1 Merawat Toleransi Beragama di Indonesia Musdah Mulia Hasil

advertisement
1
Merawat Toleransi Beragama di Indonesia 1
Musdah Mulia 2
Hasil Survei: Toleransi Beragama Orang Indonesia Rendah!
Tahun 2012 sebuah penelitian mengenai toleransi beragama dilakukan di 23 provinsi dan
melibatkan 2.213 responden. Penelitian itu dilakukan oleh lembaga studi Center of Strategic and
International Studies (CSIS). Hasilnya, menunjukkan dengan nyata bahwa toleransi beragama orang
Indonesia tergolong rendah. Penelitian itu menunjukkan, masyarakat sebetulnya menerima fakta bahwa
mereka hidup di tengah keberagaman dan kemajemukan. Masalahnya, realitas tersebut tidak membuat
mereka berperilaku toleran, sebaliknya mereka ragu-ragu bersikap toleran, apalagi jika berkaitan
dengan isu agama dan kepercayaan.
Konkretnya, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda
agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan
rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga
dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya.
Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2
persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak
berkeberatan. Hasil survei menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus pelarangan
pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan Gereja Filadelfia. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.
Hasil survei juga menunjukkan kecenderungan intoleransi ada pada kelompok masyarakat
dalam semua kategori pendidikan. Sekitar 20 persen masyarakat berpendidikan sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, dan sekolah menengah atas, menyatakan tak keberatan dengan pembangunan
rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Adapun pada masyarakat dengan pendidikan di atas SMA,
hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan setuju. Banyak yang beranggapan semakin berpendidikan
seseorang, akan semakin toleran dia. Nyatanya tidak. Artinya, tingkat pendidikan ternyata tidak banyak
mempengaruhi atau menumbuhkan toleransi beragama. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan
masyarakat yang mengaku demokratis tapi tidak dapat mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan
menghargai perbedaan. Tentu saja hal ini dapat menjadi batu sandungan bagi Indonesia yang sedang
berusaha menjaga kemajemukannya.
Hasil survey ini seharusnya menjadikan negara dan pemerintah sadar dan segera mengambil
langkah-langkah konkret untuk mengantisipasi semua hal buruk yang kemungkinan mengikuti sikap
intoleran masyarakat. Paling tidak, negara harus dapat bersikap netral dan imparsial tidak memihak
kepada kelompok mayoritas apalagi jika mereka menyuarakan pandangan yang bernuansa intoleran
dalam kehidupan beragama. Pemerintah harus konsisten tetap menegakkan hukum ketika kekerasan
terjadi. Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai
kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi dan menggiring pemikiran masyarakat
menjadi intoleran.
Menurut saya, masalah paling mendasar terletak pada pendidikan agama yang diberikan mulai
tingkat PAUD sampai Perguruan Tinggi. Tanpa menegasikan sejumlah institusi dan individu yang telah
1
Disampaikan pada acara Pendidikan Teologi Jemaat, diadakan oleh Gereja Kristen Indonesia-Kebayoran Baru, di Jakarta,
29 Agustus 2016
2
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Ketua Yayasan ICRP. Dapat dikontak via [email protected].
1
2
berhasil mewujudkan pendidikan agama yang humanis dan pluralis, harus diakui bahwa pendidikan
agama kita umumnya hanya berkutat pada hal-hal yang sipatnya legal-formal dan terlalu fokus pada
urusan ritual, belum sampai pada upaya penanaman nilai-nilai spiritual yang merupakan esensi agama
itu sendiri.
Anak-anak lebih banyak disuruh menghapal teks-teks suci, dan melakukan ritual secara
formalitas belaka tanpa pemahaman dan penghayatan mendalam. Akibatnya, semakin belajar agama
semakin tercerabut dari visi kemanusiaannya. Padahal, tujuan akhir dari agama adalah membuat
manusia lebih manusiawi. Demikian pula pendidikan nonformal di masyarakat, seperti majelis taklim
dan siaran agama melalui media. Semuanya lebih mengarah kepada pendidikan bersifat monolog dan
tidak mengedapankan pemikiran kritis dan rasional. Bahkan, terkesan mendoktrinkan ajaran-ajaran
agama yang tidak ramah pada perempuan dan kelompok yang berbeda. Kondisi ini terjadi pada semua
agama. Akibatnya, pandangan keagamaan yang berkembang dan disosialisasikan di masyarakat tidak
kondusif bagi upaya peningkatan spiritual masyarakat, juga tidak menyumbang upaya pembangunan
demokrasi, pluralisme dan pemenuhan hak asasi manusia.
Pendidikan agama seharusnya mengedepankan penanaman nilai-nilai spiritual, nilai-nilai
universal kemanusiaan yang mendorong peserta didik untuk mewujudkan akhlak karimah atau budi
pekerti mulia dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan ungkapan lain, pendidikan agama harus
berujung pada upaya memanusiakan manusia. Melalui pendidikan agama, diharapkan spiritualitas
masyarakat menjadi lebih kuat, yang indikatornya antara lain adalah semakin kuat empatinya kepada
penderitaan sesama. Semakin tergugah mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan dalam bentuk
diskriminasi, kemiskinan, korupsi, pengangguran, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun. Dan
semakin terdorong semangatnya untuk membangun masyarakatnya sehingga terwujud masyarakat yang
damai, adil dan makmur.
Pendidikan agama harus mampu membentuk manusia yang humanis dan pluralis. Namun
dalam realitas sosiologis terlihat bahwa tujuan pendidikan tersebut terbentur oleh budaya patriarki dan
budaya feodalisme yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai
budaya tersebut sedemikian merasuk dalam kehidupan masyarakat sehingga tidak heran jika praktek
diskriminasi, eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan mewarnai kehidupan masyarakat, termasuk
kalangan terpelajar di perguruan tinggi.
Memahami Toleransi!
Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti membiarkan mereka yang
berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Di dalam ilmu biologi misalnya istilah
toleransi dipakai untuk membiarkan terus bertumbuhnya sebuah kelainan biologis di tubuh seseorang,
misalnya kutil. Kutil yang tumbuh di tubuh saya mestinya dibinasakan, namun saya membiarkannya
saja, toh tidak terlalu mengganggu. Dengan demikian, keberadaan kutil itu sangat tergantung dari
kemauan dan kerelaan saya.
Di bidang ilmu kedokteran istilah ini dipergunakan untuk mengacu kepada bahan-bahan yang
diizinkan guna pengobatan. Misalnya, di dalam pengobatan kanker yang memakai penyinaran, maka
harus sungguh-sungguh diatur dalam batas-batas toleransi agar pengobatan itu tidak berubah menjadi
penyakit baru. Di dalam ilmu tumbuh-tumbuhan istilah ini dipakai untuk mengacu kepada kemampuan
suatu organisme menolak pengaruh suatu parasit virus atau dari faktor-faktor lingkungan. 3
Gagasan mengenai toleransi mulai mengemuka di Eropa sekitar abad ke-16, sebagai akibat
pengalaman pahit akan penderitaan hebat yang disebabkan oleh berbagai perang agama. Kondisi
3
Lihat De Grote Oosthoek, Encyclopedie en Woordenboek, Deel 19, (Oosthoek’;s Uitgeversmaatschappij BV, Utrecht,
1976).
2
3
tersebut pada ujungnya memicu munculnya humanisme dan proses sekularisasi dari negara-negara
modern. Di kalangan yang disebut kaum spritualis seperti J.Denck dan S.Franck muncul pandangan, di
samping pemikiran tentang gereja universal yang tidak kelihatan dan agama tanpa dogma, suatu
gagasan positif tentang toleransi (Castellio). Ini mempunyai kaitan erat dengan penghormatan terhadap
otonomi pribadi dan keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan hati nurani. Ide ini bergerak
paralel dengan perjuangan untuk kebebasan berpendapat.
Pengakuan praktis terhadap toleransi berlanjut hingga abad ke-17, misalnya di Republik
Belanda Utara, sebagai akibat penerapan otonomi daerah tersebut. Selanjutnya diikuti oleh Inggris
(England) dengan Toleration Act, 1689, Perancis dengan Declaration des droits de l’homme et du
citoyen, 1789, dan Jerman. Pada abad ke-18 kaum filosof Pencerahan membela toleransi, selanjutnya
abad ke-19 muncul para pemikir bebas. Demikianlah kemudian abad ke-20 perhatian orang beralih dari
persoalan-persoalan agama ke perjuangan kemasyarakatan. Akibatnya, toleransi memperoleh wajah
politik, kendati juga wajah agamanya masih ada di dalam rupa ideologi. 4
Intoleransi di Indonesia yang marak akhir-akhir ini muncul karena dibiarkan secara sengaja,
bahkan ada kesan diberi tempat yang cukup untuk berkembang. Dengan menggunakan ruang politik di
masa demokrasi, sejumlah ormas berupaya mendesakkan agendanya. Masalah muncul karena mereka
tidak memiliki kelengkapan sikap kewargaan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan.
Alih-alih mempromosikan kebebasan dan HAM, kelompok intoleran dan anti demokrasi tersebut justru
menebarkan sikap kebencian, dan bahkan kekerasan untuk memerangi kelompok lain yang berbeda,
khususnya golongan minoritas. Keterlibatan ormas-ormas intoleran itu dapat dilihat dalam sejumlah
kasus. Misalnya, kekerasan yang terjadi dalam konteks pemberantasan aliran sesat, seperti terhadap
kelompok Syi’ah dan jemaat Ahmadiyah. Kasus lain, sengketa pendirian rumah ibadah, seperti dialami
Gereja Yasmin dan HKBP di Jawa Barat.
Lepas dari permasalahan itu, hal yang penting adalah bagaimana peran aparatur negara sendiri
dalam menangani masalah ini. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin, melindungi, dan
memastikan setiap warganegara bisa menikmati hak-haknya, termasuk dalam kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Kewajiban itu harus dijalankan oleh aparaturnya, baik di pusat maupun di daerah.
Faktanya, negara dan pemerintah, termasuk kebijakan Jokowi belum maksimal memberikan sanksi
bagi para pelaku tindakan intoleransi di masyarakat.
Mengapa umat beragama saling membenci? Jawabnya sangat simpel, perhatikan saja isi
ceramah dan khotbah keagamaan yang disampaikan di rumah-rumah ibadah, tidak sedikit yang berisi
propaganda kebencian dan permusuhan. Menebarkan hate speech seharusnya dilarang sehingga
pelakunya dapat dikenakan sanksi atau dihukum. Namun, di negeri ini semua perlakukan itu dianggap
wajar dan normal. Tidak ada sanksi bagi mereka yang senang menebarkan provokasi dan kebencian.
Lalu apakah mereka itu munafik? Saya pikir bukan munafik, mereka merasa sedang menjalankan
perintah agama. Tidak sedikit umat beragama yakin kalau memusuhi orang lain itu adalah perintah
agama, begitu mengerikannya!! Mendiskreditkan orang yang berbeda agama, bahkan membunuh
mereka juga dianggap ajaran agama.
Saya bersama kawan-kawan di ICRP sudah lama mengumpulkan fakta-fakta dalam bentuk
buku-buku teks, ceramah agama, dan pidato keagamaan yang berisi hasutan untuk memusuhi kelompok
berbeda. Bahkan, kami juga sudah menghadap pada para elit penguasa sampai tingkat Presiden
menyampaikan kekhawatiran kami akan masa depan Indonesia tercinta yang menganut prinsip
4
Pemahaman lebih luas mengenai toleransi dapat dilihat pada: W. Kaegi, Castellio und die Anfaenge der Toleranz, (1953);
H.M.J.Oldenwelt, Geen Onverdraagzamheid, maar ook geen verdraagzaamheid, (1954); G. Mensching, Toleranz und
Wahrheit in der Religion, (1955); M. Barbers, Toleranz bei S.Franck, (1964); H. Marcuse e.a., Critique of Pure Tolerance,
(1965).
3
4
bhinneka tunggal ika. Namun, respon yang kami terima tidak seperti yang kami harapkan. Buktinya,
sampai hari ini kelompok-kelompok radikal yang tidak suka dengan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai
pluralisme dan kebhinekaan tetap eksis. Bahkan, jumlah mereka semakin bertambah. Aksi dan gerakan
mereka sangat jelas, yakni mengembangkan ideologi agama yang berlawanan dengan nilai-nilai
Pancasila dan prinsip konstitusi Indonesia.
Prinsip Pluralisme Agama dalam Islam
Mengapa penting menyinggung pluralisme dalam Islam? Sebab, kondisi kebebasan beragama,
perdamaian, toleransi, dan pluralisme agama di sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim
atau berbasis Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Iran, dan Indonesia sedang berada dalam tahap
yang amat memprihatinkan. Rendahnya kesadaran dalam hal kebebasan beragama dan sikap toleranpluralis terlihat dalam berbagai laporan internasional, seperti International Religious Freedom Report
2008; dan lembaga survey terkemuka di AS seperti The Pew Forum on Religion and Public Life dan
Freedom House.
Berbeda dengan praktek empirik umat Islam seperti terbaca dalam laporan internasional
tersebut, Islam secara normatif adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pluralisme
agama. Mari simak sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. Setelah bertahun-tahun Nabi berjuang
mendakwahkan Islam di Mekkah tetapi tidak mendapatkan respon yang signifikan, bahkan sebaliknya
tantangan semakin berat, terutama datang dari kaum kafir Quraisy Mekkah, Nabi pun mendapat wahyu
berhijrah ke Madinah. Sebelumnya kota ini bernama Yastrib. Berbeda dengan Mekkah yang
penduduknya boleh dibilang homogen, penduduk kota ini sangat heterogen. Mereka terdiri dari banyak
suku, dan yang terbesar adalah suku Aus dan Khazraj. Dari segi agama terdapat penganut paganisme,
Nasrani, Yahudi dan Islam. Di antara penduduknya yang sangat heterogen tersebut selalu terjadi
pertikaian. Hal itu membuat mereka mendambakan kehadiran seorang pemimpin yang mampu
menyatukan dan sekaligus melepaskan mereka dari konflik dan permusuhan yang melelahkan.
Kedatangan sejumlah utusan perwakilan dari suku-suku Yastrib kepada Nabi dalam pertemuan
di Aqabah bagaikan pucuk dicinta ulam tiba. Nabi yang memiliki cita-cita persatuan semua manusia
dan memiliki semangat perdamaian yang begitu besar sangat senang menerima tawaran para pemuka
suku dari Yastrib untuk hijrah ke sana. Yastrib lalu diubah menjadi Madinah. Madinah mengandung
arti keadaban (civility). Artinya, masyarakat kota itu bukan lagi masyarakat nomaden yang liar dan
biadab, melainkan diubah menjadi madinah (masyarakat beradab). Masyarakat yang dicita-citakan
Nabi adalah masyarakat beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban dan nilai-nilai kemanusiaan
seperti, kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Robert N. Bellah, pakar sosiologi asal Amerika Serikat justru menyebut sistem masyarakat
Madinah di masa nabi Muhammad saw sebagai contoh pertama demokrasi modern. Komunitas itu
disebut "modern" karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan karena
adanya kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Hal ini ditandai
oleh pencopotan nilai kesucian atau kesakralan dalam memandang suku atau kabilah sehingga dengan
pencopotan itu tidak dibenarkan untuk menjadikan suku atau kabilah sebagai tujuan pengkudusan dan
ekslusivisme. Lebih jauh Bellah, menyebut sistem Madinah sebagai bentuk egaliter partisipatif. Hal ini
berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno yang membatasi partisipasi hanya kepada
kaum lelaki merdeka, artinya hanya meliputi 5 % dari total penduduk.
Dalam membina masyarakat Madinah, Nabi berpijak pada tiga prinsip dasar, yaitu prinsip
tauhid, prinsip sunatullah, dan prinsip persamaan antarmanusia. Perlunya prinsip tauhid diterapkan
dalam pengelolaan hidup bermasyarakat adalah untuk mewujudkan masyarakat bermoral dan memiliki
integritas rohani yang kuat dan sempurna. Selain itu, prinsip tauhid melahirkan semangat
egalitarianisme karena tauhid pada hakikatnya hanya mendukung sistem demokrasi, dan sebaliknya
4
5
menolak sistem totaliter, otoriter, despotik dan tiranik. Implementasi tauhid dalam kehidupan
bermasyarakat akan membuat setiap individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masingmasing sebagai hamba Allah, dan memahami harkat dan martabat kemanusiaannya sehingga dengan
demikian mereka dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak.
Prinsip sunatullah mendorong manusia bersikap kritis dan dinamis, serta percaya kepada hukum
kausalitas yang membawanya menolak sikap fatalistis. Selain itu, prinsip sunatullah membawa kepada
pengakuan adanya pluralisme dalam masyarakat. Prinsip sunatullah menghendaki manusia memikirkan
pentingnya dan indahnya keberagaman manusia dalam aspek etnis, warna kulit, suku, bangsa, dan
bahkan agama dan kepercayaan. Keberagaman adalah modal sosial yang mendorong manusia aktif
berkompetisi secara sehat dan damai dalam semangat persaudaraan menuju ridha Allah swt. Adapun
prinsip persamaan antarmanusia menegaskan bahwa pengelolaan hidup bermasyarakat dalam Islam
tidak didasarkan pada ikatan-ikatan primordial, seperti keturunan, kesukuan, dan kehormatan golongan.
Itulah sebabnya dalam masyarakat Islam tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelas, tidak ada
kelompok elite atau borjuis, juga tidak ada kelompok aristokrat.
Berlandaskan tiga prinsip dasar tersebut Rasul membangun kehidupan masyarakat Madinah
yang damai dan harmoni karena didasari oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, solidaritas yang
kuat dan rasa keadilan. Berdasarkan tiga prinsip itu juga Rasul mampu mengeliminasi segala bentuk
kekerasan yang sebelumnya menjadi ikon penduduk kota itu.
Islam menegaskan ajaran tauhid yang murni, bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.
Pandangan tauhid yang benar akan membawa manusia kepada pola berketuhanan yang benar dan
berkemanusiaan yang benar pula atau hablun minallah dan hablun minannas.
Al-Qur’an menyebut manusia sebagai makhluk paling sempurna (QS. Al-Isra’, 17:70), dan
karena itu makhluk lain patut memberikan penghormatan kepadanya sebagai tanda pengabdian kepada
Sang Pencipta. Al-Qur’an juga menyebutkan, manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus
dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan ikatan
primordial lainnya. Yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi takwanya (QS. Al-Hujurat,
49:13) dan bicara soal takwa hanya Allah swt. yang berhak memberikan penilaian.
Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga kelangsungan hidupnya,
nyawanya tidak boleh dihilangkan (QS. 27: 33; 5:32), juga fisik dan psychisnya tidak boleh disakiti
untuk alasan apapun (QS. 5:45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan tanpa pembedaan. Hadis nabi yang diriwayatkan Bukhari
menjelaskan secara gamblang: “Sesungguhnya darahmu (life), hartamu (property),
dan
kehormatanmu (dignity) adalah suci, seperti sucinya hari ini (haji wada’) di bulan ini, dan negerimu
ini sampai engkau bertemu Tuhanmu di hari akhir nanti (HR. Bukhari).”
Islam begitu tegas mengajarkan bahwa pluralitas atau keberagaman dalam beragama adalah
sunatullah, yaitu sesuatu yang sudah menjadi keputusan Tuhan, bukan sebuah kesalahan atau
kekurangan. Mengapa? Jika seandainya Tuhan menghendaki maka pasti berimanlah semua manusia di
bumi ini. Lalu, apakah kalian akan memaksa mereka untuk beriman? (Yunus 99). Bahkan, sejumlah
hadis meriwayatkan larangan bagi seorang suami memaksa isterinya yang non-Muslim untuk masuk
Islam. Sebaliknya, para suami harus menemani isteri mereka pergi beribadah ke gereja, jika mereka
diminta.
Prinsip pluralisme sangat jelas terbaca pada ayat-ayat Al-Qur’an, seperti QS. Al-Baqarah, 2:256
(tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun, 1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus,
99 (larangan memaksa orang memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab agar selalu
mencari titik temu atau kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil,
dan menolong kelompok non-Muslim yang tidak memusuhi dan tidak mengusir mereka). Bahkan,
terhadap Fir’aun, sosok manusia yang paling jahat karena berani mengaku Tuhan sekali pun, Al-Qur’an
5
6
tidak memberikan label sesat, hanya mencap dia sebagai orang yang melampaui batas. Alih-alih
menghancurkan, Allah malah menyuruh Harun dan Musa agar berkata lembut kepada Fir’aun dengan
harapan dia akan kembali mengingat Allah dan kembali takut kepada-Nya (Thaha, 20:43-44). Memang
betul ada sejumlah ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk memerangi kaum musyrik, tapi itu hanya
berlaku dalam situasi perang dan dibenarkan dalam kondisi mempertahankan diri.
Al-Qur’an berisi banyak sekali ayat yang mendorong dialog di antara manusia. Bahkan, tidak
sedikit ayat mencontohkan ungkapan Tuhan berdialog dengan hamba-Nya. Sebagai contoh dalam surah
Al-Waqi’ah, 56: 63-73. Dalam ayat-ayat tersebut Allah bertanya kepada manusia: “Tahukah kalian,
siapa yang menghidupkan tanaman? Kalian yang menghidupkan atau Kami?”; “Coba amati air yang
kalian minum! Kalian yang menurunkan dari awan atau kami?”; “Coba amati api yang keluar dari
gesekan kayu kering! Kalian yang menumbuhkan kayu itu atau kami?”
Redaksi ayat-ayat tersebut demikian indahnya memberi contoh cara berkomunikasi yang
dialogis. Jika Allah menghendaki, bisa saja Dia menggunakan kalimat yang arogan, seperti “Kalian
harus tahu bahwa saya inilah pencipta kalian, yang menciptakan air” Namun, faktanya, Allah memilih
redaksi yang dialogis. Pesan moral dibaliknya adalah agar manusia menggunakan nalar kritis dan
menjadikan dialog sebagai media utama dalam interaksi sosial. Dialog yang kritis adalah pilar penting
dalam membangun demokrasi.
Sayangnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai perdamaian, humanisme, pluralisme
dan inklusifisme itu belum banyak disosialisasikan dan diimplementasikan secara konkret di
masyarakat. Para pemuka agama Islam hendaknya menyadari hal ini dan menjadikannya sebagai
program utama dalam aktivitas dakwah mereka.
Faktor-faktor Pendukung Toleransi Beragama di Indonesia
Paling tidak ada empat faktor yang harus dijaga untuk merawat toleransi beragama yang sudah
dengan baik diwariskan oleh para pendiri Indonesia. Pertama, faktor kultural. Perlu mempertahankan
kultur yang mengedepankan toleransi melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Mulai dari
pendidikan keluarga. Para orang tua harus sungguh-sungguh menanamkan kepada anak-anaknya rasa
hormat pada orang lain, termasuk mereka yang berbeda suku, bahasa dan agama. Rasa hormat dan
kasih sayang kepada mereka yang berbeda akan menjadi modal sosial bagi anak kelak dalam pergaulan
sosial. Selanjutnya, dalam pendidikan formal, pengajaran agama harus lebih banyak menanamkan nilainilai kemanusiaan uiniversal, seperti rasa empati, keadilan, kesopanan, kebenaran, kejujuran, kesetiaan,
solidaritas, kebersihan dan keindahan.
Kedua, faktor struktural. Terdapat sejumlah kebijakan publik dan undang2 diskriminatif
terhadap umat beragama, khususnya kelompok minoritas. Di antaranya:
1) UU PNPS 1965 tentang anti penodaan agama. UU itu berisi larangan membuat tafsir yang
berbeda dengan tafsir mainstream. Membuat interpretasi berbeda dituduh sebagai penodaan agama.
Negara hanya mengklaim satu tafsir sebagai tafsir mainstream dan menolak tafsir lain. Kita tahu bahwa
dalam sejarah agama-agama, tidak ada tafsir tunggal. Sebab, bicara agama selalu berujung pada tafsir
yang beragam. Dalam konteks Islam, tafsir mainstream itu adalah tafsir MUI. Dewasa ini dimana MUI
dipengaruhi kelompok pendukung intoleran melahirkan pandangan yg problematik. Misalnya, fatwa
MUI tentang pengharaman pluralisme, sekularisme dan liberalisme; pengharaman ucapan Selamat
Natal; memandang sesat Ahmadiyah; dan memandang sesat Islam Syi’ah. Secara langsung atau tidak,
fatwa MUI punya andil bagi timbulnya berbagai kekerasan berbasis agama.
2) Surat Edaran Mendagri 1978, diperkuat dengan UU Administrasi Kependudukan (2006)
menyebut hanya 5 agama diakui negara, lalu Surat Edaran Presiden 2006 memasukkan KongHucu
sebagai agama diakui. Ketiga keputusan ini bertentangan dengan Konstitusi 1945 yang menjamin
kemerdekaan setiap warga negara untuk beragama sesuai keyakinan masing-masing. Akibatnya, para
6
7
penganut agama selain 6 agama dimaksud tidak boleh mengekspresikan agama mereka dalam kartu
identitas (KTP), Akta Nikah dan surat resmi lainnya. Umumnya, penganut Baha’i, menyebut dlm KTP
beragama Islam, demikian pula komunitas Yahudi di Surabaya. Saya ingat pernah mengantar teman
perempuan beragama Baha’i ke kantor Kelurahan untuk mengambil KTP. Ketika dia menyebut Baha’i,
agamanya. Pak Lurah terkejut dan mengatakan tidak ada agama Baha’i dalam formulir KTP. Lalu, dia
bilang: “tulis agama Islam saja ya?” Saya heran, agama bisa diganti sesuka hati oleh pejabat
pemerintah.
Penelitian saya tahun 2003 menemukan sekitar 3000-an penganut agama Tolotang di Kabupaten
Sidrap. Mereka dilarang menuliskan agama Tolotang dalam KTP karena tidak termasuk dalam lima
agama yang diakui pemerintah. Lalu mereka diarahkan agar menuliskan dalam KTP sebagai penganut
Hindu, padahal ajaran agama mereka tidak ada hubungannya dengan Hindu. Tetapi untuk mendapatkan
pelayanan hak-hak sipil, mereka memilih beragama Hindu karena lebih mudah. Saya kemudian
menanyakan hal tersebut kepada Ditjen agama Hindu di kantor Kemenag di Jakarta. Dengan enteng
Ditjen menjawab: itu pilihan mereka, harus diapresiasi dan yang penting jumlah mereka dapat
menambah statistik penganut Hindu di Indonesia. Lama, baru saya mengerti bahwa itu artinya dana
pembangunan agama Hindu bertambah signifikan. Ujungnya, agama cuma soal politik dan anggaran.
3) TAP MPR 1978 tentang Aliran Kepercayaan. Di Indonesia terdapat sebanyak kurang lebih
10 juta penganut kepercayaan (indigenous religion) yang terbagi dalam 200 lebih aliran. Agama
mereka sudah eksis di Nusantara ini jauh sebelum datangnya agama-agama impor, seperti Islam,
Kristen, Hindu dan Budha. Namun, Tap MPR itu menyerukan agar para penganut aliran ini kembali ke
agama induk. Mereka bingung apa yg dimaksud agama induk? Bukankah mereka sudah ada terlebih
dahulu di wilayah ini?
4) SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah tahun 2006. Dinyatakan di dalamnya
pendirian rumah ibadah harus mendapatkan izin dari 60 orang dari lingkungan setempat. Aturan ini
dalam prakteknya susah dipenuhi bagi kelompok minoritas, termasuk kelompok Muslim di Kupang,
Minahasa dan Papua. Dalam keadaan damai, mungkin tidak sulit mencari dukungan 60 orang, tetapi
jika keadaan genting seperti sekarang, jangankan 60 orang, mencari dukungan 5 orang saja sulit.
5) SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tahun 2008 tentang
Ahmadiyah. Salah satu pasalnya berbunyi: larangan bagi Ahmadiyah menyebarkan ajarannya ke
publik. Ini sangat diskriminatif, kalau kelompok agama mayoritas boleh, lalu kenapa mereka dilarang?
Menurut saya, sesuai konstitusi dan sejumlah aturan HAM, setiap orang boleh menyebarkan agama
sepanjang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan manipulasi, seperti upaya mengeksploitasi
kemiskinan dan kebodohan masyarakat. Misalnya, dalam bentuk memberi bantuan kemanusiaan agar
masyarakat mau konversi agama. Tugas negara mengawasi secara adil dan netral agar tidak terjadi
penyimpangan. Barang siapa menyimpang harus dihukum secara tegas.
ICRP mencatat ada sebanyak 147 UU yang diskriminatif dalam hal agama. Selama undangundang itu dibiarkan, sangat berpotensi menimbulkan perilaku kekerasan dalam masyarakat. Perlu
upaya reform dan menghadirkan undang-undang baru yang lebih akomodatif terhadap prinsip toleransi
dan pluralism, serta sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ketiga, faktor teologis. Setiap agama mengandung klaim kebenaran atas dirinya. Karena itu,
perlu membangun interpretasi agama yang lebih ramah terhadap kelompok lain. Misalnya, saya
mengakui Islam adalah agama paling baik. Namun, klaim itu tidak menghalangi saya untuk
berkomunikasi dan bersahabat dan bahkan bekerjasama dengan orang lain yang berbeda agama. Inilah
pentingnya membangun pluralisme agama. Di dalamnya ada sikap menghormati orang yang berbeda
dan berkomitmen kuat untuk membangun damai dengan mereka. Jadi, kata kuncinya adalah respek,
hormat terhadap sesama walau berbeda agama.
7
8
Keempat, faktor politik. Pemerintah harus tegas dan netral menghadapi kelompok intoleran
dan anarkis. Pemerintah harus tegas berpijak pada Pancasila dan Konstitusi. Aparatur penegak hukum:
polisi, hakim dan jaksa harus kuat dan berwibawa. Mereka tidak boleh tunduk pada kelompok yang
mengatasnamakan umat atau Tuhan. Era demokrasi sejak 1998 telah disalahgunakan oleh kelompokkelompok tertentu yang di masa Orde Baru tidak punya kesempatan untuk mengekspos ide-ide mereka.
Sekarang atas dalih demokrasi mereka memanfaatkan kesempatan menyuarakan ide-ide dan gagasan
mereka yang berbeda, bahkan bertolak-belakang dengan cita-cita demokrasi. Bagi mereka, demokrasi
hanyalah urusan prosedural, bukan esensial. Sebab, tujuan mereka pada akhirnya adalah membangun
sistem teokrasi, bukan demokrasi.
Selain itu, proses desentralisasi melahirkan euforia di tingkat pemerintahan daerah, baik di
kabupaten/kota maupun di provinsi. Semua daerah berlomba mengangkat hal-hal yang dianggapnya
khas daerah atau kearifan lokal. Anehnya yang lahir justru perda-perda agama yang inkonstitusional
serta diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas agama. Semua ini merupakan
gangguan bagi toleransi beragama dan upaya demokratisasi di Indonesia.
Rekomendasi
Pertama, melakukan dialog secara rutin dan teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat
lokal agar tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal di antara mereka. Melalui kegiatan ini
mereka akan mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan
merevitalisasi kemampuan management of conflict sebagai instrumen kultural untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari melalui local wisdom yang berakar dalam
pengalaman masyarakat itu sendiri.
Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal
sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang
menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain. Lebih dari itu diharapkan
mereka bisa secara bersama mencari titik-titik temu untuk mengembangkan etik sosial yang mengikat
kehidupan bersama.
Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga diadakan
kuliah umum tentang agama-agama dari ahlinya masing-masing sehingga para mahasiswa mengetahui
perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama,
seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahasiswa
masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di
perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka
kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari
berbagai umat.
Keempat, kita perlu mewujudkan UU Perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sebab, perlindungan ini merupakan prinsip penting dalam negara demokrasi yang menghormati HAM.
Di Indonesia, prinsip ini telah ditegaskan dalam landasan bernegara. Tidak hanya Konstitusi, tapi juga
peraturan hukum lain, seperti UU HAM Tahun 1999. Konstitusi telah menegaskan kebebasan ini
sebagai hak asasi setiap warga negara. Hak ini bersifat fundamental yang tidak boleh dibatasi dan
dikurangi dalam kondisi apa pun. Pentingnya prinsip itu juga didasarkan pada kebutuhan faktual bahwa
masyarakat kita sangat majemuk yang terdiri dari berbagai golongan, seperti tercermin dalam agama
dan kepercayaan yang plural di masyarakat. Sebagai fundamen yang membentuk bangsa ini, maka
menjaga dan melindungi kemajemukan adalah hal yang mutlak. Tidak sekedar pengakuan, tapi juga
kepastian semua entitas (semua pemeluk agama, termasuk yang tidak memeluk agama pun) memiliki
ruang yang sama untuk hidup dan berkembang di negeri ini.
8
9
Akhirnya, ke depan, saya sangat berharap pemerintah melalui KEMENAG secara serius
merespon isu intoleransi ini melalui upaya-upaya berikut: meningkatkan kualitas guru-guru agama
sehingga pendidikan agama sungguh-sungguh meningkatkan kualitas spiritual masyarakat. Melatih
para penyuluh agama dan membekali mereka dengan pengetahuan kewarganegaraan dan prinsipprinsip HAM. Demikian pula para pimpinan ormas keagamaan diikutsertakan menjadi pemantau
kehidupan umat beragama. Dengan harapan perilaku keagamaan kita tidak bertentangan dengan nilainilai demokrasi yang menjadi acuan para pendiri bangsa. Dan terakhir, tapi tidak kurang pentingnya
adalah pemerintah dan negara bersungguh-sungguh mengamalkan konstitusi terkait menjamin
kebebasan beragama bagi semua warga tanpa kecuali. Tentu tidak ada kebebasan yang bersipat mutlak,
namun setiap kebebasan selalu diikuti rasa tanggungjawab untuk menjaga ketertiban dan keselamatan
semua warga tanpa diskriminasi sedikit pun. Semua warga harus sadar akan kewajiban moral ini.
9
Download