benarkah quraish shihab syi`ah? - Pusat Studi Al

advertisement
BENARKAH QURAISH SHIHAB SYI’AH?
Oleh : Muchlis M Hanafi
(Sekjen Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional Cabang Indonesia)
Akhir-akhir ini pertanyaan di atas banyak dialamatkan ke saya. Mereka tahu saya berguru
kepada Quraish Shihab dan bekerja di Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) yang didirikannya.
Pertanyaan datang bertubi-tubi karena dipicu tulisan dalam www.kompasislam.com yang
mengutip pandangan salah seorang Pimpinan Pusat MUI bahwa Quraish Shihab adalah
pendukung setia kelompok sesat Syiah. Penulis sendiri ragu dengan kebenaran informasi
tersebut, apalagi dari seorang ulama yang juga penulis segani. Tetapi terlepas dari benar
atau tidaknya statemen tokoh tersebut, dampaknya sangat luar biasa bagi sosok Quraish
Shihab dalam pandangan sebagian umat. Quraish Shihab seperti terkena vonis in
absentia.
Tudingan Syiah terhadap Quraish Shihab bukan hal baru. Dari dulu sampai sekarang
tudingannya sama, hanya pemicunya yang berbeda. Jika pada tahun 1997 dilatari oleh
faktor politik, setelah beliau diangkat sebagai Menag di Kabinet Soeharto, saat ini
tudingan itu muncul kembali dengan dilatari semakin meningkatnya potensi konflik
Sunnah-Syiah di Indonesia, terutama Sunnah yang cenderung ekstrim. Ke depan, potensi
itu akan semakin membesar, jika tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat tentang
keniscayaan perbedaan dan pentingnya persatuan. Kedua kelompok tersebut, dengan
dukungan dari negara tertentu, akhir-akhir ini semakin gencar memperluas pengaruh dan
dakwahnya di tengah masyarakat Indonesia.
Tulisan ini bukan sebagai pembelaan. Quraish Shihab tidak perlu dibela, karena sosok
beliau dengan karya-karya dan pemikirannya sudah membela dirinya sendiri. Tidak ada
pernyataannya dalam karya-karya tersebut yang menunjukkan beliau seorang pengikut
Syiah. Dalam kesempatan wawancara harian Republika, 16 Februari 2014, bertepatan
dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, Quraish menyatakan dirinya bukan seorang
penganut Syiah, dan meminta kepada siapa pun yang menuduhnya untuk mendatangkan
bukti. Silakan baca karya-karyanya, tidak ditemukan ungkapan yang menunjukkan dirinya
penganut Syiah. Tidak seorang pun berhak membedah dada orang lain untuk mengetahui
isi hatinya. Benar atau tidaknya pengakuan tersebut urusan Quraish dengan Tuhan.
Bertahun-tahun mendampingi Quraish Shihab bekerja dengannya, penulis tidak
menemukan hal yang aneh dalam keyakinan dan tata cara peribadatan beliau yang
berbeda dengan tradisi kebanyakan Ahlussunnah.
Quraish Shihab tidak merasa cemas dan khawatir dengan tudingan miring apa pun
terhadap dirinya. Baginya pujian tidak akan membuatnya besar, dan cacian tidak akan
membuatnya rendah dan hina. Dari segi dunia, puncak karier dalam berbagai bidang;
ilmiah dan profesi, sudah diperoleh. Rezeki pun cukup memadai. Sikapnya terhadap Syiah
dan ‘keberaniannya’ untuk mengajak Sunnah dan Syiah bergandengan tangan sematamata karena tuntutan amanah ilmiah untuk menyampaikan kebenaran dan panggilan
jiwa untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.
1
Keniscayaan Perbedaan, Keharusan Persatuan
Dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Quraish menegaskan
bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi
keniscayaan. Keragaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan
rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai
perkembangan. Keberadaan mazhab-mazhab itu juga memperkaya khazanah peradaban
Islam dengan berbagai alternative pemikiran yang dapat memberikan kemudahan dan
pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini perbedaan dapat menjadi rahmat.
Tetapi ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme yang
berlebihan, sehingga melahirkan sikap saling mem-bid`ah-kan, merasa paling benar, dan
mengkafirkan, sejarah pemikiran Islam diwarnai dengan pertumpahan darah yang
mencabik persatuan umat.
Penggalan judul buku Quraish, “... Bergandengan Tangan!” (dengan tanda seru),
menunjukkan keharusan persatuan dalam keragaman. Salah satu cara mengelola
perbedaan adalah dengan membuka pintu dialog untuk mendekatkan pemahamanpemahaman yang ada. Bila itu tidak bisa dilakukan, maka dengan mendekatkan dan
meningkatkan keharmonisan di antara pengikut pemahaman yang berbeda.
Mendekatkan, karena memang sulit, bila tidak ingin berkata mustahil, untuk
menyatukannya. Melalui dialog akan timbul sikap menghormati dan toleransi.
Selanjutnya Quraish bertanya, “Mungkinkah?”. Jawabannya berpulang kepada kita.
Meski berbeda kita perlu optimis dapat mewujudkan persatuan umat. Optimisme itu
cukup beralasan jika dilihat bahwa sisi persamaan antara mazhab atau aliran yang ada
sangatlah banyak, terutama dalam hal pokok ajaran, bila dibanding dengan perbedaan.
Dalam konteks hubungan antara Sunnah dan Syiah, persamaan itu dapat dilihat pada
keimanan terhadap pokok-pokok akidah Islam (tauhid, kenabian dan kebangkitan),
komitmen terhadap pokok-pokok ajaran dan rukun Islam serta komitmen terhadap AlQur`an dan hadis sebagai sumber ajaran. Bila terhadap penganut agama yang berbeda
saja kita diminta untuk berdialog dan berdebat dengan cara yang terbaik maka dengan
sesama yang mengucap dua kalimat syahadat tentu lebih sangat dianjurkan dan harus
bisa kita lakukan.
Perbedaan antara Sunnah dan Syiah diperbesar oleh faktor politik kekuasaan, padahal
keduanya sama-sama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjalin hubungan
dengan Islam melalui keyakinan terhadap kitab suci Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Dalam
hal pokok ajaran keduanya sama. Perbedaan hanya pada persoalan teknis (masâ`il
fiqhiyyah), seperti perbedaan yang ada antara mazhab Hanafi dengan Maliki atau Syafi`i.
Tentu tanpa mengabaikan perbedaan yang prinsipil antara keduanya dalam hal
kepemimpinan (Imâmah).
Atas dasar kesamaan ini, di akhir tahun empat puluhan abad ke-20, para ulama Al-Azhar
yang merepresentasikan kelompok sunnah dan beberapa ulama dari kelompok Syiah
menggagas forum dialog untuk mendekatkan kedua mazhab tersebut yang dinamakan
Lajnat al-Taqrîb Bayna al-Madzâhib al-Islâmiyyah. Sebagai puncaknya adalah pengakuan
2
Syiah sebagai bagian dari mazhab-mazhab Islam yang ada dalam fatwa Syeikh Mahmud
Syaltout. Fatwa tersebut berbunyi, “Sesungguhnya mazhab Ja`fariyah, yang dikenal
dengan Syi’ah Imamiyah Itsna `Asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan secara syar`i
untuk beribadah dengannya seperti mazhab-mazhab ahlusunnah lainnya. Umat Islam
sepatutnya mengetahui itu dan tidak terjebak pada fanatisme secara berlebihan/ tidak
tepat terhadap mazhab tertentu. Agama Allah dan syariat tidak tunduk/ mengikuti satu
mazhab tertentu, atau terbatas pada mazhab. Semua berijtihad dan akan diterima di sisi
Allah”1.
Sampai saat ini, dalam kajian fiqih perbandingan (fiqh muqâran) di Universitas Al-Azhar
mazhab Syiah Imamiyah dianggap sebagai salah satu mazhab fiqih yang mu`tabar selain
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali, Zhahiriyah, Zaidiyah dan Ibadhiyah. Bahkan
melalui Kementerian Wakaf, para ulama Al-Azhar menyusun ensiklopedia fiqih Islam
bersumberkan delapan mazhab tersebut.
Sikap Quraish terhadap Syiah tidak berbeda dengan sikap para guru-gurunya, ulama AlAzhar, yang menjunjung tinggi dan menghormati perbedaan tanpa harus menyetujuinya,
apalagi mengamalkannya. Sebagai seorang akademisi, Quraish Shihab cukup kritis
terhadap beberapa ajaran Syiah. Kejujuran Ilmiah menuntutnya untuk menyampaikan
ajaran Syiah dan Sunnah apa adanya; dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan
persamaan dan perbedaannya.
Anda boleh saja tidak setuju, seperti ditunjukkan oleh beberapa orang dari pesantren
Sidogiri Jawa Timur dengan menulis buku yang membantah karya Quraish Shihab. Tetapi
itu tidak berarti pendapat Anda lah yang benar. Saya menilainya itu hanya beda
pandangan yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan dan
rujukan yang digunakan. Setahu penulis, Quraish Shihab banyak menggunakan rujukan
mutakhir selain yang klasik. Bagi Quraish Shihab, pemikiran di kalangan ulama Syiah
cukup dinamis dan sangat beragam, seperti halnya di kalangan Sunnah, sehingga kita
tidak bisa menilai mereka dengan cara menggeneralisir.
Syiah Zaidiyah dan Imamiyah, Muslimkah?
Dalam sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Islam Internasional di Amman
Yordania 4 - 6 Juli 2005, dan ditegaskan kembali dalam keputusan dan rekomendasi
Sidang ke 17 Majma al-Fiqh al-Islami (lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI)
di Yordania 24-26 Juni 2006 dinyatakan;
1. Setiap yang mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal jamaah
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), mazhab Ja`fari, Zaidiyah, Ibadhiyah dan
Zhahiriyah adalah Muslim yang tidak boleh dikafirkan. Demikian pula tidak boleh
mengkafirkan kelompok Muslim lain yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, rukun
iman, menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari pokok-pokok ajaran agama
(al-ma`lûm min al-dîn bi al-dharûrah).
1
Sayyid Jalaluddin, Al-Ta`addudiyyah al-Madzhabiyyah fi al-Islâm, h. 119
3
2. Yang menyatukan mazhab-mazhab yang ada sangatlah banyak dibanding
perbedaan. Para penganut mazhab delapan sepakat prinsip-prinsip pokok ajaran
Islam. Semua beriman kepada Allah yang Esa, Al-Qur`an adalah kalamullah, Nabi
Muhammad adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia. Mereka juga
sepakat rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji.
Demikian juga rukun iman; percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasulrasul, hari akhir dan qadar yang baik dan buruk. Perbedaan ulama para pengikut
mazhab adalah perbedaan dalam hal teknis (furu’iyyah), bukan yang prinsipil, dan
itu mendatangkan rahmah.
Pernyataan yang ditandatangani oleh banyak ulama dunia Islam itu dapat dikatakan
menjadi sebuah konsensus (ijmâ`) umat Islam di era modern sebagai upaya membangun
pijakan dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan. Pernyataan
tersebut bermula dari keinginan Raja Abdullah dari Yordania yang telah menggagas
rumusan pesan damai Islam melalui Amman Message pada tahun 2004.
Saling memvonis kafir (takfîr) dan saling menyesatkan karena perbedaan pandangan
keagamaan antara satu kelompok dengan lainnya sampai saat ini masih sering kita
saksikan. Lebih-lebih antara kelompok Syi’ah, wahhâbiyah dan shûfiyah. Tentu sangat
disayangkan jika ada kelompok umat Islam yang terlalu mudah mengafirkan orang atau
institusi hanya karena berbeda pandangan dalam beberapa persoalan akidah atau fiqih.
Padahal Al-Qur`an mengingatkan kita agar tidak cepat-cepat menghukumi orang lain
kafir. “Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam”
kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya) (QS. Al-Nisa
: 94). Rasulullah meningatkan, “Jika ada seseorang yang melemparkan tuduhan fasiq dan
kafir kepada orang lain, dan ternyata tuduhan itu tidak benar, maka tuduhan itu akan
kembali kepada dirinya” (HR. Al-Bukhari).
Mengingat besarnya dampak yang diakibatkan oleh takfîr para ulama Islam mengingatkan
agar kita tidak cepat-cepat melabelkan kafir kepada seseorang atau kelompok orang atau
institusi. Imam al-Ghazali mengingatkan, “sedapat mungkin kita berhati-hati dalam
mengafirkan, sebab menghalalkan darah dan harta orang yang melakukan shalat ke
kiblat, yang menyatakan secara tegas dua kalimat syahadat adalah sebuah kesalahan.
Kesalahan yang berakibat membiarkan seribu orang kafir hidup lebih mudah
menanggungnya daripada melakukan kesalahan yang berakibat terbunuhnya seorang
Muslim”.
Takfîr hanya boleh dialamatkan kepada yang menyatakan kekufurannya secara terangterangan, menjadikannya sebagai keyakinan/ agama, mengingkari dua kalimat syahadat,
dan keluar dari agama Islam. Ulama Al-Azhar, Syeikh Muhammad Abduh juga
mengingatkan, “Salah satu pokok ajaran Islam yaitu menghindari takfir. Telah masyhur di
kalangan ulama Islam satu prinsip dalam agama, yaitu bila ada ucapan seseorang yang
4
mengarah kepada kekufuran dari seratus penjuru, dan mengandung kemungkinan iman
dari satu arah, maka diperlakukan iman didahulukan, dan tidak boleh dihukumi kafir”2.
Hambatan Dialog dan Taqrîb
Upaya mendekatkan dan membangun dialog itu bukan tanpa hambatan. Dalam
konferensi dialog antar-mazhab (Sunnah-Syiah) yang digelar di Doha awal tahun 2007
mengemuka beberapa hambatan tersebut, antara lain; beban sejarah yang cukup
panjang, kecurigaan masing-masing kelompok terhadap lainnya, adanya upaya
menyebarluaskan paham Syiah di tengah komunitas Sunnah, literature masing-masing
kelompok yang menjelekkan kelompok lainnya, dan masih banyak lainnya. Oleh
karenanya, dialog yang telah terbangun selama ini belum menunjukkan hasil yang
signifikan. Bahkan cenderung menguntungkan salah satu pihak.
Syeikh Ahmad Thayyeb, Rektor Universitas Al-Azhar (saat ini Grand Syeikh Al-Azhar),
dalam paparannya saat itu mengkhawatirkan masa depan dialog dengan masih adanya
upaya dari kelompok Syiah untuk menyebarluaskan pahamnya di Mesir yang menganut
paham Sunnah. Buku-buku yang mencaci para Sahabat yang sangat dihormati kelompok
Sunnah masih banyak ditemukan. Selama ini, menurut Thayyeb, kelompok Sunnah sudah
terlalu banyak ‘mengalah’. Jika upaya tersebut masih berlanjut bukan tidak mungkin
kelompok Sunnah tidak akan melanjutkan proses dialog.
Konferensi Doha yang sempat penulis ikuti mewakili Kementerian Agama RI menghasilkan
deklarasi antara lain:
1. Menegaskan pentingnya melanjutkan usaha untuk saling mendekat dan saling
pengertian antara mazhab dan aliran dalam Islam dan berupaya menghilangkan
rintangan yang menghalangi terciptanya persatuan umat.
2. Seluruh ulama peserta konferensi yang mewakili kelompok Sunnah, Syiah
Imamiyah, Zaidiyah dan Ibadhiyyah menolak dengan tegas segala bentuk
pelecehan dan penghinaan terhadap keluarga Rasulullah shallallâhu `alayhi
wasallam, para sahabat dan isteri-isteri Rasululullah. Mereka juga mengajak
seluruh pengikut mazhab dan aliran dalam Islam untuk mengormati tempattempat suci masing-masing kelompok dan memelihara upaya saling menghormati
dalam dialog dan kegiatan dakwah.
3. Mengajak seluruh tokoh dan pemuka agama dari kelompok Sunnah dan Syiah
untuk menjaga batas-batas dalam berinteraksi dengan pihak lain dan tidak
memperkenankan untuk menyebarkan mazhab Syiah di tempat-tempat
kelompok Sunnah, atau menyebarkan paham Sunnah di tempat-tempat
kelompok Syiah agar tidak terjadi bentrokan dan perpecahan di kalangan umat
Islam.
4. Konferensi menyerukan kepada seluruh penguasa dan kepala pemerintahan
negara-negara Arab dan Islam untuk mendukung segala upaya para ulama dan
2
M. Emarah, Al-A`mâl al-Kâmilah li al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993), 3/302
5
pemikir untuk mewujudkan persatuan dan menetapkan kebijakan dialog antara
mazhab Islam.
5. Membentuk Lembaga Riset Internasional yang menghimpun para ulama dari
kelompok Sunnah, Syiah (Imamiyyah), Zaidiyyah dan Ibadhiyyah yang akan
mengukuhkan konsep taqrîb, memonitoring segala rintangan dan celah
kekurangan dan memberikan solusi yang tepat. Konferensi mengusulkan agar
lembaga tersebut berpusat di Doha.
6. Memperbaiki kurikulum pengajaran dengan sesuatu yang mendukung konsep
persatuan dan taqrîb (upaya mendekatkan jarak) antara mazhab dan aliran dalam
Islam.
Sebesar apa pun hambatan yang ada dialog tetap harus dibangun dengan niat
baik, dalam suasana keterbukaan, saling menghormati dan saling percaya. Dialog
diperlukan untuk membahas agenda bersama mewujudkan kepentingan yang lebih besar
bagi umat. Dialog bukan untuk menyatukan atau menyamakan pandangan, tetapi untuk
saling memahami dan menghormati. Untuk itu kode etik dan aturan penyebaran paham
kelompok masing-masing perlu disepakati. Semangat ini yang terus digelorakan oleh
Quraish Shihab. Semoga kerukunan yang diidamkan segera dapat terwujud. Demikian,
wallahua`lam.
6
Download