The Role Of Keratinocyte Progenitor Adipose Derived Stem Cells In

advertisement
Media Journal Of Emergency
Volume : 2 - No. 1 Terbit : 7--2013
Penulis : Lynda Hariani [email protected]
David S Perdanakusuma [email protected]
Agus Santoso Budi [email protected]
The Role Of Keratinocyte Progenitor Adipose Derived Stem Cells In
The Epithelialization Of Skin Wound Healing In Rabbit
Abstrak :
Background: Epithelialization process is part of the wound healing process. A process of coating the
surface of the wound with new epithelium derived from the proliferation and migration of keratinocytes
located at the edge of the wound occured. Stem cell therapy is one of therapeutic modalities on wound
healing. The existence of progenitor keratinocytes is expected to accelerate the wound healing process.
Objective: This study aims to determine the role of keratinocyte progenitor cells, stem cells from adipose
tissue on epithelialization of skin wound healing in rabbits is expected to address the issue later in the
wound defect.
Design: Experimental research, post
test only control group design.
Methods: This is an experimental study with post test only control group design conducted on 18 adult New
Zealand white rabbits (Oryctolagus cuniculus) aged 16 weeks.. Two full-thickness excisional wounds
measuring 2,5 x 2, 5 cm on the right and left back of the rabbits were made. On day-0, the left wound
treated with 5 x 106 mesenchymal stem cells, while the right wound was treated with 5 x 106 keratinocyte
progenitor stem cells of adipose tissue. Specimens was taken on day-3 (inflammatory phase), day-14
(proliferative phase) and day-21 (maturation phase) where 6 rabbits were sacrificed at each phase.
Specimens were sent to the pathology department for histopathologic examination, and the size of the
wounds were measured by using Visitrak.The data will then be analyzed statistically using ANOVA
(Analysis of Variant)
Results: Have conducted a process to grow the progenitor, obtained the formation of keratinocyte
progenitor fat cells will be applied to study wound.
Conclusions: Keratinocyte progenitor stem cells wound closure faster than mesenchymal stem cells,
keratinocyte progenitor stem cells have a number less than mesenchymal stem cells because of the uneven
distribution of surface epithelial wound, keratinocyte progenitor stem cells layer has a higher number than
mesenchymal stem cells and supporting tissue structure under a given epithelial wound mesenchymal stem
cells denser than keratinocyte progenitor stem cells because the nature of multipotent mesenchymal stem
cells possessed.
Keyword :
Daftar Pustaka :
Falanga, V. 2004 The chronic wound: impaired healing and solutions in the context of wound bed
preparation Blood Cells, Molecules, and Diseases 2004 New York
10.Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono T, Setiawan B Stem cell, dasar teori dan
aplikasi klinis Erlangga 2010 Jakarta
Page 1
Peranan Progenitor Keratinosit Sel Punca Jaringan Lemak Pada Proses Epitelialisasi
Luka Kulit Kelinci
Lynda Hariani, David S.Perdanakusuma, Agus S.Budi
Departemen / SMF Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Pendahulauan : Proses epitelisasi merupakan bagian dari proses penyembuhan luka. Merupakan suatu proses
pelapisan permukaan luka dengan epitel baru yang berasal dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit yang
terletak di tepi luka. Terapi sel punca merupakan salah satu modalitas terapi pada penyembuhan luka.
Keberadaan progenitor keratinosit diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
Tujuan : Untuk mengetahui peran sel progenitor keratinosit, sel punca dari jaringan adiposa pada epitelisasi
penyembuhan luka pada kelinci, yang diharapkan dapat mengatasi masalah defek luka.
Desain Penelitian : Penelitian eksperimental, post test only control group design.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan post test only control group design yang
dilakukan pada 18 kelinci New Zealand white dewasa (Oryctolagus cuniculus) berusia 16 minggu. Dua luka
excisional full-thickness berukuran 2,5 x 2, 5 cm dibuat di sebelah kanan dan kiri belakang kelinci. Pada hari-0,
luka kiri diobati dengan 5 x106 sel punca mesenchymal, sedangkan luka sebelah kanan diperlakukan dengan 5 x
106 sel induk progenitor keratinosit dari jaringan adiposa. Spesimen diambil pada hari-3 (fase inflamasi), hari-14
(fase proliferasi) dan hari-21 (fase pematangan) di mana 6 kelinci dikorbankan pada setiap tahap. Spesimen
yang dikirim ke departemen patologi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi, dan ukuran luka diukur
dengan menggunakan Visitrak. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA
(Analysis of Variant).
Hasil : Setelah melakukan proses penumbuhan progenitor, sejumlah sel progenitor keratinosit dari sel lemak
dapat diaplikasikan daerah luka.
Kesimpulan : Sel progenitor keratinosit sel punca lebih cepat dalam menutup luka daripada sel punca
mesenchymal, jumlah sel progenitor keratinosit sel punca lebih sedikit dari pada sel punca mesenchymal karena
distribusi yang tidak merata dari epitel permukaan luka, lapisan sel progenitor keratinosit sel punca memiliki
jumlah yang lebih banyak daripada sel punca mesenchymal dan mendukung struktur jaringan dibawah luka
yang diberikan sel epitel. Sel punca mesenchymal lebih padat daripada progenitor keratinosit sel punca karena
sifat multipoten dari sel punca mesenchymal.
1
Role Of Keratinocyte Progenitor Adipose Derived Stem Cells In The Epithelialization
Of Skin Wound Healing In Rabbits
Lynda Hariani, David S.Perdanakusuma, Agus S.Budi
Department of Plastic Reconstructive and Esthetic Surgery of Airlangga University School of
Medicine / Dr. Soetomo General Hospital Surabaya
Abstract
Background: Epithelialization process is part of the wound healing process. A process of coating the surface of
the wound with new epithelium derived from the proliferation and migration of keratinocytes located at the edge
of the wound occured. Stem cell therapy is one of therapeutic modalities on wound healing. The existence of
progenitor keratinocytes is expected to accelerate the wound healing process.
Objective: This study aims to determine the role of keratinocyte progenitor cells, stem cells from adipose tissue
on epithelialization of skin wound healing in rabbits is expected to address the issue later in the wound defect.
Design: Experimental research, post test only control group design.
Methods: This is an experimental study with post test only control group design conducted on 18 adult New
Zealand white rabbits (Oryctolagus cuniculus) aged 16 weeks.. Two full-thickness excisional wounds measuring
2,5 x 2, 5 cm on the right and left back of the rabbits were made. On day-0, the left wound treated with 5 x 106
mesenchymal stem cells, while the right wound was treated with 5 x 106 keratinocyte progenitor stem cells of
adipose tissue. Specimens was taken on day-3 (inflammatory phase), day-14 (proliferative phase) and day-21
(maturation phase) where 6 rabbits were sacrificed at each phase. Specimens were sent to the pathology
department for histopathologic examination, and the size of the wounds were measured by using Visitrak.The
data will then be analyzed statistically using ANOVA (Analysis of Variant)
Results: Have conducted a process to grow the progenitor, obtained the formation of keratinocyte progenitor fat
cells will be applied to study wound.
Conclusions: Keratinocyte progenitor stem cells wound closure faster than mesenchymal stem cells,
keratinocyte progenitor stem cells have a number less than mesenchymal stem cells because of the uneven
distribution of surface epithelial wound, keratinocyte progenitor stem cells layer has a higher number than
mesenchymal stem cells and supporting tissue structure under a given epithelial wound mesenchymal stem cells
denser than keratinocyte progenitor stem cells because the nature of multipotent mesenchymal stem cells
possessed.
Key words: stem cells,
progenitor keratinocytes, wound healing.
2
1. Pendahuluan
Luka adalah diskontinuitas dari
jaringan yang bisa disebabkan oleh trauma
maupun penyebab lain, merupakan suatu
keadaan yang sering kita jumpai. Proses
penyembuhan luka dikatakan sebagai salah
satu proses biologis paling kompleks setelah
lahir, karena merupakan hasil dari interaksi
berbagai jenis sel, struktur jaringan dan
mediator biokimia (Tabatai et al, 2010) [1].
Proses penyembuhan luka perlu mendapat
perhatian, karena proses penyembuhan luka
yang lama akan menimbulkan banyak
kerugian yaitu biaya yang besar dan
produktivitas yang menurun, disamping
keluhan dan perasaan tidak nyaman bagi
penderita. Problem luka yang sering dijumpai
dalam Bedah adalah adanya defek yang
ditimbulkan akibat suatu tindakan, atau
karena kelainan yang telah ada sebelumnya.
Bila defek yang ada luas akan terjadi masalah
pada penutupan luka misalnya pada kasus
luka bakar dan degloving.
Proses penyembuhan luka pada
dasarnya merupakan suatu upaya fisiologis
untuk memperbaiki tubuh manusia, dimana
respon biologis tersebut sangat kompleks.
Terjadi respon inflamasi sistem imun tubuh,
sitokin, migrasi bermacam jenis sel neutrofil,
makrofag, fibroblas dan keratinosit [2, 1].
Pada kasus luka bakar 45% akan jatuh menjadi
luka kronis. Penderita yang dirawat di rumah
sakit 30,7% mengalami luka, baik akut
maupun kronik (WHO, 2010) [3]. Epitelialisasi
yang merupakan hal penting pada proses
penyembuhan luka sering terhambat karena
berbagai hal diantaranya adalah infeksi atau
jaringan nekrotik. Tujuan dari penanganan
luka adalah penyembuhan luka dengan cepat
dan memuaskan secara fungsi dan estetik [4].
Secara fisiologis proses penyembuhan luka
terdiri atas 3 fase: Fase inflamasi, fase
proliferasi atau fibroplasia dan fase maturasi
atau remodeling [5]. Proses epitelialisasi
merupakan bagian dari fase proliferasi
penyembuhan
luka.
Epitelialisasi
ini
merupakan proses pelapisan permukaan luka
dengan epitel baru yang berasal dari
proliferasi dan migrasi keratinosit yang
terdapat pada tepi luka (Zhang and Fu, 2008)
[6, 7]. Pada defek yang luas dibutuhkan kulit
penutup yang luas pula dan dalam prakteknya
sering timbul kesulitan karena modalitas
untuk menutupnya kurang.
Beberapa modalitas terapi bisa
digunakan dalam penutupan luka antara lain
dengan jahit primer, skin graft, flap, kultur sel,
spray cell maupun dengan persekundam yang
mengandalkan proses epitelialisasi untuk
mengatasi defek yang terjadi [8]. Pada dekade
ini terapi sel punca banyak diperbincangkan
dalam berbagai kepentingan medis. Terkait
masalah luka, terapi sel punca dianggap
merupakan metode yang aman dan efektif
(Kim et al, 2009) [9]. Sel punca adalah sel yang
belum
berdiferensiasi,
tetapi
dapat
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
apapun yang membentuk tubuh dalam jumlah
yang banyak. Secara praktis, sel punca dibagi
menjadi dua jenis, yaitu sel punca embrionik
(embryonic stem cell) dan sel punca dewasa
(adult stem cell). Sel punca mesenkim
(Mesenchymal Stem Cell/MSC) merupakan
bagian dari sel punca dewasa, dimana sumber
yang paling banyak adalah sumsum tulang,
darah tali pusat dan jaringan adiposa [10].
Beberapa penelitian telah dikembangkan
untuk mengetahui kegunaan sel punca dalam
proses penyembuhan luka (Kim et al, 2009) [9,
11, 8 ]. Sel punca dari sel lemak (AdiposeDerived Stem Cell / ADSCs) mempunyai
keuntungan dibandingkan sumber sel punca
lainnya yaitu jumlah yang melimpah dan
pengambilan yang mudah. Sel punca tersebut
terletak dibawah dermal fibroblas dan saling
berinteraksi,
sehingga
meningkatkan
3
stratifikasi keratinosit yang menghasilkan
lapisan epidermis dengan susunan berbaris
(Aoki Shigehisa et al, 2011) [12]. Conditioned
Medium ADSC (ADSC-CM) dapat mengaktivasi
fibroblas dermis dan keratinosit, yang dapat
memperbaiki
kerusakan
kulit
melalui
mekanisme parakrin [9]. Kultur secara in vitro
telah dilakukan terhadap sel punca dewasa,
dimana akan terbentuk exogenous cytokine,
growth factors, chemicals, dan extracellular
matrix (ECM) yang akan berdifferensiasi
menjadi
beberapa
lineage,
sehingga
keratinosit hanya dibentuk sebagian kecil saja.
Keberadaan progenitor keratinosit diperlukan
untuk lebih mempercepat penyembuhan luka
[13].
Progenitor adalah sel dengan
kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi
suatu jenis sel tertentu. Beda antara sel punca
dengan progenitor adalah bila sel punca
berdiferensiasi pada beberapa lintasan,
sedangkan progenitor berdiferensiasi hanya
pada satu lintasan contohnya progenitor
keratinosit.
Sel
progenitor
memiliki
kecenderungan menjadi jenis sel tertentu,
tetapi sudah lebih spesifik dari sel punca dan
didorong untuk berdiferensiasi menjadi sel
targetnya.
Keratinosit mengeluarkan
interleukin (IL)-1, dimana mempengaruhi
fibroblast untuk mengeluarkan cytokine dan
growth factors yang penting untuk
penyembuhan luka (Lau Katherine et al,2009)
[14]. Luka dinilai sudah sembuh secara
sederhana apabila luka tersebut sudah
tertutup epitel, oleh karena itu segala upaya
untuk memberi epitel diatas luka akan sangat
berguna membuat luka menuju kesembuhan.
Penelitian
peran
sel
punca
mesenkimal dari sel lemak terhadap
penyembuhan luka kelinci telah dilakukan.
Didapatkan gambaran klinis luka kelinci pada
pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), hari ke14 (fase proliferasi) dan hari ke-21 (fase
remodeling) secara nyata luka yang diberikan
sel punca mesenkimal menutup lebih cepat
dibandingkan perawatan tanpa sel punca
(Ariek 2012) [15].
Progenitor keratinosit adalah bentuk
sel punca yang sudah berdifferensiasi menjadi
keratinosit. Secara logika bentuk ini akan lebih
superior dibandingkan bentuk sel punca
mesenkimal, diperlukan pembuktian terkait
hal tersebut. Penelitian ini berupaya mencari
tahu kebenaran logika menjadi suatu fakta
kebenaran yang dapat terbukti secara ilmiah.
Akan dilakukan penelitian untuk mengungkap
peranan progenitor keratinosit sel punca dari
sel lemak pada epitelialisasi penyembuhan
luka pada kulit kelinci yang diharapkan kelak
dapat mengatasi masalah defek pada luka.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental
dengan
menggunakan
rancangan post test only control group
design. Penelitian dilakukan pada bulan
November 2011 sampai dengan September
2012 di Laboratorium Institute of Tropical
Disease (ITD)
Universitas Airlangga,
Surabaya.
Perlakuan diberikan pada kelinci
albino New Zealand (Oryctolagus
cuniculus) jantan. Kelinci betina tidak
digunakan untuk menghindari pengaruh
hormon progesteron dan estrogen terhadap
proses penyembuhan luka. Kelinci yang
digunakan untuk penelitian adalah kelinci
New Zealand dewasa usia 16 minggu
dengan berat badan 5000 sampai 6000
gram.
Berdasarkan rumus perhitungan
sampel diperoleh besar sampel untuk
masing-masing kelompok coba adalah 4.
Mengingat adanya faktor bias hanya
dilakukan pada 4 hewan coba, maka untuk
tiap kelompok perlakuan diambil 6 hewan
coba. Setiap hewan coba mendapat 2
perlakuan (luka kontrol dan luka yang
4
diberi sel punca jaringan lemak secara
topikal) yang diambil pada hari 3, 14 dan
21, maka
sampel adalah 6. Ada 3
kelompok pada penelitian ini, maka akan
dibutuhkan 18 hewan coba. Luka yang
diberi sel punca dan diamati pada hari ke
3, 14, 21(3 populasi), luka yang dirawat
moist dan diamati pada hari ke 3, 14, 21 (3
populasi) sehingga total terdapat 6
populasi (Gambar 1).
Gambar 1. Rancangan Penelitian.
Kultur progenitor keratinosit jaringan
lemak :
Pengambilan
jaringan
lemak
kelinci dilakukan pada daerah yang banyak
mengandung jaringan lemak, yaitu pada
perut paha kiri dan paha kanan dengan
cara pembedahan. Hasil potongan jaringan
lemak yang ada kemudian diletakkan pada
50 ml tabung medium transport.
Jaringan lemak dalam medium
transport diambil, kemudian cuci 2-3 kali
dengan Phosphate- buffered saline
(PBSA). Setelahnya cincang dengan
gunting sampai hancur jaringan lemak
tersebut. Jaringan lemak yang sudah
dicincang hingga hancur dimasukkan
kedalam
spuit
10cc,
kemudian
disemprotkan ke dalam erlenmeyer,
ditambahkan tripsin EDTA sebanyak 20
ml dan putar di magnetic stirer dengan
suhu 37° selama 50 menit.
Setelah 50 menit, ditambahkan
Fetal Bovine Serum (FBS) 10% dan putar
lagi selama 10 menit. Jaringan lemak yang
sudah diputar di magnetic stirer selama 60
menit kemudian disaring di beaker glass
yang telah diberi lapisan kasa sebanyak 3
lapis. Setelah disaring terdapat supernatant
didalam beaker glass , kemudian
dituangkan ke dalam conical tube.
Setelahnya disentrifuge 1600 rpm selama 5
menit. Supernatant
tersebut setelah
disentrifuge dicuci dengan PBSA dan
medium keratinosit sebanyak 2-3 kali.
Buang PBSA dan medium tadi, kemudian
campurkan medium keratinosit sebanyak
5-10cc. Setelah dicampurkan dengan
medium keratinosit, tanam di petri dish
yang telah disiapkan. Kemudian inkubasi
di incubator CO2 5% pada suhu 37°C.
Setiap 2 hari ganti medium sampai cukup
untuk di passage, ditandai dengan sudah
adanya kumpulan koloni sel.
Setelah sel siap diaplikasi, jumlah
sel dihitung dengan Flositometer sebanyak
5x106 dan diberi labeling PKH 2 untuk
menandai sel punca tersebut pada proses
penyembuhan luka.
Kultur sel punca mesenkimal jaringan
lemak
Potongan jaringan lemak /adipose
diletakkan pada 50 ml medium transport
dengan menggunakan forceps. Setelahnya
potong kecil- kecil jaringan lemak dengan
menggunakan gunting.
Setelah jaringan lemak terpotongpotong, ditambahkan collagenase solution
sebanyak volume potongan lemak tersebut
dan dicampur. Kemudian diletakkan
tabung pada water bath pada suhu 370C
selama 60 menit dan Centrifuge sampai
pada 50- 100 gram selama 5 menit.
Tabung dikeluarkan dari centrifuge
kemudian kocok dengan kuat (untuk
memisahkan stromal cells dari jaringan
lemak) dan centrifuge lagi selama 5
menit.Ambil cairan lemak pada bagian atas
campuran secara hati- hati dimana terdapat
jaringan lemak disana. Jangan sampai
merusak stromal- vascular fraction pada
5
dasar campuran. Kemudian ditambahkan
5-10 ml cairan Phosphate- buffered saline
(PBSA) dan centrifuge lagi selama 5
menit. Setelahnya cuci dan spin 3 kali,
dilakukan dengan hati –hati untuk tidak
merusak stromal- vascular fraction.
Pada
pembilasan
terakhir,
resuspend pellet kurang lebih 8 ml pada
adipose stem cell medium diletakkan pada
plate T-25 flask kemudian di inkubasi
pada suhu 370 C dengan 5% CO2. Biarkan
sel
tersebut
untuk
merekat
dan
berkembang selama 2-4 hari sebelum
pergantian medium. Kemudian ganti
medium dan buang supernatannya, secara
rutin ganti medium 2 kali seminggu
Pada beberapa kasus, akan
ditemukan
kontaminasi
dari
sel
hematopoetik, tetapi kontaminasi sel ini
akan semakin berkurang ketika dilakukan
passage beberapa kali.
Setelah sel siap diaplikasi, jumlah
sel dihitung dengan Flositometer sebanyak
5x106 dan diberi labeling PKH 2 untuk
menandai sel punca tersebut pada proses
penyembuhan luka.
Cara penelitian
Dipilih 18 ekor kelinci jantan New
Zealand Oryctolagus cuniculus sehat yang
berusia sekitar 16 minggu (dewasa).
Kemudian
kelinci
dibius
dengan
menggunakan ketamin 20 mg/kg berat
badan intramuscular.
Setiap kelinci dicukur bulunya
pada bagian punggung kemudian dibuat 2
desain eksisi luka full-thickness berukuran
2,5x2,5 cm dengan menggunakan mesh no.
15 pada punggung kanan dan kiri dan
diberi marker dengan benang silk 4.0 pada
tiap ujung luka. Setelahnya desinfeksi
dengan solusio povidon iodine 10% dan
Savlon 1 : 30. Luka pada punggung kanan
diaplikasikan progenitor keratinosit sel
punca sebesar 5 x 106 dan luka pada
punggung kiri diaplikasikan sel punca
mesenkimal sebesar 5 x 106 pada hari-0
(diukur dengan menggunakan alat
Flositometer). Masing-masing luka ditutup
dengan transparant dressing untuk
mencegah kontaminasi ke area sekitarnya.
Setiap kelinci diberikan injeksi Penicillin
Procain 100 mg / kg berat badan intra
muskuler.
Kelinci
dipelihara
pada
kandangnya masing-masing dan diberi
makanan dan minuman dengan jumlah dan
jenis yang sama.
Pengambilan Data
Spesimen pada punggung kanan
dan kiri diambil pada waktu bersamaan
dengan cara eksisi pada bekas luka di
punggungnya dengan ukuran masingmasing spesimen sekitar 3,0 x 3,0 cm
sedalam full thickness. Sebelumnya luas
luka yang belum tertutup epitel diukur
dengan menggunakan Visitrak.
Spesimen diambil hari ke-3 pada
fase inflamasi, hari ke-14 pada fase
proliferasi, hari ke-21 pada fase maturasi
dan masing-masing dikorbankan 6 ekor
kelinci pada setiap fasenya.
Pengorbanan kelinci dilakukan
dengan menyuntikkan pentobarbital 60100 mg/kg berat badan intraperitoneal
pada daerah sedikit midlateral antara
processus xyphoideus dan tuberculum
pubicum.
Spesimen
diambil
sebagian
(±2mm) kemudian dilakukan pengecatan
dengan Flourescein Isothiocyanate (FITC)
untuk menilai adanya sel punca pada
permukaan luka tersebut dan spesimen
sisanya kemudian dimasukkan ke dalam
botol yang berisi formalin 10% untuk
fiksasi jaringan. Spesimen dikirim ke
bagian Patologi Anatomi untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologi.
Data yang dikumpulkan dianalisis
menggunakan metode analisis ANOVA.
3. Hasil
6
Data hasil penelitian meliputi
pengamatan berupa luas luka, jumlah
epitel dan jumlah lapisan epitel. Sediaan
progenitor keratinosit sel punca yang akan
diaplikasikan dilakukan pemeriksaan
secara kualitatif dan kuantitatif untuk
membuktikan
keberadaan
keratinosit
tersebut.
Pemeriksaan
menggunakan
marker K17 Imuno Cyto Chemistry (ICC)
yang merupakan antibodi keratinosit,
diberi
dilabel
dengan
pewarnaan
Fluorescein Icothyocyanat (FITC). Pada
pemeriksaan yang dilakukan didapatkan
pendar warna hijau, menunjukkan adanya
ikatan antigen-antibodi sel keratinosit.
(Gambar 2).
Gambar 3. Hasil pemeriksaan Flositometri .
Warna merah menunjukkan sel keratinosit
dalam 10.000 bit events (butir sel) progenitor
keratinosit sel punca.
Gambaran Klinis Luka
Gambar 2. Hasil pemeriksaan secara
imunoflourescence dengan marker K17.
Didapatkan pendar warna hijau menunjukkan
adanya sel keratinosit pada sediaan progenitor
keratinosit sel punca yang ada
Pemeriksaan Flositometri dengan
menggunakan alat Becton Dickinson Facs
Calibur Flowcytometer digunakan untuk
karakterisasi semi kuantitatif menghitung
jumlah keratinosit dalam 10.000 bit events
(butir sel) sebagai standarisasi penghitung
presentasi sediaan progenitor keratinosit
sel punca. Hasil perhitungan secara semi
kuantitatif
didapatkan
adanya
sel
keratinosit sebanyak 64% dalam 10.000
bit events (butir sel) sediaan progenitor
keratinosit sel punca.
Setelah dilakukan uji secara
kualitatif dan semi kuantitatif didapatkan
sel keratinosit dalam sediaan progenitor
keratinosit sel punca yang ada, kemudian
dilakukan aplikasi pada luka yang telah
disiapkan. Hasil pengamatan yang
dilakukan terhadap kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
secara makroskopis, luas luka yang masih
tampak
pada
kelompok
perlakuan
seluruhnya lebih kecil dibandingkan
dengan kelompok kontrol baik pada
pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), 14
(fase proliferasi) dan 21 (fase remodeling)
(Gambar 4). Pada kedua kelompok tidak
didapatkan
adanya
tanda
infeksi.
Pengukuran luas luka dilakukan dengan
menggunakan alat Visitrax.
7
Gambar 5. Gambaran epitel yang dilabeling
dengan PKH 2. Pendar warna hijau
menunjukkan adanya sel punca pada luka,
membuktikan proses penyembuhan luka
berasal dari sel punca dan bukan dari host-nya.
Gambaran Histologis Jumlah Epitel dan
Jumlah Lapisan Epitel
Gambar 4. Foto klinis luka (kelompok
perlakukan: P, kelompok kontrol: K).
A)Pengamatan hari ke-3. B) Pengamatan hari
ke-14. C) Pengamatan hari ke-21
Pada penelitian ini membuktikan
bahwa proses epitelialisasi yang terjadi
pada proses penyembuhan luka berasal
dari sel punca dan bukan dari host-nya,
hal ini dimungkinkan karena dilakukan
proses labeling sel punca pada saat
aplikasi. Labeling akan menandai sel
punca pada luka yang sedang terjadi proses
penyembuhan luka. Proses labeling
dilakukan pada kedua kelompok yang ada,
baik kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan dengan menggunakan labeling
PKH 2. Setelah spesimen diambil pada
hari ke 3 (fase inflamasi), 14 (fase
proliferasi) dan 21 (fase remodeling),
dilakukan pengecatan dengan FITC. Pada
pemeriksaan menunjukkan adanya warna
pendar hijau yang membuktikan adanya
sel punca pada luka tersebut (Gambar 5).
Seluruh spesimen luka diolah dan
dibuat preparat dengan pengecatan
Haematoxylin
Eosin
(HE).
Pada
pemeriksaan hari ke-3 didapatkan bahwa
epitel belum muncul di permukaan luka,
baik pada kelompok perlakuan
dan
kelompok kontrol. Masih didapatkan sel
radang pada ke-2 sediaan, dengan jaringan
yang masih longgar dibawahnya (Gambar
6).
Gambar 6. Gambaran jumlah epitel dan
lapisan epitel setelah pemberian sel punca
pada pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi). a)
Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka
perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol,
perbesaran
400x.
d)Luka
perlakuan,
perbesaran 400x.
8
Pada pengamatan hari ke-14
(gambar 7), sel epitel tampak pada sediaan.
Jumlah sel epitel pada kelompok perlakuan
lebih kecil dibandingkan jumlah sel epitel
pada
kelompok
kontrol.
Jaringan
penyangga dibawah epitel menjadi lebih
padat. Pada kelompok kontrol jaringan
penyangga dibawah epitel lebih padat
dibandingkan pada kelompok perlakuan.
Terdapat serat kolagen dan pembuluh
darah pada jaringan penyangga tersebut.
Tampak bahwa epitel pada kelompok
kontrol lebih rata di permukaan luka. Pada
kelompok
perlakuan
epitel
pada
permukaan luka tidak rata, sehingga
kelompok kontrol mempunyai jumlah sel
epitel yang lebih besar dibandingkan
kelompok perlakuan. Jumlah lapisan epitel
kelompok perlakuan lebih tebal dari
jumlah lapisan epitel kelompok kontrol.
Rerata jumlah epitel dan jumlah lapisan
epitel pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel
1.
Gambar 7. Gambaran jumlah epitel dan
lapisan epitel setelah pemberian sel punca
pada pengamatan hari ke-14 (fase proliferasi).
a)Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka
perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol,
perbesaran 400x. d) Luka perlakuan,
perbesaran 400x.
Tabel 1. Rerata jumlah epitel dan lapisan
epitel hari ke-14
Kelompok
Kontrol
Jumlah
epitel
25,17
Jumlah
lapisan epitel
3,83
Perlakuan
23,00
4,83
Pada pengamatan hari ke-21
(gambar 8), jumlah epitel lebih besar
dibandingkan pada hari ke-14 baik pada
kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Pada kelompok perlakuan jumlah
epitel lebih sedikit daripada kelompok
kontrol, karena epitel pada kelompok
perlakuan tidak merata. Pada kelompok
perlakuan terdapat daerah yang epitelnya
tebal, tetapi ada juga daerah yang epitelnya
tipis. Pada kelompok perlakuan jumlah
lapisan epitelnya lebih besar daripada
kelompok kontrol. Jaringan penyangga
dibawah epitel pada kelompok kontrol
lebih padat dibandingkan pada kelompok
perlakuan.
Rerata jumlah epitel dan
jumlah lapisan epitel pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol dapat
dilihat pada Tabel 2.
Gambar 8. Gambaran jumlah epitel dan
lapisan epitel setelah pemberian sel punca
pada pengamatan hari ke-21 (fase remodeling).
a)Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka
perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol,
perbesaran 400x. d) Luka perlakuan,
perbesaran 400x
Tabel 2. Rerata jumlah epitel dan lapisan
epitel hari ke-21
Kelompok
Jumlah
epitel
Jumlah
lapisan epitel
Kontrol
34,17
5,30
Perlakuan
32,33
7,00
9
Terdapat hasil yang signifikan
perbandingan luas luka pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan pada
pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), hari
ke-14 (fase proliferasi) dan hari ke-21
(fase remodeling). Hal ini seperti yang
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji T berpasangan (luas luka
tertutup epitel dalam %)
Hari
ke
Mesenkimal
3
14
21
7,47 ± 2,36
Progenitor
keratinosit
Harga
P
a
<
0,0001
0,001
0,001
a
2,13 ± 1,20
b
49,60 ± 8,14
b
68,80 ± 9,10
c
Harga P
75,73 ± 9,35
< 0,0001
c
90,40 ± 4,53
< 0,0001
Signifikan bila harga P < 0,05
sedangkan kelompok kontrol
epitel sekitar 75% saja.
tertutup
Pada hari ke-3 (fase inflamasi)
tidak didapatkan sel epitel. Sehingga
analisa dilakukan pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan pada pengamatan
hari ke-14 (fase proliferasi) dan hari ke-21
(fase remodeling). Didapatkan bahwa
secara statistik terdapat hasil yang tidak
signifikan pada perbandingan jumlah epitel
dari dua kelompok tersebut, tetapi pada
kelompok yang sama terdapat hasil yang
signifikan. Hal ini seperti yang terlihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji T berpasangan ( jumlah
epitel)
Hari ke
Mesenkimal
Progenitor
keratinosit
Harga
P
14
21
25,17 ± 3,19
34,17 ± 3,60
23,00 ±1,79
3,33± 2,16
0,163
0,376
Harga P
< 0,001
< 0,0001
Signifikan bila harga P < 0,05
Gambar 9. Perbandingan luas luka. Kelompok
kontrol (sel punca mesenkimal) dengan
kelompok perlakuan (progenitor keratinosit sel
punca) pada pengamatan hari ke-3, 14 dan 21.
Tampak dari tabel diatas bahwa
pada kelompok perlakuan luas luka yang
tertutup epitel secara signifikan lebih besar
dari kelompok kontrol. Hari ke-3
menunjukkan kelompok perlakuan tertutup
epitel 2 kali lebih besar dari kelompok
kontrol. Pada hari ke-14 kelompok
perlakuan tertutup epitel sekitar 70% dan
kelompok kontrol tertutup epitel sekitar
50% dari luas luka yang ada. Pada hari ke21 kelompok perlakuan tertutup epitel
sekitar 90% dari luas luka yang ada,
Gambar 10. Perbandingan rerata jumlah sel
epitel. Kelompok kontrol (sel punca
mesenkimal) dengan kelompok perlakuan
(progenitor keratinosit sel punca) pada
pengamatan hari ke-14 dan 21
Tabel diatas menunjukkan bahwa
sel punca mesenkimal mempunyai jumlah
epitel sedikit lebih tinggi dibandingkan
progenitor
keratinosit
sel
punca.
Didapatkan perbedaan sejumlah 2 sel
epitel pada pengamatan hari ke-14 dan hari
ke-21.
10
Secara statistik didapatkan hasil
yang signifikan pada perbandingan jumlah
lapisan epitel pada kelompok kontrol dan
kelompok
perlakuan.
Pengamatan
dilakukan pada hari ke-14 (fase proliferasi)
dan hari ke-21 (fase remodeling). Hal ini
seperti yang terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji T Berpasangan ( jumlah
lapisan epitel)
Hari ke
Mesenkimal
Progenitor
keratinosit
Harga
P
14
21
3,83 ± 0,41
5,33 ± 0,52
4,83 ±0,41
7,00 ± 0,63
0,002
0,011
Harga P
< 0,0001
< 0,0001
Signifikan bila harga P < 0,05
Gambar 11. Perbandingan rerata jumlah
lapisan epitel. Kelompok kontrol (sel punca
mesenkimal) dengan kelompok perlakuan
(progenitor keratinosit sel punca) pada
pengamatan hari ke-14 dan 21
Dari tabel yang ada tampak secara
jelas bahwa pada hari ke-14 progenitor
keratinosit sel punca lebih tinggi daripada
sel punca mesenkimal, demikian pula pada
hari ke-21. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada hari ke-14 maupun hari ke-21
progenitor keratinosit sel punca secara
konsisten lebih tebal lapisan epitelnya
dibandingkan sel punca mesenkimal.
4. Pembahasan
Penggunaan
sel
punca
baik
mesenkimal maupun progenitor dapat
menjanjikan diwaktu kedepan. Beberapa
penelitian telah dikembangkan untuk
mengetahui kegunaan sel punca dalam
proses penyembuhan luka [9, 11, 8].
Sumber yang paling berlimpah dan mudah
diakses adalah sel punca dari sel lemak
(Adipose-Derived Stem Cell / ADSCs)
yang
mempunyai
keuntungan
dibandingkan sumber sel punca lainnya
yaitu jumlah yang melimpah dan
pengambilan yang mudah. Sel punca
tersebut terletak dibawah dermal fibroblas
dan
saling
berinteraksi,
sehingga
meningkatkan stratifikasi keratinosit yang
menghasilkan lapisan epidermis dengan
susunan berbaris [12]. Hasil dari sel punca
mesenkim jaringan lemak adalah sekitar
40 kali lipat lebih besar daripada yang dari
sumsum tulang [16].
Proses penyembuhan luka pada
dasarnya merupakan suatu upaya fisiologis
untuk memperbaiki tubuh manusia,
dimana respon biologis tersebut sangat
kompleks. Terjadi respon inflamasi sistem
imun tubuh, sitokin, migrasi bermacam
jenis sel neutrofil, makrofag, fibroblas dan
keratinosit (Falanga, 2005) [17, 1]. Secara
fisiologis proses penyembuhan luka terdiri
atas 3 fase: Fase inflamasi, fase proliferasi
atau fibroplasia dan fase maturasi atau
remodeling [5]. Epitelialisasi terutama
terjadi pada fase proliferasi, melibatkan
migrasi keratinosit dari jaringan sekitar
epitel untuk menutupi luka. Membran
basalis
kemudian
secara
perlahan
mengikuti tepi sel tersebut untuk bergerak
menutupi permukaan luka (Stadelmann,
1998; Lawrence, 1998). [18 , 19, 20].
Luka dinilai sudah sembuh secara
sederhana apabila luka tersebut sudah
tertutup epitel, oleh karena itu segala
upaya untuk memberi epitel diatas luka
akan sangat berguna membuat luka
menuju kesembuhan.
Pada penelitian yang telah kami
lakukan, didapatkan bahwa sel punca
mesenkimal maupun progenitor keratinosit
11
sel punca mempunyai kelebihan masingmasing dalam proses penyembuhan luka.
Progenitor keratinosit adalah bentuk sel
punca yang sudah berdifferensiasi menjadi
keratinosit. Gambaran karakteristik sel
punca mesenkimal dari jaringan lemak
merupakan suatu fibroblastik dengan
retikulum endoplasma yang berlimpah dan
inti yang relatif besar terhadap volume
sitoplasma, berbeda dengan progenitor
keratinosit sel punca yang mempunyai
karakteristik berbentuk kotak merupakan
ciri
khas
dari
keratinosit.
Pada
pemeriksaan hari ke-3, baik sel punca
mesenkimal maupun progenitor keratinosit
sel punca belum tampak adanya sel epitel.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa proses
epitelialisasi terutama terjadi pada fase
proliferasi yaitu setelah hari ke-5.
Pemeriksaan pada hari ke-14 dan 21 pada
sel
punca
mesenkimal
didapatkan
peningkatan jumlah epitel dan jumlah
lapisan epitel. Struktur epitel lebih merata
dengan jaringan penyangga dibawahnya
lebih padat dibandingkan progenitor
keratinosit sel punca. Sesuai dengan
kondisi bahwa hal tersebut dimungkinkan
karena sel punca mesenkimal bersifat
multipotent sehingga dapat berdiferensiasi
dan berproliferasi menjadi banyak jenis
sel. Sehingga didapatkan gambaran yang
lebih padat pada jaringan penyangga
dibawah epidermis yang dapat mendukung
pertumbuhan epitel. Pada progenitor
keratinosit sel punca pada hari ke-14 dan
21 didapatkan jumlah epitel dan jumlah
lapisan epitel yang juga meningkat.
Struktur epitelialisasi yang terjadi kurang
merata, dengan jumlah lapisan epitel yang
lebih tebal dari sel punca mesenkimal. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa progenitor
keratinosit sel punca bersifat unipotent,
tidak berdiferensiasi dan hanya sedikit
mengalami proliferasi sehingga terstruktur
sebagai
keratinosit
saja.
Struktur
penyangga akan terbentuk dibawah epitel
melalui proses penyembuhan luka secara
alami, sehingga keratinosit yang ada hanya
dari progenitor sel punca saja tanpa
dukungan dari
dibawahnya.
jaringan
penyangga
Hasil penelitian ini didapatkan
bahwa baik sel punca mesenkimal maupun
progenitor keratinosit sel punca keduanya
menunjukkan perbaikan dalam proses
penutupan luka. Area luka yang ada
mengecil, berarti proses epitelialisasi
berjalan dengan baik. Kami dapatkan
bahwa sel punca mesenkimal pada hari ke14 tertutup epitel sebesar 50% dan hari ke21 sebesar 75%. Pada progenitor
keratinosit
sel
punca
didapatkan
kemampuan untuk menutup luka yang
lebih besar dengan luka yang tersisa lebih
kecil dari sel punca mesenkimal, pada hari
ke-14 luka tertutup epitel sebesar 65% dan
hari ke-21 sebesar 90%. Hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa untuk sel punca
mesenkimal selain membentuk jaringan
epitel juga membentuk struktur penyangga
di
bawah
kulit,
dimana
secara
histopatologi tampak lebih baik. Pada
progenitor keratinosit sel punca didapatkan
defek luka yang tersisa lebih kecil dan
daya epitelialisasi lebih cepat, namun
secara histolopatologi jaringan penyangga
dibawah epitel kurang padat tidak seperti
gambaran pada sel punca mesenkimal.
Secara umum, baik sel punca
mesenkimal dan progenitor keratinosit sel
punca berperan positif pada proses
penyembuhan luka yang kami teliti.
Progenitor keratinosit sel punca secara
signifikan dapat diandalkan dalam
mempercepat penutupan luka. Hal ini
sangat membantu untuk menutup atau
memperkecil defek yang terjadi, walaupun
secara struktur penyangga dibawahnya
tidak sebaik sel punca mesenkimal. Dapat
diharapkan
sejalan
dengan
proses
penyembuhan luka yang ada struktur
penyangga tersebut dapat terbentuk secara
alami mengikuti swaktu sesuai dengan fase
penyembuhan luka setelah epitel tertutup.
5. Kesimpulan
12
Progenitor keratinosit sel punca
menutup luka lebih cepat daripada sel
punca mesenkimal. Progenitor keratinosit
sel punca mempunyai jumlah epitel lebih
sedikit
dibandingkan
sel
punca
mesenkimal karena tidak meratanya
distribusi epitel di permukaan luka.
Progenitor keratinosit sel punca
mempunyai jumlah lapisan epitel yang
lebih banyak dibandingkan sel punca
mesenkimal. Struktur jaringan penyangga
dibawah epitel pada luka yang diberikan
sel punca mesenkimal lebih padat
dibandingkan progenitor keratinosit sel
punca. Hal ini dikarenakan sifat
multipotent yang dimiliki sel punca
mesenkimal.
Penelitian
ini
dapat
direkomendasikan sebagai acuan pada luka
dengan problem defek. Apabila penelitian
klinis penggunaan progenitor keratinosit
sel punca telah dilakukan dan terbukti baik
untuk penutupan luka, maka dapat
digunakan sebagai salah satu modalitas
untuk penutupan luka dengan defek yang
luas.
7. Santoro MM, Gaudino G. 2005.
Cellular and Molecular facets of
keratinocyte reepithelization during
wound healing. Experimental Cell
Reseach. 304: 274 - 286
8. Cha J., Falanga V., 2007. Stem cells in
cutaneous wound healing. Clinins in
Dermatol 25. p 73-8
9. Kim et al, 2009
10. Halim D, Murti H, Sandra F,
Boediono A, Djuwantono T, Setiawan
B, 2010. Stem cell, dasar teori dan
aplikasi klinis. Jakarta : Penerbit
Erlangga. 1-22
11. Branski LK., Gauglitz GG., Herndon
DN., Jeschke MG., 2009. A review of
gene and stem cell therapy in
cutaneous wound healing. Burns J.
35(2): 171-80
12. Aoki Shigehisa et al, 2011
13. Ming Chen et all.Stem Cells for Skin
Tissue Engineering and Wound
Healing. Edited form as Crit Rev
Biomed Eng. 2009 ; 37(4-5):399-421.
Tinjauan Pustaka
14. Lau Katherine et al,2009
15. Ariek 2012.
16. Cherubino,M. Rubin,J.P, et al. 2011.
Adipose-Derived Stem Cells for
wound healing applications.Ann Plast
Surg ;66(2) : 210-215
17. Falanga, 2005
18. Stadelmann, 1998
19. Lawrence, 1998
20. Singer AJ, Clark RA. 1999.
Cutaneous wound healing. N Engl J
Med. 1999;341:738-46
1. (Tabatai et al, 2010)
2. Falanga, V. 2004. The chronic wound:
impaired healing and solutions in the
context of wound bed preparation.
Blood Cells, Molecules, and Diseases.
32 (1): 88–94.
3. WHO, 2010
4. Adam J. Singer, M.D., and Richard
A.F. Clark, M.D. 1999, Cutaneous
Wound Healing,N Engl J Med,
341:738-746
5. Perdanakusuma DS, 2003. Pengaruh
kadar melanin terhadap terjadinya
akumulasi kolagen pada keloid,
Disertasi,
Universitas
Airlangga
Surabaya.
6. Zhang and Fu, 2008
13
14
Download