analisis hukum sistem penyelesaian sengketa atas tanah berbasis

advertisement
ANALISIS HUKUM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA ATAS
TANAH BERBASIS KEADILAN
HERLINA RATNA SAMBAWA NINGRUM
Notaris Semarang
[email protected]
Abstract
Law enforcement bureaucracy in resolving land disputes through litigation and non-litigation
often found that in resolving the dispute is considered unjust. Disputes over land and agrarian
resources in general seems to be a latent conflict. Of the various cases, rise and sharpening
of land disputes not happen instantly, but to grow and develop from seeds that so long it has
been deposited. This research method combines doctrinal research and socio-legal researchresearch, the basis of doctrinal research is research library that includes the primary legal
materials, secondary law and tertiary legal materials. The results obtained 1) that the causes
of the frequent occurrence of land disputes, among others; System of land administration, land
ownership distribution is uneven. The legality of land ownership based solely on the formal
proof (certificate), without regard to soil productivity2) Strategy Dispute Settlement System of
Land-Based Justice: Strategic Administrative State, Judiciary, Legislative Strategy, Need to
establish a separate judiciary in resolving disputes over land
Keywords : Legal Analysis, Land Disputes, Justice
Abstrak
Perilaku birokrasi penegak Hukum dalam menyelesaikan sengketa atas tanah baik melalui
litigasi maupun non-litigasi sering ditemukan bahwa dalam menyelesaikan sengketa tersebut
dirasa tidak berkeadilan. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya
merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa
tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian
lama memang telah terendap. Metode penelitian ini menggabungkan doctrinal research dan
penelitian socio-legal-research, dasar dari penelitian doctrinal adalah penelitian pustaka yang
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Hasil
penelitian yang diperoleh 1) bahwa faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah
antara lain; Sistem administrasi pertanahan, Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah. 2) Strategi Sistem Penyelesaian Sengketa Atas Tanah
Berbasis Keadilan: Strategis administrative Negara, Yudikatif, Strategi legislatif, Perlu pembentukan
lembaga peradilan tersendiri dalam penyelesaian sengketa atas tanah.
Kata Kunci : Analisis Hukum, Sengketa Tanah, Keadilan.
A.PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang
berlandasakan hukum. Semua yang menyangkut
kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang­
-undang dalam bentuk peraturan­
-peraturan
tertulis. Dengan demikian sebuah kepastian
hukum untuk seseorang pada hakikatnya telah
terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
Dalam konteks kehidupan dunia modern,
tampaknya terjadi beberapa hal yang seringkali
menjadi pemicu lahirnya sengketa antara
masyarakat dengan masyarakat, antara
pemerintah dan masyarakat. sengketa antara
masyarakat dengan masyarakat disebabkan
salah satunya permasalahan atas tanah yang
bersengketa dengan munculnya dualisme sertifikat
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
219
atau tumpang tindihnya kepemilikan atas tanah.
Sengketa antara masyarakat dengan pemerintah
yang pertama yaitu tentang kepemilikan tanah
dalam perbedaan persepsi mengenai konsep
penguasaan dan pemanfaatan tanah. Pemerintah
dengan berbagai program pembangunannya
beranggapan bahwa bumi (atau tanah), air, dan
segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak
melakukan perubahan atas setiap tanah untuk
kepentingan bersama.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat
banyak sekali, sumber penghasilan negara juga
sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak
yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan
maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa,
hak pakai, daln lain sebagainya.1 Tanah lama
kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah
bermilik atau berpenghuni karena semakin
banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi
lama‑kelamaan tanah kita habis dan semua
untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang
kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan
hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan
hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur
dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam
masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa
hukum yang jelas demi memberi kepastian
hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanahtanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah
satu cara untuk meminimalisasi konflik-konflik
dari masyarakat maupun dari pemerintah yang
dilatar belakangi oleh sengketa tanah.2
Salah satu contoh ketika munculnya sengketa
tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL)
yang terjadi pada tahun 1998. Warga di sekitar
Prokimal menggelar unjuk rasa dengan cara
memblokade jalur lintas sumatra untuk menuntut
pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di
pihak lain, menurut keterangan TNI AL, lahan
yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI
AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah
pada tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare dengan
lokasi yang tersebar di dua kecamatan, yakni
1 Ali Achmad C., 2004, Hukum Agraria(pertanahan
Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm 328.
2 Adrian Sutedi, 2009, Perahhan Hak atas Tanah dan
Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
hlm 23.
220
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
Padang cermin dan kecamatan kedondong,
serta di 11 desa, yakni Desa waylatai, desa
kedondong, desa mutun, desa kelapa rapat.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp
77,66 juta dan rencananya digunakan untuk pusat
pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap
dan terbesar. Karena belum memiliki dana, agar
tidak telantar, tanah tersebut kemudian dijadikan
area perkebunan dengan menempatkan 185
keluarga prajurit. Kemudian pada 1984 ditetapkan
Surat Keputusan KSAL No.Skep/675/1984
tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal
Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk
memanfaatkan lahan tersebut sebagai perkebunan
produktif, dengan memanfaatkan penduduk
setempat sebagai pekerja.
Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah
yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak
20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada
1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak
14 bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski
demikian masih ada penduduk yang belum
melaksanakan pindah dari tanah yang telah
dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993
Bupati Lampung selatan saat itu mengirimkan
surat kepada Komandan Lantamal III lampung
perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim
TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian
Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL
pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa
tanah relokasi untuk penduduk non pemukim
TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi
per kepala keluarga.3
Secara makro penyebab munculnya kasuskasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain Harga tanah yang
meningkat dengan cepat. Kondisi masyarakat
yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan
dan haknya. Iklim keterbukaan yang digariskan
pemerintah. Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict of
interest) dibidang pertanahan antara siapa
dengan siapa sebagai contoh konkret antara
perorangan dengan perorangan; perorangan
dengan badan hukum; badan hukum dengan
badan hukum dan lain sebagainya.
3 www.googie.com/kasushakatastanah
tanggal 30 juni 2013
diakses
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
Dari fakta yang ada penulis menentukan
perumusan masalah yang akan di bahas dalam
jurnal ini yaitu
1. Apakah faktor penyebab sering munculnya
masalah sengketa tanah?
2.Bagaimanana sistem penyelesaian
sengketa atas tanah dengan berbasis
keadilan?
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
yang menggabungkan doctrinal research
(penelitian hukum normatif) dan penelitian sociolegal-research (penelitian hukum empiris), dasar
dari penelitian doctrinal adalah penelitian pustaka
yang mencakup bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer
serta bahan hukum tersier yang bersumber dari
hasil-hasil penelitian sebelumnya dan kamus.
Bahan hukumtersebut merupakan data sekunder,
sedangkan data primer diperoleh dari para informn
yang merupakan data pendukung. Analisis data
dilakukan secara analisis kualitatif.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Faktor Penyebab Sering Munculnya
Masalah Sengketa Tanah.
Rekonstruksi baru perilaku penegakan
hukum dalam penyelesaian sengketa
atas tanah yang berbasis berkeadilan
dapat dicapai apabila penegak hukum
memiliki kemampuan dalam mengambil
kesimpulan dalam keputusan yang
ditetapkan. Kemampuan ini bukan hanya
sekedar menjalankan suatu prosedur
yang tekstual karena apabila penegak
hukum itu sendiri memberikan keputusan
secara tekstual dalam proses peradilan
maka tidak akan tercapai penyelesaian
sengketa yang berkeadilan. Pola pikir
penegak hukum haruslah mencakup
hal-hal tentang keadilan, kepastian,
dan mengandung kemanfaatan sosial.
Munculnya Sengketa tanah Prokimal
(proyek pemukiman TNI AL) tersebut
bukan hanya sekadar insiden, tetapi
merupakan tragedi. Celakanya, tragedi
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
tersebut terjadi secara berulang-ulang
hingga semakin menambah panjang
daftar korban dari berbagai kasus yang
berawal dari sengketa tanah (agraria)
di Indonesia.
Sengketa tanah dan sumber-sumber
agraria pada umumnya sepertinya
merupakan konflik laten. Dari berbagai
kasus yang terjadi, bangkit dan
menajamnya sengketa tanah tidaklah
terjadi seketika, namun tumbuh dan
terbentuk dari benih-benih yang sekian
lama memang telah terendap.4
Pihiak-pihak yang bersengketa pun
sebagian besar kalaupun tidak bisa
disebut hampir seluruhnya bukan hanya
individual, namun melibatkan tataran
komunal. Keterlibatan secara komunal
milah yang memungkinkan sengketa
tanah merebak menjadi kerusuhan
massal yang menelan banyak korban.
Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah
yang kerap menanggung akibat yang
paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa
tanah ini, kiranya bukan sekadar desas­
desus jika ada cerita, negara justru kerap
melakukan kesepakatan jahat dengan
para pemilik modal. Rakyat cukup
diberi ilusi semua demi negeri ini, demi
terwujudnya kehidupan masyarakat yang
gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto
tengtrem kerto raharjo. Mereka yang
menolak ilusi tersebut, gampang saja
solusinya tinggal memberinya shock
therapy dengan teror, intimidasi, dan
tindakan refresi.
Berbagai sengketa atas tanah telah
mendatangkan berbagai dampak, baik
secara tanah maka semakin besar biaya
yang besar dikeluarkan. dampak lanjutan
yang potensial terjadi adalah penurunan
produktivitas kerja atau usaha karena
selama sengketa berlangsung, pihakpihak yang terlibat harus mencurahkan
tenaga dan pikirannya, serta meluangkan
4
Perangin
Effendi,
1986,
Pertanyaan
dan
JawabanTentang Hukum Agraria, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 401.
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
221
waktu secara khusus terhadap sengketa
sehingga mengurangi curahan hal yang
sama terhadap kerja atau usahanya.
Dampak sosialnya akan menimbulkan
terjadinya penurunan tingkat kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah berkenaan
pelaksanaan tata ruang. Selama konflik
berlangsung ruang atas suatu wilayah
dan atas tanah yang menjadi objek konflik
biasanya berada dalam keadaan status
quo sehingga ruang atas tanah yang
bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan.
Akibatnya adalah terjadinya penurunan
kualitas sumber daya lingkungan yang
dapat merugikan kepentingan banyak
pihak.
Persengketaan
yang
muncul
diselesaikannya melalui pengadilan umum
dan pengadilan tata usaha negara dan
namun pada kenyatannya penyelasaian
yang dilakukan oleh peradilan sebagian
besar diselesaikan dengan hasil yang
kurang memuaskan, diantaranya ada
perbedaan putusan yang dilakukan oleh
pengadilan umum dan Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk kasus sengketa atas
tanah yang sama. Dalam sebagian besar
kasus, keputusan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) pun tidak dapat dieksekusi.
Penyebabnya, untuk sengketa tanah yang
sama bisa terdapat beberapa putusan
lain yang juga telah berkekuatan hukum
tetap. Ironisnya keputusan-keputusan
itu saling bertentangan, itu bisa terjadi
akibat tidak adanya data yang akurat di
pengadilan atau penegak hukum.
Kenyataantersebut,direkomendasikan
untuk dibentuknya adanya regulasi
peraturan perundang-undangan khusus
yang mengatur tentang persoalanpersoalan sengketa atas tanah, dengan
terbentuknya lembaga independen yang
menangani penyelesaian sengketa
tanah diperlukan juga rekonstruksi
perilakuHakim yang berwenang untuk
menangani permasalahan sengketa
yang ditanganinya berupa melakukan
rekonstruksi tentang perilaku Birokrasi
222
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
Hakim melalui perubahan tentang kode
etik Hakim. terhadap konflik tersebut,
yang diharapkan dapat mengakomodir
seluruh permasalahan sengketa atas
tanah.
Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam telah
mengamatkan bahwa “menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia”
adalah salah satu prinsip yang wajib
ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan
merujuk pada Tap MPR ini, cara-cara
yang ditempuh oleh (aparat) negara
itu tentu saja menjadi tindakan yang
tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun
bisa menunjukkan, betapa bobroknya
implementasi hukum kita, dan betapa
masyarakat yang semestinya dilindungi
selalu berada dalam posisi tidak berdaya,
selalu dipersalahkan, dan menjadi korban.
Malangnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu
lemah atau dilemahkan. Masyarakat
sering tidak memiliki dokumen-dokumen
legal yang bisa membuktikan kepemilikan
tanahnya. Kemampuan masyarakat hanya
bersandar pada “kepemilikan historis”
dimana tanah yang mereka miliki telah
ditempati dan digarap secara turun­
temurun.5
Didalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria sebenarnya termaktub satu
ketentuan akan adanya jaminan bagi
setiap warga negara untuk memiliki tanah
serta mendapat manfaat dari hasilnya
(pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada
ketentuan itu dan juga merujuk pada PP
No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
(terutama pasal 2) Badan Pertanahan
Nasional (BPN) seharusnya dapat
menerbitkan dokumen legal (sertifikat)
yang dibutuhkan oleh setiap warga negara
dengan mekanisme yang mudah, terlebih
lagi jika warga negara yang bersangkutan
5 Paringan Efendi, Hukum Agraria di Indonesia, Raja
grafindo Persada, Jakarta, hlm.102
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
sebelumnya telah memiliki bukti lama
atas hak tanah mereka. Namun sangat
disayangkan pembuktian dokumen legal
melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi
yang terbaik dalam kasus sengketa tanah.
Seringkali sebidang tanah bersertifikat
lebih dari satu, pada kasus Meruya yang
belakangan sedang mencuat, misalnya.
Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat
yang telah diterbitkan pun kemudian bisa
dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3
(tiga) faktor penyebab sering munculnya
masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu :
a)Sistem administrasi pertanahan,
terutama dalam hal sertifikasi
tanah, yang tidak beres. Masalah
ini muncul boleh jadi karena sistem
administrasi yang lemah dan mungkin
pula karena banyaknya oknum yang
pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.
b)
Distribusi
kepemilikan
tanah
yang tidak merata. Munculnya
Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah
pertanian maupun bukan pertanian
telah menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat
bawah, khususnya petani atau
penggarap tanah memikul beban
paling berat. Ketimpangan distribusi
tanah ini tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang cenderung kapitalistik
dan liberalistik.
c)Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada
bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah.
Akibatnya, secara legal (de jure),
boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani
atau pemilik tanah, tetapi tanah
tersebut lama ditelantarkan begitu
saja. Ironisnya ketika masyarakt
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
miskin mencoba memanfaatkan
lahan terlantar tersebut dengan
menggarapnya, bahkan ada yang
sampai puluhan tahun, dengan
gampangnya mereka dikalahkan
haknya di pengadilan tatkala muncul
sengketa.
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan Keppres
No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional dibidang Pertanahan, pada
dasarnya memberikan kewenangan yang
besar kepada pemerintah daerah untuk
menuntaskan masalah-masalah agraria.
Sudah selayaknya terlepas dari berbagai
kekurangan yang tersimpan dalam
instrumen hukum itu jika kewenangan
tersebut dimplementasikan, dengan
prinsip yang tidak melawan hukum.
Sementara itu, gagasan untuk
membentuk kelembagaan dan mekanisme
khusus untuk menyelesaikan sengketa
tanah semacam Komisi Nasional
Penyelesaian. Sengketa Agraria dan
juga pembentukan lembaga sejenis
di daerah sebagaimana yang pernah
diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya
menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah
memang benar-benar berkehendak
untuk menjalankan reformasi agraria dan
menangani permasalahan agraria secara
serius. Belajar dari tragedi ini, jika Badan
Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810
kasus sengketa tanah yang berskala
nasional, maka dapat dibayangkan
bagaimana hebatnya bom waktu yang
akan meledak jika kasus-kasus tersebut
tidak segera mendapatkan penanganan
dan penyelesaian yang layak dan yang
berpihak pada kepentingan rakyat.6
6 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agaria Indonesia;
Sejarah Pembeniukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta, hlm 165
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
223
Sebagaimana yang telah dikemukakan
payung hukum bagi kebijakan pertanahan
sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya
di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan
konflik dibidang pertanahan antara lain
secara substansial terdapat pertentangan
adalah keterbatasan ketersediaan tanah,
dengan terbitnya berbagai peraturan
ketidakseimbangan dalam struktur
perundangan sektoral. Perbedaan antara
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi
undang-undang itu tidak hanya dapat
yang sama antara sesama pengelola
memberikan peluang pada perbedaan
negara mengenai makna penguasaan
interpretasi para birokrat, tetapi juga
tanah oleh negara, inkonsistensi, dan
secara substansial undang-undang
tersebut tidak integratif.
ketidaksesuaian. Maka, agar dapat
terpenuhinya kebutuhan penduduk akan
Sebagai contohnya banyak konfliktanah terhadap tanah yang bersifat tetap,
konflik dari sengketa tanah itu misalnya
pemerintah berupaya mengoptimalkan
sengketa tanah oleh lembaga negara
peruntukan dari penggunaan tanah
dengan masyarakat, misalnya antara
dengan berbagai cara, diantaranya
TNI dan masyarakat. Dengan memiliki
dengan mengeluarkan berbagai bentuk
bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan
peraturan pertanahan seperti peraturan
menganggap tanah itu tanah negara
penyediaan tanah untuk kepentingan
dan mereka juga menjalankan tugas
negara maka mereka sangat kuat untuk
perorangan dan Badan Hukum atas
mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat
tanah-tanah Negara dan/atau atas
juga dikuatkandari faktor sejarah yang
tanah-­tanah hak.
dari turun­temurun keluarganya sudah
Negara mengatur pengelolaan
memakai tanah tersebut.
sumber daya agraria untuk sebesar-­
Berdasarkan uraian di atas, maka
besarnya kemakmuran rakyat, namun
sampai hari ini barangkali masih hanya
dalam menyingkapi setiap permasalahan
sebatas retorika. Yang kerap terjadi justru
pertanahan kita harus mengidentifikasi
sebaliknya dimana rakyat yang kehilangan
terlebih dahulu tanah tersebut termasuk
kemakmuran sebesar­besarnya. Namun
hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya.
dalam kenyataannya, bagi bangsa
Proses identifikasi itu penting, karena
memberikan konsekuensi hukum yang
Indonesia salah satu masalah pokok
hingga kini belum mendapat pengaturan
berbeda-beda pada masing-masing Hak
yang tuntas adalah masalah tanah.
Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna
Permasalahan tanah yang dari segi
untuk dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri.7
empiris sangat lekat dengan peristiwa
sehari-hari, tampak semakin kompleks
dengan terbitnya berbagai kebijakan
2. Strategi Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
deregulasi dan debirokratisasi di
Undang-Undang Dasar Republik
bidang pertanahan menyongsong era
Indonesia Tahun 1945 menegaskan,
perdagangan bebas.
indonesia adalah negara hukum. Salah
Munculnya berbagai konflik atau
satu prinsip negara hukum adalah adanya
sengketa pertanahan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari konteks kebijakan
jaminan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintah yang banyak bersifat ad-hoc,
kepenegak hukum an yang merdeka,
inkonsisten dan ambivalen antara satu
dan bebas dari pengaruh kekuasaan
kebijakan dengan yang lain, atau bahkan
lainnya, untuk menyelenggarakan
tidak jarang berbau politis. Struktur hukum
keadilan guna menegakkkan hukum
tanah menjadi tumpang tindih. Undangdan keadilan. Penegak hukum bebas
Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 7 Maria SW Sumardjono, 2009,Mediasi Sengketa
Tahun 1960 yang awalnya merupakan
Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm.45.
224
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
dalam memutuskan segala putusan
tanpa ada intervensi atau campur tangan
dari pihak lain. Sehingga bersifat tidak
memihak dalam menjalankan tugas
memutus suatu perkara di peradilan.
Kebebasan penegak hukum merupakan
kewenangan penting yang melekat pada
individu penegak hukum dimana penegak
hukum berfungsi sebagai penerapan teks
Undang-Undang ke dalam peristiwa yang
konkrit tidak sekedar substantif, penegak
hukum juga memberikan penafsiran
yang tepat tentang hukum, dalam rangka
meluruskan peristiwa hukum yang konkrit
sehingga penegak hukum dapat bebas
memberikan penilaian-penilaian dan
penafsiran hukum.
Pada satu realitasnya penegak
hukum hanya melihat satu kasus yang
muncul di putuskan dengan menerapkan
perundang-Undangan yang ada, yang
sebagian besar masih merupakan
warisan belanda. Pola pikir penegak
hukum yang terbelenggu legalitas
formal akan menghasilkan penegakan
hukum yang tidak adil. Apabila penegak
hukum menjalankan tugasnya merupakan
pemberi makna melalui penemuan hukum
atau (rechtsvinding) bahkan menciptakan
hukum baru atau (rechtheeping) sehingga
melalui keputusan-keputusannya (judge
made law). Hukum tidak hanya sebagai
instrumen kekuasaan tetapi sebagai
instrumen kepentingan rakyat. Untuk itu
penegak hukum dalam hal ini penegak
hukum haruslah seorang yang ahli atau
menguasai atas objek kasus yang
ditanganinya serta memegang teguh
kode etik penegak hukum.
Penguasaan tanah dilakukan oleh
rakyat tanpa alas hak yang sah dan
dokumen kepemilikan tanah yang tidak
lengkap. Maka dalam posisi yang demikian
pemerintah dihadapkan pada suatu
keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat
melemahkan posisi pihak perkebunan
yang membutuhkan tanah dan berpotensi
menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak
memilik bukti yang lengkap dan cukup atas
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama
terjadi pada tanah-tanah yang belum
bersertifikat, yang disebabkan oleh
pandangan adat yang masih melekat
pada rakyat bahwa tanah merupakan
hak milik komunal (hak ulayat), sehingga
mereka menganggap hak penguasaan
otomatis melekat pada hak penghunian
atas tanah tersebut secara turun-temurun.
Keadaan itu bukannya tidak diketahui
oleh pihak yang memerlukan tanah
dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan
berbagai alasan untuk melaksanakan
usaha yang telah direncanakan tetap
dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya
sulit bagi pihak yang membutuhkan
tanah untuk menentukan tentang
keabsahan pemegang hak penguasaan
lahan yang diakui oleh rakyat. Dalam
upaya meminimalisir terhadap sengketa
pertanahan, maka diperlukan strategi
yang komprehensif guna mengantisipasi
dan mengurangi angka sengeketa
dibidang pertanahan, maka untuk itu
perlu dilaksanakan beberapa upaya
strategi sistem penyelesaian sengketa
atas tanah berbasis keadilan sebagai
berikut :
1.Strategis administrative Negara,
yang
sangat
membutuhkan
professional yang komprehenship/
holistic (multidisiplin) yang tidak bisa
diserahkan kepada professional
berorientasi produk, perubahan
struktur organisasi sektoral bukan
berdasar produk (komoditas) tetapi
struktur organisasi atas dasar proses.
Hal ini meminimalisasi kepentingankepentingan sektoral atas dasar
produk yang berdampak kebijakan
yang dibuat menteri sebenarnya
hanya hasil salah satu deputy yang
tupoksinya produk bukan proses
yang membutuhkan professional
multidisiplin).
2.Yudikatif, menyelesaikan timpang
tindih perundangan dan rekomendasi
perumusan
payung
regulasi
pertanahan Negara dapat dibentuk
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
225
“KPN” Komisi Pertanahan Negara
yang merupakan bentuk implementasi
regulasi kekuasaan Negara terhadap
tanah Negara, yang sekarang
diemban oleh kekuasaan pemerintah
dan hanya sektoral.
3.Strategi legislative, DPR bersama
presiden berkewajiban mengatur
semua kebijakan terkait kekuasaan
Negara, Perlu menyusun tersendiri
lembaga penyelesaian atas tanah.
Secara umum, sengketa pertanahan
yang timbul di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi
permasalahan, yaitu permasalahan
yang berkaitan dengan :
1. Pengakuan kepemilikan atas
tanah;
2. Peralihan hak atas tanah;
3. Pembebanan hak dan
4. Pendudukan eks tanah partikelir.
4.Dalam penanganan sengketa atas
tanah pemerintah perlu membentuk
Lembaga peradilan yang menangani
khusus tentang peradilan agrarian
sangat dibutuhkan bagi para pencari
keadilan atau masyarakat yang
berkonflik dan peradilan tersebut
untuk memperluas dan sekaligus
mengasah multiple intelligence, yakni
kecerdasan intelektual, emosional,
spiritual, bahkan kecerdasan kenabian
(Prophetic Intellegence). Sehingga
lembaga peradilan diperlukan
penemuan hukum guna mendapatkan
keadilan sosial yang berdasarkan
Pancasila.
D.PENUTUP
1.Kesimpulan
a.faktor penyebab sering munculnya
masalah sengketa tanah antara lain;
Sistem administrasi pertanahan,
Distribusi kepemilikan tanah yang
tidak merata. Legalitas kepemilikan
tanah yang semata-mata didasarkan
pada bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah.
226
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
Tanah milik negara digunakan demi
kepentingan negara, begitu juga
dengan kasus diatas yang merupakan
sengketa dengan masyarakat tetapi
hukum itu milik negara dan haruslah
kembali pada negara dengan
berlandaskan untuk kepentingan
umum dan untuk kepentingan negara.
b.
Strategi Sistem Penyelesaian
Sengketa Atas Tanah Berbasis
Keadilan: 1)Strategis administrative
Negara, 2)Yudikatif, 3)Strategi
legislatif, 4)Perlu pembentukan
lembaga peradilan tersendiri dalam
penyelesaian sengketa atas tanah.
2.Saran
Dari uraian yang telah di kemukakan
di atas, maka dapat disarankan bahwa
semua hukum yang ada pada negara
ini, telah dimasuki kepentingan negara
claim rangka mencapai cita-cita bangsa
dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut
bisa dikatakan sebagai salah satu
cara yang dilakukan pemerintah untuk
mencapai cita-cita bangsa dan tujuan
negara Indonesia yang sudah tertera
pada Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945. Salah satunya yaitu
mensejahterakan rakyat. Menjadi warga
negara yang baik harus tahu akan hukum
serta tidak hanya tahu, juga haruslah
melaksanakan hukum tersebut. Untuk
menjadi warga negara Indonesia yang
baik (good citizen), maka harus taat dan
mengerti akan hukum. Hal itulah yang
ditujukan untuk penulisan makalah ini
tentang penanaman kesadaran hukum
haruslah ditingkatkan di Indonesia agar
tidak terjadi konflik-konflik dari yang
ditimbulkan oleh penyelewengan hukum,
atau pelanggaran hukum.
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
DAFTAR PUSTAKA
•
Buku-Buku :
Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak atas Tanah dan Penalarannya, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
Ali Achmad C., 2004, Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Moh Mahfud MD, 2012, Politik Hukum di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Maria Rita R., 2000, Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Maria SW Sumardjono, 2009, Mediasi Sengketa Tanah,: Penerbit Kompas, Jakarta.
Perangin Effendi , 1986, Pertanyaan dan JawabanTentang Hukum Agraria, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
----------------------,1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja grafindo Persada. Jakarta
•
Website :
www.googie.com/kasushakatastanah
Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014
Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa
Atas Tanah Berbasis Keadilan
Herlina Ratna Sambawa Ningrum
227
Download