BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tema-tema ideologi negara yang cenderung muncul dalam kurikulum sosiologi tingkat SMA sebagai bentuk representasi kuasa negara dalam pendidikan adalah perubahan sosial budaya (KBK); masyarakat multikultural dan lembaga sosial (KTSP); serta masyarakat multikultural (Kurikulum 2013). Selain itu, di dalam KTSP, “sikap anti sosial”, masuk dalam kurikulum sebagai tema ideologi baru yang sebelumnya tidak diterapkan pada KBK. Sedangkan “globalisasi” dan “kepedulian sosial” merupakan isu baru yang diterapkan di dalam materi pada kurikulum sosiologi SMA. 2. Tema-tema ideologi negara yang muncul tidak terlepas dari praktik produksi, distribusi dan konsumsi teks. Negara melakukan kontrol terhadap produksi teks melalui BSNP dan Puskurbuk. BSNP mendominasi produksi teks kurikulum sosiologi SMA, sedangkan Puskurbuk melakukan kontrol terhadap pengembangan kurikulum sosiologi SMA. Kontrol terhadap distribusi teks kurikulum dilakukan oleh BPSDMP dan PMP melalui berbagai pelatihan, work shop, seminar, dan lain-lain. Kontrol terhadap konsumsi teks kurikulum dilakukan oleh Puspendik melalui pemantauan dan penilaian terhadap mutu pendidikan. Lembaga-lembaga kepanjangan tangan dari negara tersebut berada langsung di bawah Kementrian Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Menteri Pendidikan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden (negara). Dalam hal ini, 179 terjadi pergeseran bentuk indoktrinasi dan dominasi pemerintah dalam pendidikan pascareformasi. Jika pada masa orde baru, metode pembelajaran digunakan sebagai sarana pendoktrinan oleh negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Sebaliknya, pascareformasi indoktrinasi negara dalam pendidikan tidak kentara, namun dominasi masih tetap ada. Disatu sisi, pendidikan diarahkan pada pendidikan humanis, Maka metode pembelajaran pun diubah lebih kepada bentuk metode pembelajaran dialektis, yang menempatkan siswa sebagai subyek belajar dan guru berperan sebagai organisator dan fasilitator pembelajaran. Disisi lain, melalui berbagai standarisasi dalam pendidikan yang tidak bebas dari dominasi kuasa negara dalam pendidikan. Dominasi pemerintah beroperasi melalui berbagai Undang-undang dan peraturan yang didukung oleh wacana kuasa/pengetahuan yang berperan merasionalisasi pendidikan. 3. Konteks sosial, politik dan budaya turut mempengaruhi praktik wacana ideologi negara dalam kurikulum sosiologi SMA. Tema-tema ideologi tersebut “muncul” ataupun “sengaja dimunculkan” dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya. Reformasi tahun 1998 menuntut adanya perubahan sistem sosial politik nasional yakni penyelenggaraan desentralisasi pemerintahan. Kebijakan ini juga turut membawa implikasi terhadap arah kebijakan politik pendidikan. Sejalan dengan semangat desentralisasi pemerintahan maka perlu adanya penyelenggaraan desentralisasi pendidikan, sehingga kebijakan politik pendidikan pun berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi pendidikan. Selain itu, 180 Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 serta dekadensi moral generasi penerus bangsa juga turut mempengaruhi munculnya teks-teks ideologi tersebut dalam kurikulum sosiologi SMA. B. Saran Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu perlu adanya riset lanjutan yang mengekslorasi tema-tema tentang pedagogi kritis sebagai bagian dari Sosiologi Pendidikan dengan lebih mendalam dan memberikan referensi maupun masukan bagi pemangku kepentingan dalam pendidikan, yaitu kalangan akademisi, praktisi pendidikan, maupun pengambil kebijakan pendidikan. Selanjutnya berdasarkan apa yang telah penulis temukan selama riset di lapangan dan selama proses penulisan ini, berikut disajikan beberapa saran dan masukan dalam tesis ini. Pertama, kebijakan pendidikan sebagus apapun teori dan konsepnya, namun jika dalam aplikasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya maka hanya akan tetap menjadi konsep, tidak akan terserap hingga ke tingkat praktiknya. Demikian pula halnya dalam kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum di Indonesia yang silih berganti, namun belum mampu terserap dengan baik dalam tingkat praksisnya. Untuk itu perlu kerja yang lebih keras lagi. Perlu pemantapan dalam penyempurnaan kurikulum (pelaksanaan, suplai buku, dan sebagainya), kesiapan praktisi pendidikan dalam penerapannya (pelatihan mengenai metode pembelajaran baru bagi guru), sehingga implementasi kurikulum baru tersebut dalam terlaksana dengan sempurna. Maka, istilah “ganti menteri, ganti kurikulum” tidak lagi melekat dalam persepsi publik. 181 Kedua, pemerintah disarankan untuk lebih bersikap demokratis dalam menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Hal ini dapat dilakukan hanya jika para pengambil keputusan bersikap kritis terhadap wacana global dan politik pendidikan nasional yang bersifat ideologis-kultural. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam kepentingan kuasa kapital yang dapat menyingkirkan kelompok yang lemah dalam masyarakat. 182