Problematika Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, Sebab

advertisement
Problematika Pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah, Sebab-Sebab dan Solusinya
Ni’matus Sholihah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak: Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) bisa
dikatakan sebagai proses pembangunan pondasi bagi
pribadi siswa. Mengapa demikian? Karena MI adalah
pendidikan pada jenjang dasar yang dilewati oleh siswa
sebelum mereka menikmati jenjang-jenjang pendidikan
selanjutnya. Sebagai tahap dasar dan pondasi, maka sajian
pendidikan yang well education di MI adalah sebuah
keniscayaan. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
bahwa pendidikan di MI tidak luput dari permasalahan,
dan permasalahan tersebut harus dilacak penyebabnya
sekaligus
ditemukan
solusinya,
sehingga
penyelenggarakan pendidikan tetap berlangsung dengan
baik.
Kata kunci: problematika pendidikan di MI, sebab, solusi.
Abstract: Madrasah Ibtidayah is a basic education process
to build foundation for student personal. Why? MI is a basic
education level for student before they continue to next
level. As the basis education phase, MI offers well
education which is inevitability. However, there is always a
problem to run education in MI level. The problem then,
has to be finished, by finding the solution to get a good
education for the children.
Keyword: Basic education problem, cause and solution.
Pendahuluan
Tulisan ini akan menjelaskan tentang problem-problem
pendidikan beserta sebab dan solusi terbaik pada permasalahan
yang bergulir pada tahun-tahun ini. Mengapa penulis memilih
Religi: Jurnal Studi Islam
Volume 6, Nomor 1, April 2015; ISSN: 1978-306X; 76-97
Problematika Pendidikan
studi kasus ini, karena problem-problem pada bidang pendidikan
sering terjadi dan dapat kita jumpai dengan mudah pada
lembaga pendidikan, terutama pendidikan dasar seperti MI. MI
adalah lembaga pendidikan dasar yang mengutamakan
pendidikan agama pada siswanya. Problem-problem di MI sangat
kompleks dengan kehidupan beragama pada anak usia dini, jika
pendidikan agama gagal maka siswa pun akan gagal dalam
menerapkan nilai agama pada kehidupan sehari-hari.
Dunia pendidikan saat ini menuai berbagai kritik tajam
karena ketidakmampuannya menanggulani berbagai problem
penting dalam kehidupan masyarakat.1 Bagaimana mau
menanggulangi problem yang ada di masyarakat, jika problem
yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut saja belum mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada di dalamnya. Problem
yang terjadi kadang adalah dampak dari kurangnya perhatian
serta kurangnya sikap antisipatif pada seorang guru.
Sekolah dasar (baca, MI) yang notabene merupakan sekolah
yang mengajarkan pelajaran pada tingkatan dasar atau bisa
dikatakan pondasi
adalah salah satu proses dasar untuk
mengetahui, membaca dan mengenal kepribadian dan
kemampuan diri.2
Pondasi yang harus dibangun secara perlahan dan telaten
sehingga hasil pondasi akan kuat dan sanggup menghadapi
derasnya perputaran roda zaman. Tapi terkadang pendidikan
yang ada hanyalah proses transfer pengetahuan saja dan belum
menyentuh akar yang lebih mendasar lagi, sehingga
menyebabkan masalah pendidikan semakin banyak dan runyam,
problem siswa kita yang semakin pragmatis-negatif, dan tidak
bernilai dalam setiap tindakannya juga mewarnai problem
pendidikan di Indonesia.
1Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2005), 5.
2 Ibid., 6.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
77
Ni’matus Sholihah
Dari ilustrasi berbagai hal itulah tulisan ini hadir, untuk
membedah apa dan bagaimana persoalan-persoalan yang ada di
dunia pendidikan kita, dalam hal ini MI, serta menghadirkan
solusinya.
Problematika Pendidikan Di Madrasah Ibtidaiyah
Berikut ini beberapa problem pendidikan yang sering terjadi
di Madrasah Ibtidaiyah:
1. Perubahan Kurikulum di Indonesia yang Membingungkan
Pembelajaran pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah
Krisis yang melanda bangsa Indonesia pada pertengahan
tahun 1997 mengingatkan para pakar pendidikan di Indonesia
untuk berpikir ulang tentang arah dan kualitas pendidikan di
Indonesia. Melalui pemikiran panjang, akhirnya dapat
ditemukan bahwa arah pendidikan kurang tepat, sehingga
menyebabkan kualitas lulusannya kurang berkualitas.3
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut.
Pemerintah mengadakan banyak reformasi dalam bidang
pendidikan. Namun tidak memikirkan akibat dari perubahanperubahan yang seenaknya diubah, terutama pada pendidikan
di Madarasah Ibtidaiyah. Pola pembelajaran yang terus
berubah-ubah akan membuat kebingungan pada murid dan
menyebabkan murid cepat bosan dengan pengajaran yang
terus berubah-ubah seperti itu. Hal ini akan menimbulkan
masalah pada individu murid dan menyebabkan menurunnya
tingkat semangat pada siswa.
Sebut saja pada konteks yang paling akhir, hadirnya
Kurikulum 2013 (K-13) yang banyak menyulut pro-kontra,
mulai dari kejelasan konsep pelaksanaannya, kesiapan guruguru, konsep penilaiannya, kesiapan siswa, hingga praktik
kurikulum ganda di satuan pendidikan tertentu.
3Ibid.,
78
106.
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
Sebab terjadinya perubahan kurikulum ini memang
karena banyak introspeksi dari lembaga pendidikan yang
bersangkutan, hal ini memang baik untuk peningkatan
pendidikan yang ada di Indonesia, namun jika ketetapan
kurikulum belum bisa diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah,
bagaimana? Hal ini harus segera diatasi dengan kebijakan
yang lebih mengutamakan pendidikan nasional yang berbasis
hanya satu kurikulum saja.
Dengan syarat kurikulum tersebut dapat beradaptasi
dengan kompetensi yang ada, dan dapat mengembangkan
potensi siswa Madrasah Ibtidaiyah menjadi lebih berkembang
dengan terus berpegang pada nilai serta norma agama yang
berlaku. Dan jika syarat itu terpenuhi maka kurikulum itu
sudah siap ditetapkan dan diterapkan untuk menjadi acuan
atau patokan belajar pada siswa Madrasah Ibtidaiyah.
2. Banyaknya Guru yang Mengarahkan untuk Menguasai Materi
Sebanyak-banyaknya
daripada
Mencapai
Kompetensi
4
Tertentu.
Problem kedua ini bisa dipastikan memunculkan akibat
langsung yaitu pendidikan tidak dapat menghasilkan lulusan
yang memiliki kompetensi tertentu. Maksudnya, hasil dari
pendidikan seperti ini hanya ingin mencari nilai yang bagus
dengan cara apapun tanpa memikirkan hasil kompetensi
tertentu.
Guru sering berfikir bahwa murid akan pandai jika terus
diberikan materi padahal hal itu tidak benar adanya. Menurut
survey, materi yang banyak diberikan oleh guru hanya 20%
diterima oleh muridnya, sedangkan yang lainnya adalah
bagaimana murid itu mampu meracik sistem berfikirnya dan
cara menyesuaikan kompetensi yang ia miliki sendiri.5
4Ibid,
107.
5Mulyasa,
Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Remaja Rosadakarya,
2009), 38.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
79
Ni’matus Sholihah
Dalam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah tentunya
penerapan dalam perilaku beragama sangatlah penting, oleh
karena itu model pembelajaran yang bersifat “ceramah” harus
kita modifikasikan dengan pengajaran yang lebih interaktif.
Pembelajaran yang dilakukan guru selama ini cenderung
kurang variatif, pembelajaran monoton dari waktu ke waktu
mengakibatkan siswa kurang termotivasi untuk belajar. Dalam
metode ceramah, interaksi terjadi satu arah, pada
pembelajaran yang demikian fokus perhatian siswa berangsur
berkurang sehingga pemahaman konsep menjadi rendah.6
Hal ini banyak disebabkan oleh guru yang tak mau
membuat inovasi-inovasi terbaru dalam proses pembelajaran
sehingga malah bertumpu pada model pembelajaran lama
yaitu menguasai segala materi yang diberikannya.
Pembelajaran yang terfokuskan pada hasil objektif tanpa
memikirkan hasil subjektif juga sering terjadi di pendidikan
tingkat Madrasah Ibtidaiyah, hal ini membuat siswa tidak
memiliki kompetensi tertentu dibandinkan yang lainnya.
Siswa seperti robot yang khusus hanya untuk diberi
program tanpa melihat kompetensi yang lain yang dapat
dikembangkan lagi dengan baik. Guru hanya mencekoki murid
dengan materi yang berbelit dan tidak mengetahui secara
subjektif seberapa besar murid itu mampu memahami materi
tersebut.
3. Sulitnya Meningkatkan Minat Baca Pada Anak Madrasah
Ibtidaiyah
Membaca merupakan salah satu aktifitas belajar yang
efektif untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Minat baca
yang tinggi akan memperkaya pengalaman, mengembangkan
daya nalar, mengembangkan kreatifitas, memahami diri
6Djoni Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XXIII Juli 2014), 38.
80
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
sendiri dan
kepribadian.
orang
lain,
serta
dapat
mengembangkan
Namun ketika kita belum mampu memunculkan minat
baca pada siswa, itu akan berakibat fatal dalam proses belajar.
Kesulitan meningkatkan minat baca pada anak Madrasah
Ibtidaiyah adalah masalah yang rumit untuk diselesaikan,
karena pada masa usia Madrasah Ibtidaiyah, anak-anak masih
sangat suka bermain.
Proses untuk meningkatkan minat baca pada anak
Madrasah Ibtidaiyah bisa dikatakan susah-susah gampang,
susahnya ketika seorang guru harus mampu menyesuaikan
keadaan dengan muridnya dan mampu memotivasi sedikit
demi sedikit minat membaca itu.7 Pada saat itu guru diuji
kesabarannya.
Minat baca pada anak Madrasah Ibtidaiyah harus
ditanamkan secara telaten, karena dengan membaca siswa
akan mampu melihat kompetensi yang ada di luar, sehingga
dirinya juga ikut terpacu untuk menyamai kompetensi yang
ada di luar tersebut bahkan bisa lebih mengembangkan diri
dari kompetensi yang ada.
Kesulitan mengembangkan minat membaca itu harus
segera diselesaikan, karena jika tidak diselesaikan minat
membaca tidak akan pernah terngiang atau terpikirkan oleh
generasi Madrasah Ibtidaiyah. Kesulitan-kesulitan ini harus
segera dituntaskan dengan solusi-solusi yang terbaik. Tanpa
membaca, siswa Madrasah Ibtidaiyah tidak akan mampu
berkembang menjadi sosok yang berpengetahuan tinggi.
Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah adalah awal atau
pondasi untuk membangun karakter. Karakter membaca harus
7Solichan Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan
Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 40.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
81
Ni’matus Sholihah
ditanamkan pada anak Madrasah Ibtidaiyah,8 Karena murid
yang mempunyai karakter suka membaca akan selalu mencari
hal-hal yang baru atau antusias untuk mencari pengetahuan.
Masalah kurang minatnya membaca ini terjadi karena
media buku dalam pembelajaran sudah dianggap kuno atau
jadul oleh para siswa, terobosan baru pada dunia modern ikut
menggeser keberadaan buku seperti internet. Internet memuat
banyak pengetahuan yang uptodate, sedangkan buku bersifat
seperti teori yang informasinnya tidak elastis atau mengikuti
peradaban zaman yang ada.
Ada banyak cara untuk membuat siswa berminat untuk
membaca, seperti dengan menggabungkan kegiatan membaca
dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku,
boneka, topeng, kolase, bendera, dan lain-lain. Kegiatan ini
dilakukan agar siswa tidak mudah jenuh dan bersemangat
untuk mengkreasikan apa yang dibaca. Membuat komentar
dari apa yang dibaca juga membuat siswa akan terpacu untuk
membaca dengan terperinci dan mencari inti dari apa yang
dibaca.9
4. Sulitnya Menghapus Budaya Mencontek Pada Anak Madrasah
Ibtidaiyah
Mencontek adalah upaya yang dilakukan seseorang
untuk mendapatkan keberhasilan denagan cara-cara yang
tidak jujur. Dapat kita simpulkan mencontek adalah sikapsikap yang menggunakan cara yang tidak terhormat untuk
memperoleh prestasi yang diinginkan.
Untuk itu perilaku mencontek sangat tidak layak untuk
dilakukan oleh kaum intelektual karena dapat merusak tujuan
pendidikan nasional. Masalah ini hampir mengakar pada
8Dian Kristianti, “Menumbuhkan Minat Baca Pada Anak”, Majalah Suara
Pendidikan (Edisi XXIII Juli 2014), 44.
9Solichan Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan
Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 41.
82
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
semua jiwa seseorang, mencontek adalah hal yang sudah biasa
atau terbiasa dilakukan oleh semua orang.10 Hal ini juga
sering terjadi pada murid Madrasah Ibtidaiyah. Budaya
mencontek akan membuat murid tidak percaya diri atas
jawaban yang dilakukannya.
Mencontek adalah virus perusak, sungguh amat sulit
sekarang ini mencari siswa yang tidak pernah mencontek.
Benar kata banyak orang, “mencari orang pintar itu mudah
karena sangat banyak, tapi mencari orang yang jujur dan
dapat dipercaya amatlah sulit, karena semakin langka”.
Menganggap mencontek sebagai sesuatu yang biasa sama
halnya menganggap kecurangan adalah biasa. Jika mencontek
ditradisikan berarti sama saja dengan mentradisikan
kecurangan.
Akhirnya kecurangan yang bisa terjadi pada saat dewasa
ialah melakukan korupsi dan manipulasi. Mencontek akan
membuat murid malas dan tidak mandiri.11 Terlebih lagi
mencontek akan menjadi sebuah kebiasaan yang mengakar
terus ke generasi selanjutnya jika tidak dihilangkan.
Keorisinalitasan suatu karya atau hasil belajar harus
mulai ditegakkan, dengan begitu semua siswa akan mampu
untuk mandiri dan percaya diri dengan hasil pekerjaannya.
Salah satu solusi untuk menyiasati budaya mencontek
yang saat ini mengakar adalah dengan menerapkan sistem soal
yang berbeda-beda pada siswa. Selain itu, penanaman karakter
kejujuran yang harus ditanamkan sejak dini, juga faktor
kepercayaan diri yang harus ditingkatkan pada setiap individu
siswa di Madrasah Ibtidaiyah.
10Abdullah,
“Masalah Mencontek (cheating) di Dunia Pendidikan”,
http;//www.depdiknas.go.id/jurnal, diakses pada 22 Januari 2015.
11Nine Adin Maulana, “Menyegarkan Kembali Cara Pandang terhadap
Penilaian Hasil Belajar”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi VI Februari 2013),
38.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
83
Ni’matus Sholihah
5. Banyaknya Sistem Hafalan yang Memberatkan Murid di
Madrasah Ibtidaiyah
Sistem hafalan yang dianggap dapat menjadi sistem
belajar terbaik malah menjadi bumerang dalam dunia
pendidikan. Sistem ini membuat siswa tertekan, bisa
dikatakan terpaksa melakukannya. Hal ini akan membuat
siswa mudah depresi, dengan banyaknya hafalan yang belum
diselesaikan, akan membuat siswa takut atau tidak mau
bersekolah lagi karena bisa jadi takut dimarahi guru.
Fase pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah adalah fase yang
baru memulai untuk belajar tentang dasar pelajaran, yang
mana tidak boleh dipaksa untuk berfikir terlalu keras,
banyaknya hafalan akan membuat siswa makin terbebani
dengan sederet tugas. Memang sistem hafalan telah diterapkan
sajak dulu di beberapa Madrasah Ibtidaiyah, namun sistem itu
juga harus direformasi dengan format yang lebih menarik,
sehingga tidak terlihat membebani murid dengan beragam
hafalan.
Penyesuaian adalah hal yang penting dalam penerapan
sistem ini. Sistem hafalan yang spontanitas harus dilakukan
adalah termasuk hal yang membuat pikiran siswa terbebani.
Banyak sistem pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah yang
memakai sistem hafalan untuk menghafal doa-doa, dan lainlain, hafalan-hafalan di sini benar-benar harus disesuaikan
dengan porsi tingkatan atau kelas, agar tidak bersifat
membebani. Kadang sistem hafalan juga dibarengi dengan
sistem paksaan dan kekerasan.
Ketidakmampuan siswa dalam menghafal menjadi bahan
hukuman yang akan diterima siswa tersebut, banyak ejekan
yang akan menghujani di kelas, sehingga siswa pun akan
ketakutan dan trauma jika harus menghafal dengan beban
yang harus ditanggung jikalau tidak mampu menghafal dengan
84
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
baik. Lagipula sistem hafalan tidak berfungsi efektif dalam
penerapan beberapa kegiatan sekolah.
Sistem ini harus segera disegarkan atau direvisi dengan
sistem yang lebih menyenangkan dan berbobot, seperti sistem
tanya jawab setelah materi diajarkan, hal ini akan
memudahkan siswa serta guru karena dengan begitu siswa
akan belajar mengulangi pelajaran yang telah dijelaskan oleh
guru, sedangkan keuntungan untuk guru adalah guru dapat
berinteraksi dengan siswanya dan dapat menemukan kesulitan
yang terpendam pada diri siswa.
6. Kurangnya Kesadaran Guru untuk Memanfaatkan Fase Emas
pada Murid di Madrasah Ibtidaiyah
Anak usia 0 tahun sampai 8 tahun merupakan awal yang
paling penting dan mendasar dalam kehidupan manusia. Pada
usia ini, seluruh instrumen besar manusia terbentuk, yaitu
kecerdasan, perilaku, watak dan kemampuan-kemampuan
lainnya. Para ahli neurologi mengatakan bahwa saat lahir otak
bayi mengandung 100 hingga 200 miliar neuron atau sel saraf
yang siap melakukan sambungan antar sel.
Selanjutnya sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia
telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8
tahun dan 100% terjadi ketika usia 8-18%. Karena masa
keemasan hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia,
betapa ruginya jika guru tidak manyadari fase emas itu pada
siswa Madrasah Ibtidaiyah.
Guru tidak boleh mengabaikan periode ini dengan begitu
saja. Oleh karena itu agar mencapai hasil maksimal dalam
pembentukan kecerdasan, perilaku, watak dan kecakapan
lainnya, diperlukan jaminan layanan dasar yang menunjang
perkembangan dan pertumbuhan siswa dengan pendidikan
Volume 6, Nomor 1, April 2015
85
Ni’matus Sholihah
yang mendukung
Ibtidaiyah.12
di
lembaga
pendidikan
Madrasah
Mempertimbangkan penting dan strategisnya pendidikan
untuk fase emas di Madrasah Ibtidaiyah, hendaknya guru lebih
mampu untuk mengembangkan setiap potensi yang ada pada
siswa di usia emas (golden age) tersebut.
Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap untuk
mengembangkan segala potensi siswa yang meliputi aspek
moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian
kemampuan berbahasa, kognitif, fisik motorik dan seni. Hal ini
harus dilakukan dengan menyenangkan dan telaten.
7. Media Pembelajaran Yang Kurang Mendukung
Menurut teori perkembangan anak, anak usia dini (usia
0-8 tahun) berada dalam masa the golden age. The golden age
atau usia emas merupakan periode yang amat penting bagi
seorang anak. Anak pada rentang usia ini sedang dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik
maupun mental.
Oleh karena itu, pada fase anak ini anak harus diberikan
stimulasi yang dapat merangsang gairah belajarnya, beragam
media pembelajaran harus tersedia guna memaksimalkan
masa emas anak dan dapat menaikkan gairah untuk belajar.
Mengingat media termasuk mainan, maka media harus dipilih
secara teliti dan sesuai dengan tingkatan kompetensi.
Media pembelajaran yang ada di Madrasah Ibtidaiyah
selama ini kurang menunjang dengan perkembangan siswa
pada fase emas ini, bahkan banyak media pembelajaran yang
kurang tepat untuk dijadikan bahan praktik. Untuk membantu
perkembangan siswa, dibutuhkan sarana dan prasarana yang
menunjang.
12Pri Adi, “Selamatkan Generasi Emas 2045”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XIV Oktober 2013), 3.
86
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
Salah satu sarana tersebut adalah buku. Media buku
adalah media pertama yang menjadi acuan untuk
menghasilkan pola pikir serta kerja praktik yang biasannya di
lakukan di Madrasah Ibtidaiyah.
Media pembelajaran yang baik akan membuat murid
lebih faham dan menghayati atau istilahnya meresap sampai
ke akar-akarnya. Media pembelajaran yang dibutuhkan dalam
fase perkembangan golden age adalah media yang mampu
menyesuaikan dengan kondisi serta kompetensi yang sesuai
tingkatan.
Media pembelajaran dapat dibuat dengan bahan yang
sederhana, baiknya suatu media pembelajaran tapi tidak
diimbangi dengan kemampuan guru yang profesional juga
akan gagal untuk diserap oleh siswa. Media pembelajaran
adalah pelengkap untuk membuat siswa lebih kreatif dan
dengan media pembelajaran siswa dapat bermain sehingga
suasana belajar pun menyenangkan.
8. Siswa Madrasah Ibtidaiyah yang Mulai Terjangkit Virus
Merokok dan Narkoba
Globalisasi semakin liar menipiskan ketebalan iman kita,
globalisasi membuat banyak perubahan pada siswa Madrasah
Ibtidaiyah. Banyak kasus merokok dan narkoba yang akut
yang dialami oleh generasi penerus bangsa ini. Banyak siswa
Madrasah Ibtidaiyah terdeteksi narkoba, penyebaran narkoba
yang semakin cepat ini membuat dunia pendidikan resah.
Awalnya hanya mencoba-coba akhirnya ketagihan dan
dapat menyebabkan kecanduan yang akut. Hal ini adalah
sesuatu yang sering kita simpulkan dari kata ”narkoba”.
Narkoba sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak pada
usia emas seperti ini, otak yang seharusnya cepat menerima
pengetahuan malah menjadi bodoh .
Antisipasi selalu dilakukan oleh pihak sekolah, namun
banyak juga yang masih kecolongan dengan munculnya siswa
Volume 6, Nomor 1, April 2015
87
Ni’matus Sholihah
yang sudah kecanduan terhadap narkoba. Kalau sudah begitu
mau bagaimana lagi?, hanya antisipasi saja tidak cukup untuk
memberantas generasi narkoba, perlu diadakan acara
penyuluhan secara konsisten untuk menjadiakan siswa benarbenar tahu kalau narkoba itu sanagat berbahaya dan haram.
9. Jam Kosong yang Sia-sia di Madrasah Ibtidaiyah
Kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah lekat
dengan problem jam kosong. Problematika tersebut dialami
hampir di semua sekolah baik negeri maupun swasta.
Antisipasi yang dilakukan rata-rata di sekolah adalah
dibentuknya Guru Piket. Pertayaannya, mampukah guru piket
menggantikan guru mata pelajaran (mapel)?, cukupkah guru
piket sekadar memberikan tugas dari guru mapel?, bagaimana
kondisi psikologis siswa ketika menemui situasi seperti itu?
Jam kosong dapat terjadi karena berbagai alasan. Guru
sedang mengikuti tugas di luar lah, guru sedang sakit lah atau
guru sedang ada kegiatan yang lain dengan terpaksa harus
meninggalkan siswanya. Secara umum, ketika terjadi jam
kosong dalam hati siswa akan berkata; horee, asyik...! Apalagi
jika mata pelajaran tersebut kurang diminati dan lebih
lengkap jika gurunya pun kurang dirindukan siswa karena
memiliki cara mengajar yang membosankan.
Memang ada juga siswa yang kecewa jika ada jam
kosong, apalagi pelajaran itu favorit mereka, namun
persentasenya jauh lebih kecil. Menyiasati jam kosong agar
menumbuhkan kebermanfaatan dan kemenarikan siswa,
sering diabaikan oleh guru piket. Guru piket sudah merasa
melaksanakan tugas walau hanya datang dan menuliskan
amanah dari guru yang sedang tidak bisa melaksanakan
kewajiban.
Efektif dan bermanfaatkah tugas yang diberikan oleh
guru piket tersebut?. Bisa jadi, siswa juga tidak suka dengan
guru piket karena sudah membuat dan menghilangkan
88
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
perasaan asyik. Kebebasan yang seharusnya didapat, diganti
dengan kewajiban mengerjakan tugas. Boleh jadi, siswa akan
mengerjakan dengan asal-asalan karena yang terpenting cepat
selesai dan segera dapat bermain-bermain, bahkan tidak
jarang siswa mencuri-curi waktu pergi ke kantin atau warung
sekolah.
Guru adalah salah satu pilar penjaga nilai. Guru menjadi
salah satu penentu masa depan bangsa. Kiranya guru dituntut
untuk selalu memunculkan ide-ide dan inovasi baru bukan
hanya saat melaksanakan KBM tetapi juga pada saat mengisi
jam kosong.
Beberapa ide alternatif berikut ini bisa diterapkan untuk
mengisi jam kosong, antara lain sebagai berikut:
a. Cerita Motivasi
Guru piket harus mampu bercerita ketika mengisi jam
kosong. Tentu saja cerita yang dimaksud adalah cerita-cerita
yang inspiratif.
b. Curah Gagasan
Dalam forum ini siswa diajak untuk mencurahkan
gagasannya
seputar permasalahan yang terjadi di
lingkungan sekitar sekolah.
c. Membaca Di Perpustakaan
Guru piket harus berinisiatif mengajak siswa ke
perpustakaan untuk memanfaatkan jam kosong, hal ini
dianjurkan karena dengan begitu murid akan mencoba
untuk membaca buku.
d. Diskusi Kelas
Guru dan siswa bisa membuat kesepakatan untuk
menemukan topik-topik diskusi yang ada di sekolah dan
berdikusi mencari solusi bersama.
e. Perjalanan Wisata Sekolah
Volume 6, Nomor 1, April 2015
89
Ni’matus Sholihah
Perjalanan wisata tentunya sangat menarik jika
dilakukan di luar sekolah. Bagaimana jika perjalanan
wisata itu dilakukan di sekolah? Jawabannya pasti tidak
menarik dan tidak istemewa. Patut dicoba dulu, perjalanan
wisata mulai dengan mengajak siswa melihat dan
memperhatikan sekeliling sekolah.13
Sebab-sebab
Ibtidaiyah
Problematika
Pendidikan
di
Madrasah
Pendidikan mempunyai problem yang rumit dan kompleks,
terutama pada pendidikan tingkat dasar seperti Madrasah
Ibtidaiyah. Permasalahan-permasalahan yang terjadi sering
disebabkan oleh penyebab umum yang tidak kita sadari, banyak
hal yang kecil yang kita lewatkan yang dapat menjadi cikal bakal
permasalahan.
Secara garis besar ada dua penyebab munculnya
permasalahan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal di sini berarti permasalah yang berada di
dalam lingkungan sekolah yang menyebabkan timbulnya
problematika pendidikan.
Seperti kondisi media pembelajaran yang kurang
menunjang untuk penerapan praktik, jam kosong yang sengaja
diisi dengan pemberian tugas yang kurang efektif. Faktor
internal di sini benar-benar murni permasalahan yang terjadi
akibat ketidakmampuan pengajaran yang efektif dan efisien.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dalam permasalahan ini berarti
permasalahan atau problematika tidak berasal dari dalam
lembaga pendidikan, namun berasal dari faktor dari luar
lembaga pendidikan, contoh pergaulan di luar lingkungan
13Nanik Masriyah, “Seni Menyiasati Jam Kosong”, Majalah Suara
Pendidikan (Edisi X Juni 2013), 29.
90
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
sekolah seperti kegiatan merokok yang dilakukan siswa akibat
bergaul dengan teman yang lebih dewasa yang suka merokok,
sehingga siswa ikut-ikutan untuk merokok.
Dan hal itu dapat mempengaruhi teman di sekolah, yang
mana siswa akan mampu mengajak teman-temannya untuk
ikut merokok. Permasalahan ini diakibatkan oleh salah
pergaulan serta kurangnya pengawasan orang tua di
lingkungan masyarakat.14
Solusi Atas
Ibtidaiyah
Problematika
Pendidikan
Di
Madrasah
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak
berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat
manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam
pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena
merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu
tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik.
Dalam hal ini manusia dituntut untuk dapat memecahkan
masalah atau problem yang sering terjadi di ranah pendidikan,
terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Permasalahan yang
hampir terjadi harus segera cepat diatasi atau diselesaikan.
Artinnya banyak permasalahan ini yang membuat pondasi buruk
pada anak dan mengakibatkan kebiasaan buruk pula. Banyak
problem yang membuat anak kurang dapat mengembangkan diri,
sehingga kompetensi tidak dapat meningkat dan malah menurun.
Problema seperti mencontek, kurangnya kesadaran para
guru untuk mengembangkan setiap potensi anak pada usia emas
di
Madrasah
Ibtidaiyah,
perubahan
kurikulum
yang
membingungkan siswa beserta permasalahan lainnya ikut
mewarnai masalah-masalah yang ada di Madrasah Ibtidaiyah.
14
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara,
2012).
Volume 6, Nomor 1, April 2015
91
Ni’matus Sholihah
Dan untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya
kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain
seperti yang telah dijelaskan di atas, secara garis besar ada dua
solusi yaitu:
1. Solusi Sistemik
Solusi sistemik yakni solusi dengan mengubah sistemsistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti
diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara
lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Menurut HAMKA dalam Samsul, peran politik negara
(pemerintah) sangat menunjang tumbuhnya nilai-nilai edukasi
yang ditanamkan di lembaga pendidikan formal. Kebijakan
tersebut dalam wacana keislaman bukan hanya menyangkut
persoalan politis, akan tetapi juga dalam tatanan moral dan
kemanusiaan. Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan
(Islam) pada gilirannya akan menunjang fungsi kekhalifahan
manusia di muka bumi.15 Kondisi ini akan terwujud manakala
seluruh sistem sosial, secara kolektif, ikut melakukan kontrol
terlaksananya proses pendidikan, khususnya pendidikan
Islam, termasuk Madarasah Ibtidaiyah. Sikap social yang
demikian ini merupakan perwujudan kesadaran setiap
keluarga, seluruh anggota masyarakat, maupun pemerintah
terhadap proses pendidikan dan pembentukan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan nilai moral yang mereka anut.
Model kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu
negara, baik secara langsung maupun tidak langsung akan
15Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
HAMKA tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), 190.
92
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
mempengaruhi visi, misi, proses, dan bentuk pendidikan yang
ada.16
Sistem pendidikan harus diubah alurnya menjadi lebih
efektif dan efisien akan mempermudah proses belajar mengajar
terutama pada tingkatan dasar seperti Madrasah Ibtidaiyah.
Madarasah Ibtidaiyah adalah lembaga sekolah dasar yang
melengkapi mata pelajarannya dengan nilai keagamaan yang
sangat banyak dan kental.
2. Solusi Teknis
Solusi teknis yakni solusi yang menyangkut hal-hal
teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan
prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan
kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas
sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan studi ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai
pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan,
dan sebagainya.
Solusi untuk pembelajaran pada Madrasah Ibtidaiyah
adalah sistem memfokuskan kegiatan belajar dengan aktivitas.
Adapun langkah-langkah kegiatan model pembelajarannya
sebagai berikut:
a.
Langkah pertama disebut “Class-Yess”
16Ibid.,
191.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
93
Ni’matus Sholihah
Guru
memusatkan
perhatian
siswa
dengan
mengucap kata ”Class” dengan intonasi tertentu. Siswa
menjawab “Yess”. Guru dapat juga mengaplikasikan katakata yang lebih kreatif yang disepakati bersama. Tujuan
langkah ini adalah untuk menyiapkan siswa secara fisik
maupun psikis untuk mengikuti pembelajaran.
b.
Langkah kedua disebut “Micro Lecture”
Guru menyampaikan materi pelajaran dalam waktu
kurang dari 30 detik. Informasi yang dapat diterima oleh
memori kerja tidak lebih dari 30 detik. Pada langkah ini
dipastikan siswa memperhatikan dengan seksama. Guru
menayangkan hal-hal yang penting di papan tulis.
Tujuannya adalah memberikan fokus materi pelajaran dan
memvisualkan konsep yang harus dipelajari oleh siswa.
c.
Langkah ketiga disebut “Teach-Oke”
Langkah berikutnya adalah, guru mengucapkan kata
“Teach”, agar lebih bersemangat jika perlu dengan tepuk
tangan. Siswa menjawab dengan kata “Oke”. Siswa
mengulang apa yang telah disampaikan guru secara
berhadap-hadapan kepada siswa lain. Tujuannya adalah
memberikan kesempatan kepada murid untuk mengulang
apa yang dipahami dari materi pelajaran tersebut.
d.
Langkah keempat disebut “Comprehention Check”
Langkah ini hampir sama dengan langkah ketiga
yaitu “Teach-Ok”, namun dalam langkah atau tahapan ini
guru berkeiling untuk mengecek sekaligus menilai semua
materi yang telah siswa pahami.17
Maka
dengan
adanya
solusi-solusi
tersebut
diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-
17Djoni Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan
(Edisi XXIII Juli 2014). 39.
94
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
generasi baru yang memiliki kualitas sumber daya
manusia yang tinggi, berkepribadian Pancasila dan
bermartabat.
Tidak hanya dari solusi sistematik dan solusi teknis
saja, tapi solusi untuk menghadapi problematika dalam
pendidikan karakter bisa melalui salah satu cara sebagai
berikut :
a.
Menanamkan nilai agama sejak dini.
b.
Memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang baik.
c.
Memberikan contoh dan teladan implementasi akhlaq
terpuji.
d.
Memberikan penguatan sikap untuk menghindari
akhlaq tercela.
Kesimpulan
Pendidikan yang bermutu merupakan cita-cita besar bangsa
ini dan menjadi tumpuan utama untuk mewujudkan generasi
penerus bangsa yang berprinsip Pancasila dan bermoral tinggi.
Problematika yang ada di Madrasah Ibtidaiyah menyiratkan
bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi oleh para pendidik
tentang permasalahan yang seharusnya tidak menjadi rumit dan
kompleks lagi. Solusi demi solusi telah membantu penyelesaian
problematika di pendidikan tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah,
yang mana akan juga membantu menyukseskan pendidikan
bermutu.
Problem yang terjadi kadang adalah dampak dari
kurangnya perhatian serta kurangnya sikap antisipatif pada
seorang guru. Terkadang pendidikan yang ada hanyalah proses
transfer pengetahuan saja dan belum menyentuh akar yang lebih
mendasar lagi, sehingga menyebabkan masalah pendidikan siswa
kita yang semakin pragmatis-negatif dan tidak bernilai dalam
setiap tindakannya.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
95
Ni’matus Sholihah
Permasalahan yang sering terjadi di ranah pendidikan,
terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah harus segera cepat
diatasi atau diselesaikan. Karena banyak permasalahan ini
membuat pondasi buruk pada anak dan mengakibatkan
kebiasaan buruk pula. Banyak problem yang membuat anak
kurang dapat mengembangkan diri, sehingga kompetensi tidak
dapat meningkat dan malah menurun.
Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap untuk
mengembangkan segala potensi anak yang meliputi aspek moral
dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, kemandirian,
kemampuan berbahasa, kognitif, fisik motorik dan seni. Hal ini
harus dilakukan dengan menyenangkan dan telaten.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Solichan.
“Membaca
untuk
Pengembangan
Keprofesionalan
Berkelanjutan”,
Majalah
Suara
Pendidikan. April 2014.
Abdullah. “Masalah Menyontek (cheating) di Dunia Pendidikan”.
http;//www.depdiknas.go.id/jurnal.
Diakses 22 Januari
2015.
Adi, Pri. “Selamatkan Generasi
Pendidikan. Oktober 2013.
Emas 2045”.
Majalah Suara
Masriyah, Nanik. “Seni Menyiasati Jam Kosong”. Majalah Suara
Pendidikan. Juni 2013.
Maulana, Nine Adin. “Menyegarkan Kembali Cara Pandang
terhadap Penilaian Hasil Belajar”. Majalah Suara
Pendidikan. Februari 2013.
Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja
Rosadakarya. 2009.
Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter.
Aksara. 2012.
Jakarta:
Bumi
Muslich, Masnur. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme
Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. 2007.
96
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan
Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Setiawan, Djoni. “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara
Pendidikan. Juli 2014.
Sutrisno. Revolusi Pendidikan di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. 2005.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
97
Download