31 BAB III KAJIAN TENTANG ALTERNATIF HUKUM PIDANA

advertisement
BAB III
KAJIAN TENTANG ALTERNATIF HUKUM PIDANA PENGGANTI
QISHASH DI INDONESIA
A. Hukum Indonesia
Negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan
dan diatur oleh hukum. Teori negara hukum menyajikan konsep-konsep atau ideide bagaimana membangun negara hukum yang baik, bagaimana cara hidup
bersama, bermasyarakat dan bernegara yang dapat melindungi berbagai
kepentingan dan mengatur cara penyelesaian jika terjadi benturan antara berbagai
kepentingan dengan berpijak pada prinsip tegaknya kepastian hukum, terwujudnya
rasa keadilan serta kedamaian antara berbagai pihak yang berkepentingan tersebut
dan sekaligus memberi arahan kepada kehidupan yang lebih baik.1
Montesquie menyajikan konsep pemisahan kekuasaan negara kedalam
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial yang terkenal
teori “Trias Politica”. Teori negara hukum merupakan ide dasar dalam
penyelenggaraan negara yang baik. Hasbi Ash Shiddieqi mengatakan bahwa hanya
negara hukumlah yang dapat tegak sempurna.2
1
Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Kajian Historis,
Filisofis, Ideologis, Politis, Yudiris, Futuristik, Pragmatis, 2012 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal.12
2
Ibid., hal.14
31
32
Moh Mahfud mengemukakan bahwa perumusan kembali ciri-ciri negara
hukum tersebut, antara lain, dihasilkan oleh International Commision Of Jurists
dalam konferensinya di Bangkok pada 1965 sebagai berikut:
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atau hak-hak yang dijamin.
2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Adanya pemilihan umum yang bebas
4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat
5. Adanya kebebasan berserikat/ berorganisasi dan berposisi, serta
6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.3
Negara Indonesia menganut dan mempraktikkan teori negara hukum
dengan modifikasi sendiri sesuai dengan spesifikasinya sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Negara hukum Indonesia bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur dan berkeadilan berdasarkan Pancasila. Cita negara hukum republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan dalam pembukaan UUD
1945.4
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen ketiga menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Muhammad Tahir Azhari,
3
4
Mukti Arto, op.cit., hal.13
Ibid., hal.16
33
negara Indonesia menganut konsep negara hukum pancasila yang berbeda dengan
konsep barat pada umumnya. Menurutnya, konsep negara hukum pancasila ini
memiliki ciri-ciri yaitu:
1. Ada hubungan erat antara agama dan negara
2. Negara dan hukum bertumpu pada Ketuhanan yang Maha Esa
3. Ada jaminan kebebasan beragama dalam arti positif
4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang
5. Diterapkannya asas kekeluargaan dan kerukunan. Menurutnya, Indonesia
tergolong sebagi negara nomokrasi, yakni negara yang kekuasaanya
didasarkan pada hukum-hukum dari Tuhan.5
Menurut A. Hasjmy, agama dan negara memiliki hubungan yang bersifat
simbiotik, di mana antara keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang
saling melengkapi dan menguntungkan. Menurutnya, Islam dan negara dapat
dikatakan satu paket dari wahyu yang harus dijalankan secara integral tanpa harus
dihadapkan sebagai dua kutub yang berlawanan, antara keduanya saling
menguatkan, di mana agama dapat memberi legitimasi kepada negara, sedangkan
negara dapat menjadikan agama sebagai paradigma etik dan moral dalam
menjalankan roda pemerintahan sehingga masing-masing menyatu ketika
dilembagakan sebagai suatu kekuasaan.6
5
Ibid., hal.14
Ibid., hal. 15
6
34
Menurut hemat penulis, inti dari negara hukum pancasila adalah adanya
hubungan erat antara negara dan agama di mana agama menjiwai kehidupan
bernegara dan negara melindungi kehidupan beragama.7
1. Sejarah Singkat Hukum Pidana Indonesia
Baik di Indonesia (menurut hukum adat) maupun di negeri Belanda dahulu,
tidak dikenal perbedaan hukum pidana dan perdata. Di negeri Belanda acara
pidana dalam bentuknya yang pertama, sepenuhnya berwatak perdata. Setiap
tuntunan berlandaskan penagduan pihak korban yang dirugikan : “Wo Kein Klager
ist, ist kein Richter.”8
Mengenai masyarakat tradisional Indonesia, Supomo menulis: “ alat
pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional Timur pada umumnya)
bersifat kosmis, meliputi segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter). Umat
manusia menurut aliran pikiran kosmis itu adalah sebagian dari alam, tidak ada
pemisahan-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup, tidak ada pembatasan
antara dunia lahir dan dunia ghaib dan tidak ada pemisahan manusia dengan
makhluk-makhluk lain.9
Dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang
bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan
hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat) yang diperlukan mungkin hanya
7
Ibid., hal. 16
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,1985 (Jakarta: Grafika
Indonesia), hal. 41
9
Ibid.,
8
35
berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang, atau
sebagai pengganti kerugian.10
Hukum adat delik yang terhimpun dalam “ Pandecten van het Adatrecht”
bagian X yang dikutip juga oleh Supomo, menyebutkan berbagai bentuk sanksi
adat terhadap pelanggaran hukum adat sebagai berikut:
1. Pengganti kerugian “immaterieel” dalam berbagai rupa seperti paksaan
menikah gadis yang telah dicemarkan.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda sakti
sebagai pengganti kerugian rohani.
3. Penutup malu, permintaan maaf
4. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
5. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.11
Oleh karena masyarakat tradisional dahulu tidak mengenal sistem
kepenjaraan seperti sekarang ini,
maka pidana badan bervariasi dari ri ule
bawi12sampai ke luar daerah (ri paoppangitana) misalnya dalam delik kesusilaan,
yang paling berat ialah pidana mati, seperti ditusuk keris, dijerat lehernya dan
ditenggelamkan di laut.13
10
Ibid., hal. 42
Andi Hamzah, loc.cit., hal. 42
12
Ri ele bawi adalah pidana adat yang bersifat mempermalukan atau menghina pelanggar
adat di muka umum, pelaku dipikul seperti layaknya seekor babi.
13
Loc.cit.,
11
36
2. Perubahan Perundang-undangan di Negara Belanda dengan Azaz
Konkordansi diberlakukan pula di Indonesia
KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada orang yang
menyebutnya suatu karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum
acara pidana yang ada dalam HIR atau Ned. Strafvordering 1926 yang lebih
modern itu.14
Sejarah peradilan telah ada sejak zaman manusia. Begitu pula pada bangsabangsa yang telah berkembang di masa yang lalu, seperti peradilan bagi bangsa
Romawi, Persi dan bansa Mesir Kuno. Bangsa ini telah memiliki lembaga
peradilan yang terorganisasi dengan memiliki undang-undang atau peraturan yang
dilaksanakan oleh para qadhi.15
Bangsa Israel dan bangsa Arab sebelum Islam berpendapat, bahwa alat-alat
bukti dalam pengadilan adalah saksi, sumpah atau dalam keadaan ketangkap
basah. Bangsa Barat juga menjelaskan bahwa peradilan di Barat telah mempunyai
teknik mengambil keputusan dan alat-alat pembuktian. Ini menunjukkan bahwa
sebenarnya peradilan pada masa ini telah ada walaupun masih sederhana.16
3. Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang dan Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan
Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan
asasi kecuali hapusnya Raad van jus titie sebagai pengadilan untuk golongan
14
Ibid.,
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, 2011, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 24
16
Ibid.,
15
37
Eropah. Dengan undang-undang (Osamu Serei) nomor 1 Tahun 1942 yang mulai
berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkan aturan peralihan di jawa dan
Madura yang berbunyi: “ semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”
(pasal 3).17
Secara teoritis pemerintahan Jepang berusaha untuk membuat simbol
pemisahan yang total dengan Belanda. Semua simbol kekuasaan yang
menunjukkan kolonial Belanda harus dihapuskan, sementara segala bentuk
pergerakan yang aktif pada masa Belanda dilarang. Tidak seperi penguasa
sebelumnya, yang membentuk pemerintah sentralisasi di kepulauan nusantara ini,
Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu:18
1. Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura
2. Di Singapura yang mengatur Sumatera
3. Komando angkatan laut di Makassar yang mengatur keseluruhan
nusantara di luar tiga pulau terdahulu.19
Sebagai akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai
Belanda dalam kantor-kantor pemerintah, perubahan dalam organisasi peradilan
juga harus terjadi. Pada September 1942 pemerintah Jawa mengeluarkan peraturan
yang dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya,
17
Ibid., hal. 50
Alaiddin Koto, hal. 232
19
Ibid., hal. 233
18
38
lembaga peradilan sekuler didirikan di mana bentuk peradilan lama diubah
namanya dengan menggunakan bahasa Jepang. Adapun susunan lembaga
peradilan pada masa Jepang adalah:
1. Tihoo Hooin dari Landraad (Pengadilan Negeri)
2. Keizai Hooin dari Landgerecht (Pengadilan Kepolisian)
3. Ken Hooin berasal dari Regettschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin berasal dari Districtsge recht (Pengadilan Kewenangan)
5. Kaikoo Kooto Hooin berasal dari Hof Voor Islamietische Zaken
(Mahkamah Islam Tinggi)
6. Sooyoo Hooin berasal dari Priesterrad (rapat agama), dan
7. Gunsei Kensatu Kyoko terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan
Pengadilan Negeri) berasal dari paket voor landraden.20
Secara politis, Pemerintah Jepang yang dihadapkan pada kewajiban untuk
menenangkan hati para pendukung mereka pada awal-awal invasi, dipaksa untuk
mengenyahkan para administrator dari jabatan mereka, yang pada kenyataannya
senantiasa konflik dengan hukum Islam. Dalam beberapa hal, Jepang juga tidak
mengizinkan adanya intervensi terhadap hukum Islam atau pengamalannya yang
bebas oleh penduduk asli. Islam pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai alat yang
cocok untuk mengkonsolidasikan politik-politik Jepang di Indonesia.21
20
21
Ibid., hal 233-234
Ibid., hal. 235-236
39
Islam menurut pandangan orang Jepang paling efektif sebagai alat
penetrasi dalam kehidupan bangsa Indonesia, memungkinkan sebagai sarana
infiltrasi nilai-nilai dan cita-cita Jepang ke dalam masyarakat awam. Kepentingan
yang digantungkan kepada Islam oleh kekuatan kependududkan Jepang di
Indonesia dapat disaksiakan lewat kasus pembentukan Departemen Agama.
Jepang mempergunakan lembaga ini untuk mengkon solidasikan posisi mereka di
Indonesia dengan jalan melengkapi pegawai dari lembaga baru ini dengan para
Kyai dan Ulama’, yang diharapkan akan mampu berperan sebagai pelaku transmisi
ide-ide dan tujuan Jepang ke dalam idiom dan budaya masyarakat awam
Indonesia. Jadi, ketertarikan jepang dengan Islam sesungguhnya lebih dimotivasi
oleh keinginan subjektif, ketimbang komitmen mereka dalam hal integritas hukum
Islam atau kemakmuran masyarakat Islam.22
4. Peradilan setelah Proklamasi Kemerdekaan
1. Masa awal kemerdekaan
Pasal II aturan peralihan UUD 1945 menyatakan: “ segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang beru
menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dilihat dari sisi peraturan tersebut penulis
mengomentari, bahwa segala produk hukum peninggalan kolonial masih tetap
berlaku, termasuk yang menyangkut bidang Peradilan Agama, selama belum
diubah dan dicabut dengan perundang-undangan yang baru.23
22
23
Ibid.,hal.35
Ibid., hal. 241
40
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, atas usul Menteri agama yang disetujui menteri kehakiman, pemerintah
menetapkan bahwa Pengadlian Agama diserahkan dari kekuasaan kemenrtian
kehakiman kepada kemnentrian agama dengan ketetapan pemerintah Nomor 5
tanggal 25 Maret 1946. Pada masa awal kemerdekaan, terjadi pemerintahan dalam
pemerintahan, tetapi tidak namapak perubahan yang sangat menonjol dalam tata
peradilan, khususnya peradilan agama di Indonesia (PADI).24
2. Masa orde baru
Dalam kurun waktu sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat
keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan dan kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan PADI. Selanjutnya, tahun 1970-an mengalami
perubahan, terutama sejak diundangkan dan berlakunya UU Nomor 14 Tahun
1970 dan UU Nomor 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya.25
Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut merupakan awal proses penyusunan
RUU-PA. Menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam INPRES No. 15/1970
tentang tata cara memepersiapkan rancangan Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintahan RI, terlebih dahulu harus diajukan permohonan izin prakarsa
membuat Rancangan Undang-Undang kepada Presiden.26
B. Pelaksanaan Qishash oleh Hakim
24
Ibid., hal. 242
Ibid., hal. 253
26
Ibid., hal. 254
25
41
Hakim adalah salah satu anggota dari masyarakat, tidak berbeda dengan
yang bukan hakim kecuali sebagai pemegang amanat (dalam menegakkan hukum)
atau wakil, dan berlaku baginya apa-apa yang berlaku pada individu-individu
lainnya.27
Bilamana ia berlaku aniaya terhadap salah satu anggota masyarakat, maka
berlaku baginya hukum qishash, sebab di hadapan hukum tidak ada perbedaan
antara dirinya dengan orang lain. Hukum Allah berlaku universal menjangkau
ummat Islam seluruhnya.28
Apabila orang yang diqisash mati karena luka yang dideritanya dalam
rangka menjalani qishash, maka para ahli fikih dalam masalah ini berbeda
pendapat. Pada galibnya mereka berkesimpulan, bahwa orang yang meng-qishash
tidak di bebani tanggung jawab, karena qishash itu sendiri adalah bukan tindakan
tirani. Bilamana pencuri mati karena dipotong tangannya, maka pemotong
menurut konsensus tidak dituntut tanggung jawab, demikianlah masalah ini seperti
masalah yang itu.29
Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Ibnu abi Laila mengatakan: “bilamana si
terhukum mati, maka diwajibkan atas keluarga orang yang menghukum membayar
27
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, 1987, (Bandung: PT Al-Ma’arif Bandung), hal.56
Ibid.,hal. 60
29
Sayyid Sabiq, op.cit., hal. 94
28
42
diat,30 sebab masalah ini sama saja dengan masalah membunuh secara
kesalahan”.31
C. Alternatif Pidana Sebagai Pengagganti Qishash
Pidana qishash (ancaman pidana mati kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan) sangat memungkinkan untuk diberlakukan di Indonesia, karena
memenuhi syarat filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis. Bahkan ada kemiripan
dengan Pasal 338, 339, 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tidak
sekadar bentuk pidana tetapi juga lebih melindungi hak hidup. “Pidana mati
tertuang dalam Pasal 340 KUHP. Ini sangat mirip dengan qishash, tetapi di KUHP
tidak dapat melindungi hak asasi manusia (HAM), baik bagi tersangka maupun
korban, sehingga KUHP harus diperbaharui”. “Hak Asasi Manusia pada Piagam
Madinah Dihubungkan dengan Qishash dalam Rangka Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia”. Menurut Islam sangat tegas terhadap pelaku tindak pidana
terhadap nyawa, karena termasuk kejahatan besar selain musyrik dan
meninggalkan salat. Bentuk pidana ini disertai perlindungan HAM, sudah
diberlakukan Rasulullah sejak periode Madinah (abad VII Masehi)”. Dijelaskan,
pidana yang dikenal manusiawi di Barat baru dikenal pada abad ke-18 Masehi,
tetapi masih berdasarkan pada teori retributive (pembalasan). Pemidanaan yang
memperhatikan HAM berdasarkan filosofi restorative justice baru dikenal di Barat
30
Diat adalah harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian
diberikan kepada si korban kejahatan atau kepada walinya.
31
Ibid.,
43
pada abad ke-21. KUHP masih menggunakan pidana retributive, sehingga
perlindungan HAM pun ditujukan kepada pelaku delik, sedangkan korban dan
masyarakat umum yang dirugikan tidak mendapatkan hak-haknya secara layak.32
32
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, 2001, (Jakarta : PT.Ichtiar Baru van
Hoeve), hal. 682
Download