konsep pendidikan moral dan spiritual dalam surat

advertisement
KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL
DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135
SKRIPSI
Disusun Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
ANANTA BAYU KRISNANDAR
NIM: 111-12-052
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Bukanlah Harta Yang Menjadikanmu Dicintai Oleh Allah SWT,
Namun Iman Dan Takwamulah Yang Menyebabkan Engkau DicintaiNya
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT
skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Bapak Sidik Istanto dan Ibu Sri Sudarsi yang senantiasa memberikan nasehat
dan yang telah mendidikku dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN
Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi
yang bermanfaat untuk sesama.
2. Kakak serta adik tercinta Rifki Yudha Rasyid, Anaga Tiger Setyawan, Anjani
Dewi Pangestuti dan Arcsindha Chika Riffiani yang selalu memberikan
semangat untuk terus menjadi pribadi yang tangguh.
3. Keluarga besar Bapak Kusnan (alm) serta Ibu Sarti, Siti Sangadah, Siti Jamiah,
Muhammad Supyan serta Nahnul Karim yang banyak memberikan limpahan
do‟a, motifasinya serta materi.
4. Mas Imam Agus Arafat, Slamet Ikhwan Lukmanto, Wahyu Najib Fikri dan
seluruh teman yang selalu menemani dalam setiap langkah ketika masa kuliah.
5. Sahabat baik Andika Sapriyanto, Riko Ilham Ramadhan, Ali Murtadho,
Muhammad Fathoni serta Oz Dahlan yang senantiasa mendukung serta
mengingatkan ketika salah.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya
Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di
hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Moral dan
Spiritual Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari
bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
4.
Bapak Muh. Hafidz, M.Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
viii
ix
ABSTRAK
Krisnandar, Ananta Bayu. 2017. Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual Dalam
Surat Ali Imran Ayat 133-135.
Kata kunci: Konsep, Pendidikan, Moral, Spiritual
Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai
orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori
yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks
akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat memperkaya khazanah
berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan itu sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditemukan bahwa pendidikan
dicanangkan untuk mengembangkan potensi moralitas dan potensi spiritual dari
tiap-tiap individu. Sementara itu dalam kebijakan nasional, antara lain ditegaskan
bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses
bangsa dan negara. Dalam hal ini nilai-nilai moralitas dan spiritual sangatlah
penting diterapkan kepada setiap individu melalui pendidikan moral dan
pendidikan spiritual.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral
dan spiritual serta mengetahui sekaligus mengamalkan bagaimana nilai-nilai
pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135.
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) Bagaimana nilainilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133135. 2) Bagaimana implementasi nilai pendidikan moral spiritual dalam kajian
Q.S. Ali Imran: 133-135.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library reserch),
yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau
informasi dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan bukubuku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di perpustakaan dan
materi pustaka yang lainnya. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan
adalah analisis deskriptif dan content analysis.
Berdasarkan telaah dari literature, maka hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1. Nilai-nilai pendidikan moral yang terkandung dalam surat Ali Imran
ayat 133-135, antara lain: berinfaq dalam keadaan luang maupun sempit, menahan
amarah, memaafkan kesalahan orang lain, bersegera kepada ampunan Allah,
bersegera kepada surga serta memperbanyak istighfar. 2. Implementasi
pendidikan moral spiritual dalam kehidupan sehari-hari yang terkandung dalam
surat Ali Imran ayat 133-135, antara lain: sedekah, infaq, sabar, memberi maaf,
taubat, bersegera dalam mengerjakan kebaikan serta memperbanyak istighfar.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN BERLOGO ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... v
MOTTO............................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
ABSTRAK ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 7
E. Definisi Operasional ...................................................................... 8
F. Metode Penelitian.......................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 13
BAB II KOMPILASI AYAT
A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135 ...... 15
B. Makna Mufrodat............................................................................. 15
C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 .................................... 25
1. Kandungan Surat Ali Imran Secara Umum .............................25
xi
2. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 .............................26
BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT
A. Surat Ali Imran Ayat 133-135 ....................................................... 32
B. Asbabun Nuzul .............................................................................. 35
C. Munasabah Ayat .......................................................................... 40
1. Munasabah Ayat ................................................................... 41
2. Munasabah Surat .................................................................... 48
BAB IV PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spiritual dalam Surat Ali Imran
Ayat 133-135 ................................................................................. 51
B. Implementasi Nilai-nilai PendidikanMoral Dan Spiritual dalam
Pendidikan Formal ........................................................................ 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 98
B. Saran .............................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 101
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ 104
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan
dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masingmasing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran
pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah,
bahkan dapat memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat
untuk pengembangan itu sendiri. Untuk mengetahui definisi pendidikan
dalam prespektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan
operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Samani, 2011: 26).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditemukan bahwa pendidikan
dicanangkan untuk mengembangkan potensi moralitas dan potensi
spiritual dari tiap-tiap individu. Sementara itu dalam kebijakan nasional,
antara lain ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan
kebutuhan asasi dalam proses bangsa dan negara. Dalam hal ini nilai-nilai
moralitas dan spiritual sangatlah penting diterapkan kepada setiap individu
melalui pendidikan moral dan pendidikan spiritual.
1
Pada taraf permulaan ini, perlu adanya penunjukan bahwasanya
moral benar-benar ada, dan orang tidak dapat memungkirinya. Adanya
keyakinan tentang moral dan keharusannya itu dapat dilihat dalam
kehidupan sehari-hari. Kalau diteliti secara seksama lagi, nampak bahwa
moral berarti acuan bahwa hidup itu mempunyai arah tertentu meskipun
arah tersebut pada saat ini belum dapat dipahami atau dilihat sepenuhnya
(Poespoprodjo, 1988: xvii).
Moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi.
Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik
ataupun apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir
sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Penalaranpenalaran inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap
kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan
salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan perilaku
seseorang atau bahkan mendengar pernyataan bahwa sesuatu itu salah
(Budiningsih, 2013: 25).
Masalah moral adalah masalah yang pertama-tama muncul pada
diri manusia, secara ideal maupun real dan masalah moral adalah masalah
normatif. Dengan perubahan zaman yang semakin maju, secara otomatis
juga telah merombak tatanan kehidupan dalam masyarakat. Dapat diambil
contoh bahwa pada zaman dahulu dalam proses pembelajaran antara murid
dan guru saling menghormati dan menghargai. Berbeda dengan kehidupan
2
remaja pada zaman sekarang yang modern dan pluralistik telah
memberikan warna yang bervariasi dalam berbagai segi.
Pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living
tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut di
antaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak
dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial
dan pelatihan intelektual. Masing-masing dari sekian banyak aspek
tersebut tidak berdiri dengan sendirinya namun saling berkaitan. Sistem
etika ataupun moral, sebenarnya lebih luas cakupannya daripada hanya
terfokus pada konsep-konsep keagamaan. Oleh karena itu, nilai-nilai moral
secara eksplisit atau implisit erat berkaitan dengan sosiologi (Abdullah,
1995: 143).
Menurut Poespoprodjo, (1988: 102), mengatakan bahwa moralitas
adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas
mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Moralitas
dapat bersifat objektif ataupun subjektif. Moralitas objektif memandang
perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas
lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela dari pengaruh-pengaruh pihak
pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat
mempengaruhi atau menguasai penguasaan diri dan bertanya apakah orang
yang
sepenuhnya
menguasai
dirinya
diizinkan
dengan
sukarela
menghendaki perbuatan tersebut. Sedangkan moralitas subjektif adalah
3
moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi
pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Hal tersebut juga
dipengaruhi, dikondisikan
oleh latar belakangnya, pendidikannya,
kematangan emosionalnya dan sifat-sifat pribadi lainnya.
Selain dua sifat moralitas di atas, pembagian moral masih sangat
beragam, salah satunya adalah moralitas intrinsik dan ektrinsik. Moralitas
intrinsik memandang perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap
bentuk hukum positif.
Moralitas ektrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan
sebagai sesuatu yang diperintahkan ataupun dilarang oleh seseorang yang
berkuasa, atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari
Tuhan (Poespoprodjo, 1988: 103).
Dalam lingkungan pendidikan saat ini, pencanangan akan
pendidikan moral dan spiritual sangat ditekankan. Alasan penekanan
pendidikan moral dan spiritual tersebut adalah mengingat banyak sekali
pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi. Salah satu penyebab
pelanggaran-pelanggaran tersebut ialah minimnya nilai spiritual pada diri
seseorang.
Pendidikan moral adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh yang
dilakukan oleh seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para
siswanya. Pendidikan moral telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan
yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional dan
pengembangan etika siswa. Hal tersebut merupakan upaya proaktif yang
4
dilakukan baik sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa
mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja,
seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, ketabahan, tanggung jawab serta
menghargai diri sendiri dan orang lain (Samani, 2011: 43).
Sedangkan pendidikan spiritual, menurut Gunarsa, (1981: 69),
adalah pembersihan jiwa atau perjalanan menuju Allah, atau istilah-istilah
lain atau yang ditemukan dalam terminologi sufisme. Adapun dalam bukubuku pendidikan spiritual, secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu
wajah yang sama yakni perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa
yang bersih, dari akal yang belum tunduk pada syariat menuju akal yang
sesuai dengan syariat, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati
yang tenang dan sehat. Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna
menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah
baik perkataan, tingkah laku dan keadaannya.
Pendidikan
spiritual
merupakan
bagian
pendidikan
yang
memberikan pengaruh kuat pada kepribadian seseorang, menjadikan
cenderung kepada kebaikan, berhias dengan sifat-sifat mulia, berpegang
teguh dalam pribadi dan tingkah laku kepada akhlak mulia dengan teguh
dan konsisten, senang membantu yang lain dan cinta akan tolong
menolong serta senantiasa memohon dan berlindung kepada Allah
(Hurlock, 1993:43).
Dalam kerangka sudut pandang seperti itu, akan sangat menarik
untuk mengkaji hubungan pendidikan moral dan spiritual dengan ajaran
5
Islam. Dalam ajaran Islam itu sendiri sangat banyak diterangkan mengenai
anjuran untuk memiliki moral yang baik, serta mampu memahami nilainilai spiritual keagamaan. Anjuran untuk memiliki moral serta spiritual
yang baik salah satunya terdapat dalam Q.S Ali Imran ayat 133-135 yang
berbunyi:










  





 








  



  

  
   
   
  
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan
hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Dari ayat di atas, sangat banyak makna tersirat yang menyinggung
mengenai permasalahan moral dan spiritual. Kajian dari ayat tersebut
6
adalah mengenai konsep keimanan atau aqidah dan juga mengenai konsep
perbuatan atau akhlak.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong untuk
mengkaji lebih dalam tentang “Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual
Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung
dalam Q.S. Ali Imran: 133-135?
2. Bagaimana implementasi
nilai pendidikan moral spiritual dalam
pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135?
C. Tujuan Penelitian
Adapun dalam tujuan ini yang ingin dicapai dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang
terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135.
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan moral spiritual
dalam pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan atau manfaat penelitian yang ingin dicapai oleh
penulis dalam penulisan ini ialah:
7
1. Untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
2. Agar dapat memberikan gambaran bagi pembaca akan pentingnya nilai
moral spiritual yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
3. Memberikan pengetahuan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca untuk selalu menjaga akhlak mulia dan melaksanakannya.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kekeliruan pembaca dalam memahami istilah
dalam judul penelitian ini, maka peneliti menjelaskan definisi-definisi
operasionalnya. Beberapa istilah yang dianggap perlu untuk dijelaskan
antara lain sebagai berikut:
1. Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:198) konsep berarti
rancangan atau buram surat dan lannya; ide atau pemikiran yang
diabstrakkan dalam pemikiran konkret. Bahri, (2008: 30) mengemukakan
dalam bukunya Pemberdayaan Masyarakat: “Konsep dan Aplikasi” bahwa
konsep adalah satuan arti yang sejumlah objek yang mempunyai ciri yang
sama. Orang yang mempunyai konsep mampu mengadakan abstraksi
terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan
dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang
dalam bentuk representasi mental tak berperaga.
8
Konsep juga berarti ide abstrak yang dapat digunakan untuk
mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya
dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Daroeso, 1986:5).
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989:34) konsep ialah abstraksi
mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah
karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.
2. Pendidikan
Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:211)
berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut UU No. 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (Samani, 2011:26).
Memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran: didikan: hasil didikan; bingung, bodoh
(Zubaidi, 2002:12). Pendidikan adalah menjadikan pengajaran di sekolah
makin bersifat kegiatan belajar, dan pendidikan di luar sekolah terprogram
dan produktif, untuk menuju tercapainya seutuhnya dengan segala
kekayaan kepribadiannya, cara mengaturnya yang kompleks dan dalam
segala
kewajibannya
sebagai
perorangan,
9
keluarga
dan
anggota
masyarakat, sebagai penduduk dan penghasil atau penemu teknik-teknik
dan pemimpin yang kreatif, serta masyarakat yang terus belajar, yaitu
masyarakat yang anggotanya tidak lagi asyik mencari pengetahuan sekali
saja untuk lama-lamanya sepanjang hidupnya, tetapi harus belajar
membangun suatu badan pengetahuan untuk seumur hidup yang senantiasa
berkembang yaitu “belajar untuk hidup” (Hartono, 2002:7).
3. Moral
Kata moral berasal dari kata “mores” (Bahasa Latin) yang berarti
tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2007:205). Moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan
larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar (Budiningsih,
2013:24).
Moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang
timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam
pergaulan” (Daroeso, 1986:22).
4. Spiritual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:226) spiritual
berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin).
Spiritualitas merupakan dimensi yang berbeda dari perbedaan individu.
Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas membuka pintu untuk
memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan tujuan hidup
manusia serta cara untuk mengejar dan usaha untuk mencapai kepuasan
diri (Piedmont, 2001: 9).
10
Spiritual juga memiliki pengertianpencarian arti dalam kehidupan
dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem keoercayaanseseorang yang
mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi (Hanafi, 2005: 4)
F. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah
jenis penelitian kepustakaan (library reserch), yaitu suatu bentuk
penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau informasi
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan bukubuku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di
perpustakaan dan materi pustaka yang lainnya.
Sebagai bahan parameter analisis perbandingan yang dimaksud
dengan library research adalah penelaahan kepustakaan yakni
penelitian
yang
berusaha
mencari
teori-teori,
konsep-konsep
generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang
akan dilakukan.
Dari sisi lain, penelitian kepustakaan adalah studi yang
sumbernya digali dari buku-buku, disertai dengan indek penerbitan
berkala (majalah atau surat kabar), sistem penyimpanan dan pencarian
informasi (Furchan, 1982: 98).
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
11
Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan
dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dari penelitian literatur,
maka datanya bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi
sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku tafsir AlQur‟an Surat Ali Imran ayat 133-135.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah
buku-buku yang berisi tentang kajian moral dan spiritual yang
membantu dalam pembahasan skripsi ini yang ada di dalamnya.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data dari pengumpulan data yang telah
dilakukan penulis menggunakan analisis data sebagai berikut:
a. Deskriptif
Sebagai pembahasan yang bersifat literatur, maka segala sesuatu
yang berhubungan dengan topik pembahasan hasil penelitian secara
apa adanya sejauh yang penulis peroleh. Adapun teknik deskriptif
yang penulis pergunakan adalah analisis kualitatif, dengan analisis
ini akan diperoleh gambaran sistematika mengenai isi buku untuk
diteliti isinya.
b. Content Analysis
Metode ini digunakan untuk memperoleh pemahaman isi dan
makna dari berbagai data dalam penelitian, yang analisis ini
menghendaki objektifitas, pendekatan sistematik dan generalisasi,
12
baik yang mengarah pada isi maupun yang mengarah pada makna,
terutama dalam perbuatan dan penarikan kesimpulan.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika yang dimaksud oleh penulis di sini adalah gambaran
singkat tentang subtansi pembahasan secara garis besar. Agar dapat
memberi gambaran yang lebih jelas tentang keseluruhan isi dari skripsi,
maka penulis membagi sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjabarkan
mengenai pokok permasalahan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi
Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.
BAB II : Kompilasi ayat-ayat. Dalam bab ini penulis menguraikan
kajian umum tentang konsep moral spiritual, dilanjutkan penghimpunan
segala ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep moral spiritual yang
terkandung dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135
BAB III : Asbabun Nuzul dan Munasabah. Dalam bab ini
menguraikan tentang sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab
munculnya hadits yang menerangkan tentang pendidikan moral spiritual,
selain itu di dalam bab ini juga menerangkan ayat-ayat ataupun haditshadits yang berhubungan dengan ayat atau hadits yang berkaitan dengan
pendidikan moral spiritual.
13
BAB IV : Pembahasan. Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang
nilai pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat
Ali Imran ayat 133-135 yang meliputi: Pengertian Moral dan Spiritual,
Nilai-nilai Moral dan Spiritual yang Terkandung Dalam Al-Qur‟an Surat
Ali Imran Ayat 133-135 serta Pokok-pokok Nilai Moral Spiritual Dalam
Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135.
BAB V : Merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah
dikemukakan dan merupakan jawaban dari permasalahan tulisan ini.
14
BAB II
KOMPILASI AYAT
A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135




















  
   











  
 
 
   
  
(133) Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertakwa.(134) (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan. (135) Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
B. Makna Mufradat
1. Mufradat ayat 133
15
‫از ُػْا‬
ِ ‫َس‬
ً‫ع – سُسْ َػح‬
ُ ‫َس ُس َع – يَ ْس ُس‬
berasal dari kata
yang berarti
bersegera, cepat, lekas (Yunus, 2007:168). Dalam ayat ini menegaskan
bahwa Allah menyeru kepada umat manusia untuk menyegerakan diri
kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya.
ٍ‫ َه ْغ ِف َس‬berasal dari kata ‫ َغفَ َس – يَ ْغ ِف ُس – َغفُ ًسا‬yang artinya menutupi
sesuatu (Yunus, 2007:298). Ampunan berarti pembebasan dari hukuman
atau tuntutan. Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya kita diperintahkan
untuk menyegerakan diri dalam meraih ampunan Allah. Al-Razi
(2000:199) berpendapat, tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah
selain melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.
‫َزتِّ ُك ْن‬
berasal dari kata
‫َزبَّ – يَسُبُّ – َزتًّا‬
yang memiliki arti
mengasuh, memimpin (Munawwir, 1997:462). Allah adalah Ar-Rabb,
pemelihara seluruh makhlukNya. Bentuk tarbiyah Allah kepada
makhlukNya ialah, Allah membimbing para manusia untuk beriman,
Allah memberi taufik mereka untuk mencintai iman, lalu Allah
sempurnakan iman mereka serta Allah hilangkan segala penghalang
antara diri mereka dan imannya (As-Sa‟di, 2006:39).
‫ َجٌَّ ٍح‬berasal
dari kata
‫َج َّي – يَج ُُّي – َجًٌّا‬
yang artinya menutup
(Yunus, 2007:92). Alasan kenapa disebut demikian ialah karena pohonpohon yang ada di dalamnya sangat lebat sehingga dapat digunakan untuk
berteduh di bawahnya. “Jannah” dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai taman yang di dalamnya terdapat pohon-pohon (Makhluf,
16
1998:74). Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan kita untuk meraih
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang bertakwa.
‫ضَِا‬
ُ ْ‫ َػس‬berasal dari kata ‫اضى‬
ِ ‫ أَزْ ضٌ – أَ َزض ُْْ َى – أَ َز‬yang artinya
tanah, bumi (Yunus, 2007:38). Bumi adalah sesuatu yang dianggap ada
oleh manusia di dunia ini. Dalam agama Islam, proses penciptaan bumi
ini dapat dilihat dalam surat Al-Anbiya ayat 30 yang artinya, “Dan apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
keduanya, dan dari air kami ciptakan sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?” Dari ayat tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwasanya Allah menciptakan bumi dan langit
dalam satu kesatuan.
ُ َّ ‫ال َّس َوا‬
‫اخ‬
yang berasal dari kata
‫ َس َو َْاخ‬- ‫ال َّس َواء‬
yang artinya
langit (Yunus, 2007:180). Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada umat
manusia bahwa ampunan Allah itu seluas langit dan bumi. Serta ampunan
tersebut diberikan kepada setiap orang yang bertakwa.
ْ ‫أُ ِػ َّد‬
‫خ‬
yang berasal dari kata
‫َػ َّد – يَ ُؼ ُّد – َػ ًّدا‬
yang artinya
menyediakan (Yunus, 2007:256). Dalam ayat ini Allah menyediakan
kepada umat Allah yang bertakwa berupa ampunan dan surga yang sangat
luas.
17
‫ِل ْل ُوتَّ ِمي َْي‬
dari kata
kata tersebut berarti orang yang bertakwa. Takwa berasal
َّ َّ – ً‫ق – يَمِى – ِّلَايَحً – َّلُيًا – َّالِيَح‬
‫ق‬
َ َّ
yang berarti takut,
menjaga, melindungi dan memelihara (Yunus, 2007:504). Sesuai dengan
makna estimologis tersebut, maka takwa dapat diartikan sebagai sikap
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama
Islam secara utuh dan konsisten. Dalam ayat ini orang-orang yang
bertakwa telah dijanjikan oleh Allah bahwa mereka akan mendapatkan
balasan yaitu surga.
2. Mufradat ayat 134
ُ َ‫ك – يَ ٌْف‬
ُ ُ‫ك – يَ ٌْف‬
‫ يُ ٌْفِمُ ْْ َى‬berasal dari kata ‫ك – ًَفَمًا‬
َ ِ‫ك – ًَفَالًا – ًَف‬
َ َ‫ًَف‬
yang berarti berkurang dan juga dapat berarti hilang atau pergi (Yunus,
2007:463). “An-nafaqah” dalam bahasa Indonesia disebut dengan nafkah.
Nafkah adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seseorang
untuk keperluan hidup orang lain. Dalam ayat ini dijelaskan salah satu
ciri-ciri orang bertakwa adalah orang yang menafkahkan hartanya baik
diwaktu senang maupun diwaktu susah. Karakter pertama orang-orang
yang bertakwa adalah gemar menginfakkan hartanya. Dalam ayat
tersebut, al-maf‟ul bih (obyek) pada kata “yunfiquuna” tidak disebutkan.
Tidak adanya al-maf‟ul bih itu menunjukkan bahwa infak yang mereka
lakukan itu mencakup semua infak yang terpuji (Asy-Syiddiqy,
2000:136).
18
‫ أَل َّسسَّآ ِء‬berasal dari kata ً‫ َه َس َّسج‬- ً‫ َس َّس – يَسُسُّ – ُسس ُّْز‬yang berarti
mudah, senang, gembira (Yunus, 2007:169). Maksud dari kata mudah
tersebut ialah tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam
mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak ada batasan
dalam berinfak. Namun tentu saja infak yang dikeluarkan juga mengikuti
kondisi, besar ketika kaya, kecil ketika kekurangan. Akan tetapi besar
kecilnya nilai infak tidak berdasarkan banyak atau sedikit jumlah yang
dikeluarkan melainkan dari sisi keikhlasannya.
‫ضسَّآ ِء‬
َّ ‫ َّال‬berasal dari kata ‫ضس ََّز‬
ُ – ‫ض ًّسا‬
َ – ‫ض ًّسا‬
َ – ُّ‫ض َّس – يّضُس‬
َ
yang berarti melarat (Yunus, 2007:226). Kata ini berarti “al-„usr” yang
berarti sulit. Maksud dari kata sulit ialah memerlukan banyak tenaga
maupun pikiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini diterangkan
bahwasanya berinfak tidak hanya bisa dilakukan ketika dalam keadaan
lapang saja, akan tetapi juga bisa ketika dalam keadaan sempit. Alasannya
ialah tidak ada batasan jumlah dalam berinfak. Yang menjadi kadar besar
kecilnya nilai infak adalah dari keikhlasannya.
‫ْال َك ِظ ِوي َْي‬
berasal dari kata
‫َكظَ َن – يَ ُك ِظ ُن – َكظَ ًوا – ُكظُْ ًها‬
ْ
berarti menahan (Yunus, 2007:377). Kalimat َ‫ال َغيْع‬
yang
‫ َّ ْال َك ِظ ِوي َْي‬dalam ayat
di atas bersifat ma‟tuf atau bersambung dengan kalimat sebelumnya.
Adanya perbedaan shigah dari yang sebelumnya berbentuk al-fi‟l menjadi
al-fa‟il mengandung makna li al-istimraar yang berarti keadaan yang
berlangsung terus-menerus. Artinya, perilakunya yang dapat menahan
19
sesuatu itu tidak dilakukan hanya sekali, melainkan telah menjadi bagian
dari karakter yang melekat pada diri mereka.
َ‫ْال َغ ْيع‬
berasal dari kata
‫َضثًا‬
َ ‫ضةُ – غ‬
َ ‫ة – يَ ْغ‬
َ ‫َض‬
ِ ‫غ‬
marah (Yunus,2007:297). Secara istilah
yang berarti
‫ة‬
َ ‫َض‬
ِ ‫ غ‬adalah perubahan dalam
diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi
menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata
َ‫ْال َغ ْيع‬
adalah marah yang
paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah kemarahan yang
teramat sangat. Dalam ayat ini kriteria kedua dari predikat orang yang
bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarahnya.
‫اَ ْل َؼا ِفي َْي‬
berasal dari kata
ُّ ‫ف – يَ ِؼ‬
َّ ‫ َػ‬yang
‫ف – َػفًّا – ِػفَّحً – َػفَافًا‬
berarti menghapus atau menghilangkan (Yunus, 2007:272). Dalam ayat
ini karakter ketiga dari predikat orang bertakwa adalah memberi maaf atas
kesalahan orang lain. Menurut Asy-Syiddiqy (2000:97), memaafkan
orang yang berbuat salah atas dirinya lebih utama dari pada membalas
kesalahannya, walaupun sebenarnya berhak untuk menghukum atau
membalasnya. Memaafkan orang yang bersalah akan membukakan
ampunan Allah. Ayat ini bukan berarti melarang terhadap orang yang
berbuat dzalim, tetapi apabila memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka
nilainya jauh lebih baik karena termasuk kedalam kategori sabar.
‫اس‬
ِ ٌَّ‫ ال‬berasal dari kata ُ‫ ًَاسٌ – الٌَاس‬yang berarti manusia (Yunus,
2007:436). Di dalam al-Qur‟an manusia disebut dalam berbagai macam,
antara lain al-insaan yang berarti suka, senang, al-abd berarti mannusia
20
sebagai hamba Allah, dan bani adam yang berarti keturunan Nabi Adam
(Makhluf, 1998:93). Dalam al-Qur‟an telah disebutkan bahwa manusia
adalah makhluk yang paling mulia dam memiliki berbagai macam potensi
serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di
dunia dan akhirat (Rahmat, 1996:64). Dibandingkan dengan makhluk
lainnya,
manusia
mempunyai
kelebihan.
Kelebihan itulah
yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Kelebihan manusia adalah
memiliki akal dan hati sehingga manusia dapat memahami ilmu yang
diturunkan Allah, berupa al-Qur‟an. Dengan ilmu manusia mampu
berbudaya. Allah menciptakan manusia sebaik-baiknya. Oleh karena itu
ilmu yang dimiliki manusia dilebihkan dibanding dengan makhluk lain.
ُّ‫ي ُِحة‬
berasal dari kata
‫َحةَّ – يَ ِحةُّ – ُحثًّا‬
yang berarti mengasihi,
mencintai (Yunus, 2007:95). Dalam KBBI, (2007:16) kata cinta diartikan
sebagai perasaan kasih dan sayang kepada sesuatu atau orang lain. Arti
cinta dalam Islam sendiri ialah sesuatu yang suci. Dari ayat di atas
dijelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maksud kebajikan di sini ialah orang-orang yang menafkahkan hartanya
disetiap waktu, orang-orang yang mampu menahan amarahnya serta orang
yang mau memaafkan kesalahan orang lain.
‫ ْال ُوحْ ِسٌِي َْي‬adalah kata jamak dari kata ‫ ُهحْ ِسي َْي‬yang berasal dari kata
‫َحس َُي – يَحْ س ُُي – ُح ْسًٌا‬
yang memiliki arti berbuat baik atau kebaikan
(Yunus, 2007:103). Dalam terminologi agama Islam, ihsan berarti
21
menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa
sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Ihsan juga mempunyai arti
melakukan ibadah dengan khusyuk, ikhlas dan yakin bahwa Allah
senantiasa mengawasi apa yang dilakukan (Ash-Shiddieqy, 2000:201).
3. Mufradat ayat 135
Kata
ً‫اح َشح‬
َ ‫ فَح‬yang berarti
ِ َ‫ ف‬berasal dari kata ‫ُش – يَ ْفحُشُ – فُحْ ًشا‬
keji (Yunus, 2007:308). Menurut bahasa artinya perbuatan atau kejahatan
yang menimbulkan aib besar. Sedangkan menurut istilah, keji adalah
perbuatan yang melanggar norma susila. Dalam ayat ini,
dijelaskan
bahwa kriteria orang bertakwa selanjutnya adalah orang yang senantiasa
mengingat Allah ketika ingin berbuat maksiat dan menganiaya diri
sendiri.
Kata
‫ظَلَ ُوْآ‬
ْ ‫َه‬
berasal dari kata ً ‫ظلِ َوح‬
ْ َ‫ظَلَ َن – ي‬
– ‫ظ ِل ُن – ظُلَ ًوا – ظَلْ ًوا‬
yang berarti aniaya, menganiaya (Yunus, 2007:248). Kata
‫ظَلَ ُوْآ‬
merupakan bentuk kata benda pelaku (fa‟il) yang terbentuk dari kata
‫ل–م‬
–‫ظ‬
yang berarti tidak bercahaya atau gelap. Dholim menurut istilah
adalah meletakkan sesuatu atau perkara bukan pada tempatnya. Dholim
memiliki persamaan kata dengan baghy yang berarti melanggar hak orang
lain, akan tetapi makna dzalim mencakup lebih luas artian. Asal makna
kata dholim adalah aniaya dan melampaui batas yang telah ditentukan.
Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk selalu mengingat
22
Allah dan memohon ampunan-Nya apabila hendak berbuat dholim atau
menganiaya diri sendiri maupun orang lain.
ْ‫ َذ َكسُّا‬berasal dari kata ‫ ِذ ْكسً ا‬- ‫ َذ َك َس – يَ ْر ُك ُس‬yang artinya mengingat,
memperhatikan, mengenang (Yunus, 2007:134). Di antara pengertian
dzikir terdapat pengertian interpretasi yaitu menyebut, menuturkan,
mengingat dan menjaga. Dzikir dalam artian istilah adalah ucapan yang
dilakukan dengan lidah, atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan
atau ingatan yang mensucikan Allah dengan memuji dan menyanjung atas
sifat Allah yang sempurna dan menunjukkan kebesaran. Dalam ayat ini
Allah menyeru kepada umat manusia untuk selalu mengingat Allah
apabila hendak berbuat keji serta ingin menganiaya diri sendiri maupun
orang lain, sehingga umat tersebut dapat meredam amarah tersebut.
‫فَا ْستَ ْغفَس ُّْا‬
berasal dari kata
‫َغفَ َس – يَ ْغفِ ُس – َغفُسً ا‬
yang berarti
menutup (Yunus, 2007:298). Istighfar adalah bentuk masdar dari
“istighfaro – yastaghfiru”. Al-ghofru memiliki arti as-satru yang berarti
menutup. Sedangkan menurut terminologinya, istighfar memiliki arti
permohonan ampun dari manusia selaku hamba yang memiliki sifat
ketergantungan kepada Allah. Permohonan ampun ini ditujukan hanya
kepada Allah dan tidak kepada yang lainnya serta bersifat langsung tanpa
melalui perantara, sehingga merupakan permohonan ampun yang amat
murni. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia, selain untuk
senantiasa mengingat Allah, juga senantiasa memohon ampun kepada
23
Allah atas dosa-dosa yang telak dilakukannya, sehingga akan menjadi
pribadi yang lebih baik.
‫ُص ُّس‬
َ – ُّ‫ص َّس – يَصُس‬
َ
ِ ‫ ي‬berasal dari kata ‫صسَّا‬
yang artinya mengikat
(Yunus, 2007:214). Maksud kata mengikat di sini sama halnya dengan
tidak meneruskan sesuatu. Dalam ayat di atas diterangkan bahwasanya
kategori orang bertakwa, salah satunya ialah mereka yang tidak
meneruskan perbuatan-perbuatan keji.
‫يَ ْؼلَ ُو ْْ َى‬
berasal dari kata
‫ َػلِ َن ـ يَ ْؼلَ ُن ـ ِػلْ ًوا‬yang berarti mengetahui
sesuatu (Yunus, 2010:277). Dedeng Rosidin mengutip dari Al-Maraghi
menjelaskan bahwa kata „allama dengan alhamahu (memberi ilham),
maksudnya Allah memberi ilham kepada Nabi Adam untuk mengetahui
jenis-jenis yang telah diciptakan beserta zat, sifat dan nama-namanya.
Sedangkan Ash-Shawi, menjelaskan dengan makna alqa (memberikan
atau menuangkan), maksudnya Allah memberikan atau menuangkan ilmu
ke dalam hati Nabi Adam. Secara konteks, „allama menunjukkan adanya
tadrij (tahapan), bahwa penyampaian itu dilakukan melalui tahap demi
tahap. Akan tetapi, pada ayat ini menunjukkan secara sekaligus. Secara
struktur, „allama mempunyai dua objek, baik disebut ataupun tidak. Jika
dilihat dari jabatan kata dalam kalimat, tersusun dari fi‟il (pekerjaan), hal
ini berarti menunjukkan pada pekerjaan mengajar, atau proses belajar
mengajar yang didalamnya terdapat teknik dan metode mengajar. Fa‟il
(yang melakukan pekerjaan), di sini berarti menunjukkan pengajar (guru)
yang melakukan pekerjaan mengajar. Maf‟ul bih pertama (objek pertama)
24
menunjukkan murid yang menerima pelajaran, dan maf‟ul bih kedua
(objek kedua) menunjukkan materi yang diajarkan. Jadi, dalam ta‟lim
tersirat beberapa unsur penting, yaitu guru, murid, proses pembelajaran
dan materi pelajaran (Imani, 2008:301).
C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135
1. Kandungan Surat Ali Imran Secara Umum
Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam alQur‟an. Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki
nama lain Az-Zahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena
kedua surah tersebut menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an
disembunyikan oleh para ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran
Nabi Isa dan kedatangan Nabi Muhammad. Alasan lain mengapa
disebut Az-Zahrawan ialah karena isi kandungan dua surah tersebut
mencakup keseluruhan ajaran Islam, di antaranya akidah, akhlak,
hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya (Al-Jumanatul,
2007:34).
Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup
kisah keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran
Nabi Isa, persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan
mukjizatnya, serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (AlJumanatul, 2007:36).
Tujuan dan tema surat Ali Imran ini adalah:
25
a.
Surat ini membahas tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT,
Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya, janji dan ancamaa Allah serta
balasan kepada orang-orang yang berbuat dzolim.
b.
Menceritakan tentang keluarga Imran, keutamaan-keutamaan apa
saja yang dimiliki keluarga ini serta kisah Isa Al-Masih putra
Maryam.
c.
Bantahan Allah tentang pendapat-pendapat ahli kitab yang keliru,
menjelaskan tentang kelebihan umat isllam dibandingkan dengan
umat lain serta keharusan menjaga kesatuan ayat.
d.
Mengisahkan tentang peristiwa perang badar dan uhud,
penjelasan tentang sabar dan tawakal sebagai pangkal dari
kemenangan, perintah untuk bertakwa dan larangan melakukan riba
serta penjelasan tentang berbagai sifat-sifat orang munafik (AsySyaikh, 2003:24).
2. Kandungan Surat Ali Imran ayat 133-135
Surat Ali Imran ayat 133, menjelaskan tentang seruan Allah
kepada mukmin agar berpacu meraih ampunan dari segala dosa dan
menempuh jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan beramal
soleh selama di dunia. Pada ayat tersebut juga diterangkan mengenai
gambaran surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang hanya
diberikan kepada orang-orang bertakwa.
Menurut Ar-Razi, (2000:203) berpendapat bahwa tidak ada jalan
untuk meraih maghfirah selain melaksanakan perintah dan menjauhi
26
larangan Allah. Para ahli ushul fiqih menyimpulkan bahwa bersegera
meraih ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah paksa
selain wajib segera dipenuhi. Dengan demikian jalan menuju
keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan menaati
segala yang diperintahkan.
Jadi, dalam ayat ini mengandung pemahaman bahwa Allah
menyeru kepada umat mukmin untuk segera memohon ampunan
kepada Allah atas segala dosa yang telah ia perbuat. Adapun cara
meraih ampunan tersebut dengan cara melaksanakan segala perintah
dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Hal demikian itulah salah satu
jalan menuju keselamatan abadi yaitu surga.
Surat Ali Imran ayat 134, menjelaskan tentang karakter orangorang bertakwa yang akan mendapat balasan surga. Ayat ini
berhubungan dengan ayat sebelumnya yang akan menjelaskan siapa
saja orang bertakwa yang akan masuk surga.
Pada awal ayat ini bisa berfungsi sebagai penjelas dari orangorang bertakwa dan menerangkan sifat orang bertakwa yang mendapat
jaminan surga. Orang yang bertakwa memiliki sifat baik, bukan hanya
terhadap Allah, tetapi juga dalam kehidupan sosial, tidak hanya
menggunakan badan, tetapi juga menggunakan harta. Dalam ayat ini
diterangkan tentang karakteristik orang bertakwa yang pertama ialah
mereka yang berinfak dengan harta karena Allah, baik diwaktu sempit
maupun luas. Nilai infak tidak dipandang dari besar kecilnya jumlah
27
yang diberikan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh keikhlasannya
(Asy-Syiddiqy, 2000:93).
Kemudian, karakteristik orang bertakwa yang kedua adalah
mereka yang mampu menahan amarahnya ketika melihat orang yang
tidak ia sukai, meskipun sebenarnya mereka memiliki kekuasaan untuk
meluapkan amarahnya tersebut. Menahan marah memang terlihat
mudah, akan tetapi dalam prakteknya sangat susah untuk diterapkan.
Orang yang mampu menahan amarahnya akan memiliki derajat yang
lebih tinggi dibanding dengan mereka yang melontarkan amarahnya
karena mereka memiliki kekuasaan. Menahan amarah itu sendiri
mengarah pada pengendalian diri terhadap lisan, sikap dan tindakan.
Maka dari itu Allah menjanjikan balasan surga kepada orang yang
mampu menahan amarahnya.
Karakteristik orang bertakwa ketiga adalah orang-orang yang
dengan ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. Orang yang dapat
menahan amarahnya belum tentu terbebas dari rasa sakit hati bahkan
rasa dendam. Mukmin yang baik bukan hanya mereka yang dapat
menahan amaranya, akan tetapi juga mereka yang mampu memaafkan
kesalahan orang lain. Memaafkan orang lain terutama pada orang yang
berbuat salah dinilai lebih mulia daripada menjatuhkan hukuman
ataupun membalas kesalahannya. Hal ini bukan berarti melarang untuk
melawan pada orang yang berbuat dzalim, akan tetapi kalau
28
memaafkan bisa lebih bermanfaat maka nilainya lebih baik karena
termasuk dalam kategori sabar (Shihab, 2002:265).
Jadi,
dalam
ayat
ini
mengandung
pemahaman
tentang
karakteristik orang-orang yang mendapat jaminan surga yang telah
dijanjikan Allah kepada orang yang bertakwa. Kategori orang
bertakwa tersebut adalah, orang yang berinfaq diwaktu luang dan
sempit, orang yang mampu menahan amarahnya padahal sebenarnya ia
memiliki kuasa untuk melontarkannya, serta orang yang mampu
memaafkan kesalahan orang lain dengan ikhlas. Itulah ketiga
karakteristik orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena Allah
mencintai kebijakan.
Surat Ali Imran ayat 135, masih menjelaskan tentang kriteria
orang yang mendapat jaminan masuk surga oleh Allah. Sifat serta
sikap orang yang bertakwa selanjutnya dijelaskan Allah dalam ayat ini.
Karakteristik pertama orang yang bertakwa dalam ayat ini adalah
mereka yang selalu mengingat Allah ketika hendak atau sedang
melakukan perbuatan keji. Menurut Shihab, (2002:268) mengatakan
bahwa melakukan perbuatan keji mengandung arti, melakukan dosa
besar seperti zina, perbuatan dosa yang berdampak negatit terhadap
orang lain, perbuatan dosa yang berdampak negatif pada diri sendiri
serta perbuatan maksiat yang amat dibenci Allah. Dengan senantiasa
mengingat Allah pasti akan menjadi solusi untuk tidak berbuat keji.
29
Mengingat Allah disini dapat diaplikasikan dengan berdzikir,
mengingat ciptaan Allah serta mengingat ancaman Allah.
Karakter kedua adalah mereka yang memohon ampun kepada
Allah, karena tidak ada yang dapat memberikan ampunan selain Allah.
Orang yang bertakwa atau orang yang akan mendapat jaminan surga
akan segera mengingat Allah juga dalam arti sadar akan kesalahan
yang terlanjur dilakukan. Pada saat itu pula mereka memohon ampun
kepada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada
manusia yang terlepas dari dosa, disadari atau tidak, besar atau kecil,
pasti semua orang pernah melakukan perbuatan dosa. Seorang mukmin
bukan berarti tidak pernah berbuat salah, tetapi mukmin sejati adalah
mereka yang berbuat salah, kemudian mereka segera memohon
ampunan kepada Allah, karena mereka tahu tidak ada yang mampu
memberikan ampunan kecuali Allah SWT. Itulah alasan kenapa Allah
menjanjikan surga kepada orang bersifat seperti ini.
Kemudian, karakter ketiga adalah mereka yang tidak meneruskan
perbuatan kejinya karena mereka tahu kalau itu adalah perbuatan salah.
Setelah diberi kabar gembira oleh Allah yang memiliki ampunan luas,
maka pada penghujung ayat ini ditekankan syarat untuk mendapat
surga tetap berlaku. Ampunan akan tercurah bagi mereka yang berbuat
dosa, sekalipun itu dosa yang sangat besar, apabila mereka tidak
meneruskan perbuatannya, alias mereka menghentikan kesalahan yang
sudah terlanjur dilakukan. Dengan demikian ampunan Allah akan
30
diberikan kepada yang bertaubat dengan catatan tidak mengulangi
perbuatan dosa tersebut (Shihab, 2002:272).
Jadi, dapat disimpulkan dalam ayat ini mengandung pemahaman
tentang lanjutan karakteristik orang-orang yang mendapat jaminan
surga yang telah dijanjikan Allah kepada orang yang bertakwa.
Karakteristik orang-orang tersebut adalah, mereka yang selalu
mengingat Allah ketika hendak atau sedang melakukan perbuatan keji,
mereka yang memohon ampun kepada Allah, karena tidak ada yang
dapat memberikan ampunan selain Allah serta mereka yang tidak
meneruskan perbuatan kejinya karena mereka tahu kalau itu adalah
perbuatan salah.
31
BAB III
ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT
A. Surat Ali Imran ayat 133-135
Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam al-Qur‟an.
Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki nama lain AzZahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena kedua surah tersebut
menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an disembunyikan oleh para
ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran Nabi Isa dan kedatangan Nabi
Muhammad. Alasan lain mengapa disebut Az-Zahrawan ialah karena isi
kandungan dua surah tersebut mencakup keseluruhan ajaran Islam, di
antaranya akidah, akhlak, hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya.
Surah Ali Imran ini tergolong dalam surah Madaniyah karena
diturunkan setelah peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah.
Surah ini terdiri dari 200 ayat dimana ayat 1-91 terdapat dalam juz 3
sedangkan ayat 92-200 terdapat dalam juz 4.
Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup kisah
keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran Nabi Isa,
persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan mukjizatnya,
serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (Al-Jumanatul,
2007:36).
Surah Ali Imran ini banyak sekali kandungan di dalamnya, baik
tentang akidah, akhlak, hukum dan sebagainya. Berikut daftar kandungan
surah Ali Imran dari ayat per ayat:
32
a.
Ayat 1-9 menjelaskan tentang Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya.
b.
Ayat 10-17 menjelaskan tentang ancaman Allah kepada orang-orang
kafir dan pengaruh harta benda dunia akhirat.
c.
Ayat 18-22 menjelaskan tentang pernyataan tentang keesaan dan
keadilan Allah, agama yang diridhoi-Nya, serta balasan bagi orang
yang ingin mencelakakan nabi.
d.
Ayat 23-32 menjelaskan tentang orang Yahudi yang berpaling dari
hukum Allah, bukti kekuasaan dan kebenaran Allah, larangan
berpihak kepada orang kafir, serta bukti cinta kepada Allah.
e.
Ayat 33-44 menjelaskan tentang keutamaan keluarga Imran,
f.
Ayat 45-63 menjelaskan tentang Isa Al-Masih putra Maryam binti
Imran.
g.
Ayat 64-68 menjelaskan tentang ajakan kepada agama tauhid.
h.
Ayat 69-78 menjelaskan tentang sikap ahli kitab terhadap agama
Islam serta keburukan-keburukan orang Yahudi.
i.
79-92 menjelaskan tentang seorang nabi tidak akan menyuruh
manusia untuk menyembah dirinya serta janji para nabi tentang
kenabian Muhammad SAW.
j.
Ayat 93-99 menjelaskan tentang bantahan-bantahan Allah terhadap
kekeliruan orang Yahudi terhadap makanan dan ahli kitab terhadap
rumah ibadah.
k.
Ayat 100-115 menjelaskan tentang keharusan menjaga persatuan serta
kelebihan umat Islam dari umat lainnya.
33
l.
116-120 menjelaskan tentang perumpamaan harta yang dinafkahkan
orang kafir serta larangan menjadikan orang Yahudi sebagai orang
kepercayaan.
m. Ayat 121-131 menjelaskan tentang sabar dan tawakal kepada Allah,
larangan berbuat riba dan perintah untuk bertakwa kepada Allah.
n.
Ayat 132-148 menjelaskan tentang perintah taat kepada Allah dan
Rasulullah serta sifat-sifat orang yang bertakwa.
o.
Ayat 149-151 menjelaskan tentang peringatan supaya waspada
terhadap ajakan orang kafir.
p.
Ayat 152-158 menjelaskan tentang sebab kekalahan umat Islam dalam
perang Uhud serta perintah untuk berkurban dan berjihad.
q.
Ayat 159-164 menjelaskan tentang sifat Nabi Muhammad SAW.
r.
Ayat 165-175 menjelaskan tentang sifat-sifat orang munafik dan
pahala bagi orang yang mati syahid.
s.
Ayat 176-179 menjelaskan tentang ayat untuk menentramkan hati
Nabi Muhammad SAW.
t.
Ayat 180-189 menjelaskan tentang kebakhilan dan dusta serta
balasannya.
u.
Ayat 190-195 menjelaskan tentang manfaat selalu mengingat Allah
dan merenungkan ciptaan-Nya.
v.
Ayat 196-200 menjelaskan tentang kesenangan sementara bagi orangorang kafir dan kebahagiaan abadi bagi orang mukmin.
34
Terkhusus ayat 133-135 dalam surah Ali Imran ini menjelaskan
tentang berbagai anjuran untuk menyegerakan dalam meraih ampunan
Allah, kriteria atau ciri-ciri orang bertakwa dan larangan untuk berbuat
keji dan dholim. Pembahasan ayat 133-135 ini lebih mengarah kepada
acuan untuk meraiih maghfiroh dari Allah serta enam karakteristik
penghuni surga antara lain:
a.
Bertakwa, takwa sebagaimana yang telah kita ketahui bersama yaitu
menjaga diri dari azab Allah dengan mengerjakan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
b.
Menginfakkan harta disaat lapang maupun sempit, penghuni surga
menunaikan apa saja yang diperintahkan untuk diinfakkan seprti
zakat, shodaqoh, dan tidak lupa nafkah bagi keluarga.
c.
Menahan amarah.
d.
Memaafkan kesalahan orang lain.
e.
Senantiasa mengingat Allah dan memohon ampunan apabila
melakukan perbuatan dosa.
f.
Tidak meneruskan perbuatan dosa ketika mereka mengetahui bahwa
perbuatan tersebut adalah dosa (Bachmid, 2008:224).
B. Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhofah dari kata “asbab” dan
“nuzul”. Asbab berasal dari bentuk jamak sabab yang berarti sebab.
Sedangkan kata an-nuzul adalah masdar dari kata nazala yang berarti
menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu. Secara etimologi asbabun
35
nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa
disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan asbabun
nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar
belakangi turunnya Al-Qur‟an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara
khusus dipergunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits (Rosihon,
2000:60).
Sedangkan secara terminologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab
yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur‟an kepada Nabi
Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan
penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan penjelasan (Buchori,
2005:33).
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-Qur‟an
sangat beragam, di antaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan
yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj, kesalahan besar seperti
kasus seorang sahabat yang menjadi imam ketika sedang dalam keadaan
mabuk,
dan
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
kepada
Nabi
Muhammad SAW baik tentang sesuatu yang telah lewat, sedang dan yang
akan terjadi. Persoalan apakah semua ayat dalam Al-Qur‟an memiliki
asbabun nuzul atau tidak ternyata masih menjadi perdebatan antara para
ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur‟an
turun memiliki asbabun nuzul. Sehingga ayat tersebut turun tanpa ada
sebab yang melatar belakanginya (ibtida‟). Dan ulama yang lain
36
berpendapat bahwa, ayat Al-Qur‟an diturunkan dengan dilatar belakangi
oleh suatu sebab atau peristiwa (ghair ibtida‟). Pendapat tersebut hampir
merupakan konsensus para ulama. Akan tetapi, ada yang mengatakan
bahwa sejarah Bangsa Arab sebelum Al-Qur‟an merupakan latar belakang
yang mendominasi sebab turunnya Al-Qur‟an, sementara riwayat-riwayat
asbabun nuzul merupakan latar belakang dalam lingkup kecil. Artinya
bahwa pendapat tersebut menganggap bahwa, semua ayat Al-Qur‟an
memiliki sebab-sebab yang melatar belakanginya (Rosihon, 2000:67).
Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan asbabun nuzul dari
topik pembahasan yaitu tentang surat Ali Imran ayat 133-135. Buchori,
(2005:62) menyebutkan bahwa, pernah dikisahkan dari Abdurrahman bin
Ghannam Al-Daws bahwa sahabat Mu‟adz bin Jabal mendatangi
Rasulullah dengan mengatakan ada pemuda tampan sedang menangis
seperti sedang kehilangan ibunya. Pemuda itu lalu dipanggil masuk oleh
Rasulullah. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis anak muda?”. Kemudian pemuda itu menjawab, “Bagaimana
aku tidak menangis ya Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar yang
kurasa tidak mungkin diampuni Allah.” Rasulullahpun langsung bertanya,
“Apakah engkau mempersekutukanNya?”. “Aku berlindung kepada Allah
supaya aku tidak menyekutukanNya.” jawab pemuda itu. “Apakah engkau
membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya?”
tanya Rasulullah selanjutnya.
37
Kemudian pemuda itu menjawab, “tidak ya Rasulullah.” Rasulpun
menjawab, “Kalau begitu Allah akan mengampuni dosa-dosamu meskipun
dosamu itu sebesar gunung yang menjulang tinggi ke langit.” Namun
dengan tangis yang teramat keras pemuda itu berkata, “Dosaku lebih besar
dari gunung itu.” “Allah akan mengampuni dosamu meski sebesar tujuh
bumi beserta lautan dan semua yang ada padanya.” hibur Rasulullah
sambil tersenyum. “Namun ya Rasul, dosaku lebih besar daripada itu.”
jawab pemuda tersebut. Kemudian Rasul dengan sabarnya bersabda,
“Allah tetap akan mengampuni dosamu sekalipun sebesar langit berikut
bintang gemintang dan singgasanaNya.”
Kembali pemuda itu dengan memelas berkata, “Dosaku lebih besar
dari itu ya Rasulullah.” “Wahai pemuda! Apakah dosa-dosamu lebih besar
dari Tuhanmu?” jawab Rasulullah. Maka tersungkurlah pemuda itu dan
berkata, “Subhanallah, tidak ada yang lebih besar dari Tuhanku.” “Kalau
begitu, dosa apa yang telah engkau perbuat?” sergah Rasulullah. Lalu
dengan penuh air mata pemuda itu bercerita, “Sudah tujuh tahun ini
pekerjaanku adalah menncuri kain kafan mayat yang baru meninggal
untuk dijual di pasar. Pada suatu hari ada seorang anak gadis Anshor
meninggal dunia. Setelah dikubur dan ditinggalkan keluarganya, kudatangi
dan kugali kubur tersebut dan kulucuti kain kafannya. Kutinggalkan maya
itu dengan keadaan telanjang di bibir kuburan dan aku bergegas pulang
membawa jarahanku. Di rumah, aku membayangkan betapa mulusnya
tubuh mayat itu, sampai aku tergoda melihatnya kembali. Ketika melihat
38
mayat telanjang itu aku tidak dapat menguasai diriku sehingga aku
menggaulinya. Ketika itu, aku seolah mendengar suara yang mengatakan,
„Wahai pemuda, celakalah engkau di hadapan penghisab pada hari kiamat
kelak, tempatmu adalah di neraka.‟ Seketika aku terkejut dan takut sekali.
Bagaimana pendapatmu ya Rasulullah?”
Dengan terkejut Rasulullah berkata, “Enyahlah engkau dari sisiku, aku
takut akan terbakar bersama apimu!” Pemuda itu seketika pergi
meninggalkan Rasulullah dengan wajah yang sangat amat memelas. Ia
pergi mengasingkan diri ke suatu tempat. Selama empat puluh hari ia
menangis terus menerus memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah,
ampunilah segala kesalahanku dan berilah wahyu kepada nabi-Mu. Jika
Engkau tidak mengampuniku, maka berikanlah segera siksaan yang
menghancurkanku di dunia ini, tetapi selamatkan aku dari siksaMu ketika
hari kiamat nanti.”
Rupanya taubat pemuda tersebut telah diampuni oleh Allah dengan
diturunkannya Q.S. Ali Imran ayat 133-136. Setelah menerima wahyu itu,
Rasulullah bersama para sahabat bergegas mencari pemuda itu. Akhirnya
pemuda itu ditemukan di antara dua batu gelap dalam keadaan lemah
dengan mata yang begitu sembabnya karena banyak menangis. Rasulullah
yang mulia kemudian menghampirinya dan membersihkan debu-debu
yang menempel di kepalanya dan bersabda, “Aku ingin memberikan kabar
gembira kepadamu, bahwa engkau sekarang adalah hamba Allah yang
dibebaskan dari api neraka.” Kemudian Rasulullah berpaling kepada para
39
sahabat yang mengikutinya dan berkata, “Beginilah seharusnya kalian
menyertai dosa yang kalian lakukan, seperti yang dilakukan oleh pemuda
ini.”
C. Munasabah Ayat
Secara etimologi, munaasabah berasal dari bahasa arab yang berasal
dari kata nasaba – yunasibu – munasabahan yang berarti keserupaan.
Munasabah juga berarti muqorobah atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini
tentunya bisa terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan
tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada
sebagainya saja.
Sedangkan secara terminologis, munaasabah adalah ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafal-lafal umum dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang
terkait dengan hubungan sebab akibat, illat dan ma‟lul, serta kemiripan
dan pertentangan ayat (ta‟aarudh).
Dalam pengertian istilah, munaasabah diartikan sebagai ilmu yang
membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur‟an atau dengan kalimat
lain. Munaasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali
rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal.
Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi,
sekaligus sanggahannya bagi mereka yang meragukan Al-Qur‟an sebagai
wahyu (Ash Shiddiqy, 1965:95).
40
Dalam pembahasan ini, penulis akan menjabarkan munasabah, baik
munasabah ayat dengan ayat yag lain dalam satu surat dan juga
munasabah surat dengan surat yang lain, sesuai dengan pembahasan yang
penulis kaji. Munasabah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Munasabah Ayat
a. Q.S Ali Imran ayat 132 dan 133














 



132. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. 133.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang bertakwa (al-Karim, 1996:53).
Sebagian orang berfikir bahwa mukmin adalah orang yang tidak
berdosa. Padahal kedua ayat tersebut menyebutkan bahwa orangorang bertakwa mungkin saja melakukan perbuatan buruk,
sehingga Allah menyeru kepada orang-orang mukmin untuk
senantiasa mentaati Allah dan RasulNya, serta untuk senantiasa
menyegerakan diri terhadap ampunan Allah kalau-kalau pernah
melakukan perbuatan dosa, baik yang disengaja maupun tidak.
Pada ayat 132 Allah menyuruh umat manusia hanya untuk taat
kepada Allah dan Rasul yang akan dibalas dengan rahmat Allah.
Kemudian Allah melanjutkan seruan di ayat selanjutnya untuk
41
melengkapi penjelasan kepada manusia agar menyegerakan diri
kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya. Ampunan dan surga
Allah tersebut hanya ditujukan kepada umatNya yang bertaka.
Penjelasan orang-orang yang bertakwa dijelaskan dalam ayat
selanjutnya yakni ayat 134 (Ash Shiddiqy, 1965:162).
Dalam ayat 133 disebutkan bahwa
ُ ‫َّ ْاْلَزْ ضُ ال َّس َو‬
‫ضَِا‬
ُ ْ‫اّاخ َػس‬
yang artinya, “Surga yang luasnya seluas langit dan bumi”
dimaksudkan sebagai kabar akan keluasan surga tersebut.
Sebagaimana firman-Nya yang mensifati perlengkapan surga dalam
Q.S. Ar-Rahman ayat 54 yang berbunyi:








  
Yang artinya, “Mereka berkata di atas permadani yang sebelah
dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di surga itu dapat (dipetik)
dari dekat.”
Ayat 54 Q.S. Ar-Rahman tadi adalah salah satu dari sekian banyak
ayat yang menggambarkan atau mensifati keadaan surga sebagai
mana disebutkan dalam potongan Q.S. Ali Imran ayat 133 di atas.
Ayat 133 Q.S Ali Imran di atas juga terdapat kemiripan dengan
firman Allah yang lain yakni Q.S. Al-Hadiid ayat 21:







42



Yang artinya, “Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan
ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi.”
b. Q.S. Ali Imran ayat 133 dan 134
Selanjutnya Allah menyebutkan sifat para penghuni surga dalam
firmanNya:








 




  





   
 
133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang bertakwa. 134. (Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan (al-Karim, 1996:53).
Dalam dua ayat diatas disebutkan bahwa, pada ayat pertama, Allah
menyuruh kepada umat manusia untuk menyegerakan diri kepada
ampunan Allah dan kepada surga yang sangat luas. Ampunan dan
surga Allah tersebut hanya diperuntukkan kepada umatnya yang
bertakwa. Pada ayat pertama ini tidak ada penjelasan mengenai
43
siapa saja yang dimaksud orang-orang bertakwa tersebut.
Kemudian Allah menjelaskannya di dalam ayat selanjutnya yaitu
ayat 134. Yang dimaksudkan Allah tentang orang-orang bertakwa
adalah mereka yang menginfakkan harta mereka dalam keadaan
apapun, baik susah maupun senang, kaya maupun miskin, sempat
atau tidak sempet dan sebagainya. Kategori orang bertakwa
selanjutnya ialah mereka yang mampu menahan amarahnya. Perlu
kita ketahui bahwa, tidak mudah mengendalikan amarah, karena
ketika marah, hawa nafsulah yang mengendalikan kita, maka dari
itu Allah menjajikan surga bagi orang yang mampu menahan
amarahnya.
Kategori orang bertakwa selanjutnya ialah mereka
yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan
orang lain juga bukan suatu hal yang mudah. Memafkan di sini
haruslah benar-benar dengan ikhlas tanpa ada niatan untuk
membalas sedikitpun. Masih ada lagi kategori orang yang bertakwa
yang dimaksudkan oleh Allah, tetapi kategori tersebut dijelaskan
dalam ayat selanjutnya.
Dalam ayat 134 disebutkan ‫صسَّآ ِء‬
َّ ‫َّال‬
‫ الَّ ِري َْي يُ ٌْفَم ُ ْْ َى فِي ال َّسسَّآ ِء‬yang
memiliki arti, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik di waktu lapang maupun sempit.” Potongan ayat di atas
mengisyaratkan kepada kita untuk senantiasa berinfak, baik pada
waktu senang maupun susah, dalam keadaan suka maupun
terpaksa, sehat maupun sakit, dan dalam keadaan apapun. Hal
44
tersebut senada dengan firman Allah yang lain dalam Q.S. AlBaqarah ayat 274 yang berbunyi:







Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya
pada malam dan siang hari, secara rahasia maupun terangterangan.”
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 134 juga terdapat potongan ayat yang
berbunyi
‫اس‬
ِ ‫َّالْ َك‬
ِ ٌَّ‫اظ ِوي َْي ْال َغ ْيعَ ّالْ َؼافِي َْي َػ ِي ال‬
yang artinya, “Dan
orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan
orang lain.” Artinya, jika mereka marah, maka mereka menahan
dan
mengendalikan
amarahnya
tetrsebut
dan
tidak
melampiaskannya. Selain itu mereka dengan ikhlas memberikan
maafnya kepada orang yang telah berbuat aniaya terhadapnya.
Dalam potongan ayat ini, terdapat makna yang senada dari
potongan ayat pada Q.S. Asy Syuura ayat 37 yang berbunyi:




 
Yang artinya, “... dan apabila mereka marah, mereka segera
memaafkannya.”
c. Q.S. Ali Imran ayat 134 dan 135









45
   




















   
 
134. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di
waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. 135. Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosadosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui.” (al-Karim, 1996:53).
Kategori orang bertakwa yang akan mendapat balasan surga dari
Allah masih berlanjut di ayat 135. Dalam ayat 135 di atas,
dijelaskan siapa saja yang termasuk dalam kategori orang
bertakwa. Mereka adalah orang yang senantiasa mengingat Allah
ketika akan ataupun sedang berbuat keji dan aniaya terhadap
dirinya sendiri. Ketika mereka mengingat Allah dalam keadaan
tersebut, maka sudah bisa dipastikan mereka tidak akan
meneruskan perbuatannya. Namun apabila sudah terlanjur dalam
melakukan perbuatan tersebut, maka hendaknya untuk segera
mengingat kepada Allah dan memohon ampunan kepadaNya.
46
Banyak ayat yang serupa dengan ayat ini, antara lain, dalam Q.S.
An-Nisa ayat 110 yang berbunyi:
   



  




Artinya, “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan
menganiaya diri sendiri, kemudian ia memohon ampunan kepada
Allah, niscaya ia akan mendapatinya, Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Dalam firman yang lalin juga disebutkan,











    



  
 
Artinya, “Katakanlah, „Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa terhadap
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53).
Dalam ayat 135 di atas terdapat potongan ayat yang berbunyi
‫يَ ْؼلَ ُو ْْ َى‬
‫َُُّ ْن‬
yang berarti, “sedang mereka mengetahui.” Maksud dari
unkapan tersebut menurut Abdullah bin „Ubaid bin „Umair ialah,
“Mereka mengetahui bahwa siapa yang bertaubat kepada Allah,
niscaya Allah akan menerima taubatnya.” Potongan ayat tersebut
47
seperti firman Allah yang lain dalam surah At-Taubah ayat 104
yang berbunyi:









Artinya, “Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan
menerima taubat darihamba-hambaNya?”
d. Q.S. Ali Imran ayat 135 dan 136


















   




  










 
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. 136.
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga
yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya, dan itu sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang
beramal (al-Karim, 1996:53).
48
Terkait dengan ayat sebelumnya, ayat 136 ini memberikan
penjelasan dari ayat 135 mengenai balasan apakah yang akan
diperoleh bagi orang-orang yang bertakwa. Jelas disebutkan bahwa
balasan yang diperoleh mereka ialah surga. Selain menjelaskan
mengenai balasan bagi orang bertakwa, ayat ini juga menjelaskan
tentang gambaran surga. Dijelaskan bahwa terdapat sungai-sungai
yang mengalir di dalam surga tersebut. Selain itu, Allah juga
menjanjikan kepada orang-orang bertakwa bahwasanya mereka
akan kekal di dalam sana.
2. Munasabah Surat
Surat-surat yang ada di dalam Al-Qur‟an mempunyai munasabah,
sebab surat yang datang kemudian menjelaskan tentang beberapa hal
yang disbutkan secara global pada surat sebelumnya. Dapat diambil
contoh banwasanya surat Al-Baqarah memberikan banyak sekali
perincian serta penjelasan terhadap surat Al-Fatihah (Asy-Syiddiqy,
1965:104).
Dalam pembahasan ini, Q.S. Ali Imran yang merupakan urutan
selanjutnya dari Q.S. Al-Baqarah, yang memberikan penjelasan lebih
lanjut mengenai nikmat yang akan Allah berikan kepada umatNya
yang bertakwa serta ancaman Allah terhadap orang-orang kafir karena
pengaruh harta dunia, yang disajikan secara global. Contoh dari
munasabah surat dari surat Al-Fatihah sampai surat Ali Imran, sebagai
berikut:
49



  
 
Yang artinya, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Fatihah: 2-3). Dari ayat ke
dua surat Al-Fatihah itu kemudian di jelaskan lebih lanjut di dalam
surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi:


   

Yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku
ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.” Ayat ini adalah salah satu contoh dari
sekian banyak ayat yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari surat
sebelumnya. Dalam ayat ini Allah menggambarkan betapa mulianya
Dia, karena Allah telah memberikan nikmat yang tak terhitung kepada
umat-umatNya. Kemudian di dalam surat selanjutnya yakni surat Ali
Imran juga terdapat banyak ayat yang senada mengenai perincian
tentang nikmat yang akan Allah berikan kepada orang orang yang
bertakwa. Misalnya dalam surat Ali Imran ayat 15 berikut:







  
  
  




   
50


 
Artinya, “Katakanlah, „Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang
lebih baik dari yang demikian itu?‟ untuk orang-orang yang bertakwa
kepada Allah, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta diridhoi Allah. Dan Allah
Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Rosiihon, 2000:65).
51
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spriritual dalam Surat Ali Imran
Ayat 133-135
Moral atau dalam bahasa lain disebut sebagai kesusilaan adalah
keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat
untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. jadi
pendidikan moral ditujukan untuk memagari manusia dari melakukan
perbuatan yang buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada
baik itu dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial
dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas nilai
dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral adalah cara
berpikir mengenai proses kepedulian dan penerapan dalam pendidikan.
Suatu model meliputi teori atau sudut pandang mengenai bagaimana
manusia berkembang secara moral dan mengenai sejumlah strategi atau
prinsip untuk membantu perkembangan moral. Dengan demikian suatu
model dapat membantu untuk memahami dan melakukan pendidikan
moral (Budiningsih, 2003:7).
Sedangkan
spriritual,
berasal
dari
bahasa
Inggris
yaitu
“spirituality” kata dasar spirit berarti roh, jiwa, semangat. Kata spirit
sendiri berasal dari kata Latin yaitu “spiritus” yang memiliki arti luas atau
52
dalam, keteguhan hati atau keyakinan, energi atau semangat serta
kehidupan (Hurlock, 1993:12).
Spiritual memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas,
hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci
yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas
bagi mereka. Kata kunci yang bisa dipertimbangkan antara lain, meaning
(makna), values (nilai-nilai), transcedence (transsedensi), connecting
(bersambung) dan becoming (menjadi).
Pendidikan spiritual adalah pembersihan jiwa atau perjalanan
menuju Allah, atau istilah-istilah lain atau yang ditemukan dalam
terminologi sufisme. Adapun dalam buku-buku pendidikan spiritual,
secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu wajah yang sama yakni
perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang
belum tunduk pada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari
hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat.
Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna
dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah baik perkataan, tingkah laku dan
keadaannya.
Setiap permasalahan yang hadir hendaklah dikembalikan atau
dicarikan solusi didalam al-Quran maupun hadis, supaya tidak salah dalam
memutuskan suatu permasalahan. Dalam hal ini Allah telah memberikan
pelajaran mengenai nilai moral dan spiritual yang terdapat dalam surat Ali
53
Imran ayat 133-135 kepada manusia untuk menerapkan nilai-nilai moral
dan spiritual tersebut. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain:
1.
Nilai-nilai Moral
a. Berinfaq di saat sempit dan lapang
Infaq berasal dari kata nafaqa yang memiliki arti keluar. Dari akar
inilah muncul istilah nifaq-munafiq yang berarti orang yang keluar dari
ajaran Islam. Infaq maknanya jauh lebih umum dibanding dengan zakat
dan sedekah. Infaq itu sendiri berarti membelanjakan harta, uang ataupun
bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat wajib maupun yang bukan wajib.
Dalam surat Ali Imran ayat 134 disebutkan
‫ضسَّآ ِء‬
َّ ‫ال َّسسَّآ ِء َّال‬
‫اَلَّ ِري َْي ي ُ ٌْفِمُ ْْ َى فِي‬
yang artinya orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik di waktu lapang maupun sempit. Infaq berarti mengeluarkan sesuatu
(harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang
buruk. Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 36, bahwa orangorang kafirpun menginfaqkan hartanya untuk menghalangi jalan Allah.





   
   






  
 
Artinya: Sesungguhnya orang kafir menafkahkan harta mereka untuk
menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta
mereka itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan
dikalahkan. Dan ke jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.
54
Sedangkan menurut istilah, infaq adalah mengeluarkan sebagian
harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah, seperti
menginfaqkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rasyid,
2009:26).
Infaq ini bukan lagi merupakan kewajiban yang bersifat sunnah,
seperti yang dipahami masyarakat luas. Infaq ini merupakan kewajiban
yang bersifat fardhu kifayah, karena harus dikeluarkan baik itu dalam
keadaan kesempitan maupun dalam keadaan lapang.
Infaq menurut istilah para ulama diartikan sebagai perbuatan atau
sesuatu yang diberikan oleh seseorang untuk menutupi untuk menutupi
kebutuhan orang lain, baik berupa harta, makanan, dan lain sebagainya.
Juga mendermakan atau memberikan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah semata.
Infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Dengan
dibandingkan
demikian
dengan
zakat.
infaq memiliki
Dalam
cakupan
kategorisasinya,
lebih
infaq
luas
dapat
diumpamakan dengan alat-alat transportasi umum, karena hibah, waqaf,
wasiat, nazar, pemberian nafkah kepada keluarga, pemberian hadiah,
kafarah (berupa harta) karena melanggar sumpah adalah termasuk infaq.
Dari kategori tersebut, merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima. Dengan kata lain,
pengertian infaq adalah kegiatan penggunaan harta secara konsumtif,
yakni pengeluaran atau pembelanjaan harta untuk memenuhi kebutuhan,
55
bukan secara produktif yang mana penggunaan harta diputar untuk
dikembangkan lebih lanjut secara ekonomis (Syarifuddin, 2010:62).
Dalam pandangan Islam, orang yang berinfaq ini akan memperoleh
keberuntungan yang berlipat ganda, baik itu di dunia maupun di akhirat
kelak. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 261-262
yang berbunyi:









  



   
   
   





    
    






   

Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang
menafkahkan harta ke orang lain di jalan Allah SWT adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh batang dan seratus butir. Allah
SWT melipat gandakan (pahala) setiap bagi siapa yang Dia kehendaki.
Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berinfaq dapat
dikategorikan ke dalam nilai moral, karena dengan adanya infaq dari
orang-orang dermawan dapat membantu menciptakan persatuan serta
terciptanya
kerukunan. Selain itu, dengan berinfaq, juga
dapat
menumbuhkan tali persaudaraan antar manusia, karena dengan berinfaq
akan tercipta rasa saling peduli, tolong-menolong serta toleransi. Di sisi
56
lain, dengan derinfaq, Allah telah menjanjikan pahala yang berlipat-lipat
ganda, yang dengan pahala tersebut dapat menolong seseorang untuk di
kehidupan akhirat kelak.
b. Menahan Amarah
Marah dalam bahasa Arab berasal dari kata “ghodziba” yang
berarti geram, emosi yang meluap, panas hati. Secara istilah “ghodziba”
adalah perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan
rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata
َ‫الْ َغيْع‬
adalah marah yang paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah
kemarahan yang teramat sangat.
Kalimat
َ‫اظ ِوي َْي الْ َغيْع‬
ِ ‫الْ َك‬
dalam surat Ali Imran ayat 134 memiliki
arti menahan amarah. Kalimat tersebut sangatlah luas maknanya, sehingga
perlu banyak penjelasan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa, sebagian
ulama mengatakan bahwa Allah menciptakan amarah dari api neraka dan
menjadikannya sebagai tabiat bagi manusia. Maka seringkali seseorang
menghendaki sesuatu namun tidak terpenuhi, amarahnya akan menyalanyala dan bergejolak. Ini akan terjadi apabila seseorang tersebut marah
kepada orang yang lebih rendah dan ia merasa mampu untuk
memarahinya.
Menurut al-Shan‟ani, (2004:52), mengatakan bahwa hakikat marah
adalah pergolakan jiwa yang terlihat pada jasad untuk membalas sesuatu.
57
Dalam hal ini, marah sangat berdampak buruk apabila seseorang tidak
dapat mengendalikan amarahnya.
Marah adalah gejolak hati yang muncul lantaran beberapa sebab,
apabila marahnya dalam urusan duniawi, hanya terbawa hawa nafsu bukan
karena kebenaran, maka terdapat kiat-kiat dalam menahan amarah. Yang
pertama adalah berdo‟a. Do‟a adalah senjata yang ampuh bagi seorang
muslim. Di tangan Allah segala taufik dan petunjuk. Allah mampu
menunjuki seseorang kepada jalan yang benar. Dialah penolong untuk
membersihkan jiwa dari noda-noda kotoran akhlak yang tercela. Allah
berfirman dalam surat al-Mu‟min ayat 60 yang berbunyi



  
Artinya: Dan Tuhanmu berkata, “ Berdoalah kalian, niscaya akan Aku
kabulkan”.
Allah telah menjanjikan akan mengabulkan segala sesuatu, termasuk
memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari sifat amarah.
Kedua, senantiasa berdzikir kepada Alalh. Ingat kepada Allah
adalah obat kerasnya hati, dengan dzikir akan mendorong takutnya kepada
Allah dan berakhir pada ketaatan kepada-Nya. Maka mengingat Allah
ketika sedang marah akan mendorong pelakunya untuk segera kembali
pada adab dan akhlak mulia. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 24
   
Artinya: dan ingatlah Rabbmu jika kamu lupa.
Ketiga, orang yang hendak marah, hendaklah mengubah posisinya,
jika sedang berdiri maka duduklah, apabila belum hilang juga amarahnya,
58
bisaa dengan berbaring atau meninggalkan tempat. Dari Abu Dzar r.a
Rasulullah saw bersabda:
‫َضةُ َّاِ ََّّل‬
َ ‫ة َػ ٌَُْ الْغ‬
َ َُ‫ فَاِ ْى َذ‬, ْ‫ة أَ َح ُد ُك ْن َّ ُ ُ َْ لَا ِئ ٌن فَلْيَجْ ِلس‬
َ ‫َض‬
ِ ‫ِا َذا غ‬
‫فَ ْليَضْ طَ ِج ْغ‬
Artinya: “Apabila seseorang di antara kallian marah, sedangkan ia berdiri
maka hendaklah duduk. Apabila belum hilang juga (amarahnya) maka
hendaklah ia berbaring.” (HR. Abu Dawud no 4782) (Hikam, 2001:40).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, nilai moral kedua sesuai
kandungan surat Ali Imran ayat 133-135 ialah menahan amarah. Banyak
sekali dampak positif yang bisa diambil dari menahan amarah. Mungkin
menahan amarah terlihat sangan sepele, akan tetapi menahan marah dapat
dijadikan tolak ukur kuat atau tidaknya kesabaran seseorang. Dengan
bisanya seseorang menahan amarah, maka dapat dikatakan bahwa
seseorang tersebut memiliki kualitas kesabaran yang baik, begitu pula
sebaliknya, apabila seseorang masih susah dalam menahan amarahnya,
maka dapat dikatakan bahwa kesabaran seseorang tersebut masih bisa
dikatakan rapuh.
c. Memaafkan kesalahan orang lain.
Maaf dalam bahasa arab berasal dari kata „afa yang berarti
menghapus atau menghilangkan. Jadi memaafkan mengandung pengertian
menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan
memaafkan kesalahan orang lain berarti hubungan antara orang yang
bermasalah kembali harmonis dan baik. Hal tersebut karena luka yang
terdpat dalam hati, utamanya orang yang memberikan maaf, telah sembuh.
59
Kalimat
‫اس‬
ِ ٌَّ‫ْال َؼا ِفي َْي َػ ِي ال‬
dalam surat Ali Imran ayat 134
memiliki arti memaafkan kesalahan orang lain. Sebagai umat manusia
tentunya sangat tidak bisa untuk menghindari perbuatan yang salah yang
menyebabkan orang lain terluka. Memang tidak enak sekali jika seseorang
telah melakukan perbuatan salah, terlebih lagi tidak meminta maaf. Namun
terkadang juga terdapat orang yang telah meminta maaf akan tetapi tidak
bisa dimaafkan. Atau juga terdapat orang yang meminta maaf telah
dimaafkan terlebih dahulu oleh orang yang disakiti.
Filosofis maaf dalam Islam menurut Ibnu Qaidimah dalam Minhaju
Qashidin yaitu sebenarnya seseorang mempunyai hak, akantetapi ia
melepaskannya, tidak menuntut balasan atau denda atasnya. Islam
mengajak umatnya untuk saling memaafkan karena manusia dalam
kesehariannya tidak akan luput dari yang namanya kesalahan. Orang yang
memberi maaf akan memiliki keistimewaan yang tinggi dihadapan Allah
SWT, seperti yang termaktub dalam al-Qur‟an surat asy-Syura ayat 40
yang berbunyi:



   
Artinya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya
atas (tanggungan) Allah.
Terkadang amat sangat sulit bagi seseorang untuk memaafkan
kesalahan orang lain, apalagi kalau kesalahan tersebut merupakan
kesalahan yang besar yang biasanya sampai menyakiti hatinya. Akan
tetapi, apabila seseorang tersebut terlalu lama menyimpan rasa benci,
60
dendam dan marah dihatinya, maka orang tersebut tidak akan pernah
menikmati indahnya saling memaafkan sesama makhluk Allah SWT.
Menurut Qarni (2007:97), memaafkan orang yang berbuat salah
atas dirinya lebih utama dari pada membalas kesalahannya, walaupun
sebenarnya berhak untuk menghukum atau membalasnya. Memaafkan
orang yang bersalah akan membukakan ampunan Allah. Ayat ini bukan
berarti melarang terhadap orang yang berbuat dzalim, tetapi apabila
memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka nilainya jauh lebih baik
karena termasuk kedalam kategori sabar.
Islam sangat mendorong umat muslim untuk memiliki sifat pemaaf.
Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan wawasan
mendalam seorang muslim tentang Islam. Seorang muslim menyadari
bahwa sifat pemaaf tersebut adalah sifat yang menguntungkan, terutama
membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah
kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila
seseorang tersebut bukanlah seorang yang pemaaf, tentu akan menjadi
orang yang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi
dirinya dan menyebabkan penyakit yang berbahaya karena membawa
kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya
orang bodoh yang tidak mau memiliki sifat pemaaf ini. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-A‟raaf ayat 199 yang berbunyi:



  
 
61
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang baik
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Sikap pemaaf yang menjadi tradisi muslim jauh lebih baik dari
sedekah yang diberikan dengan diiringi oleh ucapan atau sikap yang
menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Seorang muslim bukan hanya
dituntut untuk memberikan maaf. Mereka juga diperintahkan untuk
berbuat baik kepada orang yang berbuat salah kepadanya. Mereka yang
mampu berbuat demikian mendapat kedudukan tinggi, pujian serta pahala
yang baik dari Allah SWT. Allah berfirman dalam surat asy-Syura ayat 40
yang berbunyi:


   
  
     
 
Artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka
barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang
yang dzolim.
Suka memberi maaf kepada orang yang berbuat salah merupakan
ciri dari orang yang bertakwa. Orang yang demikian akan memaafkan
orany yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang bersalah tidak pernah
meminta maaf kepadanya. Sikap pemaaf perlu melekat pada diri seorang
muslim dan menjadikan akhlak karimahnya sebagai buah iman, takwa dan
ibadahnya kepada Allah. Dengan sikap pemaaf, seorang muslim akan
dicintai oleh Allah dan disenangi manusia (Shihab, 2002:254).
62
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, nilai moral ketiga
dalam kandunga surat Ali Imran ayat 133-135 setelah berinfaq dan
menahan amarah ialah memaafkan kesalahan orang lain. Orang yang dapat
menahan amarahnya belum tentu terbebas dari rasa sakit hati bahkan rasa
dendam. Mukmin yang baik bukan hanya mereka yang dapat menahan
amaranya, akan tetapi juga mereka yang mampu memaafkan kesalahan
orang lain. Memaafkan orang lain terutama pada orang yang berbuat salah
dinilai lebih mulia daripada menjatuhkan hukuman ataupun membalas
kesalahannya.
2.
Nilai-nilai Spiritual
a. Bersegera kepada ampunan Allah
Bersegera kepada ampunan Allah telah Allah perintahkan kepada
hamba-Nya. Ampunan Allah adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh
orang mukmin, karena hanya orang mukmin yang sadar bahwa manusia
tidak pernah luput dari dosa. Senantiasa memohon ampunan kepada Allah
sama halnya ia senantiasa memperbaharui taubatnya.
Kalimat
‫از ُػ ْْآ اِلَى َه ْغفِ َس ٍج ِه ْي َزتِّ ُك ْن‬
ِ ‫ َّ َس‬dalam surat Ali Imran ayat
133 memiliki arti, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu.”
memiliki banyak sekali penjelasan serta faidahnya. Sebagai seorang
mukmin, ampunan Allah adalah suatu hal yang sangat dinanti-nantikan.
Karena dengan hal tersebut dapat membawa kenyamanan dalam hidup,
pola hidup akan tertata dengan rapi serta memiliki sikap pemaaf dan bijak
63
sana. Selain hal tersebut seseorang yang senantiasa memohon ampunan
kepada Allah akan dicintai oleh-Nya, karena ia akan selalu mengingat
Allah, baik ketika melakukan kesalahan atau tidak.
Ayat lain yang senada dengan ayat di atas adalah, firman Allah
dalam surat al-Hadid ayat 21 yang berbunyi:





  






   
    



 
Artinya: Berlomba-lombalah kamu dalam (mendapatkan) ampunan dari
Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan
kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.
Ampunan dalam bahasa Arab berasal dari kata “gafara” yang
artinya
menutupi
sesuatu
(Yunus,
2007:298).
Ampunan
berarti
pembebasan dari hukuman atau tuntutan. Dalam ayat ini diterangkan
bahwasanya kita diperintahkan untuk menyegerakan diri dalam meraih
ampunan Allah. Al-Razi (2001:199) berpendapat, tidak ada jalan untuk
meraih ampunan Allah selain melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan Allah.
Makna bersegera kepada ampunan Allah adalah bergegas bertaubat
kepada Allah dengan “taubatan nasuh”, meninggalkan perbuatan dosa,
64
diiringi dengan penyesalan dan tekat kuat untuk tidak mengulanginya. Dan
apabila dosa yang dilakukan terkait dengan hak manusia, wajib baginya
mengembalikan hak-hak saudaranya atau meminta keridhoannya. Allah
berfirman dalam surat at-Thahrim ayat 8 yang berbunyi:


  
   
   
 
   

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Taubat itu sendiri berasal dari kata “taba” yang artinya kembali.
Sedangkan menurut istilah, taubat itu berarti kembali mendekatkan diri
kepada Allah, setelah menjauh dari-Nya. Taubat juga bisa diartikan sebuah
keinginan, kegandrungan, kebutuhan akan Allah SWT, maupun segala
sesuatu yang dapat membuat seseorang lebih mengenal-Nya. Oleh karena
itu, landasan bertaubat
adalah kembalinya
seorang hamba
dari
kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah, dengan menjalankan apa yang
diperintahkan serta menjauhi larangan-Nya (Saputra, 2009:58).
Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan bahwa nilai spiritual
pertama yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 adalah
menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Karena dengan hal tersebut
jiwa seseorang akan merasa lebih dekat kepada Sang Pencipta. Selain itu,
orang yang senantiasa memohon ampunan kepada Allah, akan mendapat
65
balasan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sesuai yang dijanjikan
oleh Allah SWT.
b. Menyegerakan diri kepada surga Allah
Surga dalam bahasa Arab berasal dari kata “janna” yang artinya
menutup. Alasan kenapa disebut demikian ialah karena pohon-pohon yang
ada di dalamnya sangat lebat sehingga dapat digunakan untuk berteduh di
bawahnya. “Jannah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai taman
yang di dalamnya terdapat pohon-pohon (Makhluf, 1998:74).
Sedangkan menurut istilah, surga adalah suatu tempat kediaman
yang disediakan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa
kepada-Nya sebagai balasan kepada mereka. Balasan tersebut adalah
balasan atas keimanannya yang benar dan amal perbuatannya yang shalih.
Kalimat
‫از ُػ ْْآ ِالَى َه ْغ ِف َس ٍج ِه ْي َزتِّ ُك ْن َّ َجٌَّ ٍح‬
ِ ‫َّ َس‬
dalam surat Ali
Imran ayat 133 memiliki arti, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga.” Perintah bersegera kepada ampunan
Allah dan surga Allah menunjukkan bahwa waktu seorang mukmin sangat
berharga untuk meraih kebaikan-kebaikan, meraih ampunan Allah dan
surga-Nya. Seseorang akan sangat menyesal ketika maut menjemput,
sedangkan sementara waktu yang demikian panjang disia-siakan dari
memohon ampunan Allah dan dari menempuh jalan kepada surga-Nya.
Dalam al-Qur‟an terdapat sangat banyak ayat yang menjelaskan
tentang surga. Salah satu dari ayat tersebut adalah surat al-Bayyinah ayat 8
yang berbunyi:
66
  






  




   
   
Artinya: balasan mereka di sisi Tuhannya adalah surga „Adn yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah ridho kepadanya dan merekapun ridho kepada Allah. Yang demikian
itu adalah (balasan ) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Bersegera kepada surga, memiliki makna bersegera menempuh
segala sebab yang mengantarkan kepada surga berupa iman dan amal
sholih. Bersegera kepada surga juga memiliki makna bersegera untuk
berserah diri dan tunduk kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya,
memurnikan ibadah hanya karena Allah serta bersegera menyambut semua
seruan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat alAnfal ayat 24 yang berbunyi:







   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
Rasul-Nya, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu.
Apabila seseorang menyegerakan dirinya kepada surga Allah, maka
ia akan sangat banyak mendapat faidah. Sebagai seorang muslim, surga
adalah tujuan utama ia dalam berbuat amal kebaikan, karena dengan amal
kebaikan tersebutlah yang nanti akan menghantarkannya kepada surga.
Manfaat menyegerakan diri kepada surga antara lain ialah; pertama, ia
akan senantiasa mengingat Allah. Alasan ini karena, seseorang yang
67
mengidam-idamkan surga, pasti tidak pernah lupa untuk mengingat siapa
pencipta dari surga tersebut. Apabila seseorang benar-benar menginginkan
surga, sudah dapat dipastikan ia akan mengingat Allah kapanpun dan
dimanapun ia berada.
Faedah kedua bagi orang yang menyegerakan diri kepada surga
ialah, ia pasti memiliki akhlak yang terpuji. Hal tersebut beralasan sebab,
setiap orang yang menginginkan surga, pasti ia akan senantiasa melakukan
kebaikan-kebaikan, entah itu untuk diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Perangai orang yang benar-benar menginginkan surga, pasti
tidak akan melenceng dari apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Sebab itulah orang yang menyegerakan diri kepada surga memiliki akhlak
yang terpuji.
Faedah yang ketiga bagi orang yang menyegerakan diri kepada
surga yakni, ia akan dicintai oleh Allah serta orang-orang disekitarnya.
Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, sedangkan orang
yang menyegerakan diri kepada surga pasti senantiasa berbuat kebaikan.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 135 yang berbunyi:
   ...

Artinya: ...dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai spiritual kedua
yang terkandung dalam
surat
Ali
Imran ayat
133-135
adalah
menyegerakan diri kepada surga Allah. Dengan menyegerakan diri kepada
surga, maka seseorang secara langsung maupun tidak langsung telah
68
menjalankan kebaikan-kebaikan, yang mana kebaikan-kebaikan tersebut
dapat
menubuhkan
rasa
cinta
seseorang
kepada
Allah.
Selain
menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, dengan kebaikan-kebaikan itu
pula, seseorang akan merasakan kenyamanan dalam jiwa serta kelak
kebaikan-kebaikan tersebut akan mengantarkan ia kepada surga, sesuai apa
yang ia idamkan.
c. Memperbanyak istigfar
Istighfar menurut bahasa adalah bentuk masdar dari “istighfarayastaghfiru”. Akar katanya dari “ghofara” yang berarti menutup. “Alghofru” artinya “as-satru” (menutup). “Al-ghofru” artinya mengenakan
sesatu yang melindungi dari kotoran (Qardawi, 2006:15).
Sedangkan menurt terminologi, istighfar adalah permohonan
ampunan dari manusia selaku hamba yang memiliki sifat ketergantungan
kepada Allah. Permohonan ini ditujkan semata-mata kepada Allah, tidak
kepada yang lainnya dan bersifat langsung tanpa melalui perantara,
sehingga merupakan permohonan ampunan yang amat murni. Artinya,
permohonan ampunannya itu tumbuh dari hati nuraninya untuk mencapai
hubungan yang bersifat murni dengan Allah dan karena ketakutannya akan
ditimpa cobaan ataupun nasib buruk, karena menyadari dirinya berdosa
kepada Allah.
Beristighfar haruslah diniatkan untuk mendapatkan ampunan Allah,
tidak hanya untuk dosa saat ini, tetapi juga dosa masa lalu serta dosa pada
masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan kewaspadaan batin,
69
karena dosa kesombongan meskipun seberat debu ternyata dapat
menyebabkan seseorang tidak masuk surga, terlebih lagi dalam diri
seseorang masih banyak berbagai macam dosa. Istighfar dapat diibaratkan
sebagai sabun pencuci yang dapat menghapus dosa. Dengan membiasakan
istighfar, maka setiap ada dosa sedikit, dosa tersebut akan dapat terhapus
sebelum terlanjur berkarat dalam hati dan jiwa serta dapat menjadi noda
yang sulit hilang yang senantiasa terbawa kemanapun ia pergi seumur
hidupnya (Majdi, 2011:21-22).
Dengan seringnya beristighfar, seseorang akan banyak menjumpai
faedah-faedah di dalam kehidupannya. Faedah-faedah istighfar yang
pertama adalah; akan dihapus kejelekannya dan diangkat derajatnya. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa‟ ayat 110 yang berbunyi:
   






   
Artinya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya
diri sendiri, kemudian ia mohon ampunan kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah akan mengampuni dosa
hamba-Nya yang sering melakukan keburukan, dengan catatan orang
tersebut meminta ampunan kepada Allah.
Faedah kedua dari memperbanyak istighfar adalah dihapuskannya
dosa dan kesalahannya. Setiap dosa pasti meninggalkan noda hitam pada
hati. Noda hitam tersebut dapat hilang dengan seseorang memperbanyak
istighar. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya bila seorang mukmin
70
melakukan dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat,
berhenti dari maksiat dan beristighfar, niscaya akan bersih hatinya.” (HR.
Ahmad).
Faedah ketiga dari beristighfar adalah terkabulnya do‟a yang
dipanjatkan
seseorang kepada
Allah.
Istighfar
merupakan
sebab
terkabulnya sebuah do‟a. Dengan beristighfar, seorang hamba akan
semakin mengagungkan dan membesarkan Tuhannya. Allah berfirman
dalam surat Hud ayat 61 yang berbunyi:
   




   
    







   
   
Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikanmu pemakmurnya, karena itu memohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do‟a hamba-Nya).
Dengan beristighfar, do‟a seseorang akan dikabulkan oleh Allah, karena
secara tidak langsung orang tersebut merasa rendah di hadapan Allah, dan
ia meninggikan Allah serta mengagunggkan-Nya (Majdi, 2011:133).
Dalam kehidupan sosial, istighfar merupakan proses pembelajaran
seseoang secara terus-menerus dan berkelanjutan pada diri individu dan
dalam masyarakat untuk membiasakan dirinya dalam bersikap, menjaga
tingkah laku dan ucapan yang sekiranya akan menyakiti orang lain. Hal
71
tersebut beralasan karena, apabila seseorang berbuat dosa kepada Allah,
maka ia akan diberi ampunan jika dia benar-benar bertaubat. Sedangkan
jika seseorang berbuat dosa kepada orang lain, maka dia harus berusaha
meminta maaf di dunia. Karena dalam suatu riwayat pernah diceritakan,
ada seorang hamba yang terhambat masuk surga karena adanya tuntutan
dari orang lain yang pernah ia sakiti semasa hidup di dunia (Tebba,
2009:110).
Dari uraian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa nilai spiritual
ketiga yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 ialah
memperbanyak istighfar. Nilai-nilai istighfar memberikan prespektif yang
sangat luar biasa baik dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya
maupun antara sesama manusia. Hubungan manusia dengan Tuhannya
akan berjalan dengan baik, karena orang tersebut merasa tidak ada hargaya
di hadapan Allah, sehingga Allah menyukai orang tersebut dan
mengabulkan do‟a yang ia panjatkan. Dalam hubungan sosial, juga akan
berlaku dengan penuh kerukunan, karena hubungan sesama manusia yang
banyak beristighfar memiliki kepribadian yang sopan, menjaga tingkah
laku serta lisannya.
B. Implementasi
Nilai-nilai Pendidikan Moral
Spiritual
dalam
Pendidikan Formal
1. Berinfaq Dalam Keadaan Lapang Maupun Sempit
Penerapan nilai moral spiritual yang terkandung dalam surat Ali
Imran ayat 133-135 pertama adalah berinfaq dalam keadaan apapun. Allah
72
telah memberikan rezeki kepada umatnya dengan bermacam-macam
kebaikan, diantaranya ialah kesehatan, harta, keluarga, imlu dan kebaikankebaikan yang lainnya. Rezeki tersebut diberikan kepada manusia oleh
Allah sebagai bekal hidup manusia untuk melangsungkan kehidupannya di
muka bumi. Semua rezeki yang diturunkan oleh Allah bersifat halal, akan
tetapi cara yang ditempuh untuk memperoleh rezeki tersebutlah ada yang
melewati jalan haram. Rezeki yang diturunkan oeh Allah untuk seseorang,
sesungguhnya rezeki itu juga terdapat hak-hak untuk orang lain dan harus
menginfaqkan sebagian dari rezeki tersebut apabila ingin menjadi orang
yang bertakwa.
Allah SWT sering kali menyeru kepada umat-Nya untuk
menginfaqkan sebagian hartanya untuk orang lalin, terlebih yang
membutuhkan. Selain akan mendapat balasan surga serta pahala yang
berlipat ganda,
berinfaq adalah sesuatu yang sangat penting daam
kehidupan di dunia, karena dapat menumbuhkan rasa sosial tinggi,
toleransi serta membantu menyejahterakan kehidupan seseorang di dalam
tatanan masyarakat. Di sini dapat diketahui poin-poin apa saja yang dapat
diperoleh dari berinfaq baik orang yang berinfaq maupun orang yang
menerima infaq:
a.
Untuk mengangkat kehidupan orang-orang fakir untuk hidup yang
lebih layak.
b.
Supaya tidak nampak perbedaan yang terlalu mencolok antara yang
kaya dengan yang miskin. Kemiskinan adalah salah satu faktor dalam
73
mengerjakan perbuatan yang tidak disukai Allah, seperti dengan
kemiskinan mereka akan mencuri, dengan kemiskinan mereka akan
melakukan segala cara hanya sekedar untuk dapat makan serta terlebih lagi
dengan kemiskinan, tidak sedikit orang yang menjual agama Allah SWT.
Demikian tadi sebagian kecil alasan kenapa Allah memerintahkan umatNya untuk berinfaq.
c.
Kehidupan dalam masyarakat tanpa ada yang berinfaq, yang kaya
akan semakin tidak terkontrol dalam membelanjakan hatranya, sedangkan
yang miskin akan menjua dirinya bahkan agamanya. Dari hal ini akan
terjadi revolusi kelaparan, yaitu orang-orang miskin akan memberontak.
d.
Dengan Alah memerintahkan umat-Nya untuk berinfaq, maka
kehidupan orang-orang yang memiliki harta lebih akan lebih aman, karena
dengan mereka berinfaq, secara tidak langsung mereka telah mengurangi
faktor yang menyebabkan kejahatan.
Dengan alasan-alasan di atas, maka al-Qur‟an memaksa manusia
untuk berinfaq disetiap waktu serta di manapun ia berada. Allah tidak
memberikan batasan jumlah dalam berinfaq, maka dari itu tidak ada alasan
seseorang untuk tidak menginfaqkan sebagian hartanya. Apabila seseorang
sedang berada dalam keadaan sempit atau kekurangan harta, sedang ia
ingin sekali berinfaq, ia akan tetap dapat melakukannya. Sedangkan
apabila seseorang berada dalam keadaan luang atau memiliki harta yang
lebih, alangkah baiknya ia memberikan infaq dengan cakupan lebih.
Kualitas berinfaq bukanlah dilihat dari segi banyak atau sedikitnya jumlah
74
yang ia keuarkan, melainkan ikhlas atau tidaknya seseorang tersebut dalam
mengeluarkan infaq.
Banyak sekali cara Alah yang disebutkan di dalam al-Qur‟an untuk
menumbuhkan semangat seseorang untuk mengeluarkan hartanya untuk
berinfaq. Cara-cara tersebut antara ain:
a.
Allah memberikan penjelasan kepada manusia bahwa harta yang
mereka miliki sesungguhnya bukanlah hartanya, melainkan hanya titipan
Alah semata. Sebenarnya manusia di muka bumi ini tidak memiliki apaapa, karena yang mereka dapatkan saat ini hanyalah berupa titipan. Dari
situlah Allah menerangkan kepada manusia untuk mengeluarkan sebagian
hartanya untuk berinfaq, karena apabila seseorang tidak mengeluarkan apa
yang diperintahkan Allah, maka suatu saat akan tiba waktunya harta orang
tersebut akan diambil oleh Allah.
b.
Allah menjelaskan kepada umat manusia bahwa apabila mereka
mengeluarkan infaq, maka Allah akan mengganti apa yang dikeluarkan
tersebut hingga berlipat-lipat ganda. Cara inilah yang dilakukan Allah
untuk menumbuhkan semangat
umat-Nya
untuk berinfaq.
Allah
menjanjikan akan mengganti dengan hal yang lebih baik apabila seseorang
mau berinfaq.
c.
Allah memebrikan penjelasan kepada manusia untuk memberikan
pinjaman kepada Allah dengan cara yang baik. Hal tersebut bukan berarti
Allah tidak mampu dan tidak punya, melainkan inilah cara Allah yang
paling lembut karena yang namanya hutang pasti akan dikembalikan.
75
Maka dari itu seseorang tidak perlu khawatir mengeluarkan infaq, karena
Alah akan mengganti apa yang mereka keluarkan bahkan akan dilipat
gandakan.
Dengan berinfaq, sesungguhnya orang yang pertama menerima
kebaikan dari berinfaq tersebut bukanlah orang yang menerima infaq,
melainkan orang yang mengeluarkannya. Hal tersebut karena, apabila
seseorang berniat ingin berinfaq, sebeum apa yang diinfaqkan sampai
kepada seseorang yang akan menerima, infaq tersebut terlebih dahulu akan
sampai kepada Allah dan Allah sendiri yang akan menerimanya serta
Allah sendiri yang akan menggantinya.
Pendidikan formal seperti SD, SMP serta SMA pada zaman
sekarang memiliki basis yang mengarah kepada pendidikan karakter.
Dalam pendidikna berkarakter, banyak sekali lembaga pendidikan yang
memberikan pelajaran moral kepada peserta didik. Dari hal tersebut,
lembaga pendidikan formal dapat menerapkan salah satu nilai moral
spiritual yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 yakni
tentang berinfaq. Lembaga pendidikan formal dapat menerapkannya
dengan berbagai cara serta inovasi-inovasi menarik sehingga siswa tidak
akan merasa keberatan untuk mengeluarkan infaq. Penerapan infaq
tersebut bisa dilakukan dengan cara misalnya, mewajibkan siswa untuk
mengeluarkan infaq yang tertuju untuk pembangunan masjid, setiap hari
Jumat dengan catatan tidak ada batasan jumlah nominalnya.
76
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya berinfaq
bukan hanya ditujukan untuk orang yang menerimanya, akan tetapi juga
kepada orang yang mengeluarkan infaq. Hal tersebut beralasan karena,
orang yang berinfaq akan mendapat balasan lebih dari Allah baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Alasan lain agar seseorang mau mengeuarkan
infaq adalah, agar terciptanya rasa aman, karena dengan berinfaq maka
secara tidak langsung ia telah mengurangi angka kejahatan. Selain itu,
dengan berinfaq juga akan tercipta rasa harmonis di lingkungan
masyarakat, karena tidak ada kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok.
2. Menahan amarah
Marah merupakan luapan emosi yang tidak terkendali, diantara
penyebabnya adaah tersinggungnya harga diri. Dengan tidak disadari, bila
amarah terus dibiarkan, akan dapat merusak jasmani dan rohani.
Mengumbar amarah sama halnya akan mencelakai diri sendiri. Hal
tersebut karena, apabila seseorang melontarkan amarahnya kepada orang
lain, maka akan menumbuhkan rasa dendam dari orang tersebut dan tidak
menutup kemungkinan kalau suatu saat orang tersebut akan membalas apa
yang ia dapatkan.
Dengan melontarkan amarahnya, sesaat orang akan merasa lega
dan puas, akan tetapi melontarkan amarah bukanlah solusi yang paling
baik dalam menyikapi suatu hal. Bahkan dengan melontarkan amarah
dapat dikatakan adalah keputusan yang salah. Hal itu beralasan sebab,
dengan melontarkan amarah, maka akan berakibat tidak bisanya
77
mengontrol akal sehat, sehingga orang tersebut akan lepas kendali,
sehingga mampu berujung membahayakan, baik orang yang melontarkan
amarah dan juga orang yang dimarahi.
Banyak sekali faktor-faktor yang dapat menyebabkan orang berani
melontarkan amarah, di antara penyebab tersebut adalah:
a.
Rasa bangga berlebihan terhadap diri sendiri. Terlalu berlebihan
dengan berbangga akan diri sendiri tentunya akan berdampak tidak baik,
karena dengan terlalu bangga, seseorang tidak bisa dengan baik dalam
menerima kritikan. Mereka merasa bahwa pendapatnya adalah apa yang
paling benar, sehingga apabila orang lain mengkritiknya, mereka akan
marah karena tidak terima akan kritikan.
b.
Status sosial yang tinggi. Status sosial tinggi apabila tidak
diterapkan dengan baik di dalam tatanan masyarakat akan berdampak
negatif, karena seseorang merasa bahwa ia memiliki kuasa akan status
sosia tersebut daam masyarakat. Kekuasaan itulah yang menyebabkan
seseorang akan lebih mudah melontarkan amarahnya kepada orang yang
lebih rendah ststus sosialnya.
c.
Keturunan. Orang yang merasa bahwa ia berasal dari keularga
ningrat, cenderung memiliki sifat yang arogan. Hal itu karena mereka
merasa memiliki pelindung yang akan melindunginya apabila ia
melakukan kesalahan. Mereka akan bebas melontarkan amarahnya dengan
anggapan tidak ada yang berani melawannya karena ia berasal dari
78
keluarga yang berada. Padahal perlu diketahui bahwa derajat manusia
dimata Allah adalah sama, hanya iman dan takwa yang membedakannya.
d.
Harta. Harta merupakan pangkal permusuhan utama apabila tidak
digunakan sesuai fungsinya. Harta dapat membangkitkan kemarahan jika
tidak diikat atau tidak diarahkan dengan nilai-nilai Islam. Dengan harta,
seseorang merasa memiliki segalanya, termasuk kekuasaan untuk berbuat
apapun yang ia kehendaki. Banyak sekali orang yang berselisih hanya
karena masalah harta. Oleh sebab itu, perasaan bangga pada seseorang
yang berdampak negatif itu perlu dikendalikan dengan nilai-nilai Islam.
Marah mengakibatkan hilangnya kontrol akal sehat, sehingga
sistem kontrol akal sehatnya lepas tak terarah. Marah dapat menjauhkan
peran akal dan agama dalam kehidupan manusia, sehingga ia tidak dapat
memandang, berpikir dan memilih dengan baik. Bahkan marah dapat
menjadikan pelakunya buta dan bisu dari segala nasihat dan peringatan
yang disampaikan kepadanya. Kemudiaan lahirlah perbuatan-perbuatan
yang tidak terkontrol, seperti melukai seseorang bahkan sampai
membunuhnya.
Dari hal tersebut, menahan marah amat sangat penting dilakukan,
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai orang
dan bahkan sampai membunuhnya. Ketika marah mencekam, hendaknya
seseorang tidak mengikutinya, ada baiknya apabila seseorang berusaha
untuk menahan diri, meredakan serta mengendalikannya. Dengan
79
kekuasaan diri mampu menahan amarah, maka akibat buruk yang mungkin
muncul dari amarah tersebut akan dapat dihindari.
Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk menghilangkan sebab
yang dapat menciptakan kemarahan, meredakannya dan mencegah dampak
buruknya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan seseorang untuk dapat
menahan amarahnya, antara lain:
a.
Mengubah posisi duduk atau berbaring. Rasulullah bersabda,
“Apabila salah seorang dari kamu marah, sedangkan ia daam keadaan
berdiri, maka hendaklah ia duduk agar hilang kemarahan darinya. Bila
tidak maka berbaringlah.” (HR. Ahmad).
b.
Membaca ta‟awwudz. Memohon perlindungan dan berdo‟a kepada
Allah dari godaan syetan adalah cara yang paling mudah dilakukan untuk
dapa menahan amarah. Sulaiman bin Shurad berkata, “Suatu ketika aku
duduk di sisi Nabi saw. Ketika itu ada dua orang yang sedang bertengkar.
Salah seorang dari mereka wajahnya menjadi merah dan urat nadi lehernya
menegang karena marah, maka Nabi saw bersabda, “Aku ajari kalian suatu
kalimat. Seandainya ia mau mengucapkannya, niscaya akan hilang apa
yang dirasakan. Ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dari syetan.”
Niscaya hilang apa yang dirasakan.” Salah seorang berkata kepada yang
lain (yang sedang marah), “Sungguh Nabi saw telah bersabda, “Bacalah
ta‟awwudz.” Namun justru lelaki itu membalas, “Memangnya aku ini
gila?” (HR. Bukhori dan Muslim).
80
c.
Mengambil wudhu. Rasulullah saw bersabda, “Setan merupakan
makhuk yang tercipta dari api, sedang api akan padam dengan air. Oleh
sebab itu, jika seorang di antara kaian sedang marah, hendaklah kalian
berwudhu.” (HR. Ahmad).
d.
Diam. Rasulullah bersabda, “Berilah peajaran dan selalu berbuatlah
dalam hal yang dapat menggembirakan orang lain. Janganlah kalian
mempersulit orang lain dan jika salah seorang di antara kalian marah,
maka hendaknya ia diam.” (HR. Ahmad).
Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang dapat diambil dari
menahan marah. Marah dapat mempengaruhi goncangan-goncangan
syaraf, di antaranya ketika marah, akan menyebabkan tekanan darah
meningkat, dari tekanan darah ini dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah di otak, dan mengakibatkan keumpuhan. Maka dari itu,
pentingnya menahan marah bukan hanya untuk tujuan akhirat saja,
melainkan juga berdampak positif bagi tubuh seseorang.
Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk dapat
mengendalikan amarah, karena banyak sekali keutamaan yang akan
didapatkan dari hal tersebut. Selain dapat membuat tubuh menjadi sehat,
keutamaan lain dari sisi tujuan akhirat antara lain sebagai berikut:
a.
Jaminan surga oleh Allah. Rasulullah bersabda, “Jangan marah
bagimu surga.” (HR. At-Thabrani).
b.
Dibanggakan di hari kiamat kelak. Rasulullah bersabda, “Barang
siapa dapat menahan marahnya di saat ia mampu untuk meuapkannya,
81
niscaya Alah akan memanggilnya di hari kiamat di antara para pemuka
makhluk. Kemudian ia disuruh memilih bidadari yang disukainya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi).
c.
Selamat dari murka Allah SWT. Abdullah bin Amru berkata, “Aku
bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, apakah yang dapat
menghindarkanku dari murka Alah?” Rasulullah menjawab, “Jangan
marah.” (HR. Ahmad). (Saputra, 2009:127).
Demikian tadi adalah derajat orang yang dapat mengendalikan
amarahnya, sehingga banyak manfaat yang diperolehnya. Baik dari segi
dunia maupun akhirat.
Nilai moral spiritual kedua yang dapat diterapkan lembaga
pendidikan formal dalam membentuk karakter peserta didik sesuai surat
Ali Imran ayat 133-135 adalah menahan amarah. Lembaga pendidikan
formal dapat melakukan penerapan tersebut kepada anak didik dengan
cara, menguji kesabaran, memberikan pengertian tentang bahaya marah
atau mengadakan seminar tentang marah dengan mengundang ahli dalam
bidangnya. Dengan hal tersebut maka akan tercipta siswa dengan karakter
penyabar, karena merka telah mengetahui tentang bahaya yang dapat
dihasilkan dari amarah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya menahan
amarah bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, akan tetapi juga bagi diri
sendiri. Hal tersebut beralasan, selain tidak akan mencelakai seseorang
dengan luapan amarah, seseorang dapat menjaga kesehatan jasmani,
82
karena dengan marah dapat menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi.
Dari segi akhirat, menahan marah sangat memiliki banyak keutamaan, di
antaranya, mendapat jaminan surga, dibanggakan oeh Allah ketika kelak di
hari kiamat serta terhindar dari murka Allah SWT.
3. Memaafkan kesalahan orang lain
Dalam ajaran Islam, terdapat hal yang lebih dianjurkan dari sekedar
meminta maaf. Hal tersebut adalah memberi maaf, baik sebelum diminta
maupun setelah diminta. Sebagaimana sifat Allah, al-„afuw atau Maha
Pemaaf, manusia juga memiliki sifat tersebut. Sebagai mana diterangkan
dalam surat Al-Baqarah ayat 52, yang berbunyi:
    
  

Artinya: “Kemudian setelah itu Aku maafkan kesalahanmu agar kamu
bersyukur.”
Memberi maaf lebih utama daripada meminta maaf. Hal tersebut
bukan berarti orang yang memberi maaf mempunyai sifat pengecut, akan
tetapi dengan alasan, Allah akan memuliakan orang-orang yang bersedia
untuk memaafkan setiap kesalahan orang lain. Bahkan Allah telah
menyiapkan banyak sekali pahala untuk orang yang memberi maaf
tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa dengan memberi maaf, tidak akan
ada kerugian jika kita berbuat baik dengan memberi maaf kepada sesama.
Dengan memberi maaf, ada banyak kebaikan yang dapat diambil, salah
satunya amarah akan tertahan serta hilangnya rasa dendam dalam diri
seseorang.
83
Dengan memberi maaf, seseorang secara tidak langsung telah
mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw. Mengikuti etika dan kesopanan
yang diajarkan Nabi Muhammad, tentu saja sangat mulia dibanding kan
seseorang
mengikuti
pola
pikirnya.
Seorang
muslim
hendaknya
mengetahui bahwa dengan memberikan maaf ia akan mendapatkan
kemuliaan dari Allah dan semua orang akan menghormatinya serta orang
yang menjelekkannya akan datang kepadanya untuk meminta maaf. Allah
berfirman dalam surat Al-Fussilat ayat 34 yang berbunyi:








  
 
Artinya: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tibatiba orang yang berada di antaramu dan di antaranya terdapat permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman setia.
Memberi maaf sejatinya lebih utama dari orang yang meminta
maaf. Keutamaan-keutamaan orang yang memberi maaf antara lain adalah:
a.
Menyelesaikan perselisihan. Dengan memberi maaf terlebih
dahulu, maka perselisihan akan selesai, karena seorang yang memberi
maaf telah mengikhlaskan apa yang diperebutkan. Dengan memaafkan,
seseorang telah berusaha memadamkan api amarah yang ada pada dirinya.
Hal tersebut akan menjadikan dirinya menjadi pribadi yang memiliki
kebesaran jiwa, untuk lebih mementingkan kepentingan bersama, di atas
kepentingan sendiri.
84
b.
Menghilangkan benci dan dendam. Seseorang yang memaafkan
kesalahan orang lain, secara tidak langsung, ia telah menghilangkan rasa
benci dan dendam terhadap orang yang melakukan kesalahan. Ia akan
memiliki hati yang tenang dan mencoba tidak mengingat perselisihan yang
terjadi dengan orang lain. Dengan hal itu, seseorang akan lebih tenang
serta dapat dengan mudah memikirkan hal lain yang lebih bermanfaat
tanpa beban, dari pada mengingat kesalahan orang lain.
c.
Menyambung tali persaudaraan. Perselisihan terkadang membuat
hubungan antar teman, tetangga bahkan keluarga menjadi terputus, karena
masing-masing
dari
mereka
merasa
paling
benar
dalam
suatu
permasalahan. Memberi maaf merupakan salah satu jalan, mencairkan
kebaikan tersebut dan membuat pihak yang bermasalah menyadari bahwa
pertikaian tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan berakibat
fatal karena dapat memutuskan tali persaudaraan. Maka dari itu memberi
maaf adalah jalan yang paling benar untuk tetap terjaga tali persaudaraan
di antara mereka.
d.
Memperkokoh persatuan umat. Perbedaan karakter, pola pikir dan
ilmu yang dimiliki manusia, kadang menimbulkan benturan dalam
pergaulan. Dengan belajar menjadi pribadi pemaaf, niscaya akan terjadi
saling menghormati perbedaan pendapat, saling memberi dan menerima
serta dengan sendirinya persatuan umat akan lebih kokoh.
e.
Menenangkan hati. Berbuat kesalahan pada orang lain, berakibat
terus-menerus akan dihantui perasaan bersalah. Dengan memaafkan orang
85
lain, seseorang telah melakukan satu perbuatan baik, yaitu berusaha
memberikan ketenangan hati kepada orang lain, agar tidak terus-menerus
memikirkan kesalahannya. Selain itu, akan mendapatkan perlakuan yang
sama, ketika ia sendiri yang berbuat salah, karena sejatinya manusia tidak
ada yang luput dari kesalahan.
Nilai moral spiritual ketiga yang terkandung dalam surat Ali Imran
ayat 133-135 adalah memaafkan kesalahan orang lain. Lembaga
pendidikan formal dapat menerapkan nilai tersebut kepada peserta didik,
karena banyak sekali hikah yang akan didapat apabila seorang peserta
didik memiliki sifat tersebut. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan
lembaga pendidikan dalam mentransfer nilai ini kepada peserta didik.
Misalnya, pendidik senantiasa memaafkan kesalahan peserta didik. Hal
tersebut mungkin terlihat sepele, akan tetapi apabila diterapkan, maka
secara tidak langsung, peserta didik akan meniru sifat baik tersebut.
Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan memberi maaf,
seseorang tidak akan kehilangan harga dirinya, melainkan dia akan
dimuliakan Allah dan akan diangkat derajatnya. Selain itu, dengan
memberi maaf, seseorang secara tidak langsung telah berpartisipasi dalam
menjaga
persatuan
umat,
menyambung
tali
persaudaraan
serta
menenangkan hati dan pikiran. Orang yang senang memberi maaf, sama
halnya telah meniru atau menjalankan sunnah Nabi Muhammad, karena
salah satu sifat Nabi Muhammad adalah pemaaf.
4. Menyegerakan diri pada ampunan Allah
86
Dalam syariat Islam, bersegera untuk melakukan kebaikan sangat
dianjurkan. Bahkan untuk melakukan kebaikan, Allah menyerunya dalam
surat al-Baqarah ayat 148 yang berbunyi:






   
   
    
   
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Allah menyukai hamba-Nya
yang menyegerakan dalam hal kebaikan. Bukan hanya kebaikan akhirat,
namun juga kebaikan untuk dunianya. Banyak sekali kebaikan-kebaikan
yang bisa dilakukkan atau dikerjakan oleh manusia. Salah satunya ialah
menyegerakan diri kepada ampunan Allah.
Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 133 yang
berbunyi:










  
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.”
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Menyegerakan diri kepada ampunan Allah
dari dosa adalah kewajiban dan tidak boleh ditunda. Jika menunda
87
bertaubat, maka seseorang telah berbuat maksiat karena telah menunda
taubat tersebut. Bila bertaubat dari dosa, maka maka masih tersisa darinya
taubat yang lain yaitu taubat dari sikap menunda taubat itu. Hal yang
demikian ini jarang sekali terbetik dallam jiwa pelaku taubat. Mereka
beranggapan bahwa, apabila ia bertaubat dari dosa, tidak ada dosa lagi
yang tersisa darinya. Padaha mereka masih harus bertaubat atas dosa
penundaan taubat itu sendiri. Mereka tidak selamat dari dosa ini, kecuali
dengan melakukan taubat secara umum dari dosa yang mereka ketahui
maupun yang tidak mereka ketahui (Saputra, 2009:62).
Menyegerakan diri kepada ampunan Allah merupakan teladan yang
harus dimiliki oleh setia muslim. Seseorang terkadang lalai akan apa yang
mereka kerjakan. Segala sesuatau yang mereka kerjakan bisa saja salah
satunya adalah perbuatan yang bisa menyebabkan dosa. Tanpa mereka
sadari, mereka telah melakukan kesalahan yang berujung pada dosa. Dari
sinilah, pentingnya menyegerakan diri kepada ampunan Allah sangatlah
utama, karena dengan seseorang senantiasa memohon ampunan kepada
Allah, maka dosa yang mereka kerjakan telah diampuni oleh Allah.
Seorang muslim dilarang mengulangi kesalahannya, setelah mereka
memohon ampunan kepada Allah. Hal tersebut beralasan karena, mereka
sama saja mempermainkan ampunan Allah serta menyepeekan Sang
Pemberi Ampunan yaitu Allah SWT. Dalam bertaubat atau memohon
ampunan Allah, terdapat unsur atau cara praktis yang bisa seseorang
88
lakukan, supaya mereka tidak terjerumus kembali kepada dosa yang sama.
Kiat-kitat atau cara tersebut antara lain:
a.
Meninggalkan kemaksiatan secepatnya. Taubat tidak akan ada
maknanya, apabila seseorang masih terus menjalankan kemaksiatan yang
mereka sesali serta tidak meninggalkannya. Apabila seseorang telah
berniat bertaubat, maka seseorang tersebut harus siap meninggalkan
kemaksiatan tersebut secepatnya.
b.
Memperbanyak
istighfar.
Dengan seseorang memperbanyak
istighfar, seseorang tersebut akan lebih mudah mendapatkan ampunan dari
Allah.
Seseorang
yang
beristighfar,
mereka
harus
benar-benar
menujukannya untuk Allah semata, karena tidak ada yang mampu
mengampuni dosa selain Allah SWT.
c.
Mengubah lingkungan, cara bergaul dan memilih teman. Seseorang
yang benar-benar mengharapkan ampunan Allah, utamanya memilih
lingkungan hidup yang baik, yang jauh dari tempat kemaksiatan serta
bergaul dengan orang-orang yang baik pula. Lingkungan serta teman
bergaul amat sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan
perbuatan, entah itu perbuatan baik atau sebaliknya perbuatan buruk.
Apabila seseorang yang ingin bertaubat berada di dalam lingkungan yang
dekat dengan kemaksiatan, maka bisa dipastikan taubatnya akan susah
dilaksanakan, karena banyaknya godaan yang menghampirinya. Maka dari
itu, anjuran memilih lingkungan serta teman bergaul sangat diutamakan
bagi orang yang mengharap ampunan dari Allah.
89
d.
Mengiringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Mengiringi
keburukan dengan kebaikan secara tidak langsung dapat mengikis
keburukan-keburukan yang telah seseorang kerjakan. Seorang muslim,
apabila ia melakukan dosa, hendaklah segera mengiringinya dengan
perbuatan baik, seperti sholat, puasa, sedekah, istighfar, dzikir dan lain
sebagainya.
Dengan menyegerakan diri kepada ampunan Allah, seseorang akan
banyak sekali mendapatkan keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut
antara lain:
a.
Allah akan segera mengampuni dosanya. Tentu saja, apabia
seseorang menyegerakan diri kepada ampunan Allah, maka seseorang
tersebut akan lebih cepat mendapakan ampunan tersebut. Lain halnya
apabila seseorang menunda-nunda untuk memohon ampun, maka Allah
juga akan menunda ampunan-Nya untuk orang tersebut.
b.
Mendapatkan
ketenangan
hati.
Seseorang
yang
senantiasa
memohon ampunan kepada Allah, hidupnya akan jauh lebih terarah serta
memiliki ketenangan diri. Kebanyakan dari mereka tidak merasa was-was
akan datangnya kematian, karena mereka senantiasa meminta ampun
kepada Allah ketika mereka melakukan perbuatan dosa. Sehingga, apabila
maut datang menghampiri mereka, mereka mati dalam keadaan telah
diampuni oleh Allah SWT.
c.
Mendapat jaminan surga. Allah menjanjikan surga bagi orang-
orang yang bertakwa. Kategori orang bertakwa, salah satunya adalah
90
mereka yang menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Apabila mereka
telah menyegerakan diri kepada ampunan Allah, maka surga akan menjadi
tempatnya kelak ketika di akhirat.
Nilai moral spiritual yang keempat sesuai surat Ali Imran ayat 133135 adalah bersegera kepada ampunan Allah. Nilai moral spiritual ini akan
sangat baik apabila diterapkan ke dalam sistem pendidikan karakter.
Membentuk siswa dengan karakter seperti ini akan menciptakan generasi
masa depan yang Islami, karena apabila seseorang sudah dididik sejak
kecil akan rasa takut kepada Allah, maka mereka akan senantiasa
mengerjakan amal baik dan menjauhi larangan Allah. Mereka akan
senantiasa memohon ampun kepada Allah apabila melakukan kesalahan.
Lembaga pendidikan formal dapat menerapkannya dengan berbagai cara,
misalnya mengatur jadwal setiap minggu sekali untuk pengadaan tausiyah
singkat, dari tausiyah tersebut, pendidik memberikan penjelaan tentang
hikmah dan keutamaan dari memohon ampunan kepada Allah.
Dari
uraian
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa,
dengan
menyegerakan diri kepada ampunan Allah, hidup seseorang akan jauh
lebih terarah serta memiliki ketenangan hati yang besar. Hal tersebut
beralasan karena, dengan segera memohon ampunan Allah, mereka tidak
merasa takut ketika maut datang kapan saja. Selain itu, dengan
menyegerakan diri kepada Allah, seseorang akan lebih mawas diri serta
sadar untuk tidak lagi jatu ke lubang kemaksiatan yang sama. Seseorang
91
akan lebih memiliki kehati-hatian diri yang besar akan perbuatan dosa,
sehingga mereka menjaga sikap, tingkah laku serta lisannya dengan baik.
5. Menyegerakan diri kepada surga Allah
Menyegerakan diri kepada surga sama halnya memiliki arti,
menyegerakan diri kepada kebaikan yang mengantarkan seseorang kepada
surga. Ruang lingkup kebaikan sangatlah luas, tidak hanya terbatas pada
satu ibadah tertentu. Entah itu ibadah mahdhah atau ibadah murni seperti
sholat, puasa, zakat dan sebagainya, maupun ibadah ghoiru mahdhah
seperti makan, tolong-menolong, tersenyum dan sebagainya, keduanya
sama-sama akan mendapat pahala yang akan menghantarkan seseorang ke
surga apabila mereka mengerjakannya.
Terkadang seseorang lupa akan apa yang akan dihasilkan dari buah
mereka berbuat kebaikan. Itulah salah satu alasan mengapa seseorang
susah atau bahkan enggan melakukan kebaikan. Padahal, apabila mereka
mengetahui buah dari kebaikan tersebut, mereka pasti akan semangat
untuk melakukan kebaikan-kebaikan itu. Salah satu contoh buah dari
menyegerakan kebaikan, misalnya seseorang segera melakukan sholat
ketika waktunya tiba, maka ia tidak akan merasa terburu-buru dalam
mengerjakan sholatnya. Lain halnya, apabila seseorang menunda kebaikan,
maka mereka akan tergesa-gesa dalam melakukan kebaikan tersebut, serta
hasilnya akan jauh dari maksimal.
Bergegas melakukan kebaikan sering kali terasa sangat berat,
karena seseorang tidak hanya sekedar melakukan kebaikan, namun lebih
92
dari itu mereka melakukan kebaikan dengan segera. Sikap segera
melakukan kebaikan ini biasanya lebih membutuhkan pengorbananpengorbanan dari sekedar melakukan kebaikan seperti pada umumnya.
Namun dengan pengorbanan tersebut, Allah telah menyiapkan keutamaan
yang akan mereka raih. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah:
a.
Indikator baiknya kualitas iman seseorang. Dengan menyegerakan
diri kepada kebaikan, dapat diketahui bahwa keimanan seseorang tersebut
dalam kategori baik. Hal tersebut karena, orang yang memiliki kualitas
iman yang baik, tidak akan menunda-nunda kebaikan, karena mereka
mengetahui apabila mereka menundanya, maka Allah juga akan menunda
kebaikan untuknya. Apabila seseorang menyegerakan diri untuk berbuat
kebaikan, maka Allah akan menyegerakan pula kebaikan untuknya,
bahkan kebaikan-kebaikan Allah untuk orang tersebut akan berlipat-lipat
ganda. Hal tersebut, hanya dimiliki oeh orang yang memiliki keteguhan
iman akan balasan Allah atas apa yang seseorang kerjakan.
b.
Penyebab terkabulnya do‟a. Do‟a seseorang yang senantiasa
menyegerakan diri akan kebaikan, akan lebih cepat didengar dan
dikabukan oleh Allah SWT. Alasannya ialah, Allah mencintai orang-orang
yang berbuat kebaikan, sedang apabila Allah telah mencintai seseorang,
maka segala sesuatu yang dimintanya pasti akan dikabulkan. Segala do‟a
pasti baik, maka dari itu pasti Allah akan mengabulkannya.
c.
Anugerah besar dan jalan menuju surga. Tentu saja, setiap
seseorang yang berbuat baik, tidak lain yang menjadi tujuan akhirnya
93
adalah keridhoan Allah untuk meridhoinya masuk ke surga-Nya. Anugerah
serta surga Allah dibentangkan atau disediakan bagi siapa saja yang
beriman kepada-Nya dan yang menyegerakan diri kepada kebaikan.
Bergegas melakukan kebaikan adalah salah satu ciri-ciri muslim yang
senantiasa bertakwa kepada Allah. Predikat takwa inilan yang akan
mengantarka orang tersebut ke dalam surga Allah.
d.
Dicintai Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Seseorang dengan sifat
gemar akan kebaikan pasti akan sangat dicintai oleh Allah dan
makhluknya. Orang lain pasti akan senang bergaul dengan orang yang
gemar kepada kebaikan, karena mereka sadar bahwa apabila mereka
bergaul dengan orang yang berbuat kebaikan, mereka tidak perlu merasa
khawatir dar merasa dirugikan. Karena sifat orang yang gemar akan
kebaikan, tidak mungkin akan memanfaatkan orang lain demi mengejar
apa yang ia inginkan.
Nilai pendidikan moral spiriyual keenam dari surat Ali Imran ayat
133-135 ialah menyegerakan diri kepada kebaikan yang menghantarkan
mereka ke surga. Seseorang dengan karakter seperti ini tidak akan
menyimpang dari norma-norma, baik norma agama maupun norma dalam
bermasyarakat. Lembaga pendidikan formal tentu perlu menerapkan nilai
ini untuk menunjang karakter baik peserta didik. Lembaga pendidikan
dapat mengajarkan amal kebaikan seperti, jujur, disiplin, tanggung jawab
dan lain sebagainya. Penerapan tersebut tidak perlu dilakukan dengan
memaksa siswa, akan tetapi cukup dengan pendidik mampu menerapkan
94
nilai tersebut baik di belakang siswa, terlebih lagi di depannya. Apabila
peserta didik sudah menerapkannya, timbullah keinginan dari siswa untuk
meniru kebaikan-kebaikan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, menyegerakan diri kepada
surga sama halnya dengan menyegerakan diri kepada kebaikan yang
menghantarkannya
pada
surga.
Dengan
kebaikan-kebaikan
itulah
seseorang akan dimudahkan oeh Allah untuk masuk ke surga-Nya. Selain
itu banyak sekali keutamaan-keutamaan yang telah disediakan Allah untuk
mereka. Keutamaan tersebut antara lain, Allah akan meneguhkan
keimanannya, Allah akan mengabulkan do‟anya, Allah akan menurunkan
anugerahnya dan memasukkannya ke surga kelak serta Allah dan ciptaanNya akan mencintainya.
6. Memperbanyak istighfar
Memperbanyak istighfar dilakukan untuk memohon ampunan
semata kepada Allah SWT. Beristigfar dilakukan bukan hanya untuk dosa
saat ini, akan tetapi juga untuk dosa masa lalu dan dosa yang akan datang
juga. Memperbanyak istighfar merupakan kewaspadaan dari seseorang,
karena mereka takut akan ada dosa yang tertinggal pada dirinya meskipun
dosa tersebut hanya sebesar biji sawi. Dengan dosa yang sekecil itulah,
seseorang akan terhambat jalannya menuju surga Allah SWT. Maka dari
itulah, pentingnya memperbanyak istighfar harus sangat diperhatikan,
karena dengan memperbanyak istighfar, dosa seseorang akan menjadi
hilang dan akan memudahkan jalannya menuju surga.
95
Seseorang apabila hendak beristighfar tidak hanya sekedar
melafadzkannya begitu saja, akan tetapi ada syarat serta etika yang yang
harus diperhatikan. Syarat dan etika tersebut di antaranya ialah:
a.
Niat yang benar, yang semata-mata ditujukan kepada Allah SWT.
Karena Allah tidak akan menerima amal perbuatan manusia, kecuali jika
amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya.
b.
Apabila seseorang hendak beristighfar, maka lisan dan hati secara
serempak melakukannya. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata,”Aku
ingin beristighfar kepada Allah.”, namun hatinya tetap ingin melakukan
maksiat.
c.
Suci. Di antara adab yang melengkapi istighfar, seseorang lebih
baik dalam keadaan suci apabila ingin melakukannya, sehingga ia berada
dalam posisi yang sempurna, baik dari segi lahir maupun batin.
d.
Apabila seseorang hendak beristighfar, maka mereka harus
melakukannya didasari dengan rasa takut akan Allah serta kekuasaan-Nya.
Perasaan takut kepada Allah serta mengharap hanya kepada Allah inilah
salah satu indikator bahwa dosa seseorang akan diampuni-Nya.
e.
Memilih waktu yang tepat. Seseorang yang ingin beristighfar lebih
dianjurkan memilih waktu yang baik dan tepat. Di antara waktu yang baik
tersebut adalah sepertiga malam atau waktu menjelang subuh, setelah
sholat serta ketika ia bersujud kepada Allah.
96
Selain dengan beristighfar dosa seseorang diampuni oleh Allah, ada
banyak keutamaan di balik beristighfar. Di antara keutamaan tersebut
adalah:
a.
Allah akan menghapus kejelekannya
serta
akan diangkat
derajatnya. Dengan banyak beristighfar, Allah akan meninggikan
derajatnya, karena istighfar adalah salah satu kebaikan yang secara tidak
langsung meninggikan Allah. Maka dari itu Allah akan membalas dengan
meninggikan deraja orang yang mau memperbanyak istighfar.
b.
Dimudahkan dalam segala urusan. Rasulullah saw bersabda,
“Barang siapa membiasakan diri beristighfar, Allah akan memberikan
jalan keluar baginya
dalam
setiap kesulitan, akan memberikan
kebahagiaan dari setiap kesusahan dan akan memberi rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka.” (HR. Ibnu Majah).
c.
Allah akan merahmatinya. Beristighfar adalah salah satu cara untuk
mendapatkan rahmat dari Allah. Dengan banyak beristighfar, maka Allah
juga akan lebih sering menurunkan rahmatnya untuk orang yang banyak
beristighfar. Rahmat Allah sangatlah luas maknanya, salah satu rahmat
Allah adaah ampunan-Nya yang seluas angit dan bumi.
d.
Membersihkan noda hitam dalam diri seseorang. Apabila seseorang
meakukan kesalahan, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, maka
Allah akan mengampuninya. Akan tetapi, orang tersebut masih
meninggalkan noda hitam dalam dirinya, maka dari itu memperbanyak
istighfar sangat dianjurkan, karena dapat membersihkan noda tersebut.
97
Nilai moral spiritual keenam yang terkandung dalam surat Ali
Imran ayat 133-135 adalah memperbanyak istighfar. Memperbanyak
istighfar banyak sekali keutamaannya, antara lain diampuni dosanya,
dimudahkan segala urusan, dirahmati oleh Allah dan lain sebagainya. Dari
keutamaan-keutamaan tersebut, karakter baik pasti akan melekat pada diri
seseorang, apabila seseorang menerapkan pada dirinya. Dalam lembaga
pendidikan formal, pembentukan karakter melalui nilai ini sangat mudaah
diterapkan, karena istighfar tidak perlu mengeluarkan materi dalam
melakukannya. Pendidik hanya perlu memberikan penjelasan kepada siswa
agar membiasakan diri mereka untuk beristighfar. Salah satu cara yang
bisa dilakukan seorang pendidik adalah, mengajari bagaimana cara-cara
beristighfar. Cara lain adalah, apabila seorang siswa melakukan kesalahan,
maka bisa memberikan hukuman berupa mengucapkan istighfar. Dari cara
itu, istighfar akan mudah diterapkan dalam lembaga pendidikan formal
yang berbasis pendidikan karakter.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, memperbanyak
istighfar bukan hanya dapat menghapus dosa yang dilakukan saat itu, akan
tetapi juga dapat menghapus dosa pada masa lalu dan masa yang akan
datang. Selain dapat menghapus dosa, memperbanyak istighfar juga akan
menyebabkan seseorang menjadi tinggi derajatnya, mendapat rahmat dari
Allah, dilapangkan rezekinya, dimudahkan segala urusannya serta
dihapuskan noda hitam yang ada pada dirinya. Anjuran beristighfar agar
dilakukan dengan tata cara yang benar serta etika yang baik, antara lain
98
niat lurus semata karena Allah, suci, senada antara lisan dan hati, merasa
takut akan Allah serta memilih waktu yang tepat.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spiritual yang Terkandung
dalam Surat Ali Imran ayat 133-135
Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada
baba-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual dalam surat Ali Imran
ayat 133-135. Di antara nilai-nilai moral dan spiritual tersebut
adalah:
a.
Berinfaq di waktu luang dan sempit
b.
Menahan amarah
c.
Memaafkan kesalahan orang lain
d.
Menyegerakan diri kepada ampunan Allah SWT
e.
Menyegerakan diri kepada surga
f.
Memperbanyak istighfar
2. Implementasi
Nilai-nilai Pendidikan Moral Spiritual dalam
Pendidikan Formal Sesuai Kajian Surat Ali Imran ayat 133-135
Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada
baba-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
implementasi pendidikan moral dan spiritual dalam surat Ali Imran
ayat 133-135. Di antara implementasi tersebut adalah:
100
a. Berinfaq di waktu luang maupun sempit. Allah SWT sering kali
menyeru kepada umat-Nya untuk menginfaqkan sebagian hartanya
untuk orang lalin, terlebih yang membutuhkan.
b.
Menahan amarah. Marah mengakibatkan hilangnya kontrol akal
sehat, sehingga sistem kontrol akal sehatnya lepas tak terarah. Dari
hal tersebut, menahan marah amat sangat penting dilakukan, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai orang
dan bahkan sampai membunuhnya.
c.
Memaafkan kesalahan orang lain. Memberi maaf lebih utama
daripada meminta maaf. Sudah dapat dipastikan bahwa dengan
memberi maaf, tidak akan ada kerugian jika kita berbuat baik
dengan memberi maaf kepada sesama.
d.
Menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Menyegerakan diri
kepada ampunan Allah merupakan teladan yang harus dimiliki oleh
setia muslim. Seseorang terkadang lalai akan apa yang mereka
kerjakan. Tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan kesalahan
yang berujung pada dosa. Dari sinilah, pentingnya menyegerakan
diri kepada ampunan Allah sangatlah utama, karena dengan
seseorang senantiasa memohon ampunan kepada Allah, maka dosa
yang mereka kerjakan telah diampuni oleh Allah.
e.
Menyegerakan diri kepada surga Allah. Menyegerakan diri kepada
surga sama halnya memiliki arti, menyegerakan diri kepada
kebaikan yang mengantarkan seseorang kepada surga.
101
f.
Memperbanyak Istighfar. Memperbanyak istighfar dilakukan untuk
memohon ampunan semata kepada Allah SWT. Beristigfar
dilakukan bukan hanya untuk dosa saat ini, akan tetapi juga untuk
dosa masa lalu dan dosa yang akan datang juga. Maka dari itulah,
pentingnya memperbanyak istighfar harus sangat diperhatikan,
karena dengan memperbanyak istighfar, dosa seseorang akan
menjadi hilang dan akan memudahkan jalannya menuju surga.
B. Saran
Dari pembahasan diatas maka penulis akan memberikan saran
bagi dunia pendidikan formal bahwa, pendidikan karakter yang
bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits harus terus dilaksanakan serta
ditingkatkan, khususnya dalam pemberian pendidikan moral dan
spiritual terhadap anak didik. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah
dalam surat Ali Imran ayat 133-135 tentang teladan-teladan yang dapat
diajarkan kepada peserta didik.
Banyak sekali nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam
surat Ali Imran ayat 133-135 yang sangat pantas diberikan kepada
peserta didik, karena mampu memupuk sifat terpuji sejak dini. Sifatsifat tersebut adalah berinfaq, menahan amarah, memberi maaf,
memohon ampunan kepada Allah, berbuat amal kebaikan serta
memperbanyak istighfar.
102
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 1995. Filsafat Kalam Di Era Postmodernisme.
Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Al-Habsyi, Muhammad Bagir, 2002. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur‟an,
As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Buku Kedua). Bandung:
Mizan
Al-Razi, Muhammad, 2000. Menghias Diri Dari Akhlak Terpuji.
Yogjakarta: Mitra Pustaka
Asy-Syiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, 1995. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang
Asy-Syiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, 2000. Tafsir Al-Qur‟anul Majid
An-Nuur. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Bachmid, Ahmad Saiful, 2008. Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta: Rebal Publika
Bahri, Efri S, 2008. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: FAM Publishing
Buchori,Didin Saefudin, 2005. Pedoman Memahami Kandungan AlQur‟an. Bogor: Granaand Pustaka
Budiningsih, C Asri, 2013. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta
Daroeso, Bambang, 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral
Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu
103
Departemen Agama RI,1996. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahannya.
Semarang: Karya Toha Putra
Faiz, Al-Jumanatul, 2007. Filsafat Kalam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Gunarsa, Singgih, 1981. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Hartono Agung, 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka
Cipta
Hurlock, Elisabeth B, 1993. Perkembangan Spiritual Anak. Jakarta:
Erlangga
Imani, Allamah Kamal Fakih dan Tim Ulama, 2008. Tafsir Nurul Qur‟an.
Jakarta: Al-Huda
KBBI, 2007. Jakarta: Balai Pustaka
Majdi, Muhammad Asy-Syahawi, 2011. The Secret of Istighfar. Jakarta:
Gema Insani
Makhluf, Ahmad, 1998. Indahnya Surga. Semarang: Citra Abadi
Munawwir, Ahmad Warson, 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progresif
Piedmont, Ralph L, 2001. Skala Spiritual Transendensi. Bandung: Pustaka
Jaya
104
Poespoprojo, 1988. Filsafat MoralKesusilaan Dalam Teori Praktek.
Bandung: Remadja Karya
Qarni, „Aidh, 2007. Tafsir Muyyasar. Jakarta: Qisthi Press
Rasyid, Sulaiman, 2009. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rosihon, Anwar,2000. Ulum Al-Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia
Samani, Muchlas, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Saputra, Toyyib Sah, 2009. Aqidah Akhlak. Semarang: Toha Putra
Shihab, M Quraish, 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1989. Metode Penelitian Survey.
Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Syarifudin, Amir. 2010. Garis-garis Besar Fikih. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Tebba, Sudirman, 2009. Meraih Sukses dan Bahagia Dengan Istighfar.
Banten: Pustaka Irvan
Yunus, Mahmud, 2007. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Mahmud
Yunus Wa Durriyyah
Zubaidi, H Achmad, 2002. Pendidikan Kewarga Negaraan. Yogjakarta:
Paradigma
105
106
107
Download