Pengaruh Nutrisi dan Salinitas terhadap Produktivitas

advertisement
1
Pengaruh Nutrisi dan Salinitas terhadap
Produktivitas Lipida dari Botryococcus braunii
Elfrida Dina Febriana, Henry Mukti, dan Siti Zullaikah, ST. MT. PhD
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
E-mail: [email protected]
Mikroorganisme merupakan sumber penghasil minyak
paling solutif. Dari berbagai spesies mikroorganisme, penghasil
lipid terbanyak dipegang oleh Botryococcus braunii yaitu lipid
content mencapai 86% dry mass nya. Beberapa faktor yang diteliti
dalam penelitian ini yang mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi lipid dari Botryococcus braunii ini adalah pengaruh
jenis nutrisi dan salinitas.
Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut :
Bibit Botryococcus braunii yang diambil dari Laboratoium
BBBPAP Jepara dikultur dalam sebuah photobioreactor bersekat
dengan variabel konstan berupa suhu lingkungan ± 29 0C,
Intensitas cahaya ± 5000 lux, rasio gelap : terang 12 : 12, pH ± 7,
dan waktu pemanenan 7 hari. Variabel bebasnya nutrisi Walne,
dan salinitas menggunakan NaCl sebanyak 12 g/L (10,8 ppt), 15
g/L (14,55 ppt), 30 g/L (27,8 ppt) dan 45 g/L (40,1 ppt), air payau
(2,94 ppt) dan air laut (25,4 ppt). Selama masa kultur tersebut,
setiap periode 8 jam sekali dilakukan pengukuran konsentrasi sel
menggunakan spektrofotometer UV-VIS panjang gelombang 652
nm. Sesudah 7 hari pengulturan, dilakukan proses filtrasi, drying
dan ekstraksi dengan metode soxhlet menggunakan pelarut nhexane untuk mendapatkan senyawa trigliserida sebagai bahan
baku biodiesel yang diharapkan. Dan yang terakhir dilakukan
analisa GC-MS untuk mengetahui kandungan Trigliserida.
Kesimpulan yang didapat bahwa produktivitas lipid
paling tinggi didapat pada kondisi operasi intensitas cahaya ±
5000 lux, waktu prakultur lima hari, salinitas 25,4 ppt (air laut)
menggunakan nutrisi walne, waktu pengkulturan tujuh hari,
dengan lipid yang dihasilkan sebanyak 0,2223 gram
Kata kunci : Botryococcus braunii, Hidrokarbon, Biomassa,
Salinitas, Media Walne
Kesadaran
menipis
I. PENDAHULUAN
akan cadangan minyak bumi yang semakin
menyebabkan maraknya upaya – upaya
pengembangan di bidang energi alternatif terbarukan. Salah
satu energi alternatif terbarukan yang sudah dikembangkan di
Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel merupakan senyawa alkil
ester yang didapat dari proses transesterifikasi senyawa
hidrokarbon yang bisa didapat dari hewan atau tumbuhan.
Beberapa penelitian terbaru di berbagai negara [1]
menunjukkan bahwa mikroalga mempunyai potensi sebagai
bahan baku biodiesel lebih baik jika dibandingkan dengan
tumbuhan dikarenakan faktor harga bahan baku relatif lebih
murah (pada umumnya, 30% dari total biaya produksi biodiesel
adalah biaya bahan baku), optimalisasi luas lahan penanaman
dan waktu panen yang singkat [2].
Dari berbagai jenis spesies mikroalga, Botryococcus
braunii merupakan spesies mikroalga terbaik dalam hal
mensintesis berbagai senyawa hidrokarbon (lipida), yaitu antara
26% - 86% dari berat keringnya [3].
Baik pertumbuhan maupun produktivitas lipida
Botryococcus braunii dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut
yaitu : nutrisi [1], suhu [2], intensitas cahaya dan lama
pencahayaannya [3], salinitas [4], kandungan nitrogen di dalam
media tumbuhnya [5] dan pengaruh keberadaan organisme
kompetitor dalam kultur [6].
Upaya untuk meningkatkan produktivitas lipida dalam
mikroalga, dapat dilakukan dengan cara mengondisikan
mikroalga dalam keadaan stress (tekanan) tertentu [7]. Hal ini
disebabkan dalam keadaan stress tertentu, mikroalga
terstimulasi untuk mensintesis lipida lebih banyak dari keadaan
normalnya sebagai bentuk mekanisme mikroalga dalam
melakukan perlindungan diri dan adaptasi terhadap kondisi di
lingkungan tumbuhnya. Beberapa penelitian yang sudah
dilakukan menerapkan nitrogen starvation [8], intensitas
cahaya 10.000 lux [9], suhu penanaman di atas 300C [10] dan
lama pencahayaan 24 jam [28] sebagai bentuk stress (tekanan)
yang diberikan pada Botryococcus braunii.
Indonesia sendiri merupakan negara maritim dengan
wilayah perairannya seluas 5,8 juta km2 dan wilayah daratannya
seluas 1,9 juta km2 sehingga hampir 75 % wilayah Indonesia
berupa perairan. Dan luas perairan laut kedaulatannya adalah
3,1 juta km2 atau 54% dari wilayah perairan total Indonesia.
Dengan memanfaatkan potensi wilayah perairan laut Indonesia
tersebut, mikroalga Botryococcus braunii dapat menghasilkan
lipida yang lebih banyak dibandingkan dengan kelapa sawit dan
jarak yang sudah dikembangkan di Indonesia saat ini. Wilayah
perairan laut di Indonesia mempunyai salinitas yang sangat
beragam. Sehingga penting untuk mengetahui bagaimana
pengaruh salinitas yang beragam tersebut terhadap
karakteristik pertumbuhan maupun produktivitas lipida
Botryococcus braunii.
Di Indonesia sendiri sudah dikembangkan pembudidayaan
Botryococcus braunii namun hanya dalam skala laboratorium
yaitu di Laboratorium BBPBAP (Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau) Jepara. Di laboratorium BBPBAP Jepara
dibudidayakan Botryococcus braunii menggunakan jenis nutrisi
Walne. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai
bagaimana pengaruh penggunaan nutrisi Walne ini terhadap
karakteristik pertumbuhan maupun produktivitas lipida
Botryococcus braunii.
Oleh karena itu pada penelitian ini dipelajari pengaruh
jenis nutrisi dan salinitas terhadap karakteristik pertumbuhan
dan produksi lipid dalam tubuh Botryococcus braunii untuk
acuan pengembangan produksi biodiesel secara komersial dan
2
berkelanjutan dalam menanggulangi krisis energi yang sedang
terjadi.
II. URAIAN PENELITIAN
1. Tahap Pra – Kultur.
Tahap ini merupakan tahap pembibitan
2. Tahap Kultur.
Tahap kultur ini merupakan tahap penanaman. Media yang
digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah larutan
NaCl dengan konsentrasi 12 g/L, 15 g/L, 30 g/L, 45 g/L, air
laut dengan konsentrasi 25,4 ppt dan air payau dengan
konsentrasi 2,94 ppt.
Komposisi kultur adalah 200 ml bibit Botryococcus braunii
dan 800 ml media kultur. Pengulturan dilakukan dalam sebuah
kolam fotobioreaktor dengan pencahayaan menggunakan
cahaya neon 36 watt dengan intensitas cahaya sebesar 5000 lux
selama 12 jam per hari.
Kemudian melakukan pengukuran absorbansi untuk
memantau pertumbuhan Botryococcus braunii setiap 8 jam
menggunakan spektrofotometer UV – VIS.
3. Tahap Pemanenan dan Pengeringan.
Pada tahap ini, media kultur yang bercampur dengan
mikroalga Botryococcus braunii dipisahkan menggunakan
centrifuge dengan kecepatan putar 4000 rpm selama 20 menit
sampai didapat slurry Botryococcus braunii yang bebas dari
kandungan
garam.
Kemudian
proses
pengeringan
menggunakan oven pada suhu 1050C sampai diperoleh berat
konstan. Kemudian melakukan analisa biomassa menggunakan
metode gravimetri. Kemudian mikroalga dihaluskan sampai
menjadi serbuk mikroalga dan mengemasnya.
4. Tahap Ekstraksi
Ekstraksi bertujuan untuk mengambil senyawa hidrokarbon
dari biomassa mikroalga. Ekstraksi ini menggunakan metode
soxhlet dengan suhu 900C selama 4 jam dengan pelarut nhexane sebanyak 250 ml. Kemudian dilanjutkan proses destilasi
yang bertujuan untuk memisahkan solvent (n-hexane) dan
hidrokarbon yang terekstrak. Tahap destilasi ini dilakukan
selama 3 jam pada suhu 800C.
5. Tahap Analisa
Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga macam
yaitu analisa biomassa menggunakan metode gravimetri, analisa
lipid content merupakan rasio antara massa biomass kering
mikroalga terhadap massa lipida mikroalga, analisa
produktivitas lipida merupakan biomassa dikali lipid content
dan analisa GC-MS untuk megetahui komposisi lipida
Botryococcus braunii.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kurva Kalibrasi Absorbansi
Hubungan antara derajat absorbansi dengan konsentrasi
biomass dalam media kultur dapat diketahui dengan cara
membuat kurva kalibrasi berupa garis linear yang
menghubungkan antara absorbansi (OD) media kultur dengan
konsentrasi biomass (gram/liter) di dalamnya. Untuk membuat
kurva kalibrasi absorbansi ini dilakukan proses kalibrasi.
Sebuah kultur bibit Botryococcus braunii dengan konsentrasi
pekat (indikasi : warna kultur adalah hijau gelap) diencerkan
secara bertahap dengan menggunakan pengenceran 50% di
setiap tahapnya. Setiap kultur hasil dari tiap tahap pengenceran
kemudian diukur derajat absorbansinya dan dikeringkan sampai
didapatkan berat kering dari biomass di dalam kultur tersebut.
Dari proses kalibrasi ini didapat hubungan matematis antara
derajat absorbansi dengan konsentrasi biomass dalam media
kultur sesuai grafik berikut :
Grafik 4.1 Kurva Kalibrasi Absorbansi
Sehingga konsentrasi biomass dalam media kultur dapat
diketahui dari besaran absorbansinya dengan menggunakan
persamaan kurva kalibrasi absorbansi yaitu y = 0,649 x.
B. Produktivitas Lipida Botryococcus braunii
Besaran lain yang diamati dalam penelitian ini selain laju
pertumbuhan kultur Botryococcus braunii adalah produktivitas
lipida Botryococcus braunii pada berbagai kondisi salinitas.
Faktor lain yang berpengaruh selain intensitas cahaya dan
salinitas media adalah kondisi pra – kultur. Kondisi dan proses
yang diterapkan sebelum kultur juga mempengaruhi kondisi
mikroalga yang akan dikultur nantinya. Pada umumnya,
pemilihan kondisi pra – kultur yang digunakan didasarkan pada
kondisi paling optimum. Hal ini bertujuan agar bibit mikroalga
yang akan digunakan untuk dikultur merupakan bibit yang
dalam kondisi terbaiknya. Sehingga variabel yang dipilih
berkaitan dengan kondisi pra – kultur adalah lama waktu pra –
kultur.
Pemilihan lama waktu pra – kultur sebagai variabel yang
diamati adalah karena keterkaitannya dengan efisiensi waktu
untuk pengembangan proses produksi biodiesel dari lipida
mikroalga di kemudian hari. Sehingga dalam penelitian ini
diamati pengaruh lama waktu pra – kultur selain pengaruh
salinitas dan nutrisi, terhadap produktivitas lipida Botryococcus
braunii selama tujuh hari pengulturan dengan menggunakan
intensitas cahaya 5.000 lux. Berikut adalah hasil produktivitas
lipida yang didapat.
B.1 Pengaruh Waktu Pra – Kultur Pada Produktivitas Lipida
Kondisi pengulturan menggunakan intensitas cahaya 5.000
lux, lama pencahayaan 12 jam per hari, jenis kultur adalah
fototropik, waktu pengulturan tujuh hari, jenis nutrisi yang
digunakan adalah walne, jenis media adalah larutan NaCl
dengan salinitas dan waktu pra – kultur yang berbeda. Didapat
hasil sebagai berikut :
3
Grafik 4.2 : Produktivitas Lipida kultur selama tujuh
hari pengulturan dengan menggunakan intensitas
cahaya 5000 lux pada berbagai salinitas dan waktu
kultur yang berbeda.
Grafik 4.4 : Perbandingan Biomass Weight dengan
produktivitas lipida dalam kultur, pada intensitas
cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, lama
pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh
hari. Pada berbagai salinitas.
Grafik 4.3 : Produktivitas Lipida kultur selama tujuh
hari pengulturan dengan menggunakan intensitas
cahaya 5000 lux pada berbagai salinitas dan waktu
kultur yang berbeda.
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan dengan
menggunakan waktu pra – kultur lima hari diperoleh
produktivitas lipid yang lebih tinggi daripada waktu pra –
kultur 10 hari. Lama waktu pra – kultur mempengaruhi tinggi
rendahnya konsentrasi biomass awal yang akan dikultur.
Semakin cepat waktu pra – kultur, semakin rendah konsentrasi
biomass yang ada di dalam pra – kultur. Sehingga konsentrasi
biomass yang digunakan oleh variabel waktu pra – kultur lima
hari lebih rendah dibandingkan konsentrasi biomass dengan
variabel waktu pra – kultur 10 hari. Dari grafik di atas, baik
media yang menggunakan nutrisi walne maupun tanpa nutrisi
walne, juga didapatkan bahwa produktivitas lipida dengan
waktu pra – kultur lima hari lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas lipida dengan waktu pra – kultur 10 hari. Hal ini
mendukung pernyataan beberapa referensi di bidang mikroalga
yang menyatakan bahwa semakin stress kondisi yang
diterapkan pada kultur mikroalga dapat memacu mikroalga
untuk memproduksi lipida semakin banyak (produktivitas lipida
tinggi). Kondisi stress yang dimaksud disini adalah konsentrasi
biomass. Konsentrasi biomass yang lebih rendah dapat
menghasilkan produktivitas lipida yang lebih banyak
dibandingkan dengan kultur dengan konsentrasi biomass yang
tinggi. Hal ini juga terlihat dalam grafik berikut :
Grafik 4.5 : Perbandingan Biomass Weight dengan
produktivitas lipida dalam kultur, pada intensitas
cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, lama
pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh
hari. Pada berbagai salinitas.
Dari kedua grafik di atas, baik untuk pengulturan dengan
waktu pra – kultur lima hari maupun 10 hari, didapat bahwa
besarnya biomass weight dalam kultur berbanding terbalik
dengan produktivitas lipidnya. Dengan bertambahnya salinitas
media kultur, biomass weight dalam kultur semakin rendah
namun produktivitas lipidnya meningkat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu pra – kultur yang
lebih cepat (indikasi: konsentrasi biomass rendah) dapat
menghasilkan produktivitas lipida yang lebih tinggi
dibandingkan waktu pra – kultur yang lebih lama.
4
B.2 Pengaruh Nutrisi Pada Produktivitas Lipida
Dalam penelitian ini juga diamati pengaruh nutrisi terhadap
produktivitas lipida. Membandingkan bagaimana produktivitas
lipida kultur Botryococccus braunii jika menggunakan nutrisi
walne dengan tanpa menggunakan nutrisi walne. Hasil yang
didapat seperti pada grafik berikut :
Grafik 4.8 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan
tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur
lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh
hari. Pada media air laut dan air payau.
Grafik 4.6 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa
nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari,
lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada
berbagai salinitas.
Grafik 4.9 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan
tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10
hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari.
Pada media air laut dan air payau.
Grafik 4.7 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa
nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari,
lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada
media air laut dan air payau.
Nutrisi merupakan sumber mineral yang dibutuhkan oleh
mikroalga untuk mendukung proses sintesis lipida dalam
tubuhnya. Sehingga tanpa adanya asupan mineral yang cukup
dan dibutuhkan untuk proses sintesis lipida, akan menyebabkan
produktivitas lipida kultur mikroalga yang dihasilkan dari
sintesis lipid oleh Botryococcus braunii tidak dapat
berlangsung dengan maksimal.
C. Air Laut dan Air Payau Sebagai Media Kultur
Penelitian ini juga mengamati bagaimana produktivitas
lipida Botryococccus braunii jika dikultur dalam media alami
yang diambil langsung dari alam. Media yang digunakan untuk
dibandingkan dalam penelitian ini adalah air laut (salinitas 25,4
ppt) dan air payau (salinitas 2,94 ppt). Berikut adalah hasil
produktivitas lipid yang didapat :
Berdasarkan literatur, Botryococcus braunii hidup secara
optimum di perairan payau. Namun hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Botryococcus braunii menghasilkan lipid
lebih banyak di media air laut. Hal ini terlihat dari produktivitas
lipid kultur Botryococcus braunii di dalam media air laut
(salinitas 25,4 ppt) lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
dalam media air payau (salinitas 2,94 ppt). Berikut merupakan
hasil penelitian yang didapat dengan menggunakan media air
laut dan air payau sebagi media kultur:
5
Tabel 4.1 : Hasil Gravimetri Biomassa, Produktivitas lipida dan
Lipid Content Kultur Botryococcus braunii menggunakan
waktu pra – kultur lima hari.
No
Media Kultur
Biomassa
(g/L)
Produktivitas
Lipida
(g/L)
Lipid Content
(Lipid weight /
Biomass weight)
1
Payau+Walne
0,4891
0,074
0,1513
2
Payau+Walne
0,1967
0,0714
0,3630
3
Payau
0,3515
0,0616
0,1752
4
Payau
0,2283
0,0566
0,2479
5
Laut+Walne
1,5437
0,2223
0,1440
6
Laut+Walne
1,0843
0,1989
0,1834
7
Laut
1,0716
0,1333
0,1244
8
Laut
1,0206
0,1971
0,1931
Tabel 4.2 : Hasil Gravimetri Biomassa, Produktivitas lipida dan
Lipid Content Kultur Botryococcus braunii menggunakan
waktu pra – kultur 10 hari.
No
Media Kultur
Biomassa
(gram)
Produktivitas
Lipida
(g/L)
Lipid Content
(Lipid weight /
Biomass weight)
1
Payau+Walne
0,8639
0,0884
0,1023
2
Payau+Walne
0,1625
0,0418
0,2572
3
Payau
0,2472
0,0351
0,1419
4
Payau
0,4052
0,0465
0,1147
5
Laut+Walne
0,8724
0,1115
0,1278
6
Laut+Walne
0,337
0,0735
0,2181
7
Laut
0,6632
0,0933
0,1406
8
Laut
0,529
0,0432
0,0816
Berdasarkan tabel di atas, perbandingan antara biomass weight,
lipid weight dan lipid content seperti pada grafik di bawah ini :
Grafik 4.11 : Biomassa–Produktivitas Lipida–Lipid Content kultur
Botryococcus braunii, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra –
kultur 10 hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan
tujuh hari dengan media air laut dan air payau.
Dari hasil pengulturan menggunakan media air laut dan air
payau didapati lagi bahwa biomass weight dan produktivitas
lipid (Lipid Weight) merupakan besaran yang berbanding
terbalik. Jika dibandingkan pada antar salinitas yang digunakan,
yaitu air payau dan air laut, dimana biomass weight tinggi
didapatkan produktivitas lipidnya rendah. Namun dalam hal ini,
pemilihan media yang diambil dari alam secara langsung ini
ternyata justru memberikan hasil yang berbeda dengan jika
menggunakan larutan NaCl sebagai media. Pada media NaCl,
semakin tinggi salinitas, semakin rendah konsentrasi biomass
akhir yang didapat dan semakin tinggi produktivitas lipidnya.
Namun dalam media alam, didapati bahwa semakin tinggi
salinitas (air laut), konsentrasi biomass yang didapat lebih
tinggi dari konsentrasi biomass dengan salinitas media rendah
(air payau). Dan produktivitas lipid (lipid weight) paling tinggi
dihasilkan pada media kultur dengan salinitas tinggi (air laut).
Namun didapat bahwa lipid content, yaitu rasio lipid terhadap
berat kering mikroalga, adalah lebih tinggi pengulturan dengan
salinitas rendah (air payau). Hal ini dapat disebabkan oleh
karna jumlah dan komposisi kandungan mineral yang ada di
dalam air payau dan air laut merupakan besaran yang tidak
diukur dan dikontrol dalam penelitian ini dengan maksud untuk
mengetahui bagaimana produktivitas lipid kultur Botryococcus
braunii di dalam media alam (air laut dan air payau).
IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Grafik 4.10 : Biomassa–Produktivitas Lipida–Lipid Content kultur
Botryococcus braunii, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra –
kultur lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu
pengulturan tujuh hari dengan media air laut dan air payau.
Dari hasil penelitian ini dapat dibuat beberapa kesimpulan,
yaitu :
1. Semakin tinggi salinitas media kultur Botryococcus braunii
semakin rendah laju pertumbuhan Botryococcus braunii dan
semakin tinggi produktivitas lipida dari kultur Botryococcus
braunii selama tujuh hari pengulturan.
2. Waktu pra – kultur juga mempengaruhi produktivitas lipida
kultur Botryococcus braunii. Waktu pra – kultur lima hari
6
menunjukkan hasil produktivitas lipida yang lebih banyak
dibandingkan dengan waktu pra – kultur 10 hari.
3. Adanya nutrisi walne sebagai asupan mineral dapat
meningkatkan produktivitas lipida dalam kultur Botryococcus
braunii.
4. Produktivitas lipida paling tinggi didapat pada kondisi
pengulturan dengan intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra –
kultur lima hari, media Air Laut (salinitas 25,4 ppt)
menggunakan nutrisi walne, waktu pengulturan tujuh hari,
yaitu lipida yang dihasilkan sebanyak 0,2223 gram/liter.
5. Lipid Content paling banyak didapat pada kondisi
pengulturan dengan intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra –
kultur 10 hari, salinitas 45 ppt larutan NaCl menggunakan
nutrisi walne, waktu pengulturan tujuh hari, yaitu 58,23%
dari berat kering mikroalga Botryococcus braunii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tri
Widjaja, M.Eng, selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS,
dan juga kepada Siti Zullaikah, ST. MT. PhD selaku sponsor
dana penelitian ini dan selaku dosen pembimbing penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
D. R. Erricson, “Edible Fats and Oils Processing: Basic Principles and
Modern Practices : World Conference Proceedings (Book style with paper
title and editor),” The American Oil Chemists Society (1990) 124-126.
[2] A. Pandey, C. Arroche, S. C. Ricke, C. Dussap, E. Gnansounou,
“Biofuels (Book style)”. Academic Press (2011) 362-362.
[3] T. H. Applewhite, “Proceedings of the world conference on oilseed
(Book style with paper title and editor)”. The American Oil Chemists
Society (1993) 120-122.
[4] H. Dewajani, “Potensi Minyak Kapuk Randu (Ceiba Pentandra) sebagai
Bahan Baku Biodiesel,” Politeknik Negeri Malang (2008).
[5] M. E. Borges, “Estimation Of The Content Of Fatty Acid Methyl Esters
(FAME) In Biodiesel Samples From Dynamic Viscocity Measurements,”
Chemical Engineering Departement, University of La Laguna, Spain
(2010).
[6] X. Liu, H. HE, Y. Wang, S. Zhu, X. Piao, “Transesterification Of
Soybean Oil To Biodiesel Using Cao As A Solid Base Catalyst,” State
Key Laboratory of Chemical Engineering, Tsinghua University, Beijing,
China (2007).
[7] W. L. Masterton, C. N. Hurley, E. J. Neth, “Chemical Principels and
Reactions (Book style)”, Cengage Learning (2011).
[8] F. Ma, M. A. Hanna, “Biodiesel Production : A Review,” Departement
of Food Science and Technology, University of Nebraska, Lincoln:USA
(1998).
[9] Y. H. Taufiq-Yap, H. V. Lee, M. Z. Hussein, R. Yunus, “Calcium Based
Mixed Oxide Catalysts For Methanolysis of Jatropha Curcas Oil To
Biodiesel”. University Putra Malaysia, Selangor, Malaysia (2010).
[10] S. Sankaranarayan, C. A. Antonyraj, S. Kannan, “Transesterification of
edible, non-edible, and used cooking oils for biodiesel production using
calcined layered double hydroxides as reusable base catalysts,” Centre
Salt and Marine Chemicals Research Institute, GB Marg, Bhavenagar,
India(2011).
Download