ilmu pengetahuan dalam perspektif al-qur`an - E

advertisement
10
KONTRIBUSI
TASAWUF DALAM PENDIDIKAN
Asfiyak Hamida *
*Dosen Tetap IAIT Kediri
ABSTRAK
Tasawuf sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk
cara hidup dan cara berfikir bagi mereka yang beragama,
baik pengaruh itu berupa kebaikan ataupun keburukan.
Pada kebaikannya, ialah menyebabkan orang menjadi
ikhlas dalam beramal dan berjuang, semata-mata karena
Allah, tidak karena maksud lain.
Dampak negatifnya, misalnya: "orang lalu benar-benar
menyingkirkan dirinya dari pergaulan masyarakat ramai
dan secara mutlak memandang bahwa dunia adalah
semata-mata hanya merusakkan, padahal dunia adalah
tempat beramal, bekerja dan berjuang untuk kebahagiaan
masyarakat umat didunia dan untuk kebahagiaan diri
pribadi di akhirat nantinya".
Kata kunci: Tasawuf, Pendidikan
Pendahuluan
Tasawuf merupakan aspek batin atau aspek esoterik Islam yang dibedakan
dari aspek luar atau aspek eksoterik Islam. Aspek esoterik adalah sebagaimana
perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan kerohanian. Ia dapat dibedakan
dari pemenuhan hukum yang menerjemahkannya ke dalam kehidupan pribadi dalam
hubungannya dengan kondisi suatu fase tertentu kemanusiaan. Jalan hidup orangorang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan kebahagiaan setelah
kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara tidak langsung dan
keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan dengan melaksanakan perbuatanperbuatan yang telah ditentukan. Sufisme mengandung tujuan dalam dirinya sendiri
dengan pengertian bahwa ia dapat memberikan jalan masuk bagi pengetahuan
langsung tentang keabadian.
Peran ―sentral‖ sufisme pada jantung dunia Islam ini boleh jadi terselubung
dari pandangan orang yang mengujinya dari luar karena esoterisme. sementara ia
sadar akan arti bentuk-bentuk prakteknya. Pada waktu yang sama berada pada posisi
kebebasan intelektual dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk praktek itu.
Dengan demikian dapat diasimilasikan pada dirinya —bagaimanapun juga untuk
membeberkan ajaran-ajarannya— gagasan-gagasan atau simbol-simbol tertentu
yang berasal dari warisan kultur yang berbeda dengan latar belakang tradisionalnya
sendiri.
Di dalam ajaran-ajarannya tasawuf membicarakan suatu kebenaran yang
dari dulu langgeng dan universal, dalam metode-metodenya ia mempergunakan
teknik-teknik yang sesuai dengan kodrat orang-orang abad ini, kodrat yang dalam
hakikinya tetap tak berubah dari kodrat manusia masa silam namun yang di dalam
kejadian-kejadian dan perwujudan-perwujudan lahirnya telah menjadi lebih kebal
terhadap pengaruh-pengaruh keruhanian dan yang di dalam kehidupan
kontemplatifnya mengalami kesengsaraan dan kemerosotan.1
Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan kembali
manusia siapa ia sebenarnya, yang berarti bahwa manusia dibangunkan dari
mimpinya yang ia sebut kehidupannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas dari
pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang memiliki imbangan
obyektifnya di dalam apa yang disebut ―kehidupan‖ (dunia) menurut bahasa
keagamaan. Dengan menarik ke kodrat manusia yang sebenarnya, tasawuf
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kodratnya yang nyata, bukan apa yang ia rasakan
menjadi kebutuhan-kebutuhannya dilihat dari sudut kesan-kesan dan bentuk-bentuk
lahir yang oleh jiwa diterima terus-menerus dari dunia luar ke dalam mana ia telah
menanamkan akar-akarnya. Manusia mencari kebutuhan-kebutuhan jasmani dan
rohaninya secara lahiriah oleh karena ia tidak mengenal siapa ia sebenarnya.
Tasawuf mengingatkan kembali manusia supaya mencari semua yang ia perlukan itu
secara batin di dalam dirinya sendiri, supaya mencabut akar-akar kehidupannya
yang tertahan di dunia lahiriah dan menanamkannya ke dalam Kodrat Ilahi, yang
berada di pusat kalbunya. Tasawuf menarik kembali manusia dari keadaan asfal
safilin-nya yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan
ahsan taqwim-nya yang dahulu di mana ia menjumpai semua yang telah disaksikan
secara lahir di dalam dirinya, karena telah menyatu dengan Tuhan maka ia terlepas
dari ketiadaan.
Ilmu yang melahirkan tasawuf menjelaskan alasan dasar bagi keimanan dan
keislaman. Ia berbeda dari kalam dalam perspektif dan fokus, tetapi tasawuf juga tak
kalah dalam pijakannya dalam sumber-sumber tradisi itu. Pada tataran praktis,
tasawuf memberikan sarana bagi kaum muslim untuk memperkuat pemahaman dan
pengalaman mereka atas Islam untuk menemukan Allah dalam diri mereka sendiri
dan dunia. Ia memperkuat kehidupan ritual Islam melalui perhatian seksama pada
perincian-perincian sunnah dan pemusatan pikiran pada zikir (dzikr), mengingat
Allah setiap saat.2
Tasawuf adalah juga falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan
jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu,
kadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas Yang Tertinggi serta
pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya
kebahagiaan rohaniah, yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata,
sebab karakternya bercorak intuitif, dan subyektif.
Tasawuf pada umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral, dan
epistemologis. Kelima ciri tersebut adalah:3
1. Peningkatan moral. Setiap ajaran tasawuf memiliki nilai-nilai moral tertentu
yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu.
Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan fisik-psikis tersendiri,
serta pengekangan diri dari materialisme duniawi, dan lain-lain.
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam Realitas Mutlak. Yang dimaksud fana, bahwa
dengan latihan-latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang
sufi sampai pada kondisi psikis tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan
adanya diri ataupun keakuannya. Bahkan dia merasa kekal-abadi dalam Realitas
Yang Tertinggi. Lebih jauh lagi, dia telah meleburkan kehendaknya bagi
kehendak Yang Mutlak. Dari sebab inilah sebagian sufi berkeyakinan tentang
dapat terjadinya persatuan dengan Realitas Yang Tertinggi itu, atau Yang
Mutlak tersebut berada dalam diri mereka. Dengan kata lain, wujud hanya satu,
dan bukannya sama-sekali berbilang banyak. Namun sebagian sufi tidak
menyatakan pendapat begitu, yakni tentang penyatuan, hulul, atau ketunggalan
wujud (wahdatul wujud). Sebaliknya, sekembalinya dari kesirnaan (fana)
mereka justru mengokohkan adanya dualitas atau pluralitas wujud.
3. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma terkaji epistemologis, yang
membedakan tasawuf daripada filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam
memahami realitas seseorang mempergunakan metode-metode intelektual, maka
dia disebut seorang filosof. Sementara, kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya
metode yang lain bagi pemahaman hakikat realitas di sebalik persepsi inderawi
dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau intuisi maka dalam
kondisi begini dia disebut sufi dalam pengertiannya yang lengkap. Intuisi,
menurut para sufi, bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tibatiba.
4. Ketentraman atau kebahagiaan. Ini merupakan ciri khusus pada semua bentuk
tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai
dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang
sufi. Dengan sendirinya, maksud ini membuat sang sufi terbebas dari semua rasa
takut dan merasa intens dalam ketenteraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun
terwujudkan. Selain itu, sebagian sufi menyatakan, bahwa pemenuhan fana
dalam Yang Mutlak dan pengetahuan mengenai-Nya justru membangkitkan
suatu kebahagiaan pada diri seorang manusia, yang mustahil dapat diuraikan
dengan kata-kata.
5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan
penggunaan simbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para
sufi biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba
dari harafiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisa serta
pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang
bukan sufi, dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi, apalagi untuk
dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf adalah kondisi-kondisi
efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia
pun bukan merupakan kondisi yang sama pada semua orang. Setiap sufi punya
cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang dialaminya. Dengan
demikian, tasawuf merupakan pengalaman subyektif. Inilah sebabnya tasawuf
dekat dengan seni. Khusus para penempuhnya, dalam menguraikan kondisi yang
mereka alami, mempergunakan introspeksi sebagai landasan. Dari hal inilah
mengapa tasawuf diberi atribut dengan simbolisme.
Pengaruh Positif dan Negatif Terhadap Pendidikan
Islam adalah agama yang didasarkan pada wahyu. Wahyu mengandung
ajaran hubungan antara manusia dan Tuhan. Salah satu aspek yang ditimbulkan
ajaran tersebut adalah mistisisme. Mistisisme dalam Islam disebut tasawuf atau, oleh
orientalis Barat, disebutnya dengan ―sufisme‖.
Sejarah Islam telah melahirkan ajaran tasawuf, di samping ajaran-ajaran
lain, yang tumbuh dari jazirah Arab pada abad pertama Hijriah. Dari sanalah,
merembes ke berbagai penjuru dunia, dan masuk ke nusantara sejalan dengan
masuknya agama Islam.
Tasawuf sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk cara hidup dan
cara berfikir bagi mereka yang beragama, baik pengaruh itu berupa kebaikan
ataupun keburukan. Pada kebaikannya, ialah menyebabkan orang menjadi ikhlas
dalam beramal dan berjuang, semata-mata karena Allah, tidak karena maksud lain.
Adapun dampak negatifnya,
misalnya: "orang lalu benar-benar
menyingkirkan dirinya dari pergaulan masyarakat ramai dan secara mutlak
memandang bahwa dunia adalah semata-mata hanya merusakkan, padahal dunia
adalah tempat beramal, bekerja dan berjuang untuk kebahagiaan masyarakat umat
didunia dan untuk kebahagiaan diri pribadi di akhirat nantinya". Oleh karena itu,
seringkali tasawuf dituduh sebagai biang keladi munculnya gerakan a-sosial dan ahistoris dalam masyarakat maupun dunia intelektual. Bagi kalangan ini, tasawuf
dianggap hanyalah upaya melarikan diri (eskapisme) dari kenyataan masalah
duniawi. Hal ini terjadi karena adanya seorang tokoh sufi yang telah sampai (wusul)
kepada ma‘rifat tasawuf —mengandaikan dirinya bila dikaruniai Allah pengalaman
isra‘ mi‘raj sebagaimana rasul— maka ia akan berhenti dihadapan Allah dan tidak
ingin lagi turun atau kembali ke dunia karena nikmat dan tercapainya tujuan sufi.
Banyak alasan mengapa orang tidak menyukai tasawuf. Citra heterodok,
yang melibatkan doktrin wihdatul wujud, ittihad dan hulul (shatahat) dianggap
sebab utama. Di samping itu, tasawuf dianggap a-politik dan pemikiran tasawuf
yang berujung pada kesalehan pribadi itu tidak menyentuh kepekaan dan kepedulian
sosial merupakan sebab lain. Belum lagi tuduhan kaum modernis yang menyatakan
bahwa praktek-praktek tarekat berubah menjadi penyembahan atau pemuliaan
pribadi-pribadi pendiri aliran (cult of personalities). Sesungguhnya berbeda dengan
salah seorang sufi tadi, kema‘rifatan rasul bersifat profetis. Artinya beliau
dimi‘rajkan untuk kembali lagi ke dunia menjalankan misi kerasulan, antara tauhid
dan kemanusiaan. Beliau kembali ke masyarakat untuk sebuah misi dan bukan untuk
menghindar dari dunia dan masyarakatnya. Inilah misi rahmatan lil ‗alamin.
Tasawuf juga dianggap hanyalah sebuah bentuk hedonisme spiritual yang
apatis dan kurang peka terhadap masalah-masalah sosial-kultural yang merupakan
penyakit masyarakat. Tasawuf di sini diperas hanya untuk mencari kesenangan dan
kenikmatan pribadi yang subyektif.
Mirip dengan pengertian di atas, di Barat tasawuf digunakan sebagai
meditasi dan latihan diri demi mencapai ketenangan jiwa. Dalam masyarakat yang
modern di Barat yang dilanda krisis identitas, keterasingan dan stress fungsi tasawuf
disamakan dengan yoga. Disikapi secara sekuler dan dipelajari oleh berbagai macam
agama, termasuk selain Islam. Dalam hal ini, tasawuf tereduksi dan terjadi
pendangkalan spiritualitas.
Sedangkan mistikisme adalah suatu tipe dalam agama yang menekankan
adanya hubungan langsung dengan Tuhan. Dan disadari benar bahwa Tuhan hadir
dalam dirinya. Mistikisme muncul di dunia kristen dalam gerakan dan tulisan-tulisan
Dionisius Aeropagita pada abad kelima Masehi. Dalam Islam, mistikisme
mengambil bentuk sufisme.4
Untuk memperoleh ilmu, sufisme menolak rasionalitas dan tangkapan
indera (empirik). Sumber ilmu pengetahuan untuk mencapai ma‘rifat menurut
mereka melalui dzawq, atau hadsiy, atau a’yan, atau kasyf, atau wujdan, yaitu
intuisi. Kritik Iqbal dilancarkan pada mistikisme Barat maupun Timur dengan
kritikan yang amat pedas dan tidak simpatik. Demikian kritik Iqbal:
―Tata cara mistikisme abad pertengahan yang oleh kehidupan religius, pada
tingkat perwujudannnya yang lebih tinggi, dikembangkan di Timur maupun
di Barat secara praktis menemui kegagalan. Mistikisme dalam Islam di
Timur, dalam berbagai aspeknya, lebih banyak merusak‖.5
Memang di bawah sufisme –minimal pada saat Iqbal menyaksikan praktekpraktek mereka di India— Kaum sufis menyebarkan berbagai keyakinan dan
praktek-praktek syirik di kalangan masyarakat. Mereka sering melakukan kurban di
makam para wali. Kaum wanita melakukan puasa diniatkan untuk para guru sufinya.
Para sufi sering melakukan puasa dengan niat tidak berbuka, kecuali dari hasil
meminta-minta. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya disertai ritus-ritus tertentu.
Menurut Iqbal, andil pemikiran idealisme Plato terhadap sufisme amat kental.
Untuk itulah ia merintih;
"O Tuhan ….orang-orang sucimu senang dengan keadaan psikis mereka.
Artinya, kaum sufi hanya asyik dengan kehidupan rohani dan kurang
memperhatikan kehidupan sosial kemasyarakatan.6
Seringkali kaum sufi mendapat kecaman dan kritik pedas, disebabkan sikap
radikal mereka terhadap syari‘at. Kaum sufi dianggap sering meremehkan perintah
syariat, bahkan ada yang secara radikal meninggalkan syari‘at sama sekali.
Sebaliknya kaum syari‘at menganggap bahwa di dalam syari‘at sudah termaktup
jalan tasawuf. Sehingga tidak perlu repot-repot mencari tasawuf. Disamping itu,
pemikiran-pemikiran puncak kaum sufi terformulasikan dalam doktrin hulul, ittihad
dan wihdatul wujud yang oleh para ulama dianggap sudah terlalu jauh dari pagar
batas Islam. Contoh kasus pemasungan tokoh sufi besar Mansur al- Hallaj dengan
doktrin hululnya serta pembunuhan tokoh sufi Persia yang lain, Shahab al-Din
Shuhrawardi pendiri aliran Illuminationism merupakan contoh konkret dalam
sejarah peradaban Islam.7
Sungguh pun demikian, kenyataan sosial menunjukkan bahwa (1) kalangan
santri (bahkan dari kalangan intelek santri) masih tetap menyenangi ‗tarekat‘ (Kasus
Pondok Pesantren Suryalaya). (2) di kalangan ‗abangan‘ (kita akui bahwa klasifikasi
ini tidak setepatnya mewakili keadaan yang sesungguhnya hidup dan berproses di
tanah air), justru menyuburkan aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Jika dipolakan secara garis besar, keadaan tasawuf di Indonesia ada 2
macam:
1. Pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan subjektif, yaitu seperti yang
dilaksanakan dikalangan tarekat-tarekat rata-rata –namun bukan berarti mutlak
seluruhnya— dan dalam aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan amal sosial (etika sosial),
yaitu seperti yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah.8
Tasawuf, ibaratnya adalah seperti ‗magnit‘. Dia tidak menampakkan diri
dipermukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Potensi itu dapat
dimanfaatkan untuk apa saja. Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf
bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan
pribadi maupun sosial. Orang butuh pedoman hidup yang bersifat spiritual yang
mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Perdebatan tentang tasawuf —
atau sufisme dengan memakai istilah Barat— nampaknya belum akan segera
berakhir. Perdebatan ini tak pelak telah melestarikan pertikaian berabad-abad antara
orientasi batin (esoteris) dan lahir (eksoteris) dalam hidup keagamaan. Sepanjang
sejarah pemikiran Islam, beberapa rumusan sintesis pernah diupayakan guna
mengatasi pertentangan ini. Namun tak lama kemudian, divergensi
kembali
terbentuk dalam kecenderungan ekstrim kepada salah satu kutub. Akibatnya,
panorama pemikiran Islam, tak terkecuali di bidang tasawuf, pekat dengan
ketegangan dan tantangan, namun juga usaha-usaha yang sama gigihnya untuk
mengatasi ketegangan dan tantangan. Suatu dinamika yang agaknya terus berlanjut
hingga sekarang.
Dimulai dari Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim, gerakan reformasi
keagamaan berkembang ke seluruh penjuru dunia. Tujuan utama dari gerakan
tersebut, seperti dirumuskan Ibnu Taymiyyah, adalah pernyataan kembali Syari‘ah
sebagai konsep yang komprehensif, mencakup kebenaran spiritual (haqiqah) kaum
sufi, kebenaran rasional (‗aql) para filosof dan teolog dan hukum. Hal ini dapat
dipandang sebagai reaksi terhadap polarisasi disiplin keilmuan Islam yang saling
terisolasi dan beroposisi satu sama lain.9
Mengenai tasawuf, gerakan ini masih dapat menerima klaim validitas
metode eksperimental sufi. Namun sementara itu ritus-ritus sufi dan praktek-praktek
pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali diserang habis-habisan. Menurut
mereka, meskipun pengalaman sufi sebagai pengalaman riil, namun pengalaman
tersebut tidak memiliki validitas eksklusif, sebaliknya harus diuji dengan rujukan
dunia luar. Dengan kata lain, kalangan ini menghendaki obyektivasi dari
pengalaman sufi.10
Di dalam kancah pemikiran lslam modern, pembaruan tasawuf mendapatkan
formulasinya yang lengkap di kalangan para pemikir neo-modernis. Aliran ini,
seperti dirintis oleh Fazlur Rahman, memiliki semangat pembaruan kaum modernis,
namun sekaligus berpijak kukuh pada khazanah tradisi klasik. Pembaruan tasawuf
oleh kalangan ini, sejajar dengan nama alirannya, dikenal luas dengan sebutan neosufisme. Neo-sufisme adalah sejenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari
ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur‘an dan Hadits, serta berada
dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran itu, dengan ketentuan untuk tetap
menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif. Sejajar dengan al-Ghazali,
kesufian ini memberikan apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris dan
sementara itu menekankan esoterisme agar tetap berada dalam kendali ajaran standar
Syari‘ah. Bedanya adalah, sedangkan al-Ghazali cenderung pada pengasingan atau
‗uzlah, neo-sufisme tetap menekankan obyektivasi dan aktivisme dalam realitas
luar.11
Secara epistemologis, aliran ini dapat menerima kebenaran klaim sufisme
intelektual mengenai kasyfi (pengalaman penyingkapan kebenaran ilahi) atau ilham
intuitif. Hanya saja menolak klaim seolah-olah kasyfi tidak dapat salah, dengan
menekankan bahwa kehandalan kasyfi sebanding dengan kebersihan moral dari
kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga. Kasyfi
yang disebut Fazlur Rahman sebagai akal perseptif tidaklah ditolak. Yang ditolak
adalah, jika akal perseptif tersebut diputuskan hubungan organisnya dengan akal
formulatif.12
Neo-sufisme dengan demikian berusaha menerapkan secara konsisten
prinsip keseimbangan (tawazun) dan moderasi (tawasuth), pertama-tama antara
dimensi esoteris dan eksoteris —Thariqah dan Syari‘ah, kemudian antara orientasi
duniawi dan ukhrawi, keselamatan individual dan sosial, dan akhirnya antara nilai
rasa (dzawq) dan rasio. Ini sejajar dengan semangat ekuilibrium yang dirintis
semenjak Ibnu Taymiyyah.13
Berbeda dengan kalangan neo-modernis, Simuh (Guru Besar Tasawuf pada
Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga) menilai tasawuf dari perspektif negatif.
Suatu tilikan yang melihat tasawuf bukan dari sejauh mana ia dapat
mengintegrasikan diri ke dalam struktur bangunan ortodoksi. Melainkan, secara
negatif, sejauh mana tasawuf tidak mengandung usur-unsur heterodoksi. Dengan
Namun hal itu sekaligus memperlihatkan posisi seorang modernis yang gigih,
dengan agenda utama pemurnian (purifikasi) tauhid melalui gerakan ‗kembali
kepada Al-Qur‘an dan Sunnah‘. Posisi ini, dalam kategori William C. Chittick,
mewakili pandangan teolog yang berkeyakinan bahwa kebenaran hanya dapat
dicapai melalui wahyu al-Qur‘an, dan bahwa intelek para filosof dan penyingkapan
(kasyf) para sufi cenderung menyesatkan.14
Analisis Simuh mengenai perkembangan tasawuf dengan jelas
memperlihatkan perspektif teologis yang kental. Menurutnya, dalam sufisme
terkandung aspek akidah yang selama ini justru luput dari pengamatan para peneliti
dan pengkaji Islam. Sufisme sebagai suatu paham atau pendekatan ternyata telah
memunculkan dan mengembangkan konsep-konsep akidah yang amat canggih dan
berpengaruh dominan dalam bangun keyakinan umat Islam. Konsep-konsep itu
meliputi dokrin-doktrin teologi, kosmologi, psikologi, epistemologi dan eskatologi
yang secara langsung bertentangan dengan kepercayaan tauhid yang jernih dan
rasional.15
Bertolak tinjauan semacam ini, pemikiran tersebut terlihat sangat orisinal.
dari sini, kalangan modernis cenderung untuk menolak sama sekali klaim legitimasi
tasawuf. Pada Prof. Dr. Simuh, penolakan itu juga berlaku bahkan terhadap gerakan
reformasi tasawuf, suatu gerakan yang nantinya memunculkan neo-sufisme. Setiap
upaya ‗menjinakkan‘ tasawuf pada akhirnya akan sia-sia. Karena tetap tidak bisa
mengelak dari hakikat sufisme beserta dasar pikiran yang menjadi tiang tegaknya.16
Apa yang menjadi hakikat sufisme adalah suatu keyakinan (akidah)
mengenai kesanggupan segolongan orang pilihan untuk berhubungan langsung
(mubasyarah) dengan Tuhan melalui pengalaman kejiwaan yang disebut kasyf.
Pengalaman kasyfi ini inheren dalam setiap pengalaman tasawuf; boleh dikata
identik dengan tasawuf iu sendiri. Tanpa pengalaman kasyfi tidak ada yang dapat
disebut tasawuf. Bahkan reformasi tasawuf yang disebut neo-sufisme, seperti yang
telah kita lihat, tidak dapat mengelakkan prinsip dasar ini. Padahal, dalil kasyfi
selalu menimbulkan akidah yang neko-neko, seperti paham ketuhanan wujudiyyah,
ittihad dan hulul, teori penciptaan teofani dan emanasi, yang kesemuanya berujung
pada muara yang sama, yaitu panteisme. Berbagai jenis heterodoksi dalam tasawuf
inilah yang menjadi alasan prinsipil bagi kalangan modernis untuk, secara definitif,
menolak tasawuf sebagai ungkapan keagamaan yang otentik.17
Persoalan pokok yang senantiasa menjadi fokus utama dalam pro-kontra
tasawuf adalah mengenai tendensi panteistik dalam tasawuf. Perdebatan dari kedua
belah pihak seringkali justru tambah memperkeruh persoalan ketimbang
menjernihkannya.Ini boleh jadi terkait dengan ambang batas ortodoksi dan
panteisme yang selalu samar-samar, peralihannya tidak tegas namun gradual, dan
ekspresinya saling menumpuk dan berpenetrasi. ketakjelasan semacam ini sering
menggelincirkan pengamat pada penilaian sepihak akibat keterbelengguan pada
sudut perspektif. Pendekatan negatif yang dilakukan Prof.Dr. Simuh sebagai misal;
sementara di satu pihak sangat kritis terhadap unsur panteisme dalam tasawuf, di
pihak lain batasan ortodoksi sendiri tidak pernah ditegaskan. Apa yang disebutnya
sebagai kemurnian tauhid lebih banyak diasumsikan ketimbang dijelaskan.
Akibatnya, pendekatan ini tidak dapat berlaku adil terhadap kehidupan tasawuf
karena terjebak pada generalisasi berlebihan, di samping terlanjur kehilangan
simpati. Tidak heran jika sampai muncul komentar semacam ini: ―Kaum theis
pernah dipersalahkan (dan memang tidak tanpa alasan), bahwa mereka teramat
mudah memerikan pantheisme sebagai sistem yang mengadakan identifikasi antara
Tuhan dan manusia‖.18
Untuk memperjernih masalah ini, pertanyaan yang perlu diajukan adalah:
dalam pengertian apa panteisme itu dimaksudkan. Apakah identifikasi Tuhan
dengan alam itu berarti kontinuitas substansial antara Tuhan dan alam, yang berarti
suatu imanensi total. Ataukah bahwa tatanan yang nampak ini diidentikkan secara
essensial dengan Prinsip Ontologisnya. Apabila arti terakhir ini yang diacu maka
transendensi tetap tegak dan ortodoksi dapat dipertahankan. Pada kenyataannya,
banyak unsur panteistik yang dituduhkan kepada para sufi ternyata berdasarkan
pengalaman pribadi mengenai keesaan Allah yang imanen dan transenden sekaligus.
Kemenduaan dalam pengalaman sufi ini memang sering benar menimbulkan
kesalah-pahaman di kalangan orang luar.19
Sebenarnya, panteisme sendiri tidak pernah terjadi selama mengenai Tuhan
dan alam diakui adanya jurang antara Ada yang mandiri dan ada yang serba terbatas.
Dengan kata lain, sejauh analogi dalam cara berada (analogia entis) tetap
dipertahankan. Sekalipun sama-sama memiliki konsep Ada, Tuhan dan alam
dibedakan secara ketat: Tuhan adalah Ada mandiri, ―ens a se‖ (wajib al-wujud), dan
alam adalah ada tergantung, ―ens ab alio‖ (mumkin al-wujud).20
Dalam batasan ini, maka ortodoksi tidak terbatas pada kalam (teologi)
belaka, dan apalagi fiqh. Apa yang disebut Sachiko Murata sebagai ‗tradisi kearifan‘
(sapiential tradition), lebih-lebih memiliki segala hal yang dapat diklaim sebagai
ortodoksi. Sebab, tradisi ini mendasarkan diri pada relasi polar antara pasanganpasangan (azwaj) yang menghasilkan ekuilibrium segala sesuatu. Dengan demikian
dapat dihindarkan kecenderungan yang picik pada satu kutub realitas tertentu.
Polaritas Tuhan misalnya, dipahami sebagai kesetimbangan antara aspek Ilahiah
jalal (kekuasaan, maskulinitas dan transendensi) dan aspek Ilahiah jamal
(keindahan, feminitas dan imanensi), yang akhirnya terjalin satu dalam kamal
(kesempurnaan).21
Meskipun polaritas di atas hendak meneguhkan ekuilibrium, namun karena
struktur polar itu sendiri selalu bermakna ganda, maka pengungkapannya hanya
dapat dilakukan secara paradoks, di mana dualitas dinyatakan serentak dan sejajar
(coincidentia oppositorum). Di sinilah kesalahpahaman itu sering terjadi. Struktur
berdimensi dua dalam ungkapan sufi selalu menggoda setiap pembaca untuk
memasukkan lebih banyak filsafat ke dalamnya daripada yang sesungguhnya dimaui
pengarang. Ibaratnya seperti hendak mengail lebih banyak daripada yang terdapat
dalam kolam. Harus diingat bahwa kaum sufi tidak hendak berusaha menyusun
sistem filsafat. Pernyataan yang mereka buat lebih merupakan ungkapan religius
yang bersifat prakonsepsi. Pernyataan tersebut sudah tentu tidak dapat demikian saja
diperikan sebagai panteisme —sebagaimana ditegaskan Nicholson— kecuali jika
mereka sendiri menggubah perasaannya itu menjadi sistem pemikiran. Dan bahkan
jika mereka memang melakukannnya, hasilnya tetap dapat diperdebatkan tanpa
harus bersikap a priori dulu terhadapnya. Dalam menghadapi persoalan
‗kebahasaan‘ semacam ini metode pendekatan yang dipakai akan sangat
menentukan. Kajian semantik kiranya dapat berbuat adil terhadap tasawuf, di
samping mampu mengungkapkan makna batinnya yang tersembunyi di balik
ungkapan-ungkapan puitis bahkan eksotis. Salah satu contoh terbaik penerapan
metode ini dalam kajian tasawuf adalah tulisan Michael Sells tentang kesatuan
mistik dalam Islam.22
Penutup
Sebagai catatan akhir, tulisan ini sebegitu jauh tidak mendapatkan
kemungkinan untuk menggeneralisir tasawuf sebagai panteisme (shatahat). Tasawuf
sebaliknya dilihat sebagai salah satu manifestasi Islam yang otentik. Bahkan jika
unsur panteisme itu memang benar-benar ada —hal ini masih bisa diperdebatkan—
maka yang harus dilakukan adalah menjernihkan tasawuf dari unsur-unsur
penyimpangan itu, dan bukan malah menolaknya sama sekali.23
Selanjutnya, pembicaraan tentang hubungan tasawuf dengan pendidikan,
(terutama dalam contoh kasus) dalam kehidupan masyarakat Indonesia mengacu
kepada pembicaraan peranan NU melalui salah satu pendukung utamanya, yaitu
pesantren yang merupakan penjabaran real sistem pendidikan dalam tasawuf. Oleh
karena itu, melalui pesantren, tasawuf maju pesat di Indonesia sejak dahulu hingga
kini. Pesantren memiliki peranan menentukan dalam bidang pendidikan. Tidak dapat
dibayangkan keadaan pendidikan pada umumnya dan agama khususnya bagi
masyarakat Indonesia tanpa adanya pesantren ini dan bagaimana mereka dapat
memainkan peran yang diinginkan karena pesantren umumnya di daerah pedesaan
yang merupakan 80% dari jumlah penduduk Indonesia.24
Kenyataan yang dapat dirasakan bahwa pesantren memiliki peran
berkesinambungan dalam mengemban tanggung jawab pendidikan masyarakat dan
melestarikan ajaran-ajaran Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama‘ah. Bukti mengenai hal ini
tiada yang lebih nyata dari terdapatnya pesantren di beberapa wilayah yang
jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sekolah-sekolah
negeri yang menyebabkan banyaknya buta huruf latin dibanding dengan huruf Arab
dikarenakan pengajaran Al-Quran lebih diutamakan daripada pengajaran abjad
latin.25
Para peneliti Indonesia dan orientalis menegaskan pentingnya peran
pesantren bagi pendidikan. Orientalis Waldemar Stohr mengatakan, sesungguhnya
pesantren dengan bermacam-macam nama sesuai dengan tempat, ia berada dan
tersebar di berbagai pelosok Indonesia, telah memainkan peran penting dalam
membentuk pandangan hidup keislaman bagi masyarakat Indonesia melalui
pendidikan internal. Seperti diketahui, pesantren sejak awal pendiriannya memiliki
sistem kehidupan yang berbeda dengan lingkungan sekitar, antara lain pesantren
menawarkan pengajaran ilmu-ilmu agama dan nilai-nilainya dari segala aspek
dengan pemusatan pada penerapan ilmu-ilmu dan nilai-nilai tersebut dengan
mengharap ridha Allah Swt. dan Rasul-Nya.26
Pada awal berdirinya, pesantren memperkenalkan suatu kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan di lingkungan setempat, kemudian terjadi interaksi
antara kedua kebudayaan tersebut, dan yang pertama mempengaruhi yang kedua
sehingga dalam perkembangannya masyarakat menjadi bagian dalam kebudayaan
tersebut dan loyal kepadanya. Seterusnya pengaruh pesantren dalam mengubah gaya
hidup yang menempatkan nilai-nilai Islam menggantikan nilai-nilai yang
sebelumnya berpengaruh di daerah itu, sebelum adanya pesantren.27
Keberhasilan ini umumnya kembali kepada keikhlasan dan dedikasi kiai
atau mursyid demi perjuangan dakwah Islam dalam rangka menanamkan nilai-nilai
Islam dalam masyarakat. Untuk itu ia harus menjadi teladan dan panutan masyarakat
tanpa mengharapkan imbalan apa pun kecuali ridha Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Bahkan terkadang kiai terlebih dahulu harus mengorbankan harta kekayaannya
dalam membangun pesantren semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt. Oleh
sebab itu, Allah Swt. memberkati usaha mereka sehingga ada diantaranya yang
berhasil mendirikan ratusan cabang yang terkadang menjangkau wilayah atau pulau
terpencil. Usaha para kiai akan terus dan masih terus berlanjut dengan izin Allah
Swt. dalam mempertahankan Indonesia tetap sebagai negara Islam dalam
menghadapi aliran-aliran yang menyesatkan.28
Endnote
1
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu Dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM., (Jakarta Pustaka
Firdaus, 1985), Cet.I, h. 28.
2
William C. Chittick, Tasawuf dimata Sufi, diterjemahkan dari sufism : A. Short
Introduction, (Bandung : Mizan, 2002), 49-50.
3
Abu al-wafa‘ al-Ghanini al-Taftazani (selanjutnya disebut al-Taftazani), Sufi Dari Zaman ke
Zaman, Terj. Ahmad Rofi‘ ―Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), Cet.II, h. 4-7.
4
Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), h. 30.
5
Ibid., h. 31.
6
Ibid., h. 31-32.
7
M. Amin Abdullah, ―Tinjauan Antropologi-Fenomenologis Keberagamaan Manusia:
Pendekatan Filsafat untuk Studi Agama-agama‖ dalam Abdurrahman, dkk (ed), 70 Tahun
H.A. Mukti: Agama Dan Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), h.
154.
8
Ibid., h. 157.
9
M. Shohibuddin ―Pro-Kontra Tasawuf Dalam Pemikiran Islam‖, dalam Wacana Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Ushuluddin No. 02/II/Juni/1997, h.18.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid., h. 18-19.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid., h. 19-20.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Dr. Alwi Shiwab, Islam Sufistik: ―Islam Pertama‖ dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Pentj. Dr. Muhammad Nursamad, (Bandung: Mizan, 2001), h. 214.
25
Ibid., h. 214-215.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
Download