BAB III TEORI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG

advertisement
BAB III
TEORI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
JUDICIAL REVIEW
A. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
1. Hierarki Norma Hukum (stufentheorie Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky)
Tidak ada sistem didunia ini yang secara positif mengatur tata urutan
peraturan perundang undangan. kalaupun ada pengaturannya hanya hanya sebatas
pada asas yang menyebutkan misalnya: “Peraturan daerah tidak boleh bertentang
dengan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
tingkatannya’.atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the
land”.159
Dalam buku Hans Kelsen “General Theori of Law and State” terjemahan
dari teori umum tentang hukum dan negara yang diuraikan oleh Jimly Assihiddiqie
dengan judul Teori Hans Kelsen tentang hukum antara lain bahwa.160 Analisis
hukum, yang mengungkapkan karakter dinamis dari sistem norma dan fungsi
norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari hukum: hukum
mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara
untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu,
menentukan isi dari norma yang lainnya itu. Karena, norma hukum yang satu valid
lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain,
159
Ni’matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review, Cetakan Pertama
(Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm.48.
160
Hans Kelsen, teori Umum Tentang Hukum dan Negara Judul Aslinya (Theory Of Law
and State) Diterjemahkan Rasul Muttakin, (Bandung, Cetakan ke IV, Nusa Media, 2010,
hlm:179). Bandingkan Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi
Perss, 2009), hlm 109.
98 dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang
disebut pertama.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu
susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan
bersumber, dan berdasar dari norm yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga
bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai
berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar
(Grundnorm) dan masih menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma yang
dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk
dan dihapus oleh lembaga-
lembaga otoritas-otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma
yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (Inferior ) dapat dibentuk
berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu Hierarki.161
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan
norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “Superordinasi”
dan “Subordinasi” yang special menurutnya yaitu.
a. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang
lebih tinggi;
b. Sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang
lebih rendah.
c. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam
bentuk Negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya
dikoordinasikan yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu
tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
161
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 14-15.
99 Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan
norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang
lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi
lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri
oleh suatu norma dasar tertinggi yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas
keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Norma
adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungan dengan
sesamanya atau dengan lingkungan.
Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab dan
sering juga disebut pedoman,patokan, atau aturan dalam bahasa indonesia mulamula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau
patokan untuk membentuk sudut atau garis yang dikehendaki. dalam
perkembangan, norma itu diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang
dalam bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat jadi, norma adalah segara
peraturan yang harus dipatuhi.162 Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa:
1. Norma membentuk norma dan norma yang menjadi dasar pembentukan norma
lebih tinggi dari pada norma yang dibentuk seterusnya sampai pada norma
yang paling rinci.
2. Dalam kehidupan bernegara dimulai dari,
a. Konstitusi.
b. kemudian norma hukum yang dibentuk atas dasar konstitusi
c. Selanjutnya hukum yang substantif atau materil dan seterusnya
162
Maria Parida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Disarikan dari Perkuliahan Hamid S.
Attamimi, (Yogyakarta: Kanisius, 1998) hlm 6.
100 Karena norma membentuk norma, maka norma yang dibentuk dari norma
dasar yang membentuknya, tidak boleh bertentang dengan norma dasar
pembentukannya. Dengan kata lain bahwa ketentuan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh suatu negara maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan ddengan ketentuan yang lebih tinggi.
a. Struktur Norma dan Struktur Lembaga
Dalam membahas masalah struktur norma dan struktur lembaga kita
dihadapkan pada teori yang dikemukahkan oleh Benyamin Akzin yang ditulis
dalam bukunya diberi judul, Law, state, and International Legal Order. Benyamin
Akzin mengemukahkan
bahwa pembentukan norma-norma hukum publik itu
bebrbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat karena apabila kita
lihat dari struktur norma ( Norm structure ), maka hukum publik itu berada diatas
hukum privat, sedangkan apabila dilihaqt dari struktur lembaga ( isntitutional
structure ), maka public authorities terletak pada pada pada population. 163
Dalam hal pembentukan norma –norma hukum publik itu dibentuk oleh
lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut
suprastruktur sehingga dalam hal ini terlihat jelas bahwa noorma-norma hukum
yang diciptakan oleh lembaga-lembaga negara ini mempunyai kedudukan lebih
tinggi daripada norma-norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat akan yng
disebut Infrastruktur.164
163
Maria Farida Indrati Sueprapto, Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta: Kanisius, 1998),
hlm 26.
164
Benyamin Akzin, Law, State and International Legal Order,: essays in Honor kelsen,
Knoxville the University of Tennesee, 1964, hlm 3-5.
101 Oleh karena Norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga negara,
sebenarnya pembentukannya harus dilakukan secara lebih hati-hati, sebab norma
hukum publik itu harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan masyarakat.
Jadi berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat. Norma hukum
privat itu biasanya harus sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakat oleh
karena itu hukum privat itu dibentuk oleh masyarakata yang bersangkutan dengan
perjanjian atau transaksi-transaksi yang bersifat perdata sehingga masyarakat
dapat merasakan apakah norma-norma hukum itu sesuai atau tidak dengan
kehendak atau keinginan masyarakat.
b. Tata susunan norma hukum negara (Hans Nawiasky)
Hans nawiasky, salah seorang murid hans Kelsen, mengembangkan teori
gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitan dengan suatu negara. Hans
Kelsen dalam bukunya : allegemeine Rechtslehre mengemukahkan bahwa sesuai
dengan teori Hans Kelsen
suatu norma hukum dari negara manapun
selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norm a yang dibawah berlaku ,
berdasar dan bersumber dari norma yang lebih tinggi lagi, norma yang lebih tinggi
berlaku , berdasar dan bersumber dari orma yang lebih tinggi lagi, sampai pada
suatu norma yang tertinggi disebut Norma Dasar,. Tetapi Han Nawiasky juga
berpendapat selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum
dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok . Hans Nawiasky juga
mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat
kelompok besar yang terdiri atas :
102 1). kelompok I
: staatspundamentalnorm (Norma Pundamental Negara ).
2). Kelompok II
: Staatgrundsetz (aturan dasar/pokok negara)
3). Kelompok III
: Formell Gesetz (Undang-undang formal)
4). Kelompok IV
: Verordnung dan autonome satzung (aturan pelaksana dan
aturan otonom ).165
Kelompok-kelompok noma hukum tersebut selalu ada tata susunan norma hukum
setiap negara walaupun mempunyai istilah berbeda-beda ataupun jumlah norma
yang berbeda dalam setiap kelompoknya.
c. Norma fundamental Negara
Norma hukum tertinggi yang merupakan kelompok pertama adalah
Staatfundamentalnorm, diterjemahkan oleh Notonegoro dalam pidatonya pada
dies natalis universitas airlangga yang pertama 10 november 1955 dengan ‘pokok
kaidah fundamental Negara.166 Kemudian oleh Joeniarto, dalam bukunya yang
berjudul “ Sejarah Ketata Negaraan Indonesia, disebut dengan Istilah Norma
Pertama,.167
Sedangkan oleh A. Hamid S. Attamimi disebut dengan norma fundamental
Negara.168 Norma Fundamental merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
tetapi pre supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu
165
Hans Nawiasky, Allgemeine als recht System Lichen Grundbegriffe, (ensiedenln
/Zurich/koln, benziger, cet. 2 1948), hlm 31 dst.
166
Notonegoro, Pancasilah dasar palsafah Negara, (Kumpulanm 3 pokok uraian
persoalan tentang pancasila), cet. 7, (jakarta : Bina Aksara, 1988), hlm 27.
167
Joeniarto, sejarah Ketata Negaraan republik Indonesia, cet pertama, (Jakarta : Bina
Aksara, 1982), hlm 6.
168
A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara( Satu Studi Analisis Keputusan Presiden yang berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I Pellita VI), Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
(Jakarta : 1990), hlm 359.
103 negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma
hukum dibawahnya. Dikatakan bahwa norma yang lebih tinggi tidak dibentuk oleh
norma yang lebih tinggi lagi karena kalau norma yang lebih tinggi itu dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi lagi, ini bukan merupakan norma tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu
negara (staatsverfassung), termaksud norma pengubahannya, dalam negara norma
dasar ini disebut juga sebagai landasan dasar filosofisnya yang mengandung
kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.169
d. Aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Aturan dasar negara adalah aturan pokok negara ( Staatsgrubgesetz )
merupakan kelompok norma hukum yang diabwa norma fundamental negara,
norma-norma dari aturan dasar/pokok negara ini merupakan aturan Yang bersifat
pokok
danmerupaka n aturan-aturan umumyang masih bersifat garis besar
sehingga masih merupakan normal tunggal dan belum disertai norma sekunder.
Menurut Hans Nawiaky. Suatu aturan dasar/ pkok suatu negara dapat
dituangkan dalam suatu dekomen negara yang disebut staatsverfassung atau dapat
juga dituangkan dalam beberapa dekumen yang tersebar yang disebut istilah
Staatsgrundgesetz.
Di dalam aturan pokok biasanya diatur mengenai pembagian kekuasaan
negara dipuncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara
lemabaga-lembaga tinggi/tertinggi negara serta diatur hubungan antar negara dan
169
A. Hamid attamimi, UUD 1945-Tap MPR Undang-Undang (Kaitan Norma Hukum
Ketiganya) (Jakarta 31 november 1981), hlm 4.
104 warga negara. Di negara Indonesia maka aturan pokok tersebut tertuang dalam
Batang Tubuh UUD 1945 dan ketetapan Majelis pemusyawaratan. Serta dalam
hukum tidak tertulis sering disebut Konvensi ketatanegaraan. Aturan dasar pokok
negara ini merupakan landasan bagi pembentukan Undang-undang
(Formell
gesetz ) dan peraturan lain yang lebih rendah. Isi penting bagi aturan dasar , selain
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara, juga terutama aturaaturan memberlakukan dan memberikan kekuatan mengikat kepada norma hukum
peraturan-peraturan perudnag-undangan, atau dengan kata lain menggariskan tata
cara mebentuk peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengikat secara
umum.170
Dalam Penjelasan Undang-Undang
dasar 1945 Staatsgrundsetz imi
disebut dengan istilah aturan pokok yang disebutkan dalam penjelasan umum
angka IV UUD 1945 berikut.
“Maka Cukum jelas jikalau UUD hany membuat atura-aturan pokok,
hanya membuaty garis-garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah
pusat dan lain-lain. Penyelenggara negar untuk menyelenggarakan
kehidupan bernegara dan kesejatraan sosial. Terutama bagi negar-negar
yang masih muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat
aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih
mudah cara membuatnya. Mengubah dan mencabutnya.171
Dengan demikian, jelaslah bahwa aturan dasar pokok negara merupakan
sumber dan dasar terbentuknya suatu Undang-undang ( formell gesetz ), yang
merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan yang bisa mengikat
langsung setiap orang.
170
171
A. Hamid S. Attamimi, Op. cit., hlm 5.
Maria Farida Indrati Sueprapto, Ilmu ... op. cit., hlm 31.
105 Aturan dasar atau aturan pokok negara yang lainmya adalah aturan yang
tertuang dalam Ketetapan-ketetapan Majellis Pemusyawratan
Rakyat yang
merupakan garis-garis besar haluan negara. Ketetapan MPR ini juga merupakan
aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum dan bersifat garis
besar sehingga masih merupakan norma tunggal serta belum disertai norma
sekunder.172
Ketetapan MPR berisi pedoman–pedoman dalam pembentukan peraturanperaturan perundang-undangna walaupun hanya sebatas material, dimana setiap
ketetapan MPR ini dapat dibuat setiap 5 tahun sekali dalam sidang MPR.
Selain aturan dasar/pokok negara yang tertuang dalam batang tubuh UUD
1945 dan dalam ketetapan MPR
kita masi mengenakl pula adanay aturan
dasar/pokok negara dalam bentukj hukum dasar tidak tertulis atau biasa juga
disebut konvensi ketata negara yang merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Seperti halnya batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan MPR, hukum dasar
tak tertulis itupun merupakan aturan dasar/pokok negara yang menjadi pedoman
terbentuknya peraturan perudnag-undangan dalam negara kita. Hukum dasar
yang tidak tertulis dan berlaku dalam negara kita dewasa ini adalah
adanya
kebiasaan penyeleenggaraan pidato kenegaraan oleh presiden pada tanggal 16
agus, atau adanya pengesahan/ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional
dengansuatu undang-undang atau dengan keputusan presiden, dan sebagainya.173
172
173
Ibid., hlm 31.
Ibid., hlm 32.
106 e. Undang-Undang formal
Ini merupakan kelompok yang merupakan dibawah aturan dasar /pokok
negara, atau disebut Undang-undang dalam arti (Formal) berbeda dengan
kelompok-kelompok diatasnya , maka norma dalam suatu undang-undnag adalah
norma yang kongkrit
terinci serta dapat langsung berlaku
dalam suatu
masyarakat. norma hukum dalam undang-undang ini tidak hanya norma ynag
bersifat tunggal, tetapai sebagai norma hukum suda dilekati oleh norma sekunder
disamping norma primernya, sehingga suatu undang-undang sudah dapat
mencantumkan norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa. Dan norma ini berbeda debga norma yang lain karna norma ini dibentuk
oleh lembaga legislatif.174
f. Peraturan pelaksana dan peraturan Otonom
Kelompok
hukum
norma
terakhir
adalah
peraturan
pelaksana
(Verordnung)dan peraturan Otonom (autonomer satzung) ini merupakan peraturan
yang etrletak dibawah undang-undang
yang berfungsi menyelenggarakan
ketentuan dalam undang-undang , dimana peraturan pelaksana bersumber dari
kewenangan delegasi, sedanggkan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pemnbentukan peraturan perundang-undangan
ialah kewenangan membentuk peraturan perundang-udang-undangan yang
diberikan oleh undang-undang dasar atau undang-undang kepada suatu lembaga
negar /pemerintahan
dan kewenangan ini bersifat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas 174
Ibid., hlm 34.
107 batas yang diberikan.175 Contohnya UUD 1945 pasal 5 ayat (1) memberikan
kewenangan kepada prisiden untk membentuk undang-undang. Dan UU no 5
tahun 1974. Memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah membentuk
perda dengan sanksi pida serendah-rendahnya 6 bulan kurungan
dan denda
sebanyak Rp 50.000.
Delegasi adalah kewenangan dalam pembentukan peraturan perundangundangan, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada peraturan perundangan-undangan dibawahnya. baik pelimpahan itu
dinyatakan dengan maupun tidak dengan delegasi berlainan dengan atribusi
kewenangan tersebut tidak diberikan melainkan diwakilkan. Dan juga kewenangan
delegasi bersifat sementara dalam artinya kewenangan ini dapat dilaksanakan
sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.176 Contoh Pasal ayat (2) UUD 1945
adalah pemberian kewenangan delegasi bagi sautu pemerintahan untuk
melaksanakan suatu Undang-undang.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk atas dasar norma
Undang-Undang Dasar maka secara filosofis tidak boleh bertentang dengan norma
dasar pembentukannya yaitu, Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain bahwa
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang terbentuk atas dasar UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi alat uji terhadap Ketetapan
175
176
Ibid., hlm 35.
Ibid.,hlm 36.
108 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau Ketetapan MPR RI sebagai
mana dimaksud pada Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dari
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, pada konsideran mengingat yang mengacu pada Pasal
20,21 dan 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menyatakan antara lain bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara
hukum dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas Peraturan PerundangUndangan yang baik maka perlu dibuat Peraturan mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang
pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang adalah wadah ditemukannya norma dan pada undangundang Nomor 12 Tahun 2011 ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum Negara. Ditempatkannya pancasila
sebagai sumber dari segala sumber shukum Negara adalah sesuai dengan
pembukaan Undang-Undang Dasas Negara RI Tahun 1945 alinea keempat, yaitu
bahwa:
1. Negara berketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradap
109 3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/perwakilan, dan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Menempatkan pancasila sebagai dasar dan sebagai ideologi Negara serta
sekaligus sebagai dasar filosofis Negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan tidak boleh bertentang dengan nilai-nilai yang terkandung
didalam pancasila.
Berbeda dengan struktur Perundang-undangan yang pernah ada di
Indonesia selama ini, dalam hal ini struktur Perundang-undangan menurut;
1. Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara
Nomor
XX/MPRS/1966 tentang sumber tertib hukum dan tata urutan Perundangan
Republik Indonesia yang membagi atas dan membedakan antara sumber tertib
hukum Republik Indonesia dengan tata urutan Perundangan Republik
Indonesia
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang tata
urutan Perundang-Undangan
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Diantara keempat ketentuan yang mengatur tentang sumebr tertib hukum
sebagaimana disebutkan di atas hanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
yang tidak mencantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
salah satu sumber tertib hukum dengan alasan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat bukan lagi lembaga tertinggi Negara.
Peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) disusun dalam satu
tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-undangan.177 Maksudnya
adalah peraturan perundang-undangan lebih tinggi berlaku, bersumber dan
177
Ni’matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Rajawali Perss, 2005),hlm.37
110 berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan
seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi
tingkatannya. Konsekuensinya, setiap peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Salah satu teori yang mendapatkan perhatian dan berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan adalah mengenai teori umum tentang piramida
perundang-undangan yang dikenal dengan nama Teori Stufenbau (Stufenbau des
recht theorie) yang digagas oleh Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen :
“setiap tata kaidah hukum merupakan suatu susunan daripada kaidahkaidah ( stufenbau des rechts) di puncak stufenbau terdapat kaidah dasar
dari suatu tata hukumnasional yang merupakan kaidah fundamental.
Kaidah dasar tersebut disebut grundnorm atau ursprungnorm.
Grundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, umum
dan hipotesis, kemudian bergerak ke generallenorm (kaidah umum), yang
selanjutnya dipositifkan menjadi norma yang nyata (concrettenorm)”.178
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang
muridnya yang bernama Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma-norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan),
dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
178
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi untuk memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.287,
lihat juga I Gde Pantja Astawa, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di
Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1990), hlm.36.
111 yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu
Norma Dasar (Grundnorm).179
Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
mempunyai dua wajah (das doppelte Rechtsantlitz). Menurut Adolf Merkl suatu
norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya,
tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di
bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
(rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang
berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang
berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.180
Norma dasar yang dimaksudkan oleh AdollfMerk tidak sama dengan
Grundnorm yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Letak perbedaannya adalah
kalau norma dasar yang dimaksud Merkl sebagai tempat bergantungnya normanorma dibawahnya itu adalah kerangka berfikir untuk teori jenjang norma hukum,
ia memang dapat diubah (seperti amandemen UUD sebagai norma hukum
tertinggi), sedangkan Grundnorm menurut Hans Kelsen itu adalah sesuatu yang
abstrak, diasumsikan tidak tertulis dan berlaku secara universal. Ia menjadi
landasan segala sumber hukum dalam arti formal dan ia meta juristic sifatnya.181
Teori Hans Kelsen kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans
Nawiasky dalam teorinya yang disebut die lehre vom dem stufenaufbau der
179
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi
Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 41.
180
Ibid, hal.41-42.
181
I Gde Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,
(Bandung; PT. Alumni, 2008), hlm 37.
112 Rechtsordnung atau die stufenordnung der Rechtsnormen. Menurut Hans
Nawiasky, norma-norma hukum dalam negara selalu berjenjang yakni sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.
Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
Aturan-aturan dasar negara/aturan pokok negara (staats grundgezetz);
Undang-Undang (formal) (formallegezetz);
Peraturan pelaksanaan serta Peraturan otonom (verordnung & autonomi
satzung).182
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans
Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya
tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau
norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah,
sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.183
Di bawah norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) terdapat aturan
pokok negara (staats grundgezetz) yang biasanya dituangkan dalam batang tubuh
suatu Undang-Undang Dasar atau konstitusi. Dibawah staats grundgezetz terdapat
norma yang lebih konkrit yakni formallegezetz (undang-undang formil),
sedangkan norma yang berada di bawah formallegezetz adalah verordnung dan
autonomie satzung (peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi).184
182
Ibid, hlm.38.
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta : Sekertariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm.170.
184
I Gde Pantja Astawa, Loc. Cit. 37.
183
113 Akibat posisi norma hukum mempunyai struktur hierarki tersebut maka
keberlakuan suatu norma hukum yang mempunyai struktur hierarki tersebut maka
keberlakuan suatu norma hukum yang lebih rendah akan sangat tergantung kepada
norma yang ada di atasnya, yang menjadi gantungan atau dasar bagi berlakunya
norma tersebut. Ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh suatu norma yang lebih
tinggi merupakan das sollen bagi pembentukan norma yang lebih rendah. Dengan
demikian, suatu norma hukum yang lebih rendah dengan sendirinya akan tercabut
atau tidak berlaku lagi, apabila norma hukum yang ada diatasnya yang menjadi
dasar dan menjadi sumber berlakunya norma tersebut dicabut atau dihapus. Atau
dengan kata lain norma hukum yang berkedudukan lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya yang menjadi
dasar atau sumber berlakunya norma itu.185
2. Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia
a. Sistem Norma Hukum indonesia Menurut UUD 1945
Sejak lahirnya
Negara Republik Indonesia
dengan proklamasi
kemerdekaan, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstutis
Negara indonesia, maka terbuktuknya sistem norma hukum Negara Republik
Indonesia Apabila kita bandingkan
dengan teori jenjang
norma hukum
(stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum ( die theori vom
stufent ordnung der Rechtsnormen ) dari Hans Nawiasky terdahulu, kita dapat
melihat ada dua cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma
185
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur Perubahan UUD di
Indonesia 1945- 2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia, (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2004), hlm.41.
114 hukum Negara republik Indonesia. Dalam sistem norm Republik Indonesia ,
norma yang berlaku berda pad satu sitem yang berlapis-lapis berjenjang-jenjang
sekaligus berkelompok-kelompok , dimana suatu norma itu berlaku , bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai apad
sautu norma dasar negara ( Staatsfundamentalnorm ) republik Indonesia, yaitu
Pancasila.186
Di dalam sistem hukum Negara Republik indonesia, Pancasila merupakan
Norma Fundmental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang
kemudian berturut-turut diikuti batang tubuh Undang-Undang Republik
Indonesia, Ketetapan Majellis Pemusyawarata Rakyat (TAP MPR), serta hukum
dasar tidak tertulis atau disebut dengan Konvensi Ketata negaraan sebagai aturan
dasar negara atau aturan pokok negara ( Staatsgrundgesetz), Undang-Undang dan
Perpu ( formell gesetz ) serta peraturan pelaksana dan peraturan otonom
(Verordnung dan autonome Satsungz ) yang dimulai dari peraturan pemerintah,
Peraturan
Presiden,
Peraturan
Daerah
provinsi
dan
Peraturan
Daerah
kabupaten/Kota.187
b. Hubungan
(Staatfundamentalnorm)
Pancasila
dengan
(Verfassungsnorm) UUD Tahun 1945
Apabila kita membahas tentang hubungan antara norma fundamental
negara (Staatfundamentalnorm) Pancasila dan aturan dasar negara atau aturan
pokok negara (Verfassungsnorm). Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia tahun 1945, yaitu pada penjelasan tentang Undang-undang dasar
186
187
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op., cit., hlm 39.
Ibid., hlm 40.
115 Negara Indonesia yaitu pada penjelasan umum angka III yang menentukan adalah
sebagai berikut:
“Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatina Undang-undang Dasar Negara
republik Indonesia, pokok pikirsn tersebut menunjukan cita-cita hukum
(Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum tertulis
(Undang-Undang Dasar) Maupun hukum yang tidak tertulis. UndangUndang Dasar diciptakan poko-pokok pikiran ini dala pasal-pasalnya.”
Dari rumusan tersebut dapat kita bahwa kedudukan Pembukaan UndangUndang dasar 1945 adalah lebih utama dari pada batang tubuh karena Pembukaan
Undang-Undang 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah
Pancasila.
Dengan demikian pokok-pokok yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang 1945 yang mencerminkan pancasila itu yang menciptakan pasalpasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
sehingga Pancasila
Mempunyai kedudukan yang fundamental Negar (staatsfundamentalnorm) yang
menjadi
dan sumber bagi Aturan Dasar Negara aturan Pokok Negara
(Verfassungnorm), yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar1945.
Selain itu penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 juga menyebutkan
Istilah ‘ Cita-cita hukum (rechtsidee)’. Istilah Cita-cita hukum (rechtsidee)
didalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ini menurut A. Hamid
S.Attamimi kurang tepat oleh karena Istilah ‘cita-cita’ itu berarti keinginan,
kehendak atau harapan, sedangkan Istilah rechtsidee lebih teapt kalau
diterjemahkan dengan cita hukum.
116 “cita hukum ialah terjemahan dari rechtsidee. Berbeda berbeda dengan
terjemahan dengar terjemahan yang ada dalam Undang-Undang Dasar
1945, penulis berpendapat rechtsidee diterjemahkan dengan cita hukum
bukan ‘cita-cita hukum’ mengingat ‘cita hukum’ adalah gagasan
,rasa,cipta,pikiran sedangkn cita-cita adalah keinginan, kehendak harapan
yang salalu ada dalam pikiran atau di hati.188
Selanjutnya dikatakan bahwa kelima sila dari pancasila dalam kedudukan
sebagai
cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupannya bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara secara positif merupakan bintang
pemandu yang
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberikan isi
kepada setiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan
kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan sila-sila
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangpasangan merupakan asas hukum umum.189
Dengan alasan tersebut jelaslah bahwa pancasila adalah asas fundamental
Negara
(staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan cita hukum
merupakan dasar dan sumber serta pedoman bagi Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai Aturan Negara dan Aturan Pokok Negara (verfassungnorm)
swerta peraturan perundang-undangan lainnya.
c. Hubungan Verfassungnorm UUD 1945
dengan Norma Hukum
Ketetapan MPR
Apabila kita melihat teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, kita
melihat
bahwa
Negara
Republik
Indonesia
staatsgrundgesetz itu trediri dari Verfassungnorm
kelompok
norma
dari
UUD 1945 yang terdapat
188
189
A. Hamid S. Attamimi, op., cit. hlm. 308.
Ibid.,hlm 323.
117 didalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hukum dasar tidak
tertulis (Konvensi Ketatanegaraan).
Norma hukum yang ada dalam aturan dasar negara atau aturan pokok
negara, yaitu dalam Verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR,
merupakan norma-norma hukum yang masih bersifat umum dan garis besar dan
masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun
sanksi memaksa, tetapi kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari
Ketatapan MPR walaupun keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu
Majelis Pemusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi di Negara Republik
Indonesia.
Sampai saat ini masih banyak orang mempersoalkan mengapa Ketetapan
MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah dari Undang-Undang Dasar
1945, padahal keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Majelis
Pemusyawaratan. Pertanyaan ini timbul karena sampai saat ini masih banyak
orang yang beranggapan
ketiga fungsi Majelis Pemusewaratan Rakyat itu
membuat bobot yang sama, sedangkan apabila kita perhatikan benar-benar, ketiga
fungsi Majelis Pemusywaratan Rakyat bisa kita bedakan dalam dua kulitas, yaitu;
1. Fungsi I
: Menetapkan Undang-Undang Dasar.
2. Fungsi II.a
: Menetapkan garis Besar haluan Negara.
3. Fungsi II.b
: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang menjalankan fungsi pertama mempunyai
kedudukan yang lebih utama daripada dalam menjalankan fungsi yang kedua
karena dalam menjalankna fungsi yang pertama MPR mempunyai mempunyai
118 kualitas Konstituante, yaitu menetapkan Udang-Undang Dasar yang hanya akan
dilaksanakannya apabila Negara benar-benar menghendaki perubahan UUD itu,
jadi secara tidak teratur, sedangkan fungsi yang kedua itu selalu dilaksanakan
secara teratur dalam jangka lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis
Pemusyawaratan Rakyat bersidang.
Kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 yang berada diatas ketetapan
MPR
menjadi
lebih
(Selbtsbinduringgtheorie)
jelas
dari
apabila
George
memakai
teori
jellinek.secara
pengikatan
teori
diri
Majelis
Pemusyawaratan Rakyat yang mempunyai kualitas utama sebagai konstituante itu
mula-mula menjalankan fungsi pertama, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Tapi begitu Undang-Undang Dasar itu dibentuk, Majelis Pemusywaratan
itu mengikatkan diri
pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar
yang ia bentuk sesuai dengan
Selbtsbinduringgtheorie, sehingga dalamn
menjalnkan fungsinya yang kedua, yaitu menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara, dan memilih Presiden dan wakil Presiden yang dituangkan dalam
Ketetapan MPR, majelis Pemusyawaratan tunduk pada aturan-aturan yang
ditentukan dalam Undang-Undang dasar tersebut.
Selain peninjauan dalam hal fungsi Mejelsi Pemusyawaratan Rakyat, kita
melihat dari segi. Dalam hal perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan
adanya persyaratan-persyaratan
formal yang tertuang dalam pasal 37 yang
berbunyi sebagai berikut;
Pasal 37 ayat (1): untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurang 2/3
dari pada jumlah majlis Pemusywaratan rakyat harus hadir.
Pasal 37 ayat (2):Putusan diambil dengan persetujuan sekurang kurangnya 2/3
darpada jumlah anggota yang hadir.
119 Kemudian persyaratan-persyaratan formal lainnya yang ditentukan untuk
berubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk memenuhi Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang menentukan pasal
2 sebagai
berikut: Pasal 2, Apabila Majelis pemusywaratan Rakyat berkehendak untuk
merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat
Rakyat melalui Referendum.
Tetapi disamping persyaratan formal tersebut, sebenarnya ada persyaratanpersyaratan material yang lebih utama dan lebih esensial, yaitu “perubahan
Unang-Undang Dasar 1945 tidak boleh mengganggu keselarasan dan harmoni
kaidah-kaidah yang tercantum dalam pembukaan sebagaimana terlihat pada
penjelasan umum UUD 1945. Angka III yang berbunyi, Undang-Undang Dasar
Menciptakan Pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaan dan pasalpasalnya.
Ini berarti bahwa norm-norma hukum yang tercantum dalam pasal-pasal
Batang
Tubuh
Undang-Undang
dasar
1945
adalah
Penciptaan
atau
pengejawantahan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan,
yang menurut tafsiran penjelasan UUD 1945 sendiri tidak lain tidak bukan ialah
Pancasila.190
Apabila kita lihat dalam uraian tersebut jelaslah bahwa dala m menetapkan
dan mengubah, ataupun mencabut suatu Undang-Undang Dasar diperlukan syaratsyarat yang sangat berat , sedangkan dalam membuat penetapan, perubahan atau
pencabutan ketetapan MPR tidak diperlukan persyaratan formal dan material
190
A. Hamid S. Attamimi, op. Cit., hlm 10.
120 seperti halnya UUD, dalam hal ini batang tubuh UUD 1945 karena Ketetapan
MPR itu tidak secara langsung merupakan penciptaan dalam pasal-pasal Norma
Fundamental Negara atau Pancasila.191
Dengan adanya perbedaan kualitas fungsi Majelis Pemusyawaratan
Rakyat, dan mengaitkan teori pengikatan diri (selbtsbindungtgheorie) , serta
perbedaan dalam hal penetapan, perubahan dan pencabutan
Undang-Undang
Dasar dan Ketetapan MPR, maka menjadi lebih jelaslah bagi kita bahwa
kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari norma-norma hukum
ketetapan-ketetapan MPR yang ditetapkan setiap lima tahun itu. Oleh karena itu
kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada norma-norma
hukum dalam ketetapan-ketetapan MPR dan keduanya termasuk aturan dasar dan
aturan pokok negara, maka hubungan kedua norma itu adalah sesuai dengan
jenjang normanya dimana Verfassunsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan
dasar bagi pembentukan norma-norma dalam Ketetapan MPR, sedangkan dari
segi fungsi ketatapan-ketetapan MPR itu mempunyai fungsi mengatur lebih lanjut
hal-hal yang belum diatur dalam verfassungsnorm UUD 1945 yang masih
mengatur hal-hal pokok saja dan juga, dimana perlu menjabarkan lebih lanjut
aturan-aturan dalam Verfassungsnorm Uud 1945 yang lebih terinci ndan mengara
garis-garis besar haluan negara sesuai dengan perkembangan Negara Republik
Indonesia yang dapat dilaksanakan setiap lima tahun sekali.192
191
192
Maria Parida Indrati Soeprapto, Ilmu Perudang ... op. cit., hlm 44.
Ibid., hlm. 44.
121 d. Tata Hubungan Staatsfundamentalnorm Pancasila, Verfassungsnorm
UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPR, dan Gesetznorm UU
Dilihat
dari
sistem
Staatsfundamentalnorm
norma
Pancasila,
hukum
Negara
republik
Verfassungsnorm
Indonesia,
UUD
1945,
Grundgesetznorm Tap MPR dan Gesetznorm Undang-Undang merupakan suatu
bagian dari sistem norma
Staatsfundamentalnorm
Hukum Negara repblik Indonesia, di mana
Pancasila
merupakan
pokok–pokok
pikiran
yang
tekandung dalam pembukaan uud 1945 adalah sumber dasar bagi pembentukan
pasal-pasal
dalam Verfassungnorm UUD 1945, sedangkan yang ada dalam
Verfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber da dasar bagi pembentukan
aturan-aturan Grundgesetznorm Tap MPR dan juga sekaligus merupakan sumber
dan dasar bagi pembentukan Gesetznorm Undang-Undang, dan oleh karena
Grungesetznorm Tap MPR
Pokok Negara
grundgesetznorm
itu juga merupakan aturan Dasar Negara/aturan
yang berada diatas Grungesetznorm undang-Undang, Maka
tap MPR
ini juga merupakan sumber bagi pembentukan
norma-norma hukum dalam Grungesetznorm Undang-undang yang merupakan
peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia.193
e. Hubungan Norma Hukum Dasar (verfassungsnorm) dan Norma
perundang-undangan
Penjelasan Umum angka IV undang-Undang Dasar 1945 menentukan
sebagai berikut.
193
Ibid., hlm. 45.
122 “Mka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya membuat aturanaturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi intruksi kepada
pemerintah
puasat dan lain-lain penyelenggara negara untuk
menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahtraan sosial. Terutama
bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar tertulis itu
hanya memuata atura-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang
menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang
yang lebih muda caranya membuatnya , mengubah dan mencabut. 194
Apabila kita membaca uraian tersebut, kita dapat mengetahui bahwa
berbagai ketentuan dalam aturan-aturan pokok negara tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945 dapat dikembangkanluaskan atau diatur lebihg lanjut dalam
Undang-undang yang lebih muda caranya membuat, mengubah dan mencabut.
Brdsarkan hal itu, suatu Undang-Undang Dapat Melaksanakan atau menghatur
lebih lanjut
hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh Undang-Undang
Dasar 1945 maupun
hal-hal yang secara tidak tegas-tegas menyebutkannya,
sedangkan Undang-Undang adalah peraturan Perudang-undangan yang tertinggi
dinegara Republik Indonesia, sehingga Undang-Undang juga merupakan sumber
dan dasar bagi peraturan-perundang-undangan lain dibawahnya, yang merupakan
peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom.
Apabila kita melijat dari sifat norma hukumnya kita ketahui bahwa norma
hukum dalam suatu hukum dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal,
masih mengatur hal-hal umum dan garis besar besar atau merupakan norma
hukum yang pokok-pokok saja sehingga norma-norma dalam suatu hukum dasar
itu belum dapat langsung berlaku mengikat umum. Lain halnya dengan normanorma hukum yang ada
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam
peraturan perudang-undangan norma-norma hukum itu sudah lebih kongkrit, lebih
194
Indonesia Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan Umum.
123 jelas, dan sudah dapat langsung berlaku mengikat umum, nahkan suatu peraturan
perundang-undangn sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana atau sanksi pemaksa.
Berdasarkan uraian tersebut , kita dapat melihat dengan jelas bahwa, agar
supaya norma, agar supaya norma-norma hukum yang terdapat pada hukum dasar
(Verfassungnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya, norma-norma hukum
itu harus terlebih dahulu dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan
(Gesetzgebungsnorm) di mana norma-norma hukumnya bersifat umum dan dapat
mengikat seluruh warga negara.195
B. Sejarah Hierarki Norma Hukum Indonesia
Sistem norma hukum Indonesia perna mengalami evolusi hierarki
peraturan perundang-undangan . saat ini, yang menjadi acan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan perundang undangan.
Undang-Undang tentang pembentukan peraturan sedikitnya sudah
mengalami empat kali perubahan yaitu;
1. Susunan hierarki dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
Susunan hierarki dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Momorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia;
a. Undang-Undan Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Pemusyarawatan Rakyat.
c. Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerinta
195
Ibid., hlm 46.
124 e. Keputusan Presiden dan
f. Peraturan-Peraturan Pelaksana Lainnya seperti;

Peraturan Metri

Intruksi Mentri

Dan lain-lainnya.
2. Sususan hierarki dalam Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000
Sususan hierarki dalam Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 Tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
b. Ketetapan Majelis Pemusywaratan Rakyat Republik Indonesia
c. Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah
3. Susunan Hierarki dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Susunan Hierarki dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
a. Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah
1. Peraturan daerah Provinsi dibuat oleh DPRD bersama Gubernur
2. Peraturan daerah kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota
bersama dengan Bupati/Walikota
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya
125 4. Susunan hierarki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Susunan hierarki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat
c. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah kabupaten/Kota.
C. Teori Judicial Review
1. Pengertian Judicial Review
Pertama, terlebih dahulu kita posisikan tentang istilah atau term dari
judicial review itu sendiri. Sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak
dalam penggunaan istilah constitutional review, judicial review dan hak menguji
(toetsingsrecht). Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih
luas, dibandingkan dengan konsep contstitutional review, yang hanya sebatas
pengujian konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD),
sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa
menyangkut legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar
UU terhadap UUD. Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial
review mengalami penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan
melalui mekanisme peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim.
Sedangkan jika constitutional review subjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh
lembaga pengadilan (judicial review), lembaga legislative (legislative review),
126 lembaga eksekutif (executive review), atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian
dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian dilakukan
terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract
norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan
oleh pembentuk UU.196
Kedua, mengenai cakupan peradilan tata negara itu sendiri. Menurut
pendapat banyak ahli hukum terminologi peradilan tata negara itu mencakup
peradilan tata negara di Mahkamah Konstitusi (constitutional adjudication),
peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung (administrative adjudication),
dan badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada di bawah Mahkamah
Agung. Akan tetapi, pengertian yang luas tersebut apabila kita persempit dengan
tidak mengikutsertakan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah
lingkungan Mahkamah Agung, maka pengertian peradilan tata negara yang
dimaksud dapat dimaknai sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dan fungsi
tertentu dari Mahkamah Agung.197 Dalam pembahasan ini, pengertian atau ruang
lingkup peradilan tata negara akan dipersempit secara strict, atau dengan
pengertian yang lebih khusus dan spesifik mengenai fungsi dari Mahkamah
Konstitusi, sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
196
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm 2-7.
197
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hlm 332-334.
127 Ketiga, menyangkut objek dari judicial review, dalam praktek dikenal tiga
macam norma hukum yang bisa diuji. Pertama, keputusan normative yang berisi
dan bersifat pengaturan (regeling); Kedua, keputusan normative yang berisi dan
bersifat penetapan administrative (beschikking); Ketiga, keputusan normative
yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement/vonnis). Ketiga norma hukum
tersebut ada yang merupakan individual and concrete norms (beschikking dan
vonnis), dan ada yang berwatak generale and abstract norms (regeling).198 Karena
di atas tadi sudah dilakukan pembatasan mengenai ruang lingkup dari peradilan
tata negara, yakni hanya menyangkut kewenangan dari Mahkamah Konstitusi,
maka berkaitan dengan objek pengujiannya, di sini lokusnya hanya sebatas pada
generale and abstract norms (regeling), dalam implementasi pengujian
konstitualitas UU terhadap UUD. Pengujian konstitualitas berhubungan dengan
kadar kekonstitusionalan UU, baik secara materil maupun formil. Dalam tradisi
Indonesia sekarang pengujian konstitulitas menjadi bagian dari fungsi Mahkamah
Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pengujian legalitas.
Artinya, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or
legislation (Produk-produk legislative/UU), sedangkan Mahkamah Agung
menjalankan uji the legality of regulation (peraturan hukum di bawah UU).199
Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial review sebagai
sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui
198
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hal 1-3.
199
Ibid., hal. 6.
128 sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu.200 Proses
penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus
dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya
memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan
menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses
interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu
yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan
hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat
dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan
lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut.201 Bahkan lebih jauh,
bagaimana proses politik nasional memaknai pelaksanaan pemegang kekuasaan
judicial review tersebut.
Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum
tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk
membatalkan
setiap
tindakan
pemerintahan
yang
bertentangan
dengan
konstitusi.202 Pernytaan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka
mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya
mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review dimaksudkan
menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh
200
Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press
– Oxford, 1989, hlm 120.
201
Bentuk negara federasi akan membuat judicial review juga kadang-kadang dijalankan
secara vertikal yakni antara pusat dan daerah. Selain itu, masing-masing negara juga punya
pengalaman sendiri dalam mekonstruksi konsepsi judicial review-nya. Ada banyak negara yang
menyatukan fungsi ini ke Mahkamah Agung dan demikian juga ada banyak negara yang
menempatkannya pada lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi.
202
Lihat: Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, St. Paul Menn-West
Publishing Co., 1986, halaman 4-5.
129 seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan
peraturan.
Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutionalformal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi
dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan
perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya
yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang
dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di
pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau
berwenang
mengesampingkan
berlakunya
sesuatu
peraturan
atau
tidak
memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun
sebagiannya.
Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang
bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.203 Dalam
konteks
yang
berkembang di Indonesia,
sealur
dengan
perkembangan
ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial reviw menjadi bagian dari fungsi
Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai kewenangan untuk
melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu undang-undang
terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus sengketa
203
Lebih lanjut dituliskan olehnya bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti
yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong
or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada
‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was
right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman:
“Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lihat:
Jimly Ashshiddiqie, Judicial review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif
dalam Perspektif Hukum Tata Negara, makalah belum dipublikasikan, 2002, hlm. 5.
130 kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.204 Jadi,
secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata negara, dengan
pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, judicial review berarti
kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah
lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai
objek pengujiannya ialah produk-produk legislative (legislative act), yang berupa
undang-undang. Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang
mejadi legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi
karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama
antara eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai
legislator, meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk
undang-undang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk
merubah atau produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang
bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam
melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang
tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus
dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah
membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus
mentaati suatu Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk
melakukan uji konstitualitas.
204
Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
131 a. Fungsi dari Judicial Review
Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konstitusi yang termuat dalam UndangUndang dasar dan Peraturan perundang-undangan konstitusional tidak dilanggar
atau disimpangi ( baik dalam bentuk peraturan perundang undangan maupun
dalambentuk tindakan-tindakan pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata
cara mengawasi, dalam literatur yang ada terdapat tiga katorgori besar pengujian
peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu,205
b. Pengujian oleh badan Peradilan ( Judicialk review),
c. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (politikal review),
d. Pengujian oleh pejabat administrasi negara (administrative review)
Cappeletti. Dua sistem pengawasan yang lazim dilakukan yaitu pengawasan
secara yudisial (judicial review) maupun pengawasan secara politik (political
review).
Pengawasan secara yudisial artinya pengawasan yang dilakukan badan –
badan yudisia. Sedangkan pengwasan politik adalah pengawasan yang dilakukan
oleh badan-badan non yudisial. (Lazimnya adalah lembaga politik). Baik
pengawasan yudisial maupun politik umumnya menkaji dan menilai atau
mengujgan ketentuan (review) apakah suatu undang-undang atauran peraturan
atau peraturan perundang-undangan lainya atau tindakan pemerintah yang ada
(existing) atau akan diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar atau ketentuan-ketentuan yang lebih
tinggi dari pada peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang
205
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial review, Cetakan Pertama
(yogykarta: UII Press, 2005), HLM 73.
132 sedang dinilai, dan wewenang menilai tersebut dalam perpustakaan kita disebut
“hak menguji” (toetsingsrecht)206
Terlebih dahulu kita posisikan tentang istilah atau term dari judicial review
itu sendiri. Sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak dalam penggunaan
istilah constitutional review, judicial review dan hak menguji (toetsingsrecht).
Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih luas,
dibandingkan dengan konsep contstitutional review, yang hanya sebatas pengujian
konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD), sedangkan judicial
review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa menyangkut legalitas
peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar UU terhadap UUD.
Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial review mengalami
penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui mekanisme
peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim. Sedangkan jika
constitutional review subjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh lembaga
pengadilan (judicial review), lembaga legislative (legislative review), lembaga
eksekutif (executive review), atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian
dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian dilakukan
terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract
norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan
oleh pembentuk Undang-Undang.207
206
Ibid, hlm. 73.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 2-7.
207
133 Jika Prolegnas berfungsi sebagai penyaring isi sekaligus instrumen dan
mekanisme yang harus menjamin bahwa politik hukum harus selalu sesuai dengan
cita-cita dan tujuan bangsa dan negara, maka dalam poltik hukum nasional masi
disediahkan juga institusi dan mekanisme pengujian atas peraturan perundangundangan. Dengan demikian, meskipun sebuah peraturan perundang-undangan ,
khususnya UU, telah diproses sesuai dengan prolegnas, ia massih mungkin untuk
diuji lagi konsistensinya dengan UUD 1945 atau dengan peraturan yang lebih
tinggi melalui judial review. Judicial review adalah pengujian oleh lembaga
yudikatif yang konsistensinya ialah UU terhadap UUD atau ppearturan-peraturan
perundang undangan terhadap peraturan perundang yang lebih tinggi.208
Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutionalformal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi
dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan
perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya
yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang
dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di
pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau
berwenang
mengesampingkan
berlakunya
sesuatu
peraturan
atau
tidak
memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun
sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’
yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.209
208
Moh. Mahfud MD, Membangun politik Hukum, Penegakan Konstitusi, sCetakan
Pertama (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hlm.37.
209
Lebih lanjut dituliskan olehnya bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti
yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong
134 Dalam
konteks
yang
berkembang
di
Indonesia,
sealur
dengan
perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial review menjadi
bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai
kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu
undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.210 Jadi, secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata
negara, dengan pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, judicial review
berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah
lembaga judicial). Mengenai objek pengujiannya ialah produk-produk legislative
(legislative act), yang berupa undang-undang.
Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang mejadi
legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi karena
pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama antara
eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai legislator,
meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undangundang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk merubah
atau
produk
undang-undang,
dan
DPR
menggunakan
undang-undang
bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam
melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang
or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada
‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was
right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman:
“Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lihat:
Jimly Ashshiddiqie, Judicial review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif
dalam Perspektif Hukum Tata Negara, makalah belum dipublikasikan, 2002, hlm. 5.
210
Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
135 tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus
dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah
membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus
mentaati suatu Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk
melakukan uji konstitualitas.
Hukum menjaga suatu kesatuan sistem tata hukum dalam negara, maka
perlu dilakukan pengujian Apakah suatu kaidah hukum tidak berlawanan dengan
kaidah hukum yang lain, dan terumatam apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar
dari dari atau bersifat menyisihkan kaidah hukum yang lebih penting dan lebih
tinggi derajatnya. Perbedaan dan bertentangan antara kaidah-kaidah hukum dalam
suatu tata hukum harus diselesaikan dan diakhiri oleh lembaga peradilan
berwenang menetukan apa yang menjadi hukum positif dalam suatu negara.211
Pekerjaan mengambil keputusan tentang sesuai atau tidaknya kaidah hukum
dengan Undang-Undang dasar atau Konstitusi yang setarap dengan itu, oleh usep
ranwijaya disebut pengujian konstitusional secara materil.212
Pengujian Konstitusional secara materil ini mendapat dasar yang kuat
dalam negara yang mempunyai undang-undang dasar sebagi suatu kumpulan
kaidah pundamental yang dianggap supreme dibandingkan dengan kaidah kaidah
lain. dalam negara serikat, pengujian kosntitusional mempunyai arti tambahan
yang penting dilihat dari segi keperluan menjamin hak negara bagian. Dalam
211
Ni’matul Huda, perkembangan Hukum Tata Negara dan perdebatan gagasan
penyempurnaan, Cetakan Pertama (Yogyakarta; FH UII Press, 2014), hlm24-25.
212
Usep Ranawijaya, hukum Tata Negara Indonesia dan Dasar-dasarnya, (Jakarta;
Ghalia Indonesia, 1983,) hlm 190-191 dikutip dari Ni’matul huda, perkembangan Hukum Tata
Negara dan perdebatan gagasan penyempurnaan, Cetakan Pertama (Yogyakarta; FH UII Press,
2014), hlm 25.
136 rangka trias politika dengan sistem check and balances pengujian konstitusional
mempuunyai arti lebih memperkuat lagi kedudukan lembaga peradilan sebagai
negar yang bebas dari pengaruh jabatan eksekutif atas dasar konstitusi. Hal ini
sangat penting artinya dalam rangka menjamin hak asasi manusia dan kebebasan
dasar warga negara dan serta dalam mencegah terjadinya perbuatan sewenangwenang penguasa.213
b. Hukum Sebagai Produk Politik
perlunya pengujian oleh lembaga judicial itu, selain mengatur pada 3
alasan yang perna dikemuhkakan oleh Jhon
Marshall (tahun 1803, Ketua
Mahkamah Agung amerika serikat dengan berani melakukan judicial review
secara sepihak ),214
Kontrol yang dilakukan hakim dalam Judicial review itu jugha meliputi
keputusan-keputusan / produk pemerintah yang bersifat mengatur (reglementer )
ataupun yang bersifat pertseorangan (Individual). Namun demikian , dikenal pula
beberapa perkecualian dimana hakim tidak dapat melakukan judicial review, yaitu
(a)Putusan
yang
menyangkut
hubungan
internasional,(b)
Masalah
grasi
(c)masalah hubungan antara lembag-lembaga negara misalnya ratifikasi dari suatu
amandemen terhadap Konstitusi.215
213
Ibid., hlm 25.
Ketika secara sepihak melakukan judicial review atas judiciary Act 1789 ( yang
membuat writ mandamus) pada tahun 1803 , Ketua mahkama agung Amerika serikat Jhon
Marshall mengemukahkan 3 alasan dibolehkan MA menlakukan jucial review. Pertama, Hakim
telah bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi sehingga kalau ada Undang-undang yang
bertentangan dengannya maka hakim harus berani membatalkannya; Kedua,konstitusi adalah the
supreme of land sehingga harus ada lembaga pengujian terhadap peraturan yang ada dibawahnya
agar konstitusi tidak diselewengkan, dan ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga
apabila ada yang meminta uji materi kepada hakim hakim harus melakukanya.
215
Ibid., hlm 26.
214
137 Selain itu pula kontrol hal yang tidak boleh memasuki ruang lingkup yang
trermasuk dalam wewenang diskresioner Pemerintah, dan harus berhenti sampai
aspek legalitasnya saja dari suatu tindakan pemerintah. Sekalipun pejabat
administratif itu mempunya kewenangan diskresioner, tetapi bila mana
pelaksanaan itu adalah demikian rupa hingga merugikan hak-hak asasi seorang
individu, maka hakim dapat melarang/membatalkan dengan alasan “abuse of
discretion” sepertri disebutkan diatas. Untuk sampai pada alasan ini maka dalam
prakteknya hakim tidak cukup hanya menilai segi-segi hukumnya saja, tetapi
dalam kasus-kasus tententu sampai meluas pada peneilaian fakta-fakta juga,
sehingga batas-batas antara legality control dengan Opportunity control menjadi
kabur/ samar-samar.216
Bicara tentang Judicial review didalam politik hukum tidaklah tidaklah
dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hukum perundang-undangan atau
peraturan perundang-undangan. Sebab, judicial review bekerja atas dasar
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi secara Hierarki. Pengujian oleh
lembaga yudisial dalam Judicial review adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarkis. Judicial
review tidak bisa dioperasionalkan tanpa adanya peraturan perundang-undangan
yang tersusun secara hierarkis.217
Dalam praktek Pengertian Judicial review menurut Jimly Asshiddiqie
adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap
kebenaran suatu norma. Dalam konteks ini adalah pengujian baik formil maupun
216
Ibid., hlm 26.
Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum Penegakan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES
2007)126-127.
217
138 materiil terhadap peraturan perundang-undangan yaitu undang-undang maupun
peraturan di bawah undang-undang.218
Judicial review
merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk
memjamin konsistensi politik hukum nasional sebagai aliaran dari konstitusi.
Apalagi jika dinggat bahwa konstitusi itu mencangkup semua peraturan tentang
organisasi negara yang tidak berbentuk yaitu, 1. Tertulis ; (a) dalam dekomen
khusus (UUD). (b). Dalam dekuumen tersebar (Peraturan Perundang-undangan ) .
2. Tak tertulis; (a) Konvensi. (b) adat, dengan demikian konstitusi itu bukan saja
mencangkup UUD melainkan mencangkup peraturan-peraturan perundangundangan lainnya yang tidak tertulis. Hanya saja, UUD 1945 merupakan dekumen
khusus sedangkan lainnya merupakan dekumen biasa yang tersebar. Sedangkan
dekumen tertulis itu harus tersusun secara hierarkis agar lembaga yang
berwenangn membuatnya dan derajatnya didalam peraturan perundang-undangan
terlihat jelas.219
Dikenal adanya 3 pengujian norma hukum yang dapat diuji atau yang
biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama bentuk
norma hukum sebagai hasil dari proses dari proses pengambilan keputusan
hukum, yaitu (i) Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan
(regelling), (ii) keputusan knormatif yang berisi dan bersifat penetapan
218
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, 2006), hlm 1-2.
219
Ni’matul huda, Perkembangan Hukum Tata Negara..., op. cit., hlm 27.
139 administratif (besschikking ), dan (iii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat
penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis (belanda; ivonnis).220
Jenis Pengujian Undang-Undang Pengujian undang-undang dibedakan
antara pengujian secara formal (formele toetsing) dan pengujian secara materiel
(materiele toetsing). Uji formal artinya menguji keabsahan kelembagaan yang
membuat, bentuk, dan tatacara atau prosedur pembentukan undang-undang, yang
meliputi pengambilan keputusan dalam pengesahan undang-undang. Sedangkan
pengujian secara materil (materiele toetsing), adalah untuk menguji konsistensi
dan kesesuaian substansi materi undang-undang, baik pasal, ayat atau bagian
undang-undang dengan norma, prinsip dan jiwa UUD 1945.221
Mengenai cakupan peradilan tata negara itu sendiri. Menurut pendapat
banyak ahli hukum terminologi peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata
negara di Mahkamah Konstitusi (constitutional adjudication), peradilan tata usaha
negara di Mahkamah Agung (administrative adjudication), dan badan-badan
peradilan tata usaha negara yang ada di bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi,
pengertian
yang
luas
tersebut
apabila
kita
persempit
dengan
tidak
mengikutsertakan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah lingkungan
Mahkamah Agung, maka pengertian peradilan tata negara yang dimaksud dapat
220
Jimly Asshidiqie, hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm 1.
221
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Udang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
140 dimaknai sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari
Mahkamah Agung.222
Dalam pembahasan ini, pengertian atau ruang lingkup peradilan tata
negara akan dipersempit secara strict, atau dengan pengertian yang lebih khusus
dan spesifik mengenai fungsi dari Mahkamah Konstitusi, sebagai diatur dalam
ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Menyangkut objek dari judicial review, dalam praktek dikenal tiga macam
norma hukum yang bisa diuji. Pertama, keputusan normative yang berisi dan
bersifat pengaturan (regeling); Kedua, keputusan normative yang berisi dan
bersifat penetapan administrative (beschikking); Ketiga, keputusan normative
yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement/vonnis). Ketiga norma hukum
tersebut ada yang merupakan individual and concrete norms (beschikking dan
vonnis), dan ada yang berwatak generale and abstract norms (regeling).223 Karena
di atas tadi sudah dilakukan pembatasan mengenai ruang lingkup dari peradilan
tata negara, yakni hanya menyangkut kewenangan dari Mahkamah Konstitusi,
maka berkaitan dengan objek pengujiannya, di sini lokusnya hanya sebatas pada
generale and abstract norms (regeling), dalam implementasi pengujian
konstitualitas UU terhadap UUD. Pengujian konstitualitas berhubungan dengan
kadar kekonstitusionalan UU, baik secara materil maupun formil. Dalam tradisi
Indonesia sekarang pengujian konstitulitas menjadi bagian dari fungsi Mahkamah
222
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1 (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hlm 332-334.
223
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hlm 1-3.
141 Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pengujian legalitas.
Artinya, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or
legislation (Produk-produk legislative/UU), sedangkan Mahkamah Agung
menjalankan uji the legality of regulation (peraturan hukum di bawah UU).224
Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial review sebagai
sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui
sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu.225 Proses
penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus
dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya
memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan
menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses
interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu
yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan
hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat
dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan
lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut.226
Bahkan lebih jauh, bagaimana proses politik nasional memaknai
pelaksanaan pemegang kekuasaan judicial review tersebut. Istilah judicial review
sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat
224
Ibid., hal. 6.
Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, (Clarendon:
Press – Oxford, 1989), hlm 120.
226
Bentuk negara federasi akan membuat judicial review juga kadang-kadang dijalankan
secara vertikal yakni antara pusat dan daerah. Selain itu, masing-masing negara juga punya
pengalaman sendiri dalam mekonstruksi konsepsi judicial review-nya. Ada banyak negara yang
menyatukan fungsi ini ke Mahkamah Agung dan demikian juga ada banyak negara yang
menempatkannya pada lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi.
225
142 yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan
pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi.227 Pernytaan ini diperkuat
oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal
istilah
judicial
review,
mereka
hanya
mengenal
istilah
hak
menguji
(toetsingensrecht). Judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk
menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada
posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan. Pengujian oleh hakim
itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam
bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian
kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam
persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal.
Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak
langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu
perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya
sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik
seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula
disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’
yang bersifat substansial.228
227
Lihat: Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, St. Paul Menn-West
Publishing Co., 1986, halaman 4-5.
228
Lebih lanjut dituliskan olehnya bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti
yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong
or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada
‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was
right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman:
“Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lihat:
Jimly Ashshiddiqie, Judicial review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif
dalam Perspektif Hukum Tata Negara, makalah belum dipublikasikan, 2002, hlm. 5.
143 Dalam
konteks
yang
berkembang
di
Indonesia,
sealur
dengan
perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial review menjadi
bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai
kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu
undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.229 Jadi, secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata
negara, dengan pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, judicial review
berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah
lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan
dalam No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai objek
pengujiannya ialah produk-produk legislative (legislative act), yang berupa
undang-undang. Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang
mejadi legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi
karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama
antara eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai
legislator, meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk
undang-undang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk
merubah atau produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang
bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam
melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang
tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus
229
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
144 dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah
membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus
mentaati suatu Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk
melakukan uji konstitualitas.
c. Judicial Review dan Demokrasi
Pandangan Henry Steele Commager Perihal Judicial Review dalam
bukunya yang berjudul “Majority Role and Minority Rights”, mengatakan
bagaimana masalah Judicial review menjadi masalah demokrasi? renungan
sekejap akan memperjelas pernyataan ini. Fungsi dan efek, Judicial Review
memberikan atau menolak persetujuan penghakiman pada suatu undang-undang
yang disahkan mayoritas dalam lembaga legislatif dan disetujui lembaga
eksekutif. Setiap undang-undang yang diputuskan pengadilan bukan hanya suda
didratifikasi suara mayoritas, tetapi sudah dikaji secara teori dan kita harus
mengasumsikan secara fakta dengan sesama perihal kesesuaian dengan konstitusi.
Karena itu, dalam mendukung setiap undang-undang yang dibutuhkan tak hanya
suara
mayoritas
untuk
pemahamannya,
tetapi
suara
minoritas
untuk
konstitusionalitasnya.230
Kehakiman memperlakukan suatu undang-undang sebagai suatu yang
harus dikaji sekali lagi dengan cermat secara teoritis
berdasarkan landasan
konstitusional saja, tidak perna berdasrkan standar kelayakan , apabila lembaga
kehakiman menyimpulkan bahwa undang-undang terkait bertentangan dengan
230
Hendry steele Commager, Majority Rule And Minority Right, Dikutif oleh Leonar W.
Levy, Judicial review and the Supreme Court dan diterjamahkan oleh eni Purwaningsi, Judicial
review, Cetakan Pertama (Bandung: Nusa media dan Nuansa, 2005), hlm. 86-89.
145 konstitusi, maka lembaga kehakiman membatalkan undang-undang itu. Dalam
pelaksanaannya, keputusan pengadilan tetap Konstitusionalitas itu berhadapan
dengan keputusan dua cabang pemerintahan/lembaga yng lain. Situasi ini masih
bisa diperjelas saatu unsur non-elektif dan tidak dapat dibubarkan dalam
pemerintahan menolak dalam keputusan perihal konstitusionalitas kedua cabang
pemerintahan atau lembaga lain yang elektif dan dapat dibubarkan.
Tinjauan ini masih berkaitan sudah jelas, kelompok mayoritas politik tidak
perna menyadari dan tidak perna mengakui bahwa mereka melanggar konstitusi.
Contoh gamblang ketika mayoritas dengan dengan sengaja menginjak-nginjak
hambatan konstitusional, yaiyu pada kasus putusan Marshall yang mengadili
mabrury V. Madison, dan memperjuangkan Judicial review.
Persoalan yang Krusial apakah suatu undang-undang harus sesuai dengan
konstitusi, tetapi siapakah yang seharusnya mengadili kesesuaiannya? karena
ucapan Uskup Hodley dua abad lalu masi terasa benar, “Siapaun yang memiliki
kekuasaan mutlak untuk menafsirkan hukum tertutulis atau lisan, pada prakteknya
ialah pembuat hukum yang sebenarnya, bukan oramg yang pertama kali
menuliskan atau mengucapkannya.” Tak bisa dihindari Judicial review
menghasilkan Legislasi kehakiman, dan argumen yang berasal dari pemisahan
kekuasan itu diakhiri dengan kehancuran efektif independensi dan pemisahan.
Seperti apakah untuk penafsiran kehakiman bukan penafsiran legislatif
dan yudikatif tentang konstitusi dan undang-undang? Jawaban ortodok dan masih
familiar. Menurut Ungkapan Marshall tentu saja sudah jelas, bidang dan
wewenang departemen adalah menetapkan apakah hukum itu, itulah hakikatnya
146 urusn kehakiman menguasai hukum dan konstitusi. Namun pengadilan tak hanya
layak secara khusu untuk menafsirkan hukum tetapi disinilah kita sampaipada
argumen yang paling persuasif pengadilan itu sendiri Independen, keputusannya
sangat dipercayai.
Pernyataan ini luas dibuat dengan penuh keyakinan dan dipertahankan
dengan berani hampir tidak dapat dipernggungjwabkan dengan bukti, keduaduanya tidak menutup kemungkinan bisa dibantah, tidak kemungkinan juga untuk
dimasukan dengan suatu keberatan untuk membantah bahwa kendati terdengar
menyakinkan tetapi logika judicial review dalam demokrasi sama sekali belum
mapan.
Tidak dapat disangkal bahwa hakim-hakim pengadilan khususnya
pengadilan tertinggi lebih pengetahuannya dibidang hukum dari pada anggota
legislatif dan anggota eksekutif. Apakah persoalan konstitusionalitas selalu
melibatkan pengetahuan hukum? Sudah seringkah undang-undang kongres atau
lembaga legislatif negara bagian ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
konstitusi kita yang begitu ruwetnya sehingga diperlukan pengetahuan yang luar
biasa untuk memahaminya.? Jelas contoh–contoh mengenai hal ini sudah ada,
tetapi bagian terbesarnya penolakan kehakiman atas undang-undang bukan
pelaksaan pengetahuan, melainkan kemerdekaan bertindak (discresion). Kembali
ketahun 1896v, seperti dikatakan hakim Holmes “Landasan keputusan yang
sebenarnya adalah pertimbangan politik dan mamfaat sosial. sia-sia saja mencapai
solusi dengan cara logika dan usulan umum hukum yang tidak bisa didebat itu.
147 Pada asusmsi bahwa hakim saja bisa dipercaya untuk bertindak secara
Independen, objektif dan tidak memihak atas persoalan konstitusionalitas asumsi
bahwa anggota legislatif sengaja memihak atau berprasangka sehingga keputusan
mereka perihal masalah kontitusionalitas
terpengaruh
ditoleransi. Jaid , yang kita perhatikan disini adalah
tentu saja tidak bisa
argumen bahwa hakim
memiliki sedikit biasa daripda anggota legislatif. kaum realis
legal aliran
konteporer terlalu keras menghadapi maksud keobjektifan kehakiman sebagian
besar merupakan produk faktor-faktor pribadi dan lingkungan yang tak dapat
diperhitungkan. Namun, andai pernyataan keputusan hakim yang tergantung pada
penyerapan hakim itu berlebihan akan melewati batas hukum yang telah
ditetapkan oleh legislatif.231
d. Karakter demokrasi dalam Judicial review
Catatan editor: terkenal yang ditulis Eugene V. Rostow yang sangat
menolak pandangan tradisonal yang telah disuarakan Thayer, Holmes, dan
frankfuter, dan Commager, banyak parah ahli hukum mengenyampingkan judicial
review dan keterlibatan kehakiman sebagai hal yang tidak demokratis.
Diperlukan ketabahan yang luar biasa bagi para hakim dalam menjalankan
tugas mereka sebagai pelindung setia Konstitusi, sementara pelanggaran legislatif
terhadap konstitusi diawali dengan suara raklyat mayoritas. Aleander hamilton.
Literatur review diawali juga tema kekawatiran juga kesalahan mereka
yang bicara ,memberi kuliah dan menulis tentang konstitusi banyak yang
terganggu bahwa jucial tidak demokratis. Mengapa dari sembilan hakim yang
231
Ibid., hlm 90-92.
148 ditunjuk harus dijinkan untuk mencabut Undang-undang pejabat terpilih atau
pejabat yang diawasi oleh pejabat terpilih , karena undang-undang tersebut tidak
konstitusional, mereka mendapat judicial review adalah pucuk non demokratis.
Pucuk itu harus dipangkas ,atau setidaknya ditahan agar tetap pendek dan tidak
menonjol . kecaman titu terus berlanjut, mereka berkata ketergantungan terhadap
doktrin politik yang buruk telah mengakibatkan hasil politik yang buruk pula.
Kekuatan pengadilan telah melemahkan bagian-bagian dari dalam pemerintahan .
sensor kehakiman dituding telah mengakibatkan kecerobohan dan ketidak adanya
tanggung jawab pada lembaga legislatif negara bagian dan nasional , serta sikap
apatis dan kelesuan politis dikalangan rakyat memiliha (elektorat). Pada saat yang
sama kita mengingatkan bahwa partisapasi pengadilan dalam fungsi yang
sebenarnya bersifat politik ini jels akan membawa kehancuran indepedensi
kehakiman penagdilan, sebab partisipasi tyersebut akan menyebabkan mereka
mengkropomikan semua aspek lain dalam tugas mereka.
Dalam, filsafat politik, pemikiran judicial review tidak demokoratis bukan
persoalan akademis. Seperti kebanyakan pemikiran, bahwa konsekuensi yang luas
yang terkandung didalamnya. Bagi beberapa hakim, pemikiran itu menjadi utama
dalam mengambil keputusan dan menyebabkan mereka dalam banyak kasus
menguatkan tindakan legislatif dan eksekutif yang seharusnya disalahkan
pemeriksaan mandiri
yang dilakukan mahkamah konstitusi acapkali menjadi
perang batin antara hakim tentang kelayakan judicial review itu sendiri,
khususnya dalam berbagai ragam keputusan hakim akhir-akhir ini.
149 2. Sejarah Judicial Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas
Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia
Maksud daripada judul diatas “Sejarah Judicial Review (Dalam Arti
Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia” yaitu
bahwa yang menjadi pokok bahasan pada bagian ini ialah mengenai sejarah
judicial review dalam konteks pengujian konstitusional atau dalam sistem hukum
kita dikenal dengan istilah pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar.
Selain mengemukakan sejarah judicial review dalam tataran global
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini
penulis merasa perlu untuk menguraikan sejarah judicial review (dalam arti
Pengujian Undang-undang terhadap UUD) di Indonesia sendiri. Sejarah judicial
review yang lahir melalui putusan Kasus Marbury versus Madison 1803 di AS
memiliki pengaruh yang sangat luas dan akhirnya diadopsi oleh banyak negara,
termasuk Indonesia. Bagian ini bermaksud untuk menjelaskan sejarah judicial
review di Indonesia, yaitu untuk mengetahui bagaimana dan seperti apa perjalanan
ketatanegaraan Indonesia dalam menerima dan mengdopsi sistem tersebut. Untuk
tujuan tersebut pembahasan pada bagian ini akan dibagi berdasarkan kategori
periodeisasi tertentu, yaitu sebagai berikut:
a.
Periode UUD 1945 (1945-1949)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat mekanisme pengujian undang-
undang. Di dalam pasal-pasalnya tidak ada satu pun yang membicarakan
mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang oleh badan peradilan.
150 Jadi pada masa ini tidak dikenal mekanisme judicial review dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Memang pada waktu penyusunan Rancangan UUD oleh BPUPKI ketika itu
muncul usulan dari Muhammad Yamin yang pada prinsipnya menghendaki
adanya mekanisme pengujian undang-undang oleh sebuah badan yang disebutnya
sebagai ‘Balai Agung’ yang disamping melaksanakan kekuasaan kehakiman
badan itu juga diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD, hukum adat,
dan syariat Islam. Namun usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
1. Tidak semua negara memiliki MA yang berwenang menguji UU terhadap
UUD;
2. Pengujian undang-undang merupakan masalah politis bukan yuridis bila
terdapat perselisihan tentang apakah suatu UU bertentangan dengan UUD
atau tidak;
3. Para ahli hukum Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam
melaksanakan hak uji material.232
b. Periode Konstitusi RIS
Konstitusi RIS merupakan konstitusi yang menggantikan UUD 1945 yang
diberlakukan sejak diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27
Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar dan sekaligus menandai
beralihnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal Republik Indonesia
Serikat. Konstitusi RIS itu sendiri hanya berlaku singkat, sebab pada 17 Agustus
1950 Pemerintah secara resmi membubarkan RIS dan kembali ke bentuk negara
kesatuan dan sekaligus mengganti Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950.
232
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelenggara Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei22 Agustus 1945, Edisi III, Cet. 2 (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm 299., dan hlm. 305306.
151 Berdasarkan Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949, ditegaskan asas bahwa
undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat.233 Suatu asas yang tidak lain
diadopsi dari sistem hukum Belanda yang memang tidak mengizinkan gugatan
atau pengujian terhadap undang-undang. Namun demikian berdasarkan Pasal 156,
Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949, dikatakan bahwa MA berwenang
menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian yang dianggap
bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949.234
Dengan demikian pada periode ini pun tidak ada kewenangan pengujian
undang-undang oleh lembaga peradilan, yang ada hanya pengujian peraturan
ketatanegaraan atau UU daerah bagian.
c. Periode UUDS 1950
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang diberlakukan mulai tanggal 17
Agustus 1950 menggantikan Konstitusi RIS 1949 tidak memuat ketentuan
mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang. Bahkan dalam Pasal 95
ayat (2) dinyatakan dengan tegas bahwa “Undang-undang tidak dapat di ganggu
gugat.235
d. Periode Berlakunya Kembali UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sampai dengan Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUD 1945 tidak mengatur
mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD. Namun demikian bagian ini
akan membahas perkembangan ketatanegaraan dimana pada periode ini muncul
233
Lihat Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949.
Lihat Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949.
235
Lihat Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950.
234
152 adanya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undangundang oleh Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. demikian juga, pada perkembangan
selanjutnya telah terbit Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang salah satu materi muatannya
mengatur perihal kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD dan Tap
MPR yang kewenangannya dimiliki oleh MPR.
Dengan perasaan yang setengah hati dan mau tak mau, mekanisme judicial
review atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang akhirnya
dilembagakan dalam UU No. 14 Tahun 1970.236 tepatnya pada Pasal 26, yang
menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan di bawah
undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Namun celakanya, ayat (2) dari Pasal 26 tersebut menyatakan bahwa
pengujian tersebut dilakukan pada tingkat kasasi.
Ketentuan itu menurut Mahfud M.D mengandung kekacauan teoritis dan
kekacauan prosedural karena pada Pasal 26 ayat (1) dikatakan bahwa pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang adalah wewenang
(absolut) MA, namun pada ayat (2)-nya dikatakan bahwa pengujian tersebut
dilakukan pada pemeriksaan tingkat kasasi. Ketentuan ini mengandung kekacauan
karena di satu sisi menyatakan bahwa pengujian itu adalah wewenang MA namun
di sisi lain dikatakan bahwa pengujian itu dilakukan pada tingkat kasasi yang
artinya harus dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat pertama, tingkat
236
Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 98.
153 banding, barulah kemudian sampai di tingkat kasasi, padahal menurut Pasal 26
ayat (1) jelas-jelas kewenangan itu ada pada MA dan tidak didistribusikan pada
pengadilan dibawahnya. Lalu bagaimana caranya pengadilan ditingkat pertama
dan banding memeriksa perkara yang jelas-jelas merupakan kewenangan absolut
Mahkamah Agung.
Konstruksi hukum yang demikianlah yang oleh Mahfud M.D disebut
sebagai kekacauan, karena secara teoritis dan praktis memang mengandung
kekacauan dan akibatnya ketentuan tersebut tidak bisa dioperasionalkan.237 Norma
hukumnya ada tapi pelaksanaannya tidak dapat dijalankan sehubungan dengan
kekacauan konstruksi yang terdapat pada Pasal 26 tersebut. Akhirnya norma
tersebut menjadi norma mati (doedel regels).
Selanjutnya ketentuan mengenai judicial review peraturan dibawah UU ini
diatur juga di dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Akan
tetapi, belum lagi persoalan kekacauan konstruksi hukum yang dikandung oleh
Pasal 26 UU 14/1970 itu terselesaikan, UU 14/1985 tentang MA (Pasal 31) justru
semakin mempersempit ruang lingkup judicial review tersebut dengan
menyatakan bahwa pengujian peraturan di bawah undang-undang hanya
mencakup pengujian materiil.238
Usaha untuk mengurai “benang kusut” dan kekacauan normatif yang
disebabkan oleh rumusan Pasal 26 UU 14/1970 pernah dilakukan oleh Mahkamah
Agung dengan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.
Melalui Perma tersebut MA berupaya mengatasi kebuntuan dalam pengujian
237
238
Ibid., hlm. 114-115.
Lihat Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung.
154 peraturan di bawah UU dengan mengatur bahwa upaya pengujian tersebut dapat
diajukan secara langsung kepada MA tanpa melalui proses berjenjang dari mulai
pengujian di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Bahkan Perma
tersebut juga memungkinkan pengadilan di bawah MA, baik ditingkat pertama
maupun di tingkat banding, untuk menerima, memeriksa, dan memutus
permohonan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dalam kaitannya dengan
perkara yang sedang berjalan (include dengan perkara pidana, perdata, atau TUN
yang sedang diperiksa) yang putusannya hanya mengikat para pihak yang
bersengketa (interpartes).239
Meskipun upaya untuk memecah kebuntuan itu telah dilakukan dengan
menerbitkan Perma 1 Tahun 1993, kenyataan menunjukan bahwa hingga
berakhirnya orde baru, tak ada satu pun permohonan pengujian peraturan dibawah
undang-undang diajukan kepada MA dan dengan demikian tak ada satu pun
produk hukum yang di review oleh MA berdasarkan mekanisme tersebut.240
Perkembangan yang selanjutnya muncul sehubungan dengan diterbitkannya
Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Berdasarkan Pasal 5 Tap MPR tersebut dibuka keran
constitutional review.241 untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD oleh
MPR, bahkan meliputi juga pengujian UU terhadap Tap MPR.242 Selain itu TAP
239
Lihat Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahakamah Agung No. 1 Tahun
1993 tentang Hak Uji Materiil.
240
Mahfud M.D, Perdebatan ... Op. Cit., hlm. 115.
241
Istilah constitutional review adalah istilah yang tepat untuk menyebut atau
menggambarkan kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MPR, karena lembaga
MPR bukan merupakan lembaga kehakiman sehingga dengan sendirinya pengujian tersebut
bukanlah pengujian oleh hakim dan oleh karenanya tidak tepat apabila disebut judicial review.
242
Vide Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
155 MPR tersebut menegaskan kembali adanya mekanisme judicial review terhadap
peraturan
perundang-undangan
dibawah
undang-undang
oleh
Mahkamah
Agung.243
Dengan semangat memperbaiki sistem pengujian peraturan perundangundangan dibawah undang-undang dan belajar dari pengalaman masa lalu dimana
mekanisme itu tidak berjalan (deadlock) akibat kekacauan konstruksi yang
dibangun oleh UU 14 Tahun 1970, maka melalui Tap MPR No. III Tahun 2000
ini, tepatnya pada Pasal 5 ayat (3) dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh
MA bersifat aktif dan tanpa melalui prosedur kasasi.244
e. Judicial Review Pasca Perubahan UUD 1945
Setelah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang telah berkuasa
selama 32 tahun maka keinginan untuk melakukan perubahan kehidupan
berbangsa dan bernegara pada saat itu menemui momentum terbaiknya. Salah satu
dimensi yang hendak diubah dan diperbaiki pada waktu itulah bidang hukum.
Undang-Undang Dasar 1945 yang selama masa orde baru dianggap sakral dan
sangat sulit untuk dirubah dengan diaturnya persyaratan refendum yang diatur
dalam Tap MPR No. IV Tahun 1983 tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun
1985 tentang Refendum,245 tidak luput dari sasaran perubahan. Gagasan dan
243
Lihat Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
244
Lihat Pasal 5 ayat (3) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
245
Berdasarkan kedua aturan tersebut ditetapkan adanya sebuah mekanisme Referendum
apabila MPR akan melakukan perubahan UUD 1945, yaitu dengan syarat mengadakan Refendum
atau Pemungutan Pendapat Rakyat untuk menentukan apakah UUD 1945 akan dirubah atau tidak.
Syarat suara yang harus diperoleh dalam Refendum itu sendiri sangat berat, yaitu harus diikuti
oleh 90% dari seluruh rakyat yang mempunyai hak memilih dan harus disetujui oleh 90% dari total
156 tuntutan perubahan UUD 1945 itu diterima oleh MPR dengan mengadakan
perubahan terhadap UUD 1945. UUD 1945 mengalami empat kali perubahan,
perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000,
perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keemat pada tahun 2002.246
Terkait rangkaian perubahan UUD 1945 ini, Mahfud M.D menyatakan bahwa
sesungguhnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan satu kali (satu rangkaian)
dengan empat tahap perubahan yang masing-masing disahkan pada tahun 1999,
2000, 2001, dan 2002.247
Perubahan tersebut menyentuh banyak aspek dan materi UUD 1945 yang
asli, sehingga UUD 1945.248 hasil perubahan mengalami perubahan yang sangat
signifikan, baik dari segi jumlah pasal-pasal atau ayat maupun materi yang diatur
di dalamnya. Oleh karena besarnya perubahan yang terjadi pada UUD 1945 (hasil
perubahan), banyak ahli yang kemudian menyebutnya sebagai konstitusi yang
sema sekali baru, meskipun masih menggunakan nama yang sama yaitu UUD
1945.249 Dalam kesamaan pendapat seperti diatas, Bagir Manan bahkan menyebut
UUD hasil perubahan sebagai UUD 1945-Baru.250
Dalam materi UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan
pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November tahun 2001, terdapat ketentuan
suara yang diberikan oleh rakyat. Vide Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang
Refendum.
246
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 47-48.
247
Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009), hlm. 187.
248
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan disebut dan ditulis sebagai “UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” atau disingkat menjadi “UUD NRI Tahun
1945.”
249
Jimly Asshiddiqie, teori ... op., cit., hlm. 48.
250
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945-Baru, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), hlm 48.
157 yang sama sekali baru dalam sejarah konstitusi Indonesia, yaitu dimuat dan
diaturnya
mekanisme
pengujian
undang-undang
terhadap
UUD
yang
kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan
suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang baru yang berdiri sendiri disamping
Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai hal tersebut dituangkan di dalam Pasal
24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang letaknya ada dalam Bab IX kekuasaan
Kehakiman.251
Selain memuat ketentuan judicial review atas UU terhadap UUD yang
kewenangannya diberikan kepada MK, UUD hasil perubahan ketiga juga memuat
dan mengatur ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang kewenangan pengujiannya dimiliki oleh Mahkamah Agung
melalui Pasal 24A ayat (1).252
Melalui ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu
maka resmi sudah mekanisme judicial review, baik mengenai pengujian UU
terhadap UUD maupun mengenai pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU,
memiliki landasan konstitusional yang jelas dan tegas. Bersamaan dengan itu pula
diadopsi sebuah pengadilan khusus yang berdiri sendiri disamping MA sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan MA.
Selanjutnya
berdasarkan
Pasal
III
Aturan
Peralihan
UUD
1945,
diperintahkan bahwa MK sudah harus terbentuk selambat-lambatnya menurut Bab
IX UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan pengaturan
251
Lihat Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
252
Lihat Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
1945.
158 kewenanganya yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945, MK mempunyai
wewenang yang salah satunya ialah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD
Tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK dijalankan
oleh MA. Atas dasar amanat konstitusional tersebut maka pada tahun 2003
dibentuklah Mahkamah Konstitusi dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003. Berselang 3 hari,
yaitu pada tanggal 16 Agustus 2003 dilantiklah 9 orang hakim konstitusi yang
pertama kali dan tercatat mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus 2003.253
Berdasarkan uraian di atas bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan
dalam lapangan ketatanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD 1945,
salah satunya ialah dengan diadopsinya sistem judicial review. Sistem Judicial
review yang dianut di Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 ialah sistem dikotomis (pemecahan), artinya memisahkan
antara pengujian UU terhadap UUD dan pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah UU terhadap UU, yang kewenangan pengujiannya pun diserahkan
kepada aktor yang berbeda (meskipun keduanya sama-sama pelaku kekuasaan
kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945), yaitu MK untuk pengujian yang disebut
pertama dan MA untuk pengujian yang disebut terakhir.
253
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi
Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 6. 159 
Download