BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiversitas Jamur Endofit Jamur

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiversitas Jamur Endofit
Jamur endofit merupakan mikroorganisme yang tertinggal dalam jaringan
tanaman hidup tanpa menyebabkan pengaruh yang merugikan bagi tanaman
tersebut (Bacon dan White, 2000), tetapi mungkin bisa menjadi pathogen selama
proses penuaan (Rodriguez dan Redman 2008). Mayoritas endofit berpindah
secara horizontal ke inangnya melalui spora dari udara. Sebaliknya, beberapa
endofit mungkin juga berpindah secara vertikal ke generasi selanjutnya melalui
biji (Hartley dan Gange 2009).
Pencarian
mengenai
keanekaragaman
mikroorganisme
merupakan
tantangan bagi mikrobiologi modern (Gamboa et al. 2002). Berbeda dengan
organisme lainnya, mikroba mencakup semua relung di permukaan bumi
(Gunatilaka 2006). Sampai saat ini, diyakini ada sekitar 300.000 spesies
tumbuhan yang setidaknya memiliki satu jenis bahkan ratusan jenis strain endofit
(Strobel dan Daisy 2003; Huang et al. 2007a).
Secara tradisional, endofit diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi
yang kemungkinan jumlahnya berada di bawah perkiraan dari jumlah tipe endofit
Universitas Sumatera Utara
yang sebenarnya, khususnya yang berada di bawah tingkat jenis, misalnya tingkat
genotip. Studi mengenai diversitas dan spesifisitas inang endofit berkaitan dengan
kepentingan ekologi inang dalam biodiversitas tanaman berkayu telah dilakukan
di kepulauan Madrean, endofit diisolasi dari bagian tanaman yang sehat, daun
dewasa dari Quercus sp. (Fagaceae), Pinus ponderosa (Pinaceae), Cupressus
arizonica (Cupressaceae), dan Platycladus orientalis (Cupressaceae) di dekat
Tucson, Arizona, USA.
2.2 Jamur Asidofilik
Kebanyakan jamur hidup pada habitat yang asam sebagai jamur toleran-asam,
sedangkan sebagian kecil disebut asidofilik karena memiliki kemampuan tumbuh
pada suasana yang asam. Lingkungan asam alami memiliki pH sekitar 3 sampai 4
yang relatif umum di tanah, danau, rawa dan gambut. Komunitas jamur di tanah
asam telah dipelajari secara ekstensif. Lingkungan asam yang ekstrim, nilai pH
sampai <3, ditemukan pada beberapa bagian bumi baik buatan atau alami. Habitat
asam alami dengan pH sekitar 1 sampai 3 utamanya ditemukan pada tanah
solfatara dan banyak dipelajari di Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Italia, Esldania
dan Selandia baru, sedangkan komunitas pada lingkungan asam buatan manusia
seperti tambang minyak, batubara, dan limbah industri telah memperoleh
perhatian yang besar dekade ini. Sejumlah besar organisme prokariot, utamanya
arkaeobakter, telah dipelajari dengan alasan bioteknologi. Aplikasinya meliputi
desulfurisasi batubara, perlakuan limbah industri, dan bioakumulasi logam (Rossi
dan Torma, 1983; Rawlings, 1997).
Mekanisme
hiperasidofilik
seperti
pada
mantel
jamur
dengan
lingkungannya masih membutuhkan penelitian lanjut. Jamur mungkin umum
ditemukan pada lingkungan asam karena pengaturan pH internalnya. Organisme
diketahui mengatur pH yang relatif netral dengan memompa proton keluar dari
selnya dan menjaga permeabilitas membran rendah proton (Nicolay et al., 1987).
Analisis mikroskopik pada jamur di pembuangan air pertambangan diperkuat
Universitas Sumatera Utara
dengan penuntun identifikasi atau kompilasi itu untuk menduga kemungkinan luas
dari tingkat variabilitasnya. Dalam upaya perbaikan kondisi lingkungan pada air
buangan pertambangan, diperlukan adanya daftar jamur asidofilik dan jamur
toleran asam, terutama di tanah, sebagai acuan (Raven, 1990).
2.3 Vaccinium varingiaefolium
Secara taksonomis, Vaccinium varingiaefolium memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ericales
Family
: Isotomoidea
Subfamily
: Vaccinioideae
Tribe
: Vaccinieae
Genus
: Vaccinium
Spesies
: Vaccinum varingiaefolium
Genus Vaccinium mencakup sekitar 450 spesies berbeda yang terdapat
pada pegunungan tropis Asia dan Amerika Tengah dan Selatan, serta sedikit
spesies di Afrika dan Madagaskar, 92 spesies terdapat di China (51 jenis
endemik). Batasan dari Vaccinium sangat tidak jelas. Dari penelitian molekular
terbaru, serta didukung oleh ciri morfologi dan anatomi, menunjukkan bahwa
genus tersebut mirip seperti spesies yang di China yang memiliki 10 ovarium
pseudolokula, yang berkerabat dengan Agapetes (Cheng dan Peter, 2009)
Ciri morfologi Vaccinium memiliki perawakan berupa semak belukar atau
pohon kecil, teresterial dan epifit. Daunnya selalu hijau atau desidous, jarang
pseudoverticillate, memiliki petiolus, tepi daun serratus. Bunga influoressensia
terminal atau aksilar, racemosa, fasciculata atau soliter. Braktea dan brakteola
Universitas Sumatera Utara
persisten dan caducous, bagian belakang kecil, basal, jarang apikal, tangkai bunga
meluas ke arah ujung atau tidak, articulata, jarang bersambung. Jumlah bunga 5,
jarang 4, kelopak bunga berlekuk atau bergerigi. Korola urceolate atau tubular,
berlekuk atau bergerigi, biasanya di dasar dahan, berlekuk tegak atau recurved,
kebanyakan lebih pendek dari tabung, jarang lebih panjang dan petal kelihatan
bebas. Stamen jarang berjumlah 4, biasanya mencakup anther dengan 2 taji pada
filamentum atau tidak, theca dengan tabung terbuka dengan pori terminal atau
celah. Cakram berbentuk anular, ovarium inferior, biasanya 8 atau 10
pseudoloculed dengan sekat palsu, locula dengan banyak ovula, stigma tidak
mencolok. Buah dengan beberapa biji globose, biji berbentuk ovoid, kecil, testa
keras dan berlendir (Cheng dan Peter, 2009)
Di Pegunungan Dieng, di sekitar kawah biasanya hanya terdapat beberapa
jenis tumbuhan yang berhasil bertahan hidup. Vaccinium varingiaefolium
menunjukkan toleransinya yang sangat tinggi dengan penampilan habitus yang
sangat baik. Beberapa jenis tumbuhan lain seperti Ischaemum, Panicum dan
Histiopteris, cukup dominan tetapi dengan penampilan habitus yang lebih buruk,
seperti daun menguning kecoklatan, nekrotik atau tepi daunnya mongering (Nasir,
1994). Menurut Nasir (1994), adanya gradien gas belerang dan keasaman habitat
memungkinkan terjadinya gradien toleransi dari jenis-jenis tumbuhan dominan
penyusun vegetasi di sekitar kawah di Dataran Tinggi Dieng. Nasir et al. (1994)
menyatakan bahwa laju deposisi kering tergantung pada konsentrasi SO2 dan H2S,
turbulensi atmosfer dan afinitas permukaan. Deposisi basah dipengaruhi oleh
curah hujan, kelembaban tanah maupun udara. Gas belerang akan terdeposisi
menjadi asam sulfat dan jatuh ke tanah sebagai hujan asam. Di tanah, asam sulfat
akan terionisasi menjadi ion H+ dan SO42-, sehingga menyebabkan tanah menjadi
lebih asam.
2.4 Ekologi Jamur Endofit
Universitas Sumatera Utara
Tanaman biasanya berhadapan dengan faktor lingkungan yang berbeda
berdasarkan keberadaannya pada kondisi geografis khusus (Arnold 2007; Higgins
et al. 2007). Kondisi lingkungan mungkin membentuk keanekaragaman endofit
yang hidup di dalam inangnya (Vega et al. 2010). Derajat variabilitas yang pasti
dari komposisi endofit dari individu tanaman inang berdasarkan tingkat takson
yang diberikan biasanya diamati berdasarkan pengaruh terhadap kondisi fisiologis
inangnya, bahkan dalam daerah pengamatan yang sama sekalipun (Sieber dan
Hugentobler 1987; Ghimire et al. 2011; González dan Tello 2011). Sebagai
contoh,
penelitian
menunjukkan
bahwa
endofit
mungkin
meningkatkan
keberadaan, keanekaragaman, luasnya inang sebagai akibat dari
ketinggian
(Arnold 2007; Arnold dan Lutzoni 2007). Dalam studi tersebut, sebanyak 1.202
strain jamur endofit
berhasil diisolasi dari tumbuhan inang dari taksa yang
berbeda, diambil dari 6 lokasi berbeda, yang berada di kawasan hutan dataran
rendah (Barro Colorado Isldan, Panama) sampai ke Northern Boreal Forest
(Schefferville, Québec, Canada). Keanekaragaman endofit menurun secara linear
dari daerah tropis sampai ke northern boreal forest. Komunitas endofit dari
ketinggian yang lebih tinggi dicirikan dengan jumlah yang sedikit dan hanya
mewakili beberapa kelas dari Ascomicotina. Endofit pada daerah tropis
didominasi oleh sedikit kelas tetapi dengan jumlah jenis yang sangat besar
(Arnold dan Lutzoni 2007).
Perbedaan metode isolasi, mencakup pemilihan media pertumbuhan,
ukuran potongan jaringan tanaman inang, waktu sejak pengambilan jaringan,
mungkin memberikan pengaruh besar dari frekwensi infeksi endofit, demikian
juga keanekaragaman endofit dan komposisi jenisnya (Arnold 2007; Sun et al.
2011). Hal tersebut ditunjukkan dari jumlah morfospesies jamur endofit yang
diambil dari bagian jaringan daun meningkat secara signifikan ketika sampel daun
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, dibdaningkan dengan isolasi dari
bagian yang lebih besar. Untuk memperkirakan nilai keanekaragaman jamur
endofit yang realistis, biasanya disarankan untuk mengurangi ukuran dan
meningkatkan jumlah potongan daun (Gamboa et al. 2002).
Universitas Sumatera Utara
Download