Problematika Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah

advertisement
Problematika Pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah, Sebab-Sebab dan Solusinya
Ni’matus Sholihah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak: Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI)
bisa dikatakan sebagai proses pembangunan pondasi
bagi pribadi siswa. Mengapa demikian? Karena MI
adalah pendidikan pada jenjang dasar yang dilewati
oleh siswa sebelum mereka menikmati jenjangjenjang pendidikan selanjutnya. Sebagai tahap dasar
dan pondasi, maka sajian pendidikan yang well
education di MI adalah sebuah keniscayaan. Namun
demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan di
MI
tidak
luput
dari
permasalahan,
dan
permasalahan tersebut harus dilacak penyebabnya
sekaligus
ditemukan
solusinya,
sehingga
penyelenggarakan pendidikan tetap berlangsung
dengan baik.
Kata kunci: problematika pendidikan di MI, sebab,
solusi.
Abstract: Madrasah Ibtidayah is a basic education
process to build foundation for student personal.
Why? MI is a basic education level for student before
they continue to next level. As the basis education
phase, MI offers well education which is inevitability.
However, there is always a problem to run education
in MI level. The problem then, has to be finished, by
finding the solution to get a good education for the
children.
Keyword: Basic education problem, cause and
solution.
Religi: Jurnal Studi Islam
Volume 6, Nomor 1, April 2015; ISSN: 1978-306X; 82-104
Problematika Pendidikan
Pendahuluan
Tulisan ini akan menjelaskan tentang
problemproblem pendidikan beserta sebab dan solusi terbaik pada
permasalahan yang bergulir pada tahun-tahun ini. Mengapa
penulis memilih studi kasus ini, karena problem-problem
pada bidang pendidikan sering terjadi dan dapat kita
jumpai dengan mudah pada lembaga pendidikan, terutama
pendidikan dasar seperti MI. MI adalah lembaga pendidikan
dasar yang mengutamakan pendidikan agama pada
siswanya. Problem-problem di MI sangat kompleks dengan
kehidupan beragama pada anak usia dini, jika pendidikan
agama gagal maka siswa pun akan gagal dalam menerapkan
nilai agama pada kehidupan sehari-hari.
Dunia pendidikan saat ini menuai berbagai kritik
tajam karena ketidakmampuannya menanggulani berbagai
problem penting dalam kehidupan masyarakat.1 Bagaimana
mau menanggulangi problem yang ada di masyarakat, jika
problem yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut saja
belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di
dalamnya. Problem yang terjadi kadang adalah dampak dari
kurangnya perhatian serta kurangnya sikap antisipatif
pada seorang guru.
Sekolah dasar (baca, MI) yang notabene merupakan
sekolah yang mengajarkan pelajaran pada tingkatan dasar
atau bisa dikatakan pondasi adalah salah satu proses dasar
untuk mengetahui, membaca dan mengenal kepribadian dan
kemampuan diri.2
Pondasi yang harus dibangun secara perlahan dan
telaten sehingga hasil pondasi akan kuat dan sanggup
menghadapi derasnya perputaran roda zaman. Tapi
1Sutrisno,
Revolusi Pendidikan di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2005), 5.
2 Ibid., 6.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
83
Ni’matus Sholihah
terkadang pendidikan yang ada hanyalah proses transfer
pengetahuan saja dan belum menyentuh akar yang lebih
mendasar lagi, sehingga menyebabkan masalah pendidikan
semakin banyak dan runyam, problem siswa kita yang
semakin pragmatis-negatif, dan tidak bernilai dalam setiap
tindakannya juga mewarnai problem pendidikan di
Indonesia.
Dari ilustrasi berbagai hal itulah tulisan ini hadir,
untuk membedah apa dan bagaimana persoalan-persoalan
yang ada di dunia pendidikan kita, dalam hal ini MI, serta
menghadirkan solusinya.
Problematika Pendidikan Di Madrasah Ibtidaiyah
Berikut ini beberapa problem pendidikan yang sering
terjadi di Madrasah Ibtidaiyah:
1. Perubahan
Kurikulum
di
Indonesia
yang
Membingungkan Pembelajaran pada Siswa Madrasah
Ibtidaiyah
Krisis yang melanda bangsa Indonesia pada
pertengahan tahun 1997 mengingatkan para pakar
pendidikan di Indonesia untuk berpikir ulang tentang
arah dan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui
pemikiran panjang, akhirnya dapat ditemukan bahwa
arah pendidikan kurang tepat, sehingga menyebabkan
kualitas lulusannya kurang berkualitas.3 Berbagai upaya
dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut.
Pemerintah mengadakan banyak reformasi dalam
bidang pendidikan. Namun tidak memikirkan akibat dari
perubahan-perubahan yang seenaknya diubah, terutama
pada pendidikan di Madarasah Ibtidaiyah. Pola
pembelajaran yang terus berubah-ubah akan membuat
kebingungan pada murid dan menyebabkan murid cepat
3Ibid.,
106.
84
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
bosan dengan pengajaran yang terus berubah-ubah
seperti itu. Hal ini akan menimbulkan masalah pada
individu murid dan menyebabkan menurunnya tingkat
semangat pada siswa.
Sebut saja pada konteks yang paling akhir,
hadirnya Kurikulum 2013 (K-13) yang banyak menyulut
pro-kontra, mulai dari kejelasan konsep pelaksanaannya,
kesiapan guru-guru, konsep penilaiannya, kesiapan
siswa, hingga praktik kurikulum ganda di satuan
pendidikan tertentu.
Sebab terjadinya perubahan kurikulum ini memang
karena banyak introspeksi dari lembaga pendidikan yang
bersangkutan, hal ini memang baik untuk peningkatan
pendidikan yang ada di Indonesia, namun jika ketetapan
kurikulum belum bisa diterapkan di Madrasah
Ibtidaiyah, bagaimana? Hal ini harus segera diatasi
dengan kebijakan yang lebih mengutamakan pendidikan
nasional yang berbasis hanya satu kurikulum saja.
Dengan
syarat
kurikulum
tersebut
dapat
beradaptasi dengan kompetensi yang ada, dan dapat
mengembangkan potensi siswa Madrasah Ibtidaiyah
menjadi lebih berkembang dengan terus berpegang pada
nilai serta norma agama yang berlaku. Dan jika syarat
itu terpenuhi maka kurikulum itu sudah siap ditetapkan
dan diterapkan untuk menjadi acuan atau patokan
belajar pada siswa Madrasah Ibtidaiyah.
2. Banyaknya Guru yang Mengarahkan untuk Menguasai
Materi
Sebanyak-banyaknya
daripada
Mencapai
4
Kompetensi Tertentu.
Problem kedua ini bisa dipastikan memunculkan
akibat langsung yaitu pendidikan tidak dapat
4Ibid,
107.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
85
Ni’matus Sholihah
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi
tertentu. Maksudnya, hasil dari pendidikan seperti ini
hanya ingin mencari nilai yang bagus dengan cara
apapun tanpa memikirkan hasil kompetensi tertentu.
Guru sering berfikir bahwa murid akan pandai jika
terus diberikan materi padahal hal itu tidak benar
adanya. Menurut survey, materi yang banyak diberikan
oleh guru hanya 20% diterima oleh muridnya, sedangkan
yang lainnya adalah bagaimana murid itu mampu
meracik sistem berfikirnya dan cara menyesuaikan
kompetensi yang ia miliki sendiri.5
Dalam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah tentunya
penerapan dalam perilaku beragama sangatlah penting,
oleh karena itu model pembelajaran yang bersifat
“ceramah” harus kita modifikasikan dengan pengajaran
yang lebih interaktif.
Pembelajaran yang dilakukan guru selama ini
cenderung kurang variatif, pembelajaran monoton dari
waktu ke waktu mengakibatkan siswa kurang
termotivasi untuk belajar. Dalam metode ceramah,
interaksi terjadi satu arah, pada pembelajaran yang
demikian fokus perhatian siswa berangsur berkurang
sehingga pemahaman konsep menjadi rendah.6
Hal ini banyak disebabkan oleh guru yang tak mau
membuat
inovasi-inovasi
terbaru
dalam
proses
pembelajaran sehingga malah bertumpu pada model
pembelajaran lama yaitu menguasai segala materi yang
diberikannya. Pembelajaran yang terfokuskan pada hasil
objektif tanpa memikirkan hasil subjektif juga sering
terjadi di pendidikan tingkat Madrasah Ibtidaiyah, hal ini
5Mulyasa,
Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Remaja Rosadakarya,
2009), 38.
6Djoni Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XXIII Juli 2014), 38.
86
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
membuat siswa tidak memiliki kompetensi tertentu
dibandinkan yang lainnya.
Siswa seperti robot yang khusus hanya untuk diberi
program tanpa melihat kompetensi yang lain yang dapat
dikembangkan lagi dengan baik. Guru hanya mencekoki
murid dengan materi yang berbelit dan tidak mengetahui
secara subjektif seberapa besar murid itu mampu
memahami materi tersebut.
3. Sulitnya Meningkatkan
Madrasah Ibtidaiyah
Minat
Baca
Pada
Anak
Membaca merupakan salah satu aktifitas belajar
yang efektif untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.
Minat baca yang tinggi akan memperkaya pengalaman,
mengembangkan
daya
nalar,
mengembangkan
kreatifitas, memahami diri sendiri dan orang lain, serta
dapat mengembangkan kepribadian.
Namun ketika kita belum mampu memunculkan
minat baca pada siswa, itu akan berakibat fatal dalam
proses belajar. Kesulitan meningkatkan minat baca pada
anak Madrasah Ibtidaiyah adalah masalah yang rumit
untuk diselesaikan, karena pada masa usia Madrasah
Ibtidaiyah, anak-anak masih sangat suka bermain.
Proses untuk meningkatkan minat baca pada anak
Madrasah Ibtidaiyah bisa dikatakan susah-susah
gampang, susahnya ketika seorang guru harus mampu
menyesuaikan keadaan dengan muridnya dan mampu
memotivasi sedikit demi sedikit minat membaca itu.7
Pada saat itu guru diuji kesabarannya.
Minat baca pada anak Madrasah Ibtidaiyah harus
ditanamkan secara telaten, karena dengan membaca
7Solichan
Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan
Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 40.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
87
Ni’matus Sholihah
siswa akan mampu melihat kompetensi yang ada di luar,
sehingga dirinya juga ikut terpacu untuk menyamai
kompetensi yang ada di luar tersebut bahkan bisa lebih
mengembangkan diri dari kompetensi yang ada.
Kesulitan mengembangkan minat membaca itu
harus segera diselesaikan, karena jika tidak diselesaikan
minat membaca tidak akan pernah terngiang atau
terpikirkan
oleh
generasi
Madrasah Ibtidaiyah.
Kesulitan-kesulitan ini harus segera dituntaskan dengan
solusi-solusi yang terbaik. Tanpa membaca, siswa
Madrasah Ibtidaiyah tidak akan mampu berkembang
menjadi sosok yang berpengetahuan tinggi.
Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah adalah awal
atau pondasi untuk membangun karakter. Karakter
membaca harus ditanamkan pada anak Madrasah
Ibtidaiyah,8 Karena murid yang mempunyai karakter
suka membaca akan selalu mencari hal-hal yang baru
atau antusias untuk mencari pengetahuan.
Masalah kurang minatnya membaca ini terjadi
karena media buku dalam pembelajaran sudah dianggap
kuno atau jadul oleh para siswa, terobosan baru pada
dunia modern ikut menggeser keberadaan buku seperti
internet. Internet memuat banyak pengetahuan yang
uptodate, sedangkan buku bersifat seperti teori yang
informasinnya tidak elastis atau mengikuti peradaban
zaman yang ada.
Ada banyak cara untuk membuat siswa berminat
untuk membaca, seperti dengan menggabungkan
kegiatan membaca dengan menggambar, menjahit,
membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase,
bendera, dan lain-lain. Kegiatan ini dilakukan agar siswa
8Dian
Kristianti, “Menumbuhkan Minat Baca Pada Anak”, Majalah Suara
Pendidikan (Edisi XXIII Juli 2014), 44.
88
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
tidak
mudah
jenuh
dan
bersemangat
untuk
mengkreasikan apa yang dibaca. Membuat komentar dari
apa yang dibaca juga membuat siswa akan terpacu untuk
membaca dengan terperinci dan mencari inti dari apa
yang dibaca.9
4. Sulitnya Menghapus Budaya Mencontek Pada Anak
Madrasah Ibtidaiyah
Mencontek adalah upaya yang dilakukan seseorang
untuk mendapatkan keberhasilan denagan cara-cara
yang tidak jujur. Dapat kita simpulkan mencontek adalah
sikap-sikap yang menggunakan cara yang tidak
terhormat untuk memperoleh prestasi yang diinginkan.
Untuk itu perilaku mencontek sangat tidak layak
untuk dilakukan oleh kaum intelektual karena dapat
merusak tujuan pendidikan nasional. Masalah ini hampir
mengakar pada semua jiwa seseorang, mencontek adalah
hal yang sudah biasa atau terbiasa dilakukan oleh
semua orang.10 Hal ini juga sering terjadi pada murid
Madrasah Ibtidaiyah. Budaya mencontek akan membuat
murid tidak percaya diri atas jawaban yang
dilakukannya.
Mencontek adalah virus perusak, sungguh amat
sulit sekarang ini mencari siswa yang tidak pernah
mencontek. Benar kata banyak orang, “mencari orang
pintar itu mudah karena sangat banyak, tapi mencari
orang yang jujur dan dapat dipercaya amatlah sulit,
karena semakin langka”. Menganggap mencontek sebagai
sesuatu yang biasa sama halnya menganggap kecurangan
adalah biasa. Jika mencontek ditradisikan berarti sama
saja dengan mentradisikan kecurangan.
9Solichan
Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan
Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 41.
10Abdullah, “Masalah Mencontek (cheating) di Dunia Pendidikan”,
http;//www.depdiknas.go.id/jurnal, diakses pada 22 Januari 2015.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
89
Ni’matus Sholihah
Akhirnya kecurangan yang bisa terjadi pada saat
dewasa ialah melakukan korupsi dan manipulasi.
Mencontek akan membuat murid malas dan tidak
mandiri.11 Terlebih lagi mencontek akan menjadi sebuah
kebiasaan yang mengakar terus ke generasi selanjutnya
jika tidak dihilangkan.
Keorisinalitasan suatu karya atau hasil belajar
harus mulai ditegakkan, dengan begitu semua siswa akan
mampu untuk mandiri dan percaya diri dengan hasil
pekerjaannya.
Salah satu solusi untuk menyiasati budaya
mencontek yang saat ini mengakar adalah dengan
menerapkan sistem soal yang berbeda-beda pada siswa.
Selain itu, penanaman karakter kejujuran yang harus
ditanamkan sejak dini, juga faktor kepercayaan diri yang
harus ditingkatkan pada setiap individu siswa di
Madrasah Ibtidaiyah.
5. Banyaknya Sistem Hafalan yang Memberatkan Murid di
Madrasah Ibtidaiyah
Sistem hafalan yang dianggap dapat menjadi sistem
belajar terbaik malah menjadi bumerang dalam dunia
pendidikan. Sistem ini membuat siswa tertekan, bisa
dikatakan terpaksa melakukannya. Hal ini akan
membuat siswa mudah depresi, dengan banyaknya
hafalan yang belum diselesaikan, akan membuat siswa
takut atau tidak mau bersekolah lagi karena bisa jadi
takut dimarahi guru.
Fase pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah adalah fase
yang baru memulai untuk belajar tentang dasar
pelajaran, yang mana tidak boleh dipaksa untuk berfikir
11Nine
Adin Maulana, “Menyegarkan Kembali Cara Pandang terhadap
Penilaian Hasil Belajar”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi VI Februari
2013), 38.
90
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
terlalu keras, banyaknya hafalan akan membuat siswa
makin terbebani dengan sederet tugas. Memang sistem
hafalan telah diterapkan sajak dulu di beberapa
Madrasah Ibtidaiyah, namun sistem itu juga harus
direformasi dengan format yang lebih menarik, sehingga
tidak terlihat membebani murid dengan beragam
hafalan.
Penyesuaian adalah hal yang penting dalam
penerapan sistem ini. Sistem hafalan yang spontanitas
harus dilakukan adalah termasuk hal yang membuat
pikiran siswa terbebani. Banyak sistem pembelajaran di
Madrasah Ibtidaiyah yang memakai sistem hafalan
untuk menghafal doa-doa, dan lain-lain, hafalan-hafalan
di sini benar-benar harus disesuaikan dengan porsi
tingkatan atau kelas, agar tidak bersifat membebani.
Kadang sistem hafalan juga dibarengi dengan sistem
paksaan dan kekerasan.
Ketidakmampuan siswa dalam menghafal menjadi
bahan hukuman yang akan diterima siswa tersebut,
banyak ejekan yang akan menghujani di kelas, sehingga
siswa pun akan ketakutan dan trauma jika harus
menghafal dengan beban yang harus ditanggung jikalau
tidak mampu menghafal dengan baik. Lagipula sistem
hafalan tidak berfungsi efektif dalam penerapan beberapa
kegiatan sekolah.
Sistem ini harus segera disegarkan atau direvisi
dengan sistem yang lebih menyenangkan dan berbobot,
seperti sistem tanya jawab setelah materi diajarkan, hal
ini akan memudahkan siswa serta guru karena dengan
begitu siswa akan belajar mengulangi pelajaran yang
telah dijelaskan oleh guru, sedangkan keuntungan untuk
guru adalah guru dapat berinteraksi dengan siswanya
dan dapat menemukan kesulitan yang terpendam pada
diri siswa.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
91
Ni’matus Sholihah
6. Kurangnya Kesadaran Guru untuk Memanfaatkan Fase
Emas pada Murid di Madrasah Ibtidaiyah
Anak usia 0 tahun sampai 8 tahun merupakan awal
yang paling penting dan mendasar dalam kehidupan
manusia. Pada usia ini, seluruh instrumen besar manusia
terbentuk, yaitu kecerdasan, perilaku, watak dan
kemampuan-kemampuan lainnya. Para ahli neurologi
mengatakan bahwa saat lahir otak bayi mengandung 100
hingga 200 miliar neuron atau sel saraf yang siap
melakukan sambungan antar sel.
Selanjutnya
sekitar 50% kapasitas kecerdasan
manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% terjadi
ketika usia 8 tahun dan 100% terjadi ketika usia 8-18%.
Karena masa keemasan hanya terjadi sekali dalam
kehidupan manusia, betapa ruginya jika guru tidak
manyadari fase emas itu pada siswa Madrasah
Ibtidaiyah.
Guru tidak boleh mengabaikan periode ini dengan
begitu saja. Oleh karena itu agar mencapai hasil
maksimal dalam pembentukan kecerdasan, perilaku,
watak dan kecakapan lainnya, diperlukan jaminan
layanan dasar yang menunjang perkembangan dan
pertumbuhan siswa dengan pendidikan yang mendukung
di lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.12
Mempertimbangkan penting dan strategisnya
pendidikan untuk fase emas di Madrasah Ibtidaiyah,
hendaknya guru lebih mampu untuk mengembangkan
setiap potensi yang ada pada siswa di usia emas (golden
age) tersebut.
Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap
untuk mengembangkan segala potensi siswa yang
12Pri
Adi, “Selamatkan Generasi Emas 2045”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XIV Oktober 2013), 3.
92
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial,
emosional dan kemandirian kemampuan berbahasa,
kognitif, fisik motorik dan seni. Hal ini harus dilakukan
dengan menyenangkan dan telaten.
7. Media Pembelajaran Yang Kurang Mendukung
Menurut teori perkembangan anak, anak usia dini
(usia 0-8 tahun) berada dalam masa the golden age. The
golden age atau usia emas merupakan periode yang amat
penting bagi seorang anak. Anak pada rentang usia ini
sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan
yang paling pesat, baik fisik maupun mental.
Oleh karena itu, pada fase anak ini anak harus
diberikan stimulasi yang dapat merangsang gairah
belajarnya, beragam media pembelajaran harus tersedia
guna memaksimalkan masa emas anak dan dapat
menaikkan gairah untuk belajar. Mengingat media
termasuk mainan, maka media harus dipilih secara teliti
dan sesuai dengan tingkatan kompetensi.
Media pembelajaran yang ada di Madrasah
Ibtidaiyah selama ini kurang menunjang dengan
perkembangan siswa pada fase emas ini, bahkan banyak
media pembelajaran yang kurang tepat untuk dijadikan
bahan praktik. Untuk membantu perkembangan siswa,
dibutuhkan sarana dan prasarana yang menunjang.
Salah satu sarana tersebut adalah buku. Media
buku adalah media pertama yang menjadi acuan untuk
menghasilkan pola pikir serta kerja praktik yang
biasannya di lakukan di Madrasah Ibtidaiyah.
Media pembelajaran yang baik akan membuat
murid lebih faham dan menghayati atau istilahnya
meresap sampai ke akar-akarnya. Media pembelajaran
yang dibutuhkan dalam fase perkembangan golden age
Volume 6, Nomor 1, April 2015
93
Ni’matus Sholihah
adalah media yang mampu menyesuaikan dengan kondisi
serta kompetensi yang sesuai tingkatan.
Media pembelajaran dapat dibuat dengan bahan
yang sederhana, baiknya suatu media pembelajaran tapi
tidak diimbangi dengan kemampuan guru yang
profesional juga akan gagal untuk diserap oleh siswa.
Media pembelajaran adalah pelengkap untuk membuat
siswa lebih kreatif dan dengan media pembelajaran siswa
dapat
bermain sehingga
suasana
belajar
pun
menyenangkan.
8. Siswa Madrasah Ibtidaiyah yang Mulai Terjangkit Virus
Merokok dan Narkoba
Globalisasi semakin liar menipiskan ketebalan iman
kita, globalisasi membuat banyak perubahan pada siswa
Madrasah Ibtidaiyah. Banyak kasus merokok dan
narkoba yang akut yang dialami oleh generasi penerus
bangsa ini. Banyak siswa Madrasah Ibtidaiyah terdeteksi
narkoba, penyebaran narkoba yang semakin cepat ini
membuat dunia pendidikan resah.
Awalnya hanya mencoba-coba akhirnya ketagihan
dan dapat menyebabkan kecanduan yang akut. Hal ini
adalah sesuatu yang sering kita simpulkan dari kata
”narkoba”. Narkoba sangat berbahaya bagi tumbuh
kembang anak pada usia emas seperti ini, otak yang
seharusnya cepat menerima pengetahuan malah menjadi
bodoh .
Antisipasi selalu dilakukan oleh pihak sekolah,
namun banyak juga yang masih kecolongan dengan
munculnya siswa yang sudah kecanduan terhadap
narkoba. Kalau sudah begitu mau bagaimana lagi?,
hanya antisipasi saja tidak cukup untuk memberantas
generasi narkoba, perlu diadakan acara penyuluhan
94
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
secara konsisten untuk menjadiakan siswa benar-benar
tahu kalau narkoba itu sanagat berbahaya dan haram.
9. Jam Kosong yang Sia-sia di Madrasah Ibtidaiyah
Kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah lekat
dengan problem jam kosong. Problematika tersebut
dialami hampir di semua sekolah baik negeri maupun
swasta. Antisipasi yang dilakukan rata-rata di sekolah
adalah
dibentuknya Guru Piket.
Pertayaannya,
mampukah guru piket menggantikan guru mata
pelajaran (mapel)?,
cukupkah guru piket sekadar
memberikan tugas dari guru mapel?, bagaimana kondisi
psikologis siswa ketika menemui situasi seperti itu?
Jam kosong dapat terjadi karena berbagai alasan.
Guru sedang mengikuti tugas di luar lah, guru sedang
sakit lah atau guru sedang ada kegiatan yang lain dengan
terpaksa harus meninggalkan siswanya. Secara umum,
ketika terjadi jam kosong dalam hati siswa akan berkata;
horee, asyik...! Apalagi jika mata pelajaran tersebut
kurang diminati dan lebih lengkap jika gurunya pun
kurang dirindukan siswa karena memiliki cara mengajar
yang membosankan.
Memang ada juga siswa yang kecewa jika ada jam
kosong, apalagi pelajaran itu favorit mereka, namun
persentasenya jauh lebih kecil. Menyiasati jam kosong
agar menumbuhkan kebermanfaatan dan kemenarikan
siswa, sering diabaikan oleh guru piket. Guru piket sudah
merasa melaksanakan tugas walau hanya datang dan
menuliskan amanah dari guru yang sedang tidak bisa
melaksanakan kewajiban.
Efektif dan bermanfaatkah tugas yang diberikan
oleh guru piket tersebut?. Bisa jadi, siswa juga tidak suka
dengan guru piket karena sudah membuat dan
menghilangkan perasaan asyik. Kebebasan yang
Volume 6, Nomor 1, April 2015
95
Ni’matus Sholihah
seharusnya
didapat,
diganti
dengan
kewajiban
mengerjakan tugas. Boleh jadi, siswa akan mengerjakan
dengan asal-asalan karena yang terpenting cepat selesai
dan segera dapat bermain-bermain, bahkan tidak jarang
siswa mencuri-curi waktu pergi ke kantin atau warung
sekolah.
Guru adalah salah satu pilar penjaga nilai. Guru
menjadi salah satu penentu masa depan bangsa. Kiranya
guru dituntut untuk selalu memunculkan ide-ide dan
inovasi baru bukan hanya saat melaksanakan KBM
tetapi juga pada saat mengisi jam kosong.
Beberapa ide alternatif berikut ini bisa diterapkan
untuk mengisi jam kosong, antara lain sebagai berikut:
a. Cerita Motivasi
Guru piket harus mampu bercerita ketika
mengisi jam kosong. Tentu saja cerita yang dimaksud
adalah cerita-cerita yang inspiratif.
b. Curah Gagasan
Dalam
forum
ini
siswa
diajak
untuk
mencurahkan gagasannya seputar permasalahan yang
terjadi di lingkungan sekitar sekolah.
c. Membaca Di Perpustakaan
Guru piket harus berinisiatif mengajak siswa ke
perpustakaan untuk memanfaatkan jam kosong, hal
ini dianjurkan karena dengan begitu murid akan
mencoba untuk membaca buku.
d. Diskusi Kelas
Guru dan siswa bisa membuat kesepakatan
untuk menemukan topik-topik diskusi yang ada di
sekolah dan berdikusi mencari solusi bersama.
e. Perjalanan Wisata Sekolah
96
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
Perjalanan wisata tentunya sangat menarik jika
dilakukan di luar sekolah. Bagaimana jika perjalanan
wisata itu dilakukan di sekolah? Jawabannya pasti
tidak menarik dan tidak istemewa. Patut dicoba dulu,
perjalanan wisata mulai dengan mengajak siswa
melihat dan memperhatikan sekeliling sekolah.13
Sebab-sebab Problematika Pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah
Pendidikan mempunyai problem yang rumit dan
kompleks, terutama pada pendidikan tingkat dasar seperti
Madrasah Ibtidaiyah. Permasalahan-permasalahan yang
terjadi sering disebabkan oleh penyebab umum yang tidak
kita sadari, banyak hal yang kecil yang kita lewatkan yang
dapat menjadi cikal bakal permasalahan.
Secara garis besar ada dua penyebab munculnya
permasalahan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal di sini berarti permasalah yang
berada di dalam lingkungan sekolah yang menyebabkan
timbulnya problematika pendidikan.
Seperti kondisi media pembelajaran yang kurang
menunjang untuk penerapan praktik, jam kosong yang
sengaja diisi dengan pemberian tugas yang kurang
efektif. Faktor internal di sini benar-benar murni
permasalahan yang terjadi akibat ketidakmampuan
pengajaran yang efektif dan efisien.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dalam permasalahan ini berarti
permasalahan atau problematika tidak berasal dari
dalam lembaga pendidikan, namun berasal dari faktor
13Nanik
Masriyah, “Seni Menyiasati Jam Kosong”, Majalah Suara
Pendidikan (Edisi X Juni 2013), 29.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
97
Ni’matus Sholihah
dari luar lembaga pendidikan, contoh pergaulan di luar
lingkungan sekolah seperti kegiatan merokok yang
dilakukan siswa akibat bergaul dengan teman yang lebih
dewasa yang suka merokok, sehingga siswa ikut-ikutan
untuk merokok.
Dan hal itu dapat mempengaruhi teman di sekolah,
yang mana siswa akan mampu mengajak temantemannya untuk ikut merokok. Permasalahan ini
diakibatkan oleh salah pergaulan serta kurangnya
pengawasan orang tua di lingkungan masyarakat.14
Solusi Atas Problematika Pendidikan Di Madrasah
Ibtidaiyah
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus,
tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran
martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang
terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari
pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam
pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar
tercapai suatu hasil pendidikan yang baik.
Dalam hal ini manusia dituntut untuk dapat
memecahkan masalah atau problem yang sering terjadi di
ranah pendidikan, terutama pada tingkat Madrasah
Ibtidaiyah. Permasalahan yang hampir terjadi harus segera
cepat diatasi atau diselesaikan. Artinnya banyak
permasalahan ini yang membuat pondasi buruk pada anak
dan mengakibatkan kebiasaan buruk pula. Banyak problem
yang membuat anak kurang dapat mengembangkan diri,
sehingga kompetensi tidak dapat meningkat dan malah
menurun.
Problema seperti mencontek, kurangnya kesadaran
para guru untuk mengembangkan setiap potensi anak pada
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara,
2012).
14
98
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
usia emas di Madrasah Ibtidaiyah, perubahan kurikulum
yang membingungkan siswa beserta permasalahan lainnya
ikut mewarnai masalah-masalah yang ada di Madrasah
Ibtidaiyah.
Dan untuk mengatasi masalah-masalah, seperti
rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru,
dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di atas, secara
garis besar ada dua solusi yaitu:
1. Solusi Sistemik
Solusi sistemik yakni solusi dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan
dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme),
yang
berprinsip
antara
lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Menurut HAMKA dalam Samsul, peran politik
negara (pemerintah) sangat menunjang tumbuhnya nilainilai edukasi yang ditanamkan di lembaga pendidikan
formal. Kebijakan tersebut dalam wacana keislaman
bukan hanya menyangkut persoalan politis, akan tetapi
juga dalam tatanan moral dan kemanusiaan. Kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan (Islam) pada gilirannya
akan menunjang fungsi kekhalifahan manusia di muka
bumi.15 Kondisi ini akan terwujud manakala seluruh
sistem sosial, secara kolektif, ikut melakukan kontrol
terlaksananya proses pendidikan, khususnya pendidikan
Islam, termasuk Madarasah Ibtidaiyah. Sikap social yang
15Samsul
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
HAMKA tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), 190.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
99
Ni’matus Sholihah
demikian ini merupakan perwujudan kesadaran setiap
keluarga, seluruh anggota masyarakat, maupun
pemerintah
terhadap
proses
pendidikan
dan
pembentukan kepribadian peserta didik, sesuai dengan
nilai moral yang mereka anut.
Model kebijakan yang diambil oleh pemerintah
suatu negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi visi, misi, proses, dan
bentuk pendidikan yang ada.16
Sistem pendidikan harus diubah alurnya menjadi
lebih efektif dan efisien akan mempermudah proses
belajar mengajar terutama pada tingkatan dasar seperti
Madrasah Ibtidaiyah. Madarasah Ibtidaiyah adalah
lembaga sekolah dasar yang melengkapi mata
pelajarannya dengan nilai keagamaan yang sangat
banyak dan kental.
2. Solusi Teknis
Solusi teknis yakni solusi yang menyangkut hal-hal
teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi
ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru
dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan
kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
16Ibid.,
100
191.
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan saranasarana pendidikan, dan sebagainya.
Solusi untuk pembelajaran pada Madrasah
Ibtidaiyah adalah sistem memfokuskan kegiatan belajar
dengan aktivitas. Adapun langkah-langkah kegiatan
model pembelajarannya sebagai berikut:
a.
Langkah pertama disebut “Class-Yess”
Guru memusatkan perhatian siswa dengan
mengucap kata ”Class” dengan intonasi tertentu.
Siswa menjawab “Yess”. Guru dapat juga
mengaplikasikan kata-kata yang lebih kreatif yang
disepakati bersama. Tujuan langkah ini adalah untuk
menyiapkan siswa secara fisik maupun psikis untuk
mengikuti pembelajaran.
b.
Langkah kedua disebut “Micro Lecture”
Guru menyampaikan materi pelajaran dalam
waktu kurang dari 30 detik. Informasi yang dapat
diterima oleh memori kerja tidak lebih dari 30 detik.
Pada langkah ini dipastikan siswa memperhatikan
dengan seksama. Guru menayangkan hal-hal yang
penting di papan tulis. Tujuannya adalah
memberikan
fokus
materi
pelajaran
dan
memvisualkan konsep yang harus dipelajari oleh
siswa.
c.
Langkah ketiga disebut “Teach-Oke”
Langkah berikutnya adalah, guru mengucapkan
kata “Teach”, agar lebih bersemangat jika perlu
dengan tepuk tangan. Siswa menjawab dengan kata
“Oke”. Siswa mengulang apa yang telah disampaikan
guru secara berhadap-hadapan kepada siswa lain.
Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada
Volume 6, Nomor 1, April 2015
101
Ni’matus Sholihah
murid untuk mengulang apa yang dipahami dari
materi pelajaran tersebut.
d.
Langkah keempat disebut “Comprehention Check”
Langkah ini hampir sama dengan langkah
ketiga yaitu “Teach-Ok”, namun dalam langkah atau
tahapan ini guru berkeiling untuk mengecek
sekaligus menilai semua materi yang telah siswa
pahami.17
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut
diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit
dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang memiliki kualitas
sumber daya manusia yang tinggi, berkepribadian
Pancasila dan bermartabat.
Tidak hanya dari solusi sistematik dan solusi
teknis saja, tapi solusi untuk menghadapi
problematika dalam pendidikan karakter bisa
melalui salah satu cara sebagai berikut :
a.
Menanamkan nilai agama sejak dini.
b.
Memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang
baik.
c.
Memberikan contoh dan teladan implementasi
akhlaq terpuji.
d.
Memberikan
penguatan
menghindari akhlaq tercela.
sikap
untuk
Kesimpulan
Pendidikan yang bermutu merupakan cita-cita besar
bangsa ini dan menjadi tumpuan utama untuk mewujudkan
generasi penerus bangsa yang berprinsip Pancasila dan
17Djoni
Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XXIII Juli 2014). 39.
102
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
bermoral tinggi. Problematika yang ada di Madrasah
Ibtidaiyah menyiratkan bahwa masih banyak hal yang
harus dibenahi oleh para pendidik tentang permasalahan
yang seharusnya tidak menjadi rumit dan kompleks lagi.
Solusi demi solusi telah membantu penyelesaian
problematika di pendidikan tingkat dasar
Madrasah
Ibtidaiyah, yang mana akan juga membantu menyukseskan
pendidikan bermutu.
Problem yang terjadi kadang adalah dampak dari
kurangnya perhatian serta kurangnya sikap antisipatif
pada seorang guru. Terkadang pendidikan yang ada
hanyalah proses transfer pengetahuan saja dan belum
menyentuh akar yang lebih mendasar lagi, sehingga
menyebabkan masalah pendidikan siswa kita yang semakin
pragmatis-negatif dan tidak bernilai dalam setiap
tindakannya.
Permasalahan yang sering terjadi di ranah pendidikan,
terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah harus segera
cepat
diatasi
atau
diselesaikan.
Karena
banyak
permasalahan ini membuat pondasi buruk pada anak dan
mengakibatkan kebiasaan buruk pula. Banyak problem
yang membuat anak kurang dapat mengembangkan diri,
sehingga kompetensi tidak dapat meningkat dan malah
menurun.
Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap
untuk mengembangkan segala potensi anak yang meliputi
aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional,
kemandirian, kemampuan berbahasa, kognitif, fisik motorik
dan seni. Hal ini harus dilakukan dengan menyenangkan
dan telaten.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
103
Ni’matus Sholihah
Daftar Pustaka
Abdullah, Solichan. April 2014. “Membaca untuk
Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan”,
Majalah Suara Pendidikan.
Abdullah. 22 Januari 2015. “Masalah Menyontek (cheating)
di
Dunia
Pendidikan”.
http;//www.depdiknas.go.id/jurnal.
Adi, Pri. Oktober 2013. “Selamatkan Generasi Emas 2045”.
Majalah Suara Pendidikan.
Masriyah, Nanik. Juni 2013. “Seni Menyiasati Jam
Kosong”. Majalah Suara Pendidikan.
Maulana, Nine Adin. Februari 2013. “Menyegarkan Kembali
Cara Pandang terhadap Penilaian Hasil Belajar”.
Majalah Suara Pendidikan.
Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT
Remaja Rosadakarya.
Mulyasa. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta:
Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju
Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara.
Nizar,
Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika
Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Setiawan, Djoni. Juli 2014. “Whole Brain Teaching”,
Majalah Suara Pendidikan.
Sutrisno. 2005. Revolusi Pendidikan
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
104
Religi: Jurnal Studi Islam
di
Indonesia.
Download