BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Penelitian

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai ekologi politik di Kenya pernah dilakukan oleh Paul
Ongugo, Jane Njguguna, Emily Obonyo, dan Gordon Sigu (2010) berjudul
Livelihoods, Natural Resource Entitlementss and Protected Areas: The Case of Mt.
Elegon Forest in Kenya menjadi karya tulis yang menarik untuk dijadikan rujukan
dalam penelitian ini. Penelitian Paul Ogugo, et.al. cukup memiliki kesamaan dengan
penelitian yang penulis lakukan terutama dalam melihat persitegangan antara
komunitas adat dengan pemerintah yang berkaitan dengan program konservasi
lingkungan. Paul Ogugo, et.al. pun melakukan penelitian di Kenya, hanya saja
dengan tempat dan kasus yang berbeda. Tujuan penelitian Paul Ogugo, et.al. adalah
untuk melihat hubungan antara komunitas adat di Mt. Elgon yang telah bertahuntahun bergantung pada hutan sebagai tanah leluhur mereka dengan pemerintah Kenya
(dalam hal ini Departemen Kehutanan).
Penelitian Paul Ongugo, et.al. menunjukkan bahwa masyarakat lokal di Mt.
Elgon sering bertentangan dengan pihak Departemen Kehutanan karena aturan-aturan
yang tidak berpihak pada masyarakat. Paul Ongugo, et.al. menyimpulkan, dalam
kasus
Mt.
Elgon,
Departemen
Kehutanan
tidak
bertanggungjawab
dalam
mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat atas hutan dalam jangka waktu yang
panjang. Sementara masyarakat lokal menganggap ketergantungan terhadap hutan
8
sebagai hak mereka, Departemen Kehutanan menganggap bahwa itu merupakan hak
hukum mereka. Paul Ongugo, et.al. juga mendapatkan bahwa masyarakat adat di Mt.
Elgon tidak memiliki akses yang memadai dalam memperjuangkan aspirasi mereka.
Hal itu menyebabkan pada tahun 2005 terjadi bentrokan oleh masyarakat adat di Mt.
Elgon karena penggusuran dilakukan oleh Departemen Kehutanan yang juga
menyebabkan kematian beberapa masyarakat adat di sana.
Pandangan masyarakat adat di Mt. Elgon berubah terutama karena hak atas
kawasan tersebut pernah menjadi milik masyarakat setempat, namun kemudian
dilembagakan oleh pemerintah. Masyarakat setempat memiliki respon negatif
terhadap konservasi strategi pemerintah. Hal ini yang membuat konflik antara kedua
pihak semakin meningkat. Paul Ongugo, et.al. kemudian menyimpulkan pemerintah
hanya dapat berhasil dalam melakukan konservasi jika masyarakat lokal memahami
kepentingan masing-masing. Untuk itu, ada kepentingan bagi kedua pihak untuk
bekerjasama dalam pengelolaan hutan. Ini juga yang luput diperhatikan pemerintah
dalam kasus Mt. Elgon.
Berdasarkan temuan-temuan itu, Paul Ongugo, et.al. dalam penelitiannya
juga menilai otoritas Kenya harus memberikan masyarakat setempat hak-haknya atas
hutan mereka, tetapi juga pada saat yang sama tetap memastikan bahwa tidak terjadi
perusakan hutan. Terlebih lagi hutan adat Kenya adalah rumah bagi banyak
masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya alam. Bila
pemerintah tidak bisa melakukan pendekatan dengan masyarakat, dengan alasan
konservasi sekalipun, justru akan mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda.
9
Penelitian Paul Ongugo, et.al. memiliki relevansi dengan penelitian penulis
terutama karena perbedaan persepsi konservasi antara pemerintah dengan masyarakat
adat. Akan tetapi, Paul Ongugo, et.al. tidak menyebutkan dengan jelas nama program
konservasi yang dijadikan fokus penelitian. Penelitian Paul Ongugo, dkk. juga hanya
melihat ketegangan terkait pengelolaan hutan, sedangkan penelitian yang penulis
lakukan dalam hal ini adalah melihat perjuangan masyarakat adat Sengwer yang
dihubungkan dengan konsep gerakan sosial baru – dengan analisis yang lebih umum
terkait ekologi politik di negara berkembang.
Selanjutnya, tulisan tentang bagaimana masyarakat atau komunitas sosial
menyikapi isu ekologi di Kenya pernah ditulis oleh MacKenzie (1998) dalam
bukunya berjudul Land, Ecology and Resistance in Kenya. Mackenzie meneliti
dialektika perbaikan ekologi di Kenya dan dampak sosialnya terhadap masyarakat
Afrika. Melalui buku ini, tujuan khusus yang ingin dicapai Mackenzie adalah untuk
menguji antagonisme kelas dan jenis kelamin yang muncul atas wacana perbaikan
ekologi tersebut. Hal itu disampaikan pada bagian pertama buku ini, yaitu
mencuatnya isu gender terutama ketika pemberontakan perempuan meletus pada 14
April 1948 di Distrik Muranga, Kenya. Pemberontakan itu dilakukan untuk
memprotes penggunaan tenaga kerja dipaksa untuk tindakan konservasi tanah negara.
Tiga bab pertama meneliti peran perempuan di Muranga, Kenya Pusat, di era
pra-kolonial sebagai penggarap pertanian primer; dan bagaimana peran ini berubah
ketika Inggris mulai mendefinisikan hukum adat. Hak pra-kolonial atas tanah yang
dinamis dan kompleks, meninggalkan ruang untuk negosiasi hak-hak perempuan atas
10
tanah. Redefinisi hukum tanah adat oleh Inggris secara efektif telah menekan hak-hak
perempuan atas tanah. Meskipun perempuan yang sebelumnya bisa secara teknis
tidak memiliki tanah, hak mereka atas tanah dijamin melalui pengakuan dari nilai
mereka sebagai peladang
Paham environmentalisme pun mulai masuk ke Kenya sejak itu. Kampanye
tahun 1930-an dan 1940-an juga menyusun kembali krisis politik atas tanah sebagai
masalah. Masuknya pengetahuan Barat terkait pertanian telah menempatkan praktek
pertanian
tradisional
sebagai
tidak
ilmiah.
Karena
kebiasaan
masyarakat
menempatkan perempuan sebagai pengelola tanah pertanian di Afrika, pengetahuan
Barat justru mensyaratkan pembungkaman suara perempuan. Kampanye perbaikan
ekologi ketika itu mengurangi status perempuan sebagai penggarap utama tanah dan
penjaga pengetahuan pertanian. Pemerintahan kolonial Inggris berusaha untuk
menentukan hukum tanah adat yang lebih jelas, dengan mata ke arah perumusan
kebijakan. Upaya ini menghasilkan sistem pengelolaan tanah pertanian menjadi kaku
dan statis. Akibatnya, sistem hukum adat justru melemahkan posisi perempuan dan
kaum miskin oleh para petani kaya atau "Big Men”.
Ketegangan yang mendasari antara Mbari (sub-klan) dan individu atau
antara perempuan dan laki-laki akan menjadi jauh lebih bermasalah karena tanah
menjadi langka di bawah kolonialisme. Mackenzie menunjukkan bahwa di Kiambu,
hal ini telah terjadi. Karena dampak dari perdagangan jarak jauh di bagian selatan
Kikuyuland selama abad kesembilan belas, solidaritas Mbari telah memberikan cara
untuk meningkatkan individualisasi pada saat penaklukan Inggris. Upaya Inggris
11
untuk menentukan hukum tanah adat memperburuk ketegangan yang mendasari
sistem tanah adat. Sebagai contoh, karena hak-hak alokasi hutan Mbari menjadi
terkontrol. Diferensiasi sosial tinggi dan meningkatnya penjualan tanah mengancam
solidaritas sub-klan.
Bagian kedua dari buku ini membahas dampak kampanye perbaikan ekologi
pada basis sumber daya dan pengetahuan pertanian perempuan. Menurut Mackenzie,
keprihatinan atas kerusakan lingkungan menyimpan motif tersembunyi. Pada akhir
tahun 1930-an, pemukim Eropa mengkhawatirkan keberhasilan Afrika dengan
produksi jagung. Pemerintah kolonial menjadi khawatir akan pertumbuhan Aftika
yang cepat. Maka, solusi yang kemudian dibuat adalah dengan menyalahkan orangorang Afrika. Metode pertanian lokal dijadikan penyebab masalah degradasi lahan.
Akibatnya, kampanye perbaikan ekologi diartikulasikan lewat metode yang
melibatkan pengetahuan atau teknik Barat.
Buku ini memberikan gambaran bahwa permasalahan ekologi di Kenya
merupakan masalah sejak era kolonial. Demikian juga ketegangan masyarakat (adat)
dengan pemerintah terkait manajemen pengelolaan lahan.
1.6 Kerangka Konseptual
Salah satu tujuan konsep penelitian adalah untuk mengonfirmasi dan
menjelaskan istilah-istilah yang digunakan dalam permasalahan penelitian. Penelitian
ini akan menggunakan konsep masyarakat adat dan gerakan simbolik kultural; konsep
12
marginalisasi; konsep developmentalisme; dan teori ekologi politik di negara
berkembang.
2.1.1
Konsep Gerakan Simbolik Kultural dan Masyarakat Adat
Gerakan simbolik kultural adalah salah satu bentuk gerakan sosial
baru (Trijono, 2006). Untuk memahaminya, gerakan simbolik kultural ini
saling terkait dengan gerakan sosial baru sebagai payungnya. Gerakan sosial
(social movement) merupakan salah satu subjek penting dalam ilmu-ilmu
sosial. Gerakan sosial
senantiasa mendapat tantangan baru dan dituntut
memberikan jawaban serta jalan keluar praksis dari permasalahanpermasalahan sosial kontemporer. Demikian pula kemunculan Gerakan Sosial
Baru (new social movement – selanjutnya disingkat GSB) sebagai
perkembangan Gerakan Sosial Lama (old social movement – selanjutnya
disingkat GSL). Bila GSL menekankan aktualisasi pemisahan diri dari
determinasi kelas, maka GSB lebih memfokuskan gerakannya dalam isu-isu
HAM, identitas, lingkungan hidup, dan pemenuhan layanan (Kurniawan &
Puspitosari, 2012).
Gerakan simbolik kultural sebagai salah satu bentuk GSB secara
operasional muncul sebagai respon atas perubahan nilai atau asas dasar dalam
suatu masyarakat. Kurniawan dan Puspitosari (2012) menjelaskan, dalam
GSB terdapat kekaburan kekuatan kolektivitas sehingga gerakannya menjadi
tersegmentasi. Itulah yang menyebabkan gerakan simbolik kultural tidak
13
selalu bersifat terbuka, dalam artian tidak selalu identik dengan adanya
mobilisasi massa (Trijono, 2006).
Berbeda dengan GSL yang dicirikan
sebagai proses perjuangan kelas dan dalam banyak kasus diperjuangkan
secara terbuka dengan mobilisasi massa.
Karena gerakan simbolik kultural merupakan respon terhadap
perubahan nilai, maka salah satu kelompok masyarakat yang mengambil peran
dalam aktivitas gerakan adalah masyarakat adat. Menurut Selznick,
sebagaimana dikutip Young & Minai (2002), masyarakat dapat didefinisikan
sebagai kelompok multifungsi
yang berkaitan dengan kesejahteraan
umumnya. Masyarakat dalam sekup kecil seperti keluarga hingga sekup besar
seperti negara-bangsa adalah bagian dari komunitas, meskipun kedua ujung
kontinum ini biasanya diperlakukan secara terpisah. Pada bagian ini, yang
akan dibahas adalah komunitas adat (indigenous people).
PBB melalui Indigenous Permanent Forum / IPF (2013), mencatat
ada lebih dari 370 juta masyarakat adat yang tersebar di negara di seluruh
dunia. Adapun hak-hak masyarakat adat menurut Executive Director of
Cultural Survival, Ellen L. Lutz (2014) yaitu: pertama, masyarakat adat ingin
menikmati dan mewariskan kepada anak-anak mereka mengenai sejarah,
bahasa, tradisi, praktik spiritual, dan hal lain yang menjadi karakteristik
mereka yang unik. Kedua, masyarakat adat ingin pemerintah di negara mereka
menghormati kemampuan mereka utuk menentukan nasib sendiri. Mereka
ingin mempertahankan lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial, dan
14
budaya mereka – termasuk metode tradisional mereka dalam menyelesaikan
sengketa
internal,
dan
mengelola
lingkungan
mereka
secara
berkesinambungan.
Ketiga, masyarakat adat ingin mendapatkan hak yang sama dengan
semua orang, tanpa diskriminasi. Masyarakat adat ingin dilindungi dari
genosida, relokasi paksa eksekusi sewenang-wenang, asimilasi, dan
menikmati kebebasan berekspresi sesuai dengan nilai dan norma yang mereka
miliki. Keempat, masyarakat adat ingin menikmati hak-hak mereka atas tanah,
wilayah, dan sumber daya yang mereka miliki secara tradisional. Kelima,
masyarakat ingin dibiarkan sendiri, dalam artiantanah leluhur mereka menjadi
kepentingan mendasar bagi kelangsungan hidup kolektif dan budaya mereka
sebagai masyarakat. Masyarakat adat memiliki konsep pembangunan yang
beragam, berdasarkan tradisional nilai, visi, kebutuhan dan prioritas mereka.
Artinya, setiap komunitas adat memiliki kearifan lokalnya masing-masing.
Dalam politik, suara masyarakat adat sering diabaikan dalam struktur
sosial yang lebih tinggi. Hal itu terutama disebabkan oleh kurangnya
keterwakilan dan partisipasi politik, kemiskinan dan marjinalisasi ekonomi,
kurangnya akses pelayanan sosial; dan diskriminasi (IPF, 2013). Masalah
umum itu juga terkait dengan perlindungan hak-hak mereka. Oleh karena itu,
gerakan simbolik kutural yang dilakukan masyarakat adat pada dasarnya
adalah untuk pengakuan identitas mereka, cara hidup mereka dan hak mereka
atas tanah adat, wilayah dan sumber daya alam.
15
Menurut Jean Cohen (sebagaimana dikutip Kurniawan dan
Puspitosari, 2012), GSB memiliki tujuan untuk menata kembali relasi antara
negara, masyarakat, dan ekonomi. Demikian juga gerakan simbolik kultural
yang cenderung ditujukan dalam rangka menciptakan kebebasan publik yang
memadai terhadap wacana demokrasi. Adapun Alain Touraine (1981) yang
menjelaskan gerakan simbolik kultural terkait dengan perubahan struktur dan
kultur sebagai bentuk konflik pasca-industrial.
Sebagaimana bentuk GSB pada umumnya, pendekatan yang
digunakan dalam gerakan simbolik kultural adalah pendekatan refleksi untuk
aksi yang menekankan transformasi sosial dan emansipasi (Trijono, 2006).
Selain itu, Trijono (2006) juga menjelaskan enam fase berkembangnya GSB:
mulai
dari
lahirnya
kesadaran
kritis;
pengalaman
praktis-historis;
perbandingan dengan kelompok lain; transformasi menuju aksi; formulasi
gerakan; dan aksi dalam arena gerakan. Terkait dengan itulah, keberhasilan
GSB
bergantung pada pentingnya jaringan, solidaritas kolektif, orientasi
lokus hegemoni, hingga arena gerakan dalam kultural, pengetahuan praksis
dan gerakan simbolik. Keenam fase sebuah gerakan simbolik kultural tersebut
disederhanakan lagi oleh Trijono menjadi seperti berikut.
16
Transformasi
Refleksi
pengalaman
praktis
Formulasi
agenda aksi
Sumber: Trijono (2006)
Adapun Hooghe (dalam Ishyama & Breuning (ed.), 2013) menulis
gerakan sosial yang sukses tergantung pada kesempatan yang diciptakan atau
ditawarkan oleh sistem politik negara bersangkutan. Digunakannya konsep
gerakan simbolik kultural dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis
gerakan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sengwer dalam merespon
marginalisasi akibat penerapan program NRMP di Cherangany Hills, Kenya.
2.1.2
Konsep Marginalisasi akibat Pembangunan
Marginalisasi terhadap kelompok masyarakat tertentu diakibatkan oleh
beberapa faktor; dari faktor ekonomi, sosial, budaya, yang keseluruhan
berdimensi politik. Adapun marginalisasi yang ingin ditekankan dalam
penelitian ini
adalah
marginalisasi
yang disebabkan oleh program
pembangunan modern. Lebih mengkerucut lagi, pembangunan yang dimaksud
dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Berbagai pendekatan
telah dilakukan untuk menganalisis persoalan lingkungan. Pendekatan
strukturalis misalnya menempatkan aktor-aktor seperti negara, pengusaha,
17
hingga MNC memiliki kekuatan politik yang lebih kuat dalam mengatur
pembangunan dan konservasi atau pemanfaatan lingkungan. Adapun
pendekatan pascastrukturalis melihat persoalan ini lebih jauh lagi. Seperti
yang pernah dilakukan Foryst (2007) yang menemukan ternyata kasus di
dunia ketiga tidak hanya degradasi lingkungan, tetapi juga marginalisasi
masyarakat lokal, justru karena program konservasi lingkungan tersebut.
Harrison (1988) membagi marginalisasi yang diakibatkan oleh
pembangunan menjadi dua; yaitu marginalisasi secara struktural dan kultural.
Secara struktural, pemerintahan domestik dalam sebuah negara telah menjadi
agen
untuk
menciptakan
pasar
kapitalis
melalui
program-program
pembangunan. Di sini, pemerintah (negara) dapat menggunakan perangkat
atau aparatus
pendukungnya serta melalui
kebijakan-kebijakan
atau
implementasi dari sebuah kebijakan. Dalam kasus-kasus tertentu, pemerintah
bahkan didukung oleh kekuatan supranasional yang memiliki kepentingankepentingan tertentu; seperti sistem kapitalisme global. Hal ini menunjukkan
relasi kuasa nasional (negara) dan supranasional (sistem kapitalisme global)
akan
membawa
kelompok-kelompok
masyarakat
tertentu
menjadi
termarginalisasi. Sedangkan secara kultural, masyarakat telah dihegemoni
oleh konsep-konsep pembangunan yang materialistik dengan menjanjikan
modernisasi dan kesejahteraan ekonomi.
Jean Pierre dan Oliver de Sardan (2005) melihat perubahan sosial telah
menunjukkan adanya pertentangan berbagai logika sosial yang membayangi
18
program-program pembangunan. Dampaknya, budaya dan nilai-nilai lokal
masyarakat yang menjadi objek pembangunan, terpaksa menerapkan sesuatu
yang bukan menjadi nilai mereka. Inilah awal dari munculnya marginalisasi
akibat pembangunan, yaitu masyarakat lokal telah kehilangan pandangan
partikularitasnya. Dikaitkan dengan sistem global, modernisasi pembangunan
telah mempertentangkan wacana universal (melalui program-program
pembangunan global) dengan wacana partikular (nilai-nilai lokal yang
menyangkut identitas dan simbol-simbol kultural tertentu).
2.1.3
Konsep Konservasi Alam berbasis Developmentalisme
Menurut D‟Andrea (2013), sejak peresmian Taman Nasional Yellow
Stone di Amerika Serikat pada tahun 1873, ilmu konservasi modern terus
berkembang. Konservasi modern secara umum memiliki paradigma bahwa
tujuan konservasi adalah menyediakan suatu bentang alam yang digunakan
untuk melestarikan hewan-hewan dan atau tumbuhan dan atau ekosistem
yang rentan dan dianggap akan punah. Tahun 1990-an, terbentuk lembaga
supranasional yang dirancang untuk mengatur investasi lingkungan secara
internasional dan arus lintas batas sumber daya alam, termasuk pengetahuan
tentang alam dan informasi genetik (McAfee, 1999). Perkembangan ilmu
konservasi tersebut diiringi dengan perjanjian-perjanjian internasional
mengenai lingkungan, seperti Framework Convention on Climate, Change
19
and the Convention on Biological Diversity (CBD), dan the Global
Environment Facility.
Perubahan paradigma koservasi modern disertai juga dengan
penggunaan pengetahuan modern dengan teknik-teknik modern pula.
Sehingga, metode konservasi tradisional dianggap tidak ilmiah, dan karena
itu mulai banyak ditinggalkan. Selain itu, konservasi modern ini menjanjikan
masalah lingkungan dapat dijamin melalui solusi pasar dengan paradigma
eco-ekonomi. Pendekatan yang demikian menunjukkan konservasi alam
yang berbasis developmentalisme (McAfee, 1999).
Dalam bukunya berjudul Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Fakih (2011), menjelaskan teori pembangunan dengan
pendekatan kritis. Fakih menolak anggapan umum yang mengatakan
pembangunan adalah kata benda netral yang hanya menekankan proses dan
usaha meningkatkan kehidupan ekonomi, poitik, budaya, infrastruktur
masyarkat, dan sebagainya. Definisi pembangunan yang demikan, menurut
Fakih, telah mendominasi pandangan mengenai diskursus perubahan sosial.
Fakih kemudian memperkenalkan pandangan yang lebih minoritas mengenai
asumsi „pembangunan‟. Dari perspektif ini, pembangunan dipandang sebagai
“sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan
suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial” (hal. 10).
Paham
developmentalisme
juga
sering
dikaitkan
dengan
modernisme. Modernisme yang lahir sebagai respon kaum intelektual
20
terhadap Perang Dingin sejak 1950-an dianggap sebagai jalan optimis
menuju perubahan. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Fakih (2012), teori
modernisme dikembangkan terutama untuk menjadi jawaban pada
permasalahan di Dunia Ketiga dalam usaha membendung sosialisme dan
mendorong kapitalisme.
Dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto, Rostow (2012) menjelaskan faktor manusia merupakan yang
paling berpengaruh terhadap kemajuan peradaban manusia – bukan karena
struktur atau sistem. Untuk menjelaskan kemajuan peradaban manusia itu,
Rostow berasumsi bahwa masyarakat pada mulanya pernah mengalami masa
tradisional dan kemudian menjadi modern. Tujuan utama modernisasi adalah
mendorong masyarakat yang berbasis pada industrialisasi dan ditandai
dengan masyarakat konsumsi tinggi. Dengan demikian, modernisasi pun
bukan merupakan kata yang netral, melainkan juga telah menjadi sebuah
aliran – dan karenanya, sering digunakan secara bergantin dengan kata
pembangunan atau developmentalisme.
Karena develomentalisme diartikan sebagai satu-satunya cara untuk
menuju perubahan sosial yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat
melalui modernisasi, kritik terhadapnya pun lebih banyak datang dari
golongan tradisionl. Fakih (2012) menulis kritik dari golongan tradisional
berangkat dari paham developmentalisme yang menganggap data atau model
tradisional kurang valid. Menurut kritik ini, developmentalisme bahkan telah
21
menjadi propaganda untuk menciptakan hegemoni pengetahuan. Inilah yang
banyak dihadapi negara Dunia Ketiga, dimana pengetahuan tradisional dan
kearifannya berhadapan dengan pengetahuan modern yang berangkat dari
model pembangunan Barat.
Dengan
demikian,
pendekatan
konservasi
berbasis
develompentalisme mencerminkan upaya aktor kapitalis untuk mengatasi
hambatan yang diakibatkan, misalnya, oleh iklim yang tidak stabil. Artinya,
konservasi berbasis developmentalisme mencoba merasionalisasi praktik
industri dan perhitungan biaya kerusakan ekologis, tanpa mengurangi
keuntungan. Pendukung dari metode ini menyerukan berbagai dana,
keringanan pajak, dan insentif lainnya dengan cara mensubsidi negaranegara, memperkenalkan program-program pembangunan global, dan
teknologi hijau (McAfee, 1999).
2.1.4
Teori Ekologi Politik di Negara Berkembang
Menurut Bryant & Bailey (1997), tujuan utama penelitian ekologi
politik di negara berkembang adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara
kesejahteraan ekonomi, proses politik, dan degradasi lingkungan. Bila politik
menekankan pada bagaimana kekuasaan dikejar, maka aktivitas ekonomi
erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya untuk mencapai
kesejahteraan. Bryant & Bailey (1997) kemudian menegaskan degradasi
22
lingkungan terjadi bukan karena faktor alami, melainkan menyangkut
aktivitas-aktivitas ekonomi dan politik yang dilakukan manusia.
Perkembangan isu ini mulai mendapat perhatian sejak tahun 1970-an
yang ditandai dengan munculnya studi ekologi politik (Bryant & Bailey,
1997). Menurut Piers Blaikie, sebagaimana diulas Foryst (2007), studi
ekologi politik tidak mau memisahkan diri antara politik atau ekologi, atau
hanya melihat salah satu sebagai sebuah petunjuk. Justru, ekologi politik
melihat keduanya sebagai kesatuan yang diharapkan akan menciptakan
keadilan sosial.
Diehl & Gleditsch (2001) juga menjelaskan hal yang sama. Menurut
mereka, memang terdapat perdebatan tentang politik dan ekologi yang
mencoba mengabaikan bagaimana keduanya terkait. Namun, sebagian besar
para akademisi juga sepakat bahwa ekologi politik mencatat bagaimana ilmu
lingkungan kritis dan politik struktural menimbulkan narasi lingkungan dan
keyakinan yang sederhana –dan sering membantu orang-orang miskin.
Ekologi politik tidak harus mengadopsi pemahaman yang terpisah dari
politik atau ekologi, atau melihat satu sebagai panduan untuk yang lain.
Justru, menurut Diehl & Gleditsch (2001), tantangan ekologi politik terletak
pada pemahaman akan politik dan perubahan lingkungan dengan tujuan
meningkatkan keadilan sosial, tetapi tidak memaksakan gagasan apriori
tentang masing-masing.
23
Di negara-negara berkembang, isu lingkungan dan pengelolaan
sumber daya tidak terlalu mendapat perhatian oleh partai-partai politik. Oleh
karena itu, para pemikir ekologi yang pada mulanya memfokuskan ekologi
manusia, kemudian mengembangkan arah kajiannya menjadi politik ekologi.
Dharmawan (2007) menjelaskan ekologi politik terkait dengan ruang konflik
dan ruang kekuasaan. Ruang konflik menyangkut proses artikulasi berbagai
kepentingan yang selanjutnya akan menghasilkan keputusan politik.
Sedangkan, ruang kekuasaan berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
politik oleh para pemegang otoritas kebijakan. Kedua ruang inilah yang
mendasari kondisi lingkungan erat kaitannya dengan produk proses-proses
dialektik ekonomi dan politik.
Bryant & Bailey (1997) menjelaskan, di negara berkembang
kerusakan lingkungan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, terdapat
marginalisasi kelompok-kelompok sosial tertentu, biasanya komunitaskomunitas yang mendiami suatu ruang tertentu. Kedua, kondisi sosial
ekonomi akan rentan karena berlangsungnya kerusakan yang terus menerus.
Ketiga, muncul resiko kehancuran taraf lanjut bagi kehidupan masyarakat di
lingkungan yang mengalami kerusakan. Ketiga hal itu kemudian yang
menjadi alasan pentingnya melakukan perjuangan politik untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Dalam kajian ekologi politik, perjuangan politik itu
juga bertujuan untuk membongkar relasi kuasa yang berpengaruh terhadap
pemecahan permasalahan lingkungan, terutama di negara dunia ketiga.
Download