BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan

advertisement
1
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Sebelum melakukan penelitian hukum maka terlebih dahulu menentukan konsep
hukum yang dipakai. Sebagaimana dijelaskan Soetandyo Wignyosoebroto 1, ada lima
konsep hukum yaitu :
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi
sebagai judge made law ;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosiak yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik;
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagai
tampak dalam interaksi antar mereka.
Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian ini yang membutuhkan metode
penelitian yang tepat. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah hukum yang
dikonsepkan sebagai putusan hakim dan hukum yang dikonsepkan sebagai maknamakna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-
1
Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum UNS,
Surakarta, 2010, hlm. 20
2
aksi serta interaksi warga masyarakat atau hukum dikonsepkan sebagai realitas
maknawi yang berada di alam subjektiva.2
Dalam menjawab rumusan masalah yang pertama, konsep hukum ketiga yang
dipakai yaitu konsep hukum sebagai keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in
concreto dalam proses peradilan sebagai upaya hakim menyelesaikan kasus atau
perkara dan mempunyai kemungkinan sebagai precedent bagi kasus atau perkaraperkara berikutnya.3 Sejauh studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini
hakim tentang substansi hukum perundang-undangan dan atau keputusan-keputusan
para hakim terdahulu yang berkaitan sebagai preseden-preseden tidak ada salahnya
kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal. Oleh
karena itu pendekatan doktrinal, analisis yang digunakan adalah silogisme deduktif,
yakni untuk mencapai kesimpulan dilakukan dengan menarik premis mayor ke
premis minor. Akan tetapi, studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan
pengadilan sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum.
Variabel-variabel yang extra-legal itu kalau eksis ke luar ranah doktrinal dan
penelitian-penelitian serta studi-studinya termasuk kategori non doctrinal dengan
menggunakan metode-metode dan idiom-idiom yang non doctrinal pula.4
Terkait hubungan konsep, tipe kajian dan metode penelitian maka Soetandyo
Wignjosoebroto5 mengemukakan sebagai berikut :
Tabel 6 :
Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitian
2
Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-Ragam Penelitian Hukum, dalam Sulistyowati & Sidharta,
Yayasan Obor, Jakarta, 2009, hlm. 139.
3
Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana UNS, Surakarta, 2010, hlm. 21.
4
Soetandyo Wignjosoebroto op. cit., hlm. 140
5
Dalam Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013,
hlm. 20
3
Konsep
Tipe Kajian
Hukum
Metode
Peneliti
Penelitian
Hukum
Filsafat
Logika
deduksi, Pemikir
adalah asas- Hukum
berpangkal
asas
premis
normatif
kebenaran
yang
diyakini
dan keadilan
bersifat
yang bersifat
evident”
kodrati
Orientasinya
Filsafat
dari
“self
dan
berlaku
universal
Hukum
Ajaran
Doktrinal,
Para Yuris Positivisme
adalah
hukum
bersaranakan
kontenenta
norma-norma
murni yang terutama
positif
di mengkaji
logika l
deduksi
untuk
dalam sistem “law as it is membangun
perundang-
written
in sistem
hukum
undangan
the books”
positif
American
Doktrinal seperti American
Behavioral
di atas, tapi juga lawyers
Sosiopsi-
non
logik
hukum
nasional
Hukum
adalah
apa Sociological
yang
Jurispruden
diputuskan
ce
doktrinal
yang bersaranakan
oleh hakim in mengkaji
logika
induksi
4
concreto, dan “law as it is untuk
tersistematisa
si
decided
mengkaji
by court behaviours
sebagai judges
judge
made through
law
judicial
process”
Hukum
Sosiologi
Sosial/non
adalah pola- Hukum
doktrinal, dengan
pola perilaku mengkaji
pendekatan
sosial
Stuktural
Sosiolog,
Simbolik
yang law as it is stuktural/makro
terlembagaka
n,
Sosiolog
in society
eksis
dan
umumnya
terkuantifikasi
sebagai
(kuantitatif)
variabel
sosial
yang
empirik
Hukum
Sosiologi
Sosial/non
adalah
dan/atau
doktrinal dengan antropolog
manifestasi
Anropologi
pendekatan
makna-
Hukum
interaksional/mikr humaniora
makna
mengkaji
o,
dengan
simbolis para law as it is analisis-analisis
pelaku sosial in
sebagaimana
tampak
dalam
interaksi
(human) yang kualitatif
actions
, pengkaji
intraksional
5
diantara
mereka
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan
Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pada Pengadilan Tata Usaha Negara
tingkat pertama ini pemeriksaan secara lengkap terhadap fakta-fakta yang diajukan
para pihak di muka sidang atau judex facti. Penelitian juga dilakukan di perpustakaan
Fakultas Hukum UNS dan kepustakaan pusat UNS yaitu untuk diperoleh data
sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai data
pendukung penelitian hukum empiris. Penelitian data sekunder yang berupa bahan
hukum primer, yaitu dalam bentuk putusan pengadilan. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan dengan metode purposive yaitu sesuai dengan tujuan penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan dengan jenis penelitian yang dilakukan, maka jenis data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya atau diperoleh secara langsung
dari masyarakat (mengenai perilakunya:data empiris). Data primer diperoleh
langsung dari informan, yaitu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta,
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh dan Penasihat Hukum. Jenis data
ini memberikan keterangan atau informasi secara langsung terutama yang berkaitan
dengan objek penelitian. Pemikiran-pemikiran hakim dalam menyelesaikan sengketa
dituangkan dalam pertimbangan hukum yang mengemukakan alasan-alasan sebagai
dasar putusannya. Data primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam
(indeepth interview), dalam bentuk wawancara tak berstuktur dengan memberikan
6
pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah disusun atau disiapkan lebih dahulu
oleh interviewer.
Data sekunder yang bersumber dari bahan pustaka, meliputi bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari
peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai perubahan
kedua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagai perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, putusan
hakim, yurisprudensi, semua dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum dari
bahan hukum yang diteliti, berupa suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara (Keputusan Tata Usaha Negara atau beschikking). Bahan hukum sekunder
terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, laporan atas hasil
penelitian, komentar atas putusan pengadilan, bahan seminar dan lokakarya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Kepustakaan
Tujuan studi kepustakaan dimaksudkan untuk menemukan tori-teori, doktrin-doktrin,
asas-asas dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan.
Dari studi kepustakaan dapat diperoleh pengertian hukum dalam arti in abstracto
sedangkan dari penelitian terhadap putusan hakim akan diperoleh pengertian hukum
dalam arti in concreto. Hakim tidak sekedar menemukan lafal-lafal hukum in
abstrakto,
untuk
kemudian
secara
logis
(berdasarkan
silogisme
deduktif)
menjabarkan lafal-lafal yang in abstrakto tersebut menjadi lafal-lafal yang in
7
concreto, sine ira, hakim itu selalu mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang
ekstra legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa putusan yang dibuat itu akan lebih
fungsional bagi kehidupan6. Melalui studi literatur yang cukup mendalam dan luas,
akan mempermudah seorang peneliti menyusun landasan teori berupa kerangka teori
dan kerangka konsep yang kerap kali disebut juga penelaahan kepustakaan atau studi
pustaka.
Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukan dari sudut
mana masalah yang telah dipilih akan disoroti, sedangkan kerangka konsep disusun
sebagai perkiraan teoritis dari hasil yang akan dicapai setelah dianalisa secara kritis
berdasarkan persepsi yang dimiliki7. Melalui kajian pustaka dimaksudkan untuk
meneliti norma-norma dan asas-asas dan prinsip yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan tentang peradilan tata usaha negara dan dipergunakan sebagai
dasar pertimbangan putusan.
2. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan
secara lisan guna mencapai tujuan tertentu dan bertujuan untuk mengumpukan
keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka. Sesuai
dengan data yang ingin dikumpukan yaitu dalam kaitan dengan putusan hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara maka peneliti melakukan wawancara dengan para
hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Tata Usaha
Negara Banda Aceh serta Penasihat Hukum.
Wawancara dalam penelitian empiris ini penting dilakukan karena dari
wawancara akan diperoleh sikap interview atau pemberi informasi (informan)
terhadap permasalahan yang dihadapi. Wawancara dilakukan secara langsung
6
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 44
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987,
hlm. 43
7
8
dimaksudkan untuk memperoleh keterangan yang benar dan akurat, oleh karena itu
sebelum wawancara dilakukan pewawancara atau interiewer mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan lebih dahulu secara sistematik. Dalam hal ini peneliti ingin
memperoleh informasi dari hakim terutama dalam kaitannya dengan alasan-alasan
yang dikemukakan dalam pertimbangan hukumnya atau ratio decidendi, untuk
selanjutnya hakim menjatuhkan putusan. Soerjono Soekanto mengemukakan metode
wawancara digunakan oleh peneliti dengan tujuan, memperoleh data mengenai
persepsi manusia, mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia, mengumpulkan
data mengenai kepercayaan manusia, mengumpulkan data mengenai perasaan dan
motivasi seseorang/kelompok manusia, memperoleh data mengenai antisipasi atau
orientasi ke masa depan dari manusia, memperoleh informasi mengenai perilaku
manusia pada masa lampau dan mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya
sangat pribadi atau sensitif8.
3. Observasi atau pengamatan
Obserasi yang digunakan untuk mengungkap data dalam penelitian ini adalah
observasi non partisipasif yaitu peneliti dan pengamat berusaha untuk mengamati
sikap dan perilaku dari observee dalam proses di muka sidang, namun tanpa ikut
terlibat langsung. Hal ini dimaksudkan agar observee tidak akan terpengaruh dengan
hadirnya pengamat dalam tindakannya untuk mengambil suatu keputusan. Soerjono
Soekanto mengemukakan apabila tujuan penelitian hukum itu adalah mencatat
perilaku (hukum) sebagaimana terjadi di dalam kenyataan dan peneliti akan
memperoleh data yang dikehendakinya secara langsung pada saat itu juga. Tujuan
pengamatan
terutama untuk membuat catatan atau deskripsi mengenai perilaku
dalam kenyataan9. Perilaku yang dimaksud adalah suatu proses yang dilakukan hakim
dimulai dari penerimaan sengketa, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara sampai dengan pengambilan putusan, yang didasarkan pada alasan8
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta, 1986, Press, hlm. 67
Ibid., hlm. 66
9
alasan hukum yang dituangkan dalam pertimbangan hukum. Hakim sebagai aktor
mempunyai banyak pilihan dari alternatif yang tersedia dan berdasarkan kemampuan
yang dimiliki, hakim akan mengambil putusan yang berkualitas.
E. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan maka penelitian ini menggunakan
analisis data melalui dua tahap :
1. Tahap pertama
Dalam menganalisis data pada rumusan masalah pertama mendasarkan pada
pendekatan doktrinal dan analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis
doktrinal atau normatif. Pada tahap ini peneliti melakukan inventarisasi hukum dari
berbagai
norma
hukum.
Dalam
penelitian
ini
peneliti
memahami
dan
menggambarkan hukum dengan menggunakan metode logika-deduktif. Deduktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum yang
kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang
bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif mempergunakan pola berpikir
yang dinamakan silogisme yang tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan
premis minor) dan sebuah kesimpulan
2. Tahap kedua
Dalam menganalisis data pada rumusan masalah kedua dan ketiga yang mendasarkan
pada pendekatan non doktrinal, analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis
kualitatif yang dilakukan mempergunakan model analisis interaktif (interaktif model
analysis). Model analisis interaktif yaitu data yang dikumpukan akan dianalisis
melalui tiga tahap yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan
10
(verifikasi). Model analisis ini dilakukan melalui suatu proses siklus antar tahaptahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan
benar-benar data
yang mendukung penyusunan laporan penelitian. Tiga tahap
tersebut adalah:
1. Reduksi data (data reduction) adalah merupakan proses seleksi,
pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data yang ada
fieldnote. Kegiatan ini mempertegas, memperpendek, membuat
fokus, membuang hal yang tidak penting yang muncul dari catatan
dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat dilakukan
2. Penyajian data (data display). Display meliputi jenis matriks,
gambar/skema dan tabel yang kemudian dirancang guna merakit
informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti
dalam bentuk yang kompak.
3. Menarik kesimpulan (drawing and verifying conclusions) adalah
upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang terdapat dalam
reduksi data dan sajian data, dimana sebelumnya data diuji
likuiditasnya agar kesimpulannya muncul lebih kuat.
11
Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 4 :
Model Analisis Interaktif
Pengumpulan data
Reduksi Data
Penyajian data
Penarikan
kesimpulan/verifikasi
Keterangan :
Model analisis tersebut saling berputar dan saling melengkapi antara masing-masing
komponen analisis atau dengan kata lain mengalami proses siklus. Dalam hal ini
ketika peneliti mulai melakukan pengumpulan data, maka data yang sudah terkumpul
akan langsung dilakukan analisis guna memperoleh reduksi data dan sajian data
sementara. Kemudian pada saat pengumpulan data, peneliti mulai berusaha untuk
menarik kesimpulan berdasarkan semua hal bersama-sama dalam reduksi data dan
sajian datanya tersebut. Apabila hasilnya kurang memuaskan karena masih adanya
data yang belum tercakup dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti akan
12
berusaha menggali kembali data yan sudah terkumpul dari buku catatan khusus yang
meralat tentang data yang terkumpul dari lapangan.
F. Batasan Operasional Variabel Penelitian
Variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti. Dalam
penelitian ini yang perlu dijelaskan sebagai berikut :
1. Membangun10 adalah a. (bersifat) memperbaiki, kritik yang sangat diharapkan
b. Mendirikan. Rekonstruksi dimaknai sebagai proses membangun kembali
atau melakukan pengorganisasian kembali atas sesuatu “reconstruction is the
act or process of rebuilding, recreating, or reorganizing something”11.
2. Keaktifan hakim (judicial activism)12 adalah suatu filosofi dari pembuatan
putusan
peradilan
dimana
para
hakim
mendasarkan
pertimbangan-
pertimbangan putusan, antara lain pada pandangan hakim terhadap
perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang dan sebagainya.
Pertimbangan tersebut menjadi arahan bagi hakim dalam memutuskan kasus
yang bersangkutan karena adanya perkembangan baru atau berlawanan
dengan putusan-putusan sebelumnya dalam kasus yang sama. Pengertian ini
bisa dilihat dalam Black’s Law Dictionary sebagai berikut :
“Judicial activism as a philosophy of judicial decision-making whereby judges allow
their personal views about public policy among other factors to guide their
decisions…
10
Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi ke 7, West Group. ST Paul Minn, 1999, hlm. 1278
12
Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam
sistem ini. Sebagaimana istilah yang dikemukakan oleh James E. Bond bahwa :…”judicial restraint”
versus “judicial activism” or “non-interpretivist” versus “interpretivist”. Dalam sistem common law
dituntut ke”aktif”an hakim untuk pembentukan hukum dibandingan dengan legislatif. Apabila untuk
menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu
aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum (judge made
law) dengan kata lain putusan hakim adalah hukum.
11
13
Judicial activism describes judicial rulings suspected of being based on personal or
political considerations rather than on existing law. It is sometimes used as an
antonym of judicial restraint”.
Terkait dengan pengertian judicial activism, Richard A. Posner dengan mengutip
pendapat Oliver Wendell Holmes menyampaikan bahwa hakim membuat hukum
(tidak hanya menemukan dan menerapkan hukum):
“to resolve the dispute the court must create a new rule or modify a old one,
that is law creation. Judges defending themselves from accusations of judicial
activism sometimes say they do not make law, they only apply it. It is true that in our
system judge are not supposed to and generally do not make new law with the same
freedom that legislatures can and do; they are, in Oliver Wendell Holmes’ phrase,
confined from molar to molecular motions. The qualification is important, but the fact
remains that judge make, and do not just find and apply law”.13
Ronald Dworkin menyebut istilah Judicial Activism sebagai filosofi
pengambilan putusan sebagai berikut : I shall call these two philosophies by the
names they are given in the legal literature-the programs of judicial activism and
judicial restraint-though it will be plain that these names are in certain ways
misleading.14
3. Penemuan Hukum Progresif
Hukum dimaknai bukan merupakan suatu skema yang final (finite scheme),
namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Oleh karena
13
14
Bryan A. Garner (ed), 2004, Black’s Law Dictionary, eighth edition, Thomson West
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, op. cit., hlm. 137
14
itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif
untuk
menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Hukum progresif
adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum (berpikir dan bertindak).
Sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa cara berhukum bermacammacam. Cara berhukum yang positif-legalistis adalah menerapkan berdasarkan
undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau mengeja undang-undang.
Dihadapkan pada cara berhukum tersebut di atas, maka hukum progresif bekerja
sangat berbeda. Cara berhukum progresif memang dimulai dari teks tetapi tidak
berhenti hanya sampai disitu melainkan mengolahnya lebih lanjut. Cara berhukum
demikian bersifat non linier.
Sejak digagasnya konsep hukum progresif sebagaimana terurai di atas, berbagai
pemikiran untuk menggunakan hukum progresif dalam tahapan proses hukum mulai
bergulir termasuk didalamnya penemuan hukum progresif yang memiliki tiga
karakteristik utama,15 yaitu: Pertama, penemuan hukum yang bersifat visioner
dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke
depan dengan melihat case by case. Kedua, penemuan hukum yang berani dalam
melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat,
tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran dan keadilan serta memihak dan
peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. Ketiga, penemuan hukum yang
dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat
membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial
seperti saat ini.
4. Sengketa Tata Usaha negara
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah
15
Ahmad Rifai, op.cit., hlm. 93
sebagai akibat dikeluarkannya
15
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua unsur sengketa tata usaha
negara yaitu subjek atau para pihak yang bersengketa yaitu penggugat dan tergugat
dan objek sengketa yaitu Keputusan Tata Usaha Negara. Kompetensi absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata
usaha negara adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara
berdasarkan wewenang yang ada padanya (attributie) atau diberikan padanya dalam
bidang urusan pemerintah (delegate).
Download