seminar sehari kementerian negara pemuda dan olah raga dan

advertisement
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
SEJARAH SUFISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP
MASYARAKAT BARAT MODERN
Rahmatul Husni,
Staf pengajar Universitas Ibnu Khandun,
Email: [email protected]
Abstract
Ada tiga aspek yang penting disorot dalam cara kerja epistemik sufi, yaitu aspek - aspek
mengenai sumber pengetahuan, prosedur pengetahuan, dan produk pengetahuan. Pada
umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber ilmu pengetahuan) yaitu indra, intuisi
(intuition) / ilham (creative imagination), dan nalar (reason). Dari kesemua sumber pengetahuan tersebut, para sufi cenderung lebih mengutamakan hati diatas segalanya. Ajaran tasawuf merupakan 'produk samping' dari persinggungan agama Islam dengan tradisi agama2
tua di sekelilingnya atau berkemungkinan berasal dari Upanishad dan Vedanta Hindu dan bisa
jadi cikal bakalnya ialah Tradisi Hellenisme abad Pertengahan. Mistisisme Kristen, sistem filsafat Neo-Platonisme atau Stoikisme dianggap sebagai unsur yang juga mempengaruhi tasawuf.
Kata Kunci : Sufi, Islam, Barat
~ 23 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
Pengantar
Masalah pengetahuan yang ada di
dunia Timur, yang dikagumi oleh orang –
orang Barat adalah masalah sufisme karena menyangkut aktivitas hati dan jiwa.
Mekanisme sufisme seperti mekanisme
‘irfan merupakan suatu perbendaharaan
ilmu pengetahuan dunia islam. Hal ini
termasuk suatu ilmu baru out of the box bagi
masyarakat Barat yang umumnya berpendapat bahwa segala sesuatunya harus
ditaklukkan pada realita dan berpijak pada
rasio semata. Sehingga materi yang
difokuskan para orientalis dan Yahudi di
Abad modern dalam kajian – kajian Islamic
Studies sebagian besar ialah mengenai objek – objek non empiris khususnya sufisme
(tasawuf).
Kebanyakan masyarakat Barat beranggapan bahwa tasawuf adalah sebutan lain
untuk mistisisme Islam. Bahkan ada yang
mengatakan, there could be no Sufism without
Islam1, seorang Sufi pastilah ia menjadi
seorang Muslim karena tasawuf merupakan suatu wasilah dalam menghayati ajaran agama. Dampak penghayatan tersebut
hanya akan menggiring penganutnya pada
satu agama yang sahih kebenarannya yaitu
Islam. Karena peradaban Islam memang
bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap
wahyu yang kemudian berkembang tradisi
intelektual dan akhirnya menjadi peradaban yang kokoh “being an exposition of the sa1
Sejalan dengan pendapat Willian Stoddard bahwa
seseorang tidaklah menjadi seorang Sufi tanpa menjadi
seorang Muslim. Lihat thesis Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi Al Banteni’s Salaalim
Al-Fudalaa’, McGill University Canada, 1992, hlm. 1;
A.H Johns dalam “Sufism as a Category in Indonesian
Literature and History”, Journal of South East Asian
History vol. 2 no 2 (1961): 23. “Islam did not take root in
Indonesia until the rise of the Sufi orders, and that the
quickening tempo of the development of Indonesian Islam subsequent to the thirteenth century was in the main,
due the labours of the Sufi missionaries”
lient point of distinction between the position of
the theologians, the philosophers, the Sufi dan the
pseudo -Sufi on the ontological relationship between God and the world and related questions”2.
Persoalan di dunia Islam sendiri
mengenai epistemologi sufi masih merupakan isu yang kontroversial dan menimbulkan polemik hingga saat ini.
Menariknya perbincangan tentang tasawuf
dikarenakan pameo bahwa tasawuf
mengandung ajaran yang menumpulkan
pemikiran umat Islam, dilihat dari stagnansi cara berfikir seorang sufi yang seolah
tidak mementingkan aspek duniawi. Ajaran tasawuf memang susah dicerna akal
baik bagi orang awwam maupun para
ulama sehingga bahkan dianggap mengotori ajaran Islam itu sendiri. Sedangkan
di sisi lain banyak aliran tasawuf di dunia,
dan Indonesia khususnya, yang juga
sukses menjadi alternatif pembinaan
akhlak melalui latihan – latihan spiritual
yang ditempuh dalam tarikat.
Terdapat berbagai pendapat mengenai
makna tasawuf ditinjau secara etimologis.
Ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shafw atau shafaa
yang berarti bersih. Pendapat lain mengatakan, tasawuf berasal dari kata shaff yang
berarti barisan waktu shalat. Selain itu ada
juga yang mendefinisikan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti
wol. Istilah ini dinisbatkan pada orangorang yang memakai pakaian itu yang
disebut sebagai orang-orang sufi atau mutasawwif, kehidupan mereka benar – benar
miskin dan sederhana. Pakaian yang ter2
Telaah utama ISLAMIA, THN II No. 5 / April - Juni
2005. Hmid Fahmy Zarkasy hlm. 9 -10 mengutip al - Attas, A comentary on the Hujat al - Ssiddiq of Nur al-Din
al –Raniri, Ministry of Edu and Culture, Kuala Lumpur,
1986, 464-465
~ 24 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
buat dari bulu binatang tersebut mereka
pakai perlambang kemiskinan dan
kesederhanaan, yang berlawanan dengan
pakaian orang-orang kaya yang bisanya
terbuat sutera. Definisi tasawuf menurut
Al-Junaid ialah keluar dari budi perangai
yang tercela dan masuk kepada budi
perangai yang terpuji. Sedangkan definisi
tasawuf menurut Ibn-Khaldun:
“tasawuf itu adalah semacam ilmu
syar’iyah yang timbul kemudian dalam
agama. Asalnya ialah bertekun ibadah
dan memutuskan pertalian dengan
segala selain Allah, hanya menghadap
kepada Allah semata. Menolak hiasanhiasan dunia, serta membenci perkaraperkara yang selalu memperdaya orang
banyak, kelezatan harta-benda, dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju
jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.3
Pada awalnya, sumber ajaran tasawuf
merujuk langsung ajaran-ajaran Islam
yang terdapat dalam Al Qur’an dan AlHadits, dan juga kehidupan para sahabat
Rasulullah Muhammad SAW.4 Namun
dalam perkembangannya, terdapat banyak
istilah baru yang menyebabkan kerancuan
pemahaman seseorang terhadap ahlussufi.
Abu Yazid Al-Bustami dikenal sebagai
seorang Sufi awal yang mengetengahkan
istilah Ittihad yang berarti kesatuan, yakni
kesatuan Tuhan-manusia. Al-Hallaj menyebutnya hulul, yang berarti menjelma,
yakni Tuhan menjelma dalam manusia
dan manusia menjelma dalam Tuhan. Ibn
‘Arabi terkenal karena wahdah-al wujud5,
3
Hamka, 1990, Tasawuf Moderen, Pustaka Panjimas,
Jakarta, hlm.4
4 Hamka, 1994, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan XVIII, Pustaka Panjimas, Jakarta, hlm. 37
5 Menurut Dr Syamsuddin Arif, istilah wahdatu l-wujud
sendiri tidak ditemukan dalam karya – karya Ibn Arabi.
Istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan
oleh Shadruddin al-Qunawi, murid setia sekaligus anak
yakni kesatuan wujud Tuhan dan manusia, dua bentuk dalam satu hakikat, Tuhan
adalah manusia dan manusia adalah Tuhan. Suhrawardi menyebut dengan isyraq,
yang berarti iluminasi atau pancaran, yakni Tuhan memancar dalam manusia.6
Konsep - konsep yang mengarah kepada
“penyatuan” manusia dengan Tuhan seperti yang disebutkan diatas menjadi pokok
perbincangan yang mengundang prokontra opini dan kebingungan berkepanjangan.
Konstruk Epistemologi Sufi
Ada tiga aspek yang penting disorot dalam cara kerja epistemik sufi, yaitu aspek aspek mengenai sumber pengetahuan,
prosedur pengetahuan, dan produk pengetahuan. Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber ilmu
pengetahuan) yaitu indra, intuisi (intuition)
/ ilham (creative imagination7), dan nalar
(reason). Dari kesemua sumber pengetahuan tersebut, para sufi cenderung lebih
mengutamakan hati diatas segalanya. Sehingga terkenallah istilah kasyaf. Kasyf,
menurut kaum shufi adalah melihat hal
yang ghaib dan menyaksikannya dengan
tegas. Dengan demikian mereka mengaku
atau meyakini, kalau sampai pada derajat
kasyf itu maka mereka dapat mengetahui
hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang
tirinya, dan dipopulerkan oleh penulis – penulis
sesudahnya semisal Ibn Sab’in (w. 646 H/1248 M) dan
Afiduddin at-Tilmisani (w. 690 H/1291). Selengkapnya
lihat Dr Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 257
6 Hamka, Ibid, hlm. 93-116
7 Menurut Ibn ‘Arabi, inilah “mata hati” dengan mana
para sufi dapat melihat entitas – entitas spiritual, sebagaimana indra lahir menangkap objek – objek indrawi.
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 85
~ 25 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
tersembunyi, dan memecahkan segala
soal-soal yang pelik8.
Hati atau intuisi menangkap objeknya
secara langsung, sama seperti indera.
Perbedaannya terletak pada jenis objeknya,
objek indera adalah benda – benda inderawi (mahsȗsật) sedangkan objek intuisi
adalah entitas – entitas spiritual (ma’qȗlật)9.
Intuisi inilah yang sering disebut sebagai
ilmu hudhȗrȋ yang hadir begitu saja dalam
diri. Sedangkan bagi para sufi nalar atau
akal pikiran memiliki intensitas yang
masih lemah dalam menunjukkan kebenaran. Yang dimaksud dengan nalar ialah
daya rasional manusia untuk memikirkan
sesuatu.10 Sementara akal menangkap objek – objek non fisik melalui objek – objek
yang telah diketahui, intuisi menangkap
objeknya langsung dari Tuhan, melalui
“penyingkapan (mukậsyafah), penyinaran
(iluminasi), atau penyaksian (musyậhadah)”11.
Mengenai ilham, para sufi menyebutnya sebagai ilmu laduni yang mengandaikan pemberian langsung “makna”
sesuatu oleh Tuhan kedalam hati seorang
hamba yang dikehendakiNya.12 Sumber
yang menjadi rujukan mereka adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para
wali, mimpi-mimpi yang merupakan
‘prolog’ bagi perjalanan bathin seorang sufi, perjumpaan dengan orang-orang mati
yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa)
dengan Nabi Khidhir 'alaihis salaam,
bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh,
8
Lihat HSA Al-Hamdani, Sanggahan terhadap
Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma'arif Bandung, cet.
kedua, 1972, hal. 16
9 Ibid, hlm. 10
10 Dalam epistemology sufi, sejalan epistemologi teologi,
peran nalar tidaklah terpisahkan dari kedudukan wahyu
sebagai sumber utama. Lihat Muhammad Al-Fayyadl,
Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: LKiS, cet. I 2012), hlm 70
11 Mulyadhi, Ibid, hlm. 11
12 Ibid, hlm. 136
dan mengambil (berita) dari jin yang
mereka namakan para badan halus
(ruhaniyyin).
Selanjutnya dalam persoalan ibadah,
orang-orang sufi mempercayai bahwa shalat, puasa, haji, dan zakat itu ibadah orang
awam. Adapun mereka (orang sufi) maka
menamakan diri mereka sebagai orang
khas (khusus) atau khashatul khasah/
khawasus khawas (paling khusus). Oleh
karena itu mereka memiliki ibadah-ibadah
khusus13.
Dalam prosesnya, bagi para sufi ilham
dan intuisi hanya benar - benar bisa dijadikan sandaran apabila jiwa sudah bersih.
Sehingga ada program penyucian jiwa
yang mereka namakan dengan “takhalli,
tahalli, dan tajalli”. Sama dengan konsep
tazkiyatun nafs yang dimulai dengan pembersihan jiwa dari segala kotoran atau penyakit jiwa, menanamkan sifat - sifat terpuji,
dan menirukan segala sifat atau nama
yang indah dari Allah dan Rasulullah.
Setelah ketiga tahapan ini dilaksanakan,
barulah menurut para sufi, hati (intuisi)
benar – benar berfungsi sehingga kasyaf,
tampaklah kebenaran dan kebathilan. Bisa
dikatakan bahwa inti epistemologi sufistik
ialah pengalaman religius (pengalaman
rohani).
Sufisme dan Eropa Abad 18th dan 19th
Mengenai asal – usul sufisme dan
apakah tasawuf sebagai aspek spiritual Islam dipengaruhi oleh system dan disiplin
spiritual yang lain, ada beberapa opini
yang saling bertentangan. Sebagian mengatakan bahwa Ajaran tasawuf merupakan 'produk samping' dari persinggungan
agama Islam dengan tradisi agama2 tua di
13
Hartono Ahmad Jaiz, mengutip Al-Fikrus Shufi, hal
61.
~ 26 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
sekelilingnya14. Atau berkemungkinan berasal dari Upanishad dan Vedanta Hindu
dan bisa jadi cikal bakalnya ialah Tradisi
Hellenisme abad Pertengahan. Mistisisme
Kristen, sistem filsafat Neo-Platonisme
atau Stoikisme dianggap sebagai unsur
yang juga mempengaruhi tasawuf.
Tidak diragukan lagi bahwa orangorang tasawwuf yang percaya seperti
itu mengenai Rasululah SAW, mereka
bukan hanya terpengaruh oleh teori
filosof-filosof kuno tentang teori penciptaan dan pendapat mereka bahwa ciptaan awal itu dengan haba' / debu (atom), dan akal pertama, atau akal fa''aal
(akal kreator)... tetapi mereka (orang tasawwuf) juga terpengaruh oleh apa
yang dikatakan orang-orang Nasrani
mengenai Nabi Isa. Dan tidak diragukan lagi bahwa teori Nasrani
mengenai Al-Masih itu terpengaruh pula dengan pendapat falasifah dalam hal
"akal fa''aal" (akal kreator)15.
Jika ditilik lebih jauh, ajaran tasawuf
yang dianut umat Islam memang beberapa
terlihat agak bercorak panteistis16, terutama
tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang. Konsepsi yang menyatakan bahwa
Tuhan dan alam adalah satu ini benar –
benar menggegerkan para ulama namun
mempesonakan kaum awwam karena
keindahan bahasanya. Terutama di Eropa
pada Abad modern yang mengalami kegersangan dan kehampaan jiwa setelah
sekian lama berkutat dengan corak filsafat
eksistensialisme, positivism, dan rasionalisme. Ajaran panteisme dianggap menjadi
14
Syamsuddin Arif, PhD. Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme. ISLAMIA VOL III NO. 1 2006
15 Ebook Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf dalam Belitan
Iblis,
2005
didownload
dari
http://www.geocities.com/pakdenono/
16 Panteisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma dimana – mana, dan segala yang wujud di alam
merupakan penjelmaannya.
solusi bagi masyarakat Eropa yang materialis sekuleris.
Di Abad modern, Sufisme menjadi
kajian yang paling diminati para orientalis.
Bisa dikatakan bahwa ketertarikan mereka
kepada Islam karena sufisme atau penasaran dengan tasawuf. Namun pemahaman yang salah kaprah mengenai ajaran
esoterik dalam tasawuf juga menjadi latar
belakang munculnya perrenialisme, pluralism, dan transendentalisme. Perennialism yang
diajarkan oleh Aguéli dan Guenon
kemudian dikembangkan oleh beberapa
lainnya seperti Shadhili terinspirasi dari
pemimpin Sufi Eropa yang orientasinya
menjadi agak bervariasi17. Munculnya perrenialisme semenjak terkenalnya Frithjof
Schuon Swiss (w. 1998) dan pengikutnya
Martin Lings British (lahir 1914). Schuon
merupakan penulis dari Inggris, sebelumnya seorang aktor Ian Dallas yang
menekankan bahwa aspek eksoteris atau
hukum yang berorientasi Islam tidak boleh
dipisahkan dari tasawuf. Akan tetapi
sesungguhnya hasil pemikiran Schuon
yang terkenal dengan sebutan religio perennis (agama abadi), sangat bertentangan
dengan Islam itu sendiri dengan mengatakan bahwa ada kebenaran abadi yang
dibawa masing-masing agama hingga saat
ini.
Kesimpulan
"Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah." (An-Naml: 65).
”Barangsiapa mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyu’an. Barangsiapa mengejar kekhusyu’an, ia kehilangan Allah.”
Tasawuf, sebagai ajaran yang baru diakui kehadirannya dalam sejarah sejak
17Lihat
http://mulayanadede.blogspot.com/2013/01/sufidi-eropa.html
~ 27 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
Abad ke – 2 Hijriah memang bisa menimbulkan ambivalensi bagi seseorang, tergantung corak tasawuf nya, ada yang
mengadopsi unsur dari luar Islam dan representasi unsur dari Islam. Namun orang
yang benar – benar menekuni tasawuf biasanya tidak terlihat dalam pengamalannya ada pertentangan antara ma’rifat
dan syari’at. Itu jika dirujuk pada
pengertian bahwa Sufi merupakan orang
yang mencari Tuhannya melalui tarikat.
Sebagai ilmu bathin, pendalaman
mengenai tasawuf sebenarnya tidak bisa
dipelajari: apa yang diberikan kepada
seseorang bisa jadi berbeda dengan yang
lainnya. Dimanapun manusia bisa membersihkan diri; di posisi orang kaya maupun di posisi orang miskin, mereka mestinya berbuat sesuai pembawaannya.
Orang yang obyektif memandang tasawuf bisa melihat bahwa Islam sendiri
tidak butuh tasawuf karena sudah sempurna ajarannnya. Bagi seorang Sufi ekstase
kenikmatan ruhani itu merupakan tujuan
hidupnya, sedangkan Rasulullah menjadikannya hanya sebagai sarana peristirahatan. Ajaran Islam juga mengajarkan
penganutnya menjadi pejuang yang
mengajak pada kebaikan, memerintahkan
yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Itu jelas terlihat dari
hadits mengenai bagaimana cara
Rasulullah SAW menyeimbangkan kebutuhan lahir dengan rohani, hablumminallah
dan hamblumminannaas.
"Ada satu kelompok sahabat
yang datang ke rumah Nabi saw untuk menanyakan kepada isteri-isteri
beliau tentang ibadah beliau. Setelah
mereka diberitahu keadaan ibadah
beliau, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata
satu sama lain, lalu mereka bertanya,
di mana posisi kita dibandingkan
dengan Rasulullah saw padahal Allah telah mengampuni dosa beliau,
baik yang terdahulu maupun yang
akan datang? Lalu salah seorang dari
mereka berkata: "Saya akan puasa
sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang kedua mengatakan:
"Saya akan bangun (shalat) malam
dan tidak tidur." Yang ketiga berkata: "Saya akan menjauhi wanita dan
tidak akan kawin selama-lamanya."
Lalu Rasulullah saw datang kepada
mereka seraya bersabda:
"Kamukah yang telah berkata
begini dan begitu tadi? Ketahuilah,
demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan kawin
dengan perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku
bukanlah ia dari golonganku."18
Namun bagi masyarakat Barat yang belum mengenal Islam, tasawuf bisa menjadi
jembatan untuk menjawab pertanyaan –
pertanyaan mereka mengenai metafisik,
ketuhanan, eksistensialisme manusia dan
lain – lain. Beberapa pengaruh tasawuf
bagi masyarakat Barat modern yang terdistorsi ‘rasa keberagamaannya’ oleh paham
– paham rasionalistik yang mereka ciptakan sendiri, yaitu:
1. Mengajar orang Eropa untuk mendahulukan dzikir daripada
pikir. Ini merubah cara pandang
masyarakat yang semula berfikir empirik-rasionalistik menjadi bercorak sufistik.
18
HR Bukhari dan lainnya
~ 28 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
2. Pengaruh dalam karya sastra. Semenjak adanya kajian mengenai
sufisme, karya – karya Rumi, Ibn
‘Arabi menjadi popular dan
mempengaruhi cara berfikir masyarakat Barat yang semula individualistik
menjadi toleran, cinta damai, dan
mengutamakan persaudaraan. Misalnya terlihat pada puisi – puisi Goethe,
dan para penyair ulung lainnya.
3. Memberikan sumbangan
keilmuan tentang tauhid kepada
masyarakat Barat. Bagi mereka para
ilmuwan Barat yang benar – benar
serius menelaah karya – karya para sufi, hal ini bisa menjernihkan pandangan mereka tentang konsep
Ketuhanan dalam Islam. Meskipun di
sisi lain terjadi kesalahan dalam
pengkajian, sehingga juga malah menimbulkan masalah baru: isu panteisme,
perrenialisme, pluralism dan trensendantalisme.
[*]
~ 29 ~
Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayyadl, Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn ‘Arabi : Kritik Metafisika
Ketuhana.,. Yogyakarta: LKiS.
Arberry, A.J. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf, Judul Asli “Sufism: An Account of the Mystics of Islam” diterjemahkan oleh Bambang Herawan, Bandung:
Penerbit Mizan.
Al-Sya’rậni, ‘Abd Al-Wahhậb. 2003. Beranda Sang Sufi: Jejak Langkah Para
Arif Sejak Sahabat sampai Ulama Fiqh, Disadur dari judul asli “Al-Thabaqật AlKubrậ Al-Musammật bi Lawậqih Al-Anwậr fȋ Thabaqật Al-Akhyậr” oleh Syarif
Hade Masyah, Lc. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama. 1985. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan
Kitab
Suci Al-Qur’an Departemen Agama RI, Jakarta.
Fakhry, Majid. 1983. Sejarah Filsafat Islam, Judul Asli “A History of Islamic
Philosophy” diterjemahkan oleh Mulyadhi Kertanegara, Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamka. 1990. Tasawuf Moderen. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka. 1994. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan XVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Malik, Jamal dan John Hinnels. 2006. Sufism in the West. New York: Routledge.
Mulyati, Sri, et al., 2006. Mengenal dan Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana,
Mulyati, Sri. 1992. Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi Al Banteni’s Salaalim Al-Fudalaa’, Canada: McGill University
Permata, Ahmad Norma. 1996. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rasjidi, H.M., 1975, Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
~ 30 ~
Download