KONSEP DAN TEORI KELUARGA Oleh

advertisement
KONSEP DAN TEORI KELUARGA
Oleh: Herien Puspitawati
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor
2013
Sumber: Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di
Indonesia. PT IPB Press. Bogor.
Email: [email protected]
Pengertian Konsep Keluarga
Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer
yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal,
hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat
10; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996;
Vosler 1996). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga terdiri atas orang-orang
yang hidup dalam satu rumahtangga (Newman dan Grauerholz 2002; Rosen (Skolnick dan
Skolnick 1997).
Keluarga merupakan keharusan yang diwajibkan oleh Agama, salah satunya tertera pada
Kitab Suci Al Qur’an:
1. Firman Allah dalam Surat At-Tahrim Ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
2. Firman Allah dalam Surat Al-Furqon : Ayat 74
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa”.
Keluarga juga seperti diamahkan oleh Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga:
Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa Pembangunan keluarga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa
depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin 1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang
berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang
memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi,
mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan
melakukan tugas-tugas keluarga). Definisi lain menurut Settels (Sussman dan Steinmetz 1987),
1
keluarga juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra romantis, suatu
proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan/peristirahatan
akhir. Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property,
and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan keluarga mempunyai hubungan
antara struktur sosial-ekonomi masyarakat dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan
pada sistem patriarkhi (Ihromi 1999).
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan
sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya
(Landis 1989; BKKBN 1992).
Ditambahkan oleh Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni (Boss et al. 1993)
bahwa tujuan dari terbentuknya keluarga adalah sebagai suatu struktur yang dapat memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan untuk memelihara masyarakat yang lebih luas.
Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994
menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi
pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial-budaya,
cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan (BKKBN 1996). Menurut United Nation (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi
pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak,
pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan
perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Menurut Mattensich dan Hill (Zeitlin et al.,
1995) fungsi pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru
melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga
dan dewasa melalui pembentukan pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa.
Burgest dan Locke (1960) mengemukakan 4 (empat) ciri keluarga yaitu (a) Keluarga
adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan
istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak) atau adopsi; (b) Anggota-anggota keluarga
ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumahtangga.
Tempat kos dan rumah penginapan bisa saja menjadi rumahtangga, tetapi tidak akan dapat
menjadi keluarga, karena anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau
adopsi, (c) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi
yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki
dan perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan; Peranan-peranan tersebut diperkuat
oleh kekuatan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman; dan (d)
Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.
Stephens mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan sosial yang didasarkan pada kontrak
perkawinan termasuk dengan pengenalan hak-hak dan tugas orangtua; tempat tinggal suami, istri
dan anak-anak; dan kewajiban ekonomi yang bersifat reciprocal antara suami dan istri
(Eshelman 1991).
Setiap keluarga mempunyai tujuan yang baik dan mulia misalnya untuk mewujudkan
keluarga yang “Sakinah, Mawwadah, Warrohmah” (untuk orang Muslim). Menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah4.1:
2
1. Sakinah adalah ketenangan, kehebatan (percaya diri) dan kedamaian.
2. Mawaddah adalah kelembutan tindakan, kelembutan hati, kecerahan wajah, tawadhuk,
kejernihan pikiran, kasih saying, empati, kesenangan, dan kemesraan.
3. Rahmah adalah kerelaan berkorban, keikhlasan member, memelihara, kesediaan saling
memahami, saling mengerti, kemauan untuk saling menjaga perasaan, sabar, jauh dari
kemarahan, jauh dari keras hati dank eras kepala, jauh dari kekerasan fisik dan kekerasan
mental.
Menurut konsep sosiologi, tujuan keluarga adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik,
ekonomi) dan batin (sosial, psikologi, spiritual, dan mental). Secara detil tujuan dan fungsi
keluarga dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anggota keluarganya yang meliputi kebutuhan fisik (makan dan
minum), psikologi (disayangi/ diperhatikan), spiritual/ agama, dan sebagainya. Adapun
tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi anggota keluarganya, serta untuk melestarikan keturunan dan budaya suatu bangsa.
Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak,
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras,
dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan
lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992).
2. Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni (Boss et al. 1993) menjelaskan bahwa
tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur/ hierarkis
yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk
memelihara kebiasaan/ budaya masyarakat yang lebih luas.
3. Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994
(BKKBN, 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh
keluarga meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas
fungsi: (a) Keagamaan, (b) Sosial, (c) Budaya, (d) Cinta kasih, (e) Perlindungan, (f)
Reproduksi, (g) Sosialisasi dan pendidikan, (h) Ekonomi, dan (1) Pembinaan lingkungan.
4. Menurut United Nations (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi pengukuhan ikatan
suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian
nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan
perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa.
5. Menurut Mattensich dan Hill (Zeitlin et al. 1995) fungsi keluarga terdiri atas
pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru melalui
prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga
dan pendewasaan anggota keluarga melalui pembentukan pasangan seksual, dan
melepaskan anggota keluarga dewasa.
6. Selanjutnya Rice dan Tucker (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi fungsi
ekspresif, yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak
termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi instrumental yaitu fungsi
manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui
prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengembangan anggota keluarga.
3
Konsep Ekologi Keluarga Berkaitan dengan Interaksi Keluarga
Konsep Ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara manusia dengan
lingkungan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan ekologi atau
ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya
sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga dikaitkan dengan
pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat bergantung pada faktor
manusianya yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kaidah ekologi menetapkan adanya ketahanan/ ketegaran
(resilience) suatu sistem yang dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem
(Soerjani 2000).
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, dan keluarga merupakan lembaga sosial
terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antara manusia dengan
lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak dapat berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung
dengan lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro, meso, ekso dan makro) dan keluarga
juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro, meso, ekso dan makro).
Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga dan lingkungan atau
disebut sebagai ekologi keluarga. Dijelaskan bahwa saat ini sedang terjadi perubahan-perubahan
global baik dari segi sosial-ekonomi, teknologi dan politik, serta perubahan sistem dunia
(Khairuddin 1985; Lenski dan Lenski 1987) yang berdampak pada perubahan dalam keluarga
dan masyarakat, misalnya keluarga menjadi tidak stabil dan berada dalam masa transisi menuju
keseimbangan yang baru (Khairuddin 1985).
Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1981; Santrock dan Yussen, 1989), Deacon dan
Firebaugh (1988), Melson (1980), Holman (1983), Klein dan White (1996) menyajikan model
pandangan dari segi ekologi keluarga dalam mengerti proses sosialisasi anak-anak. Model
tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang secara
langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, yaitu lingkungan
mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada,
meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut
lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem
satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan
sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan
yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan exosystem yang merupakan lingkungan tempat
anak tidak secara langsung mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar
(extended family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah
lingkungan makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi
struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.
Model Bronfenbrenner menjelaskan mengenai pendekatan ekosistem dalam menganalisis
ekologi keluarga dalam sosialisasi anak yang dikenal dengan Model Ekologi dari
Bronfenbrenner (Bronfenbrenner 1981; Santrock dan Yussen 1989). Model tersebut menyajikan
tahapan-tahapan pengaruh lingkungan pada sosialisasi anak yang tediri atas lingkungan paling
dekat yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem), lingkungan yang lebih luas disebut
lingkungan mesosistem (the mesosystem), kemudian lingkungan yang lebih luas lagi disebut
dengan lingkungan exosystem, dan akhirnya lingkungan yang paling luas yaitu lingkungan
makrosistem (the macrosystem) (Gambar 4.1).
4
Jelas sekali disini bahwa pendekatan ekosistem dan keluarga menyangkut hubungan
interdependensi antara manusia yang berada dalam satu unit keluarga inti dengan lingkungan
sosial maupun fisik yang ada di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut.
Menurut Holland et al. (Kilpatrick dan Holland 2003) bahwa perspektif ekosistem (sistem
ekologi) merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya (mulai dari
tingkatan mikro ke makro). Pendekatan lain dari Megawangi (1999) menjelaskan bahwa
keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan
yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam
keluarga. Sistem ekologi juga menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam
melihat perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian dalam
pengasuhan (Harris dan Liebert 1992).
KESETARAAN
DAN KEADILAN
GENDER
SISTEM MAKRO
Budaya
SISTEM EKSO
Keluarga luas
Teman
SISTEM MESO
Tetangga
SISTEM
MIKRO
Sekolah
Keluarga
ANAK
Mass
media
Klp
Agama
Tetangga
Pelayanan
Hukum
Pelayanan
Sosial
Gambar 4.1. Hubungan gender dan keluarga dengan lingkungannya (modifikasi model
ekologi dari Bronfenbrenner 1981).
Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model
yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, yaitu
lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak
berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Model ini juga dapat diterapkan
berdasarkan perspektif gender, yaitu lingkungan yang dapat mendorong/ menghambat interaksi
5
lingkungan dengan kaum laki-laki atau perempuan, mulai dari masa bayi, balita, anak-anak,
remaja, dewasa sampai lanjut usia.
Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang
berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya,
misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara
lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan
lingkungan exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung
mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau
lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem
(the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya
suatu bangsa secara umum.
Gambar 4.2 berikut ini menyajikan berbagai landasan Teori Keluarga dari lingkup makro
(terdiri atas Teori Struktural Fungsional/ Sistem, Teori Konflik Sosial, Teori Gender dan Teori
Perkembangan multilineal dengan tingkatan masyarakat) dan lingkup mikro (terdiri atas Teori
Pertukaran Sosial, Teori Interaksi Simbolik dan Teori Perkembangan Unilineal (Individu dan
Keluarga).
MAKRO
TEORI
KELUARGA
MIKRO
 Teori Struktural Fungsional/Sistem.
 Teori Konflik Sosial.
 Teori Gender (sudah dibahas di bab
terdahulu).
 Teori Perkembangan (multilineal)(Tingkatan Masyarakat).
 Teori Pertukaran Sosial.
 Teori Interaksi Simbolik.
 Teori Perkembangan (unilineal)(Tingkatan Individu dan Keluarga).
Gambar 4.2. Berbagai landasan teori keluarga dari tinjauan ruang lingkup makro dan
mikro.
Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/Sistem
Salah satu teori yang melandasi studi keluarga diantaranya adalah Teori Strukturalfungsional/ Teori Sistem. Pendekatan teori sosiologi struktural-fungsional biasa digunakan oleh
Spencer dan Durkheim yang menyangkut struktur (aturan pola sosial) dan fungsinya dalam
masyarakat (Skidmore 1979; Spencer dan Inkeles 1982; Turner 1986; Schwartz dan Scott 1994;
Macionis 1995; Winton 1995) dan pada kehidupan sosial secara total (McQuarie 1995).
Penganut pandangan teori struktural-fungsional melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang
seimbang, harmonis dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian dari sistem
dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. William F. Ogburn dan Talcott Parsons
adalah para sosiolog ternama yang mengemukakan pendekatan struktural-fungsional dalam
kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi
6
seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Talcott Parsons (Klein & White
1996) terkenal dengan konsep pendekatan sistem melalui AGIL (Adaptation; Goal Attainment;
Integration; and Latency), yaitu adaptasi dengan lingkungan, adanya tujuan yang ingin dicapai,
integrasi antar sub-sub sistem, dan pemeliharaan budaya atau norma/ nilai-nilai/ kebiasaan.
Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil
dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Eshleman (1991), Gelles (1995),
Newman dan Grauerholz (2002) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural-fungsional dapat
digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga
keutuhan keluarga dan masyarakat. Adapun Farrington dan Chertok (Boss et al. 1993), Winton
(1995), dan Klein dan White (1996) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada
konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar
kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi
adanya adaptasi dengan lingkungan.
Dinyatakan oleh Chapman (2000) bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki
peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan
atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti
(meaning) yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan
maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi
yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.
Sebagai asumsi dasar dalam teori struktural fungsional adalah (Klein & White 1996;
Megawangi 1999): (1) Masyarakat selalu mencari titik keseimbangan, (2) Masyarakat
memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi, (3) Untuk memenuhi kebutuhan
dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan dan (4) Untuk memenuhi semua ini, maka harus ada
struktur tertentu demi berlangsungnya suatu keseimbangan atau homeostatik.
Prasyarat dalam teori struktural-fungsional menjadikan suatu keharusan yang harus ada
agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy
(Megawangi 1999) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga
agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: (1) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/ tugas dan
aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) Alokasi solidaritas yang menyangkut
distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang
dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) Alokasi politik yang
menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu
meliputi cara/ tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada
setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori StrukturalFungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set
dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada
mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori
tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis
kehidupan keluarga. Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi
Adam Smith yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling ketergantungan antara
individu dan masyarakat (Campbell 1981; Turner 1986; So 1990; Day et al. 1995; Killpatrik dan
Holland 2003). Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan
konsep keluarga sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial (Holman 1983; Day
et al. 1995; Anderson 1995; Vosler 1996). Keluarga sebagai suatu sistem terdiri dari suatu set
bagian berbeda, namun berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya (Kantor
7
dan Lehr 1975; dan Vosler 1996). Keluarga juga menerapkan praktek komunikasi antar
organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan perilakunya dalam menggunakan bahasa
dan penafsiran simbol-simbol yang berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya (Ruben
1988).
Konsep Struktural Fungsional adalah:
1. Sistem: Suatu set obyek dan hubungan antar obyek dengan atributnya (Hall & Fagan
1956).
2. Boundaries: Suatu batas antara sistem dan lingkungannya yang mempengaruhi aliran
informasi dan energinya (tertutup atau terbuka).
3. Aturan Transformasi: memperlihatkan hubungan antara elemen-elemen dalam suatu
sistem.
4. Feedback: Suatu konsep dari teori sistem yang menggambarkan aliran sirkulasi dari
output kembali sebagai input (positif, negatif/ penyimpangan).
5. Variety: merujuk pada derajat variasi adaptasi perubahan dimana sumberdaya dari sistem
dapat memenuhi tuntutan lingkungan yang baru.
6. Equilibrium: Merujuk pada keseimbangan antara input dan output (homeostatis=
mempertahankan keseimbangan secara dinamis antara feedback dan kontrol).
7. Subsistem: Variasi tingkatan dari suatu sistem yang merupakan bagian dari suatu sistem.
8. Struktur keluarga.
9. Pembagian peran, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban.
10. Menjalankan fungsi.
11. Mempunyai aturan dan nilai/ norma yang harus diikuti.
12. Mempunyai tujuan.
Aplikasi Struktural Fungsional dalam Keluarga:
1. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan antara
orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya, dll.
2. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan
orang harus berperilaku.
3. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak (intact
families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single families),
keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat, atau keluarga
berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.
4. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social
order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga,
dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang
melandasi struktur tersebut.
5. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1) Keluarga Inti (nuclear family), dan (2)
Keluarga Luas (extended family).
6. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan
dengan elemen- elemen utama yang saling terkait:
a. Status sosial: Pencari nafkah, ibu rumahtangga, anak sekolah, dan lain-lain.
b. Fungsi dan peran sosial: Perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat
memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu (peran
instrumental/ mencari nafkah; peran emosional ekspresif / pemberi cinta, kasih
sayang).
8
c. Norma sosial: Peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang
bertingkah laku dalam situasi tertentu.
Teori Keluarga: Konflik Sosial
Teori konflik sosial muncul pada Abad ke-18 dan 19 sebagai respon dari lahirnya dual
revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik
modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam
masyarakat Amerika (Mc Quarrie 1995). Teori konflik sosial mulai populer pada Tahun 1960an
sejalan dengan gelombang kebebasan individu di Barat, tetapi sebetulnya telah berkembang sejak
Abad 17.
Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis
fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat
dengan paham konsensus dan integralistiknya. Beberapa kritikan terhadap teori strukturalfungsional berkisar pada sistem sosial yang berstruktur, dan adanya perbedaan fungsi atau
diferensiasi peran (division of labor). Institusi keluarga dalam perspektif struktural-fungsional
dianggap melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal timbulnya
ketidakadilan dalam masyarakat.
David Lockwood (Klein dan White 1996) melontarkan kritik terhadap teori Parsons.
Menurutnya, teori Parsons terlalu menekankan keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap
suatu pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan kelompok
selalu terpenuhi. Selanjutnya, individu harus selalu tunduk pada norma dan nilai yang melandasi
struktur dan fungsi sebuah sistem. Padahal menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu
mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumberdaya yang terbatas. Artinya, sifat
dasar individu dianggapnya cenderung selfish (mementingkan diri sendiri), daripada mengadakan
konsensus untuk kepentingan kelompok. Sifat pementingan diri sendiri menurut Lockwood akan
menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas
kelompok lainnya. Selain itu masing-masing kelompok atau individu mempunyai tujuan yang
berbeda-beda bahkan sering bertentangan antara satu dan lainnya, yang akhirnya akan
menimbulkan konflik. Perspektif konflik dalam melihat masyarakat dapat dilacak pada tokohtokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber dan George Simmel.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya suatu aturan
atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usulnya terjadinya
pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berperilaku menyimpang. Perspektif
konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi
kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konflik adalah fenomena sosial biasa dan
merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Konfllik dipandang sebagai
suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Perspektif konflik dianggap sebagai
“the new sociology” sebagai kritik terhadap teori struktural fungsional yang berkaitan dengan
sistem sosial yang terstruktur dan adanya perbedaan fungsi dan diferensiasi peran (division of
labor).
Sosiologi konflik mempunyai asumsi bahwa masyarakat selalu dalam kondisi
bertentangan, pertikaian, dan perubahan. Semua itu adalah sebagai bagian dari terlibatnya
9
kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling berebut sumberdaya langka dengan menggunakan
nilai-nilai dan ide (ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace dan Wolf 1986).
Asumsi dasar yang melandasi Teori Konflik Sosial (Klein dan White 1996) adalah: (1)
Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) Manusia adalah individu otonom yang
mempunyai kemauan sendiri tanpa harus tunduk kepada norma dan nilai; Manusia secara garis
besar dimotivasi oleh keinginannya sendiri. (3) Konflik adalah endemik dalam grup sosial, (4)
Tingkatan masyarakat yang normal lebih cenderung mempunyai konflik daripada harmoni, (5)
Konflik merupakan suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumberdaya yang langka,
konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti. Oleh karena itu konsensus dan negosiasi
adalah tehnik yang masih ampuh untuk digunakan sebagai alat mengelola konflik.
Paradigma sosial konflik yang dikembangkan oleh Karl Marx didasarkan pada dua
asumsi, yaitu: (1) Kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat,
dan (2) Melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam
Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang
dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas
dan kelas bawah.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konflik sosial,
antara lain:
1. Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner seksual,
dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang ditawarkan
fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.
2. Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest) yang saling
berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan
revolusioner daripada evolusioner.
Dengan demikian:
1. Teori struktural fungsional lebih dijadikan pegangan untuk keluarga konservatif.
2. Teori konflik sosial lebih dijadikan pegangan bagi keluarga kontemporer.
3. Contoh-contoh konflik dalam keluarga:
a. Konflik peran suami dan istri di dalam keluarga.
b. Konflik komunikasi antara suami dan istri atau antara orangtua dan anak.
c. Konflik kelas dalam masyarakat (kelas borjuis vrsus proletar; kelas gender; kelas
sosial ekonomi)
d. Konflik antara keluarga inti dan keluarga luasnya.
Teori Keluarga: Pertukaran Sosial
Teori keluarga lain yang sering dipakai sebagai landasan analisis keluarga adalah Teori
Pertukaran Sosial. George Homans (1958; 1961) adalah orang yang dikenal membawa Teori
Social Exchange ke disiplin Ilmu Sosial. Homans fokus pada hubungan interpersonAl diantara
orang-orang di keluarga dan masyarakat. Konsep pemikiran George Homans adalah adanya
karakteristik sifat manusia yang universal di seluruh dunia, yaitu bahwa perilaku manusia
(konsep behaviorism di psychology) ada yang “Positive Reinforcement and Negative
Reinforcement”. Homans juga menyatakan adanya “ The rule of distributive justice “ artinya :
10
adanya harapan bahwa rewards pada masing-masing orang yang berhubungan akan
“proporsional“ dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing orang tersebut, sehingga net
result dari masing-masing orang itu akan proporsional dengan investasinya dalam hubungan
tersebut. Apabila peraturan ini dilanggar, maka orang-orang yang dirugikan akan marah, dan
orang-orang yang diuntungkan akan merasa bersalah.
Teori pertukaran sosial menjelaskan keberadaan dan ketahanan kelompok sosial,
termasuk keluarga melalui bantuan selfinterest dari individu anggotanya. Fokus sentral teori
adalah motivasi (hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan), yang
berasal dari keinginan diri sendiri. Teori ini didasari paham utilitarianisme (individu dalam
menentukan pilihan secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh,
dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Para sosiolog penganut teori ini berpendapat bahwa
seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika dianggapnya menghasilkan keuntungan
(selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan).
Sebagai asumsi dasar dalam teori pertukaran sosial adalah (Klein & White 1996; Homans
(1958;1961) dalam Zeitlin 1998; Sabatelli dan Shehan 1993): (1) Dalam proses belajar orang
mengkonstruksi perilaku melalui aplikasi pemikiran yang rasional: Setiap aksi mempunyai
konsekuensi Cost and Reward; Setiap orang rasional pasti mencari reward yang maksimal dan
meminimalkan biaya (Cost), (2) Setiap orang memiliki harga diri; Jika seseorang memberikan
keuntungan kepada orang lain, maka orang lain juga akan memberikan keuntungan pada orang
tersebut.
Menurut Homans dalam Ritzer (1985) terdapat lima prinsip dalam pertukaran sosial,
meliputi: (1) Jika respon pada suatu stimulus mampu mendatangkan keuntungan, maka respon
tersebut akan cenderung diulang terhadap stimulus yang sama, (2) Makin sering seseorang
memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, maka makin sering juga tingkah laku
tersebut akan diulang, (3) Makin bernilai suatu keuntungan yang diperoleh dari tingkah lakunya,
maka makin sering juga pengulangan terhadap tingkah laku tersebut, (4) Makin sering orang
menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, maka makin berkurang juga nilai dari setiap
tindakan yang dilakukan berikutnya dan (5) Makin dirugikan seseprang dalam berhubungan
dengan orang lain, maka makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.
Kritik terhadap teori ini adalah bahwa: (1) Teori ini mengakui adanya kemampuan
manusia untuk mengatur perilakunya melalui proses berpikir yang rasional. Pada kenyataanya,
manusia belum tentu selalu berfikir secara rasional sepanjang hidupnya, (2) Teori ini akan
menghadapi masalah apabila berhadapan dengan situasi di mana tidak ada konsensus, imbalan
dan biaya, (3) Otonomi, kekuatan dan kemandirian cenderung sebagai nilai laki-laki. Nilai-nilai
perempuan yaitu sifat asuh (nurturance), dukungan (support), dan sifat penghubung
(connectedness) tidak terlalu dipandang sebagi pertimbangan dalam melihat imbalan dan biaya
dan (4) Pembedaan antara pertukaran sosial dan pertukaran ekonomi harus sejajar dengan
pembedaan antara pertukaran intrinsik dan ekstrinsik. Teori pertukaran sosial terlalu
memfokuskan pada separative self, otonomi dan individualisme.
Konsep Teori Pertukaran Sosial:
1. Pemikiran filosofi utilitarian adalah kerelaan (voluntaristic), interest dan teori tentang
nilai (value). Penekanan terbesar pada kebebasan individu untuk memilih.
2. Adam Smith, salah seorang pelopor dari perspektif ini, menggunakan pandangan
ekonomi bahwa manusia bertindak secara rasional untuk memaksimumkan manfaat
(benefits) atau kepuasan (utilitas).
11
3. Paham utilitarian yang lain adalah pendekatan teori ekonomi mikro dalam keluarga
(Becker 1981), dan psikologi sosial (Emerson 1976).
4. Levi-Straouss dalam Johnson (1990), terdapat dua sistem pertukaran sosial, yaitu bersifat
langsung dan tidak langsung:
a. Pada sistem pertukaran langsung, kedua belah pihak terjalin hubungan timbal
balik, cenderung menekankan pada keseimbangan, atau persamaan yang saling
menguntungkan sehingga aspek emosional ikut terlibat di dalamnya.
b. Pada pertukaran tidak langsung, terjadi secara berantai. Masing-masing anggota
masyarakat dituntut memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan melakukan
kewajibannya masing-masing, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh
keuntungan secara bersama-sama.
5. Imbalan dapat berupa materi maupun non materi (seperti perilaku, kesenangan dan
kepuasan).
6. Biaya dapat barupa materi maupun non materi (seperti status, hubungan, interaksi,
perasaan yang tidak disukai).
7. Keuntungan (selisih antara imbalan dan biaya) dan individu selalu mencari keuntungan
maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya.
8. Tingkat evaluasi atau perbandingan alternatif, yaitu suatu standar yang mengevaluasi
imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.
9. Norma timbal balik adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik,
tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial.
10. Pilihan bahwa setiap manusia harus menentukan pilihan, merupakan output yang
dijanjikan oleh pengambil keputusan.
Teori Keluarga: Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik merupakan salah satu teori keluarga yang terkait dengan ilmu
psikologi dan komunikasi. Menurut kerangka psikologi sosial, terdapat dua hal yang sangat
penting dalam keluarga, yaitu sosialisasi dan personalitas. Sosialisasi menitik beratkan pada
bagaimana cara manusia menerima sesuatu, kemudian menerapkan perilaku menurut pola dan
cara berfikir serta perasaan masyarakat. Sedangkan personalitas menitikberatkan pada sikap,
nilai, dan perilaku yang telah diorganisir. Teori ini terfokus pada hubungan antara simbol
(pemberian makna) dan interaksi (aksi verbal, non verbal, dan komunikasi). Interaksi simbolik
mengindikasikan suatu pendekatan yang mempelajari kehidupan grup dan perilaku individu
sebagai makhluk hidup. Interaksi simbolik memberikan sumbangan khusus kepada family studies
dalam dua hal. Pertama, menekankan proposisi bahwa keluarga adalah social groups. Kedua,
menegaskan bahwa individu mengembangkan konsep jati diri (self) dan identitas mereka melalui
interaksi sosial, serta memungkinkan mereka untuk secara independen menilai dan memberikan
value kepada keluarganya (Burgess 1926; Handel 1985 dalam LaRossa dan Reitzes 1993).
Klein dan White (1996) mengemukakan empat asumsi yang mendasari teori interaksi
simbolik, yaitu:
1. Perilaku manusia harus dipahami melalui arti/makna dari aktor (pelaku). Mustahil
seseorang dapat menjelaskan perilaku manusia tanpa mengetahui makna atau arti dari
perilaku tersebut. Para penganut teori ini percaya bahwa untuk menjadi manusia pasti
menggunakan simbol.Manusia hidup dalam dunia simbol dan apa yang kita lakukan
memiliki bentuk fisik dan simbol.
12
2. Aktor (pelaku) mendefinisikan arti atau makna dari konteks dan situasi.
3. Individu memiliki mind (jiwa). Mind adalah kemampuan seseorang untuk merefleksikan
proses dalam dirinya sehingga dapat membangun dirinya sendiri sebagai aktor (I) dan
sebagai objek (me).
4. Masyarakat mendahului individu. Asumsi yang pertama bahwa manusia hidup dalam
dunia simbol dan dengan pikirannya ia akan memanipulasi dan menginterpretasikan
simbol tersebut. Dengan kata lain, ketika seorang manusia lahir, ia berada di tengahtengah masyarakat yang sudah memiliki simbol. Menurut konsep Mead tentang mind,
pikiran individu merupakan hasil dari masyarakat, bukan sebaliknya.
Teori Keluarga: Perkembangan
Cikal bakal perkembangan Teori Perkembangan Keluarga adalah pada saat era depressi
tahun 30-an di USA dengan kebijakan Presiden Franklin D Roosevelt untuk memberikan
kesempatan pada para ahli untuk meneliti dampak dari depresi pada populasi dengan studi
longitudinal “Family Life Cycle and Family Development”. Teori Perkembangan keluarga
menjelaskan proses perubahan dalam keluarga dengan unsur “waktu’ sebagai sumberdaya yang
sangat signifikan dalam perspektif perkembangan keluarga (Family Life Cycle).
Teori Perkembangan Keluarga merupakan multilevel theory yang berhubungan dengan
individualis, dan institusi keluarga. Hal-hal yang sering dibahas pada teori ini adalah konsep
perkembangan tugas (the Development of task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family life
cycle). Tahapan Perkembangan Keluarga menurut Duvall (1957) ada 8 tahapan yaitu: (1)
Tahapan perkawinan (married couple), (2) Tahapan mempunyai anak (childbearing), (3)
Tahapan anak berumur preschool (Preschool age), (4) Tahapan anak berumur Sekolah Dasar
(school age), (5) Tahapan anak berumur remaja (teenage), (6) Tahapan anak lepas dari orangtua
(launching center), (7) Tahapan orangtua umur menengah (middle-aged parents) dan (8)
Tahapan orangtua umur manula (aging parents).
Teori perkembangan merupakan teori yang menjelaskan perubahan baik yang terjadi
pada individu atau kelompok. Individu, kelompok dan masyarakat mengalami perkembangan
melalui tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu. Salah satu model teori perkembangan
adalah unilinier, yang menganalisis perkembangan atau perubahan institusi dan masyarakat
sepanjang waktu.
Teori Perkembangan Unilinear digunakan oleh para ahli teori evolusi sosial di Abad ke19 dengan menggunakan model perkembangan organisme manusia untuk menganalisa
perkembangan (perubahan) institusi dan masyarakat sepanjang waktu. Model yang digunakan
meliputi penjelasan seseorang yang dapat dilihat dari perubahan umur (aging) sepanjang masa
usianya (yang diadaptasi dari ilmu biologi). Proses Perkembangan Keluarga mempunyai
beberapa tujuan (related to teleology). Berkaitan dengan perkembangan anak ditandai dengan
meningkatnya perkembangan moralitas dan kognitif. Ada suatu seri tahapan perkembangan
individu bermula dari infant/ bayi, anak balita, usia anak-anak (awal, menengah, akhir), usia
remaja (awal, menengah, akhir), usia dewasa (awal, menengah, akhir) dan usia lanjut usia (tua,
tua sekali, tua renta).
Menurut Mattessich dan Hill (1987), perkembangan keluarga (family development)
merujuk pada proses perkembangan dan transformasi struktural yang progresif sepanjang
sejarah keluarga. Terdapat tiga aspek penting untuk memahami fenomena perkembangan
keluarga: (1) Memantapkan perkembangan keluarga sebagai organisasi dan fenomena interaksi;
13
(2) Menekankan hubungan atau kelangsungan perilaku keluarga sepanjang sejarah keluarga dan
(3) Mencirikan dua sumber perkembangan perubahan, yaitu perubahan syarat fungsional dan
timbulnya tekanan hidup. Teori perkembangan keluarga (family development theory) berusaha
untuk menjelaskan proses perubahan dalam keluarga. Point dari perspektif perkembangan
keluarga adalah perubahan tingkatan keluarga dari waktu ke waktu (family time) yang dipercepat
secara internal oleh permintaan anggota keluarga (biologis, psikologis dan kebutuhan sosial) dan
secara eksternal oleh masyarakat yang lebih luas (harapan masyarakat dan keterbatasan
lingkungan).
Model teori perkembangan lain adalah multilinier, yang melihat perubahan individu,
keluarga, atau masyarakat dalam berbagai jalur atau rute sepanjang waktu. Para ahli teori
perkembangan unilinear di Abad ke-2 kemudian meminjam model individuallistik diaplikasikan
ke perkembangan masyarakat (society). Para ahli teori perkembangan sosial menulis bahwa
karena individu-individu berkembang melalui tahapan-tahapan sepanjang masa, demikian pula
dengan masyarakat juga berkembang dari masa pre-industrial, industrial dan pasca-industrial.
Beberapa ahli evolusi sosial pada Abad ke-19 percaya bahwa seluruh masyarakat secara
sejarah mulai dari titik yang sama, tetapi beberapa tidak berkembang sejauh yang lainnya, karena
adanya bencana alam (banjir, kelaparan, dan gempa bumi) atau karena peristiwa bersejarah
lainnya (contohnya perang). Taylor (1871-1958) dalam Winton (1995), melihat masyarakat
berkembang dari tahap perburuan (savagery) ke tahap barbarian, dan akhirnya menuju tahap
masyarakat yang beretika. Prinsip-prinsip dasar teori evolusi sosial pada Abad 19 dan 20 dapat
diringkaskan sebagai berikut: (1) Perubahan selalu ada dan gradual, (2) Perubahan terjadi secara
bertahap, (3) Perubahan terjadi karena hal itu merupakan esensi alamiah dari masyarakat untuk
berubah, (4) Perubahan adalah unidirectional; Perubahan tidak akan berbalik, dan (5) Tidak ada
masyarakat yang bertahan pada satu tahap perkembangan.
Konsep Teori Perkembangan:
1. Perkembangan Konsep Statik (Norma statik, peran statik, posisi dan tahapan serta
kejadian statik)
2. Perkembangan Konsep Dinamik:
a. Terjadi transisi (kombinasi antara tahapan, kejadian dan waktu)
b. Konsep waktu sebagai normatif (dalam analisis 3 (tiga) tahapan, individu,
keluarga, dan hubungan-hubungan)
c. Umur
3. Tingkatan Perkembangan mempunyai 2 elemen, yaitu komponen normative dan kejadian
transitional.
14
Berbagai Pemahaman Ringkas dari Teori Keluarga
1. Gambaran Perumpamaan Teori Struktural Fungsional Versus Teori Konflik Sosial.
Bentuk
Cenderung
Vertikal
Gap/disparitas
Tinggi
TEORI STRUKTURAL
FUNGSIONAL/SISTEM
 Aturan Norma Lama Sangat Kuat
 Ada Pemaksaan Norma-Aturan
 Ada Aturan Kelas—Power
 Ada Strata Sosial /Gender dsb
 Norma Konservatif
Aliran Konflik
Sosial cenderung
merobohkan
Struktur Vertikal
Bentuk
Cenderung
Horisontal
Gap/disparitas
Rendah
TEORI KONFLIK SOSIAL
 Aturan Norma Baru
 Norma Lama Dirobohkan
 Fokus pada Individual-Self Interest
 Ada Kesetaraan dan Keadilan Sosial
/Gender dsb
 Norma Modern
Gambar 4.3. Perumpamaan teori struktural fungsional versus teori konflik sosial.
2. Menurut perspektif Teori konflik sosial, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam
keluarga. Peran yang dilembagakan oleh institusi keluarga, menurut persepsi konflik
sosial telah menciptakan pola relasi yang opresif. Menurut teori ini, situasi konflik dalam
kehidupan sosial tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsional, tetapi
bahkan dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses sosial. Adanya konflik
bersumber dari struktur dan fungsi keluarga itu sendiri. Seorang suami dengan
kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya
yang mempunyai kedudukan ibu rumahtangga.
3. Teori sosial konflik menawarkan keluarga sebagai wahana alternatif efektif untuk
pengembangan sumberdaya manusia tanpa resiko penolakan dan tantangan. Pendukung
teori dan ideologi konflik justru menganggap keluarga sebagai sumber malapetaka,
kesengsaraan dan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
4. Contoh perbedaan praksis/ aplikasi Teori Struktural-Fungsional dan Sosial-Konflik dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat.
15
Tabel 4.1. Contoh perbedaan pendekatan praksis/aplikasi teori struktural-fungsional dan
sosial-konflik dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Kasus/ Masalah Keluarga
Penyimpangan perilaku
(deviance)
Pendekatan Teori Struktural
Fungsional/ Sistem
Dianggap sebagai penyakit
masyarakat yang harus diluruskan
sesuai dengan norma-norma lama
yang dianut bergenerasi.
Perilaku free sex
Harus dikawinkan (siap tidak siap,
suka tidak suka), dihukum secara
adat.
Hubungan gay dan lesbian
Dianggap sebagai penyakit
masyarakat yang harus diluruskan
(disembuhkan secara spiritual/
psikologis).
Kasus perceraian
Sebisa mungkin dihindarkan;
Salah satu agama tidak
memperbolehkan bercerai seumur
hidup
Tidak diperboleh;
Ada aturan yang sangat ketat
Perkawinan antar agama
Peran gender
Didasarkan sistem patriarki;
keluarga adalah sangat penting;
ada kemapanan sistem.
Pendekatan Teori Konflik Sosial
Dianggap sebagai dinamika
masyarakat yang normal, dan
harus diwadahi sesuai dengan
dinamika masyarakat sebagai
norma yang baru
Boleh saja living
together/cohabitation, sebagai
norma yang baru muncul; tidak
harus menikah kalau belum siap
Dianggap sebagai dinamika
masyarakat yang normal, dan
harus diwadahi (harus ada
perkawinan gay & lesbian); harus
ada hukum baru
Cerai merupakan gejala normal
dalam masyarakat, buat apa
dipertahankan.
Diperbolehkan, agama sendirisendiri antara suami dan istri atau
kesepakatan bersama memilih
salah satu agama.
Didasarkan kesetaraan/egaliter dan
keadilan; keluarga tidak penting
bahkan anti keluarga; anti
kemapanan
16
Download