ANALISIS PELAKSANAAN INFORMED CONSENT

advertisement
ANALISIS PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
1)
Samino1)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati
e-mail : [email protected]
Abstrak: Analisis Pelaksanaan Informed Consent. Pelaksanaan tindakan medis infasif harus
memperoleh persetujuan pasien atau keluarganya, diwujudkan dalam bentuk dokumen informed
consent (Azwar, 1996). Hasil-hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan informed consent diberbagai
RS belum dilaksanakan dengan baik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan informed
consent. Jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi, dilakukan terhadap 3 pimpinan
RS, 4 dokter spesialis, 10 perawat, dan 10 pasien/keluarganya. Pengumpulan data dengan wawancara
mendalam. Pengambilan data dengan purposive sampling,
analisa data dengan
content
analysis.Penelitian dilaksanakan di 3 RS Provinsi Lampung, April - Juli 2013. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (a). Pelaksanaan informed consent di tiga RS belum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (b). Informasi medis yang dijelaskan oleh dokter kepada
pasien/keluarganya belum lengkap. (c). Pada umumnya dokter dalam menjelaskan rencana tindakan
telah menggunakan bahasa yang dipahami pasien/keluarganya. (d). Antara pemberi penjelasan dengan
yang melakukan tindakan adalah dilakukan oleh dokter yang sama. (e). Umumnya penjelasan
tambahan oleh perawat tidak dibenarkan, namun ada satu RS yang memeberi kewenangan pada
perawat senior untuk memberi penjelasan jika dokter tidak ada. (f). Informasi diberikan secara tertulis
dan dijelaskan secara lisan akan lebih baik dibandingkan dengan hanya diberikan secara lisan.
Kata kunci : pelaksanaan, informed consent
Abstract : Analysis Of Informed Consent. Implementation of invasive medical procedures have to
approved by the patient or his family, realized in terms of the informed consent document (Azwar,
1996). The results of the study demonstrate the implementation of various hospital informed consent
has not been implemented properly. This study aimed to determine the implementation of informed
consent. This study is qualitative research, use the phenomenological approach, implemented to the 3
leadership of hospital, 4 specialist doctors, 10 nurses, and 10 patients/families. Data collected with indepth interviews. Data were taken use purposive sampling, and analysis of data with content analysis.
The research implemented at 3 Lampung Province hospital, from April to July 2013. The results
showed that (a). Implementation of informed consent in three hospital have not been in accordance
with laws and regulations that apply. (b). Medical information which is explained by the doctor to the
patient / family is not yet complete. (c). Generally physician in explain the plan of action used
language that is understood by the patient/family. (d). Between the explanator and the implementator
of actions that are performed by the same physician. (e). Generally additional explanation by the nurse
is not justified, but there is one hospital that counts the authority to senior nurses to give an
explanation if the doctor is not there/not on duty. (f). Information given in writing and verbally
described would be better than just given verbally.
Keywords: implementation of informed consent
Konsep masyarakat modern, kedudukan
dokter sejajar dengan pelanggan. Keputusan
menerima atau menolak usulan dokter menjadi
hak sepenuhnya pelanggan. Pelaksanaan
tindakan medis infasif harus memperoleh
persetujuan
pasien
atau
keluarganya,
diwujudkan dalam bentuk dokumen informed
consent (Azwar, 1996). Hasil penelitian Samino
(2003), di RSCM (Irna A dan B) Jakarta dan
Samino dan Dina (2008), di RSAM (Ruang
Bedah Pria) Lampung, menunjukkan bahwa
implementasi informed consent belum sesuai
dengan
peraturan yang berlaku. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pelaksanaan
informed consent.
71
72 Jurnal Kesehatan, Volume V, Nomor 1,April 2014, hlm 71-78
METODE
Informan, Kualifikasi, Lokasi, dan Waktu
Jenis dan Desain Penelitian
Sebagai informan adalah tiga pimpinan
RS (dua direktur dan satu Ketua Komite
Medik), empat orang dokter spesialis, sepuluh
perawat
ruangan,
dan
sepuluh
pasien/keluarganya yang pernah memberikan
persetujuan tindakan medik. Dokter adalah
yang sudah pernah memberikan informasi
medis. Perawat yang pernah menjadi saksi,
dengan
berpendidikan
minimal
D-III
Keperawatan. Pemilihan informan dengan
pendekatan proporsive sampling, dilaksankan
di RSAM, IM, dan MH Pringsewu,
dilaksanakan April - Juli 2013.
Menggunakan metode kualitatif, bersifat
eksploratif (eksploratif) dengan pendekatan
fenomenologi.
Menurut Bogdan (1993),
metode kualitatif adalah prosedur riset yang
menghasilkan data kualitatif, tentang ungkapan,
atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku
mereka yang terobservasi. Rancangan ini
memungkinkan peneliti memperoleh jawaban
atau informasi mendalam tentang pendapat dan
perasaan seseorang.
Definisi Istilah
Penelitian ini dengan pendekatan kualitatif, dalam pengkajian fokus pada hal-hal sebagai berikut:
Faktor
Definisi istilah (informan)
Sumber data
Metode
Waktu pemberian
informasi dan
persetujuan
Adalah waktu dokter memberikan informasi
medis dan persetujuan pasien/keluarganya.
(dokter, perawat, pasien/keluarganya)
Primer
Wawancara
Tempat pemberian
informasi
Adalah tempat dokter dalam menjelaskan
rencana tindakan medis kepada
pasien/kelauarganya (dokter, perawat,
pasien/keluarganya)
Primer
Wawancara
Informsi medis yang
dijelaskan
Informasi medis yang dijelaskan oleh dokter
kepada pasien/ keluarganya. (dokter, perawat,
pasien/ keluarganya)
Primer
Wawancara
Bahasa yang digunakan
Adalah bahasa yang digunakan oleh dokter
untuk menjelaskan informasi medis (dokter,
perawat, pasien/keluarganya)
Primer
Wawancara
Pemberi informasi dan
operatornya
Adalah dokter yang memberikan penjelasan
rencana tindakan apakah yang akan melakukan
tindakan
Primer
Wawancara
Penjelasan perawat
Adalah penjelasan mengenai rencana tindakan
medis yang dilakukan oleh profesi keperawatan
Primer
Wawancara
Informasi medis tertulis
Adalah informasi medis diberikan oleh dokter
kepada pasien/keluarganya diberikan secara
tertulis dan jelaskan secara lisan.
Primer
Wawancara
Jenis, cara pengambilan Data dan analisis
Data primer diperoleh dari pimpinan
RS, pasien/keluarganya, dokter, dan perawat.
Metode
pengumpulan
data
wawancara
mendalam (pasien/keluarganya dan perawat).
Untuk pimpinan RS dan dokter
pengambilan
data
dengan
wawancara
terstruktur, hal ini dilakukan karena sulit untuk
menentukan jadual yang sesuai. Hasil jawaban
informan disusun dengan pendekatan content
analysis.
Trigunarso, Pengaruh Kompetensi Kerja dan Kepemimpinan Transformasional 73
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa dalam Informed Consent
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan, baik dari
informan
dokter,
perawat,
maupun
pasien/keluarganya, disimpulkan bahwa dokter
dalam
menjelaskan
rencana
tindakan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami
(Bahasa Indonesia). Hasil penelitian sesuai
dengan
ketentuan
dalam
Permenkes
290/Menkes/Per/III/2008, penjelasan harus
diberikan secara lengkap dengan bahasa yang
mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan
mempermudah pemahaman pasien/keluarganya
(Pasal 9 (1)).
Waktu Pemberian Informasi Medis dan
Persetujuan
Menurut informan (dokter) dalam
memberikan informasi medis dilakukan satu
hari sebelum rencana tindakan dilakukan. Hal
ini diperkuat dengan informan (perawat),
mengatakan umumnya dokter memberikan
penjelasan kepada pasien/keluarganya sehari
sebelumnya. Hasil ini juga diperkuat oleh
pasien/keluarganya,
mereka
memberikan
persetujuan
rencana tindakan
satu hari
sebelumnya. Namun sebagian lain mengatakan
memberikan persetujuan sebelum tindakan
dilaksanakan (menjelang tindakan akan
dilaksanakan). Berdasarkan uraian di atas
secara umum dapat disimpulkan bahwa waktu
pemberian informasi medis dan persetujuan
oleh keluarga pasien dilakukan sehari sebelum
tindakan dilakukan.
Kesempatan Bertanya
Berdasarkan hasil wawancara informan
(dokter, perawat, dan pasien/keluarganya) dapat
disimpulkan bahwa dokter dalam memberikan
penjelasan rencana tindakan yang akan
dilakukan, memberikan kesempatan kepada
pasien/keluarganya
untuk
menanyakan
(berdiskusi), mengenai rencana tindakan yang
akan dilakukan.
Tempat Pemberian Informasi
Menurut (dokter), tempat pemberian
informasi medis dilakukan diberbagai tempat,
ada yang dipolikilinik, ruang perawat, ruang
perawatan, maupun di ruang kerja dokter. Hasil
ini didukung oleh penjelasan pimpinan RS yang
menjelaskan bahwa tidak ada ruang khusus
yang disiapkan untuk proses pemberian
informasi medis. Demikian (keluarga pasien)
mengatakan bahwa tempat pemberian informasi
medis tidak menentu, kadang-kadang tempat
perawat (kantor perawat), bangsal (tempat
tidur), atau poliklinik.
Pemberi Informasi Medis dan Pelaksana
Tindakan (Operator)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dokter yang menjelaskan rencana tindakan
medis adalah yang akan melakukan tindakan
tersebut. Hasil ini sesuai dengan pasal 10 (1)
Permenkes 290/2008, rencana tindakan medis
diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau
dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
Penjelasan oleh Perawat
Isi Informasi Medis
Berdasarkan hasil wawancara informan (dokter,
perawat, dan pasien/keluarganya), disimpulkan
bahwa informasi medis yang dijelaskan oleh
dokter kepada pasien/keluarganya mencakup :
penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya,
tindakan/terapi yang akan dilakukan, tujuan
tindakan, resiko/komplikasi, alternatif tindakan yang dapat dilakukan, prognosisnya, dan
perawatan selanjutnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada umumnya informan (dokter) mengatakan,
perawat tidak perlu memberikan penjelasan
tambahan kepada pasien/keluarganya mengenai
rencana tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter. Namun menurut informan lain
(pimpinan) mengatakan, perawat boleh
memberikan penjelasan tambahan khususnya
mereka yang sudah memahami dibidangnya
masing-masing (senior).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
Keputusan Diryanmed (HK.00.06.3.5.1866/
74 Jurnal Kesehatan, Volume V, Nomor 1,April 2014, hlm 71-78
1999, yaitu peran perawat dalam pelaksanaan
informed consent sebagai saksi.
Informasi Medis Tertulis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada semua informan (dokter) mengatakan
setuju jika informasi secara tertulis dan
dijelaskan secara lisan kepada pasien/
keluarganya. Hal yang sama disampaikan oleh
informan (pimpinan), mengatakan bahwa setuju
apabila informasi medis diberikan dalam bentuk
tertulis dan dijelaskan secara lisan. Demikian
juga menurut informan (perawat), informasi
tertulis akan lebih baik dibandingkan dengan
secara lisan, karena lebih lengkap dan ada
buktinya bahwa dokter telah menjelaskan dan
pasien/keluarganya dapat dibaca kembali.
Pembahasan
Waktu Pemberian Informasi Medis dan
Persetujuan
Waktu pemberian informasi medis dan
persetujuan menjadi masalah penting dalam
pelayanan kesehatan berkaitan dengan tindakan
yang sifatnya pilihan, bukan kegawatdaruratan.
Berdasarkan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.
1866/1999, mengharuskan pasien sudah
memberi persetujuan paling lambat 24 jam.
Maknanya (dalam keadaan normal) informasi
medis seharusnya sudah diberikan lebih dari 24
jam (minimal 36 jam sebelum jadwal tindakan),
dengan demikian pasien masih mempunyai
waktu berfikir 12 jam untuk menentukan
apakah tawaran/usulan dokter tersebut disetujui
atau ditolak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
waktu pemberian informasi medis dan
persetujuan oleh keluarga pasien dilakukan
sehari sebelum tindakan dilakukan. Pelaksanaan
pemberian informasi medis oleh dokter dan
persetujuan oleh pasie/keluarganya sudah
sesuai dengan keputusan Dir.Yanmedik tersebut
diatas, namun sebaiknya penjelasan diberikan
lebih dari satu hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
Samino (2003), yang menyatakan bahwa
tenggang waktu pemberian informasi medis
dengan rencana tindakan yang akan dilakukan
lebih dari 24 jam bahkan ada yang satu bulan
sebelumnya.
Peneliti menyadari bahwa
informasi tersebut perlu di konfirmasi dengan
sumber lain, misalnya dengan melakukan
observasi. Dengan observasi ini diyakini dapat
memperoleh informasi yang lebih akurat, oleh
karena itu metode pengambilan data dengan
observasi penting untuk dipertimbangkan.
Tempat Pemberian Informasi
Hasil penelitian belum sepenuhnya
mengikuti
ketentuan
Kep.Dir.Yanmedis
HK.00.06.3.5. 1866/1999. Dalam peraturan
tersebut ditegaskan bahwa informasi medis
diberikan di ruang dokter atau ruangan lain
yang kondusif, artinya tidak terganggu oleh
pihak lain, sehingga informasi medis dapat
diterima oleh pasien/keluarganya dengan baik.
Mengingat bahwa tempat pemberian informasi
medis di berbagai tempat, telah menjadi
kewajiban bagi RS harus menyediaakan
tempat/ruangan khusus untuk pelaksanaanya.
Jika RS menyediakan tempat untuk itu,
maka proses tersebut akan berjalan dengan
baik, sehingga mutu pe
layan informed consent terjaga dengan
baik. Hal ini didukung oleh Permenkes No.
290/2008, pasal 17 (2) ditegaskan bahwa sarana
pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran
(medis). Ketentuan pasal 17 tersebut didukung
oleh pasal 18 (2), bahwa untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan, dinas kesehatan
perlu
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan pelayanan tersebut.
Salah satu contoh RS yang telah
menyediakan ruang untuk kunsultasi dokter
dengan pasien seperti yang diterapkan pada
Unit Swadana RSAM, ada salah satu ruangan
yang disediakan untuk pemberian informasi
medis, dimana di ruangan tersebut ada meja dan
kursi serta peralatan lain untuk menunjang
penjelasan dokter seperti hasil pemeriksaan
penunjang. Ketersediaan ruang ini memberikan
rasa nyaman bagi pasien / keluarganya untuk
menyampaikan hal-hal yang sifatnya sangat
pribadi, demikian juga dokter akan memberikan
penjelasan secara mendalam, termasuk jika ada
hal-hal yang sifatnya menjadi kerahasiaan
pasien, dengan demikian kerahasiaannya dapat
terjamin.
Trigunarso, Pengaruh Kompetensi Kerja dan Kepemimpinan Transformasional 75
Isi Informasi Medis
Hasil penelitian ini jika dibandingkan
keputusan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.
1866/1999. Belum sesuai. Dalam peraturan ini
ada enam hal/informasi medis yang harus
dijelaskan kepada pasien/keluarganya: a.
Tujuan dan prosfek keberhasilan tindakan
medik yang akan dilakukan (purpose of medical
procedure), b. Tata cara tindakan medis yang
akan
dilakukan
(contemplated
medical
procedures), c. Resiko (risk inherent in such
medical procedures). d.Alternatif tindakan
medis lain yang tersedia dan serta resikonya
masing-masing (alternative medical procedure
and risk), e. Prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan (prognosis
with and without medical procedure). f.
Diagnosis.
Hasil penelitian ini di atas jika
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 45 UU
No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, juga
belum sesuai. Pasal tersebut memberikan
arahan bahwa penjelasan rencana tindakan
minimal mencakup: a. Diagnosis dan tata cara
tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang
dilakukan, c. Alternatif tindakan lain dan
risikonya, d. Risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan e. Prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan.
Hasil diatas jika dibandingkan lagi
dengan arahan Sampurna, at.all (2006), masih
jauh dari ketentuan ini. Menurut Sampurna ada
12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan
kepada pasien : a. Diagnosis dan prognosis
secara rinci dan juga prognosis apabila tidak
diobati, b. Ketidakpastian tentang diagnosis
(diagnosis kerja dan diagnosis banding)
termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum
dilakukan pengobatan, c. Pilihan pengobatan
atau
penatalaksanaan
terhadap
kondisi
kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak
diobati, d. Tujuan dari rencana pemeriksaan
atau pengobatan; rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk
tindakan subsider seperti penanganan nyeri,
bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan
diri, rincian apa yang akan dialami pasien
selama dan sesudah tindakan, termasuk efek
samping yang biasa terjadi dan yang serius, e.
Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan
keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan
tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan
diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius
atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup
sebagai akibat dari tindakan tersebut, f.
Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut
adalah upaya yang masih eksperimental, g.
Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat
sampingannya akan dimonitor atau dinilai
kembali, h. Nama dokter yang bertanggung
jawab secara keseluruhan untuk pengobatan
tersebut, serta bila mungkin nama-nama
anggota tim lainnya, i. Bila melibatkan dokter
yang sedang mengikuti pelatihan atau
pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan
peranannya di dalam rangkaian tindakan yang
akan dilakukan, j. Mengingatkan kembali
bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya
setiap waktu. Bila hal itu dilakukan maka
pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan tersebut, k. Mengingatkan
bahwa pasien berhak memperoleh pendapat
kedua dari dokter lain, l. Bila memungkinkan,
juga diberitahu tentang perincian biaya.
Dengan demikian jika dilihat dari isi
informasi medis yang dijelaskan oleh dokter
kepada pasien/keluarganya, ternya belum
memenuhi harapan, karena masih ada hal yang
belum dijelaskan, misalnya tata cara tindakan,
resiko
masing-masing
alternatif,
dan
pembiayaan. Belum ada informasi mengapa
para dokter belum memberi penjelasan dengan
lengkap. Menurut penjelasan informan,
penjelasan kepada pasien cukup dijelaskan yang
penting-penting saja, yang lengkap adalah
untuk kepentingan akademik. Hemat peneliti,
kesadaran para dokter dalam hal ini perlu
ditumbuh kembangkan melalui berbagai
saluran, misalnya berbagai pelatihan mengenai
hak-hak pasien yang berkaitan dengan
pelaksanaan informed consent.
Bahasa dalam Informed Consent
Penggunaan bahasa oleh dokter dalam
menjelaskan rencana tindakan medis kepada
pasien/keluarganya merupakan hal yang sangat
penting, karena adanya perbedaan pengetahuan
dokter dan pasien/keluarganya, mengenai
materi yang harus dijelaskan kepada pasien,
biasanya merupakan istilah-istilah kedokteran,
dan
adanya
perbedaan
status
sosial,
ketersediaan waktu dokter, beban tugas cukup
banyak, dapat mengakibatkan komunikasi
76 Jurnal Kesehatan, Volume V, Nomor 1,April 2014, hlm 71-78
kurang efektif. Hal ini senada dengan pendapat
Astuti (2013), pemberian informasi dengan
menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan
membawa hasil apa-apa, malah akan
membingungkan pasien. Oleh karena itu
seyogyanya informasi yang diberikan oleh
dokter terhadap pasiennya disampaikan dalam
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti
oleh pasien. Seperti diketahui kebanyakan
pasien adalah awam dengan bahasa kedokteran
dan tidak semua istilah-istilah kedokteran
dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam
bahasa orang awam. Akan lebih baik jika
penjelasannya disertai dengan gambar-gambar
sederhana, sehingga pasien/keluarganya akan
cepat memahaminya.
Kesempatan Bertanya
Sebelum pasien/keluarganya memberikan
keputusan untuk meneruskan pengaobatan atau
tidak, bahkan mencari pelayanan lain, salah
satunya ditentukan oleh proses pemberian
informasi medis. Proses ini memerlukan waktu
untuk menentukan apakah menerima atau
menolak tawaran dokter. Disini harus terjadi
dialog
antara
dokter
dengan
pasien/
keluarganya. Dialog ini untuk memperoleh
pemahaman yang menyeluruh sehingga
keputusannya menjadi bulat. Berdasarkan
pemahaman tersebut, pasien menetapkan
keputusan mandiri, yang menurut pertimbangan
adalah terbaik bagi dirinya (adequate decision).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hal tersebut
di atas, dimana dokter dalam memberikan
penjelasan rencana tindakan yang akan
dilakukan memberikan kesempatan untuk
berdiskusi kepada pasien/keluarganya. Dengan
demikian harapan bahwa keputusan yang
diambil oleh pasien / keluarganya secara
mandiri tidak ada tekanan dari pihak lain dapat
tercapai.
KKI sebagai lembaga yang mengawal
kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran, dalam
pelayanan informed consent harus terjadi
diskusi antara dokter dan pasien/keluarganya.
Setelah keputusan diajukan pun seorang dokter
harus memastikan kembali apakah benar-benar
sudah mantap untuk menerima tawaran. Hal
tersebut didukung oleh Sampurna, at.all (2006),
mengatakan bahwa dalam proses pemberian
informasi medis, dokter harus menyediakan
cukup waktu bagi pasien untuk memahami
informasi yang diberikan, dan kesempatan
bertanya tentang hal-hal yang bersifat
klarifikasi,
sebelum
kemudian
diminta
membuat keputusan.
Sinyalemen Sampurna didukung oleh
Sarimin (2006) mengutif pendapat
Brown,
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan pasien
mengeluh terhadap pelayanan yang diberikan
dokter adalah bahwa dokter tidak memiliki
waktu yang cukup untuk pasien maupun
keluarganya, dokter tidak menyadari bahwa
pasien memiliki kebutuhan khusus yang harus
dipenuhi oleh seorang dokter.
Sinyalemen ini juga diungkapkan oleh
salah satu informan pimpinan RS bahwa pada
umumnya dokter sangat sibuk dan sangat
minim untuk memberikan perhatian kepada
pasiennya. Dia berharap akan memperbaiki
manajemen ini untuk tenaga yang baru, mudahmudahan ini bisa dilaksanakan, karena tidak
mungkin akan merubah perilaku tenaga medis
yang sudah sangat senior ini.
Pemberi Informasi Medis dan Pelaksana
Tindakan (Operator)
Permenkes
memberikan
keleluasan
dalam
penyampaian
penjelasan.
Jika
dokter/dokter
gigi
yang
merawatnya
berhalangan, pemberian penjelasan dapat
didelegasikan kepada dokter lain yang
kompeten (Pasal 10 (2)). Selain dokter/dokter
gigi, tenaga kesehatan lain yang terlibat
langsung dalam perawatannya juga boleh
memberikan penjelasan.
Apabila dalam
keadaan tertentu diantara tim dokter
berhalangan, maka tugas penjelasan dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan lain
yang terlibat langsung dalam perawatannya
(Pasal 10 (4).
Tidak ada penjelasan mengenai siapa
yang dimaksud tenaga kesehatan lain. Namun
penulis menduga bahwa yang dimaksud adalah
tenaga keperawatan. Jika hal itu yang
dimaksud, maka pendelegasian wewenang
tersebut hanya dibenarkan apabila tindakan
kedokteran tersebut bukan merupakan tindakan
pembedahan atau tindakan invasif lainya yang
beresiko tinggi. Perawat yang mendapat tugas
tersebut harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang cukup, sehingga apa yang
dijelaskan tidak terlalu berbeda, apabila
dijelaskan oleh dokter/dokter gigi
yang
Trigunarso, Pengaruh Kompetensi Kerja dan Kepemimpinan Transformasional 77
bertanggung jawab. Ketentuan ini dilaksanakan
oleh salah satu RS yang menjadi kajian, telah
menerapkan kebijakan ini secara terbatas.
Perawat yang ditunjuk adalah perawat senior,
dia mewakili pimpinan RS apabila pimpinan
/dokter tidak ada. Biasanya dilakukan apabila
hari-hari libur, atau bukan jam kerja. Penjelasan
perawat berkaitan dengan kesiapan dan
pembiayaan yang akan ditanggung.
Hemat peneliti, ketentuan terakhir
sebaiknya tidak perlu, masalah informasi
rencana tindakan harus diberikan oleh dokter
yang merawatnya. Hal ini berkaitan dengan
sistem pertanggung jawaban, baik secara medis,
administratif, maupun hukum.
Penjelasan Perawat
Berdasarkan Keputusan Diryanmed
(HK.00.06.3.5.1866/1999, yaitu peran perawat
dalam pelaksanaan informed consent sebagai
saksi, ada pengecualian dalam ketentuan
tersebut terkait dengan keberadaan perawat.
Pendelegasian wewenang kepada perawat
hanya dibenarkan apabila tindakan kedokteran
tersebut bukan merupakan tindakan bedah atau
tindakan invasif lainya. Artinya untuk tindakan
infasif dokter tidak boleh mendelegasikan
kepada tenaga perawat. Perawat tidak
diperbolehkan memberikan informasi mengenai
suatu tindakan medik meskipun pasien yang
memintanya. Perawat harus dapat menjelaskan
kepada pasien/keluarganya bahwa hal tersebut
adalah kewenangan dokter untuk menjelasan
(Guwandi, 2004).
Kenyataan dilapangan masih ada pasien
atau keluarganya tidak memperoleh penjelasan
yang cukup, sehingga perawat sebagai
advokator pasien selama 24 jam mempunyai
kewajiban untuk medampingi, dan memberikan
dorongan psikologis terhadap berbagai rencana
tindakan medis infasif yang akan dihadapi, dan
tidak
jarang
perawat
terpaksa
harus
memberikan
penjelasan
tambahan
atas
penjelasan dokter. Hal ini sesuai hasil penelitian
Mahmud (2014), mengatakan bahwa perawat
masih melaksanakan tugas-tugas yang bukan
kewenangannya, seperti memberikan informasi
mengenai suatu tindakan medik. Bahkan
perawat yang harus memintakan tanda tangan
di lembar persetujuan informed consent.
Informasi Medis Tertulis
Hasil penelitian di atas akan sejalan
dengan kebijakan kementerian kesehatan.
Berdasarkan
Permenkes
290/Menkes/Per/
III/2008 dan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.
1866/1999, cara menyampaikan penjelasan oleh
dokter yang bertanggung jawab dibedakan atas,
(a) penjelasan yang disampaikan secara lisan,
(b) penjelasan yang disampaikan secara tertulis.
Ketentuan ini memberi peluang bagi dokter
untuk memilih apakah hanya menyampaikan
secara lisan atau keduanya dijalankan. Sesuai
hasil pengkajian belum ada dokter yang
memberikan penjelasan secara tertulis dan
dijelaskan dengan lisan. Namun hasil ini
menyimpulkan bahwa informan setuju bila
informasi dijelaskan sebaiknya ditulis terlebih
dahulu baru dijelaskan secara lisan. Informasi
tertulis dan dijelaskan secara lisan akan lebih
mudah untuk dipahami dan dapat dibaca
kembali. Informasi tertulis akan memberikan
kepastian informasi dan kepastian hukum,
karena dapat dibuktikan secara outentik.
Hal ini sesuai hasil penelitian Samino
(2003), menjelaskan bahwa informasi secara
lisan mempunyai berbagai kelemahan, pertama
ketidak jelasan informasi medis, dan lemah
sebagai alat bukti, sehingga informasi tertulis
dan dijelaskan secara lisan akan mengurangi hal
tersebut. Secara tersirat bahwa informasi secara
tertulis lebih baik dibandingkan dengan lisan,
dikatakan oleh Sampurna, at.all (2006),
menjelaskan untuk meningkatkan pemahaman
pasien/keluarganya dokter dapat menggunakan
alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi
lain apabila hal itu dapat membantu
memberikan informasi yang bersifat rinci.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa penjelasan dengan alat
bantu harapannya lebih efektif, apalagi jika
informasinya secara tertulis tentu akan lebih
mudah dipahami, karena bisa dibaca ulang.
Informasi tertulis dapat menjadi dokumen yang
baik, sehingga bisa dijadikan sebagai alat bukti
yang kuat, dapat melindung para pihak yang
berkepentingan, oleh karena itu perlu adanya
pengkajian
berbagai
kebijakan
yang
menyatakan
bahwa
informasi
medis
disampaikan secara lisan, dan tertulis hanya
sebagai pelengkap. Seharusnya informasi
disampaikan secara tertulis dan dijelaskan
secara lisan, bukan sebaliknya.
78 Jurnal Kesehatan, Volume V, Nomor 1,April 2014, hlm 71-78
Simpulan
Berdasarkan uraian pada bagian
sebelumnya dapat disimpulkan:
(a).
Pelaksanaan informed consent di tiga RS belum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (b). Informasi medis yang
dijelaskan dokter kepada pasien/keluarganya
belum lengkap. (c). Pada umumnya dokter
dalam menjelaskan rencana tindakan telah
menggunakan
bahasa
yang
dipahami
pasien/keluarganya. (d). Antara pemberi
penjelasan dengan yang melakukan tindakan
DAFTAR RUJUKAN
Astuti. 2013. Hubungan Hukum Antara Dokter
dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan
Medis. http://ejournal.umm.ac.id
6/3/2014.
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar pelayanan
dokter keluarga. Jakarta : Yayasan
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Bogdan, Robert dan Tailor Steven J. 1993.
Kualitatif
Dasar-dasar
Penelitian.
Surabaya: Usaha Nasional.
Guwandi, J. 2002. Hospital Law (Emerging
Doctrines & Jurisprudence).Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI.
Mahmud,
Peran Perawat dalam Informed
Consent pre Operasi di Ruang Bedah
Rumah
Sakit
Umum
Pemangkat
Kalimantan Barat
.
adalah dilakukan oleh dokter yang sama. (e).
Umumnya penjelasan tambahan oleh perawat
tidak dibenarkan, namun ada satu RS yang
memeberi kewenangan pada perawat senior
untuk memberi penjelasan jika dokter tidak ada.
(f). Informasi diberikan secara tertulis dan
dijelaskan secara lisan akan lebih baik
dibandingkan dengan hanya diberikan secara
lisan. Disarankan setiap RS mengevaluasi
pelaksanaan informed consent setiap triwulan
untuk melihat keseuaian pelaksanaannya.
http://eprints.undip.ac.id/10595/1/Artikel.
pdf, 2014
Samino dan Dina Dwi RR. 2008. Pelaksanaan
Informed Consent di Ruang Rawat Inap
Kutilang RS Abdoel Moeloek. Lampung
Samino. 2003. Analisa Pelaksanaan Informed
Consent di IRNA RS Dr. Cipto
Mangunkusumo ditinjau dari Aspek
Hukum, Jakarta.
Sampurna, Budi, (et al.). 2006.
Manual
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran,
Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta.
Sarimin, Alberth Darwono, 2006, Analisis
Faktor-faktor Kejelasan Informasi Medis
yang diterima oleh Pasien pra Operasi
Katarak di Rumah Sakit Umum William
Booth Semarang. Semarang: Universitas
Diponegoro
Download