Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator

advertisement
EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI
IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek’s
Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM
MUHAMAD SAMSI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan
judul : Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator dan
Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus (MDV) Sertipa 1 Onkogenik pada
Ayam adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan
bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Bogor, Agustus 2007.
Muhamad Samsi
NIM. B161030011
ABSTRACT
MUHAMAD SAMSI. The Tea Parasite (Scurrula oortiana) Extract as
Immunomodulator and Antitumor on the Infection of Marek’s Disease Virus (MDV)
Serotype 1 Oncogenic in Chicken. Under supervision of MARTHEN B.M. MALOLE,
WASMEN MANALU, and EKOWATI HANDHARYANI.
Marek’s disease virus (MDV) is one of oncogenic herpesvirus which has a
DNA as nucleic acid. It causes immunosupresion and cancer in chicken. This study
was aimed to find out the mechanism of Marek’s disease in layer commercial
chickens which administered orally with extract of tea parasite (Scurrula oortiana) in
dose of10 mg/kg bw through drinking water, then the chickens were infected by
intraperitoneal oncogenic MDV in dose 1,0 x103 TCID50. The study used 60 layer
commercial day old chicks (DOC) divided into four group of treatments. The
treatments were group A (administered S. oortiana extract and without MDV
infection), B (neither S. oortiana nor MDV infection), C(administered S. oortiana
extract and whith MDV infection), and D (none administered S. oortiana extract, but
whith MDV infection). This study was conducted for 60 days.
The analysis showed that MDV oncogenic caused immunosupresion at day
post infection (p.i) and recovery to be normal based on relative weight of bursa of
Fabricius and thymus, and also diameter of the bursa of Fabricius follicle at 40 of
post infection. Moreover, the MDV caused cancer at day 20 of post infection. and
increased pathogensity based on the amount of the proventriculus limphocyte, and
pathogenesis of liver cancers at day 40 of post infection. The extract of S. oortiana
had a capability as an immunomodulator as indicated by the increase of relative
weight of bursa of Fabricius and thymus at day 20 of post infection. and the increase
of diameter of bursa of Fabricius follicle at day 40 of post infection.
.
Its effect on nonspesific immunity was indicated with the increase of inducible
nitric oxyde shynthase (iNOS) enzyme at 20 of day p.i. Its effect on the humoral
immunity was indicated with the increase of antibody titre against MDV at day 20 of
post infection. The special property of S. oortiana extract as antivirus was indicated
by the inhibition the MDV development on the bursa of Fabricius at day 20 of post
infection. The extract also decrease the amount of lymphocyte of submucous
proventriculus and liver pathogenesis at day 40 of post infection.
Keywords : Marek's disease virus, Scurrula oortiana, inducible nitric oxyde
shynthase, and limphocyte
RINGKASAN
MUHAMAD SAMSI.
Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai
Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus(MDV) Onkogenik
Serotipe 1 pada Ayam. Dibimbing oleh MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN
MANALU, dan EKOWATI HANDHARYANI.
Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan)
sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang
tersedia. Infeksi Marek’s disease virus(MDV) onkogenik pada ayam diawali sitolisis
pada limfosit B dan limfosit T, ayam memberikan responss imun yang didahului oleh
responss imun nonspesifik, yaitu fagositosis oleh mekrofag dan neutrofil yang
menghasilkan bahan penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan
produksi radikal bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekulmolekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan
limfosit T. Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi
gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker. Virus penyebab tumor disebut
virus onkogen dan gen yang ada pada virus disebut viral oncogen (V-onc) yang
homolog dengan sekuen DNA pada gen seluler inang, yaitu proto oncogen (C-onc)
yang dapat berinteraksi dengan gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler
inang oleh gen virus bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus
penyebab, dan kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen
yang menginduksi terjadinya mutasi.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak
benalu teh Scurrula oortiana terhadap fenomena imunologis dan risiko kanker pada
ayam yang diinfeksi virusherpes MDV onkogenik, sedangkan secara khusus tujuan
penelitian ini adalah: pembuktian secara ilmiah khasiat eksstrak S. oortiana sebagai
imunomodulator dan mengurangi risiko kanker, menggunakan parameter imunologi.
Menjadikan benalu teh S. oortiana sebagai obat herbal berstandar.
Tahap pertama uji penentuan dosis infeksi MDV onkogenik, digunakan 20
ekor ayam dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan masing-masing empat ekor
yaitu : A. kontrol tanpa infeksi, B. diinfeksi intraperitoneal dengan dosis 0,125 x 1000
EID50, C. 0,250 x 1000 EID50, D 0,500 x 1000 EID50, dan E 1 x 1000 EID50.
Sedangkan tahap kedua digunakan 60 ekor ayam dibagi ke dalam empat kelompok
perlakuan yaitu : perlakuan A. diberi ekstrak S. oortiana dengan, tanpa infeksi MDV,
B tanpa pemberian ekstrak S. oortiana dan tanpa infeksi MDV, C diberi ekstrak S.
oortiana dan diinfeksi MDV, dan D tanpa diberi ekstrak S.oortiana, diinfeksi MDV.
Ekstrak benalu teh diberikan secara oral (dicekok) sejak ayam berumur 15 hari
sampai akhir percobaan, dengan dosis 10 mg/kg bobot badan yang dilarutkan dalam
air minum. Ayam diinfeksi dengan virus Marek pada umur 20 hari secara
intraperitoneal dengan dosis 1.000 EID50. Parameter yang diamati : Perhitungan
antibodi untuk uji imunitas terhadap penyakit Marek dengan teknik enzyme-linked
immuno sorbent assay (ELISA) pada 10, 20, dan 30 hari pacainfeksi (p.i).
Perhitungan leukosit dan persentase limfosit pada 20 dan 40 hari p.i. Penimbangan
dan perhitungan ratio bobot reltif limpa, bursa Fabricius dan timus pada hari 20 dan
40 p.i. Perubahan histopatologi pada bursa Fabricius, hati, dan proventriculus pada
20 dan 40 hari p.i. Uji imunohistokimia terhadap iNOS pada organ hati dan uji
imunohistokimia terhadap MDV pada organ bursa Fabricius pada 20 hari p.i.
Ekstrak benalu teh (S. oortiana) berkhasiat sebagai imunomodulator ditandai
dengan paningkatan rataan bobot relatif bursa Fabricius, bobot relatif timus, dan
diameter folikel bursa Fabricius. Hasil tersebut tercermin dari meningkatnya rataan
bobot realatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana
dibanding kelompok yang diberi ekstrak dikombinasi dengan infeksi MDV maupun
keleompok ayam yang hanya diinfeksi MDV 20 hari p.i. Bobot relalatif timus pada
kelompok ayam yang diberi ektrak S. oortiana dan diinfeksi MDV tidak mengalami
penurunan pada 20 hari pascainfeksi, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak S.
oortiana mampu menghambat imunosupresi akibat infeksi MDV. Pada pengamatan
ini terjadi peningkatan rataan diameter folikel bursa Fabricius 40 hari pascainfeksi
pada kelompok ayam perlakuan kombinasi ekstrak S. oortiana dibanding dengan
semua kelompok perlakuan.
Keberadaan iNOS berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan
imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel dalam hati
yang diekspresikan oleh sel-sel Kupffer maupun sel endotel. Kelompok ayam yang
diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A) mengalami peningkatan
pembentukan iNOS yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok ayam
tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B). Infeksi MDV mampu
meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS baik pada kelompok yang diberi
ekstrak maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana dibanding dengan kelompok ayam
tanpa infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi MDV mampu meningkatkan
produksi iNOS sebagai bagian dari responss imun nonspesifik.
Meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada 20 hari kelompok perlakuan
pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) lebih tinggi daripada kelompok tanpa
pemberian benalu teh dan tanpa infeksi MDV (B). Hal ini disebabkan adanya
kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan faktor
imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang. Pemeriksaan
imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius menunjukkan terjadi
penurunan pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S.
oortiana.
Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV
onkogenik mampu menurunkan risiko kanker yang ditandai persentase limfosit pada
leukosit 20 hari p.i dan menurunnya jumlah limfosit submukosa proventrikulus 40
hari p.i pada kelompok ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi. Perubahan
histopatologi pada 40 hari p.i yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel
limfoid dan makrofag pada organ hati. Kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu
teh dan diinfeksi MDV ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau
sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit
dibandingkan dengan hati pada kelompok ayam tanpa diberi ekstrak benalu teh dan
diinfeksi MDV.
Kata kunci : Marek's disease virus, Scurrula oortiana, inducible nitric oxyde
synthase, dan limfosit.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI
IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek’s
disease virus (MDV) SEOTIPE 1 ONKOGENIK PADA AYAM
MUHAMAD SAMSI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Penguji Luar Komisi
Pada Ujian Tertutup : Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D
Pada Ujian Terbuka : Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS
Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi, MS.
Judul Disertasi
: Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai
Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s
Disease virus (MDV) Onkogenik Serotipe 1 pada Ayam
Nama
NIM
: Muhamad Samsi
: B161030011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Drh. Marthen B.M. Malole
Ketua
Prof. Ir. Wasmen Manalu. Ph.D.
Anggota
Drh. Ekowati Handharyani MS. Ph.D.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dr. drh. B. Ponco Priyosoeryanto MS.
Tanggal Ujian : 9 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan
penyusunan disertasi, dengan judul “Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai
Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus Onkogenik pada
Ayam”
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada yang terhormat Dr.Drh. Marthen B.M. Malole, sebagai
ketua komisi pembimbing, Prof.Ir. Wasmen Manalu, Ph.D. dan Drh. Ekowati
Handaryani, MSi. Ph.D. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang
telah menyediakan waktu, dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam
proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3.
Ucapan terima kasih penulis juga disampaikan kepada Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Rektor Universitas Jenderal
Soedirman, dan pengelola beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah
memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian
kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur PPSDMIPB dan Yayayasan Dana Sejahtera Mandiri Jakarta yang telah mamberikan
bantuan biaya penulisan disertasi kepada penulis. Ucapan terimakasih kepada
Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai dan
Ketua Program Studi Sains Veteriner (SVT) beserta staf dan pegawai atas
kelancaran proses penyelenggaraan pendidikan, serta kepada semua pihak yang
telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi.
Penghargaan penulis disampaikan kepada Dr Retno Murwani, Dr. Drh.
Marthen B.M. Malole, Dr. Drh. Sri Murtini, MSi, Dr. Drh. Fajar Satrija, MSc. atas
bantuan materi penelitian awal, pak Nur, drh Farida, drh. Bongot, drh. Tanti, Kristina,
Teti, pak Kasnadi, pak Endang, Anin, dan Elia atas bantuan dan kerjasamanya
selama kerja dilaboratorium. Disampaing itu penulis juga menyampaikan
penghargaan dan terimakasih kepada sataf dan pegawai di Laboratorium Terpadu,
Laboratorium Virologi, Laboratorium Patologi, dan Laboratorium Fisiologi Fakultas
Kedoteran Hewan IPB.
Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga
atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada istri
tercinta Siti Elistjanti, S.Sos., ananda tersayang Dhaifina Asmarani (Fina), atas
segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan kasih sayang yang
diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3.
Akhirnya, semoga karya disertasi ini dapat bermanfaat di masyarakat dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan
khususnya dalam bidang kesehatan dan peternakan.
.
Bogor, Agustus 2007.
Muhamad Samsi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 7 Oktober 1957, sebagai
anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Munidi Djogosukarto
(Alm.) dan Ibu Hj. Salbingah. Pada tahun 1987 menikah dengan Siti Elistiyanti
S.Sos, dan dikaruniai seorang anak, yakni Dhaifina Asmarani (Fina).
Pendidikan sarjana telah ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjahmada Yogyakarta, lulus sarjana Kedokteran Hewan tahun 1982,
lulus dokter hewan pada tahun 1983. Penulis menamatkan Magister Sains di
Program Studi Sains Veteriner Program Pascasarjana Universitas Gadjahmada
Yogyakarta tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2003.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen
Pendidikan Nasional.
Pada tahun 1985 sampai dengan tahun 1987 penulis berkesempatan bekerja
di PT.Bamaindo Feeds Stuft Surabaya. Sejak tahun 1987 sampai dengan sekarang
penulis adalah sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto dengan bidang kajian yang diminati Ilmu Kesehatan Ternak.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xii
DAFTAR GAMBAR . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xiii
DAFTAR LAMPIRAN . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xvi
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kerangka Pemikiran ……………………………………………………..
Tujuan Penelitian . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1
4
6
6
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Imunitas Tubuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kanker . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penyakit Marek . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Radikal Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Antioksidan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Benalu Teh sebagai Penurun Risiko Kanker . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
7
9
12
17
20
25
BAHAN DAN METODE. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bahan dan Alat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Desain Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
28
28
28
39
30
HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penentuan Uji Dosis Infeksi MDV . . . . . . . . . . . . …………………..
Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa . . . . . . . . .
Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Indusible Nitric Oxyd
Synthase (iNOS) . . . . ……………………………………………………
Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA . . . . . . . . . .
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan
Persentase Limfosit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadan MDV pada
Bursa Fabricius . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Limfosit pada proventrikulus ……………………………………………
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Patogenesis Marek pada Hati ..
37
37
39
42
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………….
56
SIMPULAN . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …...
63
DAFTAR PUSTAKA .. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
64
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
72
44
46
49
51
52
54
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa
20 hari p.i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.
Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa
40 hari p.i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.
Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40
Hari pascainfeksi (p.i.) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.
Rataan jumlah reaksi positif iNOS pada hati ayam 20 hari
Pascainfeksi (p.i.) . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.
Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan
Perlakuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6.
Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi
(p.i.) MDV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7.
Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit(%)
Pada ayam 20 hari pascainfeksi . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . ..
8.
Rataan jumlah leukosit per mililiter dan proporsi limfosit (%)
Pada ayam 40 pascainfeksi (p.i) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9.
Rataan jumlah limfosit submukosa proventriculus 20 hari
dan 40 hari pascainfeksi (p.i) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
40
42
43
46
47
49
50
50
53
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Hubungan keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan
eksktrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen . . . . . . . . . ….
5
2.
Mekanisme secara umum sistem imun . . . . . . . . . . . . . . . . . ….
8
3.
Kemungkinan skenario pada ketidakseimbangan ROS. . . . . …..
18
4.
Senyawa flavonoid . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……
21
5.
Senyawa fenol . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . ….
22
6.
Diagram alir penelitian . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . ……….
31
7.
Fotomikkrograf hati ayam yang diinfeksi MDV dosis 0,125 x
103EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)…………………….
38
Fotomikkrograf hati ayam yang diinfeksi MDV dosis 1 x 103EID50
pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). ………………………………
38
Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia
terhadap iNOS metode sab dan counterstain hematoksilin ………
45
Grafik nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA
10, 20, dan 30 hari pascainfeksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …….
48
Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara
imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain
Hematoksilin……………………………………………………………
52
Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan hematoksilin-Eosin
(HE)……………………………………………………………………..
55
8.
9.
10.
11.
12.
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa
20 hari p.i ………………………………………………………….
72
Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa
40 hari p.i .................................................... ………………….
73
3.
Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 20 hari p.i ….
74
4.
Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 40 hari p.i ….
75
5.
Analisis ragam reaksi positif iNOS 20 hari p.i …………………
76
6.
Analisis ragam titer antibodi terhadap MDV……………………
77
7.
Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada
20 p.i………………………………………………………………..
78
Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada
40 ………………………………………………………………..
79
Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus
pada 20 p.i. ……………………………………………………….
80
Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus
pada 40 p.i ...............................................................................
81
2.
8.
9.
10.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang
menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi. Gen yang mengalami mutasi
disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor, yang dapat menimbulkan
abnormalitas pada sel somatik. Usia sel normal ada batasnya, sementara sel
tumor tidak mengalami kematian sehingga multiplikasi dan pertumbuhan sel
berlangsung tanpa kendali. Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi,
fungsi, dan siklus pertumbuhan, yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan
hilangnya komunikasi antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu
kejadian neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di
sekitarnya. Sebaliknya, maligna disinonimkan sebagai tumor yang melakukan
metastasis, yaitu menyebar dan menyerang jaringan lain.
Kanker adalah penyakit kompleks pada sejumlah besar gen seluler
yang telah mengalami perkembangan malignansi. Gen tersebut dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai onkogen dan gen supresor
tumor. Onkogen dikategorikan sebagai kanker yang disebabkan oleh virus yang
terbagi dalam dua grup, yaitu virus tumor DNA dan virus tumor yang
mengandung RNA yang disebut juga retrovirus (Benchimol dan Minden 1998).
Virusherpes sangat tumorogenik pada hewan yang pada mulanya berada pada
episom sel dan tidak terintegrasi pada genom inang. Pada kejadian penyakit
tumor biasanya tidak ditemukan adanya virus di dalam sel, dan DNA virus
herpes hanya sedikit berada sebagai herpes yang melakukan transformasi
pada sel. Hal ini dinyatakan sebagai mekanisme hit and run pada onkogenesis
sehingga menyebabkan kerusakan khromosom atau kerusakan lain (Hunt
2003).
Herpes virus onkogenik termasuk virus DNA yang menyebabkan
penyakit Marek pada ayam, virus herpes karsinoma pada katak, virus herpes
saimiri pada primata selain manusia, virus Epstein Bar (limfosarkoma) pada
manusia, virus herpes 6 pada yang berasosiasi dengan human Kaposi’s
sarcoma (Cheville 1999).
Marek’s disease (MD) herpesvirus (MDV) pada unggas diketahui
sebagai virus onkogenik alami yang menyebabkan limfoma pada sel T.
Identifikasi sel yang mengalami transformasi pada MD memberi kesempatan
secara menyeluruh untuk menjelaskan patogenesis MD dan tingginya nilai
2
kegunaan MD sebagai model pada penelitian onkologi virus herpes (Burges
dan Davison 2002).
Infeksi MDV pada ayam dapat dijadikan sebagai model
infeksi virusherpes onkogen untuk hewan lain.
Periode infeksi MDV meliputi tiga bentuk, yaitu infeksi akut (produktif)
yang menimbulkan lisis sel limfosit B dan limfosit T, infeksi laten yang bersifat
nonproduktif, dan infeksi transforming, yaitu transformasi gen pada limfosit T.
Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang
menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan
membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis
sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan
sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan penurunan bobot relatif
bursa Fabricius dan timus (Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002).
Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA, transkripsi, maupun
sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV serotipe 2 dan 3
nononkogen. Sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau bisa
merespons onkogenesitas gen virus yang mengalami transformasi. Infeksi
transforming hanya terjadi pada sel yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1.
Beberapa subset limfosit T, yaitu CD4 dan CD8 merupakan target transformasi
karena bagian tersebut berperan sebagai tempat perlekatan awal infeksi
sitolisis (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal 2000).
Virus penyebab tumor disebut virus onkogen dan gen yang ada pada
virus disebut viral oncogen (V-onc) yang homolog dengan sekuen DNA pada
gen seluler inang, yaitu proto oncogen (C-onc) yang dapat berinteraksi dengan
gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler inang oleh gen virus
bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus penyebab, dan
kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen yang
menginduksi terjadinya mutasi.
Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan)
sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang
tersedia. Infeksi MDV pada ayam diawali sitolisis pada limfosit B dan limfosit T,
ayam memberikan respons imun yang didahului oleh respons imun nonspesifik,
yaitu fagositosis oleh makrofag dan neutrofil yang menghasilkan bahan
penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan produksi radikal
bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekul-molekul pada sel
sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T.
3
Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen
sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker.
Tekanan oksidatif diinduksi secara luas oleh faktor lingkungan termasuk
sinar ultraviolet, serangan patogen, reaksi hipersensitif, kerja herbisida, dan
kekurangan oksigen. Spesies oksigen reaktif (ROS), hidrogen peroksida
(H2O2), dan superoksida (O2-) dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang
dikatalisis oleh besi (Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase,
peroksidase, NADPH oksidase, dan santin oksidase. Sejumlah komponen
seluler yang peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas
adalah lipid, yaitu peroksidasi pada asam lemak tidak jenuh pada membran,
denaturasi protein dan asam nukleat. Pembentukan ROS dapat dicegah oleh
antioksidan. Pada tanaman beberapa senyawa fenolik merupakan antioksidan
potensial: flavonoid, tanin, dan lignin merupakan prekursor yang bekerja pada
penangkapan senyawa ROS (Blokhina et al. 2003).
Mekanisme
penyerangan
oleh
radikal
bebas
termasuk
ROS
menginduksi peroksidasi pada asam lemak yang memiliki beberapa ikatan
rangkap pada membran sel lipid bilayer yang menyebabkan reaksi berantai
peroksidasi lipida sehingga terjadi kerusakan pada membran sel, oksidasi pada
lipida membran dan protein, yang menyebabkan kerusakan pada bagianbagian dari sel termasuk DNA (Miller 1996). Pada saat ini penggunaan
antioksidan sintetik seperti Torlok C, Prowl galat, dan mono-tertiery-butylhidroquinone (TBHQ) sedang mendapat perhatian karena mempunyai efek
mengurangi kerusakan oksidatif, namun mempunyai aktivitas yang dapat
merugikan konsumen, antara lain gangguan fungsi hati, paru-paru, mukosa
usus, dan keracunan. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya dipilih
memanfaatkan antoksidan alami (Manampiring et al. 2001).
Sejumlah komponen seluler yang sensitif terhadap kerusakan yang
diakibatkan oleh radikal bebas adalah peroksidasi asam lemak tidak jenuh
pada biomembran, denaturasi protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Pada
tumbuhan beberapa senyawa fenolat yang merupakan antioksidan kuat, yaitu
flavonoid, tanin, dan lignin yang berfungsi sebagai prekursor menangkap
(scavenger) senyawa radikal oksigen (ROS). Antioksidan bekerja secara
bersama-sama dan berurutan pada reaksi redoks (Blokhina et al. 2003).
Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik,
antineoplastik, dan vasodilatator. Potensi antioksidan flavonoid pada kerusakan
4
oksidatif yang ditimbulkan oleh semua proses penyakit menyebabkan flavonoid
layak digunakan untuk pengendalian sejumlah penyakit (Miller 1996).
Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
terpenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al. 2000, Santoso
2001, Tambunan et al. 2003). Benalu teh secara tradisional digunakan untuk
penyembuhan berbagai penyakit diare, kanker, dan amandel.
Beberapa
publikasi penelitian telah melaporkan bahwa benalu teh mempunyai efek
sebagai antidiare (Saroni et al. 1998), antioksidan (Leswara dan Kartin 1998,
Santoso 2001, Susmandiri 2002, Simanjuntak et al. 2004), perbaikan sistem
imun (Winarno et al. 2000), dan hambatan pertumbuhan sel tumor (Nugroho et
al. 2000, Murwani 2003, Winarno 2003).
Sel WEHI-164 diketahui sensitif terhadap Tumour Necrosis Factor-α
(TNF-α) dan telah digunakan sebagai model dalam penelitian. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa baik ekstrak batang maupun daun Scurrula oortiana
mampu meningkatkan sensitivitas atau suseptibilitas pada sel WEHI-164 pada
TNF-α, peningkatan sensitivitas lebih dari 160 kali dibanding dengan sel kontrol
tanpa perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air S. oortiana
secara nyata sitotoksik pada sel tumor WEHI-164 dan meningkatnya
sensitivitas sel tumor pada TNF-α sehingga mengalami lisis (Murwani 2003).
Kerangka Pemikiran
Rebusan benalu teh sudah dikenal oleh masayarakat sebagai obat
kanker tetapi belum diketahui bagaimana mekanismenya. Karena itu perlu
dilakukan studi yang terukur yang dapat mengungkapkan mekanisme
antikanker dari benalu teh, seperti yang diuraikan pada penelitian ini.
Pertimbangan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian
tentang potensi antioksidan dari ekstrak S. oortiana yang memiliki kemampuan
sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko tumor pada infeksi virusherpes
onkogenik. Marek’s disease virus (MDV) menyebabkan infeksi akut produktif
yang mampu memperbanyak diri dan menimbulkan sitolisis pada limfosit B
maupun limfosit T sehingga menimbulkan imunosupresi yang ditandai dengan
menurunnya bobot relatif organ bursa fabricius dan timus, rendahnya titer
antibodi, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pada MDV onkogen
infeksi berlanjut pada mutasi gen sehingga terjadi transformasi limfosit T baik
5
pada subset CD4 maupun CD8 yang menyebabkan kanker limfosit yang
disebut limfoma.
Potensi antioksidan benalu teh diharapkan mampu berperan sebagai
penghambat oksidasi radikal bebas sehingga mengurangi kerusakan sel-sel
pada sistem imun.
Potensi antioksidan dalam mengurangi risiko kanker
dengan cara menghambat induksi mutasi gen oleh kelebihan produksi radikal
bebas akibat infeksi. Pensghambatan induksi mutasi oleh radikal bebas
diharapkan dapat mengurangi mutasi yang disebabkan oleh MDV onkogen.
Secara ringkas keseluruhan latar belakang di atas dituangkan pada Gambar 1.
Keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan ekstrak
benalu teh sebagai antioksidan eksogen
Kondisi ayam normal
Kondisi ayam terinfeksi
MDV
1
1
Keseimbangan produk
radikal bebas dengan produk
antioksidan internal
3
Peningkatan
Imunitas akibat
imunomodulasi
Produk radikal bebas
meningkat dan terjadi
kerusakan seluler
2
2
Antioksidan
ekstrak
benalu teh
Menimbulkan sitolisis,
imunosupresi, dan
transformasi sel.
3
4
Imunomodulasi,
imunostimulasi, risiko
kanker berkurang
Gambar 1
Hubungan keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan
eksktrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen
6
Ekstrak benalu teh (Scurrula oortiana) diberikan secara oral, dan
bertujuan untuk meningkatkan imunitas tubuh serta mengurangi risiko kanker
pada ayam ras petelur betina yang diuji tantang dengan MDV. Ayam yang
terinfeksi MDV memberikan respons imun nonspesifik berupa radikal bebas
yang merusak sel-sel yang termasuk sel-sel limfosit sehingga menimbulkan
sitolisis dan dapat menginduksi kejadian mutasi gen sebagai penyebab awal
kejadian kanker. Peningkatan produksi radikal bebas memerlukan peningkatan
antioksidan yang disuplai dari luar tubuh, yang disebut antioksidan eksogen.
Benalu teh mengandung flavonoid, terpenoid, yang memiliki potensi sebagai
antioksidan eksogen yang dapat dijadikan sebagai suplai antioksidan.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak
benalu teh Scurrula oortiana pada fenomena imunologis dan risiko kanker pada
ayam yang diinfeksi virusherpes MDV onkogen, sedangkan secara khusus
tujuan penelitian ini adalah:
1. Pembuktian secara ilmiah khasiat ekstrak S. oortiana sebagai
imunomodulator dan mengurangi risiko kanker.
2. Untuk
memperjelas
mekanisme
antitumor
dari
benalu
teh,
menggunakan parameter imunologi dari ayam ras petelur yang diinfeksi
MDV onkogenik.
3. Menjadikan benalu teh S. oortiana sebagai obat herbal berstandar
melalui uji in vivo menggunakan ayam sebagai hewan percobaan.
Manfaat Penelitian
1.
Metode dan hasil pada kajian imunitas dan onkogenisitas dapat
dijadikan sebagai acuan dalam mengkaji onkogenik virus herpes pada
spesies lain.
2.
Membuat simulasi ayam sebagai hewan model penanggulangan kanker
yang disebabkan oleh virus herpes menggunakan bahan asal tumbuhan
lainnya.
3.
Meningkatkan kepercayaan masyarakat tentang manfaat benalu teh
yang berkhasiat mengurangi risiko kanker.
4.
Memperkaya bahan alternatif pengendali tumor dari bahan alam nonpangan yang diaplikasikan menjadi bahan pangan fungsional.
TINJAUAN PUSTAKA
Imunitas Tubuh
Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi
antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau
secara tidak langsung pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel
yang terinfeksi. Fungsi pertahanan nonspesifik inang pada awal infeksi untuk
menghancurkan virus adalah mencegah atau mengendalikan infeksi, kemudian
adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk pada infeksi virus
bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur masuknya
infeksi (Mayer 2003).
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun
pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan
sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan
limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit.
Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami
transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T
mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang
berbeda sebagai subpopulasi (Sharma 1991).
Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau
fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan
limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan
endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal
antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas
II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan
oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus dan
protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak menjadi
fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum
endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali
antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan
sebagai MHC kelas I restriksi (Kuby 1999, Tizard 2000).
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu
mengenal dan menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki
dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit
memiliki beberapa subset yang memiliki perbedaan fungsi dan jenis protein
8
yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan (Abbas et al. 2000).
Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit
dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor
antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang
berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami
diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai
membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi
bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang (Janeway et al.
2001). Mekanisme kerja sistem imun disajikan pada Gambar 2 (Cann 1977).
Sumsum Tulang
Bursa Fabricius
Timus
Sel T
Sel B
Th
NK
CTL
Sel
plasma
Sel
memori
< Antibodi
Imunitas berperantara sel
imunitas humoral
Gambar 2 Mekanisme secara umum sistem imun (Cann 1997)
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami
pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam
keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B
cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang
identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur
tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini
9
membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah
terproses dalam sel (Kresno 2004).
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak
memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun
nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus
memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh
sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK
berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler
(Janeway et al. 2001).
Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan
pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih
berperan pada pemulihan infeksi virus.
Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8
berperan pada respons imun terhadap antigen virus pada sel yang diinfeksi
dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran
infeksi virus. Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan membantu
sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk
mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat
secara nyata pada penyerangan virus (Mayer 2003).
Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen
yang berada pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri
patogen, parasit, dan virus perkembangan replikasinya berada di dalam sel
sehingga tidak dapat dideteksi oleh antibodi. Penghancuran patogen ini
membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel.
Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang menginfeksi sel
bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel inang.
Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut
mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan
secara lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada
permukaannya (Janeway et al. 2001).
Kanker
Pada keadaan normal pergantian dan peremajaan sel terjadi sesuai
kebutuhan melalui proliferasi sel dan apoptosis di bawah pengaruh protoonkogen dan gen supresor tumor (Silalahi 2006). Tumor adalah penyakit
kompleks dari berbagai akumulasi mutasi genetik yang manifestasi penyakitnya
10
memerlukan waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan keterbatasan
efektivitas kemoterapi tumor. Fenomena ini akan meningkatkan jumlah
kematian (Flora dan Ferguson 2005).
Perbedaan pokok antara sel normal dan sel kanker yang teridentifikasi
bahwa sel normal usianya terbatas, sedangkan sel kanker adalah immortal. Sel
neoplastik tidak berkembang secara terintegrasi dan tidak ada ketergantungan
pada populasi.
Regulasi pada kontrol mitosis, diferensiasi, dan interaksi
antarsel mengalami gangguan (Cheville 1999, Cambel dan Smith 2000).
Gen seluler inang yang homolog dengan onkogen virus disebut
protoonkogen. Gen tersebut mampu memproduksi protein yang memiliki
kemampuan menginduksi transformasi seluler setelah mengalami mutasi, yaitu
perubahan di bawah kontrol promotor yang memiliki aktivitas tinggi. Biasanya
protoonkogen berperan mengkode produksi protein pada replikasi DNA atau
mengontrol perkembangan pada beberapa stadium pertumbuhan normal. Conc adalah gen seluler yang diekspresikan pada beberapa stadium
perkembangan sel. Produk onkogen adalah protein inti misalnya myc, myb.
(King 2001, Hunt 2003).
Gen pengatur dapat mengalami mutasi, menjadikan gen tersebut tidak
peka terhadap sinyal regulasi normal. Gen supresor yang mengalami mutasi,
mengakibatkan gen tersebut menjadi inaktif. Untuk mengatasi penyakit
kompleks diperlukan pertahanan dengan berbagai cara yang strategis dan
pencegahan diperlukan untuk mengurangi metastasis pada kanker (Steele dan
Kellof 2005).
Gen supresor tumor yang mengalami perubahan antara lain gen p53,
adalah produk protein yang memiliki bobot molekul 53 kD. Protein tersebut
berfungsi sebagai pengatur proliferasi sel dan mediator pada apoptosis, yaitu
program kematian sel. Gen ini juga merupakan gen yang menginduksi
kerusakan DNA dengan cara menghambat mekanisme atau proses perbaikan
kembali DNA. Hilangnya fungsi gen p53 atau terjadinya mutasi gen tersebut
menjadikan sel terhindar dari kerusakan DNA, pertumbuhan dan kematian sel
tidak terkontrol, pembelahan
sel terjadi secara terus menerus tanpa
mengalami apoptosis (Williamson et al. 1999, Silalahi 2006). Apoptosis
berperan penting pada fisiologi normal pada spesies hewan, termasuk program
kematian sel pada perkembangan embrio dan metamorfosis, homeostasis
11
jaringan, pendewasaan sel imun, dan beberapa aspek penuaan (Reed et al.
2004).
Apoptosis adalah program kematian sel
yang mekanismenya
diorganisir secara fisiologis untuk merusak sel abnormal atau mengalami
kerusakan. Keadaan ini merupakan respons sel normal yang terjadi selama
pertumbuhan dan metamorfosis semua hewan multiseluler, yang merupakan
hasil kerja enzim proteolitik, yaitu caspase dimana semua enzim ini memiliki
sistin sebagai sisi aktif dan pembelahan protein target pada asam aspartat
spesifik sebagai derivat dari sistin aspartase.
Sel normal dapat mengalami
transformasi oleh onkogen dan proses ini dapat dicegah oleh produk yang
dihasilkan gen lainnya yang disebut tumour suppressor genes. Satu di antara
gen ini adalah p53 yang menghasilkan 393 residu asam amino inti fosfoprotein
yang berikatan dengan DNA yang transkripsinya diaktivasi oleh beberapa
promotor.
Protein
p53
mampu
menghambat
pertumbuhan
sel
dan
mempengaruhi apoptosis (Cambel dan Smith 2000, Taraphdar et al. 2001).
Feng et al. (2003) pertumbuhan dan metastasis tumor bergantung pada
bertambahnya suplai darah melalui angiogenesis, ekspresi yang berlebihan
dari iNOS dan vascular endothelial growth factor (VEGF) menginduksi
angiogenesis
pada
tumor.
P53
menekan
angiogenesis
dengan
cara
menurunkan VEGF dan iNOS.
Transformasi sering menimbulkan hilangnya kontrol pertumbuhan,
kemampuan untuk menginvasi matriks ekstraseluler dan dediferensiasi. Pada
karsinoma,
beberapa sel epitel
mesenchimal epitelial.
yang mengalami transformasi adalah
Pada transformasi sel sering terjadi kerusakan
kromosom. Bagian genom virus yang menyebabkan tumor disebut onkogen.
Gen asing ini dapat bergabung pada sel dan menyebabkan sel tidak
mengalami kematian sehingga menjadikan pertumbuhan tidak terkendali (Hunt
2003).
Fusi genetik dengan kromosom lain dinyatakan sebagai translokasi.
Sejumlah translokasi menimbulkan gangguan ekspresi dan fungsi gen yang
berkaitan dengan kontrol pertumbuhan sel. Translokasi terkarakterisasi pada
reseptor atau lokus sel T terlihat pada tumor sel T. Rearangement ini sering
bersamaan dengan translokasi kromosom termasuk pada lokus yang
menghasilkan reseptor antigen dan seluler proto-onkogen.
Gen seluler
12
penyebab kanker yang menyebabkan fungsi dan ekspresi terganggu sehingga
disebut onkogen (Janeway et al. 2001).
Onkogen adalah istilah untuk agen aktif oleh gen virus onkogenik,
karena pada bentuk kanker yang lain tidak jelas. Selanjutnya ekspresi yang
berlebihan pada beberapa proto-onkogen telah ditunjukkan kejadiannya pada
transformasi beberapa tipe sel dan kanker, dan level beberapa proto-onkogen
ternyata mengalami kenaikan (Cambel dan Smith 2000).
Kerusakan oksidatif pada DNA akibat radiasi, radikal bebas, dan
senyawa oksigen yang bersifat oksidatif merupakan penyebab terpenting
kanker (Silalahi 2006). Transfomasi seluler oleh virus DNA menghasilkan
protein yang berinteraksi dengan protein seluler. Terjadinya transformasi DNA
biasanya pada sel mengalami infeksi nonproduktif. Pada kejadian ini, DNA
virus berintegrasi pada DNA seluler sehingga sel mengalami perkecualian, dan
pada kasus ini adalah oleh virus papiloma dan virus herpes yang DNA virus
berada pada episom. Virus tumor berinteraksi dengan sel melalui satu dari dua
jalan, yaitu 1) infeksi produktif, yaitu virus melakukan siklus replikasi secara
lengkap dan menimbulkan lisis sel, 2) infeksi nonproduktif, yaitu transformasi
virus pada sel yang melakukan siklus replikasi secara tidak lengkap. Selama
infeksi nonproduktif, genom virus atau versi potongannya terintegrasi pada gen
seluler, v-onc, yang bertanggung jawab pada perubahan malignan (Murphy et
al. 2001, King 2001).
Penyakit Marek
Intervensi pencegahan kanker secara efektif dapat ditingkatkan dengan
cara memilih hewan model yang sesuai sehingga menghasilkan potensi baik
dari segi klinik maupun epidemiologi (Hursting et al. 2005). Virus onkogenik
penting
pada
peternakan
maupun
populasi
hewan.
dikategorikan dari sejumlah familia virus, termasuk
Sumber
penyakit
retroviridae dan
herpesviridae. Peran hewan asal penyakit dapat dijadikan sebagai hewan
model pada kejadian penyakit virus pada manusia, baik bertujuan pada
imunitas, pengobatan, maupun mekanisme patofisiologi (Lohellt 2006).
Marek’s disease (MD) disebabkan oleh virus DNA termasuk pada
kelompok virus herpes penyebab kanker pada ayam yang biasanya
menimbulkan persoalan ekonomi yang berat. Virus ini tumbuh dan berkembang
pada epitelium folikel bulu kemudian menyebar ke udara selanjutnya menular
13
melalui ketombe dan debu (Simonsen 1987, Silva et al. 2004). Marek’s disease
virus (MDV) virus herpes pada unggas menimbulkan imunosupresi dan limfoma
pada ayam yang peka, biasanya menyerang ayam piaraan yang tersebar
meluas pada populasi unggas di seluruh dunia. Infeksi pada spesies lain terjadi
pada kalkun dan puyuh. Replikasi MDV sama dengan virus herpes lainnya,
yaitu sangat bergantung pada sel. Penyebaran infeksi pada sel yang lain terjadi
melalui kontak langsung dari sel yang terinfeksi, dan pemindahan virus antarsel
terjadi melalui jembatan sitoplasmik (Payne dan Venugopal 2000, Anobile et al.
2006).
MDV menginduksi paralisis dan limfoma secara cepat dan pada fase
transformasi tidak ditemukan virus secara utuh. Penyakit Marek adalah
penyakit limfoproliferatif dan neurotropik pada ayam piaraan, yang disebabkan
oleh virus herpes alfa. Jozsef Marek menemukan penyakit tersebut pada tahun
1907. Simtom penyakit tersebut ditandai dengan paralisis pada leher dan
sayap, yang bersamaan dengan inflamasi pada syaraf perifer yang dikenal
sebagi polyneuritis. Duapuluh tahun kemudian penyakit tersebut ditemukan di
Amerika dan Belanda, dan namanya berubah menjadi fowl paralysis (Parcells
et al. 1999, Payne dan Venagupol 2000).
Segera setelah infeksi melalui alat pernafasan virus menyebar ke organ
limfoid primer bursa Fabricius dan timus. Target pertama diantaranya adalah
derivat bursa Fabricius (limfosit B), namun sejumlah derivat timus (limfosit T)
juga mengalami infeksi. Selama 3 sampai 6 atau 7 hari pascainfeksi (p.i.)
terjadi infeksi sitolisis, dan sering juga terjadi limforetikulitis, dan pembesaran
limpa yang disertai nekrosis dan atrofi bursa Fabricius dan timus (Calnek et
al.1998). MDV isolat Austalia MPV 57 menimbulkan imunosupresi pada ayam
pedaging bersamaan dengan penurunan bobot relatif bursa Fabricius dan
timus, penurunan jumlah limfosit B dan limfosit T, dan penurunan titer antibodi
pada infeksius bronchitis (IB), dan peningkatan kepekaan pada infeksi
Escherichia colli pada hari ketiga sampai dengan hari ke-35 setelah dilakukan
uji tantang (Islam et al. 2002).
Dalam perjalanan waktu, virulensi MDV mengalami peningkatan. Infeksi
virus secara umum menjadi lebih akut dan lebih bervariasi dalam kejadian
secara alami dan spektrum penyebarannya pada inang. Sejak dekade tahun
1990, virus MDV menjadi lebih patogen dengan munculnya strain vvMDV dan
vv+MDV. Strain baru tersebut bukan saja menyebabkan peningkatan virulensi
14
tetapi juga gejala klinis yang baru (bervariasi). Keragaman gejala klinis terlihat
dari neoplastik MD sebelumnya yang terjadi hanya pada ayam bibit umur di
bawah 16 minggu. Dengan isolat baru, kejadian neoplastik MD tersebut tetap
terjadi pada umur di atas 20
minggu walaupun telah dilakukan vaksinasi
(Zavala 1997, Witter 1998).
Peningkatan virulensi virus lebih cepat daripada strategi intervensi
pengembangan teknologi vaksin (Witter 1998). Terdapat tiga bentuk infeksi
MDV. Infeksi awal adalah infeksi akut yang terjadi pada epitelium folikel bulu,
yang menghasilkan virion beramplop yang sangat infektif.
Infeksi restriktif-
produktif terjadi juga pada organ limfoid. Limfosit adalah sel target khusus
siklus kehidupan virus. Genom MDV dapat masuk ke dalam limfosit muda
pada saat pembelahan sel. Virion MDV juga dapat pindah antarsel melalui
jembatan sitoplasma. Infeksi MDV pada limfosit menimbulkan imunosupresi
sehingga ayam menjadi lebih rentan terhadap patogen dan pengembangan
tumor.
Pada infeksi transforming, tumor hanya terjadi pada limfosit T dan
penyebabnya adalah MDV serotipe 1 (Davison 1997, Fadly 1997).
Periode infeksi akut (produktif) ditandai dengan terjadinya lisis sel,
dilanjutkan dengan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi
transforming. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein,
dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B
maupun limfosit T. Selama infeksi produktif terjadi lisis pada puncak replikasi
virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan meningkatnya kepekaan
terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricius dan
timus. Penyakit imunosupresi pada unggas berpengaruh nyata secara
ekonomis pada faktor produksi (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal
2000, Islam et al. 2002).
Replikasi produktif virusherpes pada bursa fabricius dan timus
menimbulkan imunosupresi transien (sementara) dan perubahan akut sitolitik
pada
organ
ini
yang
ditandai
dengan
atropi.
Infeksi
eksperimental
menyebabkan lesi pada bursa fabricius dalam bentuk lesi folikuler, nekrosis
limfoid sehingga mengalami penipisan, dan pembentukan kista. Timus
mengalami atropi dan limfosit hilang baik pada korteks maupun medula. Badan
inklusi intrafolikuler dapat muncul pada sel yang mengalami lesi degeneratif
(Fadly 2000).
15
Pada sel yang menerima masuknya virus secara keseluruhan yang
seluruh bagian gen virus terekspresi, menjadikan virus mampu melakukan
replikasi, sel inang lisis dan mengalami kematian. Bila sel tidak bisa menerima
virus secara keseluruhan untuk replikasi, sebagian DNA virus berintegrasi pada
bagian kromosom sel inang secara acak. Pada keadaan ini hanya sebagian
genom virus yang terekspresi, protein virus tidak terbentuk dan tidak dihasilkan
virus anakan (Hunt 2003).
Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA,
transkripsi, maupun sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV
serotipe 2 dan 3 nononkogen.
Sel limfosit T yang terinfeksi bisa berubah
menjadi infeksi laten atau sel T bisa merespons onkogenesitas gen virus dan
selanjutnya mengalami transformasi. Infeksi transforming hanya terjadi pada
sel T yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1. Beberapa subset sel T, yaitu CD4
dan CD8 merupakan target transformasi karena bagian tersebut berperan
sebagai tempat perlekatan pada awal infeksi sitolisis (Calnek et al. 1998, Payne
dan Venugopal 2000).
Infeksi transforming ditandai oleh marker permukaan spesifik yang
hanya ditemukan pada sel yang mengalami tumor. Marker tersebut ditandai
dengan 2 antigen potensial, yaitu Marek’s Disease Tumour-assciated Surface
Antigen (MATSA) yang dideteksi pada sel limfomas dan limfoblastoid. Antigen
kedua yang dideteksi dengan menggunakan antibodi monoklonal AV37,
ditemukan
pada
CD4+
yang
mengalami
transformasi.
Limfokin
yang
disekresikan oleh Antigen Presenting Cell (APC) merangsang aktivitas
fungsional CD4 sel T. CD8 sel T yang terinfeksi MDV selanjutnya akan
mengenal antigen yang berikatan dengan molekul MHC-1 pada respons imun
normal, MHC-1 yang sudah berikatan tersebut menghasilkan nukleated. Jika
MHC-1 berikatan dengan fragmen antigen MDV, atau jika MHC-1 mengalami
transformasi neoplastik, CD-8 (cytotoxic) sel T
akan mengalami hambatan
imunitas. Hal ini diketahui bahwa limfosit T adalah sel target untuk transformasi
pada neoplastik (tumoral) sel pada infeksi MDV (Zavalo 1997, Payne dan
Venugopal 2000).
MDV memiliki fosfoprotein unik, yaitu pp38, yang merupakan penanda
yang berperan penting dalam patogenesis penyakit Marek. pp38 diperlukan
pada infeksi sitolisis pada limfosit B, namun bukan pada feather folicle
epithelium (FFE), untuk mencukupi pada saat infeksi laten pada sel T dan
untuk memelihara status transformasi pada limfosit T dari kejadian apoptosis.
16
Disimpulkan bahwa pp38 potensial digunakan pada tingkat kejadian tumor dan
respons imun terhadap MDV (Barrow et al. 2003, Gimeno et al. 2005). Deteksi
fosfoprotein spesifik MDV pp38, identifikasi pp38 pada limfosit menggunakan
antibodi monoklonal tarhadap marker permukaan limfosit. Ekspresi pp38 pada
limpa ditunjukkan pada saat fase infeksi sitolitik. Proporsi pp38 pada limfosit
saat 4 hari p.i adalah sebesar 0.43%. Dari jumlah tersebut 95% berada pada
limfosit B dan hanya 4% berada pada limfosit T baik pada CD4 maupun CD8.
(Baigent et al. 1996). Potensi yang nyata menunjukkan tidak lengkapnya blok
gen pada internal repeat HVT seperti yang ada pada MDV-1. Disini termasuk
pp38 dan meq gene. Dengan implikasi bahwa MDV-1 manginduksi limfoma.
Ada kemungkinan munculnya gen lain pada sisi ini, tetapi tidak muncul pada
HVT, mungkin memiliki peran panting yang mempengaruhi potensi biologis dari
virus (Kingham et al. 2001).
Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka, terjadi pertambahan
virus sampai hari ke-10 pascainfeksi (pi), setelah itu terjadi penambahan virus
pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada ayam resisten. Untuk
dua sitokin ada perbedaan antar galur, yaitu interleukin-6 (IL-6) dan IL-18.
Splenosit ayam yang peka mengekspresikan tingginya level transkipsi kedua
interleukin yang mengakibatkan sitolitik. Sebaliknya pada splenosit ayam
resisten hal itu tidak terjadi. Keadaan ini menunjukkan adanya indikasi bahwa
dua sitokin dapat berperan dalam perbedaan respons imun, yaitu galur resisten
menunjukkan adanya infeksi laten dan pada galur peka menghasilkan limfoma
(Kaiser et al. 2003). Beberapa subset sel T, yaitu CD4 dan CD8, berperan
sebagai target transformasi karena bagian tersebut merupakan target infeksi
sitolisis. Sel-sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau sel T
merespons onkogenesitas gen virus dan selanjutnya terjadi transformasi
(Calnek et al. 1998).
Pada sistem imun, tumor diklasifikasikan pada limfoma dan leukemia.
Limfoma adalah proliferasi tumor pada jaringan limfoid, yaitu sumsum tulang,
limfonodus, atau timus. Leukemia cenderung menyebabkan proliferasi pada sel
tunggal dan terdeteksi oleh adanya peningkatan jumlah aliran darah atau cairan
limfe. Leukemia dapat berkembang pada jalur limfoid maupun mieloid (Kuby
1999).
Limfoma dapat terjadi pada satu atau lebih sejumlah organ atau
jaringan. Lesi limfomatus dapat terjadi pada gonad khususnya ovarium, paruparu, kelenjar adrenal, ginjal, limpa, bursa Fabricius, timus, otot, dan kulit. Baik
17
genetik strain ayam maupun virus dapat mempengaruhi distribusi lesi yang
terjadi. Pada limfoma pada MD, kebanyakan organ viseral mengalami
pembesaran yang difus, beberapa yang lain berukuran normal dan perubahan
warna menjadi pucat atau kecokelatan (Fadly 2000). Dalam hal ini kasus
penyakit Marek, ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada
proventrikulus, sel limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan
Leclerco 1992).
Antibodi terhadap MDV dan HVT dapat dideteksi pada serum dengan
berbagai uji serologis termasuk imunofluresensi, agar gel presipitasi, netralisasi
virus, atau enzyme-linked immuno sorbant assay (ELISA). Polymerase chain
reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya 132 pasang
basa yang terulang dari MDV pada ekstraksi DNA dari limfoma MD, tetapi tidak
terdapat pada induksi limfoma oleh avian leucosis virus (ALV) atau reticulo
endothelialis virus (REV). Limfoma dari MD biasanya mengandung lebih sering
sel terinfeksi, dan lebih banyak kopi DNA virus per sel yang terinfeksi pada
jaringan yang tidak mengalami tumor pada ayam (Fadly 1997).
Peran Radikal Bebas
Oksigen merupakan unsur penting bagi kehidupan organisme. Sebagai
kekuatan oksidan, oksigen molekuler di satu pihak bermanfaat sebagai
kemampuan dasar degradasi oksidatif, yaitu sebagai substrat pada respirasi..
Di pihak lain, oksigen dapat menimbulkan kerusakan karena berperan sebagai
prekursor pada spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spescies, ROS) yang
menimbulkan kerusakan komponen intraseluler termasuk DNA.
Untuk
mengurangi pengaruh kerusakan yang ditimbulkan oleh ROS, organisme hidup
mampu menjalankan mekanisme multisistem antiROS, namun pada saat
tertentu ROS diperlukan untuk kepentingan biologis. ROS berperan sebagai
pertahanan biologis, yaitu fagositosis dan pesan jelek apoptosis, yaitu
prgogram kematian sel, dan mungkin sebagai komponen yang diduga berperan
pada sistem mutator dengan meningkatnya penyimpangan genetik pada
populasi (Skulachev 2000).
Walaupun oksigen (O2) esensial untuk kebanyakan proses kehidupan,
molekul tersebut dapat berubah menjadi molekul yang memiliki toksisitas tinggi.
Satu dari kebanyakan senyawa reaktif adalah superoksida anion (O2- ) yang
merupakan radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang
18
mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Molekul
terdiri atas atom dengan elektron yang berpasangan pada kulit terluarnya,
namun pada suatu kondisi, molekul atau atom yang memiliki elektron yang
tidak berpasangan biasanya mengambil elektron lain dari sekitarnya untuk
dijadikan sebagai pasangannya. Radikal bebas umumnya merusak molekul
lain, misalnya molekul pada sel (Noguchi dan Niki 1999, Cambel dan Smith
2000).
Perubahan pada kondisi lingkungan
Memperburuk kondisi intraseluler
Ketidakseimbangan antara terbentuknya ROS dan proses
penangkapan ROS
[ROS]
Peningkatan pada mutasi dan proliferasi
Gambar 3
Kemungkinan skenario pada ketidakseimbangan
ROS (Skulachev 2000).
Spesies oksigen reaktif selalu dihasilkan secara normal dalam proses
produksi energi, sintesis senyawa biologis, dan fagositosis pada sistem imun.
Di lain pihak peningkatan aktivitas spesies oksigen reaktif bisa menyebabkan
sejumlah penyakit termasuk penyakit jantung, kanker, dan penuaan (Noguchi
dan Niki 1999). Asam lemak tidak jenuh mengakibatkan lemak peka terhadap
serangan oksigen sehingga menimbulkan perubahan struktur kimia.
Dalam
sistem seluler peroksidasi terjadi pada biomembran di mana kandungan asam
lemak tidak jenuh yang ada menjadi sangat reaktif. Peroksidasi lemak adalah
proses reaksi
kimia yang sangat kompleks termasuk melibatkan radikal
bebas, ion logam, dan sistem biologik (Jadhav et al. 1996). Ada beberapa
hubungan saling mempengaruhi antara kesehatan diet antioksidan dan ROS,
mungkin bergantung pada status kesehatan, secara individual dan mungkin
juga kepekaan secara genetik.
Pada penelitian secara klinik pada
suplementasi antioksidan terjadi perubahan baik pada status oksidatif, risiko
19
penyakit atau kejadian penyakit yang telah mempengaruhi kesehatan individu,
risiko sejumlah penyakit pada populasi atau pasien yang sedang menjalani
pengobatan (Seifried et al. 2003).
Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga
memproduksi oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi
fagololisosom
yang
bertugas
membantu
membunuh
dan
menelan
mikroorganisme. Kebanyakan kejadian yang penting di antaranya adalah kerja
hidrogen peroksida (H2O2), superoksida anion (O2-), dan nitrogen oksida (NO),
secara langsung toksik pada bakteri. Semuanya ini dihasilkan melalui oksidasi
oleh NADPH dan enzim yang lain dalam proses yang dinamakan respiratory
burst, sebagai akibat dari naiknya jumlah konsumsi oksigen sementara.
Aktivitas makrofag sangat efisien dalam menghancurkan patogen, aktivitas ini
secara in vivo biasanya bersamaan dengan kerusakan jaringan secara lokal
yang disebabkan oleh keluarnya mediator antimikrobial sebagai radikal bebas,
NO dan protease, yang juga toksik terhadap sel inang. Kemampuan aktivitas
makrofag untuk mengeluarkan mediator toksik adalah pada pertahanan inang
karena kemampuannya melawan patogen ekstraseluler yang tidak tertelan
(Abbas et al. 2000, Janeway et al. 2001).
Nitrogen oksida adalah molekul yang penting yang mempengaruhi
sistem kardiovaskuler, NO merupakan senyawa yang bersifat toksik dan
berumur pendek, berupa molekul gas yang diproduksi oleh enzim NO synthase,
dengan cara mengubah asam amino arginin menjadi NO dan sitrulin (Becker et
al. 2000). Molekul NO berperan penting sebagai regulator kardiovaskuler
bertindak untuk mengatur tekanan darah. Molekul ini diproduksi oleh neuron
dan makrofag, memiliki jumlah elektron ganjil dan sebagai radikal bebas..
Molekul ini relatif stabil namun bereaksi cepat bila bertemu dengan senyawa
yang mengandung elektron yang tidak berpasangan, misalnya molekul oksigen
misalnya anion superoksida dan ion logam (Cambel dan Smith 2001).
Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde synthase
(iNOS) terlibat dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan inflamasi
kronis tingkat ringan, aterosklerosis, dan peningkatan tumour necrosis factor
(TNF) (Muntalib 2003).
Peran sitokin pada patogenesis dan imunitas terhadap MD, yang
diinduksi oleh virus herpes menyebabkan limfoma pada sel T. Pada ayam
umur 21 hari yang diinfeksi MDV, peningkatan transkipsi IF-Y setelah 3 hari p.i
20
sampai akhir percobaan, yaitu 15 hari p.i, dimana iNOS dan IL-1ß mengalami
peningkatan antara 6 sampai 15 hari p.i. Pada ayam umur 1 hari p.i mRNA
untuk untuk mengekspresikan IF-Y dan iNOS, antara 16 sampai dengan 64
kali pada 9 hari p.i. Kesimpulan dapat diambil dimana iNOS berperan pada
patogenesis MD (Xing dan Schat 2000).
Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas,
diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya,
dalam keadaan overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan
sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Eritrofagositosis juga terjadi pada
penyakit Marek oleh makrofag. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan
untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida
membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan
Meydani 1999, Gilka dan Spencer 1995).
Antioksidan
Antioksidan yang berasal dari tanaman telah lama dikenal potensinya
dan telah lama diketahui untuk menstabilkan senyawa radikal yang dapat
diukur aktivitas antioksidan tersebut (Kim et al. 2002). Berbeda kondisinya
dengan hewan, tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi sebagai mahluk hidup yang
tidak bergerak, mampu menghindar dari serangan predator maupun patogen
dan juga efek tekanan kuat dari kondisi lingkungan. Tanaman menghasilkan
sejumlah senyawa kimia kompleks yang biasanya merupakan bagian dari sel
yang disebut “metabolit sekunder” yang kandungannya bukan bahan dasar
biokimia untuk hidup, tetapi sebagai bagian yang berinteraksi dengan
lingkungan. Manusia memilih makanan yang dihasilkan tanaman dan bahan
kimia pertahanan tanaman tersebut bisa dimanfaatkan untuk diet dan
kesehatan (Houghton dan Raman 1998, Williamson et al. 1999). Fito-kimia
(bahan kimia dari tanaman) mempunyai efek biologi yang efektif menghambat
pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, menghambat pertumbuhan mikroba,
menurunkan kolesterol darah, dan menurunkan glukosa darah (Amelia 2006).
Flavonoid merupakan suatu metabolit sekunder pada tanaman yang
terdapat pada semua bagian tanaman tersebut dan struktur kimianya secara
umum adalah kerangka C6C3C6. Penamaan sub-grup dan klasifikasi berdasar
pada subsitusi pada bagaian cincin C dan posisi pada cincin B. Sebagian besar
subgrup adalah flavonol, flavon, isoflavon, katehin, proantosianidin, dan
21
antosianin (Larbier dan Leclerco 1992, Rajalkshmi dan Narasimhan 1996).
Potensi flavonoid sebagai antioksidan dan kemampuannya mengurangi
aktivitas radikal hidroksi, anion superoksida, dan radikal peroksida lemak
menjadikan flavonoid bereperan penting.
Kerusakan sangat erat kaitannya
dengan proses dan epidemiologi penyakit. Uji klinik dan laboratorium pada
flavonoid dan antioksidan yang lain menjadikan penggunaan senyawa ini
penting pada pencegahan dan pengobatan sejumlah kasus penyakit. Flavonoid
telah
diketahui
sebagai
antibakteri,
antiviral,
antiinflamasi,
antialergi,
antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Larbier dan Leclerco
1992, Miller 1996).
Gambar 4 Senyawa flavonoid (Miller 2004)
Sejumlah senyawa fenolat berperan sebagai bahan baku pangan yang
berasal dari tanaman, di antaranya asam fenolat, flavonoid tanin, dan lignin.
Perbedaan kultivar beberapa tanaman menunjukkan variasi yang luas baik
pada kandungan fenolat maupun kapasitas antioksidan secara in vitro (Larbier
dan Leclerco 1992, Imeh dan Khokhar 2002).
Fenolat penting diketahui sebagai substansi yang terbaik yang berperan
sebagai antioksidan sebagai kelompok donor elektron dari fenol, meningkatkan
aktivitas antioksidan melalui efek induksi.
Namun aktivitas kimia sejumlah
antioksidan bergantung pada sejumlah faktor, yaitu stabilitas dan reaktivitas.
Antioksidan primer membentuk ikatan dengan radikal setelah pemindahan
hidrogen lebih penting daripada faktor lainnya (Jadav et al. 1996). Senyawa
fenol mencakup sejumlah senyawa yang umumnya mempunyai sebuah cincin
aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung
untuk larut dalam air karena paling sering terdapat bergabung dengan gula
glukosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel. Di antara senyawa fenol
alami yang telah diketahui, lebih dari seribu struktur, flavonoid merupakan
golongan yang terbesar (Suradikusumah 1989).
22
Gambar 5 Senyawa fenol (Cann 1997)
Penelitian terakhir telah menunjukkan adanya kemampuan ekstrak apel
menghambat proliferasi sel tumor secara in vitro karena diduga mengandung
senyawa fenolat atau flavonoid sebagai antioksidan.
Hasil penelitian
menunjukkan hambatan secara tidak langsung, yaitu pada H2O2 setelah
berinteraksi dengan senyawa fenolat pada kultur sel, flavonoid berguna untuk
perbaikan kondisi kesehatan. Senyawa polifenolat yang diisolasi dari teh hijau
6 sendok teh per-hari, mampu menghambat perkembangan dan mestastasis
kanker prostat pada manusia (Murphy 2003, Adhami et al. 2003).
Antioksidan adalah senyawa kimia yang memilki kemampuan untuk
memberikan hidrogen radikal. Sebagai akibatnya, senyawa tersebut mampu
mengubah sifat radikal menjadi nonradikal dan terjadi perubahan oksidasi
radikal oleh antioksidan. Struktur molekul antioksidan bukan hanya memiliki
kemampuan melepas atom hidrogen tetapi juga mengubah radikal menjadi
reaktivitas rendah sehingga tidak terjadi reaksi dengan lemak.
Antioksidan
terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan
antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadav et al. 1996,
Manampiring et al. 2000).
Antioksidan menjadi bentuk aktif pada oksigen reaktif termasuk pada
step inisiasi oksidasi, atau dapat memecah rantai reaksi oksidatif dengan cara
bereaksi dengan radikal peroksida membentuk ikatan antioksidan-radikal yang
stabil sehingga tidak terjadi reaksi selanjutnya atau bentuk nonradikal (Howell
dan Saeed 1999).
Pertahanan antioksidan pada sel mampu mencegah
terjadinya peroksidasi lipida dan beberapa molekul biologi yang mengalami
kerusakan. Dalam hal ini ada tiga level pertahanan sebagai dasar pada sistem
eliminasi kerusakan dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi dan
perbaikan kembali. Level pertahanan antioksidan pada enzim termasuk lipolitik
(fosfolipase), proteolitik (peptidase atau protease), dan enzim yang lain, yaitu
DNA repair (ligase, nuklease, polimerase), dan sejumlah transferase (Noguchi
23
dan Niki 1996). Hambatan terhadap enzim bergantung pada reaktivitas
senyawa fenol terhadap sisi rantai asam amino enzim (Rohn et al. 2002).
Diet dan antioksidan eksogen mencegah kerusakan seluler melalui
reaksi yang dilakukan oleh radikal bebas. Ayam yang diberi pakan diet
semisintetik rendah antioksidan menunjukkan penurunan yang nyata stabilitas
eritrosit terhadap H2O2 atau 2,2’-azobis (2-amidinopropan) dihidrokhlorid
(AAPH), tetapi peningkatan pada aktivitas katalase pada hepar, karbonil pada
protein otot tak larut, dan peningkatan oksidasi lemak pada perlakuan
pemanasan pada hepar dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan
konvensional. Pada percobaan ini, ayam model menjadi lebih peka terhadap
perubahan oksidatif daripada ayam yang diberi pakan konvensional, yang
ditunjukkan oleh rendahnya pertahanan antioksidan (Young et al. 2002).
Aktivitas antioksidan dapat diukur dengan metode tiosianat dengan cara
melihat jumlah peroksida yang terbentuk pada emulsi selama inkubasi sampel
yang diukur secara spektrofotometri, yaitu mengukur absorbansi pada panjang
gelombang 500 nm. Tingginya nilai absorbansi mengindikasikan tingginya
konsentrasi peroksida (Yildirim et al. 2001). Pengukuran aktivitas antioksidan
dilakukan dengan menggunakan metode tiosianat berdasarkan kemampuan
terbentuknya senyawa-senyawa radikal yang bersifat reaktif. Proses terjadinya
senyawa radikal bebas ini disebabkan oleh oksidasi senyawa asam linoleat
dalam buffer yang diinkubasi pada suhu 40oC selama beberapa jam. Asam
linoleat pada uji ini berperan sebagi substrat yang dioksidasi. Setiap periode
tertentu aborbans hasil oksidasi diukur dengan menggunakan FeCl2 dan
amonium
thiosinat
(NH4CN).
Besi
(Fe2+)
berperan
sebagai
mediator
mengkatalisisi peroksidasi lipida telah banyak diketahui, juga berperan
meningkatkan absorbsi dan transport lipida intraseluler (Osborn dan Casimir
2003).
Degradasi isoflavon dan flavonoid dalam saluran pencernaan menjadi
senyawa monofenolat memiliki daya tarik karena beberapa monofenolat
memiliki sifat berefek sebagai antiproliferatif, misalnya senyawa metil phidroksifenolat dapat menghambat sel MCF-7 secara in-vitro (Hendrich et al.
1999). Setelah diabsorbsi pada saluran pencernaan, antioksidan masuk ke
dalam peredaran darah. Ikatan dengan protein menghasilkan pelapisan
substansi yang merupakan kapasitas antioksidan flavonoid. Laporan terakhir
menunjukkan kapasitas antioksidan berkorelasi positif dengan proses fisiologis,
24
misalnya kemampuan melawan peroksidasi lemak. Ikatannya juga menurun
dengan tidak adanya antioksidan.
Pada kejadian ini penambahan aktivitas
intrinsik dari senyawa, metabolisme, ikatan terhadap protein juga menentukan
untuk mempengaruhi efek pemberian flavonoid secara invivo (Arts et al. 2002).
Aktivitas
antioksidan
ekstrak
Pomegranate
(Punica
granatum)
memproteksi hati terhadap efek tosik CCl4 secara histologi menjadi normal dan
mampu memperbaiki fungsi enzimatik akibat serangan ROS (Murthy et al.
2002). Ekspresi berlebihan antioksidan tidak selalu menghasilkan pertahanan
antioksidan dan bila ditingkatkan kapasitas antioksidan tidak selalu berkorelasi
positif dengan tingkat ketahanan. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kemanjuran dan proteksi antioksidan terhadap
penghapusan oksigen dan juga tekanan lingkungan (Blokhina et al 2003).
Tampaknya sangat beralasan untuk mempertimbangkan antara potensi, risiko,
dan manfaat antioksidan dosis tinggi secara kasus per kasus dan konsumsi
antioksidan supleman tunggal dosis tinggi harus dihindari (Silalahi 2006).
Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak
ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K3Fe (CN)6], menghambat
oksidasi asam linoleat, kemampuan eliminasi terhadap H2O2 (Leswara dan
Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandari 2002). Seduhan daun S. artopurpurea
mengandung antioksidan yang tinggi dan ternyata mampu menurunkan
konsentrasi H2O2. Seduhan tersebut mengandung senyawa penurun risiko
kanker, karena radikal bebas dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi berantai
yang menyebabkan kerusakan membran sel, asam nukleat, protein, dan lipid
(Sudihartini 2003). Uji antioksidan benalu teh (Scurrula oortiana) dengan
oksidator 1,1-diphenyl 2-pyrohidrxyl (DPPH), menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak metanol dengan daya hambat
sebesar 93.59 ppm (Simanjuntak et al. 2004).
Benalu Teh sebagai Penurun Risiko Kanker
Kanker merupakan hasil proses jangka panjang yang mengakibatkan
efek
penyimpangan
genetik
dan
perubahan
molekuler
yang
proses
perubahannya berjalan secara berangsur-angsur. Biasanya diperlukan waktu
lama untuk perubahan dari normal ke peningkatan level puncaknya, displasia,
yaitu invasi dan metastasis secara fenotip. Akumulasi perubahan secara
genetik dan molekuler dalam waktu yang lama memberikan kesempatan untuk
25
intervensi bidang klinik untuk pencegahan inisiasi kanker dan tindakan sebelum
lesi premalignan (Crowel 2005).
Tumorogenesis
atau
karsinogenesis
adalah
proses
yang
berkepanjangan yang awalnya diinduksi oleh karsinogen untuk menumbuhkan
kanker. Penelitian secara ekstensif selama bertahun-tahun menunjukkan
bahwa individu yang mengkonsumsi secara teratur sejumlah buah-buahan dan
sayuran dapat menurunkan risiko kejadian kanker. Fitokimia yang berasal dari
kelompok buah-buahan dan sayuran mengandung agen kemopreventif
termasuk genistin, alisin, likopen, curcumin, katekhin, dan eugenol. Karena
agen tersebut telah menunjukkan kemampuannya dalam menekan proliferasi
sel
kanker,
menghambat
faktor
pertumbuhan,
menginduksi
apoptosis,
menghambat angiogenesis, dan menekan ekspresi protein antiapopotosis.
Agen kemopreventif berpotensi digunakan sebagai terapi kanker di masa
datang (Dorai dan Aggarwal 2004).
Data epidemiologi memberikan nilai tambah yang didapat pada
pencegahan kanker dan penyakit kronis lainnya, yaitu data pada mekanisme
kejadian penyakit seperti kerusakan DNA, tekanan oksidatif, dan peradangan
kronis. Pendekatan ini merupakan jalan untuk mengenal risiko penyakit.
Sebagai strategi komplementer memungkinkan individu menjadi resisten
terhadap mutagen dan atau menghambat kejadian kanker dengan cara
memberikan agen kemopreventif (Flora dan Fergusson 2005).
Kemopreventif adalah area inovatif pada penelitian kanker yang
bertujuan pada pengembangan farmakologi, biologi, dan interferensi nutrisi
untuk mencegah, memperbaiki, dan memperlambat karsigonesis. Tindakan ini
sekarang mencakup agen preklinik dan identifikasi molekuler, skrining in vitro
dan in vivo, dampak farmakologi, dan sintesis kimia (Crowel 2005). Identifikasi
dan penggunaaan agen kemopreventif yang efektif pada kanker menjadi isu
penting pada penelitian kesehatan masyarakat. Untuk mengidentifikasi potensi
kemoprevensi pada kanker dilakukan uji in vitro yang relevan untuk
pencegahan secara in vivo (Gerhäuser 2002).
Kemoprevensi pada kanker
termasuk pada beberapa konsep tentang imhibisi, perbalikan, restriksi, dan
perlambatan proses kanker. Proses karsinogenesis membutuhkan waktu 20
sampai 40 tahun untuk mencapai invasi kanker. Hal ini penting untuk
mengidentifikasi jalannya evolusi pada sel kanker sehingga dapat menahan
proses karsinogenesis.
Dasar pengujian pada lesi genetik dan proses
26
epigenetik bersamaan dengan gerak maju dari prekanker menjadi penyakit
yang bersifat invasif. Kombinasi terapi dan pencegahan yang strategis sangat
penting untuk menurunkan morbiditas kanker. Pada setiap bentuk kanker,
lokasi organ atau latar belakang genetik secara individual adalah diperlukan
untuk strategi pencegahan secara kombinasi agar berhasil (Tarapdhar et al.
2001, Steel dan Kellof 2005).
Peluang adanya agen antitumor yang berasal dari bahan alam,
sejumlah substansi alam dikenal memiliki kemampuan menginduksi apoptosis
pada sejumlah sel tumor, yaitu senyawa kimia yang terdapat pada tanaman
buah-buahan dan sayuran. Konsumen dan pasien kanker menggunakan
sejumlah produk alternatif untuk mempertahankan dirinya dari serangan
kanker. Tanaman dan produk natural digunakan untuk mencegah pertumbuhan
kanker. Masyarakat Indonesia dengan latar belakang budaya dan etniknya,
lazim menggunakan obat tradisional (OT) atau disebut jamu, dengan
memanfaatkan alam Indonesia (Supandiman at al. 2000, Tarapdhar et al. 2001,
Ito 2002, Montbriand 2004).
Benalu teh S. artopurpurea adalah tumbuhan liar yang hidup sebagai
parasit menumpang pada tumbuhan teh dan menghisap makanan dari
tumbuhan inang untuk kelangsungan hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh
sebagian masyarakat yang tinggal di daerah-daerah di Indonesia sebagai obat
alternatif antitumor atau antikanker. Daun dan batang tanaman ini mengandung
alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan
sebagai antioksidan. Di Eropa dan Amerika ada jenis benalu yang digunakan
untuk mengobati tumor atau kanker, yaitu ada beberapa tanaman misalnya
benalu teh (Viscum album L) yang dalam percobaan bersifat imunomodulator
melalui pengaktivan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat antitumor
(Windardi dan Rahajoe 1998, Achi 2005).
Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor
kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh
tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan
saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Hasil
penapisan fisiokimiawi terhadap simplisia menunjukkan bahwa benalu teh
mengandung kelompok senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid,
dan terpenoid (Tambunan et al. 2003). Jenis benalu dan inang yang berbeda
27
memberikan pola spektrum yang sama, walaupun nilai serapannya berbeda
(Leswara dan Kartin 1988).
Tanaman benalu teh S. artopurpurea secara empirik digunakan untuk
mengobati penyakit tumor atau kanker. Aktivitasnya sebagai antitumor atau
antikanker adalah secara tidak langsung, yaitu melalui sistem kekebalan
dengan cara meningkatkan konsentrasi imunoglobulin G (IgG). Pemakaiannya
sebagai obat antitumor atau antikanker menimbulkan dugaan bahwa bahan
tersebut bersifat imunostimulator, yaitu meningkatkan konsentrasi IgG (Winarno
et al. 2000).
Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
terpenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al. 2000, Santoso
2001, Tambunan et al. 2003). Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai
antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan aktivitas vasodilatator. Potensi
antioksidan flavonoid untuk mencegah kerusakan oksidatif yang ditunjukan oleh
semua proses penyakit membuatnya
layak digunakan pada pengendalian
sejumlah penyakit (Miller1996).
Tiga senyawa flavonoid alam telah diisolasi menggunakan etil asetat,
yang berasal dari fraksinasi S. feruginosa, yaitu kuersetin, kuersetrin, dan
flavonol glikosida 4-O-asetl kuersetrin. Evaluasi daya sitotoksik pada kultur
jaringan kanker glioblastoma manusia menunjukkan bahwa kuersetin memiliki
aktivitas tertinggi (Le Dévéhat et al. 2002). Senyawa polifenolat alam, termasuk
flavonoid yang disintesis oleh tanaman, mampu memperbaiki kesehatan.
Kuersetin dan kuersetin glikosida yang tersebar pada flavonoid yang
dikonsumsi terdapat pada buah dan sayur. Senyawa ini secara luas berperan
pada perbaikan kesehatan sehingga menjadi penting dan menarik (Boyer et al.
2005, Lila et al. 2005).
Ekstraksi 500 mg daun benalu teh S. oortiana yang dilkukan secara
bertingkat memperoleh ekstrak n-heksan 8.47 g (1.69%), etil asetat 18.71 g
(3.74%), Metanol 7.38 g (1.48%), dan ekstrak air 32.86 g (6.57%) (Simanjuntak
et al. 2004). Berdasarkan kelarutan bahan kandungan benalu teh dalam air
panas yang digunakan secara tradisional, kemudian air rebusannya diminum,.
dilakukan isolasi dan identifikasi S. junghuni yang diekstraksi dengan pelarut air
(Tambunan et al. 2003).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan unggas Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan efek perubahan
patologis dilaksanakan di Laboratorium Patologi FKH-IPB.
Penghitungan
jumlah leukosit dan deferensiasi leukosit dilakukan di Laboratorium Fisiologi
FKH-IPB. Pemeriksaan antibodi Marek dengan metode ELISA dilaksanakan di
Laboratorium terpadu FKH-IPB.
Penelitian dimulai bulan Mei 2004 sampai
dengan Agustus 2006.
Bahan dan Alat
Hewan percobaan
Penelitian menggunakan 80 ekor ayam ras petelur betina berumur satu
hari (DOC). Ayam percobaan adalah ayam ras petelur strain Isa Brown yang
diperoleh dari peternakan pembibitan “Manggis Farm”
desa Tenjoayu
Sukabumi, Jawa Barat.
Kandang percobaan yang digunakan adalah sistem multiple cages
berukuran 60 x 45 x 30 cm, masing-masing unit terdiri atas 3 ekor sehingga
jumlah kandang seluruhnya 20 unit. Setiap kandang dilengkapi tempat makan,
minum, dan lampu kandang dipakai secara bersama-sama sebagai alat
penerangan, cages ditempatkan dalam satu ruangan kandang. Peralatan lain
yang digunakan adalah alat pengukur temperatur ruangan, higrometer, plastik
wadah ransum, ember, tirai penutup kandang, timbangan, tabung penampung
darah, spuit, rak telur, dan peralatan tulis.
Ekstrak benalu teh
Benalu teh (Scurrula oortiana) diperoleh dari Perkebunan Teh PTP
Rancabuli, Cibuni, Bandung dan ekstraksi dilakukan di Laboratorium Bahan
Makanan Ternak, Universitas Diponegoro, Telukawur Jepara Jawa Tengah.
Ekstrak S. oortiana yang digunakan sebagai bahan uji adalah dari hasil
ekstraksi dengan metode reflux menggunakan air sebagai pelarut.
29
Virus Marek
Virus Marek serotipe 1 yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari Balai Besar Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH)
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Gunung Sindur Bogor.
Desain Penelitian
Ayam ras petelur betina umur 3 minggu yang tidak divaksin Marek diberi
perlakuan infeksi MDV secara intraperitoneal sehingga dimungkinkan terjadi
imunosupresi akibat infeksi produktif, kemudian dilanjutkan infeksi laten atau
terjadi tranformasi limfosit T (sel T) sehingga terjadi limfoma. Untuk mengetahui
pengaruh pemberian ekstrak benalu teh (S. oortiana)
pada peningkatan
imunitas, dan hambatan onkogenesitas penyakit Marek dilakukan dua tahapan
percobaan.
Tahap pertama uji adalah penentuan dosis infeksi MDV. Pada tahap ini
digunakan 20 ekor ayam yang dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan,
masing-masing empat ekor, yaitu A. kontrol tanpa infeksi, B. diinfeksi
intraperitoneal dengan dosis 0,125 x 1000 EID50, C. 0,250 x 1000 EID50, D
0,500 x 1000 EID50, dan E 1 x 1000 EID50.
Pada penelitian tahap kedua
digunakan 60 ekor ayam yang dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan,
yaitu perlakuan A. diberi ekstrak S. oortiana dengan, tanpa infeksi MDV, B
tanpa pemberian ekstrak S. oortiana dan tanpa infeksi MDV, C diberi ekstrak S.
oortiana dan diinfeksi MDV, dan D tanpa diberi ekstrak S.oortiana, diinfeksi
MDV. Ekstrak benalu teh diberikan secara oral (dicekok) sejak ayam berumur
15 hari sampai akhir percobaan, dengan dosis 10 mg/kg bobot badan yang
dilarutkan dalam air minum. Ayam diinfeksi dengan virus Marek pada umur 20
hari secara intraperitoneal (Cho et al. 1999) dengan dosis 1.000 EID50.
Pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator
diukur berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius dan timus, ukuran
diameter folikel bursa Fabricius, imunoreaktivitas terhadap iNOS, dan
titer antibodi terhadap MDV. Kemampuan daya hambat atas keberadaan
MDV pada bursa Fabricius diukur dengan metode imunohistokimia.
Kemampuan menurunkan risiko kanker diukur dengan pemeriksaan
histopatologi berdasarkan jumlah limfosit pada mukosa proventrikulus
dan perubahan histopatologi pada organ hati.
30
Metode Penelitian
Ayam percobaan secara acak ditempatkan dalam kandang yang sudah
dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu penerangan. Adaptasi ayam
percobaan tidak dilakukan karena menggunakan ayam umur satu hari (day old
chicken – DOC).
Desain percobaan yang digunakan untuk penentuan titer antibodi pada
MDV, jumlah leukosit per ml dan proporsi limfosit, jumlah limfosit submukosa
proventrikulus, diameter folikel bursa Fabricius, dan jumlah iNOS positif pada
hati. Metode statistika yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan
Acak Lengkap, dan bila terdapat beda nyata antara perlakuan akan dilanjutkan
dengan Uji Kontras Ortogonal (Steel dan Torrie, 1991). Penghitungan analisis
statistika dilakukan dengan bantuan Microsoft Exell 2000 dan SPSS 13 for
Windows
Model statistika RAL adalah :
Yij = µ + τi + Єij
Yij
µ
τi
Єij
i
j
= Respons percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
= Pengaruh perlakuan ke-i
= Galat percobaan
= 1,2,3,4 (perlakuan)
= 1,2,3,4 (ulangan)
Tahap I. Uji penentuan dosis infeksi Marek’s disease virus (MDV)
Infeksi MDV dilakukan secara intraperitoneal terhadap ayam umur 21
hari, pada lima kelompok perlakuan, masing-masing terdiri atas empat ekor
ayam, dengan dosis sebagai berikut :
Kelompok A
: kontrol, hanya diberi akuades sebagai plasebo
Kelompok B
: diinfeksi MDV dengan dosis 1.103 EID50
Kelompok C
: diinfeksi MDV dengan dosis 0,5.103 EID50
Kelompok D
: diinfeksi MDV dengan dosis 0,25.103 EID50
Kelompok E
: diinfeksi MDV dengan dosis 0,125.103 EID50
Parameter yang diukur adalah : perubahan histopatologi pada bursa Fabricius,
hati, dan proventriculus pada 20 dan 40 hari p.i.
31
Tahap II. Uji ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator dan
menurunkan risiko ksnker .
Pemberian ekstrak S. oortiana dengan dosis 10 mg/kg bobot badan,
diberikan secara oral dengan cara dicekok pada umur 15 hari sampai akhir
percobaan, yaitu 60 hari, infeksi MDV diberikan pada umur 20 hari secara
intraperitoneal dengan dosis 1.103 EID50.
Kelompok A : diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
Kelompok B : tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
Kelompok C : diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
Kelompok D : tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Diagram alir penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Ayam ras petelur betina
(60 ekor)
Ulangan
(15 ekor)
1
2
3
Ulangan
(15 ekor)
1
2
3
Ulangan
(15 ekor)
1
2
3
1
Ulangan
(15 ekor)
2
3
A
B
C
D
Diberi ekstrak
S.oortiana
+
Tidak diinfeksi
MDV
Tidak diberi
ekstrak S.oortiana
+
Tidak diinfeksi
MDV
Diberi ekstrak
S.oortiana
+
Diinfeksi MDV
Tidak diberi
ekstrak S.oortiana
+
Diinfeksi MDV
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perlakuan selama 45 hari
(umur ayam 15 – 60 hari)
Peubah yang diamati :
Perhitungan antibodi untuk uji imunitas terhadap penyakit Marek dengan
metode Elisa pada 10, 20, dan 30 hari pacainfeksi (p.i).
Perhitungan leukosit dan persentase limfosit pada 20 dan 40 hari p.i.
Penimbangan dan perhitungan ratio bobot relatif limfa, bursa Fabricius dan
timus pada hari 20 dan 40 p.i.
Perubahan histopatologi pada bursa Fabricius, hati, dan proventriculus pada
20 dan 40 hari p.i.
Uji imunohistokimia terhadap iNOS pada organ hati.
Uji imunohistokimia terhadap MDV pada organ bursa Fabricius.
Gambar 6 Diagram alir penelitian
32
Pengukuran titer antibodi terhadap MDV dengan teknik enzyme-linked
immuno sorbent assay (ELISA)
Bahan dan alat.
Mikroplat, pipet mikro, antigen MDV, serum ayam, PBS- TW20 0,05%,
carbonate bicarbonate buffer pH 9,6, Bovine Serum Albumin (BSA) 1%,
conjugate (Rabbit anti Chicken), substrat 2-2’-azino-bis(3-ethylbenzthiazo-line6-sulphonic acid) (ABTS), Microplate Reader, dan inkubator.
Prosedur kerja.
1. Coating antigen MDV 1/200 dalam carbonate bicarbonate buffer pH 9,6 yaitu
antigen 50 μl dilarutkan pada carbonate bicarbonate buffer 9950 μl. Tiap
sumur diisi 100 μl kemudian diinkubasikan 4o C semalam. Antigen
terabsorbsi secara pasif ke matriks padat melalui interaksi hidrofobik,
interaksi ini dapat meningkatkan pengikatan. Mikroplate dicuci 3 sampai 4
kali dengan PBS-TW20 0,05% 200 μl sampai dengan 250 μl. Pencucian
dengan larutan bufer dilakukan untuk menghilangkan materi nonpengikatan
dan yang berikatan longgar pada fase padat .
2. Selanjutnya dilakukan blocking dengan Bovine Serum Albumin (BSA) 1%
(100 μg BSA dalam 10 ml PBS) tiap sumur diisi 200 μl kemudian diinkubasi
selama 45 menit pada suhu 37oC. Perlakuan blocking bertujuan untuk
mengisi tempat yang belum tertutup (coated) antigen pada fase padat
sehingga menghambat pengikatan non-spesifik reagent berikutnya, BSA
mudah mengikat pada fase padat. Kemudian dicuci 3 sampai 4 kali dengan
PBS-TW20 0,05%.
3. Sebanyak 100 μl serum ayam dengan konsentrasi 1/100 (10 ul dalam 1 ml
larutan PBS) dimasukkan ke dalam tiap sumur, kemudian diinkubasikan
selama 1 jam pada suhu 37oC. Mikroplate dicuci 3 sampai 4 kali dengan
PBS-TW20 0,05%.
4. Kemudian ditambahkan 100
μl conjugat (Rabbit anti Chicken, Sigma®)
dengan konsentrasi 1/2000 dalam larutan PBS, dan diinkubasi selama 1
jampada suhu 37oC. Mikroplate dicuci kembali 3 sampai 4 kali dengan PBSTW20 0,05%. Kemudian disiapkan substrat yang terdiri atas 10 μl citrat bufer
pH 4,2, H2O2 5 μl., substrat 2-2’-azino-bis(3-ethylbenzthiazo-line-6-sulphonic
acid) 200 μl. Sebanyak 100 μl.substrat tersebut dimasukkan ke dalam tiap
sumur yang dilanjutkan dengan inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC.
Setelah itu, nilai absorbansi segera dibaca pada Microplate Reader (Birad®)
pada panjang gelombang 415 nm.
33
Perhitungan jumlah leukosit
Bahan dan alat.
Pipet, kamar hitung, larutan Turk, EDTA, tabung reaksi, alkohol 70%,
dan kapas.
Prosedur kerja.
Secara hati-hati bagian badan dan kaki ayam dipegang sehingga tidak
meronta. Jarum suntik dimasukkan ke bagian sayap (vena brachialis) yang
sebelumnya dibersihkan dengan alkohol. Darah diambil sebanyak 2 ml,
kemudian ditampung dalam tabung reaksi yang telah diisi antikoagulan EDTA
dengan tujuan mencegah pembekuan darah. Tabung reaksi yang berisi darah
ditutup dengan parafin untuk mencegah kontaminasi.
Darah yang dicampur dengan antikoagulans EDTA dihisap dengan
pipet hingga tanda 0,5 dan ujung pipet dibersihkan, kemudian pipet diletakkan
pada larutan pengencer leukosit (larutan Turk) dan diisi perlahan-lahan hingga
tanda angka 11 sehingga didapat konsentrasi menjadi 1 : 20. Pipet yang berisi
darah ini dikocok selama 3 menit hingga tercampur homogen, setelah itu
sebanyak 2 atau 3 tetes larutan diteteskan dari pipet dibuang sebelum mengisi
kamar hitung. Setelah itu, larutan diteteskan ke dalam kamar hitung dan
dibiarkan selama 1 menit . Dengan perbesaran rendah jumlah leukosit dihitung
dalam 4 kotak sudut kamar hitung darah. Rumus perhitungan yang dipakai
adalah :
leukosit/cu.mm atau jumlah sel leukosit = Jumlah sel x 200 (larutan 1 : 20x10)
4
dalam kotak sudut kamar hitung x 50 = leukosit/cu.mm.
Diferensiasi leukosit
Pemeriksaan dilakukan dengan membuat
preparat ulas darah dan
diwarnai dengan pewarnaan Giemsa 10% selama 30 menit. Sampel darah di
campur homogen sebelum diambil dengan pipet kapiler, kemudian satu tetes
kecil darah diletakkan dekat ujung gelas obyek posisi permukaan datar. Gelas
obyek yang kedua ditempatkan dengan ujung menyentuh permukaan gelas
obyek pertama sehingga membentuk sudut 30-45o. Gelas obyek kedua ditarik
ke samping dan di biarkan darah mengalir dengan daya kapiler sehingga
mencapai luasan 2/3 gelas obyek pertama. Gelas obyek kedua didorong
dengan sudut yang sama sehingga membentuk lapisa tipis. Preparat apus
dibiarkan mengering di udara terbuka.
34
Preparat apus darah difiksasi dengan metil alkohol selama 3-5 menit,
preparat diambil dan dibiarkan kering di udara. Setelah kering preparat
direndam dengan pewarna Giemsa yang baru selama 15-60 menit. Preparat
dicuci dengan air berkali-kali dan dibiarkan mengering di rak. Penghitungan
persentase limfosit dilakukan perbesaran obyektif 100 x, klasifikasi leukosit
pada beberapa lapang pandang dan dihitung per 100 leukosit.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Bahan dan alat.
10% buffered neutral formalin, parafin, Mayer, hematoxylin, eusin, alkohol
konsentrasi 100% (absolut), 96%, 80%, 50%, xylol, perkat neofren, aquades,
cover glass, obyect glass, pisau bedah, inkubator suhu 52oC, mikrotom, almari
pendingin, mikroskop, dan kaset.
Prosedur kerja.
Pembuatan preparat histologi dilakukan melalui beberapa tahapan antara
lain; pemilihan jaringan yang pelu diamati, fiksasi jaringan, pemrosesan
jaringan (dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin),
pemotongan jaringan, dan pewarnaan. Kadaver ayam yang difiksasi pada
penelitian penyakit Marek diambil organ bursa Fabricius, timus, limpa, hati dan
proventrikulus. Kemudian organ difiksasi di dalam larutan buffered neutral
formalin (BNF) 10% selama 3 x 24 jam, selanjutnya dilakukan embedding pada
parafin.
Sebelum dilakukan pemotongan, blok parafin disimpan terlebih dahulu
dalam lemari es agar parafin menjadi lebih keras sehingga memudahkan
pemotongan. Jaringan kemudian dipotong menggunakan mikrotom dengan
ketebalan 3-5 µm. Sayatan jaringan diapungkan pada air hangat dengan suhu
60oC, dan selanjutnya dilekatkan pada gelas obyek. Untuk memudahkan
pengamatan di bawah mikroskop, jaringan yang telah dipotong diwarnai.
Proses pewarnaan diawali dengan penghilangan parafin menggunakan xylol.
Setelah jaringan bebas parafin direndam dalam alkohol dengan konsentrasi
menurun. Dimulai dari alkohol konsentrasi 100% (absolut), 96%, 80%, dan
seterusnya sampai alkohol 50%. Kemudian irisan jaringan direndam dalam air,
dan jaringan siap diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin (HE).
Untuk
membedakan
ikatan
terhadap
warna
dilakukan
dengan
menggunakan zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat warna alam yang
digunakan adalah hematoksilin dan zat warna sintetis yng digunakan adalah
35
eusin. Hematoksilin mewarnai inti sel menjadi biru sedangkan eosin mewarnai
sitoplasma menjadi merah.
Pembuatan preparat imunohistokimia
Bahan dan alat.
Inkubator, xylol, alkohol absolut III, II, I, 95%, 90%, 80%, dan 70%, diionize
water (DW), H2O2, metanol, PBS, serum normal, Inducible Nitric Oxyd
Synthase (INOS), antibodi primer, antibodi sekunder (biotinilasi), 3,3’diaminobenzidine (DAB), hematoksilin,
Prosedur kerja.
Jaringan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µm.
Deparafinisasi dilkukan dengan larutan xylol (III, II, dan I) masing-masing
larutan 5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol bertingkat,
dimulai dari alkohol absolut III, II, I, 95%, 90%, 80%, dan 70% pada masingmasing larutan selama 5 menit. Selanjutnya pencucian dilakukan dengan
menggunakan diionize water (DW) selama 15 menit. Penghilangan peroksidase
endogen menggunakan (0,5 ml H2O2 ditambah 50 ml metanol) selama 15
menit. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan DW selama 7 menit dua
kali dan PBS selama 7 menit dua kali. Kemudian preparat ditetesi dengan
serum normal pada gelas obyek secara merata, dimasukkan ke dalam kotak
preparat (humidity chamber) ditambah kertas tissue dan ditetesi dengan PBS
untuk menjaga kelembaban. Selanjutnya preparat dimasukkan kedalam
inkubator pada suhu 37ºC selama 45 menit. Pencucian dengan PBS masingmasing 5 menit dilakukan 3 kali, yaitu :
1. Jaringan ditetesi dengan antibodi primer terhadap enzim Inducible Nitric
Oxyde Synthase (iNOS), kemudian diinkubasi pada suhu 4ºC selama 1
malam.
Kemudian dilakukan pencucian dengan PBS masing-masing 5
menit sebanyak 3 kali.
2. Selanjutnya preparat ditetesi dengan antibodi sekunder (biotinilasi),
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 35 menit.
masing-masing 5 menit sebanyak 3 kali.
Pencucian dengan PBS
Ditetesi dengan peroksidase
inkubasikan pada suhu 37ºC selama 30 menit.
Pencucian dengan PBS
masing-masing 5 menit 3 kali.
3. Pemberian chromogen dilakukan dengan cara penetesan larutan 3,3’diaminobenzidine (DAB), diinkubasikan pada suhu 370C selama 35 menit.
Pencucian dengan PBS masing-masing 5 menit sebanyak 3 kali.
36
Counterstain
menggunakan
hematoksilin
dilakukan
dengan
cara
meneteskan sampai rata dan dibiarkan 15 detik lalu dicuci dengan DW.
Dehidrasi dilakukan dengan larutan alkohol berseri 70%, 80%, 90%, dan
100% serta alkohol absolut I, II, dan III.
Pada masing-masing larutan
dibiarkan selama 1 menit. Clearing dilakukan dengan Xylol (I, II, dan III).
Penutupan preparat (mounting) dilaksanakan dengan segera ditutup dengan
cover glass. Evaluasi pewarnaan imunohistokimia dilakukan dengan dua
metode.
dilanjutkan
Pewarnaan menggunakan antibodi primer terhadap iNOS
dengan
penghitungan
secara
kuantitatif,
yaitu
dengan
menghitung imunoreaktivitas positif menggunakan lensa obyektif 40 x pada
5 lapang pandang, kemudian menghitung rataan.
Sedangkan hasil
pewarnaan menggunakan antibodi primer MDV dievaluasi secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Dosis Infeksi MDV
Pengamatan histopatologi dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan,
yaitu kontrol (A), 1 x 103 EID50 (B), 0.5 x 103 EID50 (C), 0.25 x 103 EID50 (D) dan
0.125 x 103 EID50 (E). Evaluasi dilakukan secara kualitatif dengan tujuan untuk
memperoleh dosis yang tepat untuk uji tantang yang akan digunakan pada
tahap penelitian selanjutnya.
Adapun waktu pengamatan adalah 20 dan 40
hari pascainfeksi (p.i.), dan organ yang dievaluasi di antaranya hati, limpa,
proventrikulus, bursa Fabricius dan paru-paru. Pengamatan khusus dilakukan
dengan menghitung jumlah sel-sel neoplasma (limfoblast dan limfosit) dengan
memberikan nilai sebagai berikut :
+
: jumlah sel-sel limfoid kurang dari 50 dalam satu kelompok
++
: jumlah sel-sel limfoid 51 - 100 dalam satu kelompok
+++
: jumlah sel-sel limfoid lebih dari 100 dalam satu kelompok.
Infeksi MDV pada organ hati menyebabkan lesio berupa dilatasi
sinusoid, peningkatan jumlah sel Kupffer, degenerasi sel-sel hati serta infiltrasi
sel-sel limfoid sebagai indikasi kejadian infeksi.
Kelompok D dan E
menunjukkan perubahan yang sangat minimal pada infiltrasi sel-sel limfoid
pada 20 dan 40 hari p.i. Hasil evaluasi infiltrasi sel-sel limfoid pada kelompok
C adalah positif 1 (+) pada 40 hari p.i., sedangkan B menunjukkan reaksi yang
lebih banyak, yaitu positif 2 (++). Sel-sel tersebut ditemukan pada sinusoid
yang mengalami dilatasi, dan jumlah sel yang terus bertambah akan
menyebabkan hemoragi regional. Daerah infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan di
daerah portal atau di dekat vena sentralis.
38
Gambar 7 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV)
dosis 0.125 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).
Perubahan histopatologi organ hati menunjukkan adanya
)
dilatasi sinusoid dan infiltrasi limfosit dan limfoblast (
Gambar 8 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV)
dosis 1 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).
Menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear (
) di antara
segitiga Kiernen di daerah lobulus.
Pemeriksaan organ limpa menunjukkan bahwa pada tahap awal infeksi
ditemukan infiltrasi sel-sel makrofag dan limfosit yang minimal pada pulpa
39
putih.
Pada beberapa pulpa putih maupun pulpa merah ditemukan sel-sel
limfoid yang mengalami karioreksis, yaitu inti terpecah menjadi fragmenfragmen kecil. Jumlah sel-sel tumor sangat jelas pada kelompok B terutama
pada 40 hari p.i., yaitu positif 3 (+++) dan keberadaan sel-sel tersebut dapat
ditemukan pada pulpa putih, pulpa merah, dan daerah sinus. Pengamatan
yang lebih intensif pada pulpa putih menunjukkan reaksi degenerasi dan
nekrosis pada sel-sel mononuklear pada bagian sentral.
Pengamatan pada proventrikulus, bursa Fabricius, dan paru-paru
menunjukkan reaksi yang sama, yaitu infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan secara
dominan pada dosis infeksi MDV 1 x 103 EID50 (B). Hasil yang diperoleh pada
tahapan uji ini dapat ditentukan bahwa untuk penelitian selanjutnya akan
digunakan dosis 1 x 103 EID50.
Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa
Kinerja sistem imun juga dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid.
Bursa Fabricius berperan pada pematangan limfosit B dan timus berperan pada
pematangan limfosit T, yang merupakan organ limfoid primer. Infeksi MDV
pada ayam diawali dengan periode infeksi sitolisis produktif, MDV menginfeksi
limfosit B pada bursa Fabricius maupun limfosit T pada timus, dan terjadi
replikasi DNA, sintesis protein, dan perbanyakan partikel virus. Pada puncak
infeksi terjadi sitolisis dan kematian sel, atropi pada bursa Fabricius dan timus
sehingga terjadi imunosupresi, penurunan bobot relatif organ limfoid bursa
Fabricius, dan timus yang dapat dijadikan sebagai indikator imunosupresi
sebagai akibat dari infeksi MDV.
Periode infeksi MDV meliputi 3 bentuk, yaitu infeksi akut (produktif)
yang menimbulkan lisis sel, dilanjutkan infeksi laten yang bersifat nonproduktif,
dan infeksi transforming.
Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus,
sintesis protein, dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan
merusak limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis pada
puncak replikasi virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan meningkat
kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa
Fabricius dan timus (Davison 1997, Calnek et al 1998, Payne dan Venagupol
2000, dan Islam et al. 2002). Replikasi virus herpes pada bursa Fabricius dan
timus menimbulkan imunosupresi transien, perubahan sitolitik akut pada organ
40
ini ditandai dengan atropi. Pada infeksi eksperimental terjadi lesi bursa
Fabricius mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami
atrofi, dan pembentukan kista. Timus mengalami atrofi, limfosit hilang baik pada
korteks maupun medula. Benda inklusi intranuklear dapat muncul pada sel
yang mengalami degenerasi (Fadly 2000). Rataan bobot relatif organ bursa
Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i.
Peubah
Perlakuan
A
B
Bursa Faricius
0,0037 ± 0,0003
a
Timus
0,0054 ± 0,0007
a
Limpa
0,0039 ± 0,0007
a
0,0031 ± 0,0002
C
ab
0,0053 ± 0,0003
D
0,0022 ± 0,0008
a
0,0034 ± 0,0004
a
b
0,0021 ± 0,0009
b
ab
0,0019 ± 0,0003
b
a
0,0029 ± 0,0010
a
0,0033 ±0,0025
0,0042 ± 0,0011
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Hasil analisis statistik bobot relatif bursa Fabricius menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada
hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan dengan pemberian benalu teh tanpa infeksi
MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0037 dan berbeda dari kelompok dari
pemberian benalu dan infeksi MDV (C) yang memiliki nilai 0,0022, dan juga
berbeda dari perlakuan yang tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D),
yaitu 0,0021. Tingginya ratio bobot bursa Fabricius disebabkan oleh pengaruh
imunomodulator dari ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot badan. Rendahnya
bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok perlakuan C dan D disebabkan
oleh infeksi produktif yang menimbulkan sitolisis MDV pada 20 p.i.
Adanya imunomodulasi pemberian ekstrak S. oortiana pada kelompok
ayam tanpa infeksi MDV perlakuan A ditandai dengan perbaikan performan
bursa Fabricius berdasarkan bobot relatif organ tersebut, dan terjadinya
imunosupresi pada kelompok ayam yang diinfeksi MDV baik yang diberi
ekstrak S. oortiana maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana.
Kelompok
perlakuan B, yaitu tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV adalah 0,031
tidak berbeda dengan semua kelompok perlakuan.
41
Hasil analisis statistik bobot relatif timus menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara kelompok perlakuan pada hari ke
20 p.i.
Kelompok perlakuan yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A)
memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0054 yang tidak berbeda dari kelompok yang
diberi perlakuan tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV (B) sebesar 0,0053.
Kelompok A dan B berbeda dari perlakuan D, yaitu tanpa diberi benalu teh
diinfeksi MDV (0,0019). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan infeksi MDV
menimbulkan imunosupresi dilihat dari turunnya bobot relatif timus.
Imunodefisiensi mungkin disebabkan oleh cacat pada pendewasaan
limfosit atau aktivasinya atau gangguan pada mekanisme efektor imunitas
alami maupun imunitas perolehan. Proses pendewasaan limfosit dari sel stem
ke komponen sel fungsional limfosit dewasa termasuk proliferasi, ekspresi
reseptor antigen, seleksi sel sehingga memiliki spesifitas, dan perubahan pada
ekspresi sejumlah gen (Abbas et al. 2000).
Kriteria dari imunosupresif meliputi 1) kejadian awal infeksi sitolisis, 2)
atropi bursa Fabricius dan timus yang diukur dari persentase bobot organ
limfoid terhadap bobot tubuh pada 8-14 pascainfeksi (p.i), 3) perubahan
histopatologi, yaitu nekrosis dan atropi organ limfoid. Disimpulkan bahwa
tingkat imunosupresi adalah berhubungan dengan virulensi dan ukuran organ
yang mengalami perubahan atropi bursa Fabricius dan timus dapat digunakan
sebagai pengukuran patotipe pada isolat baru MDV (Calneck et al. 1998).
Kelompok dengan pemberian benalu teh dan diinfeksi MDV (C) memiliki
nilai 0,0033 yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B,
maupun D. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak benalu
teh mampu menghambat proses terjadinya sitolisis pada timus akibat infeksi
sitolitik MDV. Perlakuan C tidak terpengaruh oleh adanya imunosupresi yang
disebabkan oleh MDV yang diimbangi oleh pengaruh imunomodulasi oleh
ekstrak benalu teh (S. oortiana).
Adanya imunomodulator berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius pada
pemberian ekstrak benalu teh tanpa infeksi MDV dan imunomodulator
berdasarkan bobot relatif timus pada kombinasi pemberian benalu teh dan
disertai infeksi.MDV. Dengan demikian ekstrak benalu teh (S. oortiana) mampu
memperbaiki performan sistem imun organ limfoid primer baik pada bursa
Fabricius maupun timus pada 20 hari p.i.
42
Hasil pengukuran bobot relatif limpa pada 20 p.i. tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan di antara keempat kelompok perlakuan.
tersebut
Kondisi
menjelaskan tidak ada pengaruh perlakuan yang diberikan pada
bobot relatif organ atau tidak terjadi imunosupresi.
Pada akhir masa perlakuan, yaitu pada 40 p.i., bobot relatif organ bursa
Fabricius, timus, maupun limpa tidak berbeda di antara keempat kelompok
perlakuan (Tabel 2).
Hal ini dimungkinkan sudah berakhirnya masa
imunosupresi sebagai tahapan awal infeksi MDV yang bersifat transien, yaitu
bersifat sementara. Ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan
kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel
yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi, yaitu
hari ketiga sampai dengan 35 pascainfeksi (Islam 2002, dan Fadly 2000).
Replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius dan timus yang
menimbulkan transien imunosupresi, perubahan sitolitik akut pada organ ini
ditandai dengan atropi.
Tabel 2 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i.
Perlakuan
Peubah
A
B
C
Bursa Fabricius
0,0009 ± 0,0003
a
0,0009 ± 0,0001
Timus
0,0059 ± 0,0016
a
0,0058 ± 0,0027
Limpa
0,0031 ± 0,0005
a
0,0029 ± 0,0004
D
a
0,0011 ± 0,0002
a
0,0010 ± 0,0002
a
a
0,0047 ± 0,0001
a
0,0063 ± 0,0008
a
0,0027 ± 0,0009
a
0,0028 ± 0,0013
a
a
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius
Rataan ukuran folikel organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok
perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 4.
Hasil analisis
statistik pada hari ke 20 p.i menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok
yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki ukuran 392,694 μm,
yang
tidak berbeda dari perlakuan B, yaitu memiliki ukuran 393,666 μm.
Perlakuan A dan B berbeda dengan perlakuan dengan pemberian benalu teh
dan infeksi MDV (C) yang memiliki ukuran 252,580 μm, juga berbeda dari
43
perlakuan tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D) yang memiliki ukuran
214,207 μm.
Rendahnya ukuran diameter folikel bursa Fabricius sebagai
akibat perlakuan infeksi baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tidak. Hal
tersebut menimbulkan dugaan bahwa ekstrak S. oortiana belum mampu
berperan sebagi imunomodulator mencegah infeksi produktif MDV yang
menimbulkan sitolisis pada hari ke 20 p.i berdasarkan ukuran diameter folikel
bursa Fabricius dengan cara mencegah imunosupresi pada 20 hari p.i. Sesuai
dengan Fadly (2000) bahwa replikasi virus herpes yang produktif pada bursa
Fabricius menyebabkan perubahan sitolitik akut pada organ ini yang ditandai
dengan atropi. Infeksi eksperimental menyebabkan lesi bursa Fabricius
mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga bursa mengalami
atropi, dan terjadi pembentukan kista.
Tabel 3 Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40 hari
pascainfeksi (p.i.)
Pascainfeksi
Rataan diameter folikel bursa Fabricius (μm)
(hari)
A
B
C
20 hari p.i
392,69 ± 15,48
a
a
393,67 ± 15,34
40 hari p.i
187,13 ± 10,64b
201,47 ± 5,94b
D
252,58 ± 34,58
b
258,33 ± 27,89a
b
214,283 ± 17,29
224,367 ± 22,30ab
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Hasil analisis ukuran diameter folikel bursa Fabricius pada 40 hari p.i.
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antarkelompok perlakuan
(p<0.05). Kelompok perlakuan A memilki ukuran 187,133 μm yang tidak
berbeda dari perlakuan B yang memiliki ukuran 201,466 μm.
Kelompok
perlakuan C yang memiliki ukuran 258,333 μm berbeda dari perlakuan A,
perlakuan B, maupun perlakuan D. Kelompok perlakuan D memiliki ukuran
217,825 μm yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B,
maupun C.
Rendahnya diameter folikel bursa Fabricius pada kelompok perlakuan
tanpa infeksi (A dan B) adalah akibat involusi organ bursa Fabricius sesuai
dengan bertambahnya umur. Pembesaran folikel bursa Fabricius 40 hari p.i
pada kelompok perlakuan C disebabkan telah terlewatinya masa infeksi
produktif
yang
menyebabkan
imunosupresi
dan
adanya
pengaruh
44
imunomodulator dari efeki kombinasi antara ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot
badan dengan imunostimulator akibat infeksi MDV.
Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase
(iNOS) pada Jaringan
Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil juga memproduksi
oksigen
toksik
yang
bertugas
membantu
membunuh
dan
menelan
mikroorganisme. Nitrit oksida (NO) yang diproduksi oleh enzim Inducible Nitric
Oxyde Synthase (iNOS), secara langsung toksik terhadap bakteri. Kemampuan
aktivitas
makrofag
untuk
mengeluarkan
mediator
toksik
adalah
pada
pertahanan inang karena kemampuannya melawan ekstra seluler patogen
yang tidak tertelan (Janeway et al. 2001). Imunoreaktivitas terhadap iNOS pada
jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 7.
Pengamatan hasil pewarnaan imunohistokimia iNOS menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak S. oortiana dan uji tantang dengan MDV onkogen
menyebabkan peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS dalam jaringan hati.
Keberadaan
iNOS
berdasarkan
reaksi
positif
dengan
pewarnaan
imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel
makrofag dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel sinusoid. Kelompok ayam
yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A = 3,464) memicu
peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika
dibandingkan
dengan perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B =
1,227 ).
Ekstrak benalu teh mampu meningkatkan produksi iNOS setelah
pemberian 20 hari p.i pada ayam. Pengaruh tindakan pemberian ekstrak S.
oortiana terjadi pada ayam tanpa infeksi.
Daun dan batang benalu teh mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida,
triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan. Di Eropa dan
Amerika ada jenis benalu yang digunakan untuk mengobati tumor atau kanker,
yaitu ada beberapa tanaman misalnya benalu teh (Viscum album L) yang
dalam percobaan bersifat imunomodulator melalui pengaktifan sel granulosit
dan makrofag yang memberi sifat antitumor (Windardi dan Rahajoe. 1998, Achi
2000).
45
E
A
B
E
M
M
M
E
C
D
Gambar 9 Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia
terhadap iNOS metode SAB dan counterstain Hematoksilin.
Imunoreaktivitas positif terhadap iNOS (
) pada organ hati
ditemukan pada endotel (E) dan makrofag (M), 20 hari p.i.
(A) Kelompok ekstrak benalu teh,
(B) Kelompok kontrol,
(C) Kelompok ekstrak benalu teh dan infeksi MDV,
(D) infeksi MDV. Bar = 30 µm.
46
Saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga
memproduksi oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi
fagololisosom
yang
bertugas
membantu
membunuh
dan
menelan
mikroorganisme. Kejadian yang penting di antaranya adalah kerja hidrogen
peroksida (H2O2), superoksida anion (O2-), dan Nitrogen oksida (NO), secara
langsung toksik terhadap bakteri (Abbas et al. 2000, Janeway et al. 2001).
Tabel 4 Rataan jumlah reaksi positif terhadap iNOS pada hati ayam 20 hari
pascainfeksi (p.i.)
Perlakuan
Rataan jumlah iNOS per lapang pandang
A
B
C
D
3,464 ± 0,208b
1,227 ± 0,271c
6,633 ± 0,305a
6,400 ± 0,265a
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang mengalami infeksi MDV
(C = 6,633) tidak mengalami peningkatan jika dibanding kelompok ayam yang
diberi perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana dan
diinfeksi MDV (D)
sebesar 6,400. Kedua kelompok ayam perlakuan baik kelompok C maupun D
mengalami peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika
dibanding dengan kelompok perlakuan A maupun perlakuan B.
Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde
synthase (iNOS) terlibat dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan
inflamasi kronis tingkat ringan, aterosklerosis, dan peningkatan tumor necrosis
factor (TNF) (Muntalib 2003). Infeksi MDV memiliki pengaruh lebih kuat
meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS jika dibandingkan dengan
pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana. Namun jika tindakan infeksi MDV
dikombinasikan dengan pemberian ekstrak S. oortiana tidak terjadi peningkatan
produksi iNOS akibat perlakuan kombinasi tersebut.
Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA
Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan ekstrak benalu teh dalam
mempengaruhi respons imun humoral terhadap MDV, dilakukan pengamatan
47
terhadap titer antibodi Marek’s secara kuantitatif dengan cara membandingkan
tingginya
titer
antibodi
antarperlakuan.
Respons
peningkatan
maupun
penurunan titer antibodi terhadap penyakit Marek pada penelitian ini
dipengaruhi oleh pemberian ekstrak S. oortiana maupun uji tantang infeksi
MDV. Pengambilan serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20,
dan 30 hari p.i., titer antibodi diukur secara kuantitatif berdasarkan tinggi
rendahnya antibodi terhadap MDV menggunakan metoda enzyme linkage
immuno sorbant assay (ELISA).
Teknik ELISA memungkinkan pengujian
secara kuantitatif kemampuan aktivitas netralisasi antibodi spesifik antigen
pada MDV.
Pada penelitian ini digunakan ayam ras petelur betina yang tidak
divaksin MDV, antibodi yang terdapat pada ayam percobaan yang tidak diuji
tantang dengan MDV (A dan B) berasal dari induk berupa antibodi maternal.
Rendahnya titer antibodi ayam perlakuan uji tantang menggunakan MDV pada
10 hari p.i. merupakan akibat dari imunosupresi. Islam (2002) dan Fadly (2000)
menyatakan bahwa ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan
kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel
yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi.
Tabel 5 Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan perlakuan
Pascainfeksi
(hari)
10
Perlakuan
0,587 ± 0,032
20
0,530 ± 0,035
30
0,656 ± 0,077
A
B
C
D
a
0,562 ± 0,063
a
0,549 ± 0,039
a
0,487 ± 0,077
ab
0,485 ± 0,044
b
1,156 ± 0,540
a
0,890 ± 0,069
a
0,577 ± 0,116
a
0,660 ± 0,069
a
0,714 ± 0,106
a
ab
a
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan. Nilai absorban pada 10 p.i. tidak
menunjukkan perbedaan nyata di antara keempat kelompok perlakuan. Hal ini
disebabkan tidak adanya pengaruh imunosupresi yang terlihat pada waktu
tersebut, walaupun ada kecenderungan rendahnya titer antibodi pada
kelompok perlakuan uji tantang MDV, yaitu kelompok C dan D.
48
Pada hari ke 20 p.i. kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh
tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar 0,530, tidak berbeda dari semua
kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak
benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai terendah sebesar 0,485 yang
berbeda (p<0.05) dari kelompok perlakuan C, yaitu yang diberi ekstrak benalu
teh dan diuji tantang MDV memiliki nilai tertinggi sebesar 1,156, dan kelompok
perlakuan D, yaitu tanpa pemberian benalu dan diuji tantang MDV
menunjukkan tidak adanya perbedaan dan semua kelompok perlakuan dengan
nilai 0,890.
Tingginya titer antibodi pada 20 hari pada kelompok perlakuan C adalah
disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana
dengan faktor imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang.
Tizard (2000) menyatakan bahwa antibodi menjaga sel dari infeksi virus
Error!
Nilai Absorbansi (415 nm)
1.4
1.2
1
A
B
C
D
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0
5
10
15
20
25
30
35
Pascainfeksi (hari)
Gambar 10 Grafik rataan nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA
10, 20, dan 30 hari pascainfeksi
Keterangan : A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
dengan cara memblok pelekatan virus pada sel target, pada infeksi virus
antibodi sebagai mediator penghancuran virus. Antibodi diproduksi oleh sistem
49
imun spesifik primer pada rekaveri pada infeksi virus dan pertahanan terhadap
serangan infeksi virus (Mayer 2003). Kandungan Mistletoe (benalu teh) yang
sebagian besar kandungannya adalah lektin, yaitu karbohidrat pengikat protein,
yang memiliki profil farmakologik dengan dua sifat, yaitu pada dosis rendah
benalu teh bekerja sebagai imunomodulator dan pada dosis tinggi sebagai
antitumor (Achi 2005).
Tabel 6 Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi (p.i) MDV
Pascainfeksi
(hari)
10
20
30
Absorbansi
0,546 ± 0,066b
0,765 ± 0,460a
0,651 ± 0,095ab
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
Terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) titer antibodi pada MDV
berdasarkan waktu pascainfeksi, yaitu pada hari ke 10 dan 20 hari p.i., pada 10
hari p.i. mengalami penurunan atau imunosupresi akibat infeksi MDV dan
kenaikan antibodi pada 20 hari pascainfeksi merupakan respons imun spesifik
pada tubuh ayam sebagai reaksi tubuh inang untuk infeksi virus tersebut. Joklik
(2000) menyatakan bahwa tubuh inang melakukan eliminasi infeksi virus
dengan melakukan serangan balik, virus mengekspresikan gen asing, pada
saat virus melakukan replikasi, pada saat yang sama tubuh melakukan
netralisasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Menurut Ada (2000) antibodi
secara spesifik dapat memberikan kontribusi untuk mengendalikan infeksi
ekstraseluler, memiliki kemampuan netralisasi infektivitas agen infeksi secara
spesifik.
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan Persentase Limfosit
Leukosit adalah sel yang yang berperan pada ketahanan tubuh yang
diproduksi pada sumsum tulang kemudian melakukan pendewasaan pada bursa
Fabricius dan timus.
50
Tabel 7 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%)
pada ayam 20 hari pascainfeksi
20 hari
pascainfeksi
Total Leukosit
(per ml)
Persentase
limfosit (%)
Perlakuan
A
B
C
a
20,300 ± 20,224
b
46,67 ± 15,044
16.757 ± 9,122
40,67 ± 25,007
b
a
D
a
45,817 ± 21,355
ab
87,666 ± 25,516
19,900 ± 8,150
65,333 ± 87,666
a
a
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Hasil uji laboratorium yang disajikan pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah
leukosit per mililiter pada kelompok perlakuan yang berbeda tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata, persentase limfosit menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan (p<0,05) di antara fraksi pada kelompok perlakuan pada ke 20
p.i. Kelompok perlakuan A, yaitu yaitu ayam yang diberi benalu teh tanpa
infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 40,67% dan perlakuan B yaitu
ayam tanpa pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar
46,67%, keduanya berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian
benalu teh dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 87,666%. Ayam yang
diberi benalu teh dan infeksi MDV memiliki nilai sebesar 65,333% tidak berbeda
dari semua kelompok perlakuan. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok
ayam yang diberi perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV
produktif menuju infeksi transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai
dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i.
Tabel 8 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%)
pada ayam 40 pascainfeksi (p.i.)
40 hari
Pasca infeksi
Perlakuan
A
B
C
D
Total Leukosit
a
a
a
a
27,067 ± 9,738
23,067 ± 5,900
34,433 ± 10,110
29,633 ± 9,767
(per ml)
Persentase
a
a
a
a
63,000 ± 7,816
42,667 ± 13,051
64,000 ± 27,221
68,667 ± 8,717
limfosit (%)
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
51
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah leukosit per ml pada semua
kelompok ayam perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun
terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang
mendapat uji tantang dengan MDV dan diberi ekstrak benalu teh S. oortiana.
Persentase limfosit pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan nyata, walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara
numerik pada kelompok ayam yang diuji tantang dengan MDV dan tanpa diberi
ekstrak benalu teh S. oortiana.
Rataan jumlah leukosit pada kelompok ayam yang diuji tantang MDV
tanpa diberi ekstrak S. oortiana (D) selalu menunjukkan angka yang paling
tinggi, selanjutnya diikuti oleh kelompok perlakuan C, B, dan A, baik pada 20
hari maupun 40 hari p.i, pada 40 hari p.i persentase limfosit secara numerik
mengalami peningkatan dibanding dengan pada 20 pasca infeksi pada semua
kelompok perlakuan.
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadaan MDV pada Bursa
Fabricius
Hasil pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa
Fabricius menunjukkan bahwa pada ayam yang diinfeksi dengan MDV tanpa
diberi ekstrak S. oortiana jumlah virusnya lebih banyak terutama pada daerah
korteks folikel limfoid dan daerah intrafolikuler kelompok ayam yang diinfeksi
dengan MDV dan diberi ekstrak S. oortiana.
Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak 10 mg/kg bb mampu menekan perkembangan virus MDV
pada 20 hari p.i.
Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka terhadap MDV, terjadi
pertambahan virus sampai hari ke -10 paskainfeksi (pi), setelah itu terjadi
penambahan virus pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada
ayam resisten (Kaiser et al. 2003). Flavonoid telah diketahui sebagai
antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik, dan
aktivitas vasodilatasi (Miller 1996).
52
D
C
Gambar 11 Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara
imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain
Hematoksilin.
(C) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV
menunjukkan reaksi positif minimal terhadap keberadaan virus (
(D) Reaksi positif ditunjukkan juga pada kelompok tanpa diberi
ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan jumlah yang
lebih banyak. Bar = 16 µm.
).
Limfosit pada Proventrikulus
Untuk mengamati seberapa jauh kemampuan ekstrak S. oortiana
menurunkan risiko neoplasma berdasarkan peubah jumlah limfosit pada
submukosa proventrikulus, dilakukan pengamatan dengan membandingkan
jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada berbagai kelompok
perlakuan pada 20 dan 40 hari p.i.
Dalam hal ini kasus penyakit Marek,
ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada proventrikulus, sel
limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan Leclerco 1992).
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) di antara fraksi kelompok ayam perlakuan pada hari ke 20 p.i.
Kelompok perlakuan, A, yaitu ayam yang dibenalu teh tanpa infeksi MDV
memiliki nilai terendah sebesar 42,40 yang berbeda dari kelompok D, yaitu
ayam tanpa pemberian benalu dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar
59,53.
Rendahnya
jumlah
limfosit
pada
kelompok
perlakuan
A
ada
kecenderungan sebagi efek dari ekstrak S. oortiana menurunkan jumlah
limfosit. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan D disebabkan oleh
53
kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming yang
menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada
20 hari p.i.
Kelompok perlakuan B, yaitu ayam tanpa pemberian ekstrak benalu teh
tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 44,67 tidak berbeda dengan kelompok
perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang yang
meiliki nilai 56,33. Kedua kelompok perlakuan B dan C tidak berbeda baik dari
kelompok A maupun D. Hasil ini menunjukkan bahwa gejala infeksi tranforming
yang menimbulkan limfoma pada proventrikulus dan pengaruh pemberian
ekstrak S. oortiana belum mampu mempengaruhi risiko neoplasma yang
disebabkan oleh tindakan uji tantang MDV onkogenik pada 20 hari p.i.
Tabel 9 Rataan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 20 hari dan 40 hari
pascainfeksi (p.i)
Jumlah limfosit
20 hari p.i
Perlakuan
A
a
42,40 ± 9,974
B
ab
44,333 ± 7,204
C
ab
56,333 ± 6,986
D
b
59,533 ± 9,752
40 hari p.i
53,400 ± 2,107a
59,800 ± 8,108a
67,000± 11,152a
93,800± 22,303b
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05).
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV
C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV
D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 40 p.i. Kelompok
perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai
terendah sebesar 53,40, tidak berbeda dengan kelompok perlakuan B, yaitu
tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 59,80
yang tidak berbeda dari kelompok perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak
benalu teh dan diuji tantang memiliki nilai 67,00. Kelompok ayam perlakuan A,
B, dan C berbeda dari kelompok D (p<0.05), yaitu tanpa pemberian benalu dan
diuji tantang MDV, memiliki nilai 59,53.
Terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kelompok ayam perlakuan D
sebagai penanda peningkatan patogenesis neoplasma pada penyakit Marek
yaitu berupa limfositosis yang disebabkan oleh uji tantang menggunakan MDV
onkogenik pada 40 hari p.i. Tingginya jumlah limfosit pada submukosa
proventrikulus pada tindakan infeksi MDV onkogenik tanpa diberi ekstrak S.
54
oortiana.
Infeksi MDV onkogen diawali infeksi akut produktif, infeksi laten,
kemudian dilanjutkan infeksi tranforming berupa limfomatosis pada organ
limfoid maupun diluar organ limfoid.
Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan
MDV onkogenik mampu menurunkan risiko neoplasma, yang ditandai dengan
menurunnya jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada kelompok ayam
perlakuan C yang berbeda dengan kelompok perlakuan D. Infus benalu teh
ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus
musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan
diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat
dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000).
Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada patogenesis Marek pada Hati
Hati merupakan salah satu organ viseral yang sangat spesifik dan
sering digunakan di dalam melakukan diagnosis secara makroskopik terhadap
infeksi MDV.
Perubahan yang khas ditandai oleh nodul-nodul tumor yang
berwarna putih dan berbentuk seperti kancing dengan permukaan yang
cembung pada lobus hati. Pada penelitian ini perubahan tersebut tidak dapat
ditemukan secara makroskopik, karena belum terjadi pembentukan tumor. Hal
kedua adalah pelaksanaan penelitian untuk menciptakan tumor dengan infeksi
MDV ini dilakukan pada periode yang sangat singkat. Pemeriksaan hati secara
histologik menunjukkan hasil bahwa pemberian ekstrak benalu teh saja akan
meningkatkan jumlah sel Kupfer atau dapat bertindak sebagai imunostimulator.
Namun temuan secara histologi ini masih perlu dikonfirmasi dengan penelitian
lanjut dengan lebih mendalam atau diperlukan dukungan dari data yang lain.
Perubahan yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel
limfoid dan makrofag pada organ hati. Pada kelompok C, yaitu ayam yang
diberi ekstrak benalu teh, ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel
limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih
sedikit dibandingkan dengan hati pada kelompok D (infeksi MDV). Sebagai
ilustrasi hasil-hasil tersebut dijelaskan pada Gambar 10.
Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor
kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh
55
tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan
saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000).
A
B
C
D
Gambar 12 Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).
(A) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh terjadi peningkatan
jumlah sel-sel Kupfer dan sel limfoid (
),
(B) kelompok kontrol,
(C) diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV terjadi penekanan
pada pertumbuhan sel tumor,
(D) infeksi MDV menyebabkan infiltrasi sel-sel limfosit dalam jumlah
yang melimpah (+++) di daerah portal. Bar = 30 µm.
56
PEMBAHASAN UMUM
Pada infeksi produktif MDV terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein
yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak,
dan membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi, terjadi sitolisis
sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan
sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa
Fabricius dan timus (Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002).
Kerusakan jaringan sebagai konsekuensi infeksi pada umumnya
disebabkan oleh respons imun inang terhadap mikroba serta produknya dan
bukan disebabkan oleh mikroba bersangkutan (Kresno 2004). Radikal bebas
diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, yang diperlukan oleh sel imun
untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya. Dalam keadaan produksi
yang berlebihan, yaitu pada kondisi patogenik, radikal bebas menyebabkan
kerusakan sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Eritrofagositosis juga
terjadi pada penyakit Marek oleh makrofag. Dalam kondisi ini dibutuhkan
keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam
menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat
serta mengatur ekspresi gen (Gilka dan Spencer 1995, Wu dan Meydani 1999).
Struktur molekul antioksidan bukan hanya memiliki kemampuan
melepas atom hidrogen tetapi juga mengubah radikal menjadi reaktivitas
rendah sehingga tidak terjadi reaksi dengan lemak. Antioksidan terdiri atas
antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan
eksogen yang berasal dari makanan (Jadav et al. 1996, Manampiring et al.
2000). Diet antioksidan eksogen mencegah kerusakan seluler melalui reaksi
yang dilakukan oleh radikal bebas. Ayam yang diberi pakan diet semisintetik
rendah antioksidan menunjukkan penurunan stabilitas eritrosit terhadap H2O2
atau 2,2’-azobis (2-amidinopropan) dihidrokhlorid (AAPH), tetapi peningkatan
pada aktivitas katalase pada hepar, karbonil pada protein otot tak larut, dan
peningkatan
oksidasi lemak pada perlakuan pemanasan
pada
hepar
dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan konvensional. Pada percobaan
ini, ayam model menjadi lebih peka terhadap perubahan oksidatif daripada
ayam yang diberi pakan konvensional, yang ditunjukkan oleh rendahnya
pertahanan antioksidan (Young et al. 2002).
57
Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak
ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K3Fe (CN)6], menghambat
oksidasi asam linoleat, kemampuan eliminasi terhadap H2O2 ((Leswara dan
Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandari 2002).
Uji aktivitas antioksidan
menggunakan radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), dilakukan pada
ekstrak daun benalu teh S. oortiana (ekstrak n-heksan, etilasetat, metanol, dan
air). Aktivitas antioksidan ditentukan dengan nilai IC50 (ug/ml). Berdasarkan
kurva konsentrasi (ug/ml) dengan peredaman radikal bebas (%) terlihat bahwa
vitamin C sebagai kontrol positif memiliki potensi antioksidan tertinggi dengan
nilai IC50 65,51, artinya dengan konsentrasi 65,51 ug/ml dapat menghambat
50% kerja radikal bebas DPPH. Semakin rendah nilai IC50 semakin tinggi
potensi antioksidannya. Nilai IC50 ekstrak n-heksan adalah 697,68 ug/ml,
ekstrak etilasetat adalah 617,03 ug/ml, ekstrak metanol 93,59 ug/ml, dan
ekstrak air adalah 121,17 ug/ml (Simanjuntak 2004).
Pada penelitian ini digunakan ekstrak benalu teh S. oortiana dengan
dosis 10 mg/kg bb pada ayam yang diinfeksi MDV onkogenik. Dosis ini
digunakan untuk mencegah sitolisis bursa Fabricius dan timus yang diukur
berdasarkan bobot relatif organ tersebut dan ukuran diameter folikel bursa
Fabricius pada 20 dan 40 hari p.i. Menurut Fadly (2000) replikasi virus herpes
pada bursa Fabricius dan timus menimbulkan imunosupresi transien,
perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. Pada infeksi
eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius yang mengalami degenerasi folikuler,
nekrosis limfoid sehingga mengalami atropi, dan pembentukan kista.
Ekstrak benalu teh (S. oortiana) berkhasiat sebagai imunomodulator
karena mampu meningkatkan rataan bobot relatif bursa Fabricius, bobot relatif
timus, dan
diameter folikel bursa Fabricius. Hasil tersebut tercermin dari
peningkatan rataan bobot realatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang
diberi ekstrak S. oortiana dibanding kelompok yang diberi ekstrak dikombinasi
dengan infeksi MDV maupun kelompok ayam yang hanya diinfeksi MDV 20 hari
p.i. Bobot relatif timus pada kelompok ayam yang diberi ektrak S. oortiana dan
diinfeksi MDV tidak mengalami penurunan pada 20 hari pascainfeksi. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak S. oortiana mampu menghambat imunosupresi
akibat infeksi MDV. Pada pengamatan ini terjadi peningkatan rataan diameter
58
folikel bursa Fabricius 40 hari pascainfeksi pada kelompok ayam perlakuan
kombinasi ekstrak S. oortiana dibanding dengan semua kelompok perlakuan.
Ekstrak benalu teh spesies Scurrula atropurpurea mengandung 16
bahan bioaktif yang terdiri atas dari enam senyawa asam lemak, dua santin,
dua glikosida flavonol, satu glikosida monoterpen, satu glikosida lignan, dan
empat flavon (Ohashi et al. 2003).
Kemampuan benalu teh menghambat
kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas berkaitan dengan
aktivitas bahan aktif pada benalu teh sebagai antioksidan. Daun dan batang
tanaman ini mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan
tanin yang berperan sebagi antioksidan (Windardi dan Rahajoe 1998, Achi
2005). Potensi flavonoid sebagai antioksidan dan kemampuannya mengurangi
aktivitas radikal hidroksi, anion superoksida, dan radikal peroksida lemak
menjadikan flavonoid bereperan penting dan sangat erat kaitannya dengan
proses dan epidemiologi penyakit (Larbier dan Leclerco 1992, Miller 1996).
Pada imunitas nonspesifik hewan mengaktivasi makrofag untuk
memproduksi agen penghancur produk mikroba dengan cara mensintesis nitric
oxyde synthase. Enzim ini menggunakan NADPH dan oksigen untuk
mengaktivasi L-arginin untuk memproduksi nitrit oksida (NO) dan sitrulin
(Tizzard 2000). Keberadaan iNOS berdasarkan reaksi positif dengan
pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas
sel-sel dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel Kupffer maupun sel endotel.
Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A)
mengalami
peningkatan
pembentukan
iNOS
yang
lebih
banyak
jika
dibandingkan dengan kelompok ayam tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa
infeksi MDV (B).
Nitrit oksida merupakan molekul yang penting yang mempengaruhi
sistem kardiovaskuler. Nitrit oksida merupakan senyawa yang bersifat toksik
dan berumur pendek, berupa molekul gas yang diproduksi oleh enzim inducible
NO synthase, dengan cara mengubah asam amino arginin menjadi NO dan
sitrulin (Beccker et al. 2000). Molekul NO berperan penting sebagai regulator
kardiovaskuler, meningkatkan
tekanan darah, diproduksi oleh neuron dan
makrofag. Nitrit oksida memiliki jumlah elektron ganjil dan sebagai radikal
bebas, molekul ini relatif stabil namun bereaksi cepat bila bertemu dengan
senyawa yang mengandung elektron yang tidak berpasangan, misalnya
59
molekul oksigen, anion superoksida dan ion logam (Cambel dan Smith 2001).
Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi,
antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Larbier dan Leclerco
1992, Miller 1996).
Infeksi MDV mampu meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS
baik pada kelompok yang diberi ekstrak maupun tanpa diberi ekstrak S.
oortiana dibanding dengan kelompok ayam tanpa infeksi. Hal ini menunjukkan
bahwa infeksi MDV mampu meningkatkan produksi iNOS sebagai bagian dari
respons imun nonspesifik. Feng et al. (2002) menyatakan pertumbuhan dan
metastasis tumor bergantung pada bertambahnya suplai darah melalui
angiogenesis, ekspresi yang berlebihan dari iNOS dan vascular endothelial
growth factor (VEGF) menginduksi angiogenesis pada tumor. P53 menekan
angiogenesis dengan cara menurunkan VEGF dan iNOS.
Sesuai dengan pendapat Xing dan Schat (2000) peran sitokin pada
patogenesis dan imunitas terhadap MD, yang diinduksi oleh virus herpes
menyebabkan limfoma pada sel T. Pada ayam umur 21 hari yang diinfeksi
MDV, dilaporkan terjadi peningkatan transkipsi IF-Y setelah 3 hari p.i sampai
akhir percobaan, yaitu 15 hari p.i, ketika iNOS dan IL-1ß mengalami
peningkatan antara 6 sampai 15 hari p.i. Pada ayam umur 1 hari p.i mRNA
untuk mengekspresikan IF-Y dan iNOS, meningkat antara 16 sampai dengan
64 kali pada 9 hari p.i. Kesimpulan dapat diambil bahwa iNOS berperan pada
patogenesis MD.
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun
pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan
sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan
limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit.
Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami
transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi (Sharma 1991).
Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada
infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus (Mayer 2003).
Pengambilan serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20, dan
30 hari p.i., titer antibodi diukur secara kuantitatif berdasarkan tinggi rendahnya
antibodi terhadap MDV menggunakan metoda enzyme linkage immunosorbent
assay (ELISA).
60
Meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada 20 hari kelompok
perlakuan pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) lebih tinggi daripada
kelompok tanpa pemberian benalu teh dan tanpa infeksi MDV (B). Hal ini
disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana
dengan faktor imunostimulasi sebagai respon imun akibat tindakan uji tantang.
Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan infeksi
virus dan pertahanan terhadap serangan infeksi virus (Mayer 2003). Tanaman
benalu teh S. artopurpurea secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit
kanker. Aktivitasnya sebagai antikanker adalah secara tidak langsung, yaitu
melalui
sistem
kekebalan
dengan
cara
meningkatkan
konsentrasi
imunoglobulin G (IgG). Pemakaiannya sebagai obat antitumor atau antikanker
menimbulkan dugaan bahwa bahan tersebut bersifat imunostimulator, yaitu
meningkatkan konsentrasi IgG (Winarno et al. 2000).
Pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius
menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan
MDV dan diberi ekstrak S. oortiana. Secara umum jika antigen diinjeksikan
pada hewan, kemudian hewan tersebut akan memproduksi antibodi untuk
menangkap antigen tersebut dan menghancurkannya. Antibodi bersifat spesifik
dan hanya berikatan dengan antigen yang menstimulasi produksi antibodi
tersebut. Produksi antibodi membutuhkan waktu interval beberapa hari setelah
injeksi, dan puncak tertinggi tercapai pada 10-14 kemudian mengalami
penurunan (Tizzard 2000).
Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan
MDV onkogen mampu menurunkan risiko kanker yang ditandai dengan
penurunan persentase limfosit pada leukosit ayam yang diberi benalu teh dan
diinfeksi MDV pada 20 hari p.i dan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 40
hari p.i pada kelompok ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi yang berbeda
dengan kelompok ayam tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi.
Perubahan
histopatologi pada 40 hari p.i yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi
sel-sel limfoid dan makrofag pada organ hati.
Kelompok ayam yang diberi
ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV ternyata mampu menekan pertumbuhan
sel-sel limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang
lebih sedikit dibandingkan dengan hati
ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV.
pada kelompok ayam tanpa diberi
61
Induksi apoptosis pada sel tumor adalah sangat penting dalam
manajemen baik pada pencegahan maupun terapi kanker (Trapdhar et al.
2001). Katehin efektif menghambat proliferasi sel Hela sampai dengan 60%
dengan cara meningkatkan adesi sel dan meningkatkan apoptosis (Fernandez
2006). Katehin adalah salah satu komponen utama yang terdapat dalam teh
dan benalu teh yang mempunyai daya aktivitas menghambat kanker. Teh
memiliki kandungan katehin paling tinggi dibanding dengan semua benalu teh,
yaitu sebesar 3,1735% dan yang paling tinggi di antara benalu teh adalah S.
oortiana bagian daun sebesar 1,3692%, S. junghunii sebesar 1,1497%,
Lepeostegeres gemmiflorus sebesar 0,8631%, dan Dendropthoe
pentandra
sebesar 0,7437% (Simanjuntak et al. 2006).
Dua struktur fenol, yaitu lignan dan flavonoid, memiliki peran sebagai
antioksidan dan juga mencegah perubahan dari prokarsinogen menjadi
karsinogen atau mengeliminasi radikal bebas, dan pada usus mereduksi risiko
kanker di bagian kolon (Aldercreutz 1996). Hasil isolasi dan eludasi struktur
kimia benalu teh Scurrula artopurpurea (Lorantaceae) diperoleh senyawa
berikatan rangkap tiga, asam oktadeka 8,10,12 tryonat (1) yang telah diuji
terhadap sel kanker dan mempunyai inhibisi sebesar 94,9% pada konsentrasi 5
µg/ml. Sementara itu kandungan senyawa flavonoid, katehin (2) dan epikatehin (3) yang terlebih dahulu dikenal sebagai pencegah serangan kanker
mempunyai daya inhibisi sebesar 34% pada 10 µg/ml (Ohashi et al, 2003)
Tiga senyawa flavonoid alam telah diisolasi menggunakan etil asetat
yang berasal dari fraksinasi S. feruginosa.
Flavonoid tersebut
kuersetin, kuersetrin, dan flavonol glikosida 4-O-asetil kuersetrin.
terdiri atas
Evaluasi
daya sitotoksik pada kultur jaringan kanker glioblastoma manusia menunjukkan
bahwa kuersetin memiliki aktivitas tertinggi (Le Dévéhat et al. 2002). Senyawa
polifenolat alam, termasuk flavonoid yang disintesis oleh tanaman, mampu
memperbaiki kesehatan. Kuersetin dan kuersetin glikosida yang tersebar pada
flavonoid banyak ditemukan pada buah dan sayur. Senyawa ini secara luas
berperan pada perbaikan kesehatan sehingga menjadi penting dan menarik
(Boyer et al. 2005, Lila et al. 2005). Degradasi isoflavon dan flavonoid dalam
saluran pencernaan menjadi senyawa monofenolat memiliki daya tarik karena
beberapa monofenolat memiliki sifat berefek sebagai antiproliferatif, misalnya
senyawa metil p-hidroksifenolat dapat menghambat sel MCF-7 secara in-vitro
62
(Hendrich et al. 1999). Ikatan dengan protein menghasilkan pelapisan
substansi yang merupakan kapasitas antioksidan flavonoid. Pada kejadian ini
penambahan aktivitas intrinsik dari senyawa, metabolisme, ikatan terhadap
protein juga menentukan untuk mempengaruhi efek pemberian flavonoid
secara invivo (Arts et al. 2002).
Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor
kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh
tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan
saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Ekstrak
batang maupun daun Scurrula oortiana mampu meningkatkan sensitivitas atau
suseptibilitas pada sel WEHI-164 pada TNF-α, peningkatan sensitivitas lebih
dari 160 kali dibanding dengan sel kontrol tanpa perlakuan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak air S. oortiana secara nyata bersifat sitotoksik
pada sel tumor WEHI-164 dan meningkatkan sensitivitas sel tumor pada TNF-α
sehingga mengalami lisis (Murwani 2003).
Potensi ekstrak benalu teh S. oortiana sebagai imunomodulator ditandai
dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang
diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus pada kelompok
ayam yang diberi benalu teh MDV tidak mengalami penurunan akibat infeksi
MDV pada 20 hari p.i. Terjadi peningkatan diameter folikel bursa Fabricius
pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV, pada
40
hari
p.i.
Imunitas
nonspesifik
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
imunohistokimia memperlihatkan peningkatan pembentukan iNOS pada ayam
yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV, pada 20 hari p.i. Imunitas humoral,
yaitu titer antibodi terhadap MDV terjadi peningkatan pada kelompok ayam
yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV, pada 20 hari p.i.
Ekstrak benalu teh S. oortiana mampu menurunkan jumlah virus MDV
pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV pada
20 hari p.i. Kemampuan menurunkan risiko kanker ditandai dengan
menurunnya persentase limfosit pada leukosit 20 hari p.i, jumlah sel-sel limfosit
pada submukosa proventrikulus dan perubahan histopatologi pada organ hati
menunjukkan penurunan jumlah sel-sel limfoid pada kelompok ayam yang
diberi benalu teh dan diinfeksi MDV, pada 40 hari p.i.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui ada interaksi antara
pemberian ekstrak benalu teh Scurrula oortiana
dengan perkembangan
(uji
tantang) infeksi Marek Disease Virus (MDV) onkogenik pada ayam petelur:
Infeksi (uji tantang) MDV onkogenik dengan dosis 1.0 X 103 TCID50 pada
ayam ras petelur betina menimbulkan imunosupresi pada 20 hari pascainfeksi (p.i.)
dan terjadi pemulihan menjadi normal pada 40 hari p.i.; berdasarkan bobot relatif
bursa Fabricius dan timus serta ukuran diameter folikel bursa Fabricius.
Infeksi
MDV mampu menimbulkan neoplasma pada 20 hari p.i dan terjadi peningkatan
patogenitas berdasarkan jumlah limfosit yang ditemukan pada proventrikulus dan
organ hati 40 hari p.i.
Pemberian ekstrak S. oortiana dosis 10 mg/kg bb pada ayam ras petelur
betina berpotensi sebagai imunomodulator, yang ditandai dengan peningkatan bobot
relatif bursa Fabricius dan timus pada 20 hari p.i, dan meningkatkan diameter folikel
bursa Fabricius pada 40 p.i. Pengaruh pada imunitas nonspesifik ditandai dengan
meningkatnya kadar inducible Nitric Oxide Syntase (iNOS) pada organ hati 20 hari
p.i. Pengaruh pemanfaatan ekstrak benalu teh terhadap imunitas humoral ditandai
dengan meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada kombinasi pemberian
ekstrak benalu teh dengan uji tantang MDV 20 hari p.i.
Khasiat ekstrak S. oortiana memiliki potensi sebagai antivirus, yang ditandai
dengan kemampuannya menghambat perkembangan MDV pada bursa Fabricius 20
hari p.i. Ekstrak S. oortiana juga mampu mengurangi risiko neoplasma, yang
ditandai dengan menurunnya persentase limfosit pada leukosit 20 hari p.i. dan
jumlah limfosit pada proventrikulus dan organ hati 40 hari p.i.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Celluler and Molecular Immunologi. 4th
Ed. W.B. Ssaunders Company. Harcourt Health Science Company.
Achi AA. 2000. Misletoe and Clinical Use. US Pharm 30101: 12-18.
Ada GL. 2000. Challenges of Chronic Persisting Infection of Global Importance for
Vaccine Developers. Biosciece. Ed. CA. Pasternak. Imperial College Press.
Adhami M, Nihal A, Hasan M. 2003. Targets for green tea in prostate cancer
prevention. J Nutr 133: 2417S-2424S.
Agapov II. et al. 1999. Mistletoe lectin dissociates into catalytic and binding
subunits before translocation across the membrane to the cytoplasm. FEBS
Letters (452): 211-214.
Aldercreutz H. 1996. Lignan and isoflavonoids: epidemiology and possible role in
prevention of cancer. Natural antioxidants and food quality in
atherosclerosis and cancer prevention. Edited by Kumpulainen JT and
Salonen JT. The Royal Scociety of Chemistry Information.
Arnelia 2006. Fito-kimia komponen ajaib cegah PJK, DM dan kanker. Puslitbang
Gizi.
Lmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
File:///E:/[email protected].
[Januari 2007].
Anobile JM et al. 2006. Marek’s oncogene. J Virol 80 (3): 1160-166.
Arts MJ, et al. 2002. Interaction between flavonoids and proteins: Effect on the total
antioxidant capacity. J Agric Food Chem 50:1184-1187.
Baigent SJ, RossLJN, Davison TF. 1996. A flow cytometric method for identifying
Marek’s disease virus pp38 expression in lymphocyte subpopulation. Avian
pathol 25: 255-267.
Barrow AD, Burgess SC, Howes K, Nair VK. 2003. Monocytosis is associated with
the onset of leukocyte and viral infiltration of the brain in chickens infected
with the very virulent Marek’s disease virus starin C12/130. Avian Pathol
(32): 183-191.
Becker, Maydani. 1984. dalam Benedict AA. 1999. Immunology role of Antioxidant
Vitamine. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu.
N.I. Temple and M.L.Garg).
Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2000. The Word of the Cell. The
Benjamin/Coming Publishing Company.
Benedich A. 1999. Immunological role of antioxidant vitamins. Antioxidant in human
health and disease. Edited : Basu TK, Temple NJ, Garg ML. University of
Newcastle Collaghan, NSW Australia. Cabi Publishing.
Benchimol S dan Minden MD. 1998. Virus, oncogenes, and tumor supressor genes.
The basic science oncology. 3rd edition. Editor Tannock IF dan Hill RP.
McGraw-Hill Healt Preofesion Devision.
Blokhina O, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2003. Antioxidant, Oxidative Damage and
Oxygent Deprevation Stress. Ann Bot 91: 179-194.
65
Boyer J, Brown D, Liu RH. 2005. Invitro digestion and lactase treatment Influence
uptake of quercetin and quercetin glukosida by the caco-2 cell monolayer.
Nutr J Doi 10.1186: 1491.
Buhler DR.
2003.
Antioxidant Activities of Flavonoids.
Departement of
Environmental and Molecular Toxicology Oregon State University. Ipi
@oregontate.edu [12 Oktober 2005]
Burgess SC, Davison TF. 2002. Identification of the Neoplastically Transformed
Cells in Marek’s Disease Herpesvirus-Induced Lymphomas : Recognition
by the Monoclonal Antibody AV37. J Virol 7276-7292
Cann A.J. 1997. Principle of Molecular Virology. Acdemic Press. 2nd Edition Capter
6.
Calnek BW, Harris RW, Bucaglia C, Schat KA, Lucio B. 1998. Relationship between
the immunosuppressive Potential and the pathotype of marek’s disease
virus isolates. Avian disease 42:124-132.
Cambell PN, Smith AD. 2000. Biochemistry Illustrated. 4th Edition. Churchill
Livingstone.
Chevile NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. 2nd. Ed. Iovastate University
Press/AMS.
Cho
K-O, Ohashi K, Onuma M. 1999. Electron microcopic and
immunohistochemical localization of Marek’s disease (MD) herpesvirus
particles in MD Skin Lymphomas. Vet Pathol 36: 314-320.
Crowell JA. 2005. The chemopreventive agent development research program in
the Division of Cancer Prevention of the US National Cancer Institute : An
overview. www.ejconline.com. [ 6 July 2005].
Davison F. 1997. The immunology of marek’s disease. World Poultry Dec. 1997:
15-16.
Devehat Fl, Tomasi S, Fontanel, Boustie J. 2002. Flavonoid from Scurrula
ferruginosa Danser Lorantaceae).
Djeraba A, et al. 2002. Protective Effect of Avian Myelomonocytic Growth Factor in
Infection with Marek’s DiseaseVirus.File:///D:/SAMSI%20(G) /Protective%20
Effect%20of%20Avian%. [14 Agustus 2006]
Dohms JE. 1991. Mekanisms of Immunosupresssion. Vet Immunol and
Immunopathol 30: 19-30.
Dorai T, Agrawal BB. 2004. Role of chemopreventive agents in cancer therapy.
www.sciencedirect.com. [ 14 Agustus 2006].
Fadly AM. 1997. The etiology and pathology of marek’s disease. World Poultry
December 1997: 8-9.
Fadly AM. 2000. Neoplastic disease. Disease of Poultry. Ed. Saif YM. Iowa State
Pr. A Blackwell Publishing Company.
Feng et al. 2002. Expression of p53, inducible nitric oxide synthase and vascular
endothelium growt factor in gastric cancerous lesions : corelation whith
clinical features. BMC Cancer 20: 2-8.
66
Fernandez XA et al. 2006. Chemopreventive Activity of Polyphenolics from Black
Jamapa Bean (Phaseolus vulgaris L.) on HeLa and HaCaT Cells. J Agric
Food Chem 54: 2116-2122.
Flora SD, Ferguson LR. 2005. Overviuw of mechanisms of cancer chemopreventive
agents. Mutation reseach 591: 8-15.
Gerhäuser C. et al. 2005. Mechanism-based in vitro screening of potential cancer
chemopreventive agents. www.elsevier .com/locate/molmut. [ 14 Augustus
2006].
Gilka F, Spencer JL. 1995. Extravascular haemolytic anameimia in chicks infected
with highly pathogenic marek’s disease viruses. Avian Pathol (2) : 393410.
Gimeno IM. Et al. 2005. The pp38 gene of marek’s disease virus (MDV) is
necessary for cytolytic Infection of B cells and maintanance of the
transformed state but not for cytolytic infection of the feather follicle
epithelium and horizontal spread of MDV. J Virol 4545-4549.
Hendrich S, Wang G-J, Lin H-K, Xu X, T B-Y, Wang H-J, dan Murphy P.1999
Isoflavon Metabolism and Bioavalability. Antioxidant Status, Diet, Nutrition,
and Health. Edited by Papas A m. CRC Pr.
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extracts. First edition. Published by Chapman and Hall, London.
Howell NK, Saeed S. 1999. The effect of Antioxidants on the Prduction of lipid
Oxidation Product and Transfer of Free Radicals Oxidazed Lipid-Protein
Systems. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu.
N.I. Temple and M.L.Garg).
Hunt RC. 2003. Virology Chapter Six “Oncogenic Virus” Microbiology and
Immunology. University of South Carolina.
Hursting SD. et al. 2005. The utility of genetically altered mouse models for
nutrition
and
cancer
chemoprevention
research.
www.elsevier
.com/locate/molmut. [ 14 Augustus 2006].
Imeh U, Khokhar S. 2002. Distribution of conjugated and free phenols in fruits :
antioxidant activity and cultivar variations. J Agric Food Chem (50): 63016306.
Islam AMFMF et al. 2002. Immunosuppresive effects of marek’s disease virus
MDV) and herpesvirus of turkey (HVT) in broiler chickens and protective
efect of HVT vaccination challenge. Avian Pathol 31: 449-461.
Ito H. et al. 2002. Antitumor activity of compounds isolated from leaves of
eryobotrya japonica. J Agric Food Chem (50): 2400-2403.
Jadav SJ, Nimbakar SS, Kalkuni AD, dan Madhavi. 1996. Lipid oxidation in
biological and food systems. Food Antioxidant. Marchel Dekker Inc.
Janeway CA, Paul T, Mark W, Mark JS. 2001. Immuno Biology. Fifth Edition.
Garland Publishing, New York.
Joklik WK. 2000. The way ahead for virology : Molecular pathogenesis. Bioscience
Ed. C.A. Pasternak. Imperial College Press.
67
Kamdem RE, Shengmin S, Chi TH. 2002. Mechanism of the superoxide
scavenging activity of neoandrographolide-A natural product from
andrographis paniculata Nees. J Agric Food Chem. (50): 4662-4665.
Kaiser P, Underwood G, Davison F. 2003. Differential cytokine responses following
Marek’s disease virus infection in chickens differing in resistance to Marek’s
disease. J Virol Jan: 762-768.
Khokhar S, Magnusdottir SGM. 2002. Total phenol, catechin, and caffeine
contents of teas commonly consumed in the united kingdom. J Agric Food
Chem (50): 565-570.
Kim DO, Lee KW, Lee HJ, Lee CY. 2002. Vitamin C Equivalent Antioxidant
Capacity VCEAC) of Phenolic Phytochemicals. J AgricFood Chem 50: 37133715.
Kingham BF, Vladimir Z, Juraj K, Vladimir M, Erik N. 2001. The genome of
herpesvirus of turkeys : comparative analysis with Marek’s disease viruses.
J General Virol (82): 1123-1135.
King MW. 2001. Proto-oncogenes and Cancer. Return to Medical Bichemistry
Page. IU School Medicine.
Kresno SB. 2004. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi
keempat. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Krishnamachari V, Lanfang HL, Paul WP. 2002. Flavonoid oxidation by the radical
geberator AIBN : A unified mechanism for quercetin radical scavenging. J
Agric Food Chem (50) : 4357-4363.
Kuby 1999. Immunology. W.H. Freemasn Company. New York 3rd Edition.
Kuhnlein U, Ni L, Weigend S, Gavora JS, Fairfull w, Zanworny D. 1997. DNA
polymorphisms in the chicken growth hormone gene : response to selection
for diseae resistance and association with egg production. Anim Genetics
(28): 116-123.
Larbrier M dan Loeclerco B. 1992. Nutrition and Feeding Poultry. Nottingham
University Press.
Lesourd BM, Mazari L, Ferry M. 1998. The role of nutrition in immunity in the aged.
Nutr Rev 56, 1. S113-125.
Leswara DN, Kartin. 1998. Perbandingan daya antioksidan bebrapa jenis benalu
menggunakan metode spektrofotometri. Warta Tumbuhan Obat Indones 4:
10-12.
Lila MA, Gad GY, Yong J, Connie MW. 2005. Sorting out bioactivity in flavonoid
mixtures. Symposium : Relative Bioactivity of Functional Foods and Related
Dietary Supplements. J Nutr 135: 1231-1235.
Lohellt TU. 2006. Relevant oncogen viruses in Vetinary Medicine original
pathogens and animal model for human disease. Mic Basel 13:101-103.
Maillard MNP, Cuvelier ME, Berset C. 2003. Antioxidant activity of phenolic
compounds in 2,2’-Azobis (2-amidinopropane) dihydrochloride (AAPH)induced oxidation: Synergistic and Antagonistic Effects. Paper no. J10513
in JAOCS 80. 1007-1012.
68
Manampiring AE, Asyari SR, dan Arifin Z. 2001. Pengaruh kebiasaan menonsumsi
tempe dan kebiasaan mengonsumsi ikan terhadap kadar molandinoldehida
dan vitamin E plasma darah. Sains Kesehatan. 14(2). Mei: 208-219.
Marinetti GV. 1990. Disorders of Lipid Metabolism. University of Rochester Medical
Center Rochester, New York. Plenum Press. New York and London.
Mayer G. 2003. Virology Chapter Twelve “Virus Host Interactions” University of
South Caorlina.
Merry et al. 1989. dalam Benedict AA. 1999. Immunology role of Antioxidant
Vitamine. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu.
N.I. Temple and M.L.Garg).
Miller AL.1996. Antioxidant Flavonoids: Structure, Function and Clinical Usage.
File://C: Documents and Settings/jurnal Flavonoids. 8/24/2004.
Montbriand MJ. 2004. Herb or natural product that protect againt cancers Growth.
Oncol Noursh Forum 31. 6: E127.
Morpho S. 2006. Genomic cancer therapy to become reality. Decision news
media. File:///D:/SAMSI%20(G)/A%20genomic.htm. [21 Desember 2006].
Mulyono AW, Muhtadi A. 2001. Penapisan Aktivitas Antioksidan in vitro dari
Berbagai Tumbuhan Obat. Laporan Penelitian Dasar. Fakultas Farmasi
Universitas padjadjaran.
Muntalib KS. 2003. Sintesis NO dan sindrom chaos. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Murwani R. 2003. Indonesian tea misletoe (Scurrula oortiana) stem exstract
increase
tumour
cell
sensitivity
to
tomour
necrosis
factor
(TNFalpha).Laboratory of Nutritional Biochemistry, Faculty of Animal
Agriculture, Center for Traditional Food Studies, Research Institute,
Diponegoro University, Kampus Tembalang, Semarang 50275, Indonesia.
[email protected] [21 Desember 2006]
Murphy KJ. et al. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa
(Theobroma cacao) inhibit platelet function1-3. Am J Clin Nutr (77): 14661473.
Murthy KNC, Jayaprakasha GK, Singh RP. 2002. Studies on antioxidant activity of
pomegranate (Punica granatum) peel extract using in vivo models. J Agric
Food Chem (50): 4791-4795.
Noguchi N dan Niki E (1999). Chemistry of Active Oxygen Species and Antioxidant.
Antioxidant Status, Diet, Nutrition, and Health. Edited by Papas A M. CRC
Press Boca Roton, London, New York, Washington DC.
Nugroho YA, Nuratmi B, Suhardi. 2000. Daya Hambat Benalu teh (Scurrulla
atropurpurea) (Bl.). Danser terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu
Mencit (Mus musculus L) C3H. Cermin Dunia Kesehatan. 127: 15-17.
Osborn HT, Casimir CA. 2003. Effects of Natural Antioxidants on Iron-Catalysed
Lipid Oxidation of Structured Lipid-Based Emulsions. Paper no.J10520 in
JAOCS 80, 847-852.
69
Ohashi K, et al. 2003. Cancer cell invasion inhibitory effects of chemical
constituents in the parasitic plant Scurrula artopurpurea (Lorantaceae).
Chem pharm bull. 51(3): 343-345.
Painter FM. 2003. Natural Agents in the Prevention of Cancer Part I : Human
Chemoprevention Trials.File:///D:/SAMSI%20(G)/Lymphoma%203 care.htm.
[14 Agustus 2006].
Parcells MS, Dienglewicz RL, Anderson AS, Morgan RW. 1999. Recombinant
marek’s disease virus (MDV)-derived lymphoblastoid cell lines : Regulation
of a marker gene within the context of the MDV genome. J Virol. Feb: 13621373.
Parke DV. 1999. Nutritional Antioxidants and Disease Prevention Mechanism of
Action. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu. N.I.
Temple and M.L.Garg).
Payne LN, Venugopal K. 2000. Neoplastic disease: Marek’s disease, avian
leucosis and reticuloendotheliosis. Rev sci tech Int Epiz 19(2): 544-554.
Pherson JD. 2001. Proposal to Sequence the Genome of the Chicken. Washington
Universirty, Genome Sequencing Center.
Rajalaksmi D, Narasimhan S. 1996. Food Antioxidants: Sources and Metthods of
Evaluation. Food Antioxidants. Eddited by : Madhawi D>L, Deshpande S.S,
Salunkhe D.K. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hong Kong.
Redd JC, Kutbuddin SD, Adam G. 2004. The Domains of Apoptosis : A Genomics
Perspective.
www.stkes.org/cgi/content/full/sigtrans;2004/239/re9 [16
Desember 2006].
Reddy SM, Witter R. 1997. Marek’s disease virus as an evolving pathogen. World
Poultry Dec: 13-14.
Rohn S, Harshadrai MR, Jurgen K. 2002. Inhibitory effect of plant phenol on the
activity of selected enzymes. Institute of Nutritional Science, University of
Postdam, Germany. J Agric Food Chem. 50 : 3566-3571
Santoso A. 2001. Isolasi Senyawa Bioaktif yang berpotensi Antioksidan dari Banalu
Teh Scurrulla atropurpurea (Bl.) Danser. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA
Institut Pertanian Bogor.
Saroni, Astuti YN, Adjirni. 1998. Penelitian antidiare infus benalu teh (Scurrulla
Atropurpurea (Bl.) dan pada tikus. Warta Tumbuhan Indones. 4.4: 9-10.
Seifried HE, McDonald SS, Anderson DE, Greenwald P, Miller JA. 2003. The
Antioxidant Conundrum in Cancer. Division of Cancer Prevention, National
Cancer Institute, NIH. Maryland, and The Scientific Consulting Group, Inc.,
Gouthersburg Maryland. 4295-4298.
Sharma JM. 1991. Overview of Avian Immune System. Vet Immunol and
Immunopathol. 30 : 13-17.
Silalahi J. 2006. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia
Kedokteran. 153: 42-47.
Silva RF, Reddy S, Lupiani B. 2004. Expansion of a unique region in the marek’s
disease virus genome occurs concomitantly with attenuation but is not
sufficient to cause attenuation. J Virol. 78 (2): 733-740.
70
Simanjuntak P, Parwati T, Lenny LE, Tamat S, Murwani R. 2004. Isolasi dan
identifikasi senyawa antioksi dan dari ekstrak benalu teh, Scurrula oortiana
(Korth) danser (Lorantaceae). J Ilmu Kefarmasian Indones. 2. 1. April 2004:
6-9.
Simanjuntak P, Bustanussalam, Murwani R. 2006. Analisis kandungan katehin dan
epikatehin dalam beberapa ekstrak air benalu teh dan daun teh. Studi kimia
tanaman benalu teh Scurrula spp. Pusat Penelitian Biotekonologi-LIPI.
Simonsen M. 1987. The MHC of the Chicken, Genomic Structure, Gene Products,
and Resistance to Oncogenic DNA and RNA Viruses. Elsevier Science
Publishers B.V. Amsterdam. Vet Immunol and Immunopathol (17): 243-253.
Skulachev VP. 2005. The Dual Role of Oxygen in Aerobic Cells. Biosciece. Ed. CA.
Pasternak. Imperial College Press.
Steele VE, Kellof GJ. 2005. Development of cancer chemopreventive drugs based
on mechanistic approaches. Muta Res (591): 16-23
Steel RGD, Torrie JH., 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika-Suatu Pendekatan
Biometrik. Cetakan kedua. PT. Gramedia Pustaka Tama. Jakarta.
Sudihartini F. 2003. Analisis Aktifitas Glutation Peroksidase dalam Daun Benalu teh
Scurrula atropurpurea yang Difermentasi oleh Acetobacter-Saccharomyces.
Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor.
Supandiman I, Muchtar, Sidik. 2000. Keamanan Pemakaian Obat Tradisional
dalam Pelayanan Klinik. Proseding Kongres Nasional Obat Tradisional
Indonesia (Simposium Penelitian Bahan Obat Alami X). Surabaya 20-22
Nopember. 1-11.
Suradikusumah E. 1989. Bahan pengajaran kimia tumbuhan. Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat
Institut Pertanian Bogor.
Susmandari M. 2001. Antioksidan Asam Glukoronat dalam Fermentasi Daun
Benalu Teh oleh Konsorsium Acetobacter-Sacaromyces. Skripsi. Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian
Bogor.
Sweeney EC. et al. 1998. Mistletoe lectin I forms a double trefoil structure. FEBS
Letters (431): 367-370.
Tambunan RM, Bustanussalam, Simanjuntak P, Murwani R. 2003. Isolasi dan
Identifikasi Kfein dalam Ekstrak Air daun Benalu the, Scurrula junghuni,
Lorantaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1. 2: 16-18.
Tharapdar AK, Roy M dan Bharattacharya RK. 2001. Natural products as inducers
of apoptosis: Implication for cancer therapy and prevention. Current Sci. 80.
11: 1387-1397.
Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth Edition. WB
Saunders Company. Harcourt Health Sciences Company. Philadelphia,
Pennsylvania.
Walton NJ, Brown DE. 1999. Chemicals from Perspectives on Plant Secondary
Products Plants. Imperial College Press. World Scientific.
71
Williamson G, Rhodes MJ, dan Parr AJ. 1999. Disease prevention and plant dietery
substances. Chemical from prospectives on plant scondary product.
Imperial College Press. World Science.
Wilmot JP. 2006. Lymphoma. File:///D:/SAMSI%20(G)/Lymphoma%20care.htm.
[14 Agustus 2006].
Winarno MW, Sundari D, Nurtami B.2000. Penelitian aktivitas biologik infus benalu
(Scurrula atropurpurea Bl. Danser) terhadap aktivitas Sistem imun. Cermin
Dunia Kesehatan. 127: 11-17.
Winarno H. 2003. Senyawa Antikanker dari Benalu Teh. Kompas kamis 30
Oktober: 7.
Winarno H, Ohashi K, Mukai M, Simanjuntak P, Shibuya H. 2003. Uji Bioaktivitas
terhadap Invasi Sel Kanker dari Beberapa Senyawaan Flavonoid, Santin,
Terpen, dan Ligan yang Diisolasi dari Benalu the (Scurrulla atropurpurea)
Lorantaceae. Proseding Seminar dan Pameran Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia XXIV. Pusat Studi Biofarmaka LP-IPB Darmaga, Bogor 19 – 20
September 2003: 141-149.
Windardi FI, Rahjoe JS. 1988. Keanekaragaman Banlu Teh di Pulau Jawa. Warta
Tumbuhan Obat Indones. 4. 4: 25-29.
Witter RL. 1998. The Change of lanscape of Marek’s disease. Avian Pathology 27:
S46-S53. Witter RL, Gimeno IM, Reed WM, Bacon LD. 1999. An Acut Form
of Transient Paralisis induced by Highly Virulent Strains of marek’s Disease
Virus. Avian Disease 43: 704-720.
Wu D, Meydani SN. 1999. Antioxidant and Immune Function. Diet, Nutrition, and
Health. Edited by Papas A M. CRC Press Boca Roton, London, New York,
Washington DC.
Xing Z, Schat KA. 2000. Inhibitory effects of nitric oxide and gamma interferon on
in vitro and in vivo replication of marek’s disease virus. J Virol Apr: 36053612.
Yildirim A. 2001. The Antioxidant Activity of the Leaves of Cyndonia vulgaris. Turk J
Med Sci. 31: 23-27.
Young JF, Steffensen CL, Neilsen JH, Jensen SK, Stagsted J. 2002. Chicken
model for studying dietary antioxidant reveal that apple (Cox’s
orange)/Broccoli (Brassica oleracea L. var. italica) stabilizes erythrocytes
and reduces oxidation of insoluble muscle proteins and lipids in cooked
liver. J Agric Food Chem. 50: 5058-5062.
Zavala G. 1997. All Living creatures evolve. World Poultry Dec: 10 - 15.
Lampiran 1 Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari
p.i
ANOVA
Sum of
Squares
Rasio B Fab Between Groups 5.180E-06
Within Groups 3.067E-06
Total
8.247E-06
Rasio timus Between Groups 2.620E-05
Within Groups 1.455E-05
Total
4.075E-05
Rasio limpa Between Groups 2.923E-06
Within Groups 5.513E-06
Total
8.437E-06
df
3
8
11
3
8
11
3
8
11
Mean Square
1.727E-06
3.833E-07
F
4.504
Sig.
.039
8.732E-06
1.819E-06
4.800
.034
9.744E-07
6.892E-07
1.414
.308
Multiple Comparisons
Dependent Variable
Rasio B Fab
LSD
Rasio timus
LSD
Rasio limpa
LSD
Mean
Difference
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
(I-J)
BNT
NBNT
6.333E-04
BT
1.500E-03*
NBT
1.600E-03*
NBNT
BNT
-6.3333E-04
BT
8.667E-04
NBT
9.667E-04
BT
BNT
-1.5000E-03*
NBNT
-8.6667E-04
NBT
1.000E-04
NBT
BNT
-1.6000E-03*
NBNT
-9.6667E-04
BT
-1.0000E-04
BNT
NBNT
1.000E-04
BT
2.133E-03
NBT
3.533E-03*
NBNT
BNT
-1.0000E-04
BT
2.033E-03
NBT
3.433E-03*
BT
BNT
-2.1333E-03
NBNT
-2.0333E-03
NBT
1.400E-03
NBT
BNT
-3.5333E-03*
NBNT
-3.4333E-03*
BT
-1.4000E-03
BNT
NBNT
5.000E-04
BT
-3.3333E-04
NBT
9.667E-04
NBNT
BNT
-5.0000E-04
BT
-8.3333E-04
NBT
4.667E-04
BT
BNT
3.333E-04
NBNT
8.333E-04
NBT
1.300E-03
NBT
BNT
-9.6667E-04
NBNT
-4.6667E-04
BT
-1.3000E-03
Std. Error
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
5.055E-04
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
1.101E-03
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
6.778E-04
Sig.
.246
.018
.013
.246
.125
.092
.018
.125
.848
.013
.092
.848
.930
.089
.012
.930
.102
.014
.089
.102
.239
.012
.014
.239
.482
.636
.192
.482
.254
.511
.636
.254
.091
.192
.511
.091
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-5.3241E-04
1.799E-03
3.343E-04
2.666E-03
4.343E-04
2.766E-03
-1.7991E-03
5.324E-04
-2.9908E-04
2.032E-03
-1.9908E-04
2.132E-03
-2.6657E-03 -3.3426E-04
-2.0324E-03
2.991E-04
-1.0657E-03
1.266E-03
-2.7657E-03 -4.3426E-04
-2.1324E-03
1.991E-04
-1.2657E-03
1.066E-03
-2.4395E-03
2.640E-03
-4.0618E-04
4.673E-03
9.938E-04
6.073E-03
-2.6395E-03
2.440E-03
-5.0618E-04
4.573E-03
8.938E-04
5.973E-03
-4.6728E-03
4.062E-04
-4.5728E-03
5.062E-04
-1.1395E-03
3.940E-03
-6.0728E-03 -9.9382E-04
-5.9728E-03 -8.9382E-04
-3.9395E-03
1.140E-03
-1.0631E-03
2.063E-03
-1.8964E-03
1.230E-03
-5.9640E-04
2.530E-03
-2.0631E-03
1.063E-03
-2.3964E-03
7.297E-04
-1.0964E-03
2.030E-03
-1.2297E-03
1.896E-03
-7.2973E-04
2.396E-03
-2.6306E-04
2.863E-03
-2.5297E-03
5.964E-04
-2.0297E-03
1.096E-03
-2.8631E-03
2.631E-04
*. The mean difference is significant at the .05 level.
72
Lampiran 2 Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari
p.i
ANOVA
Sum of
Squares
Rasio B Fab Between Groups
.000
Within Groups
.000
Total
.000
Rasio timus Between Groups
.000
Within Groups
.000
Total
.000
Rasio limpa Between Groups
.000
Within Groups
.000
Total
.000
df
3
8
11
3
8
11
3
8
11
Mean Square
.000
.000
F
.421
Sig.
.743
.000
.000
.489
.700
.000
.000
.115
.949
Multiple Comparisons
Dependent Variable
Rasio B Fab
LSD
Rasio timus
LSD
Rasio limpa
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
BNT
NBNT
BT
NBT
NBNT
BNT
BT
NBT
BT
BNT
NBNT
NBT
NBT
BNT
NBNT
BT
BNT
NBNT
BT
NBT
NBNT
BNT
BT
NBT
BT
BNT
NBNT
NBT
NBT
BNT
NBNT
BT
BNT
NBNT
BT
NBT
NBNT
BNT
BT
NBT
BT
BNT
NBNT
NBT
NBT
BNT
NBNT
BT
Mean
Difference
(I-J)
.00001
-.00016
-.00011
-.00001
-.00018
-.00013
.00016
.00018
.00005
.00011
.00013
-.00005
.00005
.00113
-.00042
-.00005
.00107
-.00048
-.00113
-.00107
-.00155
.00042
.00048
.00155
.00024
.00040
.00028
-.00024
.00016
.00003
-.00040
-.00016
-.00012
-.00028
-.00003
.00012
Std. Error
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00019
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00134
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
.00070
Sig.
.947
.412
.557
.947
.378
.515
.412
.378
.807
.557
.515
.807
.970
.424
.759
.970
.445
.731
.424
.445
.279
.759
.731
.279
.736
.583
.701
.736
.830
.962
.583
.830
.867
.701
.962
.867
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-.0004
.0004
-.0006
.0003
-.0005
.0003
-.0004
.0004
-.0006
.0003
-.0006
.0003
-.0003
.0006
-.0003
.0006
-.0004
.0005
-.0003
.0005
-.0003
.0006
-.0005
.0004
-.0030
.0031
-.0020
.0042
-.0035
.0027
-.0031
.0030
-.0020
.0042
-.0036
.0026
-.0042
.0020
-.0042
.0020
-.0046
.0015
-.0027
.0035
-.0026
.0036
-.0015
.0046
-.0014
.0019
-.0012
.0020
-.0013
.0019
-.0019
.0014
-.0015
.0018
-.0016
.0016
-.0020
.0012
-.0018
.0015
-.0017
.0015
-.0019
.0013
-.0016
.0016
-.0015
.0017
Lampiran 3 Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 20 hari p.i
73
ANOVA
folikel
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
78759.278
3940.200
82699.478
df
3
8
11
Mean Square
26253.093
492.525
F
53.303
Sig.
.000
Multiple Comparisons
Dependent Variable: folikel
LSD
Mean
Difference
(I-J)
(I) perlakua (J) perlakua
1.00
2.00
-.97222
3.00
140.11111*
4.00
178.41111*
2.00
1.00
.97222
3.00
141.08333*
4.00
179.38333*
3.00
1.00
-140.11111*
2.00
-141.08333*
4.00
38.30000
4.00
1.00
-178.41111*
2.00
-179.38333*
3.00
-38.30000
Std. Error
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
18.12043
Sig.
.959
.000
.000
.959
.000
.000
.000
.000
.067
.000
.000
.067
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-42.7580
40.8136
98.3253
181.8969
136.6253
220.1969
-40.8136
42.7580
99.2975
182.8691
137.5975
221.1691
-181.8969
-98.3253
-182.8691
-99.2975
-3.4858
80.0858
-220.1969
-136.6253
-221.1691
-137.5975
-80.0858
3.4858
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 4 Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 40 hari p.i
74
ANOVA
folikel
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
8679.876
3461.457
12141.333
df
3
8
11
Mean Square
2893.292
432.682
F
6.687
Sig.
.014
Multiple Comparisons
Dependent Variable: folikel
LSD
(I) perlkuan (J) perlkuan
1.00
2.00
3.00
4.00
2.00
1.00
3.00
4.00
3.00
1.00
2.00
4.00
4.00
1.00
2.00
3.00
Mean
Difference
(I-J)
-14.33333
-71.20000*
-37.23333
14.33333
-56.86667*
-22.90000
71.20000*
56.86667*
33.96667
37.23333
22.90000
-33.96667
Std. Error
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
16.98395
Sig.
.423
.003
.060
.423
.010
.214
.003
.010
.081
.060
.214
.081
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-53.4984
24.8317
-110.3651
-32.0349
-76.3984
1.9317
-24.8317
53.4984
-96.0317
-17.7016
-62.0651
16.2651
32.0349
110.3651
17.7016
96.0317
-5.1984
73.1317
-1.9317
76.3984
-16.2651
62.0651
-73.1317
5.1984
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 5 Analisis ragam reaksi positif iNOS 20 hari p.i
75
ANOVA
inos
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
59.009
.500
59.509
df
3
8
11
Mean Square
19.670
.063
F
314.716
Sig.
.000
Multiple Comparisons
Dependent Variable: inos
LSD
(I) perlakua (J) perlakua
1.00
2.00
3.00
4.00
2.00
1.00
3.00
4.00
3.00
1.00
2.00
4.00
4.00
1.00
2.00
3.00
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
2.20000*
.20412
-3.16667*
.20412
-2.93333*
.20412
-2.20000*
.20412
-5.36667*
.20412
-5.13333*
.20412
3.16667*
.20412
5.36667*
.20412
.23333
.20412
2.93333*
.20412
5.13333*
.20412
-.23333
.20412
Sig.
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.286
.000
.000
.286
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1.7293
2.6707
-3.6374
-2.6960
-3.4040
-2.4626
-2.6707
-1.7293
-5.8374
-4.8960
-5.6040
-4.6626
2.6960
3.6374
4.8960
5.8374
-.2374
.7040
2.4626
3.4040
4.6626
5.6040
-.7040
.2374
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 6 Analisis ragam titer antibodi terhadap MDV
76
Tests of Between-Subjects Effects
Source
Corrected Model
Type III Sum
of Squares
1.239(a)
Intercept
11
Mean Square
.113
F
1.764
Sig.
.119
Partial Eta
Squared
.447
Df
15.419
1
15.419
241.431
.000
.910
PERL
.329
3
.110
1.718
.190
.177
UMUR
.289
2
.144
2.261
.126
.159
1.621
.185
.288
PERL * UMUR
.621
6
.104
Error
1.533
24
6.386E-02
Total
18.191
36
Corrected Total
2.772
35
a R Squared = .447 (Adjusted R Squared = .194)
Multiple Comparisons
Dependent Variable: absorb
LSD
(I) umur
10 hari
20 hari
30 hari
(J) umur
20 hari
30 hari
10 hari
30 hari
10 hari
20 hari
Mean
Difference
(I-J)
-.21933*
-.10575
.21933*
.11358
.10575
-.11358
Std. Error
.103170
.103170
.103170
.103170
.103170
.103170
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
-.43226
-.00640
-.31868
.10718
.00640
.43226
-.09935
.32651
-.10718
.31868
-.32651
.09935
Sig.
.044
.316
.044
.282
.316
.282
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: absorb
LSD
(I) perl
benalu tanpa infeksi
tanpa benalu tanpa
infeksi
benalu infeksi
tanpa benalu infeksi
(J) perl
tanpa benalu tanpa
infeksi
benalu infeksi
tanpa benalu infeksi
benalu tanpa infeksi
benalu infeksi
tanpa benalu infeksi
benalu tanpa infeksi
tanpa benalu tanpa
infeksi
tanpa benalu infeksi
benalu tanpa infeksi
tanpa benalu tanpa
infeksi
benalu infeksi
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
.04967
.119130
.680
-.19621
.29554
-.19733
-.10611
-.04967
-.24700*
-.15578
.19733
.119130
.119130
.119130
.119130
.119130
.119130
.111
.382
.680
.049
.203
.111
-.44321
-.35198
-.29554
-.49287
-.40165
-.04854
.04854
.13976
.19621
-.00113
.09009
.44321
.24700*
.119130
.049
.00113
.49287
.09122
.10611
.119130
.119130
.451
.382
-.15465
-.13976
.33709
.35198
Lampiran 7 Analisis ragam sel darah putih
dan presentase
limfosit
pada
20 p.i.
.15578
.119130
.203
-.09009
-.09122
.119130
.451
-.33709
.40165
.15465
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
77
ANOVA
sdp
limposit
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
1521.669
6198.060
7719.729
4529.583
3460.667
7990.250
df
3
8
11
3
8
11
Mean Square
507.223
774.758
F
.655
Sig.
.602
1509.861
432.583
3.490
.070
Multiple Comparisons
Mean
Difference
Dependent Varia
(I) Perlakua (J) Perlakua (I-J)
Std. Error
sdp
LSD BNT
NBNT
-5.0000022.72675
BT
-4.8333322.72675
NBT
-28.8666722.72675
NBNT
BNT
5.0000022.72675
BT
.1666722.72675
NBT
-23.8666722.72675
BT
BNT
4.8333322.72675
NBNT
-.1666722.72675
NBT
-24.0333322.72675
NBT
BNT
28.8666722.72675
NBNT
23.8666722.72675
BT
24.0333322.72675
limposit
LSD BNT
NBNT
-.66667 6.98202
BT
-24.66667 6.98202
NBT
-47.00000* 6.98202
NBNT
BNT
.66667 6.98202
BT
-24.00000 6.98202
NBT
-46.33333* 6.98202
BT
BNT
24.66667 6.98202
NBNT
24.00000 6.98202
NBT
-22.33333 6.98202
NBT
BNT
47.00000* 6.98202
NBNT
46.33333* 6.98202
BT
22.33333 6.98202
95% Confidence Interval
Sig. Lower BoundUpper Bound
.831 -57.4080
47.4080
.837 -57.2413
47.5746
.240 -81.2746
23.5413
.831 -47.4080
57.4080
.994 -52.2413
52.5746
.324 -76.2746
28.5413
.837 -47.5746
57.2413
.994 -52.5746
52.2413
.321 -76.4413
28.3746
.240 -23.5413
81.2746
.324 -28.5413
76.2746
.321 -28.3746
76.4413
.970 -39.8273
38.4939
.184 -63.8273
14.4939
.024 -86.1606
-7.8394
.970 -38.4939
39.8273
.195 -63.1606
15.1606
.026 -85.4939
-7.1727
.184 -14.4939
63.8273
.195 -15.1606
63.1606
.225 -61.4939
16.8273
.024
7.8394
86.1606
.026
7.1727
85.4939
.225 -16.8273
61.4939
*.The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 8 Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 40 p.i.
78
ANOVA
sdp
limposit
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
201.073
648.207
849.280
1199.583
2645.333
3844.917
df
3
8
11
3
8
11
Mean Square
67.024
81.026
F
.827
Sig.
.515
399.861
330.667
1.209
.367
Multiple Comparisons
Mean
Difference
Dependent Vari
(I) Perlakua(J) Perlakua (I-J) Std. Error
sdp
LSD BNT
NBNT
4.00000 7.34964
BT
-7.36667 7.34964
NBT
-1.96667 7.34964
NBNT
BNT
-4.00000 7.34964
BT
11.36667 7.34964
NBT
-5.96667 7.34964
BT
BNT
7.36667 7.34964
NBNT
11.36667 7.34964
NBT
5.40000 7.34964
NBT
BNT
1.96667 7.34964
NBNT
5.96667 7.34964
BT
-5.40000 7.34964
limposit
LSD BNT
NBNT
20.33333 4.84737
BT
-1.00000 4.84737
NBT
-5.66667 4.84737
NBNT
BNT
20.33333 4.84737
BT
21.33333 4.84737
NBT
26.00000 4.84737
BT
BNT
1.00000 4.84737
NBNT
21.33333 4.84737
NBT
-4.66667 4.84737
NBT
BNT
5.66667 4.84737
NBNT
26.00000 4.84737
BT
4.66667 4.84737
95% Confidence Interval
Sig. Lower Bound
Upper Bound
.601 -12.9483
20.9483
.346 -24.3150
9.5816
.796 -18.9150
14.9816
.601 -20.9483
12.9483
.161 -28.3150
5.5816
.440 -22.9150
10.9816
.346
-9.5816
24.3150
.161
-5.5816
28.3150
.483 -11.5483
22.3483
.796 -14.9816
18.9150
.440 -10.9816
22.9150
.483 -22.3483
11.5483
.208 -13.9048
54.5714
.948 -35.2381
33.2381
.713 -39.9048
28.5714
.208 -54.5714
13.9048
.189 -55.5714
12.9048
.118 -60.2381
8.2381
.948 -33.2381
35.2381
.189 -12.9048
55.5714
.761 -38.9048
29.5714
.713 -28.5714
39.9048
.118
-8.2381
60.2381
.761 -29.5714
38.9048
Lampiran 9 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 20 p.i.
79
ANOVA
limprove
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
652.517
590.560
1243.077
df
3
8
11
Mean Square
217.506
73.820
F
2.946
Sig.
.099
Multiple Comparisons
Dependent Variable: limprove
LSD
Mean
Difference
(I-J)
(I) prlkuan (J) prlkuan
Std. Error
1.00
2.00
-2.06667
7.01522
3.00
-13.93333
7.01522
4.00
-17.13333* 7.01522
2.00
1.00
2.06667
7.01522
3.00
-11.86667
7.01522
4.00
-15.06667
7.01522
3.00
1.00
13.93333
7.01522
2.00
11.86667
7.01522
4.00
-3.20000
7.01522
4.00
1.00
17.13333* 7.01522
2.00
15.06667
7.01522
3.00
3.20000
7.01522
Sig.
.776
.082
.040
.776
.129
.064
.082
.129
.660
.040
.064
.660
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-18.2438
14.1105
-30.1105
2.2438
-33.3105
-.9562
-14.1105
18.2438
-28.0438
4.3105
-31.2438
1.1105
-2.2438
30.1105
-4.3105
28.0438
-19.3771
12.9771
.9562
33.3105
-1.1105
31.2438
-12.9771
19.3771
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 10 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 40 p.i.
80
ANOVA
limprov
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
2838.120
1383.760
4221.880
df
3
8
11
Mean Square
946.040
172.970
F
5.469
Sig.
.024
Multiple Comparisons
Dependent Variable: limprov
LSD
Mean
Difference
(I-J)
(I) perlkuan (J) perlkuan
1.00
2.00
-6.40000
3.00
-13.60000
4.00
-40.40000*
2.00
1.00
6.40000
3.00
-7.20000
4.00
-34.00000*
3.00
1.00
13.60000
2.00
7.20000
4.00
-26.80000*
4.00
1.00
40.40000*
2.00
34.00000*
3.00
26.80000*
Std. Error
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
10.73840
Sig.
.568
.241
.006
.568
.521
.013
.241
.521
.037
.006
.013
.037
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-31.1628
18.3628
-38.3628
11.1628
-65.1628
-15.6372
-18.3628
31.1628
-31.9628
17.5628
-58.7628
-9.2372
-11.1628
38.3628
-17.5628
31.9628
-51.5628
-2.0372
15.6372
65.1628
9.2372
58.7628
2.0372
51.5628
*. The mean difference is significant at the .05 level.
81
Download