10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres kerja 2.1.1 Konsep stres

advertisement
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stres kerja
2.1.1 Konsep stres
Stres adalah satu abstraksi, artinya orang tidak dapat melihat pembangkit
stres (stresor) yang dapat dilihat adalah akibat dari pembangkit stres tersebut.
Gibson (2000) mendefinisikan bahwa stres sebagai suatu tanggapan penyesuaian,
diperantai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang
merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi
atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan
kepada seseorang. Sedangkan Munandar (2006) mendefinisikan stres merupakan
suatu
tipe
tindakan
atau
situasi
tuntutan-tuntutan yang berat atau yang
yang
membebani
seseorang
dengan
bertentangan. Tuntutan itu seringkali
mengacaukan keseimbangan tubuh, sehingga stres merupakan situasi yang secara
kronis mengganggu atau mengacaukan baik fisik maupun psikis seseorang.
Gibson (dalam Yulianti, 2000) mengemukakan bahwa stres kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
11
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang
tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil
interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu
untuk memberikan tanggapan.
Jadi stres adalah suatu tanggapan adaptif, dibatasi oleh perbedaan
individual dan proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan
(lingkungan), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis
atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang. Menurut Selye, stres yang bersifat
positif disebut eustres sedangkan stres yang yang berlebihan dan bersifat
merugikan disebut “distres.
Greenberg dan Baron (2002) mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi
emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu
mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Selanjutnya Greenberg & Baron
(2002) menyatakan bahwa semakin tinggi dorongan untuk berprestasi maka
semakin tinggi pula tingkat stres seseorang. Sedangkan Jana dan Wallace (2002)
memandang stres sebagai respon adaptif, merupakan karakteristik individual,
konsekuensi, dan tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara
fisik maupun psikologis. Dan masih banyak lagi definisi tentang stres sehingga
diumpamakan apabila terdapat delapan orang bertanya definisi tentang stres maka
terdapat delapan definisi pula tentang stres tersebut.
Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, reaksi setiap manusia akan
berbeda-beda dalam menghadapi tekanan dalam kehidupan. Apa yang bagi
12
seseorang dapat menimbulkan stres, belum tentu sama bagi orang lain. Latar
belakang seseorang, struktur neurologinya, dan pengalaman-pengalamannya yang
terdahulu dalam menghadapi tekanan, mempengaruhi cara dia memberi
tanggapan. Menurut Hans Seelye dalam Gibson et al., (2000), stres merupakan
serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi
terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan.
Rangkaian perubahan biokimia tersebut adalah general adaptation
syndrome yang terdiri dari tiga tahap, yakni tahap “alarm” (tanda bahaya) dimana
organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan
mulai menghayati sebagai ancaman dan muncul tidak terlalu lama. Tahap kedua
yakni
resistance
sumber-sumbernya
(perlawanan),
supaya
mampu
dimana
menghadapi
organisme
tuntutan,
memobilisasi
Jika
tuntutan
berlangsung terlalu lama, maka sumber-sumber penyesuaian akan berakhir.
Selanjutnya organisme mencapai Tahap ketiga, yaitu tahap exhaustion (kehabisan
tenaga).
Dorsteijn dan Kleber (2003), Munandar (2006); Sholeh (2006);
menjelaskan apabila seseorang yang menderita stres biasanya di dalam kelenjar
tubuhnya mengeluarkan adrenalin, cortisone dan hormon hormon lain dalam
jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung
dalam sistem saraf pusat. Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres
berkesinambungan dan tubuh manusia mampu menyesuaikan, maka terjadi
perlawanan terhadap kondisi tersebut.
13
Menurut Munandar (2006), reaksi badaniah yang khas terjadi untuk
menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance), tetapi jika
paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara
perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ
tersebut gagal untuk berfungsi sebagaimana mestinya, hal inilah yang
mengakibatkan sakit. Selanjutnya Seelye (dalam Munandar, 2006) menjelaskan
jika reaksi stres dari tubuh tidak cukup, berlebihan atau salah, maka reaksi tubuh
dapat menimbulkan penyakit, yang dinamakan diseases of adaptation (penyakit
dari adaptasi), karena penyakit-penyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi
adaptif yang tidak semestinya dari tubuh akibat stresor.
Pandangan Seelye ini mendapat kritik dari sejumlah peneliti lain seperti
Baron & Greenberg, (2002) yang kurang sependapat dengan pernyataan Seelye,
sehingga kalangan para pakar sampai saat ini belum memiliki kesepakatan dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Stres menurut mereka tidak dapat
dipandang hanya sebagai suatu jawaban. Stres harus dilihat sebagai fungsi dari
individu yang menafsirkan situasi dan reaksi seseorang terhadap situasi yang ada
pada lingkungannya.
Selanjutnya stres dianggap suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang
mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau mengarah ke perilaku
yang tak wajar. Seelye (dalam Munandar 2006) membedakan antara distres yang
destruktif, dan eustres yang merupakan kekuatan yang positif (eustres
mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti “baik”, seperti yang
terdapat dalam kata euphoria).
14
Stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri dapat dipengaruhi
oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan
lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan
psikologis dan fisik seseorang (Luthans, 2002). Lebih lanjut Mackay (2004),
menjelaskan stres sebagai suatu tuntutan eksternal seseorang dalam lingkungan
karena tekanan, strain atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari
luar diri seseorang yang ditandai dengan mudah tersinggung, kelelahan
emosioanal, fisik dan hilangnya obyektifitas.
Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada
lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang
menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini
memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan
dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres
merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan
kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.
Menurut Greenberg & Baron (2002), semakin tinggi dorongan untuk
berprestasi maka semakin tinggi pula tingkat stres seseorang, namun demikian
stres kerja akan meningkat sejalan kondisi seseorang untuk dapat mengendalikan
stres pada titik optimal (eustres), sedangkan apabila melebihi batas ambang maka
stres justru akan menurunkan kinerja dan menjadikan ancaman yang
mencemaskan. Dengan tingkat stres yang tinggi akibat tuntutan deadline, beban
15
kerja, atau kuantitas pemberitaan dikhawatirkan akan menurunkan kinerja dalam
penulisan berita, sehingga berita menjadi kurang tepat dan akurat. Padahal
karyawan mempunyai peranan penting dalam memberikan warna kehidupan
bermasyarakat, sehingga informasi yang ditulis karyawan seharusnya bersifat
tepat, akurat dan dapat dipercaya kebenarannya. Selanjutnya (Milbourn,2006)
mengukur stres kerja menjadi lima indikator yaitu beban kerja, konflik peran
(ketidakjelasan pembagian job description) , ketersedian waktu (tekanan waktu,
batas waktu menyelesaikan pekerjaan, tidak adanya standar jam kerja,
penambahan jam kerja),pengembangan karier dan tanggung jawab.
Hal di atas juga didukung penelitian Endang, ahli gizi dari Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang meneliti 40 karyawan dari 40 group
perusahaan media Indonesia. Peneliti menganggap bahwa karyawan adalah
kelompok profesi yang cukup rawan terhadap penyakit jantung koroner yang
disebabkan karena kesibukan mencari berita dan tekanan tenggat waktu (dead
line) yang ketat, para karyawan berpotensi mengalami stres, tak punya waktu
untuk berolah raga, juga tak mampu mengontrol pola makannya
Penyakit jantung koroner sendiri terjadi karena adanya penyempitan
pembuluh darah yang menyuplai darah dan oksigen ke otot jantung. Penyempitan
terjadi karena proses aterosklerosis, yaitu pengendapan di dalam pembuluh darah
akibat timbunan kolesterol dan lemak. Karena itu, kadar kolesterol dalam darah
yang tinggi sangat berbahaya. Kadar kolesterol seseorang dikatakan tinggi jika
mencapai di atas 200 mg/dl. Diperoleh hasil bahwa seseorang yang cemas akan
menaikkan kadar kolesterol dalam darah yang memicu terjadinya penyakit jantung
16
koroner. Karena itu, bisa dipahami bila orang merasa cemas ketika hasil tes
laboratorium menunjukkan kadar kolesterolnya di atas normal.
Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya penyakit jantung koroner
antara lain stres, olah raga tidak teratur, dan kesalahan pola makan. Di antara
sekian banyak kelompok profesi, karyawan yang mempunyai yang cukup rawan
terkena dampak penyakit tersebut. Dari hasil tersebut Pauline menyarankan agar
kadar kolesterol dapat menurun secara signifikan, selain mengubah pola makan
selama 30 hari dengan program Smart Heart Challenge atau tantangan jantung
sehat. Dalam program ini, para peserta (karyawan) diwajibkan mengonsumsi
makanan yang mengandung serat larut air selama sebulan penuh, hal ini
disebabkan penyakit jantung koroner saat ini masih menduduki urutan pertama
sebagai penyakit mematikan di Indonesia, dan penderitanya sebagian besar adalah
pria. Dibanding wanita, pria memang memiliki risiko lebih tinggi terkena jantung
koroner. Sementara penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
1997 menunjukkan, hampir 30 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit
jantung koroner. Dan mereka yang terserang penyakit ini, rata-rata usianya justru
di bawah 65 tahun dan sebagaian besar disebabkan oleh stres.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaannya.
Akibat adanya stres kerja tersebut orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik
individu yang menurun. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja seseorang
17
mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu
pelaksanaan pekerjaannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena
tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat
berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan.
Penelitian ini mendukung pernyataan Greenberg dan Baron (2002), yang
memandang stres dari dua sisi yakni sebagai gejala psikologis dan emosional.
Sebagai gejala psikologis peneliti menguji variabel yang diwakili beban kerja dan
konflik kerja sedangkan untuk menguji tingkat emosional diwakili variabel
kelelahan emosional, variabel-variabel yang diteliti saat ini belum dijelaskan
secara rinci sebelumnya.
2.1. 2. Peran SDM dalam pengelolaan stres
Timbulnya stres kerja dapat dicegah dan dihindari sehingga dampak
negatif dari stresor dapat dikurangi, untuk itu diperlukan manajemen stres yang
dapat tidak saja sekedar mengatasinya, namun juga sebagai media untuk belajar
menanggulangi secara adaptif dan efektif (Nadine, 2003).
Dalam pengelolaan stres terdapat dua pendekatan yakni pendekatan
individual dan pendekatan organisasi. Pendekatan individual dimaknai sebagai
suatu kondisi dimana seseorang berusaha untuk mengurangi level stresnya dengan
mengelola waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan
pengelolaan waktu yang baik maka seseorang dapat menyelesaikan tugas dengan
baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa.
18
Selain hal tersebut dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh
agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain
untuk mengurangi stres yang dihadapi perlu dilakukan kegiatan-kegiatan relaks.
Dan sebagai
strategi
terakhir untuk
mengurangi
stres
adalah
dengan
mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan
dan saran-saran bagi dirinya.
Sedangkan Menurut pendekatan organisasional merupakan bentuk stresor
yakni adanya tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang
semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor tersebut dapat
diubah (Feinstein, 2003). Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin
digunakan oleh manajemen dalam mengurangi stres pekerja adalah melalui seleksi
dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerja, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan.
Strategi penanganan individual merupakan strategi yang dikembangkan
secara pribadi atau individual. Strategi individual ini bisa dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain dengan melakukan perubahan reaksi perilaku atau
perubahan reaksi kognitif. Artinya, jika seorang seseorang merasa dirinya ada
kenaikan ketegangan, para pekerja tersebut seharusnya time out terlebih dahulu.
Cara time out ini bisa macam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih
dalam ruangan kerja, keluar ke ruang istirahat (jika disediakan), pergi sebentar ke
kamar kecil untuk membasuh muka air dingin atau berwudlu bagi orang Islam,
dan sebagainya
19
Melakukan relaksasi dan meditasi juga diperlukan dalam menurunkan
tingkat stres. Kegiatan relaksasi dan meditasi ini bisa dilakukan di rumah pada
malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan melakukan relaksasi, seseorang
dapat membangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Dengan demikian seseorang
yang melakukan relaksasi diharapkan dapat mentransfer kemampuan dalam
membangkitkan perasaan rileks ke dalam perusahaan di mana mereka mengalami
situasi stres. Beberapa cara meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup
atau memejamkan mata, menghilangkan pikiran yang mengganggu, kemudian
perlahan-lahan mengucapkan doa.
Doresteijn (2003) bahkan menganjurkan untuk melakukan diet dan fitness
dalam mengurangi tingkat stres seseorang. Beberapa cara yang bisa ditempuh
adalah mengurangi masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung
lemak, memperbanyak konsumsi makanan yang bervitamin seperti buah-buahan
dan sayur-sayuran, dan banyak melakukan olahraga, seperti lari secara rutin, tenis,
bulu tangkis, dan sebagainya.
Strategi ini didesain oleh manajemen untuk menghilangkan atau
mengontrol penekan tingkat organisasional untuk mencegah atau mengurangi
stres kerja untuk seseorang individual. Manajemen stres melalui organisasi dapat
dilakukan dengan menciptakan iklim organisasional yang mendukung. Ini dapat
membawa pada stres kerja yang serius terhadap pekerjaannya. Sebuah strategi
pengaturan mungkin membuat struktur lebih terdesentralisasi dan organik dengan
pembuatan keputusan partisipatif dan aliran komunikasi pada pimpinan.
20
Perubahan struktur dan proses struktural dapat menciptakan iklim yang
lebih mendukung bagi seseorang, memberikan mereka lebih banyak kontrol
terhadap pekerja, dan mencegah atau mengurangi stres kerja mereka.
Memperkaya desain tugas-tugas dengan memperkaya kerja baik dengan
meningkatkan faktor isi pekerjaan (seperti tanggung jawab, pengakuan, dan
kesempatan untuk pencapaian, peningkatan, dan pertumbuhan) atau dengan
meningkatkan karakteristik pekerja pusat seperti variasi skill, identitas tugas,
signifikansi tugas, otonomi, dan timbal balik dapat membawa pada pernyataan
motivasional, tanggung jawab, dan pengetahuan tentang hasil.
Mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional menurut
Fujiwara (2003) juga dapat mengurangi tingkat stres. Konflik peran dan
ketidakjelasan diidentifikasi lebih awal sebagai sebuah penekan individual utama.
Ini mengacu pada manajemen untuk mengurangi konflik dan mengklarifikasi
peran organisasional sehingga penyebab stres ini dapat dihilangkan atau
dikurangi.
Strategi dukungan sosial untuk mengurangi stress juga telah diungkap
Fujiwara, (2003); dan Marin, (2005). Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan
dukungan sosial terutama orang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja,
pemimpin atau orang lain. Agar diperoleh dukungan maksimal, dibutuhkan
komunikasi yang baik pada semua pihak, sehingga dukungan sosial dapat
diperoleh pekerja sehingga dapat mengajak berbicara orang lain tentang masalah
yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat mengadu atas keluh kesahnya.
21
Ada empat pendekatan
dalam mengatasi
stres kerja (Davis dan
Newstrom, 2002), yaitu dukungan sosial (sosial support), meditasi (meditation),
biofeedback, dan program kesehatan pribadi (personal wellness programs).
Pendekatan dukungan sosial dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan
memberikan kepuasan sosial kepada seseorang. Sedangkan pendekatan melalui
meditasi juga perlu dilakukan seseorang untuk megurangi stres dengan cara
berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan
emosi meditasi ini dapat dilakukan beberapa saat.
Menurut Sholeh (2006) yang meneliti tentang kesehatan dan sholat tahajud
menemukan bahwa dengan sholat tahajud yang teratur akan dapat megurangi
stres, menyembuhkan berbagai penyakit bahkan penyakit lumpuh sekalipun.
Pendekatan melalui biofeedback dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui
bimbingan dokter, psikiater, dan psikolog, sehingga diharapkan seseorang dapat
menghilangkan stres yang dialaminya. Sedangkan pendekatan kesehatan pribadi
merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini
seseorang secara periode waktu yang kontinyu memeriksa kesehatan, melakukan
relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olah raga secara teratur.
Menurut
Mangkunegara (2002) mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, dapat
menggunakan tiga pola, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis.
Pola sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan
kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga stres tidak menimbulkan
gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Mereka yang
tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan
22
cara yang baik dan teratur sehingga tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan,
meskipun sebenamya tantangan dan tekanan cukup banyak.
Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan
mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai
hambatan. Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan
dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Individu tersebut selalu
menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas
tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan
demikian, akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang
diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan
antara dirinya dan lingkungan (Vogt, 2002).
Pola psikologis adalah pola menghadapi stres yang berdampak pada
berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan
menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki
kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat
menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai
masalah-masalah yang buruk.
2.1.3. Faktor-faktor penyebab stres kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres khususnya
stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001).
Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun
hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe
kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
23
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor
kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun
karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi
ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum faktor
penyebab stres dapat diuraikan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001).
1) Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada
para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka.
Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan
maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para
karyawan yang mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat
dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak,
teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh
dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan
cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya
dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan
dan tugasnya.
2) Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan keputusan di
kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam
menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja
ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung
jawab dan kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang
karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut
dirinya.
24
3) Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau
dikonotasikan berkaitan dengan sek yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual
ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang
sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa
rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak
kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah
perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi
jabatan namun tak kunjung terwujud. Stres akibat pelecehan seksual banyak
terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap
persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang
melindunginya (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999).
4) Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu
yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan
seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu
dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga
sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak
kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada
kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999).
5) Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika
gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang
pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan),
perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga
25
mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan
selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya
sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan
pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam
Margiati, 1999).
6) Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A cenderung mengalami
stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah
sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran,
konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung
tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi
dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif.
Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika
mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan
memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain
perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit
jantung (Minner dalam Margiati, 1999).
7) Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman
pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit
atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau
menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan
bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati
pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan
tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-
26
hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron dan
Greenberg dalam Margiati, 1999).
2.2 Motivasi kerja
2.2.1. Pengertian motivasi kerja
Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditunjukkan pada
sumber
daya
manusia
secara
umum
khususnya
bawahan.
Motivasi
mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar
mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan
yang telah ditentukan.
Terry (Hasibuan, 2007) menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan
yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan
tindakan-tindakan. Motivasi itu tampak dalam dua segi yang berbeda yaitu
Pertama, dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi merupakan suatu usaha positif
dalam menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan daya serta potensi tenaga
kerja, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang
ditetapkan sebelumnya. Kedua, dilihat dari segi pasif/statis, motivasi tampak
sebagai kebutuhan sekaligus sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan,
mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia tersebut ke arah
yang diinginkan.
Keinginan
dan
kegairahan
kerja
dapat
ditingkatkan
berdasarkan
pertimbangan tentang adanya dua aspek motivasi yang bersifat statis. Aspek statis
yang pertama tampak sebagai kebutuhan pokok manusia yang menjadi dasar bagi
27
harapan yang akan diperoleh lewat tercapainya tujuan organisasi. Aspek motivasi
statis kedua berupa alat perangsang atau insentif yang diharapkan dapat
memenuhi apa yang menjadi kebutuhan pokok yang diharapkan.
Motivasi
kerja
didefinisikan
sebagai
kondisi
yang
berpengaruh,
membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan
dengan lingkungan kerja. Oleh karena itu, motivasi dapat dinyatakan sebagai
tindakan atau perilaku yang ditunjukkan oleh individu guna mewujudkan tujuan
atau keinginannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Parrek dan Udai (1985) yang
menyatakan bahwa motivasi terdiri dari enam indikator yaitu prestasi kerja,
pengaruh, pengendalian,ketergantungan dan perluasan. Motivasi diawali dengan
adanya kebutuhan. Berdasarkan kebutuhan itu individu akan melakukan tindakan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan teori di atas, dapat dikatakan
bahwa motivasi kerja merupakan kekuatan yang mendorong semangat yang ada di
dalam dan di luar diri seseorang baik berupa reward maupun punishment yang
terdiri dari:
1) Motivasi kekuasaan merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang-orang
dan situasi lingkungan;
2) Motivasi afiliasi merupakan
dorongan untuk berhubungan dengan orang-
orang atas dasar sosial;
3) Motivasi kompetensi merupakan dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan
kualitas kerja;
4) Motivasi reward merupakan dorongan kerja untuk mendapatkan imbalan
tertentu; dan
28
5) Motivasi punishment
merupakan
dorongan bekerja karena adanya suatu
peraturan-peraturan yang mengandung sanksi.
2.2.2 Teori motivasi kerja
a) Teori Kebutuhan (Maslow's Model)
Maslow memandang motivasi seorang individu sebagai suatu urutan
kebutuhan
yang
dipredeterminasi.
Kebutuhan
–
kebutuhan
fisiologikal,
merupakan kebutuhan yang paling imperatif, tetapi secara psikologikal kebutuhan
akan realisasi diri sangat penting bagi masing – masing individu. Maslow
mengemukakan sejumlah proporsi penting tentang perilaku manusia sebagai
berikut.
1) Manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan (man is a want being).
2) Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku.
3) Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan – suatu hierarki menurut
pentingnya masing – masing kebutuhan.
Bergabungnya seseorang dalam organisasi didorong oleh keinginan untuk
memenuhi kebutuhan, berupa penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhannya. Suasana batin (psikologis) seorang karyawan sebagai individu
dalam organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya tampak selalu semangat atau
gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian
tujuan organisasi tempatnya bekerja. Secara psikologis menunjukkan bahwa
kegairahan semangat seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya sangat
dipenuhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya.
29
b) Teori X dan Teori Y dari Mc Gregor
Mc Gregor ( dalam Robbins, 2002) mengemukakan dua pandangan nyata
mengenai manusia: pandangan pertama pada dasarnya negatif, disebut Teori X,
dan yang kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y. Setelah mengkaji cara
para manajer berhubungan dengan para karyawan, Mc.Gregor menyimpulkan
bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa
kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku
mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
c) Teori Dua Faktor dari Herzberg
Menurut Herzberg (Robbins,2002) faktor-faktor yang menghasilkan
kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan
ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor ketidakpuasan kerja disebut dissatisfier factors
yang terdiri dari: kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, pengawasan,
hubungan dengan rekan kerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan,
status dan keamanan. Sedangkan faktor-faktor penyebab kepuasan (faktor yang
memotivasi) terdiri dari: pengakuan, kerja itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan
dan pertumbuhan. Menurut Herzberg, cara terbaik memotivasi pegawai adalah
dengan memasukkan unsur tantangan dan kesempatan guna mencapi keberhasilan
ke dalam pekerjaan mereka.
d) Teori ERG Alderfer
Alderfer (Luthans,2006) mengidentifikasi tiga kelompok kebutuhan:
eksistensi (Existence), hubungan (Relatedness), dan perkembangan (Growth),
yang kemudian disebut ERG. Kebutuhan eksistensi berhubungan dengan
30
kelangsungan hidup (kesejahteraan fisiologis). Kebutuhan hubungan menekankan
pentingnya
hubungan
sosial
atau
hubungan
antar
pribadi.
Kebutuhan
perkembangan berhubungan dengan keinginan intrinsik terhadap perkembangan
pribadi.
Dalam teorinya
Alderfer lebih menekankan
pada kebutuhan yang
berkelanjutan daripada kebutuhan utama dengan tingkat hierarki atau dua faktor.
2.2.3. Manfaat motivasi kerja
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena
bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan
dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam
skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.
Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat
orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini
terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi,
schingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dapat dimaklumi karena
dorongan yang begitu tinggi akan mampu menghasilkan sesuai target yang
mereka tetapkan.
2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja
Menurut Herzberg (Masithoh, 1998) mengembangkan teori hierarki
kebutuhan Maslow menjadi teori dua factor tentang motivasi. Dua faktor itu
dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau
31
intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut
dengan disatisfier atau extrinsic motivation.
Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor
pendorong seseorang untuk berprestasi
dapat
bersumber dari dalam diri
seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain.
1) Prestasi yang diraih (achievement)
2) Pengakuan orang lain (recognition)
3) Tanggungjawab (responsibility)
4) Peluang untuk maju (advancement)
5) Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self)
6) Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth)
Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene factor
merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk
memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman
dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang
merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke
dalam faktor ekstrinsik, meliputi.
1) Kompensasi
2) Keamanan dan keselamatan kerja
3) Kondisi kerja
4) Status
5) Prosedur perusahaan
32
6) Mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat,
dengan atasan, dan dengan bawahan.
2.3 Kinerja karyawan
2.3.1 Pengertian kinerja
Beberapa ahli manajemen telah merumuskan mengenai pengertian kinerja.
Menurut Handoko (2001) kinerja adalah proses dimana organisasi mengevaluasi
atau menilai prestasi kerja karyawan. Sedangkan Tika (2006) menjelaskan kinerja
adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam
suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan
organisasi dalam periode waktu tertentu. Kinerja mengacu pada kadar pencapaian
tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan
seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Kinerja sering
disalah tafsirkan sebagai upaya (effort), yang mencerminkan energi yang
dikeluarkan, sehingga kinerja diukur dari segi hasilnya saja (Simamora, 2004).
Selanjutnya kinerja karyawan dapat diukur dengan 4 indikator yaitu kualitas
pekerjaan, kuantitas pekerjaan, pengetahuan dan kerjasama (Jansen et al,2001).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diambil satu pengertian bahwa
kinerja merupakan hasil dari pekerjaan seseorang atau sekelompok orang yang
telah memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan, dalam suatu perusahaan atau
organisasi pada periode waktu tertentu, dalam usaha untuk mencapai tujuan
organisasi. Fungsi pekerjaan yang dimaksud adalah pelaksanaan hasil pekerjaan
33
atau kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya dalam satu organisasi.
Sedangkan kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik
kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam
melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya (Mangkunegara, 2006). Kinerja SDM merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan
sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Rivai, 2005). Berdasarkan kedua
pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kinerja SDM adalah prestasi
kerja atau hasil kerja yang dapat dicapai oleh SDM persatuan periode waktu
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawabnya dalam organisasi.
Hasil kerja yang dimaksud dapat berupa hasil kerja secara kualitatif mapun secara
kuantitatif berdasarkan atas standar pekerjaan yang ditetapkan.
Standar pekerjaan dapat dicapai melalui dua aspek, yaitu aspek kuantitatif
dan aspek kualitatif (Mangkunegara, 2006).
Aspek kuantitatif meliputi :
1) proses kerja dan kondisi pekerjaan;
2) waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan;
3) jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
4) jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekeja.
Aspek kualitatif meliputi :
1) ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan;
2) tingkat kemampuan dalam bekerja;
34
3) kemampuan menganalisis data/ informasi, kemampuan/ kegagalan memakai
mesin/peralatan; dan
4) kemampuan mengevaluasi.
Penilaian kinerja SDM dimaksudkan untuk mengukur kinerja masingmasing karyawan. Dari penilaian kinerja inilah organisasi dapat memberikan
umpan balik bagi karyawan, sampai mengidentifikasi apa yang menjadi kekuatan
atau kelemahan karyawan (Mathis, 2006). Unsur-unsur yang dinilai dalam prestasi
kerja sebagai berikut.
1) Kesetiaan, merupakan tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan, dan
mengamalkan
sesuatu
yang
ditaati
dengan
penuh
kesadaran
dan
tanggungjawab, yang ditujukan dengan sikap dan perilaku sehari-hari
karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kesetiaan karyawan
dalam satu organisasi sangat berhubungan dengan sikap pengabdian yang
ditunjukannya. Pengabdian disini adalah sumbangan pikiran dan tenaga yang
iklas dengan mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi.
2) Prestasi kerja, merupakan hasil kerja baik dari segi kuantitatif maupun
kualitatif yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan yang diberikan padanya.
3) Tanggungjawab,
merupakan kesanggupan seorang karyawan dalam
menyelesaikan tugas dan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya dan tepat
waktu serta berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya atau
tindakan yang dilakukannya.
35
4) Ketaatan, merupakan kesanggupan seorang karyawan untuk mentaati segala
ketetapan,
peraturan
yang
berlaku,
mentaati
perintah
atasan,
serta
kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang telah ditetapkan
perusahaan baik yang tertulis maupun lisan.
5) Kejujuran, merupakan ketulusan hati seorang karyawan dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaan serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan
wewenang yang telah diberikan padanya.
6) Kerjasama, merupakan
kemampuan seorang karyawan untuk bekerja
bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan
pekerjaan yang telah ditetapkan, sehingga mencapai dayaguna dan hasil guna
yang sebesar-besarnya.
7) Prakarsa,
merupakan
kemampuan seorang karyawan untuk mengambil
keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan suatu tindakan yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan
bimbingan dari atasannya.
8) Kepemimpinan, merupakan
kemampuan yang dimiliki seorang karyawan
untuk meyakinkan orang lain, sehingga karyawan tersebut dapat dikerahkan
secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok.
Penilaian kinerja sangatlah penting dilakukan untuk mengevaluasi sejauh
mana karyawan telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Penilaian kinerja
bersifat umpan balik bagi karyawan itu sendiri. Apabila ada karyawan yang
kurang berprestasi, maka atasan harus dapat mencari solusi, agar karyawan
36
tersebut dapat memperbaiki diri, sehingga kedepannya karyawan tersebut dapat
berprestasi (Tohardi, 2002).
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja SDM
Menurut Mahmudi (2005), terdapat beberapa faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja SDM, adapun faktor-faktor tersebut meliputi :
1) Faktor
personal/individual
meliputi
:
pengetahuan,
keterampilan,
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh
setiap individu.
2) Faktor kepemimpian meliputi : kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer.
3) Faktor tim meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan
dan keeratan anggota tim.
4) Faktor sistem meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja atau infra struktur yang
diberikan oleh anggota organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam
organisasi.
5) Faktor kontekstual (situasional) meliputi : tekanan dan perubahan lingkungan
eksternal dan internal.
Selanjutnya Mangkunegara (2006) mengemukakan tentang faktor-faktor
penentu prestasi kerja, yang terdiri daridua faktor yaitu: faktor individu dan faktor
lingkungan kerja organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
37
1) Faktor individu
Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki
integritas tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan
adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu
tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini
merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan
mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan
atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi
individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu
kecerdasan
pikiran/Intelegency
Quotiont
(IQ)
dan
kecerdasan
emosi/Emotional Quotiont (EQ). Pada umumnya, individu akan mampu
bekerja dengan penuh konsentrasi apabila memiliki tingkat intelegensi
minimal normal dengan tingkat kecerdasan emosi baik.
2) Faktor lingkungan organisasi
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam
mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara
lain, uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang
menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja harmonis, iklim
kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif
memadai. Jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi
individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran yang memadai dengan
tingkat kecerdasan emosi baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam
bekerja. Bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan
38
bahkan dapat diciptakan oleh dirinya sendiri serta merupakan tantangan bagi
dirinya dalam berprestasi di organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa salah satu faktor
lingkungan organisasi yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan adalah adanya
kesempatan menduduki jabatan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Adanya kesempatan untuk berkarir dalam organisasi atau perusahaan, akan
menjadi motivator bagi karyawan untuk lebih membenahi diri menjadi seorang
karyawan yang selalu berprestasi atau berkinerja tinggi.
Download