Study of Paleoclimatology and Global Temperature Changes

advertisement
KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN PERUBAHAN SUHU GLOBAL
RATIH DWIMEINI PURWANTO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
ABSTRACT
RATIH DWIMEINI PURWANTO. Study of Paleoclimatology and Global Temperature
Changes. Under the direction of AHMAD BEY and RAHMAT HIDAYAT.
Global climate change is a change of climate patterns and intensity on a global scale as a
result of changes in the energy budget components within the earth system and may be caused by
both natural and antrophogenic factors. Studies of climate change requires a long data which may
be reconstructed by several methods of paleoclimatology including ice cores, tree ring, coral, and
pollen methods. Climate reconstruction using Ice core method requires longer data records
compared with the tree ring, coral, and pollen method. The complexity of physical and chemical
analysis are major constaints in utilizing ice core and coral method. On the other hand, the unven
speard of tree on the earth cause limitations to the information obtained from tree ring and pollen
method. Among factors consider important to the global climate change include solar constant,
properties of earth surface, and atmospheric chemical compositions of greenhouse gases.
Radiative forcing is an index defined by the rate of energy change per unit area of the globe as
measured at the top of the atmosphere. Global climate change is indicated by increased of global
average surface temperature which according to data records has increased by 0.7 oC during the last
century. A number of literature suggest the temperature rise was due to anthropogenic factors;
however, using simplified energy balance model of the earth-atmosphere system reveals that an
increase of solar constant by 1% (which may occur during the last century), while holding other
factors unchanged, will result in an average global surface temperature increase of 0.6oC which is
fairly close to the value obtained from observations. It must be emphasized that climate is an
extremely complex system in which various factors interact with each other in some forms of
linear and non-linear feedbacks. Analysis of time series data of Jakarta Observatory which cover a
period of 1965-2010 shows a slight increase of average temperature and decrease of average
rainfall.
Keyword : paleoclimatology, global climate change, global warming, green house gases, natural
factor of climate change
iii
ABSTRAK
RATIH DWIMEINI PURWANTO. Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global.
Dibimbing oleh AHMAD BEY dan RAHMAT HIDAYAT.
Perubahan iklim global adalah perubahan pola dan intensitas iklim dalam
skala
global sebagai akibat dari perubahan keseimbangan komponen energi dalam sistem bumi, dan hal ini
disebabkan oleh dua faktor yaitu natural dan antopogenik. Studi perubahan iklim memerlukan data
yang panjang yang dapat direkonstruksi dengan beberapa metode paleoklimatologi diantaranya
metode inti es, lingkar pohon, karang, dan serbuk sari. Rekonstruksi iklim menggunakan metode
inti es menghasilkan data iklim yang lebih panjang dibandingkan dengan menggunakan metode
lingkar pohon, karang, dan serbuksari. Akan tetapi rumitnya analisis fisik dan kimia dalam metode
karang dan inti es menjadi kendala utama, di sisi lain tidak meratanya penyebaran pohon di bumi
ini menyebabkan terbatasnya informasi iklim yang dihasilkan dari metode lingkar pohon dan
serbuk sari. Faktor yang dianggap penting dalam perubahan iklim global antara lain adalah
konstanta matahari, properti permukaan bumi, dan komposisi gas rumah kaca di
atmosfer. Radiative forcing merupakan suatu index yang didefinisikan sebagai perubahan laju
energi persatuan luas yang diukur di bagian atas atmosfer. Perubahan iklim global diindikasikan
dengan peningkatan rata-rata suhu permukaan global, berdasarkan rekaman data rata-rata suhu
global mengalami peningkatan sebesar 0.7oC selama satu abad terakhir. Sejumlah literatur
menyatakan bahwa kenaikan suhu global disebabkan oleh faktor antropogenik. Bagaimanapun
dengan menggunakan model neraca energi sederhana mengungkapkan bahwa kenaikan konstanta
matahari sebesar 1% (yang mungkin terjadi selama satu abad terakhir), selama faktor lain tidak
mengalami perubahan, akan menghasilkan kenaikan suhu bumi sebesar 0.6 oC nilai yang cukup
dekat dengan hasil pengamatan. Harus ditekankan bahwa iklim merupakan sistem yang sangat
kompleks dimana berbagai faktor saling berinteraksi satu sama lain dalam beberapa bentuk umpan
balik linier dan non linier. Analisis deret waktu Jakarta Obsevatory pada tahun 1965-2010
menunjukan peningkatan tipis dari data suhu rata-rata dan penurunan untuk curah hujan rata-rata.
Kata Kunci : paleoklimatologi, perubahan iklim global, pemanasan global, gas rumah kaca, faktor
natural perubahan iklim
iv
KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN PERUBAHAN SUHU GLOBAL
RATIH DWIMEINI PURWANTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
v
Judul Skripsi
Nama
NRP
:
:
:
Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global
Ratih Dwimeini Purwanto
G24070025
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey
NIP. 19510823 197603 1 002
Dr. Rahmat Hidayat, S.Si, M.Si
NIP. 19740301 200003 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai laporan
studi pustaka yang telah dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2011 dengan judul Kajian
Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global. Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey sebagai pembimbing I dan Dr. Rahmat Hidayat, S.Si, M.Si
sebagai pembimbing II, yang telah banyak memberikan pengarahan, ide, ilmu, masukan
dan bimbingan sampai skripsi ini terselesaikan
2.
Staf TU dan Pak Pono di Departemen Geofisika dan Meteorologi untuk semua bantuan
dan kebaikan yang diberikan.
3.
Orang tua penulis (Dian Ibnu Hadi Purwanto, S.Ip, M.M dan Yusmaini, S.E) untuk
dukungan dalam segala aspek.
4.
Keluarga besar Soemaji Istajab dan Keluarga besar Hasan Basri.
5.
Keluarga besar AGRIC yang menyalurkan hobi dan mengisi hari saya di IPB.
6.
The Mozquitoes (Ira, Rian, Atis, Kenyo) sebagai penyalur inspirasi.
7.
Teman-teman seperjuangan di Lab Met 2011( Andi dan Resa).
8.
Kepada teman-teman terdekat (Rini, Rahmawati, Retno, Yoshinta, Edwina, Evie) dan
seluruh teman GFM 44 atas semua kebersamaannya.
9.
Keluarga Soegiwanto (Bonteka, Boneka, Gadis, Iger, Suke, Mbot, Ncop, Nda, Engkus),
sebagai hiburan disela penulisan skripsi ini.
10.
Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat dituliskan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kriktik dan saran yang membangun untuk skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
.
Bogor, Juli 2011
Ratih Dwimeini Purwanto
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Mei 1989 dari pasangan Dian Ibnu Hadi
Purwanto dan Yusmaini. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dengan saudara lakilaki bernama Huda Praputra Purwanto.
Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2007 dan selanjutnya diterima sebagai
mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB. Di tahun 2007, penulis diterima
sebagai mahasiswa di Departemen Meteorologi dan Geofisika.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi
Dasar pada tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Departemen Kehutanan
pada tahun 2009, dan LIBAMA (Liga Basket Mahasiswa) divisi satu di Bandung pada tahun 2009
dan 2010. Selain itu, penulis aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi
(HIMAGRETO), pengurus divisi music UKM MAX!( Music Agricultural Xpression!), serta
anggota di UKM Basket IPB (AGRIC).
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman
...................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................... xi
I.
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 1
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 1
2.1 Paleoklimatologi ................................................................................................. 1
2.2 Keseimbangan Energi Permukaan ......................................................................... 3
2.3 Perubahan Iklim Global ....................................................................................... 4
2.4 Gas Rumah Kaca ................................................................................................. 4
2.5 Karakteristik Iklim Jakarta ................................................................................... 5
III.
METODE PENELITIAN.................................................................................................... 6
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................... 6
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................................... 6
3.3 Metode ............................................................................................................... 6
3.3.1 Studi Pustaka ........................................................................................... 6
3.3.1.1 Kerangka Pemikiran ...................................................................... 7
3.3.2 Skenario Keseimbangan Energi Permukaan ................................................ 7
3.3.3Analisis kecenderungan data series waktu iklim Jakarta Observatory 19652010. ....................................................................................................... 8
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................... 8
4.1 Metode Paleoklimatologi untuk Rekonstruksi Iklim ............................................. 8
4.1.1 Metode Inti Es (Ice Core) .......................................................................... 9
4.1.2 Metode Tree Ring................................................................................... 11
4.1.3 Analisis Karang (Coral) .......................................................................... 12
4.1.4 Analisis Serbuk Sari (Pollen) .................................................................. 13
4.2 Perubahan Suhu Global Sebagai Indikasi Perubahan Iklim Global Akibat
Kejadian Alam (Natural) ................................................................................... 15
4.3 Skenario Budget Energi untuk Menduga Perubahan Rata-rata Suhu Global. ......... 17
4.4 Perubahan Suhu Global Akibat Gas Rumah Kaca ................................................ 20
4.5 Analisis Kecenderungan Suhu dan Curah Hujan Jakarta Observatory 19652010................................................................................................................ 23
4.5.1 Analisis Kecenderungan Suhu ................................................................. 23
4.5.2 Analisis Kecenderungan Curah Hujan ...................................................... 25
V.
PENUTUP ..................................................................................................................... 27
5.1 Simpulan .......................................................................................................... 27
5.2 Saran ................................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 27
LAMPIRAN
..................................................................................................................... 30
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Data iklim Jakarta (http://worldweather.wmo.int) .................................................................. 6
2.
Informasi stasiun observasi .................................................................................................... 8
3.
Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es (Bradley 1999) ....................................... 9
4.
Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999) ................................................................ 10
5.
Waktu, tempat dan parameter observasi karang (Bradley 1999) ........................................ 13
6.
Skenario pendugaan suhu permukaan bumi ........................................................................ 19
7.
Konsentrasi gas rumah kaca sebelum dan sesudah revolusi industri (IPCC 2007) .............. 21
8.
Komponen gas rumah kaca dan potensinya terhadap pemanasan global untuk TH (Time
Horizon) 100 tahun dengan CO2 sebagai gas relatif (IPCC 2007) ........................................ 22
9.
Nilai komponen radiative forcing (IPCC 2007) ................................................................... 22
10. Nilai konstanta dan beberapa rumusan untuk menentukan nilai radiative forcing (Mhyre
1998)
..................................................................................................................... 23
11. Rata-rata suhu permukaan Jakarta per dekade ..................................................................... 25
12. Rata-rata tinggi curah hujan Jakarta Observatory periode 10 tahunan .............................. 26
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Observasi tutupan es Dasuopu, Himalaya (Thompson 2010). .......................................... 10
2.
Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999). ....................................... 11
3.
Hasil pengukuran densitas dengan sinar-x (Schweingruber et al. 1993)......................... 12
4.
Grafik perubahan suhu sebagai variabilitas iklim 420.000 tahun terakhir daerah Inti Es
Antartika (NOAA 2007). .................................................................................................. 15
5.
Mekanisme keseimbangan energi permukaan (Kiehl dan Trenberth 1997). ..................... 17
6.
Rata- rata suhu global dari tahun 1850- 2007 (Hutton 2010)............................................ 20
7.
Variasi suhu tahunan Jakarta Observatory (1965 -2010). ................................................ 24
8.
Variasi suhu musim hujan dan kemarau Jakarta Observatory tahun (1965- 2010). .......... 24
9.
Variasi curah hujan tahunan Jakarta Observatory (1965-2010). ....................................... 25
10.
Variasi curah hujan musim hujan dan musim kemarau Jakarta Observatory (19652010)…….. ..................................................................................................................... 26
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Tabel daftar literatur perubahan iklim global.………………………………... 31
2 Tabel daftar literatur paleoklimatologi...…...……………….…………….. ….32
3 Tabel daftar literature time series-data iklim.…………………………….........34
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cuaca merupakan nilai sesaat dari
atmosfer, serta perubahan dalam jangka
pendek (1 jam sampai 24 jam) di suatu
tempat tertentu di bumi ini. Cuaca yang
terobservasi
tercatat secara rutin akan
menghasilkan seri data cuaca. Data cuaca
dalam jangka yang panjang dapat digunakan
untuk menentukan iklim.
Iklim adalah nilai statistik atau
kesimpulan dari perubahan nilai unsurunsur cuaca dalam jangka panjang di suatu
wilayah tertentu. Iklim selalu mengalami
perubahan, unsur-unsur iklim memiliki kecenderungan naik dan turun secara nyata
yang menyertai keragaman harian, musim
maupun siklus. Standar deviasi iklim inter
tahunan selama interval waktu lebih dari 20
tahun didefinisikan sebagai variabilitas iklim
(Mahmud 2007).
Perubahan iklim merupakan perubahan
pola perilaku iklim dalam kurun waktu yang
panjang
yang
terjadi secara alamiah
(NOAA 2007). Perubahan iklim saat ini
diindikasikan oleh peningkatan suhu udara
yang berpengaruh terhadap kondisi parameter iklim lainnya (Avia 2007). Perubahan
iklim disinyalir akibat kegiatan manusia.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
penyebab natural juga berpengaruh terhadap
terjadinya perubahan iklim.
Banyak ilmuan berpendapat bahwa gasgas rumah kaca memerangkap panas
matahari sehingga menyebabkan bumi
semakin panas dan akhirnya lebih panas
daripada suhu normal. Sehingga terjadi
kenaikan rata-rata suhu global yang dikenal
sebagai pemanasan global yang merupakan
indikasi perubahan iklim.
Gas
rumah
kaca
berfungsi
menyeimbangkan suhu bumi dengan
memancarkan kembali sebagian radiasi
matahari, sementara sebagian lagi di serap
bumi. Kenaikan konsentrasi gas-gas rumah
kaca tersebut dapat menyebabkan jumlah
radiasi yang dipancarkan dan diserap bumi
menjadi tidak seimbang.
Laporan Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) tahun 2007
menegaskan bahwa selama 8.000 tahun
terakhir, dan tepat sebelum industrialisasi
pada tahun 1750, konsentrasi CO2 di
atmosfer meningkat dengan hanya 20 ppm.
Sedangkan konsentrasi CO2 di atmosfer
pada tahun 1750 adalah 278 ppm, dan
meningkat menjadi 379 ppm pada tahun
2005.
Teori perubahan iklim akibat gas rumah
kaca tidak sepenuhnya dapat diterima. Teori
tersebut mengesampingkan penyebab natural
yang juga berpengaruh besar terhadap
perubahan iklim yang saat ini terjadi.
Bahkan beberapa ilmuan berpendapat bahwa
penyebab natural lebih besar pengaruhnya
dibandingkan penyebab antropogenik (gas
rumah kaca).
Perbedaan pendapat tersebut sampai
detik ini masih menjadi isu yang sangat
menarik
untuk
diteliti
dan
dikaji
kebenarannya. Oleh karena itu penelitian
tentang perubahan iklim semakin sering
dilakukan.
Penelitian tentang perubahan iklim
tersebut membutuhkan data yang sangat
panjang, bahkan data sebelum masa
observasi. Untuk mendapatkan data tersebut
dibutuhkan pendugaan dengan mempelajari
paleoklimatologi diantaranya metode ice
core, tree ring, analisis karang (coral
analysis) dan analisis serbuk sari (pollen
analysis).
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
Mengkaji cara merekonstruksi
iklim masa lalu dengan metode ice
core, tree ring, analisis karang
(coral analysis) dan analisis serbuk
sari (pollen analysis).
Menganalisis
pengaruh
faktor
natural dan gas rumah kaca
terhadap perubahan suhu global.
Menganalisis kecenderungan suhu
dan curah hujan di Jakarta
Observatory pada tahun 1965
sampai tahun 2010.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paleoklimatologi
Paleoklimatologi adalah studi iklim
sebelum periode pengukuran instrumen.
Instrumen cuaca hanya mencatat sebagian
kecil
dari
rentang
sejarah
iklim
bumi sehingga memberikan perspektif yang
sama sekali tidak memadai untuk variasi
iklim dan evolusi iklim saat ini. Sebuah
perspektif tentang variabilitas iklim dapat
diperoleh dari studi iklim yang tergantung
pada fenomena alam, dan menggabungkan
mereka kedalam struktur ukuran yang saling
2
ketergantungan. Studi fenomena alam untuk
mendapatkan data historis iklim adalah dasar
paleoklimatologi. Catatan yang lebih rinci
tentang fluktuasi iklim masa lalu lebih dapat
diandalkan
untuk
mengindentifikasi
penyebab dan mekanisme perubahan
variabilitas iklim. Jadi, data iklim bumi
memberikan dasar untuk pengujian
hipotesis tentang penyebab perubahan
iklim. Hanya ketika fluktuasi iklim masa
lalu dipahami akan mungkin untuk
sepenuhnya
mengantisipasi
atau
meramalkan variasi iklim di masa depan
(Bradley 1999).
Studi iklim masa lalu (paleoklimatologi)
harus dimulai dengan pemahaman tentang
jenis data yang tersedia dan metode yang
digunakan
dalam
analisis
tersebut.
Kemudian harus memahami kesulitan yang
terkait dengan setiap metode yang
digunakan dan asumsi masing-masing
metode. Dengan proses seperti itu, maka
mungkin untuk menganalisis baris bukti
yang berbeda menjadi gambaran yang
komprehensif tentang fluktuasi iklim, dan
menguji hipotesis
tentang penyebab
perubahan iklim (NOAA 2011).
Data paleo berasal dari sumber alami
seperti lingkar pohon (tree ring), inti es (ice
core), karang (coral), laut, sedimen, serbuk
sari, dan lain-lain. Arsip cuaca tersebut
menyediakan data ratusan juta tahun yang
lalu (NOAA 2011).
Beberapa metode paleoklimatologi antara
lain:
1. Inti es (ice core)
Es kutub yang tebal merupakan hasil dari
densifikasi progresif salju yang tersimpan
pada permukaan lapisan es. Transformasi
salju menjadi es umumnya terjadi dalam
kedalaman 100 meter dan dalam jangka
waktu ribuan tahun. Hal ini tergantung pada
suhu yang mempengaruhi waktu akumulasi
salju menjadi es. Metode ice core dilakukan
dengan menganalisis silinder es berdiameter
10 cm yang didapatkan dari pengeboran
gletser (Raynoud dan Parrenin 2009).
Metode ice core memiliki kontribusi
dalam merekonstruksi iklim masa lalu. Pada
lintang dan ketinggian yang tertinggi,
umumnya terdapat arsip data yang
dibutuhkan. Diantaranya mengandung data
rekonstruksi iklim dan iklim yang berubah
secara memaksa (misalnya kosmogenik
isotop
dan
variabilitas
radiasi
matahari). Selain itu data spesies di atmosfer
juga tersedia di inti es. Data aerosol dan gas
rumah kaca yang terkandung dalam atmosfer
juga dapat diindentifikasi dengan menganalisis akumulasi tutupan salju ini.
Catatan inti es dikenal menghasilkan data
yang lebih lama dan panjang. Potensi inti es
ini gunakan untuk rekonstruksi iklim yang
panjang. Kelemahan metode ini adalah
terbatasnya jumlah es di dunia ini. Saat ini
lokasi pengeboran inti es semakin diperluas,
untuk mendapatkan beberapa catatan inti es
Antartika dari es Greenland, serta di Andes,
Amerika Utara, dan Asia (Steig 2008).
2. Tree Ring
Iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan
pohon yang melintasi ruang dan waktu. Pola
cincin pohon menggambarkan pertumbuhan
pohon disetiap tahunnya. Sebaliknya,
variabilitas iklim yang juga mengiringi
pertumbuhan pohon terekam dalam lingkar
pertumbuhannya dan dipelajari dengan studi
dendrokronologi (Buckley 2009).
Dendrokronologi saat ini masih dalam
tahap ilmiah. Ada banyak masalah dalam
penggunaan lingkaran pohon, terutama
karena pertumbuhan lingkaran pohon dapat
dipengaruhi oleh banyak hal, bukan hanya
curah hujan, suhu, dan penutupan awan, tapi
juga oleh angin, sifat tanah, penyakit, atau
bahkan polusi. Ketidakpastian itu dapat
diperkecil dengan memperbanyak sampel
pohon yang dianalis dalam suatu situs atau
wilayah yang sama. Ditargetkan sampel
untuk suatu observasi metode tree ring ini
adalah 15-20 pohon. Bahkan untuk istilah
“mega sampling” dibutuhkan lebih banyak
sampel pohon, bukan hanya pohon yang
tertua melainkan juga pohon yang dominan
dan codominan di wilayah tersebut. Akan
tetapi, keterbatasan penyebaran menjadi
kendala utama metode ini (Briffa dan Cook
2001).
3. Analisis Karang (Coral Analysis)
Karang (coral) tumbuh dengan merekam
catatan
tentang
informasi suhu dan
komposisi air di mana mereka tinggal.
Informasi tersebut terekam di dalam
struktur fisik dan kimianya. Metode ini
dapat
berjalan
dengan
mengkombinasikan perbandingan
tingkat
pertumbuhan yang cepat (10-20mm/tahun), dan
umur koloni karang yang biasanya lebih
dari 200 tahun. Untuk saat ini, karang yang
difokuskan
untuk
penelitian
paleoklimatologi adalah karang besar (berbentuk
kubah) yang berasal dari genus Porites
(Cobb et al. 2008).
Penelitian terutama terfokus pada catatan
pertumbuhan
karang,
isotop
yang
terkandung dalam karang, dan catatan
3
elemen-elemen lain. Menghasilkan informasi tentang suhu permukaan laut masa
lalu, curah hujan, limpasan sungai, sirkulasi
laut, dan sistim angin tropis. Sejauh
ini, hanya beberapa studi yang membentang
lebih dari satu abad (Bradley 1999).
4. Analisis serbuk sari (Pollen analysis)
Analisis serbuk sari adalah metode
untuk
mengungkapkan
bukti-bukti
perubahan ekologi dan iklim masa lalu.
Dengan menggabungkan prinsip stratigrafi
dengan pengamatan aktual dari vegetasi
untuk merekonstruksi vegetasi terestrial
masa lalu. Perubahan Regional iklim
regional biasanya tidak dapat diturunkan
dari metode serbuk sari (Kneller 2009).
Butir serbuk sari yang tercuci atau
tertiup angin ke danau dapat terakumulasi
dalam sedimen dan memberikan catatan
vegetasi masa lalu. Berbagai jenis serbuk
sari dalam sedimen danau mencerminkan
vegetasi yang ada di sekitar danau dan
kondisi iklim yang menguntungkan bagi
vegetasi tersebut (NOAA 2011).
5. Cave analysis (Speleothems)
Speleothems adalah deposit mineral yang
terbentuk dari air tanah dalam gua bawah
tanah. Stalagmit, stalaktit, dan bentuk lainya
mengandung
senyawa
yang
dapat
merenkonstruksi penanggalan radiometrik.
Selain itu ketebalan lapisan pengendapan
dan catatan isotop yang terkandung di
dalamnya dapat digunakan sebagai proxy
iklim (NOAA 2011).
Dasar speleotherm yang diperiksa untuk
mendapatkan informasi iklim adalah interval
pertumbuhan yang ditentukan oleh uranium
dan digunakan untuk mengidentifikasi
interval iklim. Analisis oksigen digunakan
untuk identifikasi suhu gua, sifat curah
hujan, serta lintasan masa udara. Analisis
isotop karbon diartikan sebagai perubahan
vegetasi di atasnya, juga menunjukan
kerapatan vegetasi. Ketebalan lapisan
tahunan juga digunakan sebagai indikator
jumlah curah hujan dan rata-rata suhu
tahunan serta vegetasi (Fleitmann et al.
2011).
Dengan metode-metode paleoklimatologi
di atas maka data iklim yang cukup panjang
dapat direkonstruksi. Dengan data tersebut
dapat dilakukan analisis tentang perubahan
iklim global dengan lebih akurat. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa setiap metode
memiliki ketidakpastian yang menyebabkan
kerancuan informasi.
2.2 Keseimbangan Energi Permukaan
Kenaikan suhu global dikaitkan dengan
tidak seimbangnya transfer energi radiasi
matahari. Radiasi matahari yang masuk
sebagai
gelombang
pendek
akan
dikembalikan ke angkasa oleh bumi sebagai
gelombang panjang. Jumlah radiasi matahari
yang masuk ke bumi sama dengan jumlah
energi yang dipancarkan bumi. Asumsi
tersebut dapat digunakan untuk menghitung
perubahan suhu rata-rata bumi yang diisukan
terus meningkat pesat akibat radiasi
gelombang panjang yang terperangkap oleh
gas-gas rumah kaca.
Hubungan antara aliran energi dan iklim
dapat diilustrasikan dengan cara sederhana
yaitu
hukum
termodinamika
yang
menyatakan bahwa energi tidak dapat
diciptakan maupun dihancurkan, hanya
dapat diubah dari satu bentuk kebentuk
lainya (Oke 1987). Sistem bumi mengubah
energi yang diterima dan memancarkannya
kembali, ada juga yang diserap dan merubah
bentuknya menjadi energi lainnya.
Menurut Kiehl dan Trenberth (1997),
energi yang masuk ke bumi :
* 27.4% dipantulkan oleh awan atau
partikel lain di atmosfer
* 20.6% diserap gas-gas di atmosfer dan
awan
* 52% diserap permukaan bumi
Jumlah energi yang masuk, diubah, dan
dipantulkan kembali oleh sistem bumi
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
a. Radiasi
Radiasi surya yang datang ke bumi,
sebagian diterima oleh permukaan dan
sebagian dipantulkan atau ditransmisikan
kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi
gelombang pendek maupun gelombang
panjang. Jumlah radiasi netto yang
diterima/diserap oleh permukaan kemudian
digunakan
sebagai
energi
untuk
memindahkan panas dari permukaan ke
dalam tanah (soil heat flux) (G), energi
untuk memindahkan panas dari permukaan
ke udara (sensible heat flux)(H), energi
untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya
digunakan untuk metabolisme mahluk
hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai
konsep neraca energi permukaan
b. Jarak matahari dan bumi
Jarak berpengaruh terhadap variasi
penerimaan energi radiasi matahari di
permukaan bumi. Bumi mengelilingi
matahari dengan lintasan yang berbentuk
elips. Jarak terdekat antara matahari terjadi
pada tanggal 3- 5 Januari (perihelion), dan
4
jarak terjauhnya terjadi pada tanggal 5 Juli
(aphelion). Perbedaan variasi jarak antara
bumi dan matahari menyebabkan terjadinya
perbedaan kerapatan fluks matahari (Wm-2)
(Handoko 1995).
Pada jarak rata-rata antara matahari dan
bumi selama satu tahun, radiasi surya yang
datang tegak lurus di permukaan bumi
disebut dengan solar constant. Solar
constant bernilai 1367 Wm-2 ( NASA 2011).
c. Albedo
Albedo adalah perbandingan jumlah
radiasi yang dipantulkan dan jumlah radiasi
yang diterima permukaan bumi (Avia et al.
2000). Nilai albedo dipengaruhi langsung
oleh variasi penutupan lahan di permukaan
bumi. Nilai albedo tertinggi berada pada
lahan dengan nilai penutupan vegetasi
rendah pada musim kering dan vegetasi
padat pada musim basah (Subarna et al.
1998).
Vukovich (1987) melakukan penelitian
tentang hubungan albedo dan suhu
permukaan. Penelitian yang dilakukan di
daerah Sahara, Afrika ini menghasilkan
bahwa dengan penutupan rendah dan kering
nilai albedo dan suhu permukaan akan tinggi
dibandingkan daerah yang memiliki vegetasi
tinggi dan basah. Semakin tinggi nilai
albedo maka semakin besar jumlah radiasi
yang
dipantulkan.
Hal
ini
akan
menyebabkan turunnya suhu. Materi yang
memiliki kemampuan tinggi merefleksi
radiasi sinar matahari adalah es, sementara
yang terendah diantaranya lautan dan hutan
lebat.
d. Emisivitas
Emisivitas didefinisikan sebagai rasio
daya emisi total sebuah permukaan terhadap
daya emisi total dari suatu permukaan yang
meradiasi secara ideal pada temperatur
sama. Permukaan beradiasi ideal juga
dinamakan benda hitam.
Emisivitas suatu benda bernalai antara 0
sampai 1. Benda yang memiliki warna putih
sempurna (seperti cermin) memiliki
emisivitas sebesar 0, dan benda yang hitam
sempurna bernilai emisivitas 1.
Emisivitas bumi akan berhubungan
dengan intensitas radiasi gelombang
panjang. Semakin besar emisivitas semakin
besar pula intensitas radiasi gelombang
panjang yang diemisikan bumi ke atmosfer
menuju angkasa (Sumaryati 2004).
2.3 Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim global adalah perubahan
jangka panjang data statistik cuaca global
(NOAA 2007).
LAPAN
(2009)
mendefinisikan
perubahan iklim sebagai perubahan rata-rata
salah satu atau lebih elemen cuaca pada
suatu daerah tertentu (regional). IPCC
(2007) menyatakan bahwa perubahan iklim
merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim
suatu tempat atau pada variabilitasnya yang
nyata secara statistik untuk jangka waktu
yang panjang (biasanya dekade atau lebih).
Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan
iklim mungkin karena proses alam internal
maupun ada kekuatan eksternal. Penyebab
eksternal merupakan kegiatan manusia yang
terus menerus merubah komposisi atmosfer
dan tata guna lahan. Penyebab internal yang
merupakan faktor alam disebut juga
penyebab natural dan penyebab eksternal
adalah penyebab antropogenik.
Berdasarkan model-model IPCC, efek
rumah kaca, khususnya pada aspek
antropogeniknya, bertanggung jawab atas
semua perubahan kllimatik. Sistem ini
merupakan komponen yang penting bagi
kelangsungan bumi terdiri dari Atmosfer,
Hidrosfer, Litosfer, Cryosfer, Biosfer, dan
Noosfer (Leurox 2005).
Penyebab perubahan iklim berdasarkan
IPCC:
Penyebab natural :
Fenomena El Niño-Southern Oscillation
(ENSO) adalah sebuah contoh variasi
internal „alami‟ pada skala cuaca tahunan.
Selain itu, penyebab natural lainnya antara
lain perbedaan orbital dalam radiasi dan
vulkanisme (Leurox 2005).
Gas rumah kaca
Menurut IPCC (2007) penyebab ini
adalah penyumbang terbesar dari pemanasan
global yang terjadi sejak revolusi industri.
Pemanasan global merupakan salah satu
indikasi terjadinya perubahan iklim global.
Pemanasan global disinyalir terjadi akibat
meningkatnya gas-gas rumah kaca (CO2,
CH4, NOx, Halocarbon, O3, dll).
2.4 Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah salah satu
kelompok gas dalam atmosfer yang dapat
menjaga suhu permukaan bumi agar tetap
hangat. Sistem kerjanya adalah dengan
mengembalikan pantulan sinar matahari dari
permukaan bumi agar tetap berada dalam
sistem atmosfer bumi (LAPAN 2009). Gasgas ini memungkinkan panas matahari
5
ditahan di atas permukaan bumi. Secara
alami gas rumah kaca membuat suhu
permukaan bumi berada pada titik layak
huni bagi mahkluk hidup. Selain itu gas
rumah kaca dalam konsentrasi tertentu juga
secara alami menjaga kestabilan iklim
Gas rumah kaca juga diartikan sebagai
gas yang terdapat di atmosfer yang dapat
menyerap dan mengemisikan radiasi
bersama dengan inframerah. Proses tersebut
yang merupakan penyebab mendasar efek
rumah kaca (Prather dan Ehhalt 2001)
IPCC menyimpulkan bahwa kebanyakan
peningkatan suhu global rata-rata sejak
pertengahan abad ke 20 disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
secara antropogenik.
Berdasarkan Protokol Kyoto, yang
diklasifikasikan sebagai Gas Rumah Kaca
adalah: metan (CH4), nitrat oksida (N2O),
hidroflorokarbon (HFCs), perflorokarbon
(PFCs), sulfurheksaflouride (SF6) , serta gasgas yang terdapat pada Protokol Montreal
yang
telah
disempurnakan
yaitu:
kloroflorokarbon
(CFCs),
hidrikloroflorokarbon (HCFCs), dan juga halon.
Pada penyempurnaan Protokol Montreal,
gas-gas yang dibahas secara fokus adalah
perubahan ozon (O3) yang terdapat pada
wilayah troposfer. Uap air (H2O) yang
terdapat pada wilayah stratosfer juga perlu
dibahas, tetapi H2O yang terdapat pada
lapisan troposfer yang merupakan bagian
dari siklus hidrologi dan diperhitungkan
dalam model iklim yang tidak didiskusikan.
Gas lain yang termasuk gas rumah kaca
yang reaktif terhadap gas lainnya yaitu
karbon monoksida (CO), hidrogen (H2), dan
volatile organic compound (VOC) (IPCC
2001).
Gas rumah kaca yang terdapat di
atmosfer berasal dari dua sumber yaitu
sumber alami dan sumber antropogenik.
Dalam studi beberapa penelitian inti es gas
kelas dua yang merupakan gas sintetik
diantaranya : HFCs, PFCs, SF6, CFCs, dan
halons tidak ada diatmosfer sebelum abad
20, hal ini mengindikasikan bahwa gas
tersebut muncul secara antropogenik setelah
abad 20 (Butler et al. 1999).
Sedangkan gas CH4, NOx, CO2, O3, dan
beberapa gas lainnya sudah ada sacara alami
di atmosfer dan konsentrasinya semakin
meningkat seiring dengan berkembangnya
industri.
Karbon dioksida meningkat di atmosfer
melalui pembakaran bahan bakar fosil
(minyak, gas alam, dan batu bara), sampah
padat, pohon-pohon, dan produk-produk
kayu, dan merupakan hasil dari reaksi kimia
lainnya (seperti industri semen). Karbon
dioksida juga dapat lepas dari atmosfer (atau
mengalami sequestrasi) pada saat diserap
oleh tumbuhan sebagai bagian dari siklus
karbon biologis.
Metana (CH4). Metana diemisikan
selama produksi dan pengangkutan batubara,
gas dan minyak alam. Emisi metana juga
merupakan hasil dari peternakan dan
kegiatan pertanian lainnya dan oleh
pembusukan
sampah
organik
di
pembuangan sampah padat skala besar
(kota).
Nitrat oksida (N2O). Nitrat oksida
diemisikan selama berlangsung aktivitas
pertanian dan industri, serta selama kombusi
bahan bakar dan sampah padat.
Flourinated
gas,
Hidroflorokarbon,
perflorokarbon dan sulfur heksaflorida
adalah gas-gas rumah kaca yang sangat kuat
yang sintetis, diemisikan dari sejumlah
proses-proses industri.
Kelompok gas ini digunakan untuk
subtitusi ozone-depleting substances (seperti
CFCs, HCFCs, dan halons). Gas-gas ini
secara tipikal diemisikan dalam kuantitas
yang lebih kecil, tetapi karena gas-gas
tersebut merupakan gas-gas rumah kaca
yang kuat, maka disebut sebagai High
Global Warming Potential Gases (LAPAN
2009).
2.5 Karakteristik Iklim Jakarta
Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau
Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk
Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah
pada ketinggian rata-rata 8 mdpl.
Jakarta memiliki suhu udara yang panas
dan kering atau beriklim tropis. Terletak di
bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami
puncak musim penghujan pada bulan
Januari dan Februari dengan rata-rata curah
hujan 350 milimeter dengan suhu rata-rata
27 °C. Curah hujan antara bulan Januari
dan awal Februari sangat tinggi, pada saat
itulah Jakarta dilanda banjir setiap
tahunnya, dan puncak musim kemarau pada
bulan Agustus (Tuner 1997). Rata-rata
curah hujan bulan Agustus yang terlihat di
Tabel 1 adalah 34.2 milimeter. Bulan
September dan awal Oktober adalah harihari yang sangat panas di Jakata, suhu
udara rata-rata pada bulan September
adalah 33 °C. Suhu rata-rata tahunan yang
tecatat pada Tabel 1 berkisar antara 24.2°33 °C.
6
Tabel 1 Data iklim Jakarta (http://worldweather.wmo.int )
Bulan
Suhu rata-rata oC
Curah Hujan
Bulanan
(mm)
Suhu Minimun
Suhu Maximum
Jan
24.2
29.9
384.7
Rata-rata Hari
Hujan
(hari)
26
Feb
Mar
24.3
25.2
30.3
31.5
309.8
100.3
20
15
Apr
25.1
32.5
257.8
18
May
25.4
32.5
133.4
13
Jun
24.8
31.4
83.1
17
Jul
25.1
32.3
30.8
5
Aug
24.9
32.0
34.2
24
Sep
25.5
33.0
29.0
6
Oct
25.5
32.7
33.1
9
Nov
24.9
31.3
175.0
22
Dec
24.9
32.0
84.0
12
Tabel di atas merupakan tabel rata-rata
suhu dan curah hujan bulanan DKI Jakarta
yang diunduh dari web resmi WMO (World
Meteorological Organisation). Nilai suhu
merupakan nilai rata-rata observasi suhu
bulanan tahun 1994-1999. Nilai curah hujan
dan jumlah hari hujan merupakan nilai ratarata observasi bulanan tahun 1930-1960.
Jakarta memiliki enam stasiun cuaca
yang terletak di ketinggian, lintang dan bujur
yang berbeda. Bandara Internasional
Soekarno-Hatta memiliki dua stasiun yang
masing-masing terletak pada 6.15oLS,
106.7oBT dan 6.11oLS, 106.65oBT dengan
ketinggan 8 mdpl. Bandara Halim Perdana
Kusuma memiliki satu stasiun klimatologi
yang terletak pada 6.25oLS dan 106.9oBT,
dengan ketinggian 30 mdpl. Pelabuhan
Tanjung Priuk memiliki sebuah stasiun yang
terletak pada 6.1oLS dan 106.86oBT dengan
ketinggian 2 mdpl. Dua stasiun lainya
berada di tengah kota Jakarta yaitu Stasiun
Klimatologi
Kemayoran
(6.15oLU,
o
106.86 BT) dan Stasiun Klimatologi Jakarta
Observatory (6.18oLS, 106.83oBT) dengan
ketinggian yang sama pada masing-masing
stasiun yaitu 8 mdpl.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Studi pustaka ini dilaksanakan pada
bulan Februari sampai dengan Mei 2011
bertempat di Laboratorium Meteorologi dan
Pencemaran
Atmosfer
Departemen
Geofisika dan Meteorologi IPB.
3.2 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan pada studi pustaka
ini adalah seperangkat komputer dengan
perangkat lunak Microsoft Office 2007.
Bahan yang digunakan antara lain: data
iklim bulanan (suhu dan curah hujan) stasiun
Jakarta Observatory tahun 1965-2010, serta
buku, jurnal, dan artikel yang menjadi
sumber studi pustaka.
3.3 Metode
3.3.1 Studi Pustaka
Studi
pustaka
dilakukan
dengan
menentukan tema alur pemikiran bahasan
yang akan dikaji, kemudian mengumpulkan
literatur baik berupa buku maupun jurnaljurnal yang berkaitan. Setelah dibuat garis
besar tiap literatur kajian dan dirasa cukup
untuk dikaji, maka jurnal dan buku yang
telah dikumpulkan kemudian diklasifikasi
sesuai subtema kajian yaitu :
a. paleoklimatologi,
b. perubahan iklim global, dan
c. analisis kecenderungan data series
waktu iklim.
Semua jurnal dan buku terklasifikasi
sesuai dengan subtema di atas, kemudian
pada masing-masing subtema dilakukan lagi
klasifikasi untuk mempermudah penulisan.
7
Paleoklimatologi dibagi menjadi dua
bagian yaitu ice core, tree ring, coral, dan
pollen analysis. Kemudian kajian iklim
global dibagi lagi menjadi perubahan iklim
yang diakibatkan penyebab natural, dan
perubahan iklim karena peningkatan gas
rumah kaca. Selain itu terdapat skenario
keseimbangan energi permukaan, dan
analisis data series waktu iklim.
3.3.1.1 Kerangka Pemikiran
Perubahan iklim global merupakan
perubahan pola perilaku iklim bumi secara
keseluruhan di bumi ini. Salah satu indikasi
perubahan iklim global adalah perubahan
suhu global. Perubahan iklim juga
merupakan hasil analisis data iklim yang
panjang, semakin panjang data maka
informasi perubahan iklim akan semakin
banyak dan akurat. Dengan menggunakan
beberapa metode paleoklimatologi untuk
merekonstruksi iklim masa lalu, maka
perubahan iklim dapat dianalisis. Perubahan
iklim dapat disebabkan semua kejadian yang
secara alamiah terjadi (natural), dan juga
akibat
campur
tangan
manusia
(antropogenik) yang dikaitkan dengan
meningkatnya gas rumah kaca semenjak
revolusi industri.
Mekanisme terjadinya perubahan iklim
global tidak lebih banyak dibahas
dibandingkan dengan dampaknya. Untuk
mengetahui bagaimana suatu keadaan
disebut dengan perubahan iklim maka sangat
penting untuk membahas mekanismenya.
Beberapa parameter juga dikemukakan
untuk mengukur perubahan iklim yang
terjadi sampai saat ini antara lain radiative
forcing dan global warming potential.
Paramater iklim yang paling peka terhadap
perubahan iklim adalah suhu. Oleh karena
itu perubahan iklim lebih diindikasikan oleh
perubahan suhu global. Beberapa penelitian
juga menyebutkan tentang kaitain erat
perubahan suhu global dan perubahan iklim
global.
Keseimbangan energi permukaan dapat
menjadi model untuk menentukan suhu
global yang akan terjadi jika beberapa
parameter di dalamnya berubah. Hal ini juga
dilakukan beberapa ilmuan lain untuk
membuat skenario suhu global dengan
berbagai asumsi. Selain itu analisis data
series waktu merupakan analisis yang
dilakukan
untuk
melengkapi
kajian
pustakanya.
3.3.2 Skenario Keseimbangan Energi
Permukaan
Dengan menggunakan model sederhana
tentang keseimbangan energi seperti di
bawah ini:
E in = E out
S(1-α) R2 = 4 R2 T4
S(1-α) = 4 T4………….(1)
S = Fluks radiasi matahari di
puncak atmosfer (Wm-2)
α = Albedo
= Emisivitas
= Suhu permukaan (K)
= Tetapan Stevan-Boltzman (5.7 x
10-8 Wm-2 K-4)
Model ini digunakan untuk menguji
skenario dari
beberapa literatur yang
diperoleh, dan membuat skenario sederhana
merubah nilai parameter-parameter di atas.
Skenario Normal
Merupakan keadaan dimana bumi
diasumsikan dengan nilai solar constant
normal (1367 Wm-2), albedo rata-rata normal
(0.3), dan nilai emisivitas dianggap 1.
Skenario ini akan menghasilkan suhu normal
bumi tanpa atmosfer sebagai pembanding
skenario lainnya (Oke 1978).
Skenario 1
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
nilai solar constant naik 1 % , dan parameter
lainnya dianggap konstan (Leurox 2005).
Skenario 2
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
albedo bumi turun 0.9% , dan parameter
lainya dianggap konstan. Perubahan suhu
yang dihasilkan dari Skenario 2 mewakili
perubahan albedo yang mengalami perubahan
sebesar 0,0027 sejak tahun 2000-2004
(NASA 2011).
Skenario 3
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
albedo bumi naik sebesar 6% , dan parameter
lainya dianggap konstan. Perubahan suhu
yang dihasilkan dari Skenario 3 mewakili
pernyataan
Leurox
(2005)
mengenai
perubahan albedo yang dialami pasca
meletusnya Gunung Agung di Bali (1963).
Skenario 4
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
albedo permukaan bumi turun sebesar 1.5%,
dan parameter lainya dianggap konstan.
Perubahan suhu
yang dihasilkan dari
Skenario 4
mewakili perubahan tingkat
kekeruhan atmosfer pada tahun 1996 sampai
tahun 1998 (Budiwati et al .2003).
8
Skenario 5
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
nilai emisivitas berubah akibat pengurangan
lahan seluruh lahan vegetasi menjadi lahan
non vegetasi. Dengan asumsi awal luas lautan
70 %, lahan vegetasi 10%, dan lahan non
vegetasi 20%. Kemudian dihitung perubahan
suhu ketika lahan vegetasi berubah
seluruhnya
menjadi lahan non vegetasi
dengan persentase lautan 70 % dan lahan non
vegetasi 30% . Masing- masing nilai albedo
penutupan lahan berbeda, untuk lautan
sebesar 0.98, untuk lahan vegetasi sebesar
0.95, dan lahan non vegetasi sebesar 0.92
(Weng 2001).
Nilai-nilai dasar parameter tersebut
diperoleh dari web resmi NASA.
Sedangkan perubahan terhadap beberapa
parameter diperoleh dari beberapa literatur
yang berbeda.
3.3.3 Analisis kecenderungan data series
waktu iklim Jakarta Observatory
1965-2010.
Sebelum
melakukan
analisis
kecenderungan terlebih dahulu dilakukan
pengumpulan data iklim (suhu dan curah
hujan) bulanan selama 55 tahun.
Sebanyak 80% data historis suhu
didapatkan dari data observasi BMKG yang
terangkum sebagai data series waktu suhu
bulanan, untuk melengkapi keterbatasan data
suhu maka sebagian lagi didapat dari web
www.tutiempo.net yang merupakan data
satelit yang berasal dari Spanyol.
Data presipitasi juga mengalami kendala
yang sama yaitu keterbatasan data untuk
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Metode Paleoklimatologi untuk
Rekonstruksi Iklim
Paleoklimatologi adalah studi tentang
iklim sebelum periode instrumentasi. Data
dari instrumen meteorologi terbatas pada
masa observasi, hal ini menyebabkan
terbatasnya informasi iklim. Informasi
paleoklimatologi sangat penting untuk
memberikan dasar bagi pengujian hipotesis
penyebab terjadinya perubahan iklim.
Berbagai macam cara untuk mendapatkan
informasi iklim masa lampau, diantaranya
adalah metode lingkar pohon atau tree ring,
metode inti es (ice core), analisis sedimen,
analisis karang, dan masih banyak metode
lainya untuk merekonstruksi iklim di masa
data dari tahun 1965-1985 diperoleh dari
kumpulan data statistik iklim ASEAN,
kemudian data sisa dari tahun 1976-2010
diperoleh dari data BMKG yang didapat di
perpustakaan Departemen Geofisika dan
Meteorologi dan web yang sama untuk
melengkapi data tersebut.
Analisis ini membagi data iklim menjadi
empat periode. Periode data iklim dalam
analisis ini terdiri dari tiga periode
dasawarsa yaitu:
a. Periode I (1965-1974),
b. Periode II (1975-1984),
c. Periode III(1985-1994), dan
d. Periode IV(1995-2010) dengan
panjang data adalah 15 tahun.
Selain itu dalam satu tahun data dibagi
dua musim yaitu:
a. DJF (Musim Hujan): Desember,
Januari, Februari.
b. JJA (Musim Kemarau): Juni, Juli,
Agustus.
Analisis data ini menguji kecenderungan
naik atau turun dari kedua parameter dengan
empat periode dan dua musim yang telah
disebutkan di atas.
Tabel 2 Informasi stasiun observasi
Nama
Stasiun
Jakarta
Obs
Ketinggian
Bujur
Lintang
8 mdpl
106.83
-6.18
Deret
Waktu
19652010
lampau. Kajian ini mengkaji tentang empat
metode paleoklimatologi yaitu metode inti
es (ice core), metode dendrokronologi (tree
ring), metode analisis karang (coral), dan
analisis serbuk sari (pollen)
Metode ice core biasa diobservasi di
daerah dengan penutupan es yang tebal.
Sedangkan untuk metode dendrokronologi
menggunakan pohon yang berumur cukup
tua untuk mengetahui kejadian cuaca yang
terekam pada lingkar pohonnya. Metode
analisis karang menggunakan terumbu
karang yang dijadikan tempat tinggal bagi
ganggang sehingga dapat terekam berbagai
unsur kimia untuk merekonstruksi iklim
masa
lalu.
Analisis
serbuk
sari
menggunakan endapan serbuk sari yang
terdapat pada lapisan sedimen danau, sungai,
laut dan daratan. Informasi yang didapat
9
dari keempat metode ini juga dapat
dihubungkan dengan fenomena yang terjadi
pada masa itu.
4.1.1 Metode Inti Es (Ice Core)
Gletser merupakan perekam
terbaik
yang paling cepat merespon perubahan iklim
natural maupun antropogenik. Analisis ice
core merupakan analisis bagian dari gletser
yang dibor dan memberikan 3 jenis
informasi dari masa lalu maupun perubahan
iklim saat ini:
- Informasi temperatur dan presipitasi
sebagai data iklim yang terekam dalam
tiap lapisan es.
- Informasi percepatan hilangnya gletser
itu sendiri.
- Informasi flora dan fauna kuno yang
pernah hidup di tepian gletser
(Thompson 2010).
Salju yang jatuh menggambarkan
informasi yang unik, bukan hanya presipitasi
dan temperatur, tapi juga komposisi
atmosfer (partikulat larut atau tidak larut),
letusan gunung berapi, bahkan variasi
pergerakan matahari di masa lalu (Bradley
1999).
Informasi suhu pada saat musim panas
didapatkan dari lapisan es gelap yang
meleleh, sedangkan suhu pada musim dingin
dengan salju turun setiap harinya didapatkan
dari kuantitas isotop oksigen yang
terkandung dalam es tersebut. Informasi
kelembaban didapatkan dari kandungan
isotop hirdrogen atau deuterium (Tabel 3).
Semua analisis yang dilakukan pada lapisan
es tertentu menghasilkan output parameter
yang saling berhubungan seperti yang
terlihat pada Tabel 3.
Informasi suhu dari inti es dapat
diketahui dari isotop oksigen, hidrogen, dan
konstituen air serta karbon dioksida yang
terkandung
dalam
lapisan
es
tersebut. Aktivitas vulkanik dapat dideteksi
dengan menganalisis konduktivitas serta
kandungan sulfat yang tidak mengandung air
laut.
Kekeruhan atmosfer dapat diketahui
dengan menganalisis ECM (Elektrical
Conductivity Measure) , kandungan
mikropertikel, dan jejak elemen. Ukuran
partikel yang terkandung dalan inti es
manggambarkan kecepatan angin pada masa
itu. Selain itu aktivitas tatasurya di
indikasikan dengan kandungan isotop
berelelium
yang
merupakan
isotop
radioaktif.
Tabel 3 Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es (Bradley 1999)
Parameter
Analisis
Suhu Musim panas
Melt layers
Hari turun salju
δD, δ18O
Kelembaban
Deuterium excess (d)
Akumulasi masalalu (net)
Seasonal signals, 10Be
Aktivitas vulkanic
Conductivity, nss. SO4
Turbiditas troposfer
ECM, microparticle content, trace elements
Kecepatan angin
Particle size,
Komposisi atmosfer: jangka panjang akibat ulah Concentration
manusia
CO2, CH4, N2O content,
Sirkulasi atmosfer
Glaciochemistry (major ions),
10
Aktivitas tatasurya
Be
10
Gambar 1 Observasi tutupan es Dasuopu, Himalaya (Thompson 2010).
Observasi pada gambar di atas dilakukan
pada tahun 1997. Kedalaman es yang
berhasil dibor adalah 168m dari permukaan.
Kemudian es tersebut mulai dianalisis unsur
fisik dan kimianya. Observasi ice core ini
juga memiliki kelemahan. Rumitnya analisis
kimia dan fisik es serta berkurangnya
tutupan es akhir-akhir ini menyebabkan
objek observasi semakin berkurang. Data
yang didapatkan dari observasi ini terbatas
hanya bagian bumi yang memiliki lapisan es
yang cukup tebal untuk diobservasi. Berikut
berbeberapa lokasi observasi inti es di dunia
bersumber dari buku Paleoclimatologi
Second Edition.
Tabel 4 Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999)
Pengeboran
Lokasi
Camp Century
N.W. Greenland
GISP2 (Summit)
C. Greenland
GRIP
C. Greenland
Dye-3
S. Greenland
Renland
E. Greenland
Agassiz
N. EUesmere Island
Devon
Devon Island
Barnes
Baffin Island
Penny
Baffin Island
Byrd
West Antarctica
J9 (Ross ice shelf)
West Antarctica
Dome C
East Antarctica
Vostok
East Antarctica
Law Dome
East Antarctica
Taylor Dome
East Antarctica
Dome Fuji
East Antarctica
Dunde
Western China
Guliya
Western China
Huascaran
Peru
Sajama
Bolivia
Dasuopu
Western China
Kedalaman max (m)
1387
3053
3029
2037
324
338
299
334
2164
905
3350
1203
375
2500
140
309
166
133
168
11
Informasi iklim yang terekam dalam
setiap batang es yang dibor memiliki
indikator dan parameter analisis yang sama.
Es yang sudah dibor akan dimasukan dalam
brangkas es untuk selanjutnya terus
dilakukan analisis kimia yang berkelanjutan
tentang parameter-parameter iklim.
Kedalaman paling dalam yang pernah
diobservasi berada di Vostok antartika
timur. Inti es ini merekam informasi iklim
selama 420.000 tahun yang kemudian
dijadikan objek dan rujukan untuk penelitian
perubahan iklim dunia (NOAA 2007).
4.1.2 Metode Tree Ring
Dendrokronologi adalah studi tentang
perubahan iklim sebagaimana dicatat oleh
cincin pertumbuhan pohon. Setiap tahun,
pohon menambahkan lapisan pertumbuhan
antara kayu tua dan kulit. Lapisan ini, atau
cincin tidak hanya merekam kadar air tanah,
melainkan juga merekam kejadian selama
pertumbuhan. Lapisan yang lebih lebar
merupakan
rekaman
musim
hujan.
Sedangkan lapisan yang lebih sempit
merekam musim kering.
Informasi iklim pada cincin pohon sangat
bervariasi bukan hanya
suhu dan
kelambaban tapi juga keadaan radiasi pada
masa itu. Dalam kondisi tertentu pohon
dapat tumbuh hingga ribuan tahun misalnya
pinus bristlecone.
Metode ini juga memiliki kelemahan.
Pohon yang tumbuh di iklim sedang hanya
akan mencatat bagaimana musim panas dan
musim tanam, sehingga musim dingin
seekstrim apapun kurang tergambarkan
dengan baik. Pohon di daerah tropis yang
tumbuh setiap tahunnya tidak dapat
menunjukkan
dengan
jelas
cincin
pertumbuhannya. Selain itu, tidak semua
tempat di bumi ini ditumbuhi pohon
(misalnya daerah kutub), sehingga penelitian
tentang lingkar pohon ini sangat terbatas
pada ruang dan waktu tertentu. Pohon tertua
yang sudah diobservasi berumur 9000 tahun
dari jenis pinus bristlecone (Gou et al.
2006).
Bagian batang dari pohon berkambium
yang biasanya banyak terdapat di daerah
tropis menggambarkan banyak informasi
iklim dari cincin pertumbuhannya. Cincin
pohon (Gambar 2) merupakan bagian
lapisan sel tebal (latewood) yang dipisahkan
oleh lapisan sel tipis (earlywood).
Ketebalan lapisan antara earlywood dan
latewood
merupakan sumber informasi
yang sangat berharga. Densitas lapisan
tersebut dikaitkan dengan suhu dan
kemudian
dikaitkan
dengan
musim.
Kerapatan yang tinggi sangat erat kaitannya
dengan bulan April sampai Agustus di
daerah hutan boreal Alaska sampai
Labrador. Musim dingin menyebabkan
terjadinya nilai densitas lebih minimum
(D'Arrigo et al. 2009).
Kulit kayu
Kambium
Lapisan cincin palsu
Lapisan cincin tahunan
Latewood
Earlywood
Bintik Pembuluh
Inti
Gambar 2 Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999).
Struktur kayu
12
Kerapatan (g/cm)
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Karapatan maksimum
Kerapatan minimum
Lebar earlywood
Lebar latewood
Lebar cincin
Gambar 3 Hasil pengukuran densitas dengan sinar-x (Schweingruber et al. 1993).
Kerapatan lapisan lingkar pohon juga
dapat diukur dengan sinar x (Gambar 3)
untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Penanggalan dengan metode ini juga sangat
penting. Metode ini dilakukan untuk
mengetahui secara tepat usia cincin yang
terdapat pada pohon tersebut menggunakan
pohon pembanding yang seumur (Bradley
1999).
4.1.3 Analisis Karang (Coral)
Istilah
karang
(coral)
umumnya
digunakan untuk terumbu karang yang
berasal dari ordo Scleractinia. Karang dari
ordo tersebut memiliki kerangka kapur yang
sejati (keras). Satu individu karang disebut
polip yang memiliki ukuran yang bervariasi,
mulai dari 1mm-5000mm (Cobb et al.
2008).
Untuk studi iklim masa lalu karang yang
penting untuk diobservasi merupakan
bangunan terumbu karang yang besar dan
hidup saling ketergantungan (simbiotik)
dengan alga uniseluler (zooxanthellae).
Karang yang melakukan hubungan simbiotik
dengan zooxanhellae disebut karang
hermatypic.
Gagang
menghasilkan
karbohidrat
dengan proses fotosintesis. Proses tersebut
membutuhkan sinar matahari. Dengan
demikian karang hermatypic tumbuh paling
dalam hanya 20m dari permukaan laut,
dengan tingkat kekeruhan air yang kecil.
Sebagian besar carbon organik diserap
gangang
untuk
fotosintesis,
dan
menyediakan makanan bagi karang untuk
terus tumbuh. Sementara itu karang
memberikan perlindungan terhadap alga.
Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi
oleh suhu (maximum pada 20oC). karena
itulah karang tumbuh disekitar lintang 30o
utara dan 30o selatan. Ketika suhu turun ke
18oC, tingkat klasifikasi pertumbuhan
karang berkurang dan akan mati pada suhu
yang lebih rendah (Bradley 1999).
Sampel untuk analisis biasanya dibor di
bagian yang menggambarkan pertumbuhan
karang. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dilakukan pengambilan sampel
yang rutin (6-10 kali per tahun). Penelitian
karang berfokus pada catatan lingkungan
pada masa pertumbuhannya. Selain itu
dicatat pula kandungan beberapa unsur
kimia yang menggambarkan beberapa
parameter seperti yang tertera pada tabel di
bawah ini.
13
Tabel 5 Waktu, tempat dan parameter observasi karang (Bradley 1999)
Panjang
Wilayah
Lintang
Bujur
Parameter
Indikator dari:
Rekaman
SST (Sea Surface
Lapisan
Bermuda
32o LU
65oBB
1180-1986
Temperature) dan
pertumbuhan
upwelling
δ18O
Pulau Cebu,
SST , curah hujan,
10oLU
124oBT
1860-1980
δ13C
Philippina
perawanan
δ18O
Teluk Chiriqui,
Panama
8oLU
82oBB
1707-1984
Karang Tarawa,
Karibati
1oLU
172oBT
1893-1989
Pulau Isabella,
Kepulauan
Galapagos
Espiritu Santo,
Vanuatu
0.4oLS
91oBB
1587-1953
15oLS
167oBT
1806-1979
δ18O
δ13C
SST , curah hujan,
perawanan
Great Barrier,
Terumbu karang
Australia
22oLS
153oBT
1635-1957
Δ14 C
Upwelling
New Caledonia
22oLS
166oBT
1655-1990
Tingkat pertumbuhan karang bergantung
pada suhu permukaan laut dan nutrisi yang
terkandung pada air laut. Nutrisi tersebut
banyak didapatkan dari proses fotosintesis
yang dipengaruhi oleh radiasi dan keawanan.
Waktu rekonstruksi karang yang
terpanjang adalah 800 tahun yang berhasil
diobservasi di Bermuda. Pada observasi
tersebut
diketahui
bahwa
tingkat
pertumbuhan koral berbanding terbalik
dengan SST, sebagai contoh air upwelling
yang dingin membawa banyak nutrisi dan
menyebabkan meningkatnya pertumbuhan
karang.
Kondisi terdingin yang dialami dari
1470-1710 dan sejak 1760 sampai akhir
abad kesembilan belas, diikuti oleh
pemanasan di abad kedua puluh. Hal ini
mirip dengan perkiraan musim panas
belahan bumi utara (Bradley 1999).
Isotop oksigen diketahui menujukan
korelasi terhadap suhu ketika mengalami
pengendapan karbonat secara biologis.
Berkurangnya konsentrasi δ18O sebesar
0,22% menyebabkan kenaikan suhu sebesar
1oC (Gribin 1978). Dengan meningkatnya
suhu permukaan laut
maka penguapan
semakin meningkat. Sehingga jumlah curah
hujan juga akan mengalami peningkatan.
δ18O
δ18O
δ18O
Curah hujan
Curah Hujan
SST
SST
δ13C (isotop karbon) mengindikasikan
perawanan pada masanya. Nilai δ13C
tersebut dipengaruhi oleh fotosintesis
gangang yang terdapat pada karang.
Semakin tinggi konsentasi δ13C pada karang
maka semakin tinggi tingkat fotosintesis.
Konsentrasi δ13C berkurang seiring dengan
bertambahnya
kedalaman.
Hal
ini
menunjukan bahwa δ13C peka terhadap
cahaya,
dan
dapat
mengindikasikan
perawanan pada masa itu (Gribbin 1978).
Selain itu parameter lainya yang dianalisis
adalah Δ14C yang saat ini diindikasikan
kepada siklus samudra yaitu upwelling.
Analisis yang rumit dan keterbatasan
objek hanya pada lintang tertentu
menyebabkan metode ini lebih jarang
dilakukan dibandingkan metode ice core dan
tree ring. Berkurangnya jumlah terumbu
karang menjadi kendala utama dalam
penelitian ini.
4.1.4 Analisis Serbuk Sari (Pollen)
Serbuk sari adalah tempat gametofit
jantan pada generasi gametofit tumbuhan
Gymnospermae
dan
Angiospermae.
Penyebaran serbuk sari dapat terjadi melalui
berbagai perantara, yaitu: angin, air, dan
binatang. Penyebaran ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain: turbulensi udara,
14
arah dan kecepatan angin, berat dan bentuk
serbuk sari, serta ketinggian dan kekuatan
sumber serbuk sari dan spora.
Analisis serbuk sari (pollen analysis)
merupakan metode yang paling penting
dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan
lingkungan masa lampau, karena serbuk sari
yang sangat awet atau tahan terhadap
kerusakan. Selain itu serbuk sari dihasilkan
dalam jumlah yang sangat banyak dan
tersebar secara lebih luas dan merata
dibandingkan dengan makrofosil. Kelebihan
lainya adalah serbuk sari dapat diperoleh
dari sedimen dalam jumlah yang sangat
banyak sehingga memungkinkan untuk diuji
secara kuantitatif / statistik.
Analisis serbuk sari dapat digunakan
untuk melacak sejarah kelompok dan jenis
(spesies) tumbuhan serta habitatnya.
Analisis serbuk sari juga dapat menentukan
umur relatif batuan atau sedimen. Inti dari
analisis serbuk sari untuk paleoklimatologi
adalah untuk memperlajari sejarah iklim,
dan pengaruh manusia terhadap lingkungan
(Kneller 2009).
Serbuk sari dan spora adalah dasar dari
sebuah aspek penting dari rekonstruksi iklim
bumi. Sebuah studi khusus untuk
mempelajari serbuksari dan spora biasa
disebut dengan palinologi. Serbuk sari yang
tersebar di danau, laut dan mengendap
dalam sedimen memberikan catatan
perubahan vegetasi masa lalu yang mungkin
terjadi karena perubahan iklim. Metode ini
merupakan metode pelengkap paling penting
untuk melengkapi hasil dari metode lainya
(Bradley 1999).
Tahap yang dilakukan pada metode ini
adalah mengklasifikasi morfologi, deskripsi
morfologi serbuk sari, serta menentukan
taksonomi. Sehingga dapat diketahui habitat
serta
iklim
yang
medukung
pertumbuhannya. Serta dapat diketahui jenis
tumbuhan yang tumbuh pada masa itu.
Kemudian bagaimana tumbuhan tersebut
bertahan hidup (NOAA 2011).
Perbedaan dalam produktivitas dan
tingkat penyebaran serbuk sari menimbulkan
masalah yang signifikan untuk rekonstruksi
komposisi vegetasi karena kelimpahan
relatif serbuk sari tidak dapat langsung
diinterpretasikan dalam hal kelimpahan
spesies di daerah tersebut. Maka sangat
penting untuk mengetahui hubungan antara
frekuensi tanaman di daerah itu dan jumlah
hujan serbuk sari yang terjadi. Sebagai
contoh, komunitas vegetasi terdiri dari 10%
pinus, maple 35%, dan beech 65%
dapat diwakili dengan jumlah serbuk sari
yang kurang lebih sama persentasenya
(Bradley 1999).
Penentuan
iklim
dengan
analisis
serbuksari juga dapat dilakukan secara
kuantitatif.
Dengan
menggunakan
persamaan sederhana ini:
Cm = Tm. Pm………………(2)
Cm merupakan iklim modern, Pm hujan
serbuk sari modern, dan Tm merupakan
keofisien fungsional (fungsi transfer) yang
diperoleh dari hubungan antara serbuk sari
dan iklim (Bradley 1999). Persamaan
sederhana tersebut berkembang dengan
melalui penelitian lebih lanjut dan
ditransformasi menjadi:
July Tmean (°C) = 17.76 +1.73(Quercus)0.25
+ 0.09(Juniperus)+
0.51(Tsuga)0.41(Pinus)0.250.12(Acer)-0.04
(Fagus)……………..(3)
Persamaan 3 menggunakan pensentase
serbuk sari dan baru dilakukan penelitian di
Amerika Serikat dan New England oleh
Bartlein dan Webbs pada tahun 1985.
Sementara keofisien dari tiap jenis
tumbuhan didapatkan dari korelasi antara
suhu bulan Juli disuatu wilayah tertentu
(varibel lingkungan) , dan nilai persentase
penyebaran serbuk sari suatu spesies tertentu
di daerah tersebut. Persamaan diatas
memiliki R2 sebesar 0.77. Variabel yang
mempengaruhi suhu rata-ratabualn Juli
adalah persentase subgenus Quercus (pohon
Oak), Juniperus, Tsuga (cemara), Pinus,
Acer (maple), Fagus. Hasil dari penelitian
terbut adalah suhu di bulan Juli di wilayah
Amerika Utara hingga Kanada lebih hangat
1-2oC dibandingkan suhu saat ini. Penelitian
yang dilakukan di wilayah Eropa Tengah
sampai Eropa Selatan menghasilkan suhu
bulan Juli yang lebih hangat 4oC
dibandingkan suhu saat ini (Bradley 1999).
Dengan suhu Bulan Juli ditentukan juga
suhu bulan Januari yang mengikuti pola
suhu wilayah tersebut. Sehingga curah hujan
wilayah tersebut juga bisa diketahui.
Menurut Bradley panjang tahun yang dapat
di rekonstruksi dengan analisis polen pun
cukup panjang. Dua situs di Perancis dapat
merekstruksi suhu dan curah hujan hingga
140,000 tahun yang lalu.
15
panjang, bahkan sebelum parameter iklim
dapat diobservasi menggunakan instrument
iklim seperti saat ini. Sebagai contoh,
Gambar 4 merupakan rekaman data iklim
sejak 420.000 tahun terakhir. Data ini
berhasil
direkonstruksi
dengan
menggunakan metode ice core yang
diobservasi di Vostok, Antartika.
Rekaman data perubahan suhu yang
terlihat (Gambar 4) merupakan variabilitas
iklim. Gambar tersebut menunjukan
fluktuasi perubahan suhu yang berulang
dalam jangka waktu tertentu (ribuan abad).
Kenaikan suhu yang terjadi dalam beberapa
abad diikuti dengan penurunan suhu pada
abad-abad selanjutnya dengan pola yang
hampir sama.
Terdapat empat peningkatan suhu yang
cukup signifikan dan kemudian mencapai
titik puncak yang diikuti dengan penurunan
suhu. Hal ini menunjukan dalam jangka
waktu yang sangat panjang suhu tidak hanya
terus mengalami peningkatan akan tetapi
juga mengalami penurunan. Oleh karena itu
perubahan iklim yang terjadi dalam jangka
waktu yang sangat panjang dalam skala
global, tidak dapat disimpulkan hanya
diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas rumah kaca sejak revolusi industri.
Sedangkan revolusi industri baru terjadi
sekitar tiga abad terakhir.
Kecenderungan suhu selama abad
tersebut juga tidak semuanya mengalami
peningkatan
seiring
meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca. Terdapat
periode dimana suhu cenderung turun yang
juga diakibatkan oleh penyebab natural.
4.2 Perubahan Suhu Global Sebagai
Indikasi Perubahan Iklim Global
Akibat Kejadian Alam (Natural)
Perubahan iklim merupakan perubahan
pada komponen iklim yaitu suhu, curah
hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan
kecepatan angin, dan perawanan (BMKG
2011). Perubahan
iklim global adalah
perubahan pola iklim pada skala global dan
dalam kurun waktu yang panjang (NOAA
2007).
Sedangkan
perubahan
iklim
(lokal/regional) adalah perubahan pada pola
dan intensitas unsur iklim (biasanya
terhadap rata-rata 30 tahun) di suatu daerah
tertentu.
Perubahan
iklim
lokal/regional
merupakan bagian dari perubahan iklim
global. Apabila terjadi perubahan intensitas
unsur iklim selama 30 tahun pada suatu
wilayah tertentu belum cukup untuk
dipublikasikan sebagai perubahan iklim
global. Kenaikan rata-rata suhu global
selama dua abad terakhir dinyatakan sebagai
indikasi perubahan iklim global. Suhu akan
terus
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
akibat aktivitas manusia. Penyataan tersebut
didukung dengan data perubahan suhu
selama dua abad terakhir . Akan tetapi data
tersebut belum cukup untuk membuktikan
bahwa telah terjadi perubahan iklim dengan
suhu yang akan terus meningkat akibat
aktivitas manusia. Faktor natural justu
mempengaruhi setiap perubahan iklim di
bumi.
Perubahan iklim global dianalisis dengan
rekaman data iklim global yang sangat
4
2
0
Perubahan
Suhu (oC)
-2
-4
-6
-8
-10
-12
-400.000
-300.000
-200.000
-100.000
Tahun
Gambar 4 Grafik perubahan suhu sebagai variabilitas iklim 420.000 tahun terakhir daerah Inti Es
Antartika (NOAA 2007).
0
16
Ocean Circulation
Samudra merupakan bagian terluas dari
permukaan bumi. Samudra menyumbangkan
sebagian besar H2O yang terdapat di
atmosfer. Beberapa fenomena sirkulasi
samudra seperti
El Nino Southern
Oscillation (ENSO) merupakan sebuah
contoh variasi internal atau alami pada skala
cuaca tahunan (Leurox 2005). Gray (2009)
menyatakan, MOC (Meredional Overtuning
Circulation) merupakan penyebab primer
perubahan iklim. MOC merupakan hasil dari
penyatuan THC (Thermohalin Circulation)
dan
SAS
(Surrounding
Antartica
Subsidence). Gray lebih menitik beratkan
konsentrasi H2O dibandingkan CO2 sebagai
penyebab utama kenaikan suhu global.
Karena pada kenyataannya, CO2 hanya
meningkatkan 0.1-0.20C dari 0.740C
kenaikan suhu bumi saat ini.
Perbedaan orbital dalam radiasi
Parameter orbital mempengaruhi radiasi
berubah secara konstan dengan perbedaan
pada jarak Bumi-Matahari dan inklinasi
pada ekliptik dan orientasi pada poros polar
angkasa, yang menentukan radiasi yang
diterima bumi. Pergerakan dan perubahan
orbit bumi menyebabkan perbedaan radiasi
yang diterima bumi (Leurox 2005).
Hal ini dijelaskan dalam Teori
Milankovich. Dalam teorinya, beliau
memaparkan mengenai tiga hal yang dialami
oleh
bumi
sehingga
menghasilkan
perubahan iklim akibat perbedaan intensitas
radiasi matahari di permukaan bumi.
Pertama, Eksentrisitas yaitu perubahan
bentuk dari orbit imajiner bumi yang
mengelilingi matahari. Bentuk orbit tidak
bulat, tetapi memiliki nilai eksentrisitas,
sehinggal bentuknya menjadi sedikit elips
dan tidak bulat sempurna. Nilai eksentrisitas
suatu orbit berada diantara 0 (bulat
sempurna) hingga 1 (parabola yang tidak
memiliki ujung). Saat ini nilai eksentrisitas
bumi adalah 0.0167, sementara ribuan tahun
yang lalu nilainya 0.0034 hingga 0.058.
Nilai eksentrisitas itu akan terus berubah
membentuk suatu siklus yang bervariasi
dalam 413,000 tahun (Berger et al. 2006).
Akibat dari bentuk orbit bumi yang seperti
itu, muncul istilah perihelion dan aphelion.
Ketika matahari berada dalam titik atau jarak
terdekat dengan bumi disebut perihelion,
dimana bumi menerima radiasi paling tinggi
dari matahari sehingga suhu menjadi lebih
panas. Titik terjauhnya disebut aphelion,
dimana bumi menerima radiasi matahari
terendah sehingga mengalami penurunan
suhu.
Kedua adalah Obliquity, kemiringan
bumi ketika berotasi. Kemiringan itu
bervariasi dalam kurun waktu 40,000 tahun,
dan bergerser antara 22,1o hingga 24,5o. Jika
kemiringan bumi bertambah maka musim
panas akan lebih panas dan musim dingin
akan lebih dingin. Sebaliknya, jika terjadi
pengurangan kemiringan berarti musim
panas akan menjadi lebih dingin dan musim
dingin akan menjadi lebih panas. Saat ini
kemiringan bumi berkurang, sehingga suhu
bumi menjadi semakin panas. Kemiringan
bumi saat ini adalah 23,5o, dan saat ini
sedang setengah jalan bergerak menuju nilai
minimumnya, yaitu 22.1 o (A k c a m 2004).
William (2003) menyatakan kemiringan
bumi sebesar 23.5 o suhu rata-rata bumi
adalah 15oC.
Ketiga adalah Presisi, yaitu perubahan
arah rotasi karena bergesernya sumbu bumi.
Siklus ini bervariasi selama 19,000-23,000
tahun. Matahari dan bulan sangat
berpengaruh terhadap perubahan ini.
Dampak perubahan arah rotasi bumi ini bisa
mengubah waktu perihelion yang jatuh pada
bulan Januari dan aphelion yang jatuh bulan
Juli. Hal ini akan meningkatkan kontras
musim pada salah satu belahan bumi,
sedangkan pada bagian lainnya mangalami
penurunan. Sebagai contoh saat posisi bumi
sangat dekat dengan matahari musim dingin
akan lebih panas dan sebaliknya. Dampak
lain yang juga terjadi adalah perubahan utara
dan selatan bumi sehingga suhu Kutub Utara
meningkat (Breger 2006).
Perbedaan aktivitas tata surya
Tata surya mengalami aktivitas yang
terjadi sebagai siklus. Misalnya siklus titik
matahari (sunspot) maksimun dan minimum
(11 tahun sekali) akan menyebabkan
berubahnya solar constant yang sampai ke
permukaan atmosfer bumi. Kemunculan
sunspot tidak hanya berguna dalam
menentukan periode rotasi matahari, tapi
juga untuk menentukan tingkat aktivitas
matahari. Jika jumlah sunspot di permukaan
matahari banyak, berarti aktivitas matahari
tinggi, dan begitu juga sebaliknya (LAPAN
2010).
Hal
ini
menyebabkan
ketidakseimbangan iklim bumi dari nilai
solar constant yang dipancarkan matahari.
Jumlah sunspot berkorelasi dengan solar
constant. Karena bintik matahari yang lebih
gelap dari fotosfer sekitarnya mungkin
diharapkan bahwa bintik matahari lebih akan
menyebabkan kurang radiasi matahari dan
17
menurunnya nilai solar constant . Namun,
margin sekitar bintik matahari lebih terang
dan lebih panas dari rata-rata, secara
keseluruhan bintik matahari meningkatkan
nilai solar constant. Bintik matahari
minimum yang telah diamati terjadi sekitar
tahun 1645-1715. Hal ini bertepatan dengan
periode pendinginan yang dikenal sebagai
Little Ice Age (Lean dan Rind 1994).
Vulkanisme
Gunung berapi, baik yang masih aktif
maupun yang tidak, adalah sumber gas yang
berkelanjutan.
Gunung
api
juga
melemparkan hal berikut ke atmosfer:
Uap air
Komponen sulfur (kebanyakan sulfur
dioksida, SO2)
Karbon dioksida , 35-65% dari CO2
diperlukan untuk menyeimbangkan
kekurangan dari sistem lautanatmosfir, dan
Klorin (36 juta ton dalam setahun
tanpa erupsi utama).
Gunung Erebus, di Antartika, dalam
erupsi yang berkelanjutan sejak 1972 telah
memancarkan lebih dari 1000 ton klorin per
hari (370,000 dalam setahun). Hal ini
menjadi kontributor utama dalam mereduksi
ozon di atas Kutub Selatan (Leurox 2005).
Selain Klorin komponen di atas dapat
terakumulasi di atmosfer dan menjadi
payung tebal yang menyebabkan panas bumi
terperangkap dibawahnya. Selain itu radisi
matahari akan terhalang oleh payung
tersebut sehingga permukaan bumi yang
ditutupi oleh komponen vulkanik tersebut
akan menerima radiasi matahari yang lebih
rendah.
Pengaruh dari radiasi tata surya telah
diukur sejak erupsi dari Krakatau (Sumatra,
Indonesia) pada 1883. Aerosol dari erupsi
ini mengurangi radiasi tata surya secara
langsung 20-30% dalam beberapa bulan.
Ledakan Gunung Agung (Bali, Indonesia)
pada 1963, yang kemudian disebut „erupsi
abad ini’ karena kuantitas abunya yang
mencapai stratosfer, membawa 24% reduksi
pada radiasi langsung. Akan tetapi pengaruh
persebaran pengganti membawanya turun
sebesar hanya 6% dari total radiasi; butuh 13
tahun untuk debu vulkanik terdispersi
(Leurox 2005).
4.3 Skenario Budget Energi untuk
Menduga Perubahan Rata-rata Suhu
Global.
Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh
radiasi matahari. Radiasi matahari yang
mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar
30% dari radiasi tersebut direfeleksikan
kembali ke angkasa luar karena adanya awan
dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan
menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm2
, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2
(Kiehl dan Trenberth 1997).
Radiasi
matahari
yang
diserap
permukaan bumi akan dipancarkan kembali
oleh bumi sebagai radiasi gelombang
panjang. Sebesar 390 Wm-2 yang
dipancarkan
permukaan
bumi
tidak
semuanya dipancarkan secara langsung. Gas
rumah kaca menyebabkan 324 Wm-2 energi
yang dipancarkan kembali dipantulkan ke
permukaan bumi (Kiehl dan Trenberth
1997).
342 Wm-2
Gambar 5 Mekanisme keseimbangan energi permukaan (Kiehl dan Trenberth 1997).
18
Atmosfer mempunyai beberapa lapisan
gas, termasuk gas rumah kaca dan awan
yang akan mengemisikan kembali sebagian
radiasi inframerah yang diterima ke
permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini
maka panas yang ada di permukaan bumi
akan bertahan. Untuk jangka panjang akan
terjadi keseimbangan antara radiasi yang
masuk dan yang keluar sehingga suhu di
bumi mencapai nilai tertentu (Sugiyono
2009).
Tanpa atmosfer dan gas rumah kaca yang
terdapat di dalamnya maka bumi secara
teoritis akan memiliki suhu permukaan
sebesar -180C (Oke 1978). Hal ini dapat
dihitung menggunakan model sederhana
budget energi permukaan (persamaan 1)
yaitu:
S(1-α) = 4
T4
1367Wm (1-0.3) = 4.1.5,7x10-8 Wm-2.T4
T ≈255K
T≈ -18oC
-2
Suhu yang dihasilkan sebesar -18oC
untuk keadaan tanpa atmosfer dengan nilai
solar constant (1367Wm-2), emisivitas (1),
dan albedo normal (0.3). Nilai suhu
permukaan bumi yang dihasilkan adalah
nilai suhu ketika bumi tidak memiliki
atmosfer. Bumi, selain memiliki atmosfer
juga memiliki inti radioaktif yang
menghasilkan panas sebesar 87 Wm-2
(Hutton 2010).
Lautan merupakan 70% bagian dari bumi
yang menyumbangkan begitu banyak H 2O
dan beberapa gas lain dari sirkulasi yang
terjadi baik di atas maupun di dalamanya.
Gas-gas tersebut secara alami menghalangi
sebagian panas keluar dari bumi. Hal
tersebut menyebabkan suhu observasi bumi
lebih hangat 33 oC dari suhu yang di dapat
dari persamaan di atas. Suhu rata-rata
permukaan bumi yang terukur adalah 15oC
(Leurox 2005).
Salah satu penyebab natural perubahan
iklim adalah aktivitas tatasurya. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan nilai solar
constant. Peningkatan nilai solar constant
sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan
suhu sebesar 0.6 0C (Leurox 2005). Hasil
perhitungan di bawah ini (Persamaan 4)
menunjukan nilai perubahan suhu yang sama
dengan pernyataan di atas.
S(1-α) = 4 T4
ln S+ln (1- α) = ln 4+ ln +ln + 4ln T
*Asumsi
konstan dan
konstan
……….(4)
o
Nilai tersebut sesuai dengan nilai ΔT 1
skenario 1 pada Tabel 6. Sedangkan nilai
ΔT 2 merupakan nilai perubahan suhu ketika
nilai T adalah 288K atau 15oC (sesuai ratarata suhu observasi saat ini). Nilai T pada
persamaan diatas membedakan ΔT 1 sebagai
perubahan suhu dimana suhu dasarnya
merupakan suhu bumi tanpa adanya
atmosfer. Sedangkan ΔT 2 merupakan
perubahan suhu ketika suhu dasarnya adalah
suhu bumi dengan diselimuti atmosfer dan
variable lain berubah sesuai skenario seperti
pada Tabel 6.
Albedo memilki pengaruh yang cukup
besar dalam perubahan suhu global, seperti
yang terlihat pada Skenario 2 (Tabel 6).
Berdasarkan data rekaman Clouds and Earth
Radiant Energy System (CERES) albedo
global yang tercatat padatahun 2000-2004
mengelami penurunan sebesar 0.9% dan
mengakibatkan suhu naik sebesar 0.25oC
(tanpa atmosfer) dan 0.27oC (dengan
atmosfer).
Menurut Leurox (1995), letusan Gunung
Agung (1963) di Bali (Skenario 3) yang
mengakibatkan albedo naik sebesar 6% dan
suhu mengalami penurunan sebesar 1.65oC
(tanpa atmosfer) dan 1.85oC (dengan
atmosfer) . Kenaikan albedo sebesar 6%
adalah
hasil penyebaran abu vulkanik
setelah mengalami erupsi dan menyebar.
Selain itu albedo bumi memiliki korelasi
yang positif dengan kekeruhan atmosfer.
Berdasarkan penelitian Budiwati (2003)
nilai kekeruhan atmosfer yang semakin
menurun pada tahun 1996 sampai tahun
1998 menyebabkan albedo bumi turun
sebesar 1.5%. Hal ini mengakibatkan suhu
permukaan bumi naik sebesar 0.49oC. Pada
Skenario 4 (Tabel 6) pendugaan perubahan
suhu tersebut mendekati hasil penelitian
Budiwati dengan ΔT 2 (dengan atmosfer)
yang bernilai 0.46oC dan ΔT 1( tanpa
atmosfer) bernilai 0.41oC.
19
Tabel 6 Skenario pendugaan suhu permukaan bumi
Sekenario
Parameter
ΔT 1
ΔT 2
Skenario
Normal
Skenario 1
Keterangan
S
α
ε
S naik 1%
α
Asumsi semua variabel dianggap tetap.
0.64
ε
0.72
Asumsi solar constant naik sebesar
1%, sedangkan variable lain dianggap
tetap (siklus bintik matahari).
Asumsi albedo turun sebesar 0.9%.
Penyataan ini merupakan catatan
α turun 0.9%
0.25
0.27
penurunan albedo 2000-2004 (NASA
ε
2011).
Asumsi albedo naik sebesar 6%,
S
sedangkan variable lain dianggap tetap
α naik 6%
-1.65
-1.85
akibat meletusnya Gunung Agung
ε
(Leurox 2005).
Asumsi albedo permukaan bumi turun
S
sebesar 1.5%. Mewakili perubahan
α turun 1.5%
tingkat kekeruhan atmosfer pada tahun
0.41
0.46
1996 sampai tahun 1998 (Budiwati et al
ε
.2003).
.
Asumsi emisivitas turun 1% yang
S
disebabkan perubahan penutupan lahan
α
vegetasi menjadi lahan non vegetasi,
0.64
0.72
sehingga emisivitas bumi terdiri dari
ε
lautan (70%) dan lahan non vegetasi
(30%).
ΔT1 = perubahan suhu dengan T=255K (tanpa atmosfer)
ΔT2 = perubahan suhu dengan T=288K (dengan atmosfer)
S
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
Keterangan :
Skenario
5
merupakan
skenario
perubahan
penutupan
lahan
yang
berpangeruh secara langsung terhadap
emisivitas bumi. Nilai emisivitas tiap
penutupan permukaan bumi berbeda antara
lain 0.98 untuk lautan dan air, 0.95 untuk
penutupan vegetasi, dan 0.92 untuk
penutupan lahan non vegetasi (Weng 2001).
Jika diasumsikan luasan lautan adalah 70%
dari luas bumi dan penutupan non vegetasi
adalah 20% dari luas permukaan bumi,
sementara luas penutupan vegetasi adalah
10% dari luas permukaan bumi maka ratarata emisivitas bumi adalah sebesar 0.965.
Skenario 5 mengasumsikan bahwa luasan
penutupan lahan vegetasi berubah menjadi
lahan non vegetasi seluruhnya. Hal ini dapat
dikarnakan penebangan serta kebakaran
hutan yang tidak bisa ditanggulangi.
Perubahan penutupan lahan tersebut
menurunkan rata-rata emisivitas bumi
sebesar 0.997% dan dibulatkan menjadi 1%.
Penurunan emivitas tersebut mengakibatkan
terjadinya kenaikan suhu sebesar 0.63oC
(tanpa atmosfer) dan 0.72oC (dengan
atmosfer).
Kenaikan nilai solar constant dapat
diakibatkan oleh aktivitas matahari yang
meningkat, misalnya saat jumlah bintik
matahari
mengalami peningkatan, atau
bahkan dalam keadaan maximum pada
siklusnya (11 tahun sekali). Selain itu
perbedaan orbital dalam radiasi juga
berpengaruh terhadap nilai solar constant.
Nilai albedo erat kaitanya dengan penutupan
awan dan daya pantul radiasi suatu
penutupan lahan. Semakin besar radiasi yang
dipantulkan semakin besar nilai albedo
begitu
pula
sebaliknya.
Sedangkan
emisivitas juga mengalami penurunan ketika
tutupan vegetasi semakin berkurang.
20
1940–1970. Pada periode ini suhu justru
mengalami penurunan ketika konsentrasi
CO2 dan gas rumah kaca lainnya mengalami
peningkatan. Hal ini dipengaruhi oleh
aktivitas matahari (siklus bintik matahari)
yang juga mengalami penurunan selama
siklusnya.
Aktivitas matahari dan anomali suhu
memiliki korelasi yang positif dan
berpengaruh terhadap fluktuasi suhu global
(Sibian et al. 2005). Pada tahun 1950
diketahui bahwa siklus bintik matahari
mengalami titik minimum dan baru
meningkat mencapai titik maksimum pada
tahun 1970. Selain itu revolusi nuklir yang
terjadi pasca perang dunia ke dua (1945) dan
letusan besar Gunung Agung di Bali (1963)
juga turut menyumbangkan beberapa ton
aerosol ke atmosfer sehingga radiasi yang
masuk terhalang dan suhu global menurun
pada periode 1940-1970 (Leurox 2005).
Perubahan iklim sebagai implikasi
pemanasan global yang disebabkan oleh
kenaikan gas-gas rumah kaca terutama
karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4),
mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di
lapisan atmosfer paling bawah, yaitu
fluktuasi curah hujan yang tinggi dan
kenaikan muka laut (Susandi et al. 2008).
Mahmud dalam jurnalnya pada tahun 2007
juga
memroyeksikan
emisi
dengan
menggunakan mode MAGICC (Model for
the Assessment of Green-house-gas Induced
Climate Change). Jurnal ini menyatakan
bahwa konsentrasi CO2 pada tahun 2050
akan naik menjadi 512 ppm. Konsentrasi
CH4 mengalami kenaikan menjadi 2300 ppb.
Akibatnya kondisi temperatur naik sebesar
1.45°C, dan tinggi muka laut juga
mengalami kenaikan sebesar 16 cm
Perubahan Suhu (oC)
4.4 Perubahan Suhu Global Akibat Gas
Rumah Kaca
Gas rumah kaca diartikan sebagai gas
yang terdapat di atmosfer yang dapat
menyerap dan memancarkan radiasi. Proses
tersebut merupakan penyebab mendasar dari
efek rumah kaca (Prather dan Ehhalt 2001).
Efek rumah kaca adalah fenomena alam
yang mengisolasi bumi dari udara di luar
angkasa. Radiasi matahari yang datang akan
diserap dan dipancarkan kembali oleh bumi,
maka dengan adanya gas rumah kaca maka
tidak semua panas dari radiasi tersebut
keluar dari atmosfer sehingga bumi berada
pada suhu yang nyaman untuk ditinggali
(UMCH 2010).
Seiring dengan meningkatnya kegiatan
industri semenjak revolusi industri pada
tahun 1750, konsentrasi gas rumah kaca
mengalami peningkatan. Efek rumah kaca
menyebabkan peningkatan rata-rata suhu
global (pemanasan global). Peningkatan
suhu tergambar pada Gambar 6. Garis
merah yang merupakan nilai rataan di setiap
tahunnya mengalami variasi yang semakin
lama semakin meningkat. Kenaikan tersebut
terus terjadi seiring dengan semakin
tingginya peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer. Laporan IPCC
tahun 2007 mengemukakan bahwa selama
100 tahun terakhir (1906-2005) temperatur
permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar
0.74oC, dengan pemanasan yang lebih besar
pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat
pemanasan rata-rata selama 50 tahun
terakhir hampir dua kali lipat dari yang
terjadi pada 100 tahun terakhir diakibatkan
oleh peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer.
Grafik (Gambar 6) menunjukan rata-rata
suhu tahunan menurun yaitu pada periode
Tahun
Gambar 6 Parubahan suhu global dari tahun 1850- 2007 (Hutton 2010).
21
Tabel 7 Konsentrasi gas rumah kaca
2007)
Konsentrasi
Gas
sebelum revolusi
industri
CO2
280 ppm
CH4
700 ppb
N2O
270 ppb
sebelum dan sesudah revolusi industri (IPCC
Konsentrasi
tahun 2005
Peningkatan
pertahun
Masa hidup di
atmosfer
379ppm
1,774 ppb
319 ppb
1.5 ppm/th
7.0 ppb/th
0.8 ppb/th
5 -200 th
12 th
114 th
CFC-11
HFC-23
0
0
251ppt
18 ppt
1.4 ppt/th
0.55 ppt/th
45 th
260 th
CF4
40 ppt
74ppt
1 ppt/th
>50,000 th
Pengaruh masing-masing gas rumah kaca
terhadap terjadinya efek rumah kaca
bergantung pada besarnya kadar gas rumah
kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer,
dan kemampuan penyerapan energi. Waktu
tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga
mempengaruhi
efektivitasnya
dalam
menaikkan suhu. Pada tahun 2005
konsentrasi CO2 meningkat hingga mencapai
379 ppm memiliki kontribusi besar dalam
menaikkan suhu global karena waktu
tinggalnya yang mencapai 200 tahun. Gas
CF4 memiliki waktu tinggal yang sangat
lama di atmosfer (>50,000 tahun), dan nilai
konsentrasi yang cukup besar (74 ppt)
menyebabkan gas tersebut memiliki
kontribusi yang besar dalam meningkatkan
suhu global jika terus menunpuk di
atmosfer. Gas lain yang juga berpengaruh
pada efek rumah kaca adalah H2O.
Kelimpahan zat ini sangat besar di atmosfer
yaitu sebesar 0.3% massa atmosfer. Masa
hidup has ini hanya 10 hari maka H20 tidak
dianggap efektif dalam menaikan suhu
global (Gavin 2005). Semakin panjang
waktu tinggal gas di atmosfer, dan semakin
besar peningkatan konsentrasinya maka
semakin efektif pula pengaruhnya terhadap
kenaikan suhu (Sugiyono 2009).
Global Warming Potential
Setiap gas rumah kaca mempunyai
potensi pemanasan global (Global Warming
Potential - GWP) yang diukur secara relatif
berdasarkan emisi CO2 dengan nilai GWP 1.
Semakin besar nilai GWP makin bersifat
merusak (Sugiyono 2009). GWP merupakan
ukuran berapa banyak suatu massa gas
rumah kaca diperkirakan berkontribusi pada
pemanasan global. GWP adalah skala relatif
yang membandingkan gas rumah kaca lain
dengan massa CO2. Nilai dari GWP dihitung
selama suatu interval tertentu dan selang
waktu tertentu (IPCC 2001).
Tiga hal yang mempengaruhi nilai GWP
antara lain:
Penyerapan radiasi inframerah
Lokasi spektral panjang gelombang
penyerap
Waktu gas tersebut bertahan di
atmosfer
Secara ilmiah GWP didefinisikan sebagai
integrasi radiative forcing dalam jangka
waktu tertentu dan dibandingkan dengan gas
relatif tertentu (IPCC 2007).
…….(5)
TH (Time Horizon) adalah lamanya
waktu yang dihitung,
adalah efisiensi
radiasi karena kenaikkan kelimpaha gas
tersebut di atmosfer, dan Ci(t) adalah waktu
yang dibutuhkan gas tersebut dengan
kelimpahan tertentu bertahan di atmosfer
(life-time). Sedangkan
dan Cr(t)
merupakan parameter yang sama dari gas
relatif..
Dibandingkan dengan gas relatif CO2 ,
CH4 memiliki nilai GWP sebesar 25 yang
menunjukkan potensinya dalam global
warming adalah 25 kali lebih besar dari CO2.
Sama halnya dengan N2O yang memiliki
nilai GWP 298, yang berarti N2O memiliki
potensi untuk menaikan suhu global sebesar
298 kali dari potensi CO2 dalam menaikan
suhu global. Gas selain CO2 pada Tabel 8
memiliki nilai GWP yang lebih besar dan
lebih bersifat merusak. Akan tetapi,
peningkatan konsentrasi CO2 dan waktu
tinggalnya di atmosfer tetap dianggap
ancaman terbesar penyebab pemanasan
global. Selain GWP, parameter lain yang
menggambarkan pengaruh gas rumah kaca
terhadap perubahan iklim yang biasanya
diindikasikan dengan kenaikan suhu adalah
radiative forcing.
22
Tabel
8 Komponen gas rumah kaca dan potensinya terhadap pemanasan global
untuk TH (Time Horizon) 100 tahun dengan CO 2 sebagai gas relatif
(IPCC 2007)
Potensi Pemanasan
Komponen GRK
Global (GWP)
Carbon Dioxide (CO2)
1
Methane (CH4)
25
Nitrous Oxide (N2O)
298
Hydrofluorocarbons (HFC)
124 – 14.800
Perfluorocarbons (PFC)
7.390 – 12.200
Sulfur Hexafluoride
22.800
Radiative Forcing
Radiative forcing merupakan sebuah
index dari faktor yang bertindak sebagai
sebuah mekanis potensial yang mengubah
keseimbangan output dan input energi.
Index ini bernilai negatif (-) apabila faktor
mengubah suhu menjadi lebih dingin dan
bernilai positif (+) untuk perubahan suhu ke
arah lebih panas (IPCC 2007).
Kesetimbangan energi radiasi matahari
diperoleh dari selisih nilai radiasi matahari
yang masuk ke bumi melalui radiasi
gelombang pendek dengan nilai radiasi
matahari yang diemisikan oleh bumi dalam
bentuk radiasi gelombang panjang. Apabila
selisih nilai tersebut bernilai nol, maka
kesetimbangan energi radiasi matahari
tercapai (Nahas 2010). Jika selisih nilai
tersebut bernilai positif, artinya lebih banyak
energi radiasi matahari yang diserap, maka
hal ini dinamakan dengan positive feedback.
Dampak dari positive feedback adalah
naiknya temperatur rata-rata permukaan
bumi yang mengarah terhadap terjadinya
pemanasan secara global (global warming).
Sebaliknya, jika lebih banyak radiasi
matahari yang diemisikan oleh permukaan
bumi, maka hal ini disebut dengan negative
feedback yang berdampak pada turunnya
temperatur rata-rata permukaan bumi (global
dimming).
Tabel 9 menjelaskan beberapa komponen
radiative forcing serta nilai indexnya
masing-masing. Nilai radiative forcing
untuk gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4
berniai positif, sedangkan ozon bernilai
positif di bagian troposfer dan negatif di
bagian stratosfer. Uap air yang terkandung
di stratosfer bernilai positif.
Radiative forcing dinyatakan sebagai
jumlah energi per satuan luas, per satuan
waktu energi yang diserap gas rumah kaca
atau yang hilang. Nilai RF (Radiative
Forcing) untuk aerosol juga benilai negatif.
Total RF yang diakibatkan faktor
anthropogenic sebesar 1.6 Wm-2, sedangkan
total nilai RF yang disebabkan faktor
natural
hanya sebesar
0.12 Wm-2
Tabel 9 Nilai komponen radiative forcing (IPCC 2007)
Factor
Anthropogenic
Natural
RF Component
Long-life
gases
CO2
N2O
CH4
Halokarbon
Ozon
Stratospheric
Tropospheric
Stratospheric H2O from CH4
Surface
Land use
Albedo
Black carbon on
snow
Aerosol
direct effect
cloud albedo
effect
Linier contrails
Solar Irradiance
RF (Wm-2)
1.66
0.48
0.16
0.34
-0.05
0.35
0.07
-0.2
0.1
Total net
(Wm-2)
1.61
-0.5
-0.7
-0.1
0.12
0.12
23
Tabel 10 Nilai konstanta dan beberapa rumusan untuk menentukan nilai radiative
forcing (Mhyre 1998)
Persamaan radiative forcing , ΔF (Wm−2)
Konstanta
ΔF= α ln(C/C0)
α=5.35
CH4
ΔF= α(√M–√M0)–(f(M,N0)–f(M0,N 0))
N2O
ΔF= α(√N–√N0)–(f(M 0,N)–f(M0,N 0))
α=0.036
α=0.12
CFC-11a
ΔF= α(X–X0)
CFC-12
ΔF= α(X–X0)
Jenis gas
CO2
α=0.25
α=0.32
Keterangan : f(M,N) = 0.47 ln[1+2.01×10−5 (MN)0.75+5.31×10−15 M(MN)1.52]
C adalah CO2 dalam ppm
M adalah CH4 dalam ppb
N adalah N2O dalam ppb
X adalah CFC dalam ppb
Misalnya untuk karbon dioksida dengan
kelimpahan pada tahun 1975 (CO2) sebesar
278 ppm dan pada tahun 2005 adalah
sebesar 379 maka dengan menggunakan
formula di bawah ini:
Nilai di atas sebanding dengan perkiraan
IPCC
(2001)
menunjukkan
bahwa
peningkatan konsentrasi CO2 dua kali lipat
akan diikuti oleh peningkatan temperatur
udara rata-rata sebesar 1.5-4.5oC.
ΔF=5.35x ln (C/Co)……..…….(6)
didapatkan nilai radiative forcing dengan
periode perubahan kelimpahan 1975-2005
adalah sebesar 1.66 W m-2 dan kenaikan
suhu bumi sebesar 0.72oC (IPCC 2007).
Dengan kenaikan konsentrasi CO2 sebesar
dua kali lipat dari konsentrasi masa revolusi
industry (556 ppm), maka nilai radiative
forcing CO2 sebesar 3.7 W m-2. Nilai
tersebut akan meningkatkan suhu sebesar
1.5 oC dengan menggunakan persamaan (4)
seperti di bawah ini:
dT = 1.5o
4.5 Analisis Kecenderungan Suhu dan
Curah Hujan Jakarta Observatory 19652010
Perubahan
iklim
umumnya
diindikasikan dengan adanya pemanasan
global atau kenaikan suhu global. Untuk
menganalisis perubahan iklim yang terjadi,
diperlukan data series observasi iklim yang
panjang. Data series observasi iklim yang
panjang sangat sulit didapat sehingga ini
menjadi kendala besar dalam analisis
perubahan iklim.
4.5.1 Analisis Kecenderungan Suhu
Analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan yang cukup
terlihat dari data time series di setiap
periode. Gambar di bawah ini menunjukan
grafik
data
suhu
tahunan
Jakarta
Observatory
dari
tahun
1965-2010.
29.50
29.00
28.50
28.00
27.50
27.00
26.50
26.00
25.50
Suhu Tahunan
Linear (Suhu Tahunan)
y = 0.033x + 27.26
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Suhu (oC)
24
Tahun
Gambar 7 Variasi suhu tahunan Jakarta Observatory (1965 -2010).
30.00
y = 0.036x + 27.38
Suhu(oC)
29.00
28.00
27.00
y = 0.029x + 26.55
26.00
Rata- rata suhu MH
Rata- rata Suhu MK
Linear (Rata- rata suhu MH)
25.00
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
24.00
Tahun
Gambar 8 Variasi suhu musim hujan dan kemarau Jakarta Observatory tahun (1965- 2010).
Persamaan linier yang diihasilkan (y =
0.033x + 27.26) juga menunjukkan
kecenderungan positif untuk nilai slope
positif sebesar 0.033. Nilai slope yang
positif ini menandakan bahwa nilai suhu
memiliki kemiringan atau kecenderungan
naik sebesar 0.033x, dengan x adalah waktu
dalam tahun. Gambar variasi suhu musim
hujan dan kemarau di atas juga memiliki kecenderungan positif yang menunjukkan
dengan jelas terjadinya kenaikan suhu baik
pada musim hujan (DJF) ataupun musim
kemarau (JJA). Persamaan linier yang
dihasilkan adalah y = 0.036x + 27.38 untuk
musim kemarau dan y = 0.029x + 26.55
untuk musim penghujan. Nilai slope positif
menunjukkan bahwa data suhu ini
mengalami kecenderungan naik berbanding
lurus dengan waktu.
Kenaikan suhu ini juga ditunjukkan oleh
tabel di bawah. Suhu dari periode I ke
periode II mengalami peningkatan 0.54oC,
suhu dari periode II ke periode III
mengalami peningkatan 0.24oC, dan untuk
periode II ke periode IV kota Jakarta
mengalami peningkatan suhu sebesar
0.38oC. Kenaikan suhu tertinggi pada
periode I (1965-1974) menuju periode II
(1975-1984).
25
Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Jakarta per dekade
ΔT(0C)
Periode
Range Tahun
T Rata-rata/Tahun(oC)
I
1965-1974
27.36
II
1975-1984
27.90
0.54
III
1985-1994
28.14
0.24
IV
1995-2010
28.53
0.38
Dari tabel diatas terlihat kenaikan suhu
yang bervariasi di setiap periode. Kenaikan
suhu terbaesar terjadi antara perode I dan
periode II yaitu sebesar 0.54oC. Sedangakan
kenaikan suhu terkecil terjadi antara periode
II dan periode III yaitu sebesar 0.24 oC.
dengan hasil analisis temperatur. Pada
analisis ini curah hujan mengalami
kecenderungan turun seperti yang terlihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 9 menunjukkan kecenderungan
negatif untuk curah hujan tahunan dengan
persamaan linier y = -17.68x + 1992. Slope
sebesar -17.68 (cenderung turun) dengan x
adalah waktu dalam tahun.
4.5.2 Analisis Kecenderungan Curah
Hujan
Analisis curah hujan yang dilakukan
menghasilkan hasil yang bertolak belakang
3000
y = -13.93x + 1947.
2000
1500
1000
CH Tahunan
500
Linear ( CH Tahunan)
0
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Ch (mm)
2500
Tahun
Gambar 9 Variasi curah hujan tahunan Jakarta Observatory (1965-2010).
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
y = -8.813x + 1007.
y = -0.104x + 155.5
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
CH (mm)
26
Tahun
CH MH
CH MK
Linear (CH MH)
Linear (CH MK)
Gambar 10 Variasi curah hujan musim hujan dan musim kemarau Jakarta Observatory (19652010).
Tabel 12 Rata-rata tinggi curah hujan Jakarta Observatory periode 10 tahunan
Periode
Range Tahun
I
1965-1974
II
1975-1984
1888
-19
III
1985-1994
1377
-511
IV
1995-2010
1300
-77
Gambar curah hujan musiman (Gambar
10) juga menunjukan hal yang sama yaitu
kecenderungan
negatif.
Mengalami
penurunan dengan persamaan linier untuk
musim hujan (curah hujan Desember,
Januari, dan Februari) adalah y = -8.81x +
1007 dan untuk musim kemarau (curah
hujan Juni, Juli, Agustus) adalah y = 0.104x+ 155.5.
Dari Tabel 12 terlihat penurunan yang
terjadi di setiap periode penurunan ini terjadi
CH Rata-rata/Tahun
(mm)
1907
ΔCH
paling tinggi ketika periode II menuju
periode III. Hasil analisis ini juga didukung
oleh hasil penelitian Avia (2005) dengan
data curah hujan Jakarta tahun 1901-2002.
Hasil analisisnya menyatakan bahwa
periode 1931-1960 dan 1991-2002 terlihat
mengalami penurunan rata-rata jumlah curah
hujan tahunan. Data iklim yang digunakan
untuk analisis ini berada pada range tahun
tersebut.
27
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Perubahan iklim diindikasikan dengan
kenaikan suhu permukaan. Asumsi bahwa
suhu akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya gas rumah kaca masih terlalu
dini
untuk
dikemukakan
dengan
menganalisis potongan data suhu hanya
dalam satu atau dua abad saja. Karena
rekaman data paleoklimatologi menunjukan
kenaikan suhu dapat terjadi dalam pulahan
abad dan diikuti oleh penurunan suhu pada
puluhan abad berikutnya.
Paleoklimatologi merekonstruksi iklim
masa lalu untuk mendapakan data iklim
sebelum masa observasi. Ice core
merupakan
salah
satu
metode
paeleoklimatogi yang dapat memberikan
informasi iklim yang lebih panjang
dibandingkan dengan metode tree ring yang
obsevasinya hanya terbatas pada tempat
yang bisa ditumbuhi pohon dengan baik
pada lintang rendah, akan tetapi metode ini
membutuhkan observasi dan analisis yang
lebih rumit dan terbatas akibat berkurangnya
lapisan es di bumi ini.
Dibandingkan dengan metode tree ring
dan ice core, metode analisis karang
memiliki objek lebih terbatas. Dengan
kerumitan analisis yang seperti metode ice
core metode ini lebih jarang dilakukan.
Sedangkan metode analisis serbuk sari
dilakukan untuk melengkapi hasil dari ketiga
metode yang disebutkan di atas. Akan tetapi
metode ini memiliki tingkat ketidakpastian
yang tinggi dibanding ketiga metode yang
lain.
Faktor natural sangat berpengaruh pada
perubahan iklim, yang ditunjukan oleh
peristiwa letusan gunung berapi yang
mengakibatkan pendinginan global pada
periode 1940-1970. Tidak hanya itu dengan
menurunnya akitivitas matahari pada periode
tersebut menyebabkan suhu global juga
memiliki kecenderungan turun.
Dengan
menggunakan
persamaan
keseimbangan energi permukaan, kenaikan
1% solar constant menghasilkan kenaikan
suhu yang sama dengan kenaikan suhu yang
disebabkan peningkatan CO2 sampai tahun
2005 yaitu 0.72oC.
Penurunan Albedo sebesar 0.9% pada
tahun 2000-200 dapat menyebabkan
peningktan suhu sebesar 0.25oC, suhu
tesebut mewakili 34% kenaikan suhu bumi
sampai tahun 2005 (0.72oC). Faktor natural
lain yang ternyata lebih berpengaruh dalam
menaikan suhu global adalah emisivitas.
Berkurangnya emisivitas sebesar 1% dapat
menaikkan suhu 0.72oC setara dengan
peningkatan suhu akibat gas rumah kaca saat
ini.
Parameter perubahan iklim global
akibat gas rumah kaca adalah radiative
forcing dan Global Warming Potensial
(GWP). Ketika konsentrasinya CO2 naik
dua kali lipat dibandingkan masa sebelum
revolusi industri nilai radiative forcing CO2
akan meningkatkan suhu global sebesar
1.5oC. Nilai GWP suatu gas dipengaruhi
oleh lamanya gas tersebut bertahan di
atmosfer dan time horizon. CO2 diberi nilai
GWP sebesar 1 yang digunakan sebagai gas
relatif untuk mengukur GWP gas lain,
misalnya metan
memiliki nilai GWP
sebesar 25. Akan tetapi GWP H2O tidak
diperhitungkan karena life time yang
singkat, padahal H2O memiliki efek rumah
kaca lebih kuat daripada gas-gas lain.
Studi literatur dilengkapi dengan
dilakukannya analisis data time series iklim
di daerah Jakarta pada tahun 1965-2010.
Berdasarkan hasil analisis, data temperatur
kota Jakarta terlihat mengalami peningkatan.
Peningkatan terbesar terjadi pada periode
pertama (1965-1974) ke periode kedua
(1975-1984). Sedangkan
untuk data
presipitasi
kota
Jakarta
mengalami
penurunan. Penurunan terbesar erjadi pada
periode kedua (1975-1984) menuju periode
ketiga (1985- 1994).
5.2 Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut
tentang keseimbangan energi permukaan dan
hubungannya dengan perubahan iklim
global.
DAFTAR PUSTAKA
Akcam H. Pressision and The Obliquity of
The
Ecliptic.
2004.[terhubung
berkala]http://www.tenspheres.com/re
searches/precession.htm
[5
Juni
2011].
[ASEAN] Association of Southeast Asian
Nations.
1982.
The
Asean
Compedium of Climatic Statistics.
Malaysia: Colorcom Grafik Sistem
Sdn. Bhd.
Avia L, Teguh H, Rukmi H, Juniarti V,
Dadang S. 2000. Kontribusi Index
Vegetasi dan Albedo terhadap
28
Temperatur Permukaan Wilayah
Indonesia
Barat
dan
Tengah
Berdasarkan Data Satelit NOAA.
Bandung: LAPAN.
Avia L. 2005. Kondisi Iklim Jakarta pada
Masa Lalu dan Masa Kini.
Pemanasan Global dan Perubahan
Global.
Fakta,
Mitigasi,
dan
Adaptasi: 97-102.
Berger
A,
Loutre
M,
Mélice
J.
2006. Equatorial insolation: from
precession harmonics to eccentricity
frequencies. Climate The Past
Discuss 2: 519–533.
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika. 2011. Cuaca, Iklim,
dan Perubahan Iklim. [terhubung
berkala]
http://www.BMKG.go.id.
[27 Mei 2011].
Bradley
R.
1999.
Paleoclimatologi:
Reconstructing Climates of the
Quaternary Second Edition. USA:
ACADEMIC PRESS.
Buckly
B.
2009.
Dendrochronology.
Ensiklopedia of Paleoclimatologi and
Ancient Environments: 269-275.
Budiwati T, Hidayati R, Sofiati I. 2003.
Pengaruh
Kekeruhan
Atmosfir
Terhadap Kesetimbangan Radiasi
Matahari. Indonesian Journal of
Physics 14:67-71.
Cobb K, Cole J, Lough J, Tudhope S. 2008.
Annually-banded corals as climate
proxies.
[terhubung
berkala]
http://www.ncdc.noaa.gov [5 Juni
2011].
Cook E, Briffa K. 2001. What are the sources
of uncertainty in the tree-ring data:
how can they be quantified and
represented? [terhubung berkala]
http://www.ncdc.noaa.gov [5 Juni
2011].
D‟Arrigo R, Abram N, Ummenhofer C,
Palmer J, Mudelse M. 2009.
Reconstruced Streamflow for Citarum
River, Java, Indonesia. [tempat tidak
diketahui]: Springer.
Fleitmann D, Treble P, Cruz F, Cole J, Cobb
K. 2011. Speleothem-based climate
proxy records. [terhubung berkala]
http://www.ncdc.noaa.gov [5 Juni
2011].
Frolkis V. 2002. Global warming potential,
global warming commitment and
other indexes as characteristics of the
effects of greenhouse gases on
Earth‟s climate. [terhubung berkala]
http://www.sciencedirect.com
[5
Desember 2010].
Gray M. 2009. Climate change: driven by the
ocean not human activity. [terhubung
berkala]
http://tropical.atmos.colostate.edu [23
Ferbruari 2011].
Gavin. 2005. Water vapour: feedback or
forcing?
[terhubung
berkala]
http://www.realclimate.org [22 Mei
2011].
Gribbin J. 1978. Isotop Studies. Di dalam:
Gribbin J, editor. Climatic Change.
London: Canbridge University Press.
Hlm 46-67.
Gou X, Chen F, Yang M, Jacoby G, Peng J,
Zhang X. 2006. A comparison of treering records and glacier variations
over the past 700 years, northeastern
Tibetan Plateau. Annals of Glaciology
43: 83- 89.
Handoko. 1995. Radiasi Surya. Di dalam:
Handoko, editor. Klilmatologi Dasar.
Bogor: Pustaka Jaya. Hlm 27-36.
Hidayati R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta,
Perubahan dan Perbedaan dengan
Daerah Sekitarnya [tesis]. Bogor:
FPS-Institut Pertanian Bogor.
Hutton N. 2010. Climate Change. Canada:
Canadian Society of Petrolium
Geologist.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate
Change. 2001.
Third Assessment
Report: Climate Change 2001.
Cambridge: Cambridge University
Press.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate
Change. 2007. Fourth Assessment
Report: Climate Change 2007.
Cambridge: Cambridge University
Press.
Kneller
M.
2009.
Pollen
analysis.
Ensiclopedia of Paleoclimatologi and
Acient Environments: 815-820.
Kiehl J, Trenberth K. 1997. Earth‟s annual
global mean energy budget. Bull. Am.
Meteorol. Soc. 78: 197–206.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional. 2009. Gambaran
umum mengenai gas rumah kaca.
[terhubung
berkala]
http://iklim.dirgantara-lapan.or.id [30
April 2011].
Lean J, Rind D. 1994. Solar Variability:
Implication for Global Change. EOS
75: 5-7.
29
Leurox M. 2005. Global Warming-Myth or
Reality-The Erring Ways of. Paris:
Praxis Publishing. Chapter 6: 90-120.
Mahmud. 2005. Skenario variabilitas iklim
Indonesia. Pemanasan Global dan
Perubahan Global. Fakta, Mitigasi,
dan Adaptasi: 123-132.
Mimuroto Y, Koizumi K. 2003. Global
Warming Abatement and Coal Supply
and Demand. Jepang: Institute of
Energy Economics Japan (IEEJ).
Myhre G, Highwood E, Shine K, Stordal F.
1998. New estimates of radiative
forcing due to well mix greenhouse
gases. Geophysical Research Letters
25:2715- 2718.
Nahas C, Setiawan B. 2010. Penentuan
Radiative Forcing dan Annual
Greenhouse Gas Index (AGGI) dari
Karbon Dioksida dan Nitrous Oksida,
Pengukuran di Bukit Kototabang.
Padang: BMKG.
Nasir
AA.
1995.
Ruang
Lingkup
Klimatologi. Di dalam: Handoko,
editor. Klimatologi Dasar. Bogor:
Pustaka Jaya. Hlm 1-10.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric
Administration.
2007.
Climate
Change. [tempat tidak diketahui]:
NOAA National Weather Data
Service.
Oke TR. 1978. Boundary Layer Climates.
Paris: Taylor and Francis e-Library.
Oke TR. 1987. Boundary layer climate .—
2nd edition. Paris: Taylor and Francis
e-Library.
Reynaud D, Parrenin F. 2009. Ice cores,
antartika
and
greendland.
Ensiclopedia of Paleoclimatologi and
Acient Environments: 453-456.
Schweingruber F, Briffa K, Nogler P. 1993.
A tree-ring densitometric transect
from
Alaska
to
Labrador.
International
Journal
of
Biometeorology 37: 151-169.
Sinambel I, Iyus E, Rusnadi, Suryana N.
2005. Dampak Cuaca Antariksa pad
Variabilitas Iklim Di Indonesia.
Steig E J. 2008. Sources of Uuncertainty in
Ice Core Data A Contribution to The
Workshop
on
Reducing
and
Representing Uncertainties in HighResolution Proxy Data. Italia:
International Centre for Theoretical
PhysicsSugiyono
A.
2009.
Penanggulangan pemanasan global di
sektor pengguna energi. Jurnal Sains
& Teknologi Modifikasi Cuaca 7: 1519.
Sumaryati.
2003.
Analisis
Dampak
Kebakaran
Hutan
Terhadap
Kesetimbangan
Radiasi
Bumi.
Bandung: LAPAN.
Susandi A, Herlianti I, Tamamadin M,
Nurlela I. 2008. Dampak Perubahan
Iklim Terhadap Ketinggian Muka
Laut di Wilayah Banjarmasin. Jurnal
Ekonomi Lingkungan 2.
Thompson LG. 2009. Ice core mountain
glacier. Ensiklopedia of Paleoclimatologi and Acient Environments: 457-462.
Thompson LG. 2010. Understanding global
Climate
Change:
Paleoclimate
perspective from the world‟s highest
Mountains. Proceeding of the
American Philoshopical Society 154:
133-157.
Turner P. 1997. Java 1st edition. Melbourne:
Lonely Planet Publications.
Vukovich, Fred MT, David LM, Robert E.
1987. Surface temprature and albedo
relationship in Senegel drived from
NOAA satelite data. Remote Sensing
of Environment 2: 413.
Weng Q. 2001. A remote sensing–GIS
evaluation of urban expansion and its
impact on surface temperature in the
Zhujiang Delta, China. International
Journal of Remote Sensing 22:19992013.
Williams M, Pollard D. 2003. Extraordinary
climates of Earth-like planets: three
dimensional climate simulations at
extreme
obliquity.
International
Journal of Astrobiology 2: 1-19.
http://www.priweb.org
http://solarscience.msfc.nasa.gov
http://www.tutiempo.net
http://worldweather.wmo.int
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1 Tabel daftar literatur perubahan iklim global
No
Judul
Pengarang/ Instansi
Tahun
Keterangan
PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
1
Skenario Variabilitas Iklim Indonesia
Mahmud/ LAPAN
2007
Jurnal
2
Climate Change 2007 The Physical
Science Basis
IPCC
2007
Buku
3
Climate Change
NOAA
2007
Artikel
4
Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Ketinggian Muka Laut Di Wilayah
Banjarmasin
2008
Jurnal
5
Atmospheric Chemistry and Greenhouse
Gases
Armi Susandi,
Indriani Herlianti,
Mamad Tamamadin,
dan Irma Nurlela /
ITB
M. Prather, dan D.
Ehhalt
2001
Buku
6
Agriculture, Forestry and Other Land
Use
Keith Paustian, N.H.
Ravindranath, dkk/
IPCC
2006
Buku
7
Observed climate variability and change
Chris K. Folland,
Thomas R. Karl a,
dan M. Jim Salinger
2002
Jurnal
8
Twentieth-century temperature and
precipitation trends in ensemble climate
simulations including natural and
anthropogenic forcing
Anthony J. Broccoli,
Keith W. Dixon,
Thomas L. Delworth,
Thomas R. Knutson,
dan Ronald J.
Stouffer / NOAA
2003
Jurnal
9
Global warming potential, global
warming commitment and other indexes
as characteristics of the effects of
greenhouse gases on Earth’s climate
Victor A. Frolkis
2002
Jurnal
10
Climate Change: Driven by the Ocean
not Human Activity
William M. Gray
2009
Jurnal
11
Global Warming, the Politicization of
Science, and Michael Crichton's State of
Fear
David Deming
2005
Jurnal
12
Greenhouse Gases
University of
Michigan
2011
Artikel
13
CLIMATECHANGE 2001: THE
SCIENTIFIC BASIS
IPCC
2001
Buku
14
Climate Change and Greenhouse Gases
Tamara S. Ledley,
Eric T. Sundquist,
Stephen E. Schwartz,
Dorothy K. Hall,
Jack D. Fellows, dan
1999
Jurnal
32
Timothy L. Killeen
15
New Estimate Radiative Forcing due to
Mix Well Green House Gasses
Gunnar Myhre
1998
Jurnal
16
Penentuan Radiative Forcing dan Annual
Green House Gases Index(AGGI) dari
karbondioksida, metana, NitrousOksida
Hasil Pengukurandi Bukit Koto
Alberth Christian
Nahas dan Budi
Setiawan
2010
Jurnal
17
The Surface Energy Balance System
(SEBS) for estimation of turbulent heat
fluxes
Z. Su
2002
Jurnal
18
Surface Temperature Record: PolicyDriven Deception?
Joseph D‟Aleo dan
Anthony Watts
2010
Buku
19
Boundary layer climates.—2nd ed
T.R Oke
1987
Buku
20
Pressision and The Obliquity of The
Ecliptic
Akcam H
2004
Artikel
21
Equatorial insolation: from precession
harmonics to eccentricity frequencies
Berger A, Loutre
MF, Mélice JL
2006
Jurnal
22
Extraordinary climates of Earth-like
planets: three dimensional climate.
International
Williams DM,
Pollard D
2003
Jurnal
Lampiran 2 Tabel daftar literatur paleoklimatologi
No
Judul
Pengarang/ Instansi
1
PALEOCLIMATOLOGY
PALEOCLIMATOLOGY
Raymond S. Bradley
Reconstructing Climates of the
Quaternary Second Edition
Tahun
Keterangan
1999
Buku
2
Paleoclimate, Global Change, and The
Future
Keith D. Alvetson,
Raymond S. Bradley, dan
Thomas F Pedersen
2003
Buku
3
Instruments and Methods
Determination of firn density in ice
cores using image analysis
Bjo¨rn SJO¨ Gren, Ola
Brandt, Chris Nuth,
Elisabeth Isaksson
2007
Jurnal
4
A comparison of tree-ring records and
glacier variations over the past 700
years, northeastern Tibetan Plateau
Xiaohua GOU, Fahu
CHEN, Meixue YANG,
Gordon JACOBY,
Jianfeng PENG,
Yongxiang ZHANG,
2006
Jurnal
5
Use of ice cores from glaciers with
melting for reconstructing mean
summer temperature variations
Climatic response of multiple tree-ring
parameters from the Spanish Central
Pyrenees
Fumio NAKAZAWA,
Koji FUJITA
2006
Jurnal
U. Büntgen, J. Esper, A.
Verstege, D. Nievergelt,
D.C. Frank & R.J.S.
Wilson
2007
Jurnal
6
33
7
Understanding Global Climate
Change: Paleoclimate Perspective from
the World’s Highest Mountains
Lonnie G. Thompson
2010
Jurnal
8
Encyclopedia if Paleoclimatology and
Ancient Environment
Vivient Gornizt
1995
Buku
9
Studiying Climate Change- Tree Ring
Paleontological Research
Institution
2011
Artikel
10
Brief history of climate: causes and
mechanisms
Goosse H., P.Y. Barriat,
W. Lefebvre, M.F. Loutre
and V. Zunz
2010
Jurnal
11
The Greenland Ice Core Chronology
Katrine Krogh Andersen
2005
Jurnal
12
Reconstructed streamflow for Citarum
River, Java, Indonesia: linkages to
tropical climate dynamics
Rosanne D‟Arrigo,
Nerilie Abram, Caroline
Ummenhofer, Jonathan
Palmer, Manfred
Mudelsee
2010
Jurnal
13
A new Greenland ice core chronology
for the last glacial Termination
S.O.Rasmussen, K.
K.Andersen, A. M.
Svensson, J. P.
Steffensen1, B. M.Vinther,
dan H. B. Clausen
2005
Jurnal
14
Temperature reconstruction using ice
cores
What are the Sources of Uncertainty in
the Tree-Ring Data: How can They be
Quantified and Represented?
Elisabeth Schlosse,
2010
Artikel
Keith Briffa and Ed Cook
2011
Artikel
16
Sources of uncertainty in ice core data
A contribution to the Workshop on
Reducing and Representing
Uncertainties in High-Resolution Proxy
Data
Eric J. Steig
2008
Jurnal
17
Annually-banded corals as climate
proxies.
Kim Cobb, Julie Cole,
Janice Lough dan Sandy
Tudhope
2008
Jurnal
18
Speleothem-based climate proxy
records
Dominik Fleitmann,
Pauline Treble, Francisco
Cruz Jr., Julie Cole dan
Kim Cobb5
2009
Jurnal
15
34
Lampiran 3 Tabel daftar literature time Series-data iklim
No
Judul
Pengarang/ Instansi
TIME SERIES – DATA IKLIM
1
2
3
Tahun
Keterangan
Kondisi Iklim Jakarta pada Masa
Lalu dan Masa Kini
Spatio-temporal climatic change of
rainfall in East Java, Indonesia
Lely Qodrita Avia
2008
Jurnal
Edvin Aldrian
2008
Jurnal
Handbook of Geomathematics
Willi Freeden,
Kaiserslautern M. Zuhair
Nashed, Orlando Thomas
Sonar, Braunschweig
2010
Buku
Download