ANALISIS INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Makna Terhadap Peserta

advertisement
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
ANALISIS INTERAKSIONISME SIMBOLIK
(Makna Terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan)
Oleh : Desi Erawati ∗
Abstrak
Pendidikan yang baik dan sempurna adalah harapan dari semua bangsa, karena maju
mundurnya sebuah negara tergantung dari kualitas pendidikan dan generasi muda yang
handal, berkualitas baik keilmuannya dan terutama keagamaannya. Dari kalimat ini
mempunyai pesan bahwa pendidikan yang baik adalah bisa memberikan kebaikan dunia
maupu akhirat.
Tetapi tidak sedikit fenomena pendidikan di Indonesia yang cukup memprihatinkan,
maraknya tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, salah dalam menggunakan kecanggihan
teknologi seperti lebih senang berinteraksi dengan dunia maya daripada berinteraksi dengan
sesame temannya secara fisik, kemudian penyalahgunaan obat-obat terlarang atau narkoba.
Interaksi yang dilakukan oleh peserta didik baik di lingkungan keluarga, masyarakat sekitar,
sekolah dan lainnya beragam dalam pemaknaannya sehingga simbol yang melekat dalam diri
anak tersebutpun berbeda.
Untuk dapat melihat atau menganalisa lebih jauh bagaimana peran hasil interaksi
anak/ peserta didik tersebut di atas, maka dalam kajian ini akan melihat dari kacamata
sosiologi dengan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini termasuk dalam
paradigm definisi sosial sebagaimana yang dikatakan oleh Ritzer dalam bukunya “ Sosiologi
Ilmu Berparadigma Ganda”, dengan pandangan yang mendasar bahwa (menurut Weber)
sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative
understanding ) tindakan sosial serta hubungan antar sosial untuk sampai pada penjelasan
kausal.
Kata Kunci : Analisis, Interaksionisme Simbolik, Peserta Didik
PENDAHULUAN
Merujuk pada UUSPN Nomor 20
Tahun 2003: pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan,
ahlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (UUD
RI NO. 20, 2003: 3)
Peraturan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah bahwa pendidikan
sangatlah mempunyai peranan penting
bagi perkembangan peserta didik baik
dari
segi
kognitif,
afektif dan
psikomotorik, guna mencetak manusia
yang berkualitas baik dari segi agama
ataupun ilmu umum lainnya. Tetapi bila
melihat dari beberapa tahun ke belakang
fenomena generasi muda saat ini cukup
memprihatinkan maraknya tawuran antar
pelajar, pergaulan bebas, narkoba
ditambah lagi dengan canggihnya
teknologi sehingga sangat mudah anakanak mengakses hal-hal yang sifatnya
tidak penting seperti chatting yang
kebablasan,
menggandrungi
atau
mengidolakan sesosok artis yang
fenomenal sampai mengikuti pola gaya
hidup sang artis yang notebenenya
adalah bukan asli budaya Indonesia,
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
45
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
lebih percaya diri dan punya gengsi
tinggi.
Gambaran sebagian kecil gaya
hidup para remaja dari fenomena yang
lainnya. Semua budaya yang terjadi
tentunya berjalan tanpa ada pengendalian
yang cukup berarti baik dari pemerintah,
sekolah ataupun orang tua. Sangat
bertolak belakang memang dari makna
pendidikan yang telah dicanangkan
dimana pendidikan menciptakan generasi
yang berkarakter bangsa.
Sekolah sebagai suatu sistem sosial
merupakan
suatu
tempat
yang
semestinya memiliki iklim yang kondusif
untuk mendukung proses belajar
mengajar. Proses belajar akan berjalan
dengan baik jika lingkungan fisik dan
psikis sangat kondusif. Lingkungan yang
damai dan menyenangkan adalah sangat
kondusif untuk memfasilitasi proses
belajar yang lebih baik (Maftuh, 2008: 9)
Dari fenomena tersebut di atas,
memang begitu kompleks jika berbicara
masalah
pendidikan
baik
yang
berhubungan dengan pembelajarannya
ataupun yang berhubungan dengan krisis
moral yang terjadi saat ini. Itu semua
tidak bisa disalahkan begitu saja tetapi
banyak elemen yang harus bertanggung
jawab atas permasalahan tersebut.
Seperti halnya keluarga, lingkungan
masyarakat dan yang terlebih penting
adalah kebijakan pemerintah yang harus
berpihak terhadap pendidikan. Melihat
fenomena ini jika ditinjau dari kajian
teori Sosiologis, mengingat teori-teori
yang ada dalam ilmu sosiologis begitu
banyak,
maka dalam hal ini lebih
memfokuskan pada sisi individu yaitu
peserta didik (siswa) sebagai pelaku
bagian dari masyarakat. Kajian teori
yang digunakan sebagai menganalisis
kasus
tersebut
adalah
dengan
menggunakan teori Interaksionisme
Simbolik dimana peserta didik atau anak
itu adalah bagian dari masyarakat baik
itu di sekolah ataupun di lingkungan
tempat tinggalnya. Bagaimana fenomena
krisis moral yang melanda dunia
pendidikan kita yang ini dilihat dari teori
tersebut.
ANALISIS TEORI
INTERAKSIONISME
SIMBOLIK
(MAKNA PESERTA DIDIK DALAM
DUNIA PENDIDIKAN.
Teori ini berlandaskan pada
filsafat
Pragmatisme
yang
menekankan pada realitas diciptakan
saat bertindak dalam dunia nyata,
pengetahuan dan ingatan tentang
dunia nyata didasari kegunaannya
juga definisi tentang objek sosial dan
fisik didasari kegunaannya. Yang
kedua aliran behaviorisme sosial
dimana tindakan bukan respon
terhadap stimulus melainkan terhadap
maknanya bagi pelaku.
Tokoh utama dari teori ini adalah
George Herbert Mead lahir tahun
1863. Kontribusi dari Mead adalah
komunikasi melalui isyarat-isyarat
sederhana adalah bentuk yang paling
sederhana dan yang paling pokok
dalam komunikasi. Hal ini disebabkan
karena manusia mampu menjadi objek
untuk dirinya sendiri (dan juga
sebagai subjek yang bertindak) dan
melihat tindakan-tindakannya seperti
orang lain dapat melihatnya. Dengan
kata
lain,
manusia
dapat
membayangkan dirinya secara sadar
dalam
perilakunya
dari
sudut
pandangan orang lain. Sebagai
akibatnya,
mereka
dapat
mengkonstruksikan
perilakunya
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
46
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
dengan sengaja untuk membangkitkan
tipe respons tertentu dari orang lain.
Karakteristik
khusus
dari
komunikasi simbol manusia adalah
bahwa dia tidak terbatas pada isyaratisyarat
fisik.
Sebaliknya,
dia
menggunakan
kata-kata,
yakni
simbol-simbol
suara
yang
mengandung arti-arti bersama dan
bersifat standart. Simbol-simbol itu
bisa berupa benda, gerak/isyarat atau
kata-kata. Bahasa merupakan simbol
yang paling penting, manusia
mempelajari simbol-simbol tersebut
melalui interaksi (Johnson, 1990 : 617)
Di
simpulkan
bahwa
interaksionisme
simbolik
adalah
bahwa manusia sebagai individu yang
berpikir, berperasaan, memberikan
pengertian kepada setiap keadaan, dan
melahirkan reaksi dan interpretasi
terhadap setiap rangsangan yang
dihadirinya ( Adiwikarta, 2007 : 187)
Sebagai contoh
yang ada
beberapa kasus di sekolah seperti
tawuran antar pelajar, maraknya
pergaulan bebas di kalangan para
remaja dengan diabadikan melalui
Hand Phone, yang lebih ironis adalah
tindakan
penganiayaan
yang
dilakukan siswa kepada guru.
Disamping itu belum lagi yang
berkenaan dengan pembelajaran di
sekolah tepatnya masalah Ujian
Nasional yang berstandarkan nasional
menambah tingkat stress peserta
didik, tanpa memandang kapasitas
kemampuan peserta didik baik yang
berada di kota besar dan di pedalaman
atau di daerah sehingga tidak sedikit
yang mengakhiri hidupnya dengan
jalan bunuh diri dengan alasan tidak
sanggup menanggung beban karena
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
tidak lulus sekolah dan lain
sebagainya. Interaksionisme simbolik
berasumsi bahwa mereka (peserta
didik), memandang bahwa sekolah
adalah salah satu pranata sosial yang
ada.
Dengan
berinteraksi
dan
berkomunikasi dengan banyak hal
seperti guru, teman sebaya, media
elektronik yang membuat mereka
menafsirkan kembali hasil dari
komunikasi atau interaksi yang
didapatkan baik dari sekolah, guru,
teman sebaya ataupun lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Tetapi pada
dasarnya semua keputusan ataupun
realisasi dari hasil sosialisasi ataupun
interaksi hasilnya tergantung pada si
individu atau peserta didik tersebut.
Walaupun sekolah adalah salah satu
pranata
sosial
yang
menginternalisasikan nilai-nilai atau
norma-norma yang seharusnya peserta
didik aplikasikan dalam kehidupan
dirinya dan lingkungannya. Tetapi
tetap saja para siswa adalah manusia
yang berpikir dan menentukan mana
yang layak atau pantas yang mereka
lakukan baik dari hasil komunikasi
melalui lingkungan sekolah juga
lingkungan
sekitarnya,
sehingga
adanya
proses
asimilasi
dari
lingkungan tersebut.
Melihat dari fenomena di atas
maka beberapa tokoh interaksionisme
simbolik (Blumer, 1969; Manis dan
Meltzer,1978;
Rose,1962;
Snow,2001)
telah
mencoba
menghitung jumlah prinsip-prinsip
dasar dari interaksi simbolik ini
adalah sebagai berikut :
- Tak seperti binatang, manusia
dibekali kemampuan untuk berpikir
- Kemampuan berpikir dibentuk oleh
interaksi sosial
47
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
- Dalam interaksi sosial manusia
mempelajari arti dan simbol yang
memungkinkan
mereka
menggunakan kemampuan berpikir
mereka yang khsusus itu
- Makna dan simbol memungkinkan
manusia melanjutkan tindakan
khusus dan berinteraksi
- Manusia mampu mengubah arti dan
simbol yang mereka gunakan
dalam tindakan dan interaksi
berdasarkan penafsiran mereka
terhadap situasi.
- Manusia
mampu
membuat
kebijakan
modifikasi
dan
perubahan,
sebagian
karena
kemampuan mereka berinteraksi
dengan diri mereka sendiri, yang
memungkinkan mereka menguji
serangkaian peluang tindakan,
menilai keuntungan dan kerugian
relatif mereka, dan kemudian
memilih satu diantara serangkaian
peluang tindakan itu
- Pola tindakan dan interaksi yang
saling berkaitan akan membentuk
kelompok dan masyarakat ( Ritzer,
2004: 289 ).
Interaksi
yang
terjadi
di
lingkungan
sekolah
agar
terkondisikan dengan baik dengan
pendekatan mikro ini menurut
Blackledge (1995:24-236) model
analisis mikro ini didasari oleh
asumsi-asumsi berikut :
a) Dari
gambaran
mengenai
kegiatan sehari-hari di sekolah
pemahaman pendidikan bisa lebih
baik.
b) Manusia sampai batas-batas
tertentu mempunyai kebebasan
bertindak dan berkreasi.
c) Untuk
memahami
perilaku
seseorang perlu pemahaman akan
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
arti yang diberikannya terhadap
perbuatan itu. Pemberian arti itu
dipengaruhi
oleh
tujuan,
kepentingan, dan alasan yang
melatar belakanginya.
d) Kegiatan itu bersifat interaksi
dengan pihak lain. Dalam
berinteraksi itu orang saling
menginterpretasikan
perbuatan
masing-masing.
e) Tindakan
seseorang
dalam
interaksi
merupakan
hasil
negosiasi dengan pihak lain.
f) Pendekatan
subyektif
yang
mendalam
dan
berlangsung
dalam waktu yang cukup lama
adalah pendekatan yang paling
ampuh
dalam
memahami
interaksi antara orang-orang,
khususnya
dalam
proses
pendidikan ( Adiwikarta, 1998 :
27)
Beberapa konsep yang telah
dipaparkan,
terlintas
bahwa
interaksionisme
simbolik
bisa
dikatakan berhasil tidaknya sebuah
pendidikan untuk anak atau peserta
didik baik di rumah, lingkungan
sekitar dan sekolah itu adalah
bagaimana semua elemen tersebut
bisa mensosialisasikan dengan baik
dan interaktif kepada anak (peserta
didik). Berbicara tentang sosialisasi,
menurut Berger dalam bukunya
Kamanto
Sunarto,
sosialisasi
adalah…a process by which a child
learn to be a participant member of
sosiety…. Proses melalui mana
seorang anak belajar menjadi seorang
anggota yang berpartisipasi dalam
masyarakat (Sunarto, 2004 : 21)
Sosialisasi merupakan suatu hal
yang mendasar bagi perkembangan
kita sebagai manusia. Berinteraksi
48
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
dengan orang lain, kita belajar
bagaimana berpikir,
mempertimbangkan dengan nalar, dan
berperasaan. Hasil akhirnya ialah
pembentukan perilaku kita termasuk
pikiran dan emosi kita sesuai dengan
standar budaya (Henslin, 2006 : 74)
Sosialisasi adalah proses dimana
seorang manusia dengan seperangkat
sikap dan nilai, kesukaan dan
ketidaksukaan, tujuan serta maksud,
pola reaksi, dan konsep yang
mendalam serta konsisten tentang
dirinya. Setiap orang memperoleh
semua itu melalui suatu proses, yakni
proses belajar yang mengubahnya dari
seekor binatang menjadi seorang
pribadi
dengan
kepribadian
manusiawi. Lebih tepatnya, sosialisasi
adalah suatu proses dengan mana
seseorang menghayati (mendarah
dagingkan….internalize)
normanorma kelompok dimana ia hidup
sehingga timbullah diri yang unik
(Horton, 1984 : 99-100)
Sosialisasi merupakan suatu
proses interaksi antara individu
dengan kelompok atau individu
dengan individu, atau sebaliknya.
Zanden (1990: 62) mengungkapkan
bahwa “socialization is a process of
social interaction by which people
acquire the knowledge, attitude,
values, and behaviors essential for
effective participation in society”.
Tujuan yang diharapkan dalam
sosialisasi, baik berupa pengetahuan,
sikap, nilai-nilai, maupun tingkah laku
adalah agar nilai-nilai itu dapat
diwariskan
kepada
generasi
berikutnya.
Tanpa
sosialisasi,
masyarakat tidak dapat mewariskan
tujuan-tujuan tersebut. individu dan
masyarakat merupakan satu jalinan
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
ketergantungan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
Shadily (1993: 119) mengatakan
bahwa sosialisasi merupakan suatu
proses dimana seseorang mulai
menerima dan menyesuaikan diri
kepada adat istiadat sesuatu golongan,
lambat laun ia akan merasa dirinya
merasa bagian dari golongan itu.
Proses ini dengan sendirinya terjadi
bagi seseorang dalam kehidupan
masyarakat, dan tidak terjadi kepada
seseorang yang hidup terpencil.
Menurut Narwoko (2006: 77), ada
dua aspek yang terjadi dalam
melaksanakan sosialisasi. Pertama,
orang-orang yang punya wibawa dan
kekuasaan atas individu-individu yang
disosialisasi
disebut
sosialisasi
otoriter, misalnya, ayah, ibu, guru,
atasan, dan pemimpin. Kedua, orangorang yang mempunyai kedudukan
sederajat dengan individu-individu
yang tengah disosialisasi disebut
sosialisasi ekualitas, misalnya saudara
sebaya, kawan sepermainan, atau
kawan sekelas. Sosialisasi dari
kelompok yang bersifat otoriter terjadi
dalam rangka penyebaran nilai-nilai
sosial agar patuh dan menghormati
nilai-nilai sosial yang ada dalam
kehidupan masyarakat, sedangkan
sosialisasi ekualitas adalah melalui
kerjasama yang koordinatif dan
kooperatif dalam penyebaran nilainilai sosial tersebut (Narwako, 2004:
77)
Sosialisasi terkait dengan kesiapan
seorang individu atau kelompok untuk
berpartisipasi
dalam
kelompok
kehidupan,
terutama
bagaimana
mereka belajar berpartisipasi secara
efektif dalam interaksi sosial. Dalam
sosialisasi perlu ada konsensus yang
49
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
harus dipelihara antara pensosialisasi
dan yang disosialisasi agar tercipta
interaksi
yang
menyenangkan,
sebagaimana dikemukakan Deightton
(1971: 300) bahwa : “Socialization is
establishment and maintenance of
concensus, in turn, depend upon
possession by group members of
specific skills, values, and internal
behavior dispositions that make, at a
minimum, initial communication and
interaction possible. (Deighton, 1971:
300)
Narwoko (2006: 86) membagi dua
proses sosialisasi. Pertama, proses
sosialisasi yang dikerjakan tanpa
sengaja lewat proses interaksi sosial,
dan kedua, proses sosialisasi yang
dikerjakan secara sengaja lewat proses
pendidikan dan pengajaran. Proses
sosialisasi tanpa sengaja dapat terjadi
jika seorang individu menyaksikan
apa-apa yang ditemukan dalam
tingkah laku manusia sekitarnya.
Melalui interaksi tersebut, individu
menginternalisasi pola-pola tingkah
laku nilai sosial budaya ke dalam
dirinya. Proses sosialisasi yang
disengaja dapat terjadi apabila
seseorang mengikuti pengajaranpengajaran dan pendidikan yang
dilakukan dengan sengaja oleh
pendidik yang mewakili masyarakat.
Dalam
sejarah
manusia,
obyektivikasi,
internalisasi,
dan
eksternalisasi merupakan tiga proses
yang berjalan terus. “Di luar sana”
terdapat dunia sosial obyektif yang
membentuk individu-individu; dalam
arti manusia adalah produk dari
masyarakatnya. Realitas sosial yang
obyektif ini dipantulkan oleh orang
lain yang cukup berarti bagi si anak
(walaupun realitas yang diterima oleh
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
anak dan orang yang cukup berarti
baginya itu, tidak sama). Realitas
obyektif ini diinternalisir oleh anakanak melalui proses sosialisasi
(memahami/penghayatan), dan di saat
dewasa
mereka
pun
tetap
menginternalisir situasi-situasi baru
yang mereka temui dalam dunia
sosialnya ( Poloma, 2004 : 316)
Dapat
disimpulkan
bahwa
sosialisasi dapat dikatakan juga
sebagai proses belajar manusia agar
menjadi lebih baik atau bisa
beradaptasi
dengan
lingkungan
sekitar. Proses tersebut bisa berupa
komunikasi atau dialog baik yang
sifatnya formal seperti di lembaga
sekolah, informal seperti di rumah dan
non formal di lingkungan masyarakat
sekitar.
Fungsinya adalah agar
manusia itu bisa belajar untuk
memahami posisi dan perannya di
dalam kehidupan bermasyarakat,
jikalau ini disadari dan dipahami oleh
peserta didik/anak, maka dari hasil
sosialisasi dan interaksi berjalan
sesuai dan menghasilkan pengajaran
dan pendidikan yang sempurna pula
tetapi jika yang terjadi sebaliknya atau
kurang sempurna sosialisasi dan
interaksi yang diberikan ini bisa
berdampak negatif seperti salah satu
contoh karena tidak didukungnya
sosialisasi yang benar di rumah atau
orang tua maka lingkungan sekolah
dan masyarakat tidak bisa sepenuhnya
peserta
didik/anak
dapat
menerapkannya dalam kehidupannya,
realita yang ada ialah keluarga yang
broken home bisa jadi interaksi yang
dihasilkan tidak sesuai karena orang
tua yang sibuk dengan masalah
pribadinya sendiri, pada kenyataannya
anan-anak akan mencari perlindungan
50
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
kepada siapa saja yang peduli dan
mencari teman-teman yang dianggap
senasib dengan dirinya, bila dibiarkan
biasanya untuk mencari ketenangan
dan
kesenangan
tidak
jarang
mengkonsumsi obat-obatan terlarang,
pergaulan bebas yang mengisi dunia
mereka. Sosialisasi dan interaksi juga
bisa
kurang
sempurna
dalam
prosesnya jikalau seorang anak selalu
dimanjakan dengan materi sehingga
pola berpikirnya money-oriented, apaapa dihitung dengan materi, bangga
memakai
barang-barang
yang
branded, foya-foya, kumpul-kumpul
yang tidak jelas tujuannya, karena
dengan
materi
itu
bisa
membahagiakan kehidupan sang anak.
Dengan kebiasaan tersebut maka akan
muncul yang namanya kurang
menghargai pertemanan karena semua
dinilai dengan materi. Inilah sebagian
contoh sosialisasi yang kurang
sempurna sehingga norma-norma,
aturan-aturan yang ditetapkan hanya
sebagai simbol saja tanpa adanya
realisasi dalam kehidupan.
Dapat diasumsikan bahwa interaksi
dapat menjurus ke arah yang
menyenangkan atau menjijikkan,
tergantung pada kondisi yang
menyebabkan terjadinya interaksi itu.
Syarat umum untuk terciptanya
hubungan positif antara interaksi dan
kesenangan adalah kondisi saling
menambah
keuntungan
yang
diperoleh kedua belah pihak yang
terlibat dalam proses interaksi. Saling
menambah keuntungan ini selanjutnya
mensyaratkan satu di antara dua
kondisi yang berbeda: terdapat
perbedaan antara kedua pihak
sedemikian
rupa
sehingga
memungkinkan mereka untuk saling
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
melengkapi atau saling menambah.
Dalam hal ini menurut Kaare
Svalastoga interaksi adalah bersifat
simbiosis (Huda, 2008 : 35)
Dengan demikian daya tangkap
dalam berkomunikasi dan makna
pesan yang disampaikan baik oleh si
pembicara ataupun yang menerima
pesanpun akan berbeda pula karena
perbedaan maksud dan tujuan. Ini
terbukti pada fenomena Ujian
Nasional, yang nilainya sudah dipatok
oleh pemerintah pusat yang itu
berlaku
untuk
semua
daerah.
Dampaknya kepada peserta didik ada
yang menerima dengan kesiapan yang
tinggi atau sebaliknya, ini adalah
salah
satu
bukti
tentang
ketidaksempurnaan dari sosialisasi.
Interaksi selalu tidak lepas dengan
sarana atau
media
sosialisasi,
merupakan tempat di mana sosialisasi
itu terjadi atau disebut sebagai agen
sosialisasi atau sarana sosialisasi.
Yang
dimaksud
dengan
agen
sosialisasi adalah pihak-pihak yang
membantu seorang individu menerima
nilai-nilai atau tempat di mana
seorang individu belajar terhadap
segala sesuatu yang kemudian
menjadikannya dewasa. Beberapa
media sosialisasi yang utama adalah;
keluarga, kelompok bermain, sekolah,
lingkungan kerja dan media massa
(Narwoko, 2004 :92)
Dalam teori interaksionisme
simbolik salah satu tokohnya juga
adalah
Erving
Goffman,
ia
menggunakan
prinsip
yang
dinamakan dramaturgi yang oleh
Margareth
Poloma didefinisikan
sebagai
“pendekatan
yang
menggunakan bahasa dan khayalan
teater untuk menggambarkan fakta
51
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
subyektif dan obyektif dari interaksi
sosial”. Usaha Goffman untuk
mempelajari
interaksi
dengan
memakai bahasa dan khayalan teater
ini agaknya diilhami oleh pendapat
Sheakespeare
bahwa
dunia
merupakan suatu pentas, semua lakilaki dan perempuan merupakan
pemain.
Goffman memulai uraiannya
dengan menyatakan bahwa individu
yang berjumpa orang lain akan
mencari informasi mengenai orang
yang dijumpainya atau menggunakan
informasi yang telah dimilikinya,
antara
lain
dengan
tujuan
memanfaatkan informasi tersebut
untuk mendefinisi situasi. Menurut
Goffman dalam suatu perjumpaan
masing-masing pihak secara sengaja
maupun tidak sengaja membuat
pernyataan (expression) pihak lain
memperoleh kesan (impression).
Goffman membedakan dua macam
pernyataan:
pernyataan
yang
diberikan , dan pernyataan yang
dilepaskan. Pernyataan yang diberikan
merupakan
pernyataan
yang
dimaksudkan untuk memberikan
informasi sesuai dengan apa yang
lazimnya berlaku. Pernyataan yang
terlepas atau dilepaskan, di pihak lain
mengandung informasi yang menurut
orang lain memperlihatkan ciri si
pembuat pernyataan (Sunarto, 2004 :
43)
KESIMPULAN
Interaksionisme simbolik adalah
bagian dari teori sosiologi, dalam
memaknai peserta didik (siswa)
berinteraksi melalui jalur keluarga,
sekolah ataupun masyarakat sekitar
dengan makna atau arti yang berbedabeda sesuai dengan latarbelakang
ataupun ide pemikirannya.
Sebuah norma atau nilai yang
diaplikasikan dalam kehidupan nyata
tentunya
peserta
didik
dapat
menerimanya apabila Pertama, proses
sosialisasi yang sempurna dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai
otoritas, seperti orang tua, guru atau
orang yang punya pengaruh. Kedua,
dari proses sosialisasi yang sempurna
maka pusat atau agen dari sosialisasi
selalu
melakukan
controling/
pengawasan baik bersifat internal
yaitu keluarga dan eksternal yaitu
sekolah, teman sepermainan dan
lingkungan sekitar.
Pemaknaan dari hasil interaksi
yang didapatkan berupa sosialisasi
yang
disengaja
ataupun
tidak
disengaja tentunya akan tampak
simbol yang terlihat dalam bentuk
sikap,
bahasa,
interaksi
yang
dilakukan
oleh
peserta
didik,
contohnya jika sosialisasi itu berhasil
dilakukan maka anak akan memahami
nilai atau pesan yang diinginkan tetapi
jika sebaliknya akan berdampak
negatif seperti yang telah dipaparkan
pada awal dalam analisis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta, Sudardja, 1988. Sosiologi Pendidikan : Isyu dan Hipotesis Tentang
Hubungan Pendidikan Dengan Masyarakat, Jakarta: Depdikbud.
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
52
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
Adiwinata, Jajat S.,Dkk, 2007. Sosiologi Antropologi Pendidikan, Bandung: UPI
Press.
Deighton, L.C. (1971), The Encyclopedia Of Education. United States of America:
Croweel-Collier Educational Corporation.
Henslin, James M., 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun
2003 Tentang Sisdiknas 2003. Bandung: Fokusmedia.
Horton, Paul B, 1984. Sosiologi (Jilid 1 Edisi Keenam),Jakarta: Erlangga.
Huda, Miftah, 2008. Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. Malang:
UIN Malang.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II, Jakarta: PT
Gramedia, 1986.
Maftuh, Bunyamin, (2008). Pendidikan Resolusi Konflik (Membangun Generasi
Muda Yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai), Bandung: Yasindo
Multi Aspek.
Narwoko, J.D. dan Suyanto, B. (Eds) (2006). Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan
(edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group.
Poloma, M.Margareth. (2004). Sosiologi Kontemporer. (Terjemahan). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George. (2002). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadidma Ganda,
Jakarta: Rajawali.
Ritzer, George, Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Moderen,
Jakarta:Kencana.
Sunarto, Prof.Dr. Kamanto, Pengantar Sosiologi (edisi revisi), Jakarta:UI Press,
2004.
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
53
Download