179 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tema

advertisement
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tema-tema ideologi negara yang cenderung muncul dalam kurikulum
sosiologi tingkat SMA sebagai bentuk representasi kuasa negara dalam
pendidikan
adalah
perubahan
sosial
budaya
(KBK);
masyarakat
multikultural dan lembaga sosial (KTSP); serta masyarakat multikultural
(Kurikulum 2013). Selain itu, di dalam KTSP, “sikap anti sosial”, masuk
dalam kurikulum sebagai tema ideologi baru yang sebelumnya tidak
diterapkan pada KBK. Sedangkan “globalisasi” dan “kepedulian sosial”
merupakan isu baru yang diterapkan di dalam materi pada kurikulum
sosiologi SMA.
2. Tema-tema ideologi negara yang muncul tidak terlepas dari praktik
produksi, distribusi dan konsumsi teks. Negara melakukan kontrol
terhadap produksi teks melalui BSNP dan Puskurbuk. BSNP mendominasi
produksi teks kurikulum sosiologi SMA, sedangkan Puskurbuk melakukan
kontrol terhadap pengembangan kurikulum sosiologi SMA. Kontrol
terhadap distribusi teks kurikulum dilakukan oleh BPSDMP dan PMP
melalui berbagai pelatihan, work shop, seminar, dan lain-lain. Kontrol
terhadap konsumsi teks kurikulum dilakukan oleh Puspendik melalui
pemantauan dan penilaian terhadap mutu pendidikan. Lembaga-lembaga
kepanjangan tangan dari negara tersebut berada langsung di bawah
Kementrian Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Menteri Pendidikan
yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden (negara). Dalam hal ini,
179
terjadi pergeseran bentuk indoktrinasi dan dominasi pemerintah dalam
pendidikan
pascareformasi.
Jika
pada
masa
orde
baru,
metode
pembelajaran digunakan sebagai sarana pendoktrinan oleh negara untuk
melanggengkan kekuasaannya. Sebaliknya, pascareformasi indoktrinasi
negara dalam pendidikan tidak kentara, namun dominasi masih tetap ada.
Disatu sisi, pendidikan diarahkan pada pendidikan humanis, Maka metode
pembelajaran pun diubah lebih kepada bentuk metode pembelajaran
dialektis, yang menempatkan siswa sebagai subyek belajar dan guru
berperan sebagai organisator dan fasilitator pembelajaran. Disisi lain,
melalui berbagai standarisasi dalam pendidikan yang tidak bebas dari
dominasi kuasa negara dalam pendidikan. Dominasi pemerintah beroperasi
melalui berbagai Undang-undang dan peraturan yang didukung oleh
wacana kuasa/pengetahuan yang berperan merasionalisasi pendidikan.
3. Konteks sosial, politik dan budaya turut mempengaruhi praktik wacana
ideologi negara dalam kurikulum sosiologi SMA. Tema-tema ideologi
tersebut “muncul” ataupun “sengaja dimunculkan” dipengaruhi oleh
kondisi sosial, politik dan budaya. Reformasi tahun 1998 menuntut adanya
perubahan
sistem
sosial
politik
nasional
yakni
penyelenggaraan
desentralisasi pemerintahan. Kebijakan ini juga turut membawa implikasi
terhadap arah kebijakan politik pendidikan. Sejalan dengan semangat
desentralisasi
pemerintahan
maka
perlu
adanya
penyelenggaraan
desentralisasi pendidikan, sehingga kebijakan politik pendidikan pun
berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi pendidikan. Selain itu,
180
Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 serta dekadensi moral generasi
penerus bangsa juga turut mempengaruhi munculnya teks-teks ideologi
tersebut dalam kurikulum sosiologi SMA.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu perlu adanya riset lanjutan yang mengekslorasi tema-tema tentang
pedagogi kritis sebagai bagian dari Sosiologi Pendidikan dengan lebih mendalam
dan memberikan referensi maupun masukan bagi pemangku kepentingan dalam
pendidikan, yaitu kalangan akademisi, praktisi pendidikan, maupun pengambil
kebijakan pendidikan. Selanjutnya berdasarkan apa yang telah penulis temukan
selama riset di lapangan dan selama proses penulisan ini, berikut disajikan
beberapa saran dan masukan dalam tesis ini.
Pertama, kebijakan pendidikan sebagus apapun teori dan konsepnya, namun
jika dalam aplikasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya maka hanya akan
tetap menjadi konsep, tidak akan terserap hingga ke tingkat praktiknya. Demikian
pula halnya dalam kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum di Indonesia yang
silih berganti, namun belum mampu terserap dengan baik dalam tingkat
praksisnya. Untuk itu perlu kerja yang lebih keras lagi. Perlu pemantapan dalam
penyempurnaan kurikulum (pelaksanaan, suplai buku, dan sebagainya), kesiapan
praktisi
pendidikan
dalam
penerapannya
(pelatihan
mengenai
metode
pembelajaran baru bagi guru), sehingga implementasi kurikulum baru tersebut
dalam terlaksana dengan sempurna. Maka, istilah “ganti menteri, ganti
kurikulum” tidak lagi melekat dalam persepsi publik.
181
Kedua, pemerintah disarankan untuk lebih bersikap demokratis dalam
menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Hal ini dapat dilakukan hanya jika para
pengambil keputusan bersikap kritis terhadap wacana global dan politik
pendidikan nasional yang bersifat ideologis-kultural. Pendidikan tidak boleh
terjebak dalam kepentingan kuasa kapital yang dapat menyingkirkan kelompok
yang lemah dalam masyarakat.
182
Download