RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE

advertisement
RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE
(Studi Deskriptif Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara
terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai
Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik)
Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1) di
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
AMIR FADLI NASUTION
090904094
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013
1
RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE
(Studi Deskriptif Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara
terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai
Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik)
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif
Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat
Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik). Penelitian ini
bertujuan untuk melihat bagaimana elite Muhammadiyah Sumatera Utara dalam menerima
dan memandang fenomena relasi politik yang terjalin antara Partai Amanat Nasional (PAN)
dan Partai Damai Sejahtera (PDS).
Fenomena dijalinnya relasi politik antara PAN dan PDS merupakan suatu dinamika
politik yang unik, menarik, sekaligus cukup kontroversial yang pernah terjadi di sepanjang
usia Indonesia. Bagaimana tidak, PAN selama ini dikenal sebagai partai yang berbasis massa
Islam dengan konstituen utama dari kalangan warga Muhammadiyah. SementaraPDS
merupakan partai yang kental dengan nuansa Kristen. PDS secara resmi dinyatakan tidak
lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai
dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung. Karena itu, agar bisa tetap
memenuhi ambisi politiknya, PDS kemudian menjalin relasi politik dengan bergabung ke
dalam barisan PAN. Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at
tanggal 3 Mei 2013 yang lalu. Tentu saja bergabungnya kedua partai ini menjadi satu
fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebab fenomena ini akan berdampak pada konstituen
masing-masing partai, termasuk kepada warga Muhammadiyah yang dalam sejarahnya selalu
diidentikkan dengan partai berlambang matahari ini.
Persepsi para elite Muhammadiyah dalam berhubungan dengan PAN sebagai suatu
partai politik yang mereka “bidani” kelahirannya tentu penting untuk dikaji dalam mendalami
studi komunikasi politik. Sebab wibawa dan peran elite disini amat besar dan berpengaruh
terhadap efektivitas komunikasi politik PAN dalam meraih dukungan masyarakat yang
sebesar-besarnya. Yakni dalam membangun citra dan elektabilitas yang baik di kalangan
warga Muhammadiyah sebagai konstituen utama PAN. Terutama pasca terjalinnya relasi
politik antara PAN dan PDS ini. Dengan demikian peneliti akan menganalisis pendapat dan
sikap para elite tersebut berdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomena
tersebut.Yang antara lain yakni pro kontra, akseptabilitas, elektabilitas, citra, loyalitas,
komunikasi politik, dan dakwah Muhammadiyah.
Kata Kunci :Elite, Muhammadiyah, Persepsi, relasi, PAN, dan PDS
I. PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan 12 partai nasional untuk
mengikuti pemilihan umum 2014. Salah satu di antaranya adalah Partai Amanat Nasional
(PAN) yang telah menargetkan perolehan suara pada Pemilihan Umum 2014 di angka 10
persen. Strategi dan langkah politik pun mulai disusun dan dijalankan PAN untuk mencapai
target tersebut. Antara lain dengan menerima bergabungnya beberapa partai politik yang
dinyatakan tidak lolos verifikasi pemilu 2014 oleh KPU. Salah satu dari partai politik tersebut
ialah Partai Damai Sejahtera (PDS). Partai Damai Sejahtera secara resmi dinyatakan tidak
1
lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai
dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung. Maka dari itu, untuk tetap bisa
menyalurkan aspirasi politiknya, partai ini kemudian bergabung dengan PAN. Penggabungan
ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu.
Langkah politik yang diambil PAN dan PDS ini rupanya telah menarik perhatian
banyak media untuk memberitakannya. Tak kurang berbagai media besar Indonesia seperti
seperti Republika, Tempo, Okezone, Tribun, dan lain-lain ramai memberitakannya kepada
publik. Sebagai suatu bentuk berita politik yang memiliki arti penting bagi masyarakat,
khususnya konstituen masing-masing partai.
Bergabungnya PDS kedalam PAN ini, tentu mengundang perhatian berbagai kalangan
masyarakat. Termasuk kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia, khususnya warga
Muhammadiyah. Hal ini didasari perbedaan identitas yang dimiliki kedua partai tersebut.
PAN selama ini merupakan sebuah partai nasionalis moral yang cukup besar di Indonesia,
dengan basis konstituen pemilih mayoritas dari kalangan muslim Muhammadyah. Bahkan
PAN kerapkali dianggap masyarakat sebagai Partai Islam. Sementara di sisi lain, PDS adalah
partai dengan mayoritas pemilih kalangan krisitiani yang meski berideologi Pancasila, namun
selama ini identik sebagai Partai Kristen di mata masyarakat.
Sejak pertama kali dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta, Partai
Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Amien Rais ini segera mendapat
banyak sambutan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan warga
Muhammadiyah. Bahkan lebih dari sekedar dukungan moral, berdirinya PAN dalam pentas
perpolitikan nasional seketika menarik banyak anggota Muhammadiyah untuk turut serta
bergabung. Hingga sulit untuk menghindari penilaian akan adanya penghimpitan atau malah
pengindetikan yang kelewat jauh antara Muhammadiyah dan PAN. Seolah PAN menjadi
semacam “Partai (-nya warga) Muhammadiyah”.
Muhammadiyah sendiri cukup taktis dengan tetap berpijak pada Khittah Ujung
Pandang 1971 yang menjaga jarak yang sama dengan organisasi politik manapun, sehingga
tidak mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas dari kontaminasi politik yang
keras dalam proses politik nasional. Secara de jure, tidak adanya hubungan organisasional
antara Muhammadiyah dan PAN memang telah diperkuat melalui Sidang Pleno PP
Muhammadiyah tanggal 22 Agustus dan 27 September 1998 yang memutuskan bahwa;
pertama, antara keduanya tidak ada hubungan organisasional. Kedua, sesuai dengan ART
Pasal 15, pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan yang akan merangkap jabatan
sebagai pimpinan partai politik, diharuskan mengajukan izin kepada pimpinan pusat. Dan
ketiga, dilarang menggunkan gedung dan fasilitas persyarikatan untuk kegiatan partai politik
mana pun. Akan tetapi, secara de facto, sulit untuk menyembunyikan fakta bahwa mayoritas
elit pimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun di berbagai wilayah, daerah,
cabang, organisasi-organisasi otonom, dan pimpinan amal-amal usaha, ikut terjun menjadi
pengurus PAN.
Bertolak dari anatomi kepengurusan tersebut, tentu dapat diperkirakan telah terjalin
komunikasi politik di antara keduanya. Komunikasi yang berisi pesan-pesan politik antar dua
lembaga tersebut, meski atas nama elit personal yang berusaha untuk membuka wawasan
berpikir serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik,
yang dalam hal ini yakni warga Muhammadiyah yang menjadi basis pendukung utama partai
reformasi ini. Keberadaan, posisi, dan sikap elite Muhammadiyah terhadap janji politik
menjadi penting dalam hal ini untuk membentuk opini publik (warga Muhammadiyah) dan
citra yang positif bagi PAN. Bahkan elite Muhammadiyah sebagai tokoh sentral dan panutan
dapat menggiring warga Muhammadiyah agar mendukung PAN sebagai konstituennya.
Sebab elite sebagaimana yang diungkapkan Keller, adalah sekelompok kecil orang dalam
2
masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting. Mereka menempati posisi di dalam
masyarakat yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan
memformulasikan kepentingannya.
Tapi jika melihat fenomena yang terjadi, dimana PDS telah merapat dengan PAN,
tentu hal ini akan membangun persepsi pribadi di kalangan elite Muhammadiyah dalam
menanggapinya. Baik persepsi positif yang bersifat mendukung ataupun sebaliknya persepsi
negatif yang bersifat menolak realitas politik ini. Dan melalui kemampuan membentuk opini
publik yang dimiliki para elite ini, tentu persepsi pribadi mereka menjadi penting artinya serta
memberi pengaruh yang besar terhadap PAN. Yakni dalam proses membangun dukungan
warga Muhammadiyah terhadap partai berlogo matahari ini. Sebab jika persepsi elite
cenderung positif yang mendukung, maka opini publik yang dibentuknya kepada warga
Muhammadiyah juga akan cenderung positif dalam meningkatkan elektabilitas PAN. Dan
sebaliknya, kemungkinan opini publik warga Muhammadiyah justru akan dibangun untuk
cenderung menjatuhkan elektabilitas PAN jika persepsi elitenya menolak fenomena ini.
Seperti halnya di daerah lain, Partai Amanat Nasional juga tentu mengharapkan warga
Muhammadiyah Sumatera Utara akan menjadi konstituennya. Muhammadiyah Sumatera
Utara dengan jumlah anggota resmi (yang mendapat kartu anggota) mencapai 17.910 orang,
merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sumatera Utara yang sangat majemuk.
Jumlah ini belum lagi termasuk warga Muhammadiyah Sumatera Utara seluruhnya yang
tidak menjadi pengurus organisasi secara resmi. Dan dengan jumlah cabang yang mencapai
129 dan 604 ranting kepengurusan, Muhammadiyah Sumatera Utara menjadi sebuah
kekuatan sosial yang harus diperhitungkan turut andilnya dalam gerak kehidupan masyarakat.
Jumlah ini tentu diperhitungkan pula oleh elit PAN Sumatera Utara dalam proses meraih
suara mereka dalam pemilu.
Persoalan ini menarik untuk diteliti lebih jauh secara akademis, khususnya pada
konteks relasi dalam komunikasi politik. Terlebih kajian-kajian mengenai Muhammadiyah
yang ada selama ini lebih banyak menggambarkan persoalan politik yang dihadapi oleh
Muhammadiyah secara pribadi pada saat tertentu. Namun, untuk penelitian dalam konteks
komunikasi politik yang langsung dan khusus dikaitkan antara elite Muhammadiyah dengan
satu partai politik tertentu- dalam hal ini PAN- belum ada, setidaknya dalam lingkup
Sumatera Utara. Karena itulah studi ini penting diteliti agar fenomena relasi elit yang terjalin
antara Muhammadiyah dan PAN dapat dijelaskan melalui persepsi poitik elite tersebut,
khususnya dalam memandang strategi politik yang dijalankan PAN dengan menerima
bergabungnya PDS. Sehingga masyarakat Sumatera Utara, khususnya warga Muhammadiyah
dan simpatisan PAN dapat mengetahui pergerakan organisasi tempat bernaungnya secara
utuh demi pembentukan dan peneguhan sikap, pandangan, dan perilaku politik yang sesuai
idealisme pikiran dan hati nurani.
1.2 Fokus Masalah
Bagaimana persepsi elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap fenomena relasi
politik yang dijalin Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera pada tahun 2013 ini
dalam konteks komunikasi politik?
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Politik
Komunikasi Politik menurut Dahlan (dalam Cangara, 2009:32-35) ialah satu bidang
atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik
mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Maka jika bertolak
dari konsep komunikasi dan konsep politik, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan
3
sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang
berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan
untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku
khalayak yang menjadi target politik.
Faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang
bermuatan politik. Isi pesan yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini kemudian juga
turut memberi andil besar dalam menentukan arah dari beragam tujuan komunikasi politik itu
sendiri. Mulai dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik,
pembentukan opini publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan lawan
politik.
2.2 Persepsi
Persepsi menurut Desiderato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan
persepsi dengan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu,
menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi,
ekspektasi dan memori (Dalam Rakhmat, 2005:51). Sedangkan menurut Dedy Mulyana,
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan
menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku
(Mulyana, 2005:167).
2.3 Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris
phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan
bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Fenomenologi adalah
teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau
penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya.
2.4 Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik merupakan pendekatan sosiologi komunikasi yang
mengkhususkan pengamatannya berdasarkan makna di balik simbol-simbol interaksi yang
nampak di permukaan. Pendekatan ini berawal dari pemikiran George Herbert Mead (1972),
yang mengamati interaksi sosial dari penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial.
Akar pemikiran interaksionisme simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai
proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai
sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Teori
interaksionisme simbolik membahas konsep mengenai diri yang tumbuh berdasarkan
negosiasi makna dengan orang lain. Dengan demikian, interaksionisme simbolik dapat
didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di
sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara
orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran.
2.5 Elite
Istilah elite berasal dari bahasa latin yaitu “eligere” atau dalam bahasa inggrisnya
“elite”, yang berarti memilih. Dalam pemakaian biasa, kata tersebut berarti “bagian yang
4
menjadi pilihan” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki
posisi sosial yang lebih tinggi. Secara sederhana, elite dapat diartikan sebagai anggota
masyarakat yang paling berbakat, misalnya elite pendidikan, elite agama, dan elite organisasi,
dan elite politik. Menurut Harold Lasswell, elite adalah segolongan kecil yang memperoleh
sebagian besar dari nilai apa saja, elite itu menunjuk pada mereka yang berpengaruh.
Sementara menurut Mills, elite merupakan mereka yang menduduki posisi atas dalam
organisasi ekonomi, militer, dan politik, yang membentuk kurang lebih elite kekuasaan yang
terintegrasi dan terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya menetukan struktur dasar dan
arah masyarakat (Syarifuddin, 2004 : 19-21).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif, yakni metode yang menggambarkan keadaan subjek penelitian pada saat ini
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Format deskriptif kualitatif
bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau
berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan
berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda,
atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2008: ).
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian perlu ditetapkan dalam rancangan penelitian. Keputusan tentang
penetuan sampel, besarnya dan strategi sampling itu, pada dasarnya bergantung pada
penetapan objek penelitian. Setiap objek penelitian memberikan kesempatan bagi
pengumpulan data secara tersendiri, fokus yang tersendiri, yang mungkin tingkatannya
berbeda sehingga penarikan kesimpulannya membawa perbedaan pula (Moleong 2001 : 166).
Dan objek penelitian dalam penelitian ini ialah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai
Damai Sejahtera (PDS).
3.3 Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis sampel purposive sampling, yakni pemilihan sampel
yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian. Yang mana
kriteria terpenting ialah subjek memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu menjelaskan
keadaan sebenarnya tentang objek penelitian. Merujuk pada hal tersebut, penelitian ini
menggunakan teknik sampling snowball (bola salju).
Maka dari pertimbangan tersebut, adapun yang menjadi subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah golongan elite Muhammadiyah Sumatera Utara baik yang termasuk ke
dalam jajaran pengurus inti organisasi maupun tidak. Golongan ini mempunyai peranan yang
besar dalam pergerakan dan kemajuan organisasi. Mereka juga dipandang sebagai tokoh yang
memiliki kharisma dan wibawa untuk dapat mengarahkan anggotanya pada suatu tujuan
tertentu.
3.4 Kerangka Analisis
Dalam penelitian ini, konsep analisis yang digunakan ialah pendekatan logika
induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan
dan bermuaram pada kesimpulan-kesimpulan umum.
Peneliti kemudian membangun konsep alur analisis induktif yang lebih spesifik dalam
penelitian ini. Yang menunjukkan cara peneliti dalam menganalisis persepsi para elite
5
Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap fenomena relasi politik PAN dan PDS ini, dengan
urutan sebagai berikut :
1. Fenomena dalam Konten Media
2. Pemetaan Aspek-Aspek Terkait Fenomena
Yang terdiri dari:
 Pro kontra pendapat elite Muhammadiyah
 Hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan PAN
 Loyalitas politik warga Muhammadiyah
 Elektabilitas dan Citra PAN
 Proses Dakwah Muhammadiyah
3. Pengumpulan dan Identifikasi Persepsi
4. Kategorisasi
5. Penentuan Poin-Poin Penting dari Persepsi
6. Pengembangan dan Pendalaman
7. Penarikan Kesimpulan
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peniliti dalam penelitian ini adalah :
1. Studi Lapangan (Field Research)
Yakni dengan menggunakan metode wawancara bertahap kepada narasumber yang
menjadi subjek penelitian.
2. Studi Kepustakaan (Library Research)
Dengan menggunakan dokumen sebagai sumber data untuk menguji, menafsirkan,
bahkan untuk meramalkan. Beberapa bahan dokumenter yang dijadikan sumber data oleh
peneliti antara lain buku, surat, dokumen resmi, kliping, otobiografi, foto, data softcopy, dan
data yang bersumber dari internet.
3.6 Teknik Analisis Data
Dalam menjalankan proses analisis data dalam penelitian kualitatif ini digunakan
model interaktif yang diajukan oleh Huberman dan Miles (1992). Model interaktif ini terdiri
dari empat hal utama, yakni pengumpulan data, reduki data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Keeempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang jalin-menjalin
pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk
membangun wawasan umum yang disebut analisis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Yakni
mulai dari tanggal 3 Agustus hingga 2 September 2013. Sementara dalam proses wawancara
dengan tiap-tiap narasumber, dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda sesuai kesepakatan
antara narasumber dengan peneliti.
Terdapat lima narasumber yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, mereka
antara lain Hasyimsyah, Dalail Ahmad, Mario Kasduri, Shohibul Anshor Siregar, dan Sarwo
Edi yang masing-masingnya diwawancarai peneliti di tempat yang berbeda.
4.2 Analisis Hasil dan Pembahasan
Keberadaan fakta historis akan peran Muhammadiyah dalam melahirkan Partai
Amanat Nasional (PAN) tidak dapat dipungkiri menjadi landasan terjalinnya ikatan
emosional di antara kedua organisasi ini. Peran ijtihad politik yang dilakukan Amien Rais
6
sebagai Ketua PP Muhammadiyah yang didukung pula oleh para ulama, cendikiawan, serta
warga Muhammadiyah telah memberi dampak nyata bagi kemajuan bangsa dan Negara. Dan
ijtihad politiknya ini pula yang kemudian melahirkan PAN pasca reformasi. Wibawa dan
pengaruh besar yang dimiliki Amien Rais di Muhammadiyah memberi kontribusi besar
dalam menarik banyak kader Muhammadiyah untuk turut terlibat dalam kepengurusan PAN
di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dan tidak hanya sebagai pengurus, banyak pula
ulama dan kaum cendikiawan Muhammadiyah sebagai kalangan elite yang secara nyata
menunjukkan dukungannya pada keberadaan PAN. Baik melalui nasehat-nasehat politik yang
diberikan maupun dukungan resmi organisasi melalui Sidang Tanwir Muhammadiyah Juli
tahun 1998 di Semarang, maupun Sidang Pleno PP Muhammadiyah pada 22 Agustus di
Jakarta. Fakta historis inilah yang menjadi dasar dalam jalinan hubungan emosional dan
komunikasi politik antara keduanya, meski secara organisatoris keduanya tidak memiliki
hubungan. Dan kebenaran fakta historis ini secara umum dapat diterima oleh seluruh elite
Muhammadiyah Sumatera Utara.
Namun, meskipun seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara sepakat dalam hal
kebenaran dan keberadaan fakta historis yang ada, ternyata mereka berbeda pendapat dalam
menerima hubungan komunikasi politik antara keduanya. Dimana di satu pihak yang diwakili
oleh Prof Hasyimsyah, Shohibul Anshor, dan Sarwo Edi (pihak pro) menyatakan menerima
hal itu sebagai suatu kewajaran dan kensicayaan berdasarkan fakta historis yang ada. Pihak
ini mengambil sikap pro terhadap hal ini, bahkan mendukung dan dalam beberapa aspek juga
turut terlibat dalam proses komunikasi politik yang dijalin kedua belah pihak. Sementara di
pihak lain yang diwakili oleh Dalail Ahmad dan Mario Kasduri (pihak kontra), memiliki
pendapat yang berseberangan dengan menyatakan tidak menerima keberadaan komunikasi
politik yang berlangsung antara keduanya.
Perbedaan pendapat para elite dalam menrima hubungan komunikasi politik antara
Muhammadiyah dan PAN ini, lebih jauh juga berlanjut pada sikap dan pandangan mereka
dalam menanggapi fenomena relasi politik yang dijalin antara Partai Amanat Nasional dan
Partai Damai Sejahtera (PDS). Masing-masing elite memiliki sikap dan pandangannya sendiri
yang ditunjukkannya dalam bentuk persepsi yang mereka utarakan. Dan persepsi mereka ini
dapat kita bagi dalam dua pihak yang berseberangan, yakni pihak yang pro dan yang kontra.
Dimana pihak elite yang pro diwakili oleh Prof Hasyimsyah, Shohibul Anshor, dan Sarwo
Edi. Sedangkan yang kontra diwakili oleh Dalail Ahmad dan Mario Kasduri. Dan
berdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomena tersebut seperti akseptabilitas, citra,
elektabilitas, loyalitas konstituen, serta proses dakwah Muhammadiyah, persepsi para elite
tersebutdapat kita bagi dalam 6 kategori dan akan dijelaskan sebagai berikut, yakni :
1. Penerimaan Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Fenomena Relasi Politik
Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera.
Berdasarkan pengetahuan para elite akan dasar ideologi, azas, dan sifat yang dianut
oleh Partai Amanat Nasional, keseluruhan mereka membenarkan langkah dan strategi politik
yang diambil dalam menerima bergabungnya Partai Damai Sejahtera. Ideologi nasionalis
dengan sifat terbuka yang inklusif PAN memang memungkinkan mereka untuk melakukan
hal yang demikian, sebab para elite tahu bahwa hal itu tidaklah melanggar AD/ART PAN.
Namun, meskipun memiliki kesamaan pendapat dalam melihat kebenaran fenomena itu, para
elite di sisi lain berbeda pendapat dalam menentukan apakah fenomena itu hal yang baik atau
bukan. Yang berdampak pada perbedaan penerimaan dan pandangan pribadi mereka terhadap
fenomena itu dari aspek luasnya. Sebagian kalangan elite, memandang baik fenomena politik
ini dilihat dari segi strategi untuk mendulang sebanyak-banyaknya suara yang kemungkinan
bakal diraih PAN. Dengan menempatkan kader-kader PAN yang berasal dari PDS di daerah
7
pemilihan yang dihuni mayoritas umat Kristen yang selama ini tidak bisa dikuasai PAN.
Sementara kalangan lain menilai negatif fenomena ini. Kalangan ini mengkritisi dan
mempertanyakan kebijakan PAN terkait fenomena yang lebih dekat dengan kalangan nonmuslim ketimbang kalangan muslim yang sama dalam aqidah dan syahadat.
2. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Hubungan
Komunikasi Politik Muhammadiyah dan PAN
Secara keseluruhan, para elite Muhammadiyah Sumatera Utara dapat dikatakan
bersamaan dalam pandangan bahwa pemberitaan fenomena ini tidak akan mengganggu
hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan PAN. Perbedaan lebih terdapat dalam
dampak yang mungkin diberikan fenomena ini kepada jalannya proses komunikasi tersebut.
Yang mana sebagian elite memperkirakan fenomena ini akan memberi keuntungan pada
komunikasi politik keduanya. Yakni dari kesempatan yang ada untuk membesarkan PAN.
Kalangan lain menilai dampak dari fenomena ini terlalu dini untuk diprediksi sekarang. Perlu
terlebih dahulu melihat arah dan perkembangan politik dari fenomena ini untuk menentukan
dampaknya. Realitas pihak mana yang akan mendominasi dan menguasai PAN nantinya yang
kan menentukan dampaknya terhadap hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan
PAN itu. Bahkan terdapat pula kalangan yang cenderung apatis dan mengambil jarak dalam
masalah ini. Dengan mendasarkannya pada ketiadaan hubungan organisatoris antara
Muhammadiyah dan PAN.
3. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Loyalitas
Politik Warga Muhammadiyah
Mayoritas elite yang menjadi narasumber penelitian ini yakin bahwa warga
Muhammadiyah akan dapat menerima keberadaan fenomena ini, dengan syarat mereka perlu
memahami permasalahan secara menyeluruh dalam konteks yang luas. Untuk penting kiranya
adanya proses pemahaman yang diberikan kepada mereka tentang hal ini. Baik oleh elite
Muhammadiyah maupun elite PAN itu sendiri. Agar mereka tetap loyal menjadi konstituen
PAN. Meskipun dalam konteks Sumatera Utara belum begitu terlihat perubahan yang
signifikan yang diakibatkan fenomena ini. Namun, ada juga kalangan elite yang memberikan
prediksi negatif terhadap hal ini. Yang mendasarkan pendapatnya pada kemungkinan
kekecewaan yang mungkin dialami warga Muhammadiyah akibat fenomena ini.
4. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap
Elektabilitas dan Citra PAN
Jika dipandang dari perspektif strategi berpolitik, sebagian besar elite Muhammadiyah
Sumut menilai bahwa fenomena relasi PAN dan PDS ini menguntungkan dalam upaya
meningkatkan elektabilitas dan citra PAN di mata masyrakat. Elite Muhammadiyah menilai,
pasca fenomena ini PAN akan dipandang sebagai partai politik inklusif yang menerima
kemajemukan sebagai ciri Indonesia. Citranya diperkirakan akan meningkat sebagai partai
nasionalis yang terbuka. Selain itu, kebijakan penempatan daerah pemilihan kader yang
mengajukan diri sebagai calon legislatif faktor agama dinilai cukup efektif dalam menjaring
suara bagi PAN. Terutama di daerah mayoritas Kristen yang selama ini sulit dikuasai PAN.
5. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Aktifitas
Dakwah Muhammadiyah
Terhadap dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah, para elite secara umum
kurang meyakinkan dalam menyatakan pandangannya terhadap kemungkinan dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena ini. Mereka terkesan sangat hati-hati dalam memberi
pandangannya. Sebab bagi mereka dakwah amar ma’ruf nahi munkar adalah satu hal yang
8
harus dilihat dalam konteks yang luas, dan prosesnya tergantung dari kader-kader yang
menjalankannya. Maka dalam pandangan elite, nilai ketaqwaan dan keimanan kader harus
kuat untuk dapat membawa misi Muhammadiyah dalam perjuangan politik mereka. Agar
tidak terbawa oleh arus politik yang cenderung negatif.
6. Komunikasi Antar Elite Muhammadiyah dan PAN Sumatera Utara Seputar Fenomena
Relasi PAN dan PDS
Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memiliki pengalaman yang berbeda terkait
pembicaraan dan diskusi yang mereka lakukan dalam membahas fenomena ini. Namun dapat
dikatakan bahwa sebagian besar elite mengaku tidak pernah membicarakan atau berdiskusi
khusus tentang hal ini dengan kader PAN. Hanya sebagian kecil kalangan elite yang pernah
melakukannya, itupun dalam situasi informal. Meskipun begitu, sebagian besar elite tetap
mendukung dan tidak melihat kealpaan berdiskusi ini sebagai suatu kesalahan PAN. Mereka
tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dengan alasan independensi politik. Hanya
sebagian kecil elite yang menganggap kealpaan ini sebagai suatu kesalahan yang melanggar
etika kesopanan.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian menurut indikator persepsi dengan menggunakan teori
interaksionisme simbolik, maka peneliti mendapatkan kesimpulan dari hasi wawancara
mendalam dengan para elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Kesimpulannya adalah sebagai
berikut :
1. Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memiliki pandangan dan sikap yang
beragam dalam menanggapi fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS pada
tahun 2013 ini. Sebagian elite berpandangan positif (pro) dan cenderung mendukung
fenomena ini. Sementara di sisi lain, terdapat pula elite yang memandang negatif dan
cenderung menolak (kontra) fenomena ini.
2. Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara berbeda pendapat dalam menentukan
apakah fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS adalah hal yang baik atau
tidak. Perbedan pendapat ini berdampak pada perbedaan penerimaan (akseptabilitas)
pribadi mereka terhadap fenomena itu dari aspek luasnya.
3. Berdasarkan pengetahuan para elite akan dasar ideologi, azas, dan sifat yang dianut
oleh Partai Amanat Nasional, seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara
membenarkan langkah dan strategi politik yang diambil PAN dalam menerima
bergabungnya PDS.
4. Dari hasil penelitian, seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara mengakui
keberadaan dan kebenaran fakta historis yang melandasi berdirinya Partai Amanat
Nasional.
5.2 Saran
Di akhir hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan
penulis demi kesempurnaan penelitian dan perbaikan kekurangan-kekurangan yang mungkin
dilihat peneliti dalam permasalahan ini. Saran tersebut yakni :
1. Pasca terjadinya fenomena relasi politik PAN dan PDS ini, ke depannya pihak PAN
perlu untuk membicarakan atau mendiskusikan permasalahan ini dengan para elite
Muhammadiyah secara menyeluruh agar komunikasi politik yang terjalin antara
keduanya tetap harmonis dan saling mendukung satu sama lain.
9
2. Para kader PAN dan elite Muhammadiyah perlu bersama-sama turun ke akar rumput
Muhammadiyah untuk tetap menjaga silaturahmi dengan warga Muhammadiyah.
3. Sebagai partai induk PAN perlu untuk tetap menjaga dominasinya di rumah sendiri.
Terutama kader asli PAN, mereka perlu untuk senantiasa mengontrol situasi internal
partai agar pihak PDS atau pihak lain yang bukan kader asli PAN tidak lantas
mengambil alih kekuasaan kendali di partai ini.
DAFTAR REFERENSI
Ardial. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Indeks.
Asnawi, & Sutipyo, R. (1999). PAN Titian Amien Rais Menuju Istana. Yogyakarta: Titian
Ilahi Press.
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bungin, Burhan. (2008). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial lainnya . Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Cangara, Hafied. (2009). Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta:
CV Rajawali.
Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: PT. Erlangga.
Jarry, D & Jarry J. (1991). Collin Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins
Publishers.
John W. Creswell. (1998). Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing Among Five
Traditions. London: SAGE Publications.
Jurdi, Syarifuddin. (2004). Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Jurdi, Syarifuddin. (2005). Negara Muhammadiyah: Mendekap Politik Dengan Perhitungan.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Keller, Suzanne. (1995). Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite dalam Masyarakat
Modern. Jakarta: Rajawali Press.
Maksum, Ali. (2011). Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Michels, Robert. (1984). Partai Politik : Kecenderungan Oligarki Dalam Birokrasi. Jakarta:
CV Rajawali.
Moleong, Lexy, J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mufid, Muhammad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Mulyana, D, & Solatun. (2007). Metode Penelitian Komunikasi : Contoh-Contoh Penelitian
Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nashir, Haedar. (2006). Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang: UMM Press.
Nashir, Haedar. (2000). Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.
Nimmo, Dan. (2005). Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nimmo, Dan. (2001). Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Praja, S. Juhaya. (2003). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
10
1
Download