Interaksi Simbolis – Rulli Nasrullah dan Sugiharto

advertisement
INTERAKSI SIMBOLIS DALAM MENDEKATI
FENOMENA PENGUNGKAPAN DIRI DI MEDIA BARU
Rulli Nasrullah*
&
Sugiharto*
ABSTRAK
Pengungkapan diri menjadi salah satu fenomena sosial-budaya yang terus
mengalami perkembangan. Apalagi dengan kemajuan teknologi seperti internet
memungkinkan individu untuk mengkonstruksi dirinya menjadi jauh lebih terbuka
dibandingkan sebelum kemunculan media baru tersebut. Facebook, sebagai salah
satu situs jejaring sosial di internet, memberikan fasilitas atau ruang bagi pengguna
untuk mengkisntruksi profil dirinya dan di sisi lain informasi inilah yang tidak
hanya bisa diakses oleh sipemilik akun, melainkan juga bisa dibaca oleh semua
orang yang terkoneksi ke situs jejaring sosial. Media pada dasarnya bukanlah
menjadi cermin dari realitas, melainkan sudah menjadi realitas itu sendiri.
Konstruksi identitas ini Untuk mengetahui fenomena ini pendekatan melalui teori
interaksi simbolik dalam perspektif kajian budaya menjadi salah satu teori yang
dapat digunakan.
Kata Kunci: identitas, media baru, keterbukaan diri
Pendahuluan
Relasi merupakan bagian terpenting dari suatu sistem di antara
individu. Apabila ada dua atau lebih individu melakukan komunikasi,
sebenarnya mereka sedang membangun dan mendefinisikan relasi atau
hubungan di antara mereka. Menurut Littlejohn (1996: 250), People in
relationship are always creating a set of expectations, reinforcing old ones,
*
Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. e-mail: [email protected]
*
Dosen Manajemen Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. e-mail:
127
or changing an existing pattern of interaction. Individu-individu yang berada
dalam hubungan selalu menciptakan sekumpulan harapan, memperkuat
harapan-harapan lama, atau merubah sebuah pola interaksi yang sudah ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan terjalin karena adanya
interaksi. Sebagaimana dicontohkan Littlejohn, jika suatu hubungan
kepatuhan yang dominan muncul dalam suatu perkawinan, maka akan ada
seseorang yang memegang kendali atas pasangannya. Begitu juga
komunikasi yang terjadi antarpekerja di organisasi atau perusahaan sangatlah
ditentukan oleh status dalam organisasi yang muncul dalam hubungan
tersebut bahwa seseorang atau beberapa orang memiliki status yang lebih
tinggi dari pekerja lainnya. Namun, hubungan yang berdasarkan status di
perusahaan ini akan menjadi berubah apabila di antara kedua pekerja yang
berbeda status tersebut kembali ke rumah dan mereka tinggal bertetangga;
bisa jadi hubungan yang pada awalnya dibatasi oleh etika dan atau peraturan
perusahaan menjadi sirna dan hubungan keduanya menjadi sejajar dan sopan.
Ada banyak sebenarnya aturan-aturan yang implisit di dalam setiap
hubungan yang sedang berjalan, baik itu berupa hubungan pertemanan, cinta,
keluarga, maupun tipe-tipe hubungan lainnya.
Waztlawik, Beavin, dan Jackson (1967) mengemukakan lima
aksioma dasar berkaitan dengan komunikasi. Pertama, ―one cannot not
communicate” bahwa seseorang tidak mungkin untuk tidak berkomunikasi.
Aksioma ini menegaskan dalam secara sadar maupun tidak setiap orang
berusaha memengaruhi persepsi-persepsi orang lain. Setiap perilaku
seseorang memiliki potensi yang bersifat komunikatif, meski tidak berarti
bahwa setiap perilaku adalah komunikatif.
128
Kedua, ―every conversation, no matter how brief, involves two
messages—a content message and relationship message”. Setiap percakapan
yang dilakukan antarindividu, meski percakapan tersebut berlangsung dengan
singkat, pada dasarnya percakapan tersebut mengandung dua pesan, yakni
konten atau isi dari pesan dalam percakapan tersebut dan pesan yang
berkaitan dengan hubungan di antara keduanya. Berkaitan dengan bagaimana
hubungan ini ditransformasikan di antara keduanya, Judee Burgoon dan
Jerold L. Hale (1984) melalui serangkaian penelitian untuk menemukan
dimensi-dimensi dari tingkat hubungan yang terjadi dalam komunikasi
memformulasikan empat dimesi dasar, yakni rangsangan emosional,
ketenangan, dan formalitas; keintiman dan kemiripan; kedekatan atau
kesukaan; dan dominasi-kepatuhan.
Ketiga, “interactions is always organized into meaningful patterns by
the communicators. This is called punctuation”. Oleh komunikator interaksi
selalunya terorganisasi dalam pola-pola makna tertentu. Ini yang disebut
dengan pengelompokan. Bahwa tahapan-tahapan interaksi, seperti halnya
kalimat,
tidak dapat dipahami sebagai rangkaian elemen yang terpisah,
melainkan berada dalam suatu kelompok atau terorganisir.
Interaksi di permukaan mungkin terlihat seperti sekelompok perilaku
verbal dan nonverbal, misalnya rangkaian bunyi dalam suatu kalimat,
sehingga komunikasi yang terjadi tidak sekadar rangkaian yang sederhana.
Oleh sebab itu, Waztlawik, Beavin, dan Jackson mengumpulkan perilaku ke
dalam unit-unit yang lebih besar yang membantu pendefenisian pengertian
daru keseluruhan rangkaian tindakan. Pengelompokkan ini pada dasarnya
sebagian besar berdasarkan persepsi pribadi dan tidak ada sebuah jaminan
tentang adanya keseragaman bahwa semua partisipan dalam komunikasi akan
129
membuat pengelompokan yang sama dari unit-unit tersebut (Littlejohn,
1996:252).
Asumsi keempat, ―people use both digital and analogic codes”.
Bahwa setiap individu dalam proses komunikasi menggunakan kode-kode
baik yang digital maupun analog. Pengkodean digital sifatnya pilihan
dikarenakan meski tanda (sign) dan petunjuk (referent) saling berkaitan,
namun keduanya tidak memiliki hubungan intrinsik di antaranya. Sementara
kode analog tidak bersifat pilihan dan kode-kode atau tanda analog dapat
benar-benar menyerupai objeknya dan bisa juga merupakan bagian dari objek
atau kondisi yang sedang digambarkan. Kaitannya dengan interaksi dan
perilaku, antara kode digital dan analog saling berbaur serta saling
memainkan fungsi yang berbeda. Kode digital mengkomunikasikan dimensi
isi sementara kode analog merupakan media dalam penyampaian isi tersebut.
Kelima, “communicators may respond similarly to or differently from
one another”. Bahwa dalam hubungannya dengan kesamaan dan perbedaan
pesan dalam interaksi, aksioma ini menekankan adanya kemungkinan besar
bahwa para komunikator akan merespon secara berbeda, baik itu isi pesan
dipersepsikan sama oleh para komunikator maupun sebaliknya. Apabila
interaksi komunikasi ini terjalin dengan banyaknya persamaan dan minimnya
perbedaan antarpihak komunikator, maka hubungan tersebut merupakan
hubungan yang simetris (a symmetrical relationship). Sebaliknya, apabila
banyaknya perbedaan antarpihak komunikator, maka hubungan yang terjadi
adalah
hubungan
yang
bersifat
komplementer
relationship).
Teknologi Komunikasi Termediasi Komputer
130
(a
complementary
Perkembangan teknologi telah membuat pergeseran model transmisi
pesan
komunikasi
dari
satu
sumber
terorganisir
ke
massa
yang
memosisikanwargasebagai pihak yang pasif.wargakini tidak sekadar anggota
massa semata; ia menjadiwargayang aktif dan secara sadar telah memiliki
kemampuan untuk menentukan sendiri informasi apa yang akan diperoleh
(McQuail, 2005). Bahkan tidak hanya melakukan seleksi informasi –
sekaligus media yang dipilih untuk mendapatkan informasi tersebut—
melainkan jugawargakini secara aktif dan ―berkuasa‖ telah menggunakan
media untuk mentransformasikan pesan yang berasal dari mereka
(McNamus, 1994).
Situs jejaring sosial seperti Facebook merupakan salah satu medium
yang bisa digunakan oleh warga yang sedang mencari pasangan hidup untuk
melakukan self-discosure. Artinya,warga kini dapat mengungkapkan
informasi personalnya kepada publik sekaligus bisa menetapkan beragam
kriteria yang diinginkan bagi mereka yang ingin menjalin hubungan
dengannya. Menurut Pearson et.al. (2003:188) ―self-discosure is important
for two reasons: Disclosure allows you to develop more positive attitude
about yourself and others and disclosure allows you to establish more
meaningful relationship with others”.
Ada dua alasan mengapa Self-
discosure atau pengungkapan diri dipandang penting, yaitu (1) munculnya
perilaku positif mengenai diri sendiri maupun terhadap orang lain dan (2)
pengungkapan diri menegaskan arti penting dari hubungan yang sedang
terjalin dengan orang lain.
Karakteristik selanjutnya dari media baru adalah simulasi atau
hyperreality; sebuah term yang beranjak dari teori Jean Baudrillard dalam
karyanya Symbolic Exchange and Death (1993) serta Simulations and
Simulacra (1994). Jean Baudrillard adalah salah satu pemikir kunci yang
131
terkait dengan postmodernitas di tahun 1970-an dengan gagasan gagasan
simulasi -
suatu efek dimana masyarakat semakin berkurang tingkat
kesadaran mereka terhadap apa yang ‗real‘ karena imaji yang disajikan oleh
media. Bahwa setiap individu pada akhirnya akan termediasi, disebut
Baudrillard sebagai ‗ecstasy of communication, karena ‗hidup‘ di dalam
layar komputer dan atau bahkan menjadi bagian daripadanya. Menjalani
hidup dalam kunkungan ‗hyperreality‘ yang menempatkan individu antara
yang nyata dan virtual, realitas dan ilusi. Menggunakan pendekatan
semiotika tentang hubungan antara tanda dan apa yang diwakili oleh tanda
tersebut, Baudrillard menyatakan bahwa tanda-tanda telah terputus dari
realitas; tidak sekadar merepresentasi, melainkan mensimulasi. Term yang
digunakan adalah ‗simulacra‘ yang diartikan sebagai „a copy of a copy with
no original‟ (Bell, 1999:76) yang dicontohkan dengan taman bermain
Disneyland. Term ini terjadi melalui empat tahap proses: pertama, tanda
(sign) merupakan presentasi realitas; kedua, tanda mendistorsi realitas;
ketiga, bahwa realitas semakin kabur bahkan hilang, malah tanda merupakan
representasi dari representasi itu sendiri; dan keempat, bahwa tanda bukan
lagi berhubungan dengan realitas—imaji telah menjadi pengganti dari realitas
itu sendiri. Inilah yang menurut Bell terjadi dalam cyberspace dimana proses
simulasi itu terjadi dan perkembangan teknologi komunikasi serta
kemunculan media baru menyebabkan individu semakin menjauhkan realitas,
menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia virtual.
Bahwa media, dalam konsepsi Baudrillard, pada dasarnya bukanlah
cerminan dari realitas, melainkan ia sudah menjadi realitas tersendiri. Inilah
yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas dimana media tidak lagi
menampilkan realitas tetapi sudah mejadi realitas tersendiri bahkan apa yang
ada di media lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri (Ritzer and Goodman,
132
2004: 678). Realitas media merupakan hasil proses simulasi, dimana
representasi yang ada di media telah diproduksi dan reproduksi oleh media
itu sendiri
menjadi realitas tersendiri;
yang terkadang apa
yang
direpresentasikan berbeda atau malah bertolak belakang dari signs atau
objects itu sendiri. Realitas yang ada di televisi, sebagai misal, adalah realitas
baru yang disebut Baudrillard sebagai ‗simulacra‟
yang tidak hanya
menjelaskan bagaimana tanda itu direpresentasikan, melainkan juga
melibatkan relasi sosial dan kekuatan/pengaruh sosial (Baudrillard, 1993:52
dalam Gane and Beer, 2008:104). Bagaimana simulasi itu terjadi dijelaskan
oleh Baudrillard bahwa dalam masyarakat industri saat ini, produksi tidak
lagi menghasilkan penggandaan dari realitas, tetapi sudah menjadi produksi
massal terhadap realitas yang identik yang terkadang sudah tdak memiliki
kesamaan dengan apa yang direpresentasikan. Selanjutnya, era industri tidak
lagi mereproduksi dan melakukan produksi masal terhadap objek asal, tetapi
telah menghasilkan objek yang identik yang pada dasarnya objek asal sudah
tidak lagi eksis atau tidak ditemukan ciri-cirinya dari objek yang diproduksi.
Tahap ketiga dari simulacra Baudrillard adalah objkek yang diproduksi
massal sudah tidak identik dengan objek awal. Tidak ada tanda, ciri,
karakteristik, bahkan persamaan apapun dari objek yang diproduksi dan hal
ini bagi Baudrillard dikarenakan teknologi
dan juga media memiliki
kekuatan tidak hanya untuk melakukan produksi melainkan mereproduksi
tanda (signs) dan objek (objects)
„there is no more counterfeiting of an original, as there was in the first
order, and no more pure series as there were in the second; there are only
models from which all forms proceed according to modulated differences.
Only affiliation to the model has any meaning . . .‟ (Baudrillard, 1993 dalam
Gane and Beer, 2008:101)
Terakhir, dalam proses simulacra, bahwa tanda yang dihasilkan sudah
menjadi realitas tersendiri. Tanda tidak bisa dipilah untuk menemukan
133
kesamaan dengan realitas atau tanda yang pada awalnya diproduksi.
Substansi realitas awal sudah hilang, realitas yang diproduksi oleh teknologi
bagi Baudrillard sudah menjadi realitas yang sama sekali baru. Berkaitan
dengan media baru, bahwa teknologi telah membawa sebuah kultur yang
membedakan antara yang real dan yang virtual. Manusia, sebagai user atau
pengguna, telah diwakilkan oleh perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) dalams ebuah jaringan komputer dan proses
lalulintas informasi.
Untuk memahami bagaimana teknologi telah memisahkan suatu
realitas menjadi realitas tersendiri secara virtual,
produksi identitas di
internet bisa menjadi gambaran bagaimana tahapan simulacra Baudrillard itu
terjadi. Menurut Tim Jordan (1999:60) ada dua kondisi yang bisa
menggambarkan bagaimana keberadaan individu dan konsekuensinya dalam
berinteraksi di internet, yaitu (1) untuk melakukan koneksitas di cyberspace
setiap orang harus melakukan logging in atau melakukan prosedur tertentu-seperti menulis username dan password--untuk membuka akses ke e-mail,
situs jaringan sosial, atau laman web lainnya. Ketika prosedur tersebut
dilalui, maka individu akan mendapatkan semacam their own individualised
place di mana setiap individu mendapatkan laman khusus yang hanya bisa
diakses oleh individu tersebut saja atau yang biasa disebut dengan istilah
akun(account); (2) memasuki dunia virtual kadangkala juga melibatkan
keterbukaan dalam identitas diri sekaligus juga mengarahkan bagaimana
individu tersebut mengidentifikasikan atau mengkonstruk dirinya di dunia
virtual. Pengguna Facebook, sebagai misal, harus memasukkan informasi
dirinya seperti nama, tempat tanggal lahir, pendidikan, hobi, dan sebagainya.
Informasi inilah yang tidak hanya bisa diakses oleh sipemilik akun,
134
melainkan juga bisa dibaca oleh semua orang yang terkoneksi ke situs
jejaring sosial.
Penggambaran lain dari kondisi di atas adalah dunia MUD. Menurut
istilah MUD berasal dari Multi-User Dungeons atau bisa juga Multi-Usser
Dimensions (Stone,1995:68-70; Turkle, 1995:11-14). Secara terminologi
MUD diartikan sebagai sebuah program komputer yang diatur sedemikian
rupa sehingga dapat diakses oleh beragam user dalam satu waktu secara
bersamaan. Program seperti ini memberikan setiap user yang terkoneksi,
disebut dengan player (pemain), akses untuk sebuah laman, objek, dan
landscape. Akses inilah yang bisa digunakan pemain untuk membangun
interaksi komunikasi dengan pemain lain; membangun rumah, memakai
peralatan, menjadi musuh atau kawan, atau menjalankan (program)
permainan yang sudah diatur. Ada dua model program MUDs, model
pertama adalah petualangan atau pertarungan (adventure MUDs) dimana
setiap pemain harus menyelesaikan tugas/misi tertentu dan model sosial
(social MUDs) yang hanya menjalankan interaksi sosial semata. Setidaknya
ada tiga hal yang membedakan antara social MUDs dengan adventure
MUDs, yakni tidak adanya target akhir yang harus dicapai, aktivitas yang
dijalankan bukanlah aktivitas yang bisa menentukan aktivitas selanjutnya,
dan karakter (Curtis, 1992:26; Reid,1995:165; Quitter, 1994a). Namun,
karakteristik MUD terpenting berdasarkan kepada teks; semua dekripsi
tentang lokasi, apa yang harus dilakukan, dan bahkan berkomunikasi dengan
pemain lainnya dilakukan dengan teks yang ada di layar komputer. Saat
melakukan aktivitas inilah pemain membangun jaringan, membuat
pertemanan, dan pada akhirnya mengkespresikan perasaannya secara virtual
dalam proses komunikasi. Individu didalam MUD dapat bertemu dengan
individu lain, melakukan aktivitas virtual secara bersamaan, mengungkapkan
135
perasaan terhadap individu lain, bahkan dalam kondisi tertentu melakukan
pernikahan virtual. Keberadaan tubuh menjadi sesuatu yang bisa dikreasikan
oleh siapapun di dalam MUD, berbeda dengan dunia nyata dimana kita tidak
bisa memilih dilahirkan sebagai wanita atau pria, berkulit putih atau hitam,
dan sebagainya.
The commands provided by the MUD systems enable users to weave a web
of communication that ties each person into a sociocultural context. This
web of verbal and textual significances that are substitutes for and yet
distinct from the networks of meaning of the wider community binds users
into a common culture whose specialised meanings allow the sharing of
imagined realities. (Reid, 1995:183 dalam Tim Jordan, 1999:62)
Interaksi virtual inilah yang pada akhirnya akan melahirkan selfdefinition dan menawarkan self-invention. Setiap individu memilki
kemampuan tanpa batas untuk mengkreasikan siapa dirinya di dunia siber
dan hasil kreasi itulah yang nantinya akan mewakili individu dalam
memainkan perannya serta berinteraksi di internet. Pilihan untuk membuka
identitasnya secara jujur dengan pilihan untuk membuat identitas palsu
merupakan pilihan yang bisa diambil. Yang diperlukan dalam MUD,
misalnya, hanyalah melakukan koneksi ke situs, memilih nama, memilih
gender, dan menuliskan deskripsi pribadi. MUD tidak menysaratkan
siapapun untuk menaruh nama aslinya agar ia bisa memiliki sebuah akun.
Ketika individu telah melakukan identifikasi diri di dalam MUD, seperti
memilih username dan password, maka identitas itulah pada akhirnya
melahirkan individu virtual bersamaan dengan atribut-atribut yang melekat
dengannya dan berlaku ‗kekal‘. Artinya, setiap individu baru bisa mengakses
individu virtualnya apabila ia menggunakan identifikasi username dan
password yang sama.
Ketika seseorang mengungkapkan informasi dirinya dan (informasi)
kriteria siapa-siapa saja yang bisa menjalin hubungan dengannya, maka hal
136
ini dimaksudkan untuk mengurangi adanya ketidakpastian dan keraguan dari
hubungan yang sebenarnya ingin dijalin. Mengurangi ketidakpastian dalam
hubungan interpersonal ini telah dikembangkan oleh Charles R. Berger dan
Richard J. Calabrese pada tahun 1975 dalam artikel yang berjudul Some
Exploration in Initial Interaction and Beyond: Toward a Developmental
Theory of Interpersonal Communication yang menjelaskan bagaimana
pengembangan relasi antara dua individu yang belum atau baru bertemu.
Bahwa setiap individu ketika berkomunikasi dengan individu lain yang
belum pernah bertemu atau baru bertemu pada awalnya mereka
menempatkan diri dalam kondisi atau situasi tidak pasti (reduction) atau baru
sehingga komunikasi yang terjadi pun terjadi secara biasa. Namun, seiring
berjalannya waktu dan kekerapan dalam berinteraksi situasi yang tidak pasti
ini akan berubah menjadi situasi yang akrab dan hubungan yang lebih dekat.
Berger selanjutnya memberikan pola yang biasa dilakukan individu untuk
mengurangi rasa ketidakpastian tersebut, yaitu (1) strategi pasif, setiap
individu selalunya mememerhatikan kondisi dan situasi termasuk keberadaan
individu lainnya; (2) strategi aktif, membuat situasi di mana kita dapat
melakukan pengamatan atau membuka kemungkinan hubungan terhadap
individu lain, entah itu dalam situasi yang natural atau telah direkayasa; (3)
strategi interaktif yakni situasi di mana individu akan langsung menjalin
komunikasi langsung dengan individu lainnya.
Tahapan dalam hubungan baru yang terjalin dan informasi apa yang
diungkapkan juga telah dikembangkan oleh Irwin Altman dan
Dalmas
Taylor (1973) dalam bukunya berjudul Social Penetration: The Development
of Interpersonal Relationships yang memunculkan Teori Penetrasi Sosial.
Teori ini menekankan pada bagaimana interaksi antarindividu itu terjadi;
mulai dari hubungan yang asing, pendekatan yang berjarak, dan kekerabatan.
137
―Communication moves from relatively shallow, nonintimate levels to
deeper, more personal ones.‖ Bahwa setiap individu akan menempatkan
dirinya beradasarkan pada posisi relasi dengan individu lain, begitu juga
sebaliknya.
Self Disclosure dalam Relasi Interpersonal
Self-Disclosure atau pengungkapan diri merupakan salah satu konteks
komunikasi relasi interpersonal. Dalam catatan Littlejohn (1996: 260)
pengungkapan dan pemahaman atas pengungkapan diri tersebut merupakan
tema-tema penting dalam kajian konteks komunikasi relasi interpersonal di
rentang waktu antara tahun 1960 hingga 1970. Pada umumnya tema-tema
self-disclosure ini merupakan konsekuensi dari aliran humanistik dalam
psikologi yang memandang bahwa ideologi dari ―honest communication‖
atau komunikasi yang berlandaskan (pengungkapan diri) yang jujur
merupakan cara terbaik dalam melakukan relasi interpersonal. Tema-tema
tentang self-disclosure berkembang dengan pesat karena terus diperkuat
dengan
banyaknya
penelitian
maupun
publikasi
ilmiah
tentang
pengungkapan diri, salah satunya adalah Carl Rogers yang menyatakan apa
yang disebut dengan ―kekuatan pihak ketiga‖ dalam psikologi mengajarkan
bahwa sasaran komunikasi adalah pemahaman yang akurat tentang diri dan
(diri) orang lain dan pemahaman barulah bisa terbentuk apabila komunikasi
berlangsung dengan sesungguhnya.
According to humanistic psychology, interpersonal understanding ocurs
through self-disclosure, feedback, and sensitivy to the disclosure of others.
Misunderstanding and disatisfaction in relationship are promoted by
dishonesty, lack of congruence between one‟s actions and feeling, poor
feedback, and inhibited self-disclosure. (Litlle John, 1996: 260)
138
Berdasarkan psikologi humanistik, menurut Rogers,
pemahaman
interpersonal terjadi melalui pengungkapan diri, umpan balik, dan kepekaan
terhadap pengungkapan diri dari orang lain. Kesalahpahaman dan
ketidakpuasan yang muncul dari jalinan hubungan tersebut merupakan akibat
dari adanya ketidak jujuran salah satu pihak atau kedua pihak, kurangnya
keselarasan antara tindakan-tindakan maupun perasaan yang sebenarnya,
tidak terjalinnya umpan balik dari proses komunikasi sesuai dengan yang
diharapkan, maupun akibat sedikitnya informasi yang didapat dari
pengungkapan diri para pihak. Semakin banyak informasi yang ditampakkan,
maka semakin dekat pula relasi yang terjalin antarpihak tersebut.
Pengungkapan diri yang semakin besar dalam relasi interpersonal inilah
yang memainkan peranan penting dalam menentukan arah bagaimana relasi
yang akan dibangun. Person, Nelson, Titsworth, dan Harter dalam buku
Human Communication (2003, 187-188) menegaskan kembali bahwa ―SelfDisclosure is the process of making intentional revelations about oneself that
others would be unlikely to know and that generally constitute private,
sensitive,or confidential information”. Proses hubungan interpersonal akan
semakin dalam dan dekat tergantung dari seberapa intensitasnya para pihak
melakukan pengungkapan diri --meski dalam kenyataannya pihak lain akan
melakukan reisistensi terhadap informasi yang semakin dibuka-- dan
informasi yang ditampakkan akan semakin pribadi, sensitif, hingga
informasi-informasi penting yang hanya pihak-pihak tertentu saja bisa
mengetahuinya.
Altman dan Taylor (1973) dalam Social Penetration Theory
menjelaskan
bagaimana interaksi antarindividu itu terjadi; mulai dari
hubungan yang asing, pendekatan yang berjarak, dan kekerabatan.
―Communication moves from relatively shallow, nonintimate levels to
139
deeper, more personal ones.‖
Hubungan antarindividu tergantung tidak
hanya dari seberapa sering interaksi yang terjadi antara keduanya, melainkan
juga karena adanya kesamaan, keselarasan tujuan dari hubungan yang
terjalin, maupun lingkungan tepat di mana relasi itu terjadi. Self disclosure
perlahan-lahan akan terjadi dengan semakin dekat dan seberapa dalam
informasi yang ditampakkan antara keduanya. Ini yang disebut Altman dan
Taylor sebagai a multilayered onion.
Opini, kepercayaan, prasangka, bahkan obsesi merupakan lapisan yang
mengililingi sekaligus berada bersama individu. Ketika individu mulai
mengenal individu lainnya, maka setiap lapisan itu akan membuka. Bahwa
setiap lapisan memiliki keluasan (breadth) dan kedalaman (depth) informasi
itu sendiri.
sementara
Breadth bermakna banyaknya topik yang bisa dibicarakan
Depth seberapa besar nilai yang terkandung di dalam topik
tersebut.
On the outermost shell are highly visible levels of information such dress and
speech. Inside are increasingly private details about the lives, feelings, and
thoughts of the participants. As the relationship develops, the partners share
more aspects of the self, providing breadth as well as depth, through an
exchange of information, feelings and activities. (Altman dan Taylor dalam
Littlejohn, 1996:264-265)
Self-disclosure dalam proses terjalinnya sebuah hubungan baru dan
upaya untuk mengurangi adanya ketidak pastian sebagaimana yang diulas
dalam teori Urcetainty Reduction, Berger dan Calabrese (1975) beberapa
faktor
yang
terjadi
dalam
komunikasi
interpersonal,
yaitu
verbal
communication, nonverbal expressiveness, information-seeking behavior,
intimacy, reciprocity, similarity, dan liking. Komunik verbal (verbal
communication) merupakan tahap dimana meningkatnya jumlah komunikasi
verbal yang dilakukan ketika tengah berkomunikasi dengan individu (asing)
lain dapat mengurangi ketidakpastian; Ekspresi-ekspresi nonverbal atau
140
nonverbal expressiveness yang semakin beragam, bervariasi, dan secara
kuantitas
semakin
intens
akan
mengurangi
situasi
ketidakpastian;
information-seeking behavior, bahwa setiap informasi yang diungkapkan
atau
dipertukarkan
antarindividu
membawa
pengaruh
pada
situasi
ketidappastian, apabila informasi yang diungkapkan semakin banyak maka
dalam tahap ini komunikasi atau hubungan akan semakin dekat dan
pencarian akan informasi antarindividu pun semakin berkurang; Intimacy
atau keintimanan merupakan faktor yang menjelaskan seberapa dekat
antarindividu itu berhubungan, semakin dekat kualitas dan kuantitas
komunikasi maka situasi ketidakpastian itu semakin berkurang; Reciprocity
menjelaskan tentang adanya pertukaran informasi antarindividu yang sedang
menjalin hubungan. Semakin tinggi ketidakpastian di antara keduanya, maka
semakin intens pula pertukaran informasi; Semakin banyak kesamaan atau
similarity secara sadar atau tidak akan mengurangi tingkat ketidakpastian
dari hubungan; dan kesukaan atau kegemaran (liking) yang sama merupakan
faktor yang bisa mengurangi situasi ketidakpastian dalam hubungan.
Berkaitan dengan Urcetainty Reduction Theory yang dikembangkan
oleh Berger dan Calabrese, Heath dan Bryant (1999) menawarkan model dari
jalinan hubungan dalam rangka pengurangan ketidakpastian menjadi tiga fase
dalam relasi interpersonal, yaitu entry phase-personal phase-exit phase.
Bagan 1
Tahapan pengembangan hubungan dalam model Urcetainty Reduction Theory
(Heath dan Bryant, 1999)
141
Interaksionisme Simbolik dalam Studi Budaya
Interaksionis simbolis George Hebert Mead (1962) menekankan pada
bahasa yang merupakan sistem simbol dan kata-kata merupakan simbol
karena digunakan untuk memaknai berbagai hal. Bahwa bahasa merupakan
sistem simbol dan kata-kata merupakan simbol karena digunakan untuk
memaknai berbagai hal. Dengan kata lain, simbol merupakan representasi
dari pesan yang dikomunikasikan kepada publik. Sebagai misal, telepon
genggam tidak hanya sekadar bermakna alat untuk berkomunikasi,
melainkan sudah menjadi representasi dari gaya hidup bahka status sosial
tertentu.
Menurut Mead, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun
merupakan hasil dari interaksi sosial atau signifikansi kausal interaksi sosial.
Individu secara mental tidak hanya menciptakan makna dan simbol semata,
melainkan juga ada proses pembelajaran atas makna dan simbol tersebut
selama berlangsungnya interaksi sosial. Bahkan ditegaskan oleh Charon
(1998:40) bahwa simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk
merepresentasikan apa-apa yang memang disepakati bisa direpresentasikan
oleh simbol tersebut. Individu sebagai produsen sekaligus konsumen atas
simbol tidak hanya merespon simbol secara pasif, tetapi juga secara aktif
menciptakan dan menciptakan kembali dunia tempat dia bertindak
berdasarkan realitas yang datang. Sementara D Miller, sebagaimana dikutip
Ritzer dan Goodman (2008: 395), menjelaskan lima fungsi dari simbol;
pertama, simbol memungkinkan orang berhubungan dengan dunia materi
dan dunia sosial karena dengan simbol mereka bisa memberi nama, membuat
kategori, dan mengingat objek yang ditemui; Kedua, simbol meningkatan
kemampuan orang memersepsikan lingkungan; Ketiga, simbol meningkatkan
142
kemampuan berpikir; Keempat, simbol meningkatkan kemampuan orang
untuk
memecahkan
masalah;
dan
Kelima,
penggunaan
simbol
memungkinkan aktor melampui waktu, ruang, dan bahkan pribadi mereka
sendiri. Dengan kata lain, simbol merupakan representasi dari pesan yang
dikomunikasikan kepada publik.
Ritzer dan Goodman (2008:392-397) mengemukakan prinsip-prinsip
dasar teori interaksionis simbolik, yakni:
1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh
kemampuan berpikir.
2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial individu mempelajari makna dan simbol
yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir
tersebut.
4. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
interaksi khas manusia.
5. Individu mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol
yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
tafsir mereka terhadap situasi tersebut.
6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian
karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri,
yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin
dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relatif mereka, dan
selanjutnya memilih.
7. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan
kelompok dan masyarakat.
143
Interaksi simbolis merupakan salah satu pendekatan yang bisa
dilakukan dengan kajian budaya (cultural studies). Menurut Norman Denzin
dalam bukunya Symbolic Interactionism and Cultual Studies (1992:34)
menekankan
bahwa
semestinya
kajian
terhadap
interaksi
simbolis
memainkan peranan penting dalam cultural studies yang memusatkan
perhatian pada tiga masalah yang terkait satu dengan lainnya, yakni produksi
makna kultural, analisis tekstual makna-makna ini, dan studi kebudayaan
yang dijalani dan pengalaman yang dijalani. Namun, dalam tataran praktis
Denzin melihat adanya kecenderungan dari interaksionisme simbolik untuk
mengabaikan gagasan yang menghubungkan ―simbol‖ dan ―interaksi‖.
Sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008:413), Denzin menegaskan
bahwa ―dalam upaya menggiring kalangan interaksionis simbolis kepada
perspektif cultural studies, saya memilih memusatka perhatian pada istilah
yang hilang dan tidak terteorikan dalam perspektif mereka. Komunikasi
adalah interaksi dan agar interaksi dapat berjalan, pihak-pihak yang
berinteraksi harus berkomunikasi‖. Hal ini memberikan penegasan bahwa
para peneliti interaksionisme simbolik menurut Denzin semestinyalah
memfokuskan diri
pada masalah kebudayaan, khususnya kebudayaan
populer; dengan memainkan pendekatan kritis terhadap kebudayaan yang
memerhatikan dalam istilah Denzin ―pihak yang lemah‖ maupun hubungan
pihak yang lemah terhadap ―pihak yang berkuasa‖.
Tradisi interaksionis harus menentang, menyerap, memperdebatkan,
dan mengkonflik dengan bidang teori baru yang terus muncul pada era
postmodern (misalnya heurmeneutika, fenomenologi, strukturalisme, post
strukturalisme, teori postmodern, psikoanalisis, semiotika, post-Marxis,
cultural studies, teori feminis, teori film, dan lain sebaginya (Denzin,
1992:169)
144
DAFTAR PUSTAKA
Altheide, David L. Ethnographic Content Analysis, Jurnal Qualitative
Sociology, 10(1), Arizona: Human Science Press, 1987
Bennet, W. Lance. (1996). News: The Politics of Illusion. United State:
Longman Publishers
Berger, Peter L., and Luckman, Thomas. (1967). The Social Construction of
Reality, A Treatise in the Sociology of Knowlede. New York: Anchor
Books
DeGeorge, William F., ―Conceptualization and Measurement of Audience
Agenda‖ dalam Mass Communication Review Yearbook, California:
Sage Publication, 1991
Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S. (1994) Handbook of Qualitative
Research, California: Sage Publication Inc.
Denzin, Norman K. (1992). Symbolic Interactionism and Cultural Studies.
Oxford: Blackwell
Fagen, Richard R. (1966). Politics and Communication, Boston: Little,
Brown, and Company
Guba, Egon G., dan Lincoln, Yvonna S. (1994). ―Competing Paradigms in
Qualitative Research‖, dalam Denzin, Norman K., dan Lincoln,
Yvonna S., Handbook of Qualitative Research, California: Sage
Publication Inc.
Kinder, D.R., dan Sanders, L.M., Mimicking Political Debate with Survey
Question: The Case of White Opinion on Affirmative Action for Black,
dalam jurnal Social Cognition, edisi 8, 1990
Litllejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication. Belmont:
Wadsworth Publishing Company
Mansfield, Michael M., dan Weaver, Ruth Ann, Political Communication
Theory and Research, dalam Burgoon, Michael (Ed.). (1982).
Communication Yearbook 5, New Brunswick: Transaction Book
McLeod, J.M., et.al., Audience Perspective on the News: Assessing Their
Complexcity and Conceptual Frames, makalah dalam konferensi
145
Association for Education in Journalism and Mass Communication,
San Antonio, TX, Agustus, 1987
McQuail, Denis, (1987). Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit
Erlangga
Pearson, Judy et.al. (2003). Human Communication. New York: McGrawHill
Sceufele, Dietram A., Framing as a Theory of Media Effects, makalah dalam
konvensi Association for Education in Journalism an Mass
Communication, California, Agustus 1996
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2008). Teori Sosiologi, Dari Teori
sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Straubhaar, Joseph. dan Robert LaRose. (2002). Media Now, Communication
Media in the Information Age, Belmont: Wadsworth
Wright, Charles. (1959). Mass Communication: A Sociological Perspective,
New York: Random House
146
Download