Kualitas pupuk kompos bedding kuda dengan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Feses Kuda
Kuda merupakan bangsa dari jenis kuda liar yang berasal dari spesies Equus
caballus. Kuda digolongkan dalam filum Chordata, kelas Mamalia, ordo
Perissodactyla, famili Equidae, dan spesies Equus caballus (Ensminger, 1962). Saat
ini kuda telah mengalami domestikasi dan menjadi ternak yang bermanfaat untuk
kehidupan manusia. Kuda telah menjadi ternak yang memiliki daya tarik tinggi baik
bagi anak-anak, maupun orang dewasa (Bogart dan Taylor, 1983).
Saluran pencernaan pada ternak kuda tidak seefektif sapi karena proses
pencernaan selulosa terjadi satu kali pada sekum, akibatnya tekstur pada feses kuda
menjadi lebih kasar dan berserat. Kandungan yang terdapat dalam bahan feses kuda
dapat dilihat pada Tabel 1. Imbangan karbon dan nitrogen (C/N) pada feses kuda
sebesar 25 (Suriawiria dan Sastramihardja, 1980). Jika rasio C/N tinggi, maka N
akan terkonsumsi sangat cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan
protein dan tidak akan lagi bereaksi dengan sisa karbonnya, sedangkan jika rasio C/N
sangat rendah, maka N akan bebas di udara dalam bentuk NH4OH (Hartono, 2009).
Tabel 1. Kandungan Bahan Feses Kuda
Komponen
Kandungan Bahan
-----------%-----------
Hemiselulosa
23,5
Selulosa
27,5
Lignin
14,2
Nitrogen (N)
2,29
Fosfor (P)
1,25
Kalium (K)
1,38
Sumber : Sihotang, (2010)
Bedding Kuda
Bedding atau alas tidur digunakan untuk memberikan kenyamanan bagi kuda
saat kuda tersebut istirahat ataupun saat tidur. Selain itu bedding juga berfungsi
memberikan kehangatan dan melindungi kaki kuda apabila menggunakan alas tidur
3
yang lunak, terutama untuk kuda olah raga. Bedding yang digunakan adalah serasah
kayu. Serasah kayu didapat dari potongan-potongan kayu ataupun bekas serutan
kayu. Limbah penggergajian adalah kayu yang tersisa akibat proses penggergajian
yang bentuknya dapat berupa serbuk gergaji (sawdust), sebetan (slabs), potongan
(trims), dan shaving (Haygreen dan Bowyer, 1989). Kayu adalah suatu karbohidrat
yang tersusun terutama atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Komposisi unsur kayu
berdasarkan persen berat kering yaitu karbon 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%,
sedikit nitrogen dan abu 0,1% (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran
hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat
diperkaya dengan bahan mineral alami dan mikroba yang bermanfaat memperkaya
hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(Permentan, 2009). Kandungan minimal pupuk organik yang diperbolehkan untuk
diberikan ke tanah menurut Permentan (2009) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik
Komponen
C-Organik (%)
Rasio C/N
Kandungan Bahan Padat
≥4
15-25
Nilai pH
4-8
P2O5 (%)
<2
K2O (%)
<2
Nitrogen (%)
<2
Sumber : Peraturan Mentan, No.28/Permentan/SR.130/B/2009
Pupuk organik yang diberikan pada tanah akan mengurangi jumlah
pemakaian bahan anorganik karena pemberian bahan organik yang tinggi dapat
meningkatkan pH tanah, fosfor (P) yang tersedia, dan kandungan air tanah yang
mempermudah tanaman menyerap unsur hara yang diperlukan (Raihan, 2002).
Keuntungan dalam penggunaan pupuk organik adalah : (1) memperbaiki sifat fisik
tanah, tanah menjadi gembur, tidak menggumpal, aerasi, internal drainage lebih
4
baik, meningkatkan daya mengikat air yang baik sehingga dapat mengatasi erosi atau
longsor, (2) memperbaiki sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kapasitas tukar kation
(KTK), mempercepat proses pelapukan, dan mencukupi ketersediaan tanah, (3)
memperbaiki sifat biologi tanah, mempercepat perbanyakan bakteri, fungi, mikro
flora dan fauna, dan (4) memperbaiki kondisi sosial, mengurangi dampak lingkungan
(Hardjowigeno, 2003).
Pupuk Kompos
Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai penguraian biologi dan
stabilisasi dari bahan organik pada temperatur termofilik sebagai hasil produksi
panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam
bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan
menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug, 1980). Menurut Rao
(1994), proses penguraian bahan organik adalah proses perombakan bahan organik
yang melibatkan mikroorganisme pengurai dalam kondisi anaerobik atau aerobik,
baik itu mikroorganisme primer maupun sekunder yang dapat menghasilkan asamasam organik berupa asam laktat, asetat, fumurat, suksinat, butirat, dan alkohol.
Mekanisme proses pengomposan secara umum diperlihatkan pada Gambar 1.
Mikroorganisme pengurai mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari
bahan organik. Bahan organik tersebut akan dikonversi menjadi produk metabolisme
biologi berupa CO2, H2O, sebagian humus, dan energi. Sebagian dari energi yang
dihasilkan tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan gerakan, sisanya dibebaskan
sebagai panas.
Panas
CO2
Air
Energi
Bahan Organik
O2
Air
Mikroorganisme
Mikroorganisme baru
Humus (kompos)
Gambar 1. Mekanisme Pengomposan Secara Umum (Dalzell et al., 1987)
5
Menurut Gumbira-Sa'id (1996), sistem pengomposan dapat dibedakan dalam
dua operasi, yaitu sistem pengomposan aerobik dan anaerobik. Sistem pengomposan
aerobik adalah proses penguraian bahan organik dengan oksigen bebas dan sebagai
hasil akhir diperoleh air, CO2, unsur-unsur hara, dan energi. Pengomposan anaerobik
adalah penguraian bahan organik tanpa adanya oksigen bebas melalui proses reduksi
dengan hasil utamanya CH4, dan CO2. Reaksi untuk kedua sistem pengomposan
tersebut dikemukakan berikut ini :
1. Reaksi pada sistem pengomposan aerobik (Crawford, 1984)
-
Gula, selulosa, hemiselulosa
(CH2O)x + xH2O
-
xCO2 + xH2O + energi
Protein
NH4+
(N-Organik)
-
NO3 + energi
Sulfur organik
SO4-2 + energy
S + xO2
-
NO2
Fosfor organik
(Fitin, lesitin)
H3PO4
Ca(HPO4)2
Reaksi keseluruhannya,
aktivitas
Bahan organik
CO2 + H2O + unsur hara + humus + energi
mikroorganisme
2. Reaksi pada sistem pengomposan anaerobik (Gaur, 1983)
Bakteri penghasil asam
- (CH2Ox)
xCH3COOH
Methanomonas
- CH3COOH
CH4 + CO2
- N-Organik
NH3
Cahaya matahari
- 2H2S + CO2
(CH2O)x + S +H2O
Menurut Dalzell et al. (1987), kecepatan pengomposan kearah produk akhir
yang matang tergantung pada beberapa faktor proses yaitu meliputi pasokan hara,
ukuran partikel, kandungan air, kekuatan struktural bahan, aerasi, agitasi, keasaman
(pH), dan ukuran tumpukan. Gaur (1983), menambahkan bahwa faktor yang paling
penting dalam pengomposan adalah nisbah C/N bahan baku, ukuran potongan, bahan
6
campuran atau perbandingan bahan, kelembaban, aerasi, suhu, dan reaksi
keterlibatan mikroorganisme (inokulum). Keuntungan dari pengomposan yaitu : (1)
memperbaiki tanah berlempung sehingga menjadi ringan, (2) memperbesar daya ikat
tanah berpasir sehingga tanah tidak saling lepas, (3) menambah daya ikat air pada
tanah, (4) memperbaiki tata udara dalam tanah, (5) mempertinggi daya ikat tanah
terhadap zat hara, (6) mengandung hara yang lengkap meskipun dalam jumlah yang
sedikit, (7) mempercepat dalam proses pelapukan bahan mineral, (8) memberikan
bahan makanan untuk mikroba, dan (9) menurunkan aktivitas mikroba yang
merugikan (Sutanto, 2002).
Menurut De Bertoldi et al. (1984), cara pembuatan pengomposan dapat
diklasifikasikan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Metode untuk masingmasing sistem dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Pengomposan Berdasarkan Cara Pembuatan
Klasifikasi
Sistem Terbuka
Metode
Dengan pembalikan tumpukan
Tumpukan statis :
Sistem Tertutup
-
penyedotan udara
-
penghembusan udara
-
ventilasi
-
penghembusan udara dengan kontrol suhu
Reaktor vertikal :
-
Kontinyu
-
Tidak kontinyu
Reaktor horizontal :
-
Material diam (Statis)
-
Material bergerak
Sumber : De Bertoldi et al. (1984)
Aktivator Mikroba
Aktivator adalah bahan tambahan yang mampu meningkatkan penguraian
mikrobiologis dalam tumpukkan bahan organik (Gaur, 1983). Aktivator dikenal
dengan dua macam yaitu aktivator organik dan anorganik. Aktivator organik adalah
7
bahan-bahan yang mengandung N tinggi dalam bentuk bervariasi seperti protein dan
asam amino. Beberapa contoh aktivator organik yaitu fungi, pupuk kandang, darah
kering, sampah, dan tanah yang kaya akan humus. Aktivator anorganik antara lain
amonium sulfat, urea, amoniak, dan natrium nitrat. Aktivator organik dan anorganik
mempengaruhi tumpukan kompos melalui dua cara yaitu cara pertama dengan
penginokulasian strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan
organik. Cara kedua dengan meningkatkan kadar N yang merupakan makanan
tambahan bagi mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme meningkat jika jumlah N
mencukupi, sehingga proses penguraian bahan organik berlangsung lebih cepat dan
efektif. Nitrogen (N) dalam senyawa NH3 jumlahnya semakin rendah karena
digunakan oleh mikroorganisme pengurai untuk sintesa protein dalam mempercepat
aktivitasnya, hal ini menunjukkan proses penguraian berlangsung normal. Beberapa
aktivator yang terdapat dipasaran dan digunakan dalam pengomposan yaitu: EM4,
Stardec dan Orgadec.
Effective Microorganisme4 (EM4)
Higa (1993), memperkenalkan suatu kultur mikroorganisme yang disebut
EM4 di dalamnya mengandung mikroorganisme yang menguntungkan dan secara
efektif
mengatur
keseimbangan
mikroorganisme
tanah
dan
tanaman.
Mikroorganisme tersebut terdiri dari bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik,
aktinomisetes, khamir, dan jamur. Bakteri asam laktat Lactobacillus sp.
memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat yang dapat
menekan pertumbuhan mikroorganisme merugikan. Bakteri fotosintetik (bakteri
fototropik) bakteri ini membentuk zat-zat bermanfaat dari sekresi akar-akar
tumbuhan, bahan organik, dan gas-gas berbahaya dengan menggunakan sinar
matahari sebagai sumber energi. Zat-zat ini bermanfaat seperti asam amino, asam
nukleit, zat bioaktif, dan gula yang dapat mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan pertumbuhan mikroorganisme lain. Actinomycetes sp.
mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara bakteri dan jamur
dimana menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh
bakteri fotosintetik dan bahan organik. Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan
Penicillium menguraikan bahan organik secara tepat untuk menghasilkan alkohol,
ester, dan zat anti mikroba. Ragi membentuk zat-zat anti bakteri dan bermanfaat bagi
8
pertumbuhan tanaman (dalam meningkatkan jumlah sel aktif) dari asam-asam amino
dan gula yang dihasilkan bakteri fotosintetik, bahan organik dan akar-akar tanaman.
Menurut Wididana dan Riga (1993), EM4 merupakan kultur campuran dalam
medium cair berwama coklat kekuning-kuningan, berbau asam dan terdiri dari
mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Bahan tersebut
mampu meningkatkan penguraian bahan organik dan sampah organik, meningkatkan
ketersediaan nutrisi tanaman, menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme
patogen, mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan,
membersihkan air limbah, serta dapat melarutkan senyawa fosfat yang tidak tersedia
bagi tanaman. Sewaktu diinokulasikan ke tanah atau pada tanaman, EM4 secara aktif
memfermentasi bahan organik di dalam tanah dan menghasilkan gula, alkohol, asam
amino, asam laktat, dan senyawa lain yang semuanya dapat langsung diserap akar
tanaman. Selain memfermentasi bahan organik dari tanaman EM4 juga merangsang
perkembangan mikroorganisme lainnya yang menguntungkan pertumbuhan tanaman,
seperti bakteri pengikat N, bakteri pelarut fosfat, mikoriza, dan mikroorganisme yang
bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman (Wididana dan Riga, 1993).
Stardec
Stardec merupakan salah satu probiotik yang mempercepat proses penguraian
bahan organik. Stardec adalah salah satu bioaktivator pengomposan yang banyak
digunakan industri pupuk kompos karena Stardec memiliki keunggulan dalam hal
kepraktisan dan kandungan mikroorganisme yang terkandung di dalamnya. Stardec
merupakan koloni mikroorganisme aerob lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik,
aminolitik, dan mikroba fiksasi N non-simbiotik yang mampu merubah bahan
organik menjadi kompos dalam waktu empat minggu. Mikroba yang terkandung di
dalam Stardec diperoleh dari isolasi tanah lembab dihutan, akar rumput-rumputan,
dan kolon sapi. Digunakan tanah lembab karena pada tanah ini banyak mengandung
mikroba lignolitik dan selulolitik, digunakan akar rumput-rumputan karena pada akar
rumput diperoleh bakteri N fiksasi non-simbiosis yang berfungsi untuk mengikat N
bebas dari udara sehingga kandungan N di dalam pupuk bertambah dan akan
meningkatkan kandungan KTK (kapasitas tukar kation) pupuk, digunakan kolon sapi
karena pada kolon sapi diperoleh bakteri lignolitik yang berfungsi untuk memecah
9
ikatan lignin. Bakteri yang terkandung dari ketiga bahan tersebut kemudian diisolasi
dalam media agar lalu dibiarkan pada media jerami atau ampas tebu (Indriani, 2002).
Peran mikroba yang berada dalam Stardec adalah mikroorganisme lignolitik
dalam menguraikan ikatan lignoselulosa menjadi selulosa dan lignin. Lignin
selanjutnya akan diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi derivat lignin yang lebih
sederhana sehingga mampu mengikat (NH4+). Mikroorganisme selulolitik akan
mengeluarkan enzim selulose yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa
yang lalu dihidrolisis kembali menjadi D-glukosa dan akhirnya difermentasikan
sehingga menghasilkan asam laktat, etanol, (CO2), dan ammonia yang dibutuhkan
tanaman. Mikroorganisme proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim
protease ekstraseluler yaitu enzim pemecah protein menjadi asam-asam amino yang
akan deaminasi dan menghasilkan ammonia (NH3) yang diperlukan oleh tanaman
dan bakteri. Mikroorganisme lipolitik akan menghasilkan enzim lipase yang berperan
dalam perombakan lemak. Mikroorganisme aminolitik akan menghasilkan enzim
amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acid dan
keto acids (Indriani, 2002).
Stardec dilengkapi dengan mikroorganisme fiksasi N non-simbiosis yang
mampu mengikat N dari udara. Mikroba fiksasi N non-simbiosis diperkirakan dapat
mengikat 5–20 gram N dari 1.000 gram bahan organik yang dirombak. Stardec juga
dilengkapi dengan cendawan antagonis Trichoderma yaitu cendawan yang dapat
mengendalikan penyebab penyakit akar yang disebabkan oleh mikroorganisme
Gonoderma sp., JAP (jamur akar putih) dan Phytoptora sp. Mikroorganisme pelarut
fosfat yang ada pada Stardec akan memecah P yang ada di dalam tanah sehingga
dapat diserap tanaman. Dosis aplikasi penggunaan Stardec 2,5% (b/b) (Indriani,
2002).
Orgadec
Orgadec merupakan salah satu aktivator mikroba yang terdiri dari mikrobamikroba yang baik dan bermanfaat untuk tanah. Orgadec diformulasikan dengan
bahan aktif mikroba asli Indonesia yang memiliki kemampuan menurunkan rasio
C/N secara cepat dan bersifat antagonis terhadap beberapa jenis penyakit akar.
Cendawan yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp..
10
Trichoderma pseudokoningii berfungsi untuk mengendalikan penyakit dan sebagai
perombak bahan organik. Kedua mikroba tersebut memiliki kemampuan yang tinggi
dalam menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Untuk
menjamin ketersediaan kedua mikroba ini maka dilakukan pengemasan khusus yang
menjamin masa simpan efektif sampai 12 bulan. Keuntungan dari penggunaan
Orgadec ini adalah sesuai untuk kondisi tropis, menurunkan rasio C/N secara cepat,
tidak membutuhkan tambahan nutrisi, mudah, dan tahan disimpan, antagonis
terhadap penyakit jamur akar, efisiensi tenaga kerja karena tidak perlu pembalikan
bahan baku dan mengurangi pertumbuhan gulma. Dosis aplikasi Orgadec untuk
bahan organik keras adalah 1.25% (b/b).
Unsur Hara
Proses pembuatan kompos tergantung pada aktivitas mikroorganisme yang
memerlukan sumber C untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru,
bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Menurut Dalzell et al. (1987) rasio
C/N dalam campuran pertama berkisar antara 25-35, jika rasio C/N terlalu tinggi
maka prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon (C) dioksidasi
menjadi karbon dioksida dan sebaliknya jika terlalu rendah, maka N yang merupakan
komponen pupuk penting dari kompos akan dibebaskan sebagai amonia. Apabila
rasio C/N terlalu tinggi dapat ditambahkan dengan bahan yang banyak mengandung
N seperti kotoran temak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat ditambahkan dengan
bahan yang kaya C seperti jerami atau serbuk kayu.
Kandungan Air
Kandungan (kadar) air berpengaruh pada reaksi biologis mikroorgansime
dalam menpenguraian bahan organik. Kandungan air dibawah 30% dalam bobot
segar reaksi biologis dalam tumpukan kompos menjadi lambat. Pada kadar air yang
terlalu tinggi ruang antara partikel dari bahan menjadi penuh air, sehingga mencegah
gerakan udara dalam tumpukan. Kandungan air optimum dari bahan kompos adalah
50%-60% (Dalzell et al., 1987). Menurut Golueke (1977), kandungan air
pengomposan yang ideal tergantung dari jenis bahan organik yang digunakan
ataupun jenis bahan organik yang paling banyak terdapat dalam campuran. Nilai
kadar air bahan kompos yang ideal dapat dilihat pada Tabel 4.
11
Tabel 4. Kadar Air Ideal Pengomposan Beberapa Jenis Bahan Organik
Jenis Bahan
Kadar Air
---------------%------------
Jerami
75-85
Kayu
75-90
Kertas
55-65
Limbah basah
50-65
Sampah kota
55-65
Pupuk kandang
55-65
Sumber: Golueke (1977)
Air yang dihasilkan pada saat proses pengomposan dapat hilang karena
evaporasi ke udara. Pada beberapa proses pengomposan dengan cara aerasi buatan
kehilangan air dapat berlebihan dan hal ini dapat pula terjadi pada pengomposan
dengan aerasi alami dalam iklim yang sangat panas. Karenanya mungkin diperlukan
air tambahan untuk membuat kompos yang dapat dipasok dari air biasa atau dari
bahan lain seperti limbah buah-buahan (Dalzell et al., 1987).
Aerasi dan Agitasi
Dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup kesemua bagian
tumpukan kompos untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan
karbon dioksida yang dihasilkan. Menurut Dalzell et al. (1987), tidak adanya udara
(kondisi anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam
mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan yang
menimbulkan bau busuk, jika aerasi dilakukan secara alami daerah pusat bawah dari
tumpukan mungkin kekurangan oksigen (O2). Oleh karena itu, dibutuhkan agitasi
(pengadukan) untuk membantu pergerakan udara dan membentuk permukaan baru
untuk dikerjakan oleh mikroorganisme. Pengendalian agitasi pada tumpukan
menjamin agar semua bahan organik mengalami suhu tertinggi yang dapat dicapai.
Namun pada umumnya agitasi dapat menimbulkan pendinginan dan pengeringan
berlebihan dari bahan kompos.
12
Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada temperatur yang sesuai dengan
temperatur optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Dalzell et al.
(1987), kisaran temperatur ideal tumpukan adalah 55-65°C yang dipertahankan
selama tiga hari dengan temperatur minimum 45°C selama proses pengomposan.
Kurva hubungan antara waktu dan temperatur normal dari tumpukan kompos tertera
pada Gambar 2, yang menunjukkan tahap-tahap temperatur yang dialami tumpukan
kompos yaitu tahap penghangatan, temperatur puncak, pendinginan dan kematangan.
Pada tahap penghangatan yaitu temperatur mesofilik 15-40oC mikroba mulai
berkembang dan beraktivitas mengurai bahan organik. Tahap temperatur puncak
yaitu temperatur termofilik 40-70oC pada tahap ini aktivitas mikroba mengalami titik
puncak. Tahap pendinginan aktivitas mikroba mengalami penurunan. Pada tahap
kematangan mikroba tidak lagi beraktivitas dan temperatur stabil dibawah 25oC.
Temperatur (OC)
Temperatur puncak
(titik keseimbangan)
70
Kerusakan
60
larutan
050
Membunuh
jamur
40
Kerusakan polimer
Pembentukan
fungi kembali
30
20
Kotoran ternak
membentuk humus
10
Waktu
0
A
B
C
D
Keterangan: A = Mesofilik ; B = Termofilik ; C = Pendinginan ; dan D = Pematangan
Gambar 2. Perbedaan Temperatur dalam Tumpukan Kompos (Dalzell et al., 1987)
Keseimbangan antara panas yang dihasilkan dan yang dilepaskan akan
tergantung pada kemampuan tumpukan untuk menghambat panas yang keluar.
Besarnya kemampuan tersebut tergantung pada ukuran tumpukan. Ketinggian yang
sesuai untuk berbagai jenis bahan adalah minimum 1 sampai 1,2 meter dan
maksimum 1,5 sampai 1,8 meter. Tumpukan yang terlalu rendah akan menyebabkan
13
kehilangan panas dengan cepat, sehingga temperatur optimum untuk membunuh
mikroorganisme patogen serta proses penguraian oleh mikroorganisme termofilik
tidak akan tercapai. Selain itu akan menyebabkan hilangnya kadar air secara
berlebihan (Dalzell et al., 1987).
14
Download