Pelayanan Publik Sektor Pendidikan - Kinerja

advertisement
Policy Brief
Pelayanan Publik Sektor Pendidikan
◦ Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional ◦
◦ Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan Pendidikan ◦
◦ Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah ◦
Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan
pembelajaran dan rekomendasi berdasarkan
penerapan konsep,
pendekatan,
dan
pelaksanaan program tata kelola pelayanan
publik di sektor pendidikan yang dilaksanakan
oleh USAID-Kinerja dan mencakup tiga bidang:
pendekatan tata kelola tersebut dilaksanakan
melalui tiga pilar, yakni:
 Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional
(DGP) yang dilaksanakan di enam kabupaten
di empat provinsi (Aceh, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan).
 Memperkuat penerima layanan (demand
side).
 Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan
Pendidikan (BOSP) yang dilaksanakan di tiga
kabupaten/kota di dua provinsi (Aceh dan
Sulawesi Selatan).
Membangun komitmen pemerintah
 Membangun komitmen pemerintah (policy
advocacy);
 Memperkuat penyedia layanan (supply side);
Membangun komitmen pemerintah merupakan
upaya pertama agar pelayanan publik dapat
menjadi
kebijakan
pemerintah
secara
berkelanjutan, baik pusat maupun daerah.
Kebijakan ini sebaiknya dituangkan ke dalam
peraturan perundangan, perencanaan, dan
penganggaran. Di era otonomi daerah sekarang
ini, komitmen pemerintah daerah menjadi sangat
penting karena pemerintah daerah merupakan
ujung tombak pelayanan publik sehingga
pemerintah daerah mempunyai mandat untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan
pelayanan publik yang prima. Peraturan Daerah
dan
Peraturan
Bupati/Walikota
menjadi
instrumen yang efektif untuk menunjukkan
bahwa pemerintah daerah mempunyai komitmen
dalam peningkatan pelayanan publik. Komitmen
dan kebijakan ini akan menjadi jelas ketika
pemerintah daerah memasukkan programprogram peningkatan pelayanan publik ke dalam
perencanaan, baik jangka menengah (RPJMD,
Renstra SKPD) maupun tahunan (Renja, RKA
SKPD). Hal yang paling penting adalah
implementasi, monitoring, dan tindak lanjut
laporan hasil monitoring.
 Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) Berorientasi Pelayanan Publik yang
dilaksanakan di sembilan kabupaten/kota di
empat provinsi (Aceh, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan).
Pengalaman Program Kinerja ini diharapkan
dapat dijadikan salah satu acuan untuk
penyusunan kebijakan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dalam rangka peningkatan
mutu pelayanan publik, khususnya di sektor
pendidikan.
Hal ini sejalan dengan konsep Nawacita dan
arah kebijakan nasional bidang pendidikan
sebagaimana
tercantum
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019 dan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2015.
Konsep dasar program Kinerja adalah
peningkatan mutu pelayanan publik yang prima
dengan pendekatan yang transparan, akuntabel,
partisipatif, dan responsif. Konsep dan
1
Untuk membangun komitmen pemerintah,
Kinerja
melaksanakan
program-program
advokasi kebijakan bersama masyarakat yang
bernaung dalam forum multi stakeholder (MSF).
Tujuannya adalah agar pemerintah, khususnya
pemerintah daerah mempunyai kepedulian
terhadap peningkatan mutu pelayanan publik
dan mendorong munculnya kebijakan nyata di
daerah-daerah mitra.
Kinerja melaksanakan program penguatan
penyedia pelayanan di tingkat kabupaten/kota
dan di tingkat unit-unit pelayanan. Di tingkat
kabupaten/kota
Kinerja
memperkenalkan
pentingnya tata kelola pendidikan untuk
meningkatkan mutu pelayanan publik kepada
jajaran pemerintah daerah, khususnya Dinas
Pendidikan dan Bappeda. Di bidang tata kelola
distribusi
guru,
Kinerja
mendampingi
pemerintah
daerah
dalam
penghitungan
distribusi guru berdasarkan data yang valid dan
mutakhir.
Penguatan pemberi pelayanan
Penguatan pemberi pelayanan dibutuhkan untuk
menjamin pelayanan pendidikan kepada
masyarakat, orangtua, dan murid disediakan
sesuai kebutuhan dan standar pelayanan tertentu
yang diatur dalam peraturan perundangan. Dinas
Hasil penghitungan kemudian ditindaklanjuti
dengan penyusunan rekomendasi tentang
distribusi guru secara proporsional yang
ditujukan kepada pengambil keputusan, yakni
Bupati/Walikota. Di beberapa daerah mitra
Kinerja, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten
Luwu, dan Kabupaten Barru, pimpinan daerah
telah mengeluarkan Peraturan Bupati tentang
Pemerataan dan
Penataan Guru PNS
berdasarkan
hasil
penghitungan
dan
rekomendasi teknis tersebut. Pelaksanaan
distribusi guru kemudian dilaksanakan secara
bertahap
sesuai
kemampuan
anggaran
pemerintah daerah. Pada tahun 2013 Dinas
Pendidikan Kabupaten Luwu Utara telah
memindahkan 128 guru dari sekolah-sekolah
dasar yang berkelebihan guru. Setahun
kemudian memindahkan57 guru SMP dan SMA.
Pendidikan
mempunyai
mandat
untuk
menyediakan guru yang mempunyai kompetensi
dan anggaran yang cukup untuk setiap unit
pelayanan pendidikan (sekolah). Tanpa guru
yang cukup dan kompetensi yang memadai,
pelayanan pendidikan bermutu sesuai standar,
khususnya dalam proses pembelajaran, tidak
pernah akan terwujud. Tanpa anggaran yang
cukup,
sekolah
tidak
akan
mampu
menyelenggarakan program dan kegiatan
sekolah sehingga penyediaan pelayanan
pendidikan menjadi tidak sesuai dengan standar
pelayanan minimal dan tidak akan pernah
mencapai standar nasional pendidikan.
2
Begitu juga di bidang tata kelola BOSP. Kinerja
mendampingi pemerintah daearah dalam
penghitungan kebutuhan per siswa per tahun.
bukan daerah mitra Kinerja untuk MBS, juga
tertarik dan telah mulai mengadopsi program
MBS berorientasi pelayanan publik melalui
pelatihan untuk Kepala Sekolah dan Komite
Sekolah yang didanai dari sumebr APBD.
Penghitungan ini didasarkan pada tujuan
pencapaian standar pelayanan minimal dan
standar nasional pendidikan. Hasil penghitungan
biaya satuan pendidikan, termasuk kesenjangan
antara jumlah biaya yang dibutuhkan dan
pembiayaan dari sumber-sumber yang tersedia
(BOS), kemudian direkomendasikan kepada
pimpinan daerah untuk dijadikan dasar
pengambilan kebijakan menutup kesenjangan
pembiayaaan tersebut.
Penguatan pengguna pelayanan
Sisi pengguna pelayanan juga perlu untuk
diperkuat sehingga dapat mendorong penyedia
pelayanan menyediakan pelayanan sesuai
dengan standar pelayanan. Pengguna layanan
mempunyai hak untuk memperoleh informasi
yang benar tentang data dan kegiatan yang
diselenggarakan oleh penyedia pelayanan.
Pengguna layanan juga berhak atas kesempatan
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
program dan kegiatan di semua tahapan:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi. Untuk menjamin agar masyarakat
dapat ikut serta secara efektif dalam
penyelenggaraan pelayanan pendidikan, Kinerja
melaksanakan program penguatan forum multi
stakeholder melalui pelatihan, pendampingan,
dan mendorong terjadinya kerjasama antara
forum dan pemerintah yang berkaitan dengan
program DGP, BOSP, dan MBS.
Di Kabupaten Bulukumba, pemerintah daerah
telah mengeluarkan Peraturan Bupati untuk
memayungi kebijakan pengalokasian dana
tambahan untuk setiap sekolah. Demikian juga
di Kabupaten Simeulue dan Kota Banda Aceh
yang telah mengeluarkan Peraturan Bupati/
Walikota, pemenuhan kebutuhan pembiayaan
sekolah dilaksanakan secara bertahap. Ketiga
daerah tersebut sudah mengalokasikan dana
tambahan ke sekolah-sekolah yang bersumber
dari APBD untuk memenuhi kesenjangan
pendanaan program sekolah.
Di bidang MBS berorientasi pelayanan publik,
Kinerja mendorong sekolah-sekolah agar
menyelenggarakan kegiatan sekolah berdasarkan
pencapaian standar pelayanan serta masukanmasukan dan pengaduan dari murid dan
orangtua/wali murid. Pengaduan-pengaduan ini
diperoleh melalui survei pengaduan yang
dilaksanakan dengan melibatkan ratusan
responden masyarakat. Kinerja juga mendorong
munculnya kebijakan di tingkat kabupaten/kota
agar program MBS berorientasi pelayanan
publik dapat diadopsi dan disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya. Di Kota Singkawang,
Dinas Pendidikan telah mulai menyebaluaskan
praktik-praktik baik MBS berorientasi pelayanan
publik
ke
sekolah-sekolah
lain
dan
merencanakan akan mencakup seluruh sekolah
di kota itu. Di Kota Probolinggo, pemerintah
kota telah mengeluarkan kebijakan untuk
menerapkannya di semua sekolah secara
bertahap. Demikian juga pemerintah daerah
mitra Kinerja lainnya seperti Kabupaten Barru,
Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten
Melawi. Bahkan Kabupaten Sambas, yang
Pada program DGP dan BOSP, forum multi
stakeholder berperan dalam:
 Penghitungan sebaran guru dan biaya satuan
di setiap sekolah;
 Penyusunan rekomendasi teknis distribusi
guru;
 Konsultasi publik kebijakan distribusi guru;
 Pengawalan hingga diterbitkannya regulasi
dan petunjuk teknis pelaksanaannya.
Pada program MBS berorientasi pelayanan
publik, forum multi stakeholder diwakli oleh
Komite Sekolah berperan antara lain dalam hal:
 Penyusunan rencana kerja sekolah (RKS dan
RKAS);
 Menyeleggarakan
survei
pengaduan
masyarakat;
 Pengawasan tindak lanjut hasil survei
pengaduan;
 Penggalangan dana masyarakat dan dunia
industri.
3
Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional
Distribusi guru menjadi isu penting dalam upaya
pemerataan akses dan mutu pendidikan di tanah
air sehingga Pemerintah Pusat mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun 2011
tentang Penataan dan Pemeraaan Guru Pegawai
Negeri Sipil. Tulisan hikmah pembelajaran ini
bertujuan untuk memberi masukan kepada
pengambil keputusan, khususnya Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menerapkan kebijakan
yang dapat memecahkan masalah ketimpangan
distribusi guru antar sekolah dan wilayah.
Masukan ini didasarkan pada pengalaman
Program Kinerja yang membantu enam
kabupaten/kota
dalam
menyusun
dan
melaksanakan kebijakan distribusi guru sehingga
pelayanan publik bidang pendidikan menjadi
lebih merata dan meningkat mutunya.
memberi perhatian lebih pada kekurangan guru
dibandingkan kelebihan guru.
Ketidakmerataan guru mempunyai dampak
negatif pada dua hal. Pertama, pelayanan publik
bidang pendidikan di sekolah-sekolah yang
kekurangan guru menjadi tidak maksimal karena
pada jam pelajaran banyak kelas dibiarkan
kosong tanpa kegiatan belajar, kriteria
ketuntasan mengajar tidak tercapai, dan akhirnya
kompetensi murid menjadi rendah. Kedua, guruguru yang bertugas di sekolah-sekolah yang
berkelebihan guru menjadi tidak aktif dan tidak
dapat memenuhi jumlah jam mengajar sesuai
standar (24 jam per minggu) karena harus
berbagi dengan guru lainnya. Keadaan ini
menimbulkan kerugian pada guru karena
berpengaruh pada pengembangan karir guru,
yakni sertifikasi dan kenaikan pangkat yang
mensyaratkan terpenuhinya jam mengajar.
Ketidakmerataan distribusi guru dan
dampaknya
Karakteristik geografis Indonesia menyebabkan
distribusi guru antar wilayah tidak merata.
Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai
wilayah sulit yang dikenal dengan daerah 3T
(terdepan, terluar, tertinggal). Pada umumnya
guru enggan ditempatkan dan bertugas di daerahdaerah tersebut dalam jangka waktu yang lama.
Di daerah-daerah itu moda transportasi dan
fasilitas hidup – terutama tempat tinggal dan
ketersediaan bahan kebutuhan pokok – sangat
terbatas.
Akibatnya,
guru
cenderung
terkonsentrasi di daerah-daerah nyaman. Di sisi
lain, di daerah-daerah perkotaan pun ketidakmerataan guru antar sekolah kerap terjadi yang
disebabkan oleh penempatan dan penataan guru
yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis
dibandingkan kebutuhan sekolah.
Sementara itu dapat diasumsikan bahwa
peningkatan jumlah guru akan menunjukkan
jumlah murid per rombongan belajar menjadi
kecil dan dengan demikian proses pembelajaran
lebih efektif. Ada dua aspek terkait dengan
situasi tersebut yang memerlukan eksplorasi
lebih lanjut, yakni pengangkatan guru baru dan
redistribusi guru. Dalam era desentralisasi,
tanggung jawab pengangkatan guru menjadi
urusan
pemerintah
kabupaten/kota
dan
pemerintah pusat berwenang menetapkan kuota
jumlah guru PNS. Kuota untuk guru PNS di
semua jenjang sekolah terus meningkat dan
menyebabkan terus meningkatnya jumlah guru,
terutama di tingkat bsekolah dasar. Untuk
sebagiannya, peningkatan ini disebabkan oleh
perubahan status guru honorer menjadi guru
PNS. Logikanya, hal ini akan menyebabkan
menurunnya jumlah guru non-PNS. Namun,
kenyataannya di sekolah-sekolah di daerah
pedesaan dan terpencil masih banyak ditemukan
guru yang berstatus honorer, baik yang dibayar
oleh pemerintah daerah, maupun oleh sekolah
sendiri.
Dalam hal penyebaran guru , rasio guru-murid
yang rendah, khususnya di tingkat sekolah dasar,
tidak otomatis berarti bahwa semua sekolah
memiliki jumlah guru yang diperlukan. Bahkan
masih banyak sekolah yang kekurangan guru,
terutama di daerah terpencil, daerah perbatasan,
dan daerah tertinggal. Sebagian besar
kabupaten/kota
tidak
memiliki
sistem
manajemen guru yang efektif untuk menganalisis
kekurangan dan kelebihan guru secara cermat di
setiap sekolah. Dinas Pendidikan cenderung
Pelimpahan wenangan pengelolaan guru ke
pemerintah daerah belum disertai dengan
peningkatan kapasitas untuk pengelolaan guru,
khususnya berkaitan dengan analisis kebutuhan
4
 Penghitungan dan analisis penyebaran guru;
nyata di setiap tingkat dan jenis sekolah. Hal ini
tercermin dari masih banyaknya daerah yang
berkelebihan guru kelas (dilihat dari rasio guru
untuk jumlah kelas) di tingkat SD, dan guru mata
pelajaran tertentu di tingkat SMP dan SMA jika
dilihat dari jumlah rombongan belajar dan beban
mengajar guru. Padahal saat ini dapat
diasumsikan bahwa jumlah anak usia sekolah
dasar cenderung terus menurun turun.
 Penyusunan rekomendasi kebijakan dan teknis
pelaksanaan distrubusi secara proporsional;
 Pelaksanaan inovasi dalam distribusi guru
secara proporsional.
Sebagaimana telah disinggung di depan,
pendekatan yang digunakan Kinerja dalam
program ini adalah transparan, akuntabel,
partisipatif, dan responsif. Pengalaman di
beberapa daerah menunjukkan bahwa program
distribusi guru tidaklah populer dan mempunyai
tantangan tersendiri yang kadangkala sulit
dihadapi oleh penyelenggara pendidikan. Banyak
penolakan dari pihak guru ketika hendak
dipindahkan. Pemindahan guru yang dilakukan
secara transparan akan menghindari penolakan
tersebut. Pemerintah daerah harus menjelaskan
secara terbuka kepada guru dan para pemangku
kepentingan tentang kondisi sebaran guru,
masalah yang ditimbulkannya, dan rencana
pemecahannya. Pelibatan guru dan pemangku
kepentingan dalam proses distribusi guru
menjadi penting.
Jelaslah bahwa kelebihan guru menyebabkan
inefisiensi penggunaan sumber daya. Dalam
konteks ini
perlu dicatat bahwa banyak
kabupaten mengalokasikan dana di sektor
pendidikan sekitar 30% sampai 40% dari total
anggaran daerah, dan 80% sampai 85% dari
porsi itu digunakan untuk membayar gaji/honor
dan tunjangan guru.
Kebijakan saat ini
Untuk mengatasi kekurangan guru di daerah 3T,
Pemerintah Pusat meluncurkan program Maju
Bersama Mencerdaskan Indonesia yang meliputi
Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM-3T),
Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan
Kewenangan Tambahan (PPGT), Kuliah Kerja
Nyata di Daerah 3T, Pendidikan Profesi Guru
Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif),
dan S-1 Kependidikan dengan Kewenangan
Tambahan (S-1 KKT). Program-program
tersebut memang merupakan jawaban untuk
mengatasi berbagai permasalahan pendidikan di
daerah 3T. Namun, semua program tersebut
merupakan program jangka pendek yang tidak
menjawab persoalan lokalitas dan keberlanjutan.
Kinerja mendorong pemerintah daerah untuk
melaksanakan program distribusi guru secara
bertanggung jawab. Semua biaya program
ditanggung oleh pemerintah daerah, termasuk
penyediaan
insentif
untuk
guru
yang
dipindahkan bilamana diperlukan. Pemerintah
daerah juga perlu tanggap terhadap keluhan
masyarakat, terutama orangtua/wali murid,
tentang ketersediaan guru di sekolah. Tanggapan
juga perlu diberikan kepada guru yang
dipindahkan ketika menghadapi kesulitankesulitan di tempat tugas yang baru.
Program ini juga menimbulkan masalah baru
dalam hal penataan guru di tingkat
kabupaten/kota. Pemerintah daerah cenderung
lebih mengandalkan pasokan guru dari
Pemerintah Pusat dibandingkan mengurai
masalah kekurangan dan ketidakmerataan guru
serta menemukan solusi dengan mengangkat,
menempatkan, dan menata guru secara mandiri
sesuai tanggungjawab otonomi pengelolaan
pendidikan di daerah.
Proses distribusi guru
Pendampingan Kinerja bersama organisasi mitra
dalam program tata kelola distribusi guru
proporsional dilaksanakan melalui proses
sebagai berikut:
 Pembentukan Tim;
 Penghitungan kondisi sebaran guru antar
sekolah dan wilayah;
Program distribusi guru proporsional
Kinerja
 Rekomendasi kebijakan;
 Uji publik kebijakan;
Dalam bidang distribusi guru, Kinerja membantu
enam daerah mitra bersama para pemangku
kepentingan dalam:
 Publikasi kebijakan;
5
 Penetapan kebijakan dan penerbitan regulasi;
transparan dan partisipatif menggunakan data
guru yang valid dan mutakhir;
 Penyusunan petunjuk teknis;
 Enam kabupaten mitra telah menerbitkan
Peraturan Bupati, yakni Kabupaten Luwu
Utara, Kabupaten Luwu, Kabupaten Barru,
dan Kabupaten Aceh Singkil;
 Monitoring dan evaluasi.
Seluruh proses tersebut dilaksanakan dengan
memegang prinsip-prinsip:
 Dilaksanakan
akuntabel;
secara
transparan
 Kabupaten Luwu Utara telah melaksanakan
mutasi 128 guru SD yang kemudian diikuti
oleh pemindahan 57 guru SMP dan
SMA/SMK;
dan
 Melibatkan instansi terakit di luar Dinas
Pendidikan
(Bappeda,
BKD,
Bagian
Keuangan, Bagian Hukum, DPRD);
 Kabupaten Barru juga telah melaksanakan
mutasi 326 guru dari semua jenjang sekolah
 Melibatkan forum multi stakeholder;
 Kabupaten
Sambas
dan
Kabupaten
Bondowoso sudah menerbitkan Petunjuk
PelaksanaanPeraturan Bupati.
 Pendampingan intensif.
Hasil yang diharapkan
Replikasi Program Tata Kelola DGP
Diharapkan proses pendampingan tata kelola
distribusi guru dapat menghasilkan:
 Peraturan Bupati/Walikota;
Selain melanjutkan dukungan teknis kepada
kabupten mitra melalui organisasi mitra
pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja
mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk
mereplikasi praktik-praktik yang baik penerapan
distribusi proporsional. Kinerja menyediakan
bantuan teknis terbatas kepada pemerintah
daerah yang ingin mereplikasi program ini.
Untuk mendukung replikasi, Kinerja juga
memperkuat organisasi mitra pelaksana sehingga
siap digunakan oleh pemerintah daerah nonmitra. Sampai saat ini Program Tata Kelola DGP
telah direplikasi oleh Kabupaten Sampang.
 Petunjuk teknis pelaksanaan distribusi guru
proporsional;
Kesimpulan
 Data sebaran guru yang, valid, dan mutakhir;
 Analisis distribusi guru di seluruh kecamatan
di kabupaten/kota mitra;
 Rekomendasi teknis distribusi guru
proporsional;
 Rencana kerja distribusi guru proporsional;
 Skema insentif bagi guru yang ditempatkan di
daerah „terpencil‟;
 Implementasi distribusi guru secara
proporsional sesuai rekomendasi teknis;
Berdasarkan pengalaman pendampingan Kinerja
di enam kabupaten mitra, dapat disimpulkan
beberapa hal:
 Keberlanjutan program dengan dukungan
forum multi stakeholder;
 Pada dasarnya pemerintah kabupaten
mempunyai komitmen untuk melaksanakan
program
distribusi
guru,
namun
membutuhkan perhatian dan bantuan teknis
dari pihak luar;
 Replikasi praktik-praktik yang baik oleh
kabupaten/kota lainnya.
Hasil yang dicapai
 Distribusi guru dapat dilaksanakan jika proses
penghitungan dan perumusan kebijakan
dilakukan secara transparan dan partisipatif
dengan melibatkan pihak-pihak terkait,
termasuk masyarakat yang terhimpun dalam
forum multi stakeholder.
Selama sekitar tiga tahun melaksanakan
pendampingan program distribusi guru di enam
kabupaten mitra, hasil-hasil yang telah dicapai
meliputi:
 Semua kabupaten mitra telah melaksanakan
penghitungan dan analisis sebaran guru secara
 Untuk bisa berperan dalam proses tata kelola
distribusi guru proporsional, kapasitas forum
6
 Hasil penghitungan dan pemetaan distribusi
guru berguna tidak hanya untuk pemerataan
guru, namun juga dimanfaatkan sebagai dasar
penyusunan kebijakan lainnya seperti
penggabungan sekolah yang berdekatan,
pembelajaran kelas rangkap bagi sekolah
dengan jumlah murid sedikit, dan guru
kunjung untuk sekolah di daerah sangat
terpencil.
multi stakeholder perlu diperkuat terlebih
dahulu.
 Pengelolaan data guru belum berjalan dengan
baik di banyak daerah sehingga proses
penghitungan sebaran guru yang valid dan
mutakhir memerlukan waktu yang cukup
lama.
Meskipun
pemerintah
telah
menyediakan Data Pokok Pendidikan
(DAPODIK) sebagai sistem database
pendidikan terpadu, namun implementasinya
perlu terus ditingkatkan;
7
Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan Pendidikan
Banyak daerah telah meluncurkan program
pendidikan gratis tanpa mengetahui dengan pasti
jumlah dana yang dibutuhkan sekolah untuk
menyelenggarakan program dan kegiatan yang
berkaitan dengan pencapaian standar pelayanan
minimal. Itulah sebabnya diperkirakan sekitar
70% sekolah belum mencapai standar pelayanan
minimal yang diamanatkan oleh peraturan
perundangan.
Setelah dikurangi dana dari BOS (Rp.580.000)
dan pemerintah provinsi, masih ada kesenjangan
sebesar Rp.209.222.
Dengan demikian, penitungan BOSP menjadi
besar manfaatnya. Bagi sekolah hasil
penghitungan BOSP bermanfaat:
 Sebagai masukan untuk pedoman mengenai
pembiayaan
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005;
Bagi sekolah-sekolah yang dana operasional-nya
tidak mencukupi, pernyataan sekolah gratis
menyulitkan dalam upaya memperoleh dukungan
dana dari sumber-sumber lain. Masyarakat
beranggapan bahwa dengan program sekolah
gratis pemerintah (pusat mapun daerah) telah
mampu
memenuhi
seluruh
kebutuhan
pembiayaan sekolah.
 Sebagai pedoman dalam penyusunan rencana
dan anggaran sekolah dalam rangka
pencapaian standar pelayanan publik, standar
pelayanan minimal, dan standar nasional
pendidikan;
 Sebagai bahan untuk mengkomunikasikan
kebutuhan dana tambahan bagi biaya
operasional sekolah dengan pihak-pihak yang
berpotensi memberi dana seperti orangtua/
wali murid dan dunia usaha/dunia industri;
Pada kenyataannya tidaklah demikian. Sebagai
contoh, pada tahun 2012 Pemerintah Provinsi
Sulawesi
Selatan
meluncurkan
program
pendidikan gratis dengan mengalokasi dana
sebesar Rp.48.000 per siswa per tahun untuk
sekolah dasar. Padahal jumlah itu belum dapat
menutup kesenjangan pembiayaan sekolah yang
dari hasil penghitungan biaya operasional satuan
pendidikan,
membutuhkan
total
biaya
Rp.837.000 per siswa per tahun.
 Sebagai pendukung
lancarnya
proses
kegiatan belajar mengajar sesuai dengan
SPM dan SNP.
Manfaat penghitungan BOSP yang rinci bagi
masyarakat/orangtua adalah sebagai informasi
yang transparan dan mudah dimengerti tentang
(1) biaya operasional yang harus dikeluarkan
oleh sekolah agar dapat memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu (sesuai standar), dan
(2) besarnya dana tambahan yang masih
dibutuhkan sekolah untuk menutupi biaya
operasionalnya, jika pendapatan sekolah dari
pemerintah dan sumber-sumber lain belum
mencukupi. Penghitungan BOSP yang rinci,
transparan, dan mudah dimengerti akan lebih
mudah mendorong partisipasi masyarakat dalam
hal pendanaan untuk sekolah. Selain itu
masyarakat dapat memperoleh gambaran tentang
alokasi penggunaan dana operasional di sekolah,
sehingga memberi peluang untuk ikut
mengawasi penggunaan dana di sekolah.
8
Bagi pemerintah, penghitungan BOSP sebagai
dasar untuk menghitung kebutuhan pendanaan
untuk biaya operasional sekolah dan dapat
dijadikan acuan untuk:
terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota.
Dalam kaitannya dengan tugas tersebut, DPRD
melakukan pengawasan dan pemantauan
terhadap kegiatan pemerintah kabupaten secara
keseluruhan
mulai
dari
perencanaan,
pelaksanaan, sampai akhir kegiatan.
 Mengalokasikan dana ke sekolah, misalnya
sebagai dana pendamping BOS bilamana
masih ada kesenjangan antara BOS dan dana
yang dibutuhkan sekolah.
DPRD juga berperan aktif dalam pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang
APBD dan sangat menentukan dalam
persetujuan usulan anggaran baru dari
pemerintah daerah setiap tahunnya, meskipun
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 memberi
peluang pemerintah daerah untuk menetapkan
Rancangan Peraturan Bupati tentang APBD. Jika
DPRD tidak menyetujuinya, maka nilai anggaran
maksimalnya adalah sejumlah tahun anggaran
sebelumnya. Selain menjadi salah satu bentuk
sanksi bagi pemerintah daerah, mekanisme
tersebut memberi peluang bagi anggota DPRD
untuk memainkan perannya dalam mendorong
pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Dengan
demikian, bagi DPRD hasil penghitungan BOSP
dapat dijadikan acuan dalam penganggaran dan
pengawasan penggunaan anggaran untuk biaya
operasional pendidikan.
 Melakukan negosiasi guna mendapatkan
tambahan dana pendamping BOS pusat dari
pemerintah provinsi.
 Menetapkan kebijakan tentang pendanaan
pendidikan, misalnya kebijakan diperbolehkan atau tidaknya penarikan dana dari
orangtua murid jika nilai BOSP lebih tinggi
daripada nilai dana BOS pusat ditambah dana
pendamping BOS dari APBD Kabupaten/
Kota dan APBD Provinsi.
Dalam hal kebijakan “Sekolah Gratis” perlu
diperhatikan bahwa jika sekolah tidak boleh lagi
menarik dana dari orangtua/wali peserta didik,
maka sekolah harus mendapat dana yang cukup
sesuai BOSP dari Pemerintah. Kebijakan
“Sekolah Gratis” tanpa pendanaan yang cukup
bagi sekolah akan memaksa sekolah memberikan
pelayanan pendidikan yang tidak bermutu.
Program BOSP Kinerja
Dalam bidang BOSP, Kinerja membantu tiga
daerah mitra bersama para
pemangku
kepentingan dalam:
Hasil penghitungan BOSP juga bermanfaat bagi
DPRD. Secara struktural DPRD merupakan
lembaga yang bertugas melakukan pengawasan
9
 Penghitungan dan analisis biaya operasional
satuan pendidikan di tingkat SD dan SMP;
 Rencana kerja pengalokasian BOSDA ke
sekolah;
 Penyusunan rekomendasi kebijakan dan teknis
pengalokasian dana operasional untuk sekolah;
 Peraturan Bupati/Walikota;
 Pelaksanaan inovasi dalam distribusi guru
secara proporsional.
 Implementasi BOSDA sesuai rekomendasi
teknis;
 Petunjuk teknis pelaksanaan BOSDA;
Sama halnya dengan program DGP, pendekatan
yang digunakan Kinerja dalam program BOSP
adalah transparan, akuntabel, partisipatif, dan
responsif seperti digambarkan diagarm di depan.
 Keberlanjutan implementasi BOSDA dengan
dukungan forum multi stakeholder;
 Replikasi praktik-praktik yang baik oleh
kabupaten/kota lainnya.
Proses penghitungan BOSP
Hasil yang dicapai
Pendampingan Kinerja bersama organisasi mitra
dalam program tata kelola BOSP dilaksanakan
melalui proses sebagai berikut:
Hingga saat ini hasil-hasil yang telah dicapai
oleh daerah mitra Kinerja adalah sebagai berikut:
 Pembentukan Tim;
 Ketiga kabupaten/kota mitra Kinerja telah
menyelesaikan penghitungan BOSP secara
transparan dan partisipatif dengan melibatkan
forum multi stakeholder. Pemerintah daerah
juga
sudah
mengeluarkan
Pertaturan
Bupati/Walikota.
 Penghitungan biaya operasional yang
dibutuhkan sekolah untuk pencapaian
standar-standar secara bertahap.;
 Rekomendasi kebijakan;
 Uji publik kebijakan;
 Kabupaten Bulukumba sudah mengalokasi
BOSDA sesuai hasil penghitungan BOSP
sejak tahun 2012 dan berlanjut hingga tahun
2015.
 Publikasi kebijakan;
 Penetapan kebijakan dan penerbitan regulasi;
 Penyusunan petunjuk teknis;
 Kabupaten Simeulue sudah mengalokasi dana
tambahan sejak 2011 walaupun belum
menutup
secara
penuh
kesenjangan
pembiayaan sekolah. Namun pada akhirnya
pemerintah daerah sudah memenuhi seluruh
kebutuhan pembiayaan sekolah di tingkat SD
dan SMP pada 2014.
 Monitoring dan evaluasi.
Seluruh proses tersebut dilaksanakan dengan
memegang prinsip-prinsip:
 Dilaksanakan
akuntabel;
secara
transparan
dan
 Melibatkan instansi terakit di luar Dinas
Pendidikan (Bappeda, Bagian Keuangan,
Bagian Hukum);
 Sama halnya dengan Kabupaten Simeulue,
pemerintah Kota Banda Aceh juga sudah
mengalokasi dana tambahan sejak 2011.
 Melibatkan forum multi stakeholder;
 Dalam pengalokasian dana penunjang
pendidikan (DPP) Kabupaten Simeulue dan
Kota Banda Aceh menggunakan formula
yang membuat alokasi dana menjadi lebih
adil bagi semua sekolah.
 Pendampingan intensif.
Hasil yang diharapkan
Proses pendampingan tata kelola BOSP dapat
menghasilkan:
 Penghitungan biaya opersional satuan yang
dibutuhkan sekolah dengan mengacu pada
SPM dan SNP;
Berdasarkan pengalaman di Simelue dan Banda
Aceh, Kinerja bersama organisasi mitra
pelaksana dan MSF mendorong pemerintah
daerah lainnya untuk menggunakan formula
yang memperhitungkan besar kecilnya sekolah
dan tingkat kemajuan sekolah dalam menentukan
alokasi dana penunjang pendidikan.
 Analisis kesenjangan pembiayaan operasional
sekolah;
 Rekomendasi teknis pembiayaan operasional
sekolah (BOSDA);
10
membantu
sekolah-sekolah
untuk
meningkatkan mutu pelayanannya. Meskipun
demikian Program Tata Kelola BOSP tetap
diperlukan untuk terus mengantisipasi
peningkatan kebutuhan sekolah. Selain itu,
mengingat dana BOS masih terbatas pada
pemenuhan minimal, hasil penghitungan
BOSP yang terus diperbaharui akan sangat
berguna bagi pemerintah daerah yang
mempunyai komitmen untuk meningkatan
mutu pelayanan di atas minimal.
Replikasi Program Tata Kelola BOSP
Disamping melanjutkan dukungan teknis kepada
kabupten/kota mitra melalui organisasi mitra
pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja
mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk
mereplikasi praktik-praktik yang baik penerapan
Tata Kelola BOSP. Kinerja menyediakan
bantuan teknis terbatas kepada pemerintah
daerah tang ingin mereplikasi program ini.
Untuk mendukung replikasi, Kinerja juga
memperkuat organisasi mitra pelaksana sehingga
siap digunakan oleh pemerintah daerah nonmitra. Sampai saat ini Program Tata Kelola
BOSP telah direplikasi dan mulai dilaksanakan
oleh pemerintah daerah di Kabupaten Sidenreng
Rappang, Kota Palopo, Kabupaten Jeneponto,
Kota Batu, dan Kabupaten Pakpak Bharat.
 Sama halnya dengan program DGP, pada
dasarnya pemerintah kabupaten mempunyai
komitmen untuk melaksanakan program
BOSP, namun membutuhkan perhatian dan
bantuan teknis dari pihak luar;
 Program Tata Kelola BOSP dapat
dilaksanakan jika proses penghitungan,
perumusan kebijakan, dan pengalokasian
BOSDA dilakukan secara transparan dan
partisipatif dengan melibatkan pihak-pihak
terkait, termasuk masyarakat, melalui forum
multi stakeholder.***
Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman pendampingan Kinerja
di tiga kabupaten/kota mitra, dapat disimpulkan
beberapa hal:
 Pemerintah telah menaikkan jumlah dana
BOS per sekolah. Kenaikan ini sangat
11
Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik
Di Indonesia, konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) telah diperkenalkan dan
dilaksanakan sejak tahun 1997/1998. MBS
merupakan wujud otonomi sekolah sejalan
dengan kebijakan desentralisasi kewenangan
pendidikan dan dimaksudkan agar sekolah
mempunyai otonomi yang lebih besar untuk
menyelenggarakan program dan kegiatannya
dengan mendorong peran serta masyarakat
melalui komite sekolah.
mendampingi sekolah dan komite sekolah
untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan
sekolah dan mutu pelayanan sekolah.
Program MBS Kinerja
Konsep utuh MBS mengandung setidaknya
tiga komponen yang saling berkaitan, yakni
manajemen sekolah, pembelajaran, dan
partisipasi masyarakat. Program bantuan teknis
Kinerja lebih difokuskan pada dua komponen,
yakni manajemen sekolah dan partisipasi
masyarakat dengan asumsi bahwa jika dua
komponen tersebut bekerja baik, maka akan
ada peningkatan komponen pembelajaran.
Komponen
manajemen
cukup
luas
cakupannya, namun pendampingan Kinerja
difokuskan pada perencanaan, penganggaran,
dan pelaporan keuangan sekolah.
Dalam konteks otonomi, sekolah diberi
kewenangan untuk mengatur dirinya dan warga
sekolah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan
perundangan. Sekolah diberi wewenang untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya
sekolah
semaksimal
mungkin
untuk
meningkatkan mutu proses dan output
pembelajaran.
Tujuan utama pendampingan Kinerja di bidang
MBS adalah untuk meningkatkan pelayanan
publik sekolah sebagai suatu unit layanan di
sektor pendidikan. Upaya peningkatan
pelayanan publik ini disertai dengan penguatan
sisi pengguna layanan yang difokuskan pada
peningkatan peran komite sekolah sebagai
forum multi stakeholder di tingkat sekolah.
Upaya sekolah dalam peningkatan pelayanan
publik harus dilakukan sejak awal, secara
Namun, pada praktiknya pelaksanan MBS
perlu lebih ditingkatkan. Sebagian besar
sekolah melaksanakan MBS apa adanya,
belum dilaksanakan secara maksimal, dan
belum mengarah pada perbaikan mutu
pelayanan. Di sebagian besar sekolah,
pengelolaan masih belum transparan dan
akuntabel serta tidak partisipatif, apalagi
responsif. Oleh karena itu Kinerja berupaya
12
sistematis dan terencana. Oleh karena itu,
perencanaan
sekolah
yang
mencakup
pencapaian standar pelayanan, standar
pelayanan minimal, dan standar nasional
pendidikan
menjadi
sangat
penting.
Perencanaan dalam konsep MBS berorientasi
pelayanan publik harus partisipatif dan
responsif. Perencanaan harus dibuat bersama
komite sekolah dan berdasarkan data sekolah
yang valid dan mutakhir, evaluasi diri sekolah,
dan hasil survei pengaduan masyarakat.
Survei pengaduan masyarakat di sekolah
tergolong hal baru dan langka. Selama ini
sekolah tidak dianggap sebagai unit layanan
sebagaimana halnya Pukesmas dan Kantor Pos.
Survei pengaduan masyarakat mengacu pada
Peraturan Menteri PAN 13/2009 tentang
adalah sebagai berikut:
 Menempatkan sekolah sebagai unit layanan,
dimana sekolah sebagai penyedia layanan
diwajibkan untuk memberikan pelayanan
sesuai standar yang berlaku (Standar
Pelayanan Publik, Standar Pelayanan
Minimum Pendidikan Dasar, dan Standar
Nasional Pendidikan);
 Memberikan ruang partisipasi yang
memadai bagi pengguna pelayanan (siswa,
orang tua dan masyarakat sekitar) untuk
menyampaikan masukan, keluhan dan saran
guna peningkatan pelayanan sekolah,
melalui
survei
pengaduan
ataupun
mekanisme lainnya;
 Proses penyusunan dokumen perencanaan
sekolah secara partisipatif, antara pihak
sekolah bersama Komite Sekolah;
Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
Peraturan ini memberi mandat setiap unit
layanan, termasuk sekolah, melaksanakan
survei pengaduan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pelayanannya.
 Memberikan informasi yang memadai bagi
Komite Sekolah tentang perencanaan,
penganggaran, dan pendanaan sekolah,
termasuk pelaporan keuangannya dan
informasi penting lainnya sebagai upaya
penerapan transparansi dan akuntabilitas
sekolah;
Secara umum prinsip MBS berorientasi
pelayanan publik yang difasilitasi oleh Kinerja
13
 Pemerintah Daerah – SKPD terkait lebih
aktif dalam mendukung upaya peningkatan
pelayanan di sekolah;
sekolah mitra di sembilan kabupaten/kota di
empat provinsi (20 sekolah di masing-masing
kabupaten/kota).
 Adanya
mekanisme
monitoring
implementasi MBS berorientasi pelayanan
publik oleh forum multi stakeholder;
Pendekatan Kinerja telah menunjukkan
manfaat yang cukup signifikan di hampir
semua sekolah mitra, baik dari aspek
peningkatan
partisipasi
forum
multi
stakeholder
sekolah,
transparansi,
akuntabilitas, dan peningkatan kualitas
pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah menyusun
RKS dan RKAS secara partisipatif dan
memasukkan program dan kegaiatan menuju
pencapaian
standar
pelayanan
serta
berdasarkan data yang valid, evaluasi diri
sekolah, dan hasil survei pengaduan.
 Keterlibatan media massa, termasuk jurnalis
warga, dalam mempublikasikan praktikpraktik yang baik, keluhan, dan saran
masyarakat untuk mendukung peningkatan
pelayanan publik.
Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari pendampingan di
sekolah-sekolah mitra Kinerja meliputi, namun
tidak terbatas pada:

Data sekolah yang valid dan mutakhir;

Evaluasi diri sekolah;

Survei pengaduan masyarakat;

Janji perbaikan layanan berdasarkan survei
pengaduan;

Rekomendasi perbaikan layanan;

Perencanaan dan penganggaran sekolah
yang partisipatif menggunakan data yang
valid dan mutakhir, hasil evaluasi diri
sekolah, dan hasil survei pengaduan serta
meengakomodasi standar pelayanan, SPM,
dan SNP;

Implementasi rencana sekolah
transparan dan akuntabel;

Komite sekolah aktif dalam survei
pengaduaan, perencanaan sekolah, dan
monitoring tindak lanjut janji perbaikan
layanan;

Laporan kegiatan dan keuangan sekolah
terintegrasi, transparan, dan akuntabel;

Perbaikan pelayanan sekolah;

Perluasan penerapan praktik-praktik MBS
yang baik ke sekolah lain.
Sekolah-sekolah mitra Kinerja melaksanakan
survei pengaduan, menganalisis hasilnya
menjadi sebuah indeks pengaduan masyarakat,
membuat janji perbaikan layanan dan
menindaklanjuti pengaduan yang menjadi
wewenang sekolah dan menyampaikan
rekomendasi tindak lanjut kepada Dinas
Pendidikan. Di Kabupaten Barru, ada sekolah
yang menyampaikan rekomendasi kepada
instansi lain di luar Dinas Pendidikan, yakni
Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk
memperbaiki layanan UKS.
Beberapa kepala sekolah menyatakan bahwa
survei pengaduan sangat efektif untuk
memperbaiki pelayanan sekolah. Tanpa survei
pengaduan, mereka tidak mengetahui apa yang
menjadi keluhan dan harapan pengguna
layanan.
yang
Di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, terlihat
jelas perubahan pelayanan sekolah terhadap
murid dan siswa. Fasilitas dan kegiatan
pembelajaran membaik sehingga murid belajar
dengan nyaman. Lingkungan sekolah juga
menjadi lebih baik berkat peran serta
pemerintah daerah, komite sekolah, dan
masyarakat yang tanggap terhadap pengaduan
masyarakat.
Beberapa sekolah di Kabupaten Melawi telah
berhasil meraih dukungan pendanaan dari
orangtua/wali murid, masyarakat, dan dunia
industri
setelah
sekolah
menerapkan
perencanaan yang transparan dan partisipatif.
Hasil yang dicapai
Bersama organisasi mitra pelaksana, Kinerja,
melaksanakan pendampingan pengembangan
MBS berorientasi pelayanan publik di 180
14
Replikasi Program Tata Kelola MBS
Kesimpulan
Setelah melihat dan merasakan manfaat
Program Tata Kelola MBS, beberapa daerah
mitra Kinerja menyebarluaskan program ini ke
sekolah-sekolah lain seperti di Kota
Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten
Bener Meriah, Kabupaten Barru, dan Kota
Singkawang. Bahkan Kota Probolingo pada
tahun 2014 menerapkan program ini ke semua
SD dan SMP.
Berdasarkan pengalaman bekerja bersama
sekolah dan komite sekolah di berbagai daerah,
dapat disimpulkan bahwa:
 Jika diterapkan dengan benar dan sungguhsungguh, melalui MBS sekolah dapat
meningkatkan pelayanannya.
 Di banyak sekolah, penerapan MBS
ternyata tidaklah mudah dan memerlukan
pendampingan terus menerus. Untuk
menjamin
keberlanjutan
diperlukan
komitmen dan dukungan nyata dari Dinas
Pendidikan, khususnya pengawas sekolah,
dan komite sekolah. Dengan demikian,
penguatan di tingkat kabupaten/kota,
UPTD, dan komite sekolah menjadi
penting.
Sama halnya dengan Program Tata Kelola
DGP dan BOSP, selain melanjutkan dukungan
teknis
Tata
Kelola
MBS
kepada
kabupaten/kota mitra melalui organisasi mitra
pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja
mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk
mereplikasi
praktik-praktik
yang
baik
penerapan Tata Kelola MBS. Kinerja
menyediakan bantuan teknis terbatas kepada
pemerintah daerah tang ingin mereplikasi
program ini. Untuk mendukung replikasi,
Kinerja juga memperkuat organisasi mitra
pelaksana sehingga siap digunakan oleh
pemerintah daerah non-mitra. Sampai saat ini
Program Tata Kelola MBS telah direplikasi
dan mulai dilaksanakan oleh pemerintah
daerah di Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Mojokerto, dan Kota Mojokerto. Pada tahun
 Penyelenggaraan sekolah yang transparan,
partisipatif, dan akuntabel telah terbukti
mampu mendatangkan dukungan dari
orangtua/wali murid, masyarakat dan dunia
usaha.
 Survei pengaduan, janji perbaikan layanan,
dan rekomendasi kepada instansi terkait
sangat bermanfaat bagi sekolah untuk
meningkatkan pelayanan publik.***
15
Rekomendasi
Berdasarkan
pengalaman
pelaksanaan
program pendidikan Kinerja, beberapa
rekomendasi perlu disampaikan agar tata
kelola pendidikan di tingkat kabupaten/kota
dan sekolah dapat memenuhi standar
pelayanan sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundangan yang berlaku.
oleh masyarakat dan guru yang akan
dipindahkan.
6. Dalam pelaksanaan distribusi guru,
pemerintah daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti jenjang
sekolah, jarak sekolah, biaya ekonomi,
sosial dan psikologis.
7. Pemerintah daerah perlu menyediakan
skema insentif, terutama bagi guru-guru
yang ditempatkan di daerah terpencil.
Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional
1. Pemerintah pusat perlu mengeluarkan
regulasi yang lebih kuat agar pemerintah
daerah bersedia melaksanakan distribusi
dan penataan guru secara lebih baik. SKB
5 Menteri tentang Pemerataan dan
Penataan Guru PNS belum cukup efektif.
Direkomendasikan agar pemerintah pusat
menerbitkan regulasi dalam bentuk
Peraturan
Pemerintah
ditindaklanjuti
dengan Peraturan Menteri tantang petunjuk
teknisnya.
8. Untuk
menjamin
keberlangsungan
distribusi dan penataan guru secara
proporsional, pemerintah daerah perlu
menerbitkan regulasi dalam bentuk
Peraturan
Bupati/Walikota
berikut
petunjuk teknis pelaksanaannya.
Tata Kelola Biaya Operasional Satuan
Pendidikan
2. Pemerintah
pusat
perlu
memberi
bimbingan teknis bagi pelaksana di daerah
sehingga distribusi dan penataan guru
dapat dilaksanakan dengan baik.
1. Pada 2015 pemerintah pusat sudah
meningkatkan alokasi BOS ke sekolahsekolah yang sangat membantu pencapaian
standar pelayanan minimal. Di samping itu
pemerintah juga menerapkan formula yang
lebih adil bagi sekolah-sekolah dengan
jumlah
murid
sedikit.
Namun
penghitungan BOSP tetap diperlukan agar
pemrintah daerah dapat ikut serta dalam
pendanaan sekolah, terutama untuk
sekolah-sekolah yang tingkat kemajuan
dan kebutuhan berada di atas rata-rata.
3. Pemerintah pusat perlu menerapkan
insentif bagi daerah-daerah yang siap
melaksanakan distribusi dan penataan guru
dengan baik. Sebaliknya sanksi juga perlu
diterapkan bagi daerah-daerah yang tidak
melaksanakannya.
4. Pemerintah daerah harus melaksanakan
distribusi dan penataan guru untuk
menajamin pelayanan publik di sektor
pendidikan, khususnya di sekolah menjadi
lebih baik.
2. Apabila dana BOS tidak dapat memenuhi
kebutuhan sekolah, pemerintah pusat perlu
menerbitkan peraturan yang mewajibkan
pemerintah daerah untuk mengalokasikan
dana tambahan ke sekolah-sekolah untuk
menutup
kesenjangan
pembiayaan
operasional sekolah.
5. Dalam melaksanakan distribusi dan
penataan guru, pemerintah daerah perlu
melibatkan instansi-instansi pemerintah
daerah terkait dan masyarakat melalui
forum multi stakeholder. Hal ini
dimaksudkan agar kebijakan distribusi
guru dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel serta dapat diterima oleh
berbagai pihak dan mengurangi dampak
yang ditimbulkannya seperti penolakan
3. Dalam proses penyusunan kebijakan,
penghitungan BOSP dan pelaksanaannya,
pemerintah daerah perlu melibatkan
masyarakat
melalui
forum
multi
stakeholder
sesuai
prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas sebagaimana
diamanatkan oleh peraturan perundangan.
16
4. Untuk menjamin keberlangsungan alokasi
dana tambahan ke sekolah-sekolah
(BOSDA), pemerintah daerah perlu
menerbitkan regulasi dalam bentuk
Peraturan
Bupati/Walikota
berikut
petunjuk teknis pelaksanaannya.
3. Untuk
menguatkan
pelaksanaan
manajamen
berbasis sekolah
yang
berorientasi pelayanan publik, pemerintah
daerah perlu menerbitkan peraturan yang
mewajibkan sekolah melaksanakan survei
pengaduan sebagai bagian dari proses
perencanaan dan penganggaran sekolah.
Survei
pengaduan
ini
kemudian
dilanjutkan dengan janji dan pelaksanaan
perbaikan layanan sekolah.
Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah
1. Penyelenggara pendidikan di semua
tingkatan harus memahami bahwa sekolah
merupakan
unit
pelayaan
publik
pemerintah
di
sektor
pendidikan
sebagaimana disebut dalam Permenpan
No.13/2009. Dengan demikian sekolah
wajib menyediakan pelayanan bagi murid
dan masyarakat sesuai standar pelayanan.
4. Untuk menjamin manajemen berbasis
sekolah dilaksanakan dengan sungguhsungguh, pemerintah daerah
perlu
menguatkan peran pengawas sekolah untuk
dapat melakukan supervisi dan memberi
bimbingan teknis kepada sekolah-sekolah,
termasuk komite sekolah. Disamping itu,
musyawarah kerja kepala sekolah dapat
dijadikan forum untuk menguatkan
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah.
2. Pemerintah pusat perlu menerbitkan
peraturan
mengenai
pelaksanaan
manajamin berbasis sekolah untuk
menjamin
otonomi
sekolah
dapat
dilaksanakan
dengan
melibatkan
masyarakat melalui komite sekolah.
Hirarki legalitas Kepmendiknas No.
044/U/2002 tidak cukup kuat untuk
pelaksanaannya. Demikian juga PP
No.17/2010 yang walaupun secara hirarki
legalitas cukup kuat, namun tidak secara
tegas mengatur tentang keharusan sekolah
melaksanakan
manajemen
berbasis
sekolah.
5. Dengan meningkatnya tuntutan agar kepala
sekolah dan guru melaksanakan tata kelola
MBS dengan baik, maka sudah saatnya
manajemen SD mempunyai tenaga
administrasi sebagaimana di SMP dan
SMA/SMK, sehingga kepala sekolah dan
guru dapat mencurahkan lebih banyak
waktu dan perhatiannya ke peningkatan
mutu
tata
kelola
dan
kegiatan
pembelajaran.
*****
17
Download