kedudukan dan tanggung jawab hukum pengelola

advertisement
KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM
PENGELOLA GUDANG MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM RESI GUDANG1
Oleh:
Sri Kuswinarni2
Siti Zulaekhah3
Bayu Akhmad Faisal4
Sahda Sabila Wardhana5
Fakultas Hukum Universitas Pekalongan
e_mail : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan dan tanggung jawab hukum
Pengelola Gudang menurut Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi
Gudang.
Untuk mengungkap tujuan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan tipe
penelitian hukum doktrinal dengan rancangan penelitian yang mencakup :
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dengan
berbasis pada data sekunder yang dicari melalui metode penelusuran pustaka dan
inventarisasi perundang-undangan untuk data yang berupa bahan hukum. Analisi
menggunakan model Miles dan Huberman yang pada prinsipnya mencakup 3 (tiga)
tahapan kegiatan yakni reduksi data, display data, dan verifikasi/penarikan
kesimpulan.
Penelitian ini menghasilkan : Pertama, Pengelola Gudang merupakan satu bagian
dalam Sistem Resi Gudang sehingga memiliki keterkaitan hubungan hukum dalam
sistem tersebut. Kedua, tanggung jawab hukum Pengelola Gudang mencakup
pertanggungjawaban terkait kepailitan dan pertanggungjawaban terkait kelalaian
terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
Batasan Harta atau budel pailit Pengeleola Gudang tergantung dari status gudang
tersebut. Apabila gudang dimiliki sendiri oleh pengelola gudang, maka harta
kekayaannya mencakup tanah, bangunan, dan peralatan yang dimilikinya.
Sedangkan apabila gudang bukan milik Pengelola Gudang, maka harta kekayaan
tidak termasuk didalamnya.
1
Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian kami yang berjudul :”Kedudukan dan
Tanggung Jawab Hukum Pengelola Gudang Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2011
tentang Sistem Resi Gudang” dan penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Hukum Universitas
Pekalongan
2
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Pekalongan dengan kompetensi keilmuan Hukum
Jaminan dan Hukum Kontrak
3
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Pekalongan dengan kompetensi keilmuan Hukum
Perusahaan
4
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pekalongan
5
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pekalongan
8
Kata kunci : Sistem Resi Gudang, Pengelola Gudang, Lembaga Jaminan Resi
Gudang.
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi yang sangat pesat mencipatakan peluang bisnis
baru dalam berbagai bidang. Hal tersebut secara serta merta mendorong lahirnya
kegiatan-kegiatan dan kelembagaan-kelembagaan serta perangkat yang baru pula.
Sarana pendanaan yang harus disertai dengan jaminan sebagai ikatan kepercayaan
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut. Sejak
zaman penjajahan Belanda, di Indonesia sebenarnya telah tersedia sistem jaminan
kebendaan diantaranya hypotheek untuk benda tetap (tanah) dan kapal laut dengan
berat diatas 20 m3 sebagaimana diatur dalam pasal 314 KUHD, Kapal-kapal
Indonesia yang isi 20 kotornya berukuran paling sedikit dapat dibukukan dalam
register kapal menurut peraturan, yang akan diberikan dengan ordonansi tersendiri.
Namun, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria berikut peraturan pelaksanaannya, ketentuan tentang hypotheek tidak lagi
berlaku untuk objek jaminan berupa tanah dan diganti dengan lembaga jamainan
Hak Tanggungan.
Senyampang dengan jaminan dengan obyek benda-benda tidak bergerak
sebagaiman telah dibahas sebelumnya, Indonesia juga telah memiliki perangkat
pengaturan dengan objek jaminan benda bergerak berupa lembaga jaminan
pegadaian dan lembaga jaminan fidusia. Pada lembaga jaminan pegadaian, debitur
saat mebutuhkan pendanaan menitipkan barang jaminannya pada kreditur (lembaga
pegadaian) untuk jangka waktu tertentu sebagamana disebutkan dalam
perjanjian.Sebaliknya, pada lembaga jaminan Fidusia, saat debitur membutuhkan
dana, benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada pada tangan debitur.
Perkembangan lembaga jaminan fidusia tersebut disebabkan kegiatan bisnis secara
empiris membutuhkan keleluasaan berupa ketersediaan dana serta keleluasaan
penguasaan benda obyek jaminan yang tetap berada di tangan debitor sehingga
kredit sebagai modal tersedia tanpa harus melepaskan
benda-benda tersebut
sebagaimana diatur diatur dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Fidusia.
9
Meski sudah sedemikian leluasa dengan lengkapnya perangkat hukum
tetnang lembaga-lembaga jaminan tersebut, Pemerintah Indonesia memandang
perlunya lembaga jaminan baru yang menyesuaikan terkait ciri khusus Indonesia
sebagai
negara
agraris
yakni
lembaga
jaminan
dengan
sistem
resi
gudang.Tersedianya hasil panen yang sangat melimpah dan berpotensi
menggerakkan roda perdagangan, diperlukan tersedianya sebuah sistem yang
mampu menjamin kelancaran produksi dan distribusi hasil panen tersebut.
Kelancaran produksi memerlukan jaminan ketersediaan pendanaan yang memadai
sedangkan kelancaran distribusi bisnis tersebut membutuhkan tempat untuk
penyimpanan sementara komoditas.
Tingginya kemungkinan ketidakpastian dalam kegiatan pertanian, terutama
saat menghadapi masa panen yang pada umumnya terjadi secara serentak untuk
komoditas tertentu, baik menyangkut waktu masa panen maupun panen atas
komoditas pertanian sejenis secara bersamaan, memerlukan ruangan penyimpanan
secara khusus dan sistem pendanaan secara leluasa. Menanggapi perkembangan
tersebut, Pemerintah menerbitkan Undang-undang no. 9 tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun
2011. Sebagai sebuah sistem, resi gudang melibatkan pengelola gudang yang harus
berbadan hukum perseroan terbatas, kreditor sebagai penyedia dana(lembaga
perbankan), pengelola lelang serta debitur itu sendiri. Berdarkan data di surat kabar6
warehouse (gudang) merupakan daftar investasi yang diminati pihak asing. Hal ini
menunjukkan, minat investor bidang pergudangan sangat prospektif, sementara
pada sisi lain Indonesia sangat membutuhkan Gudang sebagai tempat penyimpanan
barang komoditas pertaninan.
Sepanjang pengetahuan peneliti, gudang digunakan sebagai tempat
penyimpanan barang-barang dagangan sejak beroperasinya VOC ( Verenigde Oost
Indische Compagnie) di Indonesia. Sejarah menyebutkan, pada tanggal 30 Mei
tahun 1619 Jon Peterszoon Coen melakukan penyerangan t erhadap Banten,
memukul mundur tentara Banten. Batavia sebagai pusat Militer dan administrasi
yang relative aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang.7
6
7
Harian Nasional Kompas, tahun 2013
himse89.blogspot.com/2011/05/sejarah VOC-di-Ind.html
10
Seiring berkembangnya waktu, terutama terkait dengan bidang pertanian
yang usahanya sangat dipengaruhi oleh masa panen disamping terbatasnya akses
dan jaminan kredit, gudang memiliki fungsi yang sangat setrategis. Oleh karena
penelitian ini bermaksud menganalisis tanggung jawab dan kedudukan hukum
pengelola gudang menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi
Gudang.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitihan doktrinal atu penelitian
yuridis normatif yang difokuskan pada penelahaan data sekunder saja. Data tersebut
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis. Pertama, bahan hukum primer, yakni bahan
hukum yang berupa Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang penyerahan
benda tetap dan benda bergerak serta perjanjian kredit, Undang-undang Nomor 42
tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-undang Nomor 9 tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang
Jaminan dengan Sistem Resi Gudang, Undang-undang Nomor 1 tahun 1995
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, dan
peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Bahan hukum sekunder berupa
pendapat/analisis para ahli hukum terhadap sistem resi gudang yang berlaku di
Indonesia, Naskah Akademik Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang serta
hasil-hasil penelitian tentang resi gudang yang telah dilakukan sebelumnya. Analisa
data menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian
disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang akan dibahas. Dalam analisis data menggunakan model
Miles dan Huberman yang secara singkat terdiri atas tiga tahapan: Pertama reduksi
data, yang merujuk pada proses pemilihan, pemokusan, penyederhanaan, abstraksi,
dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan lapangan tim
peneliti. Kedua display atau model data yakni sekumpulan informasi yang tersusun
11
dan membolehkan pendeskripsian kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga
penarikan/ verifikasi kesimpulan yang dengan sendirinya sudah dimulai sejak
permulaan pengumpulan data awal sebagai proses untuk memutuskan apakah
“makna” sesuatu, mencatat keteraturan, penjelasan, pola-pola, konfigurasi yang
mungkin, alur kausal, dan proposisi-proposisi.
HASIL PENELITIHAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hasil dan pembahasan penelitihan ini bisa dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu Pertama mengenai Kontruksi Yuridis Jaminan Kebendaan dengan Sistem Resi
Gudang dalam Hukum Positif di Indonesia. Kedua mengenai Kedudukan Hukum
Pengelola Gudang dalam Sistem Resi Gudang dan ketiga mengenai Tanggung
jawab Hukum Pengelola Gudang.
Dasar hukum dalam Sistem Resi Gudang Penggunaan Resi Gudang sebagai
jaminan kredit pertama kali diatur dalam UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
Gudang beserta peraturan pelaksanaannya. Undang-undang tersebut secara pokok
berisi 8 (delapan) Bab yang dijabarkan dalam 46 pasal. Melalui UU No. 9 Tahun
2011, ketentuan sebelumnya diubah dengan revisi beberapa Bab dan Pasal. Revisi
yang mendasar diantaranya adalah adanya penambahan 2 (angka) yakni angka 14
dan 15 tentang pengaturan lembaga jaminan yang merupakan upaya
antisipatif/preventif apabila pengelola gudang mengalami kegagalan, kelalaian atau
ketidakmampuannya dalam mengelola gudang. Penambahan tersebut dipertegas
dengan penambahan Bab IVA yang dirinci dalam 9 (Sembilan) pasal.
Alasan yang mendasar atas perubahan tersebut berdasarkan penjelasan
Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 adalah adanya beberapa kelemahan yang
menghambat perkembangan Resi Gudang diantaranya adalah tidak tersedianya
mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola
Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan
(mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan
barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera
dalam Resi Gudang. Pengaturan Lembaga Jaminan Resi Gudang juga dimaksudkan
agar biaya penjaminan relatif terjangkau serta adanya kewajiban Pengelola Gudang
12
untuk menjadi anggota Lembaga Jaminan Resi Gudang dan membayar sejumlah
uang (iuran) ke Lembaga Jamainan Resi Gudang. Pembentukan Lembaga Jaminan
Resi Gudang bertujuan untuk membangun kepercayaan pelaku usaha (Pemegang
Resi Gudang, Bank, dan Pengelola Gudang) terhadap integritas Sistem Resi
Gudang.
Peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut adalah Peraturan
Pemerintah (PP Nomor 36 Tahun 2007), Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag Nomer 26 Tahun 2007), dan berbagai Peraturan Kepala Bappeti juga
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/PBI/6/2007 tentang
Perubahan Kedua Atas PBI Nomor 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Umum yang berlaku mulai tanggal 2 April 2007. Dalam ringkasan PBI 9/2007
disebutkan bahwa penambahan jenis agunan dapat menjadi faktor pengurang PPA
(Penyisihan Penghapusan Aktiva). Mesin yang merupakan kesatuan dengan tanah
diikat dengan Hak Tanggungan, sedangkan Resi Gudang diikat dengan Hak
Jaminan Atas Resi Gudang.8
PBI 9/2007 menjadi dasar untuk menggunakan Resi Gudang sebagai agunan
kredit baru selain tanah, rumah, dan aset lainnya. Petani dapat mengajukan
permohonan kredit modal kerja kepada lembaga perbankan dengan dokumen resi
gudang yang dimilikinya. Agunan Resi Gudang yang berupa gabah, beras, jagung
dan rumput laut bisa langsung dijual dalam waktu singkat dibandingkan agunan
yang berupa rumah atau tanah yang membutuhkan proses lama untuk menjualnya.
Agunan Resi Gudang juga lebih tegas aturan hukumnya dalam penjualan agunan
macet atas kekuasaan kreditor (penerima hak jaminan) tanpa melalui fiat/penetapan
Pengadilan (Parate Executie).
Sebelum pengaturan Resi Gudang sebagai salah satu sistem jaminan
kebendaan secara tegas diatur dalam hukum positif Indonesia, Pemerintah Belanda
jauh-jauh sudah mengakomodir perkembangan tersebut dalam konteks yang lain,
yakni kualifikasinya sebagai surat berharga. Menurut HMN Purwosoetjipto9,
terdapat salah satu jenis surat berharga bejenis Ceel yang artinya surat bukti
penyimpanan barang-barang dalam gudang yang bisa diperjualbelikan. Namun
8
9
Iswi Hariyani dan R. Serfianto,2010, hlm. 60
HMN Purwosotjipto,2007, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Jakarta : Djambatan
13
demikian, peredaran dan keberadaan ceel masih terbatas pada perbuatan hukum jual
beli dan belum meluas pada pembebanan surat berharga tersebut sebagai jaminan
utang.
Kedudukan Hukum Pengelola Gudang dalam Sistem Resi Gudang diatur
dalam Pasal 23 menyebutkan bahwa Pengelola Gudang harus berbadan usaha
berbadan hukum. Undang-undang Nomor
9 tahun 2006 mengatur Pengelola
Gudang secara sangat terbatas. Pengaturan tersebut mendapatkan pengkhususan
dan pengaturan lebih lanjut dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
36 tahun 2007 yang menyebutkan, Pengelola Gudang harus berbentuk badan usaha
berbadan hukum yang bergerak khusus di bidang jasa pengelolaan gudang dan telah
mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas. Baik Undang-Undang maupun
Peraturan Pemerintah, keduanya
tidak memberikan pembatasan tentang
jenis/kualifikasi badan hukum Pengelola Gudang, dengan demikian maka
Pengelola Gudang bisa berbadan hukum Perseroan Terbatas, Persero maupun
Perum bahkan Koperasi. Penegasan kewajiban bentuk badan usaha Pengelola
Gudang yang diharuskan Berbadan Hukum sesuai dengan maksud diaturnya Resi
Gudang sebagai salah satu lembaga Jaminan Kebendaan baru di Indonesia dan
melengkapi lembaga jaminan yang sudah ada sebelumnya. Penjelasan pasal 12 ayat
(1) merupakan rasionalitas yuridis yang sangat kuat terhadap keberadaan lembagan
Jaminan Kebendaan baru dengan menggunakan Resi Gudang yang menyebutkan
bahwa
berdasarkan lembaga jaminan kebendaan yang sudah ada ( Hak
Tanggungan, Gadai, dan Fidusia) maupun karena sifatnya, Resi Gudang tidak dapat
dijadikan obyek yang dapat dibebani oleh satu diantara bentuk jaminan tersebut.
Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk menampung kebutuhan Pemegang
Resi Gudang atas ketersediaan dana melalui lembaga jaminan tanpa harus
mengubah bangunan hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan yang sudah ada.
Lembaga Pengelola Gudang hanyalah salah satu dari banyak pihak yang
terlibat dalam Sistem Resi Gudang disamping pihak lainnya yang mencakup
lembaga keuangan (bank/non bank), Pusat Registrasi Resi Gudang, Badan
Pengawas Sistem Resi Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, serta Lembaga
Jaminan Resi Gudang.
14
Secera skematis, kedudukan hukum Pengelola Gudang dalam Kelembagaan
Sistem Resi Gudang tertuang dalam gambar 1 berikut :
Menteri Perindustrian
dan Perdagangan
Lembaga Jaminan
Resi Gudang
Pengelola Gudang
Badan Pengawas Sistem
Resi Gudang
Lembaga
Penilaian
Kesesuaia
n
Pusat Registrasi
Lembaga
Keuangan Bank
Penerima Hak
Jaminan
Lembaga
Keuangan
Bukan Bank
Hasil panen dititipkan pada Pengelola Gudang untuk disimpan dalam
gudang, apabila pemiliki barang menghendaki untuk membebani barang-barang
yang disimpannya untuk dijadikan jaminan utang. Sebagaimana ketentuan dasar
dalam hukum jaminan, apabila pemilik barang memenuhi prestasi sesuai dengan
waktu yang telah diperjanjikan, maka hubungan hukum utang-piutang sudah selesai
secara hukum. Perjanjian utang-piutang merupakan perjanjian asesoir bahwa
apabila perjanjian pokoknya telah terpenuhi, maka perjanjian jaminan sebagai
perjanjian ikutan demi hukum menjadi berakhir. Namun, apabila debitur
mengalami wanprestasi (ingkar janji), maka terdapat dua kemungkinan terhadap
cara pemenuhan prestasi karena ingkar janji tersebut. Adapun kedua cara tersebut
mencakup : penjualan secara langsung maupun melalui lelang umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan dengan persetujuan Badan Pengawas. Mengacu
pada pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2011, yang dimaksud
dengan Lelang Umum apabila debitur (pemilik barang) yang dititipkan di gudang
ingkar janji, adalah penjualan barang di muka umum yang dilaksanakan pada waktu
dan tempat tertentu yang harus didahului dengan pengumuman lelang melalui cara
15
Pedagang
Berjangka
penawaran terbuka atau secara lisan dengan harga makin naik makin naik atau
makin menurun atau dengan cara penawaran tertulis dalam amplop tertutup.
Tanggung Jawab Hukum Pengelola Gudang Terkait dengan Kepailitan
Salah satu hal yang perlu kita garisbawahi dari pengaturan lembaga jaminan dengan
Sistem Resi Gudang sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Undang-undang
Nomor 9 tahun 2011 adalah bahwa salah satu kunci dalam Sistem Resi Gudang
adalah kelayakan gudang (Warehouse Ability) dengan harapan dapat meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan para petani serta menetapkan
strategi jadwal tanam dan pemasarannya. Sebagai dasar perikatan antara pengelola
dengan pemegang resi gudang/pemilik barang yang disimpan (inventori), pengelola
gudang diwajibkan untuk membuat perjanjian pengelolaan barang secara tertulis
dengan pemilik barang atau kuasanya. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya
memuat : identitas para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu
penyimpanan, serta deskripsi barang.
Tanggung
jawab
utama
pengelola
gudang
adalah
melaksanakan
pengelolaan gudang dengan baik dan menyerahkan semua barang yang
dititipkannya sesuai dengan jumlah dan mutu yang tercantum dalam Resi Gudang
kepada pemiliknya sebagaimana diatur dalam pasal 27. Menurut pasal tersebut,
pengelola gudang bertanggung jawab atas kesalahan penulisan keterangan dalam
Resi Gudang serta bertanggung jawab atas kehilangan dan/atau kerugian barang
yang disebabkan oleh kelalaiannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 yang merupakan
perubahan dari Undang-undang Nomor 9 tahun 2006, besarnya resiko yang
mungkin dialami oleh Pengelola Gudang diatasi dengan pengaturan mekanisme
jaminan yang relatif terjangkau yang dimaksudkan agar apabila suatu saat
Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan
(mishandling) sehingga tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan
barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera
dalam Resi Gudang. Kepailitan dan kelalaian Pengelola Gudang dalam
melaksanakan prestasinya yang diatur dalam Undang-Undang tersebut merupakan
ius constituendum yang lebih bersifat antisipatif dan memberikan perlindungan
serta jaminan hukum kepada pemegang resi gudang.
16
Kemungkinan kepailitan
sebagai salah satu sebab tidak dilaksanakannya prestasi oleh Pengelola Gudang
perlu mendapakan pengkajian yang lebih dalam terutama kaitannya kewajiban
bahwa pengelola gudang harus berbadan usaha berbadan hukum serta batasan harta
kekayaan yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, kepailitan hanya
bisa dijatuhkan terhadap badan usaha yang berbadan hukum secara kelembagaan.
Secara teoritis, badan hukum merupakan salah satu subyek hukum yang diakui
dalam lalu lintas hukum. Subyek hukum terbagi atas subyek hukum dalam artian
orang (natuurlijk person) dan subyek hukum yang terjadi karena hukum
(rechtspersoon). Untuk menganalisis lebih dalam tentang Badan Hukum, perlu
ditelaah lebih mendalam tentang syarat-syarat Badan Hukum menurut beberapa ahli
hukum.
Perseroan Terbatas merupakan salah satu kemungkinan pilihan badan
hukum Pengelola Gudang, yang sudah memenuhi syarat bagi suatu subyek hukum
yang dapat memiliki hak dan kewajiban sendiri dan dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang untuk bertindak sebagai subyek hukum. Adapun unsur-unsur
tersebut mencakup10 : (HMN. Purwosutjipto, 2008 : 90)
1) Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero
(pemegang saham), dengan tujuan untum membantuk sejumlah dana sebagai
jaminan dari semua perikatan perseroan.
2) Adanya pesero (pemegang saham) yang tanggung jawabnya terbatas pada
jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam
organisasi
perseroan
yang
berwenang
mengangkat
dan
memberhentikan direksi dan komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar
kebijaksanaan menjalankan perusahaan,, menetapkan hal-hal yang belum
ditetapkan dalam anggaran dasar dan lain-lain.
3) Adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu kesatuan
pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya
terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar dan/atau
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
10
H.M.N., 2008, Hukuam Dagang tentang Bentuk-bentuk Perusahaan, Jakarta : Djambatan,
hlm.90
17
Sedangkan menurut Molengraaff dalam R. Soekardono11 ( 1981 :192)
menyatakan bahwa istilah-istilah Badan Hukum (rechtspersoon) atau kedudukan
sebagai badan hukum (rechtspersoonlijkheid) sebagai demikian memiliki hak
hidup, hak diakui (recht van bestaan). Molengraaff mensyaratkan bahwa badan
hukum :
“Dengan
perbuatan-perbuatan
yang
dilakukan
atas
nama
suatu
perkumpulan, semuanya anggota bersama terikat atau semua bersama
mendapatkan hak atas yang diperolehkan atas nama perkumpulan. Jadinya
dengan cara bersama-sama tentunya sebagai kesatuan didapatkan hak-hak
atau kewajiban-kewajiban perseroan para anggota itu”.
Sebagai sebuah badan hukum, PT memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari
kekayaan persero masing-masing.
a. Perlindungan terhadap Kekayaan dan Modal Perseroan Terbatas
Perlu dikaji secara khusus bahwa kekayaan PT berbeda dengan modal
dasar PT. Menurut Soekardono kekayaan perseroan berbeda dengan modal
perseroan. Modal perseroan menunjukkan berapakah maksimal menurut akta
perseroan harus disetor oleh para pemegang saham bersama. Penyetoran ini
biasanya tidak sekaligus dikerjakan. Menurut pasal 51 KUHD, PT tidak dapat
dimulai bekerja (sebagai badan hukum dalam dunia perusahaan) sebelum minimal
10 % dari modal perseroan sungguh telah disetor. Ketentuan tersebut telah
diperbarui melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 yang kini telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tlah mengatur batasan angka penyetoran
modal oleh masing-masing pemegang saham. Menurut pasal 26, pada saat
pendirian, sekurang-kurangnya 25 % dari Modal Dasar harus sudah ditempatkan.
Dari angka tersebut, 50 %nya harus disetor (dibayar) sesuai dengan jumlah nominal
pada masing-masing lembar saham yang dikeluarkan. Seluruh saham yang telah
dikeluarkan PT pada saat pengesahan PT sebagai badan hukum harus disetor penuh
11
R. Soekardono, 1981, Hukum Dagang : Jilid I (bagian kedua), Cetakan keempat, Jakarta : PT.
Rajawali Pers , hlm. 192
18
dengan bukti penyetoran yang sah, sedangkan pengeluaran saham setelah PT
mendapatkan status badan hukum, harus disetor penuh.
Undang-undang tersebut mengatur bahwa PT baru dapat menjalankan
sebagai badan hukum apabila saham-saham yang telah diterbitkan dibayar lunas
oleh para pemegangnya pada saat pengesahannya sebagai badan hukum. Ketentuan
tersebut berbeda dengan aturan dalam KUHD yang hanya menentukan modal dasar
10 % untuk bisa memulai menjadi badan hokum
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 sebagai undang-undang yang terbaru
lebih tegas dalam mengatur tentang modal dasar perseroan. Ketegasan tersebut
terlihat dari adanya peraturan bahwa setiap saham yang dikeluarkan harus disetor
penuh oleh para pemegangnya. Bisa dikatakan bahwa modal yang ditempatkan
harus sama dengan modal yang disetor sehingga para pemegang saham tidak
memiliki utang kepada perseroan. Tidak seperti undang-undangan sebelumnya
(KUHD maupun Undang-undang Nomor 1 tahun 1995), Undang-undang ini hanya
memperbolehkan
perseroan
menerbitkan
saham
atas
nama
dan
tidak
memperkenankan lagi penerbitan saham atas tunjuk (saham blanko). Meskipun
larangan tersebut hanya tersirat dalam pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 40
tahun 2007 yang menegaskan bahwa saham perseoran diterbitkan atas nama
pemiliknya. Penjelasan pasal tersebut mempertegas bahwa Perseroan hanya
diperkenankan menerbitkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak
diperkenankan menerbitkan saham atas tunjuk. Pengaturan ini merupakan bukti
perlindungan hukum terhadap Perseroan Terbatas yang merupakan persekutuan
modal.
Berapa besar kekayaan PT, dapat diketahui dari pembukuan secara nyata,
berapakah yang sudah disetor. Penghitungan berapakah jumlah penagihan PT
terhadap pemegang-pemegang saham yang belum penuh penyetorannya dan lainlain penagihan misalnya kepada pihak ketiga, benda bergerak dan tetap yang
dimiliki perseroan. Jumlah aktiva tersebut harus dikurangi dengan hutang-hutang
perseroan. Dengan demikian, pengertian modal perseroan adalah sesuatu yang tetap
sebagaimana disebutkan dalam akta perseroan dan hanya dapat diubah oleh rapat
umum pemegang saham, perubahan mana masih memerlukan juga pemberian
pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM sebelum berlaku. Sebaliknya dan
19
dengan sendirinya, kekayaan PT merupakan sesuatu yang mungkin tiap hari
berubah (mutasi-mutasi dalam aktiva dan pasiva).
Upaya perlindungan terhadap kekayaan PT juga diatur secara tegas, baik
dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 maupun Undang-undang Nomor 40
tahun 2007. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 pasal 37 menyebutkan,
perlindungan modal dan kekayaan PT dilakukan dengan cara pembelian kembali
saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan pembelian kembali saham tersebut
tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah
modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan. Jumlah
nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham
atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau
Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh
Perseroan, tidak melebihi 10 % (sepuluh persen) dari jumlah modal yang
ditempatkan dalam Perseroan , kecuali diatur lain dalam peraturan perundangundangan di bidang Pasar Modal. Pasal tersebut menyempurkan ketentuan dalam
pasal 30 Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 yang mengatur bahwa pembelian
kembali saham yang telah dikeluarkan Perseroan untuk melindungi modal dan
kekayaan PT dengan syarat dibayar dengan laba bersih sepanjang tidak
menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari dari jumlah
modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini. Jumlah nominal seluruh saham yang dimiliki
bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang
dipegang, tidak melebihi dari 10 % (sepuluh persen) modal yang ditempatkan.
Perolehan saham, baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan
dengan ketentuan tersebut batal demi hukum dan pembayaran yang telah diterima
oleh pemegang saham harus dikembalikan kepada Perseroan. Untuk mempermudah
pembedaan, ditampilkan dalam tabel 1 sebagai berikut :
20
UNSUR-UNSUR
YANG
MEMBEDAKAN
Sumber
keuangan
untuk
membeli
kembali saham oleh
Perseroan
Akibat
pembelian
kembali saham oleh
Perseroan
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN
1995
Laba bersih Perseroan
UNDANGUNDANG NOMOR
40 TAHUN 2007
Tidak
ada
pembatasan
Tidak
menyebabkan
kekayaan
bersih
Perseroan
ditambah
cadangan
yang
diwajibkan
tidak
menjadi lebih kecil dari
modal
yang
ditempatkan
Struktur kepemilikan Perseroan dan anak
saham bersama dan perusahaan
pembebanan saham
Pembebanan saham
Gadai Saham
Tidak menyebabkan
kekayaan
bersih
Perseroan ditambah
cadangan
yang
diwajibkan
tidak
menjadi lebih kecil
dari modal yang
ditempatkan
Perseroan dan/atau
Perseroan lain
Gadai dan Fidusia
atas Saham
Paling lama 3 (tiga)
tahun
Batas
penguasaan
saham yang telah
dibeli kembali
Tabel 1 : Perbedaan prinsip perlindungan terhadap modal dan kekayaan
Perseroan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 dan Undangundang Nomor 40 tahun 2007.
Terdapat setidak-tidaknya 3 (tiga) perbedaan mendasar tentang
perlindungan modal dan kekayaan Perseroan. Pertama, Undang-undang Nomor 1
tahun 1995 membatasi sumber uang dengan apa pembelian kembali saham
dilakukan. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tidak melakukan pembatasan
dengan uang apa pembelian kembali saham dilakukan. Tidak adanya pembatasan
sumber keuangan menruut peneliti karena penekanan dari kedua undang-undang
tersebut adalah lebih pada akibat dari pembelian kembali saham oleh Perseroan
dengan ketentuan bahwa sumber uang untuk membali kembali saham secara
otomatis berasal dari laba bersih yang dimiliki perseroan sehingga kata-kata laba
bersih tidak lagi disebut dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Kedua,
struktur kepemilikan saham bersama dan pembebanan saham yang tidak boleh
melebihi dari modal yang ditempatkan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1995
membatasi bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan bersama adalah
kepemilikian antara induk perusahaan dengan anak perusahaan, sementara Undang21
undang Nomor 40 tahun 2007 yang dimaksud struktur kepemilikan bersama adalah
antara Perseroan dan/atau Perseroan lain. Dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya, undang-undang ini memperluas pembatasan tentang kepemilian atau
penguasaan bersama atas saham karena sangat berbeda lingkup antara Perseroan
dengan anak perusahaan dan Perseroan dan/atau Perseroan lain. Perseroan lain
mencakup baik anak perusahan maupun perseroan diluar perseroan yang
bersangkutan, anak perusahaan maupun kemungkinan perseroan lainnya yang
berkaitan.
sedangkan pembebanannya hanya dimungkinkan melalui lembaga
gadai. Hal tersebut masuk akal karena Undang-udang tentang Fidusia baru terbit
pada tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. pembebanan dengan menggunakan lembaga fidusia.
Pengaturan prinsip perlindungan terhadap modal dan kekayaan perseroan
yang sangat
ketat merupakan konsekuensi dari penegasan bahwa Perseroan
Terbatas merupakan Persekutuan Modal sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Sebagai persekutuan modal,
Perseroan Terbatas memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan uang kreditur
perseroan tersebut. Bukti perlindungan hukum terhadap kreditur terlihat dari
adanya ketentuan bahwa pada saat pendirian, sekurang-kurangnya 25% dari modal
dasar (jumlah keseluruhan modal dasar minimal Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)) harus ditempatkan dan disetor penuh.Ketentuan ini sekaligus menegaskan
tidak adanya kemungkinan para pemegang saham untuk membeli saham dari
perseroan dengan cara mengangsur. Modal yang ditempatkan (getsplaatst kapitaal)
menurut Soekardono adalah modal yang disanggupi akan dimasukkan kedalam
Perseroan oleh para pesero sedangkan modal yang sungguh telah dimasukkan
disebut sebagai modal yang disetor (gestort kapitaal). Modal yang disetor inilah
yang riil merupakan jaminan bagi para kreditur PT .12.
Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilihan hukum Pengelola Gudang
secara yuridis sudah sangat protektif terhadap kemungkinan terjadinya wanprestasi,
terutama yang disebabkan karena kepailitan. Kepailitan sebagaimana disebut dalam
Undang-undang Nomor 36 tahun 2004 baru bisa diajukan baik oleh kreditur
12
Ibid, hlm. 167
22
maupun debitur, kalao debitur memiliki sekurang-kurang 1 (satu) utang yang telah
jatuh tempo dan belum dibayar.
Menyambung ketentuan tersebut dan mengkaitkan prinsip yuridis
perlindungan terhadap modal dan kekayaan perseroan, terhadap pengelola gudang
sebagaimana diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007
juga diberikan pembatasan tentang kewajiban pengelola gudang untuk
mempertahankan kekayaan bersih minimal. Menurut ketentuan tersebut, Pengelola
Gudang wajib mempertahankan kekayaan bersih minimal sebagaimana ditetapkan
oleh Badan Pengawas. Ketentuan angka kuantitas minimal atas kekayaan bersih
pengelola gudang identik dengan pembatasan yang dilakukan undang-undang
Perseroan Terbatas terhadap kekayaan bersih yang harus dimiiki perseroan.
Senyampang dengan hal tersebut, pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata sebenarnya telah mengatur ketentuan umum tentang kedudukan harta
kekayaan debitur dimana semua benda bergerak dan tidak bergerak dari debitur
baik yang sudah ada. maupun yang masih akan ada, semuanya menjadi tanggungan
bagi perutangan-perutangan pribadi debitur. Segala kebendaan siberutang baik
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Kebendaan
yang dimiliki perseroan dalam hal ini kekayaan bersih perseroan meliputi tanah,
bangunan dan peralatan dengan catatan apabila pengelola gudang adalah pemilik
gudang yang bersangkutan. Apabila gudang bukan pemilik gudang, kekayaan
bersih hanya mencakup kekayaan perusahaan. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu
dicermati. Lingkup kekayaan bersih yang sangat tergantung dari status gudang yang
dikuasai oleh Pengelola Gudang apakah gudang milik sendiri atau gudang tersebut
milik pihak lain (pengelola gudang hanya berstatus menyewa). Ketentuan tersebut
selaras dengan isi pasal 39 ayat (3) huruf c dimana salah satu syarat pengelola
gudang adalah memiliki dan/atau menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang
telah memperoleh persetujuan Badan Pengawas. Limitasi ini menimbulkan sebuah
pertanyaan apakah tidak dimungkinkan bahwa pengelola gudang memiliki
kekayaan berupa tanah, bangunan, dan peralatan ? Bagaimana kedudukan/status
hukum harta kekayaan tersebut apabila pengelola gudang benar-benar memilikinya
selama menjalankan usahanya di bidang pergudangan? Kedua kemungkinan
23
tersebut berdampak pada pembedaan tanggung jawab hukum pengelola gudang
terhadap pemilik barang atas barang yang dititipkannya. Mengacu pada kenyataan
tersebut, maka pengelola gudang belum tentu berkedudukan sebagai pemilik
gudang sehingga penekanan pertanggungjawaban hubungan hukum dalam Sistem
Resi Gudang pada Pengelola Gudang dan bukan pada pemilik gudang mendapatkan
rasionalitas dari peraturan perundang-undangan tentang Sistem Resi gudang.
b. Kepailitan Perseroan Terbatas
Kepailitan terkait dengan ketidakmampuan subyek hukum untuk
melakukan kewenangan-kewenangan hukum. Apabila yang mengalami pailit
adalah subyek hukum dalam artian orang (natuurlijk person), ia kehilangan
penguasaan dan pengurusan atas kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan.
Akibat hukum kepailitan ini mulai berlaku sejak hari keadaan pailit diucapkan.
Mulai hari itulah pengusaan dan pengurusan atas budel pailit diserahkan dan
dijalankan oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) yang berkedudukan dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri yang mengucapkan putusan pailit. Keudukan
weeskamer sekarang sudah digantikan oleh Kurator sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
-Utang.
c. Kepailitan Pengelola Gudang dan Tanggung Jawab Hukumnya
Terkait dengan kemungkinan kepailitan tersebut yang mungkin dialami oleh
Pengelola Gudang, terdapat 2 (dua) ketentuan yang berbeda tentang harta kekayaan
Pengelola Gudang sebagaimana telah teranalisis diatas. Budel pailit dengan
demikian pun terbedakan antara gudang yang dimiliki oleh pengelola gudang
sendiri atau gudang yang hanya dikuasainya saja ( hanya menyewa) dari pemilik
gudang/pihak lain. terdapat perbedaan pengaturan Undang-undang Nomor 9 tahun
2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011
tentang Sistem Resi Gudang, perlindungan hukum bagi para pemegang Resi
Gudang dilengkapi dengan adanya Lembaga Jaminan Resi Gudang dalam sistem
Resi Gudang yang akan menjamin benda/harta milik pemegang Resi Gudang yang
dititipkan dalam gudang apabila pengelola gudang melakukan kelalaian atau pailit.
24
Penegasan persekutuan
modal pada Badan Hukum
Perseroan Terbatas
Lepasnya pertanggungjawaban
terbatas pada Direksi dan Komisaris
apabila perseroan paalit dan
disebabkan karena kesalahannya
Larangan penerbitan
saham atas tunjuk untuk
modal dasar perseroan
Konstruksi
yuridis
mekanisme
jaminan
keberlangsunga
n PT sebagai
Badan Hukum
Perlindungan terhadap
Modal dan Kekayaan
Perseroan Terbatas
Lepasnya
pertanggungjawaban terbatas
pada pemegang saham
apabila terjadi percampuran
harta pribadi dengan harta
perseroan
Tidak dimungkinnya
penyetoran saham dengan
cara mengangsur
Gambar 2. Konstruksi yuridis jaminan keberlangsungan PT sebagai Badan
Hukum menurut Undang –undang Nomor 40 tahun 2007
Secara khusus, perlindungan prefentif pengelola gudang dilarang untuk
dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung oleh orang perseorangan yang
pernah dinyatakan pailit atau menjadi direkturdasarkan putusan pengadr atau
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir, pernah dihukum berdasarkan
putusan pengadilan yang memiliki ekuatan hukumtetap karena melakukan tindak
pidana di bidang ekonomi atau keuangan yang ancaman hukumannya diatas 5
(lima) tahun, terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang Sistem Resi Gudang, tidak memiliki akhlak dan
moral yang baik dan/atau tidak memiliki pengetahuan di bidang Sistem Resi
Gudang. Kecuali 2 (dua) poin terakhir, uraian larangan tersebut sama persis dengan
persyaratan seseroang yang akan mengajukan/mencalonkan diri menjadi Direksi
atau Komisaris suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas. Namun, secara hakiki
keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Undang-undang Perseroan Terbatas
menegaskannya sebagai syarat untuk menjadi Direksi dan Komisaris yang
penekanan utama terbebasnya calon posisi eksekutif perseroan dari perbuatan
tercela dalam bidang keungan, baik terkait dengan pailit maupun terkait dengan
perbuatan pidana dengan batasan masa hukuman tertentu. Ketentuan yuridis Sistem
Resi Gudang terkait dengan pengendalian yang hanya dibatasi pada orang
25
perseorangan dengan rincian sebagaimana telah disebut diatas. Tidak demikian
dengan penetapan syarat untuk menjadi pengelola gudang yang hanya diukur pada
kemampuan teknis operasional pengelolaan gudang sebagaimana diatur dalam
pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 tentang pelaksanaan
Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undangundang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang. Apabila Perseroan
Terbatas dipilih oleh Pengelola Gudang sebagai Badan Hukum operasionalnya,
maka ketentuan tentang syarat untuk bisa diangkat menjadi Direksi dan Komisaris
Perseroan Terbatas juga berlaku untuk Pengelola Gudang yang berbadan hukum
Perseroan
Terbatas
dengan
kekhususan
persyaratan
kemampuan
teknis
kepengelolaan pergudangan. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun
2007 sebagai Lex generalis dari persyaratan Badan Hukum sebagai Pengelola
Gudang terlekat upaya preventif secara kelembagaan mulai dari penegasan institusi
perseroan sebagai persekutuan modal sampai dengan sifat pertanggungjawaban atas
peristiwa kepailitan yang dialami perusahaan. Upaya preventif yang berlaku untuk
pengelola gudang secara khusus dan disebutkan dalam Undang-undang Nomor 9
tahun 2011 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 keberadaan dan
keberlangsungan usaha pengelola gudang tidak hanya diatur dari dalam institusi
Pengelola Gudang itu sendiri akan tetapi juga oleh Badan Pengawas selaku pemberi
ijin Pengelola Gudang
Tanggung Jawab Terkait dengan Kelalaian atas Barang yang Dititipakan
diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 menyebutkan
apabila kehilangan dan/aatau kerugian barang terjadi akibat kelalaian Pengelola
Gudang dalam
melakukan penyimpanan dan penyerahan barang
yang
mengakibatkankerugian bagi pemegang Resi Gudang , Pengelola Gudang wajib
membayar ganti kerugian. Dalam penjelasannya juga menyebutkan Pengelola
Gudang bertanggungjawab atas kehilangan dan/ atau kerugian barang yang
disebabkan oleh kelalaiannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang.
Undang-undang Nomer 9 Thun 2006 maupun Undang-undang Nomor 9
Tahun 2011 tidak memperinci lebih lanjut mengenai Pengelola Gudang yang
melakukan kelalaian dalam penyimpanan dan penyerahan barang yang
mengakibatkan kerugian pemilikbarang. Namun dari Pasal 27 ayat (2) dan
26
penjelasannya pasal tersebut mengenai penyimpanan dan penyerahan barang bisa
dilihat dalam Pasal 1694 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Penitipan
Barang” yang menyebutkan: Penitipan terjadi apabila seorang menerima sesuatu
barang dari seoramg lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam ujud aslnya.
Penitipan dalam resi gudang ini menurut pasal 1695 KUH Perdata termasuk
penitipan barang sejati secara “sukarela”. Sebagaimana pengelola gudang
selakupenerima titipan mempunyai kewajiban-kewajibqn yang diatur dalam pasal
1706, 1707, 1714 dan 1715 KUH Perdata:
a. Merawat barang seperti memelihara barang miliknya sendiri
b. Kewajiban itu lebih keras/berhati-hati, apabila seperti pasal 1707 KUH
Perdata:
1) Sipenerima titipan telah menawarkan dirinya untukmenyimpan
barangnya
2) Jika ia telah minta diperjanjikan suatu upah untuk menyimpannya
3) Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan
sienerima titipan
4) Jika telah diperjanjian bahwa sipenerima titipan akan menanggung
segala macam kelalaian.
c. Diwajibkan mengembalikan seperti pada waktu barang itu dititipkan, dan
apabila barang itu mengalami kemunduran maka yang bertanggung
adalah sipenitip.
KESIMPULAN
1. Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tidak memberikan pembatasan tentang
jenis badan hukum yang harus dipilih pengelola gudang sebagai badan
hukum.
2. Terdapat dua kemungkinan status gudang yakni gudang bisa dimiliki sendiri
oleh pengelola atau pengelola menyewa dari pihak ketiga dengan tanggung
jawab ang berbeda-beda.
27
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Buku
Johnny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitihan Hukum Normatif.
Malang : Bayumedia
L.J. Van Apeldoorn. 2001. Pengantar Ilmu Hukum.Cetakan ke-29. Jakarta :
Pradnya Paramita
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Cetakan ke-2, Surabaya :
Kencana
Rony Hanitiyo Sumitro. 1990. Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cetakan ke-4.
Jakarta : Ghalia Indonesia
R. Soekardono,1981, Hukum Dagang Indonesia: Jilid I (bagian kedua), Cetakan
keempat, Jakarta : PT. Rajawali Pers
Soerjono Soekanto.2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-PRESS
Sudikno Mertokusumo.2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cetakan ke-2.
Yogyakarta : Liberty
Salim HS.2004.Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
-----------------, 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika
Purwakhid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perkatan (Perikatan Yang Lahir
Dari Perjanjian Dan Dari Undang-undang), Mandar Maju
Komariyah, 2001, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang
H.M.N. Purwosutjipto, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang 7 : Hukum Surat
Berharga, Cetakan kelima, Jakarta : Djambatan
---------------------------,2007, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 :
Bentuk-bentuk Perusahaan, Cetakan kesebelas, Jakarta : Djambatan
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti dan Tjitrosudibio
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang
C. Hasil Penelitihan/Publikasi Ilmiah
Ashari, 18 Oktober 2012, Potensi dan Kendala Sistem Resi Gudang (SRG) untuk
mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia (Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian) diakses dari Pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE
29 No. 2, Desember 2011
28
Irma Devita, 29 April 2012, Sistem Resi Gudang Sebagai Alternatif Hak Jaminan
diakses dari Irmadevita.com/2012/Sistem-resi-gudang-Sebagai-alternatif-hak
jaminan
Fadhil Hasan, 2008, Potensi Penerapan Sistem Resi Gudang di Indonesia, Bank
Indonesia cabang Propinsi Sumatera Utara, 2007, Sistem Resi Gudang dan
Peranan Perbankan Menurut Undang-undang ( laporan Perkembangan
29
Download