MEMUPUK KEMANDIRIAN SEBAGAI STRATEGI

advertisement
MEMUPUK KEMANDIRIAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN
KEPRIBADIAN INDIVIDU SISWA DALAM BELAJAR
Oleh:
Tahmid Sabri
(PGSD, FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak)
Abstrak: Menurut KTSP, kurikulum tahun 2006, bahwa dalam suatu
pembelajaran, sasaran utama yang akan dicapai dalam pembelajaran meliputi 4
pilar pendidikan (Learning to know/penguasan pengetahuan; Learning to
do/penguasaan keterampilan; Learning to be/pengembangan diri; dan Learning
to live together/belajar untuk bermasyarakat), dengan kata lain pengetahuan
yang dikembangkan pada anak, tidak hanya aspek kognitif saja, namun aspek
lain juga sangat diperlukan seperti aspek apektif, psikomotor, termasuk aspek
sosial yang lebih mengedepankan “Perlunya pengembangan kemandirian bagi
siswa melalui kegiatan belajar di sekolah, di mana peran orang tua dan guru
sangat menentukan agar kelak anak-anak kita menjadi anak-anak harapan masa
depan yang memiliki sikap dan perilaku yang mandiri, terampil, cekatan,
kreatif dan berakhlakul karimmah serta bertanggung jawab dan bersikap
demokratis.
Kata Kunci: Kemandirian, Belajar Siswa.
Pendahuluan
Seorang bayi, secara bertahap
diharapkan
akan
mengenyam
pendidikan di Taman Kanak-kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah,
dan Perguruan Tinggi sebelum ia
masuk dan berkecimpung di dunia
kerja. Melalui proses seperti itu,
setiap siswa pada akhirnya akan
menjadi mandiri dan dewasa. Jelaslah
bahwa kemandirian merupakan salah
satu
indikator
keberhasilan
pendidikan.
Penulis
mengamati
bahwa penanganan isu ‘kemandirian’
untuk para siswa dan anak kita masih
sedikit oleh para guru dan orang tua
dibandingkan dengan negara-negara
maju. Pengamatan saya melalui film
dan majalah mereka, menunjukkan
bahwa sejak kecil anak-anak mereka
sudah dibiasakan untuk tidur sendiri
di kamarnya. Sejak kecil juga mereka
sudah dibimbing dan dibiasakan
untuk
mengetahui
hak-hak,
kewajibannya, dan kewajiban orang
lain. Tidak hanya itu, sejak kecil
mereka sudah dibimbing untuk
selalu
mempertahankan hak-hak
tersebut. Karenanya, judul artikel ini
menjadi sangat menarik untuk
dibahas dan mudah-mudahan akan
mampu meningkatkan penanganan
isu kemandirian bagi individu siswa
dalam belajar di sekolah, apakah itu
di TK, SD, SMP dan SLTA bahkan
perguruan tinggi.
Dari kenyataan sehari-hari,
terkadang
perilaku
kemandirian
sebagai sikap, kurang
mendapat
perhatian dari pihak orang tua dan
pihak guru. Tidak sedikit orang tua
memanjakan anaknya dari sejak kecil
hingga dewasa, inilah yang menjadi
sumber pengangguran karena sudah
terlanjur terpatri unsur pemalas, hidup
pasrah, selalu bergantung kepada
69
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
orang tua tanpa ada usaha untuk
hidup mandiri yang kreatif, pada hal
menurut tinjauan Islam “Allah tidak
akan merubah nasib seseorang
terkecuali ada usahanya sendiri”,
artinya kemandirian
itu perlu
ditanamkan sejak usia dini.
Kecenderungan yang muncul
dewasa ini, ditunjang oleh laju
perkembangan teknologi dan arus
gelombang kehidupan global yang
sulit atau tidak mungkin dibendung,
mengisyaratkan bahwa kehidupan
masa mendatang akan menjadi sarat
pilihan yang rumit (Ali, M & Asrori,
M, 2009:107). Hal semacam ini
menuntut adanya kemandirian pada
seorang individu, sebesar apapun
problema yang dihadapi, Insya Allah
ada jalan keluarnya, yang penting ada
kemandirian
dan
kesungguhan
mengatasinya.
Sebagai
umat
beragama ada tiga hal penting yang
harus kita lakukan, yaitu” tawakkal
(pasrah diri kepada Sang Pencipta),
doa dan usaha atau ikhtiar”.
Bila dilihat dari fakta di
lapangan, khususnya di sekolahsekolah termasuk di sekolah dasar,
anak banyak bermainnya dari pada
belajarnya, apa lagi di luar jam belajar
sekolah. Guru cenderung lebih
mengedepankan aspek kognitifnya
kurang memperhatikan aspek lainnya
seperti aspek afektif, psikomotor,
sosial dan aspek kemandirian yang
menjadi modal dasar dalam belajar
dan merintis masa depan yang lebih
berprospek menuju hidup sejehtera,
layak dan bahagia baik lahir maupun
batin. Ada ungkapan bahwa “jiwa
anak itu bagaikan paku, apabila
dipalu baru paku tersebut bisa masuk
ke dalam sasarannya”, anak tidak
akan belajar dengan baik tanpa ada
dorongan dari pihak luar, di rumah
oleh orang tua dan di sekolah oleh
guru, maka atas dasar inilah potensi
kemandirian anak perlu dipupuk,
dibina dan dikembangkan melalui
strategi yang tepat pada setiap
berlangsungnya pembelajaran agar
kelak anak menjadi orang yang
percaya diri, mandiri dan tanggung
jawab dan bisa memecahkan berbagai
persoalan dengan caranya sendiri
tanpa dibebankan pada orang lain
sejalan
dengan
pesan
yang
diamanatkan
dalam
tujuan
pendidikan, yaitu terbentuknya anak
yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, cerdas, terampil, kreatif,
mandiri, dan tanggung jawab serta
demokratis (UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas).
Belajar dari Mengajar Anak
Berjalan
Menurut
Kamus
Umum
Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa,
2001:710), kata ‘mandiri’ berarti
dalam keadaan dapat berdiri sendiri,
tanpa bergantung pada orang lain.
Contohnya, sejak kecil ia sudah biasa
mandiri
sehingga
bebas
dari
ketergantungan pada orang lain. Pada
dasarnya, setiap guru dan setiap orang
tua menginginkan bahwa pada
akhirnya setiap anak dan siswanya
akan menjadi mandiri atau menjadi
dewasa; dalam arti, siswa mampu
untuk menentukan dan memilih halhal yang ‘baik’ dari yang ‘buruk’;
hal-hal yang ‘benar’ dari yang ‘salah’;
serta hal-hal yang ‘bagus’ dari hal-hal
yang ‘jelek’. Pertanyaan yang dapat
diajukan adalah, apa yang harus
dilakukan para guru untuk membantu
siswanya menjadi mandiri ?
Untuk menjawab pertanyaan
di atas, pernahkah terlintas di dalam
Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa
Dalam Belajar (Tahmid Sabri)
pikiran pembaca tentang bagaimana
cara para orang tua atau seorang
kakak mengajari anak atau adiknya
Berjalan ? Mengapa pada
awalnya orang tua memegang tangan
anaknya ketika mengajarinya berjalan ?
Apa yang akan terjadi jika si anak
langsung dilepas untuk belajar berjalan ?
Apa yang akan terjadi jika anak selalu
dipegang ketika ia belajar berjalan tanpa
dilepas sedikitpun ? Mengapa secara
bertahap orang tua lalu mulai
melepaskan bantuan atau pegangannya ?
Dari beberapa pertanyaan di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa pada
dasarnya, setiap siswa yang masih
duduk di bangku SD masih memerlukan
bantuan dan bimbingan seorang guru.
Namun bimbingan itu sedikit demi
sedikit harus dihilangkan, sehingga
pada akhirnya ia menjadi mandiri. Jika
bantuan yang diberikan seorang guru
terlalu banyak, siswa akan tergantung
pada gurunya; sehingga mereka tidak
akan berani mengambil keputusan
sendiri. Namun jika siswa dibiarkan
begitu saja tanpa
bantuan dan
bimbingan guru maka ia
akan
memerlukan waktu yang relatif jauh
lebih lama untuk belajar dan
menemukan sendiri norma-norma dan
berbagai pengetahuan penting.
Berdasarkan penjelasan di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa
seorang
guru harus membantu
siswanya sesuai tingkat kebutuhan
mereka. Karenanya, tindakan seorang
guru ataupun orang tua yang terlalu
melindungi siswa atau anak didik
(over protected) dan tindakan guru
yang sama sekali tidak mau
membimbing siswanya merupakan
dua tindakan yang saling berlawanan
dan dua-duanya harus sama-sama
dihindari.
Guru
harus
selalu
membantu siswanya sesuai dengan
70
tingkat kebutuhan dan umur mereka,
sehingga secara bertahap namun pasti
mereka akan menjadi semakin
dewasa, semakin matang, dan
semakin mandiri sejalan dengan
perkembangan
umur
mereka.
Contohnya, ketika seorang siswa
melakukan tindakan yang tidak
terpuji, sudah seharusnya seorang
guru tidak langsung memarahi anak
tersebut
atau
sama
sekali
mengacuhkannya, namun ia dapat
mengajukan beberapa pertanyaan
berikut sebagai alternatifnya:
a. Mengapa kamu memukul Anto ?
b. Jika pukulanmu menyebabkan
Anto pingsan atau koma, apakah
kamu dan orang tuamu juga akan
bertanggung jawab ?
c. Senangkah kamu jika ada orang
lain
yang
melakukan hal
tersebut kepada mu seperti yang
kamu lakukan pada Anto tadi ?
Mengapa kamu tidak senang ?
d. Kalau begitu, apakah kamu akan
melakukan lagi hal seperti itu ?
e. Apa yang akan kamu lakukan
terhadap Anto sekarang ?
Dengan bantuan beberapa
pertanyaan di atas, siswa dibimbing
dan disadarkan bahwa tindakannya
merupakan tindakan yang tidak
terpuji dan ia dibimbing untuk tidak
mengulangi melakukan tindakan yang
tidak terpuji tersebut. Tidak hanya
itu, dengan beberapa pertanyaan
tersebut; di kelak kemudian hari,
siswa diharapkan dapat menentukan
ataupun memutuskan sendiri, tanpa
bantuan gurunya hal-hal yang tidak
boleh mereka lakukan karena sangat
berbahaya dan ia akan dimintai
tanggung jawab atas perbuatannya
itu. Akan lebih baik, jika pertanyaan
tersebut disampaikan juga ke seluruh
siswa di suatu kelas, sehingga
71
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
seluruh siswa akan menyadari
kejelekan tindakan yang tidak terpuji
tersebut.
Memberi Kailnya ataukah
Memberi Ikannya ?
Pernahkah terlintas di dalam
pikiran pembaca tentang kehebatan
dan kebesaran tiga orang penting yang
memimpin organisasi massa dan
organisasi politik yang berasaskan
Islam di Indonesia, yaitu K.H. Hasyim
Muzadi yang memimpin organisasi
massa Islam terbesar di Indonesia yaitu
NU atau Nahdhatul Ulama; Prof. Dr.
Din Syamsudin yang memimpin
Muhammadiyah; dan Dr. Hidayat
Nurwahid yang pernah memimpin
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
melepaskan jabatan itu ketika beliau
menjadi ketua MPR ? Pernahkah
terlintas juga di dalam pikiran pembaca
bahwa ketiga pemimpin tersebut adalah
lulusan dari satu institusi pendidikan
yang sama, yaitu sama-sama lulusan
pondok pesantren modern Gontor
Ponorogo ? lalu, pernahkah terlintas
pertanyaan di dalam pikiran pembaca
mengapa pondok pesantren modern
Gontor tersebut mampu melahirkan
tokoh-tokoh penting tersebut ? Apa
hebatnya pondok pesantren tersebut ?
sebagai salah satu pondok pesantren
modern, tidak seperti
pondok
pesantren tradisional lainnya yang
hanya
mengajarkan penguasaan
Bahasa Arab bagi para santrinya, maka
Gontor telah dikenal sebagai salah satu
pondok pesantren yang memberi
kesempatan kepada para santrinya
untuk paling tidak menguasai dua
bahasa lain selain Bahasa Indonesia,
yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
Ada hari-hari khusus di mana para
siswa harus menggunakan Bahasa
Arab dan pada hari-hari khusus
lainnya para santri harus belajar
menggunakan atau mempraktekkan
Bahasa Inggris. Pertanyaan yang
dapat diajukan adalah, apa yang akan
terjadi
dengan
lulusan pondok
pesantren tersebut jika mereka hanya
belajar berbahasa Arab, namun tidak
dibekali
dengan
kemampuan
berbahasa Inggris ?
Di samping membantu para
santrinya untuk mempelajari dua
bahasa penting dunia tersebut,
pondok pesantren modern tersebut
memiliki perpustakaan yang lengkap
dan modern; sehingga lengkaplah kail
yang diberikan pondok pesantren
kepada
para
santrinya
untuk
mengembangkan dirinya sendiri di
dalam mempelajari khasanah ilmu
keislaman yang ada. Tidak hanya
ilmu-ilmu yang dikaji para ulama
Timur Tengah yang dapat mereka
pelajari namun ilmu-ilmu lainnya
yang telah dikembangkan para pakar
dari dunia lain.
Di samping itu, selama di
pondok pesantren mereka dilatih
untuk
belajar
memimpin
dan
dipimpin melalui organisasi dan
diskusi yang teratur serta belajar
mengatur dirinya sendiri
melalui
hidup yang mandiri dan ibadah yang
tekun; sehingga cukuplah bekal bagi
mereka untuk berjuang di masyarakat
setelah lulus kelak. Pada akhirnya,
tergantung kepada para santri sendiri,
apakah akan cepat puas dengan hasil
yang telah ada, ataukah akan berusaha
untuk
terus
mengembangkan
kemampuannya melebihi temanteman lainnya atau dapat melebihi
gurunya sendiri.
Sesungguhnya, seorang guru
atau ustad sejati adalah mereka yang
memberi
kemudahan
ataupun
fasilitas bagi para siswa atau
Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa
Dalam Belajar (Tahmid Sabri)
santrinya yang berpikiran maju.
Tidak hanya itu, sang guru akan
sangat senang jika pada akhirnya ada
dari muridnya yang jauh melebihi
dirinya. Karenanya, tugas guru sejati
adalah memberi bekal yang tepat
sehingga muridnya menjadi mandiri,
dalam arti dapat menentukan dan
melaksanakan hal-hal yang ‘benar’
dan ‘baik’ bagi dirinya, keluarganya,
masyarakat, dan bangsanya.
Dari
pondok
pesantren
modern Gontor kita belajar tentang
keberhasilan
pemupukan
‘kemandirian’ para santri dalam
mengembangkan
kepribadian
mereka.
Pepatah
Cina
yang
digunakan
Bastow,
Hughes,
Kissane, dan Mortlock (1986:1) dan
cocok
untuk
menunjukkan
pentingnya kemandirian ini adalah:
“A person given a fish is fed for a
day. A person taught to fish is fed
for live.” Jelaslah bahwa selama
mereka di pondok pesantren, para
santri atau para siswa dilatih untuk
tidak hanya menerima sesuatu yang
sudah jadi, layaknya diberi seekor
ikan yang dapat dan tinggal dimakan
selama sehari saja, namun, mereka
dilatih seperti layaknya belajar cara
menangkap ikan tersebut sehingga ia
bisa makan ikan selama hidupnya.
Selama di pondok, mereka belajar
Bahasa Indonesia, Inggris, dan
Arab; belajar bagaimana belajar
yang sesungguhnya; belajar cara
memimpin diri sendiri dan cara
memimpin
orang
lain
yang
merupakan bekal-bekal yang dapat
dikembangkan sendiri ketika sudah
meninggalkan pondok. Karenanya,
para santri di pondok tersebut telah
dibekali
dengan
cara-cara
‘menangkap ikan’ dan bukan dibekali
dengan ‘ikan’ yang sudah siap untuk
72
dimakan. Pertanyaan yang dapat
diajukan adalah: “Bekal apa saja yang
cocok atau tepat untuk para siswa
kita, sehingga ketika mereka sudah
meninggalkan sekolah, mereka dapat
hidup layak dan dapat bersaing
dengan warga bangsa atau warga
negara
lain?”
Kata
lainnya,
bagaimana caranya sehingga mereka
mendapat bekal tentang cara-cara
‘mendapatkan ikan’ dan bukan hanya
mendapat bekal ‘ikan’ saja ?
Bekal Apa yang Tepat untuk Siswa
Kita ?
Sekali lagi, dari ceritera
sukses pada Pondok Modern Gontor
ini kita dapat menyimpulkan tentang
arti penting kemandirian para
santrinya. Para pengelola di pondok
pesantren
tersebut
telah
menunjukkan juga contoh penting
tentang
pengambilan
keputusan
(decision making) yang sangat tepat
untuk membekali mereka dengan dua
bahasa penting. Apa yang akan terjadi
dengan pondok pesantren tersebut dan
santrinya, jika para pimpinan di
pondok pesantren tersebut tidak
berani untuk mengambil keputusan
seperti itu ? Di dalam dunia
pendidikan, salah satu pertanyaan
klasik yang sering diajukan adalah:
“Bekal apa saja yang ‘tepat’ untuk
kemandirian para siswa kita ?”
Pertanyaan ini menjadi sangat
penting dan mendasar dan sesuai
dengan pernyataan Nickerson (1988)
di dalam bukunya Technology in
Education, Looking Toward 2020,
yaitu: “A general educational
problems that how to ensure that
students spend time learning the
‘right things’. These are old questions
within education, but that does not
mean that we know the answers.”
73
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
Bagaimana
caranya
meyakinkan diri kita sendiri, bahwa
para siswa yang sedang duduk di
bangku sekolah telah menggunakan
waktunya untuk mempelajari hal yang
‘tepat’ ?
Menurut Nickerson sendiri,
jawaban untuk pertanyaan klasik
seperti itu, belum tentu sudah kita
ketahui pada saat ini. Alasannya, hal
yang ‘tepat’ pada kurun waktu
tertentu akan menjadi tidak ‘tepat
lagi’ pada kurun waktu sesudahnya.
Namun National Research Council
dari Amerika Serikat (NRC, 1989:1)
memberi sedikit petunjuk tentang
pentingnya ‘kail’ yang berkait dengan
daya pikir para siswa dengan
menyatakan: “Communication has
created a world economy in which
working smarter is more important
than merely working harder ...
require worker who are mentally
fit workers who are prepared to
absorb new ideas, to adapt to
change, to cope with ambiguity, to
perceive patterns, and to solve
unconventional problems.”
Menurutnya,
komunikasi
telah menciptakan ekonomi dunia
yang lebih membutuhkan pekerja
cerdas (smarter) daripada pekerja
keras (harder). Dibutuhkkan para
pekerja yang telah disiapkan untuk
mampu mencerna ide-ide
baru
(absorb
new
ideas),
mampu
menyesuaikan terhadap perubahan (to
adapt to change), mampu menangani
ketidakpastian
(cope
with
ambiguity), mampu menemukan
keteraturan (perceive patterns), dan
mampu memecahkan masalah yang
tidak lazim (solve unconventional
problems).
Jelas kiranya, kemampuan
berpikir dan bernalar akan semakin
dibutuhkan pada masa yang akan
datang pada setiap aspek kehidupan
ini. Bagi setiap negara, ranah kognitif
atau pengetahuan saja
tidaklah
cukup. Karenanya, yang
perlu
mendapatkan perhatian para guru SD
adalah Bab II Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional
(Depdknas,
2003:11)
yang
menyatakan
bahwa
pendidikan
nasional
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Sejatinya, beberapa kata di atas
merupakan ‘kail-kail’ yang harus
dimiliki siswa agar menjadi warga
negara yang tidak hanya berguna
untuk dirinya sendiri, namun juga
berguna untuk bangsa dan negaranya.
Jelaslah bahwa kata ‘mandiri’
telah muncul sebagai salah satu
tujuan pendidikan nasional. Karena
itu, penanganannya
memerlukan
perhatian khusus semua guru, apalagi
tidak ada mata pelajaran khusus
tentang
kemandirian
ini.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, pengintegrasian pembentukan
sifat
mandiri
selama proses
pembelajaran
menjadi
suatu
keharusan yang tidak
dapat
diabaikan. Dari beberapa alternatif
pertanyaan dan perintah seperti
berikut dapat diajukan para guru:
a. Amin, apa untungnya kamu
melakukan pemukulan seperti ini
pada Coki ?
b. Apa akibatnya terhadap dirimu
dan juga terhadap Coki ?
c. Anak-anak, Abduh telah berhasil
Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa
Dalam Belajar (Tahmid Sabri)
d.
e.
menjadi juara Olimpiade Tingkat
Kecamatan.
Ayo
kita
memberikan tepuk tangan yang
meriah untuk Abduh. Ibu guru
ingin
bertanya
padanya,
mengapa
Abduh
berhasil
menjadi juara ? Apa yang ia
lakukan selama di rumah ?
Ahmad, mengapa pekerjaanmu
untuk soal nomor 9 ini salah ?
Padahal,
selama
proses
pembelajaran di kelas, kamu
dapat menyelesaikan soal dengan
baik, tetapi waktu ulangan
mendapat nilai 4. Apakah
kamu tidak belajar di rumah ?
Bagaimana caranya agar seperti
ini tidak terjadi lagi ?
Kamu menyatakan bahwa kamu
kurang teliti. Bapak setuju. Apa
yang harus kamu lakukan ketika
ulangan atau ketika mengerjakan
soal agar hal
itu
tidak
mempengaruhi nilai kamu ?
Pengembangan Kemandirian dan
Implikasinya Bagi Pendidikan
Menurut Desmita (2010:190),
”Kemandirian adalah kecakapan yang
berkembang
sepanjang
rentang
kehidupan individu, yang sangat
dipengaruhi
oleh
faktor-faktor
pengalaman dan pendidikan”. Oleh
karena itu, pendidikan di sekolah
perlu
melakukan
upaya
pengembangan kemandirian peserta
didik, di antaranya:
a. Mengembangkan proses belajarmengajar yang demokratis, yang
memungkinkan anak merasa
dihargai,
b. Mendorong
anak
untuk
berpartisipasi
aktif
dalam
pengambilan keputusan dalam
berbagai kegiatan sekolah,
c. Memberi kebebasan kepada anak
74
untuk mengekplorasi lingkungan,
mendorong rasa ingin tahu
mereka,
d. Penerimaan positif tanpa syarat
kelebihan dan kekurangan anak,
tidak membeda-bedakan anak
yang satu dengan lainnya,
e. Menjalin
hubungan
yang
harmonis dan akrab dengan anak.
Ali, M dan Asrori, M (2009)
menegaskan
bahwa:”Kemandirian
sebagai aspek psikologis berkembang
tidak
dalam
kevakuman
atau
diturunkan oleh orang tuanya, maka
intervensi positif
melalui ikhtiar
pengembangan
atau
pendidikan
sangat diperlukan bagi kelancaran
perkembangan kemandirian peserta
didik. Maka dari itu perlu dilakukan
upaya pengembangan kemandirian
anak secara arif, yaitu:
a. Menciptakan partisipasi dan
keterlibatan anak dalam keluarga
melalui perilaku pemupukan atau
penanaman
sikap
saling
menghargai
antar
anggota
keluarga, dan keterlibatannya
dalam memecahkan masalah
keluarga,
b. Menciptakan suasana keterbukaan
tanpa ada sak wasangka negative
yang diwujudkan dalam bentuk
toleransi terhadap perbedaan
pendapat; memberikan alasan
terhadap keputusan yang diambil
bagi anak; keterbukaan terhadap
minat anak; mengembangkan
komitmen terhadap tugas anak;
dan
menciptakan
suasana
keakraban yang harmonis,
c. Menciptakan kebebasan untuk
mengeksplorasi
lingkungan
dalam
bentuk
memberikan
dorongan rasa ingin tahu anak;
menciptakan rasa aman dan
nyaman serta menciptakan aturan
75
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
yang
cenderung
tidak
mengancam bila ditaati oleh
anak,
d. Menciptakan suasana penerimaan
positif tanpa syarat dalam bentuk
menerima apa pun kelebihan atau
kekurangan yang ada pada diri
anak; tidak membeda-bedakan
satu
sama
lainnya;
dan
menghargai setiap potensi yang
ada pada anak dalam bentuk
kegiatan produktif apa pun
hasilnya meskipun sebenarnya
hasilnya kurang,
e. Berperilaku empati terhadap anak
dalam bentuk memahami dan
menghayati pikiran dan perasaan
anak;
melihat
berbagai
personalan
anak
dengan
menggunakan perspektif atau
sudut pandang anak; dan tidak
mencela hasil karya anak
sekalipun
kurang
menurut
pandangan pihak lain,
f. Menciptakan suasana kehangatan
dengan anak dalam bentuk
interaksi secara akrab tetapi tetap
saling menghargai, tidak bersikap
dingin
terhadap
anak,
membangun suasana humor, dan
komunikasi ringan dengan anak.
memecahkan berbagai persoalan
kehidupan menuju hidup yang
sejehtera secara berkesinambungan
baik lahir maupun batin, yang intinya
kesemua ini modal dasarnya adalah
kemandirian yang dimiliki oleh anak
atau individu yang dibina dan
dikembangkan sejak usia dini melalui
pendidikan sesuai jenjangnya, TK,
SD, SLTP, SLTA dan Perguruan
Tinggi yang merupakan refleksi dari
pengembangan
empat
pilar
pendidikan, yaitu: Learning to
know/penguasaan
pengetahuan;
Learning to do/ penguasaan keterampilan;
Learning to be/pengembangan diri; dan
learning to live together/belajar untuk
hidup bermasyarakat.
Untuk itu pihak sekolah perlu
mengadakan
komunikasi dengan
orang tua anak sebagai peserta didik
yang kita bina melalui pertemuanpertemuan, baik yang sifatnya formal,
maupun informal, agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai dengan
baik, yaitu munculnya individuindividu masa depan yang kreatif,
handal, mandiri dan peka terhadap
perkembangan IPTEK dan IMTAK
yang berkepribadian insan kamil dan
berakhlakul karimah.
Penutup
Untuk mewujudkan harapanharapan di atas, guru di sekolah perlu
membuat suatu perencanaan, minimal
dijadikan materi sisipan yang betulbetul diprogramkan dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
agar
upaya
pemupukan
atau
pengembangan kemandirian siswa
dalam belajar dapat terwujud untuk
dijadikan modal dasar bagi anak
menghadapi
masa
dewasanya
sebagai manusia yang mandiri,
handal, aktif dan kreatif serta mampu
Daftar Pustaka
Ali,
M dan Asrori, M. (2009).
Psikologi
Remaja
Perkembangan Peserta Didik,
Cetakan kelima. Jakarta: Bumi
Aksara.
Bastow, B. Hughes, J. Kissane, B. &
Randall, R. (1986). Another 20
Investigational Work. Perth:
The Mathematical Association
of Western Australia (MAWA).
Depdiknas (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem
Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa
Dalam Belajar (Tahmid Sabri)
Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
Desmita
(2010).
Psikologi
Perkembangan
Peserta
Didik/Panduan Bagi Orang Tua
dan Guru, Cetakan Kedua.
Bandung: Rosda.
Nickerson, R.S. (1988). Technology In
Education. Di dalam R.S.
Nickerson & P.P. Zodhiates
(Eds). Looking Toward 2020.
New Jersey: LEA. pp 285-317.
NRC (1989). Everybody Counts.
Washington DC: National
Academy Press Pusat Bahasa
Departemen
Pendidikan
Nasional (2001). Kamus Umum
Bahasa Indonesia (KUBI).
Jakarta: Balai Pustaka.
76
Download