertumbuhan
selama kuartal pertama tahun 1994 yang relatif kuat, yang mencerminkan adanya pertarnbahan
dalam konsumsi swasta. Walaupun produksi sektor industri agak berfluktuasi namun secara neto
meningkat selama tujuh bulan pertama tahun 1994. Demikian pula survei paling akhir mengenai
kondisi bisnis menunjukkan suatu peningkatan dalam bulan Mei, yang merupakan pertama kali
sejak tahun 19,89, dan kembali meningkat dalam bulan Agustus. Konsumsi swasta diharapkan
menjadi tenaga pendorong pemulihan ekonomi, yang sebagian didukung oleh penurunan pajak
pendapatan yang ditetapkan selama paruh kedua tahun 1994. Di samping itu, kebijaksanaan fiskal
yang diterapkan pemerintah Jepang telah memberikan dukungan yang sangat besar terhadap
aktivitas ekonomi. Dengan beberapa indikasi-indikasi positif tersebut, ekonomi Jepang dalam
Departemen Keuangan RI
309
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun 1994 diproyeksikan tumbuh sebesar 0,9 persen, lebih baik dibandingkan dengan laju
pertumbuhan sebesar 0,1 persen dalam tahun sebelumnya.
Sementara itu kinerja ekonomi yang semakin kuat dan terus berlanjut di banyak negaranegara sedang berkembang diperkirakan dapat menghasilkan rata-rata peitumbuhan sebesar 5,6
persen dalam tahun 1994, sedikit menurun dari laju pertumbuhan yang dicapai dalam tahun
sebelumnya sebesar 6,1 persen. Selain dari pada itu, perbedaan yang ada di antara negara-negara
berkembang yang satu dengan negara lainnya cenderung terus membesar. Perkiraan pertumbuhan
rata-rata negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin diproyeksikan menurun dari 3,4
persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 2,8 persen dalam tahun 1994. Pertumbuhan di Meksiko
lebih lemah dari yang diduga. Pemulihan aktivitas ekonomi di negara ini hanya sedang saja
sebagai akibat naiknya tingkat suku bunga riil di dalam negeri dan adanya ketidakpastian usaha
sehubungan dengan berlangsungnya kegiatan pemilihan umum di negara tersebut. Peningkatan
produksi yang besar diproyeksikan baru akan terjadi di tahun depan manakala permintaan barang
dan jasa mulai meningkat. Di Venezuela, kesulitan-kesulitan ekonomi terus bertambah. Inflasi
yang meningkat pesat, ketidakseimbangan fiskal yang makin membesar, dan krisis yang terjadi di
sektor keuangan telah memaksa pemerintah Venezuela melakukan suntikan likuiditas dalam
jumlah besar dan cadangan devisa yang dimiliki negara tersebut sangat merosot. Di bawah
kondisi ini, perekonomian Venezuela diproyeksikan akan mengalami penurunan. Brazil
menerapkan program ekonomi yang baru di awal tahun 1994 untuk memerangi tingkat inflasi
yang sangat tinggi. Pada paruh pertama tahun ini, langkah-langkah yang ditempuh oleh otoritas
moneter negara tersebut ditujukan untuk memperkuat keuangan negara, yang kemudian diikuti
dengan langkah pengenakan mata uang baru dalam bulan Juli 1994, serta langkah mengekang
arus modal asing ke dalam negeri yang sejak akhir tahun 1991 masuk dalam jumlah yang sangat
besar. Pertumbuhan ekonomi Brazil dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 3 persen.
Sementara itu, prestasi ekonomi Peru diperkirakan terus meningkat pesat menyusul pemulihan
yang kuat dalam aktivitas ekonomi, khususnya investasi, dalam tahun 1993.
Meskipun aliran pemasukan modal merupakan ciri-ciri penting dari perkembangan
terakhir di kawasan Asia, namun pertumbuhan negara-negara berkembang untuk kawasan ini
secara keseluruhan diproyeksikan sedikit menurun dalam tahun 1994, yaitu sebesar 8 persen
dibandingkan sebesar 8,5 persen dalam tahun 1993. Hal tersebut terutama disebabkan
mengendurnya langkah ekspansi ekonomi di Cina yang dalam dua tahun terakhir tumbuh sangat
Departemen Keuangan RI
310
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pesat. Upaya-upaya yang ditempuh Cina sejak tahun 1993 dimaksudkan untuk mendinginkan
suhu perekonomiannya yang memanas dan meningkatnya inflasi, namun demikian arus
penanaman modal asing ke negeri ini tetap besar meskipun agak menurun. India juga menikmati
arus pemasukan modal yang tetap besar ke dalam negerinya, dan tanda-tanda kepulihan investasi
dalam negeri telah terlihat untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekspor yang melambat.
Sementara itu, aktivitas ekonomi Korea Selatan semakin pulih pada paruh pertama tahun 1994,
dan perekonomiannya sedang mendekati kondisi yang optimal.
Pertumbuhan di negara-negara berkembang kawasan Eropa dan Timur Tengah secara
keseluruhan diproyeksikan menurun lebih jauh, dari sebesar 4,8 persen dalam tahun 1993
menjadi hanya sebesar 1,4 persen dalam tahun 1994. Prospek pertumbuhan bagi negara-negara
pengekspor minyak di Timur Tengah tetap terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di
pasar minyak internasional. Selain dari pada itu, nilai tukar perdagangan (terms of trade) negara
pengekspor minyak terus melemah akibat depresiasi Dollar Amerika Serikat dan naiknya harga
barang-barang di luar minyak. Ketidakseimbangan finansial juga merupakan hambatan dalam
mencapai pertumbuhan yang kuat bagi negara-negara di kawasan tersebut. Aktivitas ekonomi
Mesir sedikit membaik dalam tahun 1993, dan dengan terus berlanjutnya reformasi ekonomi serta
meningkatnya daya saing, pertumbuhan ekonomi Mesir dalam tahun 1994 diperkirakan akan
menguat. Pertumbuhan di Republik Islam Iran diperkirakan agak melambat dalam tahun 1994,
yang sebagian disebabkan oleh berlanjutnya penurunan dalam impor. Selanjutnya kondisi
ekonomi dan keuangan Turki terus memburuk selama paruh pertama tahun 1994, yang ditandai
dengan inflasi yang tinggi, defisit anggaran yang besar, dan ketidakseimbangan dalam neraca
pembayaran yang berperan terhadap depresiasi nilai tukar yang cukup besar.
Negara-negara berkembang kawasan Afrika terus memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Harga-harga komoditi yang makin membaik di pasar dunia belakangan ini dan memulihnya
permintaan barang-barang ekspor oleh negara-negara industri merupakan faktor-faktor positif
bagi perkembangan di kawasan tersebut. Selanjutnya upaya-upaya menuju liberalisasi pasar di
banyak negara Afrika juga telah menciptakan kesempatan bagi perkembangan ekonomi yang
lebih kuat. Dengan terus berlanjutnya langkah-langkah reformasi struktural dan program
stabilisasi di sejumlah negara Afrika, pertumbuhan rata-rata di benua tersebut diproyeksikan naik
dari 1 persen dalam tahun 1993 menjadi 3,3 persen dalam tahun 1994. Berkembangnya ekspor
dan meningkatnya permintaan dalam negeri di tengah-tengah suasana membaiknya stabilitas dan
Departemen Keuangan RI
311
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kepercayaan kalangan dunia usaha menjadikan ekonomi Afrika Selatan tumbuh dengan proyeksi
sebesar 3 persen dalam tahun 1994. Peningkatan pertumbuhan yang besar diproyeksikan juga
terjadi di Maroko, sebagai akibat pulihnya produksi pertanian dari kemarau panjang yang
berlangsung dalam dua tahun terakhir dan meningkatnya permintaan ekspor dari Eropa.
Sementara itu berakhirnya musim kemarau panjang juga merupakan pendorong bagi peningkatan
ekonomi Aljazair. Harga minyak yang sedikit membaik dan adanya liberalisasi dalam
perdagangan juga memberikan sumbangan terhadap proyeksi pertumbuhan yang lebih baik di
Aljazair.
Proyeksi atas pertumbuhan menyeluruh di negara-negara yang sedang dalam transisi,
yaitu bekas negara-negara sosialis Eropa Timur dan Uni Soviet, tidak dapat mengungkapkan
secara jelas tentang perbedaan dalam kondisi ekonomi di masing-masing negara. Reformasi
ekonomi yang cukup berani di sebagian besar negara-negara Eropa Tengah telah menciptakan
iklim ekonomi yang baik dan diperlukan bagi kelanjutan pertumbuhan ekonomi. Pemulihan
ekonomi yang sedang berlangsung di Eropa Barat memberikan dampak positif dan dukungan
bagi menguatnya aktivitas ekonomi di negara-negara yang sedang dalam transisi ini. Ekspansi
yang relatif kuat sedang berlangsung saar ini di Albania, Polandia, dan Slovenia. Aktivitas
ekonomi juga bertambah di negara-negara Baltik, dimana pertumbuhan rata-rata diperkirakan
sebesar 5 persen dalam tahun 1994. Namun demikian, situasi ekonomi di Rusia dan di sebagian
besar negara-negara dalam transisi lainnya masih tetap buruk, yang ditandai dengan kemerosotan
produksi yang masih tetap tesar, meskipun tingkat inflasi tahunan dalam tahun 1994
diproyeksikan menurun.
Sementara itu, negara-negara ASEAN diproyeksikan tetap menikmati laju pertumbuhan
yang cukup tinggi dalam tahun 1994, kecuali Philipina, yang meskipun diperkirakan akan meraih
laju pertumbuhan yang cukup lumayan namun masih tetap berada di bawah standar pertumbuhan
rata-rata kawasan tersebut. Perkembangan ekspor yang cepat merupakan faktor penting yang
berperan bagi pertumbuhan ekonomi Philipina yang lebih kuat dalam tahun 1994. Sementara itu
perekonomian Thailand yang diproyeksikan tampil lebih kuat dalam tahun ini mencerminkan
kuatnya pertumbuhan sektor ekspor, khususnya barang-barang manufaktur, dan meningkatnya
konsumsi dalam negeri. Ekonomi Malaysia yang terutama didukung oleh pertumbuhan yang kuat
dalam sektor manufaktur, jasa, dan konstruksi, diproyeksikan masih tetap mengalami laju
pertumbuhan tahunan sebesar 8 persen dalam tahun 1994. Perekonomian Singapura tumbuh lebih
Departemen Keuangan RI
312
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tinggi dari yang diperkirakan dalam tahun 1994, yang diproyeksikan mendekati angka 10 persen.
Sektor industri elektronika menjadi tenaga pendorong perekonomian dalam tahun ini, sebagai
akibat meningkatnya permintaan konsumen di Amerika Serikat dan Asia. Pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi tersebut telah menempatkan ASEAN sebagai salah satu kawasan yang
memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi dan dinamis di kawasan Asia Pasifik (lihat Tabel IV.1).
TabeI IV. 1
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, NEGARA-NEGARA DALAM
TRANSISI DAN ASEAN, 1992 - 1994
(dalam persentase)
Kelompok negara
1992
1993
A. Dunia
B. Negara-negara industri
Tujuh negara industri utama
1. Jepang
2. Amerika Serikat
3. Jerman
4. Inggris
5. Perancis
6. Ihalia
7. Kanada
Negara-negara industri lainnya
C. Negara-negara berkembang
1. Afrika
2. As i a
3. Amerika Latin
4. Eropa dan Timur Tengah
D. Negara-negara dalam transisi
1. Eropa Timur dan Tengah
2. R u s i a
3. Asia Tengah dan Transkaukasus
E. Negara-negara Asean
1. Mataysia
2. Philipiha
3. Singapura
4. Thailand
5. Brunei Darussalam
1,7
1,5
1,6
1,1
2,3
2,2
-0,5
1,2
0,7
0,6
1
5,9
0,2
8,2
2,5
7
-15,5
-11,7
-19
-17,3
7,8
0,1
5,8
7,6
1
-
19941)
2,3
1,3
1,4
0,1
3,1
1,1
2
1
-0,7
2,2
0,3
6,1
1
8.5
3,4
4,8
-9
-5,7
-12
-10,7
3,1
2,7
2,8
0,9
3,7
2,3
3,3
1,9
1,5
4,1
2,4
5,6
3,3
8
2,8
1,4
-8,3
-5,4
-12
-6,6
8,5
1,7
9,9
7,8
3
8
4,5
10
8,2
3
Perekonomian Dunia yang diproyeksikan semakin membaik dalam tahun 1994,
sebagaimana terlihat dari ekspansi yang berlangsung di berbagai kawasan, dan menguatnya
pertumbuhan di negara-negara maju, dalam kenyataannya tidak diikuti dengan penurunan tingkat
Departemen Keuangan RI
313
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pengangguran di negara-negara industri, khususnya industri maju. Tingkat pengangguran ratarata tahunan di negara-negara industri maju dalam tahun 1994 secara keseluruhan diproyeksikan
sebesar 7,3 persen. Ini berarti sama dengan tingkat pengangguran tahunan yang terjadi
sebelumnya, meskipun laju pengangguran di beberapa negara industri tersebut, seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan Inggris, terlihat menurun, yaitu masing-masing dari sebesar 6,8 persen, 11,2
persen, dan 10,3 persen dalam tahun 1993, menjadi 6,3 persen, 10,6 persen, dan 9,4 persen dalam
tahun 1994. Sementara itu tingkat pengangguran di negara-negara industri maju lainnya, yaitu
Perancis, Jerman, dan Italia, diproyeksikan masih akan meningkat, dari masing-masing sebesar
11,9 persen, 8,9 persen, dan 10,4 persen dalam tahun 1993, menjadi sebesar 12,4 persen, 9,8
persen, dan 11,6 persen dalam tahun 1994. Meskipun tingkat pengangguran di Jepang
diproyeksikan juga meningkat dalam tahun 1994, yaitu sebesar 2,9 persen dibandingkan dengan
sebesar 2,5 persen dalam tahun 1993, namun Jepang tetap merupakan negara industri maju yang
memiliki tingkat pengangguran paling rendah (lihat Tabel IV.2).
Tab e 1 IV. 2
TINGKA T PENGANGGURAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI UT AMA,
1992 - 1994
( dalam persentase)
1992
1993
19941)
Negara
Tujuh negara industri utama
1. Jepang
2. Amerika Serikat
3. Jennan
4. Inggris
5. Perancis
6. Italia
7. Kanada
7,2
2,2
7,4
7,7
9,8
10,1
10,7
11,3
7,3
2,5
6,8
8,9
10,3
11,9
10,4
11,2
7,3
2,9
6,3
9,8
9,4
12,4
11,6
10,6
1) Perkiraan
Sekalipun sedikit diwarnai oleh kenaikan laju inflasi di dalam kelompok negara-negara
berkembang, namun secara umum inflasi Dunia dalam tahun 1994 diperkirakan lebih membaik
bila dibandingkan dengan tahun 1993, sebagai dampak semakin rendahnya perkembangan inflasi
dalam kelompok negara-negara industri dan kelompok negara-negara yang sedang dalam transisi.
Inflasi tahunan di negara-negara industri maju secara keseluruhan diperkirakan menurun, baik
secara kelompok maupun secara individual. Secara kelompok, laju inflasi di negara-negara
industri maju turun dari sebesar 2,8 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 2,3 persen dalam
Departemen Keuangan RI
314
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun 1994. Secara individual, semua negara-negara industri tersebut diproyeksikan mengalami
penurunan laju inflasi dalam tahun 1994 dibandingkan tahun sebelumnya. Inflasi tahunan
Amerika Serikat turun menjadi sebesar 2,7 persen dari 3 persen dalam tahun 1993. Jepang
diperkirakan mengalami laju inflasi paling rendah setelah Kanada dibandingkan dengan negaranegara industri maju lainnya, yaitu hanya sebesar 0,7 persen dalam tahun 1994, menurun dari laju
inflasi tahun 1993 yang besarnya 1,3 persen. Tingkat kenaikan harga barang-barang konsumsi
yang sangat rendah di Jepang, dan terjadinya apresiasi Yen, telah berperan terhadap menurunnya
laju inflasi di Jepang. Sementara itu inflasi yang menurun di negara-negara industri maju lainnya
di Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia, dalam tahun 1994 disebabkan antara lain
oleh kebijaksanaan pengetatan moneter di negara-negara tersebut.
Laju inflasi tahunan di negara-negara berkembang secara keseluruhan diproyeksikan agak
meningkat, dari sebesar 46,2 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 47,5 persen dalam tahun
1994, atau meningkat sebesar 1,3 persen. Hal tersebut erat kaitannya dengan peningkatan laju
inflasi kelompok negara-negara berkembang di semua kawasan, baik kawasan Asia, Eropa dan
Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika, dari masing-masing sebesar 9,7 persen, 24,7 persen,
236,4 persen, dan 32,6 persen dalam tahun 1993, naik menjadi masing-masing 10,3 persen, 27
persen, 244,8 persen, dan 39,3 persen dalam tahun 1994.
Dalam pada itu, sekalipun kesulitan-kesulitan masih menghauang upaya meningkatkan
aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara-negara yang sedang dalam transisi,
namun terlihat kemajuan yang berarti dalam menurunkan laju inflasi. Dalam tahun 1994, laju
inflasi keseluruhan negara-negara yang sedang dalam transisi diproyeksikan sebesar 330,8
persen, menurun hampir separuh dari laju iriflasi yang terjadi dalam tahun 1993 sebesar 687,9
persen. Penurunan laju inflasi terjadi di kawasan EropaTimur dan Tengah, dan Rusia, dari
masing-masing sebesar 442,3 persen dan 915,3 persen dalam tahun 1993 menjadi 216,9 persen
dan 336,3 persen dalam tahun 1994. Sebaliknya, peningkatan laju inflasi diperkirakan terjadi di
kawasan Asia Tengah dan Transkaukasus yang dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar
1.476,3persen, meningkat dari sebesar 1.324,1 persen dalam tahun 1993.
Sementara itu, laju inflasi di negara-negara ASEAN secara individual diperkirakan lebih
tinggi dalam tahun 1994 dibandingkan dengan tahun 1993. Laju inflasi tertinggi diperkirakan
dialami oleh Philipina, yaitu sebesar 10 persen dibandingkan 7,6 persen dalam tahun sebelumnya.
Departemen Keuangan RI
315
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Kemudian diikuti oleh Indonesia, yang dalam tahun 1994 ini mencapai sebesar 9,24 persen
dibandingkan dengan 9,77 persen dalam tahun 1993. Meskipun laju inflasinya telah meningkat
dibandingkan tahun 1993, Mataysia dan Singapura diperkirakan merupakan dua negara ASEAN
yang memiliki laju inflasi yang paling rendah dalam tahun 1994, yaitu masing-masing sebesar 4
persen setelah Brunei Darussalam sebesar 2,5 persen.
Situasi moneter internasional selama sembilan bulan pertama tahun ini diwarnai dengan
pergerakan nilai tukar beberapa mata uang utama, khususnya Dollar Amerika Serikat terhadap
mata-mata uang lainnya. Di pasar uang, Dollar Amerika Serikat telah merosot sebayak 12 persen
terhadap Yen dalam dua minggu pertama bulan September 1994, sedang terhadap Deutsche Mark
(DM) dan Franc Perancis, Dollar Amerika Serikat jatuh sekitar 11 persen sejak awaiI tahun ini.
Namun demikian, berdasarkan nilai efektif nominal, Dollar AS mengalami depresiasi yang lebih
kecil, yaitu sebesar 6 persen selama delapan bulan pertama tahun 1994, yang sebagian
mencerminkan adanya penguatan Dollar AS terhadap Dollar Kanada. Sementara itu, di samping
telah menembus nilai tertingginya sehabis perang terhadap Dollar AS, selanjutnya Yen
meningkat sebesar 8 persen secara efektif nominal antara Januari dan Agustus 1994. Namun
sampai dengan pertengahan September 1994 Yen hanya sedikit menguat terhadap DM setelah
mengalami depresiasi sebesar 8 persen atas mata uang Jerman tersebut sejak Februari 1994.
Deutsche Mark kembali menguat secara efektif nominal dalam delapan bulan pertama tahun
1994.
Membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi di Eropa dan Jepang telah berperan bagi
menguatnya nilai Yen dan DM terhadap Dollar AS dalam bulan-bulan terakhir ini. Pasar uang
juga tampak telah mengantisipasi kemungkinan kondisi moneter Amerika Serikat yang lebih
kebal dari yang sesungguhnya terjadi, dan telah melakukan revisi atas perkiraan-perkiraan tingkat
bunga sehubungan telah meredanya penurunan tingkat suku bunga di Jerman. Keteganganketegangan antara Amerika Serikat dan Jepang yang dilatarbelakangi defisit transaksi berjalan
Amerika Serikat yang terus menerus dan surplus Jepang yang besar, juga telah berperan terhadap
menguatnya Yen.
Meskipun mata uang Amerika Serikat akhir-akhir ini mengalami depresiasi yang cukup
tajam terhadap Yen, begitu pula terhadap DM, namun dari perspektif waktu yang lebih panjang,
penampilan Dollar tidaklah begitu lemah. Dalam bulan Agustus 1994 nilai Dollar AS terhadap
Departemen Keuangan RI
316
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
DM dalam artian efektif riil berada kira-kira 3 persen di atas tingkat terendahnya dalam bulan
Agustus tahun 1992, pada saat dimana tingkat bunga jangka pendek dan jangka panjang di Eropa
jauh di atas tingkat bunga di Amerika Serikat. Sementara itu, pada pertengahan September 1994,
nilainya berada kurang lebih 11 persen di atas tingkat nilainya di bulan Agustus 1992 terhadap
DM, dan kira-kira 30 persen terhadap Poundsterling. Selain dari pada itu, mata uang Amerika
Serikat ini sejak tahun 1991 telah menguat secara mantap atas Dollar Kanada, mitra dagang
terbesarnya.
Perkembangan tingkat suku bunga, khususnya suku bunga jangka pendek, di beberapa
negara industri utama terlihat bervariasi. Suku bunga jangka pendek Amerika Serikat, yang
diwakili oleh suku bunga obligasi pemerintah (treasury bills) diperkirakan meningkat menjadi
sebesar 4,4 persen dalam tahun 1994 dari sebesar 3 persen dalam tahun sebelumnya. Sebaliknya
tingkat bunga Jepang dan Jerman diproyeksikan akan menurun dari masing-masing sebesar 2,7
persen dan 7,2 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 1,9 persen dan 5,2 persen dalam tahun
1994. Selanjutnya tingkat bunga London Interbank Offered Rate (LIB OR) berjangka waktu
enam bulan diperkirakan akan naik menjadi sebesar 5 persen dalam tahun 1994, dari sebesar 3,4
persen dalam tahun sebelumnya.
Dalam pada itu, pengaruh positif dari pemulihan ekonomi dunia terhadap pasar modal
telah diperlemah oleh dampak meningkatnya tingkat suku bunga jangka panjang sehingga hargaharga saham di tiga dari empat pasar modal utama di Eropa telah jatuh dari harga puncaknya
pada pertengahan Mei 1994. Di pertengahan bulan September 1994, indeks-indeks di pasar
modal turun sebesar 5 persen di Jerman, 10 persen di Perancis, dan bahkan merosot lebih tajam
sebesar 20 persen di Italia. Sementara itu, harga-harga saham di Jepang sangat meningkat dalam
paruh pertama tahun 1994, meskipun terjadi penurunan-penurunan sesudah itu, dimana hargaharga saham di pertengahan bulan September 1994 masih 15 persen lebih tinggi dari tingkat
harga pada akhir tahun 1993 yang lalu.
Perdagangan dunia diperkirakan berkembang semakin kuat dalam periode mendatang,
naik lebih dari 7 persen dalam tahun 1994 dan sebesar 6 persen dalam tahun 1995, jauh di atas
rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen selama dua dckade yang lalu. Kebangkitan ini jelas
mencerminkan meningkatnya aktivitas ekonomi di negara-negara industri, menguatnya
permintaan impor di negara-negara yang sedang dalam transisi, dan berlanjutnya pertumbuhan
Departemen Keuangan RI
317
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ekonomi yang cepat di negara-negara berkembang. Selain dari pada itu, perdagangan di antara
negara-negara berkembang sendiri juga tampak semakin meningkat sebagai dampak positif dari
liberalisasi perdagangan dan meningkatnya penanaman modal asing di negara-negara
berkembang.
Harga-harga komoditi perdagangan dunia tampak mulai cerah akhir-akhir ini, yang
ditandai dengan membaiknya harga kelompok barang-barang manufaktur dan kelompok barangbarang primer bukan minyak di dalam perdagangan dunia. Harga-harga bahan mentah bukan
minyak naik cukup berarti, khususnya peningkatan harga yang pesat pada beberapa jenis
komoditi tertentu. Iklim yang buruk di Brazil dan rendahnya persediaan yang ada di tingkat
produsen telah menyebabkan harga kopi di pasaran dunia membubung tinggi, yang dalam bulan
Agustus 1994 saja harganya naik hampir 150 persen di atas harga rata-rata kuartal pertama tahun
1994. Demikian pula harga tembaga dan logam-logam lainnya juga mengalami peningkatan yang
cukup besar.
Sementara itu, harga rata-rata minyak mentah di pasar dunia yang sempat mencapai US$
17,8 per barel dalam bulan April 1993, merosot tajam menjadi US$ 12,65 per barel dalam bulan
Desember 1993, yang kemudian meningkat lagi menjadi US$ 13,40 per barel dalam bulan Maret
1994 dan menjadi lebih dari US$ 17 per barel dalam bulan Juli 1994. Meningkatnya permintaan
dari benua Eropa dan Amerika Serikat merupakan faktor penyebab naiknya harga minyak selama
tujuh bulan pertama tahun 1994, disamping terkendalinya pasokan minyak di pasar dunia oleh
negara-negara produsen minyak.
Kinerja transaksi berjalan negara-negara industri secara keseluruhan tampak cukup baik
akhir-akhir ini, setelah selama bertahun-tahun sebelumnya senantiasa defisit. Transaksi berjalan
negara-negara industri mencatat nilai surplus dalam tahun 1993 sebesar US$ 19,3 miliar, setelah
dalam tahun sebelumnya masih mencatat nilai defisit sebesar minus US$ 39,9 miliar. Dalam
tahun 1994, surplus transaksi berjalan kelompok negara-negara industri diproyeksikan sebesar
US$ 17,9 miliar. Sebaliknya, kelompok negara-negara industri utama secara keseluruhan tetap
mengalami defisit dalam transaksi berjalan. Bila dalam tahun 1993, defisit yang terjadi adalah
sebesar minus US$ 9,9 miliar, dalam tahun 1994 diproyeksikan naik menjadi sebesar minus US$
23,2 miliar. Di dalam kelompok negara-negara industri utama tersebut, Amerika Serikat tetap
mencatat defisit transaksi berjalan paling besar, dengan nilai defisit sebesar minus US$ 103,9
Departemen Keuangan RI
318
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar dalam tahun 1993, dan diproyeksikan meningkat menjadi sebesar minus US$ 149,4 miliar
dalam tahun 1994.
Sementara itu, Jepang, sekalipun dihadapkan dengan situasi perekonomian yang masih
belum cerah dan nilai tukar mata uang Yen terhadap Dollar AS yang cenderung makin kuat,
namun dalam kenyataannya tetap meraih surplus transaksi berjalan yang semakin besar. Bila
dalam tahun 1993 Jepang mencatat surplus sebesar US$ 131,4 miliar, dalam tahun 1994
diproyeksikan meningkat menjadi sebesar US$135,7 miliar. Perancis dan Italia merupakan dua
negara industri utama lainnya yang menikmati surplus dalam transaksi berjalan, sementara
Kanada, Inggris, dan Jerman masih mengalami defisit.
Dalam pada itu, kinerja transaksi berjalan dalam kelompok negara-negara berkembang
secara keseluruhan tetap belum membaik, bahkan semakin buruk dalam dua tahun ini, yang
ditandai dengan semakin membesarnya defisit yang dialami. Defisit transaksi berjalan negaranegara berkembang keseluruhan dalam tahun 1993 berjumlah sebesar minus US$ 106,4 miliar,
setelah dalam tahun 1992 sempat mengecil menjadi minus US$ 77,4 miliar. Dalam tahun 1994,
defisit transaksi berjalan yang dialami kelompok negara berkembang diproyeksikan sebesar
minus US$ 104,7 miliar. Adapun defisit transaksi berjalan negara-negara berkembang
pengekspor minyak secara keseluruhan diproyeksikan meningkat menjadi minus US$ 53,5 miliar
dalam tahun 1994, dari sebesar minus US$ 49,6 miliar dalam tahun 1993. Sementara itu transaksi
berjalan di kelompok negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak diproyeksikan agak
membaik, dengan menurunnya defisit transaksi berjalan dari sebesar minus US$ 56,8 miliar
dalam tahun 1993 menjadi minus US$ 51,2 miliar dalam tahun 1994. Dalam pada itu, defisit
transaksi berjalan Indonesia dalam tahun 1994/95 diperkirakan agak memburuk. Bila dalam
tahun 1993/94 defisit dalam transaksi berjalan tercatat sebesar minus US$ 2,9 miliar, dalam tahun
1994/95 diperkirakan naik menjadi minus US$ 3,6 miliar. Hal tersebut sebagai akibat
peningkatan impor yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan ekspor, di samping
peningkatan yang juga terjadi dalam pengeluaran jasa-jasa neto bukan migas (lihat Tabel IV.4).
Departemen Keuangan RI
319
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
TabeI IV. 4
TRANSAKSI BERJALAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI
DAN NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, 1992-1994
( dalam milyar US $ )
1992
1993
19941)
Kelompok negara
A. Negara-negara industri
Tujuh negara industri utama
I. Jepang
2. Amerika Serikat
3. Jennan
4. Inggris
5. Perancis
6. ItaIia
7. Kanada
Masyarakat Eropa
Negara-negara industri lainnya
B. Negara-negara berkembang 2)
1. Pengekspor Minyak
2. Bukan Pengekspor Minyak
3. Indonesia 3)
-
-
-
-39,9
-35,5
117,6
-67,9
-22
-17,4
3,9
-27,8
-21,9
-61,9
-4,4
-77,4
-57,6
-19,9
-2,6
19,3
-9,9
131,4
-103,9
-20,1
-15,5
10,5
11,4
-23,8
8,3
29,2
-106,4
-49,6
-56,8
-2,9
17,9
-23,2
135,7
-149,4
-16,2
-12,7
9,7
30,6
-21
38,4
41,2
-104,7
-53,5
-51,2
-3,6
I) Perkiraan
2) Termasuk transfer resmi (official transfer) 3) Tahun anggaran
Selanjutnya, bila ditinjau masalah hutang luar negeri, tidak terdapat indikasi bahwa
jumlah hutang luar negeri negara-negara berkembang secara keseluruhan telah menurun. Terlihat
justru sebaliknya, bahwa volume hutang luar negeri kelompok negara-negara berkembang
diproyeksikan semakin meningkat termasuk dalam tahun-tahun mendatang. Hutang luar negeri
seluruh negara-negara berkembang dalam tahun 1993 tercatat sebesar US$ 1.544,9 miliar, dan
jumlah itu diproyeksikan meningkat dalam tahun 1994 menjadi sebesar US$ 1.675,4 miliar.
Sementara jumlah hutang luar negeri negara-negara yang sedang dalam transisi juga
diproyeksikan bergerak naik, dari sebesar US$ 204,1 miliar dalam tahun 1993 menjadi sebesar
US$ 213,8 miliar dalam tahun 1994. Lebih jauh dari pada itu, rasio pembayaran hutang luar
negeri terhadap nilai ekspor barang dan jasa (debt-service ratio, DSR) kelompok negara-negara
berkembang hampir tidak berubah selama dua tahun ini. Bila dalam tahun 1993, DSR kelompok
negara-negara tersebut tercatat sebesar 15,4 persen, dalam tahun 1994 DSR tersebut diperkirakan
sebesar 15,3 persen. Sementara itu, DSR kelompok negara-negara dalam transisi tampak makin
memburuk, yaitu dari sebesar 8,4 persen dalam tahun lalu menjadi sebesar 17,1 persen dalam
tahun 1994.
Departemen Keuangan RI
320
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Situasi perekonomian dan perdagangan dunia yang semakin kompetitif dan cepat berubah
telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan kerjasama baru yang saling
menguntungkan di bidang ekonomi dan perdagangan, di samping memperkuat kerjasama yang
telah ada. Pada sidang KTT keempat kelompok 15 (G-15) yang berlangsung di India dalam bulan
Maret 1994 yang lalu, forum tersebut kembali menekankan perlunya memperkuat kerjasama di
antara negara-negara berkembang dan upaya perlindungan terhadap kepentingan negara
berkembang dalam perdagangan pasca Putaran Uruguay. Selain isu mengenai masalah beban
hutang luar negeri negara-negara berkembang dan isu tentang upaya mengatasi kelaparan dan
pengentasan kemiskinan yang masih mendera sebagian negara-negara berkembang khususnya
Afrika, juga ditegaskan mengenai perlunya mengupayakan dialog antara negara maju dan negara
berkembang (Utara-Selatan) yang lebih menekankan kepada pendekatan kemitraan, bukan
konfrontasi, dalam mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah global. Berkaitan dengan
KIT G-15 tersebut, pada pertengahan Agustus 1994 yang lalu di Jakarta telah berlangsung
pertemuan tingkat menteri dari 31 negara-negara berkembang/anggota gerakan non blok yang
mempunyai beban hutang paling berat. Pertemuan yang disponsori Indonesia tersebut merupakan
forum untuk bertukar fikiran dan saling membagi pengalaman tentang cara pengelolaan dan
mengatasi masalah hutang luar negeri masing-masing.
Kerjasama ekonomi dalam rangka peningkatan perdagangan intra ASEAN melalui AFTA
mencatat beberapa perkembangan venting. Siuang Dewan Menteri AFTA kelima yang
berlangsung pada tanggal 21 September 1994 di Thailand, telah sepakat untuk mempercepat
periode pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN dari periode 15 tahun menjadi 10
tahun, atau realisasi AFTA yang sedianya dilaksanakan per 1 lanuari 2008 kini dipercepat
menjadi per 1 Januari 2003. Selanjutnya, selain menyepakati penurunan tarif, baik pada jalur
normal (normal track) maupun jalur cepat (fast track) di dalam kerangka pelaksanaan Common
Effective Preferential Tarifs (CEPT), Dewan Menteri juga menyepakati beberapa langkah untuk
mempercepat liberalisasi ekonomi/perdagangan intra ASEAN. Langkah-langkah tersebut antara
lain adalah kesepakatan untuk mempercepat masuknya barang-barang yang untuk sementara
tidak terkena skema penurunan tarif (exclusion list) ke dalam daftar barang-barang yang terkena
skema penurunan tarif (inclusion list) dalam waktu 5 tahun terhitung per 1 lanuari 1995. Dengan
cara demikian, semua jenis barang yang tadinya termasuk di dalam exclusion list, dalam tempo 5
tahun secara bertahap akan masuk ke dalam inclusion list, yang mulai dilaksanakan sejak tanggal
Departemen Keuangan RI
321
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
1 Januari 1994. Selain dari pada itu disepakati pula untuk membentuk Unit AFTA dalam
Sekretariat ASEAN, dalam rangka mengkoordinasikan dan mengelola AFTA serta masalahmasalah yang berkaitan dengan AFTA secara lebih efektif, termasuk penyelesaian sengketa di
dalam perdagangan. Disamping pembentukan Unit AFTA pada Sekretariat ASEAN, untuk
memperkuat pelaksanaan CEPT disepakati juga membentuk Unit AFTA nasional di masingmasing negara ASEAN.
Perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dalam kerangka GATT yang
memakan waktu lebih dari tujuh tahun akhirnya berhasil diselesaikan dengan ditandatanganinya
akta final perundingan perdagangan Putaran Uruguay pada pertengahan April 1994 di Marrakesh,
Maroko, menyusul tercapainya kesepakatan atas perundingan tersebut pada pertengahan
Desember 1993 di Jenewa, Swiss. Putaran Uruguay ini merupakan putaran yang paling luas dan
menyeluruh dari seri putaran perundingan GATT yang telah ada sebelumnya. Disamping
pembabasan mengenai langkah-langkah penurunan/penghapusan tarif serta penghapusan
hambatan-hambatan non tarif dan subsidi-subsidi, cakupan materi perundingan juga diperluas
dengan dimasukkannya unsur-unsur baru, antara lain perjanjian tentang hasil-hasil pertanian,
perjanjian tentang tekstil dan pakaian jadi, perdagangan jasa-jasa, perjanjian tentang investasi
yang terkait dengan perdagangan (trade-related investment measures, TRIMs), dan perjanjian
tentang hak milik intelektual yang terkait dengan perdagangan (trade-related intelectual property
rights, TRIPs).
Berdasarkan kesepakatan itu pula, kelembagaan GATT sebagai pengatur perdagangan
dunia selama ini, akan digantikan oleh lembaga baru yaitu World Trade Organization (WTO)
yang diharapkan mulai beroperasi per 1 lanuari 1995, dengan kewenangan dan kekuatan yang
lebih besar dari pada GATT. Disamping bertindak mengawasi atau memantau pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dicapai dalam Putaran Uruguay, WTO juga berfungsi sebagai badan
yang akan menyelesaikan sengketa dagang antar negara anggota melalui Badan Penyelesaian
Sengketa (Dispute Settlement Body), serta meninjau kebijaksanaan perdagangan negara-negara
anggota melalui "trade policy review mechanism" (TPRM). Perdagangan dunia yang lebih
liberal, akses pasar yang lebih terbuka, terciptanya aturan main dalam perdagangan internasional
yang lebih pasti, serta berkurangnya proteksionisme dalam perdagangan dunia, khususnya bagi
negara-negara sedang berkembang, pada akhirnya akan meningkatkan volume perdagangan,
pendapatan, dan investasi serta mendorong proses pemulihan ekonomi dunia ke arah yang lebih
Departemen Keuangan RI
322
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
baik di masa mendatang. Bagi Indonesia, pemanfaatan peluang akses pasar yang semakin terbuka
untuk peningkatan ekspor akan sangat tergantung kepada kemampuan dalam meningkatkan daya
saing barang-barang Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Sementara itu, proses pembukaan pasar untuk prciduk-produk dan jasa yang berasal dari luar
negeri juga berarti akan meningkatnya persaingan untuk barang-barang dari jasa di pasar dalam
negeri.
Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi APEC (APEC Economic Leaders Meeting, AELM)
yang berlangsung di Bogor tanggal 15 Nopember 1994, yang kedua setelah pertemuan di Seattle
(Amerika Serikat) pada tanggal 20 Nopember 1993 yang lalu, akhirnya mencapai kata sepakat
untuk mewujudkan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik
selambat-lambatnya tahun 2010 bagi negara-negara maju dan tahun 2020 bagi negara-negara
sedang berkembang. Kesepakatan tersebut tercapai setelah semua pemimpin mencapai konsensus
mengenai isi-isi perdagangan dan investasi yang bebas di kawasan Asia Pasifik serta batas waktu
pencapaiannya, yang kemudian dituangkan dalam deklarasi tekad bersama para pemimpin
ekonomi APEC (Deklarasi Bogor). Dalam pertemuan di Bogor ini, APEC telah menentukan arah
dan rancangan masa depan kerjasama ekonomi serta memanfaatkan momentum keberhasilan
perundingan Putaran Uruguay (GATT) untuk memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi yang
cepat, merata, dan seimbang, tidak saja bagi kawasan Asia Pasifik tetapi juga bagi dunia.
Dalam rangka menunjang liberalisasi perdagangan dari investasi dimaksud telah
disepakati peningkatan kerjasama di berbagai bidang, seperti bidang sumber daya manusia,
peningkatan infrastruktur ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, usaha
menengah dan kecil, serta peningkatan keikutsertaan sektor swasta. Selanjutnya para pemimpin
ekonomi APEC juga sepakat untuk menetapkan landasan idiil, konstitusional, dari landasan
operasional untuk menjamin kerjasama ekonomi kawasan yang berkelanjutan. Kemitraan, saling
menghormati dan saling menguntungkan ditetapkan sebagai landasan idiil, persetujuan GATT
dan WTO sebagai landasan konstitusionalnya, sedang landasan operasionalnya adalah semua
persetujuan APEC dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Selain dari pada itu, dalam
deklarasi di atas juga dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan APEC tidak boleh menjurus
ke arah blok perdagangan tertutup (inward looking). Dalam deklarasi tersebut dinyatakan tekad
mewujudkan sistem perdagangan dari investasi yang bebas dari terbuka, yang akan mendorong
serta memperkuat liberalisasi perdagangan dari investasi di dunia sebagai satu keseluruhan.
Departemen Keuangan RI
323
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri
Memasuki tahun pertama pelaksanaan Repelita VI kebijaksanaan di bidang perdagangan
luar negeri tetap diarahkan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas dari produktivitas industri
dalam negeri, mendorong pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan harga dan
tersedianya barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, memperluas kesempatan kerja,
menghemat devisa impor, serta menurunkan debt service ratio (DSR). Di samping itu, untuk
menunjang peningkatan ekspor nonmigas, nilai tukar rupiah yang realistis perlu dipertahankan.
Selanjutnya, guna lebih mendorong penanaman modal asing (PMA), khususnya yang berorientasi
ekspor, maka iklim usaha dan prasarana perlu ditingkatkan.
Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, berbagai gejolak ekonomi,
moneter, dan perdagangan dunia, akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dalam tahun
1994, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan membaik, yang tercermin dari
meningkatnya volume perdagangan dan menurunnya inflasi dunia. Di samping itu, harga barangbarang manufaktur dan barang primer nonmigas diperkirakan mengalami peningkatan.
Perkembangan tersebut akan menguntungkan perekonomian nasional. Namun demikian, adanya
kecenderungan regionalisasi ekonomi dan perdagangan, masih tingginya tarif bea masuk di
banyak negara, serta masih adanya hambatan-hambatan non-tarif dari negara-negara maju, seperti
ekspor yang dikaitkan dengan hak asasi manusia, pajak energi, dan ekotabel, diperkirakan akan
mempengaruhi kinerja neraca perdagangan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Dalam pada itu, guna menghadapi situasi perekonomian yang semakin kompetitif,
mengantisipasi sistem perdagangan yang semakin global, serta meningkatnya kerjasama
perdagangan dan investasi seperti APEC, AFTA, dan NAFTA, maka efisiensi ekonomi, kualitas
bahan baku, produk akhir, dan daya saing produk-produk nasional terus ditingkatkan. Di samping
itu, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan
ilmu dan teknologi, penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif bagi penanam modal, dan
penerapan kebijaksanaan makro ekonomi yang berhati-hati.
Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah dalam bulan Juni 1994 telah mengeluarkan
deregulasi di bidang tarif bea masuk, bea masuk tambahan, hala niaga impor, kawasan berikat
(KB), dan entrepot produksi tujuan ekspor (EPTE), pengkreditan pajak masukan, serta
Departemen Keuangan RI
324
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kemudahan bagi perluasan penanaman modal. Dalam kebijaksanaan tersebut, tarif bea masuk
untuk beberapa produk industri, seperti mesin tekstil, mesin jahit, mesin bubut, bar, dan
kendaraan bermotor, diturunkan menjadi 0-25 persen. Sedangkan bagi produk-produk pertanian,
tarif bea masuknya diturunkan menjadi 5 persen, bahkan bagi produk-produk yang diatur oleh
Bulog, seperti kedelai, gandum, beras, serta minyak kelapa sawit, bea masuknya diturnnkan
hingga 0 persen. Penurunan tarif bea masuk tersebut diharapkan akan mampu menjaga harga
komoditi bahan pokok di dalam negeri. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan industri dalam
negeri dan mengantisipasi kesepakatan GATT, beberapa komoditi impor yang semula
ditataniagakan, diganti dengan perlindungan tarif.
Dalam rangka menciptakan investasi yang lebih menarik dan mendorong peningkatan
ekspor nonmigas, Pemerintah telah menyempurnakan kebijaksanaan yang menyangkut kawasan
berikat dan entrepot produksi tujuan ekspor (EPTE). Dalam kebijaksanaan tersebut ditetapkan
antara lain bahwa peminjaman peralatan/mesin-mesin dari luar EPTE yang semula dilarang, saat
ini diperbolehkan. Selanjutnya bagi investor asing yang ingin memperluas usahanya sekurangkurangnya 30 persen dari kapasitas terpasang, diberikan fasilitas impor bahan baku/penolong atas
tambahan kapasitas tersebut selama 2 tahun. Sementara itu, Pemerintah telah pula membuka
kesempatan investasi dalam bentuk patungan untuk pelayanan umum (infrastruktur), seperti
pelayaran, pelabuhan, dan pembangkit tenaga listrik.
Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, Pemerintah juga terus mengupayakan
peningkatan daya saing produk nasional melalui peningkatan efisiensi, produktivitas, dan mutu
barang. Dalam hal peningkatan mutu, yang ditingkatkan tidak hanya produk akhir, tetapi juga
proses pengolahan dan mutu batan baku, agar sesuai dengan standar mutu internasional, yaitu
ISO 9000. Di samping itu, Pemerintah telah menyiapkan sistem untuk menetapkan standar
ekotabel. Selanjutnya guna lebih mendorong peningkatan ekspor nonmigas, penganekaragaman
produk dan pasar ekspor nonmigas, promosi, dan kerjasama dengan mitra dagang terus
dikembangkan, dengan terus menjaga ketepatan waktu penyerahan barang dan jasa. Berkaitan
dengan hal itu, diperlukan sistem informasi dan administrasi perdagangan yang canggih. Melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, diharapkan laju pertumbuhan ekspor nonmigas akan
semakin meningkat, sehingga defisit transaksi berjalan akan semakin mengecil dan jumlah
cadangan devisa akan semakin mantap.
Departemen Keuangan RI
325
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor
Berbagai kebijaksanaan deregulasi yang telah ditempuh dalam tahun 1994 dan tahuntahun sebelumnya telah memberikan dampak positif terhadap struktur ekspor Indonesia. Hal ini
tercermin dari semakin meningkatnya peranan ekspor nonmigas terhadap ekspor secara
keseluruhan. Di samping itu, jenis komoditi ekspor nonmigas semakin beragam dan semakin
banyak pula komoditi olahan, termasuk didalamnya komoditi hasil industri sedang, industri kecil,
dan hasil kerajinan. Demikian pula pasar ekspor nonmigas menjadi semakin luas. Dalam rangka
lebih memantapkan struktur ekspor nonmigas, Pemerintah terus berupaya untuk mendorong
ekspor melalui kebijaksanaan yang terpadu antara kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang fiskal
dan moneter dengan kebijaksanaan di sektor riil.
Di samping itu Pemerintah bersama-sama pengusaha swasta telah pula melakukan
berbagai promosi ekspor ke luar negeri, melalui pengiriman misi dagang dan pameran-pameran
dagang di luar negeri, membentuk Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) di beberapa negara,
menjalin kerjasama dengan mitra dagang, serta menjadi anggota asosiasi dagang internasional.
Sementara itu, dalam rangka menghadapi perekonomian dunia yang semakin kompetitif, maka
efisiensi, produktivitas, dan kualitas komoditi ekspor terus ditingkatkan. Selain daripada itu iklim
usaha yang menarik serta nilai tukar rupiah yang realistis terus dijaga, sehingga daya saing
komoditi ekspor nonmigas semakin meningkat.
Dalam pada itu, guna memacu ekspor barang jadi, memperluas kesempatan kerja,
mendorong pertumbuhan industri hilir, dan meningkatkan hasil devisa, sejak tahun 1992
Pemerintah telah mencabut larangan ekspor kayu bulat/log, kayu dalam bentuk papan lebar dan
tidak lebar, kelompok rotan, kelompok kulit mentah, dan komoditi tertentu, yang digantikan
dengan pajak yang cukup tinggi. Dalam periode tersebut Pemerintah telah menaikkan pajak
ekspor kayu gergajian dan kayu olahan, yang besarnya bervariasi antara US$ 250 sampai dengan
US$ 4.800 per meter kubik, sesuai dengan kelompoknya. Dalam kebijaksanaan tersebut, pajak
ekspor atas kayu cempaka, melur, meranti, dan lainnya ditetapkan sebesar US$ 250 per meter
kubik. Sedangkan bagi kayu cendana, ebony, dan taka, yang berbentuk batang belahan dan tiang
pancang atau poles, dikenakan pajak ekspor sebesar US$ 4.800 per meter kubik. Pajak ekspor
kayu gergajian dari kelompok agatis, cendana, dan ebony yang dibentuk sepanjang tepi atau
Departemen Keuangan RI
326
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
permukaannya diketam, pajak ekspornya masing-masing sebesar US$ 1.200 per meter kubik,
sebesar US$ 2.400 per meter kubik, dan sebesar US$ 4.800 per meter kubik. Sementara itu, rotan
asakan dan rotan yang sudah dikuliti dikenakan pajak ekspor sebesar US$ 15 per kg. Selanjutnya
pajak ekspor kulit mentah dari hewan sejenis lembu dan kuda sebesar US$ 4 per kg, dan pajak
ekspor bagi kulit hewan sejenis biri-biri sebesar US$ 10 per lembar. Sedangkan bagi kulit yang
telah disamak dikenakan pajak ekspor sebesar 30 persen disamping pajak ekspor tambahan
sebesar 20 persen.
Dalam tahun 1993, Pemerintah telah menyempurnakan ketentuan mengenai entrepot
produksi untuk tujuan ekspor (EPTE) dan kawasan berikat. Dalam hal ini, ketentuan laporan
pemeriksaan surveyor (LPS) ditiadakan, dan penyerahan barang antar-EPTE tidak dikenakan
pajak pertambahan nilai (PPN). Masih dalam tahun 1993, dalam rangka meningkatkan pelayanan
fasilitas pembebasan bea mastik dan penangguhan PPN atas bahan asal impor bagi perusahaan
eksportir, Pemerintah telah mengubah tatacara pertanggungjawaban pemakaian bahan asal impor
yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor. Dalam kebijaksanaan tersebut sistem laporan
realisasi ekspor (LRE) diganti dengan sistem laporan ekspor (LE). Dalam sistem LE ini, laporan
konversi pemakaian bahan tidak perlu diperiksa oleh Sucofindo. Selain itu, penghitungan
pemakaian bahan, kandungan bea masuk, bea masuk tambahan, dan PPN, dilakukan atas dasar
"self assessment".
Dalam rangka lebih memperlancar pelaksanaan pembayaran fasilitas pengembalian,
dalam bulan Januari 1994 Pemerintah telah menyempurnakan tatacara pengembalian bea masuk,
bea masuk tambahan, pajak ekspor, pajak ekspor tambahan, PPN, dan PPn-BM. Selanjutnya guna
mengendalikan harga jual minyak goreng di dalam negeri, dalam bulan September 1994
Pemerintah menetapkan pajak ekspor bagi ekspor crude palm oil (CPO), refined bleached
deodorized palm oil (RBD-PO), crude olein, dan refined bleached deodorized olein (RBD-Olein).
Tarif pajak ekspor komoditi-komoditi tersebut bervariasi antara 40 sampai dengan 75 persen dari
selisih harga ekspor dengan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah. Pajak ekspor untuk
komoditi-komoditi tersebut dikenakan apabila harga minyak goreng di dalam negeri mencapai
lebih dari Rp 1.250 per kg.
Sementara itu, partisipasi dan kerjasama kelembagaan internasional terus dilanjutkan dan
ditingkatkan, antara lain melalui Organisasi Kopi Internasional (International Coffee
Departemen Keuangan RI
327
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Organization, ICO). Melalui siuang ICO, telah dicapai kesepakatan untuk menerapkan skema
retensi kopi sebesar 20 persen, yang dimaksudkan untuk meningkatkan harga kopi di pasar
internasional.
Selanjutnya guna memperbaiki harga timah di pasar internasional, dalam sidang negaranegara penghasil timah (Association of Tin Producing Countries, ATPC) di Bangkok dalam
bulan September 1994, telah diputuskan bahwa sampai dengan tahun 1995 masih diberlakukan
pembatasan (kuota) ekspor timah dunia, yaitu sebesar 90.600 ton. Indonesia, yang merupakan
salah satu anggota ATPC, mendapat jatah sebesar 30.500 ton atau 33,7 persen. Sementara itu,
selama tahun 1993-1995 ekspor maniok ke negara-negara Masyarakat Eropa ditetapkan sebesar
2.475.000 ton.
Untuk lebih mendorong ekspor, Pemerintah telah pula menerapkan kebijaksanaan imbal
beli, yaitu bagi setiap impor pemerintah yang nilainya lebih dari Rp 500 juta dan dibiayai oleh
dana APBN, kredit ekspor, atau pinjaman komersial lainnya, pemasok barang-barang tersebut
diwajibkan untuk membeli barang-barang Indonesia senilai harga FOB dari barang asal impor.
Sampai dengan bulan November 1994, nilai imbal beli meneapai sebesar US$ 5.155,9 juta.
Selanjutnya guna meningkatkan kualitas produk nasional agar sesuai dengan standar mutu
internasional, yaitu ISO-9000, Pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap industri kecil
dan industri sedang. Di samping itu, dalam rangka menerapkan sistem ekotabel, Pemerintah telah
menyiapkan suatu mekanisme sistem nasional pengelolaan ekotabel di Indonesia. Melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, diharapkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produkproduk nasional semakin meningkat, sehingga mampu bersaing di pasar global, yang pada
gilirannya akan meningkatkan ekspor nonmigas.
4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor
Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia dalam tahun 1994 diperkirakan membaik,
yang ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan serta
menurunnya inflasi di negara-negara industri. Hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan
neraca perdagangan Indonesia, karena negara-negara tersebut merupakan mitra dagang utama
bagi Indonesia. Sementara itu, telah diratifikasinya perjanjian perdagangan multilateral Putaran
Uruguay (GAIT) dalam bulan April 1994 diperkirakan akan memberikan pengaruh yang cukup
Departemen Keuangan RI
328
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
luas bagi dunia usaha di Indonesia, di satu pihak merupakan peluang bagi peningkatan ekspor
bukan migas dan di pihak lain dapat meningkatkan masuknya barang-barang impor. Sehubungan
dengan hal itu dunia usaha dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, agar produk
nasional mampu bersaing di pasar global.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar impor Indonesia merupakan bahan baku/
penolong dan barang modal yang digunakan untuk industri barang ekspor. Dalam pada itu,
kebijaksanaan di bidang impor diarahkan untuk mendukung dan mendorong pertumbuhan
industri dalam negeri, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri yang berorientasi ekspor,
memelihara kestabilan harga, dan menyediakan barang-barang yang dibutuhkan dalam negeri.
Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah dalam tahun 1994 dan dalam tahun-tahun sebelumnya telah
mengeluarkan berbagai raker kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, antara lain raker
kebijaksanaan 23 Oktober 1993 yang mencakup enam bidang, yaitu bidang ekspor-impor, tarif
bea masuk impor dan tata niaga impor, penyederhanaan penanaman modal, perizinan untuk
investasi di bidang farmasi, serta penyederhanaan prosedur analisa mengenai dampak lingkungan
(Amdal).
Selanjutnya, dalam rangka lebih mempercepat peningkatan serta perluasan kegiatan
ekonomi, dilakukan langkah-langkah untuk mengembangkan iklim usaha yang semakin mantap
dan lebih menjamin kelangsungan PMA melalui dua bentuk usaha yaitu usaha patungan dan
penanaman modal langsung. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
20 Tahun 1994, yang mengatur tentang kepemilikan saham dalam perusahaan penanaman modal
asing. Di dalam peraturan ini penanaman modal asing yang berpatungan dengan pihak Indonesia
diizinkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak, meliputi pelabuhan, produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk
umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api listrik, dan media masa.
Dalam usaha patungan tersebut, pihak asing dimungkinkan untuk memiliki saham sampai dengan
95 persen. Selain itu, perusahaan asing bolch juga menguasai 100 persen saham perusahaan,
dengan ketentuan perusahaan tersebut harus menjual sahamnya kepada pihak Indonesia setelah
15 tahun sejak produksi komersial melalui pasar modal atau pemilikan langsung (direct
placement). Tujuan dari peraturan ini antara lain meningkatkan pertumbuhan ekspor melalui
perolehan peluang pasar internasional, serta meningkatkan lapangan kerja, penerimaan pajak,
lingkungan hidup, dan perekonomian nasional. Masih dalam tahun 1994, Pemerintah
Departemen Keuangan RI
329
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mengeluarkan raker kebijaksanaan di sektor riil (paket 27 Juni 1994), yang meliputi
penyempurnaan bea masuk (BM), bea masuk tambahan (BMT), penghapusan tata niaga impor 27
pas tarif, penyempurnaan peraturan untuk kawasan berikat (KB) dan entrepot produksi tujuan
ekspor (EPTE), pengkreditan pajak masukan bagi industri tertentu, dan langkah-langkah untuk
memperkuat usaha kecil dan koperasi. Penyempurnaan BM, dan BMT, diarahkan untuk
mengantisipasi perkembangan perdagangan dunia pasca GAIT /putaran Uruguay, dan mendorong
peningkatan daya saing produksi dalam negeri. Tarif bea masuk yang diturunkan adalah sebanyak
739 pas tarif, yang meliputi hasil-hasil di bidang industri termasuk komoditi Bulog dan produk
kesehatan. Selanjutnya komoditi-komoditi yang tarifnya diturunkan menjadi sekitar 5-30 persen
antara lain adalah mesin tekstil, mesin usaha pertanian, mesin-mesin perkakas untuk industri
kecil, dan beberapa komponennya. Tarif bea masuk bagi mesin-mesin tekstil dan komponennya
diturunkan menjadi 10-25 persen, mesin untuk usaha pertanian tarif BM-nya diturunkan 5-20
persen, dan untuk mesin-mesin perkakas industri kecil (termasuk mesin jahit, butut, penyerut
barang, perajut, dan perkakas mesin) tarif BM-nya diturunkan menjadi 5 persen. Selain itu,
kendaraan bermotor sedan dan station wagon CBU, BM-nya diturunkan sebesar 25 persen,
sedang untuk suku cadang semi trailer diturunkan menjadi 10 persen, dan untuk work truck tarif
BM-nya dihapus. Untuk komponen dan subkomponen perakitan/pembuatan alat-alat besar
dibebaskan bea masuknya mulai 1 Januari 1995. Sementara itu, sebanyak 18 pas tarif komoditi
pertanian, seperti tepung gandum/beras, kedelai kuning, tepung kedelai, gula tebu/bit, teras pulut,
dan karung goni, tarif BM-nya dihapus. Selanjutnya minyak goreng (minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit) yang semula tarif BM-nya 10 persen, diturunkan menjadi 0 persen. Dari sejumlah
220 pos tarif yang selama ini dikenakan tarif BMT, sebanyak 108 pas tarif BMT-nya dihapus,
sebanyak 13 pos tarif BMT-nya diturunkan, dan sebanyak 99 pos tarit BMT-nya tetap. Komoditikomoditi yang tarif BMT-nya dihapus antara lain adalah PYC dan copolimer-nya, kawat paku
dan kawat untuk jari-jari sepeda, pakan udang, bahan pembasmi serangga, fiber glass, dan white
carton. Sedangkan komaditi yang tarif BMT-nya diturunkan antara lain kertas koran, benang
karet, profil baja, serta kawat pilin.
Di bidang tata niaga impor, sebanyak 8 pos tarif untuk produk aluminium sheet yang
semula hanya dapat diimpor oleh importir produsen (IP) diubah menjadi dapat diimpor oleh
importir umum (IU). Sementara itu tata cara impor dari sebanyak 17 pos tarif produk motor
piston pembakaran mengalami perubahan, yaitu dari agen tunggal/IU menjadi IU. Selanjutnya
Departemen Keuangan RI
330
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebanyak 2 pos tarif produk laktosa yang semula ditataniagakan oleh Bulog diubah menjadi IU,
dan sebanyak 2 pos tarif bawang putih yang semula diimpor oleh importir terdaftar melalui
kebijaksanaan ini ditataniagakan oleh Bulog.
Dalam rangka membantu perusahaan meningkatkan daya saing melalui merger atau
konsolidasi, fasilitas penangguhan PPN atas barang modal maupun perkreditan atas pajak
masukannya tetap berlaku. Bagi perusahaan yang memperluas usahanya dengan cara
meningkatkan kapasitas produksinya sekurang-kurangnya 30 persen, diberikan fasilitas impor
bahan baku/penolong atas tambahan kapasitas tersebut dalam jangka waktu 2 tahun, tanpa ada
ketentuan pembatasan masa pelaksanaan impornya.
Dalam rangka menjamin pengadaan bahan baku dengan tetap memperhatikan daya saing
hasil produksi dalam negeri, sejak tanggal 17 Oktober 1994 Pemerintah telah menurunkan BM
dan BMT atas kertas dari berbagai jenis, dengan tarif kumulatif paling tinggi 20 persen. Melalui
kebijaksanaan ini, tarif bea masuk impor kertas tulis/cetak HVS diturunkan dari 30 persen
menjadi 20 persen. Selain itu BMT kertas koran dalam gulungan atau lembaran dihapuskan.
Sedangkan tarif bea masuk kertas kantong semen dan pupuk diturunkan dari 15 persen menjadi 5
persen. Selanjutnya, asam formiat (asam semut) yang merupakan bahan penolong dalam industri
ban, dikenakan BM sebesar 20 persen dan BMT-nya 0 persen, dan stainless steel wire rod, yang
merupakan bahan baku industri baut dan mur, tarif BM-nya diturunkan dari 20 persen menjadi 5
persen. Sementara itu, guna mengurangi penyalahgunaan pemakaian rubber processing oil (RPO)
dalam pembuatan pelumas palsu yang dapat merugikan perekonomian nasional, Pemerintah telah
menyempurnakan klasifikasi tarif BM atas produk minyak bumi tersebut. Untuk produk
dimaksud sejak 20 Oktober 1994 dikenakan bea masuk sebesar 5 persen dan pajak pertambahan
nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Dalam pertemuan Dewan Menteri Area Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA, ASEAN
Free Trade Area) yang ke-5 pada akhir September 1994 di Chiangmai, Thailand, telah disepakati
bahwa realisasi common effective preferential on tariff (CEPT) dipercepat dari 15 tahun menjadi
10 tahun, yang dimulai tanggal 1 Januari 1995. Dalam kaitan ini, Dewan Menteri AFTA telah
sepakat untuk mempercepat masuknya product exclusion list (komoditi yang untuk sementara
waktu tidak masuk dalam skema penurunan ratio ke dalam inclusion list (daftar program
penurunan ratio, yaitu setiap tahun sebanyak 20 persen komoditi exclusion list sudah masuk
Departemen Keuangan RI
331
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dalam inclusion list. Dengan demikian secara bertahap dalam tahun 2000, semua komoditi masuk
inclusion list. Di samping itu telah disepakati pula penurunan tarif pada jalur normal (normal
track) dan jalur cepat (fast track). Pada jalur normal, untuk komoditi yang tarif bea masuknya 20
persen ke atas, sejak 1 Januari 1995 tarif efektifnya secara bertahap diturunkan menjadi 0-5
persen dalam waktu 8 tahun, sedangkan untuk produk dengan tarif 20 persen ke bawah
penurunannya dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sementara itu pada jalur cepat, sejak 1 Januari
1995 komoditi yang tarif bea masuknya 20 persen ke atas tarif efektifnya secara bertahap
diturunkan menjadi 0-5 persen dalam waktu 5 tahun, sedangkan untuk komoditi yang tarif bea
masuknya 20 persen ke bawah, diturunkan menjadi 0 - 5 persen dalam waktu 3 tahun.
Dalam rangka mencukupi kebutuhan jagung di dalam negeri serta menjaga kestabilan
harga, Pemerintah telah membebaskan tarif bea masuk atas 100.000 ton jagung yang dilakukan
oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam bulan November 1994. Selanjutnya guna
meningkatkan pelayanan masyarakat khususnya di bidang pelayanan peningkatan kualitas bahan
pangan, sejak tanggal 2 Desember 1994 Pemerintah telah membebaskan bea masuk, pajak
pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan pasal 22 impor,
atas pemasukan mesin dan peralatan laboratorium tertentu oleh Bulog.
4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1994/95
Menjelang dilaksanakannya hasil kesepakatan Putaran Uruguay, semakin dikokohkannya
kerjasama ekonomi dan perdagangan antar negara sekawasan di berbagai belahan dunia, serta
makin kerasnya tuntutan terhadap aspek lingkungan, perekonomian Indonesia khususnya neraca
pembayaran Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak ringan. Dalam rangka
menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah secara bertahap dan penuh kehati-hatian telah
mengupayakan beberapa antisipasi dan solusinya, sehingga yang pada awalnya merupakan
tantangan pada akhirnya diharapkan dapat menjadi peluang.
Berkaitan dengan hal itu, dalam tahun 1994 dan tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah
telah melakukan berbagai kebijaksanaan deregulasi/debirokratisasi di bidang penanaman modal
asing, produksi, perdagangan, dan sektor riil. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut antara lain
meningkatkan pengadaan sarana infrastruktur, mengurangi/membebaskan tarif bea masuk impor
bahan baku, menyempurnakan tata cara penghitungan pemakaian bahan, baku asal impor yang
Departemen Keuangan RI
332
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
digunakan untuk memproduksi barang ekspor, serta mempertahankan nilai rupiah yang wajar,
yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing produk ekspor Indonesia dalam
menghadapi persaingan di pasar dunia. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan investasi, iklim
usaha yang menarik bagi investor asing terus ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan aspek
pemeliharaan lingkungan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari sektor
jasa-jasa, Pemerintah terus mendorong pemasukan devisa dari sektor pariwisata dan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri (TKl). Di pihak lain, Pemerintah terus berupaya untuk melakukan
penghematan pengeluaran devisa untuk jasa-jasa, antara lain melalui peningkatan daya angkut
dan jumlah armada pelayaran nasional dan mendorong pertumbuhan industri jasa nasional.
Selanjutnya Pemerintah terus pula melanjutkan kebijaksanaan pinjaman luar negeri secara
berhati-hati, dengan tujuan agar diperoleh pinjaman yang wajar, tanpa ikatan politik, dan tidak
memberatkan neraca pembayaran di kemudian hari. Dalam melakukan pinjaman luar negeri,
Pemerintah tetap mengutamakan pinjaman yang bersyarat lunak dari Consultative Group for
Indonesia (CGI) dan non-CGI. Sementara itu, pinjaman komersial yang dilakukan oleh BUMN
dan swasta yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah dan BUMN dimonitor oleh tim
PKLN. Melalui tim ini pinjaman tersebut dipantau agar sesuai dengan plafon yang telah
ditetapkan setiap tahun. Adapun penggunaan pinjaman luar negeri tersebut diprioritaskan kepada
kegiatan pembangunan, khususnya yang mendorong peningkatan ekspor.
Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan ekspor nonmigas serta pemasukan modal,
terutama investasi langsung dan pemasukan devisa jasa-jasa, akan semakin meningkat. Di sisi
lain, impor yang dilakukan dapat lebih diarahkan untuk menunjang peningkatan ekspor
nonmigas. Dengan demikian, diharapkan defisit neraca jasa-jasa yang cukup berpengaruh
terhadap defisit transaksi berjalan, dapat diimbangi oleh meningkatnya surplus neraca
perdagangan, sehingga defisit transaksi berjalan dapat ditekan, dan pada gilirannya dapat
memperkuat posisi neraca pembayaran Indonesia.
Dalam tahun 1994/95, defisit transaksi berjalan diperkirakan sebesar US$ 3.586 juta, yang
berarti meningkat sebesar US$ 646 juta atau 22 persen dari periode sebelumnya. Peningkatan
tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya impor nonmigas dan defisit neraca jasa-jasa.
Dalam tahun 1994/95, realisasi ekspor secara keseluruhan diperkirakan sebesar US$ 40.763 juta,
yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 9.653 juta dan ekspor nonmigas sebesar US$ 31.110
Departemen Keuangan RI
333
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
juta. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, perkiraan realisasi ekspor dalam tahun 1994/95
mengalami kenaikan seoesar 11,7 persen, yang berarti lebih tinggi dari kenaikan ekspor periode
sebelumnya yaitu sebesar 3,4 persen. Peningkatan ekspor ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya ekspor kopi, kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium, tekstil lainnya, karet
olahan, alat-alat listrik, dan ekspor migas.
Sementara itu searah dengan berkembangnya kegiatan investasi dan industri di dalam
negeri, dalam tahun 1994/95 impor diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 12,6 persen.
Kenaikan impor ini terutama disebabkan oleh meningkatnya impor bahan baku dan barang
modal, seperti bahan kimia, benang tenun, semen, mesin-mesin, dan alat-alat listrik. Realisasi
impor secara keseluruhan dalam tahun 1994/95 diperkirakan sebesar US$ 32.796 juta, yang
meliputi impor migas sebesar US$ 3.435 juta dan impor nonmigas sebesar US$ 29.361 juta.
Meskipun pemasukan devisa dan sektor pariwisata dan pengiriman tenaga kerja Indonesia
(TKI) ke luar negeri mengalami peningkatan yang cukup pesat, namun pengeluaran devisa dari
sektor lainnya masih lebih besar dari pemasukannya, sehingga neraca jasa-jasa dalam tahun
1994/95 diperkirakan defisit sebesar US$ 11.553 juta atau 12 persen lebih tinggi dari defisit
periode sebelumnya yaitu sebesar US$ 10.317 juta. Peningkatan defisit neraca jasa-jasa tersebut
disebabkan oleh lebih tingginya peningkatan pengeluaran jasa-jasa nonmigas, terutama ongkos
angkut barang impor dan pembayaran bunga hutang luar negeri. Peningkatan pembayaran bunga
hutang luar negeri tersebut antara lain disebabkan adanya pembayaran dipercepat daripada
sebagian hutang pemerintah. Dari perkiraan defisit neraca jasa-jasa sebesar US$ 11.553 juta
tersebut, sebesar US$ 8.511 juta merupakan jasa nonmigas dan US$ 3.042 juta merupakan jasa
migas.
Di sisi lain, pemasukan modal neto dalam tahun 1994/95 mengalami penurunan sebesar
1,5 persen sehingga realisasinya mencapai US$ 5.624 juta, yang meliputi pemasukan modal
pemerintah sebesar US$ 6.430 juta, pemasukan modal swasta bersih sebesar US$ 4.749 juta, dan
pembayaran pokok hutang luar negeri pemerintah sebesar US$ 5.555 juta. Berdasarkan perkiraan
realisasi transaksi berjalan, lalu lintas modal, serta selisih yang belum diperhitungkan sebesar US
$ 1.025 juta, dalam tahun 1994/95 neraca pembayaran diperkirakan mengalami surplus sebesar
US$ 1.013 juta. Dengan demikian, jumlah cadangan devisa pada akhir tahun 1994/95 cukup
untuk membiayai impor nonmigas (c&f) sekitar 5 bulan.
Departemen Keuangan RI
334
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
4.4.1. Ekspor
Pertumbuhan ekspor yang agak melambat dalam tahun 1993/94 diperkirakan mengalami
peningkatan yang cukup menggembirakan dalam tahun 1994/95, yang tercermin dari
meningkatnya pertumbuhan ekspor, baik migas maupun nonmigas. Dalam tahun 1994/95
realisasi ekspor diperkirakan meneapai US$ 40.763 juta, yang berarti sebesar 11,7 persen lebih
tinggi dari periode sebelumnya yang berjumlah US$ 36.504 juta. Kenaikan tersebut antara lain
disebabkan oleh meningkatnya ekspor gas alam, kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium,
dan kopi. Dari perkiraan ekspor sebesar US$ 40.763 juta tersebut, sebesar US$ 31.110 juta
merupakan ekspor nonmigas dan sebesar US$ 9.653 juta berupa ekspor migas. Ini berarti peranan
ekspor nonmigas dalam struktur penerimaan hasil ekspor Indonesia dalam tahun 1994/95
mengalami peningkatan, yaitu dari 74,4 persen dalam tahun 1993/94 menjadi sebesar 76,3
persen.
Sementara itu, meningkatnya ekspor kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium, serta
komoditi ekspor lainnya dalam tahun 1994/95 telah menyebabkan ekspor nonmigas dalam
periode tersebut mengalami peningkatan sebesar 14,5 persen, sehingga realisasinya diperkirakan
menjadi sebesar US$ 31.110 juta. Sementara itu, dalam tahun 1994/95 ekspor migas diperkirakan
sebesar US$ 9.653 juta, mencakup ekspor minyak bumi sebesar US$ 5.678 juta dan ekspor gas
alam sebesar US$ 3.975 juta. Dibandingkan dengan realisasi periode sebelumnya, ekspor minyak
bumi diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 3 persen, dan ekspor gas alam meningkat
sebesar 4 persen dalam tahun 1994/95. Sejalan dengan meningkatnya ekspor gas alam,
peranannya terhadap ekspor migas juga mengalami sedikit kenaikan, yaitu dari sebesar 40,9
persen dalam tahun 1993/94 menjadi sebesar 41,2 persen dalam tahun 1994/95. Mengingat harga
minyak bumi yang tidak menentu, ekspor gas alam terus diupayakan peningkatannya, sehingga
ketergantungan terhadap ekspor minyak bumi semakin berkurang. Perkembangan nilai ekspor
secara rinci dapat diikuti dalam Tabel IV.6
Departemen Keuangan RI
335
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel IV. 6
NILAI EKSPOR, 1984/85 - 1994/95
( dalam juta US $)
Tahun
anggaran
Nilai
-2
-1
Bukan migas
Migas
%
-3
Nilai
-4
Jumlah
%
-5
Nilai
%
(6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5)
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
13.994
12.437
6.%6
8.841
7.640
9.337
12.763
10.706
70,3
66,8
50,9
48,2
38,5
39,2
45,4
36
5.907
6.175
6.731
9.502
12.184
14.493
15.380
19.008
1992/93
10.480
29,7
24.823
70,3
35.303
100
9.334
9.653
25,6
23,7
27.170
31.110
74,4
76,3
36.504
40.763
100
100
1993/94
1994/95 1)
29,7
33,2
49,1
51,8
61,5
60,8
54,6
64
19.901
18.612
13.697
18.343
19.824
23.830
28.143
29.714
100
100
100
100
100
100
100
100
I) Perkiraan realisasi
Realisasi nilai ekspor nonmigas dalam periode April-September 1994 sebesar US$
15.743,7 juta mencakup ekspor hasil-hasil pertanian sebesar US$ 1.623,1 juta, ekspor hasil-hasil
industri sebesar US$ 13.190,9 juta, ekspor hasil-hasil tambang di luar migas sebesar US$ 928,7
juta, dan ekspor hasil-hasil lainnya sebesar US$ 1 juta. Dibandingkan dengan realisasi dalam
periode April-September 1993, nilai ekspor nonmigas dalam periode yang sama tahun 1994/95
mengalami kenaikan sebesar US$ 2.358,2 juta atau sebesar 17,6 persen. Kenaikan ekspor
nonmigas tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya ekspor komoditi hasil pertanian, hasil
industri, dan hasil tambang. Selain nilainya meningkat, ekspor nonmigas juga semakin
berorientasi kepada ekspor hasil industri. Hal tersebut disamping merupakan dampak positif dari
perkembangan industrialisasi, juga menunjukkan telah terjadinya pergeseran dari dominasi
komoditi primer dengan pengolahan minimal beralih ke komoditi industri dengan tingkat
pengolahan menengah dan tinggi yang lebih mampu meningkatkan nilai tambah.
Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil pertanian meningkat 41,2 persen
dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 1.149,9 juta. Komoditi hasil
pertanian yang mengalami peningkatan dalam ekspornya antara lain kopi, lada putih, lada hitam,
tembakau, biji coklat, dari ubur-ubur/kerang lainnya, udang (segar dan beku), getah karet, dan
hasil pertanian lainnya, yang masing-masing meningkat sebesar 197,8 persen, sebesar 34,9
Departemen Keuangan RI
336
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
persen, sebesar 530,4 persen, sebesar 26,5 persen, sebesar 41,3 persen, sebesar 27,8 persen,
sebesar 22,5 persen, sebesar 3,4 persen, dan sebesar 4,8 persen. Peningkatan nilai ekspor kopi
terutama disebabkan oleh menguatnya harga kopi sebagai akibat dari kegagakan panen di Brasil,
yang merupakan negara pengekspor kopi utama. Dalam periode April-September 1994, harga
rata-rata kopi Robusta Larnpung di bursa komoditi New York mencapai sebesar US$160,6
cent/lb, atau meningkat sebesar 138,6 persen bila dibandingkan dengan harga rata-rata periode
yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 67,3 cent/lb. Sedangkan meningkatnya ekspor lada
hitam dan lada putih disebabkan meningkatnya harga kedua komoditi tersebut sebagai akibat
turunnya produksi dunia. Dalam periode April-September 1994, harga rata-rata lada hitam dan
lada putih di pasaran dunia masing-masing sebesar Sin$ 268,8 per kuintal dan Sin$ 437,9 per
kuintal. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, harga rata-rata kedua
komoditi dimaksud dalam periode April-September 1994 meningkat masing-masing sebesar 34,5
persen dan sebesar 29,9 persen. Sementara itu peningkatan nilai ekspor ubur-ubur/kerang lainnya
antara lain disebabkan oleh adanya peluang pasar yang masih terbuka luas bagi komoditi
tersebut. Sedangkan meningkatnya ekspor tembakau dan biji coklat (kakao) terutama disebabkan
oleh naiknya harga dan volume ekspor kedua komoditi tersebut. Selanjutnya meningkatnya
ekspor udang yang merupakan primadona ekspor hasil pertanian disebabkan antara lain oleh
meningkatnya permintaan ekspor komoditi tersebut. Sedangkan naiknya ekspor getah karet
terutama disebabkan oleh meningkatnya harga karet di pasar dunia.
Di pihak lain, ekspor beberapa komoditi hasil pertanian, seperti teh dan ikan tuna/lainnya,
mengalami penurunan, masing-masing sebesar 36,3 persen dan sebesar 7,1 persen. Menurunnya
nilai ekspor teh terutama disebabkan oleh menurunnya harga teh yang diakibatkan oleh lemahnya
permintaan atas komoditi tersebut, yang dibarengi pula oleh meningkatnya pasokan teh di pasar
dunia sebagai akibat panen raya di beberapa negara pengekspor utarna. Sedangkan penurunan
ekspor ikan/tuna antara lain disebabkan oleh menurunnya hasil tangkapan kapal lokal.
Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil industri mencapai US$ 13.190,9
juta, yang berarti meningkat 14,5 persen dari periode yang sama tahun lalu yang berjumlah
sebesar US$ 11.523,3 juta. Ekspor produk industri kayu, yang merupakan salah satu komoditi
utama ekspor nonmigas, mengalami penurunan sebesar 14 persen dalam periode April-September
1994, sehingga nilai ekspornya menjadi US$ 2.567,1 juta. Penurunan nilai ekspor produk kayu
tersebut terutama disebabkan oleh turunnya nilai ekspor kayu lapis, sejalan dengan turunnya
Departemen Keuangan RI
337
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
harga produk tersebut karena rendahnya permintaan dari negara-negara pengimpor utama.
Sebaliknya, ekspor kayu gergajian dan kayu olahan lainnya mengalami peningkatan masingmasing sebesar 29,1 persen dan sebesar 11,3 persen.
Sementara itu, ekspor produk tekstil yang terdiri dari pakaian jadi, kain tenun, dan produk
tekstil lainnya, dalam periode April-September 1994 nilainya mencapai US$ 3.110,4 juta atau
sebesar 2,5 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ekspor
produk tekstil yang larnban ini terutama disebabkan oleh menurunnya harga produk tekstil
sebagai akibat meningkatnya suplai produk tekstil dunia.
Ekspor komoditi andalan setelah produk industri kayu dan tekstil adalah atas kaki dan
alat-alat listrik, yang mengalami peningkatan ekspor masing-masing sebesar 20,5 persen dan
sebesar 60,8 persen. Peningkatan ekspor atas kaki tersebut terutama disebabkan oleh
meningkatnya volume ekspornya. Sementara itu, meningkatnya ekspor alat-alat listrik antara lain
disebabkan oleh naiknya permintaan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan
meningkatnya nilai jual komoditi tersebut. Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor
karet olahan mencapai sebesar US$ 701,1 juta atau sebesar 36,5 persen lebih tinggi dari periode
sebelumnya yang berjumlah US$ 513,5 juta. Peningkatan ekspor tersebut terutama disebabkan
oleh munculnya permintaan dari negara-negara importir baru.
Komoditi hasil industri lainnya yang nilai ekspornya mengalami kenaikan adalah bungkil
korea, minyak atsiri, stearin, mebel, dan bahan kimia. Peningkatan ekspor bungkil kopra dan
minyak atsiri disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor. Sedangkan peningkatan ekspor
stearin, mebel, dan bahan kimia, disebabkan antara lain oleh adanya tambahan permintaan dari
pasar luar negeri. Sementara itu, meningkatnya harga bijih timah (un wrought) dan aluminium
(un wrought) di pasar dunia telah menyebabkan nilai ekspor kedua komoditi tersebut mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 66,5 persen dan sebesar 31,5 persen. Dalam periode tersebut,
nilai ekspor bijih timah dan aluminium masing-masing meneapai sebesar US$ 61,6 juta dan
sebesar US$ 167 juta. Di pihak lain, komoditi hasil industri yang mengalami penurunan adalah
kain tenun dan semen, yang masing-masing turun sebesar 11,2 persen dan sebesar 35,5 persen
dari periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ekspor semen terutama diakibatkan oleh
meningkatnya kebutuhan semen di dalam negeri.
Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil tarnbang di luar migas
Departemen Keuangan RI
338
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mengalami kenaikan sebesar 30,6 persen, sehingga dalam periode tersebut realisasinya meneapai
US$ 928,7 juta. Kenaikan ekspor dimaksud disebabkan oleh meningkatnya ekspor komoditi
utama hasil tambang di luar migas, yaitu bijih tembaga, batu bara, dan lainnya, yang masingmasing meningkat sebesar 43,2 persen, 25,4 persen, dan 6,9 persen. Peningkatan ekspor bijih
tembaga tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya harga komoditi dimaksud di pasar
dunia. Sedangkan peningkatan nilai ekspor batu bara disebabkan oleh meningkatnya volume
ekspor. Di pihak lain, nilai ekspor bijih nikel mengalami penurunan sebesar 9 persen, yang antara
lain disebabkan oleh menurunnya harga komoditi ini karena melemahnya permintaan bijih nikel
di pasar dunia.
Dilihat dari negara tujuan, sebagian besar ekspor dalam periode April-September 1994/95
masih ditujukan ke Jepang, yaitu sebesar US$ 5.611 juta akan 27,4 persen dari total nilai ekspor.
Selanjutnya, ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar US$ 3.047 juta (14,9 persen), ke negaranegara Masyarakat Eropa sebesar US$ 2.961 juta (14,4 persen), ke Singapura sebesar US$ 2.253
juta (11 persen), dari ke negara lainnya sebesar US$ 6.628 juta (32,3 persen). Bila ditinjau
menurut kawasan, Asia merupakan pasar terbesar bagi produk-produk ekspor Indonesia. Ekspor
Indonesia ke kawasan Asia mencapai sebesar US$ 13.047 juta akan 63,6 persen dari total nilai
ekspor. Berikutnya ekspor ke Amerika sebesar US$ 3.513 juta (17,1 persen), ke Eropa sebesar
US$ 3.227 juta (15,8 persen), ke Australia dan Oceania sebesar US$ 354 juta (1,7 persen), dan ke
Afrika sebesar US$ 359 juta (1,8 persen). Perkembangan realisasi ekspor menurut negara tujuan
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.8.
4.4.2. Impor
Perkembangan nilai impor dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan,
walaupun laju pertumbuhannya cenderung menurun. Kenaikan impor tersebut selain sejalan
dengan meningkatnya kegiatan perekonomian dalam negeri juga sebagai akibat dari pengaruh
kebijaksanaan deregulasi dari debirokratisasi yang telah dilakukan Pemerintah. Dalam tahun
anggaran 1994/95 realisasi impor secara keseluruhan diperkirakan meneapai US$ 32.796 juta,
yang terdiri atas impor migas sebesar US$ 3.435 juta dari impor bukan migas sebesar US$ 29.361
juta. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US$
29.127 juta, maka impor keseluruhan dalam tahun 1994/95 menunjukkan kenaikan sebesar US$
Departemen Keuangan RI
339
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
3.669 juta akan 12,6 persen. Dalam tahun 1994/95 realisasi impor bukan migas diperkirakan
meningkat sebesar US$ 4.050 juta atau 16 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar
US$ 25.311 juta, sebaliknya realisasi impor migas diperkirakan mengalami penurunan sebesar
US$ 381 juta akan 10 persen.
Tabel IV.8
NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1990/91 - 1994/95
( dalam juta US $)
1994/95
Ncgara
(I)
I. ASIA
ASEAN
- Mataysia
- Muangthai
- Philipina
- Singapura
- Brunei Darussalam
Hongkong
Jepang
Asia lainnya
II. AFRIKA
III. AMERIKA
-USA
-Kanada
- Amerika lainnya
IV. AUSTRALIA
- Australia
- lkeania lainnya
V. EROPA
ME
-Inggris
- Belanda
- Jerman
- Belgia & Luxemburg
- Peran,is
- Denmark
-Irlandia
-Ihalia
- Yunani
- Portugal
- Spanyol
Rusia
Empa lainnya
Jumlah
1991/92
presentase
Nilai
dan
jumlah
1990/91
presentase
Nilai
dan
jumlah
-2
-3
19.068
2.63!
270
206
168
1.977
10
619
11.140
4.678
201
3.529
3.191
132
206
547
474
7J
3.551
3.286
569
751
830
228
311
61
41
296
II
16
172
53
212
26.896
-4
70.9
0,7
13,1
2,0
13,3
100,0
-5
20.272
3.293
362
277
165
2.476
13
756
10.307
5.916
377
4.065
3.651
212
202
700
658
42
4.170
3.853
618
907
875
260
421
86
42
439
19
II
175
42
275
29.584
1992/93
presentase
Nilai
dan
jumlah
-6
68.5
1,3
13,7
2.4
14,1
100,0
-7
23.349
4.727
527
434
205
3.530
31
885
11.009
6.728
483
5.351
4.671
284
396
844
780
64
5,371
5.056
905
1.102
1.051
421
490
93
47
610
34
21
282
71
244
35,398
1193/1994
presentase
Nilai
dan
jumlah
-8
66.0
1,4
15.1
2,4
15.1
100.0
-9
23.559
4.686
575
393
290
3.397
31
939
10.940
6.'/94
433
6.007
5.254
301
452
831
761
70
5.589
5.159
978
1.094
1.141
364
465
99
36
573
45
28
336
134
296
36.419
(Apr.Sept)
presentase
Nilai
dan
jumlah
-10
64.7
1,2
16,5
2,3
15,3
100,0
(II)
13.047
3.028
370
206
182
2.253
17
701
5.611
3.707
359
3.513
3.047
168
298
354
320
34
3_227
2.%1
514
633
665
206
221
52
20
334
35
22
259
33
233
20.500
63,6
1,8
17,1
1.7
15,
100,0
') Angka semenlara
Realisasi impor bukan migas dalam periode April-September 1994 mencapai US$
14.886,4 juta, atau 12 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama dalam
tahun sebelumnya. Kenaikan impor bukan migas tersebut terutama didorong oleh meningkatnya
kebutuhan impor bahan baku/penolong dari barang modal di dalam negeri. Dari nilai impor
Departemen Keuangan RI
340
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
bukan migas sebesar US$ 14.886,4 juta tersebut, sebesar US$ 1.064,2 juta berupa barang
konsumsi, sebesar US$ 5.709,2 juta berupa barang modal, dari sebesar US$ 8.113 juta berupa
bahan baku/penolong.
Impor bahan baku/penolong dalam periode April-September 1994 rnengalami
peningkatan sebesar 20,2 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama dalam tahun
sebelumnya. Meningkatnya impor bahan baku/penolong tersebut disebabkan oleh semakin
berkembangnya industri pengolahan di dalam negeri yang banyak membutuhkan komoditi
tersebut. Bahan baku/penolong yang mengalami peningkatan impor cukup berarti adalah bahan
kimia, benang tenun, semen, besi baja dari logam, bahan-bahan karet dari plastik, alat-alat listrik,
serta bahan baku/penolong lainnya, yang masing-masing meningkat sebesar 23,5 persen, 9,6
persen, 428,3 persen, 3,5 persen, 11 persen, 23,4 persen, dari 40,9 persen. Di pihak lain, impor
bahan baku yang mengalami penurunan adalah bahan obat-obatan sebesar 5,5 persen, pupuk
sebesar 33,8 persen, bahan-bahan kertas sebesar 2,5 persen, dan impor bahan bangunan sebesar
12,4 persen. Sejalan dengan meningkatnya impor bahan baku/penolong, peranannya terhadap
impor bukan minyak bumi dan gas alam secara keseluruhan dalam periode April-September 1994
mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 50,8 persen menjadi sebesar 54,5 persen.
Sejalan
dengan
berkembangnya
industri
barang
modal
dalam
negeri,
maka
ketergantungan terhadap impor barang modal semakin berkurang. Hal ini ditandai dengan
rendahnya pertumbuhan impor barang modal yaitu sebesar 1,9 persen dalam periode AprilSeptember 1994, sehingga realisasinya mencapai sebesar US$ 5.709,2 juta. Melambatnya
pertumbuhan impor barang modal tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya impor
beberapa komoditi, antara lain alat telekomunikasi dan alat pengangkutan, masing-masing
sebesar 11,9 persen dan 16,6 persen. Searah dengan menurunnya pertumbuhan impor barang
modal, maka peranannya terhadap impor nonmigas secara keseluruhan juga mengalami
penurunan, yaitu dari 42,2 persen dalam periode April-September 1993 menjadi sebesar 38,4
persen dalam periode yang sama tahun 1994.
Sementara itu, dalam periode April-September 1994 impor barang konsumsi mencapai
US$ 1.064,2 juta atau sebesar 13,6 persen lebih tinggi dari periode sebelumnya yang berjumlah
US$ 936,9 juta. Dalam periode tersebut semua komoditi impor barang konsumsi mengalami
kenaikan. Komoditi impor barang konsumsi yang peningkatannya cukup pesat adalah sabun dan
Departemen Keuangan RI
341
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kosmetik sebesar 31,5 persen, beras sebesar 278,4 persen, tembakau dan olahannya sebesar 20,3
persen, tekstil sebesar 11,6 persen, dan alat-alat rumah tangga sebesar 41,5 persen. Walaupun
impor barang konsumsi mengalami peningkatan yang cukup berarti, namun peranannya terhadap
impor nonmigas secara keseluruhan relatif sama, yaitu dari sebesar 7 persen dalam periode AprilSeptember 1993 menjadi sebesar 7,1 persen dalam periode yang sama tahun berikutnya.
Perkembangan nilai impor sejak tahun 1984/85 sampai dengan bulan September 1994 dapat
dilihat dalam Tabel IV.9.
Tabel IV.9
NILAI IMPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1984/85 - 1994/95
dalamjuta US $
Golongan Barang
1984/85
1985/86
1987/88
1988/89
1989190
1990/91
1986/87
I. Barang konsumsi
I. Beras
2. Tekstil
3. Susu, makanan, nUnuman
dan huah-buahan
4. Temhakau dan olahannya
5. Sahun dan kosmetik
6. Alat-alat rumah tangga
7. Lainnya
II, Bahan baknlpenolong
I. Bahan kjnUa
2. Bahan obat-ohatan
3. Pupuk
4. Bahan-bahan keetas
5. Benang tenun
6. Semen, kapur, dan bahan
hangunan buatan pahrik
7 Besi haja dan logam
8. Bahan-bahan karet & plastik
9. Bahan hangunan
10. Alat-alallistrik
II. Lainnya
III. Barang modal
I. Mesin-mesin
2. Generator listrik
3. Alal telekomuniknsi
4. Peralatan listrik
5. Alat pengangkutan
6. Lainnya
Jumlah
603,5
72.3
29.9
465,2
6
35.0
564,3
7,8
40,9
560,5
12,8
39,7
811,5
76,3
78,4
960,6
7
125
1.125,40
12,7
189,7
109,5
25,5
17,7
60,4
288,2
5,749,8
1.322,50
84,2
95,6
174,2
390,6
103,6
22,1
18,4
56,3
223,8
4.925,90
1.199,50
80,5
33,7
141
344,7
147,9
25,4
28,7
72,7
240,9
5.600,30
1.242,90
102,3
25,8
130,3
413,2
141,6
21
24,1
58,8
262,5
6.398,50
1.353,40
97,9
75,9
145,8
523,3
226
32,4
28
50,5
319,9
7,339,4
1.642,30
102,7
59
167,3
625,7
336,7
29,9
32,1
74,6
355,3
8.850,80
1.641,20
109.9
117
175,4
931,3
225,7
51,6
40,1
104
501,6
10.641,40
1.962,50
124,7
99,1
203,3
1.177,30
13
1.204,60
504.1
195,4
164
1.601,60
4.477,80
1.416,90
123,9
120,5
58,5
1.356,10
1.101,90
10,831,1
6,9
977,3
407
195
103,4
1.436,90
3.420,70
1.291,20
85,7
168,7
228,3
562,1
1.084,70
8.811,80
4,5
1.083,30
528,4
198,1
76,3
1.795,20
3.997,10
1.601.2
200
170,5
300,7
717,7
1.007,00
10.161,70
3,7
1.220.5
594,2
194,4
98
2.091,40
4.600,60
2.069,50
167,7
295,3
282,5
553,4
1.232,20
11.559,60
2,9
1.434,50
671,5
183,6
79,3
2.370,60
4,989,2
2.243,40
156,6
256,4
291,5
653,2
1.388,10
13.140,10
3,7
1.926,10
977,7
188,9
131,7
2.647,90
6,145,8
2.734,00
145
339,5
366,4
816.8
1.744,10
15,957,2
10
2.526,20
1.079,30
289,8
103,9
3,065,3
9,590,1
4.625,60
172,8
489,9
506,9
1.422,40
2.372,50
21.356,90
Dilihat dari negara asal, barang-barang impor Indonesia sebagian besar berasal dari
negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Dalam periode April-September 1994, pangsa impor
dari ketiga kawasan tersebut dan negara-negara lainnya terhadap impor secara keseluruhan
Departemen Keuangan RI
342
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masing-masing sebesar 53,1 persen, sebesar 24,2 persen, sebesar 16,4 persen, dan negara-negara
lainnya sebesar 6,3 persen. Diantara negara-negara industri utama, Jepang dan Amerika Serikat
masih merupakan negara asal impor yang cukup dominan dengan pangsa sebesar 26,2 persen dan
sebesar 12,3 persen, disusul Jerman sebesar 8,2 persen, dan negara-negara industri utama lainnya
sebesar 9,6 persen. Sementara itu di antara negara-negara di kawasan ASEAN, Singapura masih
tetap merupakan negara asal impor terbesar, yaitu sebesar 3,9 persen, kemudian diikuti oleh
Mataysia (1,6 persen), Thailand (1,1 persen), dan Philipina (0,2 persen). Perkembangan impor
Indonesia menurut negara asal sejak tahun 1990/91 sampai dengan bulan September 1994 dapat
dilihat dalam Tabel IV.10.
Tabel IV.10
NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1990/91 - 1994/95
(dC, dalamjuta US $)
1990/91
Negara
Nilai
I. ASIA
ASEAN
-Malaysia
- Muangthai
- Philipina
- Singapura
- Brunei Darussalam
Hongkong
Jepang
Asia lainnya
II. AFRIKA
III. AMERIKA
-USA
-Kanada
- Amerika 1ainnya
IV. AUSTRATASIA
-AusttaIia
- Oceania 1ainnya
V. EROPA
ME
-lnggris
- Belanda
- lennan
- Belgia & Luxemburg
-Petaneis
- Denmark
-Idandia
-Italia
- Yunani
- portugal
- Spanyol
Rusia
Empa lainnya
Jumlah
13.064,60
2.112,40
294.4
195.7/
50.6
1.571.3
0,4 .
276.3
5.875.0
4.800.9
163,8
3.724,7
2.614.8
327.7
782.2
1.385,3
1.273.4
111.9
5.242,4
4.512,5
464,9
578.0
1.731.0
255.1
730.1 I
:: I
493.0
4.4 I
7.8
110.1 I
50.1
679.8 i
23.580,8
1992193
1991/92
Presentase
dalam
Jumah
55,4
0,7
15,8
5,9
22,2
100,0
Nilai
14.348,20
2.501,40
497.5
336.8
83.7
1.583.2
0.2
245.4
6.421.9
5.179.5
198,0
4.409,2
3.500,4
386.7
522.1
1.480,4
1.355,1
125.3
5.738,1
4.630,5
651.3
461.5
2.077,8
299.0
437,2
60.7
13.8
491.2
4.6
2.0
131,4
51.1
1.056.5
26.173,9
Presentase
dalam
Jumah
54,8
0,8
16,8
5,7
21,9
100,0
Nilai
14.081,10
2.502,00
509,4
283.5
60.0
1.648.2
0.9
222.6
5.870.9
5.485.6
200,7
4.824,0
3.877,3
453.3
493.4
1.564,6
1.428.2
136,4
6.723,2
5.649,5
743.8
584.1
2.151.9
29i.6
893.7
124.8
23,2
588,4
8.5
1,8
237.7
51.3
1.022,4
27.393,6
1993/94
Presentase
dalam
Jumah
51,4
0,7
17,6
5,7
24,6
100,0
Nilai
15.764,40
2.650,10
531.8
227.3
56.1
1.834.3
0.6
259.1
6.562.3
6.292.9
147,9
4.290,3
3.117.3
427.5
745.5
1.567,0
1.389.9
177.1
7.177,4
5.542,8
795.6
585.2
2.064.0
340.3
805.3
158.1
20.8
550.0
15,4
2.1
206,0
113.6
1.521.0
28.947,0
Presentase
dalam
Jumah
54,5
0,5
14,8
5,4
24,8
100,0
1994/95') (April)
Presentase
Nilai
dalam
Jumah
7.911,20
1.002,10
235.2
161.5
29.3
575.9
0.2
116,4
3.904.0
2.888.7
140.3
2.435,2
1.834.1
236.0
365.1
803,0
724.7
78.3
3.5%,7
2.974,5
448.7
231.9
1.223,8
158,0
404.1
56.1
13.6
341.2
11.7
1.3
84.1
106.3
515.9
14.886,4
53,1
0,9
16,4
5,4
24,2
100,0
') Angka sementara
Departemen Keuangan RI
343
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (neto)
Dalam tahun 1994/95, neraca jasa-jasa Indonesia diperkirakan masih mengalami defisit,
yang berarti bahwa sisi pengeluaran jasa-jasa lebih besar dari sisi penerimaannya. Sebagaimana
diketahui bahwa pengeluaran jasa-jasa tersebut dinominasi oleh pembayaran bunga pinjaman luar
negeri dan biaya angkutan laut (freight). Pengeluaran untuk pembayaran bunga hutang luar negeri
yang cenderung meningkat dalam tahun 1994/95, berkaitan erat dengan apresiasi Yen terhadap
Dollar Amerika dan pembayaran sebagian hutang luar negeri pemerintah yang dipercepat.
Sementara itu tingginya biaya angkutan laut dalam neraca jasa-jasa merupakan konsekuensi dari
persyaratan pengapakan (term of shipment) ekspor dan impor Indonesia, dimana ekspor
menggunakan persyaratan f.o.b. (free on board) sedangkan impor menggunakan metode c.i.f.
(cost,
insurance
and
freight).
Dalam persyaratan
f.o.b.,
eksportir
Indonesia
hanya
bertanggungjawab atas barang yang dijualnya sampai dengan pelabuhan muat. Sedangkan impor
yang menggunakan persyaratan c.i.f., penjual di luar negeri bertanggung jawab atas barang yang
dijualnya sampai dengan negara tujuan/pelabuhan bongkar. Dengan kondisi tersebut eksportir
dan importir Indonesia tidak dapat menentukan penggunaan kapal untuk mengangkut barangbarangnya. Di samping itu, kondisi pelayaran nasional saat ini masih belum mampu bersaing
dengan pelayaran asing, baik dalam jumlah maupun daya angkutnya.
Selain pengeluaran jasa freight dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri, pengeluaran
jasa-jasa lain, seperti sewa/charter pesawat, iuran kepada badan/lembaga internasional, jasa
konsultan, haji, transfer keuntungan PMA ke luar negeri, serta jasa-jasa lainnya yang jumlah
netonya cukup besar ikut pula memperbesar defisit pengeluaran jasa neto.
Guna mengimbangi pengeluaran jasa-jasa tersebut, upaya-upaya untuk memperbesar
pemasukan jasa-jasa terus dikembangkan. Berkaitan dengan itu, langkah-langkah untuk
mengembangkan sektor pariwisata dan industri-industri jasa pendukungnya terus dilakukan
Pemerintah dengan mengikutsertakan pihak swasta. Selain kesiapan unsur sarana dan prasarana
pariwisata di dalam negeri, dilakukan pula promosi/pemasaran ke luar negeri, yaitu dengan
mengikuti pameran-pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan lainnya antara lain
adalah menjalin kerjasama dengan TV-2 Jerman untuk memproduksi film seri pariwisata
Indonesia yang dipancarkan ke daratan Eropa, serta mengadakan kunjungan misi dagang dan
pariwisata (TTI, Trade, Tourism, and Investment) ke Eropa, yang sasarannya adalah
Departemen Keuangan RI
344
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan meningkatkan ekspor
nonmigas. Selanjutnya dalam bulan September 1994 telah diadakan pasar wisata Indonesia '94
(Tourism Indonesia Mart '94) di Jakarta, yang diikuti oleh berbagai negara dan beberapa propinsi
di Indonesia. Selain itu, Pemerintah telah menambah pintu masuk bagi penerbangan asing, daerah
tujuan wisata (DTW), dan obyek wisata, seperti wisata laut di taman laut Bunaken di Manado dan
agrowisata dengan mengembangkan budidaya tanaman langka dan perkebunan buah-buahan di
Cileungsi Jawa Barat. Selanjutnya telah pula dikembangkan wisata konvensi, yang di samping
meningkatkan pemasukan devisa juga mengembangkan jasa-jasa di bidang konvensi. Dalam
rangka memperpanjang lama tinggal wisatawan mancanegara dan meningkatkan pengeluaran
devisa per hari, telah pula dilakukan upaya-upaya antara lain meningkatkan pelayanan di bidang
pariwisata, keamanan, ketertiban, keramahtamahan, serta kenyamanan dan kelancaran
transportasi. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan wisatawan asing lebih lama tinggal dan
devisa yang dibelanjakan di Indonesia semakin meningkat.
Dalam rangka meningkatkan pemasukan devisa dari TKI, telah pula dilakukan upayaupaya lainnya antara lain meningkatkan pengiriman tenaga kerja yang lebih terampil dan yang
bekerja diberbagai bidang sesuai dengan permintaan pasar luar negeri, seperti tenaga dokter,
perawat, konsultan, dan lainnya. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini selain meningkatkan
pemasukan devisa, juga dapat mengurangi pengangguran di dalam negeri. Di pihak lain dalam
upaya menghemat penggunaan devisa, pemakaian tenaga asing dibatasi jumlah dan diperketat
persyaratannya.
Sementara itu untuk mengurangi defisit biaya angkutan laut, Pemerintah telah
mengeluarkan kebijaksanaan antara lain memberi kemudahan bagi pengusaha pelayaran untuk
mendirikan usaha pelayaran, menambah jumlah dan daya angkut kapal, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam rangka mernbatasi pinjaman luar negeri yang menjadi beban pemerintah, telah
dibentuk Tim PKLN yang mempunyai tugas antara lain melakukan perencanaan dan monitoring
pinjaman-pinjaman luar negeri dari sektor BUMN dan sektor swasta yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dan BUMN. Melalui Tim PKLN ini, pinjaman tersebut dipantau agar sesuai
dengan plafon yang telah ditetapkan setiap tahunnya, sehingga pengeluaran devisa untuk
pembayaran bunga pinjaman luar negeri dapat terkendali dengan baik. Selain itu, dalam upaya
penghematan devisa, PT Garuda Indonesia telah mampu melakukan perawatan besar/overhaul
terhadap seluruh pesawat berbadan kecil maupun berbadan lebar di dalam negeri secara
Departemen Keuangan RI
345
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
swakelola. Dengan kemampuan ini, selain dapat menghemat devisa yang cukup besar, PT Garuda
juga telah menciptakan sarana baru dalam upaya menjual jasa perawatan pesawat ke luar negeri.
Dalam rangka menghadapi diberlakukannya WTO (World Trade Organization) dan
GATS (General Agreement on Trade in Services) Indonesia akan menghadapi persaingan yang
semakin tajam di bidang perdagangan luar negeri dan jasa-jasa. Untuk itu sumber daya manusia
dan efisiensi produksi nasional perlu ditingkatkan, sehingga diharapkan defisit neraca jasa-jasa
(pengeluaran jasa neto) dapat diperkecil, dan pada akhirnya akan memperkokoh neraca
pembayaran Indonesia.
Berbagai upaya untuk meningkatkan pemasukan devisa dari jasa-jasa dalam tahun
1994/95 dan tahun-tahun sebelumnya telah menampakkan hasilnya. Hal ini tercermin dari
meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, yaitu dari 1,7 juta
orang dalam tahun 1989/90 menjadi sekitar 3,9 juta orang dalam tahun 1994/95. Di samping
jumlah wisatawan, pengeluaran devisa yang dibelanjakan juga meningkat, yaitu dari rata-rata
US$ 962 per kunjungan dalam tahun 1989/90, menjadi rata-rata US$ 1.172 per kunjungan dalam
tahun 1994/95. Meningkatnya jumlah dan pengeluaran devisa dari wisatawan mancanegara
tersebut menyebabkan pemasukan devisa dari sektor jasa-jasa pariwisata dalam tahun 1994/95
diperkirakan mencapai US$ 4,6 miliar. Selain itu, pemasukan devisa dari pengiriman tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri juga meningkat, sehingga dalam tahun 1994/95 mencapai US$ 480 juta
akan 155,7 persen lebih tinggi dari awal Pelita V yang berjumlah US$ 187,7 juta.
Walaupun pemasukan devisa dari pariwisata dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke
luar negeri terus meningkat, namun neraca jasa-jasa masih menunjukkan defisit. Hal tersebut
terjadi karena pengeluaran devisa untuk pembayaran bunga pinjaman luar negeri pemerintah dan
biaya angkutan laut, serta jasa-jasa lainnya masih lebih besar dari pemasukannya. Pengeluaran
jasa-jasa pada dalam tahun 1994/95, yang terdiri dari jasa-jasa migas dan nonmigas setelah
memperhitungkan penerimaannya, diperkirakan berjumlah US$ 11.553 juta. Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 10.317 juta, jasa-jasa pada dalam tahun 1994/95
menunjukkan peningkatan sebesar US$ 1.236 juta (12 persen). Dari pengeluaran jasa-jasa pada
dalam tahun 1994/95, jasa-jasa migas diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.042 juta, atau 1,9
persen lebih tinggi dari realisasi dalam tahun 1993/94 yang berjumlah US$ 2.984 juta. Sedangkan
jasa-jasa nonmigas diperkirakan sebesar US$ 8.511 juta, yang berarti meningkat sebesar 16,1
Departemen Keuangan RI
346
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 7.333 juta.
4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer
Salah satu sasaran pembangunan jangka panjang kedua (PJP II) adalah mewujudkan
perekonomian nasional yang mandiri dan andal. GBHN memberikan arahan bahwa dana yang
diperlukan untuk pembiayaan pembangunan sejauh mungkin harus diusahakan dari sumber
dalam negeri. Oleh karena masih terbatasnya dana dari dalam negeri yang dapat dihimpun, maka
masih diperlukan dana yang berasal dari luar negeri. Namun demikian, dalam memanfaatkan
dana dari luar negeri Pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman, antara lain bahwa
dana dari luar negeri tersebut tidak mempunyai ikatan politis, bersyarat lunak dengan tenggang
waktu pengembalian yang panjang serta bunga yang rendah, besarnya pinjaman tetap harus
disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional dalam pengembaliannya, dan
peranannya diupayakan agar semakin mengecil terhadap sumber pembiayaan dalam negeri.
Dana pembangunan yang berasal dari luar negeri terdiri dari pinjaman pemerintah,
pinjaman luar negeri swasta, dan investasi swasta luar negeri, baik yang bersifat langsung
(PMA), maupun yang melalui pasar modal. Dengan masuknya modal luar negeri tersebut,
diharapkan potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia yang ada dapat lebih dimanfaatkan
secara maksimal dan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya sektor industri
manufaktur yang berorientasi ekspor.
Masuknya modal luar negeri ke dalam industri nasional diharapkan pula akan membawa
pengaruh yang positif terhadap perekonomian nasional, melalui terjadinya proses alih teknologi,
alih kepemilikan, serta peningkatan kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian
dan ketrampilan. Untuk menjaga ekses yang tidak diinginkan, Pemerintah tetap mengupayakan
untuk menghindari dominasi perekonomian nasional oleh modal asing, khususnya dalam sektorsektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Upaya menarik modal luar negeri untuk diinvestasikan di dalam negeri tidak berlangsung
dengan mudah, mengingat terdapatnya persaingan yang tajam, khususnya di antara negara-negara
berkembang, dalam menarik investor asing tersebut. Pada umumnya masing-masing negara
berupaya dengan keras untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pemodal luar
negeri. Sehubungan dengan itu, Pemerintah berupaya untuk terus menyempurnakan ketentuanDepartemen Keuangan RI
347
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ketentuan yang ada dalam rangka penanaman modal asing. Sedangkan di bidang pinjaman luar
negeri, dalam rangka mengamankan kredibilitas bangsa Indonesia di dunia internasional,
Pemerintah memegang dengan teguh prinsip untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali
pinjaman sesuai dengan persyaratan dan jadwal pembayaran yang telah disepakati.
Dalam tahun 1994/95, lain lintas modal kerja, yang merupakan hasil bersih pemasukan
modal pemerintah dan pemasukan modal lainnya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang
pokok luar negeri pemerintah, diperkirakan mencapai jumlah sebesar US$ 5.624 juta, yang
berarti mengalami penurunan sebesar US$ 87 juta, atau 1,5 persen lebih rendah bila dibandingkan
dengan realisasi dalam tahun 1993/94 yang berjumlah sebesar US$ 5.711 juta. Penurunan
tersebut disebabkan karena pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah diperkirakan akan
meningkat menjadi sebesar US$ 5.555 juta dalam tahun 1994/95, dari realisasi sebesar US$ 5.132
juta dalam tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan adanya percepatan
pembayaran kembali sebagian hutang luar negeri pemerintah. Sementara itu, pemasukan modal
pemerintah dalam periode tersebut diperkirakan mengalami peningkatan dari sebesar US$ 6.195
juta menjadi sebesar US$ 6.430 juta. Sedangkan lalu lintas modal lainnya dalam tahun 1994/95
diperkirakan sebesar US$ 4.749 juta, atau lebih tinggi sebesar US$ 101 juta dibandingkan dengan
realisasi sebesar US$ 4.648 juta dalam tahun sebelumnya.
4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1995/96
Situasi penerimaan devisa sebagai sumber pembiayaan pembangunan di tahun 1995/96
diperkirakan akan memperlihatkan gambaran dua sisi yang berbeda. Di satu pihak, penerimaan
devisa neto dari ekspor minyak bumi dan gas alam belum dapat menjanjikan prospek yang
menggembirakan. Hal ini disebabkan karena harga minyak bumi masih belum menentu dan
diperkirakan keadaan ini akan masih berlanjut dalam tahun depan. Di pihak lain, penerimaan
devisa
dari
ekspor
nonmigas
diharapkan
akan
memperlihatkan
situasi
yang
lebih
menggembirakan. Hal ini disebabkan karena negara-negara industri, khususnya negara-negara
mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Masyarakat Eropa, serta negaranegara industri baru di Asia seperti Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korea, diperkirakan akan
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam tahun 1995/96. Sejalan dengan mulai
berkurangnya hambatan-hambatan pada perdagangan bebas, khususnya antar-negara di ASEAN,
Departemen Keuangan RI
348
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
keadaan ini diperkirakan juga akan membawa dampak yang positif kepada ekspor nonmigas
Indonesia.
Berdasarkan perkembangan keadaan tersebut di atas, dalam tahun 1995/96 nilai ekspor
migas diperkirakan akan mencapai US$ 9.213 juta, dengan jumlah produksi per hari sebanyak
1,520 juta barel dan harga rata-rata minyak mentah yang diperkirakan sebesar US$ 16,5 per barel.
Sementara itu, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang dan
semakin berkurangnya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, ekspor nonmigas
diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 16,5 persen, sehingga dalam tahun 1995/96
nilainya diperkirakan mencapai sebesar US$ 36.243 juta.
Dari segi pengeluaran devisa untuk impor barang dan jasa, penggunaan devisa masih akan
dinominasi oleh pengeluaran untuk impor barang modal dan impor bahan baku, yang sebagian
besar dipergunakan untuk menunjang kegiatan industri berorientasi ekspor. Dengan
meningkatnya kegiatan industri ekspor, pengeluaran devisa untuk impor bahan baku/penolong,
serta barang modal diperkirakan akan meningkat pula. Sementara itu, sejalan dengan
meningkatnya impor, pengeluaran devisa untuk biaya angkut (freight) akan meningkat, yang pada
gilirannya akan meningkatkan defisit pada neraca jasa-jasa neto dalam tahun 1995/96.
Dengan perkembangan tersebut di atas, impor barang diperkirakan akan mencapai US$
37.100 juta, yang mencakup impor migas sebesar US$ 3.336 juta dan impor nonmigas sebesar
US$ 33.764 juta. Sementara itu pengeluaran devisa untuk jasa-jasa neto diperkirakan mencapai
US$ 12.449 juta, yang terdiri dari jasa-jasa migas sebesar US$ 3.158 juta dan jasa-jasa nonmigas
sebesar US$ 9.291 juta. Besarnya impor barang dan jasa tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi defisit pada transaksi berjalan, sehingga dalam tahun 1995/96 diperkirakan
sebesar US$ 4.093 juta, yang berarti 14,1 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun
anggaran 1994/95.
Walaupun pinjaman luar negeri yang bersifat lunak di masa mendatang semakin terbatas,
besarnya pinjaman luar negeri pemerintah dalam tahun 1995/96 diperkirakan 0,9 persen lebih
tinggi dari tahun sebelumnya. Selanjutnya, dengan semakin menariknya iklim usaha di dalam
negeri, aliran masuk modal swasta neto diperkirakan akan semakin meningkat dalam tahun
1995/96. Dengan demikian, aliran masuk modal neto dalam tahun 1995/96 secara keseluruhan,
yang terdiri dari pinjaman luar negeri pemerintah, pembayaran pokok pinjaman luar negeri
Departemen Keuangan RI
349
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pemerintah, dan lalu lintas modal swasta luar negeri dalam tahun 1995/96, diperkirakan akan
mencapai US$ 5.895 juta, yang berarti meningkat sebesar US$ 271 juta dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan hal di atas, dalam tahun 1995/96 neraca pembayaran diperkirakan mengalami
surplus sebesar US$ 1.802 juta, sehingga cadangan devisa dalam periode tersebut cukup untuk
membiayai sebesar 5 bulan impor.
4.5.1. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto)
Dalam tahun 1995/96, harga minyak mentah di pasar dunia diperkirakan sedikit lebih
tinggi dari harga yang terjadi dalam tahun 1994/95, yaitu sekitar US$ 16,50 per barel. Sedangkan
jumlah produksi diperkirakan sebesar 1,520 juta barel per hari atau 0,2 persen lebih rendah dari
realisasi dalam tahun sebelumnya sebesar 1,523 juta barel per hari, sementara ekspor gas alam
diperkirakan akan mengalami sedikit kenaikan. Berdasarkan hal itu, penerimaan minyak bumi
dan gas alam (neto) diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 2.719 juta, yang meliputi ekspor
migas sebesar US$ 9.213 juta, impor migas sebesar US$ 3.336 juta, dan pengeluaran jasa migas
neto sebesar US$ 3.158 juta.
4.5.2. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam
Realisasi ekspor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1995/96, diperkirakan
akan mencapai sebesar US$ 36.243 juta, yang berarti 16,5 persen lebih tinggi dari realisasi tahun
sebelumnya. Perkiraan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut :
(1) Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan negara-negara maju,
khususnya negara-negara mitra dagang Indonesia, serta menurunnya laju inflasi di negara-negara
tersebut, diperkirakan akan meningkatkan volume perdagangan Indonesia.
(2) Dengan semakin terbukanya perdagangan dunia pasca GATT, pangsa pasar ekspor nonmigas
di pasar dunia akan semakin meningkat. Di samping itu, dengan diberlakukannya perdagangan
bebas antar negara di kawasan ASEAN (AFTA) pada bulan Januari 1995, ekspor nonmigas
Indonesia ke negara-negara te:sebut diperkirakan akan meningkat.
(3) Berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi terus dilanjutkan dan disempurnakan,
yang pada gilirannya akan lebih meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan standar mutu produkDepartemen Keuangan RI
350
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
produk nasional, sehingga produk di dalam negeri mampu bersaing di pasar global. Sehubungan
dengan hal tersebut, ekspor nonmigas dalam tahun 1995/96 diperkirakan akan lebih tinggi dari
periode sebelumnya.
4.5.3. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam
Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1995/96
diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 33.764 juta, yang berarti 15 persen lebih tinggi dari
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya yaitu sebesar US$ 29.361 juta. Perkiraan tersebut
didasarkan atas asumsi sebagai berikut :
(1) Melalui berbagai deregulasi dan debirokratisasi, industri ekspor nonmigas terus didorong dan
diperkirakan akan meningkat, sehingga impor bahan baku/penolong dan barang modal juga
meningkat. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan impor secara keseluruhan akan meningkat
pula.
(2) Deregulasi yang berkaitan dengan penyederhanaan di bidang investasi dan perizinan, serta
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana, diperkirakan akan lebih meningkatkan minat
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagai akibatnya, impor barang
modal dan bahan baku/penolong dalam rangka penanaman modal langsung juga akan meningkat.
(3) Dengan telah diratifikasinya persetujuan Putaran Uruguay, hambatan perdagangan berupa
hambatanl tarif dan nontarif secara bertahap akan berkurang. Sejalan dengan hal itu, impor
nonmigas diperkirakan akan meningkat.
(4) Meningkatnya pendapatan masyarakat pada akhirnya akan mengakibatkan meningkatnya
permintaan barang-barang impor serta produksi dalam negeri daripada barang-barang yang
mengandung bahan baku impor.
4.5.4. Perkiraan pos lainnya
Sejalan dengan meningkatnya pengeluaran devisa untuk pembayaran jasa angkutan laut
dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri, pengeluaran jasa (neto) dalam tahun 1995/96
diperkirakan mencapai sebesar US$ 12.449 juta, atau meningkat 7,8 persen dari periode
Departemen Keuangan RI
351
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sebelumnya. Sementara itu lalu lintas modal, yang terdiri atas pemasukan modal pemerintah,
pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri pemerintah, dan lalu lintas modal swasta, dalam
tahun 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar US$ 5.895 juta. Perkiraan neraca pembayaran
dalam tahun anggaran 1995/96 dapat dilihat dalam Tabel IV.11.
TabeI IV. 11
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1995/96
(dalamjuta US $)
Barang-barang dan jasa-jasa
L Ekspor, fob
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
2. Impor, fob
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
3. Jasa-jasa
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
4. Transaksi berjalan
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
SDRs
II.
III. Pemasukan modal Pemerintah
1. Bantuan program
2. Bantuan proyek dan lain-lain
IV. Lalu lintas modallainnya
Pembayaran hutang pokok
V.
VI. Jumlah (I s.d. V)
VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkan
VIII. Lalu lintas moneter
I.
Departemen Keuangan RI
+
+
+
+
+
+
+
+
-
45.456
9.213
36.243
37.100
3.336
33.764
12.449
3.158
9.291
4.093
2.719
6.812
6.488
0
6.488
5.072
5.665
1.802
0
1.802
352
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
BAB V
KEUANGAN DAERAH
5.1. Pendahuluan
Pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan
peranserta aktif masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal
dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab
serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pengarahan-pengarahan tersebut telah
diamanatkan dengan jelas dalam GBHN 1993 untuk menjadi acuan dalam pembangunan daerah
dengan landasan yang kokoh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan
daerah sangat sejalan dengan pembangunan otonorni daerah, atau bahkan saling terkait satu sama
lain untuk saling menunjang dalam pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Dalam rangka mewujudkan suatu kerangka landasan pembangunan yang kokoh,
sebagaimana diamanatkan dalam GBHN tersebut, diperlukan dana pembangunan yang cukup
besar, baik melalui mobilisasi dana masyarakat untuk investasi yang semakin meningkat, maupun
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) tingkat I dan tingkat II. Berbagai program yang dilaksanakan di bidang keuangan
daerah selama ini memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Penerimaan
daerah tingkat I seluruh Indonesia, yang dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah Rp 3.651,5
miliar, telah meningkat menjadi sebesar Rp 8.382,3 miliar dalam tahun anggaran 1993/94, akan
telah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,1 persen per tahun. Sedangkan penerimaan
daerah tingkat II selama periode 1988/89-1992/93 telah mengalami peningkatan yang lebih
tinggi, yaitu dari sebesar Rp 2.568 miliar dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp
6.617,3 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti meningkat rata-rata sebesar 26,7
persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1988/89 rata-rata penerimaan per daerah tingkat II
adalah sebesar Rp 8,9 miliar, dan telah meningkat menjadi sebesar Rp 22,6 miliar dalam tahun
anggaran 1992/93.
Departemen Keuangan RI
353
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Anggaran pendapatan daerah tingkat I dan tingkat II meliputi pendapatan asli daerah
(PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta pinjaman daerah,
sedangkan anggaran pengeluaran daerah tingkat I dan tingkat II meliputi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Perkembangan APBD tingkat I dan tingkat II dapat dilihat pada
Tabel V.1 sampai dengan Tabel V.9.
Tabel V. 1
PENERIMAAN DAERAJI TINGKAT I SELURUH INDONESIA,
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS,
1988189 DAN 1993/94
Repelita IV
Repe1ita V
No.
Uraian
1988/89
1993/94
Jumlah
Jumlah
Proposi
Proposi
(Rp miIiar)
(Rp miIiar)
(%)
(%)
(I)
-2
-3
-5
-6
-4
I.
Pendapatan asli daerah (PAD)
814,16
2.199,79
26,24
22,3
2.
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
213.63
644,42
7,69
5.85
(pBB. IHHlIHPH. dan lainnya)
3.
Sumbanganlbantuan pemerintah pusat
2.388,71
5.096,65
60,8
65,41
4.
Pinjaman daerah
8.74
38,44
0,46
0,24
5.
Sisa lebih tahun sebelumnya
226.30
403.02
4,81
6,2
6.
Jumlah penerimaan APBD Tk.l
3.651,54
8.382,32
100
100
7.
POB *)
121.606,00
269.385,30
8.
Persentase penerimaan APBO Tk.I
terhadap POB (6 : 7)
3.11
3
Keterangan :
Dalam tahun takwim, atas dasar harga yang berlaku.
Angka sementara.
Tabel V. 2
PENGELUARAN DAERAH l1NGKAT I SELURUH INDONESIA
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS,
1988/89 DAN 1993/94
Repelita IV
Repelita V
No. Uraian
1988/89
1993/94
Jumlah
JumIah
Proporsi
Proporsi
(Rp miliar)
(Rp miliar)
(%)
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
Pengeluaran rutin
Pengeluaran pembangunan
Jumlah pengeluaran APBD Tk.I
PDB')
Persentase pengeluaran APBD Tk.I
terhadap PDB (3: 4)
2.540,14
811,19
3.351,33
121.606,00
-
75,79
5.400,96
24,21
2.413,01
100
7.813,97
- 269.385.30
2,76
-
69,12
30,88
100
2,9
Ketcrangan :
*) Dalam tahun takwim, atas dasar harga. yang berlaku.
**) Angka sementara
Departemen Keuangan RI
354
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 3
PENDAP AT AN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalam miliar rupiah)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Departemen Keuangan RI
Repelita IV
1988/89
83,02
240,53
47,98
69,26
30,91
76,26
26,64
112,93
542,58
488,38
470,36
92,89
562,02
80,05
57,22
78,25
78,25
97,45
54,4
61,64
24,54
95,04
28,4
30,35
34,04
62,15
26,01
3.651,54
1989/90
103,98
275,29
55,29
114,9
37,03
91,19
29,34
134,72
710,45
561,56
534,19
94,9
630,49
94,27
68,17
92,71
100,4
110,25
67,46
80
25,26
112,6
34,02
38,54
46,99
75,97
30,15
4.350,13
1990/91
118
318,66
69,26
157,93
48,23
125,42
40,31
147,88
988,09
686,39
608,4
111.73
741,47
119,14
90,91
112,36
141,36
124,62
91,51
106,6
41,16
145,11
49,03
51,01
67,19
115,56
37,31
5.454,65
Repelita V
1991/92
146,57
337,48
78,6
205,54
63,16
142,65
48,48
162,1
1.241,64
802,64
702,83
133,74
854,54
140,19
117,71
129,27
172,89
151,95
107,13
123,32
52,07
103,35
61,67
68,46
79,22
130,46
46,91
6.404,57
1992/93
167,84
384,08
86
228,81
72,13
154,5
55,08
187,62
1.381,11
918,9
834,22
148,13
960,69
162,7
141,8
161,84
202,77
17 1,64
126,79
126,62
56,74
93,9
64,01
81,35
85,82
163,27
61,02
7.279,41
1993/94
194,71
466,71
99,02
231,83
84,13
177,46
61,05
101,37
1.670,66
1.095,79
1.027,69
180,52
1.143,98
198,65
176,24
202,23
205,07
93,01
155,74
138,32
72,82
100,11
72,29
89,46
96,91
178,89
67,67
8.382,32
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V (%)
18,6
14,2
15,6
27,3
22,2
18,4
18
-2,1
25,2
17;5
16,9
14,2
15,3
19,9
25,2
20,9
21,2
-0,9
23,4
17,5
24,3
1
20,5
24,1
23,3
23,5
21,1
18,1
355
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 4
BELANJA DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94
(dalam miliar rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No Propinsi
-1
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
-2
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OK! Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timor
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Departemen Keuangan RI
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
-3
-4
-5
-6
-7
-8
77,34
96,34
110,1
141,34
162,4
190,16
226,4
267,15
308,91
336,9
383,14
458,58
43,02
49,73
63,25
74,68
82,09
95,22
49,23
73,66
108,67
136,53
183,44
200,42
28,01
34,03
42,9
57,26
65,98
78,84
58,71
72,52
106,07
126,56
133,98
164,53
25,5
27
37,88
47,36
53,94
59,69
93,76
118,27
143,35
160,23
185,44
97,98
466,91
603,74
783,99
1.051,40
1.232,04
1.403,20
466,37
529,44
612,86
759,01
894,71
1.034,88
456,9
516,28
580,78
677,48
810,18
998,8
86,15
87,11
106,88
128,28
141,58
172,77
536,45
598,49
684,98
809,94
946,16
1.109,41
73,75
88,57
108,25
135,87
160,07
191,31
52,52
66,07
84,25
103,37
133,49
168,89
75,23
88,69
109,56
124,76
156,89
200,44
67,87
84,27
118,11
153,64
179,62
162,92
88,81
106,63
121,46
141,14
169,38
90,88
53,76
66,27
90,58
105,84
125,73
155,23
51,85
65,88
89,11
117,95
122,01
134,16
24,02
24,82
37,71
49,33
51,2
70,79
86,07
101,59
124,97
99,31
88,57
92,42
26,14
30,4
43,12
59,08
62,5
70,82
28,24
36,88
48,25
64,78
76,59
84,37
27,54
36,49
53,47
70,84
79,52
91,15
56,91
67,19
103,51
116,49
136,2
171,3
23,87
27,98
36,19
41,61
55,48
64,81
3.351,33 ' 3.965,49
4.859,16
5.890,94
6.872,32
7.813,97
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V
-9
19,7
15,2
17,2
32,4
23
22,9
18,5
0,9
24,6
17,3
16,9
14,9
15,6
21
26,3
21,7
19,1
0,5
23,6
20,9
24,1
1,4
22,1
24,5
27
24,7
22,1
18,4
356
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
No. Uraian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tabel V.5
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA,
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS,
1988/89 DAN 1992/93
Repelita IV
Repelita V
1988/89
1992/93
Proporsi
Jumlah
Proporsi
Jumlah
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
Pendapatan asli daerah (PAD)
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
(PBB. IHH/IHPH, dan lainnya)
Sumbanganlbantuan pemerintah
pusat dan daerah tingkat I
Pinjaman daerah
Sisa lebih tahun sebelumnya
Jumlah penerimaan APBD Tk.lI
P D B *)
Persentase penerimaan APBD Tk.lI
terhadap PDB (6: 7)
403.93
15.73
806.75
12.19
266,69
10.39
837.63
12.66
69.73
. 4.752.79
1,23
41,67
2,92
178,43
100
6.617.27
- 227.795.50**)
71,82
0,63
2,7
100
-
1.790,94
31.53
74.93
2.568.02
121.606,00
-
2,11
-
2,9
Keterangan : *) Dalam tahun takwim. dan atas dasar harga yang herlaku.
**) Angka sementara
No. Uraian
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel V, 6
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT IT SELURUH INDONESIA,
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS,
1988/89 DAN 1992/93
Repelita V
Repelita IV
1992/93
1988/89
Jumlah
Jumlah Proporsi
Proporsi
(Rp miliar)
(Rp miliar)
(%)
(%)
Pengeluaran rutin
Pengeluaran pembangunan
lumlah pengeluaran APBO Tk.1I
POB *)
Persentase pengeluaran APBO Tk.1I
terhadap POB (3: 4)
1.447,72
1.004,39
2.452,\ 1
121.606,00
59,04
40,96
100
2.889,58
3.465,61
6.355,19
227.795,50
45,47
54,53
100
-
2,02
-
2,79
Kelerangan *) Dalam lahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku.
Departemen Keuangan RI
357
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 7
JUMLAH DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992J93
No.
Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Departemen Keuangan RI
1988/89
1992J93
10
17
1,4
6
6
10
4
4
24
35
5
37
7
6
10
6
6
4
23
4
8
6
12
4
9
13
290
10
17
14
6
6
10
4
5
25
35
5
37
7
6
10
6
7
4
23
4
9
6
12
5
9
13
295
358
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 8
PENDAPATAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 -1992/93
(dalam miliar rupiab)
No.
Propinsi
Repelita IV
1988/89
Keseluruhan Rata-rata
Repelita V
1989190
Keseluruhan Rata-rata
1990191
1991/92
1992/93
Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V
(%)
I.
DIAceh
76,12
7,61
98,57
9,86
138,31
[3,83
160,91
16,()I}
197,45
19,74
2.
Sumatera Otara
172,06
10,12
199,17
11,72
269,62
[5,86
330,29
[9,43
369,24
21,72
26,9
2[,0
3.
Sumatera Barat
125,75
8,98
131,74
9,41
172,72
12,34
197,8
14,[3
261.6 [
18,69
20,1
4.
Riau
70,77
11,8
92,14
15,36
132,38
22,06
2[5,83
35,97
223,t)l}
37,18
33,2
5.
Jambi
55,15
9,19
69,37
11,56
96,03
16,(X)
155,06
25,84
[47,70
24,62
27,9
6.
Sumater. Se[atan
144,58
14,46
[69,49
16,95
235,6[
23,56
300,27
30,03
362,38
36,24
25,8
7.
Bengku[u
29,54
7,38
34,99
8,75
50,13
12,53
64,3
[6,08
79,05
19,76
27,9
8.
Lampung
55,89
13,97
61.22
15,3
87,27
21,82
108,63
27,16
141,5[
28,3
26,[
9.
Jawa Baral
314,69
13,11
359,97
15,1X)
533,78
22,24
666,88
27,79
860,08
35,84
28,6
lO.
Jawa Tengab
304,11
8,69
339,59
9,7
475,8
[3,59
550,67
15,73
652,19
18,63
2[,0
[I.
DI Yogyakarta
32,67
6,53
40,44
8,()I}
55,22
11,04
67,31
13,46
88,44
[7,69
28,3
326,34
8,82
359,7
9,72
527,24
14,25
632,03
17,08
762,71
20,61
23,6
51,[2
7,3
59,19
8,46
87,18
12,45
117,25
16,75
126,39
[8,t)6
25,4
45,5
12.
Jawa Timur
13.
Kalimantan Barat
14.
Kalimantan Tengah
33,54
5,59
45,7
7,62
78,96
13,[6
119,89
19,98
lSO,18
25,03
15.
Kalimantan Selatan
42,59
4,26
50,06
5,01
82,72
8,27
112,66
11,27
127,16
12,72
3[,5
16.
Kalimatan Timur
61,91
10,32
99,35
16,56
135,12
22,52
193.18
32,2
228,2
38,03
38,6
30,5
17.
Sulawesi Otara
36,3
6,05
45,53
6,SO
63,35
9,05
83,2
11,89
105,3
15,04
18.
Sulawesi Tengab
37,46
9,36
32,72
8,18
55,95
13,99
59,39
14,85
76,8
19,2
19,7
[9.
Sulawesi Selatan
185,1
8,05
224,48
9,76
288,07
12,52
353,25
15,36
463,6
20,16
25,8
26,3
20.
Sulawesi Tenggara
41,08
10,27
47,81
11,95
62,6
[5,65
81,3
20,33
104,43
26,11
21.
Bali
51,96
6,49
66,48
8,31
98,59
12,32
159,07
19,88
203,05
25,38
40,6
22.
Nusa Tenggara Barat
67,3
[1,22
83,13
13,85
115,31
19,22
119,08
19,85
157,15
26,[9
23,6
23.
Nusa Tenggara Timur
91,88
7,66
109,61
9,13
150,91
12,58
190,89
15,91
234,25
19,52
26.4
24.
Maluku
57,13
14,28
66,84
13,37
94,08
18,82
116,85
23,37
127,79
25,56
22,3
25.
Irian Jaya
82,29
9,[4
99,1
11,tll
161,13
[7,90
227,05
25,23
281,11
31,23
36
26.
Timor Timur
20,7
1,59
27,55
2,12
56,67
4,36
68,3
5,25
86.43
6,65
42,9
2.568,02
-
8,86
3.013,92
-
10,32
4.304,73
-
14,74
5.451,35
-
18,67
6.617,27
-
22,58
26,7
-
Jumlah
Rata-rata
Tabel V. 9
BELANJA DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI. 1988/89 -1992/93
(dalam miliar rupiah)
Repelita IV
No. Propinsi
Keseluruhan
(I)
-2
1.
DI Aceh
2.
Sumatera Utara
3.
Sumatera Barat
4.
Riau
5.
Jambi
6.
Sumatern Selatan
7.
Bengkulu
8.
Lampung
9.
Jawa Barat
n
Rata-rata
Repelita V
1988/89
1989190
Rata.rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan
1990/91
Rata-rata Keseluruhau
1991/92
Rata-rata Keseluruhan
1992/93
Rata-rata
Repelita V
(%)
-13
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
-10
-11
-12
73.40
7,34
95,02
9,5
133,07
13,31
154,95
15,5
191,18
19,12
27
162,34
9,55
191,87
11,29
261,46
15,38
321,03
18,88
352,52
20,74
21,4
113,8
8,13
130,65
9,33
170,75
12,2
195,26
13,95
255,06
18,22
22,4
64,23
10,7
83,81
13,97
127,31
21,22
172,45
28,74
215,91
35,98
35,4
53,81
8,97
66,49
11,08
93,75
15,62
118,91
19,82
146,37
24,39
28,4
141,13
14,11
152,81
15,28
227,29
22,73
273,7
27,37
351,65
35,16
25,6
26,56
6,64
33,57
8,39
48,86
12,22
63,5
15,88
78,42
19,6
31,1
54,38
13,6
57,82
14,46
85,62
21,4
106,44
26,61
138,08
27,62
26,2
301,36
12,56
352,86
14,7
514,17
21,42
643,26
26,8
828,41
34,52
28,8
2%,55
8,47
329,24
9,41
446,21
12,75
539,21
15,41
639,01
18,26
21,2
30,98
6,2
38,49
7,7
53,79
10,76
64,95
12,99
86,12
17,34
29,4
316,35
8,55
434,68
9,29
511,71
13,83
602,74
16,29
705,51
19,07
22,2
13. Kalimantan Barat
49,43
7,1J6
57,26
8,18
76,98
11
114,41
16,34
124,75
17,82
26
14. Kalimantan Tengah
31,28
5,21
40,47
6,75
70,53
11,76
108,03
18
145,14
24,19
46,8
30,6
10. Jawa Tengah
11. DI Yogyakarta
12. Jawa Timur
15. KalimanJ;U1 Selatan
41,35
4,13
47,4
4,74
77,04
7,7
108,49
10,85
120,12
12,01
16. Kalimatan Timur
53,19
8,86
87,33
14,55
115,84
19,31
168,35
28,06
204,01
34,m
39,9
17. Sulawesi Utara
32,87
'5,48
44,24
6,32
61,49
8,78
82,32
11,76
101,66
14,52
32,6
18. Sulawesi Tengah
29,98
7,49
31,39
7,85
55,32
13,83
58,35
14,59
12,81
18,2
24,8
19. Sulawesi Selatan
178,68
7,77
221,17
9,62
281,97
12,26
348,89
15,17
448,04
19,48
25,8
20. Sulawesi Tenggara
41,06
10,27
47,15
11,79
60,92
15,23
80,08
20,02
96,12
24,03
23,7
21. Bali
49,44
6,18
63,91
7,99
94,04
11,75
154,26
19,28
192,76
24,1
40,5
22. Nusa Tenggara Barat
66,86
11,14
82,61
13,77
112,79
18,8
117,99
19,66
155,17
25,86
23,4
23. Nusa Tenggara Timur
90,75
7,56
108,85
9,07
149,12
12,43
186,71
15,56
230,24
19,19
26,2
24. Maluku
56,25
14,06
63,4
12,68
88,36
17,67
110,79
22,16
125,16
25,03
22,1
25. Irian Jaya
76,08
8,45
93,16
10,35
153,99
17,11
191,37
21,26
265,89
29,54
36,7
26. TimnrTimur
20,02
1,54
26,54
2,04
56,07
4,31
67,87
5,22
84,48
6,5
43,3
2.452,11
-
8,46
2.891,18
-
9,9
4.128,44
-
14,14
5.154,30
-
17,65
6.355,19
-
21,69
26,9
-
Jumlah
Rata-rata
Departemen Keuangan RI
359
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Penilaian secara umum terhadap tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam mobilisasi
dana antara lain dapat dilihat dari perkembangan penerimaan daerah sendiri (PDS), yaitu PAD
ditambah pajak bumi dan bangunan (PBB). PBB merupakan unsur PDS karena PBB adalah pajak
negara yang 91 persen hasilnya diserahkan kepada daerah tingkat I dan tingkat II, dan pada
hakekatnya merupakan penerimaan yang dapat memberikan indikasi mengenai tingkat usaha
daerah dalam kegiatan pemungutan pajak, di samping merupakan penerimaan bagi hasil pajak
yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Meningkatnya PDS menggambarkan
kemampuan daerah yang semakin meningkat dalam menggali potensi PAD dan PBB, menuju
kemandirian daerah di bidang pembiayaan tugas-tugas otonomi daerah. Dengan demikian,
peningkatan PDS sangat penting, tidak saja karena pelaksanaan pembangunan di daerah
membutuhkan pembiayaan yang cukup besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga
karena sangat diperlukan untuk pengembangan otonomi yang dititikberatkan di daerah tingkat II.
Jumlah PDS tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 917,8
miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.612,1 miliar,
yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata 23,3 persen per tahunnya. Sedangkan PDS tingkat
II seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah sebesar Rp 619,6 miliar, dan
meningkat menjadi sebesar Rp 1.453,3 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata 23,8 persen per tahun.
Jumlah PAD tingkat I selurqh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp
814,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.199,8
miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata 22 persen per tahunnya. Sedangkan PAD
tingkat II seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah sebesar Rp 403,9 miliar,
yang meningkat menjadi sebesar Rp 806,7 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun. Proporsi PAD tingkat I terhadap
seluruh penerimaan APBD tingkat I juga menunjukkan peningkatan, dari 22,3 persen dalam
tahun anggaran 1988/89 meningkat menjadi 26,2 persen dalam tahun anggaran 1993/94.
Sedangkan untuk daerah tingkat II seluruh Indonesia, walaupun jumlah nominal PAD meningkat
dari tahun ke tahun, namun proporsinya terhadap seluruh penerimaan menunjukkan persentase
yang menurun, dari 15,7 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi 12,2 persen dalam tahun
anggaran 1992/93.
Penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebagian besar berasal dari penerimaan
Departemen Keuangan RI
360
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pajak bumi dan bangunan (PBB), sedangkan bagian lainnya terdiri dari penerimaan yang berasal
dari iuran hasil hutan (IHH), iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), serta penerimaan lainnya.
Peranan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia relatif
kecil dibandingkan seluruh penerimaan APBD tingkat I, yaitu sebesar 5,9 persen dalam tahun
anggaran 1988/89 dan kemudian naik menjadi sebesar 7,7 persen dalam tahun anggaran 1993/94.
Sebaliknya peranan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak daerah tingkat II terhadap
penerimaan keseluruhan daerah tingkat II, relatif lebih besar. Persentase bagi hasil pajak dan
bukan pajak terhadap penerimaan daerah tingkat II adalah sebesar 10,4 persen dalam tahun
anggaran 1988/89, yang meningkat menjadi 12,7 persen dalam tahun anggaran 1992/93.
Persentase sumbangan dan bantuan pusat terhadap penerimaan daerah tingkat I
menunjukkan penurunan, dari 65,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi 60,8 persen
dalam tahun anggaran 1993/94, walaupun jumlah nominal mengalami peningkatan, dari sebesar
Rp 2.388,7 miliar dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp 5.096,7 miliar dalam tahun
anggaran 1993/94. Untuk daerah tingkat II, persentase penerimaan yang berasal dari sumbangan
dan bantuan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89
penerimaan ini baru mencapai 69,7 persen dari keseluruhan penerimaan daerah tingkat II, maka
dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi 71,8 persen dari seluruh penerimaan
daerah tingkat II. Meningkatnya persentase alokasi sumbangan dan bantuan terhadap penerimaan
daerah tingkat II tersebut antara lain karena semakin banyaknya urusan-urusan yang diserahkan
oleh pusat kepada daerah sehubungan dengan kebijaksanaan pusat untuk memberikan otonomi
yang semakin besar kepada daerah. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi
terutama di perkotaan juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan dana sumbangan ini, karena
semakin meningkat pula kegiatan pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat.
Realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat I yang sebagian besar digunakan untuk
membiayai. belanja pegawai, dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah Rp 2.540,1 miliar, dan
dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 5.401 miliar. Selama kurun
waktu tersebut pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 16,3
persen. Demikian pula telah terjadi peningkatan dalam realisasi pengeluaran pembangunan
daerah tingkat I, yang terutama digunakan ootuk membiayai sektor perhubungan dan pariwisata
serta sektor aparatur pemerintah. Dalam tahun anggaran 1993/94 pengeluaran pembangunan
daerah tingkat I berjumlah Rp 2.413 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 24,4
Departemen Keuangan RI
361
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
persen per tahun jika dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan tahun anggaran 1988/89
yang berjumlah Rp 811,2 miliar.
Dalam pada itu, realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat II selama periode 1988/891992/93 secara keseluruhan menunjukkan perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 baru mencapai jumlah sebesar Rp 1.447,7 miliar,
maka jumlah tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.889,6 miliar dalam tahun anggaran
1992/93 atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun. Sedangkan
realisasi pengeluaran pembangunan daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah
Rp 1.004,4 miliar, dan dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp
3.465,6 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 36,3 persen per tahunnya.
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan, berdasarkan penilaian yang obyektif telah dilakukan peningkatan status
beberapa wilayah administratif menjadi daerah otonom tingkat II untuk lebih meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89
terdapat 290 daerah tingkat II, maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi 295
daerah tingkat II, dengan adanya penambahan 5 daerah tingkat II baru, yaitu Kotamadya Daerah
Tingkat II Bitung di Propinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II Halmahera Tengah di
Propinsi Maluku, Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat di Propinsi Lampung,
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar di Propinsi Bali dan Kotamadya Daerah Tingkat II
Tangerang di Propinsi Jawa Barat. Dalam tahun anggaran 1993/94 telah terbentuk 2 kotamadya
daerah tingkat II, yaitu Mataram di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Jayapura di Propinsi Irian
Jaya. Sedangkan dalam tahun anggaran 1994/95 telah terbentuk pula Kotamadya Daerah Tingkat
II Palu di Propinsi Sulawesi Tengah, sehingga jumlah daerah tingkat II menjadi 298 daerah
tingkat II.
5.2. Kebijaksanaan keuangan daerah
Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat, sehingga pembangunan daerah merupakan bagian dari
pembangunan nasional. Dengan demikian antara keuangan negara dan keuangan daerah juga
terdapat hubungan yang sangat erat yang juga mencakup pelaksanaan pembangunan nasional dan
Departemen Keuangan RI
362
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
daerah.
Dalam GBHN digariskan bahwa untuk memperkokoh negara kesatuan dan memperlancar
penyelenggaraan pembangunan nasional, pelaksanaan pemerintahan di daerah harus didasarkan
pada otonomi yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab serta disesuaikan dengan
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong peningkatan partisipasi,
prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta mendorong pemerataan
pembangunan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di
masing-masing daerah. Selain itu daerah harus mampu mengembangkan dan memobilisasi
sumber-sumber keuangannya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada daerah Tingkat
II. Dikeluarkannya peraturan pemerintah ini dimaksudkan untuk mempertegas komitmen
pemerintah terhadap upaya penyelenggaraan pemerintahan di daerah, khususnya di daerah tingkat
II, karena kedudukannya yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sejalan dengan
kebijaksanaan di bidang otonomi daerah ini maka secara bertahap berbagai urusan akan
diserahkan kepada daerah tingkat II, baik dari pemerintah pusat maupun dari daerah tingkat I.
Dengan demikian beban tanggung jawab dan tantangan pemerintah daerah tingkat II akan
menjadi semakin berat. Untuk mengantisipasi meningkatnya tugas-tugas daerah tingkat II
tersebut pendapatan daerah harus ditingkatkan terus untuk membiayai pelaksanaan urusan yang
telah diserahkan kepada daerah.
Berkenaan dengan itu pemerintah pusat telah memberi peluang kepada pemerintah daerah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang cukup potensial dengan berdasarkan ketentuan
yang ada, di samping pemerintah daerah dapat memperoleh juga pinjaman, khususnya untuk
proyek-proyek yang bersifat pemulihan biaya, dari rekening pembangunan daerah (RPD).
Selain daripada itu, untuk lebih menyehatkan badan-badan usaha milik daerah (BUMD),
pemerintah pusat telah membantu daerah dalam merumuskan kriteria agar dapat mengukur
sendiri kinerja keuangan perusahaan-perusahaan daerah. Tahap pertama telah dimulai dengan
memberikan pedoman dan pelatihan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan daerah air
Departemen Keuangan RI
363
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
minum (PDAM) kepada sekitar 20 persen dari jumlah PDAM di seluruh Indonesia.
Dalam pada itu, berbagai upaya peningkatan kualitas bagi para pengelola keuangan daerah
juga telah diadakan melalui pelatihan-pelatihan, seperti latihan keuangan daerah (LKD), kursus
keuangan daerah (KKD), serta pendidikan dan latihan manajemen perkotaan. Penyelenggaraan
pelatihan keuangan daerah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga perguruan tinggi, baik yang
ada di Jawa maupun di luar Jawa, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas aparat keuangan
daerah secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pelatihan manajemen perkotaan
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas para pengelola kala, guna mengantisipasi tantangantantangan yang timbul karena keterbatasan penyediaan Sarana dan prasarana dibandingkan
dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat. Selain itu terus dilakukan
pengiriman pegawai pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan bidang
keuangan daerah, untuk mengikuti pendidikan dan latihan di luar negeri. Keseluruhan upaya
tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas aparat pemerintah daerah di bidang keuangan,
terutama aparat pemerintah daerah tingkat II, guna mendukung kebijaksanaan pemerintah di
bidang otonomi daerah. Disadari oleh pemerintah bahwa semakin banyak pengambilan keputusan
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah akan semakin terbuka pula kesempatan untuk
melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri secara nyata dan bertanggung jawab.
Dalam upaya mewujudkan pemerataan pembangunan antar daerah, pemerintah
mengalokasikan sejumlah dana berupa bantuan, utamanya kepada daerah yang berpendapatan
rendah dan kurang potensinya, sehingga kesenjangan antar daerah dapat dikurangi. Selain
daripada itu, sejak tahun anggaran 1994/95 pemerintah telah memberikan dana bantuan bagi
desa-desa yang miskin melalui program bantuan Inpres desa tertinggal, yang tujuannya diarahkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di daerah. Dan dalam upaya untuk
meningkatkan keuangan daerah, juga telah diserahkan 10 persen bagian pemerintah pusat dari
pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah daerah tingkat II.
Pembangunan daerah diarahkan pula untuk mengembangkan dan menyerasikan laju
pertumbuhan antar daerah, antar kota dan desa, percepatan pembangunan di kawasan timur
Indonesia, serta dapat berjalan dengan berdaya guna dan berhasil guna di setiap wilayah. Guna
menunjang keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, diambil pokok-pokok kebijaksanaan sebagai
berikut.
Departemen Keuangan RI
364
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Pertama, kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi akan terus dilanjutkan dengan
sasaran menghilangkan biaya tinggi serta meningkatkan partisipasi dan prakarsa masyarakat,
sehingga daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Untuk itu peraturan-peraturan daerah yang kurang mendukung akan menghambat tujuan deregulasi dan
debirokratisasi akan dicabut akan disempurnakan.
Kedua, pembinaan ke arah kemandirian dalam pembiayaan pembangunan terus
ditingkatkan, antara lain dengan meningkatkan pendapatan daerah, baik yang bersumber dari
pajak daerah, retribusi daerah, pajak bumi dan bangunan, maupun dari sumber lain. Sedangkan
pemberian subsidi/bantuan kepada daerah diberikan untuk menunjang penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program pembangunan yang akan
dicapai. Di samping itu partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan terus didorong
dan ditingkatkan agar sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah mencukupi. Dari sisi
pengeluaran, dilakukan pengendalian berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas, dengan
memilih program-program berdasarkan skala prioritas.
Ketiga, penataan kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat terus ditingkatkan agar
seluruh lembaga yang adanapat berfungsi secara optimal, efisien, dan peka terhadap tuntutan
pembangunan.
Keempat, peningkatan sumber daya manusia terus dilaksanakan untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi kerja pemerintah daerah dalam memberikan layanan kepada
masyarakat. Untuk itu akan terus dilakukan pembinaan mental, peningkatan keterampilan dan
kreativitas, pemanfaatan teknologi, dan peningkatan kemampuan manajemen dari semua tingkat
pemerintahan guna terciptanya pemerintah daerah yang efektif, efisien dan bersih. Untuk
mencapai tujuan tersebut akan terus ditingkatkan penyelenggaraan pendidikan dan latihan, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kelima, agar hasil-hasil pembangunan berupa sarana dan prasarana dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang maksimal perlu disediakan pembiayaan operasi dan
pemeliharaan yang memadai.
Sementara itu, pembangunan di bidang perkotaan telah memperoleh perhatian yang lebih
besar mengingat bahwa dalam dasawarsa terakhir (1980-1990) pertumbuhan penduduk perkotaan
telah mencapai 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh berada di atas pertumbuhan nasional yang
Departemen Keuangan RI
365
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
hanya sekitar 2 persen. Berdasarkan kenyataan tersebut diperkirakan dalam tahun 2000 proporsi
penduduk Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan akan semakin meningkat dengan pesat.
Peningkatan jumlah penduduk perkotaan tersebut harus diimbangi dengan peningkatan
pemenuhan kebutuhan pelayanan dan prasarana. Untuk memenuhi peningkatan kebutuhan yang
terus meningkat tersebut, sedangkan di sisi lain pemerintah kota mempunyai keterbatasan
pembiayaan, maka pada saat ini sedang disusun suatu rumusan rencana tindakan bagi
kebijaksanaan
perkotaan.
Penjabaran
kebijaksanaan
tersebut
antara
lain
mencakup
pengembangan dan pemantapan sistem perkotaan, peningkatan kemampuan dan produktivitas
kota, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, pemantapan kelembagaan dan kemampuan
keuangan perkotaan, pelembagaan pengelolaan pembangunan yanp terencana dan terpadu berikut
perangkat peraturannya, serta peningkatan kualitas lingkungan fisik dan sosial ekonominya.
Selain itu konsep pendekatan pembangunan perkotaan yang semula disebut program
pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT) dikembangkan menjadi program pembangunan
perkotaan terpadu (P3T), sehingga cakupan komponennya diperluas tidak hanya meliputi
penyediaan prasarana/kebutuhan dasar di bidang pekerjaan umum saja, tetapi juga mencakup
sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi di daerah.
5.3. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I
5.3.1. Penerimaan daerah sendiri
Untuk mendukung upaya kemandirian daerah tingkat I di bidang pembiayaan, penerimaan
daerah sendiri (PDS) yaitu PAD ditarnbah PBB, harus terus ditingkatkan. PBB dimasukkan
sebagai unsur PDS karena meskipun PBB adalah pajak negara tetapi 91 persen dari hasil PBB
telah diserahkan kepada daerah tingkat I dan tingkat II, sehingga sebagaimana halnya dengan
PAD, PBB dapat digunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. Dengan
demikian, PDS yang meningkat akan mencerminkan usaha nyata daerah dalam menggali dana
yang diperlukan sekaligus keleluasaan untuk mempergunakannya sesuai prioritas kebutuhan
daerah. Selain itu, struktur APBD tingkat I juga akan semakin diperkokoh dalam rangka
mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
daerah.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, utamanya melalui
Departemen Keuangan RI
366
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
peningkatan efektifitas dan efisiensi pengumpulan dan penggunaan pajak daerah, retribusi
daerah, dan PBE. Dalam hal ini penggalian PDS tidak saja diarahkan untuk memperoleh hasil
pungutan yang semakin besar, tetapi juga dengan tetap memperhatikan berbagai fungsi fiskal
lainnya, khususnya pencapaian upaya pemerataan, pertumbuhan investasi dan ekonomi di daerah,
dan stabilitas perekonomian nasional, yang sepenuhnya dilaksanakan dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pada itu, dengan semakin meningkatnya
pelaksanaan pembangunan di daerah, maka kemampuan ekonomi masyarakat akan semakin
meningkat, yang selanjutnya juga akan meningkatkan potensi PDS. Hasil pembangunan selama
PJP I telah pula membuktikan hal ini, yaitu meningkatnya realisasi PDS setiap tahunnya selaras
dengan pertumbuhan PDRB di masing-masing daerah tingkat I. Secara garis besar PDS terdiri
dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, lain-lain usaha
daerah yang sah, dan bagian PBB yang menjadi bagian daerah yang bersangkutan.
Dalam periode 1988/89-1993/94 realisasi PDS tingkat I mengalami peningkatan yang
cepat. Realisasi PDS tingkat I secara nasional dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp
917,8 miliar dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 2.612,1 miliar. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam periode tersebut PDS mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 23,3 persen per
tahun, yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penerimaan APBD
tingkat I yang dalam periode yang sama mencapai sebesar 18,1 persen per tahun. Dengan
demikian, peranan PDS terhadap penerimaan APBD tingkat I juga telah mengalami peningkatan
yang cukup tinggi, yakni dari sebesar 25,1 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar
31,2 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Bersamaan dengan itu, peranan PDS terhadap PDB
juga cenderung semakin meningkat, yaitu dari sebesar 0,75 persen, dalam, tahun anggaran
1988/89 menjadi sebesar 0,97 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan peranan
PDS terhadap penerimaan daerah tingkat I dan PDB tanpa migas dapat dilihat dalam Tabel V.10.
Dengan tetap mempertahankan momentum pembangunan yang ada, di masa yang akan
datang diharapkan investasi dan perekonomian di selurnh daerah akan terus tumbuh, sehingga
dapat lebih memacu lagi pertumbuhan potensi PDS. Hal ini dimungkinkan karena dengan
Departemen Keuangan RI
367
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kemampuan ekonomi masyarakat di daerah yang semakin membaik, sebagaimana tercermin
dalam produk domestik regional bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan, maka pada gilirannya
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajak daerah, retribusi daerah, dan PBB juga
akan semakin meningkat, apalagi didukung pula dengan administrasi pengelolaan pungutan yang
terus ditingkatkan dan disempurnakan. Persentase PDS terhadap PDRB tanpa migas per daerah
tingkat I tertinggi dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai Propinsi Riau dan Propinsi DKI Jakarta
masing-masing sebesar 2,8 persen, Propinsi Timor Timur sebesar 1,3 persen, dan Propinsi
Kalimantan Timur sebesar 1,2 persen. Perkembangan peranan PDS tingkat I terhadap PDRB
tanpa migas per daerah tingkat I dapat dilihat dalam TabeI V.11.
No.
I.
2.
3.
4.
5.
Tabel V. 10
PENERtMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINYA TERHADAP PENERIMAAN
DAERAH TINGKAT I DAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988/89 -1993/94
(dalam miliar rupiah)
Uraian
Repelita IV
Repelita V
1988/89
19'89190
1990191
1991192
1992193
PDS tingkat 1
- PAD tingkat 1
- PBB tingkat 1
Penerimaan APBD TIc I
PDB ')
Persentase PDS Tk.1 terhadap
penerimaan APBD (1 : 2)
- Persentase PAD Tk. 1 terhadap
penerimaan APBD
- Persentase PBB Tk. 1 terhadap
penerimaan APBD
Persentase PDS Tk. 1 terhadap,PDB (1 : 3)
- Persentase PAD Tk. 1 terhadap
penerimaan PDB
- Persentase PBB Tk. 1 terhadap
penerimaan PDB
1993194
917,8
814,16
103,64
3.651,54
121.606,00
1.211,02
1.041,40
169,61
4.350,\3
142.454,70
1.639,52
1.438,31
206,21
5.454,65
166.518,40**)
1.871,20
1.604,04
267,16
6.404,57
192.803,10**)
2.048,32
1.743,76
304,56
7.279,41
227.795,50**)
2.612,11
2.199,79
412,32
8.382,32
269.385,30**)
25,13
27,84
30,06
29,22
28,14
31,16
22,30
23,94
26,37
25,05
23,95
26,24
2,84
0,75
3,90
0,85
3,69
0,98
4,17
0,97
4,18
0,90
4,92
0,97
0,67
0,73
0,86
0,83
0,77
0,82
0,09
9,12
0,12
0,14
0,13
0,15
Keterangan : *) Dalam tahuntakwin, dan atas dasar harga yang berlaku
**) Angka diperhaiki
***) Angka sementara
5.3.1.1. Pendapatan asli daerah
Seperti halnya PDS tingkat I, realisasi PAD tingkat I dalam periode 1988/89-1993/94 juga
mengalami peningkatan yang cepat. PAD dari 27 Dati I dalam tahun anggaran 1988/89 adalah
sebesar Rp 814,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp
2.199,8 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode tersebut terjadi kenaikan sebesar Rp
1.385,6 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 22 persen per tahun. Jika dilihat
lebih rinci, tingkat pertumbuhan tertinggi dicapai Propinsi Riau dengan pertumbuhan rata-rata per
tahun sebesar 35,2 persen, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Irian Jaya,
Departemen Keuangan RI
368
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
masing-masing sebesar 32,4 persen dan 26,7 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan terendah
terjadi di Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Utara, dan Propinsi Bengkulu dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun di masing-masing daerah sebesar 10,1 persen, 10,9 persen, dan
12,4 persen. Perkembangan dan tingkat pertumbuhan PAD masing-masing propinsi dalam
periode 1988/89-1993/94 dapat diikuti dalam Tabel V.12.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
DI Aceh
Sumatera Vtara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kaliamantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Vlara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi lenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timor
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Tabel V. 11
PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINY A TERHADAP
PDRB TANPA MIGAS PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992/93
(dalam miliar rupiah)
PDS
PDRB
1988/89
1992/93
PAD
PRR
Jumlah
I'RR
Jumlah
1988
1992
PAD
10,01
50,52
13,03
12,24
5,32
19,04
4,04
14,9
317,81
76,44
65,57
10,99
111,09
7,71
2,87
7,69
13,38
10,25
3,42
18,05
2,51
18,88
4,24
:>,74
3,38
3,17
1,86
'814,16
4,21
5,69
0,69
19,49
0,95
4,27
0,13
1,28
31,58
7,33
4,65
0,63
7,13
0,76
0,98
2,03
4,89
0,47
0,38
1,95
0,16
0,72
0,45
0,34
1,23
1,25
0,02
103,64
14,21
56,21
13,72
31,73
6,27
23,31
4,18
16,18
349,39
83,78
70,22
11,62
118,22
8,47
3,85
9,72
18,27
10,72
3,79
19,99
2,66
19,6
4,68
6,09
4,61
4,42
1,88
917,8
20,51
70,2
25,62
45,83
10,78
34,68
5,91
19,16
774,98
181,28
120,58
22,37
191,1
13,09
5,97
19,09
42,76
13,81
9,25
37,94
3,99
35,74
8,7
11,93
5,79
8,33
4,37
1.743,76
10,32
12,05
2,69
58,24
3,53
13,04
0,61
3,45
90,83
18,27
9.91
1,07- -15,66
2,31
7,76
8,01
19,96
1,52
1,57
5,48
0,86
1,95
1,2
2,26
3,37
8,12
0,54
304,56
30,H2
2.292,91
3.984,72
82,25
7.670,77 13.826,46
28,31
2.561,24
4.276,21
104,()6
1.991,17
3.769,48
14,31
-977,82
1.737,37
47,72
4.859,06
7.610,59
6,52
633,59
1.100,53
22,61
2.539,99
4.351,20
865,81 16.796,03 30.923,62
199,54 20.618,45 37.772,40
130,49 14.799,72 26.809,72
23,44
1.486,98
2.500,87
206,76 20.907,81 38.537,73
15,4
2.092,58
3.702,54
13,73
1.057,20
1.951,43
27,1
1.704,10
3.116,34
62,72
3.058,00
5.298,15
15,33
1.140,79
1.963,00
10,82
723,44
1.267,62
43,42
3.580,66
6.071,25
4,84
629,52
1.063,91
37,7
2.197,82
3.975,31
9,9
950,08
1.870,42
14,18
938.12
1.638,97
9,16
1.119,52
1.923,19
16,46
984,38
2.814,49
4,91
200,09
386,36
2,048,32 118.511,82 #########
PDSIPDRB (%)
1988/89
0,6
0,7
0,5
1,6
0,6
0,5
0,7
0,6
2,1
0,4
0,5
0,8
0,6
0,4
0,4
0,6
0,6
0,9
0,5
0,6
0,4
0,9
0,5
0,6
0,4
0,4
0,9
0,8
1992/93
0,8
0,6
0,7
2,8
0,8
0,6
0,6
0,5
2,8
0,5
0,5
0,9
0,5
0,4
0,7
0,9
1,2
0,8
0,9
0,7
0,5
0,9
0,5
0,9
0,5
0,6
1,3
1
Keterangan: *) PDRR atas dasar harga yang herlaku.
Peranan PAD terhadap seluruh penerimaan APBD tingkat I juga mengalami peningkatan.
Dalam tahun anggaran 1988/89 peranan PAD hanya sebesar 22,3 persen, sedang dalam tahun
anggaran 1993/94 telah menguat menjadi sebesar 26,2 persen. Dalam hal ini pajak daerah dan
retribusi daerah memberikan sumbangan yang sangat besar, yaitu sebesar 88 persen dari PAD
tingkat I dalam tahun anggaran 1988/89 dan 91 persen dalam tahun anggaran 1993/94.
Sebaliknya, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain hanya
memberikan sumbangan dalam persentase yang kecil dari PAD tingkat I, meskipun secara
nominal mengalami peningkatan, yakni dalam tahun anggaran 1988/89 sebesar Rp 97,4 miliar
dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 196,9 miliar, atau mengalami tingkat
Departemen Keuangan RI
369
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 15,1 persen. Komposisi peranan masing-masing pas
penerimaan terhadap PAD tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.13.
Tabel V. 12
PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89-1993/94
(dalamjuta rupiah)
Repelita V
Repelita IV
No. Propinsi
1988/89
(I)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
-2
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Ri a u
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timor
Kalimantan Baral
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Ulara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Se1atan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
Perlumbuhan
Rata-rata
1993/94 Repelita V (%)
-3
-4
-5
-6
-7
-8
10.008,62
12.327,96
13.867,24
17.715,57
20.506,33
27.112,14
50.517,91
57.781,98
64.659,59
65.384,26
70.204,55
84.768,17
13.034,51
14.207,26
20.402,15
22.816,16
25.623,74
29.241,05
12.238,36
14.360,96
21.227,74
42.896,46
45.829,15
55.379,28
5.317,97
6.778,56
7.454,75
8.647,26
10.782,03
13.765,87
19.042,25
21.295,66
30.376,74
34.182,96
34.679,62
38.511,51
4.042,40
4.216,70
4.786,04
5.277,79
5.911,65
7.247,16
14.904,38
17.494,32
19.282,20
18.847,03
19.162,Q6
24.076,93
317.808,40
429.660,93
619.479,39
700.599,10
774.979,94
993.655,81
76.444,15
104.941,45
151.283,62
165.333,75
181.275,21
240.877,35
65.571,13
78.929,39
99.299,28
108.965,27
120.583,08
148.351,63
10.992,16
12.899,36
19.100,80
19.142,42
22.369,31
27.985,57
111.087,49
133.860,37
183.171,91
196.758,69
191.096,68
235.381,72
7.707,39
8.631,59
12.044,97
12.189,94
13.091,99
17.595,38
2.871,18
2.390,35
3.124,48
4.767,89
5.965,55
7.996,01
7.686,25
9.334,47
12.140,28
14.093,38
19.092,62
21.807,34
13.379,34
16.661,10
29.438,41
35.207,02
42.762,00
54.502,57
10.254,74
11.289,99
14.264,53
17.734,39
13.811,21
21.177,75
3.419,01
4.398,37
5.678,22
7.510,29
9.245,81
10.840,29
18.046,35
23.094,09
28.524,69
27.098,45
37.939,18
41.565,52
2.505,39
2.768,96
3.514,18
3.838,39
3.987,80
7.383,48
18.884,31
27.503,12
45.367,22
35.374,31
35.744,95
41.619,44
4.235,11
5.714,25
7.855,80
11.006,91
8.697,70
10.798,90
5.743,40
8.028,01
8.305,10
10.359,77
11.927,06
14.831,31
3.381,78
7.392,02
6.240,73
6.643,91
5.787,06
8.444,37
3.168,18
4.148,94
5.703,67
8.238,44
8.333,99
10.358,54
1.864,54
1.377,76
1.714,77
3.407,94
4.370,71
4.511,70
814.156,70 1.041.487,92 1,438.308,50 1.604.037,75 1.743.760,98 2.199,786,80
Tabel V.13
KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I
SELURUH INDONESIA, 1988/89 DAN 1993/94
Repelita V
Repelita IV
No Komponen PAD
1993/94
1988/89
(Rp miliar)
(Rp miliar)
%
1.
2
3.
4.
5.
Pajak
Retribusi
Penerimaan laba BUMD
Penerimaan dinas-dinas
Penerimaan lain-lain
Jumlah
Departemen Keuangan RI
655,01
61,77
16,72
46,01
34,64
814,16
80,45
7,59
2,05
5,65
4,26
100
1.663,77
339,09
31,84
27,06
138,03
2.199,79
-9
22,1
10,9
17,5
35,2
21
15,1
12,4
10,1
25,6
25,8
17,7
20,6
16,2
18
22,7
23,2
32,4
15,6
26
18,2
24,1
17,1
20,6
20,9
20,1
26,7
19,3
22
%
75,63
15,41
1,45
1,23
6,27
100
370
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
5.3.1.1.1. Pajak daerah
Pajak daerah merupakan salah satu unsur PAD, yang mencakup pajak asli daerah dan
pajak negara yang telah diserahkan kepada daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri, Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah, dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara
Kepada Daerah, pajak daerah ialah pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan
oleh daerah untuk petnbiayaan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik. Dalam pasal
56 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
ditekankan bahwa dengan undang-undang sesuatu pajak negara dapat diserahkan kepada daerah.
Selanjutnya, pelaksanaan pungutan pajak daerah tersebut diatur antara lain di dalam
Undang-undang Nomor 11 Drt tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dari Pasal 58
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang
kemudian dijabarkan lagi dalam peraturan daerah.
Untuk daerah tingkat I, pajak daerah meliputi antara lain pajak kendaraan bermotor
(PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB), pajak menangkap ikan di perairan
teritorial, pajak kendaraan bermotor alat angkutan di atas air (P-A3), bea balik nama alat
angkutan di atas air (BBN-A3), dari pajak pembuatan kapal kayu. Didasarkan atas berbagai
pertimbangan, seperti besarnya ongkos pungut dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh,
dari kecilnya jumlah penerimaan jenis pajak tertentu di daerah-daerah tertentu, maka dalam
pelaksanaannya dapat saja sebagian ataupun semua jenis pajak yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dipungut oleh masing-masing daerah tingkat I.
Realisasi penerimaan pajak daerah yang setiap tahun cenderung meningkat menyebabkan
pajak daerah tetap sebagai penyumbang terbesar bagi PAD tingkat I. Dalam tahun anggaran
1988/89 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia adalah sebesar Rp 655
miliar dari dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 1.663,8 miliar, yang
berarti mengalami peningkatan sebesar 154 persen, atau pertumbuhan rata-rata sebesar 20,5
persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan pajak daerah terbesar terdapat di
Propinsi DKI Jakarta dengan peranan sebesar 46,2 persen dari seluruh penerimaan pajak daerah
Departemen Keuangan RI
371
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tingkat I secara nasional, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing
sebesar 12,1 persen dari 11,7 persen, sehingga apabila dijumlahkan peranan pajak daerah dari
ketiga propinsi tersebut meliputi 70 persen dari penerimaan pajak daerah tingkat I secara
nasional. Perkembangan penerimaan pajak untuk daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada
Tabel V.14.
Tabel V. 14
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94
(dalam juta rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No.
1988/89
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
1993/94
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V (%)
11.249,71
13.605,81
60.168,16
71.328,28
16.735,24
19.534,58
27.353,40
37.931,29
6.924,06
8.631,71
21.685,70
26.139,32
2.948,67
3.742,29
14.058,09
16.609,97
578.935,77
768.461,67
149.767,25
200.614,66
92.939,68
118.195,75
18.699,10
23.625,01
157.879,14
194.316,74
8.903,08
12.924,63
3.416,81
5.337,55
11.760,13
15.193,14
19.130,58
23.205,60
8.610,16
8.778,00
4.918,12
5.867,43
22.811,05
28.124,01
2.313,28
3.330,45
28.460,06
33.445,36
4.521,79
5.797,99
4.553,69
5.338,13
4.084,26
4.340,12
5.456,57
7.249,42
1.908,30
2.104,98
1.290.191,85 1.663.773,88
13,8
9,7
15,9
28,7
14,2
9,7
6,9
9,4
24,5
24,9
17,7
21
15,7
14,9
28,6
21,8
16,7
10,5
18,5
17,1
28
17,8
16,3
20,7
14,5
28,4
33,4
20,5
Propins;
DI Aceh
Sumatera Vlara
Sumatera Bara!
Ri a u
Jam bi
Sumatera Se1a!an
Bengkulu
Lampung
OK! Jalana
Jawa Bara!
Jawa Tengab
DI Yogyakarta
Jawa Timor
Kalimantan Bara!
Kalimantan Tengab
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timor
Sulawesi V!ara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
B al i
Nusa Tenggara Bara!
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
7.114,14
44.864,32
9.347,49
10.752,15
4.446,59
16.445,99
2.685,25
10.612,82
257.271,16
66.018,25
52.329,16
9.103,70
93.729,64
6.441,91
1.519,94
5.677,11
10.737,53
5.327,34
2.512,63
12.772,09
967,7
14.736,74
2.723,22
2.086,57
2.207,65
2.077,02
497,97
655.006,08
1989/90
1990/91
1991/92
8.607,70
8.796,95
9.952,00
51.150,68
57.653,15
55.486,41
9.740,12
13.109,16
16.272,22
12.482,25
17.291,17
24.155,29
4.770,77
5.947,22
5.750,14
16.808,74
20.372,08
22.658,18
2.607,08
3.169,80
3.096,39
13.448,04
13.746,22
13.825,13
331.569,51
470.674,14
520.827,11
87.644,34
128.324,95
138.071,21
63.565,34
81.633,62
87.942,06
10.456,79
14.070,45
15.927,58
110.891,99
154.002,13
156.368,83
7.264,53
10.026,32
9.170,89
1.531,15
2.043,89
2.796,10
7.280,43
8.391,47
11.103,59
12.854,77
15.203,12
18.735,49
5.915,58
7.792,48
8.444,05
2.993,34
3.808,41
4.060,54
16.664,80
20.541,42
18.540,69
1.134,79
1.384,50
1.718,31
22.774,96
33.087,83
27.804,74
. 3.858,36
5.288,66
5.070,17
2.268,53
2.810,11
3.699,03
2.638,82
2.946,06
3.527,03
2.431,94
3.482,78
5.480,75
626,1
733,95
1.316,26
813.981,45 1.106.332,04 1.191.800,19
1992/93
Jenis pajak daerah tingkat I yang dominan dalam memberikan sumbangan terhadap
penerimaan pajak daerah adalah PKB dari BBN-KB. Selama lima tahun terakhir, sumbangan
penerimaan kedua jenis pajak tersebut terhadap keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I
rata-rata lebih dari 95 persen. Secara rinci per propinsi, dalam tahun anggaran 1993/94 hanya di
DKI Jakarta dan Propinsi Kalimantan Tengah yang penerimaan PKB dari BBN-KB memberikan
sumbangan terkecil, yaitu masing-masing sebesar 69,5 persen dan 86,5 persen, sedangkan di
sebagian terbesar daerah tingkat I lainnya ternyata proporsinya di atas 92 persen dan bahkan di
Departemen Keuangan RI
372
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
DI Yogyakarta, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sulawesi Utara, dan Propinsi Nusa Tenggara
Barat, seluruh penerimaan pajak tingkat I adalah berasal dari PKB dan BBN-KB. Relatif kecilnya
peranan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak di DKI Jakarta disebabkan karena DKI
Jakarta adalah daerah khusus yang dapat memungut pajak-pajak Dari I dan Dari II.
Perkembangan dan sumbangan penerimaan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak
daerah tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.15.
TabeI V. 15
PERANAN PKB DAN BBN-KB TERHADAP PENERlMAAN PAJAK DAERAH
PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94
(dalam persentase)
Repelita V
Repelita IV
No. Propinsi
1993/94
1988/89
-3
-1
-2
-4
96,4
1.
DI Aceh
97,6
93,6
2.
Sumatera Utara
96,5
99,9
99,7
3.
Sumatera Barat
97,5
4.
Ria u
94
99,3
5.
Jam b i
97,6
99,6
6.
Sumatera Selatan
92,7
96,8
7.
Bengkulu
95,4
100
8.
Lampung
94,6
77,1
9.
OKl Jakarta
69,5
99,3
10. . Jawa Barat
98,2
98,4
11. Jawa Tengah
97,8
99,9
12. DI Yogyakarta
100
99,9
13. Jawa Timur
100
93,1
14. Kalimantan Barat
94,5
92,6
15. Kalimantan Tengah
86,5
99,8
16. Kalimantan Selatan
96,7
99,6
17. Kalimantan Timor
98
99,9
18. Sulawesi Utara
100
100
19. Sulawesi Tengah
92,4
98,4
20. Sulawesi Selatan
98
95,3
21. Sulawesi Tenggara
97,6
100
22. Bali
99
97,6
23. Nusa Tenggara Barat
100
93,8
24. Nusa Tenggara Timur
94,4
100
25. Maluku
99,6
95,8
26. Irian Jaya
99,8
100
27. Timor Timur
96,1
Indonesia
84,8
97,2
Realisasi penerimaan PKB dan BBN-KB yang cenderung meningkat selain meningkatkan
kemampuan keuangan daerah tingkat I untuk membiayai belanjanya, juga memberikan dampak
yang positif bagi Dati II. Dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan, keserasian
dan keseimbangan laju pertumbuhan antar daerah tingkat II, sejak tahun 1992 sebagian dari
penerimaan PKB dan BBN-KB telah disisihkan sebagai sumbangan pemerintah daerah tingkat I
Departemen Keuangan RI
373
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kepada daerah tingkat II. Dana sumbangan tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan rutin dan
pembiayaan pembangunan, utamanya pada sektor perhubungan dan sektor pariwisata atau sesuai
prioritas daerah tingkat II yang bersangkutan.
5.3.1.1.2. Retribusi daerah
Retribusi daerah adalah salah satu bagian dari pendapatan asli daerah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 12 Drt 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Menurut
undang-undang darurat tersebut, retribusi daerah adalah pungutan sebagai imbakan atas
pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung oleh seseorang atau badan atas jasa yang
nyata dari pemerintah daerah. Jasa tersebut dapat berupa jasa pekerjaan, jasa atas usaha atau
milik daerah, dan jasa lainnya, termasuk jasa ijin dalam rangka pengendalian, yang secara
langsung memberi manfaat bagi pemakai dan memberikan manfaat secara umum bagi
masyarakat. Pungutan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain tarif
yang dikenakan, kualitas dan kuantitas jasa pelayanan yang diberikan, dan tuntutan kebutuhan
masyarakat atas jasa pelayanan tersebut. Selanjutnya, untuk pelaksanaan di masing-masing
daerah pungutan retribusi daerah dijabarkan dalam bentuk peraturan daerah. Penyusunan,
penetapan dan pengesahan peraturan daerah dimaksud sepenuhnya mengaeu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perkembangan penerimaan retribusi daerah tingkat I selama beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dari usaha-usaha yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk secara terus-menerus meningkatkan pelayanan nyata
kepada masyarakat. Secara keseluruhan jumlah penerimaan retribusi daerah tingkat I dalam tahun
anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 61,8 miliar dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat
menjadi sebesar Rp 339,1 miliar, sehingga selama periode tersebut mengalami tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 40,6 persen. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan
retribusi daerah tingkat I yang terbesar adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 141,5 miliar (41,7
persen), diikuti oleh Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 29,7 miliar (8,8 persen) dan Propinsi Jawa
Tengah sebesar Rp 22,9 miliar (6,8 persen). Sementara itu, dilihat dari tingkat pertumbuhan ratarata pertahun dalam periode 1988/89-1993/94, Propinsi Riau mengalami tingkat pertumbuhan
Departemen Keuangan RI
374
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 68,5 persen, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Timur sebesar 60,6
persen dan Propinsi Jambi sebesar 57,5 persen. Sumber penerimaan retribusi daerah di ketiga
propinsi tersebut terutama berasal dari penerimaan retribusi izin pengarnbilan pasir, batu dan
kerikil, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan, retribusi izin pengarnbilan air bawah tanah
dan retribusi pengujian kendaraan bermotor. Perkembangan realisasi penerimaan retribusi daerah
tingkat I selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.16.
Tabel V. 16
PENERIMAAN RETRmUSI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94
(dalamjuta rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No. Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Ria u
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
BaIi
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1.132,56
2.459,85
1.530,17
893,75
428,03
1.564,81
672,62
1.600,64
15.132,48
7.541,81
9.422,97
474,18
7.135,66
834,94
253, II
816,56
1.535,58
953, II
701,21
1.843,25
313,3
2.554,35
684,81
576,5
247,59
385, II
85,43
61.774,38
1.655,12
2.690,70
2.107,18
1.111,43
502,36
2.706,48
668,32
1.757,21
70.577,74
12.658,22
10.597,36
609,8
13.348,88
867,92
346,77
1.295,12
1.996,66
997,52
906,6
2.472,41
323,8
2.827,77
1.152,41
739,86
880,3
335,47
43
136.176,41
2.624,18
4.473,52
2.730,26
1.999,72
908,21
7.724,02
848,49
3.564,69
100.261,05
15.815,55
12.257,22
736,05
15.424,87
1.271,67
461
3.322,74
4.393,60
1.545,36
1.249,13
4.569,05
381,8
3.538,23
1.438,37
1.228,73
372,35
649,29
88,84
193.877,99
3.683,92
6.189,91
3.748,05
15.141,70
1.676,36
8.339,80
1.127,17
3.819,79
122.167,42
19.064,36
14.127,01
1.154,01
16.965,99
1.999,69
547,09
2.708,43
4.911,98
1.853,58
2.654,48
5.597,20
618,71
3.803,08
4.009,57
1.717,37
469,83
799,66
251,08
249.147,24
4.617,17
7.554,95
6.683,05
13.638,49
2.932,00
9.483,35
1.318,33
4.157,72
115.185;65
23.635,27
20.277,99
1.401,32
17.952,88
2.978,85
663,58
5.422,56
11.789,91
2.111,17
3.459,25
8.383,91
749,58
4.028,06
2.684,29
2.343,71
476,7
1.059,22
282,07
275.271,03
Pertumbuhan
Rata-rata
1993/94 Repelita V (%)
77.971,00
9.449,15
7.702,74
12.135,43
4.145,57
8.524,16
1.950,56
6.438,27
141.527,62
29.741,37
22.893,01
1.757,29
22.576,38
3.828,05
1.335,52
6.033,66
16.397,34
4.597,48
4.101,57
11.179,97
1.563,68
3.910,92
3.235,38
2.736,87
1.199,53
1.811,53
343,5
339.087,56
47,7
30,9
38,2
68,5
57,5
40,4
23,7
32,1
56,4
31,6
19,4
30
25,9
35,6
39,5
49,2
60,6
37
42,4
43,4
37,9
8,9
36,4
36,5
37,1
36,3
32,1
40,6
5.3.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah
Dasar hukum pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD), khususnya perusahaan
daerah, adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahan Daerah dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Tujuan
pembentukan perusahaan daerah adalah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan
menarnbah penghasilan daerah. Bidang usaha BUMD mencakup berbagai aspek pelayanan
Departemen Keuangan RI
375
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan mengutamakan pemberian jasa kepada masyarakat, menyelenggarakan kemanfaatan
umum, dan memberikan sumbangan bagi ekonomi daerah yang keseluruhannya harus
dilaksanakan berdasarkan atas-atas ekonomi perusahaan yang sehat.
Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD daerah tingkat I cenderung menunjukkan
kenaikan, kecuali dalam tahun anggaran 1993/94. Dibandingkan dengan penerimaan dalam tahun
anggaran 1992/93, realisasi penerimaan bagian laba BUMD Dati I dalam tahun anggaran 1993/94
mengalami penurunan sebesar Rp 8,3 miliar, terutama sebagai darnpak menurunnya tingkat
keuntungan beberapa bank pembangunan daerah (BPD). Jumlah penerimaan laba BUMD dalam
tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 16,7 mi1iar dan dalam tahun anggaran 1993/94
sebesar Rp 31,8 mi1iar, atau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 13,8
persen. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan bagian laba BUMD terbesar dicapai oleh
DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 13,6 miliar. Jumlah ini mencakup 42,7 persen dari total
penerimaan bagian laba BUMD tingkat I secara nasional, kemudian diikuti oleh Propinsi Jawa
Tengah dan Propinsi Jawa Barat, masing-masing sebesar Rp 2,7 miliar (8,4 persen) dan Rp 2,5
miliar (7,7 persen). Sebagian terbesar sumber penerimaan laba BUMD tersebut berasal dari
penerimaan bagian laba BPD, sedang untuk DKI Jakarta ditambah dengan penerimaan dari
perusahaan daerah air milium (PDAM). Dilihat dari rata-rata pertumbuhan per tahun, Propinsi
Riau mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 105,4 persen, kemudian diikuti oleh
Propinsi Bengkulu dan Propinsi Kalimantan Tengah, masing-masing sebesar 104,7 persen dan
77,2 persen. Sementara itu, dalam periode yang sama beberapa daerah mengalami pertumbuhan
yang menurun, yaitu propinsi-propinsi Larnpung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Timur, dan Timor-Timur. Perkembangan penerimaan yang berasal dari bagian laba
BUMD daerah tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.17.
Departemen Keuangan RI
376
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 17
PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT I
PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalamjuta rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No.
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
OJ Aceh
Sumalera Vlara
Sumatera Baral
R i au
Jam b i
Sumalera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Baral
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timor
Kalimantan Baral
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selakan
Kalimanlan Timor
Sulawesi Vtara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
B a Ii
Nusa Tenggara Baral
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
159,64
835,65
825,75
25
146,97
31,65
6
238,84
7.508,92
661,56
2.311,76
280,08
642,05
189,16
34,62
261,67
246,85
640
60
72,73
25
180,45
380,4
82
303,68
60
510,7
16.7-21;13
214,93
855,61
856,21
45,57
170
112,17
162,5
560,47
8.190,09
957,49
2.426,50
793,96
993,34
215,98
79,19
334,09
932,16
604,48
50
200
55
208,75
175
15
400
94,5
224,14
19,927,13
294,26
1.013,75
550
278,36
116,17
339,36
242,47
660,33
7.207,16
1.162,03
2.730,04
169,84
941,65
251.19
103,27
20,34
983,53
831,87
80
210,57
60
353,17
409,28
1,67
661,68
125
167,59
19.964,59
361,67
2.534,61
841,45
816,47
364,17
1.042,54
267,54
203,41
15.898,49
3.100,17
2.987,34
494,53
1.441,84
408,99
181,66
30
1.168,07
1.020,00
120,39
335,06
108
318,18
791,14
5
839,19
226,31
213,46
36.119,68
390,01
1.241.68
919,2
959,49
204,37
332,5:1
211,5
242,65
21.351,43
3.443,08
3.251,31
516,16
679,37
369
434,45
224,73
1.172,52
1.020,00
155,5
208,96
206
355,36
828,24
30
750
205,46
480
40.183,01
Pertumbuha
Rata-rata
1993/94
Repelita V
282,76
1.219,06
1.048,93
913,02
231,59
471,42
215,47
228,2
13.585,98
2.459,16
2.681,01
728,39
495,17
348
604,46
231,83
1.452,39
1.350,00
65
317,79
287
365,77
824,56
35
905
191,5
302,09
31.840,54
12,1
7,8
4,9
105,4
9,5
71,6
104,7
-0,9
12,6
30
3
21,1
-5,1
13
77,2
-2,4
42,5
16,1
1,6
34,3
62,9
15,2
16,7
-15,7
24,4
26,]
-10
13,7
5.3.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah
Penerimaan dinas-dinas adalah penerimaan yang diterima oleh dinas-dinas daerah yang
secara langsung memberikan jasa pelayanan dan jasa perizinan kepada masyarakat, tidak
termasuk dinas pendapatan daerah. Jumlah penerimaan dinas-dinas dari masing-masing propinsi
dalam tahun anggaran 1993/94 umumnya berfluktuasi. Daerah tingkat I seperti Propinsi Jawa
Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Jawa Tengah memperoleh penerimaan dari
dinas-dinas daerah yang relatif cukup besar, sedang penerimaan dari dinas-dinas di daerah yang
lain, seperti Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Kalimantan
Selatan sangat kecil. Sementara itu dilihat dari tingkat perkembangannya, Propinsi Riau
mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi, yakni sebesar 51,8 persen, dan
diikuti oleh Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Sulawesi Tengah, masing-masing sebesar 49,9
persen dan 45,2 persen.
Departemen Keuangan RI
377
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
5.3.1.1.5. Penerimaan lain-lain
Hasil penerimaan lain-lain untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran
1988/89 adalah sebesar Rp 34,6 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi
sebesar Rp 138 miliar, atau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 31,9
persen. Walaupun tidak sebesar peranan penerimaan pajak dan retribusi daerah, peranan
penerimaan lain-lain di beberapa daerah cukup besar, seperti di DKI Jakarta, Propinsi Kalimantan
Timur, dan Propinsi. Jawa Barat, yaitu masing-masing sebesar Rp 69,2 miliar, Rp 13,3 miliar dan
7,8 miliar. Sedang dilihat dari rata-rata tingkat pertumbuhannya per tahun, Propinsi Kalimantan
Timur mengalami tingkat pertumbuhan yang paling tinggi, yaitu 104,9 persen, diikuti oleh DKI
Jakarta dan Propinsi Riau, masing-masing sebesar 79,4 persen dan 70,1 persen. Termasuk
sebagai penerimaan lain-lain adalah penerimaan dari sewa rumah dan gedung milik daerah, hasil
penjualan barang-barang bekas milik daerah, usaha yang dilakukan oleh aparat pemerintah
daerah yang bukan perusahaan daerah untuk menghasilkan jasa yang dapat dipergunakan
masyarakat, serta usaha lainnya dari daerah yang sifatnya tidak rutin.
5.3.1.2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak
5.3.1.2.1. Pajak bumi dan bangunan
Ketentuan yang menjadi dasar hukum pemungutan dan pembagian hasil penerimaan PBB
adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak
pada Pajak bumi dan Bangunan, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1994, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 disebutkan bahwa pembagian penerimaan PBB
adalah 10 persen untuk pemerintah pusat, 16,2 persen untuk pemerintah daerah tingkat I, 64,8
persen untuk pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sisanya merupakan upah pungut.
Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan kemampuan keuangan daerah tingkat II dan pemerataan
antar daerah, dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 ditetapkan pula bahwa
terhitung sejak tahun anggaran 1994/95 bagian penerimaan pemerintah pusat sebesar 10 persen
Departemen Keuangan RI
378
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dibagikan secara merata kepada selurnh daerah tingkat II. Dengan demikian besarnya penerimaan
daerah tingkat I dan tingkat II dari PBB secara nasional meningkat menjadi 91 persen.
Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I sejak beberapa tahun terakhir ini
meningkat dengan cepat. Dalam tahun anggaran 1988/89 jumlah penerimaan PBB daerah tingkat
I baru sebesar Rp 103,6 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat
menjadi sebesar Rp 412,3 miliar, yang berarti mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun
sebesar 31,8 persen. Beberapa propinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun
yang cukup tinggi adalah Propinsi Timor Timur yaitu sebesar 127,9 persen, Propinsi Kalimantan
Tengah sebesar 66,1 persen, dari Propinsi Irian Jaya sebesar 57,1 persen. Sementara itu, apabila
dilihat dari besarnya jumlah penerimaan PBB dalam tahun anggaran 1993/94, DKI Jakarta
merupakan propinsi yang menerima PBB paling besar, yaitu sebesar Rp 143,8 miliar, diikuti oleh
Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar Rp 56,4 miliar dan Rp 27,9
miliar. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I selengkapnya dapat diikuti pada Tabel
V.18.
Tabel V. 18
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT I
PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalamjuta rupiah)
Repelita
Repelita V
No. Propinsi
-1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
-2
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
R i au
Jam b i
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
01 Yogyakarta
Jawa Timor
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timor
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
B al i
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timor
Maluku
Irian Jaya
Timor Timor
Jumlah
Departemen Keuangan RI
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
-3
-4
-5
-6
-7
-8
4.205,44
6.785,93
7.054,41
8.440,60 10.315,76 11.709,98
5.688,38
8.636,71
8.981,18 10.308,20 12.048,15 15.773,94
689,39
1.042,48
1.335,58
1.926,41
2.688,63
3.675,12
19.488,92 44.207,82 45.984,66 55.028,68 58.235,68 56.412,80
952,73
2.029,75
2.304,12
3.101,17
3.529,52
6.191,85
4.265,43
5.856,37
8.359,23 11.210,52 13.039,48 18.255,53
133,04
445,62
637,31
676,19
607,12
853,23
1.279,01
2.686,15
2.936,48
3.396,72
3.445,05
3.657,89
31.582,87 39.649,66 50.258,04 76.606,92 90.826,85 143.765,58
7.332,50 11.964,89 13.891,08 16.346,94 18.266,22 25.422,19
4.649,33
6.197,94
7.942,61
8.648,06
9.911,79 13.467,60
625,63
737,6
1.335,58
1.028,20
1.068,72
1.751,39
7.127,55 10.051,51 12.139,74 13.342,39 15.660,85 20.702,12
764,94
1.048.47
1.476,20
1.703,53
2.309,31
3.523,78
980,03
2.583,54
4.432,41
7.354,50
7.762,67 12.393,65
2.033,15
3.610,67
4.700,88
6.370,82
8.009,75
9.928,10
4.887,59
9.879,57 13.429,53 18.477,48 19.957,65 27.879,66
466,6
747,79
1.003,23
1.369,77
1.522,52
2.014,61
375,31
980,7
1.200,71
1.446,34
1.574,28
1.868,14
1.945,04
2.553,28
4.039,40
4.324,30
5.476,71
7.597,04
158,8
430,57
612,35
994,3
855,21
1.195,15
720,2
894,72
1.322,44
1.540,00
1.954,58
2.640,71
446,86
741,21
885,69
1.013,31
1.199,01
1.693,15
343,15
455,4
1.437,78
2.309,63
2.257,38
2.245,44
1.227,25
2.542,47
3.241,98
2.957,06
3.368,37
4.686,94
1.253,03
2.766,50
4.996,45
6.803,51
8.124,76 12.000,11
16,51
84,41
271,73
434,46
540,32
1.015,48
103.638,68 169.611,73 206.210,80 267.160,01 304.556,34 412.321,18
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V
-9
22,7
22,6
39,8
23,7
45,4
33,7
45
23,4
35,4
28,2
23,7
22,9
23,8
35,7
66,1
37,3
41,7
34
37,8
31,3
49,7
29,7
30,5
45,6
30,7
57,1
127,9
31,8
379
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
5.3.1.2.2. Iuran hasil hutan dan iuran hak pengusahaan hutan
Iuran hasil hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) adalah penerimaan
bukan pajak pemerintah pusat, yang sebagian hasilnya diserahkan kepada pemerintah daerah
tingkat I dan pemerintah daerah tingkat II. Dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990
tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan yang kemudian diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1993, ditetapkan bahwa 45 persen dari pungutan IHH digunakan untuk pembiayaan
pembangunan daerah tingkat I (30 persen) dan untuk pembangunan daerah tingkat II (15 persen),
sedangkan sisanya sebesar 55 persen digunakan untuk membiayai rehabilitasi hutan secara
nasional (20 persen), kehutanan daerah (15 persen), dan untuk pembayaran pajak bumi dan
bangunan bagi area blok tebangan (20 persen). Selanjutnya, pembagian hasil IHPH adalah 70
persen untuk daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan sisanya sebesar 30 persen untuk
pemerintah pusat.
Dalam tahun anggaran 1988/89, realisasi penerimaan IHH dan IHPH daerah tingkat I
adalah sebesar Rp 59,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp
127,9 miliar, yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 68,7 miliar atau dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode tersebut sebesar 16,7 persen. Dalam tahun
anggaran 1993/94, jumlah penerimaan terbesar IHH dan IHPH adalah Propinsi Kalimantan
Timur yaitu sebesar Rp 25,4 miliar, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Riau
masing-masing sebesar Rp 20,9 miliar dan Rp 10 miliar. Sementara itu, dalam periode tersebut
tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang tertinggi dicapai oleh Propinsi Irian Jaya, yaitu
sebesar 62 persen, diikuti oleh Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Maluku masing-masing
sebesar 46,3 persen dan 42 persen. Khusus realisasi penerimaan IHH dan IHPH di Propinsi
Sumatera Selatan dan Propinsi Jawa Barat, meskipun dalam periode tersebut mengalami laju
pertumbuhan yang menurun, namun sejak tahun anggaran 1991/92 sampai dengan tahun
anggaran 1993/94 jumlahnya cenderung semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1991/92,
IHH dan IHPH di Propinsi Sumatera Selatan adalah sebesar Rp 1,7 miliar yang meningkat
menjadi sebesar Rp 2,9 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Demikian juga IHH dan IHPH di
Propinsi Jawa Barat dalam tahun anggaran 1991/92 adalah sebesar Rp 514,7 juta dan dalam tahun
anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 1 miliar.
Departemen Keuangan RI
380
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
5.3.2. Sumbangan dan bantuan pusat
5.3.2.1. Sumbangan pusat
Dalam menunjang pelaksanaan kegiatan rutin di daerah, di samping dana yang bersumber
dari daerah sendiri, pemerintah daerah tingkat I juga memperoleh dana dari pemerintah pusat
dalam bentuk sumbangan. Sumbangan tersebut merupakan dana yang sangat penting bagi
pemerintah daerah tingkat I, karena dengan adanya dana ini pemerintah daerah tingkat I dapat
melaksanakan berbagai kegiatan rutin yang menjadi kewajibannya, khususnya kegiatan yang
berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sedang bagi pemerintah pusat
sendiri, dengan pemberian sumbangan ini diharapkan jumlah sarana dan mutu pelayanan
masyarakat yang dapat diberikan semakin dapat dipenuhi. Sumbangan pusat meningkat dari
tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Dalam
tahun anggaran 1988/89 jumlah sumbangan pusat adalah sebesar Rp 2.044,5 miliar, sedangkan
dalam tahun anggaran 1993/94 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 3.929,1 miliar, yang
berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14 persen per tahun.
Subsidi daerah otonom (SDO) merupakan bagian yang terbesar dari sumbangan pusat
yang diberikan kepada pemerintah daerah tingkat I. Dana SDO sebagian besar digunakan untuk
membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah otonom.
Sedangkan sisanya dipergunakan untuk membiayai belanja nonpegawai yang terdiri dari tiga
komponen biaya, yaitu subsidi belanja penyelenggaraan urusan desentralisasi, subsidi belanja
penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, dan subsidi belanja pengembangan
institusi.
Jumlah keseluruhan dana SDO dalam tahun anggaran 1988/89 yang telah disalurkan
kepada pemerintah daerah tingkat I adalah sebesar Rp 2.042,9 miliar dan meningkat menjadi
sebesar Rp 3.921,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/94, yang berarti mengalami pertumbuhan
rata-rata sebesar 13,9 persen per tahun. Dana SDO yang disalurkan kepada masing-masing
daerah tingkat I umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali daerah-daerah
tingkat I Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Bali, yang mengalami penurunan.
Hal tersebut terjadi karena sejak tahun anggaran 1993/94 pengeluaran bagi gaji guru SD di
daerah-daerah tingkat I tersebut tidak lagi dibukukan dalam APBD tingkat I, melainkan dalam
APBD tingkat II yang bersangkutan. Daerah tingkat I yang menerima SDO dengan tingkat
Departemen Keuangan RI
381
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi adalah daerah-daerah tingkat I Sulawesi Tengah,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, masing-masing sebesar 19,7
persen, 18,8 persen, 18,7 persen, dan 18,5 persen. Sedangkan daerah-daerah tingkat I Nusa
Tenggara Timur, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan walaupun tidak menurun penerimaannya
tetapi mengalami pertumbuhan rata-rata terendah, yaitu masing-masing sebesar 9,8 persen, 8,9
persen, dan 8,4 persen per tahun. Perkembangan jumlah SDO pada masing-masing daerah tingkat
I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.19.
Tabel V. 19
PENERIMAAN SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT I
PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalam Millar rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
\7.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
DI Aceh.
Sumatera VJara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
. Lampung
OK1 Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimanlan Barat
Kalimanlan Tengah
Kalimanlan Selatan
KaIimanlan Timur
Sulawesi Vtara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Se1atan
Sulawesi Tenggara
Ba1 i
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
MaIuku
Irian Jaya
Timor Timor
Jum1ah
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
Pertumbuhau
Rata-rata
Repelita V(%)
48.08
154,06
17,66
10,91
7,87
22,34
8,75
66,52
118,63
365,54
367,54
59,14
390,61
47,96
28,68
51,74
31,53
60,4
34,99
21,52
8,48
52,57
9,76
10,47
8,83
28,72
9,59
2.042,88
56,25
175,24
19,49
11,97
8,71
22,76
9,68
78,99
129,58
414,43
420,19
61,66
442,81
58,17
33,87
61,21
37,04
70,9
42,43
24,47
6,34
61,1
11,05
11,48
9,79
30,44
10,33
2.320,38
62,99
204,28
19,81
13,26
9,33
23,88
10,71
86,73
138,85
448,9
452,9
66,66
485,01
63,98
36,75
66,99
39,06
74,08
47,26
25,78
9,67
65,97
11,74
12,48
10,29
32,82
10,76
2.530,77
72,68
218,18
22,26
15,21
10,8
26,95
10,79
100,7
156,85
506,19
513,84
85,98
548,71
72,99
43,21
76,56
45,89
84,35
54,55
29,22
11,29
19,51
12,63
13,94
11,88
36,65
12,02
2.813,84
86,47
257,9
22,59
16,76
11,55
29,17
12,14
123,61
193,22
631,72
631,72
92,48
665,22
87,48
50,63
92,69
55,62
101,57
66;67
30,43
12,47
21,84
13,85
14,13
12,69
38,54
12,85
3.373,15
105,25
317,93
27,11
20,92
14,06
33,51
14,74
32,21
235,36
777,2
788,27
116,97
826,01
113,34
67,54
120,94
22,61
21,71
85,97
35,1
14,87
18,94
16,78
16,69
15,14
46,72
15,53
3.921,42
17
15,6
8,9
13,9
12,3
8,4
11
-13,5
14,7
16,3
16,5
14,6
16,2
18,8
18,7
18,5
-6,4
-18,5
19,7
10,3
\1,9
-18,5
\1,4
9,8
11,4
10,2
10,1
13,9
Besarya persentase SDO terhadap keseluruhan penerimaan pemerintah daerah tingkat I
selama periode 1988/89-1993/94 cenderung mengalami penurunan. Hal ini terlihat dalam Tabel
V.20. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 persentase SDO dalam keseluruhan penerimaan
pemerintah daerah tingkat I adalah sebesar 56 persen, maka dalam tahun anggaran 1993/94
Departemen Keuangan RI
382
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
persentase ini menurun menjadi sebesar 46,8 persen. Menurunnya persentase SDO ini disebabkan
karena makin meningkatnya persentase sumber penerimaan lain dalam struktur penerimaan
daerah tingkat I, seperti PAD, PBB, bantuan, maupun pinjaman daerah. Apabila dilihat
persentase SDO terhadap penerimaan masing-masing daerah tingkat I, maka dalam tahun
anggaran 1993/94 daerah-daerah tingkat I Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat
memperlihatkan persentase yang tinggi, masing-masing sebesar 76,7 persen, 72,2 persen, dan
70,9 persen. Sedangkan persentase di daerah-daerah tingkat I DKI Jakarta, Kalimantan Timur,
dan Riau relatif rendah, masing-masing sebesar 14,1 persen, 11 persen, dan 9 persen.
Tabel V. 20
PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP
DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94
Repelita IV
Repelita V
No. Proplnsi
1988/89
1993/94
1.
DI Aceh
58,8
54,1
2.
Sumatera Utara
64
68,1
36,8
27,4
3.
Sumatera Barat
4.
Riau
15,8
9
5.
Jam b i
25,5
16,7
29,3
18,9
6.
Sumatera Selatan
7.
Bengkulu
32,8
24,1
8.
Lampung
59,1
31,8
9.
DKI Jakarta
21,9
14,1
75
.70,9
10. Jawa Barat
78,1
76,7
11. Jawa Tengah
12. DI Yogyakarta
63,7
64,8
69,5
72,2
13. Jawa Timur
59,9
57,1
14. Kalimantan Barat
50,1
38,3
15. Kalimantan Tengah
66,1
59,8
16. Kalimantan Selatan
40,3
11
17. Kalimantan Timur
18. Sulawesi Utara
62
23,3
64,3
55,2
19. Sulawesi Tengah
34,9
25,4
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
34,5
20,4
22. Bali
55,3
18,9
34,4
23,2
23. Nusa Tenggara Barat
34,5
18,7
24. Nusa Tenggara Timur
25. Maluku
25,9
15,6
26. Irian Jaya
46,3
26,1
36,9
22,9
27. Timor Timur
Indonesia
56
46,8
5.3.2.2. Bantuan pusat
Bantuan pusat adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerah, dan diarahkan bagi pencapaian
Departemen Keuangan RI
383
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
hasil pembangunan yang sebesar-besarnya dalam rangka pemerataan pembangunan antar daerah.
Bantuan pusat, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres, diberikan setiap tahun kepada
daerah, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, yang jumlahnya didasarkan atas kriteria
tertentu. Jumlah bantuan ini umumnya memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dari
tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya pembangunan di daerah-daerah.
Inpres Dati I merupakan salah satu program bantuan pusat yang ditujukan kepada
pemerintah daerah tingkat I. Bantuan tersebut merupakan bantuan yang bersifat bebas, karena
baik perencanaan maupun penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing daerah
tingkat I. Sasaran pemberian bantuan ini adalah untuk meningkatkan keserasian laju pertumbuhan
antar daerah, keserasian sektoral dan regional, serta memeratakan hasil pembangunan.
Pada saat dimulainya program Inpres Dari I tahun anggaran 1974/75, tiap daerah tingkat I
memperoleh dana dengan batas minimum sebesar Rp 500 juta dan maksimum sebesar Rp 5,6
miliar. Jumlah bantuan ini terus ditingkatkan, hingga dalam tahun anggaran 1987/88 setiap
daerah tingkat I memperoleh bantuan dengan batas minimum sebesar Rp 10 miliar dan
maksimum sebesar Rp 12 miliar. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1988/89 pemberian bantuan
ditentukan sama besarnya, tanpa batasan minimum dan maksimum, yaitu sebesar Rp 12 miliar
untuk tiap daerah tingkat I. Kemudian mulai tahun anggaran 1990/91, kriteria pemberian dana
diubah, yaitu di samping bantuan dasar yang jumlahnya sama untuk setiap daerah tingkat I
sebesar Rp 14 miliar juga diberikan bantuan tambahan yang danasarkan atas luas wilayah
daratan. Jumlah bantuan dasar yang diberikan dalam tahun anggaran 1991/92,1992/93, dan
1993/94 ditingkatkan lagi masing-masing menjadi sebesar Rp 18 miliar, Rp 22,5 miliar, dan Rp
25 miliar. Di samping peningkatan dalam jumlah bantuan dasar, secara keseluruhan jumlah
Inpres Dari I juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu apabila dalam tahun
anggaran 1988/89 beIjumlah sebesar Rp 324 miliar, maka dalam tahun anggaran 1993/94
jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 783 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata
sebesar 19,3 persen per tahun.
Adanya perubahan dalam kriteria pemberian Inpres Dati I, yaitu dengan diberikannya
bantuan tarnbahan yang didasarkan atas luas wilayah daratan, menyebabkan daerah tingkat I yang
mempunyai wilayah yang luas memperoleh bantuan dengan jumlah yang lebih besar daripada
daerah yang wilayahnya kecil, sementara daerah-daerah tingkat I tersebut pada umumnya
Departemen Keuangan RI
384
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
mempunyai penduduk yang jarang. Hal ini tercermin dalam dana Inpres Dari I per kapita per
daerah tingkat I yang dapat dilihat dalam Tabel V.21 dan Grafik V.5. Dalam tahun anggaran
1993/94 daerah-daerah tingkat I Timor Timur, Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya mempunyai
Inpres Dari I per kapita yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain, masing-masing
sebesarRp 48.596, Rp 37.219, dan Rp 33.317. Sedangkan daerah-daerah tingkat I Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Jawa Barat mempunyai Inpres Dari I per kapita yang relatif rendah, masingmasing sebesar Rp 1.509, Rp 1.233, dan Rp 661. Rendahnya Inpres Dari I per kapita pada ketiga
daerah ini di samping karena memiliki wilayah daratan yang tidak begitu luas, juga karena
mempunyai jumlah penduduk yang tinggi.
Selain Inpres Dari I, pemerintah daerah tingkat I juga menerima bantuan yang bersifat
spesifik, yaitu Inpres peningkatan jalan dan jembatan propinsi (IPJP). Sasaran dari pemberian
IPJP adalah untuk memperlancar arus angkutan dan distribusi barang dari daerah pertanian dan
industri ke pusat-pusat pemasaran dan sebaliknya, serta untuk membuka daerah-daerah terisolir
dalam rangka pemerataan pembangunan, dan meningkatkan mobilitas serta kelancaran
perekonomian daerah.
Tabel V. 21
BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER KAPITA
PER PROPINSI,
1988/89 DAN 1993/94
(dalam rupiah)
No.
Repelita IV
Repelita V
Propinsi
1993/94
1988/89
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
J ambi
Sumatera Selatan
Bengku1u
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Departemen Keuangan RI
3.708
1.219
3.099
3.975
6.368
2.032
11.090
2.256
3.947
365
431
4.185
374
3.910
9.276
4.839
6.981
4.999
7.454
1.779
9.686
4.435
3.691
3.805
6.847
7.957
17 .035
1.999
9.341
3.540
7.290
10.928
18.353
7.539
25.948
5.729
10.110
661
1.509
8.663
1.233
14.962
37.219
12.277
20.860
15.883
27.521
5.480
26.732
10.413
10.957
14.411
25.387
33.317
48.596
6.135
385
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Program IPJP dimulai sejak tahun anggaran 1989/90 dengan alokasi dana sebesar Rp 69,5
miliar. Dalam tahun-tahun berikutnya jumlah bantuan ini terus ditingkatkan, dan terakhir dalam
tahun anggaran 1993/94 telah mencapai jumlah sebesar Rp 405,6 miliar, yang berarti mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 55,4 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1994/95, dalam
rangka upaya peningkatan efisiensi bantuan, pengalokasiannya dimasukkan ke dalam Inpres Dati
Bantuan spesifik lain yang diberikan kepada pemerintah daerah tingkat I selain IPJP
adalah bantuan reboisasi. Bantuan ini diberikan dalam bentuk program Inpres penghijauan dan
reboisasi di mana bantuan penghijauan diberikan kepada pemerintah daerah tingkat II. Program
ini ditujukan untuk menanggulangi tanah-tanah kritis sebagai akibat dari kegiatan perladangan
berpindah serta penebangan hutan secara sembarangan. Selain itu juga untuk meningkatkan
pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerah, serta meningkatkan usaha dan
kelestarian sumber-sumber alam, bulan, tanah, dan air di suatu daerah aliran sungai. Adapun
alokasi dana Inpres penghijauan dan reboisasi untuk seluruh daerah dalam tahun anggaran
1988/89 adalah sebesar Rp 16,5 miliar, sedang dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat
menjadi sebesar Rp 104,3 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 44,6 persen per
tahun.
5.3.3. Pinjaman pemerintah daerah
Pinjaman dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan salah satu alternatif
sumber dana yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah tingkat I dalam rangka menutupi
kekurangan kebutuhan dana pembangunan di daerah. Pada prinsipnya dana pinjaman tersebut
dimaksudkan sebagai pelengkap bagi sumber dana untuk pembangupan daerah, baik dari
pendapatan asli daerah, maupun dari sumbangan/bantuan pemerintah pusat dan bagi hasil pajak
dan bukan pajak. Dana yang bersumber dari pinjaman tersebut selain untuk menutupi kebutuhan
dana untuk pembangunan juga dapat digunakan untuk penyertaan modal kepada badan usaha
milik daerah (BUMD), seperti untuk penyertaan pada bank pembangunan daerah (BPD),
perusahaan daerah air minum (PDAM), serta perusahaan daerah lainnya, dengan tujuan untuk
meningkatkan perekonomian daerah dan penerimaan daerah sendiri (PDS). Sumber pinjaman
daerah ini dapat berupa pinjaman dari luar negeri yang dipinjam melalui pemerintah pusat
(penerusan pinjaman/SLA), ataupun dana yang berasal dari dalam negeri. Saat ini salah satu dana
Departemen Keuangan RI
386
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pinjaman yang bersumber dari dalam negeri adalah dari dana yang tersedia dalam rekening
pembangunan daerah (RPD).
Seiring dengan gerak pembangunan dan peningkatan kebutuhan dana, maka realisasi
pinjaman daerah tingkat I seluruh Indonesia dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Realisasi
jumlah pinjaman pemerintah daerah tingkat I di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89
adalah sebesar Rp 8,7 miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 38,4 miliar dalam tahun anggaran
1993/94, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 34,6 persen.
Pelaksanaan pinjaman oleh pemerintah daerah selama ini senantiasa didasarkan atas kebutuhan
daerah dalam membiayai pembangunannya. Dalam tahun anggaran 1993/94, daerah tingkat I
yang paling besar memanfaatkan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan dan investasi
daerahnya adalah DKI Jakarta, sementara pinjaman pemerintah daerah tingkat I lainnya relatif
kecil, bila dibandingkan dengan pinjaman pemerintah DKI Jakarta.
5.3.4. Pengeluaran rutin daerah
Pengeluaran rutin daerah adalah dana yang dikeluarkan untuk menunjang kelancaran
berbagai kegiatan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, tinggi rendahnya aktivitas pemerintah
daerah di bidang pemerintahan juga tercermin dari tinggi rendahnya pengeluaran rutin tersebut.
Meningkatnya jumlah penduduk sangat erat kaitannya dengan meningkatnya kegiatan
pemerintahan di daerah. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan adanya peningkatan
kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan, yang pada gilirannya membawa pengaruh terhadap
peningkatan kegiatan administrasi di lingkungan pemerintah daerah. Kecenderungan tersebut
tercermin dari meningkatnya pengeluaran rutin daerah tingkat I dari tahun ke tahun. Dalam tahun
anggaran 1988/89 pengeluaran rutin Dati I masih berjumlah Rp 2.540,1 miliar, sedangkan dalam
tahun anggaran 1993/94 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 5.401 miliar, akan mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 16,3 persen per tahun.
Di antara semua jenis pengeluaran rutin, belanja pegawai merupakan jenis pengeluaran
yang terbesar, yang diikuti oleh belanja barang dan belanja lain-lain, masing-masing sebesar Rp
3.877,5 miliar, Rp 538,1 miliar, dari Rp 435,9 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Sementara
ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per harian, selama periode 1988/89-1993/94
ganjaran/subsidi/sumbangan memperlihatkan laju tertinggi, yaitu sebesar 27,9 persen, sedangkan
Departemen Keuangan RI
387
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
angsuran pinjaman/hutang menunjukkan laju terendah, yaitu sebesar 12,3 persen per harian,
sebagaimana terlihat pada Tabel V.22.
Tabel V. 22
PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA, 1988/89 -1993/94
(dalam mitior rupiah)
No. Propinsi
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Belanja pegawai
Belanja barang
Belanja pemeliharaan
Belanja perjalanan dinas
Belanja lain-lain
Angsuran pinjamanlhutang
Ganjaran/ubsidi/
sumbangan
Jumlah
1989/90
Repclita V
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V (%)
1.919,15
273,8
82,48
28,53
166,86
7,91
2.207,09
304,61
114,04
32,02
199,91
9,71
2.415,98
370,65
152,02
44,14
275,23
12,58
2.686,60
457,34
208,54
50,68
354,66
11,89
3.275,94
507,4
244,71
54,75
402,53
11,8
3.877,54
538,05
261,24
64,4
435,89
14,13
15,1
14,5
25,9
17,7
21,2
12,3
61,39
2,540,14
69,52
2.936,91
90,56
3.361,15
109,91
3.879,60
173,35
4.670,48
209,72
5.400,97
27,9
16,3
Repelita
IV
1988/89
Ditinjau dari besarnya pengeluaran rutin per daerah tingkat I, pada umumnya daerahdaerah tingkat I yang berpenduduk banyak mempunyai pengeluaran rutin yang tinggi, seperti
terlihat pada daerah-daerah tingkat I Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta,
yang dalam tahun anggaran 1993/94 masing-masing menunjukkan pengeluatan rutin sebesar Rp
927,1 miliar, Rp 885,6 miliar, Rp 882,1 miliar, dan Rp 818,2 miliar. Sebaliknya di daerah tingkat
I yang mempunyai jumlah penduduk sedikit, seperti di Timor Timur, jumlah pengeluaran
rutinnya juga relatif rendah, yaitu sebesar Rp 21 miliar.
Sementara itu ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama kurun waktu
1988/89-1993/94, pengeluaran rutin di DKI Jakarta mengalami laju pertumbuhan tertinggi, yaitu
sebesar 25,4 persen. Tingginya laju pertumbuhan rata-rata per tahun pengeluaran rutin di DKI
Jakarta dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, yang terutama disebabkan oleh arus
urbanisasi yang sangat tinggi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan rata-rata yang negatif terjadi di
daerah-daerah tingkat I Lampung, Sulawesi Utara, dan Bali. Hal ini, antara lain disebabkan
karena di daerah-daerah tersebut sejak tahun anggaran 1993/94 pembayaran gaji untuk guru SD
tidak lagi diadministrasikan di daerah tingkat I melainkan di daerah tingkat II yang bersangkutan.
Adapun gambaran mengenai pengeluaran rutin masing-masing daerah tingkat I secara rinci dapat
dilihat pada Tabel V.23.
Departemen Keuangan RI
388
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 23
PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalam miliar rupiah)
Repelita
Repelita V
Pertumhuhan
No. Propinsi
Rata-rata
IV
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
Repelita V
I.
DI Aceh
58,41
69,44
80,1
93,07
112,3
138,25
18,8
2.
Sumatera Utara
181,78
208,67
240,41
255,56
298,95
365,07
15
3.
Sumatera Barat
28,4
32,25
35,47
42,6
47,89
56,57
14,8
4.
Ria u
29,7
38,42
48,86
53,25
66,86
77,04
21
5.
Jambi
12,22
13,62
15,28
16,83
19,93
26,95
17,1
6.
Sumatera Selatan
39,39
41,46
53,69
60,71
65
79,76
15,2
7.
Bengkulu
12,41
13,77
16,11
17,76
19,87
22,81
12,9
8.
Lampung
78,08
93,6
106,87
119,92
145,76
56,74
-6,2
9.
DKI Jakarta
263,94
331,63
445.30
593,38
715,81
818,23
25,4
10. Jawa Barat
401,6
460,04
510,65
592,09
713,66
882,08
17
II. Jawa Tengah
398,49
455,85
494,77
565,03
711,74
885,57
17,3
12. DI Yogyakarta
67,67
71,62
79,23
100,15
111,41
139,25
15,5
13. Jawa Timur
456,59
512,4
567,59
654,75
799,99
927,13
15,2
14. Kalimantan Barat
55,19
67,64
73,99
85,08
104,7
132,94
19,2
15. Kalimantan Tengah
35,01
41,45
47,11
56,17
67,55
87,33
20,1
16. Kalimantan Se1atan
59,43
71,79
80,29
91,96
115,54
149,98
20,3
17. Kalimantan Timur
47,67
56,37
64,47
81,1
I 00,64
79,63
10,8
18. Sulawesi Utara
69,76
81,69
88,1
97,27
121,13
42,42
-9,5
19. Sulawesi Tengah
38,44
47,13
53,25
62,67
77,2
98,04
20,6
20. SulaweSi Selatan
33,23
36,61
42,58
49,Z6
56,85
66,94
15
21. Sulawesi Tenggara
11,38
10,16
14,5
15,88
17,46
22,27
14,4
22. B al i
65,67
75,85
84,12
40,7
49,25
51,17
-4,9
23. Nusa Tenggara Barat
13,56
15,24
16,9
19,46
23,27
27,95
15,6
24. Nusa Tenggara Timur
16,34
18,69
20,83
24,61
25,99
29,83
12,8
25. Maluku
12,52
14,41
17,19
20,04
22,53
28,45
17,8
26. Irian Jaya
41,76
45,05
50,36
56,11
62,3
87,58
16
27. Timor Timur
11,5
12,03
13,11
14,2
16,91
20,96
12,8
Jumlah
2.540,14
2.936,91
3.361,15
3.879,60
4.670,48
5.400,97
16,3
Pengeluaran rutin merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka kelancaran
jalannya pelaksanaan roda pemerintahan di daerah. Sumber dana terbesar untuk pembiayaan
kegiatan rutin tersebut adalah berasal dari SDO. Bila keseluruhan SDO dibandingkan dengan
keseluruhan pengeluaran rutin, akan terlihat besarnya peranan SDO dalam menunjang kegiatan
rutin pemerintah daerah tingkat I. Tabel V.24 dan Grafik V.6 memperlihatkan persentase SDO
yang cukup tinggi dalam komponen pengeluaran rutin seluruh daerah tingkat I, yaitu dalam tahun
anggaran 1988/89 menunjukkan angka sebesar 80,4 persen, dan dalam tahun anggaran 1993/94
sebesar 72,6 persen. Tingginya angka persentase tersebut karena sebagian besar dana SDO adalah
berupa belanja pegawai, sementara belanja pegawai merupakan komponen belanja yang terbesar
dalam keseluruhan pengeluaran rutin daerah tingkat I. Di beberapa daerah tingkat I seperti
Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Tengah, dan Propinsi Jawa Barat, persentase SDO dalam
tahun anggaran 1993/94 relatif tinggi terhadap pengeluaran rutin, yaitu masing-masing sebesar
Departemen Keuangan RI
389
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
89,1 persen, 89 persen, dan 88,1 persen, sedang di DKI Jakarta, Propinsi Kalimantan Timur, dan
Propinsi Riau peranan SDO relatif rendah, yaitu masing-masing sebesar 28,8 persen, 28,4 persen,
dan 27,2 persen.
5.3.5. Pengeluaran pembangunan daerah
Upaya pemerintah daerah untuk memenuhi tersedianya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan masyarakat dilakukan melalui rehabilitasi sarana dan prasarana yang sudah ada serta
pembangunan sarana dan prasarana yang baru, yang pembiayaannya ditampung dalam
pengeluaran pembangunan daerah. Dengan semakin luasnya jangkauan dan ruang lingkup
pembangunan di daerah-daerah, maka pengeluaran pembangunan juga mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Jika dalam tahun anggaran 1988/89 pengeluaran pembangunan seluruh
daerah tingkat I masih berjumlah Rp 811,2 miliar, maka dalam tahun anggaran 1993/94
jumlahnya telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.413 miliar, yang berarti mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 24,4 persen per tahun.
Ditinjau dari pengeluaran pembangunan per sektor, sebagaimana halnya yang terjadi
dalam tahun sebelumnya, dalam tahun anggaran 1993/94 sektor perhubungan dan pariwisata
masih tetap merupakan sektor yang paling dominan, yaitu meliputi sebesar Rp 766,4 miliar.
Sangat dominannya sektor ini karena sebagian besar dananya digunakan untuk membiayai
subsektor perhubungan yang merupakan subsektor yang sangat vital bagi kegiatan ekonomi di
daerah maupun antar daerah. Sedang subsektor pariwisata merupakan subsektor yang makin
mendapat perhatian dalam rangka meningkatkan daya tarik pariwisata Indonesia, terutama bagi
wisatawan mancanegara, dengan sasaran akhir masuknya devisa dalam jumlah yang semakin
besar.
Sektor berikutnya yang memperoleh alokasi cukup besar dalam pengeluaran pembangunan
adalah sektor aparatur pemerintah, yang dalam tahun anggaran 1993/94 menunjukkan angka
sebesar Rp 318,8 miliar. Besarnya pengeluaran sektor aparatur pemerintah ini adalah sejalan
dengan upaya peningkatan sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya, selaras
dengan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi daerah di masa depan. Sektor ketiga
yang juga cukup dominan adalah sektor pertanian dan pengairan yang berjumlah sebesar Rp
235,7 miliar. Sektor pertanian dan pengairan mempunyai posisi yang strategis karena sektor
Departemen Keuangan RI
390
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ini menjadi landasan bagi pemantapan swasembada pangan dan peningkatan produksi hasil-hasil
pertanian lainnya. Gambaran mengenai pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per sektor
secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.25.
Tabel V. 24
PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP
DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94
No.
Repelita IV
Repelita V
1988/89
1993/94
Propinsi
-1
-2
-3
-4
I.
DI Aceh
82,3
76,1
2.
Sumatera Utara
84,7
87,1
3.
Sumatera Barat
62,2
47.9
4.
Ri au
36,8
27,2
5.
J ambi
64,4
52,2
6.
Sumatera Selatan
56,7
42
7.
Bengkulu
70,5
64,6
8.
Lampung
85,2
56,8
9.
OKI Jakarta
44,9
28,8
10. Jawa Barat
91
88,1
II.
Jawa Tengah
92,2
89
12. DI Yogyakarta
87,4
84
13. Jawa Timur
85,6
89,1
14. Kalimantan Barat
86,9
85,3
15. Kalimantan Teng
81,9
77,3
16. Kalimantan Selatan
87
80,6
17. Kalimantan Timur
66,1
28,4
18. Sulawesi Utara
86,6
51,2
19. Sulawesi Tengah
91
87,7
20. Sulawesi Selatan
64,8
52,4
21. Sulawesi Tenggara
74,5
66,8
22. B al i
80,1
37
23. Nusa Tenggara Barat
72
60
24. Nusa Tenggara Timur
64
56
25. Maluku
70,5
53,2
26. Irian Jaya
68,8
53,3
27. Timor Timur
83,4
74,1
Indonesia
80,4
72,6
Departemen Keuangan RI
391
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 25
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER SEKTOR, 1988/89 - 1993/94
(dalam miliar rupiah)
No. Sektor
-1
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
-2
Sektor pertanian dan pengairan
Sektor industri
Sektor pertambangan dan energi
Sektor perhubungan don pariwisata
Sektor perdagangan don koperasi
Sektor tenaga kerja don pemukiman kembali
Sektor pembangunan daerah
Sektor agama
Sektor pendidikan, generasi modo,
kebudayaan nasional dan kepereayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial,
peranan wanita, kependudukan don
keluarga berencana.
Sektor perumahan rakyat dan pemukiman
Sektor hokum
Sektor keamanan dan ketertiban
Sektor penerangan, pets dan komunikasi sosial
Sektor pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan penelitian
Sektor aparatur pemerintah
Sektor pengembangan dunia usaha
Sektor sumber alam dan lingkungan hidup
Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan
Pembayaran kembali pinjarnan
Jumlah
Repelita IV
1988/89
1989/90
1992/93
1993/94
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V (%)
-3
99,11
3,99
7,02
172,37
4,57
(92
116,7
14,93
-4
125,13
5,6
8,07
293,46
3,2
5,97
78,3
18,48
-5
155,61
7,32
11,39
502,8
4,97
9,96
89,91
21,4
-6
192,04
12,26
15,94
662,92
9,12
13,48
117,15
34,39
-7
212,27
11,58
18,06
688,53
10,07
14,65
131,91
37.82
-8
235,67
13,09
20,52
766,35
11,69
15,43
143,97
49,11
-9
18,9
26,8
23,9
34,8
20,7
25,7
4,3
26,9
79,22
85,44
99,74
121,53
143,88
168,38
16,3
39,74
27,81
1,66
10,78
4,65
45,8
28,61
2,4
16,07
7,37
54,58
39,69
3,35
20,84
12,35
71,37
51,84
4,53
38,67
14,35
91,51
65,38
4,76
33,2
13,89
115,55
62,2
5,59
34,99
13,8
23,8
17,5
27,5
26,6
24,3
12,46
136,77
25,57
20,07
28,64
0,25
811,19
15,11
152,63
37,69
26,05
72,59
0,62
1.028,57
21,73
227,18
35,41
36,7
142,92
0,17
1.498,02
26,38
301,57
66,5
46,02
211,14
0,17
2.011,33
32,79
324,89
78,11
51,09
237,47
0
2.201,84
40,32
318,84
81,97
69,33
246,05
0,17
2,413,01
26,5
18,4
26,2
28,1
53,8
-7,9
24,4
Repelita V
1990/91
1991/92
Di antara pengeluaran pembangunan daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1993/94,
jumlah pengeluaran pembangunan DKI Jakarta adalah yang terbesar, yaitu sebesar Rp 585 miliar.
Jumlah pengeluaran pembangunan di DKI Jakarta ini bahkan masih lebih besar daripada jumlah
gabungan pengeluaran pembangunan dari propinsi-propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Riau, dan
Jawa Tengah, yaitu sebesar Rp 571,7 miliar. Jumlah penduduk yang besar dan padat, di samping
kedudukannya sebagai ibukota negara, menyebabkan pengeluaran pembangunan DKI Jakarta
jumlahnya sangat tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pengeluaran tersebut digunakan
untuk rehabilitasi atas sarana dan prasarana yang sudah ada, maupun untuk pembangunan sarana
dan prasarana lain. Ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan rata-rata per tahun per daerah tingkat
I selama periode 1988/89-1993/94, terdapat dua daerah tingkat I yang mempunyai pertumbuhan
tertinggi, yaitu daerah-daerah tingkat I Riau dan Irian Jaya, masing-masing sebesar 44,6 persen
dan 40,8 persen per tahun. Sementara laju pertumbuhan rata-rata terendah terjadi di daerahdaerah tingkat I Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, masing-masing sebesar 14,2 persen dan 12,6
persen per tahun. Gambaran mengenai perkembangan pengeluaran pembangunan dari masingmasing daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.26.
Departemen Keuangan RI
392
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
No.
-1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Tabel V.26
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94
(dalam miliar rupiah)
Repelita
Repelita V
Pertumbuha
Rata-rata
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94 Repelita V
Propinsi
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
DI Aceh
18,93
26,89
30
48,27
50,1
51,91
22,4
Sumatera Utara
44,62
58,48
68,5
81,33
84,18
93,51
16
Sumatera Barat
14,62
17,48
27,78
32,07
34,2
38,65
21,5
Riau
19,54
35,24
59,81
83,28
116,59
123,38
44,6
Jambi
15,79
20,42
27,62
40,43
46,05
51,89
26,9
Sumatera Selatan
19,32
31,05
52,38
65,85
68,98
84,77
34,4.
Bengkulu
13,09
13,23
21,77
29,6
34,07
36,88
23
Lampung
15,68
24,66
36,47
40,31
39,67
41,24
21,3
OKI Jakarta
202,97
272,11
338,7
458,02
516,23
584,96
23,6
Jawa Barat
64,78
69,4
102,21
166,92
181,06
152,8
18,7
Jawa Tengah
58,41
60,43
86,01
112,44
98,44
113,23
14,2
DI Yogyakarta
18,48
15,49
27,64
28,13
30,17
33,52
12,6
Jawa Timur
79,86
86,09
117,39
155,19
166,17
182,29
17,9
Kalimantan Barat
18,56
20,93
34,26
50,8
55,37
58,37
25,8
Kalimantan Tengah
17,51
24,62
37,14
47,2
65,94
81,55
36
Kalimantan Selatan
15,8
16,9
29,27
32,8
41,35
50,45
26,1
Kalimantan Timur
20,2
27,9
53,64
72,54
78,98
83,29
32,8
Sulawesi Utara
19,05
24,94
33,36
43,87
48,26
48,46
20,5
Sulawesi Tengah
15,32
19,14
37,33
43,16
48,54
57,18
30,1
Sulawesi Selatan
18,62.
29,27
46,53
68,69
65,16
67,22
29,3
Sulawesi Tenggara
12,64
14,66
23,21
33,45
33,74
48,52
30,9
Bali
20,4
25,74
40,86
58,6
39,32
41,25
15,1
.Nusa Tenggara Barat
12,59
15,16
26,23
39,62
39,23
42,87
27,8
Nusa Tenggara Timur
11,9
18,18
27,42
40,17
50,6
54,54
35,6
Maluku
15,02
22,09
36,28
50,8
56,99
62,7
33,1
Irian Jaya
15,15
22,14
53,16
60,38
73,9
83,72
40,8
Timor Timur
12,37
15,95
23,07
27,41
38,57
43,84
28,8
Jumlah
811,19
1.028,57
1.498,02
2.011,33
2.201,84
2.413,01
24,4
Apabila pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan total pengeluaran dari masingmasing daerah tingkat I, maka akan terlihat gambaran sebagaimana tampak dalam Tabel V.27.
Dalam tahun anggaran 1988/89 terdapat 5 daerah tingkat I yang mempunyai persentase di atas 50
persen, yaitu daerah-daerah tingkat I Jambi, Maluku, Sulawesi Tenggara, Timor Timur, dan
Bengkulu, masing-masing sebesar 56,4 persen, 54,5 persen, 52,6 persen, 51,8 persen, dan 51,3
persen. Sedang dalam tahun anggaran 1993/94 persentase tertinggi terjadi di daerah-daerah
tingkat I Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Timor Timur, masing-masing sebesar 68,8 persen,
68,5 persen, dan 67,7 persen. Peningkatan jumlah pengeluaran pembangunan yang relatif besar di
daerah-daerah tersebut erat kaitannya dengan upaya untuk semakin menyebarkan dan
memeratakan pelaksanaan pembangunan ke berbagai daerah.
Departemen Keuangan RI
393
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 27
PERSENTASEPENGELUARANPEMBANGUNANTERHADAPTOTAL
PENGELUARAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 DAN
No.
Propinsi
-1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
S.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
IS.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
-2
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
J ambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
OKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Repelita
1988/89
-3
24,5
19,7
34
39,7
56,4
32,9
51,3
16,7
43,5
13,9
12,S
21,5
14.9
25,2
33,3
21
29,S
21,4
2S,5
35,9
52,6
23,7
4S,1
42,1
54,5
26,6
51,S
24,2
Repelita V
1993/94
-4
27,3
20,4
40,6
61,6
65,S
51,5
61,S
42,1
41,7
14,S
11,3
19,4
16,4
30,5
4S,3
25,2
51,1
53,3
36,S
50,1
6S,5
44,6
60,5
64,6
6S,S
4S,9
67,7
30,9
5.4. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat II
5.4.1. Penerimaan daerah sendiri
Sama halnya dengan PDS tingkat I, maka PDS tingkat II adalah penjumlahan PAD dan
penerimaan PBB yang menjadi porsi daerah tingkat II. Peningkatan PDS memiliki arti yang
sangat strategis, baik bagi kepentingan daerah tingkat II maupun kepentingan nasional,
khususnya dalam upaya meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pemerintahan daerah dan
pembangunan di daerah. Atas dasar pertimbangan tersebut, kemampuan keuangan daerah tingkat
II terus ditingkatkan, baik melalui penggalian PAD maupun penggalian PBB. Dalam pada itu,
diserahkannya kepada daerah tingkat II bagian PBB yang sebesar 10 persen yang selama ini
Departemen Keuangan RI
394
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
merupakan porsi penerimaan pusat sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83
Tahun 1994, diharapkan pula dapat semakin mendorong upaya perbaikan dalam pengelolaan
PDS.
Selama periode 1988/89-1992/93, realisasi PDS tingkat II mengalami peningkatan dari
sebesar Rp 619,6 miliar menjadi sebesar Rp 1.453,3 miliar dengan laju pertumbuhan rata-rata
sebesar 23,8 persen setiap tahunnya. Peningkatan tersebut terjadi, baik pada PAD maupun PBB
tingkat II, dalam jumlah yang cukup berarti, yaitu pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar
18,9 persen dan 31,6 persen per tahun. Perkembangan PDS tingkat II dan proporsinya terhadap
PDB tanpa migas secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.28.
Tabel V. 28
PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKA T II DAN PROPORSINY A
TERHADAJ" PRODUK DOSTIK BRUTO TJ,'ANPA MIGAS,
1988/89 -1992193
.
(dalam iniIiar rupiah)
Uraian
-1
-2
I. PDS tingkat II
- PADtingkatlI
- PBB tingkat II
2. Penerimaan APBD tingkat II
3. PDB *)
4. Persentase PDS tingkat II terbadap
penerimaan APBD tingkat II (I : 2)
- Persentase PAD tingkallI terhadap
penerimaan APBD
- Persentase PBB tingkat II terhadap
penerimaan APBD
5. Persentase PDS tingkat II terbadap
PDB (I: 3)
- Persentase PAD tingkat II terhadap
PDB
Repe1ita IV
1988/89
1989190
. 1990/91
-3
619,59
403.93
215,66
2.568,02
121.606,00
-4
839,68
477,92
361,76
3.013,92
142.454,70
-5
1.040,44
591.80
448,64
4.304,73
166.518,40**)
24,13
27,86
24,17
23,20
21,96
15,73
15,86
13,75
12,94
12,19
8,40
12,00
10,42
10,26
9,77
0,51
0,59
0,62
0,66
0,64
0,33
0,34
0,36
0,37
0,35
Repe1ita V
1991/92
1992/93
-6
-7
1.264,55
1.453,30
705,28
806,75
559,27
646,55
5.451,35
6.617.27
192.803,1(;*) 227.795,50 **)
: *) Dalam tahun takwin, dan atas dasar harga yang baru
Keterangan
**) Angka diperbaiki -
Meningkatnya realisasi PAD dan PBB tidak saja berdampak positif dalam upaya
meningkatkan PDS tingkat II secara nominal, tetapi juga meningkatkan rasio PDS tingkat II
terhadap produk domestik regional bruto tanpa migas. PDS dalam tahun anggaran 1988/89 adalah
sebesar Rp 619,6 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp
1.453,3 miliar. Dalam pada itu PDRB tanpa migas tidak termasuk DKI Jakarta dalam tahun 1988
adalah sebesar Rp 101.715,8 miliar dan dalam tahun 1992 telah meningkat menjadi Rp 182.933,9
miliar. Dengan demikian, persentase PDS tingkat II terhadap PDRB tanpa migas telah meningkat
Departemen Keuangan RI
395
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dari 0,6 persen menjadi 0,8 persen. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel V.29.
No.
Propinsi
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8-.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengku1u
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
,Kalimantan Tengab
Kaliamantan Selatan
Kalimantan Timur
S;;Iawesi Vlara
Sulawesi Tengab
Sulawesi Se1atan
Sulawesi tenggara
Bali
Nusa Tenggara Bahal
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Tabel V.29
PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT II DAN PROPORSINY A TERHADAP
PDRB TANPA MIGAS') PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992/93
(dalam miliar rupiah)
PDS
1988189
1992193
PAD
PBB
Jumlah
PBB
Jumlah
1988 ")
PAD
5,59
30,17
12,6
5,91
3,3
9,98
2,48
9,14
81,17
75,65
7.78
73,93
6,36
2,23
6,44
9,59
8,1
2,79
16,91
1,64
14,36
4,94
6,39
3,47
2,85
0,59
403,93
16,79
23,52
2,48
3,48
3,61
14,88
0,48
5,56
31,99
18,62 2,5
32,35
2,79
3,12
7,62
18,22
1,71
1,54
8,47
0,96
3,12
1,77
1,54
4,69
3,78
0,08
215,66
22,38
53,69
14,63
9,4
6,91
24,87
2,95
14,7
113,15
94,27
10,28
106,28
9,15
5,34
14,07
27,8
9,81
4,32
25,38
2,6
17,47
6,71
7,93
8,16
6,63
0,67
619,58
11
54,3
21,29
9,26
6,3
21,94
3,62
12,31
188,5
136,Q9
16,13
145,83
11.24
4,28
11,92
26,54
11,94
5,09
31.55
3,7
35,19
12,73
10,62
5,85
8,02
1,52 806,75
38,95
45,4
11,18
14,06
13,69
54,32
2,64
13,17
78,47
38.48
4,13
69,44
11,41
34,52
29,48
79,75
5,82
5,82
23,59
3,31
8,12
4,79
9,27
13,44
31,55
1,75
646,55
PDRB
PDSlPDRB(%)
1992
1988189
1992193
49,95
2.292.91
3.984,72
99,7
7.670,77 13.826,46
32,47
2.561,24
4.276,21
23,31
1.991,17
3.769,48
19,99
977,82
1.737,37
76,26
4.859,06
7.610,59
6,26
633,59
1.100,53
25,48
2.539,99
4.351,20
266,96 20.618,45 37.772,40
174,58 14.799,72 26.809,72
20,26
1,486,98
2.500,87
215,27 20.907,81 38.537,73
22,65
2.092,58
3.702,54
38,79
1.057,20
1.951,43
41.40
1.704,10
3.116,34
106,29
3.058,00
5.298,15
17,76
1.140,79
1.963.00
10,91
723,44
1.267,62
55,14
3.580,66
6.071,25
7,01
629,52
1.063,91
43,32
2.197,82
3.975,31
17,52
950,08
1.870,42
19,8
938,12
1.638,97
19,29
1.119,52
1.923,19
39,57
984,38
2.814,49
3,27
200,09
386,36
1.453,30 101.715,78 182,933,88
1
0,7
0,6
0,5
0,7
0,5
0,5
0,6
0,5
0,6
0,7
0,5
0,4
0,5
0,8
0,9
0,9
0,6
0,7
0,4
0,8
0,7
0,8
0,7
0,7
0,3
0,6
1,3
0,7
0,8
0,6
1,2
1
0,6
0,6
0,7
0,7
0,8
0,6
0,6
2
1,3
2
0,9
0,9
0,9
0,7
1,1
0,9
1,2
1
1,4
0,8
0,8
Keterangan:*) PDRB atas dasar harga yang berlaku.
**) angak diperbaiki diperbaiki
5.4.1.1. Pendapatan asli daerah
Pendapatan asli daerah (PAD) tingkat II terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian
laba perusahaan daerah, penerimaan dari dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Berdasarkan data
realisasi perhitungan APBD tingkat II setiap tahunnya, realisasi PAD tingkat II menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi penerimaan
PAD tingkat II secara nasional mencapai sebesar Rp 806,7 miliar. Dibandingkan dengan realisasi
PAD tingkat II dalam tahun anggaran 1988/89sebesar Rp 403,9 miliar, PAD tingkat II mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 18,9 persen. Dalam tahun anggaran 1992/93 peranan
PAD tingkat II terhadap PDS adalah sebesar 55,5 persen.
Realisasi PAD tingkat II antar propinsi setiap tahunnya bervariasi. Hal ini antara lain
disebabkan potensi pungutan PAD dan jumlah Dati II yang berbeda di masing-masing daerah
tingkat I. Berdasarkan realisasi PAD tahun anggaran 1992/93, beberapa propinsi yang memiliki
PAD tingkat II terbesar adalah propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah,
masing-masing sebesar Rp 188,5 miliar, Rp 145,8 miliar, dan Rp 136,1 miliar, sehingga apabila
Departemen Keuangan RI
396
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ketiganya dijumlahkan menghasilkan PAD sebesar Rp,470,4 miliar, atau 58,3 persen dari seluruh
PAD tingkat II. Sedangkan propinsi-propinsi yang memiliki PAD tingkat II terkecil adalah
propinsi-propinsi Timor Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara, masing-masing sebesar Rp
1,5 miliar, Rp 3,6 miliar, dan Rp 3,7 miliar. Ketiga propinsi tersebut secara bersama-sama
menghasilkan PAD sebesar Rp 8,8 miliar, atau hanya 1,1 persen dari seluruh PAD tingkat I.
Apabila dilihat angka pertumbuhan rata-rata PAD tingkat II masing-masing propinsi per
tahun dalam kurun waktu 1988/89-1992/93, maka daerah tingkat II di propinsi-propinsi Irian
Jaya, Kalimantan Timur, dan Timor Timur mengalami laju pertumbuhan tercepat, yakni masing-masing sebesar 29,6 persen, 29 persen, dan 26,9 persen. Sedangkan angka pertumbuhan terkecil
dialami oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Larnpung, Bengkulu, dan Sulawesi Utara,
masing-masing dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 7,7 persen, 9,9 persen,
dan 10,2 persen. Perkembangan realisasi PAD tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel
V.30.
Tabel V. 30
PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 -1992/93
(dalamjuta rupiah)
No. Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Repelita IV
1988/89
Keseluruhan
Rata2
Dl Aceb
Sumaler> U""a
Sumalera Barat
Riau
Jambi
Sumalera Solatan
Bengkulu
Lampung
lawa Bara'
lawa Teu8ab
Dl YO8yakarta
lawa Timor
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengab
Kalmantan Selatan
Kalimantan Timor
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengab
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengg...
Bali
Nusa Tengsara Baral
Nusa Tengsara Timor
Maluku
I,ianlaya
Timor Timur
Jumlah
Rata-rata
5.594,41
30.174,04
12.157,97
5.910,72
3.301,85
9.981,39
2.475,38
9.144,68
81.168,03
75.649,96
7.784,18
73.927,61
6.364,26
2.228,80
6.444,75
9.588,64
8.101,33
2.786,70
16.911,07
1.642,94
14.356,35
4.939,77
6.391,75
3.466,06
2.846,64
586,45
403.925,73
-
559,44
1.774,94
868,43
985,12
550,31
998,14
618,85
2.286,17
3.382,00
2.161,43
1.556,84
1.998,04
909,18
371,47
644,48
1.598,11
1.350,22
696,68
735,26
410,74
1.794,54
823,3
532,65
866,52
316,29
45,11
1.392,SS
1989/90
Rata2 Keseluruhan
1990/91
Rata2 Keseluruhan
1991/92
Rata2 Keseluruhan
1992/93
Rata2
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V
(%)
612,3
1.928,82
1.017,45
1.102,95
611,94
1.125,45
720,62
2.331,78
4.153,27
2.553,88
1.867,27
2.324,67
1.155,75
405,18
682,21
2.036,69
1.247,63
822,7
937,84
502,54
2.412,82
1.057,13
657,02
772,42
360,39
60,99
1,636,71
787,91
2.378,80
1.110,66
1.224,84
762,92
1.437,27
884,45
2.838,11
5.460.52
3.090,78
2.147.52
2.999,01
1.415,40
443,97
760,77
2.713,00
1.432,01
1.059,44
1.039,38
750.59
3.080,86
1.296,27
683,85
1.021,97
584,38
75,35
2.039,71
872.97
2.710,08
1.276.50
1.317.57
1.018,17
1.934,39
936.51
2.781,19
6.665,68
3.418,79
2.803,36
3.486,48
1.476,36
1.032,15
865,98
3.773,64
1.600,74
1.357,35
1.251,01
899,61
3.878,57
1.703,99
842,65
1.092,25
756,78
96,67
2.415,34
1.099,97
3.194,14
1520,71
1.542.56
1.049,95
2.194,48
904,3
2.462,82
7.853,97
3.888,36
3.225,72
3.914,48
1.605,85
712,95
1.191,82
4.423,22
1.705.51
1.271,48
1.371.55
925,65
4.399,15
2.121,81
884,73
1.169,04
891,1
116,92
2.753,40
18,4
15,8
15
11,9
17.5
21,8
9,9
7,7
23,4
15,8
20
18.5
15,3
17,7
16,6
29
10,2
16,2
16,9
22.5
25,1
26,7
13,5
14
29,6
26,9
18,9
-
Repelita V
Keseluruhan
6.123,03
32.789,96
14.244,31
6.617,72
3.671,62
11.254,45
2.882,49
9.327,12
99.678,41
89.385,77
9.336,34
86.012,93
8.090,26
2.431,06
6.822,09
12.220,14
8.733,38
3.290,82
21.570,29
2.010,16
19.302,52
6.342,79
7.884,29
3.862,10
3.243,47
792,86
477.920,40
-
7.879,11
40.439,60
15.549,25
7.349,05
4.577.52
14.372,71
3.537,81
11.352,45
131.052,48
108.177,13
10.737.58
110.963,45
9.907,83
2.663,83
7.607,71
16.277,98
10.024,10
4.237,77
23.905,74
3.002,34
24.646,87
7.777,63
8.206,18
5.109,84
5.259,41
979,57
595.594,93
-
8.729,68
46.071,43
17.870,96
7.905,42
6.109,00
19.343,90
3.746,04
11.124,77
159.976,20
119.657,63
14.016,82
128.999,83
10.334,52
6.192,89
8.659,77
22.641,82
11.205,20
5.429,40
28.773,19
3.598,44
31.028,55
10.223,92
10.111,84
5.461,26
6.811,04
1.256,73
705.280,25
-
10.999,71
54.300,35
21.290,00
9.255,34
6.299,17
21.944,79
3.617,22
12,314,10
188.495,32
136.092,44
16.128,59
145,834,67
11.240,95
4.277,68
11.918,20
26.539,34
11.938.57
5.085,93
31.545,54
3.702,61
35.193,17
12.730,83
10.616,70
5.845,18
8.019,87
1.519,93
806.746,74
-
Ditinjau dan komposisi PAD tingkat II, retribusi daerah merupakan pos penerimaan
terbesar. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi retribusi daerah tingkat II mencapai sebesar Rp
446,2 miliar. Pos ini menyumbang sebesar 55,3 persen dari total PAD tingkat II sebesar Rp 806,8
Departemen Keuangan RI
397
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar, dan sebesar 30,7 persen dari total PDS tingkat II sebesar Rp 1.453,3 miliar. Sedangkan
pos pendapatan kedua terbesar adalah pajak daerah, yaitu sebesar Rp 222,4 miliar atau 27,6
persen dari total PAD tingkat II, dan 15,3 persen dari total PDS tingkat II. Komposisi masingmasing pos pendapatan dalam PAD tingkat II dapat dilihat dalam Tabel V.31.
Tabel V. 31
KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT
SELURUH INDONESIA, 1988/89 DAN 1992/93
Repelita IV
Repelita V
No. Komponen PAD
1988/89
1992/93
(Rp miliar) (%)
(Rp miliar) (%)
1.
2.
3.
4.
5.
Pajak
Retribusi
Penerimaan laba BUMD
Penerimaan dinas-dinas
Penerimaan lain-lain
Jumlah
107,44
222,44
11,92
23,02
39,1
403,93
26,6
55,07
2,95
5,7
9,68
100
222,39
446,22
23,55
30,52
84,07
806,75
27,57
55,31
2,92
3,78
10,42
100;00
5.4.1.1.1. Pajak daerah
Bagi daerah tingkat II pajak daerah merupakan pos pendapatan kedua terbesar dalam PAD
setelah retribusi daerah. Hingga saat ini, dari sekitar 37 jenis pajak yang dikenakan di daerah
tingkat II, terdapat 7 jenis pajak yang tetap menjadi andalan Pemda tingkat II, yakni pajak
pembangunan I (PP I), pajak penerangan jalan, pajak pertunjukan dan keramaian umum, pajak
reklame, pajak pendaftaran perusahaan, pajak potong hewan, dan pajak bangsa asing.
Sama halnya dengan pajak daerah tingkat I, dasar pemungutan pajak daerah tingkat II
antara lain adalah Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara, kepada
Daerah, dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Untuk lebih meningkatkan penerimaan pajak daerah tingkat II dan sekaligus untuk
mengembangkan pariwisata di daerah, dengan Inpres Nomor 6 Tahun 1993 tentang Pemungutan
Pajak Pembangunan I dan Retribusi Izin Membangun Hotel di Daerah Tujuan Wisata, telah
dipulihkan kembali besarnya tarif PP I dari 5 persen menjadi 10 persen.
Dalam tahun anggaran 1992/93, realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II adalah
sebesar Rp 222,4 miliar. Dibandingkan dengan realisasi tahun anggaran 1988/89 yang sebesar Rp
107,4 miliar, berarti penerimaan pajak daerah tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per
Departemen Keuangan RI
398
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tahun sekitar 19,9 persen. Dalam kurun waktu yang sama pertumbuhan rata-rata tertinggi dialami
oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, dan Irian Jaya,
masing-masing sebesar 55,4 persen, 32,9 persen, dan 30,4 persen. Sedangkan pertumbuhan ratarata terendah dialami oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, dan Bengkulu, masing-masing sebesar 6,1 persen, 6,4 persen, dan 8,1 persen.
Dilihat dari perkembangan realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II per propinsi, maka
daerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menyumbang
pajak daerah tingkat II terbesar dalam tahun anggaran 1992/93, masing-masing sebesar Rp 43,1
miliar, Rp 34,3 miliar, dan Rp 30,7 miliar. Jumlah keseluruhan pajak daerah tingkat II di ketiga
propinsi tersebut adalah sebesar Rp 108,1 miliar, atau merupakan 48,6 persen dari total pajak
daerah tingkat II tahun anggaran 1992/93. Apabila ditelaah lebih lanjut berdasarkan rata-rata per
daerah tingkat II di masing-masing propinsi, maka propinsi-propinsi Bali, Jawa Barat, dan
Kalimantan Timur memiliki rata-rata penerimaan pajak daerah tingkat II tertinggi dalam tahun
anggaran 1992/93, yaitu masing-masing sebesar Rp 3,2 miliar, Rp 1,8 miliar, dan Rp 1,6 miliar.
Perkembangan realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel
V.32.
Tabel V. 32
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 .1992193
(dalamjuta rupIah)
Repelita IV
No.
(I)
I.
2
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
IS.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Propinsi
-2
Dl Aceh
Sumalera Uwa
Sumalera Baral
Rlau
Iamb!
Sumalera Selatan
Bengkulu
Lompung
Jaw. Baral
Jawa Ten8ab
Dl Yogyaltaru
Jaw. TImor
Kalimantan Baral
Kalimantan Tengab
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timor
Sulawesi Uwa
Sulawe,! Tengab
Sulawesi 5olatan
Sulawesi Tenggara
Ball
Nusa Tenggara Baral
NUl. Tenggara TImor
Maluku
lrianlaya
Timor T'unur
Jumlah
Rata-rata..
Repelita V
1988/89
Keseluruhan
rata-rata
Keseluruhan
1989/90
rata-rata
Keseluruhan
1990/91
rata-rata
Keseluruhan
-3
U57.1IO
9.131,31
2.266,04
1.621,26
597.82
2.821,56
617.28
2.370.99
19.919.92
Ig.400;11
2.649.13
14.754,14
2.483.10
g15,63
2.141.75
5.036.43
2.442t14
870&2
4.072;5-3:,
299,"';.'"
10.087,07
352,65
415.85
920,83
651,09
147,38
107.443.76
-
-4
155,76
537,14
161.86
270,21
99.64
282,16
154,32
592,75
830
525,72
529,83
398.76
354,73
135,94
214,18
839.41
407,07
217.71
m.in
74;76
1.260,88
58,78
34,65
230.21
72.34
11.34
370,5
()
1.831.48
12.338,01
3.452,67
2.068,71
980,02
3.126,10
669,34
2.769,37
23.462.01
21.703,99
3.204,21
17.163.53
3.252,80
825.71
2.678,76
6,.173,66
2.380,87
988,19,
4.500.52
308,89
13.244,70
636,2
607,11
998,38
794,37
232.92
130.392,51
-
(6)'
183,15
725,77
246,62
344,78
163,34
312,61
167,34
692,34
977.58
620,11
640.84
463.8g
464,69
137,62
267,88
1.028,94
340,12
247,05
195,67
77,22
1.655.59
10M3
50.59
199,68
88,26
17,92
446,5
-7
2,082,89
15.450,08
4.143.39
2:M4;tJ!
1p;,32
1.898.91
720,D7
3.082,39
30.011.13
25.006,71
4.006,17
21.578.97
3,249,47
1.033,71
2.963,18
6.582,69
2.796.79
1.111O.i14.
5.261;79'
451.50
16.350,12
1.074,62
678,65
1.193.38
1.483.38
255,62
158.566,16
-
(I)
208,29
908,83
295,96
440,68
,'234,39
389.89
180,02
no.1IO
1.250.46
714,4g
801.23
5g3,22
464,21
172.29
296,32
1.097.12
399,.54
290,21
2?J.fz.
112,87
2.043,76
179.10
56.55
238,68
164,82
19,66
543,G4
0
2,454,91
16.744,68
4.794,96
2.828,67
1.930,88
5.770,38
802,99
3.336.05
35.970,16
28.07g,75
5.289.21
27.243,gg
4.012.80
1.112,75
3.423.52
7.921.85
2.858,16
1.248,39
6.19.15
514,21
19.631,27
1.519,26
m.54
1.278.33
1.742.59
317,72
187.824,06
-
Departemen Keuangan RI
1991/92
rata-rata Keseluruhan
-10
245,49
984.98
342.50
471,45
321,81
577.04
200,75
834,01
1.498.76
802,25
1.057.84
736,32
573,26
185,46
342,35
1.320,31
408,31
312,1
270.40'
128.55
2.453,91
253,21
64,88
255,67
193,62
24,44
643,23
(II)
2,919,63
20.990,12
5.157,32
3.483,33
1.669.50
6.404,06
844,47
3.665.59
43.083,98
30.745,69
5.963.37
34.298.51
4.152,59
1.246,27
4.041,71
9.461,11
3.131,35
1.104,65
7,337,11
675.91
25.236,91
2.058,69
888,84
1485,99
1.880,74
459.81
111.387, 78
-
Pertumbuhan
Rata-rala
Repelila V
1992/93
rata-rata
-12
291,96
1.234,71
368,38
580.56
278,25
640.41
211,12
733.12
1.795,17
g78,45
1.192,67
926,99
593,23
207,71
404,17
1.576,93
447,34
276,16
3)9,01
168.98
3.154,61
343.12
74.07
297,2
208,97
35.37
79,OO
. U3)
17
23,1
22,8
21,1
29,3
22.7
8,1
11.5
21,3
13.7
22.5
23.5
13,7
11,2
17,2
17,1
6,4
6,1
15.9
22.6
25,8
55,4
20,9
12,7
30,4
32.9
19,9
-
399
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
5.4.1.1.2. Retribusi daerah
Berbeda dengan penerimaan retribusi daerah tingkat I yang hanya sebesar 15,4 persen dari
PAD tingkat I, retribusi daerah tingkat II memberikan sumbangan terbesar bagi PAD tingkat II.
Hal ini sejalan dengan banyaknya fasilitas ataupun jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah
tingkat II kepada masyarakat. Retribusi daerah dapat berupa pungutan atas ijin untuk
pengendalian dan pungutan atas pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Karena
potensi dan karakteristik jasa pelayanan masing-masing daerah tingkat II berbeda-beda, maka
besar dan jenis retribusi antara satu daerah dengan daerah lainnya cenderung berbeda pula.
Secara nasional, terdapat 137 jenis retribusi daerah tingkat II, namun sejauh ini hanya beberapa
jenis retribusi saja yang potensial dan dikembangkan sebagai sumber penerimaan daerah oleh
Pemda tingkat II.
Penerimaan retribusi daerah tingkat II di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89
adalah sebesar Rp 222,4 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 adalah sebesar Rp 446,2
miliar atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19 persen per tahun. Secara keseluruhan
penerimaan retribusi daerah tingkat II terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai Propinsi
Jawa Barat, kemudian diikuti Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Tengah, masing-masing
sebesar Rp 109,7 miliar, Rp 91,6 miliar, dan Rp 80,6 miliar, sehingga penerimaan retribusi
daerah tingkat II di ketiga propinsi ini memberikan sumbangan sebesar 63,2 persen terhadap
keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat II. Sedangkan penerimaan retribusi daerah
tingkat II terkecil dalam tahun anggaran 1992/93 terdapat di Propinsi Timor Timur, kemudian
diikuti Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Bengkulu, masing-masing sebesar Rp 0,7
miliar, Rp 1,5 miliar, dan Rp 2 miliar atau ketiganya meliputi 0,9 persen dari keseluruhan
penerimaan retribusi daerah tingkat II di Indonesia. Pertumbuhan rata-rata retribusi daerah
tingkat II tertinggi dicapai daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata sebesar 32,8 persen, sedangkan tingkat pertumbuhan terkecil dicapai
daerah tingkat II di Propinsi Riau, sebesar 6,4 persen per tahun. Secara lengkap realisasi
penerimaan retribusi daerah tingkat II per propinsi selama periode 1988/89 hingga tahun
anggaran 1992/93 dapat dilihat dalam Tabel V.33.
Departemen Keuangan RI
400
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 33
PENERIMAAN RETRmUSI DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI, 1988189 - 1992193
(dalamjuta rupiah)
No. Propinsi
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
. II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
DI Aceb
Sumatera Utara
Sumatra Barat
Riou
Jamb!
Suma""a Sel.1an
Ben8kulu
Lunpun8
JawaBaral
Jawa Tengah
DI Yogyalwta
Jawa Timur
Kalimanlan Baril
Kaliman""l Tengah
Kalimanlan Se1akan
Kalimanlan Timor
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selakan
Sulaweai Tenggara
Bali
Nu.. Tenggara Bar.,
Nu," Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Rata-rata
Repeliia IV
1988/89
Keseluruhan Rata-Rata
2.856,45
13.984.44
8.024.83
3.715.06
2.245.11
5.031.60
1.303.76
4.156.83
48.968,42
41.436.21
3.948.34
45.093.18
3.037.25
1.048.43
2.930.18
3.333.37
4.577.61
1.408.89
10.771.84
1.045.92
2.847.90
3.984.69
3.004.04
2.084.27
1.266.78
331.73
222.437.13
-
285.65
822,61
573.20
619.18
374.19
503.16
325.94
1.039.21
2.040.35
1.183.89
789.67
1.218.73
433.89
174.74
293.02
555.56
762.94
352.22
468.34
261.48
355.99
664.12
250.34
521,07
140.75
25.52
767,'11.
Pertumbuhan
Rata-rata
Repellta V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata
(%)
Repeliia V
3.227.48
14.763.00
9.401.27
3.802.75
2.339.40
6.026.26
1.588.90
5.817.46
61.674.59
49.974.51
4.256.20
53.060.00
3.950.87
1.031.92
3.319.59
3.762.84
5.640.09
1.739.68
13.699.68
1.399.28
4.242.92
4.500.49
3.556.69
2.334.45
1.459.93
429.95
267.000,10
-
322.75
868,41
671.52
633.79
389.90
602.63
397.23
1.454.37
2.569.77
1.427.84
851.24
1.434.05
564.41
171.99
331.96
627.14
805.73
434.92
595.64
349.82
530.37
750.08
296.39
466.89
162.21
33.07
914,38
4.296.74
18.105.18
10.218,47
3.741.76
2.744.12
7.488.98
1.850.68
7.288.89
75.831.99
60.333.38
4.955.17
75.086.18
5.563.17
1.105.47
3.689.86
5.655.19
6.453.62
2.282.20
15.376.16
2.152.27
5.835.87
5.618.10
4.115.84
2.595.58
1.732.37
460.93
334,578,17
-
429.67
1.065.01
729.89
623.63
457.35
748.90
462.67
1.822.22
3.159.67
1.723.81
991.03
2.029.36
794.74
184.24
368.99
942.53
921.95
570.55
668.53
538.07
729.48
936.35
342.99
519.12
192.49
35,46
1.145,81
4.555.09
20.935.62
11.680.25
3.883.10
3.750.05
10.560.32
1.807.96
6.587.64
91.606.70
70.322,54
6.345.79
85.077.84
5.276.94
1.391.08
4.503.65
7.967.44
7.098.54
2.933.50
19.023.57
2.540.75
7.347.11
6.808.20
5.120.53
2.752.47
2.116.76
617.08
391.610,51
-
455.51
1.231.51
834.30
647.18
625.01
1.056.03
451.99
1.646.91
3.816.95
2.009.22
1.269.16
2.299.40
753.85
231.85
450.36
1.327.91
1.014.08
733.38
827.11
635.19
918.39
1.134.70
426.71
550.49
235.20
47.47
1.344,56
5.220.23
24.390.82
13.812,33
4.756.05
3.963.26
11.928.98
2.014.68
6.694.21
109.737.98
80.592,00
7.134.58
91.608.50
5.875.11
1.491.10
6.475.79
10.378.32
7.202.15
3.045.43
20.460.19
2.340.09
7.908.50
7.474.53
5.410.36
3.030.02
2.466.17
727.71
446.120.i I
-
522.02
1.434.75
986.60
792.67
660.54
1.192.90
503.67
1.388.84
4.572,42
2.302.63
1.446.92
2.475.91
839.30
248.52
645.78
1.729.72
1.028.88
761.36
889.57
585.02
988.56
1.245.59
450.86
606.00
274.02
55.98
1521.94
16.3
14.9
14.5
6.4
15.3
24.1
11.5
12,7
22,4
18.1
16.3
19.4
17.9
9.2
21.8
32,8
12
21.3
17,4
22.3
29.1
17.0
15.8
9.8
18.1
21.7
19
-
5.4.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah
Penerimaan daerah dari bagian laba BUMD tingkat II menunjukkan peningkatan,
walaupun peranannya tetap kecil terhadap pendapatan asli daerah. Sebagian besar bagian laba
yang diterima oleh daerah tingkat II tersebut adalah berasal dari laba pemsahaan daerah air
minum (PDAM), namun ada juga beberapa daerah mendapat bagian laba dari perusahaan daerah
lainnya yang jumlahnya tidak sebesar bagian laba dari PDAM. Dalam tahun anggaran 1988/89
besarnya bagian laba BUMD daerah tingkat II seluruh Indonesia adalah sebesar Rp 11,9 miliar
dan meningkat menjadi sebesar Rp 23,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, atau meningkat
dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 18,5 persen per tahun. Penerimaan terbesar dicapai
oleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Timur, kemudian Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa
Tengah, masing-masing sebesar Rp 7,6 miliar, Rp 4,9 miliar dan Rp 4,7 miliar, sehingga ketiga
propinsi tersebut memberikan kontribusi sebesar 73,2 persen dari keseluruhan penerimaan bagian
laba BUMD tingkat II. Sedangkan penerimaan terkecil dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi
Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar Rp 5,8 juta. Perkembangan penerimaan yang berasal dari
bagian laba BUMD tingkat II secara rinci dapat diikuti pada Tabel V.34.
Departemen Keuangan RI
401
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 34
PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT II
PER PROPINSI, 1988/89 - 1992/93
(dalamjuta rupiah)
Repelita IV
Repelita V
No. Propinsi
(I)
I.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
II.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22
23.
24.
25.
26.
(%)
Dr Aceh
Samatera Vlara
Samatera Barat
R i aa
lamhi
Samatera S"atan
Bengkala
Lampang
lawa Bara'
lawa Tengab
Dr Yogyakarta
lawa Timar
Kalimantan Bara'
Kalimantan Tengab
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timor
Salaw"i Vtara
Salaw"i Tengab
Sulawesi Selatan
Salaw"i Tenggara
B al i
Na," Tenggara Barat
Nasa Tenggara Timur
Mataka
Irian laya
Timor Timor
Jamlah
Rta. rata
1989190
1988/89
Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata
-3
-4
-6
-5
105,88
10,59
15,84
158,36
582,81
34,28
31,46
534.82
382,35
27,31
7.53
105,46
108,45
18,08
22
132
22,68
3,78
4,07
24,42
109,64
10,96
17,64
176,39 ,
1,54
0,39
0,09
0,34
25,12
6,28
8,74
34,95
1.606,64
66,94
91,63
2.199,12
2270
64,88
80,43
2.815,07
232,91
194,55
38.91
46,58
5.501,06
4.683,19
126,57
148,68
42,25
42,25
6,04
6.04
40,74
18,08
3,01
6,79
258,62
155,51
15,55
25,86
563,18
277,92
46,32
93,86
104,74
244,09
40,68
14,96
28,16
16,95
4,24
7,04
119,23
123,58
5,37
5,18
50
0
0
12.50
622.52
682,46
85,31
77.81
87,42
61,99
10,33
14.57
109,5
9.13
7,1
85,16
76,65
19,16
14,42
72,1
13,09
1,45
2,69
24,17
8.21
0,63
1,76
22,94
11.924,00
14.036,13
41,U
48,07
-
1990191
Keseluruhan Rata.rata
-7
-8
179,25
17,93
813,86
47,87
151,4
10,81
154,61
25,77
30
5
449,24
44,92
18,74
4,69
61,36
15,34
2.992,33
124,68
4.418,01
126,23
225,41
45,08
5.808,68
156,99
75
10,71
66.58
11,1
120,32
12,03
794,6
132,43
58,75
8,39
51,41
12,85
320,35
13,93
0
0
678,91
84,86
51,68
8,6\
115,7
9,64
175,92
35,18
144,17
16,02
32,14
2,47
17,088,42
61
1991192
Keseluruhan Rata-rata
0
-10
289,5
28,95
620.70
36,51
260.90
18,64
87,72
14.62
41,56
6,93
364,35
36,44
24,7
6,18
96,74
24,18
4.301,66
179,24
4.074,24
116,41
419.71
83,94
7.210,59
194,88
76,45
10,9274,3
12,38
190,4
19,04
1.854,87
309,14
139,22
19,89
38,24
9,56
494,25
21,49
69,47
17,37
769,16
96,14
177,73
29,62
fI8,28
9,86
218,93
43,79
228,72
25,41
27,67
2,13
"'%70,06
76,1.7
1992/93
Keseluruhan Rata-rata
-11
(U)
358,33
35,83
698,68
41,1
311.10
22,22
79,39
13,23
216,02
36
307,63
30,76
47,43
11,86
64,74
12,95
4.908,61
204.53
4.721,79
134,91
470,94
94,19
7.603,24
205,49
162,06
23,15
2%,70
49,45
271,34
27,13
1.332,50
222,08
186,44
26,63
68,44
17,11
318,35
13,84
5,77
1,44
425,07
53,13
228,39
38,07
131.04
10,92
168,64
33,73
115,65
12,85
52,52
4,04
3550,84%
80,38
Pertumhuha
Rata-rata
Repelita V
(%)
-13
35,6
4,6
-5
-7,5
75,7
29,4
135,6
26,7
32,2
20,1
24,7
12,9
39,9
101,3
14,9
48
-6,5
41,8
26,7
-11,2
38,5
4,6
21,8
72,4
59
18,5
-
5.4.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah
Penerimaan dinas-dinas daerah adalah penerimaan yang berasal dari dinas-dinas daerah di
tingkat II di luar dinas pendapatan daerah. Penerimaan dinas-dinas diperoleh antara lain dari
penjualan bibit tanaman, ternak, dan lain sebagainya. Dalam periode 1988/89-1992/93 realisasi
penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II meningkat dari sebesar Rp 23 miliar menjadi sebesar Rp
30,8 miliar dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Penerimaan dinas-dinas
daerah tingkat II di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1992/93 yang terbesar dicapai oleh
Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar Rp 6 miliar dan Rp 5,4
miliar. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan dinas-dinas tingkat II mengalami
peningkatan, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Propinsi Timor Timur, yaitu
sebesar 58,6 persen per tahun.
5.4.1.1.5. Penerimaan lain-lain
Penerimaan lain-lain adalah bagian penerimaan asli daerah yang tidak termasuk dalam pos
penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, dan penerimaan dari dinas-dinas.
Termasuk dalam penerimaan ini antara lain adalah penerimaan sewa rumah dinas milik daerah
dan hasil penjualan barang-barang bekas milik daerah. Sumbangan penerimaan ini terhadap PAD
Departemen Keuangan RI
402
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tingkat II dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan. Dalam tahun anggaran 1988/89 besarnya
penerimaan lain-lain adalah sebesar Rp 39,1 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 meningkat
menjadi sebesar Rp 84 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21,1 persen per
tahun.
Perkembangan penerimaan lain-lain di masing-masing daerah tingkat II pada umumnya
menunjukkan peningkatan, walaupun ada beberapa daerah yang mengalami penurunan.
Penerimaan terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi
Jawa Barat, yaitu sebesar Rp 24,8 miliar (29,5 persen), diikuti oleh daerah tingkat II di Propinsi
Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur, masing-masing sebesar Rp 14,8 miliar (17,6 persen) dan
sebesar Rp 10,6 miliar (12,6 persen). Sedang daerah yang mengalami penurumm penerimaan
tersebut dibandingkan dengan tahun anggaran 1991/92 adalah daerah tingkat II di propinsi-propinsi Riau, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Maluku.
5.4.1.2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak
5.4.1.2.1. Pajak bumi dan bangunan
Dasar hukum yang mengatur pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak bumi dan
bangunan adalah pajak pusat yang dipungut oleh daerah dan kemudian dibagihasilkan dengan
pemerintah daerah tingkat I dan II dengan cara pembagian sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut peraturan tersebut 10 persen
dari penerimaan PBB diberikan kepada pemerintah pusat sedangkan 90 persen merupakan bagian
dari pemerintahan daerah, yaitu 16,2 persen merupakan bagian pemerintah daerah tingkat I, 64,8
persen bagian pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sebagai upah pungut. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83 tanggal 19 Maret 1994,
penggunaan penerimaan pajak bumi dan bangunan bagian pemerintah pusat yang sebesar 10
persen dikembalikan kepada seluruh daerah tingkat II secara merata.
Penerimaan bagi hasil pajak bumi dan bangunan daerah tingkat II se1uruh Indonesia
dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 215,7 miliar dan meningkat menjadi sebesar
Departemen Keuangan RI
403
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Rp 646,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93 dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar
31,6 persen. Secara keseluruhan penerimaan bagi hasi1 pajak bumi dan bangunan terbesar
dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar Rp 79,7 mi1iar,
sedangkan secara rata-rata per daerah tingkat II penerimaan terbesar juga dicapai daerah tingkat
II di Propinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar Rp 13,3 mi1iar, dengan pertumbuhan rata-rata per
tahun sebesar 44,7 persen. Selama periode 1988/89-1992/93, pertumbuhan rata-rata per tahun
tertinggi dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, kemudian diikuti daerah tingkat
II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Irian Jaya, masing-masing sebesar 114,8 persen,
82,4 persen, dan 69,9 persen. Sedangkan yang mengalami laju pertumbuhan terkecil adalah
daerah tingkat II di DI Yogyakarta dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 13,4 persen per tahun.
Selanjutnya perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan daerah tingkat II per propinsi
selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.35.
Repelila IV
No.
Propinsi
(I)
I.
2.
3.
4.
5.
6
7.
8.
9.
10.
11
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
-2
DI Aceh
Sumatcra Utara
Sumatcra Barat
R i au
I amhi
Sumatera Selakan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Iowa Tengah
DI Yogyakarta
lawaTimur
Kalimanlan Barat
Kalimantau Tcngah
Kalimantan Selatan
Kalimantau Timur
Sulaw"i Vtara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
BaIi
Nusa tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
M a luku
Irian jaya
Timor Timur
Jumlah
Rata-rata
Tabel V. 35
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKA T II
PER PROPINSI, 1988/89 . 1992/93
(dalamjuta rupiah)
Repelita V
I988/89
Keseluruhan Rata-Rata
-3
16.788,31
23.515,48
2.475.06
3.484.92
3.612.03
14.884.07
477.82
5.559.28
31.986.09
18.619,23
2.496.80
32.352.61
2.789.60
3.116,09
7.622,75
18.215;73
1.711.93
1.535,26
8.468.21
958.90
3.115.26
1.774.97
1.536.98'
4.691.60
3.784.99
82.05
215,656.02
-
-4
1.678.83
1.383.26
176.79
580.82
602.00
1.488,41
119,46
1.389.82
1.332.75
531.98
499.36
874.39
398.51
51?35
762.28
3.035.96
285,32
383.82
368.18
239.73
389.41
295.83
128.08
1.112.90
420,55
6.31
743,64
I989/90
Keseluruhan Rata-rata
-5
25.912.92
30.940.37
4.185.78
6.222.50
8.822.85
26.048_4
1.780.13
10.741.14
46.673.34
24.257.33
2.830.34
45.935.20
5.596.27
10.345,48
13.997,30
44.739,37
2.939.05
3.657.95
12.392,41
1.924.98
4.224.24
3.{)66.14
2.136.98
lO.O50.27
12.118_8
220.38
361.759.84
-
-6
2.591.29
1.820.02
298.98
1.037.08
1.470.48
2.604.85
445.03
2.685,29
1.944.12
693.07
566.07
1.241,49
799,47
1.124.25
1.399.73
7.456.56
419.86
914.49
538.80
481.24
528.03
511.02
178.08
2.0lO.05
1.346.51
16.95
1.238,'"
1990/91
Keseluruhan Rata-rata
-7
29.231.15
35.433.02
5.596.17
7.613.33
9.455.36
32.830,15
2.874.54
11.491.42
58.385.37
- 32,662.26
3.656.06
54.657.67
6.859.19
17.181.12
17.283.65
50.479.35
4.138.23
4.673.92
15.354.30
3.359.80
5.350.63
3.741.12
5.954.94
12.068,26
17.996.78
742.66
449,071.05
-
-8
2.923.11
2.084.30
399,73
1.268.89
1.575.89
3.283.01
718,63
2.812.85
2.432.12
933,21
731.21
1.477.23
979.88
2.863,62
1.128,36
8.413.23
591.18
1.168.48
667 _8
839.95
668.83
623.52
496.25
2.413.65
1.999.64
57.13
1.537,91
1991/92
Keseluruhan Rata-rata
-9
33.255.56
38.661.96
7.448.92
10.614.60
12.512,47
45.149.89
2.573.29
-.D..166,84
69.013.73
34.626.20
4.063.86
59.759,94
9.292.52
28.647.51
24.528.25
12.115.45
5.118.59
5.708.52
19.089.97
4.268.36
6.468.57
4.202.30
7.712.20
12.133.74
27.148.82
1.387,20
559.269,26
-
-10
3.325.56
2.274.23
532,07
1.769.10
2.085,41
4.514,99
643.32
3.441,71
2.875.57
989.32
812,77
1.615.13
1.327.50
4.774.58
2.452.82
12.019,24
731.23
1.427.13
830.00
1.067,09
808.57
700.38
642,68
2.426.75
3.016.54
106.71
1.915,31
Pertumbuhan
Rala-rata
Repelila V
1992/93
Keseluruhan Rata-rata
(%)
-11
-12
38.952.83
3.895.28
45.401.37
2.670,67
11.178.10
798.44
14.058,05
2.343.01
13.688.73
2.281.45
54.316.925.431.69
--2642.13
660.53
13.169.33
2.633.87
78.465.99
3.269,42
38.482.77
1.099.51
4.131.03
826.21
69.439.15
1.876.73
11.409.83
1.629.98
34.515.14
5.752.52
29.478.48
2.974.85
79.748.33 13.291.39
5.824.15
832.02
5.823.01
1.455.75
23.591.34
1.025.71
3.311.54
827.88
8.123.13
1.015.39
4.793.68
798,95
9.270.76
712.56
13.443.84
2.688.77
31.456.61
3.505.18
1.747.24
134,4
646.553,45
2.206,67
-13
23.4
17.9
45.8
41.7
39.5
38.2
53,3
24.1
25.1
19.9
13.4
21.0
42.2
82,4
40.2
44.7
35.8
39.6
29.2
36.3
27.1
28,2
56.7
30,1
69.9
114.8
31,6
-
5.4.1.2.2. Bagi hasil bukan pajak
Penerimaan bagi hasil bukan pajak antara lain berasal dari iuran hasil hutan (IHH) dan
iuran hak pengusahaan hutan (IHPH). Dasar hukum pemungutan dan pembagiannya diatur dalam
Departemen Keuangan RI
404
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 1990, dengan ketentuan 45 persen dari pungutan IHH
digunakan untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I (30 persen) dan untuk pembangunan
daerah tingkat II (15 persen), sedangkan sisanya sebesar 55 persen digunakan untuk membiayai
rehabilitasi hutan secara nasional (20 persen), kehutanan daerah (15 persen), dan untuk
pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi area blok tebangan (20 persen). Selanjutnya,
pembagian IHPH adalah 70 persen untuk daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan
sisanya sebesar 30 persen untuk pemerintah pusat.
Penerimaan bagi hasil bukan pajak terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai oleh
daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur, yang secara keseluruhan meliputi jumlah sebesar
Rp 8 miliar, diikuti oleh daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Riau,
masing-masing sebesar Rp 7 miliar dan Rp 3,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun, daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur mengalami tingkat
pertumbuhan yang tertinggi, yaitu sebesar 54,2 persen, kemudian diikuti oleh daerah tingkat II di
Propinsi Lampung dan Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar 32,2 persen dan 22,1
persen.
5.4.2. Sumbangan dan bantuan pusat serta daerah tingkat I
5.4.2.1. Sumbangan pusat dan daerah tingkat I
Sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah tingkat I yang menerima sumbangan dari
pemerintah pusat, maka pemerintah daerah tingkat II juga menerima sumbangan yang berasal
dari pemerintah pusat, di samping sumbangan dari pemerintah daerah tingkat I. Sumbangan pusat
dan daerah tingkat I kepada daerah tingkat II tersebut ditujukan untuk menunjang kegiatan
pemerintahan di daerah, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan dan
administrasi di daerah tingkat II.
Pada umumnya sumbangan pusat dan daerah tingkat I menunjukkan peningkatan setiap
tahun sejalan dengan peningkatan kegiatan pemerintahan di daerah tingkat II. Semakin banyak
urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tingkat II dan semakin
meningkatnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat merupakan faktor-faktor utama
penyebab peningkatan kegiatan pemerintahan di daerah tingkat II. Bila dalam tahun anggaran
1988/89 jumlah sumbangan pusat dan daerah tingkat I masih sebesar Rp 1.031,4 miliar, maka
Departemen Keuangan RI
405
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 1.957 miliar, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 17,4 persen per tahun.
Pada umumnya propinsi-propinsi yang menerima sumbangan pusat dan daerah tingkat I
dalam jumlah besar adalah propinsi-propinsi yang mempunyai jumlah daerah tingkat II yang
relatif banyak. Banyaknya daerah tingkat II di setiap daerah tingkat I erat kaitannya dengan
jumlah dan penyebaran penduduk. Propinsi-propinsi dimaksud adalah Sulawesi Selatan, Jawa
Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, yang dalam tahun anggaran 1992/93
menerima sumbangan masing-masing sebesar Rp 239,3 miliar, Rp 157,1 miliar, Rp 144,7 miliar,
Rp 142,9 miliar, dan Rp 135,5 miliar.Sebaliknya propinsi-propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan, karena jumlah daerah tingkat II di propinsipropinsi tersebut relatif sedikit, maka jumlah sumbangan untuk seluruh daerah tingkat II di
propinsi-propinsi tersebut juga relatif rendah, yaitu masing-masing sebesar Rp 19,8 miliar, Rp
18,3 miliar, Rp 10,9 miliar, dan Rp 9 miliar. Rata-rata jumlah sumbangan pusat dan daerah
tingkat I per daerah tingkat II temyata berbeda antara satu propinsi dengan propinsi lain. Dalam
tahun anggaran 1992/93, daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Sumatera Selatan, Nusa
Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara menerima sumbangan rata-rata sebesar, masing-masing
sebesar Rp 14,5 miliar, Rp 14,2 miliar, dan Rp 13,9 miliar. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di
propinsi-propinsi Sulawesi Tengah, Timor Timur, dan Kalimantan Selatan menerima sumbangan
rata-rata terkecil, masing-masing sebesar Rp 2,7 miliar, Rp 2,7 miliar, dan Rp 0,9 miliar.
Sumbangan pusat dan daerah tingkat I sebagian besar diberikan dalam bentuk subsidi
daerah otonom (SDO). Sebagian besar SDO tersebut berupa belanja pegawai, yaitu belanja untuk
membiayai pegawai daerah otonom dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah otonom,
sedangkan sebagian lainnya berupa belanja nonpegawai yang dibedakan atas subsidi/bantuan dan
ganjaran. Adapun komponen-komponen subsidi/bantuan di dalam komponen belanja nonpegawai
tersebut terdiri atas subsidi/bantuan penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar negeri (SBPPSDN), subsidi/bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD),
subsidi/bantuan pengembangan dan pemeliharaan obyek pariwisata daerah (SBPP-OPD),
subsidi/bantuan pengembangan usaha penambangan daerah (SBP-UPD), dan subsidi/bantuan
biaya operasional penyuluh pertanian (SBBO-PP). Di pihak lain, komponen ganjaran yang ada
dalam komponen SDO nonpegawai tersebut terdiri dari ganjaran Dati II dan ganjaran kecamatan.
Ganjaran Dati II ditujukin untuk membiayai operasional pembantu bupati/walikotamadya,
Departemen Keuangan RI
406
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
operasional pengawasan inspektorat wilayah kabupaten/kotamadya, penataran P4, pembinaan
sosial politik, operasional catakan sipil dan administrasi kependudukan, penyelenggaraan
pemerintahan
desa,
pembinaan
administrasi
keuangan,
pembinaan
kelembagaan
dan
kepegawaian, kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), dan pembinaan generasi
muda/pramuka. Sedangkan ganjaran kecarnatan disediakan untuk biaya operasional wilayah
kecamatan.
Seiring dengan peningkatan kegiatan masing-masing daerah yang bertumpu di daerah
tingkat II, jumlah SDO yang diberikan kepada pemerintah daerah. tingkat II juga senantiasa
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini sebagaimana tedihat dari penyaluran dana
SDO yang berjumlah Rp 1.012,9 miliar dalam tahun anggaran 1988/89, yang kemudian
meningkat menjadi sebesar Rp 1.892 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 16,9 persen per tahun. Bila ditinjau berdasarkan SDO
yang diterima masing-masing daerah tingkat II di tiap propinsi, maka dalam tahun anggaran
1992/93 propinsi-propinsi yang menerima SDO tertinggi adalah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah,
dan Sumatera Selatan, masing-masing menerima sebesar Rp 237,3 miliar, Rp 153,2 miliar, dan
Rp 143,9 miliar. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah SDO yang diterima daerah-daerah
tingkat II di propinsi Sulawesi Selatan temyata lebih tinggi dari pada SDO yang diterima daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi di Pulau Jawa, padahal jumlah daerah tingkat II di propinsipropinsi di Pulau Jawa lebih banyak dari pada jumlah daerah tingkat II di propinsi Sulawesi
Selatan. Hal ini dapat terjadi karena belanja pegawai untuk pegawai daerah tingkat II di propinsipropinsi di Pulau Jawa masih ditangani oleh pemerintah daerah tingkat I, sementara untuk
propinsi Sulawesi Selatan belanja pegawai tersebut sudah diserahkan penanganannya kepada
masing-masing pemerintah daerah tingkat II yang bersangkutan. Dalam pada itu, bila ditinjau
dari laju pertumbuhan dana SDO daerah tingkat II per propinsi, maka daerah-daerah tingkat II di
propinsi-propinsi Bali, Timor Timur, Bengkulu, dan Lampung mempunyai laju pertumbuhan
rata-rata tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 93,3 persen, 22,2 persen, 21,9 persen, dan 21,6
persen per tahun. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Timur, Sulawesi
Tengah, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan mempunyai laju pertumbuhan rata-rata
terendah, yaitu masing-masing sebesar 9,9 persen, 7,7 persen, 6,1 persen, dan 4,2 persen per
tahun. Gambaran mengenai perkembangan SDO pada masing-masing daerah tingkat II di tiap
propinsi dapat dilihat pada Tabel V.37.
Departemen Keuangan RI
407
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Tabel V. 37
SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TlNGKA T n PER PROPINSI, 1988/89 . 1992193
(dalam juts rupiah)
Repelita IV
No. Propinsi
19881119
Keseluruhan Rata-rata
19891!1O
1990191
1991191
Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
16.799.38
55.415.09
68.197.49
38.668.87
31.611.67
71.385.20
17.381.40
11.825,53
77.457.06
96.640,61
11.012,93
88.792.S5
10.45].18
10.025.37
6.565.47
10.441.35
15.082.85
8.047.93
117.630.64
27.734.17
6.274.00
44.986.41
65.188.18
33.933.83
55.679,66
15.690,48
1.012.919,28
-
20.124.93
66.295.95
81.214.89
46.198.13
38.713.33
85.654.71
21.146.32
14.420.24
82.881.99
99.543.23
12.982,36
85.406.05
11.970.09
11.776.69
6.608,95
12.392,61
17.936.13
9.243.41
146.008,65
33.857,05
8.213.69
53.461,43
77,920.36
39.670.12
64.040,62
18.169.00
1.16S.850.91
-
DI Aceh
Suma- Ulan
Suma- Barat
Rlau
Jambi
Suma- Selatan
Bengkulu
Lampuag
Jawa Barat
Jawa Tengab
DI Vogyalwta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantin Tengab
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timor
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Baral
Nusa Tenggara Timor
Maloku
Irian Jaya
Tioror Timor
Jumlah
Rata-rata
1.679.94
3.259.71
4.871.25
6.444.81
5.268.61
7.138,52
4.345,35
2.956,38
3.227,38
2.761,16
2.202,59
2.399,80
1.493,03
1.670.90
656,55
1.740.22
2.513,81
2.011,98
5.114.38
6.933,54
784.25
7.497.74
5.432,35
8.483,46
6.]81.63
1.206,96
3.491,83
Pertumbuhan
Rata-rata
Repelita V
2.012.49
3.899.76
5.801.06
7.699.69
6.452.22
8.565.47
5.286,58
3.605.06
3.453,42
2.844.09
2,596,47
2.308.27
1.710,01
1.962.78
660,89
2.065,44
2.562,30
2.310.85
6.348,20
8.464,26
1.026.71
8.910,24
6.493.36
7.934,02
7.115.62
1.397.62
3.991.64
22.376.46
70.850.75
87.172,13
51.971.29
42.684.36
96.943.91
23.828.63
16.190.32
91.710,31
IOS.927,40
14.499.32
93.666.06
11.916.83
12.030.13
5.178.11
11.954.81
16.878.29
8.429.98
156.230,35
36.985.88
9.348.91
58.871.05
84.655,18
42.334.74
67.594.97
25.407,12
1.265.637,19
-
2.237.65
4.167.69
6.226,58
8.661.88
7.114.06
9.694.39
5.957.16
4.O47,5g
3.821.26
3.026,50
2.899,86
2.531,52
1.702,40
2.005.02
517,81
1.992,47
2.411,18
2.107,50
6.792.62
9.246,47
1.168.61
9.811.84
7.054.60
8.466.95
7.510,55
1.954.39
4.334,37
26.576.12
2.657.61
80.574.64
4.739.68
]01.034.98
7.216.78
60.678.15 10.113.03
49.665.47
8.m.58
109.991,48 10.999.15
29.326,78
7.331.69
18.gI7,54
4.704.3g
104.814,30
4.367.26
121.220,38
3.463.44
16.846,15
3.369.23
IOS.039.68
2.838,91
13.657,25
1.951.04
14.062,24
2.343.71
5.574.82
557,48
14.993.30
2.498,88
18.897,47
2.699,64
8.483,61
2.120.90
178.853.03
7.776.22
43.549.30 10.1187.32
67.244.90
8.405.61
67.777,02 11.296,17
95.955.25
7.996.27
48.935.27
9.787.05
75.704,14
8.411,57
26.642,21
2.049.40
1.504.915,49
5.153,82
1991/93
Keseluruhan Rata-rata
34.776.05
70.159.94
127.892.91
75.417.07
62.870.14
143.888.94
38.369,80
25.829.81
'129.953.57
153.164.64
20.577,96
129.761.18
17.494.04
18.358,57
7.748,13
19.161.27
23.992,58
10.834.08
237.337.80
55.628,51
87.540.20
85.120.77
118.514.19
56.659.17
IOS.918.85
35.001,84
1.89"'71.19
-
3.477.61
4.127.06
9.135.2]
12.569,51
10.478.36
14.388.89
9,592.45
5.165.96
5.414.74
4.376.13
4.115,59
3.507.06
2.499.15
3.059.76
774.81
3.193,54
3.427,51
2.708,52
10.319.03
13.907.13
10.942,52
14.186.80
9.876.18
11.331,85
11,768.76
2.692.45
6.457,14
Repelita V
("')
19.9
6.1
17.0
18.2
18.8
19.2
21.9
21.6
13.8
12,2
16.9
9.9
13.7
16.3
4.2
16.4
12,3
7.7
19,2
19
93,3
17.3
16,1
13.7
17.4
22.2
16,9
-
Sebagai salah satu sumber dana, SDO masih memegang peran yang penting dalam
menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II, khususnya
kegiatan di bidang pemerintahan. Perbandingan antara besarnya SDO terhadap total penerimaan
daerah tingkat II menunjukkan persentase yang makin menurun selama periode 1988/89-1992/93,
yaitu apabila dalam tahun anggaran 1988/89 persentase tersebut masih sebesar 39,4 persen, maka
dalam tahun anggaran 1992/93 telah menurun menjadi sebesar 28,6 persen. Turunnya persentase
SDO terhadap penerimaan daerah disebabkan karena makin besarnya jumlah penerimaan dari
sumber yang lain, terutama peningkatan dari PAD dan bagian PBB untuk daerah tingkat II.
Sementara itu bila dilihat persentase SDO terhadap penerimaan daerah tingkat II di masingmasing propinsi, maka dalam tahun anggaran 1992/93 persentase SDO tertinggi terjadi pada
daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, masing-masing sebesar 54,2 persen, 53,3 persen, 51,2 persen,
dan 50,6 persen. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan memperlihatkan persentase SDO terhadap penerimaan daerah tingkat II yang
relatif rendah, yaitu sebesar 8,4 persen dan 6,1 persen. Rendahnya persentase SDO daerah tingkat
II di kedua propinsi ini karena daerah tingkat II di kedua propinsi tersebut mempunyai sumber
PDS yang relatif tinggi dalam tahun anggaran 1992/93. Gambaran mengenai persentase SDO
Departemen Keuangan RI
408
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
terhadap penerimaan daerah tingkat II di tiap propinsi secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.38.
Tabel V.38
PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I, 1988/89 DAN 1992/93
No. Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Repelita IV Repelita V
1988/89
1992/93
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi TengaJ1
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timilr
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
22,1
32,2
54,2
54,6
57,3
49,4
58,8
21,2
24,6
31,8
33,7
27,2
20,4
29,9
15,4
16,9
41,S
21,S
63,6
67,5
12,1
66,8
70,9
59,4
67,7
75,8
39,4
17,6
19
48,9
33,8
42,6
39,7
48,S
18,3
15,1
23,S
23,3
17
13,8
12,2
6,1
8,4
22,8
14,1
51,2
53,3
43,1
54,2
50,6
44,3
37,7
40,5
28,6
5.4.2.2. Bantuan pusat dan daerah tingkat I
Sebagai usaha penyebarluasan dan pemerataan pembangunan di daerah-daerah serta untuk
menyelaraskan dan memperkecil tingkat kesenjangan antar daerah, pemerintah telah menciptakan
program bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk program Inpres. Program bantuan yang
ditujukan kepada pemerintah daerah tingkat II tersebut meliputi beberapa jenis, yaitu program
Inpres Dati II, program Inpres sekolah dasar (SD), program Inpres kesehatan, serta program
Departemen Keuangan RI
409
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Inpres peningkatan jalan dan jembatan kabupaten/kotamadya (IPJK). Selain itu juga disediakan
dana Inpres yang ditujukan khusus untuk desa yang penyalurannya melalui pemerintah daerah
tingkat II, yaitu Inpres desa dan Inpres desa tertinggal (IDT).
Program Inpres Dati II dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja dan memperluas
kesempatan kerja, mempertinggi produksi, memperlancar distribusi, memperbaiki lingkungan
hidup masyarakat yang berpenghasilan renda, serta meningkatkan partisipasi penduduk dalam
pembangunan. Alokasi dana Inpres Dati II didasarkan atas jumlah penduduk pada masing-masing
daerah tingkat II, dengan pengecualian babwa bagi daerah yang berpenduduk kurang dari suatu
jumlah tertentu diberikan bantuan dengan jumlah minimum yang telah ditetapkan. Program ini
dimulai sejak tahun anggaran 1970/71, di mana jumlah bantuan ditetapkan sebesar Rp 50 per
penduduk. Dalam tahun-tahun berikutnya, jumlah bantuan terus ditingkatkan sehingga dalam
tahun anggaran 1988/89 bantuan per kapita yang diberikan adalah sebesar Rp 1.450, dan dalam
tahun anggaran 1991/92 meningkat lagi menjadi Rp 3.000 per jiwa. Selanjutnya dalam tahun
anggaran 1992/93 jumlah bantuan menjadi sebesar Rp 4.000 per jiwa dengan bantuan minimum
sebesar Rp 750 juta untuk tiap Dati II. Jumlah bantuan Inpres Dari II dalam tahun anggaran
1988/89 adalah sebesar Rp 267,2 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 meningkat menjadi
Rp 825,1 miliar, sehingga selama periode 1988/89-1992/93 jumlah bantuan ini telah mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 32,6 persen per tahun.
Program Inpres sekolah dasar dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar bagi
kelompok anak usia 7-12 tahun agar dapat tertampung di sekolah-sekolah dasar. Program ini
ditujukan untuk pembangunan gedung SD baru berikut perbaikannya, penambahan ruang kelas,
pengadaan peralatan sekolah, pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, dan penjaga
sekolah, serta pengadaan perpustakaan dan peralatan olahraga. Alokasi dana Inpres SD
didasarkan pada rencana fisik yang akan dilaksanakan, standar bangunan dan peralatan yang akan
diadakan, serta biaya satuan untuk tiap kegiatan. Jumlah dana Inpres SD yang telah dialokasikan
terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 bantuan ini masih
berjumlah Rp 130,5 miliar, maka dalam tahun anggaran 1992/93 jumlahnya telah meningkat
menjadi sebesar Rp 654,5 miliar, yang berarti telah terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 49,6
persen per tahun.
Program Inpres kesehatan adalah program bantuan yang dimaksudkan untuk memberikan
Departemen Keuangan RI
410
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pelayanan kesehatan secara lebih merata dan sedekat mungkin dengan masyarakat, terutama bagi
penduduk yang berpenghasilan rendah di perdesaan dan perkotaan, serta untuk meningkatkan
derajat kesehatan rakyat dengan menciptakan lingkungan pemukiman yang sehat. Program ini
direalisasikan dalam bentuk pembangunan pusat kesehatan masyarkat (Puskesmas) termasuk
kelengkapannya, rumah dokter/paramedis, perbaikan/peningkatan Puskesmas, penyediaan
Puskesmas keliling, pengadaan obat-obatan, pengadaan alat medis, pembangunan sarana air
bersih, dan pembangunan jamban keluarga. Inpres kesehatan dialokasikan berdasarkan atas
rencana fisik, standar/prototipe bangunan, peralatan yang dibutuhkan, jenis dan kualitas obat-obatan, jumlah dokter dan tenaga kesehatan, jenis dan jumlah sarana air bersih, jumlah jamban
keluarga dan pembuangan air limbah, serta biaya satuan untuk tiap kegiatan. Alokasi dana Inpres
kesehatan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, yaitu apabila dalam tahun anggaran
1988/89 masih berjumlah Rp 98,6 miliar maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat
menjadi sebesar Rp 320 miliar, yang berarti telah berkembang dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 34,2 persen per tahun.
Sementara itu program IPJK dimaksudkan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas
angkutan orang dan barang, khususnya dari sentra-sentra produksi ke tempat-tempat pemasaran,
sehingga dapat menumbuhkan kehidupan perekonomian di daerah-daerah yang pada gilirannya
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Cara pengalokasian dana
dilakukan menurut jenis dan volume rencana fisik yang akan dilaksanakan, serta satuan biaya
yang ditetapkan untuk setiap kegiatan. Program IPJK yang dimulai sejak tahun anggaran 1979/80
dananya terus ditingkatkan jumlahnya. Dalam tahun anggaran 1988/89 telah dialokasikan dana
sebesar Rp 180 miliar, yang meningkat jumlahnya dalam tahun anggaran 1992/93 menjadi
sebesar Rp 825,6 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 46,3 persen per
tahun.
Program Inpres desa dimaksudkan untuk mendorong dan menggerakkan usaha swadaya
gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya, serta untuk membantu pembangunan
proyek-proyek yang diprioritaskan oleh masyarakat desa dan menunjang kegiatan pembinaan
kesejahteraan keluarga. Inpres desa diberikan secara prorata kepada desa, di mana tiap desa
memperoleh dana dalam jumlah yang sama besarnya dan penggunaan sepenuhnya diserahkan
kepada desa. Meningkatnya intensitas pembangunan di desa-desa menyebabkan jumlah bantuan
untuk tiap desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1988/89
Departemen Keuangan RI
411
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
jumlah bantuan tiap desa diberikan sebesar Rp 1,5 juta, dengan jumlah keseluruhan menjadi
sebesar Rp 112 miliar, sedang dalam tahun anggaran 1992/93 bantuan kepada tiap desa dinaikkan
menjadi sebesar Rp 4,5 juta dengan jumlah bantuan keseluruhannya meningkat menjadi sebesar
Rp 326,5 miliar, yang berarti bantuan keseluruhan selama periode 1988/89-1992/93 mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 30,7 persen per tahun.
Program IDT adalah program yang dimulai dalam tahun anggaran 1994/95 dan ditujukan
dalam rangka pengentasan kemiskinan, khususnya masyarakat miskin di perdesaan. Inpres ini
diberikan kepada setiap desa yang dikategorikan miskin, yang jumlahnya ditentukan sebesar Rp
20 juta untuk setiap desa miskin. Sasaran Inpres ini lebih ditekankan kepada usaha masyarakat
untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan produksi di berbagai bidang usaha yang
dikembangkan sesuai potensi yang ada di masing-masing desa yang dikategorikan miskin
tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan sumber-sumber penghasilan masyarakat
di desa tersebut. Melalui Inpres ini dipadukan berbagai program sektoral dan regional antar desa,
sehingga akan berdampak besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan.
Jumlah realisasi seluruh bantuan yang diterima oleh daerah tingkat II, termasuk
diantaranya Inpres Dati II, Inpres SD, Inpres kesehatan, dan IPJK, senantiasa mengalami
peningkatan. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 masih berjumlah Rp 759,5 miliar, maka
dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.795,8 miliar, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 38,5 persen per tahun. Ditinjau dari realisasi bantuan
yang diterima oleh daerah tingkat II di tiap propinsi, maka dalam tahun anggaran 1992/93 daerahdaerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menerima
keseluruhan bantuan dalam jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebesar Rp 390,6 miliar, Rp
376,4 miliar, dan Rp 279,6 miliar. Namun apabila dilihat dari realisasi bantuan rata-rata yang
diterima oleh daerah tingkat II di masing-masing propinsi, maka daerah-daerah tingkat II di
propinsi-propinsi Lampung, Jawa Barat, dan Riau menerima jumlah bantuan rata-rata terbesar,
yaitu masing-masing sebesar Rp 16,5 miliar, Rp 16,3 millar, dan Rp 16 miliar. Sementara itu bila
dilihat dari laju pertumbuhannya, maka daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Timor
Timur, Irian Jaya, dan Kalimantan Tengah memperoleh bantuan dengan laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 83,6 persen, 72,9 persen, dan 64,5 persen per tahun.
Peningkatan laju pertumbuhan yang relatif tinggi di ketiga propinsi tersebut selaras dengan upaya
mcmacu pembangunan di propinsi yang bersangkutan. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di
Departemen Keuangan RI
412
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
propinsi-propinsi Sumatera Barat, Bali, dan Sulawesi Tengah. memperoleh bantuan dengan laju
pertumbuhan rata-rata yang relatif rendah, masing-masing sebesar 24,3 persen, 23 persen, dan
21,5 persen per tahun.
5.4.3. Pinjaman pemerintah daerah
Selaras dengan kebijaksanaan pemerintah bahwa titik berat otonomi diletakkan pada
daerah tingkat II, maka semakin besar pula tanggung jawab pemerinhah daerah tingkat II dalam
pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Untuk itu, selain menggunakan dana PDS dan bantuan
dari pemerintah pusat dan daerah tingkat I, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dana pembangunan adalah dengan melalui pinjaman. Sebagaimana halnya
dengan pinjaman pemerintah daerah tingkat I, dewasa ini pinjaman bagi pemerintah daerah
tingkat II, termasuk pinjaman untuk BUMD, terutama berasal dari dana yang bersumber dari luar
negeri dalam bentuk penerusan pinjaman (SLA) dan dari dana APBN dalam bentuk rekening
pembangunan daerah (RPD).
Jumlah pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II termasuk BUMD
senantiasa meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhannya. Dalam kurun waktu 1988/891992/93 jumlah pinjaman daerah tingkat II meningkat dari sebesar Rp 31,5 miliar dalam tahun
anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp 41,7 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1992/93
sejumlah pemerintah daerah tingkat II telah memanfaatkan pinjaman sebagai salah satu sumber
pendanaan dalam pembangunannya. Peminjam yang terbesar diantaranya adalah Kotamadya
Medan, Kotamadya Yogyakarta, dan Kabupaten Aeeh Selatan, masing-masing sebesar Rp 7,4
miliar, Rp 5,5 miliar, dan Rp 4,4 miliar. Namun pemanfaatan dana pinjaman daerah tersebut
relatif masih kecil bagi beberapa pemerintah daerah tingkat II, seperti Kotamadya Sukabumi,
Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Sawahlunto, yaitu masing-masing sebesar Rp 85 juta,
Rp 80,4 juta, dan Rp 62,1 juta.
5.4.4. Pengeluaran rutin daerah
Kegiatan rutin merupakan salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh pemerintah
Departemen Keuangan RI
413
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
daerah, termasuk pemerintah daerah tingkat II. Kegiatan rutin umumnya berkaitan dengan
kegiatan pemberian pelayanan kepada masyarakat dan kegiatan administrasi. Sebagai
konsekwensi dari pelaksanaan kegiatan rutin tersebut, pemerintah daerah tingkat II harus
mengeluarkan dana yang tercermin dalam pengeluaran rutinnya, yang meliputi berbagai
komponen biaya, antara lain belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja
perjalanan dinas, angsuran pinjaman/hutang, ganjaran/subsidi/sumbangan, dan belanja lain-lain.
Pengeluaran rutin senantiasa memperlihatkan keeenderungan yang meningkat setiap tahun
sejalan dengan meningkatnya aktivitas pemerintahan di daerah. Meningkatnya kebutuhan
pelayanan kepada masyarakat sebagai akibat pertumbuhan jumlah penduduk tampaknya menjadi
faktor utama penyebab meningkatnya kegiatan rutin tersebut, yang pada gilirannya membawa
pengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan dana untuk pembiayaannya. Hal ini tampak dari
realisasi pengeluaran rutin yang dalam tahun anggaran 1988/89 masih berjumlah Rp 1.447,7
miliar, maka dalam tahun anggaran 1992/93 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi sebesar
Rp 2.889,6 miliar, yang berarti telah terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, belanj
Download