implementasi penyelesaian secara hukum adat terhadap kasus

advertisement
IMPLEMENTASI PENYELESAIAN SECARA HUKUM ADAT
TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA RINGAN DIKAITKAN DENGAN
PASAL 1 AYAT (12) UNDANG-UNDANG NO.32
TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
Oleh:
Anak Agung Putu Chandra Sawitri
ABSTRAK
Penyelesaian secara hukum adat terhadap tindak pidana ringan sangat diharapkan
keberadaannya oleh masyarakat, karena untuk memenuhi rasa keadilan dalam
penyelesaian perkara, sehingga mendapatkan kepastian hukum sesuai keinginan
masyarakat dan juga tidak bertentangan dengan hukum nasional. Dengan adanya Pasal
1 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
membuka jalan bagi Provinsi untuk membentuk pengadilan adat. Inti permasalahan
hukum yang menjadi pokok pembahasan adalah Bagaimanakah implementasi hukum
adat terhadap kasus tindak pidana ringan dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat (12) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah? dan Bagaimana
penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara hukum adat setempat menurut hukum
pidana?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dan spesifikasi
metode penelitian yang digunakan yuridis sosiologis yaitu menjelaskan peraturan benarbenar ditaati oleh masyarakat dan atau alasan penyimpangan dalam perilaku atau
kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis
kualitatif yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan dan disusun secara
sistematis untuk dianalisa secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Penelitian lebih
menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang
dengan data primer yaitu studi lapangan.
Kesimpulan dalam tesis ini, dapat dideskripsikan sebagai berikut : Pertama,
Implementasi penyelesaian kasus tindak pidana ringan seperti Provinsi Bali sanksi
hukumnya dapat dilihat pada awig-awig. Kenyataannya tidak semua kasus dapat
diselesaikan secara adat seperti dalam hal ini Carok. Carok penyelesaiannya
diselesaikan melalui hukum positif. Aceh Pasal-Pasalnya ada di dalam Qanun, di Ambon
diselesaikannya oleh Raja melalui Saniri. Penyelesaiannya secara hukum adat melalui
mediasi untuk menentukan sanksi hukum yang akan dijatuhkan sesuai dengan kejadian
perkara yang telah dilakukan. Kedua, Dalam penyelesaian perkara dilihat dari hukum
nasional, perlu adanya revisi Pasal dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah di dalam
pasalnya harus diperjelas lagi mengenai masyarakat adat dan sanksi yang diberikan bagi
pelanggar adat. Adapun saran dalam tesis ini, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Pertama, Pemerintah Pusat maupun Daerah diharapkan membuat kerangka kebijakan
dan peraturan menyangkut masyarakat adat. Kedua, diharapkan terbentuknya
pengadilan adat sehingga dalam penyelesaian suatu perkara masyarakat mendapatkan
keadilan dan segera diundangkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) Pasal 2 Ayat (1), (2) sehingga pelaku tindak pidana ringan mendapatkan rasa
keadilan dan kepastian hukum.
Kata Kunci: “ Hukum Adat, Delik Adat”
A. PENDAHULUAN
Hukum Adat yang merupakan hukum yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia,
ujudnya adalah berupa kaidah-kaidah hukum yang bangkit dan tumbuh di dalam dan
disebabkan oleh pergaulan hidup manusia. Jadi keseluruhan kaidah-kaidah hukum adat
timbul di dalam dinamikanya hubungan-hubungan antar manusia. Keseluruhan
hubungan-hubungan antar manusia di dalam manusia hidup disebut pergaulan hidup
manusia. Karena itu susunan pergaulan hidup manusia akan menentukan sifat, corak,
daripada kaidah hukum. Karena itu juga untuk dapat memahami sistem hukum adat
sehingga dapat ditumbuhkan nilai dari kaidah-kaidah menurut proporsinya, maka terlebih
dahulu harus difahami sifat dan struktur susunan masyarakat di dalam mana hukum Adat
itu tumbuh.1
Keragaman budaya dan perbedaan dalam pola hidup, masyarakat Adat memiliki
ciri yang umum seperti bahasa mereka yang berbeda, hukum adat dan praktek-praktek
resolusi konflik, hubungan khusus dengan tanah dan sumberdaya alam yang ada,
praktek-praktek medis tradisional dan tradisi serta upacara-upacara spiritual.
Usaha untuk menggali hukum adat yang nota bene hukum tak tertulis di
Indonesia ini tak berhenti di masa-masa para ahli hukum (akademisi) pasca
kemerdekaan melainkan terus dilakukan berkesinambungan dalam rangka pembaharuan
hukum pidana. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar
Barda Nawawi Arief, menurutnya salah satu kajian alternatif yang sangat mendesak dan
sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional adalah kajian terhadap sistem hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada beberapa rekomendasi
dan amanat hasil Seminar Hukum Nasional, simposium, undang-undang dan berbagai
kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Hukum Adat tidak terlepas dari Hukum Adat Delik (Adatrecht Delicten)
atau
Hukum Pidana Adat atau Hukum Pelanggaran adat ialah aturan-aturan hukum adat
yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya
keseimbangan masyarakat sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan
masyarakat tidak terganggu. Apabila dalam masyarakat desa, masyarakat menjadi
terganggu keseimbangan dikarenakan timbul banyak penyakit, tidak tenteram, selalu
timbul kericuhan keluarga, maka masyarakat desa melakukan “meruwat desa” atau
“bersih desa” dengan upacara adat, dengan memohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa
agar keseimbangan yang terganggu itu akibat peristiwa atau perbuatan perorangan,
maka yang bersalah itu dikenakan hukuman adat mengembalikan keseimbangan
2
masyarakat.
Perkelahian yang mengakibatkan sampai mengeluarkan darah maka dianggap
telah menodai desa setempat. Penyelesaian secara adat, penjabarannya ada pada
Pasal-pasal yang dituangkan didalam Awig-awig Desa yang bersangkutan. Karena dasar
pembentukan Awig-awig tersebut untuk
menjaga
ketentraman
masyarakat
desa dan bedasarkan atas agama serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Berat ringannya hukuman yang dikenakan apabila terjadi kasus tindak
pidana ringan, dilihat dari kondisi korban yang bersangkutan. Tindak pidana ringan
tersebut menyebabkan tidak ada ketentraman didesa adat, maka sanksi yang diberikan
akan dimusyawarahkan atau melakukan pertemuan dengan pemuka adat setempat maka
akan ditetapkan sanksinya sesuai dengan awig-awig desa banjar setempat. Seperti
beberapa contoh kasus tindak pidana ringan dapat dilihat sebagai berikut.
Kasus Pencurian yang terjadi di Desa Sading pada 01 September 2012,
kejadiannya di sentra pembuatan jajan yang bersamaan akan ada upacara adat Odalan
Pura Agung. Pelaku pencurian dilakukan oleh dua (2) orang yaitu I Ketut Lodra dan
Zulkifli dari desa setempat, mencuri karena bahan-bahan berbagai jajan buat upacara
sangat mahal, dan juga kalau dijual dapat menghasilkan uang yang banyak. Dua (2) hari
menjelang Hari Raya I Ketut Lodra dan Zulkifli mencuri di Pura Agung desa setempat.
Jajan persembahyangan tersebut terdiri dari Bekayu, Gebogan, Tedung yang berlapis
1
2.
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi III hlm.6
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), hlm 345
emas. Pelaku pencurian tersebut akhirnya ketangkap tangan oleh penduduk desa
setempat.
Bertitik tolak dari kasus yang terjadi di Desa Adat di Provinsi Bali, untuk itulah
maka penelitian ini dilaksanakan guna pendalaman lebih lanjut, dalam suatu penelitian
yang berjudul: Implementasi Penyelesaian Secara Hukum Adat Terhadap Kasus Tindak
Pidana Ringan Dikaitkan Dengan Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah.
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa permasalahan hukum yang dapat
di identifikasikan, yaitu :
1.
Bagaimanakah Implementasi Hukum Adat Terhadap Kasus Tindak Pidana Ringan
Dikaitkan Dengan Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah?
2.
Bagaimanakah penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara hukum adat
setempat menurut hukum pidana?
2. Metode Penelitian
Pendekatan yuridis normatif yang berkaitan dengan analisis konstruksi hukum,
filsafat hukum dan hukum yang berlaku, terutama mengacu pada peraturan perundangundangan atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP
dan Awig-Awig
Desa. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk
mengetahui bagaimana sanksi sosial bagi pelaku kejahatan pidana ringan menurut
hukum adat setempat.
B. TINJAUAN TEORITIK
1. Hukum Adat
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus
menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Setiap bangsa atau masyarakat
memiliki kebudayaan-kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu, tiap masyarakat
mempunyai hukumnya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Perbedaan inilah
yang menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khasnya masing-masing
sebagai identitas bangsa yang bersangkutan. Ciri khas ini disebut local genius atau local
prudencia atau kearifan-kearifan lokal. Kebudayaan inilah kiranya yang membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain, hukum bangsa Indonesia dengan hukum bangsa
lain. Hukum khas bangsa Indonesia adalah Hukum Adat. 3
Perkembangan hukum adat selalu sejalan dengan perkembangan masyarakat
pendukungnya. Secara sosiologis, bahwa hukum adat sebagai volgeeist atau
geestesstructuur selalu mengikuti kebutuhan masyarakat secara nyata. Perkembangan
itu tidak saja secara internal, tetapi juga ada pasokan eksternal secara fungsional (jika
diterima) dengan masuknya hukum-hukum asing seperti hukum agama, hukum kolonial,
atau hukum masyarakat lainnya ketika terjadi interaksi dalam lalu lintas hukum, sehingga
terjadi assimilasi, integrasi baik melalui metode peniruan atau karena pembelajaran
bahkan melalui paksaan oleh penjajah. Itu semua yang mempengaruhi perkembangan
dan perubahan hukum adat.72
Sistem hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, dan
sistem hukum Common Law. Selain itu Indonesia pula berlaku agama dan hukum
Adat. Di Indonesia terdapat beberapa nilai dasar yang mempengaruhi sistem hukum,
yakni :
 Kaidah-kaidah hukum nasional kita harus berdasarkan falsafah kenegaraan
Pancasila dan UUD 1945.
 Sistem hukum nasional harus pula mengandung dan memupuk nilai-nilai baru
untuk mengubah nilai-nilai sosial yang bersumber pada kehidupan kedaerahan
menjadi nilai-nilai sosial yang bersumber dan memupuk kehidupan dalam ikatan
kenegaraan secara nasional.
3
4
. Dominikus Rato, op.cit, hlm. 1-3
. Ibid, hlm. 49
 Sistem hukum nasional itu mengandung kemungkinan untuk menjamin dinamika
dalam rangka pembaharuan hukum nasional itu sendiri, sehingga secara kontinyu
dapat mempersiapkan pembaharuan masyarakat di masa yang berikutnya.
Di negara-negara yang menganut sistem Common Law, hukum kebiasaan yang
di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak
dipengaruhi oleh adanya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. 80
2. Dasar Berlakunya Hukum Adat
Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (12) Mengatur
Tentang Desa
Desa tumbuh dari komunitas yang mengelenggarakan urusannya sendiri,
kemudian diakui oleh pemerintah kolonial sebagai kesatuan masyarakat hukum, dan
akhirnya berkembang menjadi kesatuan hukum adat. Sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat, desa telah memiliki lembaga yang mapan dan ajeg yang mengatur
perikehidupan masyarakat desa yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat Terr Haar,
masyarakat hukum adat mempunyai tiga komponen yaitu:
a. Sekumpulan orang yang teratur:
Desa merupakan sekumpulan orang yang teratur, berarti bahwa didesa tinggal
orang-orang yang membentuk sistem kemasyarakatan yang teratur. Sistem
kemasyarakatan yang teratur menunjuk pada adanya pola tata tindak sekumpulan
orang tersebut berdasarkan peran, status, dan fungsi masing-masing yang mengacu
pada nilai dan norma yang disepakati bersama.
b. Mempunyai lembaga yang bersifat ajeg dan tetap:
Masyarakat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai lembagalembaga sosial yang melekat dalam dirinya. Pola perilaku itu berjalan begitu adanya,
berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur atau memaksa, dan jika tidak
dilakukan akan mengganggu keteraturan masyarakat.
c. Memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus harta benda:
Desa mempunyai harta benda sendiri yang diatur dan diurus oleh masyarakat desa
sendiri. Harta benda milik desa tersebut tidak diatur dan ditentukan oleh pemerintah
atasnya (Kabupaten, Provinsi, Pusat). Dengan demikian, maka yang dimaksud
dengan kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usulnya adalah
kewenangan yang mengacu pada pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut.85
Pengertian desa atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut
desa dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan
mengurus
kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan
dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Jadi menurut
Undang-Undang ini menentukan, desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya. Dan desa disini bisa berada dalam daerah
kapupaten dan bisa juga dalam daerah kota. 86
3. Ketentuan Hukum Adat Setempat
Kehidupan
masyarakat
adat Bali, masyarakatnya hidup dalam suatu
himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan
nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah hukum adat yang ada hidup dan diakui
dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai keagamaan. Erat
kaitannya antara hukum adat dan agama, sebenarnya telah pernah dikemukakan
oleh van Vollenhoven, dimana yang
tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh
agama Hindu demikian kuatnya ke dalam adat istiadat. 89Beberapa pustaka tentang
hukum adat Bali menyebutkan bahwa hukum adat di Bali diwarnai oleh unsur agama
5
,http://putracenter.net/tag/sistem-hukum-common-law/ tgl 13-12-12
Terr Haar dalam Hanif Nurcholis, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerinrah Desa, Erlangga,
Jakarta, 2011, hlm. 69 – 70
7..
Ibid, hlm. 36
6.
khususnya agama Hindu. Seperti yang dikemukakan Hazairin, pulau Bali karena
terisolasi
dalam jangka waktu yang cukup lama dari pengaruh-pengaruh luar,
maka perkembangan agama Hindu dan Budha begitu mendalam dan bahkan merembet
kedalam adat dengan kesatuan yang tidak terpisahkan lagi. Demikian juga Soekanto
menulis, bahwa desa adat di Bali adalah persekutuan hukum teritorial, dimana warga
desa bersama-sama mempunyai kewajiban dan bersama-sama
mempunyai
kemauan untuk membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan berhubung
dengan agama. Dalam kehidupan dan tata pikir serta pola tingkah laku masyarakat
adat di Bali selalu berkaitan dengan kepercayaannya terhadap agama, yaitu agama
Hindu. Dari kenyataan ini, tidaklah berlebihan apabila
dikatakan bahwa hukum
adat di Bali sebenarnya juga bersumber dari kitab “Weda” sebagai kitab suci agama
8
Hindu.
Pelaksanaan adat yang diterapkan dalam aturan-aturan berdasarkan segala tata
aturan dijalankan supaya menetapkan kebaikan/kebenaran dunia dan masyarakat
adat, juga didasarkan atas kebenaran, menegakkan/menjunjung tinggi agama serta
kebenaran di dunia dan akhirat. Selain yang disebut diatas, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, juga aturan-aturan
yang lainnya yang dikeluarkan
oleh pejabat desa, tidak diluar yang ditetapkan. Penyelesaian suatu sengketa
maupun kejadian diselesaikan atas ajaran Agama Hindu serta adat-adat dan yang
sudah berjalan didesa adat setempat, serta tidak mengurangi pertemuan para peserta
yang mengikuti pengesahan aturan yang telah dibuat bersama atas adat desa
setempat. Berdasarkan atas keputusan / kesepakatan yang bulat untuk melaksanakan
aturan ini, merupakan garis yang harus dilaksanakan berlandaskan atas ajaran Agama
Hindu.9
4. Hukum Pidana
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Penjelasan Umum UUD
1945) tidak berdasarkan kekuasaan negara semata-mata, sehingga hukumlah yang
mempunyai arti yang terutama dalam segala segi-segi kehidupan masyarakat, maka
pemberian titik berat fungsi negara pada definisi hukum pidana perlu dihindarkan. Untuk
menentukan isi pokok dari definisi hukum pidana, kiranya dapat disimpulkan bahwa
hukum pidana adalah:
Hukum positif;
Hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang
kesalahan bagi si pelanggarannya (substansi hukum pidana)
Hukum yang menentukan tentang pelaksanaan substansi hukum pidana (hukum
acara pidana).
Isi pokok definisi hukum pidana tersebut dalam nomor 2 dan 3 diatas yang memuat
ketentuan substansi hukum pidana dan hukum acara pidana, meskipun di dalam
perkembangannya dapat dipisahkan masing-masing menjadi lapangan hukum tersendiri,
akan tetapi banyak permasalahannya yang tidak dapat dipisahkan dengan jelas satu
sama lain. 10
5. Tindak Pidana
Bilamana seorang jaksa/penuntut umum akan menuntut seorang terdakwa, ia akan
mencantumkan unsur-unsur tindak pidana di dalam surat dakwaan, sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan dengan menguraikan fakta kejadian selengkap
11
mungkin. Dalam Buku Kesatu Rancangan KUHP 2012 pada Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana Pasal 11 pengertian Tindak Pidana adalah:
8.
Hazairin dan Soekanto, Dikutip dari Tjokordo Raka Dherana, Pengenalan Bahan-bahan Hukum Adat
Bali dalam Menunjang Pembinaan Hukum Nasional dalam Kertha Patrika Edisi Khusus dalam rangka Lustrum
VI FH UNUD, Denpasar, hlm. 32
9.
Awig-awig Desa Adat Kawan dan Desa Adat Sibangkaja
10. Moeljono dalam Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana (Seri Hukum Pidana I), Yogyakarta, Ghalia Indonesia,
1992, hlm. 22
11.
Jan Remmelink, Hukum Pidana, hlm. 91
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.113
Tindak pidana keturut sertaan dalam penyerangan atau perkelahian yang
dilakukan oleh beberapa orang itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam
pasal terakhir dari Buku ke-II Bab ke-XX KUHP yang mengatur tindak pidana
penganiayaan, yakni dalam Pasal 358 KUHP, yang rumusannya berbunyi sebagai
berikut:
Mereka yang dengan sengaja telah turut serta dalam suatu penyerangan
atau
suatu perkelahian, dalam serangan atau perkelahian mana
terlibat
berbagai
orang, selain menurut pertanggungjawaban masing-masing karena
tindakan-tindakan yang secara khusus telah dilakukan oleh mereka, dipidana:
a. Dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan, jika
penyerangan atau perkelahian tersebut hanya menyebabkan luka berat pada
tubuh;
b. Dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, jika penyerangan atau
perkelahian itu menyebabkan kematian orang.
Simons berpendapat bahwa keturutsertaan dalam penyerangan atau perkelahian
seperti yang dimaksud dalam Pasal 358 KUHP itu harus
dilakukan
dengan
sengaja, agar
pelakunya
dapat dihukum
pidana, pelaku tersebut harus
„menghendaki‟
untuk
turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang
bersangkutan, dan bukan karena ia telah „tersangkut‟ dalam penyerangan atau
114
perkelahian tersebut.
6. Hukum Adat Delik
Peraturan mengenai tingkah laku manusia (rule of behaviour) pada suatu waktu
mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan
mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu, atau pada ketika
petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan itu. Begitu pula
delik adat (pelanggaran-pelanggaran hukum adat) lahir, berkembang dan
kemudian
lenyap artinya perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum,
lambat laun perbuatan-perbuatan itu tidak lagi melanggar hukum oleh karena hukum
berubah.126
Delik Adat menurut van Vollenhoven adalah
“perbuatan yang tidak boleh dilakukan , walaupun pada kenyataannya
peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan) kecil saja”.
Hukum adat tidak mengenal sistem peraturan statis. Jadi dalam hukum adat
delik adat itu tidak pula bersifat statis ini artinya sesuatu delik adat itu tidak sepanjang
masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang
dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru. Ini berarti
bahwa peraturan-peraturan yang semula merupakan pelanggaran hukum lambat laun
berubah menjadi tidak lagi melanggar hukum oleh karena hukum yang dilanggar itu
berjalan sesuai dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat. Dan perasaan
keadilan rakyat ini bergerak maju terus berhubung dengan pertumbuhan hidup
130
masyarakat yang selalu dipengaruhi oleh segala faktor lahir dan batin.
12.
Posted on Juni 27, 2012. Filed under: Catatan Anak Hukum UNDIP | Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
13.
Simon dalam P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan yang
Membahayakan Bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan), hlm.169
14.
Soepomo, op.cit, hlm. 113 - 114
15.
Soerojo Wignjodipoero, op.cit, hlm. 230-231
C. HASIL PENELITIAN
1. Implementasi hukum adat terhadap kasus tindak pidana ringan dikaitkan
dengan Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang N0.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah
Hukum tidak tertulis dapat juga disebut sebagai hukum kebiasaan, yaitu yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang lazim dipatuhi masyarakat walaupun tidak tertulis.
Dalam hal ini termasuk sebagian besar hukum adat Indonesia. Hukum tertulis sebagian
besar sudah berupa perundang-undangan, namun tidak jarang dapat ditemukan dalam
bentuk suatu hikayat, puisi atau pantun tertulis dan lain sebagainya yang didalamnya
mengandung ketentuan hukum. Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia pada
umumnya tidak tertulis. Dalam perkembangan hukum itu sendiri, telah terjadi pola-pola
atau garis-garis hukum tertentu yang dianut oleh masyarakat setempat. Sejak kapan
pola-pola, dasar-dasar atau garis-garis hukum tertentu telah terjadi, pada umumnya
berbeda-beda. Dalam suatu masyarakat tertentu lebih cepat daripada masyarakat
lainnya.
Berbeda dengan undang-undang, hukum adat sangat dinamis. Menurut Soepomo,
hukum adat berkembang terus menerus sepanjang waktu seperti hidup itu sendiri. van
Vollenhoven mengatakan bahwa hukum adat berkembang dan maju terus, keputusankeputusan adat melahirkan hukum adat. Perkembangan hukum adat selalu sejalan
dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Secara sosiologis, bahwa hukum
adat sebagai volkgeeist atau geestesstructuur selalu mengikuti kebutuhan masyarakat.
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam
menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila
dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat,
sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah dan norma yang disepakati dan
diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat memiliki relevansi
kuat dengan karakter, nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat adat.
Dengan demikian hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat
hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kerangka tempat hukum adat bekerja,
sehingga akan banyak pengaruh terhadap bagian-bagian yang lain, dan tentu juga
berpengaruh terhadap berlakunya hukum adat. Penyelesaian sengketa dalam
masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat
itu sendiri.
Otonomi mengandung pengertian pengaturan sendiri (selfregelling), pemerintahan
sendiri (selfbestuur). Artinya dibalik otonomi terdapat makna kemandirian. Tentu,
kemandirian dimaksud harus sesuai dengan peraturan tentang otonomi itu sendiri.
Penyelesaian sengketa yang dimaksud adalah sampai institusi manakah pihak-pihak
yang bersengketa berhenti bersengketa atau sengketa tersebut tertahan. Dengan
demikian sengketa dianggap selesai apabila lembaga penyelesaian sengketa mampu
menghentikan sengketa dan ada keefektifan suatu putusan yang ditetapkan, dalam arti
pihak-pihak yang terlibat tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pada dasarnya penyelesaian secara hukum adat dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat
(12) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dalam hal ini dikenal dengan
Otonomi Daerah sangat bersinergi, dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (12) yang mengatur
tentang Desa, dalam rumusan ini terdapat kata “berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat”.
Kalimat ini mengandung arti bahwa Desa mempunyai otonomi berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat desa yang bersangkutan sepanjang masih hidup dan dipertahankan oleh
masyarakat pendukungnya. Sehingga kasus-kasus tindak pidana yang terjadi yang
diselesaikan secara hukum adat dikaitkan dengan Otonomi Daerah penyelesaiannya
berdasarkan pada norma, adat istiadat yang berlaku didaerah hukum adat setempat yang
didalamnya terkandung kearifan lokal.
2. Penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara hukum adat setempat
menurut hukum pidana
Indonesia adalah negara hukum. Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum atau
“Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945. Setelah
UUD‟45 diamandemenkan penjelasan dihilangkan dan mengenai negara hukum
dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat 3 dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat, yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”.
Konsideran UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 mengakui hak dan hukum adat. Hukum
adat amat variatif sesuai kearifan lokal mengikuti tradisi desa setempat. Hukum adat
sanksinya adat, tak mungkin diharmonisasikan ke hukum tertulis. Dengan peradilan
adat, kasus-kasus tersebut dan segala sengketa berkait penyelesaian hak adat dan
hukum adat akan diselesaikan dalam peradilan desa yang dipimpin oleh kepala desa,
ditempuh dengan musyawarah mufakat, tanpa jalur hukum formal.
Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan.
Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah
barang tentu dilakukan oleh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa
masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar
peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua
unsur didalamnya. Pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakyat. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum dan punya
sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban
hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas maka beberapa penyelesaian kasus yang
diselesaikan secara hukum adat dapat dilihat sebagai berikut:
Penyelesaian kasus yang terjadi di Provinsi Bali dapat diuraikan sebagai berikut.
Bali adalah pulau Indonesia sebagai satu-satunya daerah Nusantara tempat sisa-sisa
kebudayaan Indonesia-Hindu. Masyarakat Bali mempunyai desa yang dipimpin oleh
kepala desa, dan juga ada kepala adat yang bertugas untuk menyelesaikan persoalan
yang ada didesa setempat. Meskipun desa di Bali itu tampak seragam wujudnya tetapi
dalam susunan kemasyarakatannya terdapat suatu aneka warna yang besar dengan
banyak pengecualian diberbagai tempat.
Di Bali istilah “desa” tidak hanya dapat ditetapkan kepada suatu kesatuan sosial
yang khas, tetapi kepada keseluruhan dari rangkaianrangkaian hubungan-hubungan antara kesatuan-kesatuan sosial yang tersebar dipulau
Bali dari Jembrana disebelah Barat sampai Karangasem disebelah timur. Istilah “desa” di
Bali tidak menggambarkan suatu kesatuan hidup yang terbatas tempat, tetapi suatu
lapangan hidup yang meluas.
Penyelesaian kasus tindak pidana ringan dilihat dari masyarakat hukum adat Bali
disamping denda uang, denda yang lainnya berkaitan dengan membuat Pecaruan dan
Bhuta Yadnya. Pengertian “Caru” mempunyai pengertian yang khusus yang dikaitkan
dengan sarana upakaranya. Caru sebagai sarana berarti “sega” atau nasi dalam segala
bentuknya. Ada yang berbentuk cacah, berbentuk “kepelan” dan ada yang berbentuk
tumpeng kecil-kecil atau „dananan‟. Sega atau nasi ini dilengkapi dengan lauk pauk.
Umumnya dari bambu-bambuan seperti bawang, jahe, garam dan lain-lainnya. Juga
daging, umumnya daging “jajeron” yang berbau. Jadi caru dalam arti khusus adalah
bentuk dari bebali atau korban kepada bhutakala itu. Dengan telah diberikan korban,
maka bhutakala itu menjadi puas, dengan demikian terwujudlah keharmonisan.
Terjadinya kasus tindak pidana ringan sampai keluar darah, di wilayah
desa
adat
maka caru yang dipergunakan
adalah Caru Palemahan dimaksudkan
adalah upacara untuk mengharmoniskan “areal pelataran” atau “wilayah”. Areal atau
wilayah yang dimaksudkan adalah wilayah
hunian,
baik
hunian
manusia,
binatang,
tumbuh-tumbuhan. Upacara mengharmoniskan palemahan dimaksud
dilakukan baik secara insidental adalah untuk mengembalikan keseimbangan akibat
adanya sesuatu yang tidak wajar. Besar kecilnya palemahan, dan juga tingkatan
palemahan akan menentukan besar kecilnya Caru yang dipergunakan untuk menyucikan
palemahan itu.
Madura yang memiliki budaya adat Carok, dalam penyelesaian kasusnya dapat
diuraikan sebagai berikut. Carok sebagai institusional kekerasan, yang secara historis
telah dilakukan oleh sebagian Masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu. Proses
perjalanan waktu yang sangat panjang kemudian mengkondisikan orang Madura seakanakan tidak mampu untuk mencari dan memilih opsi atau alternatif lain dalam upaya
mencari solusi ketika mereka sedang mengalami konflik, kecuali melakukan Carok yang
dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Dengan kata lain, Carok juga
merupakan kekurangmampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan
budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik
untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal
pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.
Penyelesaian kasus hukum badan di Aceh sebagai wujud pelaksanaan syari‟at
Islam di Provinsi Aceh, Pemerintah Daerah telah mensahkan Qanun Nomor 10 Tahun
2002 tentang
Peradilan
Syari‟at Islam, yang diberikan wewenang kepada
Mahkamah Syari‟ah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
pada tingkat pertama, dalam bidang Ahwal al-Syakhshiyah, Mu’amalah dan Jinayah.
Dalam kasus Jinayah, Pemerintah Daerah Aceh telah menetapkan Qanun Nomor 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat/Mesum yang akan diselesaikan melalui Mahkamah
Syari‟ah.
Perkara pidana ringan seperti perkelahian antar pemuda di lingkungan komunitas
atau penganiayaan ringan di Ambon dapat
diselesaikan secara informal oleh
komunitas setempat, Raja atau kepala desa mempunyai posisi sentral serta memiliki
peranan dan pengaruh yang besar dalam penyelesaian sengketa informal. Raja
menengahi dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang ada
dimasyarakat. Raja pula yang berhubungan dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian
dalam kasus-kasus pidana ringan atau sengketa tanah.
Berdasarkan uraian diatas bahwa penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara
hukum adat setempat menurut hukum pidana sangat relevan, karena sanksi yang
dijatuhkan tidak bertentangan dengan hukum nasional juga Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Semua sanksi adat yang dijatuhkan sudah sesuai dengan adat
istiadat masing-masing desa baik dari administrasinya dalam hal ini denda maupun
sanksi sosial berupa upacara adatnya.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan.
Dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang dalam Pasal 1 Ayat (12) menjelaskan tentang Desa, menegaskan bahwa
adanya kearifan lokal, hal ini memberikan gambaran dalam penyelesaian perkara pidana
yang terjadi di dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui hukum adat setempat.
Penyelesaian kasus tindak pidana ringan tidak begitu saja dapat diselesaikan, tetapi
harus melalui suatu proses yang harus dijalani dan telah ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan dalam perjanjian. Tidak semua daerah atau Provinsi dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana ringan diselesaikan secara hukum adat. Seperti di Madura, Carok
merupakan adat, Carok dalam melakukan pertarungan salah satu pelaku sampai ada
yang meninggal. Oleh sebab itu penyelesaiannya tidak melalui hukum adat melainkan
dengan hukum positif. Penyelesaian terhadap kasus tindak pidana ringan di Bali
aturan hukum adatnya berbentuk awig-awig didalamnya berisi Pasal-Pasal yang
mengatur mengenai sanksi yang akan dijatuhkan sesuai dengan kejadian perkara. Awigawig dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 jo Nomor 3 Tahun
2003 bahwa setiap Kab/Kota harus mempunyai Awig-awig yang tertulis. Tetapi tidak
semua melaksanakannya karena masing-masing dari Kab/Kota mempunyai aturan
hukum sesuai dengan karakteristik desa bersangkutan. Ada ucapan/perkataan turuntemurun dari leluhurnya itulah hukumnya dan tidak perlu dituangkan dalam bentuk aturan
tertulis. Kasus Ambon penyelesaian hukum adat dilaksanakan oleh Raja melalui Saniri.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam aturan yang berlaku mengenai sanksi yang
dijatuhkan berupa sanksi badan dan telah dituangkan dalam Qanun, disamping itu juga
ada yang diselesaikan oleh Gampong.
Penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara hukum adat menurut hukum
pidana di lakukan penyelesaiannya melalui perundingan antara kedua belah pihak,
sebelum para pelaku dihadapkan kedepan persidangan adat. Akan tetapi dalam
KUHP juga belum mencerminkan mengenai sanksi yang akan dijatuhkan kepada
tersangka yang melakukan pelanggaran tindak pidana ringan yang berisikan kearifan
lokal. Karena dalam Pasal-Pasal KUHP yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan
bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana ringan, yang seharusnya bisa diselesaikan
melalui perdamaian. Seperti sanksi dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak yang bersengketa tergantung dari berat ringannya
sengketa
yang
ditimbulkan. Di Nanggroe Aceh Darussalam mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh
Hukum Syari‟at Islam sesuai dengan aturan dalam Qanun, contoh khalwat terdapat
dalam Qanun No.14 Tahun 2003
Pasal 22 Ayat (1) dapat memberikan efek jera
terhadap pelaku tindak pidana. Juga dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar dalam memutuskan penjatuhan
hukuman oleh Hakim, yang berdasarkan budaya yang hidup dimasyarakat, sehingga
sanksi yang dijatuhkan berdasarkan pada kearifan lokal sehingga benar-benar terasa
keberadaannya sesuai dengan Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
2. Saran.
Pemerintah agar lebih memperhatikan keberadaan masyarakat adat yang selama
ini terpinggirkan begitu juga hukum adat
agar memperhatikan kearifan lokal dalam
terbentuknya hukum positif. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya dalam Pasal 1 Ayat (12) yang mengatur
tentang Desa, sangat diharapkan dapat menerapkan kembali hukum adat beserta
pembentukan Peraturan Daerah mengenai aturan-aturan adat di setiap Provinsi dan
dapat diakui secara resmi keberadaannya. Dengan terbentuknya Undang-undang
Pemerintah Daerah agar direvisi mengenai Pasal-Pasalnya yang berhubungan dengan
masyarakat hukum adat, sehingga masyarakat hukum adat dalam melakukan tindak
pidana ringan penjatuhan hukuman dapat disesuaikan dengan hukum adat setempat dan
tidak bertentangan dengan KUHP. Karena dalam masyarakat adat dan termasuk
didalamnya hukum adat terkandung kearifan lokal, maka sanksi maupun aturan-aturan
yang diberlakukan disesuaikan dengan karakteristik dan hukum adat dari masing-masing
daerah. Disamping itu adanya pemetaan wilayah, dan hukum adat ini jadi pijakan baik
oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah agar membuat kerangka kebijakan dan peraturan
menyangkut masyarakat adat.
Pemerintah diharapkan dapat membentuk pengadilan adat, karena dalam
penyelesaian suatu perkara, masyarakat merasa tidak adil. Seperti awig-awig di Bali
seharusnya ada aturan yang benar-benar mengharuskan bahwa awig-awig itu dibentuk
disemua desa pakraman dan Pasal yang terdapat dalam awig-awig agar lebih diperjelas
lagi dalam pelaksanaan hukuman bagi pelanggar adat. Walaupun ada Perda Bali tetapi
belum semua mengikutinya sehingga tidak semua desa Pakraman membuatnya, dan hal
ini perlu direvisi untuk memberikan ketegasan, sehingga awig-awig tersebut dapat dibuat
di semua desa Pakraman. Terutama petuah tetua-tetua adat yang belum dibuat awigawig agar segera dibuat sehingga ada Pasal sebagai acuan dalam penjatuhan hukuman.
Melalui pembentukan hukum adat diharapkan dapat memberikan rasa adil sesuai dengan
keinginan dari masyarakat. Juga dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang
mengacu kepada karakteristik cita hukum bangsa Indonesia sehingga benar-benar
menjadi produk hukum sesuai yang dicita-citakan (ius constituendum). Hal ini dituangkan
dalam Pasal 1, Pasal 2 Ayat (1) dan (2), yaitu menegakkan hukum dan mewujudkan rasa
keadilan masyarakat. Diharapkan agar Rancangan Undang-Undang KUHP segera
diundangkan sehingga pelaku tindak pidana ringan mendapatkan rasa keadilan dan
kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Seri Hukum Pidana I, Ghalia Indonesia,
Yogyakarta, 1992
B.Ter Haar Bzn.,Freddy Tengker (Penyadur).,Bambang Daru Nugroho (Penyunting),
Mandar Maju, Bandung, 2011
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Edisi III, Tarsiti, Bandung, 1996.
Jan Remmelink, Hukum Pidan (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan yang Membahayakan Bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan)
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung
Agung, Jakarta, 1994
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta,
Bandung, 2009
Dikutip dari Tjokordo Raka Dherana, Pengenalan bahan-bahan Hukum Adat Bali dalam
Menunjang Pembinaan Hukum Nasional dalam Kertha Patrika Edisi Khusus
dalam Rangka Lustrum VI FH UNUN, Denpasar
http://putracenter.net/tag/sistem-hukum-common-law/ tgl 13-12-12
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Panyacah Awig-awig Desa Adat Sibang Kaja, 2006
Posted on Juni 27, 2012. Filed under: Catatan Anak Hukum UNDIP | Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Tgl 23/10-2012
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Desa
Download