BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi

advertisement
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Informan
Untuk memaparkan studi kualitatif (termasuk studi fenomenologis),
‘Creswell’ seperti dikutip Kuswarno 85 (2009: 153) menganjurkan bahwa
penjelasan diawali dengan gambaran umum termasuk di dalamnya tentang
informan yang terlibat. Oleh karena itu, perlu dikemukakan secara ringkas
bagaimana profil atau deskripsi para subyek penelitian (yaitu lima Public
Relations Officer perempuan yang menjadi informan pada penelitian ini). Berikut
ini adalah deskripsi dari masing-masing PRO perempuan informan yang menjadi
subyek penelitian dalam penelitian ini.
Informan 1 (IR) adalah seorang PRO perempuan yang bekerja di sebuah
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta. Ia memiliki latar belakang pendidikan
Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum salah satu Universitas Negeri di Jawa
Timur. Kemudian ia menyelesaikan Program Magisternya (S2) jurusan Ilmu
Komunikasi dengan peminatan Manajemen Komunikasi dan Public Relations
(PR) di salah satu Universitas Negeri terkemuka di Jakarta. Ia mengawali karirnya
pada tahun 1999 sebagai tenaga pengajar (dosen) di Fakultas Ilmu Komunikasi
pada program studi public relations (PR) di salah satu PTS di Jakarta. Sebagai
akademisi yang mempunyai dedikasi, pada tahun 2006 selain sebagai dosen ia
juga dipromosikan untuk menempati posisi Kepala Biro Humas dan Sekretariat
85
Engkus Kuswarno. Metode Penelitian Komunikasi: Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan
Contoh Penelitian. Penerbit Widya Padjadjaran. 2009 hal: 153
55
56
Universitas hingga sekarang. Selain itu, di luar kampus ia juga menjadi konsultan
komunikasi dan aktif dalam organisasi profesi kehumasan.
Informan 2 (DM) adalah PRO perempuan yang bekerja di sebuah PTS
yang berlokasi di Jakarta Selatan. Ia menyelesaikan program sarjananya (S1) di
Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di
Bandung Jawa Barat. Kemudian ia mengambil program Magister Ilmu
Komunikasi dengan peminatan manajemen komunikasi dan media di FISIP salah
satu Universitas Negeri terkemuka di Jakarta, dan ia selesaikan pada tahun 2011.
Sebelum menjalani profesi barunya di bidang kehumasan (PR), ia berprofesi
jurnalis selama lima tahun di salah satu surat kabar harian nasional di Jakarta.
Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia menjadi praktisi PR dengan posisi sebagai
Kepala Divisi Humas pada ‘Unit Pelaksana Teknis Marketing and Public
Relations’ (UPT MPR) salah satu PTS yang sudah cukup tua di Jakarta. Selain
sebagai praktisi PR, ia juga menjadi tenaga pengajar (dosen) di PTS tersebut.
Informan 3 (LI) adalah PRO perempuan yang bekerja di salah satu PTS
yang cukup terkenal di Jakarta yang berlokasi di Jakarta Barat. Ia menyelesaikan
Program Sarjananya (S1) tahun 2002 di STISIP Jakarta jurusan Ilmu Komunikasi
dengan peminatan public relations (PR). Kemudian ia mengambil program
Magister Ilmu Komunikasi (S2) pada peminatan yang linier dengan program S1
nya di FIKOM salah satu Universitas swasta di Jakarta dan ia selesaikan pada
tahun 2006. Ia mengawali karirnya di bidang kehumasan pada tahun 2002 dengan
menjadi staf humas di almamaternya. Setelah merampungkan program S2 nya, ia
dipercaya untuk menjadi PR manager pada Divisi Kehumasan dan Kerja sama.
57
Informan 4 (AF) adalah seorang praktisi PR perempuan di salah satu
Universitas Swasta yang cukup ternama di Jakarta. Ia berlatar belakang
pendidikan S1 Ekonomi Manajemen Pemasaran dari Fakultas Ekonomi
Universitas Swasta di Jakarta yang kemudian menjadi tempat pengabdiannya
hingga sekarang. Saat ini, ia juga masih tercatat sebagai mahasiswa pada Program
Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Komunikasi dengan peminatan “Marketing
Communication” salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Ia telah berkiprah di
bidang kehumasan hampir 23 tahun, dan sekarang ia menempati posisi Kepala
Bagian
Humas
di
PTS
yang
menjadi
almamaterya
sekaligus
tempat
pengabdiannya sejak 23 tahun lalu.
Infroman 5 (IB) adalah praktisi PR perempuan yang bekerja di salah satu
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Jakarta Timur. Ia berlatar belakang
Sarjana Ekonomi Pemasaran dari STIE yang menjadi tempat pengabdiannya
sekarang. Ia telah berkiprah di bidang kehumasan sejak tahun 2010 sebagai staf
humas pada Divisi kehumasan STIE tersebut.
4.2 Analisa Hasil Penelitian
4.2.1
Peran PRO Perempuan Informan
Public Relations (PR) mempunyai peran dan fungsi yang cukup strategis
bagi kehidupan, efektifitas, dan keberlangsungan suatu perusahaan (organisasi)
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan penjelasan para ahli,
ada dua kategori peran PR yang utama dalam public relations (PR), kedua peran
58
tersebut adalah: peran teknisi (technician role) dan peran manajerial (managerial
role).
Peran teknisi berkenaan dengan aktivitas atau tugas-tugas yang dijalankan
oleh seorang praktisi PR (humas) di perusahaan (organisasi) dari sisi pekerjaan
teknis, seperti: menulis dan mengedit, melakukan riset, kontak media,
menyelenggarakan event (acara spesial), pidato, dan training. Sedangkan peran
manajerial (managerial role) berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen yang
melekat pada manajemen perusahaan (organisasi). Fungsi-fungsi tersebut antara
lain: memelihara hubungan harmonis antara organisasi dengan khalayak sasaran;
Mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan opini, persepsi dan
tanggapan masyarakat terhadap organisasi yang diwakilinya, atau sebaliknya; dan
Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pihak
manajemen demi tujuan dan manfaat bersama. Berikut ini adalah peran PR yang
dijalankan oleh masing-masing PRO perempuan informan yang menjadi subyek
penelitian dalam penelitian ini.
Menurut IR, peran PR dalam menjalankan kegiatan-kegiatan kehumasan di
perusahaannya (organisasinya) adalah sebagai Fasilitator komunikasi, Media
Relations, Teknisi komunikasi, dan Peran expert. Sebagaimana penuturan IR
berikut ini,
“Peran saya sebagai Kabiro Humas adalah kombinasi antara lain:
Fasilitator komunikasi, Media Relations, Teknisi komunikasi, dan Peran
expert (expert communication)”.
59
Selain itu, IR mengatakan bahwa peran PR adalah sebagai ‘manajerial
komunikasi (communication manager)’ walaupun prosentasenya sangat kecil jika
dibandingkan dengan peran-peran yang lain. Seperti penuturan IR berikut ini,
“Kalau untuk ‘manajerial komunikasi’ dilakukan tapi tidak rutin
dilakukan, untuk managerial komunikasi hanya untuk kasus tertentu saja”.
Selanjutnya, DM secara lebih spesifik mengatakan bahwa peran PR adalah
sebagai teknisi komunikasi dalam arti peliputan media atau teknisi publikasi.
Berikut ini adalah penuturan DM,
“Emm… ya ‘I know’, kalau dari empat peran itu.., mungkin emm…kalau
kami di sini lebih ke peliputan media, jadi yang dominan lebih ke teknisi
komunikasi untuk publikasi dalam arti teknisi publikasi, peliputan media”.
Selain sebagai teknisi komunikasi khususnya yang terkait dengan media,
DM juga menuturkan bahwa peran PR adalah sebagai “counselor” yang berfungsi
memberikan masukan-masukan atau saran kepada pihak manajemen khususnya
pimpinan perusahaan (organisasi) terkait dengan apa yang sebaiknya dilakukan
dan bagaimana melakukannya jika organisasi menghadapi masalah atau
mengalami krisis. Sebagaimana dituturkan DM berikut ini,
“...untuk peran ‘counselor’ saya jalankan juga namun prosentasenya
sangat kecil. Saya juga memberikan saran kepada pimpinan lembaga
misalnya untuk menggunakan media apa gitukan, dalam menangani
“crisis”.
Berbeda dengan IR dan DM, menurut LI peran PR adalah sebagai
penghubung antara perusahaan (lembaga) dengan publik eksternal, khususnya
terkait dengan media (publik media). Seperti penuturan LI berikut ini,
60
”Kalau di sini, saya dikasih job hanya untuk berhubungan dengan publik
eksternal (khususnya hubungan media)”.
Selain peran penghubung, LI mengatakan bahwa secara spesifik ia juga
bertanggung jawab untuk penyelenggaraan acara-acara spesial (special events)
yang terkait dengan pengenalan dan promosi program-program lembaganya
kepada khalayak sasaran. Seperti penuturannya berikut ini,
”...kalau saya spesifikasinya lebih ke ’event’, ngurusin mahasiswa mau
magang”.
Sementara itu, menurut AF peran PR adalah sama dengan marketing atau
sales yang berfungsi mempromosikan dan menawarkan program-program
lembaga kepada publik atau khalayak sasaran terutama para siswa di sekolahsekolah yang menjadi mitra lembaganya. Seperti dituturan AF berikut ini,
“…Kalau menurut saya PR itu sama dengan sales, secara khusus saya
bertanggung jawab untuk rekrutmen kelas reguler karena untuk kelas
karyawan ada orang lain yang meng-handlenya. Tugas-tugas saya
terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa baru antara lain:
melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara ’door to door’ ke sekolahsekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya lebih banyak
bagaimana memperkenalkan dan mempromosikan lembaga kepada
khalayak”.
Informan lain, IB ternyata mengungkapkan hal yang hampir sama dengan
LI dan AF, menurutnya peran PR adalah sebagai penghubung antara perusahaan
(lembaga) dengan pihak luar (publik eksternal), menurut IB PR bertugas untuk
mengkomunikasikan program-program kehumasan kepada khalayak sasaran.
Seperti ia tuturkan berikut ini,
“…mengkomunikasikan program-program lembaga kepada publik
eksternal khususnya ke sekolah-sekolah SMU untuk menjaring para calon
61
mahasiswa baru. Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi
program-program, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU,
memfasilitasi Ujian Nasional, mengadakan pameran pendidikan. Dan
juga bersama staf lain membuat dan mempersiapkan materi-materi
presentasi (seperti: media: brosur, dsb)”.
Tabel 1 Peran PR yang dijalankan PRO perempuan informan
No
Informan
Peran PR
Communication
facilitator
1
IR
Sebagai
penghubung
dengan public
media
Expert
prescriber
Problem solving
facilitator
Communication
technician
a. Handling
crisis
b. Menghadapi
kelompok
kepentingan
(FORKABI)
a. Mengadakan
konfrensi pers
b. Membuat
’press release’
c. Monitoring
liputanliputan media
d. Media
monitoring
e. Advetorial
f. Iklan TV
g. Media
breafing ,
media
gathering,
serta iklan
cetak
h. Menulis pesan
website, FB
i. Perayaan
ulang tahun
j. Menyelenggar
akan event
tahunan
seperti festival
k. Handling
complaint
(CR)
l. Handling
tamu dari luar
negeri
m. Melakukan
studi banding
n. Membuat
program
kampanye,
dsb.
62
2
DM
Sebagai
penghubung
dengan media
Memberi
masukan
kepada
direktur untuk
penanganan
krisis,
bagaimana
meng-counter
pemberitaan di
media
Handling crisis
a. Survey
b. Media
relations
c. Iklan (above
& below the
line)
d. Menulis pesan
di website dan
media online,
membuat
majalah, dan
jurnal
3
LI
Sebagai
penghubung
dengan public
eksternal yaitu
sekolah-sekolah
sasaran
Handling crisis
a. Mengkordinas
ikan acara
special
b. Mengatur
perjalanan ke
luar negeri
(protokoler,
menyiapkan
itinerary)
c. Mmembuat
news letter
d. Mendampingi
studi
lapangan, dsb.
4
AF
Sebagai
penghubung
dengan public
eksternal yaitu
sekolah-sekolah
yang menjadi
mitra lembaga
a. Melakukan
orientasi,
‘Try out’ di
sekolah mitra
b. Mengadakan
acara special
(pameran
pendidikan)
c. Menyiapkan
materi
presentasi
5
IB
Mengkomunika
sikan programprogram
lembaga kepada
publik eksternal
khususnya
sekolah-sekolah
yang menjadi
mitra/target
a. Presentasi
program
b. Try out di
sekolahsekolah
c. mengadakan
pameran
pendidikan
d. Memfasilitasi
ujian nasional
e. Membuat
63
materi
presentasi
f. Membuat
brosur
g. Negosiasi
dengan pihak
sekolah
h. Survey biaya
studi yang
dibebankan
competitor
kepada
mahasiswa
Berdasarkan data seperti terangkum pada table 1 di atas, ternyata sebagian
besar PRO perempuan informan menganggap/melihat dirinya dominan dalam
peran sebagai teknisi komunikasi (communication technician) dan penghubung
(liaison) dengan publik eksternal (khalayak sasaran). Dari data di atas juga terlihat
jelas bahwa mayoritas PRO perempuan tidak menjalankan peran manajerial
(managerial role), walaupun ada sebagian kecil informan yang menjalankan peran
manajerial, namun prosentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan peran
teknisi (technician role).
4.2.2
Fungsi PR yang dijalankan PRO perempuan informan
Seorang PR specialist dalam suatu perusahaan (organisasi) selain memiliki
peran yang cukup penting untuk menopang kehidupan dan keberlangsungan
organisasi (perusahaan), praktisi PR juga memiliki fungsi strategis untuk
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan
publiknya. Berdasarkan penjelasan para ahli, fungsi PR antara lain adalah:
Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan
manajemen demi tujuan dan manfaat bersama; Menciptakan komunikasi timbal
64
balik, mengatur arus informasi, publikasi serta pesan dari organisasi kepada
publiknya atau sebaliknya, demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak.
Terkait dengan fungsi PR, berikut ini adalah fungsi PR yang dijalankan
oleh masing-masing PRO perempuan informan di lembaga (organisasi) yang
bersangkutan:
IR mengatakan bahwa ia menjalankan beberapa fungsi PR di lembaganya,
antara lain: Media relations (hubungan media), government relations (hubungan
pemerintah), community relations (hubungan komunitas), consumer relations
(hubungan pelanggan). Seperti penuturan IR berikut ini,
“Untuk fungsi, saya di Humas itu banyak yah, saya menjalankan fungsi:
‘Media relations’, ‘Community relations’, ‘Government relations’, kecuali
“Employee relations” saya tidak pegang karena ditangani oleh bagian
SDM (HRD). Fungsi yang lain saya juga betanggung jawab untuk
protokoler, dokumentasi, publikasi dan sosialisasi, ’handling event’, dan
’consumer relations”.
Selanjutnya, LI mengungkapkan bahwa fungsi PR yang ia jalankan di
perusahaannya lebih fokus pada hubungan dengan publik eksternal terutama
publik media (media relations). Selain itu, LI menjelaskan bahwa ia juga
menjalankan fungsi konseling untuk memberi masukan-masukan kepada pihak
manajemen, namun hal tersebut ia lakukan tidak secara langsung. Sebagaimana ia
tuturkan berikut ini,
”Fungsi yang saya jalankan lebih ke ’Media Relations’ (MR) dan eventevent, kalau untuk memberikan masukan-masukan kepada manajemen,
biasanya lewat direktur ”Promosi dan Humas” jadi yang memberikan
masukan direktur saya, jadi gak langsung. Kalau dulu sih bisa langsung
ke owner/manajemen, karena sekarang beda manajemen, dan direktur
saya humas juga kan ”direktur promosi dan humas kerja sama”.
65
Sementara itu, DM mengungkapkan hal senada dengan LI bahwa fungsi
PR yang ia jalankan lebih pada hubungan media (Media relations), termasuk
fungsi konseling walaupun hanya untuk kasus-kasus tertentu saja khususnya yang
terkait dengan pemberitaan media, misalnya bagaimana meng-counter sebuah
pemberitaan yang menyangkut citra lembaganya. Selain itu, ia juga menjalankan
fungsi marketing. Berikut ini adalah penuturan DM,
“..Untuk fungsi konseling saya jalankan juga namun prosentasenya sangat
kecil. Saya juga memberikan saran kepada pimpinan lembaga misalnya
untuk menggunakan media apa gitukan dalam meng-handle “crisis”,
bagaimana menghandle medianya, atau bagaimana meng-counter sebuah
pemberitaan, dan bagaimaana menciptakan ‘brand image’ yang bagus
karena kami di sini juga divisi marketing”.
Informan lain, AF menuturkan bahwa walaupun sebagai kabag humas
namun secara dominan ia menjalankan fungsi pemasaran (marketing), seperti
bagaimana memperkenalkan dan mempromosikan program-program lembaganya
kepada khalayak sasaran. Seperti diungkapkan AF berikut ini,
”Secara khusus saya bertanggung jawab untuk rekrutmen kelas reguler
karena untuk kelas karyawan ada orang lain yang meng-handlenya.
Tugas-tugas saya terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa
baru antara lain: melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara ’door to
door’ ke sekolah-sekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya
lebih banyak untuk memperkenalkan dan mempromosikan lembaga
kepada khalayak”.
Ternyata, IB mengatakan hal yang sama dengan AF bahwa secara spesifik
tugas-tugas yang ia jalankan lebih terkait dengan fungsi marketing. IB juga
melakukan kegiatan yang sama dengan AF yaitu memperkenalkan dan
mempromosikan
program-program
lembaganya
kepada
khususnya para siswa SMU. Berikut ini adalah penuturan IB,
khalayak
target
66
“Sebagai staf “Humas” secara umum tugas-tugas yang saya lakukan
adalah mengkomunikasikan program-program lembaga kepada public
eksternal khususnya ke sekolah-sekolah SMU untuk menjaring para calon
mahasiswa baru. Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi
program-program lembaga, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU,
memfasilitasi Ujian Nasional, mengadakan pameran pendidikan”.
Table (2) Fungsi PR yang dijalankan PRO perempuan informan
No
Fungsi PR
PRO informan
IR
DM
LI
1
Counseling
√
√
2
Media relations
√
√
√
3
Government relations
√
4
Community relations
5
Comsumer relations
6
Employee relations
7
Marketing communication
√
√
AF
IB
√
√
√
√
Data yang terangkum pada table 2 di atas memperlihatkan bahwa
mayoritas PRO perempuan informan menjalankan fungsi marketing (marketing
communication) secara dominan. Berdasarkan hasil analisis data, sebagian besar
kegiatan kehumasan yang dijalankan oleh mayoritas PRO perempuan informan
terlihat jelas mencerminkan fungsi marketing dimana mereka melakukan
kombinasi kegiatan yang didesain untuk menjual layanan (service) dan programprogram lembaganya (organisasi) kepada khalayak sasaran seperti kegiatan
pameran pendidikan, festival, special event, dan kegiatan promosi lainnya seperti
melalui pesan-pesan di website dan social media (FB).
67
4.2.3
Tugas PR yang dijalankan oleh PRO perempuan informan
Seorang PRO (PR specialist) sesuai dengan peran dan fungsinya, maka ia
harus menjalankan sejumlah kegiatan dan tugas-tugas harian untuk mencapai
tujuan organisasi yang diwakilinya secara efektif. Dari penjelasan beberapa ahli
sebagaimana diulas dalam Bab 2, ada sepuluh kategori tugas yang harus
dijalankan oleh seorang spesialis PR (humas) di lembaga (perusahaan), yaitu:
menulis dan mengedit, hubungan dengan media dan penempatan media, riset,
manajemen & organisasi, konseling, acara spesial, pidato, produksi, kontak, dan
training. Berikut ini adalah tugas-tugas PR (kehumasan) yang dilakukan oleh para
PRO perempuan informan di lembaganya (organisasinya) menurut penuturan
masing-masing informan.
Menurut IR, tugas-tugas PR (kehumasan) yang ia lakukan adalah
mengadakan siaran pers, membuat rilis, memantau liputan media, membuat
advertorial, iklan TV, media breafing, dan sebagainya. Berikut adalah penuturan
IR terkait dengan tugas-tugas kehumasan yang ia lakukan,
”Program-program: implementasi dari fungsi-fungsi tersebut tadi,
kegiatannya antara lain: melakukan konfrensi pers, membuat ’press
release’, monitoring liputan-liputan media, media monitoring, advetorial,
iklan TV, media breafing termasuk media gathering, serta iklan cetak”.
Selain itu, IR mengatakan bahwa ia juga bertanggung jawab untuk
menangani complaint dari para pelanggan (customer), misalnya mengenai
kepuasan para customer terhadap pelayanan yang diberikan oleh perusahaanya
(lembaga). Sebagaimana penuturan IR berikut ini,
”Tugas humas lain yang merupakan fungsi ’Customer Relations’ adalah
’handling complaint’ seperti ’banner’ yang ada di Menteng dan Meruya
tentang pengaduan pelanggan”.
68
Selanjutnya, menurut DM tugas PR yang ia lakukan lebih banyak
berhubungan dengan fungsi-fungsi jurnalistik, misalnya bagaimana mengelola
website, majalah, media online, dan jurnal. Seperti penuturan DM berikut ini,
“Emm, kita di sini kebetulan, kita handle…dari segi jurnalistik ada
‘website’, ‘magazine’, jurnal …yang kita harus update terus, jadi semua
fungsi-fungsi jurnalistiknya dijalankan, yang kedua, kita juga handle ke
sisi rektorat, misalnya untuk pembuatan naskah pidato bekerja sama
sengan skretaris rector”.
Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa ia melakukan tugas kehumasan
yang lebih fokus pada ‘hubungan media (media relations)’ dan ‘penyelenggaraan
event’ (acara spesial). Untuk tugas lain seperti ‘riset’, ia tidak melakukannya
karena kegiatan tersebut ditangani oleh divisi lain. Seperti dituturkan LI berikut
ini,
”Saya lebih ke Media relations dan event, training, saya sering mengisi,
untuk departemen lebih ke promosi yah, saya sering menjadi juri juga,
sebagai ketuanya juga. Untuk tugas pembuatan film, multimedia, tapi saya
tidak sendiri. Untuk disain saya dibantu anak-anak mahasiswa”.
Sedangkan AF mengatakan bahwa tugas PR itu adalah promosi, yaitu
bagaimana mempromosikan program-program lembaga kepada khalayak target.
AF mengungkapkan bahwa tugas-tugas yang ia lakukan lebih terfokus pada
presentasi program dan melakukan try out di sekolah-sekolah mitra. Sebagaimana
ia tuturkan berikut ini,
”Tugas-tugas saya terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa
baru antara lain: melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara door to
door ke sekolah-sekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya
lebih banyak untuk memperkenalkan dan mempromosikan lembaga
kepada khalayak”.
69
Informan lain IB, ternyata mengungkapkan hal yang sama dengan AF,
menurutnya tugas PR adalah mempromosikan perusahaan (lembaga) kepada
khalayak sasaran. Ia mengungkapkan bahwa tugas-tugas yang ia jalankan secara
khusus terkait dengan perekrutan para “customer” (mahasiswa) di lembaganya.
Tugas-tugas tersebut antara lain: presentasi program di lembaga-lembaga mitra,
try out, dan memfasilitasi ujian nasional. Seperti penuturannya berikut ini,
“Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi program-program
lembaga, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU, memfasilitasi Ujian
Nasional, mengadakan pameran pendidikan”.
70
Table 3 Tugas-tugas PR yang dilakukan oleh PRO perempuan informan
No
Informan
Tugas-tugas PR yang dilakukan PRO informan
Teknis
1
IR
a. Mengadakan konfrensi pers
b. Membuat ’press release’
c. Monitoring liputan-liputan
media
d. Media monitoring
e. Advetorial, Iklan TV
f. Media breafing termasuk
media gathering, serta iklan
cetak
g. Menulis pesan website,
majalah, dan media sosial
(FB)
h. Perayaan ulang tahun
i. Menyelenggarakan event
tahunan (festival)
j. Handling complaint (CR)
k. Handling tamu dari luar negeri
l. Melakukan studi banding
m. Membuat program kampanye,
dsb.
2
DM
a.
b.
c.
d.
Survey
Media relations
Iklan (above & below the line)
Menulis pesan di website dan
media online, membuat
majalah, dan jurnal
3
LI
a. Mengkordinasikan acara
special
b. Mengatur perjalanan ke luar
negeri (protokoler,
menyiapkan itinerary)
c. Mmembuat news letter
d. Mendampingi studi lapangan,
dsb.
4
AF
a. Melakukan orientasi
b. Try out di sekolah mitra
c. Mengadakan acara spesial
(pameran pendidikan)
Non-teknis
Handling crisis
a. Konseling
b. Handling crisis
Handling crisis
71
d. Menyiapkan materi presentasi
5
IB
a. Presentasi program
b. Try out di sekolah-sekolah
c. Mengadakan pameran
pendidikan
d. Memfasilitasi ujian nasional
e. Membuat materi presentasi
f. Membuat brosur (secara tim)
g. Negosiasi dengan pihak
sekolah
h. Survey biaya studi yang
dibebankan lembaga
competitor kepada mahasiswa
Berdasarkan data yang terangkum pada table 3 di atas, mayoritas PRO
perempuan informan secara dominan melakukan tugas-tugas teknis ketimbang
tugas-tugas non-teknis. Data di atas juga menunjukkan bahwa sebagian besar
PRO informan tidak menjalankan kegiatan atau tugas-tugas non-teknis yang
merupakan implementasi dari peran manajerial (managerial role) atau fungsi
manajemen (management function) yang melekat pada manajemen organisasi
(perusahaan).
4.2.3.1. Tugas riset yang dilakukan oleh PRO perempuan informan
Berdasarkan penjelasan para ahli sebagaimana di ulas pada Bab 2, salah
satu dari sepuluh kategori tugas yang harus dijalankan oleh praktisi PR adalah
‘riset’. Riset menurut dokumen (monograf) yang dikeluarkan oleh lembaga Public
Relations Society of America (PRSA), juga termasuk kedalam komponen dasar
public relations (PR). Kegitan riset tersebut bisa terkait dengan opini/persepsi
publik, tren, isu yang sedang muncul, iklim politik dan peraturan perundangan,
72
liputan media, opini kelompok kepentingan, dan pandangan-pandangan lain
berkenaan dengan stakeholder organisasi. Selain itu, mencari data base di
internet, jasa online, dan data pemerintah elektronik, mendesain program riset,
melakukan survey, dan menyewa perusahaan riset.
Berkenaan dengan kegiatan riset tersebut, berikut ini adalah penuturan dari
masing-masing PRO perempuan informan tentang kegiatan riset yang ia lakukan
di lembaga (organisasi) yang bersangkutan:
IR mengungkapkan bahwa tugas kehumasan khususnya riset yang ia
lakukan hanya riset tentang kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang
merupakan implementasi kegiatan dari fungsi “customer relations”. Sebagaimana
penuturan IR berikut ini,
“Sementara ini terkait dengan kegiatan riset, kalau saya hanya melakukan
kegiatan riset yang berhubungan dengan masalah kepuasan pelanggan
saja (sebagai customer care), jadi lebih fokus pada ‘customer care’
bagaimana pelayanan dosen, administrasi, dan perpustakaan. Karena
sudah ada jobdesnya masing-masing”.
Selanjutnya, DM mengatakan bahwa tugas ‘riset’ yang ia lakukan hanya
berkaitan dengan branding (brand image) lembaga di mata publik khususnya para
siswa SMU yang merupakan para calon customer potensial untuk direkrut di
lembaganya. Sebagaimana diungkapkan DM berikut ini,
”Kalau riset kebetulan di sini belum banyak dilakukan, kami hanya
melakukan riset terutama yang terkait dengan penerimaan mahasiswa
baru. Jadi riset yang dilakukan terutama terkait dengan bagaimana sih
branding lembaga ini di mata masyarakat, biasanya kita lakukan bisa di
awal penerimaan mahasiswa baru, bahan evaluasi kita, atau kita
melakukan survey-survey langsung ke sekolah-sekolah untuk menyebar
kuesioner untuk melihat keefektifan program-program kita, jadi ’mostly’
terkait dengan ’branding’ lembaga di mata para siswa”.
73
Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa ia tidak melakukan kegiatan
riset sama sekali, karena menurutnya kegiatan tersebut ditangani oleh divisi
tersendiri (khusus) yaitu Biro Kendali Mutu (BKM) dan bagian SDM. Seperti
diungkapkan LI berikut ini,
”Yang terkait dengan riset, kebetulan di sini ada bagian sendiri yang
ngurusin kegiatan tersebut yaitu ’Biro Kendali Mutu (BKM)’, dan yang
berkenaan dengan ’publik internal’ (karyawan) ditangani langsung oleh
bagian SDM. Jadi saya tidak melakukan riset”.
Informan lain AF, ternyata mengungkapkan hal yang sama dengan LI
bahwa ia tidak melakukan tugas kehumasan yang berupa kegiatan riset atau
survey. Menurutnya, data yang ia gunakan labih banyak dari data-data rekapitulasi
tahunan yang sudah ada. AF menuturkan sebagai berikut,
”Saya tidak banyak melakukan riset, karena saya lebih banyak
menggunakan data-data rekapitulasi tahunan (data-data sekolah mitra).
Jadi saya tidak melakukan riset/survey”.
Sedangkan IB mengatakan bahwa riset yang ia lakukan hanya khusus
terkait dengan biaya studi yang dibebankan oleh para competitor lembaganya.
Menurutnya, tidak ada tugas-tugas riset yang harus dilakukan, sebagaimana
penuturan IB berikut ini,
“Kalau riset yang saya lakukan hanya yang terkait dengan biaya studi
yang dibebankan oleh lembaga kepada mahasiswa khusunya lembagalembaga yang menjadi ‘competitor’ lembaganya. Selain itu saya tidak
melakukan riset”.
74
Table 4 Kegiatan riset yang dilakukan oleh para PRO perempuan informan
Kegiatan riset/survey
No
Informan
Dilakukan
Tidak dilakukan
1
IR
Kepuasan pelanggan
(customer satifaction)
2
DM
“branding” lembaga
3
LI
Ditangani oleh Biro Kendali
Mutu (BKM)
4
AF
Tidak melakukan riset
5
IB
Survey tentang biaya studi
dari para competitor
lembaganya
Berdasarkan data pada tabel 4 di atas, mayoritas PRO informan tidak
melakukan kegiatan atau tugas riset. Dari data di atas terlihat bahwa kendatipun
sebagian kecil PRO melakukan kegiatan ‘riset’, namun riset tersebut hanya
menyangkut hal-hal tertentu saja seperti kepuasan pelanggan, branding, dan biaya
studi. Data yang diperoleh juga memperlihatkan bahwa sebagian PRO perempuan
informan tidak melakukan kegiatan riset sama sekali karena kegiatan riset
ditangani oleh divisi atau biro tersendiri seperti Biro Kendali Mutu (BKM) atau
divisi Sumber Daya Manusia (SDM).
4.2.4. Pemaknaan profesi PR oleh PRO perempuan informan
Setiap profesi yang dijalani oleh sesorang akan mempunyai makna yang
berbeda bagi setiap orang yang menjalaninya. Dalam konteks penelitian ini yaitu
bidang profesi PR, maka masing-masing PRO akan memaknai profesi PR secara
75
berbeda-beda pula. Berikut ini adalah pemaknaan profesi PR oleh masing-masing
PRO perempuan informan yang menjadi subyek dalam penelitian ini.
IR memaknai profesi PR sebagai suatu profesi yang menuntut kreativitas
dan inovasi-inovasi untuk bisa menjalankan peran dan fungsi PR secara efektif. Ia
mengatakan bahwa untuk menunjang profesinya sebagai PRO ia harus senantiasa
belajar dalam arti bahwa dengan menjadi seorang PRO, maka upaya peningkatan
kapasitas diri (continuous improvement) secara terus menerus harus ada. Berikut
ini adalah penuturan IR,
”Orang bekerja itu kan bagian dari proses belajar. Jadi kalau saya itu
menjadi PR officer harus siap berinovasi dan berkreatifitas,
memaksimalkan kreatifitas. Kalau saya sepiritnya jadikanlah pekerjaan
itu sebagai ’challange’. Saya senang dengan pekerjaan ini karena jiwa
saya sudah di sini, jadi sudah ’passion’ saya pada pekerjaan ini, jadi saya
memaknainya bahwa menjadi ’PR officer’ itu harus selalu berinovasi dan
kreatif, ada ’continues improvement’ karena pekerjaan PR itu tidak
mudah”.
Selanjutnya DM, ia memaknai profesi PR hampir sama dengan IR bahwa
profesi tersebut merupakan profesi yang menantang (challanging rofession), oleh
karena itu menurutnya, menjadi seorang praktisi PR harus selalu meningkatkan
kemampuan diri dalam arti bahwa ia harus belajar terus (never-ending learning)
dan praktisi PR itu harus bekerja dengan hati. DM menuturkan berikut ini,
“Walaupun antara jurnalistik dan PR, beda-beda tipis, tapi berbeda,
misalnya waktu saya menjadi jurnalistik saya harus di “treat” orang,
sementara kita sebagai humas harus men-“treat” orang atu jurnalis,
karena kita harus bisa meng-“grab” para wartawan agar bisa membuat
pemberitaan ayng bagus, paling tidak memberitakan fakta-fakta. Jadi
menurut saya PR adalah “challenging profession”dan “never-ending
learning”, dan PR itu harus dari hati menurut saya, menghadapi
wartawan itu susah-susah gampang”.
76
Sementara itu, LI mengungkapkan hal senada dengan IR dan DM, ia
memaknai profesi PR sebagai profesi yang bisa untuk berbagi dengan orang lain
dalam mengatasi suatu masalah. Ia juga mengatakan bahwa menjadi praktisi PR
itu harus selalu ada “improvement” diri dan harus banyak belajar. LI
mengungkapkan sebagai berikut,
“Kalau saya “happy” ya pak, yang kedua saya suka “share” dengan
orang lain yah, kalau saya suka membantu orang lain untuk mengatasi
suatu masalah. Saat itu memang saya harus kerja keras, saya harus
‘improve’ diri saya, saya harus belajar banyak, tapi kalau sekarang sih
tinggal menikmati saja, tinggal ’maintain’ aja”.
Selain itu, LI juga mengatakan bahwa menjalani profesi PR itu harus
dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan hati, sehingga walaupun harus
melakukan tugas-tugas kehumasan di luar jam kerja akan tetap “happy”. Seperti
diungkapkan LI berikut ini,
”Bagi saya dalam menjalakan profesi ini diperlukan ketulusan hati,
keikhlasan, dan bekerja dengan hati. Walaupun saya harus bekerja
sampai malam tapi saya enjoy”.
Ternyata, AF juga mengatakan hal yang hampir sama dengan IR dan LI
dalam memaknai profesi PR, menurutnya untuk bisa menjalani profesi PR,
terlebih dahulu ia harus menanamkan rasa cinta terhadap profesi tersebut.
Sebagaimana penuturan AF berikut ini,
”Memang pekerjaan PR itu tidak mudah, untuk itu yang pertama sekali
saya tanamkan dalam diri saya adalah ”saya harus mencintai pekerjaan
(profesi) ini. Dengan demikian saya akan menghadapi semuanya dengan
mudah”.
77
Sedangkan IB, berbeda dengan IR, DM, LI, dan AF dalam memaknai
profesi PR, menurutnya profesi PR itu profesi yang biasa saja, sama seperti
profesi lain dalam arti bahwa untuk menjalani profesi tersebut ia tidak merasa
perlu untuk mempelajari lagi ilmu-ilmu lain karena tugas-tugas yang ia terima
sudah sangat spesifik. Seperti diungkapkan IB berikut ini,
”Bagi saya profesi ini biasa saja yah, karena saya bisa menjalankannya,
artinya gak berat-berat amat. Cuma yang agak berat kalau soal negosiasi
dengan pihak sekolah, untuk itu saya harus belajar tentang bagaimana
lobi dan negosiasi”.
Table 5 Pemaknaan profesi PR oleh PRO perempuan informan
No
Informan
Makna Profesi PR
Positif
1
IR
Profesi PR sebagai suatu profesi
yang menuntut peningkatan
kapasitas diri, kreativitas, dan
inovasi-inovasi. Mejadi PRO
berarti harus ada “continuous
improvement”.
2
DM
Profesi PR merupakan
“Challanging profession”, yang
menuntut untuk belajar secara
terus menerus (never-ending
learning)
3
LI
Profesi yang menuntut
“improvement” dan banyak
belajar
4
AF
Bidang profesi PR merupakan
suatu profesi yang menuntut
kecintaan dan keikhlasan hati
5
IB
PR sebagai suatu profesi yang
biasa saja, sama dengan profesiprofesi lain
Negatif
78
Dari data yang terangkum pada table 5 di atas, terlihat jelas bahwa seluruh
PRO perempuan informan memaknai profesi PR secara positif dan para informan
hampir memiliki kesamaan dalam memaknai profesi PR tersebut. Namun
demikian, hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar informan
mengakui bahwa profesi PR merupakan profesi yang tidak mudah (profesi yang
menantang) dalam arti bahwa dengan menjadi praktisi PR, maka mereka dituntut
untuk senantiasa meningkatkan kemampuan diri, kreativitas, dan inovasi-inovasi.
Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa sebagian besar informan
melakukan peningkatan kapasitas diri melalui berbagai cara, antara lain:
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi; mengikuti kegiatan seminar,
diskusi dengan para profesional, dan mengikuti workshop-workshop yang relevan
dengan profesi kehumasan yang mereka jalani.
4.2.4.1. Alasan PRO perempuan informan memilih profesi PR
Setiap orang yang memilih suatu pekerjaan atau profesi pasti memiliki
alasan atau motivasi tersendiri mengapa ia memilih profesi tersebut. Demikian
pula dalam konteks penelitian ini, masing-masing PRO perempuan informan
mempunyai alasan tertentu mengapa ia memilih bidang profesi PR. Berikut ini
adalah alasan atau motivasi para PRO perempuan informan memilih bidang
profesi PR menurut penuturannya masing-masing.
IR menuturkan bahwa ia memilih bidang profesi PR lebih karena latar
belakang pendidikan Magisternya (S2) yang jurusan Ilmu Komunikasi. Dengan
kualifikasi tersebut ia mempunyai peluang untuk menjadi tenaga pengajar (dosen).
79
IR tidak pernah bercita-cita untuk menjadi dosen ataupun spesialis PR. Ia
mengawali karirnya sebagai seorang dosen untuk program studi PR, kemudian ia
merasakan adanya kecocokan di dunia kehumasan dan akhirnya selain mengajar
ia juga menjadi praktisi PR. Berikut ini adalah penuturan IR,
”Sebenarnya awalnya tidak pernah terpikir untuk menjadi PR ataupun
dosen. Jadi gini, kan setelah selesai S1 itu saya meneruskan di S2
Manajemen Komunikasi UI. Nah.. itu yang membuat....saya memilih harus
menjadi dosen, dan saya kan kompetensi peminatannya komunikasi dan
public relations. Nah dari situ kayaknya kok menarik, jadi awalnya PR ini
”learning by doing” aja, dunia komunikasi PR kok menarik gitu. Nah
dari situ kemudian akhirnya saya menemukan ”field” saya di situ”.
Selanjutnya, DM mengungkapkan bahwa profesi PR yang ia jalani saat ini
tidak pernah dicita-citakan sebelumnya. Menurutnya menjadi praktisi PR ini
hanya secara kebetulan atau hanya karena takdir yang membawanya menjadi
seorang spesialis PR. DM juga mengatakan bahwa bidang profesi PR sebenarnya
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang jurnalistik, namun karena
hubungan baik dengan Kabag humas terdahulu di lembaga tersebut, akhirnya
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, DM direkrut sebagai Kepala Divisi
Humas dan Marketing. Seperti ia tuturkan berikut ini,
“Sebenarnya mungkin karena takdir membawa saya ke sini kali ya pak
yah, karena begini emm,.kebetulan saya dulu cukup dekat dengan Kabag
humas yang terdahulu…saya dulu sering liputan di sini untuk meng-cover
bidang pendidikan di sini, saya dulu lama di Republika, nah ee..kebetulan
saat itu lembaga membutuhkan staf humas yang pada saat itu masih
berada di bawah Kabag humas terdahulu, jadi saya selesaikan S2 sembari
saya belajar kehumasan pada bagian kehumasan di sini”.
Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa bidang profesi PR memang
merupakan profesi yang ia cita-citakan. Walupun awalnya ia berkiprah di bidang
80
marketing, namun ia bercita-cita menjadi seorang praktisi PR yang terkenal.
Selain itu, LI memilih profesi PR, karena ia suka bergaul, suka bertemu orang
banyak, dan suka bersosialisasi. LI juga termotivasi untuk membantu orang lain
dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Berikut ini adalah penuturan
LI,
“Awalnya karena saya tertarik berhubungan dengan orang, saya suka
berhubungan dengan manusia, saya suka berinteraksi dengan orang lain,
gitu awalnya. Jadi intinya bersosialisasi. Saya juga baca buku-buku
tentang PR, kalau PR itu perlu talent dan keterampilan khusus.
Bagaimana menguasai orang lain, itu juga yang menarik saya awalawalnya. Menurut saya, profesi PR itu sangat strategis, menyenangkan”.
Sedangkan AF, secara singkat mengungkapkan bahwa ia tertarik dengan
bidang profesi PR karena ia menyukai tantangan dan suka bertemu dengan banyak
orang. Sebagaimana penuturan AF berikut ini,
“Saya memilih bidang profesi PR ini karena saya suka dengan tantangan
dan suka ketemu banyak orang”.
Berbeda dengan keempat informan lainnya, IB mengatakan bahwa profesi
PR itu menarik, sebagaimana penuturan IB berikut ini,
“Kalau menurut saya pekerjaan PR itu menarik, makanya saya memilih
untuk bergabung di Biro humas di lembaga ini”.
81
Table 6 Alasan PRO perempuan informan memilih profesi PR
No
Informan
Alasan memilih bidang profesi PR
Latar belakang
Pendidikan
√
Tantangan
1
IR
2
DM
3
LI
4
AF
√
5
IB
√
Cita-cita
Peluang
√
√
Berdasarkan data yang terangkum pada table 6 di atas, ternyata alasan para
informan memilih bidang profesi PR berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Sebagian informan memilih profesi tersebut karena merupakan profesi yang
menantang. Sedangkan sebagian lain memilih menjadi praktisi PR itu karena
adanya peluang (kesempatan) dan latar belakang pendidikan yang relevan dengan
profesi PR tersebut. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa sebagian besar
informan tidak merencanakan sejak awal untuk menjadi praktisi PR yang
profesional. Jadi, bisa dikatakan bahwa peluang atau kesempatanlah yang
membuat para informan memilih bidang profesi PR.
4.2.5. Pembentukan stereotip gender di lembaga (organisasi)
Beberapa contoh kasus iklan tentang lowongan kerja yang secara explicit
mensyaratkan “perempuan” bagi calon PRO sebagaimana dibahas pada Bab 1
(pendahuluan), menunjukkan adanya pembentukan stereotip gender pada
perusahaan perekrut PRO tersebut. Iklan seperti itu merupakan bentuk stereotip
82
gender yang nyata yang telah terjadi pada perusahaan (lembaga) tersebut.
Sebagian lembaga perekrut PRO secara explicit menyebutkan bahwa syarat bagi
calon PRO ‘harus perempuan’. Berikut ini adalah penuturan masing-masing PRO
perempuan informan mengenai ‘stereotip gender’ pada lembaga dimana ia
bekerja.
Menurut IR, lembaga (perusahaan) tidak pernah ‘mensyaratkan
perempuan’ bagi calon PRO (humas) yang akan direkrut di lembaganya. Ia juga
menjelaskan bahwa walaupun faktanya para PRO (staf humas) di lembaganya
didominasi oleh perempuan, namun itu hanya secara kebetulan. Seperti penuturan
IR brikut ini,
”Tidak harus perempuan, karena kebetulan dari awal di sini PR nya
perempuan.., profesi PR itu harus dilihat dari sisi kompetensi, bukan
dilihat dari sisi cantik dan muda, karena tugas PR itu tidak mudah”.
Selanjutnya, DM mengatakan hal yang sama dengan IR bahwa proses
rekrutmen untuk posisi PRO di lembaganya tidak ‘disyaratkan harus perempuan’,
dan faktanya menurut dia bahwa PRO yang terdahulu di lembaganya juga lakilaki. Sebagaimana penuturan DM berikut ini,
“Tidak mengharuskan perempuan, dan kebetulan PR di sini yang
sebelumnya juga dipegang oleh laki-laki dan cukup lama (sekitar 7
tahun), namun mungkin dari sisi emosionalnya masih cukup tinggi. Jadi
ya itu tadi kelebihan perempuan saya kira kesabarannya ketika harus
melakukan hal-hal yang bisa memicu emosi. Contohnya seperti “case”
yang saya katakan tadi “How to handle my boss”.
Sementara itu, LI juga mengatakan hal senada dengan IR dan DM bahwa
dalam proses rekrutmen untuk posisi PRO (humas) di lembaganya tidak ada
persyaratan harus perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa proses rekrutmen
83
untuk posisi PRO tersebut dilakukan secara tertutup, tidak melalui iklan dan tidak
terbuka untuk umum. Sebagaimana penuturan LI berikut ini,
“Saya dipanggil ‘owner’, jadi saya gak pernah melamar, saya selalu
dilamar. Jadi untuk formalitas setelah diterima baru buat lamaran. Jadi
awalnya ‘background’ saya juga marketing yah. Jadi owner tertarik sama
saya karena saya sudah banyak berhubungan dengan orang banyak. Jadi
kalau persyaratan calon PR harus perempuan tidak ada pak”.
Infroman lain, AF ternyata juga mengatakan hal yang sama dengan ketiga
informan di atas (IR, DM, dan LI) bahwa untuk calon PRO di lembaganya tidak
harus perempuan, walaupun kenyataannya ia sendiri telah menjalani bidang
profesi humas hampir selama 23 tahun, dari sejak berdirinya lembaga yang
menjadi tempat pengabdiannya hingga sekarang. Berikut ini adalah penuturan AF,
“Di lembaga ini kebetulan dari awal humasnya perempuan, dan saya
sendiri humasnya sejak awal, saya sudah 23 tahun menjadi humas.
Lembaga ini tidak mengharuskan perempuan karena banyak praktisi
humas (staf humas) yang lain adalah laki-laki seperti Kabiro humasnya
juga laki-laki”.
Ternyata, IB juga mengungkapkan hal yang sama dengan keempat
informan lainnya, ia mengatakan bahwa di lembaganya tidak ada persyaratan
harus perempuan bagi calon PRO yang akan direkrut. Namun demikian, ia
mengatakan bahwa salah satu yang menjadi persyaratan adalah keterampilan
berkomunikasi dan penampilan fisik yang harus menarik. Seperti ia tuturkan
berikut ini,
”Gak sih, paling juga syaratnya bisa berkomunikasi denga baik,
berpenampilan menarik, wanita atau pria, berumur maximal 25 tahun.
Jadi tidak harus perempuan”.
84
Tabel 7 Pembentukan stereotip gender di lembaga (perusahaan)
No
Informan
Pembentukan Stereotip Gender di lembaga (organisasi)
Ada
Tidak ada
1
IR
Tidak ada persyaratan harus
perempuan untuk calon PRO
2
DM
Tidak mensyaratkan perempuan
untuk posisi PRO
3
LI
Tidak ada persyaratan perempuan
bagi calon PRO
4
AF
Tidak ada persyaratan perempuan
untuk calon PRO (humas)
5
IB
Tidak harus perempuan, tetapi
harus menarik dan relatif muda
(25 th)
Data yang terangkum dalam table 7 di atas menunjukkan bahwa seluruh
lembaga (organisasi) tidak mensyaratkan bahwa calon PRO yang akan direkrutnya
harus perempuan. Data di atas juga memperlihatkan bahwa lembaga cenderung
merekrut PRO-nya dari kalangan internal, tanpa melalui iklan yang disebarkan
luaskan kepada publik secara terbuka. Berdasarkan data di atas, bisa dikatakan
bahwa tidak ada pembentukan ‘stereotip gender’ di masing-masing lembaga
dimana para PRO perempuan informan bekerja.
4.2.5.1. Tanggapan PRO informan tentang stereotip PR perempuan
Terjadinya dominasi perempuan di bidang profesi public relations (PR)
telah memunculkan stereotip gender di bidang profesi tersebut. Terkait dengan
dominasi perempuan pada bidang profesi PR, beberapa hasil studi mengemukakan
stereotip PRO perempuan, antara lain: multi-tasking, detil, tekun, sabar, murah,
85
dan tidak ambisius. Apa pendapat para PRO perempuan informan tentang
stereotip PR perempuan di atas? Berikut ini adalah tanggapan mereka tentang
stereotip PRO perempuan tersebut.
Menurut IR, beberapa stereotip (citra baku) yang melekat pada praktisi PR
perempuan itu sifatnya relatif. Mengenai stereotip multi-tasking, IR berpendapat
bahwa tidak semua PRO perempuan itu multi-tasking, dan menurutnya itu
tergantung pada orangnya masing-masing. Namun demikian, ia menegaskan
bahwa dirinya sebagai Kepala biro dengan tugas dan tanggung jawabnya yang
banyak, maka ia harus bisa multi-tasking. Untuk stereotip ‘tekun’, IR sependapat
dengan hasil studi yang dikemukakan oleh Dozier tersebut. Seperti penuturan IR
berikut ini,
“Untuk stereotip ‘ketekunan’ saya setuju dengan pendapat itu, ada-lah
pengaruhnya, tetapi semua itu tergantung pada orangnya masing-masing
karena ada staf saya yang cuma mengerjakan itu-itu saja, tidak
“multitasking”, tidak semua staf bisa “multi-tasking”.
Selanjutnya, DM berpendapat bahwa ‘stereotip (citra baku) ‘tidak
ambisius’ yang dilekatkan pada praktisi PR perempuan, itu tidak bisa
digeneralisasikan kepada semua PRO perempuan, karena menurutnya ada juga
PRO perempuan yang sangat ambisius dan sangat gigih bersaing dengan laki-laki
untuk mengejar karirnya. DM berpendapat bahwa PRO perempuan itu cenderung
lebih sabar dalam menangani suatu masalah ketimbang laki-laki. Berikut ini
adalah penuturan DM,
”Mungkin karena tidak dimanding menurut saya, tetapi hal ini tidak bisa
digeneralisasi untuk semua perempuan, karena saya juga kenal beberapa
perempuan yang sangat ambisius ketika bekerja, ’eager’ untuk ”compete”
dengan laki-laki, bisa dibilang bisa mengikuti head-nya laki-laki”.
86
Sementara itu, LI mengungkapkan pendapat senada dengan IR dan DM
bahwa PR perempuan itu tidak selalu multi-tasking, menurutnya hal itu tergantung
pada pribadi orangnya masing-masing. Demikian juga, tidak semua PR
perempuan itu tidak ambisius dibandingkan dengan laki-laki. LI menuturkan
sebagai berikut,
”Soal stereotip PRO perempuan, kalau menurut saya sih tergantung pada
pribadinya masing-masing, tidak semua orang bisa ’multitasking’, dan
tidak semua perempuan tidak ambisius. Jadi semua itu tergantung
orangnya masing-masing. Tetapi memang perempuan itu cenderung lebih
mudah diarahkan, detil, dan cepet, jika dibandingkan dengan cowok”.
Ternyata, AF mempunyai pendapat (tanggapan) yang hampir sama dengan
IR, DM, dan LI, bahwa citra baku (stereotip) yang dilekatkan pada PRO
perempuan itu tidak selalu sesuai. Menurutnya itu hanya padangan seseorang saja,
dan ia menegaskan bahwa perempuan itu tidak harus selalu lembut, karena
menurut AF bisa membuat orang malas mendengarkan apa yang disampaikan.
Seperti penuturannya berikut ini,
”Menurut saya tidak semuanya begitu, kita tidak harus selalu lembut,
karena orang bisa males mendengar kita, ada kalanya kita harus tegas.
Jadi menurut saya itu hanya pandangan seseorang”.
Sedangkan IB, mengatakan bahwa ia sependapat dengan ‘citra baku
(stereotip)’ yang dilekatkan pada PRO perempuan, seperti ‘sabar’, menurutnya
perempuan itu cenderung lebih ‘sabar’ dan lebih ‘komunikatif’ dibandingkan
dengan laki-laki. Sebagaimana penuturan IB betikut ini,
“Saya setuju bahwa PRO perempuan itu lebih sabar dibandingkan lakilaki, dan menurut saya perempuan juga lebih komunikatif”.
87
Table 8 Tanggapan PRO Informan tentang stereotip PRO perempuan
No
Informan
Stereotip PRO Perempuan
Multitasking
1
IR
2
DM
3
LI
4
AF
5
IB
Detil
Tekun
Sabar
Tidak
ambisius
Tidak semua
PRO
perempuan
multitasking
Ada juga
perempuan
yang
ambisius
untuk
bersaing
dengan lakilaki
Tidak semua
perempuan
tidak
ambisius,
tergantung
orangnya
Tergantung
pada
orangnya
masingmasing
Perempua
n itu lebih
sabar dan
komunika
tif
Berdasarkan hasil analisis data di atas, mayoritas informan berpendapat
bahwa “citra baku” yang dilekatkan pada PRO perempuan (seperti: multi-tasking,
detil, sabar, tekun, dan tidak ambisius), itu tidak selalu sesuai. Dengan kata lain
bahwa semua itu tergantung pada individunya (PRO perempuan) masing-masing.
Dari data di atas, bisa dikatakan bahwa ‘stereotip (citra baku)’ yang melekat pada
88
praktisi PR perempuan tersebut sifatnya relatif dan tidak bisa digeneralisasikan
kepada semua PRO perempuan.
4.2.5.2 Keterlibatan PRO perempuan dalam pembuatan keputusan
Menurut penjelasan para ahli bahwa praktisi PR dalam suatu perusahaan
(organisasi) mempunyai penekanan pada fungsi manajemen. Sebagai sebuah
fungsi manajemen, Public Relations memiliki kedudukan, peran, fungsi, dan
status yang sejajar dengan fungsi -fungsi manajerial yang lain seperti manajemen
sumber daya manusia, manajemen pemasaran, atau manajemen keuangan. Para
ahli juga menjelaskan bahwa Public Relations (PR) merupakan bagian dari
dominant coalision dalam perusahaan dan karenanya memiliki kewenangan cukup
besar untuk melakukan pengambilan keputusan. Berikut ini adalah keterlibatan
masing-masing PRO perempuan informan dalam pembuatan (pengambilan)
keputusan di lembaga yang bersangkutan.
IR mengungkapkan bahwa ia terlibat dalam pembuatan (pengambilan)
keputusan di lembaganya sejauh keputusan (kebijakan) tersebut terkait dengan
kompetensi komunikasinya, dalam arti bahwa keterlibatannya lebih pada
bagaimana ia menyampaikan keputusan (kebijakan) yang telah diambil oleh
lembaga kepada publik perusahaan sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai
PRO (humas). IR juga menegaskan bahwa keterlibatannya bukan pada pembuatan
keputusan secara umum yang dilakukan oleh institusinya. Berikut ini adalah
penuturan IR,
“Saya dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan
kompetensi komunikasi saya. Itu dilakukan dalam proses baik langsung
89
maupun tidak langsung yah; saya selalu terlibat dalam Rapat Pimpinana,
Rapat Direktur, dan Rapat Pimpinan Dekan, jadi kalau ada info-info atau
policy (kebijakan) yang membutuhkan kompetensi saya dilibatkan. Sejauh
ini sih gak da masalah”.
Selanjutnya, DM mengungkapkan hal senada dengan IR bahwa ia terlibat
dalam pembuatan keputusan di lembaganya, tetapi hanya terkait dengan masalahmasalah komunikasi. DM menuturkan tentang keterlibatannya sebagai berikut,
“Saya terlibat, seperti yang saya jelaskan tadi, yaitu yang terkait dengan
kompetensi komunikasi saya, walaupun manajer saya bisa menerima atau
menolaknya, tetapi apa yang saya usulkan selalu berdasarkan faktafakta”.
Sementara itu, LI menuturkan bahwa ia terlibat dalam pembuatan
keputusan di lembaganya. Namun, keterlibatannya lebih pada hal-hal yang
menyangkut administrasi kehumasan. Seperti penuturan LI berikut ini,
”Saya terlibat juga dalam pengambilan keputusan, dan hal-hal yang
terkait terkait dengan administrasi kehumasan yang perlu ditanda
tangani, maka Kepala Bagian Humas (direktur humas) dan saya (PR
Manager) harus menandatanganinya”.
Informan AF, ternyata mempunyai kesamaan dengan informan lain yaitu
IR, DM, dan LI dalam hal keterlibatannya dalam pembuatan keputusan di
lembaganya. AF mengatakan bahwa ia terlibat sejauh keputusan tersebut
berkaitan dengan tugas-tugas kehumasan yang menjadi tanggung jawabnya.
Seperti penuturannya berikut ini,
”Saya terlibat sejauh berkenaan dengan tugas-tugas kehumasan, misalnya
untuk mempersiapkan materi presentasi. Terkait dengan hal ini misalnya
untuk Fakultas Teknik, apa yang membedakan Fakultas Teknik di
Lembaga ini dengan Universitas lain. Jadi semua itu harus disampaikan
kepada jajaran manajemen”.
90
Sedangkan IB mengungkapkan bahwa ia tidak terlibat sama sekali dalam
pembuatan keputusan di lembaganya, karena hal-hal yang terkait dengan
pengambilan keputusan menjadi tanggung jawabnya kepala biro humas di
lembaganya. Sebagaimana penuturan IB berikut ini,
“Kalau yang berkenaan dengan rapat-rapat pengambilan keputusan saya
tidak pernah terlibat, karena kegiatan seperti itu hanya diikuti oleh atasan
saya, “kepala biro”, paling yang saya lakukan hanya mempersiapkan
materi-materi, informasi, dan data-data yang diperlukan oleh kepala biro,
jadi saya tidak terlibat dengan rapat-rapat pengambilan keputusan atau
yang terkait dengan manajemen di lembaga ini”.
Tabel 9 Keterlibatan PRO perempuan dalam pengambilan keputusan
No
Informan
Keterlibatan dalam pembuatan keputusan
1
IR
2
DM
Yang terkait dengan
kompetensi
komunikasinya/bagian PR
3
LI
Hanya terkait dengan
administrasi kehumasan
4
AF
Hanya yang terkait dengan
tugas-tugas kehumasan
5
IB
Terlibat
Yang terkait dengan
kompetensi komunikasi/bagian
PR
Tidak terlibat
Tidak terlibat, karena
menjadi tanggung jawab
Kabiro humas
Data yang terangkum pada table 9 di atas, menunjukkan bahwa sebagian
besar PRO perempuan informan terlibat dalam pembuatan/pengambilan keputusan
di institusinya jika keputusan-keputusan tersebut berkaitan dengan kompetensi
komunikasinya atau menyangkut kehumasan. Data di atas juga dengan jelas
91
memperlihatkan bahwa mayoritas informan tidak terlibat dalam pembuatan atau
pengambilan keputusan-keputusan strategis di level organisasi.
Dari data yang diperoleh, keterlibatan para informan dalam pembuatan
keputusan lebih bertujuan agar PR lebih mengetahui apa-apa yang menjadi
keputusan
organisasi
(lembaga)
sehingga
PRO
bisa
mensosialisasikan/mengkomunikasikan keputusan (kebijakan) tersebut kepada
public perusahaan secara efektif dan efisien. Jadi, partisipasi para informan dalam
pengambilan keputusan hanya yang terkait dengan bidang kehumasan.
4.2.6. Pertentangan antara profesi PR dengan peran gender perempuan
Seorang praktisi PR perempuan selain secara profesional bertanggung
jawab atas profesinya sebagai PRO, ia juga sebagai seorang wanita yang harus
memperhatikan tanggung jawab dan tugasnya sebagai perempuan dengan
berbagai gender prempuannya (peran gender) yang melekat pada dirinya. Berikut
ini adalah bagaimana masing-masing PRO perempuan informan menjalani sisi
profesionalnya sebagai PR dan sisi lainnya sebagai pribadi perempuan yang
secara sosial dituntut juga bertanggung jawab atas keluarga atau rumah tangganya.
Menurut IR pertentangan pasti ada antara sisi profesionalnya dengan
pribadinya sebagai perempuan (peran gendernya), setidaknya menurut dia dari sisi
waktu karena selain harus menjalankan tugas-tugas kehumasan yang kadangkadang menuntut waktu extra, ia juga harus memperhatikan urusan keluarga dan
rumahtangganya. Seperti penuturan IR berikut ini,
“Pertentangan pasti adalah, khususnya dari segi waktu yah, kadangkadang saya harus pulang malam. Kalau dari sisi pembagian tugas,
92
kebetulan dengan suami ada pembagian tugas, jadi sepanjang semuanya
bisa dijalankan yang gak ada masalah. Kecuali sakit tidak bisa ditolak
yah”.
Selanjutnya, DM mengatakan bahwa bagi dia tidak ada pertentangan
antara profesinya sebagai spesialis PR dengan pribadinya sebagai perempuan.
Menurut DM, walaupun profesi PR menuntut waktu extra dan bahkan harus
standby 24 jam, tetapi tidak menjadi masalah baginya karena ia belum
berkeluarga. DM menuturkan sebagai berikut,
“Pertama mungkin kalau saya belum berkeluarga, jadi tidak ada masalah
dari sisi waktu walaupun harus lembur malam”.
Namun demikian, menurut DM bagi PRO perempuan yang sudah berumah
tangga, maka ia harus mampu mengelola waktunya dengan baik. “Time
management” harus betul-betul diperhatikan oleh seorang praktisi PRO
perempuan. Sebagaimana penuturan DM berikut ini,
“…tetapi kalau bagi mereka yang sudah berkeluarga saya kira soal
manajemen waktu yang harus diperhatikan, karena saya juga kenal
dengan beberapa PR perempuan yang harus standby 24 jam, walaunpun
merekan bilang “saya harus punya privacy time” dong, namun kadangkadang ada “urgent call” atau ada hal-hal yang mendadak yang harus
ditangani”.
Sementara itu, LI mengutarakan bahwa bagi dia tidak pertentangan antara
profesinya sebagai PRO dengan pribadinya sebagai perempuan. Walaupun ia
harus menjalankan tugas-tugas kehumasan di luar jam kerjanya sekaligus harus
memperhatikan keluarganya, ia tetap “happy” dan menikmati profesi tersebut. LI
menuturkan bahwa profesi PR memang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu, ia
ingin menjadi PR yang professional dan terkenal. LI menuturkan sebagai berikut,
93
”Saya selalu bekerja dengan hati, memang dari dalam hati saya yah, dari
dulu memang saya bercita cita pengen jadi PR terkenal. Apa yah, jiwa
saya memang sudah di situ, sejak awal saya banyak berhubungan dengan
orang. Memang hidup saya itu seperti itu, saya nikmati aja, walau saya
harus urus event sampai malam. Waktu awal-awal jadi PR saya keliling
keliling terus, ikut workshop untuk meng-improve knowledge saya. Jadi
saya enjoy saja menjalani profesi ini”.
AF ternyata menuturkan hal yang sama bahwa ia tidak merasakan adanya
pertentangan antara profesinya sebagai PR dengan tugas-tugas di luar profesinya
yaitu tugas atau tanggung jawabnya sebagai perempuan. AF menuturkan sebagai
berikut,
“Tidak ada pertentangan, buktinya saya sudah menggeluti bidang ini
hampir 23 tahun, jadi tidak ada masalah”.
Table 10 Pertentangan antara profesi PR dengan peran gender perempuan
No
Informan
Pertentangan antara Profesi PR dan Gender Perempuan
Ada
Tidak ada
1
IR
Dari sisi waktu, karena
harus membagi waktunya
dengan urusan keluarga
2
DM
Ia sebagai perempuan lajang
tidak merasakan adanya
pertentangan baik dari sisi
waktu maupun beban kerja
3
LI
Walaupun ia “single parent”
tidak merasakan adanya
pertentangan antara profesinya
dengan peran gender-nya
sebagai perempuan
4
AF
Ia merasa enjoy dengan
profesiya, hampir 23 tahun ia
telah menggeluti bidang
profesi PR
5
IB
Tidak merasakan adanya
pertentangan, ia merasa senang
94
menjalani bidang profesi PR
Data pada table di atas menunjukkan bahwa mayoritas PRO perempuan
informan tidak mengalami adanya pertentangan antara profesinya sebagai PRO
dengan peran gender-nya sebagai perempuan. Walaupun peran gender-nya sering
distereotipkan sebagai orang yang memiliki kasih sayang dan kemampuan
mengasuh, para PRO perempuan informan bisa menjalankan dunia profesionalnya
sebagai PRO, sekaligus menjalankan apa yang menjadi peran gender-nya di
masyarakat.
4.3.
Interpretasi
Bidang profesi PR memang sering dianggap atau diidentikan dengan
bidang profesi perempuan, walaupun profesi PR itu sendiri sudah menjadi suatu
profesi yang cenderung ke public sphere. Dengan kata lain bahwa sebenarnya
profesi ini sama dengan profesi-profesi lain seperti pengacara, guru, dokter, dan
sebagainya. Namun, ada beberapa kriteria khusus jika seorang praktisi PR (PRO)
itu berjenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PRO perempuan
menganggap (melihat) dirinya dominan dalam peran teknisi (technician role),
yaitu suatu peran yang tugas-tugasnya mengurusi soal tulis menulis, memproduksi
dan menyebarkan komunikasi seperti: press release, pidato, website, cerita
feature, dan laporan tahunan.
95
Temuan di atas agaknya berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh
Dozier dan Broom (Dan Lattimore, dkk, 2008: 52) yang menjelaskan bahwa ada
dua peran PR utama yang secara konsisten muncul dalam public relations (PR),
yaitu: peran teknisi (technician role) dan peran manajerial (managerial role).
Namun, peran manajerial cenderung tidak dijalankan oleh para PRO di
perusahaan (lembaga) baik swasta maupun lembaga-lembaga pemerintahan.
Dominannya salah satu peran yang dijalankan oleh praktisi PR (PRO)
tersebut di atas, terutama peran teknisi (technician role) disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain: dari sisi kualifikasi (latar belakang pendidikan), sebagian besar
PRO tidak memiliki latar belakang pendidikan yang benar-benar relevan untuk
bidang profesi public relations (kehumasan). Hanya sebagian kecil PRO yang
memiliki latar belakang Ilmu komunikasi khususnya pada peminatan public
relations (PR). Tetapi mayoritas perusahaan (organisasi) cenderung menganggap
bahwa tidak penting seorang PRO memiliki latar belakang pendidikan Public
Relations (PR) karena untuk perusahaan – perusahaan tersebut yang terpenting
adalah kemampuan PRO dalam berkomunikasi. Hal ini bisa disebabkan oleh opini
dan anggapan umum yang menyatakan bahwa perempuan memang diciptakan
untuk dapat handal dalam berkomunikasi. Kemampuan atau bakat perempuan
dalam berkomunikasi ternyata dipengaruhi oleh faktor hormonal, yaitu hormon
“estrogen” yang diproduksi dalam diri perempuan yang secara alamiah hormon
tersebut membuat perempuan lebih komunikatif dan lebih bisa berempati
ketimbang laki-laki. Ketika hormon “estrogen” (hormon seks perempuan)
memenuhi otak perempuan, secara inten perempuan mulai memfokuskan pada
96
emosi dan komunikasinya, perempuan cenderung lebih aktif berhubungan dengan
teman-teman perempuannya untuk berbicara tentang banyak hal. Pada saat yang
sama ketika hormon “testosteron” (hormon seks laki-laki) mempengaruhi otak
laki-laki, mereka cenderung kurang komunikatif dan lebih suka menyendiri
(Louann Brizendine, 2006: 7-9) 86.
Selain itu, menurut Brizendine ternyata otak perempuan memiliki
kemampuan yang sangat unik – yaitu memiliki kemampuan verbal yang sangat
baik, memiliki kemampuan untuk menjalin persahabatan secara mendalam,
kemampuan membaca raut wajah dan pikiran orang, dan kemampuan untuk
mencegah konflik. Kesemua itu hanya terprogram (hard-wired) dalam otak
perempuan dan merupakan bakat sejak lahir, dan bakat tersebut tidak dimiliki oleh
laki-laki. Laki-laki terlahir dengan bakat lain yang dibentuk oleh realitas hormonal
tersendiri. Jadi, kemampuan komunikasi perempuan dipengaruhi oleh faktor
hormonal pada otaknya yang secara alamiah otak perempuan memang berbeda
dengan otak laki-laki. Disamping itu, bayi perempuan secara alamiah cenderung
lebih mudah beresonansi dengan ibunya ketimbang anak bayi laki-laki.
Selain dipengaruhi oleh faktor hormonal sebagaimana dikemukakan di
atas, ternyata model gaya komunikasi yang cenderung digunakan (disukai)
perempuan juga menjadi faktor penyebab mengapa perempuan lebih cocok untuk
menjalankan peran-peran teknisi komunikasi (technician roles). Hal tersebut
diungkapkan oleh Aldoory & Toth (2004) 87 yang menjelaskan bahwa perempuan
86
Louann Brizendine. The Female Brain. Published by Broad way Books United States. 2006 hal:
7–9
87
Victoria Geyer-Sempel. Classroom to Boardroom: The Role of Gender in Leadership Style,
stereotypes and Aptitude for Command in Public Relations. Public Relations Journal Vol. 5, No.
97
mampu berkomunikasi secara efektif dalam model komunikasi dua arah, terutama
gaya komunikasi transformasional (komunikasi yang bisa menstimuli semangat)
yang membuat perempuan lebih baik dalam menjalankan peran-peran teknisi
komunikasi. Sementara, laki-laki lebih menyukai gaya komunikasi transaksional
(ada proses negosiasi makna), oleh karena itu laki-laki lebih cocok untuk
menjalankan peran- peran manajerial (managerial roles).
Faktor lain yang menyebabkan PRO lebih cenderung melakukan tugastugas teknis adalah karena struktur atau posisi dalam organisasi (perusahaan), PR
belum diposisikan pada posisi atau struktur puncak, dengan kata lain bahwa posisi
PR hanya disejajarkan dengan fungsi-fungsi manajerial yang lain seperti
keuangan, marketing, dsb. Padahal, untuk memaksimalkan peran dan fungsinya
maka PRO perlu memiliki garis komunikasi yang bagus di seluruh organisasi agar
PRO memperoleh informasi secara cepat atau PRO bisa diberikan informasi
ketika sesuatu terjadi. Dari sisi “communication line”, Jefkins (1994: 33)
mengilustrasikan garis komunikasi untuk PRO agar bisa mengakses informasi dari
berbagai departemen dengan mudah maka posisinya secara struktur harus berada
di leher. Struktur tersebut dipraktikkan dalam Departemen PR yaitu “British
Telecom” (BT). Seperti tampak pada ilustrasi di bawah ini,
2, Spring 2011 ISSN 1942-4604 © 2011 Public Relations Society of America. Dari:
http://www.prsa.org/SearchResults/download/6D050206/0/Classroom_to_Boardroom_The_Role_of_Gender_in_Leade (diakses pada tanggal 24
April 2012)
98
Chief Executive
PRO
Personnel
R&D
Puchasing
Production
Marketing
Finance
Sumber: Jefkins (1994: 33) Public Relations Techniques
Berdasarkan ilustrasi di atas, posisi PRO juga menentukan apakah ia hanya
dilihat atau dianggap sebagai fungsi pendukung teknis atau sebagai komunikator
yang bertugas menyampaikan informasi tentang organisasi (perusahaan) kepada
publik. Ketika PRO diposisikan sejajar dengan fungsi-fungsi manajerial lain
seperti tampak pada gambar di atas, maka PRO cenderung hanya menjadi
pelaksana keputusan-keputusan yang telah diambil oleh pimpinan puncak
organisasi (perusahaan).
Terjadinya ketidakseimbangan peran public relations (PR) (antara peran
teknisi dan peran manajerial) juga bisa disebabkan oleh karena PR berkembang
dan dianalogikan secara beragam tergantung bagaimana lembaga (orang)
mempersepsikannya. Sebagian mendeskripsikan tugas PR sebagai protokoler,
fotografi, tugas mengatur dan melayani wartawan, menjawab berita, mengkliping
koran, mengelola buletin, event organizer sampai dengan analogi sebagai”
penyelamat” organisasi dari citra buruk di mata publik. Sehingga PR dipraktikkan
sesuai dengan analogi dan persepsi tersebut yang akibatnya tugas PR cenderung
menjadi lebih spesifik (sempit). Sebagian PRO hanya cenderung menjalankan
99
tugas untuk berhubungan dengan publik eksternal (media), dan sebagian lagi
hanya melaksanakan tugas-tugas marketing. Hal tersebut juga tercermin dari
penamaan divisi atau biro yang digunakan oleh lembaga masing-masing, seperti
divisi Marketing PR, dsb.
Temuan penelitian tentang dominannya peran teknisi juga mengamini
hasil penelitian Dozier yang mengemukakan bahwa dari sisi peran, jumlah praktisi
PR yang menjalankan peran teknisi meningkat 14% dari 38% menjadi 52% dari
tahun 1979 sampai dengan 1985. Sedangkan peran sebagai manajer komunikasi
hanya meningkat 1% dari 18% menjadi 19%.
Lalu,
perempuan
juga
dianggap
lebih
luwes,
menarik, empati,
komunikatif, dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain khususnya dengan
publik perusahaan (organisasi). Sehingga sebagian praktisi PR (PRO) cenderung
menjalankan peran sebagai penghubung (liaison) secara dominan. Citra baku
(stereotip) tersebut ternyata didukung oleh para ahli. Salah satunya adalah John
Gray (2002: 16) 88 yang menjelaskan bahwa perempuan secara alamiah
mempunyai nilai-nilai yang berbeda dengan laki-laki. Ternyata menurut Gray
perempuan itu lebih menghargai cinta (kasih sayang), komunikasi, kecantikan,
dan hubungan (persahabtan). Perempuan menghabiskan waktunya untuk memberi
dukungan, membantu, dan saling mengasuh satu sama lain. Perempuan juga lebih
peduli dengan hidup bersama dalam harmoni, dalam komunitas, dan suka bekerja
sama. Sifat-sifat yang dimiliki oleh perempuan tersebut memang sesuai dengan
88
John Gray. Men are from Mars, women are from Venus. A practical guide for improving
communication and getting what you want in your relationship (PDF). Dari:
http://xa.yimg.com/kq/groups/21230179/1805388939/name/ladies.pdf , diakses pada tanggal 11
Juni 2012 Jam: 12: 44 WIB
100
prinsip atau esensi dari fungsi PR (humas) yaitu untuk membangun dan
memelihara hubungan harmonis antara perusahaan dengan publiknya. Dengan
memiliki sifat-sifat tersebut, perempuan bisa lebih mampu mencegah konflik dan
menghindari agresivitas atau tindakan-tindakan “coercive” yang tidak sesuai
dengan fungsi PR dan bisa merusak citra (image) perusahaan di mata publiknya.
Jadi sifat-sifat yang dimiliki perempuan sangat sesuai dengan fungsi PR di
perusahaan yang bertugas untuk membangun dan memelihara hubungan harmonis
dengan berbagai publiknya.
Uraian di atas juga didukung oleh Grunig et.al (2001) yang menjelaskan
bahwa perempuan dalam public relations adalah komunikator yang lebih baik
ketimbang laki-laki, dan perempuan lebih terampil dalam bidang komunikasi yang
dibutuhkan dalam public relations (PR). Selain Grunig, Florich dan Peters (2007)
seperti dikutip Allex dan Reinhenbach89 dalam studinya mencatat bahwa “lakilaki kurang memiliki kepekaan (sensitivitas) dan empati terhadap pemeliharaan
hubungan dengan para klien, para wartawan, dan kelompok-kelompok sasaran”.
Lebih jauh, Alex dan Megan mengemukakan bahwa “Public relations
practitioners must have the ability to form trusting and lasting relationships with
clients. Without these connections, the field of public relations wouldn’t exist”.
(Para praktisi PR harus memiliki kemampuan membangun hubungan saling
percaya dan langgeng dengan para klien. Tanpa hubungan ini, bidang PR tidak
akan ada).
89
Sumber: http://platformmagazine.org/2012/01/the-female-appeal-in-public-relations/, diakses
pada tanggal 20 April 2012, Jam : 11: 55 WIB
101
Terkait dengan “managerial roles”, data yang diperoleh menunjukkan
bahwa mayoritas PRO perempuan di perguruan tinggi tidak menjalakan peran
manajerial (managerial roles). Padahal, menurut teori bahwa para PRO selain
mempunyai peran teknis, mereka juga memiliki peran manajerial yang berfungsi
mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh manajemen puncak melalui
fungsi konseling. Sebagian besar PRO tidak menjalankan peran tersebut karena
mereka lebih fokus untuk menjalankan aktivitas/kegiatan kehumasan yang bersifat
teknis seperti mengedit dan menulis, mengadakan konfrensi pers, membuat rilis,
menyelenggarakan event dsb. Hasil penelitian di atas juga didukung oleh Cutlip,
dkk (2009: 49) yang mengemukakan bahwa PRO yang perannya lebih fokus pada
aktivitas komunikasi dan aktivitas lain dalam proses komunikasi biasanya mereka
bukan bagian dari lingkaran dalam manajemen. Selain itu, menurut Cutlip mereka
cenderung kurang memperhatikan soal perencanaan strategis dan riset. Jadi, peran
manajerial (managerial roles) bisa dijalankan oleh PRO jika mereka merupakan
bagian dari lingkaran manajemen.
Terkait dengan tugas atau program-program PR di perguruan tinggi,
Wilcox, dkk (1995: 37) 90 mengungkapkan “public relations programs are
essential to the well-being universities and colleges”. (Program public relations
adalah penting untuk kesejahtraan universitas dan akademi). Menurut Wilcox
bidang kegiatan dari praktisi PR perguruan tinggi bisa meliputi:
a. News release – mendistribusikan informasi tentang acara-acara
kampus, penelitian, dan fakultas atau pencapaian mahasiswa
90
Dennis L. Wilcox, Philip H. Ault, dan Warren K. Agee. Public Relations: Strategies and Tactics
Fourth edition. Harper Collins College Publishers United States. 1995 hal: 37
102
b. Publications – persiapan brosur dan catalog berkala
c. Alumni contact work – berbagai kegiatan termasuk mengadakan tur
kampus
d. Hubungan dengan pemerintah dan pemda
e. Penggalangan dana – donasi dari lembaga, alumni, pemerintah dan
kelompok kepentingan
f. Rekrutmen mahasiswa
g. Hubungan Internal – dengan fakultas, staff, dan badan kemahasiswaan
Selanjutnya, tentang pembentukkan ‘stereotip gender’ di lembaga
(perusahaan), mayoritas PRO menyatakan bahwa lembaga (organisainya) tidak
pernah mensyaratkan harus ‘perempuan’ untuk posisi PRO yang akan direkrut di
lembaga tersebut. Menurut para PRO, pihak lembaga juga tidak pernah membuat
iklan untuk posisi PRO yang disebarluaskan kepada khalayak. Hasil analisis data
juga menunjukkan bahwa tidak satupun hal yang mengindikasikan adanya
pembentukkan ‘stereotip gender’ di lembaga (pendidikan tinggi). Hal tersebut
terjadi dikarenakan lembaga perekrut PRO menyadari bahwa bidang profesi PR
adalah suatu profesi yang sama dengan profesi-profesi lain yang menuntut
pengetahuan, keterampilan atau kompetensi tertentu. Profesi ini bisa dijalani oleh
perempuan ataupun laki-laki sepanjang keduanya memenuhi syarat dan memiliki
standar kompetensi yang dibutuhkan oleh bidang profesi PR.
Mengenai anggapan bahwa profesi PR hanya cocok untuk perempuan, hal
itu terjadi karena adanya persepsi yang salah yang berkembang di masyarakat
103
tentang profesi PR. Anggapan tersebut berkembang karena banyak lembaga
(perusahaan) perekrut PRO mendeskripsikan dan menganalogikan tugas PR sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing. Sehingga tugas PR menjadi lebih sempit
dan profesi ini cenderung menjadi ‘bias gender’ yang diindikasikan oleh
banyaknya lembaga perekrut PRO yang membuat iklan dan mensyaratkan
‘perempuan’ untuk calon PRO yang akan direkrutnya. Padahal, sejauh ini belum
ada hasil penelitian di Indonesia yang menyatakan bahwa dunia PR lebih
membutuhkan perempuan ketimbang laki-laki, meskipun tidak bisa dipungkiri
bahwa profesi tersebut sudah menjadi tren profesi perempuan.
Realitas di atas juga didukung oleh para praktisi PR di Indonesia antara
lain ’Wisnu Juwono’- Kepala kantor Komunikasi dan Humas Universitas
Indonesia (UI) yang menyatakan bahwa tidak seharusnya ada bias gender untuk
bidang profesi PR. Karena PR merupakan profesi yang umum dan faktanya juga
menunjukkan bahwa banyak para praktisi PR yang handal yang memegang
peranan penting juga laki-laki. Misalnya saja Wimar Witoelar adalah PR di jaman
Presiden Abdurahman Wahid, demikian pula PR Presiden SBY, termasuk
sekretarisnya Presiden AS Barrac Obama. Jadi, memang seharusnya bidang
profesi PR bisa dijalani oleh perempuan atau laki-laki tanpa ada bias gender.
Terkait dengan pertanyaan “apakah ada pertentangan antara profesi PR
dengan gender perempuan (peran gender)”? Mayoritas PRO menyatakan bahwa
mereka tidak merasakan (mengalami) adanya pertentangan antara profesinya
sebagai PRO dengan ‘peran gender-nya’ sebagai perempuan. Hal tersebut cukup
beralasan karena tugas-tugas yang dijalankan para PRO cenderung lebih spesifik
104
dan tidak sekompleks tugas-tugas yang dijalankan oleh PRO pada perusahaanperusahaan atau bisnis murni seperti perusahaan pertambangan dan perusahaan
penghasil produk-produk yang tantangan dan risikonya jauh lebih besar. Namun
demikian, pengelolaan waktu sangat penting diperhatikan oleh PRO, karena selain
menjalankan profesinya sebagai PRO mereka juga dituntut menjalankan ‘peran
gender-nya’ sebagai perempuan.
Lantas, apa alasan para PRO memilih profesi PR? Hasil analisis data
menunjukkan bahwa sebagian besar PRO memilih profesi PR lebih karena adanya
peluang atau kesempatan di bidang profesi tersebut. Bagi sebagian besar PRO
ternyata profesi PR bukan merupakan suatu profesi yang dicita-citakan sejak awal.
Jadi, mereka menjalani bidang profesi PR lebih karena adanya peluang di bidang
profesi tersebut yang didukung oleh adanya relasi, jadi masuknya para PRO ke
perusahaan juga tidak terlepas dari relasi pribadi mereka dengan organisasi yang
bersangkutan. Walaupun dari sisi latar belakang pendidikan kurang sesuai untuk
bidang profesi PR, namun karena adanya relasi, mereka bisa menjadi praktisi PR
di perusahaan (organisasi).
Tentang keterlibatan PRO dalam pembuatan keputusan, hasil analisis data
menunjukkan bahwa sebagian besar PRO tidak terlibat dalam pengambilan
keputusan strategis di level organisasi. Kendatipun PRO terlibat dalam pembuatan
keputusan, namun hanya ketika keputusan yang diambil terkait dengan bidang PR
(kehumasan). Hal itu terjadi karena sebagian besar PRO memang lebih banyak
diberikan tugas-tugas teknis yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan
berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pihak manjemen kepada publik. Selain
105
itu, mayoritas PRO tidak berada dalam lingkaran manajemen di organisasi yang
bersangkutan.
Temuan di atas diperkuat oleh Cutlip, dkk (2009: 49) yang menjelaskan
bahwa PRO yang perannya lebih fokus pada aktivitas komunikasi dan aktivitas
lain dalam proses komunikasi biasanya mereka bukan bagian dari lingkaran dalam
manajemen. Selain itu, mereka cenderung kurang berminat kepada perencanaan
strategis dan riset. Oleh karena itu, peran manajerial (managerial role) bisa
dijalankan oleh PRO jika mereka merupakan bagian dari lingkaran manajemen.
Kemudian, dari sisi fungsi, hasil analisis data memperlihatkan bahwa
sebagian besar PRO secara dominan menjalankan fungsi pemasaran (marketing
communication). Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
adalah adanya konsep tentang ‘Komunikasi Pemasaran Terpadu’ atau yang sering
disebut “Integrated Marketing Communication (IMC)”. IMC merupakan sebuah
proses perencanaan komunikasi marketing yang memperkenalkan konsep
perencanaan komprehensif untuk mengevaluasi peranan strategis dari berbagai
elemen komunikasi pemasaran, seperti public relation, advertising, direct selling,
sales promotion, dan interactive marketing, untuk memberikan kejelasan,
konsistensi, serta pengaruh komunikasi yang maksimum. Komunikasi Pemasaran
Terpadu merupakan sebuah proses strategi bisnis dalam mengelola hubungan
dengan konsumen yang intinya untuk menggerakkan brand value. Komunikasi
Pemasaran Terpadu tidak hanya menggunakan iklan (advertising) melainkan juga
public relations (PR).
106
Alasan lain mengapa fungsi marketing lebih dominan dijalankan oleh
PRO, bisa jadi karena sebagian besar PRO tidak memiliki latar belakang
pendidikan yang relevan untuk bidang profesi PR. Sehingga PRO lebih cenderung
menjalankan tugas-tugas pemasaran (komunikasi pemasaran) yang menurut
dokumen PRSA adalah merupakan salah satu komponen dasar public relations.
Download