ETNOSENTRIS DALAM PROSES PEMEKARAN DESA

advertisement
ETNOSENTRIS DALAM PROSES PEMEKARAN DESA
(Studi Dinamika Politik Lokal Di Desa Wowonga Jaya, Kecamatan Kulisusu
Utara
Kabupaten Buton Utara)
*Harino **La Tarifu ***Joko
Jurusan Ilmu Komunikasi Program Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo Kendari.
E-Mail : harino GM [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study are: (1). To determine the ethnocentric impacts in
the process of expanding Wowonga Jaya Village North Kulisusu District of North
Buton Regency; and (2) to find out the ethnocentric impacts in the local political
dynamics in Wowonga Jaya Village, North Kulisusu District, North Buton Regency.
The analytical technique used in
this study is descriptive qualitative, with the aim of describing the things of research
which further analyze the data by way of interpretative understanding. That is the
authors do interpretation of data and facts that have something to do with research
problems.
The results showed that the impact of ethnocentry in the process of
pemekaran Wowonga Jaya Village looks at the view that belongs to the local
community Kulisusu ethnic, which became one of the factors that encourage the
expansion of Wowonga Jaya Village. The process of interaction between local
community groups and migrants that triggered the potential for social conflict in
Lakansai village, underlies the formation of Wowonga Jaya Village. Another thing
that can be seen from this research is the emergence of local people's perception of
Kulisusu ethnic who have the view that they are local people who have historically
been inhabited the area since ancient times, but objectively ethnocentric dynamics
can only enter the intellectual space in a culture or culture .
The ethnocentric impact on the dynamics of
local politics shows that ethnocentris can influence the dynamics of local politics.
The result of the research shows that people's perception in Wowonga Jaya Village
assumes that in the political issue in the village, the community becomes tersandra
based on certain groups. This is due to the poor social interaction that occurs within
these community groups.
Keywords: Ethnocentris, Village Expansion, Local Political Dynamics
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah: (1). untuk mengetahui dampak etnosentris
dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten
Buton Utara, dan (2) untuk mengetahui dampak etnosentris dalam dinamika politik
lokal di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif,
dengan tujuan mendeskripsikan hal-hal penelitian yang selanjutnya menganalisis
data dengan cara interpretative understanding. Maksudnya penulis melakukan
penafsiran data dan fakta yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak etnosentri dalam proses
pemekaran Desa Wowonga Jaya terlihat pada pandangan yang dimiliki oleh
masyarakat lokal etnis Kulisusu, yang menjadi salah satu faktor yang mendorong
terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya. Proses interaksi antar kelompok
masyarakat lokal dan pendatang yang memicu potensi konflik sosial di desa
Lakansai, mendasari terbentuknya Desa Wowonga Jaya. Hal lain yang terlihat dari
penelitian ini ialah munculnya persepsi masyarakat lokal etnis Kulisusu yang
memiliki pandangan bahwa mereka merupakan penduduk lokal yang secara historis
telah mendiami daerah tersebut sejak zaman dahulu, namun secara objektif dinamika
etnosentris hanya dapat memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau
budaya.
Dampak etnosentris terhadap dinamika politik lokal terlihat bahwa
etnosentris mampu memberikan pengaruh terhadap dinamika politik lokal. Hasil
penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat di Desa Wowonga Jaya
beranggapan bahwa dalam persoalan politik di desa tersebut, masyarakat menjadi
tersandra berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini diakibatkan karena
buruknya interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok masyarakat tersebut.
Kata Kunci: Etnosentris, Pemekaran Desa, Dinamika Politik Lokal
PENDAHULUAN
Desa Wowonga Jaya sebagai desa baru merupakan pemekaran Desa
Lanosangia yang terbentuk pada tanggal 23 Januari 2013 berdasarkan Peraturan
Bupati Buton Utara Nomor 21 Tahun 2013 dengan status sebagai desa pemekaran.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
telah memberikan keluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tidak terlepas dengan sistem
pemerintahan desa yang mengalami perubahan mendasar sebagai implikasi dari
implementasi undang undang tersebut. Berkenaan dengan itu pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Mencermati kondisi itu, pada hakikatnya forum komunikasi desa
yang
dipelopori oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis yaitu etnis
Kulisusu sebagai etnis mayoritas dan etnis Buton, Muna, Wawoni’i dan Bajo sebagai
etnis pendantang, sepertinya memang tidak
mampu sebagai benteng untuk
mencegah pemekaran, parahnya sekat antara kelompok local dan pendatang di Desa
Lakansai sebagai desa induk, disinyalir sebagai salah satu faktor utama yang
mendorong pembentukan Desa Wowonga Jaya sebagai desa pemekaran. Potensi
konflik ini menjadi dorongan besar yang mendorong masyarakat lokal untuk
membentuk desa baru.
Etnosentrime merupakan kecenderungan untuk berfikir bahwa
budaya
etniknya lebih unggul dibandingkan dengan budaya etnik lain. Segala sesuatu dilihat
dari sudut pandang etniknya sendiri yang semakin kentara, gap dalam interaksi antar
budaya yang semakin melebar, hal ini adalah fakta emperik yang semakin
menampakkan adanya persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dengan demikian, komunikasi antar etnis, dianalisa bahwa sebagian besar
orang, suatu daerah cenderung menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi
dengan sesama etnis. Hal ini akan kita kenal sebagai Etnosentrisme. Etnosentrisme
kian menguat justru ditopang dengan kebijakan negara yang mengembangkan
otonomi daerah dan pemekaran daerah. Semangat otonomi daerah dan pemekaran
daerah menjadi berjalan seiring dengan menguatnya etnosentrisme.
Dikaitkan dengan substansi etnosentrisme, maka keikutsertaan forum
komunikasi desa
atau kelurahan
dalam
pemekaran wilayah, justru
sangat
mungkin dipakai para elit untuk menumbuhkan semangat etnisitas maupun subetnisitas, yang menuntut pembentukan daerah otonomi baru, Tentu saja, dengan
mengusung isu persamaan nasib dan mengeksplorasi politik teraniaya. Sebab secara
kelembagaan, lembaga-lembaga di tingkat desa/kelurahan, misalnya Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), sejalan dengan reformasi politik, tidak lagi
didominasi oleh penguasa, yang diasumsikan
“menyukai pemekaran” dan lebih
memilih statusquo. Dengan demikian, sangat mungkin forum komunikasi desa
justru dipakai sebagai ajang konsolidasi politik pemekaran, dengan membawa
prasangka kelompok.
Oleh karena itu, untuk membatasi pemekaran wilayah, bukan semata-mata
mengandalkan peraturan yang memposisikan forum komunikasi desa sebagai entitas
penghalang pemekaran, tetapi yang diperlukan adalah menjalankan
yang berkesejahteraan
dan
peduli
terhadap
kepentingan
pemerintahan
semua
kelompok
masyarakat, tanpa diferensiasi sosial, ekonomi maupun politik. Sedangkan faktor
yang tidak kalah penting adalah bagaimana melalui dinamika politik lokal, dapat
meminimalisir
semangat elit
yang
seringkali
mempolitisir
rakyat,
dalam
perangkap kesukuan untuk menuntut pemekaran wilayah, dan hal ini nampak terjadi
dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya.
Dalam proses pemekaran desa ini, faktor etnosentrisme menjadi pemicu
mekarnnya Desa Wowonga Jaya dengan terpenuhinya syarat administrasi dan aturan
pemekaran suatu desa. Hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini ialah,
bahwa perbedaan pandangan dalam kelompok sosial sebagai dampak dari sifat
etnosentris yang dimiliki oleh kelompok masyarakat lokal diikutsertakan dalam
proses pemekaran desa, bahkan berdampak pada dinamika politik masyarakat di desa
tersebut. . Etnosentris yang diterjemahkan dalam bentuk prasangka sosial telah
berhasil membuat sekat dalam kelompok masyarakat, menjadi faktor penting dalam
proses pembentukan desa Wowonga Jaya, dan bahkan menjadi ukuran dalam
dinamika politik lokal dalam kelompok-kelompok masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana dampak etnosentris dalam proses pemekaran Desa
Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
Bagaimana dampak etnosentris dalam dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya
Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu
Utara. Dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut akan memperoleh informasi
yang berkaitan dengan penelitian ini. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
penelitian ini yakni selama 1 bulan.
Subyek dalam penelitian ini yaitu seluruh masyarakat yang bermukim di Desa
Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara yang berjumlah
368 jiwa.
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara dipilih
secara sengaja (purposive sampling) yaitu orang yang dianggap dapat memberikan
informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Adapun informan dalam
penelitian ini sebanyak 8 orang informan yang berasal dari masyarakat Desa Wowonga
Jaya, yang terdiri dari 4 orang informan beretnis Kulisusu sebagai representatif
masyarakat lokal dan 4 orang lainnya adalah informan yang beretnis pendatang yakni
etnis Buton, Muna, Wawonii dan Bajo.
Data kualitatif adalah data yang diperoleh berdasarkan bahan informasi atau
temuan dri objek yang diteliti.
1. Data kuantitatif adala data yang peroleh pada lokasi penelitian yang telah tersedia
dalam bentuk angka atau jumlah, misalnya data tentang jumlah penduduk dan
sebagainya.
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Sumber Primer, yakni sumber dari para informan berdasarkan hasil wawancara
dengan informan yang ditentukan sebelumnya.
2. Sumber Sekunder, yakni sumber ditetapkan dilapangan melalui literature seperti
buku, internet, dan jurnal yang dapat mendukung dari penelitian ini.
Teknik pengumpulan yang data dilakukan yaitu;
1. Observasi (pengamatan) yaitu, dimana peneliti melakukan pengumpulan data
dengan pengamatan secara langsung atau langsung pada lapangan khususnya
obyek penelitian dalam hal ini Etnosentris Dalam Proses Pemekaran Desa
Wowonga Jaya.
2. Wawancara (interview) yaitu, dimana peneliti melakukan wawancara langsung
dengan menggunakan pedoman wawancara yang ditujukan kepada informan
yang telah ditentukan untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan
Etnosentris dalam Pemekaran Desa Wowonga Jaya (studi dinamika politik lokal
di Desa Wowonga Jaya)
3. Dokumentasi yaitu, dimana peneliti secara visualisasi dengan menggunakan
kamera dalam memperoleh data sehingga diperoleh gambar-gambar hasil liputan
terhadap objek yang diteliti.
Data yang akan diperoleh di lapangan, dianalisis dalam bentuk deskriptif
kualitatif, dengan tujuan mendeskripsikan hal-hal penelitian yang
selanjutnya
menganalisis data dengan cara interpretative understanding. Maksudnya penulis
melakukan penafsiran data dan fakta yang ada kaitannya dengan permasalahan
penelitian. Dalam penelitian ini analisis data menggunakan komponen analisis data.
Analisis data yang bertujuan mengatur urutan data, mengorganisasikannya,
dan mengkategorikannya. Cara analisis data yang digunakan peneliti adalah
model interaktif Miles dan Huberman, (Moleong, 2010:13) didasarkan empat
proses yang berlangsung secara interaktif.
1. Pengumpulan dan pengambilan data dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah
ditulis dalam catatan lapangan, dokumentasi pribadi, gambar, foto, dan
sebagainya;
2. Reduksi
data
merupakan
suatu
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan- kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan diverifikasi.
3. Sajian data (Data Display) merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dilakukan. Dengan melihat sajian data, peneliti
akan lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan
pemahaman tersebut. Semuanya ini disusun guna merakit informasi secara
teratur supaya mudah dimengerti;
4. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) merupakan pola proses yang
dapat dilakukan dari sajian data dan apabila kesimpulan kurang jelas dan
kurang memiliki landasan yang kuat maka dapat menambahkan kembali pada
reduksi data dan sajian data. Kesimpulan yang perlu diverifikasi, yang berupa
suatu pengulangan dengan gerak cepat, sebagai pemikiran kedua yang
melintas pada peneliti, pada waktu menulis dengan melihat kembali pada
fieldnote.
Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian ini, maka definisi
konseptual dalam penelitian ini ialah:
1. Etnosentris yang dimaksud dalam penelitian ini ialah kecenderungan masyarakat
di Desa Wowonga Jaya untuk melihat kondisi realita hanya melalui sudut
pandang budaya atau etnis mereka sendiri dalam menyikapi proses pemekaran
desanya.
2. Dinamika Politik Lokal yang dimaksud dalam penelitian ini ialah terbentuknya
kelas-kelas sosial antara kelompok masyarakat moyoritas dan minoritas yang
berbeda kebudayaannya atau etnis masyarakat di Desa Wowonga Jaya dalam hal
pandangan dan pilihan politik.
3. Proses pemekaran wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini ialah proses
terbentuknya desa Wowonga Jaya secara administrasi yang disebabkan oleh
faktor sosial dengan persyaratan secara administrasi, teknis dan kewilayahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa Wowonga Jaya
Dalam kajian pustaka atau tinjauan teori tentang proses pemekaran, maka
terlebih dahulu harus dipahami pengertian pemekaran itu sendiri. Pemekaran wilayah
menurut Effendy (2008: 2) merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi
lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat
pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian
daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah.
Menurut Arkanudin (2010: 95) mengungkapkan bahwa “jumlah penduduk
yang terdapat dalam satu kampung atau desa relatif kecil, rata-rata terdiri 380 Kepala
Keluarga”. Secara sosial faktor yang mempengaruhi proses pemekaran suatu desa
adalah jumlah penduduk, apabila mengacu pada pendapat ahli tersebut diatas, maka
dalam suatu lingkungan sosial dimana jumlah penduduknya sudah diatas 300 Kepala
Keluarga
maka
komunitas
tersebut
dapat
dikategorikan
sebagai
sebuah
kampung/dusun atau bahkan sudah selayaknya membentuk desa.
Budaya dan etnik selalu membentuk bagian sosial dari suatu daerah yang
khusus berdasarkan sejarah yang dibentuk dari elemen-elemen yang saling berbeda
dari suatu kelompok etnik ke kelompok etnik yang lain (Mustamin, 2003: 26).
Aspek sosial budaya mengasumsikan, jika suatu masyarakat terikat dengan suatu
sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan
masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih
kuat. Aspek ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan mungkin saja
keagamaan. Faktor ini sebetulnya terkait pula dengan faktor geografi, karena faktor
etnisitas tidak mungkin muncul dengan sendirinya. Pembentukan sebuah identitas
etnis merupakan proses yang sangat panjang terkait dengan faktor-faktor geografis
dan demografis secara langsung.
Desa atau kampung adalah kominitas sosial yang terdiri dari beberapa rukun
tetangga (RT) yang struktur kehidupan biasanya masih dalam satu ikatan keluarga
besar. Terbentuknya komunitas kampung selain karena garis keturunan (sosial)
biasanya didasarkan pada kesamaan kultur budaya, suku dan faktor geografis. Secara
geografis misalnya tempat bercocok tanam yang saling berdekatan atau sumber daya
alam lainnya.
Aspek Sosial
Salah faktor pendorong terjadinya pemekaran wilayah ialah aspek sosial
kemasyarakatan. Aspek sosial menjadi salah satu faktor pendorong pemekaran
wilayah disebabkan karna rasa kesamaan antara kelompok-kelompok sosial di dalam
masyarakat. Perbedaan pandangan, bahkan perbedaan kultur dan etnis mampu
memicu lahirnya konflik horisontal antar kelompok masyarakat, sehingga memicu
pembentukan satu wilayah administrasi baru atau lebih akrab disebut sebagai
pemekaran wilayah
Dalam pembentukan Desa Wowonga Jaya, dominasi etnosentris pada etnis
Kulisusu masih terasa, walaupun tidak sebesar nilai etnosentris ketika masih
berdomisili di Desa Lakansai. Dalam proses pemekaran desa Wowonga Jaya, nilai
etnosentris terlihat baik dari etnis Kulisusu sebagai masyrakat lokal ataupun dari
beberapa etnis masyarakat non lokal atau pendatang.
Aspek Budaya
Selain
karna
kesamaan
ataupun
perbedaan
kelompok
sosial
kemasyarakatan, peranan budaya pun menjadi salah satu faktor yang mampu
mendorong terbentuk satu wilayah administrasi baru. Kesamaan latar belakang
kebudayaan ataupun etnik dan kultur dalam kelompok masyarakat, menjadi alasan
yang rasional dalam pemekaran sebuah wilayah.
Dampak Etnosentris dalam Prasangka Sosial
Allport (1958) mengemukakan bahwa pengertian perasangka telah
mangalami transformasi sejak dahulu sampai kini. Pada mulanya perasangka
merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan
yang tak diuji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada suatu skala suka dengan
tidak suka, mendukung dengan tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu. Namun
pengertian perasangka kini lebih diarahkan pada pandangan yang emosional dan
bersifat negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Effendy (1981) mengemukakan pengertian perasangka dalam hubungannya
dengan komunikasi bahwa perasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang-orang yang
mempunyai perasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang
komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam perasangka emosi memaksa kita
untuk menarik kesimpulan atas dasar perasangka tanpa menggunakan pikiran dan
pandangan kita terhadap fakta yang nyata.
Etnosentris dalam Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal merupakan salah satu unsur yang seringkali menjadi
perbincangan pada setiap negara. Kehadiran negara sebagai ‘payung’ masyarakat tak
dapat dipisahkan dari praktek politik didalamnya. Praktek politik dalam sebuah
negara
biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan negara, baik yang sifatnya
nasional maupun internasional. Disamping itu, praktek politik juga dimainkan oleh
masyarakat yang ada dalam suatu negara, baik untuk tujuan pribadi maupun
kelompok. Dalam masyarakat tak lepas dari unsur perpolitikan didalamnya pada
tingatan nasiona maupun loka denagn mulai dari per-bedaan suku, adat istiadat, ras
hingga agama adalah ‘warna warni identitas’ yang menyatukan dirinya dalam NKRI.
Jakarta: Kencana, 2012, hlm 10.
Pandangan Politik
Dalam dinamika politik lokal di masyarakat pedesaan, memiliki perbedaan
dengan dinamika politik yang terjadi di wilayah perkotaan. Perbedaan latar belakang
dan informasi serta masih dijunjung tingginya nilai-nilai kultur dan budaya menjadi
penyebab perbedaan pandangan politik masyarakat di wilayah pedesaan dan
perkotaan. Pandangan politik ialah kesatuan sikap yang mendasari seseorang dalam
melihat dinamika politik yang terjadi, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dampak etnosentris terhadap pandangan politik masyarakat terlihat bahwa,
secara subjektif dinamika yang terjadi baik secara politik atau pun aspek kebudayaan
lainnya pada prinsipnya tetap baik, walaupun tidak dipungkiri bahwa telah ada
kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai efek logis dalam dinamika sosial.
sudut pandang masyarakat dalam dinamika politik yang terjadi di Desa
Wowonga Jaya, berikut ini ialah penjelasan mengenai pilihan politik masyarakat
yang menjadi salah satu hak dalam berpolitik, terkhusus untuk momentum politik di
tingkat desa.
Pilihan Politik
Dalam dinamika politik, aspek yang tidak kalah penting ialah pilihan politik
seseorang dalam proses berdemokrasi. Pilihan politik seseorang sangat dipengaruh
oleh aspek phisikologis yang dibentuk dari latar belakang pendidikan, pengalaman,
bahkan lingkungan sosial. Untuk melihat sejauh mana dampak etnosentris dalam
dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya, penulis melakukan kajian pada
pilihan politik masyarakat sebagai bentuk nyata dari partisipasi masyarakat dalam
berpolitik.
Pembahasan
Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa
Desa Wowonga Jaya secara historis dan kultur merupakan desa yang dihuni
oleh etnis Kulisusu sebagai etnis lokal dan sebagiannya merupakan masyarakat non
lokal yakni etnis Muna, etnis Wawoni’i, etnis Bajo dan etnis Buton secara umum.
Dalam proses komunikasi dan interaksi sehari-hari nilai etnosentris mulai terlihat
baik dari etnis Kulisusu sebagai masyrakat lokal ataupun dari beberapa etnis
masyarakat non lokal, bahkan berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa
pandangan etnosentris yang dimiliki oleh masyarakat lokal etnis Kulisusu, menjadi
salah satu faktor yang mendorong terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya.
Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki
keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentris. Etnosentris merupakan suatu
kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok
budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur
dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentris
memunculkan komunikasi antar budaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentris
seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya ada variabel yang
mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, misalnya terlihat dalam
etnosentrisme, pandangan hidup, nilai-nilai yang absolute, dan prasangka.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa dalam sisi yang subjektif, etnis
Kulisusu memiliki pandangan bahwa mereka merupakan penduduk lokal yang secara
historis telah mendiami daerah tersebut sejak zaman dahulu. Proses komunikasi
sehari-hari yang terjadi di Desa Wowonga Jaya lebih terlihat interaktif sesama etnis
Kulisusu diakibatkan persamaan bahasa yang digunakan, meskipun terkadang
mereka (etnis Kulisusu) cukup sering berkomunikasi dengan etnis lainnya.
Temuan lain dalam penelitian ini menunjukan bahwa dinamika etnosentris
hanya dapat memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau budaya, namun
tidak dapat mempengaruhi indepensi sistem pelayanan masyarakat di Desa
Wowonga Jaya, selain itu tentang nilai kebaikan yang melekat pada masing-masing
kultur di Desa Wowonga Jaya terlihat bahwa perbedaan etnis tidak menjadi
penyebab ada atau tidaknya nilai kebaikan pada seseorang dalam beradaptasi dan
berkomunikasi, namun lebih didominasi pada karakter pribadi masing-masing
elemen masyarakat.
Etnosentris dalam Dinamika Politik Lokal
Pada era reformasi, desentralisasi merupakan gejala yang wajar dari sebuah
Negara yang merupakan system demokrasi. Proses dinamika politik semacama ini
merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang
menghendaki adanya perluasanpartisipasi dan pemeberian otonomi bagi massyarakt
lokal. Dalam konteks desentralisasi tidak hanya menjadi kata kunci dalam perumusan
kata publik tetapi juga menjadi fakta dalam dunia publik yang memerlukan
pembukaaan ruang yang lebih luas bagi masyarakat lokaluntuk berpatisipsi dalam
proses pemekaran.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat di
Desa Wowonga Jaya beranggapan bahwa dalam persoalan politik di desa tersebut,
masyarakat menjadi tersandra berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini
diakibatkan karena buruknya komunikasi yang terjadi di dalam kelompok
masyarakat.
Politik lokal adalah salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan
hangat disetiap negara. Kehadiran negara sebagai ‘payung’ masyarakat tak
dapat
dipisahkan dari praktek politik didalamnya. Praktek politik dalam sebuah negara
biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan negara, baik yang sifatnya nasional
maupun internasional. Disamping itu, praktek politik juga dimainkan oleh masya-
rakat yang ada dalam suatu negara, baik untuk tujuan pribadi maupun kelompok.
Indonesia sebagai negara berdaulat tak lepas dari unsur perpolitikan didalamnya
pada tingatan nasiona maupun lokal
Etnosentrisme pada dasarnya merupakan wujud etnonasionalisme, yakni
perasaan senasib yang timbul dalam satu komunitas etnik atau paham kebangsaan
yang berbasis pada sentimen etnik. Semangat etnosentrisme ingin diwujudkan
menjadi suatu entitas politik yang bernama “suku”. Ada upaya homogenisasi
pengertian suku dalam hal ini, yaitu pengertian suku yang lebih diperkecil pada
ikatan perasaan kultural yang ditandai dengan kesamaan budaya,bahasa atau
kesetiaan pada suatu teritorialitas tertentu. Menguatnya etnosentrisme membawa
sejumlah akibat. Pertama, menarik garis pemisah atau menjauhkan diri atau bahkan
keluar dari tatanan wilayah tertentu.Kedua,berusaha mendudukkan orang sesuku
dalam pemerintahan (kekuasaan politik). Ini sering kita temui dalam berbagai jenjang
pemerintahan, bahkan untuk skala politik ditingkat desa dengan selalu menjadikan
ukuran kesukuan sebagai parameter dalam memilih pejabat atau kepala desa.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang
Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa, Studi Dinamika Politik Lokal di Desa
Wowonga Jaya, Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara, maka ada
beberapa hal yang perlu disimpulkan antara lain sebagai berikut:Dampak etnosentri
dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya terlihat pada pandangan yang dimiliki
oleh masyarakat lokal etnis Kulisusu, yang menjadi salah satu faktor yang
mendorong terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya.
Proses interaksi antar kelompok masyarakat lokal dan pendatang yang
memicu potensi konflik sosial di desa Lakansai, mendasari terbentuknya Desa
Wowonga Jaya. Hal lain yang terlihat dari penelitian ini ialah munculnya persepsi
masyarakat lokal etnis Kulisusu yang memiliki pandangan bahwa mereka
merupakan penduduk lokal yang secara historis telah mendiami daerah tersebut
sejak zaman dahulu, namun secara objektif dinamika etnosentris hanya dapat
memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau budaya. Dampak
etnosentris terhadap dinamika politik lokal terlihat bahwa etnosentris mampu
memberikan pengaruh terhadap dinamika politik lokal. Hasil penelitian menunjukan
bahwa persepsi masyarakat di Desa Wowonga Jaya beranggapan bahwa dalam
persoalan politik di desa tersebut, masyarakat menjadi tersandra berdasarkan
kelompok-kelompok tertentu.
Hal ini diakibatkan karena buruknya interaksi sosial yang terjadi di dalam
kelompok masyarakat tersebut.
Penulis berharap bahwa nilai etnosentris yang masih melekat di kalangan
masyarakat seharusnya bukan menjadi penghalang untuk melakukan interaksi yang baik
antara sesama elemen masyarakat, baik sesama kultur atau budaya, maupun dengan
kultur dan budaya yang berbeda.
Pemekaran seharusnya mampu memberikan dampak positif bagi interaksi antar
budaya di Desa Wowonga Jaya karena pada prinsipnya pemekaran bertujuan untuk
mengurangi kesenjangan sosial dalam dinamika masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G.W. (1954): The Nature of Prejudice. Gorden City. NY;
Doubleday Co.
Arkanudin (2010;95) Masyarakat ladang berpindah . Pontianak; STAIN Prontianak
Pres.
Aria Saputra, (2012). Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antar Budaya pada
Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatra (Usu)
Badudu (2001:1233). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta ; Pustaka Sinar
Harapan
Chadwick, dkk 2001. Dampak PemekaranWilayah.Yogyakarta
Deaux (1984), Sosial Psychologi in the 90’s. New York; Brooks dan Cole Publishing.
Effendy, Onong Uchana. (1981). Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung; PT
Rosdakarya
Gerungan, A W. (1988). Psikologi Sosial. PT Eresco. Bandung
Feith, Herbert, dan Lance Castle (eds). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 Judul
Asli; Indonesia Political Thinking 1945-1965. Jakarta; LP3ES, 1988.
Johnson, Doyle Paul (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta; Gramedia.
Levine dkk (1972) Texbook of Veterinary Parasitologi. Penterjemah G. Ashadi.
1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Mulyana,Deddy. 2000.
Ilmu
Suatu Pengantar. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Komunikasi
Sartono Kartodirjo.1999. Demokrasi dan Kehidupan Masyarakat Dipedasaan Aditya
Media. Yogyakarta.
Sumner, William Graham. 1906. Folkways; The Sociological Importance of Usages,
Manners, Customs, Mores, end Moralas. Ginn dan Co. New York
Widjaja, 2005, Penyelenggraan Otonomi di Indonesia. Dalam Rangka Sosialisasi
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada.
Download