bab ipendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini upaya untuk mendialogkan agama dan kebudayaan lokal telah
menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakan. Pengkajian studi agama maupun
budaya pada tataran akademis sering diarahkan untuk menggali agama dan
kebudayaan-kebudayaan lokal yang belum tersentuh atau juga telah teralienasi
sebagai akibat dari proses modernisasi untuk disinergikan dengan pengetahuan
modern yang telah meresapi kehidupan manusia modern. Banyak pendekatan
akademis dipilih dan digunakan dalam mewacanakan dan mendialogkan fenomena
tersebut. Meskipun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut ternyata tidak
mudah untuk dilaksanakan dalam tataran praktis. Faktor pengkultusan masyarakat
dan stakeholder agama terhadap agama-agama besar sebagai yang paling sahih
yang dapat menuntun orang kepada kebaikan, kebajikan dan keselamatan menjadi
tantangan tersendiri bagi pendekatan tersebut. Di lain sisi, resistensi yang dilakukan
oleh mereka yang terlindas dan tertindas oleh agama-agama besar menjadi faktor
lain yang mesti dicermati, diakomodasi dan tidak diabaikan begitu saja oleh semua
pihak.
Di Indonesia, proses mendialogkan agama dan kebudayaan telah mendapat
sedikit titik pencerahan di era reformasi. Dalam konteks berbangsa dan bernegara,
era Orde Baru menjadi era kegelapan bagi perkembangan agama dan kebudayaan
1
lokal.1 Dominasi agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu
telah mengisi ruang keberagamaan masyarakat Indonesia. Meskipun agama-agama
lokal yang disebut aliran-kepercayaan (dalam bahasa Orde Baru) hidup, tetapi
keberadaan mereka lebih dianggap secara politik sebagai ancaman bagi
pertumbuhan atau perkembangan agama-agama besar. Di sisi lain, aliran-aliran dan
kepercayaan lokal tersebut dianggap sebagai produk budaya primitif dan kafir masa
lampau yang layak untuk dialienasi bahkan dilenyapkan. Salah satu sistem
kepercayaan lokal yang teralienasi dalam ruang keberagaman di Indonesia adalah
kepercayaan lokal etnis Halmahera yang disebut Gikiri.
Gikiri adalah kepercayaan lokal etnis Halmahera yang berpusat pada
penyembahan kepada Gikiri Moi (Tuhan pencipta) dan roh-roh leluhur
(O
Gomanga). Kepercayaan tersebut pernah menjadi bagian identitas tunggal
keberagamaan lokal orang Halmahera termasuk orang Kao dimasa lampau jauh
sebelum kedatangan para penjajah Barat yang kemudian memperkenalkan, dan
mengkristenkan mereka. Setelah agama Kristen masuk dan mendominasi ruang
hidup mereka, identitas keberagamaan lokal ini pun teralienasi dalam konteksnya
sendiri. Bahkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya pasca
pengkristenan oleh Zending sampai kepada era Orde Baru, kepercayaan tersebut
mengalami fase-fase sulit tertindas baik oleh Kekristenan dan juga pemerintah yang
berkuasa pada waktu itu. Agama Kristen (yang terwakilkan pada Gereja Masehi
Injili Halmahera/GMIH) pada masa – masa tersebut gencar melakukan upaya1
Bagi penulis, era Orde Baru dapat dianggap sebagai metafora era pengejewantahan “kegelapan”
modern atas agama seperti yang terjadi di masa zending (penjajahan bangsa Barat di Indonesia)
ketika menjadikan Kekristenan sebagai agama besar penjajah pada masa itu, mengkristenkan
komunitas-komunitas lokal di masa itu, serta mengkonstruksi opini tentang kepercayaan lokal
sebagai berhala yang harus dilenyapkan dan diganti oleh Injil Kristen yang menghidupkan.
2
upaya konversi “utuh” bagi penganut kepercayaan tersebut yang masih tersisa,
kemudian melakukan eradikasi terhadap semua bentuk simbol-simbol yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut serta menyatakan kepercayaan tersebut
sebagai berhala dan kafir. Ketiadaan sikap dan polise yang jelas dari pemerintah
terhadap keberadaan kepercayaan lokal, keberpihakan terhadap agama – agama
besar turut memberi andil bagi kerapuhan Gikiri sebagai yang inferior, secara
institusi tidak lagi memiliki bentuk, dan dianggap musnah. Kemudian yang tersisa
hanyalah rekaman-rekaman memori dan kesadaran kepercayaan yang terus hidup
dalam diri individu-individu orang Halmahera yang terus mempraktekkan
kepercayaan tersebut, kemudian diturun alihkan bagi anak cucu mereka.
Wacana tentang kepercayaan Gikiri dalam konteks etnis Halmahera tersebut
diatas mungkin dapat dianggap sebagai hal yang sederhana, apabila melihat Gikiri
hanya sebagai aliran kepercayaan yang dulu dianut oleh para tetua dan leluhur
orang Halmahera, dan kepercayaan tersebut telah selesai karena mayoritas etnis
tersebut telah berkonversi menjadi pengikut Kristen Protestan, telah meninggalkan
kepercayaan pribumi mereka sebagai syarat konversi menjadi seorang Kristen
Protestan. Namun, bila mengkaji lebih jauh dalam kehidupan etnis Halmahera,
khususnya sejak konflik sosial yang terjadi pada tahun 1999, Gikiri menjadi
fenomena menarik yang muncul tidak saja di permukaan tetapi menjadi cultural
performance dan cultural ideational2 yang menegaskan identitas etnis Halmahera
secara umum dan komunitas Kao secara khusus.
2
Ideational culture adalah konsep yang digunakan oleh Niels Mulder untuk menjelaskan tentang
gagasan seperti ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan (lihat Mulder Niels, Ruang Batin
Masyarakat Indonesia, terjemahan Wisnu Wardhana, Jogjakarta: LKiS 2001, hal. 141).
3
Komunitas Kao adalah komunitas lokal dari etnis Halmahera yang hidup di
kabupaten Halmahera Utara, propinsi Maluku Utara yang beribu kota di Sofifi.
Sejak di tetapkan sebagai Propinsi baru yang dimekarkan pada tahun 2003, propinsi
Maluku Utara awalnya beribu kota di Ternate sebagai ikon sejarah dari wilayah
Maluku. Namun, pada tahun 2010 status ibu kota propinsi dialihkan ke wilayah
Sofifi. Wilayah Kao merupakan wilayah pinggiran yang selalu didominasi oleh
kekuatan hegemonik lokal, sehingga otonomi daerah dan pemekaran propinsi baru
Maluku Utara berdampak pada penciptaan wilayah Kao sebagai proyeksi dari
politik ekonomi yang bernuansa elit tetapi tidak mengakomodir kepentingan
masyarakat pribumi Kao yang masih berkutat dengan isu ketertinggalan-nya.
Perwujudan dari politik ekonomi dimulai ketika wilayah Kao dibuka bagi operasi
pertambangan emas yang dikelola oleh perusahaan berbendera Australia, yaitu PT.
Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM). Alih-alih menyatakan bahwa operasi PT.
NHM di teluk Kao secara tidak langsung menghidupkan ketegangan antara orang
Kao dan orang Makian-Malifut dalam memperjuangkan kepentingannya di sekitar
wilayah tambang. Beroperasinya perusahaan tambang emas Nusa Halmahera
Minerals (PT. NHM) yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh perusahaan
Australia
tidak
sepenuhnya
memberikan
dampak
yang
signifikan
bagi
perkembangan masyarakat setempat. Isu-isu sosial-ekonomi mengkristal antara
orang Kao dan Malifut ketika beroperasinya PT. NHM yang dimulai dengan
penerimaan pegawai/pekerja tambang yang lebih mengutamakan orang luar atau
non-Kao, bahkan orang Malifut mendapat porsi yang jauh lebih besar daripada
orang Kao sebagai native people telah menimbulkan kecemburuan sosial yang
4
menegangkan hubungan dari kedua etnis tersebut. Stereotype Kao sebagai “lazy
native” atau Makian sebagai “etnik yang agresif” menjadi pemahaman yang
artifisial untuk menggambarkan siapa itu orang Kao dan siapa itu orang Malifut ke
dalam binari kultural untuk mengenal satu sama lain. Karena orang Makian terkenal
rajin dan ulet bekerja, mereka lebih maju baik dalam hal pendidikan hingga
pertanian, bahkan etnis Makian mampu menembus birokrasi kepemimpinan di
tingkat propinsi. Orang Makian yang tinggal di wilayah Malifut memang lebih
maju dibandingkan orang Kao dalam berbagai aspek khususnya sosial dan
ekonomi.
Konflik di antara kedua wilayah kultural ini meruncing ketika orang
Malifut berjuang untuk menjadikan wilayah Malifut sebagai kecamatan yang
independen dan terpisah dari kecamatan Kao. Perjuangan orang Malifut kemudian
mendapat respons yang positif dari pemerintah baik pusat maupun daerah dengan
menetapkan Malifut sebagai wilayah kecamatan yang terdiri dari kurang lebih 27
desa, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 1999. Keputusan
pemerintah tersebut mendapat penolakan dari orang Kao, khususnya orang-orang
Kao yang mendiami desa Gayok, Wangeotak, Sosol, Balisosan dan Tabobo yang
menolak berintegrasi dengan orang Makian-Malifut dengan menegaskan identitas
kulturalnya sebagai orang Kao. Wilayah dari lima desa tersebut merupakan wilayah
operasi pertambangan PT. NHM yang juga merupakan wilayah adat dari soa Pagu.
Aksi penolakan 5 desa soa Pagu kemudian memicu terjadinya penyerangan orangorang Malifut ke lima desa Kao-Pagu yang memaksa mereka mengungsi ke
wilayah kecamatan Kao. Fluktuasi konflik kian memanas ketika orang Kao balas
5
menyerang orang Malifut yang memaksa orang-orang Malifut terusir dari wilayah
tersebut. Konflik antara orang Kao versus orang Makian-Malifut yang menjadi
eskalasi awal dari konflik di Maluku Utara tersebut yang menelan korban sekitar
2.800 jiwa serta korban material lainnya ternyata bukan hanya meninggalkan
trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya tetapi sekaligus juga telah
membawa perubahan yang signifikan terhadap pola relasi sosial dan keberagamaan
masyarakat Halmahera secara umum dan masyarakat Kao khususnya .3
Momentum konflik pada waktu itu sepertinya menjadi konteks yang tepat
bagi orang Kao untuk menghidupkan kembali kepercayaan pribumi, tradisi ataupun
ritual-ritual perang yang setelah beberapa abad pasca pengkristenan telah
ditinggalkan. Kebangkitan kepercayaan pribumi dimulai ketika orang Kao
khususnya para laki-laki yang tergabung dalam pasukan perang Kao yang hendak
turun ke medan perang terlebih dahulu melakukan ritual perang dengan penggunaan
mantra, magic, ataupun mandi kebal baik terhadap diri mereka maupun senjata dan
peralatan perang lainnya, untuk menjadi lebih kuat, sekaligus kebal terhadap
berbagai serangan musuh. Praktik ini kemudian menandai kebangkitan dari agama
pribumi orang Kao yang telah dihapus oleh badan Zending di era pemberitaan Injil,
sehingga pencerabutan komunitas Kristen Protestan Kao maupun Halmahera Utara
pada umumnya dari identitas lokal mengindikasikan adanya kemandekan dalam
mendialogkan agama dengan kebudayaan pribumi dengan tujuan menjaga
eksklusivitas dari agama baru. Kembali-nya kepercayaan pribumi tersebut menjadi
3
Gerry van Klinken, Communal Violance and Democratization in Indonesia, New York: Routledge
2007, p.107. lihat juga: Yayasan Sagu, Kerusuhan Halmahera, www.yayasansagu.com download on
September 2010.
6
suatu wacana kontroversial yang mencuat ke permukaan dalam konteks
keberagamaan etnis Halmahera masa kini menjadi menarik untuk dikaji.
Berdasarkan realitas di atas maka studi ini akan mengkaji mengenai
permasalahan kontestasi identitas kultural orang Kao, antara kepercayaan lokal
(Gikiri) versus Kekristenan mereka. Menjadi orang Kao dalam komunitas Kristen
Protestan adalah suatu identitas yang kompleks sekaligus terbelah dalam dikotomi
Protestantisme vs agama pribumi orang Kao. Era konflik di tahun 1999 menjadi
suatu masa dimana pewacanaan identitas kultural dan keagamaan lokal mencuat ke
permukaan dengan logika bahwa identitas lokal pribumi seharusnya mendapat
tempat dalam kebudayaan Kristen yang muncul kemudian, menjadi bagian yang
seharusnya menyatu dan mengutuh dalam memahami diri sebagai individu maupun
komunitas masyarakat Kristen Protestan di Kao dan bukan sebaliknya. Ketidakmampuan maupun pengabaian dalam mendialogkan kedua identitas tersebut
berdampak pada pembentukan satu identitas yang lebih dominan dan identitas lain
yang menjadi subordinan. Kondisi status quo dalam menjaga identitas dominan dan
subordinan turut didukung oleh peranan institusi keagamaan yang mengutamakan
identitas Kristen Protestan. Secara langsung hal ini berdampak pada pembentukan
kesadaran tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang Kristen,4 dimana
pertanyaan tentang identitas keagamaan bagi orang Kao dapat diasumsikan sebagai
bagian dari suatu kondisi manusia yang di dalamnya memuat elemen-elemen dari
kontinuitas (keberlanjutan), integrasi, identifikasi dan differensiasi. Perbedaan
konteks dahulu dan sekarang memunculkan perdebatan diskursif tentang identitas
4
Warner & Witner dalam Nancy T Ammerman, A Handbook of the Sociology of Religion edited by
Michelle Dillon, New York: Cambridge University Press 2003, p. 217.
7
yang dinamis, khususnya ketika komunitas Kristen Protestan Kao berada dalam
ancaman identitas orang luar, maka penegasan identitas tentang keberadaan mereka
sebagai orang Kao digali dan ditampilkan ke permukaan.
Untuk itulah pendikotomian terhadap identitas lokal vs Kekristenan yang
hidup dalam masyarakat Kao merupakan bentuk kegagalan dalam memainkan
dinamika dari suatu identitas. Bentuk-bentuk eliminasi atau pro-kontra seputar
identitas dan kebudayaan lokal orang Kao yang tidak terjembatani hingga kini
melahirkan berbagai praktik homogenisasi dengan pengabaian terhadap pluralitas
dan produksi makna simbol-simbol identitas serta pendangkalan terhadap identitas
dari suatu komunitas itu sendiri. Proses pendeskripsian tentang arti Kao yang
tersegmentasi dalam episode-episode penting yang memberi makna bagi
masyarakat Kao maupun perubahan dan perkembangan wilayah tersebut yang
tercover dalam bingkai kabupaten Halmahera Utara menjadi penting untuk dikaji.
Pertama adalah episode konflik etnik yang terjadi di wilayah Kao antara orang Kao
versus orang Makian-Malifut yang dipicu oleh perebutan wilayah antara orang Kao
sebagai inlander dan orang Malifut sebagai pendatang. Kedua, era pasca konflik
merupakan masa pergulatan dalam usaha merekonstruksi identitas kultural
keagamaan orang Kao antara identitas keagamaan yang bersifat institusional
Kristen Protestan pada satu sisi dan praktik keagamaan sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat Kao yang tetap bertalian erat dengan identitas kultural agama pribumi
orang Kao yang berpusat pada Gikiri atau roh-roh.
Wacana keagamaan khususnya indigenous religion merupakan wacana yang
menjadi salah satu fokus kajian dalam Studi Agama Lintas Budaya yang menarik
8
untuk dikaji, sebagaimana yang terjadi dalam komunitas masyarakat Kristen
Protestant di Kao yang mempertentangkan antara Kristianitas versus indigenous
religion karena praktik keagamaan yang dipresentasikan dalam komunitas
masyarakat tersebut mengalami pengkotakan, dikotomi dan kategorisasi antara
agama-agama dunia dan agama lokal. Dalam pengkotakan tersebut menyebabkan
praktek-praktek keagamaan yang bersifat lokal atau indigenous religion seperti
praktek kepercayaan Gikiri mengalami subordinasi, alienasi dan dimarginalkan
sebagai sesat ataupun kafir oleh agama-agama dunia. Ironisnya di dalam konteks
bernegara di Indonesia pun pemerintah menetapkan hanya enam agama yang
menjadi agama negara yang wajib dianut oleh setiap warga negara. Penetapan
tersebut berdampak pada pemarginalan terhadap praktek keagamaan lain yang tidak
memenuhi suatu standar keagamaan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi
legitimatif. Dalam menyikapi pemahaman-pemahaman keagamaan yang keliru dan
miris inilah maka peranan dari studi Agama dan Budaya lewat berbagai kajian
keagamaan sangat dibutuhkan untuk mengkonstruksi sekaligus merekonstruksi
pemahaman keagamaan yang baru yang lebih mampu merepresentasikan
pemahaman keagamaan yang bersifat menyeluruh, setara (equal) dan tidak
terdikotomik dalam berbagai kategorisasi dominan versus subordinan dalam praktik
keagamaan sebagaimana yang dipahami oleh pelaku dari suatu praktik keagamaan
tersebut.
9
B. Perumusan Masalah
Adanya wacana dan pro-kontra yang menguat tentang agama pribumi orang
Kao yang tidak terrepresentasi dalam konstruksi keagamaan formal dan
institusional seperti Kristen Protestan yang malah secara hegemonik mengabaikan
dan mengeliminir kepercayaan pribumi, sehingga ketika kepercayaan pribumi yang
masih tersisip dalam praktek sehari-hari mendapat momentum kemunculannya
dalam konflik sosial di Kao menjadi alur bagi fokus penelitian ini. Fokus utama
penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih jauh pertanyaan-pertanyaan pokok
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah komunitas orang Kao merumuskan kepercayaan dan praktik
kepada Gikiri?
2. Bagaimanakah kontestasi identitas Gikiri versus Kristen Protestan terjadi
dalam komunitas orang Kao?
C. Tujuan Penelitian
Perumusan terhadap permasalahan formasi identitas Gikiri vs Kristianitas di
atas, diharapkan untuk dapat memberikan gambaran yang memadai untuk
memahami identitas lokal orang Kao dalam keutuhan sebagai orang Kristen
sekaligus sebagai orang Kao yang berakar dalam kebudayaan Gikiri.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka studi ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan kepercayaan dan praktik Gikiri dalam kehidupan
komunitas orang Kao.
2. Menganalisis kontestasi identitas Gikiri versus Kristen Protestan yang
terjadi dalam komunitas orang Kao.
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah secara akademis memberikan kontribusi pikir
terhadap wacana kebangkitan kembali kepercayaan lokal Halmahera Gikiri dalam
komunitas Kristen Protestan Kao, yang sebelumnya diawali oleh permainan
negosiasi identitas di masa lalu yang kemudian memposisikan budaya dominan dan
subordinan. Kedua, untuk mengkritisi kondisi status quo budaya dominan
Kristianitas atas budaya lokal yang subordinan agar dapat dijembatani melalui suatu
kritik atau dekonstruksi terhadap hegemoni kultural yang menindas kesadaran
masyarakat melalui stabilitas dari status quo. Melalui kritik terhadap budaya
dominasi kultural diharapkan mampu berkontribusi bagi pemahaman beragama
yang lebih ramah terhadap kebudayaan lokal dalam hal ini agama pribumi agar
sebagai orang Kao, komunitas Kristen Protestan dapat menyatu dengan budaya
lokalnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya.
E. Tinjauan Pustaka
Referensi penelitian terhadap etnis Halmahera adalah penting untuk
diungkapkan sebagai rujukan untuk melihat signifikansi penelitian yang penulis
lakukan. Dari penelusuran penulis terhadap literatur-literatur baik Barat maupun
Indonesia menunjukan bahwa penelitian etnografik terhadap etnis Halmahera masih
belum banyak dilakukan. Penelitian tertua tentang Halmahera dilakukan oleh James
Haire antara tahun 1941 – 1979. Dalam bukunya berjudul Gereja di Halmahera,
Haire memperlihatkan signifikansi penelitiannya dalam menjelaskan historisitas
dan dinamika Gereja Masehi Injili Halmahera dan tantangan - tantangan dari agama
11
suku setempat. Dalam hasil penelitiannya tersebut, Haire menunjukkan tentang
keberadaan Gikiri sebagai kepercayaan pra-literer yang tidak setara dengan
Kekristenan. Meskipun demikian ia tetap menjadi tantangan GMIH terbesar disaat
itu karena penganutnya mayoritas adalah masyarakat tradisional yang juga akan
atau telah memeluk Kekristenan. Menurutnya Gikiri adalah kepercayaan lokal yang
mesti ditransformasi atau diterangi dari perspektif Kristen. Lebih lanjut ia melihat
perjumpaan Kristen dan Islam di Halmahera sebagai yang bersifat kompetitif untuk
mencari umat terbanyak (the politics of religious quantity). Ia melihat bahwa
mayoritas Kekristenan di Halmahera adalah masyarakat pinggiran dari kerajaan
Ternate yang hidup dan berupaya meresistensi bentuk-bentuk dominasi dari
kekuasaan kerajaan tersebut. Karena itu sering kali misi penginjilan yang dilakukan
oleh UZV sering dilindungi oleh elit-elit lokal seperti kapita-kapita perang dan
tokoh-tokoh masyarakat. Kekristenan pada saat itu dilihat sebagai kebudayaan baru
yang cenderung melindungi masyarakat lokal dari penindasan kekuasaan ternate.
Meskipun demikian, karena penelitiannya ini adalah penelitian etno – teologi maka
ia cenderung memandang kepercayaan lokal sebagai yang primitif, proses eradikasi
atau pencerabutan masyarakat lokal dari budayanya sebagai hal yang normal karena
masyarakat memang harus mengalami perubahan ketika bersentuhan dengan
modernitas yang lebih banyak terwakilkan dengan kekristenan di masa itu.
Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya menggunakan perspektif roman sejarah
untuk menjelaskan keberadaan etnis Halmahera khususnya orang Kao. Ini mungkin
adalah penelitian etnografik pertama langsung di wilayah Kao. Hasil penelitian
tersebut ia torehkan dalam bukunya Ikan-ikan Hiu Ido Homa, 1983. Dalam buku
12
tersebut ia memetaforakan hubungan Ternate - Halmahera sebagai Hiu (Ternate)
versus Ido (Kao). Menurutnya, dinamika politik lokal yang terjadi di Maluku Utara
pada masa itu telah menempatkan kerajaan Ternate sebagai pusat (center) melawan
orang Kao – Tobelo sebagai pinggiran (periphery). Ia Menempatkan orang-orang
Kao sebagai orang pinggiran dari kekuasaan Ternate yang selalu ditindas. Mereka
adalah orang-orang yang berasal dari Telaga Lina dan terdiri dari beberapa group
lokal. Menurutnya, komunitas Kao adalah para tukang kapal handal yang sering
dipekerjakan oleh kerajaan Ternate. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah
bajak laut yang buas yang mempercayai kekuatan O Dilikine sebagai roh perang
yang mampu menolong mereka.
A.B.Magany adalah teolog lokal Halmahera yang juga pernah melakukan
penelitian di wilayah Halmahera. Dalam bukunya, Bahtera Injil di Halmahera
(1984), Magany menjelaskan tentang sejarah masuk dan berkembangnya
Kekristenan di bumi Halmahera. Signifikansi penelitiannya ini berpusat pada
penjelasan sejarah Kekristenan yang dibawa oleh badan Utrecht Zending
Vereniging (UZV) ke Halmahera. Dalam penelitian tersebut, Magany juga
menunjukan keberadaan Gikiri sebagai kepercayaan lokal Halmahera pra zending.
Meskipun demikian, dia menganggap Gikiri sebagai kepercayaan kafir (dunia
gelap) yang memang harus diterangi oleh cahaya Injil.
Christopher Duncan, dalam disertasinya berjudul Ethnic identity, Christian
Conversion and Re-settlement among the Forest Tobelo of North Eastern
Halmahera tahun 1998 meneliti secara khusus masyarakat terasing suku Togutil
yang tinggal di tanjung Lili. Dalam penelitiannya, Duncan menemukan bahwa
13
proses re-settlement suku Togutil dari komunitas hutan ke dalam perkampungan
modern di Halmahera adalah bagian dari politik - ekonomi penguasaan tanah antara
pemerintah pusat dan elit-elit lokal untuk tujuan ekspansi perusahaan – perusahaan
kayu di daratan Halmahera. Re-settlement tersebut telah menyebabkan suku Togutil
kehilangan
habitat
mereka
sebagai
“Orang
Hutan”.
Duncan
kemudian
mendeskripsikan gerakan The New Tribe Mission Organization dari Amerika
sebagai gerakan penginjilan tetapi sekaligus gerakan konservasi suku Togutil, alam
dan habitatnya sebagai komunitas tradisional. Menurut Duncan, suku Togutil
kemudian berkonversi menjadi Kristen namun membedakan Kekristenan mereka
dari Kekristenan penduduk suku-suku pesisir yang dikonversi oleh badan UZV.
Salah satu pembedaan itu adalah suku Togutil tetap memelihara kepercayaan lokal
Gikiri meskipun telah menjadi Kristen dan menempati habitat baru sebagai bagian
dari komunitas suku-suku pesisir.
Berbeda dari Duncan, Farsijana Adeney Risakotta melakukan penelitian
etnografiknya di Ngidiho – Galela. Dalam disertasinya berjudul Politik, Ritual and
Identity in Indonesia: A Moluccan History of Religion and Social Conflict,
Farsijana memberikan aksentuasi terhadap peranan ritual di dalam masyarakat
sebagai powerful form of reciprocal negotiation dan reciprocal transaction of
exchange dimana beberapa pihak menggunakannya untuk mencapai persetujuan
sosial yang merepresentasikan kepentingan mereka. Lebih lanjut, ia juga
menjelaskan tentang keberadaan ritual sebagai yang tidak statis melainkan konstan
untuk menjelaskan kembali dinamika politik ekonomi masyarakat. Dalam
hubungan dengan posisi kebudayaan lokal maka Farsijana menemukan bahwa
14
ternyata dalam konteks beragama orang Halmahera Utara, penganut Islam adalah
lebih indigenous daripada saudara-saudara mereka yang Kristen. Karena di dalam
komunitas Islam lokal ternyata lebih mampu menjaga identitas kelokalannya
termasuk bagaimana mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Islam. Ini sangat
berbeda dari yang Kristen yang menganggap beberapa elemen lokal seperti sistem
kepercayaan ataupun simbol-simbol lain sebagai kafir. Meskipun penelitianpenelitian tersebut di atas telah menjelaskan tentang etnis Halmahera dan konteks
mereka namun penulis berasumsi bahwa
penelitian – penelitian itu adalah
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap etnis Halmahera dalam masa
pra konflik 1999, kecuali penelitian yang dilakukan oleh Rissakotta yang dalam
masa melakukan penelitian di wilayah Galela, dalam tempo tersebut pula terjadi
konflik ethnis yang awalnya terjadi di wilayah Kao hingga menyebar ke Galela
dengan isu yang berbeda. Namun penelitian sebelumnya belum memperlihatkan
secara rinci bagaimana dikotomisasi dan kontestasi antara Gikiri dan Protestantisme
yang terjadi dalam masyarakat Kao dan mencapai eskalasi tertingginya selama
konflik di Halmahera. Dalam kenyataan, fase konflik sosial telah memainkan
peranan penting terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan etnis Halmahera.
Momentum konflik ternyata telah menjadi ranah baru bagi perjumpaan dan
konstruksi relasi antara Kekristenan dan kepercayaan lokal (Gikiri) setempat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses kontestasi yang terjadi antara
Gikiri dan Kekristenan di Kao selama konflik berlangsung dan masa sesudah itu.
15
F. Kerangka Teoritik
Untuk mengkaji penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori seperti
habitus dan ranah dari Pierre Bourdieu dan identitas dari Bethan Benwell and
Elizabeth Stokoe sebagai frame untuk menganalisis objek penelitian.
f.1. Habitus dan Ranah
Habitus dan ranah merupakan dua komposisi dasar dalam pemikiran
Bourdieu. Ia membicarakan keduanya dalam keterkaitan satu sama lain. Habitus
merupakan suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah dan
menjadi basis dari suatu struktur subjektif. Ia selalu menjadi sumber penggerak
dari tindakan, pemikiran, dan representasi untuk terjadinya perubahan stuktur.
Bagi Bourdieu, Habitus adalah:
“system of durable, transposable dispotition, structured structures
predisposed to function as structuring structures, that is, as principles
which generate and organize practices and representations that can be
objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious
aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order
to attain them. Objectively, regulated and regular without being in any
way the product of obedience to rules, they can be collectively
orchestrated without being the product of the organizing action of a
conductor”.5
Dari pendefinisian di atas, habitus dapat diasumsikan sebagai proses internalisasi
struktur-struktur objektif dari lingkungan sosial ke dalam diri individu dan menjadi
sarana bagaimana individu bersosialisasi dengan realitas sosialnya. Habitus
terbentuk ke dalam diri individu melalui lingkungan atau realitas sosial, sehingga
habitus menjadi suatu keterampilan yang terbentuk karena hasil pembelajaran yang
5
Pierre Bourdieu, the Field of Cultural Production, US and UK, Columbia University press 1993, p.
5
16
dilakukan berulang, halus dan tidak disadari sehingga habitus tampil sebagai
sesuatu yang alamiah.6 Habitus menjadi dasar terbentuknya struktur subjektif,
tindakan praktik maupun representasi dari agensi. Hasil dari habitus adalah
sekumpulan sistem disposisi yang tahan lama dan dapat diwariskan, sekumpulan
struktur yang dibentuk yang kemudian dapat berfungsi sebagai struktur-struktur
yang membentuk (pengandaian stuktur yang berubah sangat dititikberatkan).
Habitus kemudian menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup,
serta stuktur-sturuktur namun tanpa harus menjadi buah dari berbagai kepatuhan
akan berbagai aturan dari stuktur-stuktur tersebut. Habitus adalah hasil ketrampilan
yang kemudian menjadi tindakan praktis yang diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang terlihat alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu. Pada proses perolehan tersebut struktur-stuktur yang dibentuk berubah
menjadi stuktur-stuktur yang membentuk.
Sedangkan ranah (field/champ) adalah jaringan relasi posisi-posisi objektif
yang mengisi ruang sosial. Ranah merupakan kondisi di dalam masyarakat yang
terstruktur dan digerakkan oleh berbagai kekuatan sehingga dapat berelasi
membentuk sistem ranah yang lebih besar. Di dalam ruang sosial terdapat berbagai
ranah sebagai tempat terjalinnya hubungan-hubungan sosial sekaligus sebagai
ruang perebutan posisi dan modal. Modal yang dalam pemahaman Bourdieu tidak
hanya terbatas pada modal ekonomi, tetapi juga sosial, kultural dan politik. Melalui
sistem ranah dan habitus melahirkan dua posisi di masyarakat yaitu dominan dan
subordinan sebagai hal yang lumrah karena di dalamnya masing-masing berjuang
6
Richard Harker, Cheelen Mahar dkk, (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, diterjemahkan dari: An
Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, oleh: Pipit Maizier, Yogyakarta:
Jalasutra 2005, hal. xviii.
17
melalui berbagai strategi dan perjuangan simbolik untuk mendapatkan suatu posisi
dan modal. Ranah menjadi sangat menentukan terutama di dalam masyarakat yang
terdiferensiasi terutama terkait dengan politik menguasai dan dikuasai. Situasi,
sumber dan strategi pelaku menjadi penentu dan penanda dalam ranah.
Gerakan Protestantisme yang dianut oleh komunitas Kristen Halmahera
terepresentasi ke dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera. Sebagai agama institusi
GMIH membangun serta membentuk kerangka teologi dan ajaran-ajaran gereja
melalui seperangkat dogma yang menempatkan Kekristenan sebagai agama
kebenaran pada tataran konseptual. Dalam standardisasi kebenaran tersebut maka
tersusun pula sejumlah skema yang mengatur apa yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan, apa yang baik akan dibedakan dari yang buruk. Standardisasi dalam
dogma Protestantisme ala Zending UZV telah menjadi suatu tradisi habitus yang
menentukan hubungan antara gereja dan kepercayaan lokal.
Pemetaan hubungan di antara keduanya terbentuk dalam hubungan yang
bineri, Kekristenan sebagai kebenaran pada satu sisi, dan kepercayaan lokal sebagai
kafir telah membentuk penciptaan ranah dengan habitus masing-masing.
Kepercayaan lokal yang mengalami subordinasi dibawah superioritas budaya
Kristen, tidak dapat dipetakan hanya sebatas oposisi biner, karena di dalam ranah
yang tersusun dengan habitus yang bersifat transposable, maka tidak ada relasi
yang berjalan stagnan seperti dominan versus subordinan, melainkan di dalam
ranah, masing-masing agen baik Gikiri maupun Kekristenan selalu memiliki daya.
Karena itu, alienasi terhadap Gikiri tidak selalu berarti menghilangkan jejaknya dari
konteks kultural. Dalam ranah ia dapat kembali melakukan perlawanan dan
18
kebangkitan kembali, sebagaimana yang terjadi dalam komunitas Kristen Kao
selama konflik sosial. Karena itu ranah merupakan ruang kontestasi yang
mempertemukan berbagai agen, baik Gikiri, Kristianitas, maupun Negara dalam
permainan kepentingannya.
Komunitas Kao yang tengah mencoba untuk membangun bentuk-bentuk
representasi diri melalui kebudayaan lokal seperti menghadapi jalan buntu ketika
hendak memetakan posisi kebudayaan lokal di dalam Kristianitas sebagai agama
yang bersifat institusional. Hal ini terjadi karena pemahaman sekaligus praktik
keagamaan yang bersifat binari yang membenarkan suatu kepercayaan dan
“mengkafirkan yang lain” sehingga Kao menjadi suatu ranah pertaruhan kedua
identitas tersebut, khususnya pada masa konflik sosial yang terjadi di Halmahera,
khususnya di Kao. Konflik pada tahun 1999 menjadi suatu ranah pertaruhan bagi
kedua identitas yang tampil ke permukaan. Kekuatan Gikiri muncul ke permukaan
selama konflik melalui agen-agennya yang tetap mempertahankan kebudayaan
Gikiri di tengah-tengah tekanan maupun dominasi Kekristenan.
Kontestasi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan fenomena
identitas yang terdikotomik ke dalam hubungan dominan - subordinan, di masa
konflik hubungan dikotomik tersebut muncul ke permukaan tidak dalam
pemahaman sebelumnya dimana Gikiri berada sebagai identitas subordinan,
melainkan menjadi kekuatan perlawanan yang diandalkan oleh orang Kao untuk
menegaskan identitas dirinya sebagai “the people of the land”. Selama konflik,
bahkan sesudahnya Gikiri hadir sebagai kekuatan yang mencari persamaannya di
dalam dan dengan Kekristenan yang dilakukan oleh agen-agen yang menjaga
19
kebudayaan Gikiri. Kontestasi juga dipakai untuk melihat bahwa kemunculan dari
kepercayaan Gikiri di masa konflik terjadi karena ia memiliki kekuatan yang
ditawarkan kepada orang Kao dalam menyelesaikan krisis, sehingga dapat
membalikkan posisinya yang subordinan terhadap kebudayaan Kristen menjadi
setara.
f.2. Identitas
Identitas lokal merupakan identitas sosial yang melekat pada suatu
kelompok untuk mengidentifikasi diri dan membedakannya dari kelompok lain.
Menurut Bethan Benwell dan Elizabeth Stokoe, identitas sosial adalah hasil
konstruksi yang terbentuk dengan melakukan subjektifikasi diri dalam berbagai
persamaan sebagai identifikasi in-group dan melakukan pembedaan dengan
kelompok lain sebagai out-group.7 Identitas kelompok akan selalu
bergerak
dinamis mengikuti perubahan konteks yang terjadi dalam suatu komunitas,
sehingga pendefinisian terhadap suatu identitas tidak hanya dapat dikategorikan
sebagai identitas yang terberi dan statik. Ketika muncul ke permukaan, identitas
menjadi suatu pertunjukan pada ranah diskursus sebagai bagian dari representasi.
Teks menjadi bagian penting dalam merepresentasikan identitas dan realitas sosial
kelompok.
Identitas Gikiri sebagai bagian dari identitas lokal yang mengalami
“kebangkitan kembali” mulai mencapai bentuk-bentuk representasi ke dalam
pewacanaan baik selama dan sesudah konflik sebagai usaha mendefinisi dan
7
Bethan Benwell and Elizabeth Stokoe, The Discourse and Identity, Edinburg: Edinburg University
press 2006, p. 25-26
20
mendeterminasi diri (self-determination) secara sosial ke dalam struktur-struktur
pengetahuan lokal yang dapat ditampilkan ke publik. Gikiri ketika menjadi
diskursus maka ia berada dalam konstruksi-konstruksi pengetahuan dan relasi kuasa
dari budaya-budaya dominan seperti Kekristenan yang merupakan agama institusi
yang menempatkan Gikiri sebagai subordinan. Kekristenan memformulasikan
bentuk identitas yang berlaku singular dan homogen dengan melakukan penolakan
terhadap bentuk-bentuk kepercayaan lokal di masyarakat, sehingga membentuk
social boundary antara dirinya sebagai budaya dominan dan Gikiri sebagai budaya
subordinan menjadi tajam. Padahal melalui Gikiri orang Kao dapat melakukan
identifikasi sosial antara in group dan out group serta memproduksi identitas sosial
lebih sebagai rumusan yang dapat dimaknai pada level praktek sosial, percakapan
maupun diskursus. Gikiri pada tahap awal terbentuk sebagai identitas terberi, tetapi
dalam ranah konflik yang berimplikasi pada terjadinya perubahan-perubahan sosial
di masyarakat, berimplikasi pada meluasnya pemahaman kultural terhadap identitas
orang Kao yang tidak lagi membatasi pemahaman lokalitas secara eksklusif tetapi
mampu menerapkan pemahaman Gikiri pada konteks yang plural dan terbuka
terhadap perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Gikiri ketika di
padankan dalam setiap konteks komunitasnya, maka ia akan selalu ada dalam
bentukan reproduksi kultural, resistensi, fragmentasi maupun pencairan identitas
yang terbuka terhadap unsur-unsur lain dari luar kebudayaan asli.
Diskursus tentang identitas lokal orang Kao merupakan permasalahan yang
urgen dalam ruang perubahan sosial
yang membutuhkan adanya reproduksi-
reproduksi kebudayaan baru dan sekaligus memberi makna bagi identitas lokal
21
tentang Kao dan bagaimana komunitas masyarakat Kristen Protestan Kao tidak
menjadi bingung dengan identitas keagamaan yang ambigu serta pro dan kontra.
Representasi kebudayaan lokal hanya dapat terjadi ketika adanya negosiasi identitas
agama Kristen Protestan sebagai agama insitusional dan bersifat global dengan
local religion yang selama ini tersegmentasi dalam oposisi biner. Padahal
masyarakat Kao yang umumnya adalah Kristen Protestan seharusnya mendapatkan
suatu formula dalam menempatkan sekaligus memaknai kehidupan beragamanya
dalam pemahaman kesatuan sekaligus keutuhan karena pada satu sisi mereka
adalah orang Kristen, dan di sisi lain mereka juga adalah orang Kao yang memiliki
identitas lokal dan kepercayaan lokal yang telah menjadi bagian dari praktek hidup
sehari-hari.
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka di dalam wacana tentang Gikiri
memunculkan besarnya peranan dari habitus dalam membangun konsep identitas.
Habitus dipahami sebagai proses pembelajaran berulang yang dilakukan oleh
individu sehingga dari proses pembelajaran dari luar membentuk kesadaran
struktur-struktur subjektif individu maupun kolektif dalam membangun persepsi
diri dan kelompok sosial. Proses mengkonstruksi identitas komunal merupakan
suatu habitus yang dilakukan dan dipelajari secara berulang oleh individu dalam
menginternalisasi pengetahuan kognitif
dari luar ke dalam dirinya yang
memungkinkan terjadinya pengenalan dan penyerapan individu ke dalam suatu
kelompok sosial serta membangun skema-skema persamaan (similarities) dalam
kelompok dan pembedaan diri dari kelompok lain. Maka diskursus identitas
merupakan proses pembentukan yang dilakukan berulang, dan bukan menjadi suatu
22
pengetahuan terberi yang stagnan. Di dalam proses pembentukan identitas terjadi
proses konstruksi, negosiasi bahkan kontestasi dalam memproduksi sekaligus
mereproduksi suatu identitas.
G. Metodologi Penelitian
g.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis di lapangan adalah kualitatif
dengan pendekatan ethnografik, metode ini mencoba untuk melakukan eksplorasi
informasi dari berbagai pihak khususnya key person yang kehidupan mereka secara
langsung berperan penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan terlibat dalam
beberapa aspek historis penting yang berhubungan dengan tema penelitian ini.
Penelitian
Kualitatif
(Qualitative
Research)
selalu
berhubungan
dengan
pengalaman hidup(life experience) maupun pengalaman yang dihidupi dari suatu
komunitas masyarakat. Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa “Qualitative
research is a field of inquiry in its own right”.8 Penelitian kualitatif lebih
mengutamakan
bagaimana
peneliti
terlibat
langsung
dengan
kehidupan
masyarakat/komunitas yang ditelitinya. Hanya dengan dan melalui keterlibatan
langsung maka ia dapat mengenal masyarakat itu dan mampu menarasikan
masyarakat tersebut sebagaimana mereka adanya.
Pendekatan ethnography memberikan suatu acuan untuk melakukan kajian
yang mendalam terhadap suatu objek penelitian. Pengamatan atau observasi
menjadi suatu tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dilapangan
8
Denzin and Lincoln, Qualitative Research, California: Sage Publications 2005, p. 2.
23
dengan mengamati, membangun komunikasi maupun interaksi aktif dengan
komunitas sosial memungkinkan adanya pengetahuan maupun pemahaman peneliti
tentang lokalitas kultural masyarakat tersebut. Selanjutnya, dari pengetahuan yang
didapat, peneliti diharapkan mampu untuk mendeskripsikan suatu pengetahuan
maupun kebudayaan lokal masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri.
Studi ethnography menyibak suatu pemahaman dalam teori pengetahuan untuk
menyingkirkan suatu standardisasi nilai objektif yang selalu berkiblat pada ilmuilmu positif yang akhirnya mengeliminasi realitas kehidupan manusia yang plural
dan terfokus pada kebudayaan Barat. Dengan mengangkat realitas lokal dalam
perspektif dan pemahaman lokalitas masyarakat, maka realitas masyarakat yang
dianggap pinggiran (the other) diposisikan kembali sebagai “the self”.
g.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara
Propinsi Maluku Utara. metode yang dipakai dalam melakukan penelitian lapangan
adalah wawancara (indepth interview), observasi dan studi dokument. Wawancara
dilakukan dengan beberapa informan kunci (key person) seperti, Jiko Makolano
Kuabang, para sangaji Kao yaitu sangaji Tiwiliko, Boeng, Pagu dan Modole, guru
injil, maupun beberapa elit lokal seperti Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo,
ketua Komisi III DPRD Halmahera Utara bidang Kebudayaan dan Pariwisata,
Camat Kao, Ketua Sinode GMIH dan beberapa pendeta lainnya, dosen theologi
Universitas Halmahera seperti Julianus Mojau, dan lain sebagainya.
24
Untuk mendapatkan berbagai informasi penting dalam penelitian ini,
penulis berusaha untuk membangun komunikasi maupun terlibat dalam berbagai
proses-proses sosial yang terjadi ketika penulis berada di daerah penelitian.
Pertama, di setiap bulan Desember khususnya sebelum masa perayaan natal pada
tanggal 24 Desember, orang Kao akan melayat dan membersihkan kuburan. Tradisi
ini biasanya dilakukan pada siang atau sore hari, kemudian setelah ibadah keluarga
pada pukul 00.00 saat peralihan hari ke tanggal 25 Desember yang tandai sebagai
hari natal, mereka akan kembali ke kuburan untuk menyalakan lilin lagi sebagai
tanda mengingat dan mengenang mereka yang telah meninggal. Praktik ini telah
berlangsung turun-temurun untuk menjaga harmonisasi dan kesatuan antara mereka
yang masih hidup dan sanak keluarganya yang telah meninggal. Membersihkan dan
menghiasi kuburan dengan pernak-pernik menjadi simbol bahwa kuburan tersebut
dijaga oleh keluarganya yang masih hidup dan secara sosial dimaknai sebagai tanda
kepedulian sekaligus komunikasi dari mereka yang masih hidup untuk tidak
melupakan leluhurnya. Dengan rasa peduli untuk terus menjaga kuburan dari sanak
keluarga yang telah meninggal menandakan bahwa jarak antara dunia kehidupan
dan kematian dapat dijembatani sekalipun orang yang telah meninggal itu tidak
kasat mata. Bila ada kuburan yang dibiarkan kotor dan tidak terurus, hal itu menjadi
tanda ketidak pedulian dari sanak keluarga yang masih hidup terhadap leluhurnya
dan biasanya mereka akan menuai “cibiran” dari orang lain. Kedua, di dalam
penyelenggaran sidang tahunan Majelis Sinode ke XVI (SMS) yang berlangsung di
Kao, penulis mengamati bahwa SMS sarat dengan berbagai muatan baik agama,
sosial maupun politik sesuai dengan peran-peran yang dimainkan oleh elit-elit lokal
25
untuk mepertaruhkan kepentingannya. Selain melakukan pengamatan terhadap
praktik-praktik tersebut, penulis juga mengumpulkan berbagai informasi tertulis,
dokumen-dokumen terkait konlfik tahun 1999 dan data-data lain yang berkaitan
dengan topik penelitian.
g.3. Metode Analisa Data
Analisis data yang penulis lakukan adalah dimulai dengan data collection,
setelah data dikumpulkan kemudian penulis akan melakukan data reduction,
selanjutnya data display, data verification, data presentation dan kesimpulan.
Pekerjaan analisis baru akan berakhir dengan data clarification setelah semua
proses telah dilakukan pengumpulan data, pengolahan data dan análisis data
dilakukan secara simultan selama proses penelitian dan kemudian dilakukan
penarikan kesimpulan. Data kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian akan
digunakan untuk menyempurnakan hasil penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bagian yang terdiri dari bab I
merupakan pengantar yang berisi tentang latar belakang yang menggambarkan
secara umum wacana atau permasalahan yang menjadi objek penelitian, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta
metodologi penelitian. Pada bab II berisi gambaran tentang lokasi penelitian
mencakup wilayah Halmahera Utara, Kao dan penduduknya, kemudian Kao dalam
historisitas dunia Maluku, Kao dan kebudayaan, Kao dan struktur adat, juga Kao
26
dan keagamaan Di dalam bab III akan membahas tentang Gikiri dan Kekristenan
dalam kontestasi identitas di Kao mencakup kepercayaan dan praktek kepada Gikiri
dan pengaruh kepercayaan Gikiri terhadap kehidupan orang Kao di masa pra
Kristen Protestan, di era Kekristenan maupun di era konflik sosial dan pasca
konflik sosial 1999. Pada Bab IV akan membahas tentang Gikiri dan Kekristenan
dalam sebuah analisis yang mencakup pewacanaan dikotomisasi Gikiri versus
Kekristenan, konflik sebagai ranah kontestasi yang mempertemukan Gikiri dan
Kekristenan dan juga Negara dalam ranah kontestasi untuk mencapai tujuan
menguasai. Pada bagian ini secara khusus memberi penekanan kepada skema relasi
trilogi ketiga agen di masa lalu dan bagaimana skema itu diperbaharui di masa kini
melalui sebuah ranah yang tidak pernah direncanakan sebelumnya dalam kehidupan
keberagamaan orang Kao. Pada bagian ini juga akan dijelaskan tentang Gikiri dan
Kekristenan dalam rekonstruksi identitas dan tantangan modernisasi di Kao. Bab V
menjadi bab penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi terhadap penelitian.
27
Download