retensi vitamin a pada minyak goreng curah yang difortifikasi

advertisement
RETENSI VITAMIN A PADA MINYAK GORENG CURAH
YANG DIFORTIFIKASI
Oleh:
AINI AQSA ARAFAH
A54104047
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
AINI AQSA ARAFAH. RETENTION OF VITAMIN A IN UNBRANDED PALM OIL
FORTIFIED WITH VITAMIN A. Under the supervision of Drajat Martianto and Sri
Anna Marliyati
ABSTRACT
Susenas data show that almost 100 % of the Indonesian consume
cooking oil regularly with the average of per capita consumption more than 20
gram/day. Palm oil is become dominant cooking oil in Indonesian market.
Approximately 70 % of palm oil sold as unbranded one in the market, which is
commonly called as ‘minyak curah’. Previous studies recommend cooking oil,
particularly unbranded palm oil as the vehicle of vitamin A fortification. An
effectiveness study of unbranded palm oil has been conducted at Barranglompo
Island, Makassar City. Among the objective of the study was to evaluate the
retention of vitamin A in food cooked using fortified unbranded palm oil. The
selected food products were the most frequently food consumed by school
children at Barranglompo, consisted of roti lasuna, roti kambu, jalangkote, and
ikan kembung goreng. The study shows that retention of vitamin A is significantly
decreases after frying repetition, but in general the lost of vitamin A less than
50% after the third frying. The retention of vitamin A after the first frying was
ranged from 81-94%, after the second frying was 64-77%, and after the third
frying was 51-63%.
Keywords: fortification, retention, palm oil, vitamin A
RINGKASAN
AINI AQSA ARAFAH. Retensi Vitamin A pada Minyak Goreng Curah yang
Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan SRI ANNA
MARLIYATI.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji retensi vitamin
A pada minyak goreng curah yang telah difortifikasi dengan vitamin A
pada beberapa produk gorengan. Tujuan khususnya adalah untuk (1)
Mengetahui recovery vitamin A pada minyak goreng curah yang
difortifikasi, (2) Mengkaji pengaruh pengulangan penggorengan terhadap
retensi vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi, (3) Menganalisis
kadar air, kadar lemak dan penyerapan minyak pada produk pangan yang
digoreng dengan minyak goreng curah fortifikasi, dan (4) Menganalisis
kandungan vitamin A minyak goreng curah fortifikasi pada produk
gorengan.
Penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu penelitian pendahuluan di lapang
dan penelitian laboratorium. Penelitian lapang dilakukan untuk mengamati proses
fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah, mengamati cara penggorengan
serta jenis bahan pangan yang biasa digoreng masyarakat Makassar khususnya
di Pulau Barrang Lompo. Penelitian laboratorium dilakukan untuk mengetahui
retensi vitamin A pada minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin A setelah
dilakukannya pengulangan penggorengan (kesatu, kedua dan ketiga). Sampel
minyak goreng pada setiap pengulangan penggorengan diambil dan dianalisis
dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Pada penelitian
laboratorium juga dilakukan analisis kadar air dengan metode oven biasa dan
analisis kadar lemak pada produk goreng menggunakan metode Soxhlet.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Faktor yang dilihat pengaruhnya
terhadap percobaan ini adalah pengulangan penggorengan (penggorengan
kesatu, kedua dan ketiga) dan jenis bahan pangan yang digoreng. Pada
percobaan ini akan digunakan 4 jenis bahan pangan.
Dosis fortifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah 20 µg
retinol/gram (20 ppm) atau 36 IU/gram. Minyak goreng yang digunakan adalah
minyak goreng curah dengan kandungan vitamin A sebesar 0 ppm. Recovery
vitamin A pada proses fortifikasi ini adalah sebesar 100.12 %.
Retensi vitamin A pada minyak goreng setelah penggorengan pertama
berkisar dari 81%-94%. Retensi vitamin A setelah penggorengan kedua berkisar
dari 64-77%. Retensi vitamin A setelah penggorengan ketiga berkisar dari 51%63%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan tidak berpengaruh
nyata (p> 0.05) terhadap retensi vitamin A pada minyak goreng. Perlakuan
pengulangan penggorengan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap retensi
vitamin A pada minyak goreng (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa retensi vitamin A setelah penggorengan pertama berbeda nyata dengan
retensi setelah penggorengan kedua dan ketiga. Retensi vitamin A setelah
penggorengan kedua berbeda nyata dengan retensi setelah penggorengan
ketiga.
Kadar air produk pangan akan menurun setelah adanya proses
penggorengan. Kadar air pada roti lasuna mentah adalah 65.20% sedangkan
pada roti lasuna goreng berkisar dari 34.13%-48.84%. Roti kambu mentah
memiliki kadar air 47.90%, yang sudah digoreng memiliki kadar air berkisar dari
35.51%-38.71%. Jalangkote mentah memiliki kadar air 53.62% dan yang sudah
digoreng memiliki kadar air berkisar dari 41.38 %-41.46%. Kadar air jalangkote
yang sudah digoreng tidak berbeda dengan kadar air pada pustaka (40.44%).
Kembung mentah memiliki kadar air 77.50% dan setelah digoreng berkisar
antara 40.60 %-45.13%. Kadar air kembung mentah hasil penelitian (77.50%)
tidak berbeda dengan kadar air kembung mentah pada pustaka (76%). Hasil
sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan dan jenis pangan
tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar air produk pangan.
Kadar lemak akan meningkat setelah produk pangan digoreng. Hal ini
disebabkan oleh adanya minyak yang terserap ke dalam produk pangan. Analisis
berdasarkan berat kering menunjukkan bahwa roti lasuna mentah memiliki kadar
lemak sebesar 0.63% sedangkan pada roti lasuna goreng berkisar antara
17.28%-22.91%. Kadar lemak pada roti kambu mentah adalah 21.12%
sedangkan pada roti kambu goreng berkisar antara 28.10%-35.37%. Kadar
lemak pada jalangkote mentah adalah sebesar 21.50% sedangkan pada yang
sudah digoreng berkisar dari 32.23%-35.16%. Kembung mentah memiliki kadar
lemak sebesar 11.65% sedangkan pada kembung goreng berkisar dari 31.84%34.66%. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh
nyata (p<0.05) terhadap kadar lemak produk pangan sedangkan pengulangan
penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak produk
pangan.
Penyerapan minyak pada produk pangan berkisar dari 10.73%-23.02%.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap penyerapan minyak sedangkan perlakuan penggorengan tidak
berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penyerapan minyak. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa kembung goreng berbeda nyata dengan jalangkote
dan roti kambu. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa penurunan kadar
air pangan memiliki hubungan yang nyata dan bersifat positif terhadap
penyerapan minyak (r=0.888; p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa 88.8%
variasi nilai penyerapan minyak ditentukan oleh penurunan kadar air. Penurunan
kadar air yang semakin besar akan menyebabkan penyerapan minyak yang lebih
besar.
Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi per 100 gram
produk gorengan pada roti lasuna berkisar dari 148.74-209.60 µg, pada roti
kambu 128.89-199.75 µg, pada jalangkote 89.33-192.12 µg dan pada kembung
162.60-278.10 µg. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan dan
pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan. Minyak goreng curah
fortifikasi memberikan kontribusi sebesar 17.87%-55.62% per 100 gram produk
gorengan terhadap Angka Kecukupan Vitamin A per hari untuk anak usia 7-9
tahun.
RETENSI VITAMIN A PADA MINYAK GORENG CURAH
YANG DIFORTIFIKASI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
AINI AQSA ARAFAH
A54104047
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi
: RETENSI VITAMIN A PADA MINYAK GORENG
CURAH YANG DIFORTIFIKASI
Nama Mahasiswa
: Aini Aqsa Arafah
NRP
: A54104047
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Drajat Martianto, MS
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS.
NIP. 131 861 464
NIP. 131 841 753
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP. 131 124 019
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Mei 1987. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Rukmana Adha dan Ibu
Nur Indriyani.
Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman
Rejeki Cibinong, Bogor. Kemudian penulis melanjutkan studinya ke SLTP Negeri
1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMU
Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004.
Pada bulan Juli 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di
organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian
(HIMAGITA) periode 2005-2006. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan, antara lain Nuansa Pangan, Gizi dan Keluarga (2006) sebagai
koordinator Dana Usaha, seminar 3-HYPER (2007) sebagai koordinator Dana
Usaha, dan Hari Penglepasan Wisuda (HPS) GMSK sebagai ketua panitia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat
dan
hidayah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
ini.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Koalisi Fortifikasi Indonesia dan Asian Development Bank (proyek JFPR)
yang telah memberikan dana untuk penelitian skripsi penulis.
2. Bapak Drajat Martianto dan Ibu Sri Anna Marliyati yang telah senantiasa
sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan
penelitian dan penyelesaian penulisan skripsi.
3. Ibu Lilik Kustiyah sebagai Dosen Pemandu dan Penguji Skripsi, atas
saran dan perbaikan untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Hartoyo selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Bapak Mashudi yang sudah banyak membantu penulis dalam melakukan
penelitian di laboratorium.
6. Mama, Papa dan Ade Bintang yang sudah memberikan banyak dukungan
dan doa.
7. Indradi Agung Setiawan yang sudah memberikan banyak dukungan dan
semangat serta waktunya yang tidak terbatas.
8. Ibon, Vintya, Adisty, Vanessa, Tigia dan Laksito yang telah memberikan
banyak semangat.
9. Teman-teman seperjuangan di laboratorium (Rizka, Rika, Dedew, Devita,
Pak Dian, Edo, Handaru, Achie, Daus) untuk semua bantuan dan
semangat yang diberikan. Ima dan Ida yang sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk menemani penulis selama di laboratorium.
10. Fika, Monika, Gustia, Radita, Wieke, Winda, Mba Rie, Fitri untuk semua
doa dan dukungan yang diberikan.
11. Teman-teman GMSK’41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
12. Bapak Ugan, Bapak Gandi, Ibu Omi beserta suami atas segala
bantuannya. Teh Mey atas semua bantuannya mengirimkan data-data
yang diperlukan.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... vii
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan .................................................................................................. 2
Kegunaan ............................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4
Vitamin A .............................................................................................. 4
Fortifikasi Vitamin A ............................................................................. 6
Stabilitas Vitamin A .............................................................................. 8
Minyak Kelapa Sawit ............................................................................ 9
Kerusakan Minyak................................................................................ 11
Minyak Goreng ..................................................................................... 12
Proses Penggorengan ......................................................................... 12
BAHAN DAN METODE ................................................................................. 15
Tempat dan Waktu ............................................................................... 15
Bahan dan Alat..................................................................................... 15
Metode ................................................................................................. 15
Rancangan Percobaan ........................................................................ 19
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 20
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................... 21
Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Makassar ........ 21
Konsumsi Produk Gorengan di Pulau Barrang Lompo ........................ 22
Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Laboratorium .. 24
Retensi Vitamin A pada Minyak Goreng Curah Fotifikasi .................... 25
Kandungan Gizi dan Penyerapan Minyak Produk Gorengan .............. 27
Kadar Air ..................................................................................... 25
Kadar Lemak............................................................................... 28
Penurunan Kadar Air dan Penyerapan Minyak........................... 30
Kandungan Vitamin A dari Minyak Goreng Curah Fortifikasi...... 33
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 34
Kesimpulan .......................................................................................... 34
Saran.................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 36
LAMPIRAN .................................................................................................... 39
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Tabel Angka kecukupan vitamin A rata-rata yang dianjurkan ................... 5
2. Tabel Recovery minyak goreng curah fortifikasi di Makassar ................... 22
3. Tabel Recovery vitamin A.......................................................................... 24
4. Tabel Retensi vitamin A pada minyak goreng setelah pengulangan
penggorengan ........................................................................................... 25
5. Tabel Kadar air produk awal dan setelah digoreng (%) ............................ 27
6. Tabel Kadar lemak produk awal dan setelah digoreng (%)....................... 29
7. Tabel Penurunan kadar air (%) pada produk gorengan ............................ 31
8. Tabel Penyerapan minyak (%) pada produk gorengan ............................. 32
9. Tabel Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortfikasi .............. 33
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Alat mixer................................................................................................... 17
2. Alat fortifikasi minyak goreng curah di Makassar ...................................... 21
3. Konsumsi produk gorengan....................................................................... 23
4. Roti lasuna, roti kambu, jalangkote, dan ikan kembung goreng................ 23
5. Konsumsi ikan goreng ............................................................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Analisis Vitamin A Metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) ................................................................... 39
2. Analisis Kadar Air Metode Oven Biasa.............................................. 41
3. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet .............................................. 41
4. Hasil Sidik Ragam Retensi Vitamin A setelah Pengulangan
Penggorengan ................................................................................... 42
5. Hasil Uji Lanjut Duncan Retensi Vitamin A setelah Pengulangan
Penggorengan ................................................................................... 42
6. Hasil Sidik Ragam Rata-rata Kadar Air Produk Gorengan ................ 42
7. Hasil Sidik Ragam Rata-rata Kadar Lemak Produk Gorengan.......... 42
8. Hasil Uji Lanjut Duncan Rata-rata Kadar Lemak pada Produk
Gorengan........................................................................................... 43
9. Hasil Sidik Ragam Penurunan Kadar Air Produk Gorengan ............. 43
10. Hasil Uji Lanjut Duncan Penurunan Kadar Air Produk Gorengan ..... 43
11. Hasil Sidik Ragam Penyerapan Minyak Produk Gorengan ............... 43
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Penyerapan Minyak Produk Gorengan ....... 44
13. Hasil Sidik Ragam Kandungan Vitamin A dari Minyak Goreng
Curah Fortifikasi per 100 gram Produk Gorengan............................. 44
14. Hasil Uji Korelasi Pearson Penurunan Kadar Air dan Penyerapan
Minyak ............................................................................................... 44
15. Resep Penelitian................................................................................ 45
16. Daftar Nomor Sampel ........................................................................ 46
17. Hasil Analisis Vitamin A pada Minyak Goreng Curah Fortifikasi ....... 47
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Vitamin A merupakan zat gizi yang berperan penting dalam pemeliharaan
kesehatan dan kelangsungan hidup. Meskipun begitu, Kurang Vitamin A (KVA)
masih menjadi masalah gizi yang serius di Indonesia. Kekurangan vitamin A
dapat mempertinggi resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit
saluran pencernaan dan diare, meningkatnya angka kematian karena campak
serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier 2003)
Lebih dari 40% anak-anak di dunia menderita KVA (UNICEF dan MI 2004
dalam World Bank 2006). Selain itu, menurut WHO (1991) dalam Almatsier
(2003), diperkirakan terdapat 6-7 juta kasus baru xerophthalmia tiap tahunnya
pada anak sekolah, kurang lebih 10 % di antaranya menderita kerusakan kornea.
Martianto et al. (2005) menyebutkan bahwa 50% anak balita di Indonesia
memiliki kadar serum retinol yang rendah (<20 µg/dl). Beberapa survei
menemukan bahwa prevalensi KVA meningkat khususnya sejak krisis ekonomi
tahun 1998. Krisis ekonomi ini menyebabkan menurunnya kualitas konsumsi
masyarakat.
Beberapa strategi intervensi telah dilakukan untuk menanggulangi KVA
serta untuk mencegah jumlah kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh
KVA, antara lain suplementasi dan fortifikasi pada bahan pangan. Suplementasi
memiliki peranan penting untuk mengatasi KVA, namun distribusinya dalam
rentang waktu yang lama dan jangkauan yang luas sulit untuk dikendalikan.
Fortifikasi vitamin A pada bahan makanan yang biasa dikonsumsi merupakan
salah satu alternatif yang memberikan beberapa keuntungan dibandingkan
suplementasi (Sullivan & Bagriansky 1999).
Produk pangan yang difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan,
antara lain: (1) banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat
miskin, (2) produsen yang memproduksi dan mengolah bahan pangan tersebut
terbatas jumlahnya, dan (3) teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih
tersedia. Selain itu, setelah difortifikasi bahan pangan tidak berubah rasa, warna
dan
konsistensinya,
serta
tetap
aman
untuk
dikonsumsi
dan
tidak
membahayakan kesehatan (Soekirman 2003).
Salah satu bahan pangan yang banyak digunakan masyarakat dan
berpeluang untuk difortifikasi adalah minyak goreng (Untoro 2002). Minyak
goreng merupakan minyak nabati yang konsumsinya di dunia cenderung
meningkat, khususnya di kalangan masyarakat ekonomi lemah (Sunaryo &
Wibowo 2002).
Menurut Simatupang dan Purwoto (1996), konsumsi minyak
goreng di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit. Namun, minyak kelapa sudah tidak lagi dipakai luas oleh
masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan Martianto et al. (2005), rata-rata
konsumsi minyak goreng di Indonesia sebesar 23 gram per hari.
Minyak kelapa sawit yang beredar di pasaran terbagi menjadi dua jenis,
yaitu yang dijual dengan merk (brand) dan tidak (curah). Sekitar 70-75% minyak
goreng yang diproduksi dan beredar di Indonesia adalah minyak curah. Selain
itu, 77.5% rumah tangga di Indonesia menggunakan minyak curah untuk
menggoreng (Martianto et al. 2005). Masyarakat lebih memilih untuk membeli
minyak goreng curah karena harganya yang lebih murah. Atas dasar
pertimbangan tersebut maka minyak goreng curah sangat berpeluang untuk
difortifikasi dengan vitamin A.
Stabilitas vitamin A dalam minyak goreng adalah hal yang sangat penting
untuk diketahui. Paparan suhu, cahaya dan oksigen merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi stabilitas vitamin A (Hariyadi 2002). Cara penggorengan
yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah cara penggorengan biasa
yang memungkinkan minyak goreng terpapar dengan cahaya dan oksigen.
Selain itu, penggorengan yang dilakukan berulang-ulang dengan menggunakan
minyak yang sama sering dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melakukan kajian mengenai retensi vitamin A pada minyak goreng
curah yang difortifikasi dengan vitamin A.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji retensi vitamin A
pada minyak goreng curah yang telah difortifikasi dengan vitamin A dan
penyerapannya pada produk gorengan.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui recovery vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi.
2. Mengkaji pengaruh pengulangan penggorengan terhadap retensi vitamin
A pada minyak goreng curah fortifikasi.
3. Menganalisis kadar air, kadar lemak dan penyerapan minyak pada
beberapa produk pangan yang digoreng dengan minyak goreng curah
fortifikasi.
4. Menganalisis kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi
pada produk gorengan.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk melengkapi informasi
mengenai fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah, khususnya tentang
pengaruh pengulangan penggorengan terhadap kandungan vitamin A pada
minyak goreng curah fortifikasi dan penyerapannya pada produk gorengan. Hasil
penelitian ini juga diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap kelayakan
teknis fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah.
TINJAUAN PUSTAKA
Vitamin A
Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam
lemak maupun pada pelarut lemak (Almatsier 2003). Menurut Winarno (1992)
vitamin A terdapat dalam beberapa bentuk, antara lain dalam bentuk alkohol
(retinol), aldehida (retinal), asam (asam retinoat), dan ester (ester retinil). Vitamin
A pada umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali namun sangat mudah
teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama
udara, sinar dan lemak yang sudah tengik.
Vitamin merupakan zat gizi yang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam
tubuh. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin harus dapat dicukupi dari makanan
yang dimakan setiap hari. Angka kecukupan vitamin A biasanya dinyatakan
dalam satuan retinol ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol
atau 6 mikrogram beta karoten atau 12 mikrogram β-karoten campuran. Status
vitamin A dikatakan baik jika konsentrasi vitamin A dalam hati sebesar 20 µg/g.
Penggunaan setiap harinya adalah sekitar 0.5 % dari persediaan tersebut.
Konsumsi vitamin A yang baik adalah jika setengahnya bisa disimpan di dalam
tubuh (Muhilal, Jalal & Hardinsyah 1998). Angka kecukupan vitamin A rata-rata
yang dianjurkan per hari dapat dilihat pada Tabel 1.
Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat pada bahan pangan hewani.
Sedangkan provitamin A (karoten) banyak terdapat pada bahan pangan nabati,
yang terdapat dalam beberapa jenis yaitu α-, β-, γ- karoten, dan kriptoxantin
(Winarno 1992). Karoten ini kemudian akan diubah menjadi vitamin A setelah
proses penyerapan di organ pencernaan.
Vitamin A banyak terdapat pada susu, keju, mentega, es krim, telur, dan
hati. Selain itu, vitamin A juga banyak terdapat pada ikan seperti ikan tuna dan
sarden. Karotenoid sebagai provitamin A banyak terdapat pada minyak kelapa
sawit merah (red palm oil), wortel dan sayuran berdaun hijau seperti bayam
(Olson 1990).
Vitamin A merupakan zat gizi yang penting dalam kesehatan dan
kelangsungan hidup (Almatsier 2002). Fungsi vitamin A di dalam tubuh adalah:
diferensiasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas,
mempengaruhi indera perasa, pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan
(Bagriansky & Ranum 1998). Fungsi lain dari vitamin A adalah (1) membantu
memelihara penglihatan di dalam gelap dan mencegah rabun senja serta
xerophthalmia, (2) untuk pertumbuhan, (3) dibutuhkan dalam pertumbuhan tulang
dan perkembangan gigi, (4) sebagai koenzim dalam sistesis glikoprotein, (5)
memiliki fungsi seperti hormon steroid, (6) diperlukan untuk pembentukan tiroksin
dan pencegahan goiter, sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol,
serta sintesis normal dari glikogen (Berdanier et al. 2002). Selain itu, β-karoten
yang merupakan provitamin A juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan
(Hariyadi 2002).
Tabel 1 Angka kecukupan vitamin A rata-rata yang dianjurkan
Kelompok usia (tahun)
Angka Kecukupan (RE)
Bayi:
0–½
375
½-1
400
Anak-anak:
1–2
400
2–6
450
6 – 10
500
Pria:
10 – 12
500
12 – 70+
600
Wanita:
10 – 70+
500
Wanita Hamil
800
Wanita Menyusui:
0 – 6 bulan
850
> 6 bulan
850
Sumber: FAO/ WHO (2001) dalam Muhilal & Sulaeman (2004)
Kurang Vitamin A (KVA) dapat menyebabkan masalah penglihatan
sampai kebutaan, meningkatkan resiko terhadap infeksi dan resiko kematian
(Bagriansky & Ranum 1998) serta keterlambatan pertumbuhan (Almatsier 2003).
Menurut Berdanier et al. (2002), tanda-tanda defisiensi vitamin A adalah sebagai
berikut: (1) rabun senja, xerosis dan xerophthalmia; (2) berhentinya pertumbuhan
tulang, bentuk tulang yang tidak normal dan kelumpuhan; (3) gigi yang tidak
sehat, ditunjukkan dengan enamel yang tidak normal, adanya lubang dan
pembusukan; (4) kulit kasar, kering dan bersisik; (5) kelainan sistem reproduksi,
termasuk pembuahan yang buruk, pertumbuhan embrio yang tidak normal, luka
pada plasenta, dan kematian fetus.
Kekurangan vitamin A menyebabkan metaplasia pada epitel konjungtiva
dan berhentinya produksi mukus, yang kemudian menyebabkan xerophthalmia
(Truswell
1999).
Menurut
Supariasa,
Bakri
dan
Fajar
(2002),
gejala
xerophthalmia dibagi dua, yaitu yang dapat sembuh (reversible) dan tidak dapat
sembuh (irreversible). Buta senja, xerosis konjungtiva, xerosis kornea dan bercak
bitot merupakan gejala xerophthalmia yang dapat disembuhkan. Ulserasi kornea
dan keratomalasia merupakan gejala yang tidak dapat disembuhkan.
Survei xerophthalmia pada tahun 1992 menunjukkan bahwa prevalensi
KVA nasional Indonesia adalah 0.33%. Namun, jika dilihat di tingkat provinsi
maka terdapat tiga provinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu Sulawesi Selatan
2.9%, Maluku 0.8% dan Sulawesi Tenggara 0.6% (Natakusuma 1998).
Manifestasi KVA yang paling serius dan menyedihkan pada anak-anak hampir
selalu berhubungan dengan Kurang Energi Protein (KEP), konsumsi lemak yang
rendah, trauma gastrointestinal dan penyakit pernafasan (Olson 1990). Status
vitamin A marginal pada anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko
kesakitan dan kematian, penurunan laju pertumbuhan dan inefisiensi penyerapan
zat besi (Olson 1990).
Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu ke
dalam bahan pangan. Tujuan dari fortifikasi adalah untuk meningkatkan mutu gizi
makanan. Fortifikasi terbagi menjadi dua, yaitu fortifikasi sukarela dan wajib.
Fortifikasi sukarela merupakan fortifikasi yang dilakukan oleh produsen untuk
meningkatkan nilai tambah produknya. Fortifikasi wajib merupakan fortifikasi
yang diharuskan dan terdapat undang-undang maupun peraturan dengan tujuan
melindungi rakyat dari masalah kurang gizi. Sasaran dari fortifikasi wajib ini
adalah masyarakat miskin. Masyarakat miskin umumnya menderita kekurangan
zat gizi mikro seperti kekurangan yodium, zat besi dan vitamin A (Soekirman
2003).
Fortifikasi dengan tujuan pencegahan kurang gizi tidak dapat dilakukan
pada semua bahan pangan. Menurut Soekirman (2003), bahan pangan yang
difortifikasi harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) banyak dikonsumsi oleh
masyarakat khususnya masyarakat miskin; (2) produsen yang memproduksi dan
mengolah bahan pangan tersebut terbatas jumlahnya; (3) teknologi fortifikasi
untuk makanan yang dipilih tersedia; (4) setelah difortifikasi bahan pangan tidak
berubah rasa, warna dan konsistensinya; (5) bahan pangan tersebut tetap aman
untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan kesehatan.
Bahan pangan yang telah dicoba difortifikasi dengan vitamin A di negara
berkembang yaitu: Mono Sodium Glutamate (MSG), gula, gandum, beras dan
produk dari biji-bijian lain, teh, susu dan olahannya, margarin, minyak yang dapat
dimakan, biskuit dan kraker (Sommer & West 1996) serta sereal, peanut butter,
garam (Lotfi et al. 1996). Fortifikasi vitamin A pada margarin di Kanada berhasil
menurunkan prevalensi KVA dari 48% menjadi 2% dalam kurun waktu empat
tahun. Selain itu, fortifikasi vitamin A pada margarin di Filipina berhasil
merurunkan prevalensi KVA sebanyak 15.60% (Alam 2002).
Menurut Soekirman (2003), di tahun 1980-an Indonesia pernah
melakukan percobaan fortifikasi vitamin A pada MSG. Namun terdapat beberapa
hambatan yang menyebabkan percobaan ini tidak dilanjutkan, yaitu karena
terjadinya perubahan warna serta adanya penentangan pemakaian MSG secara
luas di masyarakat oleh kelompok masyarakat tertentu. Fortifikasi vitamin A
dengan MSG ini dapat mengurangi prevalensi KVA pada anak dibawah usia
sekolah dari 1.24% menjadi 0.32% dalam waktu enam bulan.
Minyak goreng merupakan salah satu bahan pangan yang potensial untuk
difortifikasi dengan vitamin A. Hal ini disebabkan karena vitamin A dan provitamin
A merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan minyak. Selain itu, vitamin A
dapat
terdistribusi
dengan
mudah
dan
tercampur
dengan
baik
ketika
ditambahkan pada minyak atau lemak (Soekirman 2003).
Vitamin A lebih stabil dalam minyak dan lemak dibandingkan dalam
bahan pangan lain selama tidak terpapar udara. Lemak dalam makanan
memfasilitasi penyerapan dan pemanfaatan vitamin A di dalam tubuh. Fortifikasi
vitamin A pada lemak dan minyak adalah salah satu cara yang tepat untuk
menyediakan vitamin A bagi populasi yang mengalami defisiensi. Selain itu,
lemak dan minyak merupakan bahan dasar dari hampir semua makanan dan
dikonsumsi oleh semua orang, sehingga fortifikasi vitamin A ini dapat mencakup
jangkauan yang luas (Lotfi et al. 1996).
Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng telah banyak dilakukan,
khususnya secara skala besar komersial seperti yang dilakukan di Chili, India,
Belanda dan Malaysia. Dosis fortifikasi yang dilakukan pada umumnya adalah
sekitar 25 IU/ gram minyak goreng sesuai rekomendasi “Manila Forum”. Dosis ini
berkaitan dengan penyerapan minyak oleh pangan yang digoreng dan yang
hilang selama proses penanganan dan pengolahan (Hariyadi 2002).
Jenis vitamin A yang sering ditambahkan pada minyak adalah vitamin A
asetat dan palmitat. Jika dibandingkan dengan retinol murni, maka vitamin A
asetat dan palmitat memiliki kestabilan yang lebih baik. Vitamin A palmitat lebih
stabil terhadap pemanasan jika dibandingkan dengan vitamin A asetat
(Bagriansky & Ranum 1998).
Stabilitas Vitamin A
Stabilitas vitamin A pada minyak goreng merupakan faktor yang utama
dalam menentukan apakah fortifikasi layak dilakukan atau tidak. Stabilitas vitamin
A dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: bentuk vitamin A itu sendiri,
keberadaan katalis/kontaminan/logam-logam, keberadaan inhibitor (BHA, BHT
dan sebagainya), keberadaan air, tingkat keasaman (pH), keberadaan oksigen,
paparan suhu, paparan cahaya (terutama ultraviolet), dan waktu (Hariyadi 2002).
Stabilisasi vitamin A dalam pengolahan atau pemasakan dalam vakum
dan tidak terkena cahaya cukup baik. Namun, paparan oksigen dan udara serta
sinar ultraviolet akan merusak vitamin A. Oksidasi vitamin A juga dipercepat
dengan adanya logam. Vitamin A relatif lebih stabil dalam bentuk ester. Bentuk
vitamin A yang lain seperti aldehid, alkohol dan asam sangat mudah teroksidasi
jika terkena cahaya dan udara (Andarwulan & Koswara 1992). Kecepatan
oksidasi dipengaruhi oleh tekanan oksigen parsial, aktivitas air, suhu dan lain-lain
(Belitz & Grosch 1986).
Pada kondisi lingkungan dengan pH kurang dari 5.0 vitamin A sangat
tidak stabil. Proses degradasi vitamin A juga dipercepat oleh adanya paparan
cahaya khususnya sinar ultraviolet, suhu tinggi (Olson 1990), dan mineral seperti
tembaga dan besi (Sunaryo & Wibowo 2002). Menurut Bagriansky dan Ranum
(1998), terdapat hubungan langsung antara stabilitas vitamin A dengan bilangan
peroksida pada minyak. Semakin tinggi bilangan peroksida minyak maka akan
semakin besar kadar vitamin A yang hilang. Menurut Andarwulan dan Koswara
(1992), kerusakan vitamin A dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
1. Disimpan atau dikemas dalam vakum atau atmosfir Inert.
2. Disimpan dalam suhu rendah.
3. Dihindari dari cahaya atau sinar, misalnya dalam suhu gelap atau
refrigerator.
4. Dihindari dari logam atau asam mineral.
5. Ditambah antioksidan (vitamin E, BHT, BHA dalam minyak dan lemak).
6. Dibungkus dengan senyawa pelindung misalnya gelatin, gum atau lilin.
7. Diformulasi dalam bentuk emulsi cair.
8. Dikomplek dengan senyawa lain.
Menurut Bagriansky dan Ranum (1998), stabilitas vitamin A di dalam
minyak lebih baik jika dibandingkan dengan terigu, gula maupun campuran
jagung dan kedelai. Estimasi kehilangan selama pengapalan adalah 5% dan
untuk penyimpanan di tempat terbuka adalah 10%. Kehilangan selama
pemasakan adalah sekitar 5% (direbus) dan 20% (digoreng).
Pengujian minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng kentang
dengan metode penggorengan suhu rendah (117 – 1700C) menunjukkan bahwa
stabilitas vitamin A akan semakin menurun dengan semakin seringnya dilakukan
pengulangan penggorengan. Retensi vitamin A akan menurun menjadi 81%
setelah dilakukan dua kali pengulangan penggorengan, 71% setelah tiga kali,
52% setelah empat kali sampai menjadi 0% setelah 12 kali pengulangan
penggorengan (Favaro et al 1991 dalam Hariyadi 2002). Hasil pengujian
Bagriansky dan Ranum (1998) menunjukkan bahwa dengan suhu penggorengan
180OC retensi vitamin A menurun menjadi 51-56% setelah 10 menit, kemudian
menjadi 14-21% setelah 20 menit, dan menjadi 6-12% setelah 45 menit.
Keberadaan antioksidan akan berpengaruh terhadap penurunan kadar
vitamin A pada minyak. Dengan adanya antioksidan, kadar vitamin A yang hilang
tidak akan sebanyak jika tidak terdapat antioksidan. Secara alami, di dalam
minyak goreng terdapat antioksidan yaitu berupa tokoferol (vitamin E),
sedangkan antioksidan yang biasa ditambahkan dalam minyak goreng adalah
tokoferol, BHA, BHT dan BHQ (Hariyadi 2002). Antioksidan ditambahkan ke
dalam minyak goreng dengan tujuan melindungi oksidasi vitamin A dan minyak
goreng. Menurut Perkins (1992), stabilitas minyak akan menurun akibat semakin
tidak jenuhnya lemak yang terkandung, semakin lama waktu penggorengan,
semakin luas permukaan yang terpapar udara dan semakin tingginya kandungan
logam mikro dalam minyak tersebut. Oksidasi vitamin A akan lebih cepat terjadi
karena adanya oksidasi minyak goreng (Hariyadi 2002).
Minyak Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) merupakan salah satu tanaman
jenis palm yang dapat menghasilkan minyak. Minyak ini dihasilkan dari inti kelapa
sawit yang dinamakan minyak inti kelapa sawit (Palm Kernel Oil) (Ketaren 1986).
Minyak kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering
dan pemurnian. Minyak kelapa sawit mempunyai warna kuning pucat sampai
orange tua, memiliki aroma yang sedap, stabil dan resisten terhadap ketengikan.
Minyak kelapa sawit merupakan minyak yang banyak dipakai dalam bahan
pangan, antara lain dalam bentuk minyak goreng, margarin, minyak hidrogenasi
dan shortening (Winarno 1999).
Minyak kelapa sawit mengandung asam lemak jenuh pada posisi 1 dan
atau posisi 3, sedangkan asam lemak tidak jenuh berada pada posisi 2. Lipid
polar yang terkandung dalam minyak kelapa sawit adalah glikolipid dan fosfolipid.
Asam lemak yang dominan pada minyak kelapa sawit adalah asam palmitat dan
asam oleat (Winarno 1999).
Selain asam lemak, komponen lain yang terdapat dalam minyak kelapa
sawit adalah tokoferol dan karotenoid. Karotenoid memiliki fungsi sebagai
provitamin A dan antiosidan. Tokoferol selain berfungsi sebagai vitamin E, juga
berfungsi sebagai antioksidan (Winarno 1999).
Menurut Muchtadi (1996), minyak kelapa sawit dapat digunakan sebagai
produk yang bernilai lebih tinggi setelah mengalami rafinasi, pemucatan dan
penghilangan bau atau disingkat RBD (Refined, Bleached, Deodorized). Minyak
goreng yang baik adalah minyak goreng yang tidak berbau, enak rasanya, jernih
dan stabil terhadap panas. Proses rafinasi dan fraksinasi selama pengolahan
minyak kelapa sawit menjadi minyak goreng akan menghasilkan minyak yang
tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran yang hasilnya dikenal dengan RBD
oil. Beta karoten yang terkandung dalam minyak menjadi berkurang karena
adanya proses-proses tersebut.
Minyak yang tidak mengalami penjernihan dan pemucatan memiliki warna
merah. Minyak kelapa sawit merah merupakan sumber karotenoid (dalam bentuk
α- dan β-karoten) yang baik. Minyak kelapa sawit merah mengandung karotenoid
sebanyak 0.5 mg/ml. Konsumsi 7 ml minyak kelapa sawit merah per hari akan
memenuhi kebutuhan vitamin A untuk anak umur pra-sekolah (Olson 1990).
Menurut Martianto, Marliyati dan Komari (2007), warna merah yang kuat dan
rasa yang spesifik dari minyak kelapa sawit merah ini membuat minyak tersebut
tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu minyak kelapa sawit
adalah air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan daya
pemucatan. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi mutu,
antara lain: titik cair, kandungan gliserida padat, refining loss, sifat transparan,
kandungan logam berat dan bilangan penyabunan (Ketaren 1986).
Warna minyak kelapa sawit ditentukan oleh adanya pigmen yang tersisa
setelah pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak memberikan
warna pada minyak. Adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak
mengakibatkan minyak sawit memiliki warna orange. Bau khas minyak sawit
ditentukan oleh persenyawaan β-ionone (Ketaren 1986).
Kerusakan Minyak
Pada dasarnya, kerusakan minyak karena pemanasan disebabkan oleh
beberapa reaksi, diantaranya reaksi oksidasi, polimerisasi, dan hidrolisis.
Ketengikan pada minyak terjadi karena reaksi antara oksigen di udara dengan
asam lemak tak jenuh yang berada di dalam minyak. Proses oksidasi dapat
terjadi selama suhu kamar maupun selama proses pengolahan menggunakan
suhu tinggi (Ketaren 1986).
Oksidasi terjadi karena adanya reaksi antara oksigen dari udara dengan
lemak di dalam penggorengan. Beberapa produk dari reaksi ini akan dipindahkan
dari penggorengan oleh uap air yang dihasilkan selama proses penggorengan,
sedangkan sisanya masih berada di dalam lemak dan bisa mempercepat
oksidasi lemak lebih lanjut. Faktor-faktor yang akan mempengaruhi kecepatan
oksidasi adalah suhu, jumlah luas permukaan minyak yang terpapar oksigen,
keberadaan metal seperti tembaga dan kuningan serta kualitas dari minyak
goreng (Lawson 1995).
Oksidasi minyak menyebabkan penurunan nilai gizi karena rusaknya
karoten dan tokoferol serta asam lemak esensial. Selain itu, oksidasi minyak juga
menurunkan cita rasa karena menimbulkan rasa getir dan bau tengik. Senyawa
yang dihasilkan dari oksidasi lemak adalah aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol,
lakton, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir
(Ketaren 1986). Menurut Ketaren (1986) kerusakan minyak dari proses oksidasi
terdiri dari enam tahap, yaitu:
1. Terbentuknya volatile decomposition product (VDP) akibat pemecahan
rantai karbon asam lemak.
2. Terjadinya proses hidrolisa trigliserida yang dapat dilihat dari kenaikan
jumlah asam lemak bebas dalam minyak.
3. Oksidasi asam lemak berantai panjang.
4. Degradasi ester oleh panas.
5. Oksidasi asam lemak yang terikat pada posisi α dalam trigliserida.
6. Otooksidasi keton dan aldehida menjadi asam karboksilat.
Minyak Goreng
Minyak goreng merupakan minyak yang digunakan untuk menggoreng.
Tidak semua minyak dapat digunakan untuk menggoreng. Minyak yang biasa
digunakan untuk menggoreng adalah minyak nabati yang termasuk dalam
golongan non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan mengeras jika dibiarkan
mengering di udara. Minyak kelapa sawit merupakan minyak yang termasuk
dalam kelompok non drying oil (Winarno 1999).
Minyak goreng harus memiliki titik asap yang tinggi jika ingin dapat
digunakan sebagai minyak goreng yang baik. Titik asap adalah suhu yang dapat
membuat minyak panas sebelum timbul asap biru atau akrolein. Akrolein
merupakan aldehida tak jenuh yang timbul akibat keringnya molekul gliserol
dalam minyak akibat pemanasan minyak yang berlebihan (Winarno 1999).
Minyak yang digunakan lebih dari sekali untuk menggoreng akan lebih
cepat berasap pada suhu yang rendah. Pemanasan minyak seharusnya tidak
dilakukan lebih lama dari yang diperlukan dengan maksud menjaga agar proses
hidrolisis hanya terjadi secara minimal. Selain itu, hal lain yang mempengaruhi
titik asap adalah permukaan wajan atau panci yang digunakan. Semakin kecil
diameter wajan atau panci yang digunakan maka akan semakin cepat minyak
menjadi panas dan berasap (Winarno 1999).
Proses Penggorengan
Menggoreng merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang
banyak digunakan di Indonesia dengan minyak atau lemak sebagai medianya.
Permintaan terhadap jumlah makanan gorengan yang tinggi merupakan salah
satu bukti nyata betapa besarnya jumlah makanan gorengan yang dikonsumsi
oleh lapisan masyarakat dari segala umur (Winarno 1999).
Fungsi minyak goreng dalam proses penggorengan adalah sebagai
medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan
kalori dalam bahan pangan (Ketaren 1986). Selain itu, penggunaan minyak atau
lemak dalam menggoreng akan menimbulkan tekstur yang kenyal dan renyah
(Winarno 1999).
Minyak goreng akan mengalami banyak reaksi kimia selama proses
penggorengan, diantaranya hidrolisis, oksidasi, isomerasi dan polimerisasi.
Reaksi-reaksi ini akan mempengaruhi mutu makanan goreng yang dihasilkan
baik dari segi cita rasa, penampakan maupun nilai gizinya (WInarmo 1999).
Suhu yang dicapai pada penggorengan normal adalah 163 – 196oC,
tergantung dari jenis makanan yang digoreng (Winarno 1999). Bahan pangan
yang biasa digoreng adalah kacang, tahu, keripik, ayam, tempe, pisang dan lainlain.
Pemanasan minyak goreng dalam waktu lama dan dengan suhu yang
tinggi akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk padat dalam minyak
(Ketaren 1986). Selain itu, proses pemanasan selama penggorengan akan
meningkatkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Andarwulan 1991).
Menurut Winarno (1999), pemanasan minyak yang dilakukan berulang-ulang
akan menghasilkan isomer asam lemak trans yang banyak dikaitkan dengan
gangguan kesehatan.
Proses
penggorengan
deep
frying
merupakan
suatu
proses
penggorengan dimana bahan terendam seluruhnya dalam minyak. Perbandingan
minyak:bahan yang baik adalah 8:1, dengan perbandingan ini diharapkan bahan
akan terendam minyak seluruhnya selama lima kali penggorengan berturut-turut
tanpa harus mengganti, mengurangi maupun menambah jumlah minyak yang
digunakan (Andarwulan 1991).
Suhu minyak pada penggorengan jenis deep frying dapat mencapai 200 –
O
205 C. Minyak dan lemak yang digunakan dalam proses ini tidak berbentuk
emulsi dan memiliki titik asap (smoking point) diatas suhu penggorengan
sehingga asap tidak terbentuk selama proses penggorengan. Terbentuknya asap
selama
proses
penggorengan
menunjukkan
bahwa
lemak
mengalami
dekomposisi sehingga mengakibatkan bau dan rasa yang tidak enak (Ketaren
1986).
Terjadi tiga jenis perubahan selama proses penggorengan, yaitu (1)
proses fisik seperti perpindahan air dari bahan pangan ke dalam minyak goreng.
Air tersebut kemudian menguap ke udara; (2) perubahan kimiawi dalam bahan
pangan yang digoreng akibat pengaruh pemanasan dan penurunan kadar air;
serta (3) interaksi kimiawi antara minyak goreng dan komponen alami yang
terdapat di dalam produk gorengan atau substansi yang dihasilkan selama
proses penggorengan (Pokorny 1999).
Pada saat dimasukkannya bahan pangan ke dalam minyak panas terjadi
penguapan air dari bahan pangan yang ditandai dengan adanya gelembunggelembung kecil yang kemudian akan hilang setelah bahan pangan mulai
matang (Lawson 1992). Menurut Irawan (1992), pada saat awal proses
penggorengan inilah terjadi penurunan kadar air yang paling besar.
Penggorengan akan menyebabkan terjadinya penguapan air. Wajan akan
mentransfer panas sehingga menyebabkan air keluar dari sampel yang
kemudian akan diuapkan melalui permukaan produk. Air yang hilang selama
penguapan kemudian akan diisi oleh minyak. Hal-hal yang mempengaruhi
penyerapan minyak adalah kualitas minyak, suhu dan waktu penggorengan,
bentuk produk, dan komposisi produk (kandungan lemak dan protein), porositas,
serta perlakuan sebelum penggorengan (Orthoefer et al. 1996).
Selama proses penggorengan terjadi transfer panas secara konveksi dari
minyak goreng dan transfer panas secara konduksi pada produk pangan dimana
sebagai hasilnya terjadi transfer zat. Transfer zat tersebut berupa penguapan air
dari bahan pangan dan menyerapnya minyak goreng ke dalam bahan pangan
(Orthoefer et al. 1996),
Pangan akan menyerap lemak/minyak sebanyak 4-30% dari berat
matangnya.
Pada
kebanyakan
bahan
pangan,
proporsi
terbesar
dari
minyak/lemak yang terserap terakumulasi di dekat permukaan produk gorengan.
Jumlah minyak yang terserap dipengaruhi oleh waktu menggoreng, luas
permukaan, kadar air produk matang dan sifat alami dari bahan (Lawson 1995).
Penyerapan minyak memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan
penurunan kadar air. Kadar air awal bahan pangan yang tinggi akan
menyebabkan penyerapan minyak yang tinggi (Orthoefer et al. 1996),
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Koalisi Fortifikasi
Indonesia (KFI) bersama Departemen Kesehatan dengan biaya dari Japan Fund
for Poverty Reduction (JFPR). Penelitian lapang dilakukan untuk mengamati
proses fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah, mengamati cara
penggorengan serta jenis bahan pangan yang biasa digoreng masyarakat
Makassar khususnya di Pulau Barrang Lompo. Penelitian laboratorium
dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Analisis
Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor serta Laboratorium BPOM Makassar, Sulawesi Selatan.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2008.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak goreng curah,
vitamin A palmitat, bahan pangan yang diolah (ikan kembung, jalangkote, roti
kambu dan roti lasuna), gas nitrogen, heksan. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah alat untuk menggoreng (wajan, kompor gas, dan sutil), alat
untuk analisis kadar air metode oven biasa (cawan, timbangan analitik, oven, dan
penjepit) dan kadar lemak metode Soxhlet (Soxhlet, gelas piala, labu lemak, dan
corong).
Metode
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian lapang dan
penelitian laboratorium. Penelitian lapang dilakukan untuk mengamati proses
fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah, mengamati cara penggorengan
serta jenis bahan pangan yang biasa digoreng. Penelitian laboratorium dilakukan
untuk mengetahui retensi vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi serta
menentukan kandungan vitamin A pada produk gorengan.
1. Penelitian Lapang
a.
Pengamatan fortifikasi minyak goreng curah dengan vitamin A
Pengamatan dilakukan di distributor minyak goreng curah yang ada di
Makassar. Data yang dikumpulkan adalah cara fortifikasi dilakukan serta
konsentrasi vitamin A pada minyak goreng curah.
b.
Survei konsumsi produk gorengan
Survei ini bertujuan untuk mengetahui bahan pangan yang biasa digoreng
serta bagaimana cara menggoreng dan alat yang digunakan untuk menggoreng
di masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung.
Data ini kemudian akan digunakan untuk perlakuan pada percobaan di
laboratorium.
2. Penelitian Laboratorium
a.
Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng Curah
Fortifikasi vitamin A dilakukan pada minyak goreng curah yang dibeli dari
distributor minyak curah di Bogor. Fortifikan yang dipakai adalah vitamin A
palmitat dengan konsentrasi 1,000,000 IU per gram. Fortifikasi dilakukan dengan
dosis 20 ppm. Dosis fortifikan ini didapat dari hasil pengamatan yang dilakukan di
Makassar. Berikut perhitungan fortifikan yang ditambahkan dalam 4 kg minyak
pada fortifikasi dengan dosis 20 ppm:
Vitamin A palmitat 1,000,000 IU/gram
1 juta IU
= 1,000,000 x 0.55 RE
= 550,000 RE atau 550,000 µg retinol/gram
Untuk 4 kg minyak diperlukan vitamin A palmitat
= 4000 g ×20 µg550000 µg= 0.1455 gram
Proses pencampuran vitamin A diawali dengan pengambilan vitamin A
menggunakan pipet mikro, penimbangan vitamin A kemudian pencampuran
vitamin A dengan minyak goreng curah. Proses pencampuran ini dilakukan
dalam ruang yang tidak terkena cahaya matahari langsung dan pada suhu ruang.
Proses pengadukan dilakukan dalam ember tertutup dan alat mixer dengan 2
baling-baling (Gambar 1) selama satu jam dengan kecepatan 500 rpm. Minyak
hasil fortifikasi kemudian dimasukkan ke dalam wadah gelap, dihembus nitrogen
dan ditutup rapat.
Gambar 1 Alat mixer
b.
Perhitungan recovery vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi
Kadar vitamin A pada minyak goreng curah yang tidak difortifikasi
dianalisis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC). Selain itu, kadar vitamin A minyak goreng curah fortifikasi yang belum
dipakai juga dianalisis dengan HPLC. Minyak goreng curah fortifikasi yang belum
dipakai ini diambil secara acak sebanyak 4 kali ulangan. Perhitungan recovery
vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi adalah sebagai berikut:
= −
Keterangan:
×100%
a
= Kandungan vitamin A pada minyak goreng curah non fortifikasi (ppm)
b
= Kandungan vitamin A pada minyak goreng curah setelah fortifikasi
(ppm) yang merupakan rata-rata dari 4 kali ulangan
c
c.
= Kandungan vitamin A yang ditambahkan untuk fortifikasi (ppm)
Perhitungan retensi vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi
Kandungan vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi dianalisis
dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Lampiran 1).
Perhitungan retensi vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi setelah
proses penggorengan adalah sebagai berikut:
= 1 0×100%
Keterangan:
R
= Retensi vitamin A (%)
V0
= Kandungan vitamin A dalam minyak goreng curah
fortifikasi awal
V1
= Kandungan vitamin A dalam minyak goreng curah
fortifikasi yang telah dipakai dalam proses menggoreng
d.
Penentuan Jumlah Minyak Terserap Selama Proses Menggoreng pada
Produk Gorengan
Pemilihan sampel produk gorengan ditentukan berdasarkan hasil
penelitian di lapang. Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa produk
gorengan yang sering dikonsumsi adalah roti lasuna, roti kambu dan jalangkote.
Ikan kembung como merupakan jenis ikan yang sering dimakan sebagai lauk
pada menu konsumsi anak usia sekolah.
Penggorengan dilakukan secara deep frying, yaitu proses penggorengan
dimana bahan terendam seluruhnya oleh minyak (Andarwulan 1991). Minyak
yang digunakan untuk menggoreng adalah sebanyak 500 gram. Produk digoreng
dengan menggunakan alat penggorengan wajan yang sama yang terbuat dari
stainless steel. Waktu menggoreng untuk roti lasuna dan roti kambu rata-rata 6
menit, untuk jalangkote rata-rata 4 menit dan untuk ikan kembung rata-rata 9
menit, dengan suhu sewaktu bahan masuk 160oC. Kriteria kematangan produk
adalah produk yang digoreng berwarna kecoklatan.
Perlakuan untuk penggorengan adalah pengulangan penggorengan
hingga tiga kali tanpa penambahan minyak baru. Jumlah pengulangan
penggorengan ini ditentukan berdasarkan jumlah pengulangan penggorengan
yang dilakukan di masyarakat Pulau Barrang Lompo. Data yang diperoleh pada
tahap ini adalah penurunan kadar air dan peningkatan kadar lemak pada produk
gorengan. Shih et al. (2001) dalam Rachmalina (2005) menyatakan bahwa
penyerapan minyak diperoleh dari selisih kadar lemak produk setelah digoreng
dan sebelum digoreng dalam basis kering. Kadar air dianalisis dengan metode
oven biasa (Lampiran 2) dan kadar lemak dianalisis dengan metode Soxhlet
(Lampiran3). Berikut ini adalah cara perhitungan penurunan kadar air dan
penyerapan minyak pada produk goreng:
•
Penurunan Kadar Air (%)
=( 0− 1) 1
100%
dengan, 0=
0100
×
0 dan 1=
1100
×
1
Keterangan:
•
PKA
= Penurunan kadar air (%)
A0
= jumlah air sampel awal
A1
= jumlah air sampel goreng
KA0
= kadar air sampel awal
KA1
= kadar air sampel goreng
B0
= berat sampel awal
B1
= berat sampel goreng
Penyerapan Minyak (%)
=
2−
1
Keterangan:
e.
Pm
= Penyerapan minyak (%)
KL1
= Kadar lemak sampel mentah (berat kering)
KL2
= Kadar lemak sampel goreng (berat kering)
Penentuan kandungan vitamin A pada produk goreng
Produk digoreng dengan menggunakan penggorengan (wajan). Minyak
goreng yang digunakan adalah minyak goreng curah yang difortifikasi dan
minyak goreng curah yang tidak difortifikasi (kontrol). Perlakuan yang diberikan
adalah pengulangan penggorengan serta penggunaan bahan pangan yang
berbeda.
Kandungan vitamin A pada produk gorengan diperoleh dengan cara
perhitungan menggunakan kadar lemak dan kadar air, karena vitamin A
merupakan vitamin larut lemak. Kadar air dianalisis dengan metode oven biasa
sedangkan kadar lemak dianalisis dengan menggunakan metode soxhlet.
Perhitungan kandungan vitamin A pada produk adalah sebagai berikut:
(
Keterangan:
100 )= × −( × ) × ×100
a
= Kadar lemak produk mentah (%)
b
= Kadar lemak produk matang (%)
c
= Berat sampel produk mentah (g)
d
= Berat sampel produk matang (g)
A
= Kandungan vitamin A pada minyak yang sudah dipakai menggoreng
(µg/100 g)
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Faktor yang dilihat pengaruhnya
terhadap percobaan ini adalah pengulangan penggorengan (penggorengan
kesatu, kedua dan ketiga) dan jenis bahan pangan yang digoreng. Pada
percobaan ini akan digunakan 4 jenis bahan pangan. Rancangan Acak Lengkap
Faktorial ini digunakan untuk perhitungan retensi vitamin A, kadar lemak dan
kadar air produk gorengan, penyerapan minyak dan penurunan kadar air produk
gorengan serta kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan dari minyak
goreng curah fortifikasi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut (untuk
retensi vitamin A):
=
+
+
+
+
Keterangan:
Y
= Retensi vitamin A pada jenis pangan ke-I, perlakuan pengulangan
penggorengan minyak goreng curah fortifikasi ke-j, ulangan ke-k
µ
= Rata-rata umum retensi vitamin A
αi
= Efek perlakuan jenis pangan ke-i
βj
= Efek perlakuan pengulangan penggorengan ke-j
(αβ)ij
= Interaksi perlakuan jenis pangan ke-I dengan pengulangan
penggorengan ke-j
€ijk
= Kekeliruan, berupa efek acak pada jenis pangan ke-I, pengulangan
penggorengan ke-j dan ulangan ke-k
I
= Banyaknya jenis pangan (roti lasuna, roti kambu, jalangkote, kembung)
j
= Banyaknya pengulangan penggorengan (1,2,3)
k
= Banyaknya ulangan (1,2)
Pengolahan dan Analisis Data
Hasil yang diperoleh dari pengujian retensi vitamin A, kadar air, kadar
lemak, penurunan kadar air dan penyerapan minyak diolah menggunakan uji
ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test dengan menggunakan program
Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1. Hal ini dilakukan untuk melihat
perlakuan mana yang memberikan efek berbeda. Hubungan dari penurunan
kadar air dan penyerapan minyak diuji dengan Uji Korelasi Pearson dengan
menggunakan SPSS 11.5 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Makassar
Fortifikasi dilakukan dengan melarutkan 54.55 gram vitamin A palmitat
1,000,000 IU/g pada 1,500 kilogram (1.5 ton) minyak goreng curah setiap kali
fortifikasi (20 ppm). Berikut perhitungan fortifikan yang ditambahkan dalam 1.5
ton (1500 kg) minyak pada fortifikasi dengan dosis 20 ppm:
Vitamin A palmitat 1 juta IU/gram
1 juta IU
= 1,000,000 x 0.55 RE
= 550,000 RE atau 550,000 µg retinol/gram
Untuk 1.5 ton minyak diperlukan vitamin A palmitat
= 1500000 g ×20 µg550000 µg= 54.55
gram
Alat yang digunakan untuk fortifikasi berupa sebuah wadah (tank) yang
dirancang khusus dan dilengkapi dengan baling-baling pengaduk (Gambar 2).
Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 500 rotasi per menit (rpm) selama satu
jam.
Gambar 2 Alat fortifikasi minyak goreng curah di Makassar
Minyak goreng curah yang akan difortifikasi berdasarkan hasil analisis
tidak mengandung vitamin A. Minyak tersebut kemudian difortifikasi vitamin A
dengan dosis 20 ppm. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan vitamin
A pada minyak goreng curah fortifikasi adalah 19.24 ppm dengan recovery
sebesar 96.18%.
Tabel 2. Recovery minyak goreng curah fortifikasi di Makassar
vitamin A pada minyak
non-fortifikasi (ppm)
vitamin A pada minyak
fortifikasi (ppm)
0
16.81
23.34
18.64
17.85
18.36
18.27
19.72
18.19
19.24
19.10
19.81
19.91
19.67
ratarata
(ppm)
dosis
fortifikasi
(ppm)
recovery
(%)
19.24
20
96.18
19.93
19.70
Konsumsi Produk Gorengan di Pulau Barrang Lompo
Pulau Barrang Lompo terletak di kelurahan Barrang Lompo kecamatan
Ujung Tanah kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau ini memiliki luas 49 hektar.
Jumlah penduduk di pulau ini 4,018 jiwa, yang terdiri dari 1,959 laki-laki dan
2,059 perempuan. Mata pencaharian utama penduduk di pulau ini adalah
nelayan.
Masyarakat
pulau
Barrang
Lompo
merupakan
masyarakat
yang
konsumtif. Masyarakat di pulau ini lebih suka membeli makanan jadi
dibandingkan membuatnya sendiri. Makanan jadi yang biasa dibeli untuk
kemudian dikonsumsi adalah nasi kuning, gorengan dan sayuran.
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa 3 jenis makanan gorengan yang
sering dikonsumsi di pulau Barrang Lompo adalah roti lasuna (56%), roti kambu
(18%) dan jalangkote (15%). Roti lasuna merupakan makanan yang terbuat dari
tepung terigu ditambah garam, penyedap dan air yang kemudian digoreng. Roti
kambu adalah roti goreng yang berisi wortel dan soun yang telah ditumis
sebelumnya. Jalangkote merupakan makanan khas Makassar seperti pastel
yang berisi wortel, soun, ubi jalar putih dan toge yang telah ditumis sebelumnya
(Gambar 4).
Jumlah
Responden
(%)
60
56
50
ro,
lasuna
40
ro,
kambu
30
20
10
0
jalangkote
18
donat
15
8
ro,
goreng
3
Jenis
Gorengan
Gambar 3 Konsumsi produk gorengan
Ikan adalah bahan pangan yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat
pulau Barrang Lompo. Berdasarkan hasil survei terhadap 100 orang, 66%
diantaranya mengkonsumsi ikan goreng. Gambar 5 menunjukkan bahwa jenis
ikan yang paling banyak dikonsumsi berturut-turut adalah ikan cakalang, ikan
layang dan ikan katombo (ikan kembung como). Ikan yang digunakan pada
penelitian ini adalah ikan katombo.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4 (a) roti lasuna, (b) roti kambu, (c) jalangkote,
(d) ikan kembung goreng
35
32
Jumlah
Responden
(%)
30
cakalang
25
20
15
layang
17
katombo
15
12
11
10
8
6
sinrilik
bandeng
lainnya
5
0
sinrilik
merah
Jenis
ikan
Gambar 5 Konsumsi ikan goreng
Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Laboratotium
Minyak goreng merupakan bahan pangan yang sangat potensial untuk
difortifikasi vitamin A. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam minyak dan
lemak sehingga dapat terdistribusi dengan mudah dan tercampur dengan baik
dalam minyak atau lemak (Soekirman 2003). .
Dosis fortifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah 20 µg
retinol/gram (20 ppm) atau 36 IU/gram. Dosis fortifikasi yang dilakukan pada
umumnya adalah sekitar 25 IU/ gram minyak goreng sesuai rekomendasi “Manila
Forum”. Dosis ini berkaitan dengan penyerapan minyak oleh pangan yang
digoreng dan yang hilang selama proses penanganan dan pengolahan (Hariyadi
2002).
Hasil analisis menunjukkan bahwa minyak goreng curah yang digunakan
memiliki kandungan vitamin A sebesar 0 ppm. Fortifikasi dilakukan dengan dosis
20.06 ppm. Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan vitamin A pada minyak
goreng setelah fortifikasi adalah 20.09 ppm. Recovery vitamin A pada proses
fortifikasi ini adalah sebesar 100.12 %.
Tabel 3 Recovery vitamin A
vitamin A pada minyak
non-fortifikasi (ppm)
0
vitamin A pada
minyak fortifikasi
(ppm)
20.99
20.88
18.86
19.63
rata-rata
(ppm)
dosis
fortifikasi
(ppm)
recovery (%)
20.09
20.06
100.12
Hasil recovery vitamin A di laboratorium (100.12%) lebih besar
dibandingkan dengan hasil di lapang (96.18%). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan jumlah minyak goreng curah yang difortifikasi. Jumlah minyak goreng
curah yang difortifikasi dalam sekali pengadukan di lapang adalah 1500 kg
sedangkan di laboratorium sebanyak 4 kg.
Retensi Vitamin A pada Minyak Goreng Curah Fortifikasi
Pengujian retensi vitamin A dilakukan pada minyak goreng curah
fortifikasi yang dipakai untuk menggoreng ikan kembung, jalangkote, roti lasuna
dan roti kambu dengan suhu penggorengan 160-190oC. Winarno (1999)
menyatakan bahwa suhu yang dicapai pada penggorengan normal adalah 163 –
196oC, tergantung dari jenis makanan yang digoreng. Pada Tabel 4 dapat dilihat
bahwa semakin sering dilakukan pengulangan penggorengan maka akan
semakin menurun retensi vitamin A dalam minyak goreng tersebut. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991) dalam Hariyadi (2002).
Penurunan stabilitas vitamin A pada minyak goreng disebabkan oleh adanya
paparan udara dan oksigen serta sinar ultraviolet (Andarwulan & Koswara 1992).
Selain itu, stabilitas vitamin A juga dipengaruhi oleh suhu (Hariyadi 2002). Pada
penelitian ini faktor yang berpengaruh terhadap penurunan retensi vitamin A
adalah suhu, paparan udara dan oksigen.
Tabel 4 Retensi vitamin A pada minyak goreng setelah pengulangan penggorengan
Jenis pangan yang
digoreng
Penggorengan
ke-
Suhu ( C)
Waktu
menggoreng
(menit)
160-170
6
160-190
6
160-190
4
160-180
9
o
a
Roti Lasuna
Roti Kambu
Jalangkote
1
b
2
c
3
a
1
b
2
c
3
a
1
b
2
c
3
a
1
b
2
c
3
a
a
a
Ikan Kembung
a
Retensi (%)
89
73
63
81
73
58
86
64
51
94
77
60
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada penggorengan roti lasuna dengan
suhu penggorengan 160-170oC, retensi vitamin A pada minyak goreng setelah
penggorengan pertama adalah 89%, setelah penggorengan kedua 73% dan
setelah penggorengan ketiga 63%. Retensi setelah pengulangan penggorengan
pertama lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991)
dalam Hariyadi (2002), yaitu sebesar 83%. Namun, retensi setelah pengulangan
penggorengan kedua dan ketiga pada penelitian ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991) dalam Hariyadi (2002),
yaitu 81% setelah penggorengan kedua dan 71% setelah penggorengan ketiga
dengan suhu 130-170oC.
Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah penggorengan roti kambu selama 6
menit pada suhu 160-190oC retensi vitamin A akan menurun menjadi 81-86%.
Hasil ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Gopal & Ketyum
(1956) dalam Bagriansky & Ranum (1998) yang menunjukkan bahwa retensi
vitamin A akan menurun menjadi 71% setelah dilakukan penggorengan selama 5
menit dengan suhu 2000C.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan tidak berpengaruh
nyata (p>0.05) terhadap retensi vitamin A pada minyak goreng. Perlakuan
pengulangan penggorengan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap retensi
vitamin A (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa retensi vitamin A
setelah
penggorengan
pertama
berbeda
nyata
dengan
retensi
setelah
penggorengan kedua dan ketiga. Retensi vitamin A setelah penggorengan kedua
berbeda nyata dengan retensi setelah penggorengan ketiga.
Pada saat proses penggorengan, minyak goreng terpapar langsung oleh
oksigen. Oksidasi terjadi karena adanya reaksi antara oksigen dari udara dengan
minyak di dalam penggorengan (Lawson 1995). Menurut Ketaren (1986), proses
oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar maupun pada proses pengolahan
menggunakan suhu tinggi. Beberapa produk dari reaksi oksidasi akan menguap,
sedangkan sisanya masih berada di dalam minyak dan bisa mempercepat
oksidasi lemak lebih lanjut (Lawson 1995). Menurut Perkins (1992), stabilitas
minyak akan menurun akibat semakin tidak jenuhnya asam lemak yang
terkandung,
semakin
lama
waktu
penggorengan
dan
semakin
luasnya
permukaan minyak yang terpapar udara.
Perbedaan
yang
nyata
antara
tiap
pengulangan
penggorengan
disebabkan oleh adanya proses kenaikan suhu pada saat pemanasan minyak di
setiap penggorengan. Selain itu, terjadi penurunan suhu pada saat jeda waktu
antara penggorengan kesatu dan kedua atau dari penggorengan kedua ke
penggorengan ketiga. Menurut Belitz dan Grosch (1986), kecepatan oksidasi
dipengaruhi oleh suhu. Proses turun naiknya suhu ini akan menyebabkan minyak
goreng dan komponen yang terdapat di dalamnya teroksidasi lebih cepat.
Oksidasi vitamin A akan lebih cepat terjadi karena adanya oksidasi minyak
goreng (Hariyadi 2002).
Kandungan Gizi dan Penyerapan Minyak Produk Gorengan
Kadar air
Pada penelitian ini analisis kadar air dilakukan pada bahan mentah dan
matang. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggorengan terhadap
perubahan kadar air produk pangan. Hasil analisis kadar air terhadap berbagai
produk gorengan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kadar air produk awal dan setelah digoreng (%)
Jenis pangan
mentah
Roti lasuna
a
Roti kambu
a
Kadar air (%)
Pustaka (%)
65.20
-
goreng 1
a
39.81
-
goreng 2
a
48.84
-
goreng 3
a
34.13
-
mentah
47.90
-
goreng 1
a
38.71
-
goreng 2
a
35.51
-
goreng 3
a
mentah
Jalangkote
a
a
-
53.62
-
goreng 1
a
41.38
40.44
goreng 2
a
41.46
-
goreng 3
a
41.42
-
mentah
Ikan kembung
36.38
77.50
76.00
goreng 1
a
40.60
-
goreng 2
a
43.66
-
goreng 3
a
45.13
-
1)
1)
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Sumber: 1) Hardinsyah & Briawan (1994)
Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar air akan menurun setelah produk
pangan digoreng. Kadar air pada roti lasuna mentah adalah 65.20% sedangkan
pada roti lasuna goreng berkisar dari 34.13% sampai 48.84%. Roti kambu
mentah memiliki kadar air 47.90%, yang sudah digoreng memiliki kadar air
berkisar dari 35.51% sampai 38.71%. Jalangkote mentah memiliki kadar air
53.62% dan yang sudah digoreng memiliki kadar air berkisar dari 41.38 %
sampai 41.46%. Kadar air jalangkote yang sudah digoreng tidak berbeda jauh
dengan kadar air pada pustaka (40.44%). Ikan kembung mentah memiliki kadar
air 77.50% dan setelah digoreng berkisar antara 40.60 % sampai 45.13%. Kadar
air ikan kembung mentah hasil penelitian (77.50%) tidak berbeda jauh dengan
kadar air ikan kembung mentah pada pustaka (76%).
Kadar air produk pangan akan menurun setelah adanya proses
penggorengan.
Menurut
Orthoefer
et
al.
(1996),
penggorengan
akan
menyebabkan terjadinya penguapan air. Wajan akan mentransfer panas
sehingga menyebabkan air keluar dari produk yang digoreng dan kemudian akan
diuapkan melalui permukaan produk. Air yang hilang selama penguapan
kemudian akan diisi oleh minyak.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan dan
jenis pangan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar air produk
pangan. Hal ini berarti bahwa kadar air produk pangan setelah digoreng
(pengulangan penggorengan 1, 2 dan 3) dalam penelitian ini tidak berbeda nyata
satu sama lain.
Kadar lemak
Kadar lemak berbeda-beda pada setiap produk pangan. Analisis kadar
lemak dilakukan pada produk pangan mentah dan produk pangan yang digoreng.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggorengan terhadap perubahan
kadar lemak produk pangan. Hasil analisis kadar lemak produk pangan
ditampilkan pada Tabel 6.
Analisis berdasarkan berat kering (Tabel 6) menunjukkan bahwa roti
lasuna mentah memiliki kadar lemak sebesar 0,63% sedangkan kadar lemak
pada roti lasuna goreng berkisar antara 17.28% sampai 22.91%. Kadar lemak
pada roti kambu mentah adalah 21.12% sedangkan pada roti kambu goreng
berkisar antara 28.10% sampai 35.37%. Kadar lemak pada jalangkote mentah
adalah sebesar 21.50% sedangkan pada yang sudah digoreng berkisar dari
32.23% sampai 35.16%. Ikan kembung mentah memiliki kadar lemak sebesar
11.65% sedangkan pada ikan kembung goreng berkisar dari 31.84% sampai
34.66%.
Kadar lemak jalangkote yang telah digoreng (%BB) hasil penelitian
berkisar dari 19.01% sampai 21.87% sedangkan menurut Hardinsyah dan
Briawan (1994) pastel (jalangkote) memiliki kadar lemak sebesar 17.11%.
Perbedaan yang cukup jauh ini diperkirakan terjadi karena perbedaan komposisi
isi pada jalangkote serta adanya perbedaan ketebalan kulit yang dipakai. Isi dari
jalangkote pada pada penelitian ini adalah ubi jalar putih, toge, soun dan wortel
sedangkan isi dari pastel adalah kentang, wortel, soun dan daging ayam. Selain
itu, juga diperkirakan adanya perbedaan suhu dan waktu menggoreng yang
dipakai. Waktu menggoreng, luas permukaan, kadar air produk matang dan sifat
alami dari bahan akan mempengaruhi jumlah minyak yang terserap (Lawson
1995). Jumlah minyak yang terserap ini yang kemudian akan mempengaruhi
kadar lemak produk matang.
Tabel 6 Kadar lemak produk awal dan setelah digoreng (%)
Jenis pangan
BB
0.22
Mentah
Roti lasuna
b
Jalangkote
a
a
Pustaka
( %BB)
-
goreng 1
a
11.49
19.09
-
goreng 2
a
8.86
17.28
-
goreng 3
a
15.09
22.91
-
Mentah
Roti kambu
Kadar lemak (%)
BK
0.63
11.00
21.12
-
goreng 1
a
21.73
35.37
-
goreng 2
a
20.29
28.10
-
goreng 3
a
21.60
33.88
-
Mentah
9.97
21.50
-
goreng 1
a
20.65
35.16
17.11
goreng 2
a
21.87
37.33
-
1)
goreng 3
a
Mentah
Ikan kembung
a
19.01
32.23
-
2.70
11.65
1.25
goreng 1
a
20.31
33.97
-
goreng 2
a
18.14
31.84
-
goreng 3
a
19.00
34.66
-
1)
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
BB
: Berat Basah
BK
: Berat Kering
Sumber: 1) Hardinsyah & Briawan (1994)
Hasil penelitian Hardinsyah dan Briawan (1994) menunjukkan bahwa ikan
kembung mentah memiliki kadar lemak 1.25% sedangkan hasil penelitian
berdasarkan berat basah, ikan kembung mentah memiliki kadar lemak sebesar
2.7%. Perbedaan yang cukup besar ini dapat disebabkan oleh iklim dan keadaan
tempat tumbuh yang akan mempengaruhi komposisi lemak bahan pangan
(Ketaren 1986).
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar lemak akan meningkat setelah
produk pangan digoreng. Hal ini disebabkan oleh adanya minyak yang terserap
ke dalam produk pangan. Penyerapan minyak ke dalam bahan pangan ini
disebabkan oleh adanya proses penggorengan yang memakai minyak goreng
sebagai media penghantar.
Proses penggorengan pada penelitian ini menggunakan minyak goreng
sawit curah. Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), minyak kelapa sawit
memiliki kadar lemak 100%. Peningkatan kadar lemak produk disebabkan oleh
terserapnya minyak goreng ke dalam produk gorengan.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata
(p<0.05) terhadap kadar lemak produk pangan sedangkan pengulangan
penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak produk
pangan. Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak produk pangan hasil
penggorengan pertama, kedua dan ketiga tidak berbeda.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak roti lasuna
berbeda nyata dengan roti kambu, jalangkote dan ikan kembung goreng. Pada
roti lasuna mentah hanya terdapat lemak sebesar 0.63% (BK) sedangkan produk
pangan yang lain memiliki kadar lemak diatas 11% (BK) sehingga hampir seluruh
lemak pada roti lasuna goreng didapatkan dari minyak goreng. Orthoefer et al.
(1996) menyatakan bahwa bentuk produk dan komposisi produk (kandungan
lemak) mempengaruhi penyerapan minyak.
Penurunan Kadar Air dan Penyerapan Minyak
Pada saat dimasukkannya bahan pangan ke dalam minyak panas terjadi
penguapan air dari bahan pangan yang ditandai dengan adanya gelembunggelembung kecil yang kemudian akan hilang setelah bahan pangan mulai
matang (Lawson 1992). Menurut Irawan (1992), pada saat awal proses
penggorengan inilah terjadi penurunan kadar air yang paling besar.
Menurut Pokorny (1999), salah satu perubahan yang terjadi pada saat
proses penggorengan berlangsung adalah penurunan kadar air. Hal ini terjadi
karena air keluar dari bahan pangan yang digoreng, kemudian menguap di
udara.
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penurunan kadar air terbesar terjadi
pada ikan kembung goreng dengan penurunan kadar air berkisar dari 63.67%
sampai 69.33%. Penurunan kadar air yang besar ini disebabkan oleh besarnya
kadar air awal pada ikan kembung.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata
(p<0.05) terhadap penurunan kadar air sedangkan perlakuan pengulangan
penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar air.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penurunan kadar air ikan kembung
berbeda nyata dengan roti lasuna, jalangkote dan roti kambu serta roti lasuna
berbeda nyata dengan roti kambu dan jalangkote.
Tabel 7 Penurunan kadar air (%) pada produk gorengan
Jenis pangan
Roti lasuna
b
Roti kambu
Jalangkote
c
c
Ikan kembung
a
Penggorengan ke-
Penurunan kadar air (%)
1
a
57.63
2
a
38.90
3
a
63.43
1
a
16.87
2
a
29.47
3
a
24.05
1
a
16.49
2
a
15.99
3
a
17.19
1
a
69.33
2
a
64.26
3
a
63.67
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Selama proses penggorengan terjadi transfer panas secara konveksi dari
wajan dan minyak goreng serta transfer panas secara konduksi pada produk
pangan dimana sebagai hasilnya terjadi transfer zat. Transfer zat tersebut berupa
penguapan air dari bahan pangan dan menyerapnya minyak goreng ke dalam
bahan pangan (Orthoefer et al. 1996),
Tabel 8 menampilkan data penyerapan minyak pada produk pangan.
Penyerapan minyak pada produk pangan berkisar dari 10.73% sampai 23.02%.
Lawson (1995) menyatakan bahwa pangan akan menyerap minyak sebanyak 4%
sampai 30% dari berat matangnya. Pada kebanyakan bahan pangan, proporsi
terbesar dari minyak yang terserap terakumulasi di dekat permukaan produk
gorengan.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata
(p<0.05) terhadap penyerapan minyak sedangkan pengulangan penggorengan
tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penyerapan minyak. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa ikan kembung goreng berbeda nyata dengan
jalangkote dan roti kambu. Jumlah minyak yang terserap dipengaruhi oleh waktu
menggoreng, luas permukaan, kadar air produk matang dan sifat alami dari
bahan (Lawson 1995).
Tabel 8 Penyerapan minyak (%) pada produk gorengan
Jenis pangan
Roti lasuna
ab
Roti kambu
Jalangkote
b
b
Ikan kembung
a
Penggorengan ke-
Penyerapan minyak (%)
1
a
18.47
2
a
16.65
3
a
22.29
1
a
14.26
2
a
10.73
3
a
12.76
1
a
13.67
2
a
15.84
3
a
10.74
1
a
22.32
2
a
20.19
3
a
23.02
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Penyerapan minyak yang besar pada ikan kembung disebabkan oleh
besarnya penurunan kadar air (63.67-69.33%) yang terjadi pada saat proses
menggoreng. Penurunan kadar air yang terjadi pada roti kambu dan jalangkote
tidak sebesar pada ikan kembung, yaitu hanya sebesar 16.87-29.47% pada roti
kambu dan 15.99-17.19% pada jalangkote.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa penurunan kadar air
pangan memiliki hubungan yang nyata dan bersifat positif terhadap penyerapan
minyak (r=0.888; p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa 88.8% variasi nilai
penyerapan minyak ditentukan oleh penurunan kadar air. Penurunan kadar air
yang semakin besar akan menyebabkan penyerapan minyak yang lebih besar.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Orthoefer et al. (1996) bahwa penyerapan
minyak memiliki hubungan yang positif dengan penurunan kadar air.
Kandungan Vitamin A dari Minyak Goreng Curah Fortifikasi
Vitamin A merupakan zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh. Menurut
Bagriansky dan Ranum (1998), vitamin A berfungsi untuk diferensiasi sel
penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi
indera perasa, pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan.
Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi dapat dilihat
pada Tabel 9. Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi per 100
gram produk gorengan pada roti lasuna berkisar dari 148.74-209.60 µg, pada roti
kambu 128.89-199.75 µg, pada jalangkote 89.33-192.12 µg dan pada ikan
kembung 162.60-278.10 µg. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan
dan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan.
Minyak goreng curah fortifikasi memberikan kontribusi sebesar 17.87%55.62% per 100 gram produk gorengan terhadap Angka Kecukupan Vitamin A
per hari untuk anak usia 7-9 tahun. Kontribusi terbesar diberikan oleh ikan
kembung goreng hasil penggorengan pertama sedangkan kontribusi terkecil
diberikan oleh jalangkote hasil penggorengan ketiga.
Tabel 9 Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi
Jenis pangan
Penggorengan
kea
Roti lasuna
a
Roti kambu
Jalangkote
a
a
1
a
2
a
3
a
1
a
2
a
3
a
1
a
2
Vitamin A
(µg/buah)
Vitamin A
(µg/100 g)
AKG per
hari (µg)
44.01
39.81
47.84
124.59
72.26
76.97
81.68
59.93
209.60
148.74
197.87
199.75
128.89
130.80
192.12
158.68
500
1)
Kontribusi
per 100 g
terhadap
AKG (%)
41.92
29.75
39.57
39.95
25.78
26.16
38.42
31.74
a
3
a
1
a
2
a
3
Ikan
a
kembung
33.59
156.94
104.33
85.73
89.33
278.10
208.72
162.60
17.87
55.62
41.74
32.52
Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.
1) Angka kecukupan rata-rata per hari untuk anak usia 7-9 tahun
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Recovery vitamin A pada fortifikasi minyak goreng curah fortifikasi
sebesar 100.12 %.
2. Retensi vitamin A pada minyak goreng setelah penggorengan pertama
berkisar dari 81%-94%, penggorengan kedua berkisar dari 64%-77% dan
penggorengan
penggorengan
ketiga
berkisar
berpengaruh
nyata
dari
51%-63%.
sedangkan
jenis
Pengulangan
pangan
tidak
berpengaruh nyata terhadap retensi vitamin A pada minyak goreng curah
fortifikasi.
3. Kadar air pada roti lasuna berkisar dari 34.13%-48.84%, roti kambu
35.51%-38.71%, jalangkote 41.38%-41.46%, dan kembung goreng 40.60
%-45.13%.
Pengulangan
penggorengan
dan
jenis
pangan
tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar air produk pangan.
4. Analisis berdasarkan berat kering menunjukkan bahwa kadar lemak pada
roti lasuna goreng berkisar antara 17.28%-22.91%, pada roti kambu
goreng berkisar antara 28.10%-35.37%, pada jalangkote berkisar dari
32.23%-35.16%, serta pada kembung goreng berkisar dari 31.84%-
34.66%. Jenis pangan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak produk
pangan sedangkan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar lemak produk pangan. Kadar lemak roti lasuna berbeda
nyata dengan roti kambu, jalangkote dan kembung goreng.
5. Penyerapan minyak pada produk gorengan berkisar dari 10.73%-23.02%.
Jenis
pangan
berpengaruh
nyata
terhadap
penyerapan
minyak
sedangkan perlakuan penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap
penyerapan minyak. Kembung goreng berbeda nyata dengan jalangkote
dan roti kambu.
6. Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi per 100 gram
produk gorengan pada roti lasuna berkisar dari 148.74-209.60 µg, roti
kambu 128.89-199.75 µg, jalangkote 89.33-192.12 µg dan kembung
162.60-278.10 µg. Jenis pangan dan pengulangan penggorengan tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin A per 100 gram produk
gorengan.
Saran
Minyak goreng seringkali digunakan berkali-kali oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ini retensi vitamin A pada minyak goreng curah yang
difortifikasi akan menurun secara signifikan setelah dilakukan pengulangan
penggorengan. Selain itu, dari segi kemananan pangan diduga minyak goreng
yang sudah dipakai berkali-kali tidak aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu,
disarankan untuk tidak menggunakan minyak goreng berkali-kali.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, D. 2002. Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Mengatasi Defisiensi
Gizi Mikro. Hardinsyah, L. Amalia, & B. Setiawan (Eds.). Dalam Fortifikasi
Tepung Terigu dan Minyak Goreng (hlm. 35 – 40). Bogor: Pusat Studi
Kebijakan Pangan dan Gizi IPB.
Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia.
Andarwulan, N. 1991. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pembentukan Senyawa
Toksik Selama Penggorengan. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Andarwulan, N. & S. Koswara. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta : Rajawali Pers.
Bagriansky, J & P. Ranum. 1998. Vitamin A Fortification of P.L. 480 Vegetable
Oil. http://www.sustaintech.org/publications/pubq7.pdf. [21 Februari 2008].
Berdanier et al. 2002. Handbook of Nutrition and Food. Washington DC: CRC
Press.
Belitz, HD. & W. Grosch. 1986. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag.
Hardinsyah & D. Briawan. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
[Diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hariyadi, P. 2002. Kelayakan Teknis Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng.
Hardinsyah, L. Amalia, & B. Setiawan (Eds.). Dalam Fortifikasi Tepung
Terigu dan Minyak Goreng (hlm. 71 – 82). Bogor: Pusat Studi Kebijakan
Pangan dan Gizi IPB.
Irawan, RS. 1992. Kajian Sifat Fisik dan Termal dalam Fenomena Transpor
Proses Penggorengan Pangan. [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Lawson, H. 1995. Food Oils and Fats: Technology, Utilization and Nutrition.
New York: Chapman and Hall.
Lotfi, M., MGV. Mannar, RJHM. Merx & Nabervan den Heuvel P. 1996.
Micronutrient Fortification of Food: Current Practices, Research and
Opportunities. Ottawa : The Micronutrient Initiative.
Martianto, D., Komari, Soekirman, M. Soekatri, Y. Heryatno, & ES. Mudjajanto.
2005. Possibility of Vitamin A Fortification on Cooking Oil in Indonesia: A
Feasibility Analysis. Jakarta: Koalisi Fortifikasi Indonesia.
Martianto, D., SA. Marliyati & Komari. 2007. Vitamin A Fortification of Cooking
Oil At Distribution Site Guideline. Koalisi Fortifikasi Indonesia for Japan
Fund for Poverty Reduction Project. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI.
Min, DB & JM. Boff. 2003. Crude Fat Analysis. SS. Nielsen (Ed). Dalam Food
Analysis (3rd ed.) (hlm 113 – 129). New York: Plenum Publisher.
Muchtadi, TR. 1996. Peranan Teknologi Pangan dalam Peningkatan Nilai
Tambah Produk Minyak Sawit Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap
Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. 13
April 1996.
Muhilal, F. & A. Sulaeman. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak.
Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Natakusuma, S. 1998. Strategi Fortifikasi Pangan. Dalam Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VI (hlm 901 – 908). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Olson, JA. 1990. Vitamin A. LJ. Machlin (Ed.). Dalam Handbook of Vitamins
(2nd ed.) (hlm. 1 -58). New York : Marcel Dekker Inc.
Orthoefer,T., S. Gurkin & K. Liu. 1996. Dynamics of Frying. EG. Perkins and
MD, Erickson (Eds.). Dalam Deep Frying: Chemical, Nutrition and Practical
Applications (hlm 223-242). Illinois: AOCS Press.
Perkins, EG. 1992. Effect of Lipid Oxidation on Oil and Food Quality in Deep
Frying. AJ. St. Angelo (Ed.). Dalam Lipid Oxidation in Food. Washington
DC: ACS.
Pokorny, J. 1999. Changes of Nutrient at Frying Temperatures. D. Boskou and
I. Elmadfa (Eds.). Dalam Frying of Food (Oxidation, Nutrient and NonNutrient Antioxidant, Biologically Active Compounds and High
Temperatures) (hlm. 69-103). Pennsylvania: Technomic Publishing.
Rachmalina, R. 2005. Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng Sawit: Retensi
Selama Pemanasan dan Penyerapan pada Produk Gorengan. [Skripsi].
Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Simatupang P. & A. Purwoto. 1996. Konsumsi Minyak Goreng untuk Pangan.
B. Amang, P. Simatupang, dan A. Rachman (Eds.). Dalam Ekonomi
Minyak Goreng di Indonesia (hlm. 269 – 302). Bogor : IPB Press..
Soekirman. 2003. Fortifikasi dalam Program Gizi; Apa dan Mengapa. Jakarta:
Koalisi Fortifikasi Indonesia.
Sommer, A. & KP. West. 1996. Vitamin A Deficiency: Health, Survival and
Vision. New York : Oxford University Press.
Sulaeman, A., F. Anwar, Rimbawan, & SA. Marliyati. 1995. Metode Analisis Zat
Gizi dan Komponen Kimia Lainnya dalam Makanan. [Diktat]. Bogor:
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Sullivan, K & J. Bagriansky. 1999.
Estimation of the Impact of Vitamin A
Fortified Foods on the Prevalence of Vitamin A Deficiency.
http://www.adb.org/Projects/Food-Fortification/cip-methodology-impactvitamin-a.pdf. [21 Februari 2008].
Sunaryo, ES., & A. Wibowo. Peluang dan Tantangan Fortifikasi Vitamin A pada
Minyak Goreng. Hardinsyah, L. Amalia, dan B. Setiawan (Eds.). Dalam
Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng (hlm. 67 – 70). Bogor: Pusat
Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB.
Supariasa, IDN., B. Bakri, & I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
Truswell, AS. 1999. ABC of Nutrition (3rd edition). London : BMJ Publishing
Group.
Untoro, R.
2002.
Masalah Gizi Mikro di Indonesia dan Potensi
Penanggulangannya. Hardinsyah, L. Amalia, dan B. Setiawan (Eds.).
Dalam Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng (hlm. 5 – 20). Bogor:
Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB.
Winarno, FG. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Jakarta: Balai
Pustaka.
World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development. A
Strategy for Large-Scale Action. Washington DC : World Bank.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Vitamin A Metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)
ANALISIS VITAMIN A DALAM PREMIKS DAN MINYAK GORENG
A. PEREAKSI
1. Etanol 99.98%
2. Kalium Hidroksida (KOH) 50% (b/v)
Larutkan 70 g KOH butyl dalam 70 ml air deionisasi dan encerkan sampai
140 ml dengan Etanol 95% (buat baru).
3. Natrium Klorida (NaCl) 10% (b/v)
Larutkan 10 g NaCl dalam 100 ml air deionisasi.
4. Antioksidan Hydroquinon
Larutkan 0.25 g Hydroquinon dalam 100 ml Etanol 96%.
5. Pelarut ekstraksi n-Hexan
6. Indikator Phenolphthalein 1% dalam Etanol
7. Natrium Sulfat, anhydrous
8. HPLC mobile phase Methanol : Air (97:3)
9. Gas Nitrogen, Oxygen free Nitrogen
10. Standar vitamin A retinol palmitat
B. ALAT
1. Alat KCKT kolom Rp ODS C18
2. Vacuum rotary evaporator
3. Timbangan
4. Alat filtrasi pelarut
5. Syringe 10 ml untuk filtrasi sampel
6. Labu volumetric 10 ml
7. Beaker 100 ml
8. Pipet volume 0.5; 1; 1.5; 2.0; 2.5; 50 ml
9. Corong
10. Whatman no. 1
11. Labu alas bulat
12. Batu didih
13. Gelas ukur 50 ml
C. PROSEDUR
I. Pembuatan Baku
1. TImbang 10 mg baku Vitamin A Palmitat, tambahkan sedikit kloroform,
lalu tambahkan dengan Etanol 96% (100 ppm).
2. Pipet 50 ml baku diatas lalu tambahkan dengan Etanol 96%.
3. Pipet larutan diatas 0.5 ml; 1.0 ml; 1.5 ml; 2.0 ml; 2.5 ml masing-masing
lalu masukkan ke dalam masing-masing labu alas bulat.
4. Tambahkan 40 ml larutan Hydroquinon, 40 ml Etanol 96%, 10 ml KOH
50% dan beberapa batu didih.
5. Refluks pada suhu 80oC selama 30 menit, atau labu alas bulat ditutup
plastik lalu di ultrasonik pada suhu 40oC selama 30 menit.
6. Ekstraksi dengan 50 ml n-Hexan, ulangi ekstraksi 2 kali dengan n-Hexan
40 ml (tamping lapisan n-Hexan).
7. Hasil ekstraksi dicuci dengan 50 ml NaCl 10%, buang lapisan NaCl.
8. Cuci dengan 100 ml air, buang lapisan air. Ulangi proses pencucian
sampai air buangan bebas alkali (tes dengan indicator phenolphthalein
sampai tidak berwarna merah muda).
9. Saring dengan kertas Whatman berisi Na-sulfat anhydrous.
10. Uapkan setelah disaring lalu aliri dengan gas nitrogen tutup dengan
tangan.
11. Rotavapor pada suhu 40oC dengan kecepatan 80 rpm.
12. Hasil residu dilarutkan dengan acetonitril dan encerkan sampai 10 ml.
13. Saring melalui membran 0.45 µm.
II. Pembuatan Sampel
1. Timbang 10 g sampel, masukkan dalam labu alas bulat.
2. Tambahkan 40 ml larutan Hydroquinon, 40 ml Etanol 96%, 10 ml KOH
50% dan beberapa batu didih.
3. Refluks pada suhu 80oC selama 30 menit atau labu alas bulat ditutup
plastik lalu di ultrasonik selama 30 menit.
4. Ekstraksi dengan 50 ml n-Hexan, ulangi ekstraksi 2 kali dengan n-Hexan
40 ml (tamping lapisan n-Hexan).
5. Hasil ekstraksi dicuci dengan 50 ml NaCl 10%, buang lapisan NaCl.
6. Cuci dengan 100 ml air, buang lapisan air. Ulangi proses pencucian
sampai air buangan bebas alkali (tes dengan indicator phenolphthalein
sampai tidak berwarna merah muda).
7. Saring dengan kertas Whatman berisi Na-sulfat anhydrous.
8. Setelah disaring aliri dengan gas nitrogen.
9. Uapkan dengan rotavapor pada suhu 40oC dengan kecepatan 80 rpm.
10. Hasil residu dilarutkan dengan acetonitril dan encerkan sampai 10 ml.
11. Saring melalui membran 0.45 µm.
III. Persiapan Alat KCKT
Baku vitamin A dan sampel diinjekkan ke dalam KCKT dengan kondisi
instrumen sebagai berikut:
Kolom
: Rp ODS C18
Fase Gerak
: Metanol : Air (97:3)
Laju alir
Volume injek
Detektor
: 1 ml/ menit
: 20 µl
: UV pada 325 nm
IV. Perhitungan Hasil
Hitung hasil dengan menggunakan persamaan regresi linear Y=a+bx.
Baca kandungan retinol (µg/ml) dari kurva kalibrasi dan hitung pada µg atau
mg per 100 g sampel.
Lampiran 2. Analisis Kadar Air Metode Oven Biasa (Sulaeman, Anwar,
Rimbawan, Marliyati 1995)
Pada metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu sehingga semua
air menguap yang ditunjukkan dengan berat bahan yang konstan setelah periode
pemanasan tertentu
Prosedur:
1. Timbang cawan yang telah dikeringkan.
2. Timbang sampel sebanyak ± 2 gram di dalam cawan yang sudah
ditimbang sebelumnya.
3. Keringkan sampel dalam oven dengan suhu 100-105oC selama ± 3-4 jam
(sampai tercapai berat konstan).
4. Keluarkan dari oven, dinginkan di dalam desikator selama 30 menit lalu
timbang.
Perhitungan:
%=
1− 2 100%
Keterangan:
B
: berat sampel (gram)
B1
: berat sampel + berat cawan awal (gram)
B2
: berat sampel + cawan setelah akhir (gram)
Lampiran 3. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (Min & Boff 2003)
Persiapan Sampel : Jika sampel mengandung H2O lebih dari 10% maka
keringkan sampel pada suhu 95-100oC dengan tekanan ≤ 100 mmHg selama
kurang lebih 5 hari (Metode AOAC 934.01).
Prosedur:
1. Timbang ± 2 g sampel yang telah dikeringkan ke dalam timbel yang
sudah dikeringkan. Bungkus sampel di dalam timbel dengan glass wool.
2. Timbang labu didih yang telah dikeringkan sebelumnya.
3. Masukkan anhydrous ether ke dalam labu didih.
4. Pasang labu didih, labu Soxhlet dan kondensor.
5. Ekstrak di dalam ekstraktor Soxhlet dengan kecepatan kondensasi 5 atau
6 tetes per detik selama 4 jam atau dengan kecepatan kondensasi 2 atau
3 tetes per detik selama 16 jam dengan memanaskan pelarut di dalam
labu didih.
6. Keringkan labu didih dengan mengekstrak pelarut lemak di dalam oven
dengan suhu 100oC selama 30 menit, dinginkan di desikator lalu timbang.
Lampiran 4. Hasil Sidik Ragam Retensi Vitamin A setelah Pengulangan
Penggorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
JP*PP
Galat
Total
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
6
12
23
367.275817
3381.497408
153.298558
1273.672400
5175.744183
122.425272
1690.748704
25.549760
106.139367
1.15
15.93
0.24
0.3676
0.0004
0.9541
Keterangan : JP = Jenis Pangan
PP = Pengulangan Penggorengan
Lampiran 5. Hasil Uji Lanjut Duncan Retensi Vitamin A setelah
Pengulangan Penggorengan
Penggorengan keRata-rata
Kehomogenan
1
87.286
A
2
71.846
B
3
58.230
C
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam Rata-rata Kadar Air Produk Gorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
126.6716458
41.0412250
42.2238819
20.5206125
1.57
0.76
0.2470
0.4868
JP*PP
Galat
Total
6
12
23
211.5396417
321.9134500
701.1659625
35.2566069
26.8261208
1.31
0.3227
Keterangan : JP = Jenis Pangan
PP = Pengulangan Penggorengan
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam Rata-rata Kadar Lemak Produk Gorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
JP*PP
Galat
Total
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
6
12
23
882.1905667
27.5447250
99.4311083
205.829200
1214.995600
294.0635222
13.7723625
16.5718514
17.152433
17.14
0.80
0.97
0.0001
0.4707
0.4870
Keterangan : JP = Jenis Pangan
PP = Pengulangan Penggorengan
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjut Duncan Rata-rata Kadar Lemak pada Produk
Gorengan
Jenis Pangan
Roti Lasuna
Roti Kambu
Jalangkote
Kembung
Rata-rata
19.758
32.447
34.907
33.488
Kehomogenan
B
A
A
A
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam Penurunan Kadar Air Produk Gorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
JP*PP
Galat
Total
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
6
12
23
9980.687546
98.400508
759.167892
826.77035
11665.02630
3326.895849
49.200254
126.527982
68.89753
48.29
0.71
1.84
<.0001
0.5093
0.1743
Keterangan : JP = Jenis Pangan
PP = Pengulangan Penggorengan
Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Penurunan Kadar Air Produk
Gorengan
Jenis Pangan
Roti Lasuna
Rata-rata
53.317
Kehomogenan
B
Roti Kambu
Jalangkote
Kembung
23.462
16.553
65.750
C
C
A
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam Penyerapan Minyak Produk Gorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
JP*PP
Galat
Total
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
6
12
23
360.8951458
9.5515583
71.0339417
304.3939500
745.8745958
120.2983819
4.7757792
11.8389903
25.3661625
4.74
0.19
0.47
0.0210
0.8308
0.8202
Keterangan : JP = Jenis Pangan
PP = Pengulangan Penggorengan
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Penyerapan Minyak Produk
Gorengan
Jenis Pangan
Roti Lasuna
Roti Kambu
Jalangkote
Kembung
Rata-rata
19.135
12.578
13.413
21.842
Kehomogenan
AB
B
B
A
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Lampiran13. Hasil Sidik Ragam Kandungan Vitamin A dari Minyak Goreng
Curah Fortifikasi per 100 gram Produk Gorengan
Sumber
Keragaman
JP
PP
JP*PP
Galat
Total
db
JK
KT
F hitung
P
3
2
6
12
23
18630.89973
24755.76008
10448.78829
55526.4097
109361.8578
6210.29991
12377.88004
1741.46472
4627.2008
1.34
2.68
0.38
0.3070
0.1095
0.8803
Lampiran 14. Hasil Uji Korelasi Pearson Penurunan Kadar Air dan
Penyerapan Minyak
Penurunan Kadar Air
Korelasi Pearson
Signifikansi (2-tailed)
Penyerapan Minyak
0.888(**)
0.000
N
12
** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed)
Lampiran 15. Resep Penelitian
ROTI LASUNA
- Tepung terigu (segitiga biru)
- air
- garam
- royco
400 gram
600 ml
200 gram
2 ml
ROTI KAMBU
- Tepung terigu
500 gram
- mentega
200 gram
- air
500 ml
- fermipan
11 gram
isi:
- soun 200 gram ditumis dengan mentega 10 gram
- wortel 200 gram dengan mentega 10 gram
satu buah roti kambu dibuat dari 50 gram adonan, 7 gram soun dan 3
gram wortel
JALANGKOTE
- air
200 ml
- tepung terigu
500 gram
- mentega
200 gram
- royco
2 gram
- garam
2 gram
isi:
- wortel 250 gram dengan 20 gram mentega
-
ubi putih 150 gram dengan 10 gram mentega
toge 150 gram dengan 25 gram mentega
soun 250 gram dengan 10 gram mentega
adonan ditipiskan dengan ampia dengan ketebalan 3 mm dicetak dengan
mangkok kemudian diisi dengan 5 gram wortel, 5 gram ubi putih, 5 gram
toge dan 5 gram soun.
Lampiran 16. Daftar Nomor Sampel
no
sampel
101
102
1031
1131
1231
1331
1032
1132
1232
1332
1041
1141
1241
1341
1042
1142
1242
1342
1051
1151
1251
jenis sampel
minyak curah
minyak roti lasuna
minyak roti kambu
minyak kembung goreng
penggorengan
ke0
0
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
ulangan
1
2
1
2
1
2
1
1351
1052
1152
1252
1352
1061
1161
1261
1361
1062
1162
1262
1362
minyak jalangkote
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
2
1
2
Download