Pengelolaan Infeksi pada Pasien Luka Bakar di Unit

advertisement
LAPORAN KASUS
Pengelolaan Infeksi pada Pasien Luka Bakar
di Unit Perawatan Intensif
Hasanul Arifin
CASE SUMMARY
A 39 years old male patient was admitted to
the ER with a diagnosi of flame burn grade II with
60% body surface area due to a spilled of hot oil in a
crude oil palm plant in North Aceh, his workplace on
23rd Decembner 2009. The burn wound consists of
face, chest, both arms and both legs. The patient was
still conscious and received first aid management in
a hospital at Lhokseumawe. It is no clear how the initial resuscitation there, but according to the patient’s
family, in the hospital, the patient received thirty
flasks of infusion. The patient was then admitted to a
private hospital in Medan with stable hemodynamics
value. Debridement and intensive care treatment was
then conducted. During his 44 days of treatment in
the ICU the patient acquired nosocomial pneumonia
and sepsis. He had also received mehanical ventilatory support. After extensive treatment of fluid, nutrition, analgesia, antibiotic and physiotherapy, the
patient’s condition show a significant improvement
and was discharged to the ward at day fourtyfourth.
Pasien luka bakar memiliki keunikan baik dalam
resusitasi, stres metabolik, komplikasi dan luaran.1
Perawatan berkelanjutan sangat penting dalam
menilai infeksi, penyembuhan dan kemampuan
untuk memberikan penanganan luka bakar yang
baik.2 Kebanyakan luka bakar hanya melibatkan kulit
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Jl. Bunga Lau No. 17, Medan 20136
Korespondensi : [email protected]
160
(jaringan epidermis dan dermis), tapi jaringan yang
lebih dalam seperti otot, tulang dan pembuluh darah
juga bisa terlibat. Luka bakar juga dapat mengalami
komplikasi syok, infeksi, disfungsi multiorgan,
gangguan elektrolit dan gangguan pernapasan. Pasien
dengan kegagalan dua organ atau lebih memiliki nilai
mortalitas sebesar 98%, sementara infeksi adalah
penyebab 75% kematian dalam luka bakar.4
KASUS
Seorang pria berusia 39 tahun dengan luka bakar
termal derajat II A-B seluas 60%. Luka bakar meliputi
wajah, dada, kedua lengan serta kedua kaki. Pasien
dalam keadaan sadar dan mendapatkan pertolongan
pertama cairan infus sebanyak 30 botol infus.
Pasien tiba di ICU dengan takikardia dan
takipnea. Pasien mendapatkan terapi seftriakson 2 x
1 gram. Dari hasil kultur didapatkan Acinetobacter
baumanii di dalam darah pada hari ketiga perawatan
Intensive Care Unit (ICU) yang masih sensitif
terhadap ceftriakson. Dengan kadar albumin 1,4 g/
dL, maka pada pasien diberikan transfusi albumin
25% selama 3 hari berturut-turut. Pada hari ke11 suhu pasien sampai 40°C, antibiotika diganti
dengan levofloksasin. Karena anemia dan masih
hipoalbuminemia, pasien ditransfusi sel darah pekat
dan albumin 25% kembali. Nutrisi diberikan 2000
kalori melalui enteral, nutrisi parenteral 1250 kalori
ditambahkan glutamin 100ml dan multivitamin
intravena 750mg. Tindakan debridemen dilakukan
tiap 2-3 hari.
Di hari ke-14, pasien mengalami pneumonia.
Antibiotika diganti dengan meropenem dan
amikasin. Hasil pemeriksaan kultur darah hari ke-17
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Hasanul Arifin
didapatkan Klebsiella pneumonia, sensitif terhadap
amikasin, siprofloksasin, levofloksasin, meropenem,
moksifloksacilin, tazobaktam.
Di hari ke-31 diberikan antibiotika tazobactam
piperasilin dan mikafungin. Pada hari ke-34 pasien
mengalami perburukan, makin takipnea disertai ronki
dan takikardia, muncul pus berbau pada daerah luka
bakar. Kemudian pada pasien di lakukan intubasi.
Setelah intubasi dan napas kendali mekanik,
kondisi pasien membaik dan bisa dilakukan
penyapihan ventilasi mekanik pada hari ke-36. Pada
hari ke-37 dilakukan ekstubasi pada pasien dan pada
hari ke-44 pasien pindah rawat ruangan.
PEMBAHASAN
Penanganan pasien luka bakar, dimulai pada
tempat kejadian dengan menghentikan proses trauma
bakar yang bisa memperburuk kondisi pasien,
yakni dengan membilas luka bakar dengan air agar
temperatur kulit kembali normal. Perlu diingat bahwa
tidak perlu membuat kulit menjadi lebih dingin dari
biasanya. Tidak dianjurkan membilas luka bakar lebih
dari lima menit, sedang pada bayi tidak boleh lebih
dari satu menit. Jangan melakukan kompres dingin
atau es terhadap luka bakar. Pemakaian kompres
dengan kasa steril yang lembab atau dibasahi dengan
salin selama beberapa jam pertama setelah kejadian,
dapat mengurangi nyeri luka pasien.2 Akan tetapi
kompres ini dan evaporasi cairan edema akan dengan
cepat menyebabkan hipotermi, jadi harus diikuti
dengan penanganan untuk mencegah hilangnya
panas. Istilah yang tepat adalah ‘Cool the burn, warm
the patient’.6 Lepaskan semua pakaian dari area yang
terkena trauma, begitu juga dengan perhiasan, jam,
kacamata, lensa kontak, dan lain sebagainya.
A
B
Pasien luka bakar kehilangan barier terhadap
invasi mikroorganisme dari lingkungan yang akan
berakibat terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Gejala yang tampak bisa terjadi kenaikan suhu
tubuh (38,5oC), takikardi, takipnea pada pasien
dengan luka bakar yang luas. Paparan kuman terus
menerus dari lingkungan mengakibatkan kenaikan
yang signifikan dari leukosit. Perawatan bersama
dengan tim bedah di ruangan ICU serta penjadwalan
tindakan operasi debridement tiap dua hari untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber
infeksi serta memperbaiki jaringan-jaringan yang
rusak diharapkan akan meningkatkan luaran pasien.
Pada kasus ini debridement dilakukan setiap 2 – 3
hari.
Pada pasien ini dijumpai luas luka sebesar 60 %
yakni pada daerah wajah, dada, kedua lengan dan
kaki. Bila dinilai dengan kriteria dari ABA, maka
pasien ini termasuk luka bakar tipe major. Maka
penanganan tipe ini memerlukan perawatan intensif
dan monitoring yang ketat. Dilakukan kanulasi
vena sentral, untuk jalur intravena dan monitoring
pemberian cairan serta menilai balans cairan.
Resusitasi telah dilakukan terlebih dahulu (36 jam
sebelumnya) sebanyak 15 liter RL, maka diperkirakan resusitasi awal sudah tercukupi. Hal ini didapatkan dengan menilai kebutuhan resusitasi berdasarkan perhitungan Parkland.
Formula Parkland: 60% x 60 kgx 4mL = 14.400mL
dengan rumatan cairan: 60 kg x 2mL/jam = 120mL/
jam
Diberikan setengahnya dalam 8 jam pertama yakni :
7200 mL + (120 x8 mL) =
7200 mL + 960 mL =
8160 mL
C
Gambaran 1. A: Foto toraks hari ke-14: pneumonia; B: Foto toraks hari ke-34 sebelum reintubasi; C: Foto toraks hari ke-37
pasca-ekstubasi:dalam batas normal
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
161
Pengelolaan Infeksi pada Pasien Luka Bakar di Unit Perawatan Intensif
Dan setengah berikutnya diberikan dalam 16 jam
kedua, yakni :
7200mL + (120 x 16mL) =
7200mL + 1920mL =
9120 ml (18 kantong infus RL)
Rumatan 2cc/kg/jam selama 9 jam = 9 x 60 x 2 =
1080mL (RL)
Selama 33 jam masa rawat kebutuhan cairan untuk
resusitasi dan rumatan sejumlah 18.000 mL RL.
Dari perhitungan didapat resusitasi awal cairan
pasien ini belum sesuai dengan pedoman perhitungan
Parkland, masih ada selisih 6 bag infus 3000 mL
RL tetapi pada kenyataannya, ketika tiba di IGD,
dari penilaian awal dijumpai kondisi hemodinamik
tekanan darah (TD) 130/8mmHg, dan laju nadi
120x/m, sadar, produksi urin 1000ml. Walaupun
bila dinilai dengan perhitungan Parkland kebutuhan
masih kurang, tetapi mungkin hal ini yang justru
menyelamatkan pasien ini dalam arti cukup dan tidak
berlebihan. Karena beberapa tulisan menyatakan
formula Parkland cenderung berlebihan dengan
akibat menambah kejadian edema baik pada area
luka bakar atau pada saluran cerna.
Penggunaan cairan kristaloid (ringer laktat) pada
kasus ini sesuai dalam buku Panduan Tatalaksana
Terapi
Cairan
Perioperatif
(IDSAI-2009)12,
direkomendasikan: Kristaloid saat ini merupakan
cairan yang terpilih dan paling sering digunakan
untuk resusitasi cairan cairan awal pada pasien luka
bakar (level I B).
Sebagian besar penelitian tidak mendapatkan
peningkatan insidens edema paru pada pasien yang
mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian
besar luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan
permeabilitas kapiler paru setelah trauma, dan
insidens edema paru jarang terjadi sepanjang
tekanan pengisian intravaskular dipertahankan
dalam batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik
oleh Schierhout dan Roberts dari 26 penelitian acak
terkontrol dengan 1622 pasien yang mendapatkan
koloid atau kristaloid, mortalitas merupakan outcome
utama yang dinilai. Hasil yang didapat adalah,
mortalitas pada pasien yang mendapat cairan koloid
lebih besar 4% dibanding yang mendapat kristaloid.
Direkomendasikan cairan koloid dan atau cairan
hipertonik sebaiknya dihindari dalam 24 jam pertama
setelah trauma luka bakar (level II B).
Koloid tidak memperlihatkan keuntungan
dibanding kristaloid pada awal resusitasi cairan pada
pasien luka bakar dan bahkan memperburuk edema
formation pada awal awal terjadinya luka bakar. Hal
ini oleh karena selama 8-24 jam setelah luka bakar
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
Tabel 1. Kriteria Sepsis pada Luka Bakar dan American Burn Asssociation
I. Suhu di atas 39oC atau < 36,5oC
II. Takikardi yang progresif.
a. Dewasa > 110 x/ menit.
b. Anak > 2 SD di atas nilai normal pada tiap umur.
III. Takipnea yang progresif
a. Dewasa > 25 x/ menit tanpa ventilasi mekanik ventilasi semenit > 12 l/ menit
b. Anak > 2SD di atas nilai normal pada tiap umur.
IV. Trombositopenia
a. Dewasa < 100.000/ m3
b. Anak < 2 SD di bawah nilai normal pada umur tertentu.
V. Hiperglikemia (sebelumnya tidak ada DM)
a. KGD yang tidak diobati (> 200 mg/dl)
b. Insulin resisten, contoh:
i. > 7 unit insulin/ jam intravenous drip (dewasa).
ii. Resisten insulin yang bermakna (> 25% peningkatan kebutuhan insulin dalam 24 jam).
VI. Ketidakmampuan untuk meneruskan nutrisi enteral > 24 jam
a. Distensi abdomen.
b. Intoleransi nutrisi enteral (sisa > 150 ml/ hari pada anak atau 2 kali waktu makan pada dewasa).
c. Diare yang tidak terkontrol (>2500 ml/ hari, pada dewasa atau > 400 ml/ hari pada anak).
VII. Sebagai tambahan, sepsis membutuhkan dokumentasi infeksi:
a. Kultur positif infeksi atau
b. Sumber jaringan yang patologik diidentifikasi.
c. Respons secara klinik terhadap antimikroba
162
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Hasanul Arifin
koloid mengalami influx masuk ke dalam interstitium
sehingga memperburuk edema. Studi meta-analisis
terakhir memperlihatkan mortalitas lebih tinggi
pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai
bagian resusitasi awal dengan 2,4 kali risiko relatif
mortalitas dibanding yang mendapatkan kristaloid.
SEPSIS
Pasien luka bakar kehilangan barier terhadap
invasi mikroorganisme dari lingkungan. Sehingga
akan dikeluarkan mediator inflamasi. Paparan kuman
yang terus menerus dari lingkungan mengakibatkan
kenaikan yang signifikan dari leukosit. Peningkatan
leukosit (leukositosis) merupakan indikator yang
jelek dari sepsis.
Kriteria sepsis pada luka bakar berbeda dengan
sepsis pada non luka bakar.
Sehingga American Burn Association (ABA)
Consensus Conference telah merumuskan definisi
sepsis dan infeksi pada luka bakar. (tabel 1) Sampai
dengan hari rawat ke-4 sejak kejadian pasien dalam
keadaan stabil baik. Tetapi pada keesokan harinya,
kondisi pasien menurun, Laju napas (LN) 28x/m,
SpO2: 95 - 99%, suhu: 39,60C, (TD): 80/50mmHg,
laju nadi(LN): 137x/m, tekanan vena sentral (CVP): 8
cmH2O, urin 100mL/jam, hemoglobin (Hb) 13,9mg/
dL, lekosit 7590/mm3, trombosit 85.300mm3. Luka
bakar berbau, ada pus pada beberapa bagian dari
luka bakar terutama di daerah tungkai bawah.
Dari data diatas pasien ini dapat dikatakan masuk
dalam diagnosis sepsis menurut kriteria ACCP/
SCCM, maupun kriteria ABA, walaupun data lain
yang dibutuhkan menurut ABA tidak semuanya
lengkap.
Tekanan darah 80/50mmHg mungkin disebabkan
oleh hipovolemia yang diakibatkan keseimbangan
cairan yang negatif akibat urin yang banyak dan
penguapan, sementara asupan tidak seimbang.
Keseimbangan cairan -582mL sehari sebelumnya
dan -554mL pada hari ini, CVP terukur 8cmH2O atau
sama dengan 5,6mmHg
Stelah resusitasi cairan, TD kembali menuju
normal 105/60 mmHg, CVP 14cmH2O (9mmHg)
Antibiotik yang diberi adalah: Seftriakson
1g/12jam diteruskan sampai hari ke-8, dan diganti
dengan moksifloksasin 400mg/hari selanjutnya,
pasien tetap mengalami febris, takikardia, LN >20x/m,
leukositosis, trombosit selalu <100.000mm3, tetapi
hemodinamik stabil baik dan produksi urin cenderung
banyak (100ml/jam)
Kadar albumin menurun, nilainya sampai
hari ke-16 masih di bawah 2,0g/dL 1,4 - 1,9g/dL.
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
Baru pada hari berikutnya sampai hari ke-40, mulai
beranjak naik tetapi masih tetap dibawah 3,0g/dL
2,5-2,9g/dL.
Penurunan kadar albumin ini diakibatkan karena :
• Terjadinya eksudasi cairan yang kaya protein
dari kompartemen intravaskular kedalam kompartemen interstitial.
• Proses hiperkatabolik yang menyebabkan respons metabolik yang meningkat sejajar dengan
beratnya trauma, berakibat body fuels dan body
protein menjadi wasted.
• Urinary nitrogen yang meningkat
• Keadaan ini diperberat dengan masukan yang
kurang disebabkan oleh karena nafsu makan
yang sangat menurun, rasa mual, abdominal discomfort.
Suplemen albumin diberikan dengan pertimbangan
fungsi albumin adalah :
• Mempertahankan tekanan koloid osmotik intravaskular
• Mengikat dan transportasi
• Free radical scavenging.
• Inhibisi fungsi platelet dan efek antirombotik
• Efek pada permealilitas pembuluh darah.
Penanganan nyeri dilakukan dengan pendekatan
multimodal meperidin/fentanil dan parasetamol atau
NSAID intravena. Penanganan nyeri menjadi sangat
penting oleh karena bila tidak ditanggulangi dengan
benar akan memperberat keadaan penyakit.
Setelah satu bulan pasien mengalami perburukan
napas dengan dijumpainya LN sampai 39 x/menit,
dan suara tambahan ronki basah. Maka segera
dilakukan tindakan intubasi trakea dan dukungan
ventilasi mekanik. Kultur sputum dilakukan dan
antibiotika adekuat diberikan dan hemodinamik di
perbaiki sehingga dalam kurun waktu 4 hari dapat
dilakukan penyapihan dan ekstubasi terhadap pasien.
Pneumonia pada pasien luka bakar luas dijumpai
sekitar 50%. Hal ini disebabkan adanya pelepasan
endotoksin dan sitokin pro-inflammasi. Hal ini
diperburuk dengan kondisi sistem imun pasien yang
mengalami penurunan. Selain antibiotika pasien juga
mendapatkan antijamur mikafungin berdasarkan
skor kandida.4
Untuk manajemen dukungan nutrisi pada pasien
luka bakar maka ada beberapa hal yang harus diingat
yakni bahwa nutrisi enteral harus sesegera mungkin
diberikan untuk mengaktifkan aliran darah splanknik,
dan aliran darah gastrointestinal agar tidak terjadi
atropi dan mencegah terjadinya translokasi bakteri
yang sering sekali timbul pada pasien luka bakar.
Bila nutrisi enteral tidak dapat mencukupi kebutuhan
163
Pengelolaan Infeksi pada Pasien Luka Bakar di Unit Perawatan Intensif
pasien ini maka harus diperlukan tambahan dari
nutrisi parenteral. Pada pasien ini dilakukan gabungan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral. Glutamin
(0,35g/kgBB/hari ≈ 20 g/hari) diberikan dengan
tujuan meningkatkan perbaikan luka, integritas usus,
fungsi imun dan pertahanan antioksidan. Nutrisi
gabungan diberikan karena jalur enteral tidak bisa
memenuhi kebutuhan energi pasien. Pasien selalu
merasa mual dan kembung. Hal ini merupakan tanda
adanya ileus, dilatasi gaster, peningkatan sekresi
gaster akibat iskemia intestinal yang disebabkan
oleh penurunan aliran darah splanknik yang memang
sering terjadi pada pasien luka bakar luas. Trauma
bakar akut yang ditimbulkan oleh air mendidih
pada tikus percobaan, menunjukkan bahwa adanya
penurunan penyerapan nutrisi (glukosa, kalsium dan
asam amino) dan sintesis DNA pada usus halus. Pasien
luka bakar dijumpai memiliki tingkat insidens ulser
yang tinggi. Erosi dari dinding perut dan dudodenum
telah ditemukan pada 86% pasien luka bakar major
dalam 72 jam setelah trauma, dengan lebih dari 40%
pasien mengalami perdarahan gastrointestinal.
Bila dihitung kebutuhan kalori dan asam amino
pasien ini :
TB = 65 inchi  PBW= 50 + 2,3 (65 – 60) =
61,5kg
BEE = 61,5 x 25 kkal = 1537,5 kkal
Kebutuhan kalori sehari= 1537.5 x 1.8 = 2767,5kkal
Kebutuhan protein = 61,5 x (1,5-2,0) = 92 – 123g
Pada kasus sakit kritis support nutrisi dimulai
dengan start low, go slow, end slow. Kasus ini pada
awalnya diberikan diet bubur saring 2000 kkal (±
70% dari kebutuhan total). Pada hari rawatan ke36 di ICU nutrisi enteral diganti dengan formula
komersial EnsureR + NeomuneR (1800 kalori +
90 gram asam amino) kombinasi dengan parenteral
nutrisi 1250 kalori dan glutamin, sehingga total
kalori adalah 2400 kalori + 118 gram asam amino.
Dibandingkan dengan diet bubur saring, maka
formula komersial memberikan keuntungan karena
disiapkan dalam bentuk yang uniform, aseptik, steril,
mudah diberikan, kurang untuk risiko kontaminasi,
tidak mengandung laktosa. Sehingga lebih aman
dan lebih hemat dibandingkan dengan blenderized
formula blender.15, 16, 17
Glutamin awalnya merupakan asam amino
non esensial, tetapi pada kasus sakit kritis, ketika
kebutuhan lebih besar dari cadangan yang ada dalam
tubuh, maka harus diberikan dari luar (sebagai
suplementasi). Pemberian glutamine berfungsi
sebagai sumber nutrisi untuk enterocyte, colonocyte,
164
immune cells, N-transport. Pemberian parenteral
lebih baik dibandingkan dari enteral. Dosis 0,350,50 gr/kg/hari selama 7 hari.
Pemberian antioksidan berupa vitamin C dan
vitamin E, untuk penanganan rumatan selama di
ICU telah diberikan sejak pasien masuk rumah sakit.
Menurut berbagai penelitian, maka pemberian
vitamin ini bertujuan untuk perbaikan luka
pengurangan edema luka bakar, dan perbaikan sistem
imun pada pasien ini. Dosis yang diberikan adalah
400mg/8 jam i.v dan Vit E dengan dosis
400mg/
hari oral.
Pencegahan tromboemboli dilakukan dengan
mobilisasi miring kanan-kiri, gerakkan ekstremitas
walau terbatas, fisioterapi napas dan anggota gerak.
DAFTAR PUSTAKA
1. David J, Dries. Management of burn injuries –
recent developments in resuscitation, infection
control and outcomes research. Scandinavian
Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 2009; 17: 14.
2. Eric DM. Ambulatory management of burns.
American Family Physician. November 2001
available at : http://www.aafp.org/afp/20001101/
contents.html
3. Norman AT, Judkins KC. Pain in the Patient
with Burns. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain.
2004; 4(2): 57-61
4. A review of the complications of burns, their
origin and importance for illness and death - Abstract J Trauma. 2008; 19(5): 358-69.
5. Cakir B, Yeggen CB. Sistemic response to burn
injury. Turkey Journal Medical Science. 2004;
34: 215-26
6. Martin, Hugh. Immediate management of burn
injury. ADF Health. 2007; 8: 60-2.
7. Prins A, RD (SA). Nutritional management of
the burn patient. South African Journal Clinical
Nutrition. 2009; 221: 09-15
8. Spapen H, Jacobs R. Antioxidant therapy in
sepsis. Netherland Journal Critical Care. 2008;
12(6):278-84
9. David G. Greenhalgh, MD, et al. American Burn
Association consensus conference to define sepsis and infection in burns. Journal of Burn Care
& Research. 28(6): 776-90
10. www.burnsurgery.com. Pulmonary Problems In
The Inflammation-Infection Phase. p. 27
11. Ryan M. Colleen, et al : Objective estimates of
the probability of death from burn injuries. N
Eng J Med. 1998; 338:18
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Hasanul Arifin
12. Arif. SK : Terapi cairan pada luka bakar berat.
In: Harijanto E, ed. Panduan tatalaksana terapi
cairan perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia;
2009. p.193-206.
13. Wischmeyer P E. Clinical applications of l-glutamine: past, present, and future. Nutrition in
Clinical Practice. 2003; 18:377-85.
14. Hall. J.C. et al. A prospective randomized trial
of enteral glutamine in critical illness. Intensive
Care Med. 2003; 29: 1710-16.
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
15. Gallagher-Allred C, Deering CP, Dorner B. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition.2002;
26(1): 40-46
16. 16.Tanchoco CC, et al. Respirology. 2001; 6:
43-50.
17. Sullivan MM, et al. J Hosp Infect . 2001;49: 268273
18. Ardishoven, Morehead RS, Martin C. Guidelines
for the empiric use antifungal therapy in critically il adults. UK Health Care. 2009: 1-2
165
Download