LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN PELAKSANAAN

advertisement
LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN
PELAKSANAAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
oleh:
Dr. H. Soedarmadji, S.H., M.Hum.
(Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan)
A. PENDAHULUAN
Keadilan menjadi dambaan setiap manusia Indonesia. Hukum
sebagai kaidah yang mengatur kehidupan manusia harus juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Pengadilan sebagai
lembaga “yang menciptakan keadilan” dalam bentuk konkret mestinya
selalu dapat menjadikan hukum dan keadilan sebagai suatu rangkaian
yang terkait. Namun sering kali, hukum sengaja dibuat oleh legislator,
sehingga hakim dapat saja terjebak dalam suatu pola berpikir yang
dirancang oleh hukum dan akhirnya hanya mampu menciptakan
keadilan hukum bukan keadilan substantif.
Perkembangan
masyarakat
seringkali
dan
mestinya
selalu
menjadi pertimbangan legislator dalam mengkonstruksi hukum dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.1 Sebaliknya, hukum dapat juga
menjadi motor penggerak masyarakat.
Antara hukum, masyarakat,
keadilan, dan penegak hukum merupakan unsur penting dalam
mengatur kehidupan bersama. Namun, seringkali norma hukum hanya
1H. Soedarmadji, Kebijakan Hukum Pidana terhadapTindak Pidana Pencemaran Air yang
Disebabkan oleh Limbah Cair dari Industri. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Brawijaya, 2009, hlm. 5.
1
mengutamakan kepastian, belum banyak memasukkan norma yang
merupakan penjabaran dari asas keadilan dan asas manfaat.
Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat
Indonesia dan kesadaran hukumnya, maka konsep keadilanpun
mengalami
pergeseran
menuju
ke
arah
keadilan
yang
lebih
mengutamakan manfaat bagi para pihak, bukan sekedar keadilan
hukum.
Salah satu hukum yang mengatur kehidupan masyarakat
adalah hukum pidana yang diberlakukan pada anak yang melakukan
tindak pidana (berusia lebih dari 12 tahun tetapi belum mencapai 18
tahun). Hal ini sering pula dengan masyarakat Indonesia saat ini yang
makin kritis dalam mengembangkan jiwa hukum (volkgeist)dan jiwa
keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang sering dipikirkan dan perlu
diwujudkan adalah keadilan materiel (keadilan substanif) melalui
pendekatan keadilan restroratif (restrorative justice approach). Dengan
demikian,
keadilan restroratif sangat diperlukan dalam rangka
menopang pelaksanaan hukum pidana anak, agar tidak selalu
mengutamakan kepastian dan peradilan pidana,melainkan perlu
adanya alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Keadilan restoratif merupakan suatu ide dan gerakan yang
mengedepankan keadilan dalam perspektif pelaku dan keluarganya,
korban dan keluarganya, masyarakat, dan pemangku kepentingan
dalam rangka pemulihan keadaan masing-masing. Karena itu, konsepsi
2
pemikiran keadilan restoratif (restorative justice) menjadi salah satu
upaya menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana yang tidak perlu.
Pendekatan ini mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar
peradilan pidana.
Pendekatan tersebut bukan hanya pada anak,
melainkan juga pada orang dewasa (misalnya pencurian ringan,
penggelapan ringan, perbuatan curang (penipuan) ringan) maupun
anak-anak.
Bahkan di beberapa negara maju, korporasi yang
melakukan tindak pidana dapat juga diselesaikan dengan pendekatan
keadilan restoratif.2
Sistem peradilan pidana anak Indonesia sebagaimana diatur
dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
merupakan salah satu konkretisasi ide keadilan restroratif, karena dalam
beberapa perkara dan untuk kategori pelaku tertentu penegak hukum
diwajibkan melakukan kebijakan diversi. Undang-Undang tersebut
sudah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2014. Dalam UU tersebut diatur
tentang penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, baik
melalui peradilan pidana maupun diversi.
Penanganan
anak
yang
berkonflik
dengan
hukum
harus
didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Pengertian frasa
“terbaik bagi anak” terkait dengan sifat anak, baik fisik, psikis, maupun
Widodo, Diversi dan Keadilan Restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak: Menakar Kesiapan Anak, Korban, Penegak Hukum, Masyarakat dan
Pemangku Kepentingan. Makalah dalam Acara Diskusi Publik yang dilaksankan oleh Yayasan Hotline
2
Surabaya di Kantor Harian Surya Surabaya, tanggal 2 April 2014, hlm. 2
3
sosial sehingga kepentingan anak satu dengan lainnya tidak harus
sama.3 Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam praktik di banyak
negara, peradilan pidana anak seringkali menggunakan diversi untuk
mendahului sistem peradilan pidana anak. The major goal of the first
juvenile court's, established at the turn of the century, was to provide
an alternative to, and thereby divert youth from, the criminal court.4
Pendekatan keadilan restoratif penting dilaksanakan karena data
di masyarakat menunjukkan adanya beberapa kelemahan konsep
penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU Pengadilan Anak dan UU
Pemasyarakatan,
salah
satunya
stigmatisasi
anak
dan
bahkan
prisonisasi.5 Namun, apakah faktor-faktor yang mendorong lahirnya
pendekatan keadilan restroratif di Indonesia khususnya dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, dan apakah instrumen-instrumen pelaksana UUSPPA sudah mampu menjadi sarana implementasinya. Berdasarkan
pemikiran tersebut, perlu ada pembahasan secara ilmiah tentang kedua
permasalahan tersebut dalam rangka memberikan gambaran secara
utuh atas kebijakan diversi dalam rangka melaksanakan pendekatan
keadilan restrotratif dalam perkara anak di Indonesia.
Ibid, hlm. 1
3
Albert L. Robert (Edit), Juvenile Justice Source Book: Past, Present, and Future, Oxford
University Press, Oxford, 2004, p. 184.
5Ibid, hlm. 19
4
4
B. PEMBAHASAN
1. Faktor-Faktor
Pendorong
Penggunaan
Pendekatan
Keadilan
Restroratif di Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Keadilan restroratif merupakan keadilan yang tidak sematamata dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, tetapi juga
mengakomodasi asas keadilan dan asas manfaat.
Sebagaimana
dikemukakan widodo, pendekatan keadilan restorative (restorative
justice approach) diawali dari praktik di beberapa negara misalnya
Kanada, Australia, New Zealand, dan Inggris. Sejarah perkembangan
hukum modern dalam penerapan restorative justice diawali dari
pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar pengadilan
konvensional yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan
victim-offender mediation tahun 1970-an di Kanada.6
Keadilan restorative merupakan reaksi masyarakat global
yang dapat digunakan sebagai pelengkap dari sistem peradilan
pidana yang selama ini banyak yang menggunakan pendekatan
keadilan tradisional. Hal ini dikemukakan oleh Mark S. Umbreit and
Marilyn Peterson Armour bahwa,
restorative justice is viewed as complementary to the criminal
justice system because it attends to issues that the traditional
system neglects. Regardless of the position taken, the vision of
restorative justice is grounded in values that are resonating
with an increasingly broad range of individuals and
6Allison Morris and Gabrielle Maxwelle. Restorative Justice for Juvenile; Coferencing,
Mediation&Circle, Oxford-Portland Oregon USA, Hart Publishing. p. 4.
5
communities throughout the world, presenting
opportunities for new and widened impact. 7
many
Diversi adalah salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana dalam
rangka pencapaian keadilan restoratif.
Bentuk lainnya, misalnya
rekonsiliasi antara pelaku dengan korban, konferensi keluarga dan
masyarakat, upaya perdamaian dalam masyarakat. Hal ini selaras
dengan pemikiran Strickland, bahwa
More specific technique associated with restorative justice,
include diversion, victim-offender reconciliation, victim
impact panel, victim-offender statements, family or
communiuty conferencing, community peace-making or
centencing cyrcles, reintegrative shamming, and prisoneers
assistence program.8
Sejak diterbitkan UU No. 11 Tahun 2012, pada semua tingkatan
proses peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, dan sebelum
pemeriksanaan di sidang pengadilan), sehingga terbuka peluang
penegak hukum untuk melakukan Diversi. Namun perlu dipahami
bahwa diversi hanya dapat dilakukan pada anak yang usianya 12
tahun sampai 18 tahun, ia kali pertama melakukan tindak pidana
(first offender), dan tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
pidana penjara yang lamanya kurang dari 7 (tujuh) tahun. Made
Sadhi Astutimenegaskan bahwa tujuan utama sistem peradilan
Mark S. Umbreit, and Marilyn Peterson Armour, Restorative Justice and Dialogue: Impact,
Opportunities, and Challenges in the Global Community, Washington University Journal of Law &
Policy, Volume 36 Restorative Justice, hlm. 82
7
Ruth Ann Stickland, Restrorative Justice. Peter Lang Publishing, Nemw York, 2004. p. 9
8
6
pidana anak adalah melindungi anak dan melaksanakan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak.9
Berkaitan dengan prinsip pokok sistem peradilan pidana anak,
maka proses penyelenggaraan
keadilan restroratif pada dasarnya
dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan Diversi, yaitu pengalihan
dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah. Diskresi tersebut adalah hal yang
lumrah untuk menyelesaikan permasalahan karena di dalam diskresi
masih diperlukan kebijaksanaan, dan sesunguhnya dalam diskresi
juga mengandung kepastian hukum.10 Kebijakan Diversi dapat
dilaksanakan di Indonesia, karena banyak aturan internasional yang
dapat dijadikan sarana pembenaran mediasi penal sebagai instrumen
keadilan restoratif di Indonesia.11
Urgensi pelaksaan diversi pada perkara anak didasari pada
pemikiran berikut. Saat ini ada pergeseran filsafat pemidanaan dari
awalnya yang bersifat restitutif (pembalasan) kemudian ditandingi
menjadi teori prevensi (tujuan), kemudian muncul teori gabungan,12
dan akhirnya berkembang pemikiran keadilan restoratif yang
mengutamakan
pemulihan.
Pendekatan
restoratif
merupakan
9Made Sadhi Astuti. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP
Malang, Malang, 1997.
10Marlina, Perngantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana , USU
Perss, Medan, 2010, hlm. 5
11Hj. Ds Dewi, danFatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di
PengadilanAnak Indonesia
12Widodo,Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime . Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009,
p. 24.
7
paradigma
baru
dalam
pemidanaan
yang
berbeda
dengan
pendekatan keadilan retributif, baik konsep, orientasi, tujuan
maupun mekanisme pencapaiannya. Keadilan retributif lahir sebagai
reaksi terhadap beberapa kelemahan pendekatan keadilan retributif
dan distributif.13
Inti dari kebijakan diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara pidana yang dilakukan oleh anak melalui jalur di luar
pengadilan.
Diversi tersebut lahir karena adanya kewenangan
diskresi (discression) yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tertentu
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undnagan.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kebijakan diversi berasal dari
adanya asas diskresi.
Diversi dilakukan dengan cara mengadakan
musyawarah (tatap muka secara langsung) antar-para pihak yang
diatur dalam UU-SPPA yang difasilitasi oleh penegak hukum
berdasarkan kewenangannya, untuk menyelesaikan perkara pidana
di luar pengadilan. Berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia, diversi dalam UU-SPA dapat dilaksanakan pada tiga
tingkatan, yaitu sebagai berikut.
(a) sebelum dimulainya penyidikan oleh penyidik dan para pihak
terkait. Jika langkah diversi yang dilakukan oleh penyidik pada
tingkat
tersebut
gagal,
maka
penyidik
akan
melakukan
penyidikan dan akhirnya dan perkaranya dilimpahkan ke
Widodo, op cit.
13
8
kejaksaan.
Jika diversi berhasil, maka atasan penyidik akan
melaporkan keberhasilan tersebut kepada ketua Pengadilan
negeri untuk dibuatkan Penetapan Pengadilan.
Penetapan
Pengadilan ini digunakan sebagai bukti bahwa anak yang
bersangkutan adalah pelaku tindak pidana, sehingga jika suatu
saat melakukan tindak pidana kembali, maka anak tersebut tidak
dapat di-diversi, meskipun tindak pidana yang dilakukan
diancam dengan pidana penjara yang ancamannya kurang dari 7
tahun. Anak yang bersangkutan dianggap sebagai pelaku yang
mengulangi tindak pidana (residivis).
(b) Sebelum dilakukan penuntutan oleh kejaksaan. Jika diversi yang
dilakukan oleh jaksa pada tingkat ini gagal maka kejaksaan akan
mengirimkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri untuk
diperiksa berdasarkan hukum acara peradilan pidana anak. Jika
diversi berhasil, maka atasan penuntut umum akan melaporkan
keberhasilan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
dibuatkan Penetapan Pengadilan.
(c) Sebelum dilakukan pemeriksaan perkara dalam persidangan. Jika
langkah diversi oleh hakim ini gagal, maka perkara akan
disidangkan yang dimulai dengan pemeriksanaan.
Jika sudah
diputus, maka bentuk putusan terhadap anak tersebut bukan
Penetapan Pengadilan, tetapi Putusan Pengadilan.
9
Sependapat dengan pendapat widodo, bahwa pendorong
lahirnya diversi pada perkara anak sebagai bentuk perwujudan
pendekatan keadilan restroratif di Indonesia antara lain sebagai
berikut:
a. Ada keinginan serius oleh sejumlah pihak di Indonesia untuk
mengupayakan menghilangkan dampak negatif dari proses
peradilan pidana bagi anak. Hal ini didasarkan pada data
bahwa dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di pengadilan, hak-hak anak (pelaku) ada yang terlanggar
dalam proses peradilan pidana, misalnya anak tidak dapat
sekolah karena di Rutan dan LAPAS sekolahnya digunakan oleh
terpidana, bukan tersangka atau terdakwa.
b. LAPAS Anak, LAPAS dan RUTAN dan CARUTAN Dewasa yang
di dalamnya ada blok khusus Anak, belum semuanya
mempunyai kemampuan yang memadai untuk pembinaan dan
pembimbingan
anak.
Selain
itu,
anak
berisiko
terkena
“prisonisasi” di dalam lembaga tersebut. Prisonisasi adalah
proses pembiasaan anak dalam LAPAS sesuai dengan subkultur
dalam LAPAS.
Beberapa tingkah laku atau kebiasaan
menyimpang/jelek yang ada di dalam LAPAS akhirnya dibawa
keluar oleh anak (setelah anak bebas), sehingga seringkali anak
tersebut menjadi lebih nakal setelah keluar dari LAPAS,
10
dibandingkan dengan sebelumnya.14Karena itu, perlu ada
langkah meminimalisasi prisonisasi dengan cara menghindarkan
anak dari institusionalisasi di RUTAN, CARUTAN atau LAPAS.
c.
Selama proses peradilan, korban dan masyarakat belum
mendapatkan
restetusi (pemulihan) yang layak sehingga
putusan pengadilan sering dianggap belum mencerminkan
keadilan.
Hal ini terjadi karena keadilan sering ditafsirkan
sebagai keadilan terhadap pelaku saja, bukan pada korban dan
masyarakat.
d. Beberapa “hasil keadilan” yang tertuang dalam putusan
pengadilan kadang belum menunjukkan keberpihakan negara
pada anak, korban, dan masyarakat
e.
Beberapa anggota masyarakat sering mengangap diversi yang
dilakukan oleh Kepolisian merupakan upaya membela pihak
tertentu (terutama membela pelaku), sehingga perlu ada
klarifikasi yuridis.
f.
Masyarakat dan para pemegang kebijakan belum terbiasa
melakukan diversi pada anak yang berkonflik dengan hukum
yang melembaga.
g. Dasar hukum diversi di kepolisian disandarkan pada kebijakan
diskresi (discretion) yang kemudian dituangkan dalam dasar
14Widodo,
Prisonisasi Anak: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Presindo,
Yogyakarta, 2012, hlm. 16.
11
hukum dari Kapolri untuk lingkungan Polri atau kesepakatankesepakatan tertulis lain antar-penegak hukum atau antara Polri
dengan Kementerian lain. Agar lebih kuat, maka diperlukan
dasar hukum setingkat Undang-Undang.
h. Perlunya dasar hukum diversi pada perkara anak oleh jaksa dan
hakim yang tegas dalam peraturan perundang-undangan.15
Selain beberapa faktor tersebut, pendekatan keadilan restroratif
diperlukan dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat
(baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional)
pada hukum dan penegak hukum agar ada supremasi hukum
dalam negara RI. Pendorong yang tidak kalah pentingnya adalah
kesadasaran masyarakat di Indoensia maupun di luar Indonesia
untuk mempromosikan kesadaran penghormatan hak asasi
manusia, terutama hak pelaku, hak korban dan hak masyarakat
umum.
2. Langkah-Langkah Penguatan Pelaksanaan Pendekatan Keadilan
Restroratif dalam Sistem peradilan Pidana Anak
Kesiapan para pihak (yang didalamnya ada institusi dan
personil) perlu terus ditingkatkan, termasuk pemantapan instumen
hukum yang mendukung pelaksanaan diversi. Para pihak tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
Ibid.
15
12
a.
Penyidik dan Institusi Polri, termasuk Penyidik Pegawai Negeri
Sipil
(jika
dilibatkan
dalam
penanganan
perkara-perkara
tertentu).
b.
Jaksa Penunut Umum dan Kejaksaan Republik Indonesia.
c.
Hakim dan Mahkamah Agung.
d.
Advokat dan Organisasi profesinya.
e.
Keluarga Korban dan Keluarga pelaku.
f.
Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
g.
Pemangku-PemangkuKepentingan(stake
holders),
misalnya
organisasi kemasyarakatan.
h.
Masyarakat umum.
Dalam
rangka
meningkatkan
keberhasilan
pendekatan
keadilan restroratif, maka para personil yang terlibat dalam proses
diversi (misalnya penyidik, korban dan keluarganya, pelaku dan
keluarganya, BAPAS, tokoh masyarakat) perlu
dilatih dan didik
secara khusus (bisa melalui kegiatan pendidikan (formal maupun
nonformal), pelatihan, atau pertemuan ilmiah lain) untuk menjadi
mediator yang andal. Selain itu, perlu disediakan tempat dan sarana
yang memadai untuk melakukan musyawarah dalam rangka
melakukan diversi.
Adanya penghargaan (reward) bagi anggota
(personil) yang dapat melakukan diversi secara baik, dan penjatuhan
sanksi (punishment) kepada personil yang melakukan pelanggaran-
13
pelanggaran baik dalam proses maupun substansi diversi. Selain itu,
perlu adanya ketentuan hukum (baik dalam bentuk peraturanperaturan internal maupun standar prosedur operasional (Standar
Operating Procedure/SOP)) pada masing-masing instiusi untuk
menjabarkan lebih lanjut tentang ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan UU-SPPA maupun UU yang
mengatur kekuasaan kelembagaan dan personilnya (misalnya UU
Kepolisian, UU Kejaksaaan, UU Mahkamah Agung, UU Advokat,
UU Pemasyarakatan, UU Organisasi Kemasyarakatan).
Penyiapan
pendidikan
dan
yang tidak dapat diabaikan adalah proses
penyadaran
hukum
pada
masyarakat.
Bagaimanapun juga, faktor persepsi masyarakat terhadap hukum dan
penegak hukum perlu di-“luruskan” agar tidak terjadi dugaan,
kecurigaan, cemoohan, bahan hujatan kepada penegak hukum dan
para pihak yang terkait dalam rangka melaksanakan diversi sebagai
salah satu bentuk pelaksanaan pendekatan keadilan restroratif.
Penciptaan dan peningkatan kualitas hukum masyarakat dapat
dilakukan dengan sosialisasi secara tuntas tentang UU-SPPA dan
instrumen
hukum
pelaksanaannya,
peningkatan
kemampuan
masyarakat dalam menelaah gejala-gejala sosial dan gejala-gejala
pelanggaran dan kepatuhan hukum di masyarakat. Pihak-pihak yang
bisa dilibatkan adalah tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh
14
agama, tokoh-tokoh dalam organisasi kemasyarakatan, tokoh-tokoh
partai politik, tokoh kelompok-kelompok kepentingan (misalnya
Persatuan
Guru
Republik
Indonesis
(PGRI),
Ikatan
Advokad
Indonesia (IKADIN)), dan kelompok-kelompok penekan (organisasi
kemahasiswaan (misalnya Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM), Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Non-Pemerintah
(Ornop)). Namun demikian, apa yang akan dilakukan oleh para
pihak harus sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya melalui
kegiatan yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
C. PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pendekatan keadilan restrotratif sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama
dalam penanganan anak nakal. Pendekatan tersebut lebih mengutamakan
pada upaya pemulihan keadaan dan pemenuhan-hak-hak anak tanpa
mengesampingkan keadilan dan kepastian hukum.
UU-SPPA merupakan
UU yang progresif karena di dalamnya mengatur teknis-teknis prosedural
yang memungkinkan para penegak hukum meng-ejawantah-kan nilai-nilai
keadilan restroratif. Namun demikian, banyak faktor yang harus disiapkan
dalam rangka menguatkan pelaksanaan pendekatan keadilan restroratif,
15
baik dari sisi penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam diversi,
instrumen hukum, mapun budaya hukum masyarakat.
pembahasan
tersebut,
para
pihak
wajib
Berdasarkan hasil
melaksanakan
penyiapan-
penyiapan teknis untuk melaksanakan kebijakan diversi demi terwujudnya
asas
restroratif
justice.
Terima
Wassalamualaikum wr wb....!!!
16
kasih
Semoga
Bermanfaat
Dan
DAFTAR RUJUKAN
Buku
Astuti, Made Sadhi, 1997. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang.
Marlina, 2010. Perngantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam
Hukum Pidana, USU Perss, Medan,
Morris, Allison and Gabrielle Maxwelle, 2001. Restorative Justice for
Juvenile; Coferencing, Mediation&Circle, Hart Publishing, OxfordPortland Oregon USA.
Morisson, B.E., 2001. “The school system: Developing its capacity in the
regulation of a civil society”, in J. Braithwaite & H. Strang (Eds.),
Restorative Justice and Civil Society, Cambridge University Press,
Cambridge.
Robert, Albert L. (Edit), 2004. Juvenile Justice Source Book: Past, Present,
and Future, Oxford University Press, Oxford.
Stickland, Ruth Ann, 2004. Restrorative Justice. Peter Lang Publishing, New
York.
Widodo, 2012. Prisonisasi Anak: Fenomena dan Penanggulangannya,
Aswaja Presindo, Yogyakarta.
______,
2009. Sistem Pemidanaan
Mediatama, Yogyakarta.
dalam
Cybercrime.
Laksbang
PeraturanPerundang-undangan
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Jurnal Ilmiah
Umbreit, Mark S., and Marilyn Peterson Armour, 2004. Restorative Justice
and Dialogue: Impact, Opportunities, and Challenges in the Global
17
Community, Washington University Journal of Law & Policy,
Volume 36 Restorative Justice.
Hasil Penelitian
H. Soedarmadji, 2009. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana
Pencemaran Air yang Disebabkan oleh Limbah Cair dari Industri.
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.
Makalah
Hj.
Mediasi Penal: Penerapan
Restorative Justice di PengadilanAnak Indonesia
Ds.Dewi,
danFatahillah
A.
Syukur.
Widodo, Diversi dan Keadilan Restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Menakar Kesiapan Anak,
Korban, Penegak Hukum, Masyarakat dan Pemangku Kepentingan.
Makalah dalam Acara Diskusi Publik yang dilaksankan oleh Yayasan
Hotline Surabaya di Kantor Harian Surya Surabaya, tanggal 2 April
2014.
18
Download