BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Danau atau Situ
Danau merupakan cekungan yang terjadi karena peristiwa alami atau
sengaja dibuat manusia untuk menampung dan menyimpan air yang berasal hujan,
mata air, dan atau air sungai (Susmianto, 2004). Pengertian situ menurut
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan
Ruang (2003) adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk
secara alamiah dan atau air permukaan sebagai siklus hidrologi, dan merupakan
salah satu bagian yang juga berperan potensial dalam kawasan lindung.
Danau-danau di Indonesia terbentuk secara alamiah dan buatan akibat dari
aktivitas
manusia.
Menurut
Naryanto
dkk.
(2009),
berdasarkan
tipe
pembentukannya, genesa atau asal kejadian danau dan reservoir di Indonesia
dapat dikelompokkan ke dalam 14 tipologi yaitu, tektonik, tektono-vulkanik,
vulkanik, kawah, kaldera, patahan lingkar-kaldera, paparan banjir, oksbow,
longsoran, pelarutan, morain/gletser, embung buatan, dan sisa galian/kolong.
Pada dasarnya danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi dan
fungsi sosial-ekonomi-budaya. Fungsi ekologi danau adalah sebagai pengatur tata
air, pengendali banjir, habitat hidupan liar atau spesies yang dilindungi atau
endemik serta penambat sedimen, unsur hara dan bahan pencemar. Fungsi sosialekonomi-budaya danau adalah memenuhi keperluan hidup manusia, antara lain
untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari, sarana transportasi, keperluan
pertanian, tempat sumber protein, industri, pembangkit tenaga listrik, estetika,
olahraga, rekreasi, industri pariwisata, heritage, religi, dan tradisi. Selain itu,
danau juga berfungsi untuk mengatur sistem hidrologi; yaitu dengan
8
menyeimbangkan aliran air antara hulu dan hilir sungai, serta memasok air ke
kantung-kantung air lain seperti akuifer (air tanah), sungai dan persawahan.
Dengan demikian danau dapat mengendalikan dan meredam banjir pada musim
hujan, serta menyimpannya sebagai cadangan pada musim kemarau (Naryanto
dkk., 2009).
Menurut Susmianto (2004), terdapat berbagai ancaman penyebab
kerusakan ekosistem danau baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia.
Penyebab kerusakan secara alami, misalnya banjir, gempa bumi, vulkanik.
Sedangkan ancaman kerusakan yang disebabkan aktivitas manusia, misalnya
sedimentasi, pencemaran (limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah
industri), pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, memasukkan spesies
eksotik, konversi lahan, perubahan sistem hidrologi, serta pembangunan
pemukiman.
2.2
Pengelolaan Situ/Danau
Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,
pengelolaan danau/situ terdiri atas tiga komponen utama yaitu konservasi,
pemanfaatan, dan pengendalian daya rusak air. Waduk embung, situ, dan danau
yang merupakan sumber air telah banyak mengalami penurunan fungsi dan
kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan danau yang banyak
mengalami kendala. Dalam UU tersebut telah mengamanatkan untuk melakukan
pengelolaan danau dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian
daya rusak air. Selain itu, masih ada peraturan lain seperti:

PP. No.51 Tahun 1997, tentang Lingkungan Hidup;
9

PP. No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air;

PP. No. 32 Tahun 1990, tentang Kawasan Lindung;

Keppres No. 123/2001, tentang Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air
pada Tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten, dan Kota;

Keputusan Menteri lainnya yang terkait dengan Pengelolaan sumberdaya Air;
Menurut Manik (2003), pengelolaan dilakukan dengan pendekatan sosial
ekonomi, kelembagaan, dan teknologi. Pendekatan sosial ekonomi menjelaskan
aspek sosial ekonomi. Pendekatan kelembagaan menentukan lembaga terkait.
Pendekatan teknologi menguraikan pilihan teknologi. Ketiga pendekatan ini
digunakan dalam upaya pengendalian dampak.
Susmianto (2004), penyelenggaraan pengelolaan berdasarkan kesepakatan
semua pihak yang dilakukan secara transparan, saling tanggung jawab, tanggung
gugat, resiko, melalui Collaborative Management. Collaborative Management
merupakan proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas
dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya, dan
saling memberikan kemanfaatan. Pihak-pihak yang terdiri dari: pemerintah pusat,
pemerintah daerah, kelompok masyarakat sekitar, perorangan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, dan institusi lainnya yang terkait dalam pengelolaan.
Selanjutnya Susmianto (2004), mengungkapkan beberapa faktor yang
menyebabkan kendala dalam melakukan pengelolaan sumberdaya air antara lain:
a.
Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS danau,
yaitu setiap instansi lebih mementingkan sektornya daripada konservasinya.
10
b.
Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air danau sehingga
menimbulkan konflik kepentingan.
c.
Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan
pemerintah tempat berlokasinya danau untuk melakukan upaya konservasi
yang optimal.
d.
Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan
konservasi.
e.
Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan untuk
melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS ataupun yang
bermukim di sekitar danau.
2.3
Penilaian terhadap Kerusakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dalam buku Kegiatan Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data
Valuasi Ekonomi disebutkan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan merupakan
aset kehidupan memiliki nilai intristik. Hal ini merupakan bentuk dari nilai
ekonomi secara intristik (intristic value) dari eksistensi sumberdaya alam dan
lingkungan (Adrianto dkk., 2007).
Penilaian kerusakan adalah proses yang sistematis dalam menentukan dan
menilai sejauh mana kerugian dan penderitaan yang diterima masyarakat sebagai
akibat kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh manusia. Menurut Precht, et al.
(2000), penilaian kerusakan SDAL merupakan proses untuk mengidentifikasi dan
mengukur injury sumberdaya alam, menentukan kerusakan akibat injury serta
mengembangkan dan melaksanakan restorasi sesuai tindakan.
Penilaian kerusakan SDAL ini digunakan untuk menentukan apakah
sumberdaya alam telah terluka (injured) dan menghitung kompensasi kerugian
11
moneter yang akan digunakan untuk mengembalikan kondisi sumberdaya alam
tersebut. Sebagai tambahan terhadap biaya restorasi, kerusakan dapat meliputi
biaya untuk melakukan penilaian kerusakan dan kompensasi untuk kerugian
sementara dari hilangnya jasa sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi
sebelum pemulihan sumberdaya selesai (Martin Marietta Energy System, Inc,
1993).
Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan ditandai dengan penurunan
yang terjadi pada SDAL baik kualitas maupun kuantitasnya. Menurut Suparmoko
(2006), penurunan kualitas SDAL dapat diukur dengan menggunakan metode
before dan after project, penilaian untuk waktu atau tahun yang berbeda atau
secara kuantitatif, dinilai secara ekonomi (valuasi ekonomi) dengan menggunakan
teknik penilaian tergantung pada jenis dan manfaat atau pelayanan jasa
lingkungan yang ada. Penghitungan biaya kerusakan menggunakan asumsi bahwa
SDAL memberikan pelayanan atau jasa secara langsung maupun tidak langsung
dimana perhitungan kerusakan ditentukan oleh bagaimana rehabilitasi dilakukan.
2.4
Pencemaran Air
Pencemaran air didefinisikan sebagai kondisi berkurangnya nilai guna
sebuah perairan yang diakibatkan oleh masuknya bahan ke perairan dalam tingkat
yang tak mampu dinetralisasi oleh alam. Bahan pencemar yang masuk ke dalam
suatu perairan biasanya berupa limbah suatu aktivitas. Menurut sumbernya,
limbah sebagai bahan pencemar air dibedakan menjadi limbah domestik, limbah
industri, limbah laboratorium dan rumah sakit, limbah pertanian dan perternakan
serta limbah pariwisata. Menurut bentuknya, limbah dibedakan menjadi limbah
padat, limbah cair, dan limbah gas serta campuran dari limbah tersebut. Menurut
12
jenis susunan kimia, limbah dibedakan menjadi limbah organik dan anorganik,
sedangkan menurut dampaknya terhadap lingkungan dibedakan sebagai limbah
bahan berbahaya dan beracun serta limbah tidak berbahaya atau beracun (Manik,
2003).
Menurut Wardhana (1995), indikator atau tanda bahwa air lingkungan
telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui:
1.
Adanya perubahan suhu air;
2.
Adanya perubahan pH atau konsentrasi ion Hidrogen;
3.
Adanya perubahan warna, bau, dan rasa air;
4.
Timbulnya endapan, koloidal, bahan pelarut;
5.
Adanya mikroorganisme;
6.
Meningkatnya radoiaktivitas air lingkungan.
Limbah organik dan non organik seperti bahan berbahaya dan beracun, di
darat telah mencemari sumber air permukaan hingga mengancam kesehatan
makhluk hidup termasuk manusia dan kelangsungan hidupnya. Dampak negatif
yang sama juga terjadi di wilayah perairan yang memunculkan fenomena
eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan salah satu dampak pencemaran limbah organik
dari kegiatan manusia terhadap ekosistem danau, waduk, pesisir, dan laut. Definisi
eutrofikasi adalah pengayaan perairan oleh unsur inorganik yang pada saatnya
akan mengakibatkan berbagai konsekuensi berupa peningkatan kesuburan
perairan secara berlebihan dan membawa berbagai konsekuensi negatif seperti
tumbuh secara berlebih tanaman air atau fitoplankton. Hal ini disebut sebagai
blooming phytoplankton (Naryanto dkk, 2009).
13
Pencemaran air oleh logam sangat membahayakan bagi kehidupan. Sunu
(2001) pencemaran logam pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun terbawa
oleh air maupun udara. Berbagai logam berat yang berbahaya dan sering
mencemari lingkungan baik berupa pencemaran udara maupun pencemaran air
antara lain: merkuri (Hg), timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), khromium (Cr),
dan nikel (Ni). Logam berat yang sering terkontaminasi air yaitu merkuri dan
timbal.
Keracunan merkuri yang akut dapat menyebabkan kerusakan perut dan
usus, gagal kardiovaskuler (jantung dan pembuluh-pembuluhnya), dan gagal
ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian. Dampak utama pencemaran timbal
terhadap kesehatan antara lain: kelambanan dalam pengembangan neurologis
saraf dan fisik pada anak-anak; keguguran kandungan, dan kerusakan sistem
reproduksi pria; penyakit saraf, perubahan daya pikir dan perilaku; tekanan darah
tinggi; anemia (Sunu, 2001).
Djajadiningrat (2001) menyebutkan penyakit atau gangguan kesehatan
yang dapat timbul karena air tercemar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
penyakit menular dan penyakit tidak menular. Penyakit menular dibagi dalam tiga
kelompok yaitu:
1) Water-borne desease: kolera, tipus perut, hepatitis infeksiosa, disentri
basiler, polionelitis, penyakit cacing perut;
2) Water-washes desease: diare pada bayi, shigellosis, infeksi kulit dan mata,
scabies, “ratickel thypus”, penyakit cacing tambang;
3) Water-based desease: schistosomiasis (demam keong).
Sedangkan penyakit tidak menular dapat berupa:
14
1) Keracunan akut karena minum air yang mengandung racun;
2) Gangguan saraf, kerusakan ginjal, otak, dan hati karena bioakumulasi
logam berat melalui makan dan minuman;
3) Iritasi kulit dan “mucous membrance” karena terkena air yang
mengandung iritan;
4) Kanker karena secara terus menerus minum air yang mengandung zat yang
bersifat karsinogenik;
5) Gangguan terhadap gen yang menyebabkan cacat pada bayi yang
dilahirkan karena sang ibu pada waktu hamil terpapar zat yang bersifat
mutagenik dan teratogenik melalui air;
6) Tekanan darah tinggi, bila dalam air minum terkandung banyak garam
(NaCl);
7) Batu ginjal, bila dalam air minum terkandung banyak kapur atau mineral
lain dengan kadar yang melampaui batas;
Menurut Manik (2003), pencemaran air oleh limbah domestik dan industri
atau kegiatan lainnya dapat dicegah atau diminimalkan dengan cara:
a) Mengumpulkan limbah padat domestik sehingga tidak masuk ke perairan
umum;
b) Memanfaatkan limbah padat domestik untuk keperluan lain, seperti
pengomposan untuk limbah bahan organik dan sistem daur ulang bagi
limbah lainnya;
c) Memproses limbah padat domestik dengan sistem landfill sanitary (sistem
penimbunan berlapis);
15
d) Memisahkan limbah padat dari limbah cair sehingga limbah padat tidak
bercampur dengan limbah cair;
e) Mengolah limbah cair industri sehingga dapat digunakan kembali (sistem
daur ulang);
f) Membangun Instalasi Pengolahan Limbah Cair (IPLC) sehingga kualitas
limbah cair yang dibuang ke perairan umum tidak melampaui baku mutu
yang berlaku;
g) Mengurangi atau mengganti bahan kimia (penolong) dalam proses
produksi sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan;
h) Mengumpulkan limbah bahan berbahaya dan beracun dan diolah secara
khusus.
2.5
Banjir
Pengertian banjir menurut Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003), adalah aliran air di
permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung
oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta
menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan
kerugian pada manusia. Yayasan IDEP (2005), menyebutkan bahwa banjir
merupakan ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari
saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir juga merupakan
ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari
segi kemanusiaan maupun ekonomi.
Menurut Naryanto dkk. (2009), penyebab banjir pada dasarnya disebabkan
tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata
16
ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah
hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga,
degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada daerah
aliran sungai, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai
dan sebagainya.
Masalah banjir cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama
disebabkan oleh adanya perubahan watak banjir serta pesatnya pembangunan
berbagai kegiatan manusia di dataran banjir. Perkembangan tersebut sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan di daerah
dataran banjir.
2.6
Konsep Cost of Illness
Cost of Illness (COI) studi merupakan salah satu dari alat yang ada dalam
evaluasi ekonomi. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai dan menghitung
biaya-biaya yang timbul oleh berbagai masalah kesehatan yang ada. Meskipun
studi COI bukanlah sebagai suatu teknik evaluasi ekonomi yang lengkap, akan
tetapi studi ini dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai pemilihan
alokasi sumberdaya yang akan dipergunakan dengan mempertimbangkan estimasi
dan konsekuensi dari permasalahan kesehatan yang timbul dan saling
berhubungan (Yanuar, 2003).
Menurut Dixon et al. (1996), pendekatan Cost of Illness dapat digunakan
untuk mengukur nilai dari kerugian kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini
didasarkan kepada keterkaitan fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat
pencemaran dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Metode Cost of Illness
telah digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi dengan tujuan meningkatkan
17
kesehatan. Metode ini memperkirakan pengeluaran privat dan umum untuk
kesehatan dan nilai kehilangan pendapatan, dalam hubungan morbidity dan
mortality serta tingkat pencemaran.
Pendekatan Cost of Illness umumnya digunakan untuk menilai biaya dari
penyakit yang disebabkan oleh suatu pencemaran. Seperti pada pendekatan
perubahan dalam produktivitas, pendekatan ini didasarkan pada pokok fungsi
kerusakan. Pendekatan ini berhubungan dengan fungsi dose-response, yang
berhubungan dari sakit dengan sehat atau kematian pada tingkat pencemaran.
Pada kasus ini, fungsi kerusakan berhubungan dengan tingkat polusi
(pencemaran) terhadap kesehatan (Dixon et al., 1996).
Menurut Dosi (2000), metode ini dapat diterapkan ketika perubahan
lingkungan berakibat pada kesehatan manusia dan ketika (diasumsikan bahwa)
individu tidak mampu bereaksi, yakni ketika mereka tidak dapat melakukan
tindakan defensif untuk mengurangi risiko kesehatan. Biaya dari peningkatan
pencemaran dapat diestimasi dengan menggunakan informasi tentang: hubungan
(i) antara kualitas lingkungan perubahan dan perubahan tingkat morbiditas, dan
(ii) biaya ekonomi (manfaat) terkait dengan perubahan di tingkat morbiditas.
Yanuar (2003), menyebutkan bahwa terdapat pokok-pokok dari metode
COI, yaitu: pengenalan, identifikasi, listing, pengukuran, dan penilaian terhadap
biaya-biaya yang timbul karena sakit. Langkah pertama dalam studi COI ini
adalah mengidentifikasi seluruh kasus-kasus penyakit yang ada, biasanya dilihat
dari data statistik yang ada atau dengan melakukan ekstrapolasi untuk seluruh
populasi dari hasil survei yang sederhana. Langkah ini sangat terbatas sekali
karena ketersediaan data yang sangat terbatas, kesulitan untuk mendefinisikan
18
kasus/penyakit, pengetahuan yang kurang terhadap riwayat alamiah penyakit, dan
sebagainya. Langkah kedua dalam studi COI ini adalah mengidentifikasi biayabiaya yang ditimbulkan oleh suatu penyakit. Identifikasi biaya ini dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk mendapatkan
sumber-sumber biaya yang akan dihitung.
Menurut Karyana (2003), biaya-biaya yang dihitung dalam COI adalah
sebagai berikut:
a) Direct Cost (Biaya Langsung), adalah biaya-biaya yang ada pada sistem
pelayanan kesehatan, masyarakat/pasien, dan keluarga yang langsung
berhubungan dengan penyakit yang diderita.
b) Indirect Cost (Biaya Tidak Langsung), adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh pasien, masyarakat, maupun keluarga pasien yang tidak
langsung sebagai penyakit yang diderita.
c) Opportunity Cost (Biaya Peluang), adalah biaya-biaya untuk kesempatan
yang hilang selama pasien menderita sakit, ini dilihat dari hari kerja
produktif pasien dan keluarga yang menunggui yang hilang akibat
penyakit yang diderita.
d) Intangible Cost adalah biaya-biaya yang tidak dapat atau sulit
dihitung/dikuantifikasi,
yang
biasanya
terdiri
dari
rasa
sakit,
kesedihan/dukacita, atau penderitaan.
Pendekatan Cost of Illness mengabaikan pengaruh preferensi individu pada
kesehatan dan penyakit, dimana mereka sedia membayar. Pendekatan ini
menganggap perawatan kesehatan individu sebagai keluaran dan tidak menerima
kemungkinan individu melakukan aksi pertahanan (seperti suntikan flu atau
19
imunisasi lainnya, sistem filtrasi udara atau spesial) dan mengadakan biaya untuk
mengurangi resiko kesehatan. Sebagai tambahan, pendekatan ini meniadakan
kehilangan non pasar yang dihubungkan dengan penyakit, seperti rasa sakit dan
penderitaan pada individu dan perhatian lainnya, dan pembatasan pada aktifitas
non kerja.
2.7
Konsep Value of Sick Leave
Berdasarkan form State of New York Departement of Civil Service, Value
of Sick Leave (VSL) merupakan suatu pendekatan untuk mengestimasi nilai dari
cuti sakit bagi pegawai. Bagi pegawai yang hendak pensiun sebaiknya melakukan
estimasi terhadap nilai aktual dari cuti sakit mereka yang mana hal itu bisa
digunakan untuk mengurangi premi asuransi kesehatan ketika masuk pada masa
pensiun. Berikut adalah langkah-langkah menghitung Value of Sick Leave:

Hourly Rate of Pay (HRP)
Langkah 1. Menentukan jumlah jam kerja per hari dengan cara membagi jumlah
jam kerja perminggu dengan 5. Contohnya, 40 jam per minggu dibagi
5 sama dengan 8 jam per hari, walaupun seseorang bekerja dalam
empat hari dengan jam kerja 10 jam per harinya.
Langkah 2. Menentukan HRP dengan cara membagi total gaji dalam satu tahun
dengan jumlah jam kerja dalam satu tahun.

Sick Leave Credit
Langkah 3. Menentukan nilai rupiah cuti sakit dengan cara mengalikan HRP
dengan akumulasi jam cuti sakit.
Langkah 4. Menentukan kredit bulanan dengan cara membagi total rupiah dari
nilai cuti sakit dengan harapan hidup ketika masa pensiun.
20
2.8
Averting Behavior Methods
The Averting Behavior Methods (ABM) menggambarkan pengeluaran yang
dibuat atau dikeluarkan masyarakat dengan tujuan untuk mencegah atau
mengurangi dampak negatif degradasi lingkungan. Metode ini menggunakan
biaya dari pembelian barang (produk) tertentu untuk menilai kualitas lingkungan.
Secara umum, metode ini sangat sesuai diaplikasikan untuk kasus-kasus dimana
pencegahan kerusakan atau pengeluaran untuk barang-barang pengganti benarbenar ada atau benar-benar akan dibuat (Jones, et al. 2000).
Averting Behavior Methods didasarkan pada asumsi bahwa apabila orang
menerima biaya untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh hilangnya jasa
lingkungan atau mengganti jasa ekosistem, maka nilai jasa lingkungan tersebut
setidaknya harus sama dengan harga yang dibayarkan individu untuk penggantian
tersebut (Jones, et al. 2000). Adapun asumsi lain dalam ABM adalah sebagai
berikut :

Individu mengenali dampak negatif kerusakan lingkungan terhadap
kesejahteraan mereka;

Individu mampu menyesuaikan kebiasaan mereka untuk mencegah atau
mengurangi dampak tersebut.
Jones, et al. (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga tipe Averting
Behavior Methods, yaitu:
a.
Damage Cost Avoided atau Preventive Expenditure
Metode Damage Cost Avoided mengestimasi nilai ekonomi berdasarkan
biaya yang dihasilkan akibat hilangnya jasa lingkungan. Pendekatan ini
menggunakan nilai properti yang dilindungi atau biaya dari tindakan yang diambil
21
untuk mencegah kerusakan sebagai sebuah ukuran dari manfaat yang disediakan
ekosistem (lingkungan). Pendekatan ini secara khusus sangat bermanfaat dalam
penilaian ekosistem yang menyediakan suatu bentuk perlindungan alami. Tahapan
pelaksanaan Damage Cost Avoided Method:
1) Mengenali jasa perlindungan yang disediakan dan menaksir area proteksi
yang akan berubah sesuai skenario kehilangan ekosistem tertentu;
mencakup informasi mengenai kemungkinan peristiwa kerusakan yang
terjadi dan tingkat kerusakan dibawah skenario ecosystem loss yang
berbeda.
2) Mengenali infrastruktur, properti dan populasi manusia yang akan terkena
dampak perubahan proteksi menjelaskan batasan dampak yang tidak akan
dianalisa.
3) Mengestimasi skala tambahan kerusakan di bawah skenario kehilangan
ekosistem.
4) Mengestimasi biaya kerusakan tersebut dengan menggunakan informasi
dari nilai aset yang mempunyai resiko.
b.
Replacement Cost
Replacement Cost adalah metode yang mengestimasi nilai jasa lingkungan
sebagai biaya penggantian jasa tersebut dengan barang dan jasa alternatif buatan.
Metode ini menggambarkan jasa lingkungan yang bisa ditiru dengan
menggunakan teknologi. Pada dasarnya, dalam metode ini diasumsikan bahwa
sejumlah uang yang dikeluarkan masyarakat untuk mengganti aset (jasa)
lingkungan secara umum sama dengan manfaat yang hilang dari jasa yang
tersedia untuk masyarakat.
22
c.
Substitute Cost
Substitute Cost adalah metode yang mengestimasi nilai jasa lingkungan
sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mensubsitusi barang dan jasa yang hilang
akibat kerusakan lingkungan, dapat dengan menggunakan teknologi. Barang dan
jasa yang digunakan untuk mensubsitusi sebaiknya harus sama atau lebih baik
dari kondisi yang ada.
Averting Behavior Methods memiliki beberapa kelebihan sebagai metode
dalam penilaian kerusakan (Aravossis dan Karydis, 2004), antara lain:
1) Data yang dibutuhkan relatif sederhana;
2) Estimasi nilai menggunakan data pengeluaran aktual;
Selain
kelebihan
diatas,
Averting
Behavior
Methods
memiliki
permasalahan dan keterbatasan sebagai berikut (Hadley, et al., 2011):
1) Metode ini bukan metode yang sering digunakan;
2) Metode ini hanya dapat memperkirakan use value dari sumberdaya alam
dan lingkungan;
3) Penggunaan metode ini terbatas pada kasus-kasus dimana rumah tangga
menghabiskan uang untuk mengimbangi penurunan kualitas lingkungan;
4) Penggunaan metode ini terbatas pada kasus-kasus dimana mereka yang
terkena dampak langsung, bertindak mengurangi permasalahan kualitas
lingkungan;
5) Sulit mendapatkan data yang sesuai.
2.9 Konsep Time Preference dan Discounting
Berdasarkan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration),
ketika menimbang manfaat dan biaya proyek restorasi pesisir dan program
23
pengelolaan lingkungan, pemilihan tingkat diskonto adalah pertimbangan utama
dan sering menjadi sumber kontroversi. Discount rate atau tingkat diskonto
adalah tingkat di mana masyarakat secara keseluruhan bersedia trade off untuk
manfaat masa depan. Tingkat diskonto diperlukan karena satu dolar yang diterima
saat ini dianggap lebih berharga dari satu diterima di masa depan.
Ada empat alasan utama untuk menerapkan tingkat diskonto yang positif.
Pertama, tingkat positif inflasi mengurangi daya beli dolar dari waktu ke waktu.
Kedua, dolar dapat diinvestasikan hari ini, mendapatkan tingkat pengembalian
yang positif. Ketiga, ada ketidakpastian seputar kemampuan untuk memperoleh
pendapatan masa depan yang dijanjikan. Artinya, ada risiko bahwa manfaat masa
depan (misalnya, hasil tangkapan ikan ditingkatkan) tidak akan pernah terwujud.
Akhirnya, manusia umumnya tidak sabar dan lebih memilih kepuasan instan
untuk menunggu keuntungan jangka panjang. Tingkat diskonto yang digunakan
untuk kompres aliran manfaat masa depan dan biaya menjadi jumlah nilai tunggal
ini. Dengan demikian, present value adalah nilai sekarang dari aliran pembayaran,
penerimaan, atau biaya yang terjadi dari waktu ke waktu, sebagai diskon melalui
penggunaan tingkat suku bunga. Secara matematis, nilai sekarang dari manfaat
masa depan atau biaya dihitung berdasarkan persamaan (1) berikut ini:
(
)
( )
Persamaan (2) merupakan persamaan yang dapat menghitung nilai masa depan
dari manfaat saat ini.
(
)
( )
Keterangan:
FV = Future Value (nilai masa depan)
24
PV = Present Value (nilai sekarang dari manfaat atau biaya)
r
= Tingkat suku bunga atau discount rate
t
= Jumlah periode antara sekarang dan saat manfaat atau biaya yang
diharapkan terjadi.
2.10
Penelitian Terdahulu
Hendrawan (2005), melakukan penelitian dengan judul “Kualitas Air
Sungai dan Situ di DKI Jakarta”. Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi
pencemaran lingkungan sungai dan situ. Hal ini dikaitkan dengan tingkat
kesadaran penduduk dalam memelihara lingkungan yang sehat dan bersih.
Pendugaan pencemaran dapat dilakukan dengan melihat pengaruh polutan
terhadap kehidupan organisme perairan dan lingkungannya. Unit penduga adanya
pencemar tersebut diklasifikasikan dalam parameter fisika, kimia, dan biologi.
Dalam menetapkan kualitas air, parameter-parameter tersebut sebaiknya tidak
berdiri sendiri tapi dapat ditransformasikan dalam suatu nilai tunggal yang
mewakili yang disebut Indeks Kualitas Air. Hasil perhitungan terhadap nilai IKA
menunjukkan bahwa 83% sungai dan 79% situ yang ada di DKI Jakarta ada dalam
katergori buruk.
Saiverda (2008), melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Penduduk
Sekitar dan Unsur Lokasi Terhadap Fungsi Situ Ria Rio Jakarta Timur”.
Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa fungsi Situ Ria Rio
dipengaruhi oleh karakteristik pendidikan penduduknya yang sebagian besar
masih rendah, kepadatan penduduk sekitar yang tinggi, dan tidak tersedianya
sarana dan prasarana sanitasi lingkungan yang sesuai untuk suatu situ. Hal
tersebutlah yang mendorong penurunan fungsi pada Situ Ria Rio.
25
Gita (2010), melakukan penelitian dengan judul “Estimasi Nilai Kerugian
Ekonomi Akibat Pencemaran Lingkungan Terhadap Kesehatan Masyarakat: Studi
Kasus di Kelurahan Kapuk Muara”. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah
sebagai berikut: (1) mengidentifikasi persepsi responden terhadap pencemaran
lingkungan; (2) mengestimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran
lingkungan terhadap kesehatan masyarakat Kelurahan Kapuk Muara; dan (3)
mengidentifikasi bagaimana keinginan dan kemauan responden terhadap keadaan
lingkungan. Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil: (1) persepsi
responden terhadap kualitas udara dan kenyamanan tempat tinggal adalah cukup;
(2) estimasi nilai kerugian ekonomi riil dari dampak pencemaran lingkungan
terhadap
kesehatan
masyarakat
dalam
satu
tahun
adalah
sebesar
Rp
2.225.935.275; (3) masyarakat menginginkan lingkungan yang bebas dari
pencemaran.
Wicaksono (2010), melakukan penelitian dengan judul “Estimasi Kerugian
Masyarakat Akibat Bencana Banjir dan Ketersedian Membayar Masyarakat
Terhadap Program Perbaikan Lingkungan (Studi Kasus di Kampng Pulo
Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur)”. Tujuan dari penelitian tersebut
salah satunya adalah mengidentifikasi besarnya nilai atau biaya yang dikeluarkan
masyarakat sebagai upaya dalam pencegahan bencana banjir. Berdasarkan
penelitian tersebut, diperoleh hasil: nilai total kerugian yang ditanggung oleh
masyarakat Kampung Pulo yaitu sebesar Rp 50.384.428.043,- melalui beberapa
tindakan, yaitu: peninggian rumah, penanaman pohon, pembangunan tanggul,
serta biaya kebersihan.
26
Download